ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Oleh : Anggun Eka Nugraha Putra A 14101658
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ANGGUN EKA NUGRAHA PUTRA. Analisis Sistem Tataniaga Kayu Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangannya (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). (Di Bawah Bimbingan HARIANTO ). Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan tingkat kenanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat tinggi sehingga termasuk salah satu negara mega-biodiversity. Keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya, telah memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah hutan. Hutan memiliki fungsi tangiable (dapat diukur dari segi ekonomi) dan intangiable (sulit diukur dari segi ekonomi). Fungsi hutan yang tangiable adalah sebagai penghasil bahan baku untuk berbagai keperluan bagi masyarakat seperti untuk kayu gergajian, kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu energi. Fungsi hutan yang termasuk fungsi Intangiable yaitu hutan berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi, penyeimbang ekosistem dan ekologi, pencegah bencana alam (erosi, longsor dan banjir), tempat rekreasi alam, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa. Tujuan penelitian yaitu, Menganalisis sistem tataniaga kayu gergajian jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek pengembangan budidaya tanaman Sengon oleh masyarakat di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2005 di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer berdasarkan kuisioner yang meliputi karakteristik petani, jenis kayu, harga beli, harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah produksi, sumber pembelian, arah penjualan, tujuan pembelian, dan teknik pengangkutan. Data sekunder meliputi informasi keadaan umum, letak geografis dan informasi lain yang berkaitan yang diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten Bandung, Dinas Kehutanan Jawa Barat, Kantor Kecamatan Cililin, Kantor Kelurahan, dan Perpustakaan. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif meliputi pengamatan lokasi, karakteristik petani, sistem budidaya, struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial budaya, dan aspek teknik dan teknologi. Sedangkan analisis kuantitatif melihat keragaan pasar dengan pendekatan analisis marjin tataniaga, analisis ekonomi budidaya kayu Sengon yang meliputi perhitungan B/C (Benefit and cost ratio) , IRR (Internal rate of return), dan NPV (Net present value). Umumnya jenis kayu yang diperdagangkan di wilayah penelitian Kecamatan Cililin adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau disebut kayu Albazia.
Jenis kayu lainnya; kayu Afrika (Maesopsis eminii),
Mahoni (Swetinia mahagoni), Manglid (Maglonia blumei), Jati (Tectona grandis), Suren (Toona sureni), dan Nangka (Arthocarpus heterophyllus). Jenis kayu pada tingkat Industri Penggergajian Kayu (IPK) dihasilkan bermacam-macam ukuran seperti; tiang, papan, kaso, kusen, palang, reng dan palet. Beberapa cara yang digunakan dalam proses penjualan kayu diantaranya; Petani menawarkan langsung kayu kepada tengkulak atau pengolah; Tengkulak atau pengolah telah mengamati kebun-kebun kayu milik masyarakat sebelumnya; Tengkulak dan pengolah mendapatkan informasi dari masyarakat lainnya. Sistem pembayaran yang diggunakan pada tingkat tengkulak dan pengolah adalsh cara tunai sebanyak 62,96 persen dan cara mencicil 11,11 persen, dan sisanya 25,93 persen menggunakan cara keduanya. Struktur pasar yang terbentuk berdasarkan jumlah antara lembaga pemasaran dan petani adalah struktur persaingan tidak sempurna (Imperfect competitive market). Lembaga tataniaga kayu Sengon pada wilayah penelitian adalah; Petani Sengon, Tengkulak kayu, Pengolah kayu, Industri Penggergajian Kayu (IPK), Pedagang penampung dan Material. Secara umum saluran tataniaga kayu Sengon di Kec.Cililin dapat dikelompokkan menjadi tujuh saluran tataniaga, yaitu; Saluran I (Petani, Tengkulak, dan Pedagang Penampung). Saluran II (Petani, Tengkulak, Industri Penggergajian Kayu (IPK), dan Material). Saluran III (Petani, Pengolah, dan Pedagang Penampung). Saluran IV (Petani, Pengolah, dan Material). Saluran V (Petani, Industri, dan Material. Saluran VI Petani,
Tengkulak, Industri Penggergajian Ka yu (IPK), Pedagang
Penampung). Dan
yang terakhir saluran VII (Petani, Tengkulak, dan Industri luar daerah). Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani dan pelaku pasar lainnya dalam pemasaran kayu Sengon di Kecamatan Cililin diantaranya adalah; Masih rendahnya pengetahuan petani tentang tata cara bertani atau berkebun kayu Sengon (budidaya, pemanenan, penaganan pasca panen) yang baik, Terbatasnya akses informasi pasar oleh petani; Kualitas dan jumlah kayu yang dipanen masih rendah, Petani tidak memiliki kelompok kerja antara sesama petani atau dengan pelaku tataniaga lainnya sebagai tempat untuk bertukar pengalaman mengenai budidaya, pemasaran, atau masalah pertanian lainnya. Saluran yang paling banyak digunakan adalah saluran tataniaga I (Petani– Tengkulak–Pedagang Penampung). Dengan marjin tataniaga tengkulak sebesar 36,51 persen dan keuntungan sebesar 154,05 persen, sedangkan Farmer’s share petani sebesar 63,40 persen dengan keuntungan sebesar 29,22 persen. Nilai rata-rata marjin keuntungan terbesar diperoleh pengolah sebesar Rp 46.488.10/m3 , diikuti oleh Industri Penggergajian Kayu (IPK) sebesar Rp 40.666.67/m3 , kemudian tengkulak sebesar Rp 36.916.67/ m3 , tengkulak sebesar Rp 35.375.00/m3 dan yang terendah Petani sebesar Rp 28.132.19/ m3. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa sistem tataniaga kayu gergajian jenis Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung belum efisien karena tidak adanya pembagian keuntungan yang merata antara pelaku tataniaga yang terlibat. Usaha budidaya Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung layak untuk dilakukan karena berdasarkan nilai B/C ratio lebih dari 1 (satu), yaitu sebesar 3,34, dengan nilai NPV positif sebesar 1. 242.738, dan nilai IRR sebesar 39,85 persen lebih besar dari r yang diinginkan. Saran yang dapat diberikan diantaranya perlu diadakannya pelatihan budidaya tanaman Sengon bagi petani secara terpadu, sehingga diharapkan usahatani tersebut dapat memiliki produktivitas hasil yang tinggi dan dapat meningkatkan keuntungan petani. Untuk meningkatkan efisiensi sistem tataniaga kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, perlu dibentuk kelompok tani sebagai wadah bagi petani untuk mengetahui informasi pasar, mendapatkan bantuan modal dan teknologi budidaya yang digunakan.
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Oleh : Anggun Eka Nugraha Putra A 14101658
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama
: Anggun Eka Nugraha Putra
Nrp
: A 14101658
Program Studi : Ekstensi Manajeman Agribisnis Judul Skripsi
: Analisis Sistem Tataniaga Kayu Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangannya (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan pada Program Sarjana Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Harianto, MS Nip. 131 430 801
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Nip. 130 422 698
Tanggal Kelulusan 23 Januari, 2006
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2006
Anggun Eka Nugraha Putra A 14101658
RIWAYAT HIDUP
Penulis terlahir dari pasangan Drs. H. Aan Supriatna, MM dan Hj. I. Rohiyah, S.Ag, pada hari Rabu, tanggal 25 Juni 1980, di Kota Bandung tepatnya di Desa Bongas Cililin. Penulis terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dengan nama adik kandung Indah Dwi Kartini Putri. Penulis mengikuti Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Ciherang V Sindang Barang Ciomas Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di SLTPN 7 Kotamadya Bogor dan lulus pada tahun 1995, setelah itu Penulis melanjutkan Pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negeri di SMUN 7 Kotamadya Bogor, dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis di terima sebagai mahasiswa di Program Diploma III Budidaya Hutan Tanaman Jurusan Manajeman Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana pada Program Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor periode pada hari tahun 2003/2004. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif berorganisasi di lingkungan akademik ataupun masyarakat. Beberapa organisasi kepemudaan yang pernah diikuti dan dipimpin adalah; sebagai Ketua Himpunan Karang Taruna di lingkungan tempat tinggal; Ketua Himpunan Forum Komunikasi (FORKOM) Mahasiswa Diploma III Fakultas Kehutanan IPB dan Wakil Ketua Senat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB periode tahun 1999-2000; Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama; dan aktif sebagai anggota pada Himpunan Mahasiswa Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor periode 2003-2004; saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rakhmat dan karunia -Nya yang telah diberikan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangnnya (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan pendidikan pada Program Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor tahun ajaran 2005/2006 yang disusun berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh penulis selama melakukan penelitian dan studi literatur yang ada kaitannya dengan usahatani kayu Sengon. Selama menyusun skripsi ini, penulis dapat bimbingan, dukungan, serta dorongan yang tidak sedikit dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, semoga segala perhatian yang diberikan, dilimpahkan rakhmat dan karunia dari Allah SWT. Amiin. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi para pembaca.
Bogor, Januari 2006
Penulis
i
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahku Drs. H. Aan Supriatna, MM dan Bundaku tercinta Hj. I. Rohiyah, SAg, yang telah memberikan ilmu, do’a, materi, motivasi dan kesabarannya. 2. Untuk Nenekku, dan seluruh Keluarga besar di Desa Bongas Cililin, Bandung. Atas do’a, kasih sayang dan sajiannya. Untuk Adikku Indah Dwi Kartini Putri atas semua perhatiannya. 3. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan menyumbangkan ilmunya untuk membantu Penulis dalam menyusun skripsi. 4. Ibu Ir. Yayah K. Wagiono, MEc, sebagai dosen Layak Uji dan Ketua Program Sarjana Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 5. Ibu Ir. Ratna Winandi. MS, selaku dosen Eva luator pada Kolokium Skripsi. 6. Bapak Muhammad Firdaus. SP. MSi, sebagai dosen Penguji Utama pada Sidang Skripsi. 7. Ibu Tanti Novianti, SP. MSi, sebagai dosen Penguji Akademik pada Sidang Skripsi. 8. Saudara Andri Purna, sebagai Pembahas Seminar. 9. Seluruh Staf Sekretariat Ekstensi Manajemen Agribisnis Pertanian Institut Pertanian Bogor. 10. Teman dekatku tercinta “Eceu” atas kesetiaan mendampingi, semangat dan kasih sayangnya selama ini. 11. Seluruh teman dan sahabatku, Uyunk ‘geulis atas ide cemerlangnya, Alimi ‘doth, Adi ‘ndut, Rully ‘boun, Eka Cianjur dan Welly atas keceriaanya. 12. Tim Sepakbola dan Futsal atas keringatnya, dan seluruh sahabat kuliah yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR........................................................................................
i
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. ii DAFTAR ISI....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................viii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .........................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................4 1.3. Tujuan ......................................................................................................7 1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian ..................................................7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tataniaga .................................................................................................8 2.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga ..............................................................9 2.3. Struktur Pasar...........................................................................................11 2.4. Perilaku Pasar...........................................................................................12 2.5. Efisiensi Tataniaga ...................................................................................12 2.6. Marjin Tataniaga ......................................................................................14 2.7. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria ) ...............................................16 2.7.1. Botani dan Ekologi.......................................................................17 2.7.2. Penanaman ...................................................................................18 2.7.3. Kegunaan .....................................................................................18 2.8. Studi Penelitian Terdahulu .......................................................................20 2.9. Prospek Pengembangan Sengon (Paraserianthes falcataria ) .................22
III. METODE PENELITIAN 3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................23
iii
3.2. Jenis dan Pengumpulan Data. ..................................................................23 3.3. Penentuan Responden..............................................................................24 3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 24 3.4.1. Analisis Lembaga Tataniaga dan Saluran Tataniaga……… ........ 25 3.4.2. Analisis Struktur Pasar..................................................................25 3.4.3. Analisis Marjin Tataniaga ……………………………. ...............25 3.4.4. Analisis Efisiensi Tataniaga………….......................................... 26 3.4.5. Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran...........................................27 3.4.6. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Budaya.......................................28 3.4.7. Analisis Aspek Teknis dan Teknologi ..........................................28 3.4.8. Analisis Aspek Keuangan (Financial) ..........................................28 3.4.8.1. NPV(Net Present Value) ..............................................................28 3.4.8.2. IRR(Internal Rate of Return) .......................................................29 3.4.8.3. B/C Ratio(Benefit and Cost Ratio)...............................................29 3.5. Kerangka Operasional………….............................................................. 29
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian......................................................................................33 4.2. Sarana Perekonomian...............................................................................35 4.3. Jenis Tanaman Pertanian..........................................................................36 4.4. Sarana Sosial Budaya dan Transportasi...................................................36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Jenis dan Bentuk Kayu yang Diperdagangkan ........................................ 38 5.2. Lembaga Tataniaga dan Distribusi Kayu.................................................41 5.3. Cara Pembelian dan Pembayaran.............................................................42 5.4. Harga dan Struktur Pasar .........................................................................44 5.5. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon Yang Terjadi .................................46 5.6. Saluran Tataniaga dan Marjin Tataniaga .................................................48 5.7. Marjin Keuntungan..................................................................................51 5.8. Hubungan antara Pelaku Tataniaga dengan Saluran Tataniaga ..............54 5.9. Hubungan antara Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan Total Keuntungan ............................................................ 56
iv
5.10. Efisiensi Tataniaga ................................................................................ 58 5.11. Masalah Yang Dihadapi Petani dan Pelaku Pasar .................................59
VI. PROSPEK PENGEMBANGAN BUDIDAYA KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) 6.1. Aspek Pasar dan Pemasaran ...................................................................61 6.2. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ........................................................ 62 6.3. Aspek Teknis dan Teknologi ...................................................................62 6.4. Aspek Keuangan (Finansial) ...................................................................63 6.4.1. NPV (Net Present Value) ..............................................................67 6.4.2. IRR (Internal Rate of Return) .......................................................67 6.4.3. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio) ..............................................69
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan..............................................................................................70 7.2. Saran ......................................................................................................71 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................72 LAMPIRAN………….........................................................................................74
v
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Data Jumlah Kebutuhan Kayu Bulat dan Gergajian Propinsi Jawa barat........ 4 2. Karakteristik Struktur Pasar .............................................................................26 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Kecamatan Cililin ..............................34 4. Luas Tanaman dan Jumlah Produksi per ton di Kecamatan Cililin .................36 5. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Ciilin ..............................................37 6. Bentuk dan Jenis Kayu Olahan Dalam Berbagai Macam Ukuran di Kecamatan Cililin .............................................................................................39 7. Sistem Pembayaran Kayu Sengon oleh Tengkulak dan Pengolah di Kecamatan Cililin .........................................................................................43 8. Persentase Jumlah Lembaga Pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan Cililin .........................................................................................44 9. Harga Rata-rata Kayu Gelondongan (log) di Kecamatan Ciilin ......................45 10. Marjin Tataniaga (M), Farmer’s share (FS) dan Rasio keuntungan (RK) .....50 11. Marjin Keuntungan Pelaku Pasar di Kecamatan Cililin ..................................53 12. Hubungan Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan Total Keuntungan di Kecamatan Cililin ..........................................................57 13. Penerimaan dan Keuntungan Usahatani Kayu Sengon Dalam 5000m2 ..........64 14. Analisis Biaya Usahatani Kayu Sengon Dalam 5000m2 di Kecamatan Cililin........................................................................................ 66 15. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 30% ..........................67 16. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 40% ..........................68 17. Perhitungan Interpolasi Present value dengan r = 30 dan r = 40 ...................68 18. Perhitungan B/C Ratio Pada Usahatani Kayu Sengon di Kecamatan Cililin........................................................................................ 69
vi
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga serta Marketing Cost dan Charges ..........................................................................15 2. Skematika Konsep Utama Kerangka Penelitian...............................................32 3. Saluran Tataniaga Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005...................................54
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Biaya Produksi Kebun Sengon di Kecamatan Cililin .............................................. 74 2. Saluran Tataniaga I Kayu Sengon di Kecamatan Cililin.......................................... 76 3. Saluran Tataniaga II Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ........................................ 77 4. Biaya Tataniaga Saluran I dan II Kayu Sengon di Kecamatan Cililin..................... 78 5. Biaya dan Saluran Tataniaga III Kayu Sengon di Kecamatan Cililin...................... 79 6. Saluran dan Biaya Tataniaga IV Kayu Sengon di Kecamatan Cililin...................... 80 7. Saluran dan Biaya Tataniaga V Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ....................... 81 8. Saluran Tataniaga VI Kayu Sengon di Kecamatan Cililin....................................... 82 9. Biaya Tataniaga Saluran VI dan VII Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ............... 83 10. Saluran dan Biaya Tataniaga VII Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ................... 84 11. Sistem Pembayaran Pengolah dan Tengkulak, Jumlah Penduduk Menurut Matapencaharian di Kecamatan Cililin .................................................... 85 12. Analisis Biaya Budidaya Kayu Sengon Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ......... 86 13. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005 ............................................................................................. 87
viii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan tingkat kenanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat tinggi sehingga dimasukkan ke dalam salah satu negara mega-biodiversity. Keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya, telah memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Hutan memiliki fungsi tangiable (dapat diukur dari segi ekonomi) dan intangiable (sulit diukur dari segi ekonomi). Fungsi hutan yang tangiable adalah sebagai penghasil bahan baku untuk berbagai keperluan bagi masyarakat seperti untuk kayu gergajian, kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu energi. Sedangkan fungsi hutan yang termasuk fungsi Intangiable yaitu hutan berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi, penyeimbang ekosistem dan ekologi, pencegah bencana alam (erosi, longsor dan banjir), tempat rekreasi alam, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa. Pada masa awal pembangunan Indonesia, eksploitasi sumber daya hutan hanya berorientasi pada timber based management yang menitikberatkan pada manfaat untuk menghasilkan devisa Negara. Memasuki Abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks yaitu Indonesia dikenal sebagai negara dengan laju pengurangan luas hutan alam yang terbesar di dunia. Data menunjukkan laju pengurangan luas hutan tersebut di Sumatera mencapai 2 persen per tahun, di Jawa mencapai 0,42 persen per tahun,
2
di Kalimantan mencapai 0,94 persen per tahun, di Sulawesi mencapai 1 persen per tahun dan di Irian Jaya mencapai 0,7 persen per tahun. Pengurangan luas hutan tersebut terja di akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan penggundulan hutan (deforestasi). Beberapa studi menunjukkan laju degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia mencapai rata -rata 1-1,5 juta hektar per tahunnya 1. Hal tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan. Fungsi-fungsi lingkungan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan, beranekaragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan menjadi rusak dan hilang, yang terjadi saat ini adalah banjir di beberapa daerah serta kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap. Selain itu laju kerusakan yang tinggi mengakibatkan sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi kayu yang sangat berarti dari tahun ke tahun. Disisi lain permintaan untuk kebutuhan kayu perumahan, pulp, gergajian, energi, dan bahan baku lainnya meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dampaknya adalah persediaan kayu yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan. Berdasarkan hasil paduserasi Tata Guna Hutan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang dituangkan kedalam keputusan Gubernur Jawa Barat nomor 17, luas potensi sumber daya hutan di Propinsi Jawa Barat seluas 784.119 ha, atau sekitar 22,57 persen dari luas daratan Jawa Barat. Luas tersebut terdiri dari hutan produksi 295.635 ha, hutan lindung 210.138 ha. Selain kawasan hutan hasil paduserasi, di Jawa Barat terdapat hutan milik atau hutan rakyat seluas 98.127,78 ha. Berdasarkan aspek pengelolaan, kawasan hutan seluas 792.467 ha atau sekitar 79,19 persen dari luas kawasan hutan Jawa 1
WWW.dephut.goid/informasi/peta%20tematik/DEFOREST.HTM-4k.
3
Barat sepenuhnya dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sisanya berupa kawasan konservasi seluas 208.267 ha atau sekitar 20,81 persen dari luas kawasan hutan Jawa Barat yang terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh unit-unit pengelolaan Taman Nasional. Berdasarkan data mengenai jumlah kebutuhan kayu bulat dan kayu gergajian di Propinsi Jawa Barat pada Tabel 1, besarnya jumlah kebutuhan kayu di wilayah Jawa Barat sangat tergantung kepada Perum Perhutani sebagai lembaga resmi yang bekerja sama dengan Pemerintah dalam pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu. Sejak lima tahun lalu kebutuhan kayu diperkirakan mencapai sekitar lima juta meter kubik per tahun. Sedangkan, produksi kayu bulat Perhutani setiap tahun rata-rata hanya satu juta meter kubik. Pada 1999, produksi kayu bulat Perhutani tercatat 1,8 juta meter kubik. Pada 2000 menurun menjadi 1,6 juta meter kubik. Penurunan produksi itu membuat Perhutani menurunkan target tebangan tahun 2003, menjadi 931.503 meter kubik, dan tahun 2004 diturunkan lagi menjadi 847.320 meter kubik. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industri maupun perorangan di Jawa semakin hari kian meningkat. Pasokan dari pulau lain dipastikan tidak mencukupi, karena arus pembangunan fisisk yang membutuhkan bahan baku kayu dalam jumlah banyak. Kebutuhan kayu bulat tahun 2001 jumlahnya semakin menurun dibandingkan denagan tahun-tahun sebelumnya. Menurunnya jumlah kebutuhan kayu bulat untuk Perum Perhutani tersebut sesuai dengan kebijakan Departemen Kehutanan yang menerapkan kebijakan untuk mengurangi dan menghentikan sementara kegiatan pemanenan atau penebangan kayu rimba di wilayah Perum Perhutani unit III Jawa Barat. Kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi dampak
4
yang kerusakan alam disebabkan menurunnya daya dukung alam bagi lingkungan sekitarnya sehingga terjadi bencana alam seperti tanah longsor, banjir, dan kekeringan. Selain itu juga ditujukan untuk mengembalikan potens i tegakan kayu sehingga volume kayu yang dipanen meningkat2. Disisi lain berbeda dengan kondisi kebutuhan kayu bulat pada Perum Perhutani yang semakin menurun, jumlah kebutuhan kayu untuk kayu gergajian semakin meningkat. Sesuai data Dirjen Pengusahaan Hutan yang terdapat pada Tabel 1, Pada tahun 2000 jumlah kebutuhan kayu gergajian sebesar 501.000.00/ m3 , kemudian meningkat menjadi 702.356.30/m 3, pada tahun 2001.
Tabel. 1. Data Jumlah Kebutuhan Kayu Bulat dan Gergajian Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2001 JENIS KEBUTUHAN KAYU (m3) KAYU BULAT KAYU GERGAJIAN 1995 Jawa Barat 0 7.889.81 Perum Perhutani 1.869.850.44 0 1996 Jawa Barat 0 44.969.71 Perum Perhutani 1.949.203.24 1997 Jawa Barat 374.340.17 45.930.02 Perum Perhutani 1.821.297 1998 Jawa Barat 0 145.020.13 Perum Perhutani 2.027.682.19 1999 Jawa Barat 0 444.877.10 Perum Perhutani 1.890.900.78 2000 Jawa Barat 0 501.000.00 Perum Perhutani 897.615.38 2001 Jawa Barat 0 702.356.30 Perum Perhutani 1.455.403 Sumber : Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan (2003) TAHUN
PROPINSI/LEMBAGA KEHUTANAN
Sumber daya hutan memiliki keterbatasan untuk memperbaharui alam yang ada didalamnya. Daya regenerasi hutan lebih rendah apabila dibandingkan dengan tingkat pemanfaatan sumber daya kayu untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Semakin tinggi kebutuhan akan sumber daya hutan, maka akan 2
WWW.grenomies.org/docs%semi201004_hutan.doc
5
semakin berkurang potensi sumber daya hutan tersebut, dan apabila kondisi ini semakin hari semakin tidak terkendali maka kondisi ekosistem hutan akan menjadi rusak dan luas kawasan hutan akan semakin berkurang karena adanya kegiatan ekploitasi dan konversi areal hutan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya. (Soerianegara, 1996). Pertimbangan ekonomi dalam hal ekploitasi, produksi dan konsumsi harus diimbangi dengan pertimbangan ekologi dalam hal regenerasi, rehabilitasi dan konservasi. Kecepatan ekploitasi sumber daya hutan harus seimbang dengan kecepatan tumbuh dari sumber daya hutan tersebut. Ekploitasi sumber daya hutan banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya adalah untuk bahan baku kayu gergajian. Di daerah pedesaan dan perkotaan telah banyak tersebar industri-industri kayu gergajian dengan menggunakan jenis bahan baku kayu yang berbeda. Di daerah pedesaan seperti di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, jenis bahan baku yang umum digunakan adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria).
1.2. Perumusan Masalah Kayu Sengon terkenal murah dan mudah dalam penggunaanya sebagai kayu gergajian. Di wilayah Kecamatan Cililin, harga kayu Sengon sangat tergantung terhadap kualitas dan kuantitasnya di alam. Dengan meningkatnya jumlah industri penggergajian kayu, kebutuhan pasokan bahan baku kayu Sengon akan semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan awal di lokasi penelitian, Kecamatan Cililin memiliki kondisi lingkungan alam yang subur dengan kondisi topografi lahan yang berbukit. Kondisi lingkungan ini sangat sesuai untuk
6
tanaman Sengon sehingga dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi kondisi tersebut belum didukung oleh sistem budidaya yang baik oleh petani sebagai produsen kayu. Petani di Kecamatan Cililin masih mengandalkan bibit Sengon yang tumbuh liar di alam dengan tingkat keberhasilan tumbuhnya yang rendah. Oleh karena itu pengamatan mengenai prospek pengembangan budidaya Sengon mulai dari pembibitan sampai dengan pemasaran hasil kayu sangat penting. Dengan diketahuinya tingkat kelayakan budidaya Sengon di wilayah tersebut, diharapkan dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dan pengusaha untuk berinvestasi menanam kayu Sengon. Dis isi lain, secara tidak langsung hal ini juga dapat membantu meningkatkan keuntungan petani kayu Sengon di tempat penelitian. Petani sebagai produsen kayu di Kecamatan Cililin belum menganggap tanaman Sengon sebagai suatu komoditi yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah petani yang mengelola kebunnya dengan baik. Terbatasnya kemampuan petani dalam budidaya Sengon menjadi salah satu penyebab mereka kurang memiliki daya saing dalam menawarkan kayu Sengon, sehingga volume kayu dan keuntungan dari hasil penjualan yang didapatnya sedikit. Harga kayu yang dijual lebih ditentukkan oleh para tengkulak dan memposisikan petani sebagai penerima harga (price taker). Posisi tersebut mengakibatkan peran tengkulak lebih menonjol dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan petani. Walaupun kondisi tersebut adalah kondisi yang umumnya terjadi dalam suatu usahatani, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh mengenai sistem tataniaga yang sedang terjadi saat ini sehingga dapat diketahui apakah sistem tataniaga tersebut sudah efisien atau belum.
7
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu : 1. Menganalisis sistem tataniaga kayu jenis Sengon di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung. 2. Menganalisis prospek pengembangan budidaya tanaman Sengon oleh masyarakat di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.
1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi kegiatan tataniaga kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan budidaya tanaman di persemaian, penanaman, pemanenan, distribusi, dan proses jual beli. Termasuk kedalamnya analisis pendapatan dan biaya usahatani serta data mengenai jumlah dan fungsi saluran serta lembaga tataniaga yang terlibat seperti produsen dan konsumen akhir. Konsumen akhir dalam penelitian ini diartikan sebagai sekelompok orang atau individu yang membeli kayu untuk diperjual belikan dengan cara dirubah bentuknya ataupun disesuaikan dengan kebutuhan para pengguna. Manfaat pe nelitian yang diharapkan adalah sebagai referensi bagi penelitian mengenai sistem tataniaga kayu Sengon selanjutnya, dan acuan untuk Pemerintah Daerah dalam rangka pengembangan budidaya Sengon secara terpadu di kebun-kebun masyarakat, serta acuan bagi pengusaha yang ingin berinvestasi pada usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tataniaga Definisi tataniaga menurut Kohls, R.L. (1967) adalah keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam upaya menyalurkan produk atau jasa mulai dari titik produksi sampai ketangan konsumen. Tataniaga merupakan suatu kegiatan manusia yang diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran, yaitu meliputi kegiatan untuk memindahkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen (Kotler,1990). Pengertian tataniaga dapat dilihat dengan pendekatan manajerial (aspek pasar) dan aspek ekonomi. Berdasarkan aspek manajerial, tataniaga merupakan analisis perencanaan organisasi, pelaksanaan dan pengendalian pemasaran untuk menentukkan kedudukan pasar. Sedangkan berdasarkan aspek ekonomi, tataniaga merupakan distribus i fisik dan aktivitas ekonomi yang memberikan fasilitasfasilitas untuk begerak, mengalir dan pertukaran komponen barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Selain itu tataniaga merupakan kegiatan produktif karena meningkatkan, menciptakan nilai guna bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan. Dengan demikian tataniaga pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong, 1997).
9
Dalam menganalisis sistem tataniaga Khols, R.L. (1967), selanjutnya mengemukakan beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu : 1. Pendekatan Fungsi (the fungsional approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi tataniaga apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Fungsifungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar). 2. Pendekatan Kelembagaan (the institutional approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui berbagai macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku itu adalah pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur; dan organisasi lainnya yang terlibat. 3. Pendekatan Sistem (the behavior system approach) Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan, untuk mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam tataniaga dan kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power system, dan the communication system.
2.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga Hanafiah dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana
10
barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Saluran tataniaga merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan produk oleh produsen kepada konsumen. Saluran tataniaga sangat penting terutama untuk melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pertanian dan harga jual produk di pasaran. Panjang pendeknya saluran tataniaga suatu produk pertanian tergantung kepada beberapa faktor yaitu ; 1. Jarak dari produsen ke konsumen Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen akan cenderung menciptakan saluran tataniaga yang panjang dengan aktivitas dan pelaku bisnis yang lebih banyak. 2. Sifat komoditas Produk yang cepat rusak membutuhkan saluran tataniaga yang relatif pendek agar dapat segera sampai ke konsumen untuk diolah atau dikonsumsi. 3. Skala produksi Skala produksi yang semakin besar menyebabkan saluran tataniaga akan semakin banyak melibatkan sejumlah lembaga tataniaga. Dengan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan dalam penyaluran produk sehingga saluran yang akan dilalui cenderung lebih panjang. 4. Kekuatan modal yang dimiliki Produsen dengan modal yang besar cenderung memiliki saluran tataniaga yang pendek karena fungsi tataniaga yang dapat dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan produsen yang modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang dengan modal yang besar cendrung memperpendek saluran TN.
11
2.3. Struktur Pasar Struktur pasar (market structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran seperti size atau concentration , deskripsi produk dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan sebagainya (Limbong, 1997). Struktur pasar dicirikan oleh konsentrasi pasar, differensiasi produk, dan kebebasan keluar-masuk pasar. Dalam analisis sistem tata niaga, struktur pasar sangat diperlukan karena secara otomatis akan dijelaskan bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan selanjutnya akan menunjukkan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku pasar (market performance) yang ada dalam sistem tataniaga tersebut. Hammond dan Dahl (1977), menetapkan empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu; Jumlah atau ukuran perusahaan, Kondisi atau keadaan komoditas, Kondisi keluar masuk perusahaan, dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga. Berdasarkan strukturnya, pasar digolongkan menjadi dua yaitu Pasar bersaing sempurna dan bersaing tidak sempurna. Pasar bersaing sempurna jika terdapat banyak pembeli dan penjual, setiap pembeli maupun penjual hanya menguasai sebagian kecil dari barang dan jasa, sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar (price taker), barang atau jasa homogen serta pembeli dan penjual bebas keluar masuk pasar (freedom to entry and to exit). Sedangkan pasar tidak ber saing sempurna dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penjual dan pembeli. Dari sisi pembeli terdiri dari pasar monopsoni, oligopsoni, dan sebagainya. Dari sisi penjual terdiri dari pasar persaingan monopolistik, monopoli, oligopoli dan sebagainya.
12
2.4. Perilaku Pasar Perilaku pasar menunjukkan tingkah laku perusahaan dalam struktur pasar tertentu, terutama bentuk-bentuk keputusan apa yang harus diambil dalam menghadapi berbagai struktur pasar. Perilaku pasar meliputi kegiatan penjualan, pembelian, penentua n harga dan strategi tataniaga. Perilaku pasar dapat dilihat dari proses pembentukan harga dan stabilitas pasar, serta ada tidaknya praktek jujur dari lembaga yang terlibat dalam tataniaga (Azzaino,1983).
2.5. Efisiensi Tataniaga Kohls, R.L.(1967), menjelaskan bahwa untuk memahami efisiensi tataniaga harus terlebih dahulu memahami tataniaga sebagai suatu aktifitas bisnis yang ditujukan untuk menyampaikan suatu produk kepada konsumen. Output dari aktifitas tataniaga adalah kepuasan konsumen terhadap suatu produk dan jasa, sedangkan input-nya adalah semua sumber daya usaha yang meliputi tenaga kerja, kapital, dan manajemen yang digunakan perusahaan dalam proses produksi. Sehingga efisiensi tataniaga dapat diartikan sebagai maksimisasi dari rasio inputoutput, atau efisiensi dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang menyebabkan berkurangnya biaya input pada suatu pekerjaan tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari keluaran suatu produk atau jasa. Efisiensi dalam pengertian sederhana merupakan keluaran (output) yang optimum dari penggunaan seperangkat masukan (input). Hanafiah dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa pengertian efisiensi tataniaga akan berbeda tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Pengertian efisiensi tataniaga yang dimaksud oleh pengusaha tentunya akan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh
13
konsumen. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan kepentingan antara pengusaha dan konsumen. Pengusaha menganggap suatu sistem tataniaga efisien apabila penjualan produknya mendatangkan keuntunga n yang tinggi baginya, sebaliknya konsumen menganggap sistem tataniaga tersebut efisien apabila konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah. Suatu perubahan yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen akan output barang atau jasa me nunjukkan suatu perbaikan tingkat efisiensi tataniaga. Sebaliknya suatu perubahan yang dapat mengurangi biaya input tetapi juga mengurangi kepuasaan konsumen menunjukkan suatu penurunan tingkat efisiensi tataniaga. Banyak cara yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi tataniaga yaitu dengan cara sebagai berkut : 1. Menghilangkan persaingan yang tidak bermanfaat, 2. Mengurangi jumlah pedagang perantara pada saluran, 3. Membuka metode cooperative, 4. Memberi bantuan kepada konsumen, 5. Standarisasi dan implikasi. Untuk melihat efisiensi dapat dengan dua konsep yaitu pertama, dengan konsep analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar serta konsep kedua yaitu dengan konsep rasio input-output. Penggunaan konsep yang kedua yaitu dengan rasio input-output menghadapi kesulitan dalam pengukuran kepuasan konsumen, sehingga pengukuran tingkat efisiensi tataniaga dilakukan melalui pendekatan lain yaitu melalui efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional menekankan pada keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen akibat perubahan tempat, bentuk dan waktu yang diukur
14
melalui keterpaduan pasar yang terjadi akibat pergerakan komoditas dari satu pasar ke pasar lainnya. Sedangkan efisiensi harga menekankan kepada kemampuan meminimumkan biaya yang dipergunakan untuk menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen atau kemampuan meminimumkan biaya untuk menyelenggarakkan fungsi-fungsi tataniaga. Efisiensi harga dapat didekati dengan perhitungan biaya dan marjin tataniaga. Istilah bia ya tataniaga yang dimaksud adalah mencakup jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga untuk pelaksanaan kegiatan pemasaran produk. Biaya tataniaga suatu produk biasanya diukur secara kasar dengan marjin. Pada pengukuran efisiensi ekonomis, margin tataniaga sering digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui efisiensi dari sistem tataniaga tersebut (Hanafiah dan Saefudin. 1983).
2.6. Marjin Tataniaga Marjin adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang terjadi pada suatu tingkat yang berbeda dalam sistem tataniaga. Pada suatu perusahaan istilah marjin merupakan uang yang ditentukkan secara internal accounting , yang diperlukan untuk menutupi biaya dan laba, dan ini merupakan perbedaan antara harga pembelian dan penjuala n. Hanafiah dan Saefudin (1983) Hammond dan Dahl (1977) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr). Marjin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan mengenai jumlah produk yang dipasarkan. Marjin tataniaga juga dapat digambarkan sebagai jarak vertikal antara kurva permintaan atau kurva penawaran. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
15
Nilai Marjin Tataniaga Harga
= (Pr-Pf).Qr,f Sr
Pr Marjin Tataniaga { (Pr-Pf)
Sf Pf
Dr Df
0
Qr,f
Marketing Costs (pembayaran untuk faktor -faktor produksi)
Marketing Charges (pembayaran untuk lembaga tataniaga)
Gaji/Upah Bunga Sewa Keuntungan
Pengecer Grosir Pengolah Pengumpul
Gambar 1. Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga serta Marketing Costs dan Charges. Sumber: Hammond dan Dahl (1977) Keterangan : (Pr-Pf), Qr,f
= Nilai marjin tataniaga
Pr
= Harga di tingkat pedagang pengecer
Pf
= Harga di tingkat petani
Sr
= Suplai di tingkat pengecer (derived supply)
Sf
= Suplai di tingkat petani (primary supply)
Dr
= Permintaan di tingkat pengecer (derived demand)
Df
= Permintaan di tingkat petani (primary demend)
Qr,f
= Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan tingkat pengecer
16
Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa terbentuknya marjin tataniaga merupakan hasil perkalian antara selisih harga di dua tingkat lembaga tataniaga (Pr-Pf) dengan jumlah komoditas yang dipasarkan (Qr,f). Nilai marjin tataniaga pada dasarnya dapat dianalisis berdasarkan dua aspek kajian, yaitu (Marketing cost) biaya tataniaga dan (Marketing charges) beban tataniaga. Biaya tataniaga merupakan semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam menyampaikan komoditas dari titik produsen ke konsumen dan beban tataniaga merupakan penerimaan yang diperoleh lembaga tataniaga sebagai imbalan dari menyelenggarakan fungsi-fungsi tataniaga.
2.7. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Budi, S.H. (1992), menyatakan bahwa Sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Untuk pertama kalinya pada tahun 1871, Teysmann menemukan Tanaman Sengon di pedalaman Pulau Banda, yang kemudian dibawa ke Kebun Raya Bogor. Dari kebun inilah kemudian Sengon tersebar ke berbagai daerah mulai dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Irian Jaya. Pada saat ini Sengon juga dijumpai di Negara Filipina, Malaysia, Srilanka, dan India. Dengan nama biasa atau nama ilmiah apapun yang dikenal, kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan pohon serbaguna yang berharga untuk daerah tropis beriklim lembab. Species ini juga merupakan salah satu species yang dapat digunakan sebagai kayu plup, kayu bakar, pohon hias, naungan (kopi, teh dan ternak sapi) dan produk kayu lainnya. Pemanfaatan potensial yang sedang di uji coba dalam penanaman hutan adalah dengan sistem tumpang sari.
17
2.7.1. Botani dan Ekologi Paraseriamthes falcataria termasuk keluarga Leguminosae (sub-keluarga Mimosoideae). Jenis ini sudah dikenal luas dengan nama yang lamanya, Albizia falcataria, atau juga pernah di sebut A. moluccana dan A. Falcata ”Falcate”, artinya melengkung seperti sabit sesuai dengan bentuk daunnya. Ranting daun berpasang-pasangan, panjang antara 23-30 cm. Bunganya berwarna putih gading, polongnya tipis, rata, panjang 10-13 cm dengan lebar 2 cm. Falcataria termasuk pohon besar hingga mencapai ketinggian 24-30 m, dengan diameter 80 cm. Jika di tempat terbuka akan membentuk tajuk yang besar berbentuk payung. Pada penanaman sebanyak 1000-2000 pohon/ha, tajuk akan menyempit, karena membutuhkan banyak cahaya. Setelah berumur 3-4 tahun akan memproduksi biji secara teratur dalam jumlah banyak. Sengon tumbuh secara alami di Indonesia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon dari 10ºLS-30ºLU. Dalam habitat alamiahnya bisa tumbuh dari permukaan laut sampai 1200 m. Dengan curah hujan 2000-4000 mm, serta musim kemarau kurang dari dua bulan dengan suhu antara 22ºC-34ºC. Meski lebih menyukai tanah basa (NAS 1983 dalam Budi 1992), namun dapat pula tumbuh baik pada tanah masam. Berdasarkan hasil analisa korelasi dan regresi ganda memperlihatkan bahwa kedalaman lapisan tanah atas merupakan indikator yang paling penting untuk kualitas tempat tumbuh Sengon. Akar Sengon relatif menguntungkan dibandingkan akar pohon lainnya. Akar tunggangnya cukup kuat menembus ke dalam tanah. Sementara itu akar rambutnya tidak terlalu besar, dan tidak semrawut. Akar rambut tersebut akan dimanfaatkan oleh pohon induknya untuk menyimpan zat nitrogen, oleh sebab itu tanah di sekitar pohon Sengon akan menjadi subur (Budi, S.H. 1992).
18
2.7.2. Penanaman Pada umumnya tanaman Sengon diperbanyak dengan biji. Biji tersebut dapat dibeli di penangkar benih, kios-kios pertanian, ataupun dicari di bawah pohon induk. Jumlah biji Sengon sebanyak 42000 per kg dengan perkecambahan biji mudah dan hanya membutuhkan perendaman air semalam. Agar perkecambahan seragam, biji-biji tersebut dapat dimasukan dalam air panas atau dalam masam belerang pekat (H2SO4) selama 10 menit, dilanjutkan dengan perendaman dalam air selama 15 menit. Anakan Sengon ditanam setelah tiga bulan di persemaian dan akan tumbuh dengan cepat di lahan (NAS, 1983 dalam NFTA World Education. 1991). Penanaman Sengon diawali dengan pengaturan jarak tanam dan pembuatan lubang tanam. Jarak tanam untuk produksi kayu Pulp dengan waktu rotasi antara 6-8 tahun adalah 3 m x 3 m. Jika yang diinginkan kayu tebangan untuk papan, pada umur 6-8 tahun tegakan dapat dijarangkan sampai 6 m x 6 m dan dipanen pada umur 15 tahun. Pada lahan yang lebih subur, umumnya jarak tanam untuk produksi kayu Pulp 4 m x 4 m. Dari penelitian tentang jarak tanam yang lebih rapat ditemukan bahwa pertumbuhan dengan jarak 2 m x2 m secara signifikan lebih cepat di bandingkan dengan 1 m x 1 m. Adapun ukuran lubang tanman panjang 30 cm x 30 cm x 30 cm.
2.7.3. Kegunaan Bagian terpenting yang bernilai ekonomis pada tanaman Sengon adalah kayunya. Sengon lebih dikenal sebagai tana man Pulp. Kegunaan lainnya, yaitu sebagai serat dan bahan papan, peti kemas, kotak-kemasan, korek api, sumpit,
19
mebel ringan. Kayunya sukar di gergaji dan tidak kuat atau tidak tahan lama. Tajuknya yang jarang memberikan naungan untuk tanaman kopi, teh, dan cokelat. Disamping itu, berfungsi pula sebagai tanaman penahan angin bagi pohon pisang. Pada percobaan di Pulau Hawaii memperlihatkan besarnya kegunaan dalam sistem tumpang sari dengan Eucalyptus , terutama di daerah basah. Dalam penanaman Eucalyptus bersama Sengon dengan perbandingan 50 : 50 pada jarak tanam 2m x 2m, sesudah berumur 4 tahun berukuran 1,3 m. Pepohonan Eucalyptus akan memperlihatkan hasil 58 persen lebih tinggi dan 55 persen lebih besar, dibandingkan dengan tegakan Eucalyptus saja. Dalam percobaan campuran Sengon 34 persen dan 50 persen
Eucalyptus, total biomasa yang dihasilkan
Eucalyptus dan Sengon akan sama atau lebih baik dari pada penanaman jenis Eucalyptus saja (Schubert, dkk.1998 dalam NFTA World Education.1991). Sengon juga berpotensi dalam alley farming. Di Indonesia, pada percobaan di tanah asam (pH 4,2) yang ditanam dalam larikan-larikan dengan jarak 4 m, menghasilkan pupuk hijau (bahan kering) 2-3 ton/ha/tahun. Penggunaannya sebagai pupuk hijau akan meningkatkan produksi kopi 4 kali lipat, apabila dibandingkan dengan plot pembanding. Namun pada tahun 1988 muncul keprihatinan akan keberlanjutan pertumbuhannya dalam sistem Alley cropping (Evensen, komunikasi pribadi). Sengon di tanam sebagai pohon hias, meski jarang hidup lebih dari 50 tahun dan cabang-cabangnya yang rapuh dapat menjadi masalah di daerah yang banyak angin. Raharjo dan Cheke (1985) dalam NFTA World Education (1991), melaporkan bahwa daunnya disukai kelinci, di Samoa Barat, Philipina dan Jawa, kayunya dimanfaatkan seba gi kayu bakar dan di tanam di kebun pekarangan bersama dengan tanaman merambat dan buah-buahan.
20
2.8. Studi Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian mengenai kayu Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu gergajian dan sistem tataniaga produk pertanian pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa judul penelitian yang pernah diteliti diantaranya adalah ; Firman, N.S.(1998), melakukan penelitian mengenai Analisis Efisiensi Tataniaga
Mangga
Cengkir,
Arumanis,
dan
Gedong.
Hasil
penelitian
menunjukkan marjin tataniaga di lokasi penelitian tidak merata dengan marjin terbesar pada pengepul dan Pedagang Antar Kota (PAK). Struktur pasar di tingkat petani, tengkulak dan PAK dari sisi pembeli termasuk ke pasar oligopsoni. Sedangkan struktur pasar di tingkat pengepul dan pedagang grosir (PG) dari sisi penjual adalah pasar oligopoli. Dari hasil analisis marjin tataniaga dan keterpaduan pasar disimpulkan sistem tataniaga di lokasi penelitian belum efisien. Maryatun (1999), melakukan penelitian mengenai Analisis Biaya dan Pemasaran (Marketing Margin) Kayu Gergajian di DKI dengan studi kasus di daerah Kalibaru. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang profil perdagangan yang berada di wilayah Kalibaru, mengidentifikiasi lembaga -lembaga yang terlibat dan menentukan efisiensi saluran tataniaganya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran kayu gergajian di Kalibaru adalah; distributor, pedagang besar dan pengecer. Tingkat pengecer pada kayu Borneo Kalimantan merupakan tingkat tataniaga yang efisien secara ekonomi, sedangkan kayu Keruing pada tingkat distributor adalah jenis kayu yang efisien secara operasional. Harviana (1999), dalam penelitiannya mengenai Peningkatan Nilai Tambah Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Melalui Penggunaannya Sebagai
21
Bahan Baku Industri Penggergajian Kayu dan Medium Density Fiberboard (MDF), mengemukakan bahwa bahan baku MDF bisa dihasilkan dari limbah industri penggergajian kayu (laminated board) karena tidak memerlukan persyaratan ya ng tinggi. Nilai tambah per satuan m3 log untuk industri MDF dengan harga semula Rp 43.560,- mengalami peningkatan sebesar Rp 134.168,dan industri laminated board dengan harga semula Rp 66.000,- mengalami peningkatan sebesar Rp.128.844,-. Jika satu hektar tanaman Sengon menghasilkan 150 m3 nilai tambah log/ha untuk MDF Rp 20.125.238,- dan untuk laminated board Rp 19.326.624,-. Nilai NPV laminated board Rp 149.160,-/m3 dan nilai internal rate of return (IRR) untuk industri sebesar 47,5 persen dan industri MDF sebesar 42,0 persen, 26,5 persen dan 20,0 persen pada tingkat harga yang berbeda. Tingkat suku bunga yang diisyaratkan sebesar 10 persen, sehingga berdasarkan IRR industri tersebut layak untuk dilaksanakan. Pada tahun (2000), Gunawan, J. Meneliti mengenai Pemanfaatan Limbah Industri Penggergajian Untuk Balok Laminasi. Tujuan yang ingin dicapai yaitu membuat kayu berlapis majemuk dengan perekat (balok laminasi) dengan memanfaatkan sebetan yang banyak mengandung kayu gubal atau potongan kayu ukuran kurang. Berdasarkan hasil penelitian produk ini memiliki keunggulan komparatif berupa harga pokok yang rendah dan bisa memanfaatkan limbah kayu. Berbeda dengan kajian penelitian terdahulu, studi mengenai analisis efisiensi tataniaga kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) belum pernah dilakukan sebelumnya. Kelebihan penelitian ini, selain melihat efisiensi sistem tataniaga yang terjadi, juga dikaji mengenai prospek pengembangan budidaya kayu Sengon di wilayah penelitian.
22
2.9. Prospek Pengembangan Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria) Dalam melakukan pengembangan suatu jenis usaha perlu terlebih dahulu menilai dan mempertimbangkan usaha tersebut di masa yang akan datang. Penilaian di sini tidak lain adalah memberikan rekomendasi apakah usaha tersebut layak untuk dilakukan atau tidak. Untuk mengukur kelayakan tersebut secara umum ada beberapa aspek yang akan dikaji, yaitu meliputi; aspek hukum, aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi, aspek manajemen, dan aspek keuangan. (Suratman, 2002). Aspek hukum berkaitan dengan keberadaan secara legal dimana usaha tersebut akan dilaksanakan yang meliputi ketentuan hukum yang berlaku termasuk perizinan, badan hukum yang diusulkan, dan sebagainya. Aspek sosial ekonomi budaya mencakup pengaruh usaha terhadap pendapatan nasional, penambahan dan pemerataan kesempatan kerja, dampak pergeseran hidup masyarakat setempat dan lain sebagainya. Aspek pasar dan pemasaran berkaitan dengan adanya potensi pasar dari produk yang akan di pasarkan, analisis kekuatan pesaing yang
mencakup
program
pemasaran
yang
akan
dilakukan,
estimasi
penjualan yang memungkinkan dapat diraih (market share). Aspek teknis dan teknologi berkaitan dengan pemilihan lokasi proyek, pemilihan jenis mesin atau peralatan lain sesuai dengan kapasitas produksi yang akan digunakan termasuk lay-out dan pemilihan teknologi yang sesuai. Aspek manajemen berkaitan dengan manajemen dalam pembangunan usaha dan manajemen dalam operasionalnya. Dan yang terakhir aspek keuangan berkaitan dengan dari manasumber dana yang akan diperoleh dan proyeksi pengembaliannya dengan tingkat biaya modal dari sumber dana yang bersangkutan.
23
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2005 di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan kedekatannya terhadap bahan baku kayu, dan banyaknya industri gergajian yang tersebar disekitar wilayah penelitian.
3.2. Jenis dan Pengumpulan Data Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung di lapangan. Wawanca ra dilakukan berdasarkan kuisioner yang meliputi pertanyaan mengenai karakteristik petani, jenis kayu, harga beli, harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah produksi, sumber pembelian, arah penjualan, tujuan pembelian, dan teknik pengangkutan. Kuisioner tersebut diberikan kepada individu atau kelompok yang terlibat dalam saluran tataniaga kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin, yaitu meliputi petani sebagai produsen kayu, pengusaha seperti pemilik material ataupun pemilik industri penggergajian kayu, lembaga Pemerintah yang terlibat seperti Perum Perhutani ataupun Penyuluh Kehutanan, dan masyarakat sekitar sebagai konsumen. Sedangkan data sekunder meliputi informasi mengenai keadaan umum, letak geografis dan informasi lain yang berkaitan dengan objek penelitian yang diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten Bandung, Dinas Kehutanan Jawa Barat, Kantor Kecamatan Cililin, Kantor Kelurahan, dan Perpustakaan.
24
3.3. Penentuan Responden Responden
penelitian
ditentukan
secara
sengaja
(purposive) dengan
melakukan penelusuran saluran tataniaga mulai dari tingkat petani sampai ke tingkat konsumen akhir. Penentuan responden diambil berdasarkan informasi dari responden sebelumnya sehingga jalur tataniaga tersebut tidak terputus. Responden petani diambil di wilayah sekitar Ke camatan Cililin, meliputi petani yang memiliki kebun yang sedang atau telah ditanami kayu Sengon dan petani yang memproduksi bibit Sengon untuk digunakan sendiri atau untuk dijual. Responden konsumen meliputi semua orang baik individu ataupun kelompok yang melakukan pembelian kayu Sengon di wilayah penelitian.
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan pengamatan terhadap keadaan lokasi, karakteristik petani, sistem budidaya, struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial budaya, dan aspek teknik dan teknologi. Struktur pasar yang diamati didekati dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, kebebasan untuk keluar masuk pasar, penentuan harga dan sumber informasi. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat keragaan pasar dengan pendekatan analisis marjin tataniaga, analisis ekonomi budidaya kayu Sengon yang meliputi perhitungan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return) , B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio).
25
3.4.1. Analisis Lembaga Tataniaga dan Saluran Tataniaga Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi lembaga–lembaga dan saluran tataniaga yang digunakan dalam pemasaran kayu Sengon. Identifikasi tersebut meliputi identitas, fungsi, dan tata cara lembaga–lembaga tersebut dalam rangka memasarkan kayu Sengon sampai kepada konsumen akhir.
3.4.2. Analisis Struktur Pasar Analisis struktur pasar ditujukan untuk mengetahui kondisi persaingan diantara produsen dan konsumen kayu yang terdapat di wilayah penelitian. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Struktur Pasar Karakteristik Jumlah
Sifat Produk
Struktur Pasar Sisi Penjual
Sisi Pembeli
Partisipan Banyak
Standar
Persaingan murni
Persaingan murni
Banyak
(Homogen)
Persaingan
Persaingan
Differensiasi
monopolistik
Monopolistik
Beberapa
Standar
Oligopoli murni
Oligopsoni murni
Beberapa
Differensiasi
Oligopoli
Oligopsoni
differensiasi
differensiasi
Monopoli
Monopsoni
Satu
Unik
Sumber : Hammond dan Dahl, 1997
3.4.3. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan pembelian pada setiap tingkat lembaga yang terlibat dalam tataniaga kayu Sengon. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biayabiaya tataniaga dan keuntungan yang diterima lembaga tataniaga. Secara
26
matematis hubungan antara marjin tataniaga, biaya tataniaga dan keuntungan lembaga tataniaga dapat dinyatakan sebagai berikut : Mi Mi Hji – Hbi
= Hji – Hbi, dan = Bi + ði , sehingga = Bi + ði
Keterangan : Mi
= Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
Hji
= Harga penjualan pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
Hbi
= Harga pembelian pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
Bi
= Biaya tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
ði
= Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)
i
= 1,2,3.....n.
Penyebaran marjin tataniaga kayu Sengon dapat juga dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Perhitungan dilakukan dengan mempergunakan rumus : Rasio Biaya – Keuntungan (%) =
ði x 100 % Bi
Keterangan :
ði = Keuntungan tataniaga lembaga ke -i (Rp/kg) Bi = Biaya tataniaga lembaga ke-i (Rp/kg)
3.4.4. Analisis Efisiensi Tataniaga Analisis efisiensi tataniaga dilakukan dengan cara menilai sistem tataniaga kayu Sengon berdasarkan kriteria yang telah umum digunakan. Kohls, R.L. (1967), menjelaskan kriteria yang digunakan untuk mengukur efisiensi tataniaga dapat berdasarkan dua pendekatan yaitu melalui efisiensi operasional dan efisiensi
27
harga. Efisiensi operasional menekankan pada keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen akibat perubahan tempat, bentuk dan waktu yang diukur melalui keterpaduan pasar yang terjadi akibat pergerakan komoditas dari satu pasar ke pasar lainnya. Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan meminimumkan biaya yang dipergunakan untuk menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen atau kemampuan meminimumkan
biaya
untuk
menyelenggarakkan fungsi-fungsi tataniaga.
Berdasarkan kedua kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu sistem tataniaga dianggap efisien apabila sebagai berikut : 1. Mampu menyampaikan produk atau jasa dari produsen ke konsumen dengan biaya yang murah tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari keluaran produk atau jasa tersebut. Biaya tataniaga suatu produk biasanya diukur secara kasar dengan marjin. Pada pengukuran efisiensi ekonomis marjin tataniaga sering digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui efisiensi dari sistem tataniaga. 2. Adanya pembagian yang merata dari harga yang diberikan konsumen akhir kepada seluruh lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut.
3.4.5. Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran Kajian aspek pasar dan pemasaran berkaitan dengan ada tidaknya potensi pasar dan peluang pasar kayu Sengon untuk diperjualbelikan di masa yang akan datang. Aspek ini melihat secara umum bagaimana cara memasarkan hasil kayu Sengon, kemana kayu Sengon tersebut akan dijual, dan siapa yang akan membelinya. Selain itu juga melihat bagaimana kondisi harga dan pasar yang berlaku pada saat itu.
28
3.4.6. Analisis Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Aspek ini mengkaji mengenai dampak usaha pengembangan budidaya Sengon terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Secara umum dari sisi ekonomi apakah usaha tersebut dapat menambah atau justru mengurangi pendapatan penduduk setempat. Dari sisi sosial dengan adanya kegiatan usaha tersebut apakah wilayah sekitarnya semakin ramai, jalan semakin baik, bertambahnya fasilitas umum atau tidak dan sebagainya. Dari sisi budaya, apakah dengan adanya kegiatan usaha tersebut ada pergeseran perilaku masyarakat dari adat kebiasaan.
3.4.7. Analisis Aspek Teknis dan Teknologi Kajian aspek teknis dan teknologi menitikberatkan pada penilaian atas kelayakan usaha pengembangan kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung dari sisi teknis dan teknologi. Penilaian tersebut meliputi kelayakan lokasi penanaman, keberadaan alat dan peralatan, teknologi yang diterapkan, serta kesiapan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja.
3.4.8. Analisis Aspek Keuangan (Financial) 3.4.8.1. NPV (Net Present Value) Untuk mengetahui apakah usulan investasi suatu proyek layak atau tidak layak dilaksanakan yaitu dengan cara mengurangkan antara Present valu e (nilai saat ini) dan aliran kas bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis dengan Initial investment (kas awal). Jika nilai NPV proyek positif, maka proyek tersebut dinyatakan layak, sedangkan jika nilai NPV proyek tersebut negatif maka dinyatakan tidak layak.
29
3.4.8.2. IRR (Internal Rate of Return) Untuk mengetahui suatu usulan investasi proyek layak atau tidak digunakan dengan cara membandingkan antara IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan (Inexpected rate of return). Perhitungan dilakukan dengan mencari discount rate yang dapat menyamakan present value dari aliran kas dengan present value dari investasi atau kas awal (Initial investment).Cara sederhana untuk mencari nilai IRR adalah dengan teknik interpolasi, dengan terlebih dahulu mencari nilai present value hasil NPV yang berlawanan arah yaitu NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif.
3.4.8.3. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio) Perhitungan B/C ratio adalah untuk mengetahui apakah dengan suatu pengorbanan tertentu akan diperoleh manfaat. Usulan investasi akan diterima atau layak untuk dikembangkan apabila nilai B/C ratio mempunyai nilai lebih dari 1 (satu). Adapun rumus yang digunkan adalah sebagai berikut : B/C ratio =
Manfaat yang telah dinilai sekarang Pengorbanan yang telah dinilai sekarang
3.5. Kerangka Operasional Penelitian Hutan sebagai salah satu sumber daya alam memiliki manfaat bagi kehidupan makhluk di dunia, manfaat tersebut sesuai dengan fungsi hutan yang dapat diukur dengan nilai ekonomi (fungsi tangiable) dan tidak dapat diukur dengan nilai ekonomi (fungsi intangiable ). Dengan fungsinya yang ekonomis, hutan telah memberikan manfaat berupa hasil hutan kayu dan non kayu. Hasil hutan kayu berupa kayu bulat (gelondongan atau log) dan berbagai jenis kayu sisa hasil tebangan. Hasil hutan kayu tersebut digunakan sebagai bahan baku pada industri-industri kayu gergajian, yang kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku
30
kayu pertukangan dan juga kayu energi. Kayu pertukangan umumnya digunakan untuk pembuatan tiang, papan, palang, bahan baku meubel serta berbagai macam jenis kebutuhan kayu lainnya. Kebutuhan dan permintaan bahan baku kayu gergajian sangat tergantung terhadap kualitas, kuantitas, dan harga kayu. Berdasarkan kualitas, bahan baku kayu tersebut harus sesuai dengan bentuk fisik yang diinginkan. Berdasarkan kuantitas, bahan baku kayu tersebut harus tersedia dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendadak. Sedangkan berdasarkan harga, bahan baku kayu tersebut harus memiliki harga yang terjangkau oleh konsumen. Salahsatu bahan baku kayu yang digunakan untuk industri kayu gergajian di wilayah Kecamatan Cililin, kabupaten Bandung yaitu jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau dikenal dengan nama daerah kayu Albisia atau Jengjen. Banyaknya jumlah kayu Sengon yang tumbuh alami di wilayah Kecamatan Cililin menjadikan kayu Sengon sebagai pilihan utama untuk industri penggergajian. Hal ini yang menjadikan kebutuhan kayu di wilayah tersebut semakin meningkat dari hari kehari. Akan tetapi disisi lain peningkatan kebutuhan kayu tersebut tidak dapat diimbangi oleh pasokan bahan baku yang tersedia di alam yang semakin hari jumlahnya semakin menurun. Berdasarkan pengamatan awal di wilayah penelitian, masih sedikit jumlah petani sebagai produsen kayu yang mengelola kebun-kebun Sengon-nya dengan baik. Umumnya asal bibit Sengon yang tumbuh liar di sekitar kebun dibiarkan saja tanpa ada perawatan khusus yang diberikan, kalaupun ada hanya sebatas membersihkan tanaman dari gulma (tanaman liar atau pengganggu). Petani beranggapan bahwa hasil penjualan kayu Sengon hanya merupakan pendapatan sampingan sehingga mereka enggan untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk
31
pemeliharaan kebun. Kurangnya motivasi petani untuk membudidayakan tanaman Sengon secara terpadu di wilayah Kecamatan Cililin, dan adanya penurunan jumlah pasokan bahan baku kayu Sengon dari alam menjadi hal yang menarik untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai prospek pengembangan kayu Sengon di kebun-kebun milik masyarakat. Selain itu untuk mengetahui kondisi sistem tataniaga kayu Sengon di wilayah penelitian, perlu juga dikaji lebih jauh mengenai bagaimana tingkat efisiensi sistem tataniaga kayu Sengon yang sedang terjadi saat ini. Pengukura n tingkat efisiensi tataniaga tersebut dilakukan dengan pendekatan marjin tataniaga dan sistem tataniaga yang ada, yaitu dengan mengidentifikasi lembaga tataniaga dan jalur tataniaga kayu Sengon serta kondisi harga yang belaku di tingkat produsen dan konsumen di wilayah penelitian. Kajian mengenai efisiensi sistem tataniaga dan prospek pengembangan kayu Sengon tersebut dirasakan penting sebagai salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas hasil panen kayu petani sehingga dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Dengan diketahuinya tingkat efisiensi sistem tataniaga kayu yang terjadi, maka selanjutnya diharapkan dapat dirumuskan beberapa alternatif strategi pengembangan pertanian sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
32
SUMBERDAYA HUTAN
Fungsi Tangiable (dapat diukur dengan nilai Ekonomi)
Hasil Hutan Non Kayu - Rekreasi, getah, air, rotan, buah-buahan dll.
Kualitas, Kuantitas dan Harga
-
Prospek pengembangan budidaya kayu Sengon Analisis aspek pasar dan pemasaran Analisis aspek sosial, ekonomi dan budaya Analisis aspek teknis dan teknologi Analisis aspek keuangan (financial) - IRR - NPV - Net B/C Ratio
Fungsi Intangiable (sulit diukur dengan nilai ekonomi)
Hasil Hutan Kayu - Hasil kayu bulat (log) dan kayu sisa hasil tebangan.
Industri Kayu Gergajian - Suplai bahan baku untuk kayu pertukangan dan energi
Bahan Baku Kayu Gergajian di Kecamatan Cililin - Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
Analisis Sistem Tataniaga - Lembaga dan jalur tataniaga kayu Sengon
Analisis Marjin Tataniaga - Selisih harga di tingkat produsen dan konsumen
Hasil : Efisien atau Tidak ? Layak atau tidak?
Efisien atau layak
Tidak Efisien atau tidak layak
- Sebagai referensi untuk pengembangan budidaya kayu Sngon. - Masukan bagi sistem Tataniaga kayu jenis lainnya. - Dapat dikembangkan budidaya Sengon secara intensif.
- Perlu dirumuskan sistem tataniaga yang lebih efisien sebagai masukan bagi produsen, pengusaha, konsumen, dan Dinas Kehutanan Daerah. - Perlu dikaji lebih jauh mengenai alternatif cara untuk pengembangan Sengon.
Gambar 2. Skematika Konsep Utama Kerangka Penelitian
33
BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian Wilayah Kecamatan Cililin berada pada ketinggian 600 mdpl, dengan suhu maksimum minimum 28°C-13°C. Curah hujan di wilayah Kecamatan Cililin sebesar 700 mm/t dengan uj mlah hari hujan sebanyak 120 hari. Jarak pusat pemerintahan Kecamatan dari Kelurahan yang terjauh sejauh 10 km atau sekitar 2 jam perjalanan darat. Ibukota kabupaten berjarak 21 km atau sekitar 1 jam perjalanan darat. Ibukota propinsi 39 km atau 2 jam perjalanan darat. Luas wilayah Kecamatan Cililin terdiri atas tanah sawah, tanah hutan, dan tanah fasilitas umum. Tanah sawah tersebar seluas 1109,2 ha yang terdiri atas irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tanah sawah tadah hujan. Sedangkan untuk tanah hutan terdiri atas tanah hutan lebat, dan hutan sejenis seluas 795 ha. Untuk tanah fasilitas umum seluas 16642,04 ha, digunakan untuk keperluan lapangan olah raga, taman rekreasi, jalur hijau, dan pemakaman. Wilayah Kecamatan Cililin terdiri atas 11 Desa dengan Dusun sebanyak 28, jumlah Rukun Warga (RW) sebanyak 85 RW, dan Rukun Tetangga (RT) sebanyak 338 RT. Jumlah Kepala Keluarga di Kecamatan Cililin sebanyak 16.884 KK, dengan didominasi kaum laki-laki sebanyak 32.184 orang dan kaum perempuan sebanyak 32.184 orang. Jumlah penduduk berdasarkan usia didominasi oleh penduduk berumur 25-55 tahun dan jumlah penduduk yang paling sedikit yaitu penduduk berumur 80 tahun keatas. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
34
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Kecamatan Cililin tahun 2005 No
a.
b.
c.
Golongan Umur (tahun) 0-6 7-12 13-18 19-24 25-55 56-79 80 tahun keatas 0-4 5-9 11-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40 tahun keatas 0-5 6-16 17-25 26-55 56 tahun keatas
Jumlah (orang) 8419 7469 6913 6994 27488 4951 920 5894 6930 4874 5442 5935 4805 4747 4715 20304 7097 13350 10838 26702 6184
Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung. Jenis pekerjaan yang umumnya dimiliki oleh penduduk Kecamatan Cililin adalah sebagai Petani yaitu sebanyak 8.838 orang dan pedagang yaitu sebanyak 2007 orang. Jenis pekerjaan sebagai Petani dipilih karena selain kondisi lingkungan alam yang subur juga merupakan jenis pekerjaan yang diturunkan dari keluarga sebelumnya. Jenis pekerjaan lainnya yaitu sebagai buruh industri, buruh bangunan, buruh perkebunan, buruh pertambangan, tukang ojeg, Petani ikan jarring apung, buruh gergaji kayu, pengusaha kayu, pengrajin wajit dan kerupuk serta pengrajin bilik. Selain jenis pekerjaan Wiraswasta, banyak juga penduduk yang memilih profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu sebagai Guru dan ABRI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 16.
35
4.2. Sarana Perekonomian Seperti wilayah pedesaan lainnya di Indonesia, kegiatan perekonomian di wilayah Kecamatan Cililin digerakkan oleh kegiatan Koperasi yang terdiri atas Koperasi simpan pinjam sebanyak 11 buah, dan Koperasi Unit Desa (KUD) sebanyak 12 buah. Kegiatan Koperasi juga di dukung oleh adanya Bank konvensional yaitu bank BRI sebanyak 2 unit. Dalam kegiatannya bank BRI menjadi sarana simpan pinjam masyarakat wilayah Kecamatan Cililin guna mendukung kegiatan usaha seperti berdagang, bertani dan berbagai jenis usaha lainnya. Adapun jumlah pasar induk sebagai pusat perdagangan sebanyak 1 buah dengan didukung oleh pasar permanen dan semi permanen yang tersebar di beberapa wilayah pedesaan sebanyak 6 buah. Pasar-pasar desa tersebut memiliki jadwal waktu buka tersendiri atau disebut sebagai “hari pasar”, dalam seminggu pasar desa hanya buka dua sampai tiga kali saja , yaitu pada hari Selasa, Jum’at atau hari Sabtu. Jumlah industri yang tersebar di wilayah Kecamatan Cililin sebanyak 676 buah industri kecil rumah tangga. Industri kecil tersebut dapat menyerap sebanyak kurang lebih 750 orang tenaga kerja per tahun. Pada umumnya industri kecil tersebut bergerak di bidang pangan jadi seperti industri kecil wajit, kerupuk tepung, keripik singkong, dan pangan olahan lainnya. Industri lainnya adalah industri kecil furniture kayu dan Industri Penggergajian Kayu (IPK) sebanyak 11 unit. Selain di sektor industri kecil rumah tangga penyerapan tenaga kerja di wilayah Kecamatan Cililin juga diserap oleh sektor usaha lainnya seperti usaha rumah makan sebanyak 35 orang, usaha perdagangan sebanyak 53 orang, usaha angkutan sebanyak 364 orang, dan usaha lainnya sebanyak 172 orang.
36
4.3. Jenis Tanaman Pertanian Jenis tanaman utama yang umumnya diusahakan oleh masyarakat Kecamatan Cililin adalah jenis tanaman Padi dengan luas areal tanaman sebesar 588 ha dengan rata -rata produksi 23 ton. Kemudian diikuti dengan jenis tanaman lainnya seperti tanaman Sayur -sayuran seluas 628,7 ha, Jagung seluas 24,5 ha , Ketela pohon seluas 51 ha, dan buah-buahan seluas 16 ha. Untuk jenis tanaman perdagangan yang sudah diusahakan adalah jenis tanaman Kelapa seluas 130 ha, dan Kopi seluas 10 ha. Rata-rata luas tanah pertania n yang diusahakan oleh penduduk adalah seluas 766,45 ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Tanaman/ha dan Jumlah Rata-rata Produksi/ton Tahun 2005 No
Jenis Tanaman
Luas Luas yang Rata- rata tanaman/ha Di panen/ha produksi/ton
1 Padi 310 255 23 2 Jagung 15,5 5 4 3 Ketela Pohon 30 15 6 4 Sayur-sayuran 26,7 602 5 Buah-buahan 10 6 6 Tanaman lainnya 10 7 2 Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung (2005) .
Jumlah 588 24,5 51 628,7 16 19
4.4. Sarana Sosial Budaya dan Transportasi Pembangunan di wilayah Kecamatan Cililin sangat didukung oleh berbagai sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat, seperti sarana pendidikan, kesehatan, dan peribadatan. Untuk sarana pendidikan terdiri atas Taman kanak-kanak (TK), Sekolah dasar (SD), Sekolah menengah pertama (SMP), dan Sekolah menengah atas (SMA). Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Kecamatan Cililin sudah
37
mencukupi. Selain sarana pendidikan, terdapat juga sarana peribadatan bagi umat Islam sebanyak 164 buah mesjid dan 342 buah surau atau mushhola. Tempat peribadatan untuk umat beragama lainnya tidak ada, karena dari keseluruhan masyarakat Kecamatan Cililin beragama Islam. Untuk sarana dan prasarana kesehatan di wilayah Kecamatan Cililin, terdapat sebanyak 8 unit Puskesmas dengan dibantu oleh 25 orang Dokter, 12 Perawat, dan 10 orang Bidan. Jumlah sarana pendidikan yang ada di Kecamatan Ciliin dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Cililin Tahun 2005 No 1. 2.
3.
4.
Tingkat Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Sekolah Dasar (SD) a. Sekolah Dasar (SD) Negeri b. SD Inpres c. Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sekolah Menengah Pertama (SMP) a. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri b. SMP Swasta Umum c. SMP Swasta Islam d. Madrasah/Tsanawiyah Negeri e. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri f. Madrsah/Tsanawiyah Negeri g. SMP Swasta Umum h. SMP Swasta Islam Sekolah Menengah Umum (SMU) a. SMU Negeri b. SMU Swasta Islam c. SMU Swasta Umum d. Madrsah/Aliyah Negeri e. Akademik Swasta
Jumlah Unit 11 18 14 8 1 2 4 4 1 4 2 4 1 4 3 1 1
Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung (2005) Alat angkutan utama yang digunakan oleh masyarakat adalah angkutan kendaraan bermotor roda dua (ojeg) sebanyak 934 unit, becak 70 unit, delman 15 unit, dan kendaraan angkutan umum lainnya yaitu oplet atau mikrolet.
38
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Jenis dan Bentuk Kayu yang Diperdagangkan Umumnya jenis kayu yang diperdagangkan di wilayah penelitian Kecamatan Cililin adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau yang lebih dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan kayu Albazia. Jenis kayu lain yang turut diperdagangkan di Kecamatan Cililin antara lain; kayu Afrika (Maesopsis eminii), Mahoni (Swetinia mahagoni), Manglid (Maglonia blumei), Jati (Tectona grandis ), Suren (Toona sureni), dan Nangka (Arthocarpus heterophyllus). Untuk jenis kayu Sengon pada tingkat Industri Penggergajian Kayu (IPK) dapat dihasilkan bermacam-macam kayu olahan dengan berbagai macam ukuran seperti; bentuk tiang, papan, kaso, kusen, palang, reng dan palet. Untuk bentuk tiang dapat dibuat dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Papan dibuat dengan ukuran 3 cm x 20 cm. Kaso atau usuk berukuran 6 cm x 6 cm. Kusen untuk bahan jendela dan pintu biasanya berukuran 7cm x 15cm atau 8cm x 15cm. Palang dada umumnya berukuran 5 cm x 10 cm. Reng berukuran 2 cm x 3 cm dan merupakan jenis kayu olahan yang paling kecil. Sedangkan palet yang digunakan untuk bahan baku pembuat beraneka ragam meubel berukuran 3 cm x 8 cm atau 3 cm x 10 cm. Semua jenis kayu olahan umumnya memiliki panjang dengan ukuran yang sama yaitu 200 cm, 250 cm, dan 300 cm. Kecuali untuk jenis palet dapat dihasilkan kayu dengan ukuran 100 cm, 120 cm, dan 140 cm. Pada umumnya untuk industri gergajian, selain menyediakan kayu dengan ukuran dan jenis tertentu, industri
39
juga menyediakan ukuran kayu pesanan berdasarkan kebutuhan konsumen. Ada beberapa
keuntungan
yang
didapatkan
oleh
industri
gergajian
apabila
mendapatkan pesanan dari material-material di sekitar wilayah kota Bandung, seperti daerah Batujajar, Padalarang, dan Cimahi, hal ini karena spesifikasi ukuran kayu olahan yang lebih kecil dari seharusnya (potongan khusus). Untuk tiang berukuran 8 cm x 8 cm, papan berukuran 2 cm x 18 cm, kaso berukuran 4,5 cm x 4,5 cm dan palang dada yang berukuran 4,5 cm x 8 cm. Sortimen khusus tersebut ditampung oleh material-material tersebut dengan standar harga yang sama. Sehingga walaupun bahan baku yang tersedia di lokasi industri kurang memadai akan tetapi tetap dapat dimanfaatkan sehingga tidak ada bahan baku yang terbuang percuma. Data selengkapnnya tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Bentuk dan Jenis Kayu Olahan Dalam Berbagai Macam Ukuran Kayu di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005 No
Bentuk Kayu
1
Tiang
2
Papan
3
Kaso
4
Palang
Ukuran Yang Dijual (cm)
Ukuran Khusus (cm)
10 x 10 x 200, 10 x 10 x 250, 10 x 10 x 300. 3 x 20 x 200, 3 x 20 x 250, 3 x 20 x 300. 6 x 6 x 250, 5 x 10 x 250, 5 x 10 x 300.
8 x 8 x 200, 8 x 8 x 250, 8 x 8 x 300. 2 x 18 x 200, 2 x 18 x 250, 2 x 18 x 300. 4.5 x 8 x 200, 4.5 x 8 x 250, 4.5 x 8 x 300.
5 x 10 x 200, 5 x 10 x 250, 5 x 10 x 300.
4.5 x 8 x 200, 4.5 x 8 x250, 4.5 x 8 x 300.
Kayu olahan yang akan diperdagangkan umumnya diberikan perlakuan terlebih dahulu dengan cara dikering anginkan di bawah terik sinar matahari selama kurang lebih 3-7 hari. Kemudian kayu disusun berdasarkan jenis dan ukurannya sehingga memudahkan dalam pengangkutan.
40
Di tingkat IPK selain dihasilkan kayu dengan jenis dan ukuran tertentu, juga dihasilkan kayu sisa hasil olahan (rendimen) yang berupa serbuk gergajian, potongan-potongan kayu dan kulit kayu (bablir). Ketiganya dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai jual untuk digunakan sebagai kayu bakar. Pada saat berlangsungnya penebangan, cabang dan ranting pohon yang sudah ditebang hak kepemilikannya ditentukkan berdasarkan kesepakatan antara pihak penjual (petani Sengon) dengan pembeli (tengkulak dan pengolah). Kepemilikan cabang dan ranting ini tidak mempengaruhi harga jual pohon yang bersangkutan. Pada umumnya cabang dan ranting yang terbuang dijadikan bahan baku kayu bakar oleh masyarakat untuk keperluan memasak dirumah ataupun bagi industri kecil rumah tangga seperti industri wajit, kerupuk dan pembuatan genting dan batu bata. Adanya cabang dan ranting yang digunakan sebagai kayu bakar oleh masyarakat, dirasakan sebagai nilai tambah bagi tengkulak dan pengolah, selain hasil utama berupa kayu gelondongan. Beberapa hal yang menjadi alasan tengkulak dan pengolah untuk menjual kayu bakar atau menyerahkannya kepada pemilik kebun, yaitu tergantung lokasi penebangan. Apabila dirasakan biaya pemungutan kayu bakar lebih besar dari harga jualnya maka tengkulak atau pengolah lebih baik memberikannya kepada petani pemilik kebun. Selain itu juga tergantung kepada cuaca pada saat pengangkutan, apabila cuaca hujan maka kondisi jalan akan sedikit terhambat karena kondisi tanah yang becek sehingga para kuli angkut kayu akan kesulitan membawanya. Kesulitan lainnya karena kondisi geografis daerah Cililin yang berbukit dan bergunung sehingga umumnya kayu yang dipanen berada diatas lereng bukit yang cukup tinggi dengan jalan yang masih berupa tanah.
41
5.2. Lembaga Tataniaga dan Distribusi Kayu Lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga kayu Sengon pada wilayah penelitian adalah ; Petani kebun sengon, Tengkulak kayu, Pengolah kayu, Industri Penggergajian Kayu (IPK), Pedagang penampung dan Material. 1. Petani Kebun Sengon Produsen penghasil kayu yang berasal dari lahan milik sendiri atau sewa. 2. Tengkulak Kayu Merupakan pedagang yang membeli pohon berdiri dan menjualnya dengan merubah bentuk atau masih bentuk gelondongan (log). Kayu-kayu tersebut dikumpulkan dan diletakkan di tepi jalan, dikenal juga sebagai “pengepul”. 3. Pengolah Kayu Merupakan pedagang perantara yang menjual kayu log dan kayu yang sudah dirubah bentuk dengan menyewa gergaji (bandsaw). 4. Industri Penggergajian Kayu (IPK) Industri yang memiliki alat gergajian untuk mengolah kayu log menjadi kayu ukuran tiang, papan, kusen, reng, palet atau bentuk lainnya yang diinginkan. 5. Pedagang Penampung Pedagang yang mampu membeli dan menampung kayu dari tengkulak, pengolah dan Industri Penggergajian Kayu (IPK) untuk dijual ke material atau konsumen lainnya dikenal juga dengan nama “ bandar kayu ”. 6. Material Pedagang yang membeli kayu olahan (tiang, papan, reng, kaso) dari pengolah atau IPK yang kemudian dikumpulkan di sebuah tempat (took) untuk dijual.
42
5.3. Cara Pembelian dan Pembayaran Pada umumnya proses penjualan kayu Sengon dan jenis kayu lainnya dilakukan petani dalam bentuk pohon berdiri, akan tetapi ada juga yang menawarkan kayu dalam bentuk sudah ditebang. Ada beberapa cara yang digunakan dalam proses penjualan kayu di Kecamatan Cililin, diantaranya : 1. Petani menawarkan langsung kayu yang akan dijualnya kepada tengkulak atau pengolah dengan menyebutkan kondisi fisik kayu seperti jenis, umur, dan volume kayu. 2. Tengkulak atau pengolah telah mengamati kebun-kebun kayu milik masyarakat sebelumnya. Apabila ada jenis dan ukuran kayu yang dibutuhkan maka akan langsung menanyakkan apakah akan dijual atau tidak. 3. Tengkulak dan pengolah mendapatkan informasi dari masyarakat lainnya. Informasi tersebut ditindak lanjuti dengan mensurvei langsung ke lokasi kebun kayu. Umumnya orang yang telah memberikan informasi tersebut mendapatkan upah dari tengkulak atau pengolah yang bersangkutan. Setelah salah satu dari ketiga proses tersebut dilaksanakan, maka petani dan tengkulak atau pengolah langsung melakukan tawar menawar harga sampai terjadinya transaksi jual beli. Pada proses transaksi tersebut dibahas mengenai kesepakatan pembayaran apakah dengan sistem tunai (kontan) atau tempo (mencicil). Tengkulak atau pengolah yang tidak memiliki modal yang besar umumnya melakukan pembayaran dengan cara mencicil, kadangkala para tengkulak atau pengolah ini meminjam modal terlebih dahulu kepada industri yang sudah menjadi langganannya untuk menutupi kekurangan pembayaran. Kerjasama antara industri dengan tengkulak ataupun pengolah terjalin karena
43
adanya permintaan yang tinggi terhadap kebutuhan kayu untuk industri, sehingga mereka memanfaatkan jasa tengkulak atau pengolah untuk mencukupi kebutuhan kayu. Berdasarkan pengamatan di wilayah Kecamatan Cililin diperoleh data bahwa pada tingkat tengkulak dan pengolah yang menggunakan sistem pembayaran tunai sebanyak 62,96 persen dan 11,11 persen dengan cara mencicil, sisanya sebanyak 25,93 persen menggunakan cara keduanya. Industri Penggergajian Kayu (IPK) yang ada di wilayah penelitian berjumlah 8 unit industri. Industri tersebut tersebar di wilayah Desa Cililin, Bongas, Rancapanggung, Ciririp, Warung awi, Sasak bubur, dan Tangan-tangan. Dari seluruh industri tersebut tercatat sebanyak 50 persen industri melakukan pembayaran kayu secara tunai dan sebanyak 25 persen dengan cara mencicil serta sisanya sebanyak 25 persen melakukan pembayaran keduanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sistem Pembayaran Kayu Sengon oleh Tengkulak dan Pengolah di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005 No
Pelaku TN
A B
Pengolah Tengkulak Total Persen (%)
Kontan 8 Orang 9 Orang 17 62,96
Sistem Pembayaran Tempo Keduanya 0 Orang 2 Orang 3 Orang 5 Orang 3 7 11,11 25,93
Pembayaran dengan mencicil biasanya memakan waktu berkisar antara 3 sampai 2 bulan setelah penebangan. Hal ini memang dirasakan memberatkan bagi petani karena umumnya mereka menjual kayu untuk membayar kebutuhankebutuhan penting yang bersifat mendadak seperti untuk membayar iuran sekolah anak, membayar hutang piutang, membiayai hajatan seperti biaya pernikahan, biaya naik haji, ataupun biaya terkena musibah seperti sakit.
44
Umumnya petani memprioritaskan penjualan kayunya kepada orang yang sudah dipercaya akan membayar dengan lancar seperti kepada orang-orang yang memiliki jabatan penting di wilayah desanya seperti; Guru, Petugas Kantor Desa, ataupun Juragan-juragan tanah yang terkenal memiliki modal yang besar dan memiliki sifat yang jujur.
5.4. Harga dan Struktur Pasar Salah satu indikator untuk melihat struktur pasar adalah lembaga pemasaran, umumnya komoditas pertanian memiliki jalur pemasaran yang relatif panjang. Berdasarkan perbandingan jumlah petani dengan jumlah tengkulak, pengolah ataupun IPK, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah oligopsoni. Jumlah petani yang lebih banyak daripada tengkulak, pengolah maupun industri penggergajian menyebabkan petani menjadi pene rima harga (price taker). Lebih jelasnya dapat dilihat di Tabel 8.
Tabel 8. Persentase Jumlah Lembaga Pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Tahun 2005 No 1. 2. 3. 4. 5.
Pelaku Pasar Petani Pengolah Tengkulak IPK Material Total
Jumlah (Orang) 40 10 17 11 8 86
Persen (%) 46.51 11.63 19.77 12.79 9.30 100
Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah pedagang kayu atau tengkulak lebih banyak daripada jumlah Industri Penggergajian Kayu (IPK). Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk adalah monopsoni. Hambatan untuk masuk sebagai pelaku pasar baru lebih tinggi karena membutuhkan sejumlah
45
modal (Capital) yang besar, dan dalam proses penentuan harga didominasi oleh Industri Pengolahan Kayu (IPK) sehingga menempatkan tengkulak sebagai penerima harga. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk berdasarkan jumlah antara lembaga pemasaran dan petani adalah struktur persaingan tidak sempurna (Imperfect competitive market). Harga jual dan beli kayu gelondongan jenis Sengon pada setiap tingkatan pelaku tataniaga di Kecamatan Cililin berbeda beda, untuk harga beli rata-rata di tingkat tengkulak sebesar Rp 88.708.33/m3 dengan harga jual rata –rata Rp 144.791.67/m3. Pada tingkat pengolah harga beli rata–rata sebesar Rp 92.023.80/m3 dan harga jual rata -rata sebesar Rp 119.999.99/m3 dan di tingkat industri harga jual rata–rata sebesar Rp 187.500.00/m3 dengan harga beli rata –rata sebesar Rp 216.250.00/m3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Harga Rata -rata Kayu Gelondongan (Log) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005 Pelaku TN
Tengkulak
Pengolah
Industri
Saluran TN I II VI VII Rata – rata III IV Rata – rata II V VI Rata – rata
Harga Beli (Rp/m 3) 85.000 85.000 87.500 98.333.33 88.708.33 80.714.28 103.333.33 92.023.80 300.000 117.500 145.000 187.500.00
Harga Jual (Rp/m 3) 133,889 132.500 145.000 169.166.67 144.791.67 106.666.66 133.333.33 119.999.99 240.000 208.750 200.000 216.250.00
46
5.5. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon Yang Terjadi di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Biaya tataniaga adalah biaya -biaya yang digunakan dalam proses pergerakan barang dari tangan konsumen ke tangan produsen. Umumnya terdiri atas komponen biaya seperti; biaya tenaga kerja, sewa, advertasi, depresiasi, transportasi, pengemasan, pajak, dan pengeluaran lainnya yang tak terduga. (Azzaino, 1983). Sehingga biaya tataniaga kayu Sengon di Kecamatan Cililin yaitu biaya pada tingkat petani dan biaya manufaktur yang terdiri atas biaya produks i kayu olahan, dan biaya asah gergaji, sedangkan biaya penggunaan bahan bakar pada tingkat industri kayu (IPK) tidak termasuk kedalam biaya tataniaga. Total biaya yang harus dikeluarkan pada saluran tataniaga I yaitu sebesar Rp 27.500/m3 , yang mencakup biaya tataniaga tengkulak yang digunakan untuk tenaga kerja sebesar Rp 11.500/m3, bongkar muat sebesar Rp 5.000/m3, Chainsaw sebesar Rp 5.000/m3 , dan transportasi sebesar Rp 6.000/m3. Pada saluran tataniaga II, total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 21.882.37/m3. Biaya tersebut terdiri dari biaya tengkulak dan industri. Biaya tengkulak mencakup biaya tataniaga untuk tenaga kerja sebesar Rp 2.878.08/m3, bongkar muat sebesar Rp 1.251.34./m3 , Chainsaw sebesar Rp 1.251.34/m3 dan transportasi sebesar Rp 1.501.61/m3. Sedangkan biaya industri mencakup biaya produksi sebesar Rp 4.833.33/m3, biaya transportasi sebesar Rp 4.500/m3. biaya penyusutan sebesar Rp 666.67/m3, biaya asah gergaji sebesar Rp 1.666.67/m3 , dan biaya bahan bakar sebesar Rp 3.333.33/m3. Untuk saluran tataniaga III diperoleh total biaya tataniaga pengolah sebesar Rp 41.714.29/m3 yang mencakup biaya tataniaga untuk tenaga kerja sebesar Rp 8.714.29/m3, bongkar muat sebesar Rp 5.000/m3 , biaya transportasi
47
sebesar Rp 8.000/m3, dan sewa bandsaw sebesar Rp 20.000/m3. Untuk saluran tataniaga IV diperoleh total biaya tataniaga pengolah sebesar Rp 21.000/m3 yang mencakup biaya tataniaga untuk tenaga kerja sebesar Rp 5.000/m3, bongkar muat sebesar Rp 2.000/m3 , biaya transportasi sebesar Rp 9.000/m3, dan sewa bandsaw sebesar Rp 5.0000/m3. Biaya tataniaga untuk saluran V mencakup biaya untuk industri yang digunakan untuk biaya produksi sebesar Rp 8.375/m3 , biaya pemanenan sebesar Rp 4.500/m3 , biaya transportasi sebesar Rp 43.000/m3 , biaya penyusutan sebesar Rp 4.000/m3 , biaya asah gergaji sebesar Rp 9.000/m3, biaya bahan bakar sebesar Rp 5.375/m3. dan biaya bongkar muat sebesar Rp 2.000/m3. Total biaya yang harus dikeluarkan pada saluran tataniaga VI yaitu sebesar Rp 58.000/m3 , yang mencakup biaya tataniaga tengkulak dan industri. Biaya tataniaga tengkulak mencakup biaya untuk tenaga kerja sebesar Rp 17.500/m3 , dan transportasi sebesar Rp 10.500/m3. Biaya tataniaga untuk industri digunakan untuk biaya produksi sebesar Rp 7.500/m3, biaya transportasi sebesar Rp 5.000/m3, biaya penyusutan sebesar Rp 3.500/m3, biaya asah gergaji sebesar Rp 5.000/m3 , dan biaya bahan bakar sebesar Rp 9.000/m3. Total biaya yang harus dikeluarkan pada saluran tataniaga VII yaitu sebesar Rp 25.016.67/m3, yang mencakup biaya tataniaga tengkulak yang digunakan untuk tenaga kerja sebesar Rp 9.166.67/m3 , bongkar muat sebesar Rp 3.750.00/m3, Chainsaw sebesar Rp4.600/m3 , dan transportasi sebesar Rp 7.500/m3. Untuk lebih jelasnya mengenai total biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pela ku tataniaga di Kecamatan Cililin dapat dilihat pada Lampiran 13.
48
5.6. Saluran Tataniaga dan Marjin Tataniaga Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian secara umum saluran tataniaga kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) di Kecamatan Cililin dapat dikelompokkan menjadi tujuh saluran tataniaga, yaitu : Saluran I terdiri atas Petani, Tengkulak, dan Pedagang Penampung. Sedangkan saluran II terdiri atas Petani, Tengkulak, Industri Penggergajian Kayu (IPK), dan Material. Saluran III terdiri atas Petani, Pengolah, dan Pedagang Penampung. Saluran IV terdiri atas Petani, Pengolah, dan Material.
Untuk
Saluran V terdiri atas Petani, Industri, dan Material. Saluran VI Petani, Tengkulak, Industri Penggergajian Kayu (IPK), Pedagang
Penampung.
Sedangkan yang terakhir saluran VII terdiri atas Petani, Tengkulak, dan Industri (Luar daerah). Untuk saluran tataniaga I pada tingkat tengkulak terdapat marjin tataniaga sebesar 36,51 persen dari harga beli pedagang penampung, dengan rincian mencakup biaya tataniaga sebesar 15.35 persen dan keuntungan sebesar 21,16 persen. Sedangkan pada tingkat petani farmer’s share yang diterima sebesar 63,40 persen. Untuk rasio keuntungan yang diterima petani sebesar 29,22 persen sedangkan di tingkat tengkulak sebesar 154,05 persen. Pada saluran tataniaga II, marjin tataniaga di ringkat tengkulak sebesar 37,73 persen yang meliputi biaya tataniaga sebesar 13,77 persen dan keuntungan sebesar 23,96 persen. Sedangkan pada tingkat industri mempunyai marjin tataniaga sebesar 16,66 persen dari harga beli pedagang penampung dengan rincian biaya tataniaga sebesar 16,45 persen dan keuntungan industri sebesar 11,36 persen.
Untuk rasio keuntungan ditingkat petani sebesar 29,22 persen,
tengkulak 173,97 persen dan industri sebesar 166,66 persen. Sedangkan farmer’s
49
share yang diterima sebesar 64,16 persen. Marjin tataniaga yang diperoleh pengolah pada saluran tataniaga III sebesar 35,14 persen yang meliputi biaya tataniaga sebesar 16,45 persen dan keuntungan sebesar 18,69 persen. Sedangkan rasio keuntungan yang diperoleh ditingkat petani sebesar 22,70 persen dan pada tingkat pengolah sebesar 35,14 persen . Farmer’s share pada tingkat petani sebesar 67,60 persen. Pada saluran tataniaga IV marjin tataniaga pada tingkat pengolah sebesar 44,14 persen. Farmer’s share pada tingkat petani sebesar 55,86 persen dengan rasio keuntungan petani sebesar 57,09 persen dan di tingkat pengolah sebesar 87,77 persen. Untuk saluran tataniaga V farmer’s share ditingkat petani sebesar 56,29 persen. Marjin tataniaga di tingkat industri sebesar 43,71 persen dengan rincian biaya tataniaga sebesar 15,28 persen dan marjin keuntungan sebesar 28 persen. Untuk rasio keuntungan di tingkat petani sebesar 78,63 persen dan di tingkat industri sebesar 199,18 persen. Marjin tataniaga sebesar 27,5 persen diperoleh industri penggergajian kayu (IPK) pada saluran tataniaga VI dengan rincian sebesar 14,30 persen untuk biaya tataniaga dan sebesar 13,20 persen untuk marjin keuntungan. Rasio keuntungan untuk petani sebesar 33,02 persen dan untuk tingkat tengkulak sebesar 105,36 persen dan pada tingkat industri sebesar 83,33 persen. Pada saluran tataniaga VII farmer’s share pada tingkat petani sebesar 58,13 persen dengan marjin tataniaga di tingkat tengkulak sebesar 41,87 persen dengan perincian biaya tataniaga sebesar 10,87 persen dan keuntungan sebesar 31 persen. Rasio keuntungan pada tingkat petani sebesar 49,48 persen dan di tingkat tengkulak sebesar 274,45 persen.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10.
50
Tabel 10. Marjin Tataniaga (M), Farmer’s share (FS), dan Rasio Keuntungan (RK) Pelaku Tataniaga di Kecamatan Cililin Tahun 2005 Saluran I
II
III
IV
V
VI
VII
Keterangan FS M RK FS M RK FS M RK FS M RK FS M RK FS M RK FS M RK
Petani 63,40 29,22 67,60 29,22 75,66 22,70 55,86 57,09 56,29 78,63 60,35 33,02 58,13 49,48
Tengkulak 36,51 154,05 37,73 173,97 39,65 105,36 41,87 274,45
Pengolah 35,14 52,72 44,14 87,77 -
Industri 16,66 166,66 43,71 199,18 27,5 83,33 -
Dari Tabel 10 dilihat bahwa marjin tataniaga terbesar dimiliki oleh pengolah yaitu sebesar 44,14 persen pada saluran tataniaga IV. Hal ini terjadi karena harga beli kayu pada tingkat pengola h lebih rendah dibandingkan dengan harga jual kayu olahannya, sehingga petani sebagai produsen yang merupakan level paling rendah (hulu) adalah pihak yang dirugikan. Farmer’s share (FS) pada saluran tataniaga ke V memiliki nilai terkecil bila dibandingkan dengan FS saluran tataniaga lainnya yaitu sebesar 56,29 persen . Kecilnya nilai FS ini tidak diikuti oleh rendahnya nilai rasio keuntungan (RK) petani. Hal ini menunjukkan bahwa nilai FS tidak dapat menjadi ukuran tinggi rendahnya nilai keuntungan yang akan diperoleh petani. Sedangkan marjin tataniaga terkecil diperoleh tingkat industri pada saluran tataniaga II yaitu sebesar 16,66 persen. Kecilnya nilai marjin tataniaga pada industri ini disebabkan karena panjangnya jalur tataniaga yang terjadi, sehingga marjin tataniaga yanmg
51
dihasilkan lebih kecil karena banyaknya pelaku tataniaga yang terlibat. Rasio keuntungan terbesar pada saluran ini lebih dinikmati oleh pengolah yaitu sebesar Rp 173.97.-/m3. hal ini menunjukkan adanya pembagian rasio keuntungan yang tidak merata di tingkat petani, tengkulak, pengolah dan industri penggergajian.
5.7. Marjin Keuntungan Marjin keuntungan adalah selisih dari marjin tataniaga dengan biaya yang dikeluarkan oleh setiap pelaku tataniaga. Marjin keuntungan merupakan keuntungan bersih yang diterima pelaku tataniaga dalam kegiatan tataniaga. Setelah mengetahui biaya-biaya yang terjadi pada masing-masing perhitungan marjin keuntungan yang didapat semua pelaku tataniaga yang terjadi di wilayah penelitian belum termasuk limbah penebangan, seperti kayu bakar yang diperoleh para pelaku tataniaga. Rata-rata keuntungan petani di wilayah Kecamatan Cililin adalah sebesar Rp 27.989.34/m3. Sedangkan untuk tengkulak rata-rata sebesar Rp 28.916.67/m3, Pengolah rata -rata sebesar Rp 76.190.48/m3 , dan untuk industri rata -rata sebesar Rp 40.666.67/m3, rata-rata keuntungan petani memiliki nilai terkecil dibandingkan dengan pelaku tataniaga lainnya, hal ini tentunya sangat merugikan petani sebagai pihak produsen kayu yang berada pada level paling bawah. Rendahnya tingkat keuntungan petani disebabkan karena marjin keuntungan lebih dinikmati oleh para tengkulak dan pengolah. Nilai RK dan M pada tingkat tengkulak dan pengolah berbanding jauh dengan nilai FS dan RK petani (Tabel 11). Pada tingkat petani marjin keuntunagan terbesar diperoleh pada saluran tataniaga V, yaitu sebesar Rp 51.720.63/m3. Sedangkan keuntungan petani yang terkecil terdapat pada saluran tataniaga III yaitu sebesar Rp 14934.91/m3. pada
52
saluran V nilai rasio keuntungan petani memiliki nilai paling besar dibandingkan dengan pelaku tataniaga lainnya yaitu sebesar 78,63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa nilai RK dapat menunjukkan besar kecilnya keuntungan yang didapatkan oleh petani. Dengan besarnya nilai RK ini juga menunjukkan bahwa jalur V merupakan jalur yang lebih menguntungkan bagi petani. Sedangkan pada tingkat tengkulak keuntungan yang terbesar diperoleh pada saluran II yaitu sebesar Rp 31.750/m3. dan yang terkecil yaitu pada saluran I sebesar Rp 25.500/m3. Besarnya tingkat keuntungan pada saluran I karena tengkulak mendapatkan harga jual lebih tinggi pada tingkat industri, sehingga keuntungan yang didapatkan lebih tinggi. Rata–rata harga beli kayu Sengon di tingkat industri mencapai Rp 187.500.00/m3. Untuk tingkat pengolah keuntungan terbesar diperoleh pada saluran tataniaga IV yaitu sebesar Rp 131.666.67/m3. Pendeknya jalur tataniaga ini menjadi penyebab besarnya keuntungan yang diperoleh oleh pengolah. Dari total keuntungan sebesar Rp 169.220.63/m3. pengolah mendapatkan 77,80 persen dari keuntungan tersebut dan sisanya diperoleh petani. Keuntungan terbesar diperoleh industri pada saluran tataniaga V yaitu sebesar Rp 60.750/m3. Saluran ini memberikan keuntungan yang besar kepada industri penggergajian kayu (IPK) karena mereka membeli bahan baku kayu langsung kepada petani atau tanpa perantara. Hal ini dapat menekan biaya yang biasanya dikeluarkan apabila menggunakan saluran tataniaga lainnya. Selain itu dengan pendeknya jalur tataniaga, maka keuntungan yang didapat akan lebih besar karena sedikitnya pelaku yang terlibat. Keuntungan terbesar diperoleh industri pada saluran tataniaga V yaitu sebesar Rp 60.750/m3. Saluran ini memberikan keuntungan yang besar kepada Industri Penggergajian Kayu (IPK) karena mereka membeli bahan
53
baku kayu langsung kepada petani atau tanpa perantara. Hal ini dapat menekan biaya yang biasanya dikeluarkan apabila menggunakan saluran tataniaga lainnya. Selain itu dengan pendeknya jalur tataniaga, maka keuntungan yang didapat akan lebih besar karena sedikitnya pelaku yang terlibat. Keterangan lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Marjin Keuntungan Pelaku Pasar di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005 Saluran I II III IV V VI VII Jumlah Rata - rata
Petani (Rp/m3) 19.220.63 19.220.63 14.934.91 37.553.96 51.720.63 21.720.63 32.554.00
Tengkulak (Rp/m 3) 28.334.00 31.750.00 29.500.00 51.916.67
Pengolah (Rp/m3) -
196.9 25.39
141.500.00
92.976.2
28.132.19
35.375.00
46.488.10
27.142.86 65.833.34
-
Industri (Rp/m3) 25.000.00 60.750.00 25.000.00 110.750.00 36.916.67
Dari Tabel 10 diketahui bahwa rata-rata keuntungan terbesar dimiliki oleh pengolah dengan jumlah sebesar Rp 46.488.10/m3 , kemudian diikuti oleh industri sebesar Rp 36.916.67/m3. Selanjutnya pada tengkulak sebesar Rp 35.375.00/m3, yang terakhir adalah petani sebesar Rp 28.132.19/m3, secara keseluruhan petani merupakan pihak yang dirugikan atau memiliki keuntungan yang terkecil. Hal ini yang menjadi salah saut hambatan petani untuk mengembangkan usaha budidaya kayu Sengon di Kecamatan Cililin. Kecilnya keuntungan masih menjadi indikator bagi masyarakat untuk berkebun kayu Sengon. Umumnya petani mengembangkan tanaman kayu Sengon dengan perlakuan yang biasa-biasa saja sehingga hasil panen kayu yang didapatkan jauh dari harapan. Jumlah panen kayu yang
54
didapatkan sedikit dan dengan waktu panen yang relatif lama. Hal ini merupakan salah satu cara petani untuk mensiasati keuntungan panen yang sedikit, sehingga dapat menekan biaya produksi seperti biaya bibit, biaya pupuk, dan biaya perawatan tanaman.
5.8. Hubungan Antara Pelaku Tataniaga Dengan Saluran Tataniaga Berdasarkan jumlah pelaku tataniaga yang terlibat, didapatkan banyaknya pengguna saluran I sebanyak 22,5 persen, saluran II sebesar 17,5 persen, saluran III berjumlah 17,5 persen, saluran IV sebesar 7,5 persen, saluran V dan VI masing-masing sebesar 10 persen, dan saluran VII sebesar 15 persen. Persentase tersebut merupakan hasil pembagian berdasarkan jumlah pelaku tataniaga kayu Sengon di Kecamatan Cililin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. I = 22,5 %
Tengkulak
Industri VI =10 % II = 17,5% V = 10 %
Petani
Industri
Material
Pedagang Penampung
IV= 7,5 % III = 17,5 %
Pengolah Tengkulak
VII = 15 %
Industri Luar Daerah
Gambar 3. Saluran Tataniaga Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung tahun 2005
55
Umumnya saluran tataniaga kayu Sengon yang terjadi di lokasi penelitian merupakan suatu kebiasaan yang telah mereka lakukan selama ini. Seperti contohnya beberapa petani kayu telah memiliki pembeli atau langganan khusus yang siap menampung hasil panen dari kebunnya. Beberapa hal yang menjadi alasan petani untuk tidak berpindah langganan dalam menjual hasil panennya adalah karena faktor kepercayaan antara para pelaku tataniaga. Hasil pengamatan dan analisis data di lapangan, didapatkan bahwa saluran tataniaga yang banyak dipilih oleh pelaku tataniaga adalah saluran tataniaga I (Petani–Tengkulak– Pedagang Penampung) yaitu sebesar 22,5 persen. Saluran tataniaga yang paling sedikit dipilih adalah saluran tataniaga IV (Petani–Pengolah–Material) yaitu 7,5 persen. Saluran tataniaga I banyak dipilih disebabkan karena petani di Kecamatan Cililin cenderung bersifat pasif sehingga hal ini membuka peluang bagi para tengkulak untuk mencari bahan baku kayu ke wilayah-wilayah desa yang kemudian di tawarkan kepada pedagang penampung. Selain itu keuntungan lainnya yang didapatkan oleh para tengkulak dan pedagang penampung adalah mereka hanya membeli kayu berbentuk gelondongan (log), sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus untuk merubah bentuk kayu. Hal ini dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh tengkulak dan pedagang penampung, disisi lain keuntungan dari hasil penjualan kayu log lebih tinggi dan perputaran uangnya lebih cepat. Lebih tinggi karena jumlah pelaku tataniaga lebih sedikit, dengan resiko usaha yang sedikit pula. Perputaran uang lebih cepat karena kayu log dapat cepat dibeli atau ditampung oleh Industri Penggergajian Kayu (IPK) atau para pengrajin kayu olahan.
56
Saluran tataniaga IV merupakan saluran yang paling sedikit dipilih oleh pelaku tataniaga di Kecamatan Cililin. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, alasan pertama karena adanya persaingan antara tengkulak dan pengolah di wilayah penelitian, sehingga menyulitkan pengolah untuk mendapatkan kayu langsung dari petani. Alasan kedua, karena umumnya pengolah sudah memiliki langganan khusus yang memasok bahan baku kayu Sengon, atau dapat juga disebut untuk beberapa ora ng tengkulak sudah merupakan “tangan panjang” dari para pengolah kayu. Umumnya para pengolah menjual kayu Sengon selain dalam bentuk kayu log juga menjual kayu dalam bentuk dan ukuran tertentu, sehingga lebih menguntungkan bagi mereka untuk mengolah bahan baku yang sudah ada sambil menunggu pasokan bahan baku kayu log dari tengkulak dibandingkan dengan mencari bahan baku kayu log sendiri ke para petani. Hal ini mengurangi biaya untuk pencarian dan lebih efektif dari segi waktu.
5.9. Hubungan Antara Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan Total Keuntungan Dari keseluruhan saluran tataniaga yang terjadi di wilayah penelitian dapat dibagi menjadi dua klasifikasi saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga pendek dan saluran tataniaga panjang. Salura n tataniaga pendek adalah saluran tataniaga dimana hanya terdapat tiga pelaku tataniaga saja yang terlibat dalam saluran tersebut. Yang termasuk kedalam saluran tataniaga pendek adalah saluran tataniaga II, III, IV, V, dan VII. Saluran tataniaga panjang adalah saluran dimana terdapat lebih dari tiga pelaku tataniaga yang terlibat. Yang termasuk ke dalamnya yaitu saluran tataniaga I dan VI.
57
Tabel 12. Hubungan antara Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan Total Keuntungan di Kecamatan Cililin Ta hun 2005 Jenis Saluran
Pendek
Panjang
Saluran
Biaya Tataniaga (Rp/m 3)
Total Keuntungan (Rp/m 3)
I III IV
28.334.00 44.285.71 21.000.00
43.720.63 27.142.86 65.833.34
V VII Rata - rata II
76.250.00 25.016.67 38.977.28 23.250.00
60.750.00 51.916.67 49.872.70 56.750.00
VI
38.000.00
54.500.00
Rata - rata
30.625.00
58.750.00
Berdasarkan keterangan Tabel 12 dapat dilihat bahwa panjang pendeknya saluran tataniaga yang terjadi dapat mempengaruhi besarnya rata rata biaya tataniaga dan total keuntungan yang didapat oleh pelaku tataniaga. Untuk saluran tataniaga yang pendek memiliki biaya rata–rata sebesar Rp 38.977.28/m3 dengan total keuntungan rata–rata sebesar Rp 49.872.70/m3. Untuk saluran tataniaga yang lebih panjang mendapatkan biaya rata –rata sebesar Rp 30.625.00/m3 dengan rata -rata total keuntungan sebesar Rp 58.750.00/m3. Total keuntungan yang didapatkan saluran tataniaga yang lebih panjang nilainya lebih kecil, hal ini disebabkan karena saluran tataniaga yang lebih pendek dapat meminimalisasi jumlah pelaku tataniaga yang terlibat sehingga keuntungan yang didapatkan dapat lebih besar. Sama halnya untuk perbedaan biaya rata -rata, pada saluran yang lebih panjang ada akumulasi biaya tataniaga yang lebih besar karena lebih banyak pelaku tataniaga yang terlibat sehingga keuntungan yang diperoleh pelaku tataniaga semakin kecil.
58
5.10. Efisiensi Tataniaga Berdasarkan kepada kriteria Kohls, R.L. (1967), yaitu suatu sistem tataniaga disebut efisien jika mampu menyampaikan produk atau jasa dari produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan adanya pembagian yang merata dari harga yang diberikan konsumen kepada lembaga yang terlibat. Dengan demikian saluran tataniaga kayu Sengon yang memiliki biaya tataniaga paling rendah adalah
saluran tataniaga IV (Petani-Pengolah-
Material). Saluran ini memiliki biaya tataniaga paling rendah dibandingkan dengan saluran lainnya yaitu sebesar Rp 21.000.00/m3. Rendahnya biaya tataniaga pada saluran ini karena pengolah memiliki upah tenaga kerja yang relatif lebih kecil dibandingkan saluran tataniaga lainnya. Selain itu pengolah dapat menjual kayu tersebut langsung ke material sehingga keuntungan yang didapatkan lebih banyak. Rendahnya biaya tataniaga pada saluran ini tidak diimbangi dengan besarnya farmer’s share (FS) yang diterima, terbukti FS yang diterima pada saluran ini merupakan FS terendah dibandingkan saluran tataniaga lainnya yaitu sebesar 55,86 persen. Kecilnya FS ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima petani rendah. Keuntungan petani hanya sebesar Rp 37.553.96/m3 dengan biaya sebesar Rp 65.779.37/m3 sedangkan keuntungan pengolah sebesar Rp 65.833.34/m3 dengan biaya Rp 21.000.00/m3. Jumlah biaya yang dikeluarkan petani tinggi, tetapi keuntungan rendah. Sedangkan biaya yang dikeluarkan pengolah rendah tetapi keuntungannya lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan saluran tataniaga kayu Sengon di Kecamatan Cililin belum efisien karena tidak terpenuhinya kriteria kedua yaitu adanya pembagian hasil yang merata diantara pelaku yang terlibat.
59
5.11. Masalah Yang Dihadapi Petani dan Pelaku Pasar di Kecamatan Cililin Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani dan pelaku pasar dalam pemasaran kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung diantaranya adalah : 1. Masih rendahnya pengetahuan petani tentang tata cara bertani atau berkebun kayu Sengon (budidaya, pemanenan, penaganan pasca panen) yang baik sehingga hasil produksi kayu umumnya masih sedikit untuk setiap kebunnya. 2. Terbatasnya akses informasi pasar oleh petani, mereka hanya mengetahui dari sesama petani atau tengkulak atau hanya menunggu pembeli datang ke kebun. 3. Sebagian besar petani tidak mengetahui secara pasti spesifikasi ukuran, jenis dan kualitas kayu yang dibutuhkan pasar, sehingga mereka umumnya menjual kayu dalam bentuk log atau pohon berdiri. 4. Kualitas dan jumlah kayu yang dipanen masih rendah, karena konsumen seperti tengkulak dan pedagang pengumpul memanen sebelum usia kayu siap panen (ijon) hal ini karena kebutuhan keuangan yang mendesak dari petani. 5. Petani tidak memiliki kelompok kerja antara sesama petani atau dengan pelaku tataniaga lainnya sebagai tempat untuk bertukar pengalaman mengenai budidaya, pemasaran, atau masalah pertanian lainnya. Dengan keadaan seperti ini petani tidak memiliki kesempatan untuk melakukan diferensiasi produk, hal ini diindikasikan dengan kecilnya marjin pemasaran yang diterima petani dibandingkan dengan pelaku tataniaga lainnya.
60
BAB VI PROSPEK PENGEMBANGAN BUDIDAYA SENGON (Paraserianthes falcataria)
Sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan cepat (fast growing species) di daerah tropis. Dalam perkembangannya Sengon belum diusahakan secara sungguh-sungguh dan hanya dianggap sebagai tanaman pelengkap dan bukan dirancang sebagai tanaman pokok. Padahal disisi lain Sengon memiliki berbagai macam manfaat bagi kehidupan masyarakat seperti sebagai tanaman penghijauan dan reboisasi, pelindung dan penyubur tanah , bahan baku kayu energi, bahan baku kayu pertukangan, dan bahan baku kayu serat yaitu industri pulp dan kertas. (Budi, S.H. 1992). Dengan berbagai macam kegunaannya tersebut Sengon merupakan salahsatu jenis tanaman yang diutamakan oleh Departemen Kehutanan untuk dibudidayakan secara luas ke dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Tujuan utama HTI adalah untuk menyediakan bahan baku kayu bagi industri perkayuan
secara
mantap
dan
berkesinambungan,
peningkatan
devisa,
peningkatan produktivitas lahan kritis, penyediaan kesempatan kerja dan ikut serta dalam meningkatkan produksi bahan pangan, palawija dan hortikultura melalui pelaksanaan agroforestry. (Djojosoebroto, J. 2000). Berdasarkan hasil kajian penelitian yang dilihat secara umum berdasarkan 4 aspek yaitu; aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek teknis dan teknologi, aspek keuangan (financial) maka prospek pengembangan budidaya Sengon secara intensif di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut :
61
6.1. Aspek Pasar dan Pemasaran Dilihat dari aspek pasar, jumlah pembeli atau konsumen kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin cukup banyak yang terdiri dari konsumen kelompok ataupun individu seperti industri penggergajian kayu, perusahaan matrial, pengolah kayu, industri kecil rumah tangga, ataupun konsumen rumah tangga sebagai pengguna langsung bahan baku kayu. Selain itu berdasarkan informasi dari pemilik Industri Penggergajian Kayu (IPK), jumlah kebutuhan kayu gelondongan (log ) jenis Sengon semakin meningkat tetapi disisi lain pasokan bahan baku dari pekebun kayu disekitar wilayah Kecamatan Cililin semakin berkurang. Adanya kesenjangan (gap) antara suplai dan deman tersebut menjadi sebuah peluang untuk melakukan usaha budidaya Sengon secara intensif. Hal ini ditunjang pula dengan kedekatan antara lokasi kebun budidaya masyarakat dengan lokasi konsumen seperti Industri Penggergajian Kayu (IPK) dan usaha kerajinan kayu meubel. Dari aspek pemasaran hasil kayu, umumnya konsumen yang ingin membeli kayu, dengan sengaja mencari informasi dengan mendatangi kebunkebun petani kayu Sengon, sehingga hal ini memudahkan dalam proses penjualan kayu bagi petani. Selain mengurangi biaya transportasi, hal ini juga mengurangi kekhawatiran petani pada proses penebangan dan pendistribusian kayu dari kebun petani karena umumnya kayu tersebut dibeli pada saat pohon berdiri sehingga apabila telah terjadi kesepakatan antara Petani dengan pembeli,
maka
kegiatan
berikutnya
yaitu
kayu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli.
penebangan
dan
distribusi
62
6.2. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Dilihat dari aspek sosial, dengan dikembangkannya usaha budidaya sengon dilahan kosong atau dikebun-kebun masyarakat maka secara tidak langsung ataupun tidak, akan dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal. Tenaga kerja tersebut dibutuhkan untuk pekerja di lokasi persemaian, penanaman, pemeliharaan, transportasi, atau pemanenan hasil kayu. Disisi lain juga dengan bertambahnya jumlah pasokan bahan baku kayu Sengon, akan merangsang tenaga kerja di sektor usaha lainnya seperti sektor industri kayu gergajian, meubel, ataupun sektor kerajinan kayu lainnya. Dari sisi ekonomi, dengan dikembangkannya usaha budidaya Sengon yang lebih intensif, tentunya dapat mengangkat kesejahteraan petani dan semua pihak yang terlibat (mulltiplier effect). Dari sisi budaya, bila diamati masyarakat setempat memiliki budaya bertani seperti menanam padi dan tanaman palawija lainnya, sehingga apabila dilakukan penyuluhan dan pendekatan secara terus menerus dari Depertemen Pertanian dan Kehutanan, maka tidak akan sulit untuk mengajak petani untuk ikut dalam usaha budidaya kayu Sengon.
6.3. Aspek Teknis dan Teknologi Prospek pengembangan budidaya Sengon di Kecamatan Cililin ditunja ng dengan kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman Sengon, yaitu pada ketinggian 0-1.500 mdpl. Kondisi tanah yang subur di Kecamatan Cililin sangat sesuai untuk pertumbuhan Sengon yang dapat tumbuh dalam kondisi tanah kritis sekalipun. Lokasi ke bun-kebun masyarakat yang terbuka dan terkena sinar matahari langsung sangat sesuai untuk Sengon sebagai salah satu jenis tanaman fast growing species.
63
Tersedianya lahan-lahan kosong hak milik masyarakat, adat istiadat, ataupun Negara yang tidak dimanfaatkan merupakan salah satu modal (Capital) yang
dapat
digunakan
untuk
mengembangkan
budidaya
kayu
Sengon.
Tersedianya bibit dan tanaman induk sebagai sumber bibit di sekitar wilayah Kecamatan Cililin memberikan kemudahan dalam penyediaan benih dan bibit Sengon untuk kebutuhan penanaman. Selain itu banyaknya penduduk usia muda yang tidak memiliki pekerjaan dapat diarahkan untuk memenuhi ketersediaan tenaga kerja langsung untuk kegiatan selama budidaya.
6.4. Aspek Keuangan (Finansial) Setelah ketiga aspek ya itu aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek teknis dan teknologi di daerah Kecamatan Cililin dinyatakan sudah layak, maka aspek berikutnya yang perlu dikaji yaitu aspek keuangan (Finansial). Berdasarkan perhitungan biaya dan keuntungan, dengan memisalkan jumlah lahan yang akan ditanami seluas 5000 m2 dan merupakan lahan sewa didapatkan jumlah biaya yang diinvestasikan dalam jangka waktu 5 tahun sebesar Rp 4.688.500 yang terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap digunakan untuk membayar sewa tanah sebesar Rp 600.000/thn, dan untuk membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Sedangkan biaya tidak tetap digunakan untuk membeli kebutuhan produksi seperti bibit, pupuk, obat, dan membayar upah tenaga kerja. Hasil perhitungan menunjukkan keuntungan yang didapatkan sebesar Rp 10.529.700. Dengan penerimaan hasil penjualan kayu pada tahun ke-5 sebesar Rp 14.340.000. Penerimaan tersebut ditambah lagi dengan penerimaan yang didapatkan dari hasil penjualan tanaman Singkong dengan memisalkan bahwa pada tahun ke -1 dan ke-2 untuk memanfaatkan lahan yang
64
masih kosong digunakan sistem penanaman tumpangsari dengan siklus panen dua kali setiap tahunnya. Sistem penanaman ini diterapkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas lahan kosong karena kondisi tanaman utama (Sengon) masih berukuran kecil. Dengan adanya tanaman Singkong di sepanjang jalur penanaman, akan sangat membantu dalam menaungi bibit sehingga dapat mengurangi resiko kematian pada minggu-minggu pertama penanaman. Selain itu dapat membantu bibit untuk mencapai tinggi yang optimum karena sifat tanaman Sengon yang selalu mengejar cahaya matahari (fast growing species). Hasil penjualan panen singkong tersebut sebesar Rp 625.000/thn. Untuk lebih jelasnya mengenai penerimaan dan keuntungan usahatani kayu Sengon dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Penerimaan dan Keuntungan Usahatani kayu Sengon Dalam 5000 m2 No 1.
2. 3.
4. 5.
Uraian Tahun ke-1 a. Panen tanaman singkong 50% x 5000 x 0,5 kg (2x2) x Rp. 500/kg x (2xpanen) Tahun ke-2 a. Panen tanaman singkong Tahun ke-3 a. Penjarangan 15% dari jumlah tanaman 15% x 844 x 0,2 m 3 x 10.000 Tahun ke-4 Tidak ada (tanaman pisang untuk konsumsi sendiri) Tahun ke-5 a. Panen kayu 844 pohon – (884 x 15 % untuk penjarangan) 717 pohon x 0,5 m²/phn x 40.000 Total Penerimaan Total Biaya Keseluruhan Keuntungan
Nilai
312.500 312.500
253.200 0
14.340.000 15.218.200 6.780.500 8.437.700
65
Penerimaan usahatani lainnya didapatkan pada tahun ke -3 dari hasil panen kayu pada saat me lakukan penjarangan. Penjarangan merupakan cara yang umum digunakan untuk mengurangi kepadatan tajuk tanaman sehingga bibit Sengon dapat tumbuh besar karena mendapatkan cahaya yang cukup dan memilki akar yang cukup kuat. Dengan adanya penjarangan, akar tanaman tidak akan sulit untuk mendapatkan makanan (unsur mikro dan makro) yang cukup bagi pertumbuhan fisiologis tanaman. Kayu yang dijarangi atau ditebang merupakan kayu hasil seleksi yang apabila dilihat secara fisik kayu tersebut kurang bernilai ekonomis, seperti bentuknya tidak lurus /jelek, berpenyakit, dan memiliki batang yang paling kecil bila dibandingkan dengan yang lainnya. Berdasarkan penelitianpenelitian terdahulu jumlah pohon yang dijarangi sebesar 15 persen dari jumlah keseluruhan pohon yang ada. Dengan jumlah volume kayu diperkirakan sudah mencapai kurang lebih 0.2 m3/pohon dan harga yang berlaku sebesar kurang lebih Rp 10.000/m3. Dari hasil perhitungan biaya dan keuntungan pada Tabel 13 dan 14, dapat dilihat bahwa usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, dkatakan layak untuk dikembangkan karena memberikan keuntungan yang cukup besar yaitu sebesar Rp 8.437.700 /musim tanam (5 thn), atau sebesar Rp 1.687.540 /thn. Untuk melihat lebih jauh mengenai kelayakan usahatani kayu Sengon tersebut, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan lain yaitu dengan perhitungan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return) dan B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio).
66
Tabel 14. Analisis Biaya Usahatani kayu Sengon Dalam 5000 m² No
Uraian
I 1.
Biaya Tetap Biaya Tahun Ke-I 1. Sewa Tanah 5000 m²x 600.000/th 2. Alat-alat a. Cangkul 2 buah @ Rp. 30.000 b. Golok 2 buah @ Rp. 25.000 c. Alat peny iraman 1 buah Total Biaya Tidak Tetap Tahun ke 1 a. Bibit 5000 m² : (3x2) = 844 bibit x Rp 500,Bibit cadangan 20% = 169 x Rp 500 ,b. Pupuk kandang = 10 ton x 15000/kg c. Obat Pestisida 1,5 kg x 9000 Insektisida 1.5 kg x 14000 d. Bibit tanaman Singkong Total d. Tenaga Kerja 1. P embuatan lubang (1HOK=22 lubang) 38 HOK x @ Rp. 15000 2. Penanaman (I HPK = 40) 21 HOK x @ Rp. 15000 3. Penyiraman 25 HOK x @ Rp. 15000 4. Penyulaman 10 HOK x @ Rp. 15000 5. Penyiangan 10 HOK x @ Rp. 15000 6. Pemupukan 12 HOK x @ Rp. 15000 7. Pengendalian 10 HOK x @ Rp. 15000 Total Biaya Tahun Ke-1 Biaya Tahun Ke 2 s/d 4 a. Pupuk kandang 150.000 x 1 kali b. Obat pestisida + insektisida 34.500 x 5 kali c. Tenaga Kerja 1. Penyiangan 4 x @ Rp. 15,000 2. Pemupukan 4x @ Rp. 18.000 3. Pengendalian 4x @ Rp. 15.000 4. Penjarangan 15 HOK x @ Rp. 15.000 5. Panen 10 HOK @ Rp. 20.000 (rokok, mkn,minum,dll) Total Biaya Tahun Ke-2 s/d 4 Total Biaya Tidak Tetap Rp. 2.681.000 + Rp. 939.500 Total Biaya Keseluruhan
II 1.
2.
III IV
Nilai (Rp)
3.000.000 60.000 50.000 50.000 3.160.000
422.000 84.500 150.000 13.500 21.000 100.000 791.000
570.000 315.000 375.000 150.000 150.000 180.000 150.000 2.681.000 150.000 172.500
60.000 72.000 60.000 225.000 200.000 939.500 3.620.500 6.780.500
67
a. NPV (Net Present Value) Berdasarkan hasil perhitungan NPV usahatani budidaya kayu Sengon di Kecamatan Cililin dengan nilai r (tingkat keuntungan yang disyaratkan) yang diharapkan sebesar 30 persen didapatkan hasil positif sebesar Rp 1.710.564. Hal ini berarti usahatani kayu Sengon tersebut layak untuk diusahakan. Nilai initial Investment merupakan nilai investasi awal usaha budidaya yang akan dilakukan meliputi biaya sewa tanah seluas 5000 m², dan biaya alat-alat yang dibutuhkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 30 % Tahun Ke-
Aliran Kas Bersih
r = 30 %
Present Value (Rp)
1
312.500
0.76923
240.384
2
312.500
0.59172
184.913
3
253.200
0.45517
115.249
4
0
0.35013
0
5
14.340.000
0.26933
3.862.192
Total PV of Cash Flow
4.402.738
Initial Investment
3.160.000
b. IRR (Internal Rate of Return) Berdasarkan hasil teknik interpolasi, yaitu dengan terlebih dahulu mencari nilai Present Value hasil NPV yang berlawanan arah yaitu NPV yang bernilai positif dengan NPV yang ber nilai negatif. Untuk NPV yang bernilai positif pada usahatani kayu Sengon dapat digunakan NPV pada Tabel 16 di atas. Sedangkan NPV negatif -nya dapat dilihat pada Tabel 16 sebagai berikut :
68
Tabel 16. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 40 % Tahun Ke-
Aliran Kas Bersih
r = 40 %
Present Value (Rp)
1
312.500
0.71429
223.216
2
312.500
0.51020
159.438
3
253.200
0.36443
92.274
4
0
0.26031
0
5
14.340.000
0.18593
2.666.236
Total PV of Cash Flow
3.141.164
Initial Investment
3.160.000
NPV
-188.36
Hasil interpolasi nilai NPV pada usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin menunjukkan nilai IRR yang lebih besar daripada tingkat keuntungan yang diharapkan, yaitu sebesar 39.85. Sehingga berdasarkan ketentuan maka usulan investasi usahatani kayu Sengon tersebut
layak untuk dilanjutkan. Nilai r
merupakan nilai sekarang dari 1 rupiah pada akhir tahun. Perhitungan interpolasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Perhitungan Interpolasi Present Value Dengan r 30 dan 40 r
PV (Rp)
40
3.141.164
30
4.402.738
Selisih 10
1.261.574
Sehingga IRR yang diinginkan adalah : IRR = 30 % + 1.242.738 x 10 % = 39.85 % 1.261.574 IRR (39.85 %) > r yang diinginkan (30 %)
69
c. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio) Perhitungan B/C ratio adalah untuk mengetahui apakah dengan suatu pengorbanan tertentu akan diperoleh manfaat. Usulan investasi akan diterima atau layak untuk dikembangkan apabila nilai B/C ratio mempunyai nilai lebih dari 1 (satu). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : B/C ratio
=
Manfaat yang telah dinilai sekarang Pengorbanan yang telah dinilai sekarang
Untuk perhitungan B/C ratio pada usahatani kayu Sengon dapat dilihat pada Tabel 18 sebagai berikut :
Tabel 18. Perhitungan B/C ratio pada Usahatani Kayu Sengon Biaya Tetap
Jumlah
Biaya Tidak Tetap
Jumlah
- Sewa Tanah
Rp. 3.000.000
- Tahun ke-1
Rp.
880.000
- Penyusutan alat 15%
Rp.
- Tahun ke-2 s/d 4
Rp.
648.000
Total
Rp. 3.024.000
Total Biaya
Rp. 3.024.000 + Rp. 1.528.500 = Rp. 4.552.500
Penerimaan
Rp. 15.218.200
B/C ratio
Rp. 15.218.200
24.000
Rp. 1.528.500
= 3.34
Rp. 4.552.500
Berdasarkan hasil perhitungan B/C ratio diatas, nilai B/C ratio pada investasi usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung lebih dari 1(satu), sehingga usaha tersebut dinyatakan layak untuk dilakukan.
70
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan 1. Saluran yang paling banyak digunakan dalam kegiatan tataniaga kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung adalah saluran tataniaga I (Petani– Tengkulak–Pedagang Penampung). Dengan marjin tataniaga tengkulak sebesar 36,51 persen dan keuntungan sebesar 154,05 persen, sedangkan Farmer’s share petani sebesar 63,40 persen dengan keuntungan sebesar 29,22 persen. 2. Rata-rata marjin keuntungan terbesar dimiliki oleh pengolah dengan jumlah sebesar
Rp
46.488.10/m3,
kemudian
diikuti
oleh
IPK
sebesar
Rp
36.916.67/m3. Selanjutnya tengkulak sebesar Rp 35.375.00/m3 , dan yang terakhir adalah petani sebesar Rp 28.132.19/m3. 3. Sistem tataniaga kayu gergajian jenis Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung belum efisien karena tidak adanya pembagian yang keuntungan yang merata antara pelaku tataniaga yang terlibat. 4. Usaha budidaya Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung layak untuk dilakukan karena berdasarkan nilai B/C ratio le bih dari 1 (satu), yaitu sebesar 3,34, dengan nilai NPV positif sebesar 2.242.738 dan nilai IRR sebesar 39.85 persen lebih besar dari r yang diinginkan.
71
7.2. Saran 1. Perlu adanya pelatihan budidaya tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) secara terpadu bagi petani yang ada di wilayah Kecamatan Cililin, sehingga diharapkan usahatani tersebut dapat memiliki produktivitas hasil yang tinggi dan pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan bagi petani. 2. Untuk meningkatkan efisiensi sistem tataniaga kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, perlu dibentuk kelompok tani sebagai wadah bagi petani untuk mengetahui informasi pasar, mendapatkan bantuan modal dan teknologi budidaya yang digunakan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Arief,A. 1994. Hutan. Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Azzaino, Z. 1983. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Budi, S.H. 1992. Budidaya Sengon. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Djojosoebroto, J. 2000. Hutan Tanaman Industri (HTI) Merupakan Model Pengelolaan Hutan Produksi di Masa Depan. Makalah Kuliah Umum. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Djakman, D. C. 1999. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Salabenda empat. Jakarta. Firman, N. 1998. Analisis Efisiensi Tataniaga Mangga Cengkir, Arumanis dan Gedong. Kasus di Desa Kebulen, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Gunawa n, J. 2000. Pemanfaatan Limbah Industri Penggergajian Untuk Balok Laminasi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Harvina, N. 1999. Peningkatan Nilai Tambah Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Melalui Penggunaannya Sebagai Bahan Baku Industri Penggergajian Kayu dan Medium Density Fiberboard (MDF). Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Harianto. 2003. Studi Kelayakan Proyek Pertanian (SKPP). Bahan Kuliah Mahasiswa Ekstensi Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor. Hammond, J.W. dan Dale C. Dahl. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGraw- Hill Book Company, Inc. Hanafiah dan Saefudin. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Kotler, P. 1990. Dasar–dasar Pemasaran. CV. Intermedia. Jakarta. Kohls, R.L. 1967. Marketing of Agricultural Products. The Macmillan Company. New York.
73
Maryatun, S. 1999. Analisis Biaya dan Pemasaran (Marketing Marjin), Kayu Gergajian di DKI Jakarta (Studi Kasus di Kalibaru). Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. NFTA World Education. 1991. Paraserianthes falcataria : Juara Pertumbuhan di Asia Tenggara. Lembar Informasi Pohon Pengikat Nitrogen. Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Nitrogen Fixing Tree Asociational. Arkansas. Studio Driya Media. Jakarta. Limbong, W.H. 1991. Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Padlinurjaji, I.M. Ruhendi, S. 1983. Penggergajian. Makalah Kuliah. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Rizkiawan, B. 2003. Kajian Penge mbangan Bisnis Analisis Kelayakan Usaha Unit Bisnis Breeding Sari Buah Farm. Kabupaten Kuningan, Propinsi Jawa Barat Institut Pertanian Bogor. Ruhendi, S. Padlinurjaji, I.M. 1983. Penggergajian Makalah Kuliah. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suratman. 2002. Studi Kelayakan Proyek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Suhendang. 1993.Menguak Permasalahan Pengelolaan Hutan Alam Tropis di Indonesia. Forum Pengkajian Pengelolaan Hutan Tropis. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soerianegara, I. 1996. Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soekartawi, Soeharjo. A. Dillon, J.L. Handover, J.B. 1986. Ilmu Uasahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Wayan, I.R.. et all. 2001. Prisiding Pembangunan Pertanian dan Kehutanan tahun 2001 ke depan. Buku I. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengemba ngan Pertanian. Bogor. Winandi, R. 2003. Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah Mahasiswa Ekstensi Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. BIAYA PRODUKSI KEBUN SENGON KECAMATAN CILILIN (Paraserianthes falcataria) Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Mamad Ateng Usep Ahmad Mahmud Atang Koasasih H. Kurnia H. Adang Asep Udin Mamat H. Amin Asep Saepulloh Endin Ali Umar H. Awang Saepul Solihin Eman Dadang Ocim Aep Sumarna
Luas lahan Biaya Pengelolaan Tahun 2005 (Rp) (Ha) Tenaga Kerja Pupuk Bibit Obat 0,14 0 0 137500 35000 2,5 200000 58000 0 48000 1,71 0 435000 0 30000 1,42 300000 217500 50000 24000 1,5 400000 100000 100000 0 0,21 0 2500 0 0 0,85 105000 30000 0 0 1,42 400000 350000 40000 0 0,28 48000 40000 0 10000 0,71 0 0 50000 0 0,21 250000 25000 50000 25000 2 700000 0 100 50000 0,36 400000 0 50000 20000 0,71 30000 180000 0 0 1 250000 0 20000 100000 0,57 120000 40000 0 0 1 150000 0 100000 0 0,28 200000 15000 0 0 0,14 0 0 150000 5000 0,35 60000 0 100000 0 2,14 3000000 45000 65000 0 0,71 300000 50000 100000 0 0,29 0 30000 0 5000 0,43 400000 0 0 9000 0,05 0 30000 13750 8000
Jumlah 172500 306000 465000 591500 600000 2500 135000 790000 98000 50000 350000 850000 470000 210000 370000 160000 250000 215000 155000 160000 3110000 450000 35000 409000 51750
Volume (m3) 0 8 1 25 17 1 6 20 2 5 4 14 5 3 14 4 2 4 4 12 20 16 3 5 2
Biaya Produksi (Rp/m3) 0 38250 465000 23660 35294,12 2500 22500 39500 10000 10000 87500 60714,29 94 70 26428,57 40 125 53750 38750 13333,33 155500 28125 11666,67 81800 25875
Lanjutan 26 H. Encu 27 Aang 28 Adi 29 Iip 30 Marwan 31 H. Ahmad Sueb 32 Otang 33 Mang Karna 34 Yayat 35 Mang Ocim 36 Badru 37 Idis 38 Usep 39 Ato 40 Rahmat Jumlah Rata – rata Persentase
0,5 1,14 0,71 2,14 1,5 3 2 1 0,57 0,71 0,42 0,71 1,28 0,85 0,28 37,79 0,95 2,29
100000 0 108000 35200 500000 794000 450000 0 500000 100000 0 49000 68000 25000 40000 11360200 284005 67,80
30000 0 20000 50000 45000 120000 25000 360000 200000 50000 30000 30000 50000 36000 0 2694000 67350 16,15
0 0 20000 30000 60000 500000 8000 0 0 6700 0 120000 100000 100000 25000 1645950 41148,75 9,82
10000 0 3000 25000 20000 0 0 72000 24000 0 7500 10000 10000 50000 7500 608000 15200 3,83
140000 0 151000 140200 625000 1414000 483000 432000 724000 156700 37500 650000 840000 436000 72500 16758,150 418953,73 100
1 15 6 14 5 6 10 25 6 3 2 20 10 5 2 327 8.18 100
140 0 25166,67 10014,29 125 235666,67 48300 17280 120666,67 52233,33 18750 32500 84000 87200 36250 2631174,6 65779,37 100
Lampiran 2. SALURAN TATANIAGA I KAYU SENGON KECAMATAN CILILIN TAHUN 2005 PETANI A. Bi. Produksi b. Keuntungan Petani c. Harga Jual No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Tengkulak UDIN AMRU ATAN H. ACENG ONIH TISNA UNTUNG ISMET SOPIAN RUKAYAT TOTAL RATA - RATA PELAKU FS (%) RK (%)
KET :
Rp/M3 65,779.37 19,220.63 85,000.00 Harga Beli Rp/m3 100,000.00 80,000.00 100,000.00 75,000.00 100,000.00 75,000.00 80,000.00 80,000.00 75,000.00 765,000.00 85,000.00 PETANI 63.40 29,22
FS = FARMER SHARE RK = RASIO KEUNTUNGAN
TENGKULAK 137,84
Harga Jual Rp/m3 165,000.00 140,000.00 140,000.00 120,000.00 150,000.00 125,000.00 120,000.00 125,000.00 120,000.00 1,205,000.00 133,889.00
Marjin TN 65,000.00 60,000.00 40,000.00 45,000.00 50,000.00 50,000.00 40,000.00 45,000.00 45,000.00 440,000.00 48,889.00
Biaya TN 23,000.00 30,000.00 10,000.00 15,000.00 15,000.00 20,000.00 19,500.00 30,000.00 22,500.00 185,000.00 20,556.00
Keuntungan 42,000.00 30,000.00 30,000.00 30,000.00 35,000.00 30,000.00 20,500.00 15,000.00 22,500.00 255,000.00 28,334.00
Lampiran 3. SALURAN TATANIA GA II KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005 PETANI A. Bi. Produksi b. Keuntungan Petani c. Harga Jual No 1 2 3 4
Rp/M3 65,779.37 19,220.63 85,000.00 Harga Beli Rp/m3
Nama Tengkulak H. Ace H. Umar Supendi Engkos
80,000.00 85,000.00 75,000.00 100,000.00 340,000.00 85,000.00
TOTAL RATA - RATA
No 1 2 3
Harga Beli Rp/m3
Industri Ade Asep Pratama Ahmad Hoer
TOTAL RATA - RATA PELAKU FS (%) RK (%) FS = FARMER SHARE RK = RASIO KEUNTUNGAN
PETANI 64.16 29.22
Harga Jual Rp/m3 120,000.00 140,000.00 110,000.00 160,000.00 530,000.00 132,500.00 Harga Jual Rp/m3
150,000.00 200,000.00 250,000.00 600,000.00 200,000.00 TENGKULAK
200,000.00 240,000.00 280,000.00 720,000.00 240,000.00 INDUSTRI
173.97
166.66
Marjin TN 40,000.00 65,000.00 35,000.00 60,000.00 200,000.00 50,000.00
Marjin TN 50,000.00 40,000.00 30,000.00 120,000.00 40,000.00
Biaya TN 18,000.00 20,000.00 15,000.00 20,000.00 73,000.00 18,250.00
Biaya TN 15,000.00 18,000.00 12,000.00 45,000.00 15,000.00
Keuntungan 22,000.00 45,000.00 20,000.00 40,000.00 127,000.00 31,750.00
Keuntungan 35,000.00 22,000.00 18,000.00 75,000.00 25,000.00
Lampiran 4. BIAYA TN SALURAN I Biaya (Rp/m3) Produksi
1. Tenaga Kerja 2. Bongkar Muat 3. Chainsaw 4. Transportasi Jumlah Total Biaya
Petani 65,779.37 1 15,000.00 0.00 5,000.00 3,000.00 23,000.00
% 70.51 Tengkulak 2 3 10,000.00 10,000.00 0.00 0.00 0.00 5,000.00 5,000.00 7,500.00 15,000.00 22,500.00 93,279.37
Rata - rata 11,500.00 5,000.00 5,000.00 6,000.00 27,500.00
% 12.33 5.36 5.36 6.43 100.00
BIAYA TN SALURAN II Biaya (Rp/m3) Produksi
Tenaga Kerja Bongkar Muat Chainsaw Transportasi Jumlah
Produksi Pemanenan Transportasi Penyusutan Asah gergaji Bahan bakar Jumlah Total Biaya Keseluruhan
Petani 65,779.37
% 65.00 Tengkulak
1 2 8,000.00 5,000.00 0.00 0.00 5,000.00 5,000.00 5,000.00 10,000.00 18,000.00 20,000.00 Industri 7,500.00 0.00 2,500.00 2,000.00 0.00 3,000.00 15,000.00
3 5,000.00 0.00 5,000.00 10,000.00 20,000.00
5,000.00 2,000.00 0.00 0.00 8,000.00 3,000.00 0.00 0.00 3,000.00 2,000.00 2,000.00 5,000.00 18,000.00 12,000.00 101,195.37
4 10,000.00 0.00 5,000.00 5,000.00 20,000.00 Rata - rata 4,833.33 0.00 4,500.00 666.67 1,666.67 3,333.33 15,000.00
Rata - rata 7,000.00 0.00 5,000.00 6,250.00 18,250.00 % 4.77 0.00 4.44 1.97 2.47 3.29 100.00
% 6.91 0.00 4.94 6.17
Lampiran 5. SALURAN TATANIAGA III KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005 PETANI A. Bi. Produksi b. Keuntungan Petani c. Harga Jual No
Rp/M3 65,779.37 14,934.91 80,714.28 Beli dari Petani (Rp/m3)
Pengolah
Harga jual Log Olahan (Rp/m3) (Rp/m3) 100,000.00 125,000.00
1
Komar
75,000.00
2
Dadang
70,000.00
0.00
3
Usep
90,000.00
4
Parman
100,000.00
5
Mamat
6
Dayat
7
Sukarna
Log
Biaya TN (Rp/m3)
Jasa
Sewa Bandsaw
Keuntungan Log
Jasa
50,000.00
12,000.00
20,000.00
13,000.00
18,000.00
31,000.00
120,000.00
0.00
50,000.00
15,000.00
20,000.00
0.00
15,000.00
15,000.00
120,000.00
160,000.00
30,000.00
70,000.00
20,000.00
30,000.00
10,000.00
20,000.00
30,000.00
0.00
150,000.00
0.00
50,000.00
20,000.00
25,000.00
0.00
5,000.00
5,000.00
85,000.00
0.00
125,000.00
0.00
40,000.00
15,000.00
20,000.00
0.00
5,000.00
5,000.00
75,000.00
100,000.00
125,000.00
25,000.00
50,000.00
18,000.00
20,000.00
7,000.00
12,000.00
19,000.00
70,000.00
0.00
120,000.00
50,000.00
50,000.00
20,000.00
20,000.00
30,000.00
10,000.00
40,000.00
565,000.00
320,000.00
925,000.00
130,000.00
360,000.00
120,000.00
155,000.00
60,000.00
85,000.00
145,000.00
80,714.29
106,667
132,143
32,500.00
51,428.57
17,142.86
22,142.86
15,000.00
12,142.86
20,714.29
PETANI 67,60 22.70
TENGKULAK
Rata - rata
52.72
Biaya TN SALURAN III Biaya (Rp/m3) Produksi
Petani 65,779.37 1
% 59.77 2
3
Pengolah 4
5
6
7
Rata - rata
%
Tenaga Kerja Bongkar Muat Sewa Chainsaw
6,000.00 0.00 0.00
10,000.00 0.00 0.00
10,000.00 0.00 0.00
8,000.00 5,000.00 0.00
10,000.00 0.00 0.00
10,000.00 0.00 0.00
7,000.00 5,000.00 0.00
8,714.29 5,000.00 0.00
7.91 4.54 0.00
Transportasi
6,000.00
5,000.00
10,000.00
7,000.00
15,000.00
8,000.00
8,000.00
8,428.57
7.66
20,000.00
20,000.00
30,000.00
25,000.00
20,000.00
20,000.00
20,000.00
22,142.86
20.12
32,000.00
35,000.00
50,000.00
45,000.00
45,000.00
38,000.00
40,000.00
44,285.71
Sewa Bandsaw Jumlah Total Biaya
Total
25,000.00
Total
PELAKU FS (%) RK (%)
Marjin TN
110,065.40
100.00
Lampiran 6. SALURAN TATANIAGA IV KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005 PETANI A. Bi. Produksi b. Keuntungan Petani c. Harga Jual
Rp/M3 65,779.37 37,553.96 103.333.33
No
Beli dari Petani 100,000.00 100,000.00 110,000.00 310,000.00 103,333.33 PETANI 55,86 57.09
1 2 3
Pengolah H. Tatang Mang Ibro Otong Total Rata - rata PELAKU FS (%) RK (%)
Harga Jual Log Olahan 125,000.00 230,000.00 125,000.00 250,000.00 150,000.00 230,000.00 400,000.00 710,000.00 133,333.33 236,666.67 TENGKULAK
Marjin Log Olahan 25,000.00 130,000.00 25,000.00 150,000.00 40,000.00 120,000.00 90,000.00 400,000.00 30,000.00 133,333.33
87.77
BIAYA TN SALURAN IV Biaya (Rp/m3) Produksi
Petani 65,779.37 1
Tenaga Kerja Bongkar Muat Sewa Chainsaw Transportasi Sewa Bandsaw Jumlah Total Biaya
% 75.80 Pengolah 2
5,000.00 0.00 0.00 5,000.00 5,000.00 15,000.00
3 5,000.00 5,000.00 0.00 2,000.00 0.00 0.00 5,000.00 8,000.00 0.00 5,000.00 10,000.00 20,000.00 86,779.37
Rata - rata 5,000.00 2,000.00 0.00 9,000.00 5,000.00 21,000.00
% 5.76 2.30 0.00 10.38 5.76 100.00
Biaya TN 15,000.00 10,000.00 20,000.00 45,000.00 15,000.00
Keuntungan Log Jasa 10,000.00 115,000.00 15,000.00 135,000.00 20,000.00 100,000.00 45,000.00 350,000.00 15,000.00 116,666.67
Total 125,000.00 150,000.00 120,000.00 395,000.00 131,666.67
Lampiran 7. SALURAN TATANIAGA V KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005 PETANI A. Bi. Produksi b. Keuntungan Petani c. Harga Jual No 1 2 3 4
Industri Utay Maman Asep Darma Total Rata - rata PELAKU FS (%) RK (%)
Rp/M3 65,779.37 51,720.63 117,500.00 Beli dari Petani 100,000.00 120,000.00 110,000.00 140,000.00 470,000.00 117,500.00 PETANI 56.29 78.63
Harga Jual Olahan 180,000.00 180,000.00 225,000.00 250,000.00 835,000.00 208,750.00 TENGKULAK
Marjin TN 80,000.00 60,000.00 115,000.00 110,000.00 365,000.00 91,250.00
Biaya TN 35,000.00 20,000.00 40,000.00 27,000.00 122,000.00 30,500.00
Keuntungan 45,000.00 40,000.00 75,000.00 83,000.00 243,000.00 60,750.00
199.18
Biaya TN Saluran V Biaya Produksi Kegiatan Produksi Pemanenan Bongkar muat Sewa Chainsaw Transportasi Penyusutan Asah gergaji Bahan bakar Jumlah Total Biaya
Petani 65,779.37 1 7,500.00 4,000.00 0.00 0.00 18,000.00 1,000.00 0.00 4,500.00 35,000.00
% 46.31 Industri 2 3 9,000.00 10,000.00 0.00 5,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5,000.00 10,000.00 1,000.00 1,000.00 0.00 9,000.00 5,000.00 5,000.00 20,000.00 40,000.00 142,029.37
4 7,000.00 0.00 2,000.00 0.00 10,000.00 1,000.00 0.00 7,000.00 27,000.00
Rata - rata 8,375.00 4,500.00 2,000.00 0.00 43,000.00 4,000.00 9,000.00 5,375.00 76,250.00
% 5.90 3.17 1.40 0.00 30.28 3.00 6.33 3.79 100.00
Lampiran 8. SALURAN TATANIAGA VI KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005 PETANI A. Bi. Produksi b. Keuntungan Petani c. Harga Jual No 1 2
No 1 2
Tengkulak Ali Mamad Total Rata - rata Industri
Rp/M3 65,779.37 21,720.63 87,500.00 Beli dari Petani 100,000.00 75,000.00 175,000.00 87,500.00
Harga Jual Log 150,000.00 140,000.00 290,000.00 145,000.00
Beli dari Petani
Harga Jual Log
Asep Pratama H. Otong Total Rata - rata
140,000.00 150,000.00 290,000.00 145,000.00
PELAKU FS (%) RK (%)
PETANI 60.35 33.02
190,000.00 210,000.00 400,000.00 200,000.00 TENGKULAK 105.36
Marjin TN 50,000.00 65,000.00 115,000.00 57,500.00 Marjin TN 50,000.00 60,000.00 110,000.00 55,000.00 Industri 83.33
Biaya TN 25,000.00 31,000.00 56,000.00 28,000.00 Biaya TN 28,000.00 32,000.00 60,000.00 30,000.00
Keuntungan 25,000.00 34,000.00 59,000.00 29,500.00 Keuntungan 22,000.00 28,000.00 50,000.00 25,000.00
Lampiran 9. Biaya Tataniaga S aluran VI Biaya (Rp/m3) Produksi
Tenaga Kerja Bongkar muat Chainsaw Transportasi Jumlah
Produksi Pemanenan Transportasi Penyusutan Asah Gergaji Bahan bakar Jumlah Toatal Biaya
Petani % 65,779.37 53.14 Tengkulak 1 2 15,000.00 20,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10,000.00 11,000.00 25,000.00 31,000.00 Industri 1 2 5,000.00 10,000.00 0.00 0.00 5,000.00 5,000.00 5,000.00 2,000.00 5,000.00 5,000.00 8,000.00 10,000.00 28,000.00 32,000.00 123,779.37
Rata - rata 17,500.00 0.00 0.00 10,500.00 28,000.00 Rata - rata 7,500.00 0.00 5,000.00 3,500.00 5,000.00 9,000.00 30,000.00
% 14.14 0.00 0.00 8.48
% 6.06 0.00 4.03 2.82 4.03 7.27 100.00
Lampiran 10. SALURAN TATANIAGA VII KAYU SENGON KECAMATAN CICLILIN TAHUN 2005 PETANI A. Bi. Produksi b. Keuntungan Petani c. Harga Jual No 1 2 3 4 5 6
Industri
Rp/M3 65,779.37 32,554.00 98,333.33 Beli dari Petani
Harga Jual Log
Rukayat Ali Udin Ismet Sopian Onih Atan Total Rata - rata
100,000.00 100,000.00 90,000.00 120,000.00 95,000.00 85,000.00 590,000.00 98,333.33
180,000.00 160,000.00 175,000.00 200,000.00 150,000.00 150,000.00 1,015,000.00 169,166.67
Marjin TN 80,000.00 60,000.00 85,000.00 80,000.00 55,000.00 65,000.00 425,000.00 70,833.33
Biaya TN 27,500.00 21,000.00 9,000.00 15,000.00 20,000.00 21,000.00 113,500.00 18,916.67
Keuntungan 52,500.00 39,000.00 76,000.00 65,000.00 35,000.00 44,000.00 311,500.00 51,916.67
PELAKU FS (%) RK (%)
PETANI 58.13 49.48
Biaya TN Saluran VII Biaya (Rp/m3) Produksi
Petani 65,779.37
% 72.44 Tengkulak
Tenaga Kerja Bongkar muat Chainsaw Transportasi Jumlah Total Biaya
1 8,000.00 4,000.00 5,000.00 10,500.00 27,500.00
2 6,000.00 3,500.00 4,000.00 7,500.00 21,000.00
3 6,000.00 0.00 3,000.00 0.00 9,000.00
4 10,000.00 0.00 0.00 5,000.00 15,000.00 90,796.04
5 10,000.00 0.00 5,000.00 5,000.00 20,000.00
6 10,000.00 0.00 6,000.00 5,000.00 21,000.00
Rata - rata 9,166.67 3,750.00 4,600.00 7,500.00 25,016.67
% 7.36 3.01 3.69 6.02 100.00
TENGKULAK 274.45
85
Lampiran 11. SISTEM PEMBAYARAN TENGKULAK DAN PENGOLAH No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pelaku TN Pengolah Komar Dadang Usep Parman Mamat Dayat Sukarna H. Tatang M ang Ibro Otong Tengkulak Udin Ali Amru Atan H. Aceng Onih Tisna Untung Ismet Sopian Rukayat H. Ace H. Umar Supendi Engkos M amad Asep.P H. Otong Total Persen (%)
Sistem Pembayaran Kontan Tempo Keduanya
17 62,96
3 11,11
7 25,93
JUMLAH PENDUDUK MENURUT MATA PENCAHARIAN No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis Pekerjaan Petani Buruh tani Pengusaha sedang/besar Pengrajin kecil Buruh industri Buruh bangunan Buruh pertambangan Buruh perkebunan Pedagang Pengangkutan Pegawai negeri sipil ABRI Pensiunan ABRI/PNS Peternak
Jumlah (orang) 8838 3443 20 807 1615 550 6 12 2007 539 951 93 483 119
Lampiran 12. Analisis Biaya Kegiatan Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria ) di Kecamatan Cililin Tahun 2005 No I 1 2 3 4 a b c d e f g h i
Kegiatan
Biaya Bibit Pupuk Obat Tenaga Kerja Pembuatan Lubang Penanaman Penyiraman Penyulaman Penyiangan Penjarangan Pemupukan Pengendalian Panen Total Biaya Penerimaan Panen Pendapatan Bersih
Tahun (Rp) 1
2
Rp 506,500 Rp 150,000 Rp 34,500
Rp 150,000 Rp 34,500
Rp Rp Rp Rp Rp
57,000 31,500 37,500 15,000 15,000
Rp
15,000
Rp 18,000 Rp 15,000
Rp Rp
18,000 15,000
3
Total (Rp) 4
5
Rp 34,500
Rp 34,500
Rp 34,500
Rp 15,000 Rp 22,500
Rp 15,000
Rp 15,000
Rp 15,000
Rp 15,000
Rp 15,000 Rp 200,000
Rp 506,500 Rp 300,000 Rp 172,500 Rp Rp 57,000 Rp 31,500 Rp 37,500 Rp 15,000 Rp 75,000 Rp 22,500 Rp 36,000 Rp 75,000 Rp 200,000 Rp 1,528,500 Rp15,218,200 Rp13,690,000
Lampiran 13. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005 Biaya Tataniaga Tengkulak 1. Tenaga Kerja 2. Bongkar Muat 3. Chainsaw 4. T ransportasi Pengolah 1. Tenaga Kerja 2. Bongkar Muat 3. Sewa Chainsaw 4. Transportasi 5. Sewa Bandsaw Industri 1. Produksi 2. Pem anenan 3. Transportasi 4. Penyusutan 5. Asah gergaji 6. Bahan bakar 7. Bongkar muat 8. Sewa Chainsaw Total
Saluran I (Rp/m3) % 11.500.00 5.000.00 5.000.00 6.000.00
42 18 18 22
Saluran II (Rp/m3) % 2.878.08 1.251.34 1.251.34 1.501.61
-
-
-
27.500.00
100
4.833.33 0.00 4.500.00 666.67 1.666.67 3.333.33 0.00 0.00 21.882.37
13 6 6 7
Saluran III (Rp/m3) %
Saluran IV (Rp/m3) %
Saluran V (Rp/m3) %
Saluran VI (Rp/m3) %
Saluran VII (Rp/m3) %
-
-
-
-
-
-
17.500.00 0.00 0.00 10.500.00
30 0 0 18
9.166.67 3.750.00 4.600.00 7.500.00
37 15 18 30
-
8.714.29 5.000.00 0.00 8.000.00 20.000.00
0.21 0.12 0.00 0.19 0.48
5.000.00 2.000.00 0.00 9.000.00 5.000.00
24 10 0 43 24
-
-
-
-
-
22 0 21 3 8 15 0 0 100
41.714.29
100
21.000.00
100
8.375.00 4.500.00 43.000.00 4.000.00 9.000.00 5.375.00 2.000.00 0.00 76.250.00
11 6 56 5 12 7 3 0 100
7.500.00 0.00 5.000.00 3.500.00 5.000.00 9.000.00 0.00 0.00 58.000.00
13 0 9 6 9 16 100
25.016.67
100
Gambar 3. Berbagai Jenis Kayu Olahan Yang Siap Diperdagangkan