PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL
DENNY IRAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK DENNY IRAWATI. Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Dibimbing oleh NORMAN RAZIEF AZW AR, WASRIN SYAFII dan I MADE ARTIKA. Saat ini di Indonesia tengah terjadi krisis bahan bakar minyak. Salah satu jenis bahan bakar alternatif adalah bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan lignoselulosa. Dilain pihak, pada tahun 2003, produksi log Indonesia adalah mencapai 10.086.217,06 m3, dengan jumlah limbah industri perkayuan diperkirakan sekitar 3,03-4,03 juta m 3 untuk tahun 2003. Proses pengolahan serbuk kayu menjadi bioetanol dapat dilakukan dengan menggunakan metode sakarifikasi-fermentasi secara simultan. Kendala yang dihadapi dalam hidrolisis serbuk kayu dengan cara enzimatis yang menyebabkan rendahnya laju hidrolisis, salah satunya adalah adanya kandungan lignin dalam serbuk kayu tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan delignifikasi atau penghilangan lignin dari serbuk kayu sebelum perlakuan sakarifikasi-fermentasi simultan untuk meningkatkan kemampuan hidrolisis dari enzim. Penelitian ini dilakukan dengan menyerangkan jamur pelapuk putih yaitu Phanerochaete chrysosporium pada 3 jenis serbuk kayu yaitu jati, meranti dan sengon. Sebelum dan sesudah didegradasi ligninnya menggunakan jamur P. chrysosporium , ketiga jenis serbuk kayu tersebut dianalisis terlebih dahulu kandungan kimianya (ekstraktif, selulosa, holoselulosa, abu dan lignin). Selanjutnya dilakukan proses sakarifikasi-fermentasi secara simultan menggunakan enzim kasar dari Trichoderma viride dan Saccharomyces cerevisiae pada shaker inkubator dengan kecepatan 12 rpm pada suhu 30OC selama 72 jam. Hasilnya berupa etanol dianalisis menggunakan metode kromatografi gas. Rancangan analisis yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu : jenis kayu (A) dan waktu inkubasi (B). Perlakuan pendahuluan dengan jamur Phanerochaete chrysosporium pada berbagai jenis serbuk kayu dan waktu inkubasi meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan sebesar 26,68-76,90%. Sifat kimia serbuk kayu yang berpengaruh nyata terhadap kadar etanol adalah kadar holoselulosa, semakin tinggi kadar holoselulosa maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 0,016-0,448 g/l. Interaksi antara faktor jenis serbuk kayu dengan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap kadar etanol. Kombinasi perlakuan yang paling baik adalah pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari.
ABSTRACT DENNY IRAWATI. The Utilization of Sawdust for Ethanol Production. Under the direction of NORMAN RAZIEF AZWAR, WASRIN SYAFII and I MADE ARTIKA. Currently, Indonesia is in the middle of petroleum crisis. One of the alternative fuels which can be used as a petroleum substitute is ethanol. Ethanol can be produced from the timber waste (sawdust). Indonesia, in 2003, had timber waste potency of about 3 – 4 millions m 3. Process of sawdust manufacturing become an ethanol can be conducted by simultaneous saccharificationfermentation method. However, ethanol production from sawdust has problem due to its lignin content. Therefore, research on bio-delignification treatment of sawdust prior to ethanol making process is required. The research was done by acted of growing white rot fungi Phanerochaete chrysosporium on three kinds of sawdust i.e. jati, meranti and sengon. The chemical contents (extractive contents, cellulose contents, holocellulose contents, ash contents and lignin contents) of these three of sawdust were analyzed previously. Then simultaneous saccharification-fermentation (SSF) process was done by using crude enzyme from Trichoderma viride and then followed by fermentation with Saccharomyces cerevisiae on shaker incubator with rate 12 rpm at temperature 30oC for 72 hours. The result as an ethanol was analyzed by using gas chromatography method. Analysis design used was completely randomized design using 2 factors of treatment i.e. type of wood (A) and time of incubation (B). Pretreatment with Phanerochaete chrysosporium on various types of sawdust and incubation time rises up ethanol contents up to about 26.68 – 76.90%. Chemical contents of sawdust having significant effect to ethanol contents was holocellulose, the higher holocellulose contents give higher ethanol contents. Ethanol contents resulted was about o.o16 – 0.448 g/l. Interaction between factor type of wood and time of incubation had significant effect to ethanol content. The best combination treatment was on sengon sawdust with incubation period of 30 days.
PEMANFAATAN SERBUK KAYU UNTUK PRODUKSI ETANOL
DENNY IRAWATI
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Departemen Biokomia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis Nama NRP PS
: : : :
Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Denny Irawati G. 451040011 Biokimia (BIK)
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof.Dr.H. Norman Razief Azwar Ketua
Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii, M.Agr Anggota
Dr.Ir. I Made Artika, MApp.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi S2 Biokimia
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.drh.Maria Bintang, MS
Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal Ujian: 22 Agustus 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah swt atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2005 hingga bulan Mei 2006. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biokimia, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof.Dr.H.Norman Razief Azwar,M.Sc., Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii,M.Agr. dan Dr.Ir. I Made Artika,Mapp.Sc. sebagai pembimbing dalam penulisan karya ilmiah ini. 2. Teknisi laboratorium Fermentasi Departemen Biokimia, laboratorium Kimia Kayu Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, laboratorium Bioteknologi Hutan Jurusan Budidaya Hutan, laboratorium Kimia dan Serat Kayu Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada atas segala bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaan penelitian. 3. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah berperan dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Disadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2006 Denny Irawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 12 Juli 1978 dari ayah Pudjianto dan ibu Muryati. Penulis merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cilacap dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Sejak tahun 2002 hingga sekarang penulis menjadi staf pengajar di jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2004 penulis mengikuti pendidikan program Magister pada Program Studi Biokimia Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………….
x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………..
xi
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
5
Karakteristik Bahan Baku ...................................................................
5
Kimia Kayu .........................................................................................
7
Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall .................................
15
Reaksi Degradasi Lignin Oleh Jamur ................................................. 17 Kapang Trichoderma viride Person and Fries .................................... 20 Yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen ……………….
21
Sakarifikasi Fermentasi Simultan ..……………………………………..
22
BAHAN DAN METODE .............................................................................. 25 Waktu dan Tempat .............................................................................
25
Bahan dan Alat ................................................................................... 25 Prosedur Pelaksanaan .......................................................................
26
Analisis Hasil ......................................................................................
34
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
35
Pertumbuhan Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall ...........
35
Kandungan Kimia Kayu ...................................................................... 37 Aktivtas Enzim .................................................................................... 52 Kadar Etanol ......................................................................................
54
SIMPULAN .................................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 60 LAMPIRAN .................................................................................................
64
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2.
Nilai rata-rata kadar ekstraktif, kadar abu dan kadar lignin kayu (%) ....................................................................................
37
Nilai rata-rata kandar holoselulosa, kadar hemiselulosa, dan kadar selulosa kayu (%) …………..………………………………
38
Tabel 3.
Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar ekstraktif serbuk kayu ......................................
Tabel 4.
Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar abu serbuk kayu ..............................................
43
Hasil uji BNJ faktor waktu inkubasi terhadap kadar holoselulosa serbuk kayu ..........................................................
45
Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar selulosa serbuk kayu .......................................
46
Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar hemiselulosa serbuk kayu ...............................
48
Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar lignin serbuk kayu ............................................
51
Tabel 9.
Nilai rata-rata kadar etanol (g/l) dan (g/g) .................................
53
Tabel 10.
Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar etanol (g/l) serbuk kayu....................................
55
Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8.
42
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Skema dinding sel kayu dan hubungan lignin, selulosa dan hemiselulosa dalam dinding sekunder ........................
7
A. Struktur selulosa dengan pengulangan unit selobiosa. B. Selulosa kristalin .............................................................
8
A. Struktur O-asetil-4-O-metilglukoronoksilan(hemiselulosa utama di kayu daun lebar). B. Struktur O-aselilgalakto glukomanan (hemiselulosa utama pada kayu daun jarum) .
10
Gambar 4.
Model struktur lignin …………………………………………..
11
Gambar 5.
Struktur kimia 3 subunit penyusun lignin .............................
12
Gambar 6.
Ikatan ß-aryl ether pada lignin kayu ....................................
12
Gambar 7.
A. Penggabungan materi lignoselulosa membentuk serat elentari dan mikrofibril. B. Struktur ikatan ester antara lignin dengan arabino-4-O-methilglucomonoxylan pada Pinus ...................................................................................
14
Skema penyerangan lignin oleh enzim jamur Phanerochaete chrysosporium ...........................................
17
Gambar 9.
Skema lignolitik dari jamur pembusuk putih ………………..
18
Gambar 10.
Mekanisme hidrolisis enzim selulase ..................................
24
Gambar 11.
Isolat P. chrysosporium umur 6 hari pada media PDA …....
35
Gambar 12.
Kondisi serbuk kayu sebelum diberi perlakuan jamur dan setelah 30 hari waktu inkubasi dengan jamur P.chrysosporium ……………………………………………….
36
A. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu sengon. B. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu meranti. C. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu jati .................
39
A. Isolat T.viride umur 5 hari. B. Spora pada suspensi 10 ml aquades ..........................................................................
51
Gambar 15.
Histogram kadar etanol dari serbuk kayu.............................
54
Gambar 16.
Grafik hubungan kadar holoselulosa dengan kadar etanol .
56
Gambar 2. Gambar 3.
Gambar 8.
Gambar 13.
Gambar 14.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Data dan Hasil Analisis Kandungan Kimia Kayu .................
64
Lampiran 2.
Hasil Analisis Varian Kandungan Kimia Kayu .....................
71
Lampiran 3.
Hasil dan Analisis S/G Rasio Lignin Kayu Jati ....................
73
Lampiran 4.
Aktivitas FP-ase Enzim Kasar T.viride ................................
77
Lampiran 5.
Hasil dan Analisis Kadar Etanol ..........................................
78
Lampiran 6.
Hasil Analisis Varian Kadar Etanol ......................................
79
Lampiran 7.
Hasil Analisis Regresi Kadar Kimia Kayu vs Etanol ............
79
PENDAHULUAN Saat ini di Indonesia tengah terjadi krisis bahan bakar minyak. Sejak bulan Oktober 2005, harga berbagai bahan bakar yang berasal dari minyak bumi meningkat hingga 2 kali lipat. Ketergantungan akan bahan bakar minyak dapat merugikan, karena selain potensinya yang akan habis, juga menyebabkan pencemaran udara yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dicari bahan bakar alternatif yang salah satunya adalah bioetanol. Menurut Bruce dan Palfreyman (1998) etanol dapat diproduksi dari sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti biomasa yang dikategorikan ke dalam bahan-bahan berbasis gula (gula tebu, gula bit dan sorgum manis), pati (biji-bijian yaitu: jagung, gandum, beras; serta umbi-umbian yaitu: kentang, ketela pohon, ubi jalar) dan lignoselulosa (kayu, jerami, bagase, dan sebagainya). Penggunaan bahan baku berbasis gula dan pati memang lebih mudah pada proses pembuatan etanol, akan tetapi penggunaan bahan baku tersebut bersaing dengan pemanfaatannya yang lebih tinggi yaitu sebagai sumber bahan makanan. Penggunaan bahan baku lignoselulosa, selain harganya lebih murah, potensinya lebih besar dan tidak bersaing dengan pemanfaatan lain. Hasil penelitian Itoh et.al. (2003), dengan menggunakan bahan baku kayu beech yang diberi perlakuan pulping dan tidak diberi perlakuan pulping, menghasilkan etanol secara berturut-turut sebanyak 0,294 g/g dan 0,176 g/g. Dilain pihak, Indonesia adalah salah satu negara tropis yang memiliki kawasan hutan yang luas yang terdiri dari ribuan tumbuhan penghasil kayu terutama dari jenis daun lebar. Banyaknya bahan baku kayu ini, menyebabkan berkembangnya industri perkayuan di Indonesia. Kayu dari jenis daun lebar seperti meranti, jati, mahoni, sengon dan jenis lainnya banyak dimanfaatkan misalnya sebagai bahan baku meubel, konstruksi perumahan, kayu lapis dan
sebagainya. Hal ini terutama disebabkan karena jenis kayu daun lebar memiliki sifat pengerjaan yang cukup baik, sifat dekoratif yang lebih indah dan kekuatan yang tinggi. Menurut data statistik dari Departemen Kehutanan (2004), pada tahun 2003 produksi log Indonesia adalah mencapai 10.086.217,06 m3 yang berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri dan hutan rakyat. Perkembangan industri perkayuan yang pesat tentunya juga menimbulkan hasil samping berupa limbah. Dalam proses pengolahan kayu hanya sekitar 60-70% dari komoditi kayu yang diolah menjadi produk, dengan limbah sisa kayu dan serbuk gergajiannya mencapai jumlah kurang lebih 30-40% (Darmaji et al., 1998) atau sekitar 3,034,03 juta m 3 untuk tahun 2003. Proses pengolahan serbuk kayu menjadi etanol dapat dilakukan dengan menggunakan metode sakarifikasi-fermentasi secara simultan. Sakarifikasi fermentasi secara simultan adalah suatu proses yang dapat dilakukan untuk mengubah selulosa kayu menjadi etanol dalam 1 tahap fermentasi. Dalam proses ini selulosa kayu dihidrolisis oleh komplek enzim selulase dan setiap glukosa yang terbentuk langsung dimanfaatkan oleh yeast untuk diubah menjadi etanol, sehingga dengan demikian konsentrasi glukosa yang terdapat di dalam medium selalu rendah dan memberi kemungkinan hasil etanol yang maksimum (Sjamsuriputra, et al.,1986). Pada proses sakarifikasi, hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan
2
cara,
yaitu
hidrolisis
menggunakan
asam
kuat
dan
menggunakan enzim. Penggunaan asam kuat pada proses hidrolisis mempunyai banyak persoalan teknik dan ekonomi misalnya penggunaan peralatan yang harus
tahan
terhadap
asam,
permasalahan
pemulihan
asam,
selain
menghasilkan rendemen yang kecil. Penggunaan bahan kimia juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Sedangkan hidrolisis menggunakan
enzim (kompleks selulase maupun xilanase), walaupun masih jauh dari penyelesaian karena laju hidrolisisnya rendah, tetapi lebih disukai karena lebih ramah lingkungan. Selain itu hidrolisis enzimatis dapat dilakukan pada suhu ruang dan tekanan rendah, yang artinya tidak memerlukan penggunaan energi, juga produk yang dihasilkan lebih spesifik. Terdapat beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh berbagai jamur dan bakteri yang berperan dalam hidrolisis selulosa. Enari (1983) menyatakan bahwa ada 3 jenis enzim yang berperan dalam hidrolisis selulosa sec ara sinergi, yaitu endo-1,4-β-glukanase, exo-1,4-β-glukanase dan β-glukosidase. Enzim yang berperan dalam hidrolisis hemiselulosa adalah sesuai dengan komponen monosakarida utama yang terdapat di dalam hemiselulosa, yaitu enzim xylanase, mannanase dan galaktanase. Penggunaan enzim selulase dipengaruhi oleh konsentrasi dan kondisi bahan lignoselulosa itu sendiri, antara lain derajat polimerisasi selulosa, kristalinitas selulosa, aksesibilitas enzim, dan jumlah lignin (Zhang dan Lynd, 2004). Fermentasi gula pereduksi menjadi etanol dilakukan dengan menggunakan yeast yaitu Saccharomyces cerevisiae. Penggunaan yeast pada fermentasi etanol, lebih disukai jika dibandingkan penggunaan bakteri. Hal ini disebabkan karena yeast mempunyai sel yang lebih besar dan dinding sel yang lebih padat, sehingga lebih mudah pada saat pemanenan dan daur ulang yeast. Selain itu yeast tidak mudah terkontaminasi oleh bakteri maupun virus lain (Jeffries, 2000). Kendala yang dihadapi dalam hidrolisis serbuk kayu dengan cara enzimatis yang menyebabkan rendahnya laju hidrolisis, salah satunya adalah adanya kandungan lignin dalam serbuk kayu tersebut. Hasil penelitian Irawadi (1991), menunjukkan bahwa hidrolisis dengan menggunakan enzim yang sama pada subtrat selulosa murni menghasilkan total gula pereduksi yang lebih tinggi (673
mg/g), dibandingkan subtrat serbuk gergaji (40 mg/g). Lignin menyebabkan aksesibilitas enzim menjadi rendah terhadap polisakarida. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan delignifikasi atau penghilangan lignin dari serbuk kayu sebelum perlakuan sakarifikasifermentasi simultan untuk meningkatkan kemampuan hidrolisis dari enzim. Penghilangan lignin dapat dilakukan secara kimia maupun secara biologi. Cara biologi (biodelignifikasi) selain lebih murah, juga lebih ramah terhadap lingkungan, sering dilakukan dengan menggunakan jamur, yaitu jamur pelapuk putih (white-rot fungi) yang mampu mendegradasi lignin dan memanfaatkan hasilnya untuk proses metabolisme tubuhnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh berbagai jenis serbuk kayu terhadap rendemen dan kualitas etanol serta mengkaji pengaruh kandungan lignin di dalam berbagai jenis serbuk kayu terhadap rendemen dan kualitas etanol. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara optimalisasi hidrolisis serbuk kayu pada proses sakarifikasi-fermentasi simultan untuk menghasilkan etanol, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi limbah industri kayu.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Bahan Baku Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn.) Kayu sengon memiliki sifat-sifat yaitu sangat ringan, agak kasar, agak padat, berwarna putih segar tetapi makin menuju keteras kayu kadang-kadang berwarna agak kemerah-merahan. Kayu sengon termasuk dalam kelas kuat IV (Heyne, 1987). Tekstur kayu sengon agak kasar dan merata, arah seratnya lurus, bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayunya agak licin dan mengkilap. Berat jenis kayu sengon berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33. Kayu yang masih segar berbau petai yang lambat laun hilang jika kayunya menjadi kering. Kayu sengon termasuk kelas awet IV-V, sehingga daya tahannya terhadap serangan organisme perusak kayu adalah sangat rendah. Sifat kimia dari kayu sengon adalah kadar selulosa 49,4%, kadar lignin 26,8%, kadar pentosan 15,6%, kadar abu 0,6%, kadar silika 0,2% dan kadar ekstraktif larut alkohol-benzen 3,4% (Martawijaya et al., 1989).
Kayu Meranti (Shorea spp.) Martawijaya et al. (1989) menyatakan bahwa kayu meranti merah memiliki warna kayu teras bervariasi dari hampir putih, coklat pucat, merah jambu, merah muda, merah kelabu, merah-coklat muda dan merah sampai merah tua atau coklat tua. Kayu gubal berwarna lebih muda dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras, berwarna putih, putih kotor, kekuning-kuningan atau kecoklatcoklatan sangat muda, biasanya kelabu. Memiliki tekstur kayu dari agak kasar sampai kasar dan merata. Arah seratnya agak berpadu, kadang hampir lurus,
bergelombang atau sangat berpadu. Permukaan kayunya agak licin sampai licin dan agak mengkilap. Kayu meranti merah mempunyai gambaran berupa pita pada bidang radialnya dan juga terdapat gambaran jari-jari yang kurang jelas. Rata-rata berat jenis kayu meranti merah bervariasi menurut jenisnya dari 0,40-0,77. Kelas kuat berkisar antara II-IV. Kelas awetnya secara umum termasuk dalam kelas III-IV. Sifat kimia dari kayu meranti merah adalah kadar selulosa 49,6-56,1%, kadar pentosan 8,2-24,21%, kadar abu 0,24-0,86%, kadar silika 0,06-0,86% dan kadar ekstraktif larut alkohol-benzen 0,6-5,39% (Martawijaya et al., 1989). Sedangkan kadar lignin berkisar antara 24,48-30% (Syafii et al., 1988).
Kayu Jati (Tectona grandis LINN.f.) Kayu jati termasuk kayu mewah dengan kelas kuat II dan mempunyai nilai dekoratif yang indah. Lingkaran tahun tampak jelas karena adanya perbedaan kayu awal dan kayu akhir. Stabilisasi dimensinya baik sehingga sesuai untuk keperluan bahan baku industri meubel, rangka pintu dan jendela, panel pintu serta vinir indah (Mandang dan Pandit, 1997). Warna kayu teras jati adalah coklat muda, coklat-kelabu sampai coklatmerah tua atau merah coklat. Warna kayu gubalnya adalah putih atau kelabu kekuning-kuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat lurus atau kadang-kadang agak terpadu. Permukaan kayu licin atau agak licin, bahkan terkadang seperti berminyak. Kayu jati berbau bahan penyamak yang mudah hilang. Berat jenis berkisar antara 0,62-0,75 dengan rata-rata 0,67. Kayu jati termasuk kelas awet II dan dilaporkan sangat tahan terhadap serangan jamur. Sifat kimia dari kayu jati adalah kadar selulosa 47,5%, kadar lignin 29,9%, kadar pentosan 14,4%, kadar abu 1,4%, kadar silika 0,4% dan kadar ekstraktif larut alkohol-benzen 4,6% (Martawijaya et al., 1989).
Kimia Kayu
Komponen kimia utama penyusun kayu adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Gambaran
yang
disederhanakan
menunjukkan
bahwa
selulosa
membentuk kerangka yang dikelilingi oleh senyawa-senyawa lain yang berfungsi sebagai matriks (hemiselulosa) dan bahan-bahan yang melapisi (lignin) (Gambar 1) (Kirk dan Cullen,1998). Selain itu pada beberapa spesies terdapat juga komponen kimia yang lain yang disebut ekstraktif. Ekstraktif terendap pada rongga sel kayu selama pembentukan kayu teras. Pada spesies kayu yang berbeda, jenis dan komposisi masing-masing komponen kayu tersebut juga berbeda.
Gambar 1. Skema dinding sel kayu dan hubungan lignin, selulosa dan hemiselulosa dalam dinding sekunder. M.L: lamella tengah, P: dinding primer, S1: dinding sekunder 1, S2: dinding sekunder 2, S3: dinding sekunder 3 (Kirk dan Cullen,1998)
Selulosa Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kurang lebih 40-45% bahan kering kayu (baik kayu daun jarum maupun kayu daun lebar), terutama di dinding sekunder terdiri dari selulosa. Dalam dinding sel kayu, selulosa berfungsi untuk memberikan kekuatan (Sjostrom, 1995). Selulosa adalah polimer rantai panjang yang tersusun dari monomer β-Dglukosa dalam bentuk piranosa yang bersatu dengan menggunakan ikatan β-1,4-
glikosida. Ikatan β menunjukkan bahwa tiap unit glukosa membentuk rotasi 180o. Perputaran ini menyebabkan selulosa memiliki simetrisitas yang tinggi. Pasangan antara molekul selulosa yang berdekatan terjadi karena ikatan hidrogen dan gaya Van der Waals menghasilkan susunan paralel sejajar dan struktur kristalin (Gambar 2B)(Zhang dan Lynd, 2004). Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan memiliki kecenderungan membentuk ikatan -OH intramolekul (antara monomer glukosa dalam 1 rantai selulosa yang sama) dan intermolekul (antara monomer glukosa dari 2 rantai selulosa yang berdekatan). Pada kedua ujung rantai selulosa terdapat gugus OH tetapi dengan perilaku yang berbeda. Gugus C1-OH adalah gugus hidrat aldehida yang mempunyai sifat pereduksi, sedangkan gugus OH pada akhir C4 merupakan gugus hidroksil alkohol yang bersifat non pereduksi (Fengel dan Wegener, 1995). A
HO
OH
HO
B
HO
OH
O
HO
OH
O HO
OH
O HO
OH
HO
HO
OH
1,04 nm
Gambar 2. A. Struktur selulosa dengan pengulangan unit selobiosa (Atalla, 1999). B. Selulosa kristalin (Mosier et al., 1999 dalam Zhang dan Lynd, 2004).
Derajat polimerisasi atau banyaknya monomer β-D-glukosa yang menyusun 1 rantai selulosa pada kayu adalah 7.000-10.000 (Goldstein, 1981). Secara tepat unit ulangan dari rantai selulosa adalah unit selobiosa dengan ukuran panjang 1,04 nm dan lebar 0,54 nm (Gambar 2A). Ikatan intermolekul menggabungkan antar rantai selulosa sehingga terbentuk mikrofibril. Gabungan dari mikrofibril
membentuk makrofibril dan gabungan dari makrofibril akhirnya membentuk dinding sel kayu. Mikrofibril selulosa dalam kayu mengandung kurang lebih 40 rantai selulosa dan mempunyai daerah kristalin kurang lebih 100-150 unit selobiosa yang dipisahkan oleh sedikit daerah amorfous (Atalla, 1999). Ikatan-ikatan glikosida dalam selulosa terlarut atau amorf mudah dihidrolisis oleh semua tipe asam dan hidrolisis enzimatis. Tetapi dalam prakteknya terdapat 2 hambatan umum pada hidrolisis selulosa dari serbuk kayu yaitu karena adanya kandungan lignin di dalam kayu sebagai bahan lignoselulosa dan karena adanya struktur kristalin dari selulosa (Fengel dan Wegener, 1995). Hubungan antara struktur selulosa dengan laju hidrolisis enzim telah dipelajari secara ekstensif tetapi belum terbentuk suatu pemahaman yang menyeluruh. Struktur selulosa biasanya dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi laju hidrolisis, antara lain termasuk di dalamnya yaitu: indek kristalinitas, derajat polimerisasi dan asesibilitas area (Zhang dan Lynd, 2004).
Hemiselulosa Hemiselulosa adalah rantai polimer bercabang dari berbagai jenis monomer (monosakarida) yang berbeda atau sering disebut heteropolimer. Monomermonomer hemiselulosa antara lain D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, L-arabinosa dan sedikit L-ramnosa. Kebanyakan hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi 100-200 (Sjostrom, 1995). Goldstein (1981) menyatakan bahwa prosentase hemiselulosa di dalam kayu daun lebar kurang lebih adalah 30%, sedangkan pada kayu daun jarum adalah 25%. Komposisi jenis hemiselulosa antara kayu daun lebar dan kayu daun jarum juga berbeda. Hemiselulosa utama dalam kayu daun lebar adalah xilan. Xilan merupakan suatu homopolimer yang tersusun dari xilosa sebagai rangka dasar dan asam turunan asam uronat pada cabang rantai tiap 10 satuan
xilosa, selain itu pada cabang rantai juga terdapat arabinosa (Gambar 3A). Pada hemiselulosa kayu daun lebar kandungan manan hanya terdapat dalam jumlah kecil. Galaktoglukomanan merupakan hemiselulosa pokok pada kayu daun jarum (kurang lebih 20%). Struktur tulang punggungnya tersusun atas glukopiranosa dan manopiranosa dengan ikatan β-1,4-glikosida (Gambar 3B). A
HO
OR
HO
O
OR
O
O
O O HO
HO
O HO
OR
H3 CO CO2 H
CH2 OH
OR
B
OR
CH2 OH
OR
O O HO
OH HO
OR
O CH2 O HO
O OR
OR
HO CH2 OH
Gambar 3. A. Struktur O-asetil-4-O-metilglukoronoksilan (hemiselulosa utama di kayu daun lebar). B. Struktur O-aselilgalaktoglukomanan (hemiselulosa utama pada kayu daun jarum) (Kirk dan Cullen, 1998)
Hemiselulosa merupakan matriks penggabung antar mikrofibril selulosa dalam dinding sel kayu. Hemiselulosa juga bersifat tidak mudah larut di dalam air, akan tetapi dapat larut dalam basa kuat. Hemiselulosa lebih mudah terhidrolisis dalam asam dibanding selulosa, hal ini karena struktur hemiselulosa yang amorfous dan derajat polimerisasinya yang lebih rendah dibanding selulosa (Lewin dan Goldstein, 1991).
Lignin Lignin adalah suatu kompleks polimer 3 dimensi yang diproduksi secara in vivo oleh enzim penginisiasi polimerisasi dehidrogenatif dari 3 monomer fenilpropana, yaitu p-hidroksilamin alkohol, koniferil alkohol dan sinapil alkohol. Polimer lignin terbentuk melalui ikatan eter yang terdiri dari unit-unit fenilpropana yang saling bergabung (Gambar 4). Biosintesis lignin dari unit fenilpropana dinyatakan secara umum sebagai polimerisasi dehidrogenatif. Kompleks polimer lignin berperan sebagai pemberi kekuatan fisik, pertahanan terhadap serangan mikrobia dan pertahanan terhadap permeabilitas air ke matrik polisakarida dinding sel tumbuhan (Whetten et al., 1998).
Gambar 4. Model struktur lignin (Brunow, 2001 dalam Lankinen, 2004)
Prekursor lignin yaitu p-coumaryl alkohol, koniferyl alkohol and sinapyl alkohol tersusun atas sebuah cincin aromatic dan 3 karbon rantai samping. Prekursor tersebut kemudian membentuk 3 tipe subunit yaitu hydroxyphenol- (Htype), guaiacyl- (G-type) and syringyl subunits (S-type) (Gambar 5). Suatu hal yang khas yang ditemukan pada polimer lignin adalah tidak ada ikatan dari satu jenis subunit penyusun yang berulang. Polimer lignin tersusun atas distribusi secara acak dari tiap-tiap subunit, dengan kurang lebih membentuk 10 macam tipe katan yang berbeda. Jenis ikatan yang paling banyak ditemukan adalah ßaryl ether (ß-O-4) (Gambar 6).
Parakomaril alkohol
Koniveril alkohol
Sinapil alkohol
Gambar 5. Struktur kimia 3 subunit penyusun lignin (Lankinen, 2004)
Gambar 6. Ikatan ß-aryl ether pada lignin kayu (Jeffries, 1994)
Lignin tahan terhadap degradasi oleh sebagian besar mikroorganisme. Meskipun demikian, jamur tertentu mampu menguraikan lignin secara selektif. Karena strukturnya yang kompleks dan jenis ikatan pada lignin bersifat tahan terhadap air, maka hal ini menyebabkan lignin menjadi sulit didegradasi. Masa molekul lignin adalah 100 kDa atau lebih, hal ini dapat mencegah masuknya sel
mikrobial seperti jamur. Oleh karena itu biodegradasi lignin biasanya terjadi melalui aktivitas enzim ekstraseluler dari organisme pendegradasi lignin. Menurut Campbell and Sederoff (1996) kandungan struktur dan komposisi lignin bervariasi pada populasi tanaman spesies tertentu. Gimnospermae (kelompok kayu daun jarum), mempunyai lignin yang subunit penyusun utamanya adalah guaiasil (> 90%) dengan sedikit p-hydroxyphenyl yang tidak termetoksilasi. Tipe lignin dari angiospermae (kelompok kayu daun lebar) adalah lignin guaiasil-siringil, yang terbentuk dari ko-polymerisasi koniferil and sinapil alkohol. Lignin rumput-rumputan tersusun atas subunit siringil, guaiasil dan phydroxyphenyl dengan perbandingan komposisi berturut-turut 40% : 40% : 20% (Stenius, 2000). Prosentase lignin pada kayu daun lebar kurang lebih adalah 20%, dan lebih banyak dijumpai jenis lignin guaiasil-siringil dengan nisbah bervariasi dari 4:1 hingga 1:2 (Sjostrom, 1995). Kayu daun lebar dengan kandungan lignin siringil yang lebih banyak (perbandingan siringi:guaiasil (S/G rasio) yang tinggi) mempunyai laju delignifikasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kayu daun lebar yang sedikit mengandung lignin siringil (S/G rasio yang rendah). Kayu sengon mempunyai nilai S/G rasio sebesar 2,03 sedangkan kayu meranti mempunyai nilai S/G rasio sebesar 1,87 (Syafii, 2001).
Kompleks Lignin Karbohidrat Lignin umumnya tidak pernah ditemukan dalam bentuk sederhana diantara polisakarida-polisakarida dinding sel, tetapi selalu tergabung atau berikatan dengan polisakarida tersebut. Bentuk kompleks lignin karbohidrat (Lignincarbohydrate complexes (LCCs)) adalah beraneka ragam berbeda-beda pada setiap jenis tanaman. Lignin secara langsung ataupun tidak langsung berikatan kovalen dengan karbohidrat (Jeffries, 1994).
Kurang lebih 100 unit glukan selulosa bergabung menjadi serat elementari dengan lebar daerah kristalin 4-5 nm, dan sekitar 40 serat elementari ini tertanam dalam matrik hemiselulosa membentuk mikrofibril dengan ketebalan 7-30 nm. Selanjutnya proses lignifikasi terjadi pada bagian akhir proses pembentukan serat alami, sehingga lignin terletak terutama pada bagian luar mikrofibril dengan ikatan kovalen dengan hemiselulosa (Zhang dan Lynd, 2004). Interaksi antara lignin dengan polisakarida lebih dipengaruhi oleh ikatan kimia daripada bentuk-bentuk asosiasi seperti ikatan hidrogen, gaya Van der Waals dan khemosopsi (Fengel dan Wegener, 1984). Ikatan kimia yang bersifat stabil yang paling banyak ditemukan pada kompleks lignin karbohidrat adalah ikatan ester. Ikatan ester terjadi antara gugus karboksil bebas dari asam uronik pada hemiselulosa dan gugus benzil pada lignin (Jeffries, 1994). Jenis ikatan lain yang ditemukan pada kompleks lignin karbohidrat adalah ikatan eter dan glikosida.
CH 2 O O
HOCH 2
O
CH CH
O
C
4-O-Me-glucoronic
CH 2 O O CH 2 O
OH HO
O
ß-(1-4)-D-xylan
HO O
HO
O
OH
O
HO O HO
OH
O HO
OH
H2 C
a-(1-3)-L-arabinosa
O
OH
OH OH
A
B
Gambar 7. A. Penggabungan materi lignoselulosa membentuk struktur mikrofibril (Klein and Snodgrass, 1993 dalam Zhang dan Lynd, 2004). B. Struktur ikatan ester antara lignin dengan arabino-4-O-methilglucomonoxylan pada Pinus (Watanabe dan Koshijima, 1988 dalam Jeffries, 1994b)
Ekstraktif dan Abu
OH
Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen senyawa organik seperti minyak yang mudah menguap, terpen, asam lemak dan esternya, lilin, alkohol polihidrik, mono dan polisakarida, alkaloid, dan komponen aromatik (asam, aldehid, alkohol, dimer fenilpropana, stilbene, flavanoid, tannin dan quinon). Zat ekstraktif adalah komponen diluar dinding sel kayu yang dapat dipisahkan dari dinding sel yang tidak larut menggunakan pelarut air atau organik (Lewin dan Goldstein, 1991). Kayu teras secara khas mengandung zat ekstraktif jauh lebih banyak dari pada kayu gubal. Kandungan zat ekstraktif dalam kayu biasanya kurang dari 10% (Sjostrom, 1995). Kandungan dan komposisi zat ekstraktif berubah-ubah diantara spesies kayu, dan bahkan terdapat juga variasi dalam satu spesies yang sama tergantung pada tapak geografi dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Selain itu zat ekstraktif juga dapat memberikan warna dan bau pada kayu (Fengel dan Wegener, 1995). Kayu juga mengandung komponen-komponen anorganik. Komponen ini diukur sebagai kadar abu yang jumlahnya jarang melebihi 1% dari berat kering kayu. Abu ini berasal terutama dari berbagai garam yang diendapkan dalam dinding sel dan lumen (Sjostrom, 1995). Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa komponen abu utama dalam kayu adalah Ca (hingga 50%), K dan Mg, yang diikuti oleh Mn, Na, P dan Cl. Selain itu juga masih terdapat unsur-unsur lain yang disebut sebagai unsur runut dengan konsentrasi di dalam kayu tidak lebih dari 50 ppm. Mineral tidak hanya terikat dalam diding sel tetapi juga diendapkan dalam rongga sel parenkim dan dalam serat libriform. Endapan mineral kebanyakan terdiri atas kalsium karbonat, kalsium oksalat dan silikat yang mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Kristal yang muncul dalam kayu setelah terserang oleh
jamur atau bakteri disebabkan oleh hasil metabolik mikroorganisme tersebut (Fengel dan Wegener, 1995). Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall.
Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall. termasuk dalam kelompok jamur pelapuk putih (white-rot fungi), dan merupakan jamur kelas Basidiomisetes yang juga menyerang holoselulosa, namun pilihan utamanya adalah lignin. Sistematika dari jamur ini selengkapnya adalah kelas Basidiomycetes, sub kelas Holobasidiomycetes I atau Hymenomycetes I, ordo Aphylophorales, famili Certiciaceae, genus Phanerochaete dan spesies Phanerochaete chrysosporium Burdsall (Crawford, 1981). Jamur ini dapat tumbuh pada suhu optimum 39oC dan maksimum pada suhu 50oC. Laju pertumbuhan pada media agar ekstrak malt pada suhu 25oC adalah 15-20 mm per hari, sedangkan pada suhu 40 oC adalah 35-42 mm per hari. Toleransi yang baik terhadap suhu tinggi dan kemampuannya untuk memproduksi spora dalam jumlah besar dari jenis jamur ini menyebabkan perlunya perhatian khusus bila digunakan dalam laboratorium. Merupakan jenis pembusuk putih yang istimewa sehingga banyak dipelajari dan telah digunakan secara komersial pada proses biopulping (Eaton dan Hale, 1993). Singh dan Roymoulik (1996) melaporkan bahwa kemampuan P. chrysosporium dalam mendegradasi lignin dapat mencapai 7% hingga 30% tergantung dari jenis lignin dan waktu inkubasi. Sedangkan hasil penelitian Widjaja et.al. (2000) adalah biodelignifikasi menggunakan P chrysosporium pada kayu memberikan derajat delignifikasi yang lebih tinggi dibanding pinus. Delignifikasi tertinggi 55,02% diperoleh pada hari ke-30 inkubasi pada sengon menggunakan media okara penyangga yang diperkaya dengan media nitrogen terbatas.
Kemampuan jamur dalam mendegradasi lignin disebabkan karena adanya enzim ekstraseluler yang disekresikan oleh hifa jamur. Menurut Eaton dan Hale (1993) berbagai enzim yang berperan dalam proses degradasi lignin yang disekresikan oleh jamur pelapuk putih adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), lakase, demetoksilase, H2O2-generating enzyme dan enzim pendegradasi monomer seperti selobiosa dehidrogenase, asam vanilat hidrolase dan trihidroksi benzen dioksigenase. Namun enzim lignolitik yang utama adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan lakase. Hasil penelitian Koker et al. (1998) pada berbagai strains P.chrysosporium, menunjukkan bahwa P.chrysosporium mempunyai aktivitas MnP bervariasi antara 0,059-0,180 U/g medium, aktivitas LiP antara 0,019-0,072 U/g medium, dan aktivitas GLOX (glyoxal oksidase) antara 0,013-0,042 U/g medium.
Gambar 8. Skema penyerangan lignin oleh enzim jamur Phanerochaete chrysosporium (Akhtar et al., 1997)
Reaksi Degradasi Lignin Oleh Jamur Proses degradasi lignin oleh jamur dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe prefensi dan tipe simultan. Jamur tipe prefensi akan mendegradasi lignin terlebih dahulu sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa, sedangkan jamur tipe simultan mampu mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin pada waktu dan kecepatan yang sama (Eaton dan Hale, 1993). Mekanisme reaksi delignifikasi enzimatik dijelaskan lebih rinci oleh Hattori dan Shimada (2001), yaitu:
ligninase
dari
Phanerochaete
chrysosporium
(kemudian
disebut
peroxidase) mengkatalis pemutusan ikatan Ca-Cß lignin melalui mekanisme oksidasi satu elektron menghasilkan produk aldehid aromatik dan phenylglycol. Pemutusan selanjutnya adalah ikatan Cß-eter, pembelahan cincin aromatik lignin dan pemutusan ikatan Ca-Cß lignin karbohidrat kompleks. Fengel dan Wegener (1995) juga menyatakan bahwa reaksi-reaksi pemecahan menghasilkan senyawa monomer dan dimer yang kebanyakan mengandung gugus karboksil. Pemecahan cicin aromatik adalah dimaksudkan agar senyawa-senyawa degradasi lignin tersebut dapat masuk ke dalam metabolisme internal jamur. Monomer-monomer lain yang ditemukan sebagai hasil degradasi jamur adalah asam vanilat dan asam veratrat. Skema degradasi lignin oleh jamur pembusuk putih disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Skema lignolitik dari jamur pembusuk putih (Kirk dan Cullen, 1998) Zabel dan Morrell (1992) menyatakan bahwa hasil analisis dari lignin sisa degradasi oleh jamur pelapuk putih mengindikasikan hilangnya gugus metoksil dan peningkatan kadar oksigen dan hidroksil. Perubahan struktur utama dari lignin meliputi: 1. Demetilasi
OCH3
OH
2. Oksidasi dari a atom karbon CH2
CH2
C
C
OCH3
OCH3
O
O
3. Pembelahan dari rantai samping antara a dan ß karbon dari unit phenyl propane CH2
O
O C C
O
C
+
O
C—C
4. Hidroksilasi dan dioksigenasi pembelahan cincin aromatic OH
O
O
O2
O C
C
C=
O
O
C
5. Pembelahan langsung dari aryl gliserol-ß-aryl ether CH2 OH C
CH2 OH C = C= O
O2 O
C= O
OCH3 HO
O H
OCH
OCH3
OCH3
O H
OH C=O
C C OCH3
OH
Kapang Trichoderma viride Person and Fries.
Trichoderma viride Person and Fries. adalah kapang yang termasuk dalam genus trichoderma, famili monialiaceae, ordo moniales dan kelas fungi imperfecti. Kapang trichoderma mempunyai cirri-ciri spesifik antara lain: miselium bersekat, bercabang banyak, konidiospora berseptat dan cabang paling ujung berfungsi sebagai sterigma, konidia berwarna hijau cerah dan bergerombol menjadi satu membentuk bola, serta berkas-berkas hifa berwarna putih terlihat menonjol jelas diatas konidiospora (Waluyo, 2004). T.viride merupakan salah satu jamur pelapuk lunak yang memproduksi komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang dapat memutus selulosa kristalin. Penelitian mengenai pemisahan komplek
enzim selulase dari T.viride menunjukkan bahwa terdapat bermacam-macan endoglukanase antara lain EG I dan EG II, dan eksoglukanase yaitu antara lain selobiohidrolase, CBH I dan CBH II. Hal ini menunjukkan bahwa T.viride memiliki kemampuan untuk mendegradasi selulosa kristalin dan selulosa non kristalin. Pada enzim selulase T.viride dapat terjadi sinergisme, bukan hanya antara endoselulase dengan eksoselulase, melainkan juga antar eksoselulase (Eaton dan Hale, 1993). Karakteristik enzim selulase dari T.viride adalah memiliki pH optimum 4 dan akan tetap stabil pada pH antara 3-7. Suhu optimum adalah 50oC dan aktivitasnya akan menurun bila suhunya lebih dari
50oC. Berat molekul
endoselulase yang dihasilkan oleh T.viride adalah 42000 dalton, eksoselulase 61000 dalton dan C1 (enzim yang mendegradasi struktur selulosa kristalin) sebesar 60000 dalton (Fengel dan Wegener, 1995). Aktivitas enzim selulase dari T.viride tipe QM6a adalah sebesar 2,6 U/mg sedangkan T.viride tipe QM9123 adalah sebesar 5 U/mg (Mandels et al., 1971). Selain memproduksi enzim selulase, T.viride juga menghasilkan enzim endo-1,4-β-xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul enzim xilanase yang dihasilkan oleh T.viride adalah sebesar 22000 dalton (Ujiie et al., 1991). Yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen.
Yeast atau khamir Saccharomyces cerevisiae biasa digunakan untuk membuat roti, anggur dan bir. S. cerevisiae termasuk kedalam kelas Ascomycetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan tempat dihasilkannya askospora. S. cerevisiae memperbanyak diri secara aseksual
dengan
bertunas
(Pelczar
dan
Chan,
1986).
Dinding
sel
saccharomyses terdiri dari komponen-komponen glukan, mannan, protein, khitin dan lemak (Waluyo, 2004). Boyles (1984) menyatakan bahwa untuk setiap mol glukosa yang dikonsumsi, S. cerevisiae menghasilkan entalpi katabolisme sebesar –31 Kkal, energi bebas dari hidrolisis ATP (2 mol) sebesar –14,6 Kkal dan entalpi untuk sintesis selnya hanya 0,23 Kkal. Entalpi dari metabolisme sebagian besar dihabiskan pada aliran keluar entropy dan hanya sedikit yang digunakan untuk sintesis materi sel. Saccharomyces cerevisiae sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi. Akan tetapi adanya kandungan furaldehid, asam organik dan komponen fenolik (hasil samping hidrolisis asam selulosa) dapat menghambat pertumbuhan S. cerevisiae, bahkan kandungan yang tinggi dari furaldehid, furfural dan 5-hidroksimetil-furfural dapat bersifat meracuni (Brandberg et al., 2004). Hasil penelitian Samsuri et al. (2005) pada fermentasi bagase yang diberi perlakuan awal steam dan penjamuran dengan menggunakan S. cerevisiae dapat menghasilkan etanol sebanyak 15,4 g/l. Rendemen alkohol dari hexosa dalam fermentasi menggunakan yeast dari genus Saccharomyces (pada kondisi yang optimal) dapat mencapai 90% (Boyles, 1984). Hal yang menarik dari proses fermentasi oleh Saccharomyces adalah pengubahan sebagian besar energi dari gula ke dalam bentuk etanol. Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97% (Cambel, 1983). Selain yeast S. cerevisiae, bakteri Zymomonas mobilis juga merupakan salah satu bakteri yang efektif dalam fermentasi etanol, akan tetapi rendemen etanol yang dihasilkan masih lebih sedikit dibanding yeast karena bakteri tersebut juga menghasilkan sejumlah produk lain seperti asetat, laktat dan gliserol. Sakarifikasi Fermentasi Simultan
Proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah proses kombinasi antara hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan fermentasi gula yang berkelanjutan sehingga menghasilkan produk akhir berupa etanol. Tahapan-tahapan dalam proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah sama dengan tahapan pada hidrolisis dan fermentasi secara terpisah, hanya pada proses sakarifikasi fermentasi simultan ini kedua proses tersebut berlangsung dalam 1 reaktor yang sama. Yeast secara langsung menfermentasi produk gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh komplek enzim selulolitik, sehingga laju sakarifikasi dan rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi jika dibanding hasil proses sakarifikasi dan fermentasi yang terpisah. Keunggulan lain dari proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah penggunaan reaktor tunggal untuk seluruh proses, sehingga dapat menekan biaya investasi alat. Selain itu adanya etanol (hasil fermentasi) di dalam media menyebabkan media tidak mudah terkontaminasi oleh organisme lain yang tidak diinginkan (Ballesteros et al., 2004). Proses sakarifikasi selulosa dan hemiselulosa dalam kayu menjadi gula dapat dilakukan dengan hidrolisis enzimatik atau dengan menggunakan asam. Jenis enzim yang berperan dalam hidrolisis tersebut adalah komplek selulase dan hemiselulase (xilanase galaktanase dan mananase). Selulase adalah suatu komplek enzim yang terdiri dari beberapa enzim yang berkerja secara bertahap ataupun bersama-sama menguraikan selulosa menjadi glukosa. Enari (1983) menyatakan bahwa pada proses hidrolisis selulosa ada 3 enzim yang bekerja secara bertahap, yaitu: selobiohidrolase, endoglukonase dan β-glukosidase dengan tahapan kerja sebagai berikut: 1. Endoglukonase menghidrolisis ikatan glikosidik 1-4 secara acak dan bekerja terutama pada daerah amorf dari serat selulosa.
2. Selobiohidrolase menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan menghasilkan
selobiosa.
Selain
itu
enzim
ini
dapat
menghidrolisis
selodekstrin tetapi tidak menyerang selobiosa. 3. β-glukosidase menghidrolisis selobiosa dan selooligomer-selooligiomer pendek lainnya menjadi glukosa.
Daerah
Daerah
Kristalin Amorf
•n
Gambar 10. Mekanisme hidrolisis enzim selulase (Miyamoto, 1997)
Secara biokimia fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui senyawa organik, sedangkan pengertian dalam bidang industri fermentasi adalah suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh massa sel mikrobia. Aplikasi proses fermentasi selalu terdiri dari 6 bagian utama proses, yaitu: formulasi medium, sterilisasi, produksi starter, pemeliharaan pertumbuhan mikroorganisme, pemanenan dan pemurnian produk, serta pembuangan limbah
(Wibowo, 1990). Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroorganisme. Fermentasi gula sederhana (sukrosa dan glukosa) menjadi etanol memiliki persamaan stoikiometri, yaitu: C12H22O11 + H2O C6H12O6
4 C2 H5OH + 4 CO2 2 C2H5OH + 2 CO2
BAHAN DAN METODOE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fermentasi Departemen Biokimia IPB, Laboratorium Bioteknologi Hutan Departemen Budidaya Hutan UGM dan Laboratorium Kimia dan Serat Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM. Waktu pelaksanaan penelitian adalah dari bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Mei 2006. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk 3 jenis kayu, yaitu : meranti, jati dan sengon yang diperoleh dari berbagai industri kayu atau penggergajian kayu di daerah Jogjakarta. Jamur pelapuk putih yaitu spesies Phanerochaete chrysosporium Burdsall. tipe NRRL 6361 yang diperoleh dari Laboratorium Mikologi, Fakultas Biologi IPB, kapang Trichoderma viride Person and Fries tipe CBS 392.92 dan yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen, tipe # 254 (red star) yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, PAU Pangan dan Gizi UGM. Bahan kimia untuk mengisolasi komponen kimia kayu antara lain: alkohol, benzene, NaOH, HCl, KOH, CH3COOH, Na2SO3 dan H2SO4 . Bahan kimia untuk pengujian aktivitas enzim antara lain: reagen somoygi-nelson dan reagensia arsenomolibdat. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoklaf, tabung reaksi atau cawan petri, peralatan pengujian komponen kimia kayu (soxhlett, penangas air, pompa vacum), oven, timbangan analitik, shaker inkubator, spektrofotometer, sentrifus, ayakan 40 dan 60 mesh dan kromatografi gas model 263-50.
Prosedur Pelaksanaan Persiapan penelitian Serbuk kayu yang akan digunakan terlebih dahulu diayak dengan ukuran lolos 40 mesh tertahan 60 mesh, dikering udarakan dan dianalisis komponen kimianya yaitu : selulosa (TAPPI T17 wd-70), holoselulosa, lignin dan ekstraktif (ASTM D-1102 s.d 1110). a. Ekstraktif Sebanyak 2 g sampel serbuk kayu dimasukkan dalam cawan saring. Selanjutnya
cawan saring seisinya dimasukkan dalam soxhlett sedemikian
sehingga ujung cawan saring lebih tinggi dari ujung sifon dan sampel didalamnya lebih rendah dari titik ini. Cawan saring lalu ditutup dengan sepotong saringan dari logam agar tidak ada serbuk yang hilang. Ekstraksi dilakukan dengan 200 ml alkohol benzen (alkohol : benzen = 1 : 2) selama 4-6 jam. Sesudah selesai, cawan saring itu dikeluarkan dari soxhlett dan dihisap dengan pompa vakum hingga isinya kering. Kemudian dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan benzen dan dihisap lagi dengan pompa vakum. Selanjutnya cawan saring dan isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 100-1050C dan ditimbang sampai beratnya konstan.
% kadar ekstraktif =
berat awal − berat ker ing tan ur × 100% berat ker ing tan ur
b. Abu Sebanyak 2 g (± 0,1 g) serbuk dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Selanjutnya ditempatkan dalam tanur pada suhu 600ºC selama 4 jam. Setelah 4 jam, untuk menyempurnakan pembakaran, tutup tanur dibuka selama kurang lebih 1 menit sehingga sampel berubah menjadi abu secara sempurna. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya konstan .
% kadar abu =
berat abu × 100% berat awal
c. Holoselulosa Sebanyak 0,70 g (± 0,05 g) serbuk bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 10 ml larutan A (60 ml HCl + 20 g NaOH, ditambahkan aquades hingga 1000 ml) dan secara hati-hati dimasukkan pula 1 ml larutan B (200 g NaClO 2 dalam 1000 ml aquades). Erlenmeyer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 70 ± 20C dan digoyang setiap 30 menit. Pada menit ke 45, 90, dan 150, ditambahkan 1 ml larutan B dan erlenmeyer digoyang-goyang setiap penambahan larutan B. Sesudah 4 jam, erlenmeyer dimasukkan ke dalam penangas air es dan ditambahkan 15 ml aquades es. Seluruh isi erlenmeyer disaring menggunakan cawan saring yang sudah diketahui berat kosongnya. Untuk membersihkan seluruh isi erlenmeyer, dilakukan pencucian dengan 100 ml larutan asam asetat 1%. Cawan saring dihisap dan dicuci dengan 2-5 ml aseton yang dibiarkan menetes keluar karena beratnya, kemudian dihisap lagi selama 3 menit. Selanjutnya cawan saring beserta isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 100-105 0C dan ditimbang sampai beratnya konstan.
% kadar holoselulo sa =
berat holoselulo sa × 100% berat serbuk bebas ekstraktif
d. Selulosa (TAPPI T17 wd-70) Ke dalam Erlenmeyer 300 ml yang berisi 2 g serbuk bebas ekstraktif ditambahkan 125 ml HNO 3 3,5%. Kemudian diekstrak pada waterbath dengan suhu 80oC selama 12 jam. Setelah itu serbuk disaring dengan cawan saring dan dikering udarakan. Cawan saring dimasukkan ke dalam gelas piala 200 ml dan ditambahkan 125 ml larutan NaOH+Na2SO3 (20:20 g dalam 1 lt). Selanjutnya
diekstrak pada suhu 50oC selama 2 jam. Setelah itu serbuk kayu dikeluarkan dari gelas piala, disaring dan ditambahkan NaClO 2 10% sampai berwarna putih. Setelah serbuk berwarna putih, ditambahkan 100 ml CH3COOH 10% dan dicuci sampai bebas asam. Terakhir ditambahkan 50 ml etanol (C2 H5OH). Kemudian cawan saring beserta isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 100-1050C dan timbang sampai beratnya konstan.
% kadar selulosa =
berat selulosa × 100% berat serbuk bebas ekstraktif
e. Lignin Sebanyak 1 g (± 0,1 g) serbuk bebas ekstraktif dipindahkan ke dalam gelas piala ukuran 1000 ml dan dicernakan dengan 400 ml air panas di atas penangas air 1000C selama 3 jam. Setelah itu serbuk disaring dengan cawan saring dan dibiarkan kering. Setelah kering dipindahkan ke dalam gelas piala dan ditutup dengan gelas arloji. Dengan perlahan sambil diaduk ditambahkan 15 ml H2SO4 72%, lalu didiamkan selama 2 jam dengan sering diaduk. Setelah 2 jam serbuk dicuci dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml. Selanjutnya konsentrasi asam dibuat menjadi 3% dengan menambahkan 560 ml aquades. Larutan tersebut lalu didihkan di bawah pendingin tegak selama 4 jam dan diusahakan agar volume tetap dengan menambah air panas sewaktu-waktu. Setelah bahanbahan yang tidak larut dibiarkan mengendap dan disaring dengan cawan saring, kemudian cawan saring tersebut dicuci dengan air panas hingga bebas dari asam. Cawan saring beserta isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 1001050C dan ditimbang hingga beratnya konstan.
% kadar lignin =
berat lignin × 100% berat serbuk bebas ekstraktif
Selanjutnya dilakukan pula analisis struktur lignin dari ketiga jenis kayu menggunakan prosedur oksidasi nitrobenzena seperti direkomendasikan oleh
Meshizuka dalam Syafii et al. (1988) yaitu sebagai berikut: kurang lebih 50 mg serbuk bebar ekstraktif dioksidasi dengan 0,24 ml nitrobenzene dan 4 ml KOH 2 N pada tabung stainless steel selama 2 jam pada suhu 160oC. Setelah 2 jam untuk menghentikan oksidasi, tabung stainless steel dengan segera didinginkan pada air yang mengalir untuk menghentikan reaksi. Selanjutnya isinya disaring. Produk oksidasi yang masih tersisa di dalam tabung dicuci dengan sedikit KOH 0,1 N. Kemudian unsur nitrogen dihilangkan dari larutan alkali dengan menggunakan kloroform. pH larutan alkali ditetapkan sebesar 2,5 dengan menambahkan HCl 1 N. Selanjutnya larutan diekstrak dengan 30 ml kloroform dan ekstraksi diulang sebanyak 4 kali. Selanjutntya ekstrak dianalisis kuantitatif dengan kromatografi gas pada kondisi sebagai berikut: detektor FID, kolom carbowax/PEG, panjang kolom 2 m, diameter 0,4 cm, suhu detektor 200oC, suhu injektor 20oC, suhu kolom 80-180oC (suhu terprogram 5oC/menit dengan enahanan 5 menit), kecepatan gas pembawa N2 30 ml/menit, gas pembakar H2 1 kg/cm2 dan udara 1kg/cm2. Range 102 dan attenuasi 8. Recorder : integrator C-R6A. Penyerangan jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall. Isolat jamur diperbanyak dalam 10 ml media PDA dan ditumbuhkan selama 6 hari. Setelah itu ke dalam tabung dimasukkan 10 ml aquades steril dan suspensi spora tersebut kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing serbuk kayu kering udara ukuran lolos 40 mesh tertahan 60 mesh sebanyak 30 g (berdasar BKT) yang telah disterilisasi. Selain itu untuk meningkatkan kadar air serbuk hingga sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur (60-90%) ditambahkan pula 50 ml aquades steril. Serbuk yang telah diberi suspensi jamur kemudian diinkubasi pada suhu 35-40oC selama 10, 20 dan 30 hari. Setelah inkubasi,
dilakukan analisis komponen kimia serbuk kayu (selulosa, hemiselulosa, lignin dan ekstraktif dan abu). Produksi enzim. T.viride digoreskan dalam media PDA yang dibuat miring pada tabung reaksi dan dibiarkan tumbuh pada suhu kamar selama 5 hari. Setelah itu ke dalam tabung dimasukkan 10 ml aquades steril sehingga diperoleh suspensi spora. Sebanyak 10% (v/v) suspensi dipipet dan dimasukkan ke dalam 100 ml media cair yang terdiri dari quades 1 l, (NH4)2SO4 10%, KH2PO4, urea 70%, CaCl2 10%, MgSO4.7H2O 10%, larutan mineral 1 ml dan tween 80 dan ditambahkan selulosa teknis sebanyak 1 g serta 0,1 g proteosa pepton pada erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan kapas yang dilapisi kain kasa, lalu ditempatkan pada shaker inkubator dengan kecepatan 5 rpm pada suhu 28 o
C, dan diinkubasi selama 10 hari (Jeffries, 1987). Pada akhir masa inkubasi,
enzim yang dihasilkan dipanen dengan cara memisahkan miselium dari filtrat menggunakan penyaring vakum yang dilengkapi pompa vakum. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap aktivitas FP-ase dengan metode Somogyi-Nelson pada suhu 30oC dan pH 5, yaitu sebagai berikut: sebanyak 0,5 ml filtrat enzim dan 1 ml buffer dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan 50 mg kertas saring whatman no 1. Campuran tersebut lalu divorteks dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 30oC. Setelah itu 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih. Kedalamnya lalu ditambahkan 1 ml reagensia nelson dan dipanaskan pada penangas air mendidih selama 20 menit. Setelah 20 menit tabung segera didinginkan hingga suhu mencapai 25oC. Setelah dingin ditambahkan 1 ml reagensia arsenomolibdat, lalu digojog sampai semua endapan Cu2O yang ada larut kembali. Kemudian ditambahkan 7 ml air suling dan digojok lagi sampai homogen. Larutan tersebut selanjutnya ditera optical
dencitynya (OD) pada panjang gelombang (λ) 540 nm. Kontrol dibuat dari 50 mg kertas saring whatman no 1, dalam 1 ml buffer dan 0,5 ml enzim tanpa inkubasi. Blanko terdiri atas 1,5 ml buffer dan 50 mg kertas saring whatman no 1. Satu unit (U) aktivitas enzim adalah banyaknya enzim yang memproduksi 1 µmol glukosa dalam 1 menit, yang dihitung berdasarkan persamaan berikut :
FPase =
(( mg ) glukosa × 0,0925 ) ( ml )enzim
Persiapan inokulum yeast Isolat yeast Saccharomyces cerevisiae diperbanyak dalam 10 ml media PDY dan ditumbuhkan selama 1-2 hari (digunakan sebagai stok kultur). Setelah itu isolat ditumbuhkan lagi pada 50 ml media yang terdiri dari glukosa 10 g/l, yeast ekstrak 1 g/l, KH2PO4 0,1 g/l, MgSO4.7H 2O 0,1 g/l dan (NH4)2SO4 0,1 g/l, di dalam erlenmeyer 200 ml. Inkubasi dilakukan pada shaker berkecepatan 12 rpm dengan suhu 30oC selama 24 jam. Sakarifikasi Fermentasi Simultan Kondisi proses sakarifikasi fermentasi secara simultan adalah mengikuti kondisi optimal hasil penelitian Itoh et al. (2003) yang dimodifikasi. Media sakarifikasi fermentasi (sebanyak kurang lebih 200 ml) adalah terdiri dari: serbuk kayu yang telah diberi perlakuan jamur P. chrysosporium
(biodelignifikasi)
sebanyak 10 g BKT, media nutrient 50 ml (yang terdiri atas (NH4)2HPO4 1 g/l, MgSO4.7H2O 0,05 g/l dan yeast ekstrak 2 g/l), enzim selulase 5 FPU, 10% (v/v) inokulum yeast S.cerevisiae, dan 2 ml buffer Na-sitrat (pH 4,8). Serbuk kayu, media nutrien dan buffer diautoklaf selama 20 menit pada suhu 121oC. Larutan enzim selulase dan inokulum yeast ditambahkan tanpa sterilisasi terlebih dahulu. Media tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu fermentasi yang dilengkapi
penutup berleher angsa. Sakarifikasi fermentasi dilakukan pada shaker berkecepatan 12 rpm dengan suhu 30oC selama 72 jam. Analisis kuantitatif etanol Sampel dari kultur disentrifugasi dengan kecepatan 4000 g pada suhu 4oC selama 10 menit, dan supernatan yang diperoleh dianalisis kandungan etanolnya. Analisis kuantitatif etanol dilakukan menggunakan kromatografi gas pada kondisi sebagai berikut: detector FID, kolom 15% carbowax – 20 m, panjang kolom 2 m, diameter 0,4 cm, suhu detektor 120oC, suhu injektor 120oC, suhu kolom 80oC, kecepatan gas pembawa N2 30 ml/menit, gas pembakar H2 1 kg/cm2 dan udara 1kg/cm2. Range : 10 2 dan attenuasi 8. Recorder integrator CR6A. Sebelumnya dibuat juga larutan standar etanol dengan konsentrasi masingmasing 39,0625; 78,125; 156,25; 234,375; 312,5 dan 781,25 ppm dari stok 2,5% untuk membuat kurva standar konsentrasi etanol. Larutan standar maupun sampel diinjeksikan sebanyak 1 µl ke alat gas kromatografi pada kondisi yang sama. Penentuan kadar etanol dilakukan dengan membandingkan luas puncak sample dengan kurva standar etanol. Kadar etanol yang terdapat dalam sample dihitung dengan menggunakan persamaan kurva standar:
m=
i=
n ∑ cx − ∑ c ∑ x n ∑ c 2 − ( ∑ c) 2
∑ c 2 ∑ x − ∑ c ∑ cx n ∑ c 2 − (∑ c )2
Persamaan garis kurva standar adalah : Y =mX + i
Secara keseluruhan kegiatan penelitian disajikan dalam bagan alir berikut :
Serbuk kayu (limbah) dari kayu Jati, Meranti dan Sengon
Pengayak Serbuk ukuran lolos 40 mesh tertahan 60 mesh
Analisis kimia serbuk + Analisis struktur Penumbuhan jamur P. Chrysosporium pada media PDA
Diserangkan jamur P. chrysosporium dan diinkubasi selama 10, 20 dan 30 hari
Analisis kimia sebuk
Produksi enzim selulase dari Trichoderma viride
Analisis kerja enzim :
Sakarifikasi-fermentasi secara simultan selama 72 jam
Pengukuran kadar etanol dengan kromatografi gas
Inokulasi yeast Saccharomyces cerevisiae
Analisis Hasil Kebenaran dari hipotesis dari hasil penelitian ini akan diuji dengan menggunakan rancangan penelitian acak lengkap (Completly Randomized Design) yang disusun secara faktorial. Faktor–faktor yang digunakan adalah : A. Jenis serbuk kayu, yaitu: sengon, meranti dan jati. B. Lama waktu inkubasi, yaitu: 0, 10, 20 dan 30 hari. Lama waktu inkubasi 0 hari selanjutnya disebut juga sebaga kontrol. Model umum dari rancangan penelitian acak lengkap faktorial adalah: Yijk
= µ + Ai + Bj + ABij + ε ijk
Keterangan : Yijk µ Ai Bj ABij εijk
= = = = = =
respon yang diteliti nilai rata-rata perlakuan pengaruh jenis serbuk pengaruh lama waktu inkubasi pengaruh interaksi antara jenis serbuk dan lama waktu inkubasi pengaruh galat
Dari kedua faktor tersebut diperoleh 12 kombinasi perlakuan dengan ulangan sebanyak 3 kali. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 3 x 4 x 3 = 36 sampel. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: kadar air, kadar ekstraktif, kadar holoselulosa, kadar selulosa, kadar hemiselulosa, kadar lignin, kadar abu dan kadar etanol. Faktor yang berbeda nyata a = 5% dan sangat nyata a = 1% pada hasil analisis keragaman dengan uji F, dilakukan uji analisis lanjutan secara terpisah, yaitu diuji dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) untuk mengetahui pada taraf-taraf mana faktor tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata. Model umum uji BNJ adalah sebagai berikut: BNJ
= Q K;k(m-1);α. KTE / m
Keterangan : KTE m k Q
= = = =
kesalahan rata-rata kuadrat pada anova jumlah sampel pada setiap perlakuan jumlah perlakuan dicari pada tabel dengan Db = k(m – 1) dengan jumlah perlakuan k
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall.
Isolat jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall. yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan pada 10 ml media PDA dengan kondisi suhu 35-40oC. Pada umur 6 hari pertumbuhan miselia dan sprora jamur telah memenuhi seluruh permukaan media (Gambar 11). Isolat dengan pertumbuhan yang kurang baik tidak digunakan sebagai sumber spora yang diserangkan terhadap serbuk kayu. Jumlah spora yang diserangkan pada 30 g BKT serbuk kayu adalah 1,12.10 8.
Gambar 11. Isolat P. chrysosporium umur 6 hari pada media PDA. Tanda merah menunjukkan isolat yang tidak digunakan sebagai sumber spora.
Setelah waktu inkubasi 10, 20 dan 30 hari spora P. chrysosporium pada serbuk kayu , secara visual tampak bahwa pertumbuhan jamur yang paling banyak adalah pada serbuk kayu sengon, kemudian pada serbuk kayu jati dan paling sedikit pada serbuk kayu meranti (Gambar 12). Pada selang inkubasi 10 hari, pertumbuhan P. chrysosporium pada serbuk kayu sengon hanya sedikit yaitu pada permukaan serbuk, sedangkan pada selang inkubasi selama 20 dan 30 hari jumlah pertumbuhannya hampir sama yaitu telah memenuhi permukaan serbuk dan juga pada bagian dalam. Pada serbuk kayu jati dan meranti
pertumbuhan miselia P. chrysosporium, baik pada waktu inkubasi 10, 20 maupun 30 hari, adalah sangat tipis dan jumlahnya hanya sedikit yaitu hanya pada bagian permukaan serbuk kayu. Lambatnya pertumbuhan jamur pada serbuk kayu meranti dikarenakan lignin kayu meranti, yang digunakan sebagai sumber karbon untuk proses metabolisme sekunder oleh jamur, memiliki nilai S/G rasio yang rendah, yaitu 1,87 (Syafii, 2001). Hal ini berarti bahwa lignin kayu meranti memiliki kandungan guaiasil yang tinggi. Guaiasil lignin sulit didegradasi oleh jamur karena memiliki struktur bifenil yang tinggi dengan gugus-gugus fenol yang lebih tahan terhadap pembentukan radikal-radikal fenoksi dari jamur (Fengel dan Wegener, 1995). Selain itu kadar ekstraktif yang tinggi dari serbuk kayu meranti dan jati yang digunakan, yaitu berturut-turut 5,96% dan 5,43% diduga juga ikut berperan sebagai penyebab tidak tumbuhnya jamur P. chrysosporium dengan baik. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa sejumlah kayu mengandung senyawasenyawa ekstraktif yang dapat bersifat racun atau mencegah pertumbuhan bakteri, jamur dan rayap.
S
J
M
S
J
M
Gambar 12. Kondisi serbuk kayu sebelum diberi perlakuan jamur dan setelah 30 hari waktu inkubasi dengan jamur P. chrysosporium. S=sengon, J=jati, M=meranti.
Pertumbuhan miselia jamur paling banyak adalah pada bagian permukaan, sedangkan pada bagian dalam hanya sedikit. Hal ini diduga karena pada bagian dalam tumpukan serbuk tidak terdapat cukup udara untuk proses respirasi jamur. Pada permukaan serbuk yang banyak ditumbuhi miselia jamur, tampak warna serbuk kayu menjadi lebih gelap dibanding normal, hal ini terjadi karena jamur menggunakan selulosa kayu sebagai sumber karbon, sehingga terjadi akumulasi lignin pada lapisan atas serbuk ditempat tumbuhnya jamur. Jamur P. chrysosporium dapat mensintesis enzim selulase yang diinduksi oleh keberadaan selulosa dan ditekan oleh keberadaan glukosa pada tempat tumbuhnya (Bruce dan Palfreyman, 1998). Pernyataan ini juga didukung oleh Teeri et al. (1998) yaitu jamur P. chrysosporium mempunyai kemampuan mendegradasi selobiosa dengan memproduksi 2 tipe enzim selobiohidrolase Cel7A (CBH I) yang mendegradasi selulosa dari ujung reduksi dan Cel6A (CBH II) yang mendegradasi selulosa dari ujung non reduksi.
Kandungan Kimia Kayu
Sebelum dan setelah diberi perlakuan dengan jamur P. chrysosporium dilakukan analisis terhadap kandungan kimia masing-masing serbuk kayu. Ratarata hasil analisis kandungan kimia serbuk kayu disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2, sedangkan data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 1. Tabel 1. Nilai rata-rata kadar ekstraktif, kadar abu dan kadar lignin kayu (%). Sengon Sifat Kimia Kadar ekstraktif Kadar lignin Kadar abu
Meranti
0 (kontrol) 1,88
10
20
30
9,78
6,34
24,69
21,58
3,67
4,71
Jati
10
20
30
11,14
0 (kontrol) 5,96
10
20
30
8,92
0 (kontrol) 5,43
13,12
6,48
4,76
5,13
4,85
24,07
22,19
27,38
28,45
29,45
34,34
29,46
29,14
28,59
28,97
4,01
5,14
0,85
0,92
0,58
0,67
1,28
1,58
1,54
1,06
Tabel 2. Nilai rata-rata kandar holoselulosa, kadar hemiselulosa, dan kadar selulosa kayu (%). Sengon Sifat Kimia Kadar holoselulosa Kadar hemiselulosa Kadar selulosa
Meranti
Jati
0 (kontrol)
10
20
30
0 (kontrol)
10
20
30
0 (kontrol)
10
20
30
75,76
75,90
77,50
76,12
78,78
74,77
81,28
74,50
77,46
79,23
81,80
74,43
26,36
36,77
23,87
34,04
34,35
34,61
38,91
32,16
31,80
35,88
38,84
31,93
a
39,13
53,63
42,07
44,43
40,17
42,37
42,34
45,67
43,35
42,96
42,50
49,4
a. Data diambil dari Martawijaya et al. (1989)
Grafik perubahan kandungan kimia kayu yang terjadi selama waktu inkubasi pada berbagai jenis serbuk kayu selengkapnya disajikan pada Gambar 13.
A.
Kadar Kimia Kayu Sengon 90 80 70
Kadar Ekstraktif
Kadar (%)
60
Kadar Holoselulosa
50
Kadar Hemiselulosa
40 Kadar Selulosa
30
Kadar Lignin 20 Kadar Abu 10 0 0
10
20 Hari
30
B.
Kadar Kimia Kayu Meranti 90 80
Kadar (%)
70 60
Kadar Ekstraktif
50
Kadar Holoselulosa
40
Kadar Hemiselulosa
30
Kadar Selulosa Kadar Lignin
20 Kadar Abu 10 0 0
10
20
30
Hari
C.
Kadar Kimia Kayu Jati 90 80
Kadar (%)
70 60
Kadar Ekstraktif
50
Kadar Holoselulosa
40
Kadar Hemiselulosa
30
Kadar Selulosa Kadar Lignin
20
Kadar Abu
10 0 0
10
20
30
Hari
Gambar 13. A. Grafik kadar kimia kayu serbuk kayu sengon. B. Grafik kadar kimia kayu serbuk kayu meranti. C. Grafik kadar kimia kayu serbuk kayu jati.
Kadar air Kayu merupakan materi yang bersifat higroskopis, oleh karena itu di dalam kayu relatif selalu terdapat kandungan air. Hasil analisis sifat kimia kayu selalu dinyatakan berdasar kondisi kayu tanpa air, sehingga untuk mengetahui kondisi kayu tanpa kandungan air perlu dilakukan pengukuran kadar air dalam kayu. Kadar air serbuk kayu diukur dengan menggunakan metode pengeringan dalam tanur pada suhu 100-1050C sampai dengan diperoleh berat konstan, yang artinya semua air yang ada di dalam serbuk kayu telah hilang. Kadar air kayu dihitung berdasarkan berat basahnya. Kadar ekstraktif Ekstraktif merupakan senyawa berbobot molekul rendah yang bukan merupakan bagian dari komponen struktural kayu. Ekstraktif kayu dapat dibagi menjadi fraksi lipofilik dan hidrofilik. Komponen ekstraktif kayu yang termasuk dalam fraksi lipofilik antara lain: lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Fraksi lipofilik dapat diekstrak dengan pelarut non polar seperti etil eter atau diklorometana. Komponen ekstraktif kayu yang termasuk dalam fraksi hidrofilik antara lain: senyawa fenolik (tanin, lignan, stilbena), karbohidrat terlarut, protein, vitamin dan garam anorganik. Fraksi hidrofilik dapat diekstrak dengan pelarut polar seperti alkohol. Pada penelitian ini kadar ekstraktif serbuk kayu yang terukur dengan menggunakan metode penghilangan ekstraktif, adalah ekstraktif yang larut pada pelarut polar dan non polar. Berat ekstraktif ini dinyatakan dalam persen dari berat sample serbuk kayu mula-mula. Selama waktu inkubasi, kadar ekstraktif serbuk kayu mengalami kenaikan pada jenis serbuk kayu sengon yaitu sebesar 237,4-492,9% dibanding kontrol, dan pada serbuk kayu meranti sebesar 8,7120% dibanding kontrol. Sedangkan kadar ekstraktif pada kayu jati adalah relatif
tetap, mengalami sedikit penurunan yang tidak berbedanyata yaitu berkisar antara 5,6-12,3% dibanding kontrol. Kadar ekstraktif tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 10 hari (13,12%), sedangkan kadar ekstraktif terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 0 hari (1,88%). Kenaikan kadar ekstraktif setelah waktu inkubasi pada serbuk kayu sengon dan meranti, dikarenakan miselia jamur P. chrysosporium yang tumbuh pada serbuk kayu ikut terekstrak oleh pelarut yang digunakan. Dinding sel miselia jamur tersusun atas kitin, selulosa atau glukan (Pelczar dan Chan, 1986; Eaton dan Hale, 1993). Selain itu metabolit primer jamur digunakan untuk biosintesis asam amino, lipid, polisakarida dan asam nukleat. Senyawa-senyawa tersebut akan terlarut dalam ekstraksi dengan pelarut polar. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa faktor jenis kayu dan waktu inkubasi memberikan pengaruh sangat nyata pada taraf uji 1% terhadap kadar ekstraktif serbuk kayu. Sedangkan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5% (Lampiran 2). Hasil analisis varian ini kemudian diuji lanjut menggunakan BNJ untuk mengetahui pada taraf mana faktor jenis kayu, waktu inkubasi serta interaksinya dalam memberikan perbedaan terhadap kadar ekstraktif serbuk kayu. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa kadar ekstraktif pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 0 hari berbeda sangat nyata dengan kadar ekstraktif pada serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 10 hari. Sedangkan pada kombinasi serbuk kayu dengan waktu inkubasi yang lain memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar ekstraktif kayu. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar ekstraktif serbuk kayu. Waktu Inkubasi Nilai BNJ Jenis Kayu 0 10 20 30 7,47
Sengon
1,88
a
Meranti
5,96
abc
Jati
5,43
ab
9,78 bc 13,12 c 4,76 ab
6,34 abc
11,14 bc
6,48 abc
8,92 abc
5,13 ab
4,85 ab
Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada α = 5%.
Kadar abu Abu pada kayu ini terutama berasal dari berbagai garam yang diendapkan dalam dinding sel dan lumen. Komponen abu utama dalam kayu adalah Ca (hingga 50%), K dan Mg, yang diikuti oleh Mn, Na, P dan Cl. Kadar abu serbuk kayu merupakan berat abu yang tersisa dari serbuk kayu yang dipanaskan pada tanur dengan suhu 600oC. Kadar abu ini dinyatakan berdasar berat sampel serbuk kayu kering tanur. Selama waktu inkubasi, kadar abu serbuk kayu sengon mengalami kenaikan berkisar antara 9,38-40,06% dibanding kontrol. Pada serbuk kayu meranti mengalami penurunan berkisar antara 20,82-32,24% dibanding kontrol, kecuali pada waktu inkubasi 10 hari terjadi kenaikan sebesar 8,44%. Kadar abu serbuk kayu jati mengalami kenaikan dengan kisaran 20,23-23,83% dibanding kontrol, kecuali pada waktu inkubasi 30 hari terjadi penurunan sebesar 16,80%. Kadar abu tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari (5,14%), sedangkan kadar abu terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 20 hari (0,58%). Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian Diertrich et al. (1995), yaitu setelah waktu inkubasi selama 28 hari dengan jamur P. chrysosporium pada media yang ditambah dengan polychlorinated biphenyl, terjadi peningkatan
kadar mineral hingga 11%. Jamur P. chrysosporium mepunyai kemampuan untuk mendegradasi senyawa kimia xenobiotik termasuk polychlorinated biphenyl sehingga meningkatkan kadar klorin dalam media. Selain itu Fengel dan wegener (1995) juga menyatakan bahwa kristal (mineral) yang muncul dalam kayu setelah terserang
oleh
jamur
atau
bakteri
disebabkan
oleh
hasil
metabolik
mikroorganisme tersebut. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa faktor jenis kayu, waktu inkubasi dan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh sangat nyata pada taraf uji 1% terhadap kadar abu serbuk kayu (Lampiran 2). Hasil analisis varian ini kemudian diuji lanjut menggunakan BNJ untuk mengetahui pada taraf mana faktor jenis kayu, waktu inkubasi serta interaksinya dalam memberikan perbedaan terhadap kadar abu serbuk kayu. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa kadar abu pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 0, 10, 20 dan 30 adalah berbeda nyata dengan kadar abu pada serbuk kayu meranti dan jati dengan waktu inkubasi 0, 10, 20 dan 30 hari. Sedangkan kadar abu pada serbuk kayu jati dan meranti dengan kombinasi waktu inkubasi yang berbeda tidak terdapat perbedaan nyata. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar abu serbuk kayu. Waktu Inkubasi Nilai BNJ Jenis Kayu 0 10 20 30 1,83
Sengon
3,67 b
4,71 b
4,01 b
5,14 b
Meranti
0,85 a
0,92 a
0,58 a
0,67 a
Jati
1,28 a
1,58 a
1,54 a
1,06 a
Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada α = 5%.
Kadar holoselulosa Holoselulosa serbuk kayu merupakan serbuk berwarna kuning pucat hasil isolasi menggunakan NaClO 2. Kadar holoselulosa dinyatakan berdasarkan berat kering tanur serbuk bebas ekstraktif. Selama waktu inkubasi, kadar holoselulosa serbuk kayu sengon mengalami kenaikan berkisar antara 0,18-2,3% dibanding kontrol. Pada serbuk kayu meranti mengalami penurunan berkisar antara 5,095,44% dibanding kontrol, kecuali pada waktu inkubasi 20 hari justru terjadi kenaikan sebesar 3,18%. Kadar holoselulosa serbuk kayu jati mengalami kenaikan dengan kisaran 2,28-5,6% dibanding kontrol, kecuali pada waktu inkubasi 30 hari terjadi penurunan sebesar 3,92%. Kadar holoselulosa tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu jati dengan waktu inkubasi 20 hari (81,80%), sedangkan kadar holoselulosa terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu jati dengan waktu inkubasi 30 hari (74,43%). Peningkatan kadar holoselulosa ini diduga terjadi karena berkurangnya kadar lignin di dalam kayu, sehingga rasio holoselulosa:lignin (H/L) dalam kayu menjadi meningkat. Hasil
analisis
varian
menunjukkan
bahwa
faktor
waktu
inkubasi
memberikan pengaruh sangat nyata pada taraf uji 1% terhadap kadar holoselulosa serbuk kayu, sedangkan faktor jenis kayu dan ineraksi antara faktor jenis kayu dan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 2). Hasil analisis varian ini kemudian diuji lanjut menggunakan BNJ untuk mengetahui pada taraf mana faktor waktu inkubasi memberikan perbedaan terhadap kadar holoselulosa serbuk kayu. Hasil uji BNJ faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa kadar holoselulosa pada waktu inkubasi 0, 10 dan 30 hari tidak berbeda nyata, sedangkan waktu inkubasi 20 hari memberikan perbedaan nyata. Hasil uji BNJ faktor waktu inkubasi disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil uji BNJ faktor waktu inkubasi terhadap kadar holoselulosa serbuk kayu. Nilai BNJ Waktu Inkubasi Kadar Holoselulosa 77,34 ab 0 3,16
10 20
76,63 a 80,20 b
30
72,02 a
Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada α = 5%.
Kadar selulosa Selulosa serbuk kayu merupakan serbuk berwarna putih hasil isolasi dari perlakuan kimia menggunakan NaClO 2 yang dilanjutkan dengan CH3COOH. Kadar selulosa ini dinyatakan berdasar berat kering tanur serbuk bebas ekstraktif. Selama waktu inkubasi, kadar selulosa serbuk kayu mengalami penurunan pada semua jenis serbuk kayu dengan persentase yang berbedabeda. Pada serbuk kayu sengon penurunan yang terjadi adalah sebesar 21,0642,41% dibanding kontrol. Pada serbuk kayu meranti penurunan yang terjadi adalah sebesar 4,64-9,6% dibanding kontrol. Sedangkan pada serbuk kayu jati adalah sebesar 5,08-6,93% dibanding kontrol. Kadar selulosa tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 0 hari (67,94%), sedangkan kadar selulosa terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 10 hari (39,13%). Penurunan kadar selulosa serbuk kayu ini disebabkan karena jamur P. chrysosporium
menggunakan
selulosa
sebagai
sumber
karbon
untuk
pertumbuhannya pada saat media tumbuhnya miskin akan glukosa. Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian Wijaya et al. (2000) yaitu kadar selulosa pada chip kayu sengon dan pinus berturut-turut menurun hingga 13,33% dan 16,06% setelah diinkubasi selama 21 hari menggunakan jamur P. chrysosporium .
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa faktor jenis kayu, waktu inkubasi dan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh sangat nyata pada taraf uji 1% terhadap kadar selulosa serbuk kayu (Lampiran 2). Hasil analisis varian ini kemudian diuji lanjut menggunakan BNJ untuk mengetahui pada taraf mana faktor jenis kayu, waktu inkubasi serta interaksinya dalam memberikan perbedaan terhadap kadar selulosa serbuk kayu. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa kadar selulosa pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 0 hari sangat berbeda nyata dengan kadar selulosa pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 10 dan 20 hari, serta dengan kadar selulosa pada serbuk kayu jati dengan waktu inkubasi 0 hari. Sedangkan kadar selulosa pada kombinasi perlakuan yang lain tidak berbeda nyata. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar selulosa serbuk kayu. Nilai Waktu Inkubasi Jenis Kayu BNJ 0 10 20 30 5,49
Sengon
67,94 d
39,13 a
53,63 c
42,07 ab
Meranti
44,43 ab
40,17 a
42,37 ab
42,34 ab
Jati
45,67 b
43,35 ab
42,96 ab
42,50 ab
Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada α = 5%.
Kadar hemiselulosa Kadar hemiselulosa serbuk kayu yang terukur merupakan selisih dari kadar holoselulosa serbuk kayu dan kadar selulosa serbuk kayu. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa jika tidak diperlukan isolasi terhadap hemiselulosa dan hanya untuk mengetahui kandungan hemiselulosa dalam sampel, maka metoda yang paling tepat dan cepat adalah hidrolisis total holoselulosa dan dilanjutkan dengan analisis selulosa.
Selama waktu inkubasi, kadar hemiselulosa serbuk kayu mengalami kenaikan pada semua jenis serbuk kayu dengan persentase yang berbeda-beda. Kenaikan kadar hemiselulosa pada serbuk kayu sengon berkisar antara 205,23370,17% dibanding kontrol. Pada serbuk kayu meranti berkisar antara 0,7513,29% dibanding kontrol, sedangkan pada serbuk kayu jati terjadi peningkatan sebesar 0,41-22,14% dibanding kontrol. Kadar hemiselulosa tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 20 hari (38,91%), sedangkan kadar hemiselulosa terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 0 hari (7,82%). Peningkatan kadar hemiselulosa ini diduga terjadi karena berkurangnya kadar selulosa di dalam kayu, sehingga rasio hemiselulosa : selulosa dalam holoselulosa menjadi meningkat. Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian Camarero et al. (2001) yang menyebutkan bahwa rendemen polisakarida pada jerami gandum meningkat hingga 144% jika dibandingkan yang tidak diberi perlakuan enzim peroxidase. Hasil hidrolisis enzim peroksidase terhadap karbohidrat pada materi lignoselulosa adalah 2-furaldehida, 2-3-dihidro5-metil furanone, 1,5-anhidro-4-deoxypent-1-en-3-ulose dan 2-hidroksi-3-metil-2siklopenten-1-one, yang tergolong sebagai hemiselulosa kayu. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa faktor jenis kayu, waktu inkubasi dan interaksi keduanya memberikan pengaruh sangat nyata pada taraf uji 1% terhadap kadar hemiselulosa serbuk kayu (Lampiran 2). Hasil analisis varian ini kemudian diuji lanjut menggunakan BNJ untuk mengetahui pada taraf mana faktor jenis kayu, waktu inkubasi serta interaksinya dalam memberikan perbedaan terhadap kadar hemiselulosa serbuk kayu. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa kadar hemiselulosa serbuk kayu sengon pada waktu inkubasi 0 hari berbeda nyata dengan waktu inkubasi 20, selain itu waktu inkubasi 0 dan 20 juga berbeda nyata
dengan waktu inkubasi 10 dan 30. Kombinasi perlakuan yang lain yaitu serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 0, 10, 20 dan 30 hari serta serbuk kayu jati dengan waktu inkubasi 0, 10, 20 dan 30 hari adalah tidak berbeda nyata. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar hemiselulosa serbuk kayu. Nilai Waktu Inkubasi Jenis Kayu BNJ 0 10 20 30 7,15
Sengon
7,82 a
36,77 c
23,87
b
34,04 c
Meranti
34,35 c
34,61 c
38,91
c
32,16 c
Jati
31,80 c
35,88 c
38,84
c
31,93 c
Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada α = 5%.
Kadar lignin Kadar lignin serbuk kayu yang terukur adalah berat lignin yang tersisa dari serbuk kayu yang diberi perlakuan hidrolisis asam terhadap holoselulosanya. Berat lignin ini dinyatakan dalam persen dari berat serbuk kayu bebas ekstraktif kering tanur. Selama waktu inkubasi, kadar lignin serbuk kayu mengalami penurunan pada jenis serbuk kayu sengon dan jati, sedangkan pada kayu meranti mengalami kenaikan. Penurunan kadar lignin serbuk kayu sengon berkisar antara 2,51-12,59% dibanding kontrol, sedangkan pada kayu jati berkisar antara 1,11-2,98% dibanding kontrol. Sedangkan pada kayu meranti kenaikan kadar lignin berkisar antara 3,94-25,45% dibanding kontrol. Kadar lignin tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 30 hari (34,34%), sedangkan kadar lignin terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 10 hari (21,58%). Penurunan kadar lignin kayu pada serbuk kayu sengon dan jati terjadi karena lignin tersebut terdegradasi oleh enzim yang disekresikan jamur P.
chrysosporium . Jamur P. chrysosporium dapat memproduksi enzim lignin peroksidase, manganase peroksidase dan lakase yang berperan dalam mendegradasi struktur lignin (Jefries, 1994; Bruce dan Palfreyman, 1998; Hattori dan Simada, 2001). Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian Singh dan Roymoulik (1996) yaitu P. chrysosporium dalam mendegradasi lignin sebesar 730% tergantung pada jenis ligninnya , serta hasil penelitian Wijaya et al. (2000), dimana setelah dilakukan inkubasi dengan jamur P. chrysosporium selama 30 hari pada media yang diperkaya okara terjadi penurunan kadar lignin chip kayu sengon dan pinus berturut-turut sebesar 46,98% dan 43,26%. Setelah waktu inkubasi tertentu, kadar lignin pada serbuk kayu meranti tidak mengalami penurunan, hal ini terjadi karena lignin kayu meranti sulit didegradasi oleh jamur P. chrysosporium. Rata-rata hasil analisis nitrobenzen untuk S/G rasio dari lignin kayu jati adalah sebesar 3,12. Data dan perhitungan selengkapnya S/G rasio lignin kayu jati disajikan pada Lampiran 3. Lignin kayu sengon dan meranti berturut-turut memiliki nilai S/G rasio sebesar 2,03 dan 1,87 (Syafii, 2001). Kecepatan mikroorganisme dalam mendegradasi subtrat berlignin tidak tergantung pada banyaknya jumlah lignin di dalam subtrat itu, akan tetapi lebih kepada jenis dari ligninnya. Fengel dan Wegener (1995) menjelaskan bahwa lignin-lignin terkondensasi yang mengandung ikatan difenil ternyata lebih sukar dimasuki oleh enzim-enzim jamur. Unsur-unsur siringil terdegradasi lebih cepat daripada unsur-unsur guaiasil dalam lignin kayu keras. Pada lignin siringilguaiasil sintetik, dijelaskan dengan struktur bifenil yang lebih tinggi dalam bagian guaiasil, dengan gugus-gugus fenol yang lebih tahan terhadap pembentukan radikal-radikal fenoksi. Selain itu inti siringil mempunyai potensial redox yang rendah dibandingkan inti guaiasil dan adanya 2 gugus metoksil yang kaya elektron pada inti siringil, hal ini menyebabkan siringil menjadi lebih atraktif
terhadap transfer elektron tunggal dari oksidasi ligninase dan oksidan lemah lainnya. Jumlah gugus metoksil dapat meningkatkan laju oksidasi (Eaton dan Hale, 1993). Setelah waktu inkubasi 30 hari, kadar lignin pada serbuk kayu jati dan meranti justru
mengalami
peningkatan.
Peningkatan
ini
diduga
terjadi
karena
repolimerisasi lignin atau kondensasi lignin dengan ekstraktif kayu. Fengel dan Wegener (1995) menyebutkan bahwa tidak semua lignin bergabung secara sempurna ke dalam metabolisme jamur, ada bagian-bagian tertentu yang diubah menjadi produk terkondensasi tinggi. Enzim lakase merupakan salah satu penyebab kondensasi ini jika aktivitasnya terhalang. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa faktor jenis kayu dan interaksi antara faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi memberikan pengaruh sangat nyata pada taraf uji 1% terhadap kadar lignin serbuk kayu (Lampiran 2). Hasil analisis varian ini kemudian diuji lanjut menggunakan BNJ untuk mengetahui pada taraf mana faktor jenis kayu serta interaksinya dengan faktor waktu inkubasi, dalam memberikan perbedaan terhadap kadar lignin serbuk kayu. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa kadar lignin serbuk kayu sengon berbeda dengan kadar lignin pada serbuk kayu meranti dan jati, sedangkan pada keduanya (serbuk kayu meranti dan jati) tidak berbeda nyata. Faktor waktu inkubasi tidak berpengaruh terhadap kadar ilgnin serbuk kayu sengon dan jati, tetapi berpengaruh pada serbuk kayu meranti. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar lignin serbuk kayu. Nilai Jenis Waktu Inkubasi BNJ
4,81
Kayu
0
10
20
30
Sengon
24,69 abcd 21,58 a
24,07 abc
22,19 ab
Meranti
27,38 cd
28,45 cd
29,45 d
34,34 e
Jati
29,46 d
29,14 d
28,59 cd
28,97 d
Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada α = 5%.
Aktivitas Enzim Isolat kapang Trichoderma viride Person and Fries yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan pada 10 ml media PDA dengan kondisi suhu kamar. Pada umur 5 hari pertumbuhan miselia dan spora kapang telah memenuhi seluruh permukaan media (Gambar 14). Isolat kapang ini berwarna hijau (spora) dengan miselia berwarna putih. Isolat dengan pertumbuhan yang kurang baik tidak digunakan sebagai sumber spora yang akan ditumbuhkan pada media untuk produksi enzim selulase. Jumlah spora yang digunakan untuk setiap 100 ml media adalah 2,03.108.
A.
B.
Gambar 14. A. Isolat T.viride umur 5 hari. B. Spora pada suspensi 10 ml aquades.
Kapang T.viride merupakan kapang yang dapat memproduksi komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang dapat memutus selulosa kristalin (Eaton dan Hale, 1993). Setelah waktu inkubasi selama 10 hari pada shake flask culture yang direkomendasikan oleh Jeffries (1987) untuk produksi enzim selulase pada suhu ruang, media tersebut lalu disaring untuk mendapatkan enzimselulase kasar. Aktivitas FP-ase enzim selulase kasar tersebut kemudian diukur dengan menggunakan metode Somogyi-Nelson pada suhu 30 oC. Pemilihan penggunaan FP-ase sebagai dasar pengukuran aktivitas enzim selulase ini adalah karena dalam aktivitas FP-ase enzim tergambarkan total aktivitas komplek enzim selulase (endoselulase, selobiohidrolase dan β-glukosidase). Penetapan suhu 30oC untuk pengukuran aktivitas enzim adalah disesuaikan dengan suhu optimum pertumbuhan yeast Saccharomyces cerevisiae. Pada proses sakarifikasi fermentasi simultan untuk memproduksi etanol, digunakan campuran antara enzim selulase kasar dari T.viride dan yeast S. cerevisiae. Aktivitas FP-ase dari enzim selulase kasar yang dihasilkan adalah 0,028 U/ml (Lampiran 4). Aktivitas enzim ini sangat kecil jika dibandingkan aktivitas enzim selulase dari T.viride pada suhu 60oC hasil penelitian Wirakartakusumah et al. (1987) yaitu sebesar 2 U/ml. Kecilnya aktivitas enzim selulase kasar yang dihasilkan diduga karena enzim tersebut merupakan enzim kasar (tidak dimurnikan) sehingga konsentrasinya masih sangat kecil, serta suhu aktivasi yang tidak optimum. Hasil penelitian Wirakartakusumah et al. (1987) juga menunjukkan bahwa aktivitas selulase pada suhu dibawah 60oC menurun sangat drastis, dan pada suhu 30oC data tidak teridentivikasi (< 0,5 U/ml). Sebagai perbandingan aktivitas enzim selulase murni komersial yang dijual dipasaran yaitu celluclast L 1,5 NOVO, memiliki aktivitas FP-ase sebesar 6500 U/ml.
Kadar Etanol
Kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian ini adalah melalui proses sakarifikasi fermentasi simultan dengan waktu inkubasi 72 jam. Pada proses ini dilakukan kombinasi antara hidrolisis selulosa secara enzimatik menggunakan enzim kasar dari T.viride dengan fermentasi gula menggunakan yeast S. cerevisiae. Kadar etanol diukur dengan menggunakan kromatografi gas. Sebelum dilakukan pengukuran sampel, dibuat kurva standar kadar etanol seperti yang disajikan pada Lampiran 5. Nilai rata-rata kadar etanol disajikan pada Tabel 9, sedangkan data lengkap hasil perhitungan juga disajikan pada Lampiran 5. Tabel 9. Nilai rata-rata kadar etanol (g/l) dan (l/ton). Waktu Inkubasi Jenis 0 10 20 Kayu (g/l) (l/ton) (g/l) (l/ton) (g/l) (l/ton) Sengon 0,104 0,334 0,158 0,533 0,024 0,082 Meranti 0,235 0,761 0,124 0,413 0,364 1,223 Jati
0,170
0,548
0,158
0,537
0,311
1,052
30 (g/l) 0,448
(l/ton) 1,535
0,016
0,056
0,111
0,373
Keterangan : berat serbuk kayu adalah pada kondisi kering tanur
Perlakuan penyerangan jamur P. chrysosporium pada beberapa waktu inokulasi telah menyebabkan perubahan komponen kimia serbuk kayu. Pengaruh perlakuan penyerangan jamur P. chrysosporium ini terhadap setiap jenis kayu yang berbeda adalah memberikan hasil yang berbeda pula. Kombinasi faktor perlakuan tersebut memberikan hasil fermentasi etanol yaitu pada kisaran 0,0160,448 g/l. Kadar etanol tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari (0,448 g/l), sedangkan kadar etanol terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 30 hari (0,016 g/l). Histogram perubahan kadar etanol dari serbuk kayu yang terjadi selengkapnya disajikan pada Gambar 15.
Kadar Etanol (g/l)
Kadar Etanol 0,50 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0
10
Hari
20 Sengon
30 Meranti
Jati
Gambar 15. Histogram kadar etanol dari serbuk kayu
Setiap gram serbuk kayu kering tanur yang digunakan, menghasilkan etanol rata-rata sebanyak 0,0049 g dengan kisaran 4,4.10-4 – 1,2.10-2 g/g. Apabila digunakan beberapa asumsi antara lain: kerapatan kering tanur serbuk kayu 1,5 g/cm3 (Haygreen dan Bowyer, 1996), kadar air serbuk kayu 12% (kering angin), dan 1 liter etanol = 0,79 kg, maka dari potensi limbah kayu di Indonesia sebesar 3,03-4,03 juta m3 (40,6-53,9 juta ton), akan diperoleh etanol sebanyak 25,2-33,5 juta liter. Kadar etanol yang dihasilkan masih rendah jika dibanding penelitian Samsuri et al. (2005) yang menghasilkan kadar etanol sebesar 15,2-15,4 g/l. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Srivinas et al. (1995) kadar etanol yang dihasilkan tidak jauh berbeda yaitu 0,17 g/l. Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan diduga dikarenakan masih tingginya kandungan lignin di dalam kayu. Selain itu aktivitas enzim selulase kasar dari kapang T. viride yang digunakan juga terlalu kecil, sehingga tidak mampu menghidrolsis selulosa secara optimal. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa faktor interaksi antara faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi memberikan pengaruh sangat nyata pada taraf uji 1% terhadap kadar etanol serbuk kayu (Lampiran 6). Hasil analisis varian ini
kemudian diuji lanjut menggunakan BNJ untuk mengetahui pada taraf mana faktor jenis kayu serta interaksinya dengan faktor waktu inkubasi, dalam memberikan perbedaan terhadap kadar etanol serbuk kayu. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa kadar etanol yang dihasilkan dari serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari adalah berbeda nyata dengan kadar etanol yang dihasilkan dari serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 30 hari, sedangkan dengan kombinasi perlakuan yang lain adalah tidak berbeda nyata. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan faktor waktu inkubasi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi terhadap kadar etanol (g/l) serbuk kayu. Nilai Waktu Inkubasi Jenis Kayu BNJ 0 10 20 30 418,29
Sengon
0,104 ab
0,158 ab
0,024 ab
0,448 b
Meranti
0,235 ab
0,124 ab
0,364 ab
0,016 a
Jati
0,170 ab
0,158 ab
0,311 ab
0,111 ab
Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada α = 5%.
Komposisi kimia serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari adalah: kadar air 62,88%, kadar ekstraktif 11,14%, kadar abu 5,14%, kadar holoselulosa 76,12%, kadar selulosa 42,07%, kadar hemiselulosa 22,19% dan kadar lignin 22,19%. Komposisi kimia serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 30 hari adalah: kadar air 52,70%, kadar ekstraktif 8,92%, kadar abu 0,67%, kadar holoselulosa 74,50%, kadar selulosa 42,38%, kadar hemiselulosa 32,16% dan kadar lignin 34,34%. Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan dari serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 30 hari diduga disebabkan oleh tingginya kadar hemiselulosa dan lignin pada serbuk kayu tersebut. Kadar hemiselulosa yang tinggi dalam bentuk monomer gula (baik heksosa maupun pentosa) sebenarnya dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan.
Akan tetapi apabila hemiselulosa yang merupakan matrik pengikat lignin berada dalam bentuk komplek lignin karbohidrat (masih berikatan dengan lignin), hal ini justru akan mengakibatkan penghambatan terhadap proses fermentasi oleh yeast S. cerevisiae (Luo et al., 2002). Pada serbuk kayu meranti kadar hemiselulosa yang tinggi adalah seiring dengan kadar ligninnya yang tinggi pula, oleh karena itu diduga struktur hemiselulosa yang terdapat pada serbuk kayu meranti berada dalam bentuk ikatan dengan lignin. Dilain pihak kadar lignin yang tinggi pada serbuk kayu akan menghambat aksesibilitas enzim selulase terhadap selulosa. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa laju hidrolisis enzimatik atau mikrobial kayu akan menjadi sangat lambat karena kandungan lignin yang tinggi dan karena adanya struktur kristalin pada selulosanya. Hasil analisis regresi antara kadar etanol masing-masing komponen kimia kayu, menunjukkan bahwa komponen kimia yang berpengaruh nyata terhadap kadar etanol hanyalah kadar holoselulosa (Lampiran 7). Kadar holoselulosa berkorelasi positif terhadap kadar etanol yang dihasilkan. Hubungan antara kadar holoselulosa dan kadar etanol disajikan pada Gambar 16. Holoselulosa vs Etanol 0,50
Kadar Etanol (g/l)
0,45 0,40
y = 0,0277x - 1,943
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 74
76
78
80
82
84
Kadar Holoselulosa (%)
Gambar 16. Grafik hubungan kadar holoselulosa dengan kadar etanol.
Pada grafik di atas tampak bahwa hubungan antara kadar holoselulosa dan kadar etanol adalah linier positif, artinya semakin tinggi kadar holoselulosa maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. Holoselulosa adalah gabungan antara selulosa dan hemiselulosa di dalam kayu. Peningkatan kadar holoselulosa yang diikuti peningkatan kadar etanol kayu adalah diduga karena selain menghasilkan enzim selulase, kapang T.viride juga menghasilkan enzim xilanase. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji aktivitas enzim xilanase terhadap enzim kasar yang dihasilkan. Selain memproduksi enzim selulase, T.viride juga menghasilkan enzim endo-1,4-β-xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul enzim xilanase yang dihasilkan oleh T.viride adalah sebesar 22000 dalton (Ujiie et al., 1991). Kadar etanol yang tinggi yang dihasilkan karena kemampuan enzim kasar dari T.viride yang dapat menghidrolisis rantai xilan, diduga juga didukung oleh kemampuan yeast S. cerevisiae dalam memfermentasi xilosa yang dihasilkan. Hasil penelitian Jin et al. (2003) menyebutkan bahwa Saccharomyces cerevisiae yang ditumbuhkan pada media yang mengandung xilosa dapat menghasilkan etanol dengan kadar maksimum 3,4 g/l. Produksi etanol oleh yeast S. cerevisiae dari xilosa memang tidak dapat optimal, karena sebenarnya konsumsi utama xilosa oleh S. cerevisiae adalah untuk diubah menjadi xilitol untuk metabolisme internalnya. Berdasar hasil analisis regresi, pada penelitian ini kadar lignin kayu ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap kadar etanol yang dihasilkan. Akan tetapi kecenderungan yang diperoleh adalah apabila semakin rendah kadar lignin kayu, maka kadar etanol yang dihasilkan akan semakin tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasar hasil penelitian dan pembahasan seperti tersebut di muka maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 0,016-0,448 g/l atau sebesar 0,056-1,535 l/ton. Kombinasi perlakuan yang paling baik adalah pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari. 2. Perlakuan pendahuluan dengan jamur P. chrysosporium pada berbagai jenis serbuk kayu dan waktu inkubasi dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan. Kenaikan kadar etanol yang terjadi berkisar antara 26,68-76,90% dibanding serbuk kayu yang tidak diberi perlakuan jamur P. chrysosporium . 3. Ketiga jenis serbuk kayu yang digunakan yaitu sengon, meranti dan jati, memberikan hasil perubahan kadar kandungan kimia yang berbeda-beda setelah perlakuan inkubasi dengan jamur P. chrysosporium. Serbuk kayu sengon merupakan jenis yang paling mudah ditumbuhi dan didegradasi oleh jamur P. chrysosporium. Kandungan kadar lignin dan selulosa menurun berturut-turut sebesar 2,51-12,59% dan 21,06-42,41%, lebih besar jika dibanding pada kayu meranti maupun jati. 4. Sifat kimia serbuk kayu yang berpengaruh nyata terhadap kadar etanol yang dihasilkan adalah kadar holoselulosa. Terdapat hubungan linier antara kadar holoselulosa dengan kadar etanol, semakin tinggi kadar holoselulosa maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. 5. Waktu inkubasi optimal jamur P. chrysosporium pada serbuk kayu adalah 20 hari. Pada waktu inkubasi 20 hari diperoleh rata-rata kadar holoselulosa
tertinggi dari ketiga jenis serbuk kayu yaitu 80,20%. Rata-rata kadar etanol tertinggi juga diperoleh setelah waktu inkubasi 20 hari yaitu 0,233 g/l.
Saran
Sedangkan beberapa saran yang dapat diajukan antara lain: 1. Perlu dilakukan analisis terhadap aktivitas enzim xilanase dari enzim kasar kapang Trichoderma viride yang digunakan. 2. Perlu dilakukan penghilangan lignin dengan metode lain (misalnya pulping kimia), untuk membuktikan lebih lanjut kecenderungan yang dihasilkan pada penelitian ini bahwa berkurangnya kadar lignin dalam kayu dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan. 3. Perlu
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
dengan
melihat
faktor-faktor
penghambat lain (misalnya kadar ekstraktif dan kristalinitas selulosa) dari serbuk kayu, sehingga dapat diperoleh kadar etanol yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 1984. Annual Book of ASTM Standards. D-1102 s.d 1110 Standard Method of Wood Chemistry. Philladelphia. USA. Akhtar M., R.A. Blanchette, dan T.K. Kirk, 1997. Fungal Delignification and Biomechanical Pulping of Wood. Advances in Biochemical Engineering/ Biotechnology, Vol. 57 : 159-195. Atalla, R.H., 1999. Comprehensive Natural Products Chemistry : Carbohydrates And Their Derivatives Including Tannins, Cellulose, And Related Lignins. Vol. 3, S.D. Barton, K. Nakanishi, O.M. Cohn (Edt), Elsevier Science Ltd., Oxford. Ballesteros M., J.M. Olivia, M.J. Negro, P. Manzanares dan I. Ballesteros, 2004. Ethanol from Ligncellulosic Material by a Simultaneous Saccarification and Fermentation Process (SFS) With Kluyveromyces marxianus CECT 10875. Process Biochemistry (39) : 1843-1848. Boyles D., 1984. Bio Energy- Technology, Thermodynamics and Costs. Ellis Horwood Limited. West Sussex. Brandberg T., C.J. Franzen and L. Gustafsson, 2004. The Fermentation Performance on Nine Strains of Saccharomyces cerevisiae in Batch and FedBatch Cultures in Dilute-Acid Wood Hydrolysate. J.Bioscience and Bioengineering. Vol 98 (2) : 122-125 Bruce A. and J.W. Palfreyman, 1998. Forest Products Biotechnology. Taylor and Francis Ltd. London. Camarero S., P. Bocchini, G.C. Galletti, M.J. Martinez dan A.T. Martinez, 2001. Compositional Changs of wheat Lignin by a fungal Peroxidase Analyzed by Pyrolysis-GC-MS. J.Analytical and Applied Pyrolysis (58-59):413-423. Campbell I.M., 1983. Biomass, Catalysts and Liquid Fuels. Technomic Publishing Co.Inc. Pensylvania. Campbell M.M. dan R.R. Sederoff, 1996. Variation in Lignin Content and Composition.J. Plant Physiol 110: 3-13. Crawford R., 1981. Lignin Biodegradation and Interscience. John Wiley and Son. New York.
Transformation.
Wiley-
Darmaji P., Suhardi, Suprapto, Herminiwati dan R.R. Zulhairi, 1998. Optimasi Pembuatan Arang Aktif dari Limbah Kayu Keruing Sebagai Filler barang Karet. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan dan Gizi. Yogyakarta.15 Desember 1998. Departemen Kehutanan, 2004. Statistik Kehutanan Indonesia 2003. Diertrich D., W.J. Hickey dan R. Lamar, 1995. Degradation of 4,4Dichlorobiphenyl, 3,3-4,4-Tetrachlorobiphenyl, and 2,2-4,4-5,5 Hexachloro-
biphenyl by White Rot Fungus Phanerochaete chrysosporium, Applied and Environmental Microbiology 61(11) : 3904-3909. Eaton R.A. dan M.D.C. Hale, 1993, Wood : Decay, Pests and Protection. Chapman and Hall. London. Enari T.M., 1983. Microbial Cellulase. dalam W.M. Fogarty (Edt), Microbial Enzymes and Biotechnology. Appl. Sci. New York. Fengel D. Dan G. Wegener, 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur dan Reaksi-reaksi. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. Goldstein I.S., 1981. Organic Chemical from Biomass. CRC Press Inc. Boca Raton. Hattori T. dan M. Simada, 2001. Microbial, Enzymatic and Biomimetic Degradation of Lignin in Relation to Bioremediation. Dalam Hon, D.N.S and N. Shiraishi (Edt). Wood and Cellulose Chemistry. 2nd Ed. Rev and Expanded. Marcel Dekker : 547-567. Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer, 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar. Terjemahan Soetjipto A.H. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. Heyne K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia Vol. II dan III, Diterjemahkan oleh Badan Litbang Dep. Kehutanan, Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Irawadi T.T., 1991. Analisis Produk Hidrolisis Enzim Pada Limbah Berserat dari Industri Pertanian dengan Metoda HPLC, Laporan Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. IPB, Bogor. Itoh H., M. Wada, Y. Honda, M. Kuwahara and T. Watanabe, 2003. Bioorganosolve Pretreatments for Simultaneous Saccharification and Fermentation of Beech Wood by Ethanolysis and White Rot Fungi. Journal of Biotechnology 103 : 273-280 Jeffries T.W., 1987. Production And Applications Of Cellulase Laboratory Procedures. (www.calvin.biotech.wisc.edu).24-08-2005. Jeffries T.W., 1994. Biochemistry of Microbial Degradation. C. Ratledge (Edt). Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Jeffries T.W., 2000. Ethanol and Thermotolerance in The Bioconversion of Xylose by Yeasts. Advances in Applied Microbiology, Vol. 47 : 222-267 Jin Y.S., H. Ni, J.M. Laplaza dan T.W. Jeffries, 2003. Optimal Growth and Ethanol Production from Xylose by Recombinant Saccharomyces cerevisiae Require Moderate D-Xylulokinase Activity. Applied and Environmental Microbiology. 69(1) : 495-503. Kirk T.K. dan D. Cullen, 1998. Environmentally Friendly Technologies For The Pulp And Paper Industry. R.A. Young dan M. Akhtar (Edt). Wiley & Sons, Inc. New York.
Koker T.H.D., J. Zhao, D. Cullen and B.J.H. Janse, 1998. Biochemical and Molecular Characterization of South African Strains of Phanerochaete crysosporium. Mycroi.Res.102 (1) : 88-92 Lankinen P., 2004. Ligninolytic Enzymes of The Basidiomycetous Fungi Agaricus Bisporus And Phlebia Radiata on Lignocellulose-Containing Media. Academic Dissertation in Microbiology. Helsinki. Lewin M. and I.S. Goldstein, 1991. Wood Structure and Composition. Marcel Dekker, Inc. New York. Luo C., D.L. Brink dan H.W. Blanch, 2002. Identification of Potential Fermentation Inhibitors in Conversion of Hybrid Poplar Hydrolyzate to Etanol. J.Biomass and Bioenergy. Vol.22 : 125-138. Mandang Y.I dan I.K.N. Pandit, 1997. Pedoman identifikasi Kayu di Lapangan. Seri Manual. Yayasan Prosea. Bogor. Mandels M., J. Weber, dan R. Parizek, 1971. Enhanced Cellulase Production by a Mutant of Trichoderma viride. Applied Microbiology. 21(1) : 152-154. Martawijaya A., K. Iding, Y.I. Mandang, A.P. Soewanda dan K. Kosasi, 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I dan II. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Mattjik A.A. dan M. Sumertajaya, 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. Miyamoto K., 1997. Renewable Biological Systems For Alternative Sustainable Energy Production. FAO Agricultural Services Bulletin-128. Pelczar M.J. dan E.C.S. Chan, 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Terjemahan R.S. Hadioetomo, T. Imas, S.S. Tjitrosomo dan S.L. Angka. UI-Press. Jakarta. Rowell R., 1984. The Chemistry of Solid Wood. American Chemical Society. Washington, D.C. Samsuri M., B. Prasetya, E. Hermiati, T. Idiyanti, K. Okano, Syafwina, Y. Honda and T. Watanabe, 2005. Pretreatments for Ethanol Production from Bagasse by Simultaneous saccharification and Fermentation. Prosiding 6th International Wood Science Symposium. Denpasar 29-31 Agustus 2005. Singh S.P. dan S.K. Roymoulik, 1996. Role of Biotechnology in the Pulp and Paper Industry : a Revise Part 3 : Effluent Treatment. IPPTA J. 8(2) : 57-60. Sjamsuriputra A.A., I. Sastramihardja dan U.S. Sastramihardja, 1986. Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tapioka Untuk Produksi Etanol Dengan Cara Sakarifikasi-Fermentasi Simultan Tanpa Perlakuan Pemasakan. Laporan Penelitian Pengabdian Pada Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ITB. Bandung. Sjostrom E., 1995. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. Srivinas D., K.J. Rao, K. Theodore dan T. Panda, 1995. Direct Conversion of Cellulosic Material to Ethanol by The Intergeneric Fusant Trichoderma reesei
QM 9414/Saccharomyces cerevisiae NCIM 3288. Enzyme and Microbial Technology. Vol.17 : 418-423. Stenius P., 2000. Paper Making Science and Technology : Forest Product Chemistry. Book 3. J. Gullichsen and H. Paulapuro (Edt). Finnish Paper Engineers Association and TAPPI. Syafii W., T. Yoshimoto dan M. Samejima, 1988. The Effect of Lignin Structure on Decay Resistance of Some Tropical Wood. Bulletin of Tokyo University Forests. 80:69-77. Syafii W., 2001. The Effect of Lignin Composition on Delignification Rate of Some Tropical Hardwoods. Indonesian Journal of Tropical Agriculture. Vol 10 (1):913 Teeri T.T, D. Cullen, C. Divne, S. Denman, T.A. Jones, A. Koivula, M. Linder, J. Stahlberg, G. Wohlfart, I.O. Ossoeski dan J.Y. Zou, 1998. Fungal Cellobiohidrolases and the Degradation of Crystalline Cellulose. Program and Abstracts. MIE Bioforum 98. Suzuka 7-11 September 1998. Ujiie M., C. Roy dan M. Yaguchi, 1991. Low-Molecular-Weight Xylanase from Trichoderma viride. Applied and Environmental Microbiology 57(6):18601862. Waluyo L., 2004. Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang. Whetten R.W., J.J. MacKay and R.R. Sederoff, 1998. Recent Advances in Understanding Lignin Biosynthesis. Annu.Rev.Plant Physiol.Plant Mol.Biol. 49 : 585-609. Wibowo D., 1990. Teknologi Fermentasi. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta. Widjaja A., S. Adriyani dan A.A. Pratami, 2000. Study of Biodelignification on Sengon and Pine Using White-Rot Fungus Phanerochaete chrysosporium for the Development of Pulp and Paper Industries in Indonesia. (www.digilib.its.ac.id) 12-11-2003 Wirakartakusumah M.A. et al., 1987. Isolasi dan Karakterisasi Enzim dari Trichoderma viride Serta Pemanfaatan Dalam Pembangunan Industri Gula Cair. Laporan Penelitian Pengabdian Pada Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. IPB. Bogor. Zabel R.A dan J.J. Morrell, 1992. Wood Microbiology: Decay and Its Prevention. Academic Press Inc., California. Zhang Y.H.P. dan L.R. Lynd, 2004. Toward an Agregated Understanding of Enzymatic Hydrolysis of Cellulose: Noncomplexed Cellulase Systems. Review. Biotechnology and Bioengineering, Vol. 88 (7) : 797-842.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data dan Hasil Analisis Kandungan Kimia Kayu Kadar Air bb K.Air (%)
B. Cwn
B.Cwn +Spl
BB
1
2
3
4
*
BKT
S.0.1
29,445
31,454
2,009
31,232
31,229
31,218
31,220
31,220
1,775
64,07
S.0.2
28,014
30,047
2,033
29,826
29,821
29,819
29,820
29,820
1,806
64,01
S.0.3
31,016
33,031
2,015
32,792
32,791
32,791
32,791
1,775
64,10
S.10.1
18,632
20,955
2,323
19,494
19,488
19,488
19,488
0,856
63,15
S.10.2
25,947
28,332
2,385
26,946
26,936
26,939
26,939
26,939
0,992
58,41
S.10.3
19,175
21,529
2,354
20,342
20,329
20,333
20,335
20,333
1,158
50,81
S.20.1
19,076
21,126
2,05
19,966
19,961
19,971
19,962
19,961
0,885
56,83
S.20.2
19,54
21,600
2,06
20,408
20,406
20,405
20,405
0,865
58,01
S.20.3
19,319
21,394
2,075
20,146
20,145
20,157
20,145
20,145
0,826
60,19
S.30.1
26,339
28,350
2,011
27,268
27,252
27,25
27,256
27,25
0,911
54,70
S.30.2
24,698
26,771
2,073
25,39
25,376
25,373
25,376
25,376
0,678
67,29
S.30.3
24,318
26,494
2,176
25,045
25,041
25,044
25,044
0,726
66,64
M.0.1
30,190
32,210
2,020
31,944
31,935
31,936
31,936
1,746
64,32
M.0.2
30,108
32,128
2,020
31,851
31,847
31,850
31,850
1,742
64,34
M.0.3
31,974
33,995
2,021
33,722
33,714
33,715
33,715
1,741
64,35
M.10.1
19,390
21,918
2,528
20,895
20,881
20,891
20,891
1,501
40,63
M.10.2
19,317
21,868
2,551
20,357
20,349
20,362
20,358
20,357
1,040
59,23
M.10.3
25,299
27,825
2,526
26,720
26,720
26,708
26,710
26,710
1,411
44,14
M.20.1
18,407
20,510
2,103
19,469
19,471
19,47
19,47
1,063
49,45
M.20.2
19,398
21,450
2,052
20,303
20,297
20,297
0,899
56,19
M.20.3
20,457
22,563
2,106
21,333
21,331
21,331
0,874
58,50
M.30.1
22,797
24,816
2,019
23,754
23,745
23,734
23,738
23,734
0,937
53,59
M.30.2
23,717
25,804
2,087
24,697
24,693
24,679
24,682
24,679
0,962
53,91
M.30.3
21,749
23,820
2,071
22,794
22,784
22,772
22,775
22,772
1,023
50,60
J.0.1
30,914
32,926
2,012
32,731
32,747
32,731
32,731
1,817
63,82
J.0.2
30,468
32,471
2,003
32,254
32,257
32,249
32,250
32,250
1,782
63,99
J.0.3
31,442
33,475
2,033
33,253
33,255
33,249
33,250
33,250
1,808
63,99
J.10.1
18,926
21,421
2,495
19,921
19,910
19,918
19,918
0,992
60,24
J.10.2
18,754
21,330
2,576
19,793
19,782
19,795
19,793
1,039
59,67
J.10.3
20,575
22,900
2,325
21,512
21,508
21,515
21,512
0,937
59,70
J.20.1
22,25
24,327
2,077
23,129
23,129
23,136
23,129
0,879
57,68
J.20.2
19,709
21,722
2,013
20,591
20,588
20,596
20,588
20,588
0,879
56,33
J.20.3
23,5
25,540
2,04
24,361
24,375
24,365
24,363
24,363
0,863
57,70
J.30.1
22,143
24,210
2,067
23,132
23,121
23,112
23,118
23,112
0,969
53,12
J.30.2
20,112
22,285
2,173
21,092
21,082
21,07
21,071
21,07
0,958
55,91
J.30.3
21,402
23,484
2,082
22,334
22,324
22,317
22,32
22,317
0,915
56,05
Kode
Lanjutan Lampiran 1. Kadar Ekstraktif B. Cwn
B.Cwn +Spl
BS awal
1
2
3
*
BKT
K.Ekst (%)
S.0.1
29,392
31,404
2,012
31,148
31,144
31,144
S.0.2
29,821
31,877
2,056
31,605
31,599
31,594
31,596
31,144
1,752
1,35
31,596
1,775
2,10
S.0.3
29,83
31,836
2,006
31,575
31,568
31,56
31,562
31,56
1,73
2,19
S.10.1
32,618
38,004
5,386
34,4
34,299
34,336
34,302
34,31
1,692
11,13
S.10.2
31,762
37,154
5,392
33,629
33,516
33,562
33,525
33,523
1,761
9,89
S.10.3
32,511
38,006
5,495
34,41
34,392
34,438
34,402
34,392
1,881
8,31
S.20.1
27,722
36,728
9,006
31,241
31,228
31,23
31,231
31,23
3,508
2,70
S.20.2
31,618
41,968
10,35
35,04
35,042
35,04
3,422
8,59
S.20.3
35,851
46,001
10,15
39,305
39,285
39,298
39,295
39,295
3,444
7,73
S.30.1
32,661
39,654
6,993
35,734
35,721
35,712
35,715
35,712
3,051
-6,51
S.30.2
32,469
42,489
10,02
35,145
35,139
35,134
35,13
35,133
2,664
10,54
S.30.3
32,736
43,416
10,68
35,467
35,453
35,446
35,448
35,446
2,71
11,75
M.0.1
32,733
35,146
2,413
34,678
34,679
34,678
34,678
1,945
5,66
M.0.2
32,285
34,456
2,171
34,02
34,014
34,02
34,02
1,735
6,35
M.0.3
30,57
32,779
2,209
32,346
32,339
32,35
32,346
1,776
5,87
M.10.1
32,282
37,415
5,133
35,186
35,175
35,22
35,175
35,175
2,893
-4,36
M.10.2
33,45
39,473
6,023
35,624
35,608
35,642
35,605
35,605
2,155
16,22
M.10.3
31,609
37,006
5,397
33,877
33,875
33,918
33,876
33,875
2,266
10,01
M.20.1
32,134
40,754
8,62
36,455
36,438
36,422
36,424
36,422
4,288
-4,46
M.20.2
24,776
36,587
11,811
29,546
29,526
29,528
29,526
4,75
5,07
M.20.3
30,448
43,318
12,87
35,283
35,274
35,26
35,261
35,261
4,813
7,89
M.30.1
34,076
44,676
10,6
38,488
38,481
38,454
38,454
38,454
4,378
6,00
M.30.2
33,22
44,67
11,45
37,914
36,894
36,884
36,874
36,874
3,654
15,39
M.30.3
31,694
42,064
10,37
36,09
36,072
36,044
36,04
36,042
4,348
5,37
J.0.1
30,142
32,432
2,29
32,07
32,074
32,07
1,928
5,21
J.0.2
30,894
33,168
2,274
32,806
32,803
32,799
32,802
32,802
1,908
5,49
J.0.3
30,594
32,811
2,217
32,461
32,459
32,451
32,452
32,452
1,858
5,59
J.10.1
33,093
38,756
5,663
35,097
35,09
35,131
35,095
35,095
2,002
4,78
J.10.2
31,402
37,01
5,608
33,404
33,398
33,441
33,401
33,401
1,999
4,49
J.10.3
31,838
37,615
5,777
33,875
33,87
33,906
33,866
33,866
2,028
5,03
J.20.1
27,807
38,658
10,851
31,825
31,856
31,825
4,018
5,73
J.20.2
28,535
40,835
12,3
33,226
33,208
33,206
33,198
33,198
4,663
4,85
J.20.3
32,008
44,098
12,09
36,625
36,619
36,599
36,604
36,599
4,591
4,79
J.30.1
32,219
41,879
9,66
36,271
36,256
36,25
36,248
36,25
4,031
3,24
J.30.2
32,096
42,676
10,58
36,298
36,279
36,269
36,265
36,265
4,169
5,57
J.30.3
31,251
41,051
9,8
35,115
35,099
35,097
36,098
35,097
3,846
5,73
Kode
4
Lanjutan Lampiran 1. Kadar Abu Kode
B. Cwn
BS awal
B.Cwn+Abu
B.Abu
K.Abu (%)
S.0.1
30,746
1,933
30,802
0,056
3,28
S.0.2
30,693
1,97
30,761
0,068
3,90
S.0.3
29,764
1,949
29,83
0,066
3,83
S.10.1
27,838
2,187
27,888
0,050
5,37
S.10.2
31,246
2,258
31,291
0,045
4,68
S.10.3
30,144
2,186
30,182
0,038
4,09
S.20.1
29,923
2,344
29,961
0,038
3,89
S.20.2
32,766
2,663
32,808
0,042
3,79
S.20.3
31,358
2,585
31,405
0,047
4,36
S.30.1
32,234
2,499
32,296
0,062
6,68
S.30.2
30,198
2,333
30,243
0,045
5,20
S.30.3
30,117
2,662
30,152
0,035
3,54
M.0.1
30,981
1,905
30,996
0,015
0,91
M.0.2
31,738
1,913
31,749
0,011
0,67
M.0.3
32,707
1,914
32,723
0,016
0,97
M.10.1
31,369
2,485
31,388
0,019
1,47
M.10.2
29,361
2,241
29,361
0,000
0,00
M.10.3
28,501
2,231
28,516
0,015
1,29
M.20.1
31,882
2,579
31,893
0,011
0,94
M.20.2
31,143
2,569
31,146
0,003
0,26
M.20.3
32,732
2,514
32,738
0,006
0,53
M.30.1
32,728
2,752
32,739
0,011
0,85
M.30.2
31,146
2,619
31,150
0,004
0,32
M.30.3
31,883
2,488
31,893
0,010
0,85
J.0.1
30,184
1,965
30,203
0,019
1,08
J.0.2
31,838
1,937
31,862
0,024
1,39
J.0.3
30,563
1,963
30,587
0,024
1,37
J.10.1
30,899
2,462
30,912
0,013
1,32
J.10.2
30,140
2,121
30,159
0,019
2,23
J.10.3
32,263
2,282
32,274
0,011
1,20
J.20.1
30,119
2,615
30,130
0,011
0,98
J.20.2
30,197
2,571
30,216
0,019
1,73
J.20.3
32,240
2,586
32,261
0,021
1,90
J.30.1
31,358
2,636
31,373
0,015
1,27
J.30.2
32,771
2,802
32,786
0,015
1,19
J.30.3
29,925
2,723
29,934
0,009
0,73
Lanjutan Lampiran 1. Kadar Holoselulosa dan Hemiselulosa B. Cwn
B.Cwn+Spl
BS awal
1
2
3
4
5
*
BKT
K.Holoselulosa (%)
K.Hemiselulosa (%)
S.0.1
31,399
32,134
0,735
31,966
31,976
31,958
31,955
31,96
31,955
0,556
75,65
7,71
S.0.2
31,839
32,582
0,743
32,416
32,419
32,402
32,404
32,402
0,563
75,77
7,83
S.0.3
29,748
30,506
0,758
30,339
30,346
30,341
30,323
30,323
0,575
75,86
7,92
S.10.1
32,505
33,236
0,731
33,059
33,059
33,051
33,053
33,053
0,548
74,97
35,84
S.10.2
32,356
33,082
0,726
32,913
32,911
32,902
32,906
32,902
0,546
75,21
36,08
S.10.3
33,316
34,081
0,765
33,913
33,92
33,895
33,909
33,909
0,593
77,52
38,39
S.20.1
30,797
31,539
0,742
31,386
31,384
31,385
31,384
0,587
79,11
25,48
S.20.2
30,115
30,869
0,754
30,699
30,696
30,695
30,695
0,58
76,92
23,29
S.20.3
30,795
31,522
0,727
31,362
31,363
31,354
31,351
31,35
31,351
0,556
76,48
22,84
S.30.1
32,286
33,051
0,765
32,908
32,927
32,924
32,92
32,92
32,922
0,636
83,14
41,06
S.30.2
32,52
33,265
0,745
33,053
33,061
33,064
33,04
33,05
33,054
0,534
71,68
29,60
S.30.3
31,84
32,592
0,752
32,397
32,402
32,408
32,393
32,4
32,393
0,553
73,54
31,46
M.0.1
32,473
33,239
0,766
33,094
33,116
33,087
33,081
33,08
33,081
0,608
79,37
34,94
M.0.2
30,207
30,96
0,753
30,81
30,811
30,798
30,796
30,8
30,796
0,589
78,22
33,79
M.0.3
29,995
30,748
0,753
30,592
30,614
30,593
30,588
30,59
30,588
0,593
78,75
34,32
M.10.1
32,018
32,775
0,757
32,583
32,577
32,571
32,572
32,572
0,554
73,18
33,02
M.10.2
32,656
33,427
0,771
33,281
33,263
33,265
33,263
0,607
78,73
38,56
M.10.3
31,591
32,352
0,761
32,155
32,146
32,142
32,151
32,142
0,551
72,40
32,24
M.20.1
31,402
32,174
0,772
32,026
32,01
32,017
32,008
32,01
32,012
0,61
79,02
36,65
M.20.2
31,998
32,741
0,743
32,657
32,616
32,641
32,621
32,62
32,616
0,618
83,18
40,81
M.20.3
30,45
31,197
0,747
31,089
31,066
31,068
31,053
31,06
31,06
0,61
81,66
39,29
Kode
30,32
M.30.1
30,22
31,001
0,781
30,81
30,804
30,823
30,799
30,81
30,805
0,585
74,90
32,56
M.30.2
29,341
30,114
0,773
29,919
29,916
29,925
29,907
29,92
29,92
0,579
74,90
32,56
M.30.3
29,404
30,149
0,745
29,959
29,956
29,966
29,953
29,96
29,953
0,549
73,69
31,35
J.0.1
29,823
30,594
0,771
30,437
30,452
30,435
30,425
30,43
30,425
0,602
78,08
32,41
J.0.2
29,993
30,741
0,748
30,585
30,596
30,587
30,578
30,58
30,573
0,58
77,54
31,87
J.0.3
29,949
30,668
0,719
30,507
30,518
30,501
30,505
30,501
0,552
76,77
31,11
J.10.1
31,466
32,228
0,762
32,09
32,094
32,086
32,084
32,09
32,084
0,618
81,10
37,76
J.10.2
32,321
33,08
0,759
32,946
32,943
32,917
32,908
32,91
32,91
0,589
77,60
34,26
J.10.3
32,358
33,086
0,728
32,952
32,937
32,947
32,933
32,94
32,933
0,575
78,98
35,64
J.20.1
27,05
27,786
0,736
27,683
27,665
27,667
27,659
27,66
27,659
0,609
82,74
39,78
J.20.2
27,81
28,569
0,759
28,454
28,451
28,446
28,421
28,43
28,43
0,62
81,69
38,72
J.20.3
28,526
29,288
0,762
29,161
29,143
29,147
29,154
29,14
29,143
0,617
80,97
38,01
J.30.1
29,762
30,498
0,736
30,349
30,349
30,333
30,328
30,33
30,333
0,571
77,58
35,08
J.30.2
30,109
30,856
0,747
30,655
30,66
30,655
30,655
0,546
73,09
30,59
J.30.3
29,158
29,892
0,734
29,689
29,69
29,691
29,691
0,533
72,62
30,12
Keterangan kode : S : Sengon M : Meranti J : Jati
0 10 20 30
: 0 hari : 10 hari : 20 hari : 30 hari
Lanjutan Lampiran 1. Kadar Selulosa B. Cwn
B.Cwn +Spl
BS awal
1
2
3
*
BKT
K.Selulosa (%)
S.0.1
35,830
38,351
2,521
37,543
37,543
37,542
S.0.2
27,720
30,280
2,560
29,461
29,447
29,464
29,460
37,542
1,712
67,91
29,460
1,740
67,97
S.10.1
33,223
35,786
2,563
34,207
34,215
34,223
34,222
34,222
0,999
38,98
S.10.2
34,068
36,608
2,540
35,041
35,065
35,030
35,043
35,043
0,975
38,39
S.10.3
31,698
34,269
2,571
32,725
32,741
32,727
32,740
32,727
1,029
40,02
S.20.1
29,631
32,192
2,561
31,120
31,120
31,130
31,120
1,489
58,14
S.20.3
32,908
35,430
2,522
34,157
34,186
34,175
34,140
34,147
1,239
49,13
S.30.1
29,813
32,363
2,550
30,864
30,863
30,861
30,863
30,863
1,050
41,18
S.30.2
30,211
32,743
2,532
31,290
31,310
31,295
31,290
31,290
1,079
42,61
S.30.3
30,823
33,387
2,564
31,911
31,915
31,904
31,927
31,911
1,088
42,43
M.0.1
30,444
32,973
2,529
31,564
31,551
31,566
31,566
31,564
1,120
44,29
M.0.2
31,609
34,155
2,546
32,730
32,734
32,739
32,744
32,734
1,125
44,19
M.0.3
31,503
34,055
2,552
32,650
32,567
32,647
32,654
32,647
1,144
44,83
M.10.1
30,529
33,100
2,571
31,601
31,609
31,604
31,614
31,604
1,075
41,81
M.10.2
30,819
33,373
2,554
31,896
31,897
31,896
31,896
1,077
42,17
M.10.3
30,496
33,081
2,585
31,444
31,455
31,440
31,440
0,944
36,52
M.20.1
32,002
34,541
2,539
33,024
33,036
33,037
33,037
1,035
40,76
M.20.2
32,505
35,035
2,530
33,595
33,591
33,603
33,602
33,603
1,098
43,40
M.20.3
31,833
34,399
2,566
32,932
32,941
32,935
32,936
32,935
1,102
42,95
M.30.1
32,465
35,024
2,559
33,536
33,566
33,541
33,561
33,541
1,076
42,05
M.30.2
31,853
34,425
2,572
32,937
32,932
32,938
32,937
1,084
42,15
M.30.3
32,789
35,367
2,578
33,894
33,888
33,898
33,893
1,104
42,82
J.0.1
30,135
32,665
2,530
31,277
31,297
31,276
31,276
1,141
45,10
J.0.2
29,817
32,357
2,540
30,993
30,996
30,984
30,994
30,993
1,176
46,30
J.0.3
30,149
32,684
2,535
31,306
31,314
31,309
31,303
31,305
1,156
45,60
J.10.1
30,751
33,309
2,558
31,868
31,875
31,867
31,867
1,116
43,63
J.10.2
32,801
35,357
2,556
32,908
32,891
33,907
33,907
1,106
43,27
J.10.3
32,044
34,610
2,566
33,151
33,151
33,151
1,107
43,14
J.20.1
29,952
32,496
2,544
31,053
31,038
31,041
31,058
31,041
1,089
42,81
J.20.2
31,177
33,752
2,575
32,297
32,289
32,282
32,302
32,282
1,105
42,91
J.20.3
29,826
32,402
2,576
30,938
30,938
30,939
30,938
1,112
43,17
J.30.1
29,992
32,530
2,538
31,065
31,064
31,063
31,065
31,065
1,073
42,28
J.30.2
29,939
32,476
2,537
31,006
31,020
31,009
31,025
31,009
1,070
42,18
J.30.3
30,046
32,599
2,553
31,145
31,166
31,145
31,145
1,099
43,05
Kode
4
S.0.3
S.20.2
31,440
33,892
Lanjutan Lampiran 1. Kadar Lignin B. Cwn
B.Cwn +Spl
BS awal
1
2
BKT
K.Lignin (%)
S.0.1
32,656
S.0.2
32,881
33,696
1,04
32,916
32,919
33,948
1,067
33,146
33,148
33,148
32,916
0,26
25,00
33,148
0,267
25,02
S.0.3
32,353
33,434
1,081
32,612
32,615
32,613
32,613
0,26
24,05
S.10.1
31,144
32,24
1,096
31,38
31,383
31,38
31,38
0,236
21,53
S.10.2
30,697
31,76
1,063
30,926
30,946
30,941
30,924
30,924
0,227
21,35
S.10.3
30,753
31,86
1,107
31,005
30,995
31,031
30,998
30,995
0,242
21,86
S.20.1
29,264
30,315
1,051
29,508
29,525
29,508
29,508
0,244
23,22
S.20.2
28,639
29,73
1,091
28,912
28,915
28,887
28,889
28,887
0,248
22,73
S.20.3
30,899
31,942
1,043
31,169
31,179
31,167
31,174
31,173
0,274
26,27
S.30.1
31,486
32,713
1,227
31,831
31,816
31,796
31,785
31,785
0,299
24,37
S.30.2
33,096
34,244
1,148
33,349
33,342
33,345
33,345
33,345
0,249
21,69
S.30.3
28,816
29,918
1,102
29,063
29,045
29,042
29,047
29,042
0,226
20,51
M.0.1
31,606
32,665
1,059
31,891
31,898
31,895
31,896
31,895
0,289
27,29
M.0.2
32,462
33,531
1,069
32,756
32,758
32,754
32,756
32,754
0,292
27,32
M.0.3
32,505
33,584
1,079
32,796
32,802
32,802
32,802
0,297
27,53
M.10.1
29,836
31,025
1,189
30,171
30,18
30,201
30,18
0,344
28,93
M.10.2
30,154
31,238
1,084
30,45
30,476
30,45
30,45
0,296
27,31
M.10.3
29,968
31,18
1,212
30,322
30,342
30,321
30,321
0,353
29,13
M.20.1
29,948
31,018
1,07
30,236
30,25
30,246
30,259
30,245
0,297
27,76
M.20.2
30,015
31,248
1,233
30,375
30,385
30,393
30,381
30,381
0,366
29,68
M.20.3
30,579
31,922
1,343
30,983
30,994
30,994
30,994
0,415
30,90
M.30.1
36,235
37,521
1,286
36,775
36,735
36,737
36,735
0,5
38,88
M.30.2
26,229
27,303
1,074
26,579
26,588
26,569
26,577
26,575
0,346
32,22
M.30.3
29,482
30,769
1,287
29,925
29,908
29,894
29,913
29,893
0,411
31,93
J.0.1
32,787
34,006
1,219
33,145
33,145
33,145
0,358
29,37
J.0.2
33,211
34,351
1,14
33,547
33,548
33,547
0,336
29,47
J.0.3
33,307
34,407
1,1
33,632
33,632
33,632
0,325
29,55
J.10.1
29,93
31,091
1,161
30,248
30,301
30,286
30,297
30,286
0,356
30,66
J.10.2
30,614
31,781
1,167
30,933
30,941
30,948
30,953
30,941
0,327
28,02
J.10.3
30,576
31,812
1,236
30,924
30,935
30,931
30,944
30,931
0,355
28,72
J.20.1
32,473
33,623
1,15
32,784
32,788
32,783
32,783
0,31
26,96
J.20.2
32,082
33,158
1,076
32,408
32,395
32,404
32,404
0,322
29,93
J.20.3
31,238
32,322
1,084
31,548
31,566
31,555
31,551
31,551
0,313
28,87
J.30.1
32,665
33,931
1,266
33,066
33,048
33,046
33,048
33,046
0,381
30,09
J.30.2
32,741
34,162
1,421
33,153
33,145
33,143
33,143
33,143
0,402
28,29
J.30.3
32,21
33,405
1,195
32,568
32,551
32,552
32,552
32,551
0,341
28,54
Kode
3
4
30,181
*
Lampiran 2. Hasil Analisis Varian Kandungan Kimia Kayu Kadar Ekstraktif Sumber variasi
JK
db
KT
Jenis serbuk (A) 73,111 2 36,556 Waktu inkubasi (B) 93,571 3 31,190 Interaksi: A*B 113,760 6 18,960 Error 116,658 21 5,555 Total 1924,295 33 Total Koreksi 374,428 R Squared = 0,688 (Adjusted R Squared = 0,525)
F 6,580 5,615 3,413
Sig. 0,006 0,005 0,016
Kadar Abu Sumber variasi
JK
db
Jenis serbuk (A) 19,818 2 Waktu inkubasi (B) 4,092 3 Interaksi: A*B 1,976 6 Error 1,449 23 Total 74,684 35 Total Koreksi 27,569 34 R Squared = 0,947 (Adjusted R Squared = 0,922)
KT 9,909 1,364 0,329 0,063
F 157,249 21,647 5,225
Sig. 0,000 0,000 0,002
Kadar Holoselulosa Sumber variasi
JK
db
KT
Jenis serbuk (A) 21,957 2 10,978 Waktu inkubasi (B) 126,484 3 42,161 Interaksi: A*B 62,535 6 10,422 Error 141,579 24 5,899 Total 215434,86 36 Total Koreksi 352,555 R Squared = 0,598 (Adjusted R Squared = 0,414)
F 1,861 7,147 1,767
Sig. 0,177 0,001 0,149
Kadar Selulosa Sumber variasi
JK
db
KT
Jenis serbuk (A) 418,826 2 209,413 Waktu inkubasi (B) 684,608 3 228,203 Interaksi: A*B 701,135 6 116,856 Error 69,195 22 3,145 Total 69334,034 34 Total Koreksi 1549,440 33 R Squared = 0,955 (Adjusted R Squared = 0,933)
F 66,581 72,555 37,153
Sig. 0,000 0,000 0,000
Lanjutan Lampiran 2. Kadar Hemiselulosa Sumber variasi
JK
db
KT
Jenis serbuk (A) 675,830 2 337,915 Waktu inkubasi (B) 646,034 3 215,345 Interaksi: A*B 1074,929 6 179,155 Error 141,570 24 5,899 Total 38824,233 36 Total Koreksi 2538,364 35 R Squared = 0,944 (Adjusted R Squared = 0,919)
F 57,286 36,507 30,372
Sig. 0,000 0,000 0,000
Kadar Lignin Sumber variasi
JK
db
KT
Jenis serbuk (A) 326,006 2 163,003 Waktu inkubasi (B) 20,508 3 6,836 Interaksi: A*B 85,735 6 14,289 Error 64,098 24 2,671 Total 27443,593 36 Total Koreksi 496,346 35 R Squared = 0,871 (Adjusted R Squared = 0,812)
F 61,033 2,560 5,350
Sig. 0,000 0,079 0,001
Lampiran 3. Hasil dan Analisis S/G Rasio Lignin Kayu Jati
Ulangan Luas G Luas A Luas S G/A S/A G.kalibrasi S.kalibrasi B.serbuk K.lignin B.lignin G S S/G Rata-rata
1 1745 7695 3106 0,227 0,404 0,285 0,542 52 29,462 15,320 3,330 7,959 2,390
2 2057 6639 5882 0,310 0,886 0,375 1,193 53 29,462 15,615 4,465 17,191 3,851
3,12
Lanjutan Lampiran 3. Hasil analisis GC standar asetovanilon:
Lanjutan Lampiran 3. Hasil analisis GC ulangan 1:
Lanjutan Lampiran 3. Hasil analisis GC ulangan 2:
Lampiran 4. Aktivitas FP-ase Enzim Kasar T.viride
Absorbansi
Glukosa Standar (panjang gelombang : 540 nm) X (mg/ml) Y (absorbansi) 0 0,035 Grafik Standar Glukosa 0,02 0,185 0,9 0,04 0,335 0,8 y = 7,3602x+0,0576 0,06 0,47 0,7 0,64 0,08 0,64 0,6 0,1 0,79 0,5
0,79
0,47
0,4 0,335
0,3 0,2
0,185
0,1 0,035
0 0
Hasil Pengukuran Absorbansi Ulangan (540nm) 1 0,736 0,346 2 0,892 0,389 3 0,813 0,372 Blanko 0,060 0,087 Kontrol 0,778
Kadar gula 0,124 0,166 0,152 0,189 0,138 0,180 0,004 0,007 0,099
0,02
0,04 0,06 0,08 Konsentrasi (mg/ml)
FPase(U/ml menit) 0,028305385 ˜ 0,028
0,1
Lampiran 5. Hasil dan Analisis Kadar Etanol K.Etanol (ppm)
Luas area
Standar 1
39,0625
132
Standar 2
78,125
262
Standar 3
156,25
528
Standar 4
234,375
822
Standar 5
312,5
1067
Standar 6
781,25
2713
Kode
Kurva Standar Etanol 1200
y = 3,4574x - 5,03
1000
Luas area
800
600
400
200
0 39,0625
78,125
156,25
234,375
Kadar etanol (ppm)
Keterangan : S : sengon
0 : 0 hari
M : meranti
10 : 10 hari
J : jati
20 : 20 hari 30 : 30 hari
312,5
Kode S.0.1 S.0.2 S.0.3 S.10.1 S.10.2 S.10.3 S.20.1 S.20.2 S.20.3 S.30.1 S.30.2 S.30.3 M.0.1 M.0.2 M.0.3 M.10.1 M.10.2 M.10.3 M.20.1 M.20.2 M.20.3 M.30.1 M.30.2 M.30.3 J.0.1 J.0.2 J.0.3 J.10.1 J.10.2 J.10.3 J.20.1 J.20.2 J.20.3 J.30.1 J.30.2 J.30.3
Luas K.Etanol K.Etanol area (g/l) (g/g) 0,014 0,00036 44 0,288 0,00734 991 0,008 0,00021 24 0,231 0,00618 795 tidak muncul puncak 0,084 0,00224 285 0,010 0,00028 31 0,036 0,00096 119 0,026 0,00070 86 0,502 0,01357 1729 0,471 0,01274 1623 0,372 0,01007 1282 0,003 0,00007 5 0,318 0,00813 1096 0,385 0,00982 1326 0,124 0,00326 424 tidak muncul puncak tidak muncul puncak 0,085 0,00225 288 0,522 0,01386 1798 0,485 0,01289 1672 0,036 0,00095 119 0,008 0,00022 24 0,005 0,00014 13 0,022 0,00056 71 0,232 0,00590 796 0,256 0,00653 881 0,189 0,00508 649 0,010 0,00028 31 0,275 0,00737 944 0,454 0,01211 1563 0,317 0,00847 1092 0,163 0,00436 560 0,186 0,00494 638 0,140 0,00372 479 0,007 0,00019 20
Lampiran 6. Hasil Analisis Varian Kadar Etanol Sumber variasi
JK
db
KT
Jenis serbuk (A) 103,277 2 51,639 Waktu inkubasi (B) 29758,056 3 9919,352 Interaksi: A*B 536390,610 6 89398,435 Error 401696,586 21 19128,408 Total 2157510,003 33 Total Koreksi 967467,470 32 R Squared = 0,585 (Adjusted R Squared = 0,367)
F
Sig.
0,003 0,519 4,674
0,997 0,674 0,004
Lampiran 7. Hasil Analisis Regresi Kadar Kimia Kayu vs Etanol Model Kadar air Kadar ekstraktif Kadar abu Kadar holoselulosa Kadar hemiselulosa Kadar selulosa Kadar lignin
t
Sig. 0,660 0,502 0,674
0,515 0,620 0,506
4,869
0,000
0,224 -0,268 0,152
0,824 0,791 0,880
Ringkasan Model Holoselulosa Model R R Kuadrat 1 0,677 0,459 a Prediktor: Kadar Holoselulosa
Adj R Kuadrat 0,439
Std. Error Estimasi 123,2519
ANOVA Model 1
Jumlah Kuadrat
Regresi 360173,489 Sisa 425348,658 Total 785522,147 a Prediktor: Kadar Holoselulosa b Variabel terikat: Kadar Etanol
df
Kuadrat Tengah 1 360173,489 28 15191,023 29
F 23,710
Sig. 0,000