PEMANFAATAN KAYU SENGON UNTUK RUMAH SEDERHANA Oleh Barly 1)
ABSTRAK Rumah sederhana, panggung tipe 45
menggunakan kayu sengon telah dibuat oleh Pusat
Penelitian dan Penembangan Hasil Hutan sebagai salah satu bentuk pengembangan dan pemasyarakatan hasil penelitian. Setiap unit membutuhkan kayu balok, kaso dan papan dengan volume 11,21 m3. Kadar air kayu masih tinggi sekitar 32->60%, diawetkan dengan cara rendaman dingin mengunakan bahan pengawet tembaga-khrom-boron (CKB) dan boric acid equivalent (BAE) dengan konsentrasi 8%, selama penyimpanan terjadi proses difusi, penetrasi 100% dengan retensi rata-rata 2,1 kg/m3. Kata kunci: Rumah sederhana, kayu sengon, pengawetan
I.
PENDAHULUAN Target pembangunan 1,35 juta unit rumah baru layak huni yang ditetapkan dalam
rencana pembangnan (RPJM) 2004-2009 sulit dicapai. Sejak tahan 2004 hingga Agustus 2006, jumlah rumah yang dibangun baru 235 ribu unit. Salah satu kendalanya adalah suku bunga yang tinggi di samping pembangunan rumah dianggap sebagai sumber pandapatan daerah (PAD), membuat harga rumah sulit dijangkau (Anonim, 2006). Usulan adanya perpanjangan masa cicilan rumah dari semula maksimum 15 tahun menjadi 25-30 tahun harus diimbangi dengan peningkatan mutu bahan yang digunakan, temasuk kayu. Komponen kayu merupakan bahan yang paling rawan sehingga perlu diawetkan sebelum digunakan. Kayu sengon lazim digunakan oleh penduduk di Jawa Barat untuk bahan rumah. Kayu sengon yang disenangi yang berwarna kemerahan karena relatif awet asal tidak berhubungan dengan air. Martawijaya (1962) dan Djajapertjunda (2002) menyebutkan __________________ 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161
bahwa Wijnhamer pada tahun 1952 telah membangun Tribune di lapangan pacuan kuda di Tanah Sareal Bogor dengan menggunakan konstruksi papan paku menggunakan kayu sengon yang diawetkan dengan cara redaman menggunakan larutan Wolmanit 5%. Sebelumnya, pada tahun 1951 di bangun bengkel mobil di halaman Pusat Litbang Hasil Hutan dengan menggunakan konstruksi yang sama. Kedua bangunan tersebut di atas dimusnahkan setelah berumur lebih dari 20 tahun. Selanjutnya pada tahun 1963 dibangun rumah percobaan dari kayu sengon yang diawetkan dengan garam Wolman masing-masing di Cimanggu tipe dua lantai dan di Sindangbarang satu lantai yang sampai saat ini masih utuh. Garam Wolman yang digunakan waktu itu adalah tipe garam yang mudah luntur, meskipun demikian ternyata dapat memberikan hasil yang baik. Pada periode itu kayu sengon belum sepopuler sekarang dan dapat diduga kayu yang digunakan berasal dari pohon yang sudah cukup umur atau masak tebang. Pada tahun 1972 Pusat Litbang Hasil Hutan juga membuat rumah percobaan kayu sengon yang diawetkan dengan cara rendaman mengunakan larutan boraks 2%, sampai saat ini beberapa rumah masih utuh. Rumah sederhana panggung tipe 45 yang dibangun sekarang menggunakan kayu yang kualitasnya sudah pasti berbeda dengan yang dibangun terdahulu karena kayu yang digunakan berasal dari kayu berdiameter kecil dan masih muda. Martawijaya (1989, 1990) menyebutkan bahwa kayu dari hutan tanaman itu umumnya lebih ringan, teksturnya lebih kasar, lebih banyak mengandung mata yang ukurannya juga kadang-kadang lebih besar seratnya tidak teratur serta banyak mengandung kayu remaja. Pelaksanaan pembuatan rumah, mulai dari perencanaan gambar sampai penyelesaian akhir dilakukan oleh pihak ketiga. Pusat Litbang Hasil Hutan terlibat dalam membantu pengadaan kayu dan pelaksanaan pengawetannya. Hal itu dimaksudkan sebagai salah satu bentuk alih pengetahuan dalam rangka pemasyarakatan hasil penelitian. Dalam tulisan ini disajikan gambar atau model rumah, hasil pengawetan dan beberapa masalah yang mempengaruhi kelancaran pembangunan. II.
BAHAN DAN CARA MEMBANGUN RUMAH Jenis kayu yang digunakan berasal dari batang pohon yang secara botanis sudah
dikenal namanya, dikumpulkan dari kebun rakyat di Bogor. Umur pohon berkisar antara 8-
150
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161
12 tahun, berwarna putih. Dolok digergaji dengan pola satu sisi dijadikan balok dan papan, diserut dan ukuran sortimen akhir; tebal 2, 3, 4, 5, 6 dan 10 cm; lebar 6, 9, 10, 12, dan 20 cm, serta panjang 50, 10, 220, 300 dan 320 cm. Rincian kebutuhan kayu per unit rumah dapat dilihat pada Tabel 1. Kayu yang sudah dikerjakan dengan kadar air cukup tinggi bervariasi antara 32% - >60%
diawetkan dengan cara rendaman dalam larutan 8%,
sebagian menggunakan bahan pengawet tembaga-khrom- boron (TCB) komersial yang mempunyai komposisi 27,5% asam borat, 43,9% natrium dikromat dan 28,6% tembaga sulfat (Anonim, 2003) dan sebagian lagi menggunakan campuran boraks dan asam borat dengan perbandingan bobot 3 : 2. Lama waktu rendaman bervariasi dalam jam bergantung pada ukuran tebal kayu dengan asumsi waktu penyimpanan dan pemasangan akan terjadi proses difusi. Penetapan retenis bahan pengawet dilakukan dengan cara penimbangan berat contoh uji dalam penuh sesuai dengan balok, kaso dan papan yang digunakan, dinyatakan dalam kg/m3. Untuk melihat penembusan bahan pengawet pada kayu digunakan pereaksi yang merupakan uji untuk boron. Daerah penembusan bahan pengawet dicirikan oleh warna kemerahan-merah Bahan pembantu yang digunakan antara lain: batu kali, pasir beton, koral, semen, bata, atap asbes, kayu lapis, engsel pintu dan jendela, unci tanam, grendel jendela, hak angin, kaca polos, paku , pipa paralon, bak air, kloset, besi beton, besi plat, baud-mur, dan bahan finishing. Tahapan kegiatan meliputi: merancang dan menggambar detail, pengadaan dolok, penggergajian dan pembuatan sortimen, pengawetan, pengeringan, pengerjaan kayu, pembuatan umpak beton, penutup atap, pemasangan engsel, grendel dan kaca nako, serta pengerjaan listrik, sanitasi dan finishing. Pada awalnya pembangunan rumah direncanakan menggunakan konstruksi pra-pabrik dengan maksud agar dapat dijadikan dasar dalam pembuatan secara masal, tetapi karena pertimbangan waktu hal itu tidak sepenuhnya dilakukan. Luas lantai bangunan seluruhnya 45,75 m2 dengan pembagian ruang seperti pada Tabel 2. Gambar tampak dan detail bangunan dapat dilihat dalam Lampiran.
151
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161
Tabel 1. Rincian kebutuhan kayu per unit rumah
Panjang 340 300 300 300 300 300 220 200 220 300 300 300 50 100 50 100
Rincian kebutuhan kayu Ukuran sortimen, cm Jumlah batang Lebar Tebal 10 10 15 12 6 69 10 5 170 6 4 175 12 3 155 12 2 345 20 4 8 20 4 4 20 3 8 20 4 10 20 3 22 20 2 3 12 3 49 12 3 13 9 2 38 10 3 30
Volume, m3 0,5100 1,4904 2,5500 1,2600 1,6740 2,4840 0,1408 0,0640 0,1056 0,2400 0,3960 0,0360 0,0882 0,0468 0,0342 0,0900
Tabel 2. Pembagian ruang, jumlah dan luas Jenis ruangan Teras Ruang tamu dan ruang makan Ruang tidur Kamar mandi/WC Dapur Jumlah III.
Jumlah 1 1 2 1 1 6
Ukuran (cm) 300 x 150 550 x 300 300 x 300 150 x 150 300 x 150 -
Luas (m2) 4,50 16,5 18,0 2,25 4.50 45,75
PENGADAAN KAYU Sortimen kayu sengon yang diperdagangkan umumnya tidak standar sehingga tidak
sesuai dengan spesifikasi yang diminta. Pengadaan kayu yang dibutuhkan sesuai perencanaan harus melalui mekanisme pembelian dengan cara pemesanan khusus yang diikat dalam bentuk perjanjian atau kontrak berkaitan dengan volume, spesifikasi, tenggang waktu dan harga. Dengan cara seperti itu juga tidak ada jamininan penyerahan kayu dapat tepat waktu dan sesuai yang diperjanjikan. Pedagang pengumpul umumnya pemodal kecil
152
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161
yang mengutamakan kecepatan perputaran uang. Pemesanan kayu dengan ukuran sortimen dan kualitas yang tidak umum dianggap memberatkan sementara pemintaan kayu sengon cukup kuat sehingga mereka lebih mendahulukan kepentingan relasi atau pelanggan untuk menjaga kepercayaan. Pembelian langsung dengan cara membeli tegakan dihadapkan kepada banyak masalah seperti survey lokasi dan kesediaan pemilik untuk menjual. Pada dasarnya pemilik menjual kayu pada saat membutuhkan dana. Umur pohon dan harga jual sangat dipengaruhi oleh kebutuhannya. Kebanyakan pemilik menjual pohon yang masih berumur muda untuk pembuatan palet, peti, dan papan cor. Di samping itu kayu yang diangkut sebagian berupa limbah karena berasal dari kayu diameter kecil sehingga rendemennya rendah yang berarti harus menyediakan bahan baku dolok cukup banyak. Kondisi di atas menyebabkan kemampuan untuk mengumpulkan dan menyediakan kayu membutukan waktu banyak. Apalagi jumlah yang harus disediakan cukup banyak dengan persyaratan kualitas dan ukuran sortimen yang ketat, padahal jumlah tegakkan harus dicari pada sebaran kayu sangat luas.
IV. PENGGERGAJIAN, PENGERJAAN DAN PENGAWETAN A. Penggergajian Kayu sengon yang digunakan relatif masih muda sekitar 8-12 tahun. Pohon yang ditebang relatif muda menghasilkan dolok berukuran pendek dengan diameter relatif kecil. Makin kecil diameter dolok akan mengakibatkan rendmen kayu gergajian makin rendah. Menurut Kinin-month (1986) dalam Martawijaya (1990) pohon yang ditebang pada umur muda mungkin saja seluruhnya hanya terdiri dari kayu remaja. Kayu remaja menurut Senet (1986) dalam Martawijaya (1990) memiliki banyak kelemahan antara lain: kerapatannya rendah, sudut mikrofibril dalam dinding sel lebih besar yang dapat menyebabkan penyusutan longitudinal, lebih banyak arah serat spiral yang dapat menyebabkan kayu menggelinjang, sifat kekakuan dan kekuatan berkurang.
153
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161
B. Pengerjaan Pengerjaan kayu sengon muda dan basah menghasilkan teksturnya yang kasar, berbulu. Menurut Balfas (1993) munculnya cacat ini disebabkan leh faktor kayu dan proses pemesinan kayu, yaitu kondisi mesin dan peralatan yang digunakan dalam pengerjaan kayu. Pohon muda banyak mengandung mata yang ukurannya juga kadang-kadang lebih besar, seratnya tidak teratur. Keadaan itu mengakibat kayu menggelinjang, susut dan pecah. Oleh karena itu volume realisasi pengadaan kayu meningkat sebesar 3,0088 m3 dari perencanaan semula 8,2012 m3 per unit rumah menjadi 11,2100 m3 per unit. C. Pengawetan Hasil pengukuran retensi dan penetrasi pada berbagai ketebalan contoh uji dan lama waktu perendaman dapat lihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3, dapat diketahui retensi rata-rata sebesar 2,0 kg/m3 jauh di bawah persyaratan standar bagi kayu perumahan sebesar 8,2 kg/m3. Menurut Abdurrohim dan Barly (1982) perpanjangan periode rendaman dingin dari satu hari sampai 7 hari pada pengawetan kayu sengon memakai asam borat tidak menyebabkan kenaikan retensi asam borat. Sedangkan hasil penetrasi diperoleh lebih dari 50% terjadi karena kayu yang diawetkan basah sehingga proses difusi berjalan dengan baik. Secara teknis retensi standar yang dipersyaratkan dapat dicapai dengan cara meningkatkan konsentrasi larutan pengawet, tetapi resikonya biaya pengawetan meningkat. Tabel 3. Retensi dan penetrasi bahan pengawet pada contoh uji Tebal (cm) 2 3 4 2 3 5 10 2 5 6
Waktu redaman (Jam) 4 19 14 4 4 24 24 22 22 22
Retensi bahan pengawet (kg/m3) pada ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rata10 rata, kg/ m3 1,3 1,9 1,4 1,3 2,4 1,5 1,7 1,7 2,5 2,5 1,82 1,9 3,4 2,7 2,1 2,5 3,2 2,2 2,2 3,4 1,9 2,37 2,9 2,7 3,1 3,1 3,5 2,4 4,8 2,7 3,5 4,3 3,30 1,7 1,6 1,5 1,3 1,2 1,46 1,3 1,4 1,3 1,7 1,2 1,38 2,1 1,5 3,0 2,6 2,4 2,32 1,8 1,4 2,9 2,8 2,2 2,22 3,0 1,9 2,5 2,4 1,3 2,22 2,3 2,0 1,2 2,1 2,3 1,98 1,2 1,2 1,3 1,3 1,6 1,32 2,04
Penetrasi, % 100 100 100 100 100 80 70 100 80 80
154
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Membangun rumah dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi jika bangunan yang dihasilkan harus memenuhi persyaratan standar sebagai rumah sehat, baik untuk unit rumahnya sendiri maupun lingkungannya. Hambatan yang paling dirasakan adalah pada pengadaan bahan kayu dan tenaga yang cukup mahir dalam pekerjaan rumah kayu. Untuk memperoleh kualitas bangunan yang baik diperlukan waktu persiapan yang cukup. Kayu muda dengan diamter dolok kecil menyebabkan kulitas dan kuantitas kayu gergajian rendah. Disarankan jangan membuat rumah kayu dalam pembangunan rumah secara masal untuk perumahan rakyat yang berpenghasilan rendah, karena bisa jadi harganya mahal, kecuali kalau dibuat dalam skala pabrik
DAFTAR PUSTAKA Abdurrohim, S. dan Barly. 1982. Pengawetan. Dalam Kartasudirdja, S. Substitusi kayu untuk barang kerajinan. Laporan Kerjasama BPEN-BPHH, Bogor. Tidak diterbitkan. Anonim. 2003. Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. Direktorat Pupuk dan Pestisida. Dirjen Bina Sarana Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. _______. 2006. Pemerintah sulit memenuhi target 1,35 juta unit rumah. Harian Republika. Jumat, 11 Agustus 2006. Balfas J. 1993. Masalah “raised grain” pada kayu Jeungjing. Prosiding Disksi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI, Maret 1993. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Djajapertjunda, M.S. 2002. Hutan & Kehutanan dari Masa ke Masa. IPB Press. pp. 322-326. Martawijaya, A. dan S. Soemarno. 1962. Pengawetan kayu jeungjing (Albizzia falcata Backer) dengan jalan melabur. Laporan No.2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan Bogor. 8p. ____________. 1989. Keawetan kayu yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI. Jakarta, 23 Maret 1989. pp.280-288. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
155
PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161
____________. 1990. Sifat dasar beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Prosiding Diskusi Hutan Tanaman Industri. Jakarta, 13-14 Maret 1990. pp. 268-296. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
156