SIFAT KIMIA KAYU TARIK SENGON (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
TOGU SOFYAN HADI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SIFAT KIMIA KAYU TARIK SENGON (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
TOGU SOFYAN HADI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN TOGU SOFYAN HADI. Sifat Kimia Kayu Tarik Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen). Dibimbing oleh RITA KARTIKA SARI. Kayu merupakan bahan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehingga kebutuhannya akan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Maka sejak tahun 1984, pemerintah mulai membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk mengatasi meningkatnya kebutuhan kayu tersebut. Jenis yang ditanam di HTI kebanyakan jenis cepat tumbuh (fast growing species). Suatu tegakan HTI didalamnya tidak menutup kemungkinan dapat terjadinya penyimpangan struktur pohon yang tidak normal, salah satunya terbentuknya kayu reaksi (reaction wood) yang disebabkan adanya pengaruh mekanis (misal angin, gaya gravitasi maupun tanah longsor) terhadap bagian pohon (batang, cabang, dan ranting). Kayu reaksi yang dijumpai pada kayu daun lebar dinamakan kayu tarik (tension wood), sedangkan kayu yang terbentuk pada bagian yang berlawanan dari kayu tarik disebut kayu opposite. Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) sebagai salah satu jenis kayu daun lebar cepat tumbuh dalam pertumbuhan normalnya akan membentuk pohon yang tegak lurus dan batang yang vertikal. Namun, pohon yang terbentuk dalam area yang luas oleh kayu tarik seperti kayu yang bengkok dan terpilin dapat mempengaruhi proses pengolahan kayu. Oleh karena itu, perlu diketahui sifat kimia kayu tarik yang terbentuk pada Sengon. Informasi mengenai sifat kimia tarik ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komponen kimia dari bagian kayu tarik dan bagian kayu oppositenya. Pengujian kimia seperti holoselulosa, selulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif, dan kadar abu merujuk pada standar TAPPI (Technical Association of the Pulp and Paper Industry). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kayu tarik Sengon kadar selulosa, kadar hemiselulosa, kadar zat ekstraktif larut dalam air dingin, air panas dan NaOH 1% yang lebih besar dari kayu oppositenya, namun kadar lignin,kadar αselulosa dan kadar zat ekstraktif larut dalam etanol benzena kayu tarik lebih rendah dari kayu oppositenya. Komposisi kimia pada posisi kayu tarik arah melingkar batang tidak teratur. Hal ini dapat disebabkan oleh susunan jaringan kayu tariknya yang menyebar dan tercampur dengan sel-sel normal. Kata Kunci : Kayu Tarik, Kimia Kayu, Sengon
Judul Skripsi : Sifat Kimia Kayu Tarik Sengon (P. falcataria L. Nielsen) Nama
: Togu Sofyan Hadi
NIM
: E 24102080
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Ir. Rita Kartika Sari, M.Si NIP. 132 133 963
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur kepada Jesua Hamasiah atas segala kasih dan karuniaNya, sehingga skripsi yang berjudul “SIFAT KIMIA KAYU TARIK SENGON” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku pembimbing atas saran serta dukungan moril yang telah diberikan. Terima kasih juga kepada Bapak Ir. Deded Syarif Nawawi, M.Sc atas bantuan yang telah diberikan.
Ungkapan
terima
kasih
penulis
sampaikan
kepada
laboran
Laboratorium Kimia Hasil Hutan, kawan-kawan Fahutan dan Non-Fahutan atas dukungan dan kerjasamanya. Terima kasih untuk kedua orangtua dan kakakkakakku dan seluruh keluarga atas cinta, doa dan dukungannya. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini, yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun, penulis berharap karya ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, April 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Togu Sofyan Hadi, lahir pada tanggal 12 Juli 1983 di Tulang Bawang. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1990 di SDN Wibawa Mukti Bekasi dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SLTPN 1 Jati Asih Bekasi dan lulus pada tahun 1999 dan melanjutkan ke SMUN 2 Bekasi pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis terdaftar di Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengendalian dan Pengelolaan Hutan di Kampus Lapangan Fakultas UGM Getas, Baturraden dan Cilacap serta mengikuti Praktek Kerja Lapang di CV. Rakabu Furniture, Solo - Jawa Tengah. Selama menjadi mahasiswa pernah aktif di organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB) dan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (Himasiltan).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Reaksi .................................................................................. 3 2.2 Kayu Tarik .................................................................................... 3 2.3 Sifat Kayu Tarik............................................................................ 4 2.4 Komponen Kimia Kayu ................................................................ 5 2.4.1 Holoselulosa............................................................................... 5 2.4.2 Selulosa ...................................................................................... 5 2.4.3 Alpha selulosa ............................................................................ 6 2.4.4 Lignin ......................................................................................... 6 2.4.5 Hemiselulosa .............................................................................. 7 2.4.6 Zat Ekstraktif.............................................................................. 7 2.4.7 Abu............................................................................................. 8 2.5 Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)................... 8 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 10 3.2 Bahan dan Alat Penelitian............................................................. 10 3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 11 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komponen Kimia Struktural Kayu ............................................... 17 4.2 Komponen Kimia Non-Struktural Kayu ....................................... 26 BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 32 5.2 Saran.............................................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 33 LAMPIRAN........................................................................................................ 35
ii
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Komposisi Kimia Struktural Kayu Tarik Sengon ........................................... 17 2. Komposisi Kimia Non Struktural Kayu Tarik Sengon ................................... 26
iii
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Contoh uji kayu tarik Sengon pada posisi melingkar batang....................... 10 2. Keragaman kadar holoselulosa kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang ........................................................................................................... 18 3. Keragaman kadar selulosa kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang ........................................................................................................... 19 4. Keragaman kadar α-selulosa kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang ........................................................................................................... 21 5. Keragaman kadar hemiselulosa kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang ........................................................................................................... 22 6. Keragaman kadar lignin kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang.... 24 7. Keragaman kelarutan dalam air dingin kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang.......................................................................................... 28 8. Keragaman kelarutan dalam air dingin kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang.......................................................................................... 29 9. Keragaman kelarutan dalam NaOH 1% kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang.......................................................................................... 30 10. Keragaman kelarutan dalam etanol-benzena kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang........................................................................................ 30 11. Keragaman kadar abu kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang ..... 31
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu merupakan bahan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan keperluannya akan selalu meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka sejak tahun 1984 pemerintah mulai membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk mengatasi hal tersebut dengan tujuan untuk memenuhi keperluan bahan baku kayu secara berkesinambungan pada masa yang akan datang. Jenis pohon yang ditanam di HTI kebanyakan jenis cepat tumbuh (fast growing species). Jenis ini dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Menurut Sofyan et al. (1993), kayu jenis cepat tumbuh mempunyai kerapatan yang rendah dan kadar lignin yang sedang sampai rendah. Dari segi pemakaian bahan kimia pemasak, pulp dari jenis kayu cepat tumbuh lebih efisien. Jenis kayu cepat tumbuh lebih mudah terdegradasi karena relatif lebih lunak dan kadar ligninnya lebih rendah dibandingkan jenis kayu lainnya. Suatu tegakan HTI didalamnya tidak menutup kemungkinan beberapa pohon tumbuh secara tidak normal. Menurut Sjostrom (1998), bila pohon terganggu dari keadaan keseimbangan aslinya dalam ruang, misalnya oleh angin atau tanah longsor, pohon akan tumbuh miring. Pohon mulai memproduksi jaringan khusus untuk memulihkan batang atau cabang yang terdesak ke keadaan asalnya, yang disebut kayu reaksi (reaction wood). Kayu reaksi yang dijumpai pada kayu keras (hardwood) dinamakan kayu tarik (tension wood). Komposisi kimia kayu tarik berbeda dengan kayu normalnya. Hasil penelitian membuktikan bahwa kandungan selulosa kayu tarik lebih tinggi dan kandungan ligninnya lebih rendah dibandingkan kayu normalnya. Menurut Akiyama et al. (2003), kayu tarik dihasilkan pada bagian atas batang yang miring dari jenis hardwood yang mengalami penebalan tidak normal, dan dicirikan dengan adanya serat gelatin, high growth stress, dan kadar lignin yang lebih rendah dibandingkan kayu opposite (bagian yang berlawanan arah dari
2 kayu tarik di dalam batang pohon yang miring). Tsoumis (1991) menjelaskan bahwa kayu opposite dari kayu beech memiliki komposisi kimia (selulosa, hemiselulosa, lignin) yang tidak berbeda dengan kayu normal. Namun serat kayu opposite lebih pendek dari serat kayu normal dan seratnya lebih panjang dibandingkan dengan kayu tarik. Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) sebagai salah satu jenis kayu cepat tumbuh secara alamiah pada masa pertumbuhannya sulit untuk dihindari terbentuknya kayu tarik. Kayu tarik diduga memiliki sifat kimia yang berbeda dengan kayu normalnya sehingga dapat mempengaruhi rendemen dan kualitas pulp dan kertas yang dihasilkan. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Akiyama et al. (2003) bahwa morfologi serat, anatomi dan konsentrasi lignin diketahui mempengaruhi rendemen dan kualitas pulp dan kertas. Selain itu informasi tentang kayu tarik dan kayu opposite pada jenis kayu hardwood Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu penelitian sifat kimia kayu tarik Sengon dilakukan. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia kayu tarik (tension wood) Sengon (holoselulosa, selulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin dan ekstraktif kayu) beserta kayu oppositenya. 1.3 Manfaat Penelitian Informasi tentang karakteristik komponen kimia kayu tarik seperti holoselulosa, selulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin dan ekstraktif kayu tarik Paraserianthes falcataria L. Nielsen diharapkan dapat bermanfaat dalam usaha pemanfaatan kayu ini sebagai bahan baku industri perkayuan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Reaksi Kayu reaksi (reaction wood) merupakan jaringan khusus yang diproduksi pohon apabila pohon terganggu dari keadaan keseimbangan aslinya dalam ruang, misalnya disebabkan oleh angin atau tanah longsor. Fungsinya untuk memulihkan batang atau cabang yang terdesak ke keadaan asalnya. Dalam batang kayu lunak (softwood) yang miring, dikembangkan kayu tekan pada sisi bawah, sedangkan dalam hardwood, kayu tarik dibentuk pada bagian atas dari batang yang miring. Kayu tekan dapat dikatakan mendorong batang atau cabang ke atas; kayu tarik menarik batang atau cabang ke atas (Sjostrom 1998). Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa pohon memberikan reaksi terhadap gaya regangan yang menerpa pada batang (misal oleh angin atau tegangan geotropik), cabang dan ranting (misal oleh berat mereka sendiri) dengan pembentukan kayu reaksi dalam daerah tekanan atau tarikan. Kemiringan pohon dapat ditimbulkan oleh bobot pohon itu sendiri, pengaruh tekanan angin, atau hujan es. Penelitian-penelitian telah menunjukan pergerakan batang baik secara cepat maupun lambat adalah perlu bagi pohon untuk membentuk kayu reaksi; perpindahan sekecil 20 , dan dalam jangka waktu sesingkat 24 jam atau kurang, dapat memproduksi jaringan abnormalitas ini (Tsoumis 1991). 2.2 Kayu Tarik Kayu tarik (tension wood) dihasilkan pada bagian atas batang yang miring dari jenis angiosperm yang mengalami penebalan tidak normal, dan dicirikan dengan adanya serat gelatin, high growth stress, dan kadar lignin yang rendah dibanding arah kebalikannya pada bagian bawah yang dikenal sebagai kayu opposite. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa kayu tarik mengandung pembuluh yang lebih sedikit dan lebih kecil bila dibanding dengan kayu normal, dan serabut mengandung lapisan dinding khusus, yang disebut lapisan gelatin (gelatinuos layer) atau lapisan-G. Lapisan-G ada yang sebagai pengganti S2
4 (dinding sekunder), dinding tersier atau sebagai tambahan terhadap lapisan dinding normal. 2.3 Sifat Kayu Tarik Seperti kayu tekan (compression wood), kayu tarik berbeda dari kayu normal dalam hal komposisi kimianya. Kayu reaksi pada hardwood dicirikan dengan adanya kadar lignin yang rendah. Lignifikasi bervariasi dalam kayu tarik dan dinding seratnya sebagian atau sepenuhnya dapat tidak berlignin. Dalam hal lain, kadar selulosa kayu tarik lebih besar dari kayu normal, galaktan yang lebih dari normal, dan xylan kurang dari normal (Kollmann dan Cote 1968). Klauditz dan Stolley (1955) dalam Kollmann dan Cote (1968) menyatakan bahwa kayu tarik yang telah diuji dalam kondisi segar memiliki kekuatan tarik yang rendah. Namun, saat kayu tarik dikeringudarakan kekuatan tariknya lebih besar dibanding kayu normal. Menurut Scurfield (1973) dalam Haygreen dan Bowyer (1989), susunan dinding sel tergantung pada tingkat perkembangan suatu sel tertentu pada saat miringnya batang. Sel-sel yang telah membentuk lapisanlapisan S1 dan S2 dinding sekunder akan segera menghentikan perkembangan yang normal apabila batang miring dan akan berganti dengan perkembangan lapisan-G. Pada kondisi basah, lapisan-G pada kayu tarik tidak terikat seluruhnya dengan dinding sekunder sehingga kekuatan tariknya rendah. Setelah dikeringkan, lapisan-G dapat terikat seluruhnya pada dinding sekunder sehingga kekuatan tariknya tinggi. Situasi ini dapat menjelaskan mengapa kekuatan tarik meningkat pada kayu tarik Populus regenerata setelah dikeringkan, dimana kekuatan tariknya lebih tinggi dari kayu normal yang dikeringkan (Panshin & de Zeeuw 1980). Meskipun tidak sebesar kayu tekan, penyusutan longitudinal kayu tarik dapat mencapai 1%, yang dapat dianggap lebih tinggi dibandingkan penyusutan longitudinal hardwood normal. Jika kayu tarik berupa log digergaji menjadi kayu, permukaan kayu tersebut biasanya akan terlihat berserabut kasar (woolly surface) pada daerah kayu tarik (Kollmann dan Cote 1968).
5 2.4 Komponen Kimia Kayu 2.4.1 Holoselulosa Kadar holoselulosa menyatakan jumlah dari senyawa karbohidrat (polisakarida). Karbohidrat dalam kayu banyak terdapat pada bagian dinding sekunder yang didalamnya terdapat senyawa glukomanan, arbinosa, galaktosa, glukosa, asam uronat, silosa dan glukoronoksilan. Holoselulosa dalam kayu merupakan jumlah dari senyawa polisakarida (selulosa dan hemiselulosa). Ritter dan Kurth merupakan orang yang pertama kali menggunakan pengertian holoselulosa untuk produk yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu. Tiga kriteria penting untuk mendefenisikan holoselulosa yaitu kadar lignin yang rendah, hilangnya polisakarida minimal, dan degradasi oksidatif serta hidrolitik selulosa minimal (Fengel & Wegener 1995). 2.4.2 Selulosa Selulosa terbentuk dari molekul glukosa (C6H12O6), sebuah monosakarida yang dibentuk melalui proses fotosintesis (Tsoumis 1991). Dalam suatu proses yang
kompleks,
glukosa
mengalami
modifikasi
secara
kimia
dengan
dipindahkannya satu molekul air dari setiap unit dan membentuk suatu anhidrid glukosa; C6H12O6 (glukosa) – H2O = C6H10O5 (anhidrid glukosa). Unit-unit anhidrid glukosa kemudian saling berikatan untuk membentuk polimer berantai panjang yaitu selulosa (C6H10O5)n dengan n (derajat polimerisasi) 500 – 10000 (Haygreen dan Bowyer 1989). Selulosa merupakan penyusun utama kayu. Kira-kira 40 – 45% bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa, terutama terdapat dalam dinding sel sekunder (Sjostrom 1998). Selulosa merupakan polimer linier dengan berat molekul tinggi yang tersusun seluruhnya atas β-D-glukosa. Karena sifat-sifat kimia dan fisikanya maupun struktur supramolekulnya maka ia dapat memenuhi fungsinya sebagai komponen struktur utama dinding sel tumbuhan. Selulosa berwarna putih, tidak larut dalam pelarut organik netral seperti air, eter, benzena dan etil alkohol, tetapi mudah larut dalam larutan asam sulfat 72 %, larutan cupri amonium dan larutan besi (III) tartrat (Fengel dan Wegener 1995).
6 2.4.3 Alpha Selulosa Selulosa dalam setiap metoda isolasinya tidak dapat diperoleh dalam keadaan murni, namun hanya diperoleh sebagai hasil yang kurang murni yang biasanya disebut alpha selulosa. Menurut Jayme dan Knolle (1965a) dalam Fengel dan Wegener (1995), untuk memperoleh selulosa murni 100% dari kayu, alpha selulosa harus mengalami perlakuan intensif lebih lanjut, seperti hidrolisis parsial, pelarutan dan pengendapan, dan produk yang dihasilkan terdiri atas rantai molekul yang sangat pendek. 2.4.4 Lignin Lignin merupakan polifenol yang strukturnya tiga dimensi dan bercabang banyak. Strukturnya kompleks dengan bobot molekul tinggi. Lignin merupakan suatu senyawa poliaromatik yang terdapat pada bagian lamella tengah sel kayu. Lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel-sel secara bersama-sama. Dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kondisi air, serta lignin mempertinggi sifat ketahanan dalam kayu yang membuat kayu tahan terhadap serangan cendawan dan serangga (Haygreen dan Bowyer 1989). Semakin berkembangnya pohon, baik karena semakin tua, bertambahnya umur maupun lebih cepat membesarnya batang bagian pangkal dari bagian ujung batang, akan diikuti dengan proses lignifikasi dinding sel yang mengalami penuaan. Menurut Sjostrom (1998), lignin dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok menurut unsur-unsur strukturnya, yaitu : 1. Lignin guasil : terdapat pada kayu daun jarum (26 – 32%), produk polimerisasi dari koniferol alkohol 2. Lignin guasil-siringil : merupakan ciri kayu daun lebar (20 – 28%), pada kayu tropis >30%, merupakan kopolimer dari koniferol alkohol dan sinapil alkohol, perbandingan 4:1 sampai 1:2 untuk kedua unit monomer.
7 2.4.5 Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan polimer polisakarida dengan berat molekul rendah dan terdiri dari unit-unit monosakarida seperti D-silosa, L-arabonosa, Dgalaktan dan lain-lain. Proporsi hemiselulosa tinggi pada lamela tengah dan dinding primer, dimana kadar selulosa paling rendah. Selulosa sebagian besar terkonsentrasi pada dinding sekunder. Seperti halnya selulosa kebanyakan hemiselulosa berfungsi sebagai bahan pendukung dalam dinding-dinding sel. Jumlah hemiselulosa dari berat kering kayu biasanya antara 20 – 30%. Komposisi dan struktur hemiselulosa dalam softwood secara khas berbeda dari hardwood (Sjostrom 1998). 2.4.6 Zat Ekstraktif Menurut Sjostrom (1998), kadar zat ekstraktif adalah banyaknya bahan yang dapat dipisahkan dari kayu dengan menggunakan pelarut netral seperti air, benzena, eter dan etilalkohol. Zat ekstraktif yang larut dalam air adalah gula, zat warna, tanin, gum dan pati. Sedangkan yang larut dalam pelarut organik meliputi resin, lemak, asam lemak, lilin, minyak dan tanin. Kadar zat ekstraktif seperti resin, minyak, lemak, dan polisakarida dapat berpengaruh kurang baik dalam proses perekatan. Besarnya kadar zat ekstraktif ini dapat mempengaruhi pemakaian bahan kimia dalam pembuatan pulp kertas, karena dapat bereaksi dengan alkali yang digunakan sehingga kosumsi alkali menjadi lebih tinggi dan mengurangi efisiensi pemutihan, sehingga dapat menimbulkan bintik hitam pada kertas yang dihasilkan (Casey 1980). Pengaruh zat ekstraktif terhadap sifat kayu dan proses pengolahan kayu baru sedikit yang diketahui, diantaranya adalah : •
Zat ekstraktif yang terdapat dalam dinding sel dapat mempengaruhi kekuatan dan proses pengolahan kayu. Apabila terdapat pada permukaan serat maka pengaruhnya terhadap kekuatan kayu dianggap tidak ada.
•
Zat
ekstraktif
dapat
mempengaruhi
kerapatan,
penyusutan
pengembangan kayu dan dapat mempengaruhi proses perekatan kayu
dan
8 •
Zat ekstraktif dapat mematikan dan mengurangi daya serangan mikroorganisme terhadap kayu dan mempengaruhi jumlah kebutuhan alkali pada proses pemasakan pulp
2.4.7 Abu Abu merupakan residu dari hasil pembakaran yang terdiri dari senyawa anorganik seperti CaO, SiO2, Al2O3, MgO, Na2O, K2O, dan TiO2. Karena kadar senyawa tersebut maka abu kayu dapat dimanfaatkan sebagai pupuk juga berfungsi sebagai katalis dan di dalam proses gasifikasi. Pada umumnya unsurunsur yang terdapat dalam abu dengan jumlah yang tinggi adalah garam karbonat, sulfat, fosfat dan silikat dari kalium, kalsium dan magnesium. (Feldmar 1978). 2.5 Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Sengon yang di Pulau Jawa dikenal dengan nama Jeunjing termasuk ke dalam famili Leguminoseae. Tinggi pohon Sengon dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m dan diameter batangnya dapat mencapai 80 cm. Bobot jenis kayu 0,33 (0,24-0,29). Kayu gubal dan kayu terasnya secara umum tidak berbeda, dimana warnanya hampir putih (Martawijaya et al. 1987). Sengon merupakan jenis kayu ringan yang termasuk ke dalam kelas awet IV-V, dan kelas kuat IV-V. Kayu Sengon digunakan sebagai bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kerta, kelom dan barang kerajinan. Ciri utama warna kayunya putih sampai coklat muda kemerahan, pori soliter dan berganda radial, parenkima baur, dan kayunya lunak (Mandang dan Pandit 1997). Pada umur 5, tahun kayu Sengon sudah dapat digunakan sebagai bahan baku pulp tetapi nilai ekonomisnya masih rendah, sedangkan pada umur 8 tahun jumlah kayu yang dapat digunakan menjadi hampir 3 kali lipat daripada umur 5 tahun, sehingga nilai ekonomisnya juga menjadi lebih tinggi. Karakteristik komponen kimia kayu Sengon adalah selulosa 59,41%, kadar selulosa 46,31 %, kadar pentosan 16,75%, kadar lignin 25,14%, kadar air 11,5%, kadar abu 0,81%, kadar silika 0,13%, kelarutan dalam air dingin 7,20%, kelarutan
9 dalam air panas 9,25%, kelarutan dalam etanol-benzena 5,39%, dan kelarutan dalam air NaOH 1% sebesar 19,14% (Pari dan Hartoyo 1990).
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus – Desember 2006, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen). Contoh uji diambil dari 6 bagian arah melingkar batang pohon Sengon yang tumbuh miring sekitar ± 250 berjarak sekitar 1 m dari pangkal batang, soliter. Contoh kayu berasal dari daerah Bogor (Petir) dengan umur sekitar 7 tahun (Gambar 1). Posisi bagian kayu mengikuti arah jarum jam yaitu 00 dinyatakan sebagai kayu tarik karena berada di bagian tarikan yang menjauhi empulur, sedangkan bagian 600 dan 1200 berada pada posisi kanan dari bagian atas penampang melintang batang, posisi 1800 dinyatakan sebagai kayu opposite karena terletak pada posisi bagian kayu yang dekat dengan empulur dan berlawanan dengan posisi kayu tariknya, untuk posisi 2400 dan 3000 terletak pada posisi kiri dari bagian atas penampang melintang batang.
00 0
300
600 1200
0
240
1800
Gambar 1 Contoh uji kayu tarik Sengon pada posisi melingkar batang
11 Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan komponen kimia kayu yaitu NaClO2, H2SO4, Na2SO3, C6H6, CH3COOH, NaOH, HNO3, C2H5OH, dan air destilata. 3.2.2 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, gelas piala 400 ml, 500 ml, dan 1000 ml, gelas ukur 25 ml, 50 ml, 100 ml, erlenmeyer 300 ml, alumunium foil, cawan porselen, corong, pengaduk, oven, willey mill, penangas air, desikator, soxhlet dan timbangan. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan bahan baku (TAPPI T 257 os-76) Masing-masing sampel kayu dibuat serpihan-serpihan kecil lalu digiling dengan willey mill yang kemudian disaring dan diperoleh serbuk kayu berukuran 40 – 60 mesh. Kayu dibuat serbuk bertujuan supaya penetrasi pereaksi sempurna dan untuk menjamin reaksi yang seragam. Serbuk kemudian disimpan dalam wadah tertutup. 3.3.2 Pengukuran kadar air (TAPPI T 12 os-75) Sebelum dilakukan pengukuran kadar air, botol timbang yang akan digunakan dioven terlebih dahulu dengan suhu 105±30C selama 1 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Serbuk kayu sebanyak 1 – 2 g ditimbang (B0) di dalam botol timbang yang sudah diketahui beratnya dan dioven pada suhu 105±30C sampai berat konstan (BKT). Nilai kadar air dihitung dengan menggunakan persamaan : Kadar Air (%) =
B0
BO − BKT × 100% BKT
: Berat serbuk awal (g)
BKT : Berat serbuk kering oven (g)
12 3.3.3 Penentuan komponen kimia 3.3.3.1
Kadar Zat Ekstraktif yang Terlarut dalam Etanol-Benzena (1:2)
(TAPPI T 204 om-88) Penentuan kadar ekstraktif ini dilakukan dengan memasukkan serbuk kayu sebanyak 10 g ke dalam timbel kertas yang telah diketahui beratnya, lalu timbel tersebut dimasukkan ke dalam soxlet dan diekstrasi dengan larutan etanol : benzena (1:2) sebanyak 300 ml selama 6 – 8 jam. Setelah selesai, serbuk dicuci dengan larutan etanol dan dianginkan-anginkan. Lalu sampel dioven pada suhu 105±30C hingga beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam etanol-benzena (1:2), dihitung dengan persamaan : Kelarutan (%) =
A− B ×100% A
A = Berat serbuk kering awal (g) B = Berat serbuk kering oven (g)
3.3.3.2 Kadar Zat Ekstraktif yang Terlarut dalam Air Panas (TAPPI T 207 om-88) Serbuk kayu sebanyak 2 g yang kemudian dimasukkan ke dalam erlemenyer 300 ml, ditambah 100 ml air panas dan dipanaskan di atas penangas air bersuhu 1000C selama 3 jam, dan setiap 15 menit diaduk. Setelah itu, sampel disaring dan dicuci dengan menggunakan air panas sampai filtrat tidak berwarna, kemudian dioven pada suhu 105±30C hingga beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas dihitung dengan persamaan : Kelarutan (%) =
A− B ×100% A
A = Berat serbuk kering awal (g) B = Berat serbuk kering oven (g)
13 3.3.3.3 Kadar Zat Ekstraktif yang Terlarut dalam Air Dingin (TAPPI T 207 om-88) Sebanyak 2 g serbuk kayu dalam gelas piala 400 ml, ditambah 300 ml air destilata dan dibiarkan selama 48 jam pada suhu kamar, kemudian disaring dan dicuci dengan air destilata dan dioven pada suhu 105±30C hingga beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dihitung dengan persamaan : Kelarutan (%) =
A− B ×100% A
A = Berat serbuk kering awal (g) B = Berat serbuk kering oven (g)
3.3.3.4 Kadar Zat Ekstraktif yang Terlarut dalam NaOH 1% (TAPPI T 212 om-88) Serbuk kayu sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam gelas piala 250 ml, kemudian ditambahkan 100 ml NaOH 1% sambil diaduk. Contoh uji kemudian dipanaskan di atas penangas air bersuhu 1000C selama 1 jam sambil diaduk setiap 5, 10, 15, dan 25 menit reaksi. Selanjutnya, sampel disaring dan dicuci dengan menggunakan air panas dan ditambahkan 50 ml asam asetat 10 %. Sampel dicuci kembali dengan air panas sampai bebas asam. Contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu 105±30C hingga beratnya konstan lalu ditimbang. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam NaOH 1% dihitung dengan persamaan : Kelarutan (%) =
A− B ×100% A
A = Berat serbuk kering awal (g) B = Berat serbuk kering oven (g)
14 3.3.3.5 Kadar Holoselulosa (TAPPI T 9 m-54) Serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 2 g dimasukkan dalam erlemenyer, lalu ditambah dengan air destilata sebanyak 150 ml, 1 g NaClO2, dan 0,2 ml CH3COOH. Sampel dipanaskan pada suhu 70-800C selama 5 jam. Setiap 1 jam pemanasan ditambah 1 g NaClO2 dan 0,2 ml CH3COOH. Setelah pemanasan selesai sampel disaring dan dicuci dengan menggunakan air destilata kemudian etanol dan dioven pada suhu 105±30C hingga beratnya konstan. Kadar holoselulosa dihitung dengan persamaan : Holoselulosa (%) =
A × 100% B
A = Berat Holoselulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) 3.3.3.6 Kadar Selulosa (TAPPI 17 m-55) Sebanyak 2,5 g serbuk kayu bebas ekstraktif dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml. Lalu ditambahkan 400 ml air panas dan dipanaskan di atas penangas air suhu 800C selama 2 jam kemudian disaring dan dikeringudarakan. Serbuk yang telah mencapai kondisi kering udara dimasukkan ke dalam erlemenyer dan ditambah HNO3 3,5% sebanyak 125 ml dan diekstrak di atas penangas air dengan suhu 800C selama 12 jam lalu disaring dan dikeringudarakan. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml dan ditambahkan larutan campuran NaOH : Na2SO3 (20 g : 20 g dalam 1 liter larutan) sebanyak 125 ml, dan direaksikan pada suhu 500C selama 2 jam. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring dan dikelantang dengan NaClO2 10% lalu dicuci dengan air destilata sampai bebas asam. Sampel dioven pada suhu 105±30C hingga beratnya kosntan lalu ditimbang. Kadar selulosa dihitung dengan persamaan : Selulosa (%) =
A × 100% B
A = Berat Selulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g)
15 3.3.3.7 Kadar α-selulosa (TAPPI T 203 os-74) Sebanyak 2 g serbuk selulosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml lalu ditambahkan 16 ml NaOH 17,5% suhu 200C. Sampel ditekan-tekan untuk menyempurnakan reaksi dan untuk setiap 5, 10, dan 15 menit pertama ditambah 5 ml NaOH 8% penyaringan diusahakan dalam waktu 5 menit. Setelah penyaringan sampel dibilas dengan 40 ml CH3COOH 10% dan dicuci dengan air destilata sampai bebas asam, sampel dioven pada suhu 105±30C hingga beratnya konstan lalu ditimbang. Kadar α-selulosa dihitung dengan persamaan : α-selulosa (%) =
A × 100% B
A = Berat α-selulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) 3.3.3.8 Kadar Lignin (TAPPI T 13 os-54) Sebanyak 1 g serbuk kayu bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, lalu ditambahkan 15 ml H2SO4 72% diaduk rata. Tempatkan gelas ukur dalam nampan yang disekelilinginya telah diberi es dengan suhu 15-200C, lalu diaduk setiap 15 menit selama 2 jam. Pindahkan ke erlenmeyer 1000 ml kemudian tambahkan air destilata yang telah dipanaskan sampai tanda tera 575 ml. Panaskan dalam waterbath pada suhu ± 800C selama ± 4 jam. Lignin kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui BKTnya, lalu dicuci dengan air destilata sampai bebas asam. Sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105±30C sampai bobot konstan, lalu ditimbang. Kadar lignin dihitung dengan persamaan : Lignin (%) =
A × 100% B
A = Berat Lignin (g) B = BKT bebas ekstraktif (g)
16 3.3.3.9 Kadar Hemiselulosa Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosa. Kadar Hemiselulosa dihitung dengan persamaan : Hemiselulosa (%) = A – B A = Holoselulosa (%) B = Selulosa (%) 3.3.3.10 Kadar Abu (TAPPI T 15 os-58) Cawan porselen dioven pada suhu 105±30C selama 24 jam, lalu ditimbang. Sebanyak 2 g serbuk bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam cawan porselen tersebut, lalu dioven pada suhu 6000C hingga hanya tersisa abu, lalu abu tersebut ditimbang. Kadar abu dihitung dengan persamaan : Abu (%) =
A × 100% B
A = Berat abu (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) 3.4 Analisis Data Pengolahan data dilakukan terhadap nilai rata-rata dari masing-masing dua ulangan. Pembahasan dilakukan terhadap data dan trend data secara deskriptif dan dibandingkan dengan pustaka.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat kimia kayu tarik (tension wood) dan kayu opposite yang diperoleh dari bagian batang kayu Sengon diketahui melalui komposisi komponen kimia kayu baik komponen kimia struktural maupun komponen kimia non-struktural. 4.1 Komponen Kimia Struktural Kayu Hasil analisis komponen kimia struktural seperti yang tercantum di dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi komponen kimia kayu yang terdapat di dalam bagian-bagian kayu pada posisi bagian kayu dengan arah melingkar batang bervariasi, dimana kadar karbohidrat baik holoselulosa, selulosa, α-sellulosa dan hemiselulosa tertinggi pada bagian kayu tariknya sedangkan kadar lignin terendah terdapat pada bagian kayu tariknya, dimana kadar holoselulosa berkisar antara 62,09% (posisi 600) – 71,60 % (posisi 00), kadar selulosa 42,82% (posisi 600) – 46,56% (posisi 3000), kadar α-selulosa 29,80% (posisi 600) – 33,65% (posisi 2400), kadar hemiselulosa 19,27%(posisi 600) – 26,69% (posisi 00), dan kadar lignin 23,12 (posisi 00) – 26,69% (posisi 600). Tabel 1 Komposisi kimia struktural kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Posisi Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar bagian kayu holoselulosa selulosa α-selulosa hemiselulosa lignin (%) (%) (%) (%) (%) 00 600 1200 1800 2400 3000 3600
71,60 62,09 65,89 66,74 70,06 69,77 71,60
44,91 42,82 44,94 44,72 44,93 46,56 44,91
30,99 29,80 31,37 32,67 33,65 33,45 30,99
26,69 19,27 20,95 22,01 25,13 23,21 26,69
23,12 26,69 24,24 25,47 25,28 24,00 23,12
Rata-rata
68,25
44,83
31,85
23,42
23,40
Keterangan : 00 : Posisi kayu tarik pada dish kayu Sengon 1800 : Posisi kayu opposite pada dish kayu Sengon
18 4.1.1 Holoselulosa Kayu tarik Sengon memiliki kadar holoselulosa lebih tinggi dibanding kayu oppositenya. Besarnya kadar holoselulosa pada bagian kayu tarik sebesar 71,60% dan pada bagian kayu opposite sebesar 66,74% (Tabel 1). Namun apabila kita melihat dari posisi contoh uji kayu berdasarkan arah melingkar batang, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada keteraturan yang jelas pada kadar holoselulosa (Gambar 2). Adanya ketidakteraturan kadar holoselulosa pada bagian kayu disebabkan ketidakteraturan pada kadar selulosa dan kadar hemiselulosanya. Fengel dan Wegener (1995) menjelaskan bahwa holoselulosa dalam kayu menyatakan jumlah dari senyawa karbohidrat atau polisakarida, yang termasuk di
Kadar Holoselulosa %
dalamnya selulosa dan hemiselulosa. 80,00 77,50 75,00 72,50 70,00 67,50 65,00 62,50 60,00 57,50 55,00 52,50 50,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 2 Keragaman kadar holoselulosa kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Kadar holoselulosa yang tinggi pada kayu tarik Sengon memberikan gambaran bahwa potensi rendemen pulp yang dihasilkan akan tinggi. Karena kadar holoselulosa menyatakan jumlah selulosa yang terkandung dalam kayu. Kayu dengan kadar selulosa besar, dengan pengolahan yang tepat dapat menghasilkan rendemen pulp yang tinggi (Casey 1980). 4.1.2 Selulosa Kayu tarik Sengon memiliki kadar selulosa lebih tinggi dibanding kayu oppositenya. Besarnya kadar selulosa pada bagian kayu tarik sebesar 44,91% dan pada bagian kayu opposite sebesar 44,72% (Tabel 1). Tsoumis (1991)
19 menjelaskan bahwa kayu opposite dari kayu beech memiliki komposisi kimia (selulosa, hemiselulosa, lignin) yang tidak berbeda dengan kayu normal. Oleh karena itu dalam hal ini dapat dikatakan kayu tarik mengandung selulosa yang lebih tinggi daripada kayu normalnya. Haygreen dan Bowyer (1989) menyebutkan bahwa selulosa terdiri dari daerah-daerah kristalin dan amorf (tanpa bentuk tertentu). Sekitar 60 – 70% selulosa dalam dinding sel terdapat dalam bentuk kristalin (Kollman dan Cote 1968). Kayu tarik mempunyai derajat kristalin yang lebih tinggi dibanding kayu normal, dimana pada kayu tekan ditemukan kristalin yang lebih rendah (Tsoumis 1991). Hal ini diduga yang menyebabkan kayu tarik memiliki kadar selulosa yang lebih tinggi. Kadar selulosa pada kayu tarik meningkat 40 – 50% dibanding kayu normal, tergantung pada ketebalan lapisan-G yang merupakan penyebab kenaikan kadar selulosa. Lapisan yang disebut lapisan-G ini terdiri atas selulosa murni dengan kristalin tinggi yang berorientasi dalam arah yang sama dengan sumbu serabut. Berdasarkan alasan ini kadar selulosa kayu tarik lebih tinggi dan kadar lignin lebih rendah dari kayu normal (Sjostrom 1998). Lapisan-G memiliki lebih dari 98% selulosa dan hanya sebagian kecil polisakarida lainnya (Panshin dan de
Kadar Selulosa %
Zeeuw 1980). 50,00 49,00 48,00 47,00 46,00 45,00 44,00 43,00 42,00 41,00 40,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 3 Keragaman kadar selulosa kayu tarik P. falcataria L. Nielsen pada arah melingkar batang Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat keteraturan yang jelas untuk kadar selulosa pada arah melingkar batang (Gambar 3). Hal ini diduga karena kayu tarik pada hardwood sukar diidentifikasi karena daerah-daerah kayu tarik jarang tersusun seluruhnya atas jaringan kayu tarik. Jaringan semacam ini
20 tercampur dengan sel-sel normal, dengan proporsi kayu tarik tergantung pada derajat kemiringan batang (Haygreen dan Bowyer 1989). Hal serupa disampaikan oleh Panshin dan de Zeeuw (1980) bahwa kayu tarik dapat terbentuk dengan susunan yang menyebar pada potongan melintang batang atau keberadaannya pada batang sulit dikenali. Hal ini diduga yang menyebabkan keragaman komposisi kimia pada daerah kayu reaksi dengan kecenderungan yang tidak jelas. Tsoumis (1991) menyatakan bahwa kayu tarik mengandung lebih banyak selulosa dari normal. Hal serupa disampaikan oleh Timell (1964) dalam Cote (1965) dengan membandingkan kadar selulosa kayu tarik Eucalyptus goniocalyx F. Muell sebesar 57% sedangkan bagian oppositenya sebesar 44%. Lebih lanjut Meier (1964) dalam Higuchi (1985) membandingkan kadar selulosa kayu tarik Betula verrucosa sebesar 62% sedangkan untuk kayu normalnya sebesar 50%. Sjostrom (1999) menyatakan kadar selulosa kayu tarik umumnya untuk jenis kayu pulp berkisar antara 50 – 65% sedangkan untuk kayu normal berkisar 39 – 45% berdasarkan bobot kering kayu. Tsoumis (1991) mencantumkan bahwa kadar selulosa untuk hardwood normal berkisar antara 31,1 – 64,4%. Casey (1980) menyatakan bahwa kadar selulosa dalam kayu dapat digunakan untuk menaksir besarnya rendemen pulp dan kertas yang diperoleh. Kayu dengan kadar selulosa besar, dengan pengolahan yang tepat dapat menghasilkan rendemen pulp yang tinggi. Kandungan selulosa di atas 40% memberikan gambaran positif sebagai bahan baku untuk pulp dan kertas dengan baik. Jayme dan Harders (1953) dalam Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa kayu tarik memerlukan perhatian khusus dalam proses pembuatan pulp, dan pulp yang mengandung banyak kayu tarik menghasilkan kertas yang lebih lemah daripada pulp normal. Kekuatan pulp kayu tarik dapat sebanding dengan kekuatan pulp kayu normal setelah dikenai perlakuan penghalusan (Haygreen dan Bowyer 1989). Menurut Scurfield (1973) dalam Haygreen dan Bowyer (1989), susunan dinding sel tergantung pada tingkat perkembangan suatu sel tertentu pada saat miringnya batang. Sel-sel yang telah membentuk lapisan-lapisan S1 dan S2
21 dinding sekunder akan segera menghentikan perkembangan yang normal apabila batang miring dan akan berganti dengan perkembangan lapisan-G. Pada kondisi basah, lapisan-G pada kayu tarik tidak terikat seluruhnya dengan dinding sekunder sehingga kekuatan tariknya rendah. Setelah dikeringkan, lapisan-G dapat terikat seluruhnya pada dinding sekunder sehingga kekuatan tariknya tinggi. Situasi ini dapat menjelaskan mengapa kekuatan tarik meningkat pada kayu tarik Populus regenerata setelah dikeringkan, dimana kekuatan tariknya lebih tinggi dari kayu normal yang dikeringkan (Panshin dan de Zeeuw 1980). 4.1.3 Alpha Selulosa Kayu tarik Sengon memiliki kadar α-selulosa lebih rendah dibanding kayu opposite. Besarnya kadar α-selulosa pada bagian kayu tarik sebesar 30,99% dan pada bagian kayu opposite sebesar 32.67% (Tabel 1). Meskipun tidak ada perbedaan yang jelas pada arah melingkar batang, namun kadar α-selulosa mempunyai kecenderungan yang menyerupai kadar selulosa (Gambar 4). Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan kristalin yang mempengaruhi besarnya kadar selulosa dan α-selulosa pada arah melingkar batangnya. Kemurnian selulosa sering dinyatakan melalui parameter α-selulosa. Tetapi, sesungguhnya α-selulosa bukanlah selulosa murni, karena masih ada gula
Kadar α Selulosa %
lain, yaitu manan dan glukomanan yang tahan alkali (Achmadi 1990). 40 38 36 34 32 30 28 26 24 22 20 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 4 Keragaman kadar α-selulosa kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Scaramuzzi dan Vecchi (1968) dalam Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa kayu tarik lebih cocok untuk dissolving pulp dan pulp
22 mekanik. Dissolving pulp adalah pulp yang sangat murni terbuat dengan jalan memisahkan sisa hemiselulosa dan lignin dari pulp kimia. Pulp ini digunakan dalam pembuatan produk selulosa seperti selofan, rayon, dan nitroselulosa. Kayu tarik disukai untuk dissolving pulp karena memberikan rendemen pulp yang tinggi. Untuk kegunaan ini, kekuatan serat secara sendiri-sendiri tidak penting. Dibanding dengan kayu normal, pembuatan kayu tarik secara mekanik menghasilkan pulp dengan kekuatan lebih tinggi dan lebih mudah dilaksanakan karena proporsi lignin dalam kayu tarik lebih rendah. Dissolving pulp merupakan pulp dengan kadar kemurnian tinggi, dengan kadar alpha selulosa berkisar antara 80 – 90% digunakan pada industri rayon, selulosa asetat, cellophane, nitroselulosa, dan turunan selulosa lainnya (Panshin dan de Zeeuw 1980). 4.1.4 Hemiselulosa Kayu tarik Sengon memiliki kadar hemiselulosa lebih tinggi dibanding kayu opposite. Besarnya kadar hemiselulosa pada bagian kayu tarik sebesar 26,69% dan pada bagian kayu opposite sebesar 22,01% (Tabel 1). Data yang diperoleh menunjukkan tidak adanya keteraturan yang jelas dari kadar hemiselulosa pada arah melingkar batang (Gambar 5). Adanya ketidakteraturan kadar hemiselulosa pada bagian kayu mempengaruhi keragaman kadar holoselulosanya. Kadar Hemiselulosa %
30,00 28,00 26,00 24,00 22,00 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 5 Keragaman kadar hemiselulosa kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang
23 Keragaman yang terjadi pada kadar hemiselulosa diduga karena pada jaringan kayu tarik mempunyai kandungan galaktan yang lebih dari normal, dan silan kurang dari normal (Cote 1965). Hal lain yang diduga penyebab keragaman kadar hemiselulosa berupa susunan jaringan kayu tarik yang menyebar. Kadar hemiselulosa dalam hardwood lebih besar dibanding dalam softwood dengan komposisi gulanya yang berbeda. Silan merupakan penyusun utama hemiselulosa pada hardwood yang membentuk 20 – 35% berdasarkan bobot bebas ekstraktif sedangkan glukomanan hanya menyumbang sebesar 3 – 5% dari bobot bebas ekstraktif kayu. Hemiselulosa bukanlah zat antara dalam pembentukan selulosa. Senyawa ini
adalah
heteropolisakarida,
berlawanan
dengan
selulosa
yang
homopolisakarida. Seperti halnya selulosa; fungsi hemiselulosa adalah sebagai bahan pendukung dalam dinding sel. Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen penyusunnya, yang terdiri dari D-glukosa, D-manosa, Dxilosa, asam 4-0-metil-D-glukuronat, dan D-galakturonat (Achmadi 1990). Pari et al. (2001) menyatakan bahwa dalam pembuatan kertas terutama pada waktu penggilingan bubur kayu, peran hemiselulosa sangat penting karena sifat gelatinnya memudahkan terbentuknya sifat hidrofilik pulp sehingga memudahkan terjadinya ikatan antar serat. Untuk produk kertas tertentu seperti kertas transparan, kertas tahan minyak dan kertas pembungkus daging (glasine paper) diusahakan senyawa hemiselulosanya tidak rusak. Hemiselulosa juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi pertumbuhan mikroba, produksi etanol dan makanan ternak. 4.1.5
Lignin Kayu tarik Sengon memiliki kadar lignin lebih rendah dibanding kayu
opposite. Besarnya kadar lignin pada bagian kayu tarik sebesar 23,12% dan pada kayu opposite sebesar 25,47% (Tabel 1). Data yang diperoleh, tidak terdapat keteraturan yang jelas untuk kadar lignin pada arah melingkar batang (Gambar 6). Hal ini diduga karena laju lignifikasi bervariasi dalam kayu tarik dimana dinding selnya sebagian atau sepenuhnya dapat tidak berlignin (Cote 1965).
24
Kadar Lignin %
30,00 27,50 25,00 22,50 20,00 17,50 15,00 0°
60°
120°
180° 240° 300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 6 Keragaman kadar lignin kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Tsoumis (1991) menyatakan bahwa kayu tarik mengandung lignin yang lebih rendah dari kayu normal. Hal serupa disampaikan oleh Timell (1964) dalam Cote (1965) dengan membandingkan kadar lignin kayu tarik Eucalyptus goniocalyx F. Muell sebesar 14% sedangkan bagian oppositenya sebesar 23%. Sjostrom (1998) menyatakan bahwa kadar lignin kayu tarik umumnya untuk jenis kayu pulp berkisar antara 16 – 20% sedangkan untuk kayu normal berkisar antara 20 – 25% berdasarkan bobot kering kayu. Tsoumis (1991) mencantumkan bahwa kadar lignin untuk hardwood normal berkisar antara 14 – 34,6%. Aoyama et al. (2001) membuktikan penurunan kadar lignin yang terjadi pada kayu tarik dengan percobaan pada persemaian Eucalyptus viminalis yang ditanam selama 50 hari dengan batang yang dibengkokan sehingga kayu tarik terbentuk. Selama 50 hari kadar lignin, komposisi monomer, aktivitas enzim peroksida pada kayu tarik dibandingkan dengan bagian oppositenya dan tanaman kontrol yang tumbuh vertikal. Kadar lignin pada kayu tarik mulai menurun setelah 10 hari pada bagian yang dibengkokan dan terus menurun selama 50 hari, dimana pada bagian opposite dan tanaman kontrol hampir tidak berubah. Lignin kayu tarik pada lapisan S1 dan S2 dinding sel mempunyai kadar yang sama dengan kayu normal, karena lapisan S1 dan S2 lebih tipis pada kayu tarik, konsentrasi lignin pada lapisan ini lebih besar dari lapisan yang sama pada serat kayu normal (Panshin dan de Zeeuw 1980). Panshin dan de Zeeuw (1980) menyatakan bahwa kayu tarik pada hardwood memiliki kandungan selulosa yang tinggi dan kandungan lignin serta pentosan yang rendah. Karena hal ini, delignifikasi dan proses bleaching lebih mudah dilakukan pada kayu tarik dari kayu normal. Lignin yang tersisa pada pulp
25 setelah proses bleaching mempengaruhi sifat kertas yang dihasilkan sehingga membuat serat kaku dan mengurangi ikatan permukaan antar serat pada hemiselulosa, yang mengakibatkan kertas berkekuatan rendah dengan opasitas tinggi (Panshin dan de Zeeuw 1980). Kayu yang mengandung lignin lebih dari 30% lebih baik menggunakan proses mekanik dalam pembuatan pulpnya, apabila kadar ligninnya kurang dari 30% proses pembuatan bubur kayunya menggunakan semi kimia (Anonim 1980 dalam Pari et al. 1990). Kandungan lignin yang tinggi dapat mempengaruhi kualitas pulp dan kertas yang dihasilkan, juga dapat menambah pemakaian bahan kimia. Dalam pembuatan pulp kertas diperlukan kadar lignin yang rendah, apabila kandungan lignin tinggi dapat menyulitkan dalam penggilingan dan kertas yang dihasilkan bersifat kaku, berwarna kuning serta mutunya rendah. Sifat kayu tarik yang memiliki kadar lignin yang rendah dapat menguntungkan dalam pembuatan pulp tertentu. Lignin sangat stabil dan sukar dipisahkan serta mempunyai bentuk yang bermacam-macam karenanya susunan lignin yang pasti di dalam kayu tetap tidak menentu. Lignin bersifat termoplastik yang berarti lignin akan menjadi lunak dan dapat dibentuk pada suhu yang lebih tinggi dan keras kembali apabila menjadi dingin. Sifat termoplastik lignin menjadi dasar pembuatan papan serat (hardboard) dan produk kayu lainnya yang dimampatkan (Haygreen dan Bowyer 1989). Lignin yang diperoleh dari larutan sisa pemasak pulp dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, karena mempunyai nilai kalor yang tinggi dibanding dengan nilai kalor kayu, sekitar 6000 kcal / kg. Lignin dapat dimanfaatkan juga sebagai bahan baku pembuatan vanilin untuk industri makanan, dimetilsulfoksida untuk bahan pelarut dalam industri plastik dan selanjutnya apabila lignin dihidrogenasi pada tekanan dan suhu tinggi akan dihasilkan phenol untuk keperluan berbagai industri (Pari dan Hartoyo 1990). Kondisi lignin yang tinggi cocok sebagai bahan konstruksi misalkan sebagai kayu pertukangan, kayu lapis, kayu lamina, papan buatan dan sebagainya. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), dengan bertambahnya kandungan lignin
26 dalam dinding sel akan menimbulkan kekuatan mekanik kayu. Hal ini tidak dimiliki kayu tarik yang memiliki kadar lignin lebih rendah dari normal. 4.2 Komponen Kimia Non-Struktural Kayu Seiring dengan menebalnya dinding sel pada pohon maka akan terbentuk atau diendapkan bahan-bahan anorganik (abu) maupun organik (zat ekstraktif). Dalam proses pembentukan kayu teras (peralihan dari kayu gubal ke kayu teras) akan menimbulkan warna gelap pada sebagian jenis kayu yang disebabkan oleh proses kematian sel-sel kayu gubal (sel parenkim) dihasilkan zat-zat organik (getah, tanin, bahan-bahan phenolat, zat warna, garam-garam, dan sebagainya) yang diresapkan (infiltrasi) dalam dinding sel dan juga rongga sel. Hasil analisis komponen kimia non-struktural seperti yang tercantum di dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi komponen kimia non-struktural kayu yang terdapat di dalam bagian-bagian kayu pada posisi bagian kayu dengan arah melingkar batang bervariasi. Kadar zat ekstraktif yang larut di dalam air baik air dingin maupun air panas, dan kadar zat ekstraktif larut NaOH 1% bagian kayu tarik lebih tinggi dibandingkan kayu oppositenya. Namun kadar zat ekstraktif larut di dalam etanol benzena untuk kayu tarik lebih rendah dibandingkan kayu oppositenya. Tabel 2 Komposisi kimia non-struktural kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Posisi Kelarutan Kelarutan Kelarutan Kelarutan Kadar abu bagian air panas air dingin dalam etanol (%) kayu (%) (%) NaOH 1% benzena (%) (%) 0 0 3,50 3,42 14,74 4,42 0,90 600 3,83 3,61 13,31 4,26 0,80 0 120 2,34 2,21 12,32 3,84 1,01 0 180 3,03 2,98 13,38 4,85 0,95 0 240 2,71 1,98 12,79 3,85 0,83 0 300 2,98 2,21 11,86 5,19 0,81 0 360 3,50 3,42 14,74 4,42 0,90 Rata-rata
3,13
2,92
13,31
Keterangan : 00 : Posisi Kayu Tarik pada dish kayu Sengon 1800 : Posisi Kayu Opposite pada dish kayu Sengon
4,40
0,89
27 Ekstraktif pada kayu daun lebar berada dalam sel parenkim jari-jari yang berhubungan dengan pembuluh. Selain resin, ada juga lemak, lilin, dan sterol, yang susunannya beragam. Secara kimiawi, zat ekstraktif dibagi menjadi 3 subgolongan yaitu senyawaan alifatik (terutama lemak & lilin), terpentena dan terpenoid, serta senyawaan fenolik (Achmadi 1990). Semakin tua umur pohon dan semakin ke arah bagian pangkal, semakin besar kandungan ekstraktifnya. Hal ini dapat dimengerti karena pada kayu yang lebih tua dan ke arah bagian pangkal batang, kandungan kayu terasnya lebih besar. Zat ekstraktif yang merupakan komponen organik yang terletak atau terikat sebagian dalam dinding sel dan juga diendapkan dalam rongga sel, dimana semakin tua umur pohon juga semakin ke arah bagian pangkal batang, sel-selnya sudah menjadi tebal dan kokoh. Panshin dan de Zeeuw (1980) menyatakan bahwa zat ekstraktif dapat mempengaruhi warna atau kecerahan pada pulp, untuk menghilangkannya diperlukan proses bleaching dengan biaya yang mahal. Zat ekstraktif memberikan kontribusi yang besar pada sifat-sifat kayu walau kandungannya pada kayu hanya sejumlah kecil saja. Bau dan warna yang dihasilkan pada kayu teras biasanya disebabkan oleh zat ekstraktif. Kelompok ekstraktif yang sangat penting yang terbentuk secara alami dan mempunyai nilai ekonomis adalah polifenol dan oleoresin. Sofyan (1985) menyatakan bahwa besarnya zat ekstraktif dalam kayu dapat mempengaruhi kualitas pulp dan kertas yang dihasilkan karena dapat meningkatkan pemakaian bahan kimia dan mengurangi efesiensi pemutihan, sehingga dapat menimbulkan bintik hitam pada kertas yang dihasilkan. Selain itu, besarnya zat ekstraktif juga dapat membentuk lapisan penghalang pada permukaan antar kayu dengan bahan perekat dalam pembuatan perekat kayu lapis. Semakin lama kayu disimpan, semakin menurun kadar ekstraktifnya. Untuk proses (pulp) sulfit hal ini menguntungkan, karena menurunkan masalah pitch, tetapi untuk proses sulfat merugikan karena menurunkan produksi terpentin (Achmadi 1990).
28 4.2.1 Kelarutan Kayu dalam Air Dingin Kelarutan kayu dalam air dingin ini menunjukkan besarnya komponen tannin, gum, karbohidrat, dan zat warna yang terlarut dalam pelarut netral. Besarnya kelarutan pada kayu tarik Sengon 3,42% dan pada bagian kayu opposite 2,98% (Tabel 2).
Kelarutan %
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 7 Keragaman kelarutan dalam air dingin kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Berdasarkan grafik pada Gambar 7, kelarutan kayu dalam air dingin tidak mempunyai keteraturan kelarutan berdasarkan arah melingkar batang pada tiap bagian dalam dish. Namun ada kecenderungan perbedaan kadar zat ekstraktif larut ait dingin kayu tarik dan kayu opposite. Tsoumis (1991) mencantumkan bahwa kelarutan kayu dalam air dingin untuk hardwood sebesar 0,2 – 8,9%. 4.2.2 Kelarutan Kayu dalam Air Panas Besarnya kelarutan pada bagian kayu tarik Sengon 3,50% dan pada bagian kayu opposite 3,03% (Tabel 2). Kelarutan dalam air panas lebih besar nilai kelarutannya dibanding kelarutan dalam air dingin. Hal ini disebabkan karena adanya pati yang ikut terlarut dalam air panas. Kelarutan dalam air panas dapat menimbulkan hidrolisa lemah beberapa bagian lignin dan resin, yang menghasilkan asam organik bebas dan metanol dalam filtratnya.
Kelarutan %
29 5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 8 Keragaman kelarutan dalam air panas kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Berdasarkan grafik pada Gambar 8, kelarutan kayu dalam air panas sama seperti kelarutan pada air dingin yang tidak mempunyai keteraturan kelarutan pada tiap bagian dalam dish. Namun ada kecenderungan perbedaan kadar zat ekstraktif larut ait panas kayu tarik dan kayu opposite. sehingga tidak ada perbedaan yang jelas dari kedua jaringan kayu tarik dan kayu opposite. Tsoumis (1991) mencantumkan bahwa kelarutan kayu dalam air panas untuk hardwood normal berkisar antara 0,3 – 11%. Panshin dan de Zeeuw (1980) menyatakan bahwa kandungan pati dan gula pada jaringan kayu tarik menunjukkan jumlah yang lebih rendah dibanding dengan kayu opposite pada potongan melintang batang yang sama. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat serangan biologis oleh organisme yang tergantung pada substansi tersebut untuk perkembangan maupun untuk bertahan hidup. 4.2.3 Kelarutan Kayu dalam NaOH 1% Besarnya kelarutan kayu dalam NaOH 1 % pada bagian kayu tarik Sengon 14,74% dan pada bagian kayu opposite 13,38% (Tabel 2). Proses pelarutan ini mengestrak zat ekstraktif, sebagian lignin, hemiselulosa berbobot molekul rendah, dan selulosa yang terdegradasi. Kelarutan kayu dalam NaOH 1% dapat digunakan sebagai indikator tingkat kelapukan atau kerusakan kayu yang disebabkan oleh serangan jamur pelapuk kayu atau terdegradasi oleh cahaya, panas dan oksidasi. Semakin tinggi kelarutan dalam NaOH, tingkat kerusakan kayu juga meningkat. Besarnya
30 kelarutan dalam NaOH ini dapat menurunkan rendemen pulp dan beberapa sifat kualitasnya (Anonim 1995 dalam Pari et al. 2001). 20,00
Kelarutan %
17,50 15,00 12,50 10,00 7,50 5,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 9 Keragaman kelarutan dalam NaOH 1% kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang
4.2.4 Kelarutan Kayu dalam Etanol-Benzena (1:2) Besarnya kelarutan pada bagian kayu tarik kayu tarik 4,42% dan pada bagian kayu opposite 4,85% (Tabel 2). Gambar 10 menunjukkan ketidakteraturan kelarutan berdasarkan arah melingkar batang pada tiap bagian dalam dish. Namun ada kecenderungan perbedaan kadar zat ekstraktif larut etanol benzene kayu tarik dan kayu opposite. Kelarutan yang terlarut dalam etanol benzena adalah lemak,
Kelarutan %
resin, dan minyak. 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 10 Keragaman kelarutan dalam etanol-benzena kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Kayu tarik Sengon mempunyai kadar ekstraktif yang relatif tinggi dengan kadar >4% sehingga termasuk kelas tinggi untuk kadar ekstraktif. Berdasarkan sifat kimia kayu dalam proses pembuatan pulp, kayu dengan kadar zat ekstraktif
31 kurang dari 5% lebih baik menggunakan proses kimia dalam pembuatan bubur kayunya (Anonim 1980 dalam Pari et al. 2001). 4.2.5 Kadar Abu Kayu Besarnya kadar abu pada bagian kayu tarik Sengon sebesar 0,90% dan pada bagian kayu opposite sebesar 0,95% (Tabel 2). Kadar abu yang ini termasuk kelas komponen sedang karena nilai yang diperoleh berada diantara 0,2 – 6% (Anonim 1976 dalam Pari et al. 1990). Tsoumis (1991) mencantumkan bahwa kadar abu untuk hardwood normal berkisar antara 0,1 – 5,4%. Kadar abu normal berkisar antara 0,1 – 0,5% berdasarkan bobot kering kayu untuk kayu domestik, tetapi dapat juga lebih besar kadarnya. Alkali tanah seperti kalsium, potasium, dan magnesium biasanya berjumlah 70% dari total abu yang ada. Adanya silika dalam jumlah kurang dari 0,5% dari bobot kering kayu dapat menyebabkan tumpulnya alat mesin (Panshin dan de Zeeuw 1980). Hal serupa disampaikan oleh Haygreen dan Bowyer (1989), kayu dengan kandungan silika lebih dari 0,3% (berdasarkan bobot kering kayu) akan menyebabkan alatalat menjadi tumpul. Kandungan silika melebihi 0,5% secara reaktif umumnya terdapat pada kayu hardwood tropis dan pada sejumlah jenis, kandungan ini dapat lebih dari 2% dari beratnya.
Kadar Abu %
1,50 1,25 1,00 0,75 0,50 0,25 0,00 0°
60°
120°
180°
240°
300°
360°
posisi bagian kayu
Gambar 11 Keragaman kadar abu kayu tarik Sengon pada arah melingkar batang Sjostrom (1998) menyatakan bahwa pulp akhir biasanya mengandung sedikit banyak kotoran anorganik yang paling tidak sebagian berasal dari bahan mentah kayu. Jumlah jejak ion logam berat, seperti besi, kobalt, dan mangan, berpengaruh negatif pada proses pengelantangan dan derajat putih pulp akhir.
BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : 1. Kayu tarik Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) memiliki kadar selulosa, kadar hemiselulosa, kadar zat ekstraktif larut dalam air dingin, air panas dan NaOH 1% yang lebih besar dari kayu oppositenya, namun kadar lignin,kadar α-selulosa dan kadar zat ekstraktif larut dalam etanol benzena kayu tarik lebih rendah dari kayu oppositenya. 2. Kadar karbohidrat pada kayu tarik Sengon mempunyai kecenderungan pola yang sama pada arah melingkar batangnya. 3. Komposisi kimia pada posisi kayu tarik arah melingkar batang tidak teratur. Hal ini disebabkan oleh susunan jaringan kayu tariknya yang menyebar dan tercampur dengan sel-sel normal. 5.2 Saran 1. Kayu tarik baik dimanfaatkan untuk pulp mekanik karena kadar lignin yang rendah membuat proses penggilingan lebih mudah dan untuk dissolving pulp mengingat kadar selulosanya tinggi sehingga rendemen yang dihasilkan tinggi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sifat pulp yang terbentuk dari kayu tarik. 2. Ditinjau dari bidang kehutanan, kayu reaksi dapat dikontrol melalui aplikasi perlakuan silvikultur yang melindungi perubahan pohon dari posisi vertikal. Perlakuan tersebut meliputi jarak tanam yang tepat, pembuatan pelindung dari angin (wind barriers), penentuan bonita yang tepat dan penjarangan rutin dengan intensitas yang tepat untuk menghindari gangguan tidak terduga pada pohon. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk jenis kayu Sengon dengan umur, asal tempat tumbuh, faktor kemiringan, dan perlakuan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Aoyama W, A Matsumura, Y Tsutsumi, T Nishida. 2001. Lignification and Peroxidase in Tension Wood of Eucalyptus viminalis Seedlings. Japan : Springer. http://www.springerlink.com/content/g445408w33un4405/?p =d4f3afb9c8 304e0 c86e81645ebe84 7b8&pi=0 (7 Mei 2007) Brown HP, AJ Panshin, CC Forsaith. 1952. Text Book of Wood Technology. Vol. II. New York: Mcgraw Hill Book Company Inc. Browning BL. 1963. The Chemistry of Wood. New York: Interscience Publisher. Casey JP. 1980. Pulp And Paper. New York: Interscience Publisher Inc. Cote WA. 1965. Cellular Ultrastructure of Woody Plants. Proceedings of the Advanced Sciences Seminar Pine Brook Confrence Center Upper Saranac Lake. New York: Syracuse University Press. Feldmar HF. 1978. Conversion of Forest Residue to A Methane Rich Gas. In Proceedings Of Second Annual Symposium On Fuels From Biomass. New York. Fengel D, G Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Walter de Gruyter & Co, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood: Chemistry, Ultrastucture, Reactions. Haygreen JG, JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar. Sutjipto A. Hadikusuma, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Forest Products and Wood Science, An Introduction. Higuchi T. 1985. Biosynthesis and Biodegradation of Wood Components. San Diego: Academic Press. Kolmann FFP, WA Cote. 1968. Principles of Wood Science and Technology I Solid Wood. Berlin-Heidelberg: Springer-Verlag. Mandang Y, IKN Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu Di Lapangan. Bogor : Yayasan Prosea Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan Sumber Daya Manusia Kehutanan. Martawijaya A, I Kartasurjana, Y Mandang, SA Prawira, K Kadir. 1987. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Balai Penelitian Hasil Hutan. Panshin AJ, Carl de Zeeuw . 1980. Text Book of Wood Technology. Vol I Third Edition. New York: Mcgraw -Hill Inc. Pari G, Hartoyo. 1990. Analisis Kimia 9 Jenis Kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan (Forest Product Research Journal) 7;4:130-133.
34 Pari G, D Setiawan, Saepuloh. 2001. Analisis Komponen Kimia dari Kayu Kurang Dikenal dari Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 4: 203-206. Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu. Dasar-Dasar Penggunaan. Edisi Kedua. Hardjono S, penerjemah; Soenardi P, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood Chemistry : Fundamentals and Applications. Sjostrom E, R Allen. 1999. Analytical Methods of Woods Chemistry, Pulping, And Papermaking. Springer. http://Books.Google.Id/Books/books?id =U0k4NcbbNSC&printsec=frontcover&dq=wood+chemistry&psp=1 &hl=en (7 Mei 2007) Sofyan K. 1985. Peranan Perlakuan Venir dan Teknik Perekatan Terhadap Keteguhan Rekat Kayu Kamper dan Meranti Putih. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sofyan K, DS Nawawi, T Priadi. 1993. Sifat Pulp Jenis-Jenis Cepat Tumbuh. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. TAPPI. 1990. TAPPI Test Methods 1991. Atlanta. TAPPI. Press. Tsoumis G. 1991. Science And Technology Of Wood: Structure, Properties, Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold.
Lampiran Data Rata-rata Struktural dan Non Struktural Kayu Tarik Sengon Posisi bagian kayu
Kadar Air (%)
00 600 1200 1800 2400 3000 3600 Rata2
6,81 6,27 6,47 6,41 7,27 6,33 6,81 6,62
Kelarutan Kelarutan Kelarutan Kelarutan Kadar Kadar Kadar Kadar Air Panas Air dalam Etanol Holoselulosa Selulosa Alpha Hemiselulosa (%) Dingin NaOH Benzena (%) Selulosa (%) (%) (%) 1% (%) (%) (%) 3,50 3,83 2,34 3,03 2,71 2,98 3,50 3,13
3,42 3,61 2,21 2,98 1,98 2,21 3,42 2,92
14,74 13,31 12,32 13,38 12,79 11,86 14,74 13,31
Keterangan : 00
: Posisi Kayu Tarik pada dish kayu Sengon 0
180
: Posisi Kayu Opposite pada dish kayu Sengon
4,42 4,26 3,84 4,85 3,85 5,19 4,42 4,40
71,60 62,09 65,89 66,74 70,06 69,77 71,60 68,25
44,91 42,82 44,94 44,72 44,93 46,56 44,91 44,83
30,99 29,80 31,37 32,67 33,65 33,45 30,99 31,85
26,69 19,27 20,95 22,01 25,13 23,21 26,69 23,42
Kadar Lignin (%)
Kadar Abu (%)
23,12 20,08 24,24 25,47 25,28 24,00 23,12 23,40
0,90 0,80 1,01 0,95 0,83 0,81 0,90 0,89