PEMANFAATAN LIMBAH KAYU NANGKA UNTUK BAHAN PEWARNA TEKSTIL Zuhra Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl Tgk Syech Abdurrauf no 7 Darussalam Banda Aceh 23111 Email :
[email protected] ABSTRACT Synthetic dyes used in textile industries have caused environmental pollution without good handling. Natural colorants have been used in batik industries. Unfortunately, the natural colorants such as soga, jambal, indigo and menggudu were obtained from the conventional methods. One of the natural colorants sources is the jackfruit wood (Artocarpus integra) which can obtain yellow to brown colour. The jackfruit sawdust comes from the furniture industries which is generally thrown to the environment. This waste containing morin can be used as a source of colorants substance by solid liquid extraction process using water as the solvent. The process was carried out at 50, 75 and 1000C and the variation of extraction time are 1, 2 and 3 hours. The ratio of solute used in these experiments was 1:10. Then, the solution was dried at 100 0C during 10 hours in order to form colorant granules. The results showed that the increasing of temperature extraction has influence to increase morin sediment significantly. The highest morin sediment was 1.79 grams at 1000C for 1 hour. The intensity of morin color was brown yellow to braon. The darkest morin color ontensity was obtained at 75 0C and 2 hours of extraction time. I.
PENDAHULUAN Pewarna sintetis akan menjadi bahan pencemar apabila tidak ditangani dengan baik. Pewarna ini pada umumnya tidak dapat terdegradasi dan mengandung logam-logam berat, sehingga diperlukan penelitian untuk mendapatkan sumber pewarna alami yang mudah terdegradasi. Sebagian besar bahan pewarna alami diambil dari tumbuh-tumbuhan yang dapat dengan mudah terdegradasi. Salah satu sumber pewarna alami yang dapat digunakan adalah kayu nangka yang dapat memberikan warna kuning sampai coklat. Limbah kayu nangka berasal dari proses penggergajian kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan dan industri kerajinan. Bentuk daripada limbah ini berupa serbuk gergajian yang pada umumnya hanya dibuang atau dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Serbuk kayu yang sering disebut tatal ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai sumber zat warna alami yaitu morin yang dapat meningkatkan nilai tambah dari limbah kayu ini serta dapat mencegah pencemaran yang ditimbulkan. Selama ini pewarna yang digunakan masih banyak dalam bentuk larutan yang dalam penggunaannya bahan pewarna dalam bentuk larutan mempunyai beberapa kekurangan, yaitu tidak tahan disimpan dalam waktu yang relatif lama karena pewarna ini akan menyebabkan timbulnya jamur, konsentrasi larutan yang tidak seragam yang menyebabkan kekonsistenan warna akan sangat sulit tercapai, dan proses pendistribusian yang sangat tidak praktis.
Industri perbatikan berkembang pesat dalam beberapa tahun kebelakangan ini yang menyebabkan kebutuhan akan zat warna yang alami dan murah semakin diperlukan. Dewasa ini, pengrajin batik menggunakan bahan pewarna sintetis yang merupakan komiditas impor. Sementara itu, banyak bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber bahan pewarna alami seperti soga, jambal tegeran, tingi, indigo, mengkudu dan lainnya. Selama ini para pengrajin batik memperoleh zat warna alami ini dengan metode tradisional, sehingga diperlukan inovasi baru untuk memperoleh zat warna alami ini. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mengekstraksi limbah kayu nangka dengan menggunakan pelarut air. Pembuatan bahan pewarna alami telah dilakukan oleh de Stueler pada tahun 1863 dan biasanya pewarna ini diperoleh melalui metode ekstraksi padat cair dimana produk yang dihasilkan masih dalam bentuk larutan. Nurhayati, 1997 mengekstraksi zat warna soga dari kulit batang akasia untuk pewarna batik. Proses pewarna dari kayu nangka pernah dilakukan oleh Emiliana, 1999 yang digunakan sebagai pewarna kulit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode pengolahan zat warna tekstil dari limbah kayu nangka dengan beberapa kondisi perlakuan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada industri tekstil dalam pengembangan zat pewarna dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam terbuang. Zat warna yang berasal dari tumbuh-tumbuhan biasanya diperoleh dari bagian kayu, buah, akar, ataupun kulit batang dengan metode ekstraksi dari getah atau tannin yang terdapat pada kayu tersebut dengan menggunakan pelarut air atau pelarut lainnya (Anonimous, 2003). Senyawa-senyawa utama yang terdapat di dalam kayu dan kulit kayu adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, resin, terpene, fenol dan tannin. Dari beberapa senyawa tersebut, jumlah kandungan tannin dan fenol sangat menentukan apakah kayu tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pewarna. Tannin merupakan senyawa organik kompleks dengan sifat-sifatnya dapat larut dalam air,dapat melarutkan bahan tertentu, mudah teroksidasi dan mengandung zat pewarna tertentu yang dapat memberikan suatu warna yang sangat khas (Corbman, 1985). Tannin yang terkandung di dalam kulit kayu nangka dapat dipisahkan dengan menggunakan metode ekstraksi. Ekstraksi adalah proses pemisahan zat yang dapat larut (solute) dari material pelarutnya dengan menggunakan pelarut cair, dimana partikel padatan terdispersikan dalam pelarut, sehingga terjadi pergerakan relatif antara partikel padatan dan pelarut yang jugea bergerak relatif antar partikel padatan itu sendiri. Berbagai metode ekstraksi dapat digunakan untuk memisahkan zat yang diinginkan dari bahan alam dalam hal ini ekstraksi yang terjadi adalah ekstraksi padat-cair. Teknik ekstraksi yang dipilih akan sangat ditentukan oleh tekstur dan kandungan air bahan alam yang akan diekstrak dan juga senyawa yang ingin diisolasi. Tahapan dari ekstraksi padat-cair meliputi dua langkah, yaitu : terjadinya kontak antara cairan dan zat padat yang menyebabkan terjadinya perpindahan komponen zat padat ke dalam cairan, dang langkah selanjutnya adalah pemisahan antara zat cair dengan sisa padatan. Ekstraksi tannin dalam skala laboratorium dilakukan dengan menggunakan pelarut pada temperatur didihnya.
II.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan limbah serbuk kayu nangka yang diperoleh dari industri perabot rumah tangga, natrium karbonat (Na2CO3), tawas, kapur, kain putih dan serbuk pewarna sintetis EM6098. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah termometer, perangkat ekstraksi, stopwatch, oven dan kertas saring. Kondisi yang berbeda dilakukan dimana variasi temperatur yang digunakan adalah 50, 75, dan 1000C dan waktu pemanasan adalah 1, 2 dan 3 jam. Limbah serbuk kayu yang telah dikumpulkan dikeringkan untuk menghilangkan kadar air dengan memanaskan di dalam oven pada suhu 1050C selama 1 jam. Kemudian serbuk yang telah kering ditimbang sebanyak 250 gram, dan dilarutkan ke dalam aquadest sebanyak 2,5 liter. Larutan tersebut dipanaskan sesuai dengan variasi suhu dan waktu yang ditentukan di dalam perangkat ekstraksi. Serbuk kayu dipisahkan dari larutan dengan menyaringnya. Filtrat yang diperoleh diukur dengan gelas ukur dan selanjutnya dievaporasi pada temperatur 70800C dan pada tekanan vakum. Selanjutnya, larutan kental ini dikeringkan lebih lanjut di dalam oven selama 10 jam sampai kering, dan kemudian ditimbang. Proses pewarnaan dilakukan dengan mengikuti metide yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Batik dak Kerajinan Yogyakarta, dengan cara sebagai berikut : serbuk Na2CO3 sebanyak 12 gram dan tawas 40 gram dilarutkan ke dalam air mendidih dan dipanaskan sampai semuanya larut sempurna. Kemudian, kain yang akan diwarnai dimasukkan dan direbus selama satu jam. Kain dikeringkan, dicuci bersih dan kemudian dikeringkan lagi. Serbuk pewarna yang diperoleh dari percobaan di atas yang telah diekstraksi ditimbang sebanyak 1 gram, dilarutkan dalam 65 ml aquades, dan kain dicelupkan ke dalam larutan ini selama 15 menit, diangkat dan kemudian dicelupkan kembali sampai didapatkan intensitas warna yang diinginkan. Kemudian kain yang sudah diwarnai dicelupkan ke dalam larutan kapur untuk memperjelas warna yang dihasilkan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi terhadap Volume Filtrat Filtrat yang dihasilkan setelah proses ekstraksi dari setiap variasi temperatur disaring dan diukur dengan menggunakan gelas ukur. Gambar 1 menunjukkan bahwa volume filtrat yang dihasilkan bervariasi dengan temperatur dan waktu ekstraksi.
Volume filtrat (ml)
450 400 350 2 jam 300
3 jam 1 jam
250 200 50
75
100
Temperatur (0C) Gambar 1 Hubungan antara temperatur terhadap volume filtrat
Dari Gambar 1 terlihat bahwa semakin tinggi temperatur ekstraksi, maka volume filtrat yang diperoleh semakin rendah. Kondisi ini disebabkan karena temperatur yang tinggi akan menyebabkan ada air yang lolos ke udara dan belum sempat terkondensasi sempurna, sehingga penguapan yang menyebabkan larutan lebih kental lebih cepat. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi terhadap Pembentukan Endapan Pengaruh temperatur terhadap jumlah endapan yang dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur, maka perolehan endapan serbuk kayu nangka yang mengandung pewarna (morin) semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh kelarutan morin semakin tinggi dengan bertambahnya temperatur. Jika temperatur dinaikkan, hal ini akan melarutkan lebih banyak morin dari serbuk kayu nangka. Di samping itu, energi yang tersedia untuk melarutkan morin ke dalam solvent akan semakin besar dan juga hal ini aakan menyebabkan gerakan-gerakan molekul yang bersentuhan akan semakin besar. Hal ini menyebabkan morin yang terekstraksi semakin banyak (Arfianti, dkk., 2000).
2.5
Endapan (gram)
2 1.5 2 jam 1
3 jam 1 jam
0.5 0 50
75
100
Temperatur (0C) Gambar 2 Hubungan Temperatur terhadap Pembentukan Endapan Morin Endapan morin yang tertinggi diperoleh dalam penelitian ini yaitu pada temperatur 100 C yaitu 1,7 gram pada saat waktu ekstraksi selama 1 jam. Berat endapan semakin menurun seiring bertambahnya waktu ekstraksi, hal ini terlihat jelas dimana berat endapan pada saat waktu ekstraksi 3 jam adalah di bawah 1 gram. Sedangkan pada temperatur 500C, penambahan waktu ekstraksi juga menunjukkan penambahan endapan yang terbentuk dimana penambahan endapan yang ditunjukkan tidak terlalu sugnifikan. Berdasarkan hasil perhitungan secara statistik, variabel temperatur berpengaruh secara signigikan terhadap hasil endapan morin yang diperoleh. Hal ini dapat diketahui dari hasil Fo hitung 2,25 > Fo alpha=0,25 = 1,62. Hasil prhitungan secara statistik ditampilkan dalam Tabel 1. 0
Tabel 1 Perhitungan Analisis Varian Pengaruh Temperatur Ekstraksi dan Waktu terhadap Endapan Morin Sumber Jumlah Derajat Rata-rata Fo Ftabel alpha=0,25 Kuadrat Kebebasan Kuadrat 0,4834 2 0,2417 0,744 1,62 Waktu (A) Suhu (B)
1,4629
2
0,7314
2,250
1,62
Interaksi (AB)
0,614
4
0,1535
0,472
1,63
Error (E)
2,9257
9
0,325
-
-
Total
5,486
17
-
-
Dari hasil di atas menunjukkan bahwa penambahan waktu tidak menentukan akan memberikan endapan yang lebih banyak. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi terntentu dari morin yang terdegradasi kembali atau mengalami perubahan struktur, sehingga endapan yang dihasilkan menjadi sedikit. Hal ini sesuai dengan hasil pengolahan data secara statistik. Variabel waktu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap endpaan morin. Hal tersebut dapat diketahui dari Fo hitung yaitu 0,744 lebih kecil dari Ftabel alpha=0,25 = 1,62. Sedangkan hubungan antara interaksi waktu ekstraksi dan temperatur tidak terlihat berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah endapan morin yang dihasilan. Hal ini terlihat dari Tabel 3.1 bahwa Fo hitung 0,472 lebih kecil dari Ftabel alpha=0,25 = 1,63. Pengaruh Perlakuan dan Waktu terhadap Pewarnaan Kain Tabel 2 berikut ini memperlihatkan intensitas warna kain yang dicelupkan ke dalam morin dari serbuk kayu nangka dari berbagai perlakuan dan sebagai pembanding juga diperlihatkan hasil dengan menggunakan EM6098. Tabel 2 Intensitas Warna Kain dengan Serbuk Kayu Nangka dan EM6098 Pewarna Waktu Ekstraksi Temperatur Warna kain (0C) Morin 1 jam 50 Coklat muda serbuk kayu 75 Coklat muda nangka 100 Coklat tua 2 jam 50 Coklat muda 75 Coklat tua 100 Coklat muda 3 jam 50 Coklat muda 75 Coklat muda 100 Coklat tua EM 6098 Kuning Dari Tabel 2 terlihat bahwa warna yang dihasilkan dari morin serbuk kayu nangka bervariasi antara coklat muda sampai coklat tua. Molekul zat warna yang terdapat di dalam larutan akan ditarik oleh massa serat dan kemudian menempel pada permukaan serat. Setelah menempel, molekul lepas lagi ke dalam larutan.proses ini terus berjalan sehingga banyaknya zat warna yang menempel pada permukaan serat sama banyaknya dengan yang keluar dari larutan.sebagian zat warna yang melekat pada permukaan serat terdifusi sama banyaknya dengan bagian yang terluar. Proses pewarnaan juga sangat menentukan terhadap warna yang dihasilkan.untuk mendapatkan proses pewarnaan yang lebih tajam, serbuk morin dilarutkan dan kemudian dipanaskan. Konsentrasi morin yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,015 gram/ml.intensitas warna morin pada kain semakin gelap (coklat tua) dengan semakin tinggi temperatur ekstraksi. Ini terlihat bahwa pada temperatur ekstraksi 500C warna yang diperoleh adalah warna coklat muda untuk semua variasi waktu ekstraksi. Ketika temperatur dinaikkan menjadi 750C, warna kain yang dihasilkan juga masih merupakan coklat muda. Akan tetapi, warna kain menjadi coklat tua pada waktu 2 jam. Hal ini dikarenakan terjadi pemanasan yang
lebih tinggi pada proses pencelupan kain tersebut. Akibatnya larutan menjadi lebih pekat dan terjadi penguapan air dari larutan yang dicelupkan kain tersebut. Sedangkan untuk temperatur 1000C warna kain yang dihasilkan lebih dominan warna coklat tua. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa temperatur ektraksi sangat mempengaruhi endapan morin yang dihasilkan. Endapan morin yang paling banyak didapatkan pada temperatur 1000C, dan waktu ekstraksi 1 jam yaitu 2,5 gram. Sedangkan intensitas warna kain pada temperatur 750C dengan waktu 2 jam lebih tajam dibandingkan dengan warna kain pada variasi temperatur dan waktu ekstraksi lainnya. DAFTAR KEPUSTAKAAN Anonymous, 2003, Paket Terapan Produksi Bersih pada Industri Tekstil, http: //altavista.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012 Corbman, B., 1985, Textile Fiber to Fabric, 6th, Mc Graw Hill Book Co. Emiliana, K., Widhiati, 1999, Potensi Limbah Kayu Nangka (Artocarpus heterophylus) sebagai bahan pewarna untuk kulit, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP), Yogyakarta Nurhayati, 1997, Pemanfaatan Kulit Batang Akasia Auriculiformis sebagai Zat Warna pada pembuatan Kain Batik, Universitas Syiiah Kuala, Banda Aceh Susanto, S., 1999, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Yogyakarta