PENGEMBANGAN PRODUK RISET DAN HILIRISASI BAHAN PEWARNA ALAM UNTUK SEL SURYA, TEKSTIL, DAN COATING Suyitno1, Didin Mujahidin2, Atmanto Heru Wibowo3, Dian Widiawati4, Zainal Arifin1, Riyanti Puji Astuti5, Muh Thoyib5 1
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 2 Program Studi Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 3 Program Studi Kimia, FMIPA, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 4 Program Studi Kriya Tekstil, FSRD, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 5 CV. Indigo Biru Baru, Jl. Patimura, Bulu, Sukoharjo, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Bahan pewarna merupakan komponen terpenting dalam industri food, beverage, tekstil, seni, coating, painting, dan sel surya tersensitisasi pewarna. Konsumsi global bahan pewarna saat ini mencapai 700.000 ton atau setara dengan 44 trilyun rupiah. Sedangkan di Indonesia sendiri, lebih dari 95% bahan pewarna tersebut diperoleh dari luar negeri, sehingga substitusi bahan pewarna penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, tujuan utama dari studi ini adalah mendapatkan konsep pengembangan dan hilirisasi bahan pewarna alam pada bidang sel surya, tekstil, dan coating. Studi dilakukan sejak tahun 2007 sampai sekarang, dimana dapat dibagi menjadi empat fase. Fase pertama (2007-2012) adalah riset dasar untuk meningkatkan knowhow. Pada fase kedua (2012-2015) adalah scale up proses produksi, formulasi, dan uji pasar pada kapasitas 50 L/hari. Fase ketiga (2015-2016) adalah pra-komersialisasi. Sedangkan fase keempat (2017-sekarang) adalah pembentukan badan usaha dan ekspansi pasar. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa pengembangan dan hilirisasi bahan pewarna alam harus dilakukan secara simultan setidaknya pada tiga hal, yaitu ketersediaan baha baku, standarisasi proses produksi, dan ekspansi pasar. Kegiatan riset telah berhasil melakukan screening bahan pewarna alam untuk sel surya, coating, dan tekstil. Kegiatan pra-komersialisasi, uji pasar, dan hilirisasi telah berhasil membentuk perusahaan baru dibawah koordinasi Badan Pengelola Usaha UNS, yaitu CV. Indigo Biru Baru dimana pada tahun 2016 sudah mempunyai tenaga kerja 17 orang. Produk utama perusahaan adalah pewarna alam (ekstrak cair, pasta, dan serbuk), politur air, dan batik warna alam yang dipasarkan ke Jawa Tengah, Jakarta, Bali, Jawa Timur, Kalimantan, Malaysia, dan Jepang. Ekspansi pasar terus diupayakan dengan tetap memperhatikan kapasitas bahan baku dan kapasitas produksi. Keberadaan CV. Indigo Biru Baru juga telah mengaktifkan kembali berbagai kluster batik tulis, cap, dan lurik di wilayah Sukoharjo, Sragen, dan Klaten. Kata kunci: bahan pewarna alam, komersialisasi, hilirisasi, sel surya, coating, tekstil, politur, batik.
1. Pendahuluan Industri coating dan painting baik dalam maupun luar negeri mengalami peningkatan baik dari sisi jumlah industrinya maupun varian produknya. Hal ini dipicu selain karena pentingnya fungsi cat dalam memberi warna dan dekoratif dari suatu permukaan, juga disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang semakin spesifik, misalnya terkait dengan kualitas, ketahanan, variasi warna, dan keramahan terhadap lingkungan. Perkembangan ini
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 1
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... juga dialami oleh industri food, beverage, tekstil, seni, dan coating. Pada skala yang masih terbatas, perkembangan juga dialami oleh industri sel surya tersensitisasi pewarna. Menurut hasil survey PT Mars Indonesia, perkembangan nilai pasar cat Indonesia mencapai Rp 10,47 triliun pada 2010 dan mengalami peningkatan sebesar 8,6% pada tahun 2011 atau Rp 11,37 triliun. Pada tahun 2012 dan 2014, peningkatan pasar cat rata-rata adalah 10% atau setara dengan Rp 12,57 triliun dan Rp 18,32 triliun. Sedangkan jika dilihat dari sisi volume, produksi cat pertahun dari tahun 2010 sampai 2014 mengalami kenaikan dari 688.770 ton menjadi 822.804 ton (Mars 2012). Dari total produksi cat, kebutuhan akan cat yang lebih ramah lingkungan dan berbasis air (water-based) juga mengalami peningkatan. Selain di bidang cat, industri non migas di Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang besar sampai 4,84% pada tahun 2013, dimana untuk kategori industri tekstil, barang kulit & alas kaki sendiri mempunyai tingkat pertumbuhan sebesar 7,62% (BPS 2013). Sedangkan jumlah industri batik skala kecil-menengah mencapai 48.300 unit dengan tenaga kerja sebanyak 792.300 dan nilai ekspor sebanyak US$ 110 juta (Dirjen 2011). Sementara itu, sebagian besar bahan pewarna yang ada dipasaran dihasilkan melalui sitesis kimia yang membutuhkan energi yang sangat besar dan menghasilkan limbah kimia yang perlu penanganan yang sangat sulit (Gambar 1). Di samping itu, sintesis bahan pewarna sering kali membutuhkan tahapan proses yang panjang serta pereaksi–pereaksi kimia yang berbahaya seperti penggunaan asam nitrat, reduktor kuat seperti senyawa–senyawa hidrida, dan pereaksi halogenasi yang sangat korosif. Akan tetapi sampai saat ini pasokan bahan pewarna cat dan tekstil masih didominasi oleh pewarna sintetis dan berasal dari luar negeri. BAHAN BAKU (MINYAK BUMI)
BAHAN BAKU PELARUT
PEREAKSI EKSTRAKSI
PRODUKSI ZAT WARNA ENERGI
LIMBAH KIMIA
LIMBAH
ENERGI ZAT WARNA
ZAT WARNA PAINTING
MASYARAKAT
GREEN ARTS/ GREEN ENERGY
FUNCTIONAL CHEMICALS
MATAHARI
(a) (b) Gambar 1. Proses sintesis: (a) bahan pewarna sintetis; (b) BPA Bahan pewarna juga dapat dihasilkan secara alamiah baik dari tumbuhan maupun dari hewan. Keragaman warna yang dihasilkan oleh alam sebenarnya merupakan inspirasi sintesis kimia berbagai zat warna yang sekarang ada. Perkembangan teknologi kimia yang sangat pesat telah menggeser penggunaan zat alami dalam industri pewarnaan. Dalam beberapa dekade terakhir kepedulian masyarakat berkaitan dengan produk yang aman dan berbagai macam dampak buruk dari produk sintetis telah mendorong perhatian masyarakat dan pemerintah dalam hal penggunaan bahan pewarna alam (BPA). Meningkatnya kesadaran konsumen dalam penggunaan produk-produk yang ―green‖ yang berdampak pada perbaikan Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 2
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... kualitas lingkungan merupakan penyebab berkembangnya kembali penggunaan dan pemanfaatan BPA sekarang ini. Bahan yang terbarukan dan berasal dari alam menjadi kenggulan tersendiri. Tahapan yang singkat dan kemudahan dalam proses pengolahan juga menjadi nilai tambah dari BPA. Limbah yang dihasilkan dapat diolah kembali menjadi bahan yang dimanfaatkan contohnya komposit dinding aromatik dan pupuk kompos (Gambar 1). Beberapa peneliti di Universitas Sebelas Maret bekerjasama dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung sedang mengembangkan pewarna alam (natural dye) dari berbagai bahan alam dan tumbuhan. Awalnya, pewarna alam ini digunakan sebagai pewarna makanan tradisional dan kemudian berkembang untuk pewarna tekstil dan sel surya tersensitisasi pewarna (dye-sensitized solar cell, DSSC) (Suyitno, Rachmad et al. 2014; Suyitno, Saputra et al. 2015; Agustia, Suyitno et al. 2016; Mulyanto, Suyitno et al. 2016; Arifin, Soeparman et al. 2017). Pada pewarnaan tekstil dan pewarna sel surya, bahan pewarna harus dapat menempel pada photoanode atau fabric secara langsung. Sedangkan pada cat, penempelan bahan pewarna pada permukaan menggunakan suatu resin dimana pada cat berbasis air, resin yang digunakan adalah resin acrylic. Resin akrilik ini bersifat larut dengan air. Sementara itu untuk BPA juga mempunyai sifat ada yang larut dalam air dan ada yang tidak larut dalam air. Pewarna kuning dari ekstrak kayu tegeran dan pewarna merah dari ekstrak tingi atau secang (Mulyanto, Suyitno et al. 2016) mempunyai sifat larut dalam air. Sebaliknya pewarna biru dari Indigofera tidak dapat larut dalam air. Sayangnya, tanaman sumber BPA belum banyak yang dibudidayakan dalam kapasitas yang memadai. Ketersediaan BPA dalam jumlah yang cukup sangat penting bagi sehatnya proses hilirisasi BPA. Tetapi menariknya, beberapa jenis BPA merupakan produk samping dari suatu pengolahan kayu, misalnya kulit kayu mahoni dan kulit kayu tingi. Sehingga untuk proses hilirisasi BPA, tiga hal utama dipelajari dan dikembangkan secara spesifik dari mulai ketersediaan bahan baku, proses produksi dan formulasi yang terstandar, dan ekspansi pasar.
2. Tujuan Tujuan utama dari studi ini adalah mendapatkan konsep pengembangan dan hilirisasi BPA pada bidang sel surya, tekstil, dan coating. Untuk mencapai tujuan utama studi tersebut dapat diturunkan menjadi tujuan khusus, yaitu: 1. Mendapatkan kesinambungan bahan baku BPA dengan tanaman yang berkualitas dalam jumlah yang mencukupi. 2. Mendapatkan parameterisasi, formulasi, dan standarisasi proses produksi BPA dan turunannya pada skala laboratorium sampai skala produksi. 3. Menghasilkan standarisasi baku mutu produk dan uji coba pasar produk BPA dan turunannya baik di dalam maupun ke luar negeri.
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 3
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam...
3. Landasan Teori/Kajian Pustaka 3.1.
Sumber dan Jenis Bahan Pewarna Alam BPA dapat dihasilkan secara alamiah baik dari tumbuhan maupun dari hewan.
Keragaman warna yang dihasilkan oleh alam sebenarnya merupakan inspirasi sintesis kimia berbagai zat warna yang sekarang ada. Di Indonesia telah terdapat sekitar 150 jenis tanaman yang menghasilkan pewarna alam. Warna yang dihasilkan meliputi warna dasar (merah, biru, kuning) dan warna-warna kombinasi seperti coklat, jingga, dan nila (Heyne 1988). Para pengrajin batik di Indonesia telah banyak mengenal beberapa tanaman yang dapat mewarnai batik beberapa diantaranya adalah: daun
indigo (Indigofera Tictoria L), kayu tegeran
(Cudraina javanensis), kayu secang (Caesalpinia Sappan Linn), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), dan kesumba (Bixa orelana). Dari keseluruhan jenis tumbuhan yang digunakan sebagai penghasil BPA, belum banyak studi yang menguji ketahanan dari pewarna tersebut. BPA yang diaplikasikan pada fabric juga masih terkesan kusam dengan harga yang belum kompetitif. BPA yang diekstrak dari daun pepaya (PL) yang diteliti sebagai sensitizer di DSSCs berbasis TiO2 dan dievaluasi telah dibandingkan dengan pewarna sintetis N719. Keasaman ekstrak pewarna daun papaya yang kaya Mg-klorofil diatur dengan asam bensoat. Pada penggunaan untuk merendam DSSC dilakukan pada konsentrasi 8 g/100 mL dan diperoleh efisiensi tertinggi 0,28% pada pH 3,5 (Suyitno, Saputra et al. 2015). Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan kepadatan arus dan stabilitas DSSCs berbasis pewarna alami, termasuk penyelidikan rute ekstraksi pewarna alternatif, seperti mengisolasi klorofil murni dari daun pepaya dan menstabilkan itu. Selain jenis klorofil, BPA yang biasa ditemui dan digunakan sebagai sensitizer DSSC adalah kurkumin, karoten, xantofil, dan antosianin. Curcumin adalah pigmen berwarna kuning yang terdapat dalam tanaman jenis rhizome seperti temulawak dan kunyit. Pada semua tanaman jenis akar-akaran, sebagian besar terdapat curcumin dibandingkan pigmen yang lain. Curcumin mempunyai warna kuning karena menyerap secara kuat pada panjang gelombang 420-580 nm dari spektrum cahaya tampak (Gross 1991). Rumus empiris curcumin adalah C21H20O6. Pigmen tersebut merupakan suatu gabungan dari berbagai unsur membentuk ikatan benzene dimana warna kuning berasal dari ikatan rangkap (Kim, Kim et al. 2013). Selain Curcumin, kandidat sensitizer sel surya yang lain adalah senyawa Fisetin. Fisetin adalah senyawa flavonoid yang banyak terdapat pada buah-buahan. Senyawa ini memberikan warna kuning seperti umumnya senyawa flavonoid. Struktur resonansi dari fisetin memberikan gambaran bahwa fisetin dapat dijadikan sebagai zat warna untuk aplikasi DSSC. Berdasarkan kajian dari struktur fisetin, gugus pendorong electron (Donor) adalah gugus fenol pada C-4 dan C-7. Kerangka flavonoid (C6-C3-C6) berfungsi sebagai unit phi, Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 4
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... sedangkan gugus ortho dihidroksi pada cincin B berfungsi sebagai penarik electron (Acceptor). Selanjutnya, review terhadap BPA yang lain disajikan pada Tabel 1. Beberapa faktor bahan pewarna yang berpengaruh pada kualitas sensitizer sel surya adalah jenis pelarut, perbandingan pewarna dengan pelarut, temperatur ekstraksi (Wongcharee, Meeyoo et al. 2007), dan pH dari pelarut (Changa, Wub et al. 2010). Perbedaan pelarut (solvent) dalam proses ekstraksi dapat menyebabkan perubahan efisiensi dari DSSC. Pelarut air dianjurkan digunakan sebagai pelarut untuk ekstrak antosianin, walaupun kenyataannya dengan menggunakan ethanol didapatkan efisiensi yang lebih tinggi. Hal ini karena pelarut air untuk antosianin dapat meningkatkan ketahanan/stabilitas DSSC dibandingkan pelarut alkohol karena penggunaan alkohol menyebabkan dekomposisi fotokatalitik antosianin oleh semikonduktor. Dekomposisi fotokatalitik adalah perubahan gugus pewarna antosianain karena terkena foton, sehingga sel surya dengan pelarut etanol menghasilkan efisiensi yang menurun drastis setelah tiga jam (Wongcharee, Meeyoo et al. 2007). Perubahan gugus ini bisa diamati pada warna photoanode yang menjadi pucat setelah disinari dengan simulasi cahaya matahari. Tabel 1. Review bahan pewarna pada sel surya DSSC No Jenis Pewarna Buah murbei Daun delima 1 Buah murbei : Daun delima = 1:1
Bunga Rosella
Semikonduktor
Antosianin Klorofil Antosianin : Klorofil
TiO2 TiO2
Isc Voc FF 2 (mA/cm ) (mV) 1.89 555 0.49 2.05 560 0.52
TiO2
2.8
530 0.49
(Chang and Lo 2010; Chang, Wu et al. 2010) 0.722
TiO2
1.63 2.06 2.06 2.51 2.72 0.37
404 433 433 488 408 372
0.57 0.59 0.59 0.59 0.63 0.33
0.37 0.52 0.52 0.71 0.70 0.05
TiO2
0.82
382 0.47
0.15
3.40 3.84 0.5597 0.7509 0.8017 0.7025 0.24
350 0.40 340 0.50 0.66 5839 0.6775 0.22 5526 0.7045 0.29 5433 0.664 0.29 5373 0.6938 0.27 644 0.49 0.076
Cyanidin and delphinidin
TiO2
2 Bunga kacang biru Tertanin Bunga Rosella : Bunga kacang biru = 1:1 Kulit buah terung 3 Jus jeruk Bunga K. Japonoca
Karotenoid
Bunga R. Chinensis
Antosianin
Buah labu
Β-carotene
TiO2 TiO2 TiO2 TiO2 TiO2 TiO2 TiO2
Bunga kamboja merah Antosianin
TiO2
0.94
495 0.65
ZnO ZnO ZnO
2.65 2.90 2.90 1.302 0.672 0.79 4.38 4.16
210 230 230 400 400 428 470 450
4
5
Ixora coccinea 6 Buah Mulberry Umbi Beet Umbi Black carrot 7 Buah Black raspberry Bunga Rosella juice Daun Kubis merah 8 Biji Kacang biru
η (%) 0.548 0.597
Komponen
Cyanidin Tertanin
0.29 0.30 0.30 0.47 0.59 0.47 0.36 0.35
Ref
(Wongcharee, Meeyoo et al. 2007)
(Calogero and Marco 2008) (Hemalatha, Karthick et al. 2012)
(Shanmugam, Manoharan et al. 0.301 2013) 0.33 (Thambidurai, 0.41 Muthukumarasamy et al. 2011) 0.28 0.25 (Tekerek, Kudret 0.16 et al. 2011) 0.16 0.73 (Gokilamani, 0.67 Muthukumarasamy
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 5
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam...
No Jenis Pewarna
Komponen
9 Daun pepaya
Klorofil
10 Kunyit
Kurkumin
Semikonduktor
Isc Voc FF (mA/cm2) (mV)
η (%)
Efisiensi DSSC = 0.28%, Jsc = 1.190 mA/cm2, Voc = 0.460 V, dan FF = 0.52 Efisiensi DSSC = 0.36%, Jsc = 1.0055 mA/cm2, Voc = 0.563 V, dan FF = 64%
Ref et al. 2013) (Suyitno, Saputra et al. 2015) (Kim, Kim et al. 2013)
Selain perbedaan jenis pelarut di atas, temperatur ekstraksi dan tingkat keasaman (pH) dari zat pewarna alami juga mempengaruhi kualitas dari zat pewarna alami. Ekstrak bunga rosella mampu memberikan efisiensi DSSC terbaik pada saat ekstraksi dengan suhu 50ºC dan pH pewarna sebesar 1,0. Dengan kondisi ini, efisiensi sel surya dengan ekstrak bunga Rosella naik dari 0,37 menjadi 0,7% (Wongcharee, Meeyoo et al. 2007). Pada penelitian lain disebutkan bahwa efisiensi photoelektrik DSSC dengan pewarna dari daun Ipomea naik dari 0,278% menjadi 0,318% ketika suhu ekstraksi dan pH dikontrol 50ºC dan 1,0. Selain eksplorasi untuk sel surya DSSC, BPA juga dilakukan untuk tekstil dan coating. Pada prinsipnya, BPA untuk tekstil dan coating akrilik hampir sama. Setelah dilakukan seleksi, BPA biru diperoleh dari fermentasi daun Indigo. BPA merah diperoleh dari ekstraksi kayu Secang dan kayu Tingi. Sedangkan, BPA kuning diperoleh dari ekstraksi kayu Tegeran. BPA merah yang berasal dari kayu secang (Caesalpinia Sappan L) diambil dari batang kayunya. Ekstrak kayu secang ini memiliki warna merah. Namun dalam kenyataannya menunjukkan bahwa kondisi pH mempengaruhi warna merah dari ekstrak kayu secang. Sehingga pada kondisi pH tertentu ekstrak kayu secang juga dapat memberikan warna selain merah, seperti warna ungu dan kuning. Warna merah secang ditimbulkan oleh senyawa kimia yang bernama brazilein yang merupakan hasil oksidasi dari senyawa yang bernama brazilin. Brazilin yang semula berwarna kuning akan menjadi warna merah dan larut dalam air jika teroksidasi (Min, Wei et al. 2006). Kedua komponen brazilin dan brazilein merupakan tetrasiklik dengan dua cincin aromatik (Luiz F.C. de Oliveiraa 2002). Warna kuning brazilin yang berubah menjadi brazilein kemerahan disebabkan karena adanya peningkatan delokalisasi elektron karena keberadaan gugus karbonil. Warna merah brazilien pada kayu secang baik digunakan untuk pewarna katun atau wol (Ghobadian 2007). BPA biru yang dikembangkan dalam studi ini adalah dari daun Indigofera. Indigo memiliki sifat afinitas kimia yang rendah terhadap kain katun pada saat dicelup dan dapat ditingkatkan ikatan dengan kain pada saat dipapar di udara bebas. Faktor yang paling penting adalah pada pH pewarna indigo. Pewarna indigo memiliki empat warna yang berbeda tergantung pada kondisi pH, bentuk keempat struktur tersebut dapat dijelaskan, yaitu a. indigotin (pH basa sangat rendah), b. Bentuk reduced non ionic (pH : agak basa/sedang <10,5), c. bentuk mono-fenolat (pH relatif lebih tinggi 10,5 - 11,5), d. bentuk bi-fenolat (pH Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 6
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... sangat tinggi > 11,5) (Broadbent 2001). Indigotin dan bentuk reduced non ionic berada pada pH di bawah 9-9,5, fraksi relatifnya tergantung pada pH yang tepat pada larutan. Dengan cara meningkatkan pH perlahan-lahan, struktur indigotin lama-lama akan menjadi struktur reduced non ionic atau bentuk mono-fenolat atau mungkin campuran dari keduanya. Kemudian meningkatkan pH >10 perlahan-lahan mengubah semua leuco pada struktur reduced non ionic menjadi bentuk mono-fenolat. Hampir semua molekul indigo akan membentuk mono-fenolat pada pH sekitar 11,5. Pada setiap penambahan alkali melebihi pH 11,5 perlahan menangkap C = O yang memiliki banyak Na₂S₂O₄, sehingga terjadi perubahan bentuk struktur dari bentuk mono-fenolat menjadi bentuk bi-fenolat. Indigo dalam bentuk bi-fenolat memiliki sifat afinitas yang rendah pada bahan kapas yang disebabkan oleh rendahnya penyerapan warna. Bentuk mono-fenolat merupakan bentuk yang diinginkan karena memiliki afinitas tinggi serta memiliki serapan pewarna yang lebih tinggi dan membatasi permukaan yang menghambat penyebaran molekul zat warna. Kapas akan mendapatkan muatan negatif ketika dicelupkan ke dalam larutan basa, pH yang tinggi, semakin tinggi muatan anionik pada serat dengan penolakan tinggi antara pewarna dan serat sehingga mengurangi penyerapan zat warna. Dari dua bentuk larutan indigo, mono-fenolat menunjukkan kelarutan terhadap air yang relatif lebih rendah, penangkapan yang lebih tinggi dan mengurangi penyebaran. Kemudahan dalam melakukan proses pewarnaan dipengaruhi oleh pH juga. Monofenolat memiliki sifat larut dalam air yang rendah, hal ini menyebabkan keterserapan warna ke dalam katun menjadi terhambat, sehingga pewarnaan yang terjadi hanya pada permukaan katun yang disebut “ring dyeing” di mana beberapa lapisan permukaan yang dicelup dan bagian dalam benang tidak terwarnai karena untuk membutuhkan waktu untuk keterserapan warna terhadap katun secara menyeluruh. 3.2.
Formulasi dan Kualitas Cat berbasis Air Berpewarna Alam Selanjutnya, pada proses formulasi cat dan coating, dikenal dengan dua macam jenis
pelarut. Pelarut pertama adalah pelarut minyak atau solvent based coating or painting. Pelarut kedua adalah pelarut air atau water based coating or painting. Kelebihan pelarut minyak adalah kecepatan dalam pengeringan. Namun demikian, seiring dengan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, maka cat berbasis air sudah mulai berkembang. Bahan dasar dalam cat berbasis air adalah resin akrilik yang berfungsi sebagai vehicle. Peran bahan pewarna sendiri sekitar 3-10% saja tergantung dari kebutuhan. Pada proses formulasi, untuk mendapatkan campuran yang baik diperlukan surfaktan dimana pada proses formulasinya harus dihindari adanya cacat-cacat pada cat. Di Indonesia, untuk cat terdapat SNI dengan nomor 3564:2009. BPA yang ramah lingkungan telah berkembang dan telah dikenal dengan baik dalam beberapa waktu yang lalu untuk pewarnaan tekstil (Baid 2009; Erkan, Şengül et al. 2014; Sachdev 2014; Alkan, Torgan et al. 2015). Saat ini, pewarna alami juga telah berhasil dikembangkan untuk sel surya yang peka terhadap pewarna (dye-sensitized solar cells, Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 7
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... DSSCs) (Zhou, Wu et al. 2011; Attanayake, De Silva et al. 2013; Shahid, Shahid ul et al. 2013). Berbagai BPA seperti indigofera (Erkan, Şengül et al. 2014), coumarin (Elgemeie, Ahmed et al. 2016), Caesalpinia sappan L. (Mulyanto, Suyitno et al. 2016), neem, dan ekstrak holy brazil (Sachdev 2014) sudah dikenal dan digunakan untuk mewarnai kain melalui pembentukan ikatan kovalen. Menariknya, BPA mulai dikembangkan di bidang formulasi cat (Pawlak, Puchalska et al. 2006; Abidin, Nasir et al. 2013; Abidin, Naziron et al. 2013; Shahid, Shahid ul et al. 2013; Usop, Abidin et al. 2016) dan BPA yang sering dieksplorasi untuk produksi cat meliputi kurkumin untuk merah (Abidin, Naziron et al. 2013), antosianin untuk warna merah, ungu, dan biru (Lee, Hadi et al. 2015), dan Streptomyces untuk coklat, merah, kuning, dan hitam (Sastry, Prabhakar et al. 2016); Thymus serpyllum (Çakmakçi, Deveoglu et al. 2013) dan lawsone juga telah dieksplorasi untuk warna kecoklatan (Abidin, Nasir et al. 2013). Masalah utama dengan BPA saat diformulasikan dalam cat adalah kesesuaian dengan komponen lain pada cat. Namun, banyak komponen untuk cat tersedia di pasaran, dan di satu sisi ini menawarkan alternatif dalam formulasi namun di sisi lain mereka mungkin akan menghasilkan cacat jika diformulasi dengan kurang tepat. Cacat yang mungkin timbul pada permukaan cat adalah cissing, checking, cratering, bubbling, dan pinholes (Fitzsimons and Parry 2010), seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 2. Jenis cacat pada lapisan cat; (a) Cissing, (b) Checking, (c) Cratering, (d) Bubbling, dan (e) Pinholes
Pada cat, cacat yang sering muncul adalah cratering. Fenomena cratering dapat terjadi karena pencampuran beberapa bahan cat yang mempunyai sifat yang berbeda-beda. Secara umum cratering adalah kawah yang terbentuk pada permukan cat yang sudah mengering dan bentuknya melingkar dimana terkadang ada tonjolan di pusatnya. Crater dapat terjadi karena gerakan dari bahan-bahan cat yang masih cair yang diakibatkan oleh perbedaan tegangan permukaan atau oleh bahan-bahan yang tidak bercampur sempurna. Bahan cat yang masih cair akan mengalir dari daerah yang memiliki tegangan permukaan rendah untuk menutupi luasan dengan tegangan permukaan yang lebih tinggi sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3. Bahan dengan rendah
Gambar 3. Fenomena terbentuknya crater
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 8
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Sementara itu, fenomena crater dapat dilihat bahwa faktor yang berpengaruh utamanya adalah sifat-sifat dari bahan cat khususnya viskositas, tegangan permukaan, dan kecepatan pengeringan. Tegangan permukaan suatu cairan adalah gaya yang menyebabkan molekul pada permukaan cairan terdorong bersama dan membentuk sebuah lapisan. 3.3.
Proses dan Kualitas Pewarnaan pada Fabric Fabric yang cocok untuk pewarna alam terdapat dua jenis, yaitu katun dan sutera.
Komposisi selulosa pada fabric jenis katun menunjulkan persentase yang tinggi, artinya bahwa selulosa sangat stabil dalam kondisi basa dan dalam keadaan tanpa oksigen meskipun pada suhu yang tinggi. Namun sebaliknya pada kondisi asam selulosa sangat sensitif. Hal tersebut merupakan proses hidrolisis katalis antar ikatan glukosa dan menyebabkan depolimerisasi yang mengarah pada monomer glukosa. Selulosa merupakan karbohidrat, meskipun stabilitas alkalinya tinggi, ini adalah biopolimer sensitif. Pada suhu diatas 150°C serat akan mengeras dan kelamaan menjadi kecoklatan. Serat selulosa menyerap sebagian besar air (25-30% pada 100% kelembaban relatif dan 25°C). Namun, selulosa memiliki sebagian besar gugus hidroksil yang tidak larut dalam air, seperti glukosa. Meskipun molekulnya besar seperti pada pewarna katun, namun mudah terserap sampai ke bagian dalam dan daerah amorf serat. Besar molekul dan kristalinitas dari selulosa menentukan baik atau tidaknya sifat mekanik, struktur serat, daerah amorf untuk karakter dan absorptivitas yang larut dalam air (Broadbent 2001). Pewarna komersial khususnya yang berbentuk serbuk terdiri tidak hanya zat warna melainkan juga beberapa zat lain seperti garam, pati, pembasah, pendispersi, anti-debu, buffer (natrium karbonat atau fosfat), stabilisator, dan pelindung warna. Sedangkan tujuan dari pewarnaan adalah untuk menghasilkan warna padat dan seragam pada substrat. Terdapat tiga metode pewarnaan yang umum dipakai oleh para ahli tekstil, yaitu pewarnaan exhaust (batch), kontinu (padding), dan cetak (printing). Pada pewarnaan system batch, pewarna berada di dalam larutan dan dicelup bersama dengan kain yang kemudian serat-serat kain akan menyerap zat warna secara perlahan. Pada proses ini perlu dikontrol temperatur, pH, dan konsentrasi pelarut. Dalam system pewarnaan kontinu, kain melewati bak kecil yang berisi larutan zat warna dan kemudian dua rol yang tertutup karet memeras larutan zat warna dari kain. Proses ini disebut padding. Tekanan rol merupakan faktor penting selain temperatur, pH, dan konsentrasi larutan zat warna. Setelah padding, pewarna harus berdifusi ke dalam serat (proses fiksasi) yang dilakukan dengan menggulung kain berulang-ulang baik dengan udara/uap panas maupun tidak. Setelah proses pewarnaan selesai, maka masih diperlukan proses akhir yaitu, pencucian (soaping) dalam detergent pada temperatur hampir mendidih untuk menghilangkan pewarna/kontaminan yang tidak menempel pada kain. Terdakang proses akhir juga dapat dilanjutkan dengan perlakuan kimia untuk meningkatkan kerekatan zat warna pada kain atau perlakuan perlakuan dengan bahan softener (Broadbent 2001). Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 9
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Pada proses pencelupan bahan tekstil dengan zat warna alam dibutuhkan proses fiksasi (fixer) yaitu proses penguncian warna setelah bahan dicelup dengan zat warna alam agar warna memiliki ketahanan luntur yang baik. Terdapat tiga jenis fixer yang sering dipakai dalam proses pewarnaan dengan BPA, yaitu kapur (basa), tawas (asam rendah), dan tunjung (asam kuat). Perubahan warna yang dihasilkan dari ketiga zat fixer tersebut juga berbedabeda. Hal ini disebabkan karena terjadi reaksi antara kain dengan logam pada fixer sehingga menggeser puncak serapan UV-Vis. Oleh karena itu, kualitas pewarnaan BPA pada fabric sangat dipengaruhi oleh BPA, jenis kain, jenis pelarut, dan jenis fixer yang digunakan.
4. Metode Metode yang dikembangkan dalam studi ini terdiri dari empat fase, yaitu penyiapan bahan baku, formulasi dan standarisasi proses produksi BPA, prakomersialisasi, dan ekspansi pasar. Gambaran skema kegiatan dan capaian dari studi BPA pada ketiga bidang tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahap studi ketersediaan bahan baku BPA, dilakukan melalui dua jenis kegiatan, yaitu budidaya tanaman BPA dan kerjasama dengan pedagang atau supplier BPA. Budidaya bahan baku BPA yang awalnya di screening sudah dilakukan pada lahan seluas 3 ha dan kedepan perlu ditingkatkan menjadi lebih dari 20 ha dengan melalui strategi kerjasama dengan kelompok tani, SKPD kabupaten/kota, dan system tumpangsari. Selain itu perlu dilakukan pula strategi teknis yang matang mulai dari pembibitan, zonafikasi area bahan baku, perawatan, dan pasca panen, mengingat kualitas produk sangatlah tergantung pada bahan baku tersebut. TOKO UTAMA SUPPLIER BAHAN ALAM
BAHAN BAKU
Kelompok Tani
· Kelompok Tani Karanganyar · Kelompok Tani Sri Rejeki Sukoharjo · Suplai bahan baku ZWA · Budidaya secang dan Indigo seluas 1,8 ha
MARKET
PRODUKSI
RISET
ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung
· Kemampuan penyediaan bahan baku > 5 ton per bulan
PT. INDACO Kebak Kramat Karanganyar
PT. Sekar Lima Pratama
· Uji formulasi cat akrilik untuk warna merah · Uji formulasi cat akrilik untuk warna kuning · Uji formulasi cat akrilik untuk warna biru
· Formulasi cat akrilik warna kuning, merah, dan biru · Sintesis dan isolasi senyawa Fisetin
· Aplikasi pewarna alam merah, kuning, dan biru untuk serat kain – katalog warna · Aplikasi cat akrilikpada duksi: lukisan – lukisan cat air di n Pro /d m pua media kanvas Kema ak 50-75 L n/bulan to str o 1,4 ü Ek ig d in un ü Da
UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Solo Lab. Mesin FT UNS & Lab Pusat UNS
ZWA untuk sensitizer sel surya · Sintesis Fe dan Mg-klorofil · Sintesis Cu-Curcumin
ZWA untuk Tekstil · Uji konsistensi ZWA hasil ekstraksi/ Pengrajin Batik Bayat & Tancep · Uji ketahanan luntur/BBKB Jogya · Hitungan ongkos produksi dan Publikasi di Spectochimia ACTA harga jual Vol. 148, 5 September 2015, Pages 99-104 ATMI Surakarta · Mesin Prekolasi · Mesin Pengering · Simulasi Packaging
Draft Paten Pewarna Alam Batik
Unit Pengembangan Usaha/ UPU UNS · Pra-Komersialisasi ZWA untuk tekstil di PUSDIKLAT UNS
P3HKI UNS
Gambar 4. Kegiatan penelitian yang sudah dilakukan pada fase pertama
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 10
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Dalam hal ini kami akan menggandeng SMK Pertanian di lingkup eks karisidenan Surakarta sebagai mitra pendukung sekaligus proses edukasi tak langsung kepada masyarakat dan akan bersinergi dengan tiga kelompok tani sebagai Mitra utama. Sedangkan bahan baku untuk ekstraksi secang dan tegeran masih dalam masa penanaman dan untuk sementara pemenuhan kebutuhan bahan baku didapatkan dari hasil kerjasama dengan pihak perhutani seeks karisidenan Surakarta dan kedepan juga dapat dilakukan kerjasama dengan supplier bahan alam di Solo yaitu Toko warna alam UTAMA atau Toko Putra Agung. Dalam seksi produksi, selain pengembangan standard operating procedure juga perlu dilakukan pelatihan manpower untuk meningkatkan kompetensi dan supaya memahami alur standardisasi produksi yang merunut pada Total Quality Management(TQM) yang telah kami susun di tahap formulasi dan parametirisasi. Tahap 1 : Peningkatan kapasitas produksi ZWA untuk warna Biru, Kuning dan Merah
Production Capacity Tanam, Panen, Cacah, dan Fermentasi. INDIGOFERA TINCTORIA 5-6,75 kg/hari TEGERAN 150 L/hari SECANG 150 L/hari
Perluasan lahan budidaya, dari 1,8 menjadi 20 ha untuk Tanaman Indigofera, Tegeran/ Sisir dan Secang
Peningkatan Kapasitas Produksi INDIGOFERA TINCTORIA Pasta 25-37,5 kg/Hari Powder 2-2,5 kg/hari TEGERAN 200-250 L/hari SECANG 200-250 L/hari
Penambahan Mesin Produksi Pengadaan alat press hidrolik
Sudah dilakukan Proses Hasil
Penambahan mesin ekstraksi
Gambar 5. Studi fase I: Peningkatan kapasitas produksi BPA Peta kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan, sedang dilakukan, dan hasil yang diharapkan dari fase I dengan topik peningkatan kapasitas produksi BPA merah, biru, dan kuning dapat dilihat pada Gambar 5. Selain uji formulasi pada skala yang lebih besar juga akan diperhitungkan kembali biaya produksi nyata dalam skala ratusan liter per hari. Tahap 2 : Standardisasi produksi ZWA untuk warna Biru, Kuning dan Merah
Standardisasi proses produksi ZWA
Tahap 3 : Pra Spin Off produksi ZWA untuk warna Biru, Kuning dan Merah
Quality Test Balai Besar Kerajinan dan Batik metode uji Standar SNI
DISTRIBUTION
MARKET RESEARCH
SALES TRAINING
CUSTOMER SERVICE
Katalog Warna Persamaan persepsi warna dengan pelanggan
PRA SPIN OFF
Gambar 7. Penelitian fase III: Pra Spin Off produksi Gambar 6. Penelitian fase II: standarisasi BPA produk BPA Untuk menjamin kualitas dan konsistensi dari BPA supaya dapat diterima oleh pasar,
maka fase kedua studi adalah standarisasi produk BPA yang dilakukan baik laboratorium UNS dan ITB, juga di Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6. Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 11
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Standardisasi yang terakhir mengacu pada segi warna yang dihasilkan dari produksi BPA. Warna alam yang memiliki kepekatan warna yang berbeda–beda serta warna campuran yang dihasilkan dari penggabungan warna dasar dari produksi BPA perlu distandardisasi. Pembuatan standar warna dari zat warna alami akan ditampung dalam katalog warna sehingga mempermudah untuk mengelompokkan warna serta untuk menganalisa warna yang akan dikaji ulang guna memperoleh warna yang sesuai standar. Dengan kapasitas produksi yang ditingkatkan, maka pra-komersialisasi baik dalam bentuk spin off ataupun dalam bentuk lisensi teknologi perlu secara serius dikonsep dan dilaksanakan. Beberapa kegiatan yang diusulkan pada tahap ketiga penelitian (tahap prakomersialisasi) dapat dilihat pada Gambar 7. Dari sisi pra-komersialisasi dalam segmen target pasar, tahap pemasaran dilakukan dengan berbagai strategi untuk melihat efektivitas dari setiap strategi tersebut. Strategi yang diuji meliputi strategi pasar langsung dengan mendatangi konsumen langsung. Adapun strategi pasar online dilakukan dalam bentuk pengembangan online market dalam bentuk solonature.id dan pewarnaalam.com, walaupun tidak dilanjutkan pada tahun 2017 dan digantikan dengan facebook dan twitter. Strategi ketiga yang akan diuji adalah pameranpameran dan strategi yang lain adalah pengembangan komunitas BPA. Pengembangan dan penjajagan pasar BPA dengan system online dirasa sangat penting karena saat ini system online sudah menjadi hal yang tidak asing dalam bisnis komersil Indonesia dan internasional. Hampir setiap hari semua orang di dunia menggunakan sarana online untuk membeli dan menjual barang yang diinginkan. Hal inilah yang menjadi nilai tambah dalam memperkenalkan dan membuka pasar baru BPA. Di dalam website ini dijelaskan secara menyeluruh tentang BPA yang diproduksi sehingga masyarakat yang mengakses web ini dapat mengetahui keunggulan-keunggulan dari BPA ini. Sedangkan uji strategi pasar dengan pengembangan komunitas BPA disasar pada komunitas pecinta fashion yang dimulai melalui social media. Aspirasi dari anggota komunitas dan perkembangan mode terbaru dapat dievaluasi dengan cepat juga tepat sasaran. Pada fase keempat, studi dilakukan dengan membentuk badan usaha formal atas dukungan Badan Pengelola Usaha (BPU) UNS. Dengan badan usaha formal ini, tahap ekspansi pasar dapat lebih formal dilakukan. Selain itu, ekspansi pasar dilakukan dengan cara mengikuti pameran produk BPA dimana pameran ini memiliki peran penting dalam memperkenalkan produk baru BPA dengan kualitas yang lebih baik. Mengadakan pameran untuk BPA dapat menjadi tempat bertemunya secara langsung dengan konsumen sehingga respon konsumen terhadap produk BPA dapat diketahui dengan lebih baik. Pameran juga memiliki fungsi meningkatkan citra BPA sehingga sangat bagus untuk menunjang komersialitas dari BPA. Target pameran akan dilakukan di INACRAFT, SoloBatik Carnival, Gebyar Batik Nasional, Pameran di Bali dan Pameran di Surabaya.
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 12
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam...
5. Pembahasan 5.1.
Peta Jalan Riset dan Hilirisasi Produk Riset Pengembangan dan hilirisasi produk riset BPA UNS merupakan hasil dari salah satu
kegiatan riset panjang yang tertuang dalam roadmap riset sebagai arah/aturan dari pengembangan riset di Kelompok Riset Konversi Energi Terapan dan Teknologi Nano Fakultas Teknik UNS sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Eksplorasi riset pada awal dilakukan sangat tersebar mulai dari penelitian berbagai sumber energi yang utama di bumi seperti energi matahari, air, angin, dan biomasa. Terdapat dua macam penggunaan teknologi energi matahari, yaitu: energi surya panas dan energi surya fotovoltaik. Energi surya panas sudah pernah kami teliti untuk proses pengeringan, solar water heater (Juwana and Istanto 2009), dan mesin Stirling (Hissen). Sedangkan pengembangan teknologi energi surya fotovoltaik telah dikembangkan dalam penelitian sel surya disensitisasi pewarna (DSSC, dyesensitized solar cell). Pada pengembangan sel surya DSSC, peran ilmu material diperlukan sebagai semikondutor dalam mengkonversikan energi matahari (photon) menjadi energi listrik (Gratzel 2003). Engine
Sekam Padi
Gasifikasi Minyak Pirolisis
Material Adsorber
Pirolisis
2001-2013
Pembangkit 10 kWel
Abu
Briket
Arang
ZSM-Catalyst Material nano dan oksida nano
Nanoteknologi
Konductor
Hydrothermal Liquefaction
Semiconductor Insulator
Hasil s.d. 2014
Polimer · · · · ·
Rencana 2014-2020
Bahan Termoelektrik/ Piezoelektrik
Diperoleh light fuel untuk engine Diperoleh prototipe pembangkit listrik sekam 10 kWel Pendaftaran paten metode pengayaan hidrogen dari proses gasifikasi Diperoleh sel surya berbasis pewarna sintesis dan alami, menggunakan semikonduktor ZnO dan TiO2 1 teknologi zat warna alam – inisiasi spin off/komersialisasi
Agenda #3: Pengembangan Teknologi Cat Berpelarut Air Agenda #4: Sel Surya DSSC dengan efisiensi > 3%
Heat Transfer Enhancement
Mesin Stirling
· · ·
Diperoleh prototipe conductivity meter (transient dan steady) Diperoleh sel termoelektrik (figure of merit) Diperoleh sel piezoelektrik (nanogenerator, repeatability & reproducibility, durability, etc…) · Diperoleh nanofluid · Diperoleh model pembakaran Agenda #6: Hibrid Sel Surya Agenda #7: Nanofluid dan two-phase flow dan Renewable Fuel pada Otomotiv Agenda #8: Efficient Wind Turbine Agenda #2: Pengembangan Modul termo dan piezoelektrik yang lebih efisien
Agenda #9: Pengembangan Biofuel & Bioenergy
Agenda #5: Bahan Polimer untuk industri
Agenda #10: Pengembangan Kendaraan Hybrid
Agenda #11: Magnetorheology
2014-2020
5 Draft Paten 3 Lisensi Teknologi
Target Luaran
Terdapat 1 teknologi yang siap dilakukan spin Agenda #1: Pengembangan Fine chemicals, fine dyes, surfactan, etc… from natural resources
Rencana 2020-2025
Magnetorheology
Sensor
Sel Hibrid
Agenda #1: Pengembangan Bahan Pewarna (alami dan sintetis)
Engine test
Nano fluid
Bahan Pewarna
Bahan Sel Surya
Biofuel
Agenda #3: Pengembangan Teknologi Cat Berpelarut Air dengan pewarna alami Agenda #4: Sel Surya
Agenda #6: Hibrid modul Surya dan Renewable Fuel pada Otomotiv Agenda #2: Pengembangan Modul termo dan piezoelektrik Agenda #5: Bahan Polimer
10 Paper di Jurnal Internasional 9 Paper di Fact 2012-2016: Seminarkan - 52 Paper (65% terindeks scopus) off/komersialisasi - 5 Pengajuan Paten - 2 Buku - 1 inisiasi spin off Agenda #7: Nanofluid dan twophase flow yang lebih efisien Agenda #8: Efficient Combustion System – industry partner Agenda #9: Pengembangan Biofuel & Bioenergy – Isolasi molekuler yang hemat Agenda #10: Pengembangan Sensors
2020-2025
Agenda #11: Magnetorheology 5 Draft Paten 3 Lisensi Teknologi
Target Luaran
10 Paper di Jurnal Internasional 9 Paper di Seminarkan
Terdapat 1 spin off yang berhasil Terdapat 1 lagi teknologi lain yang siap dilakukan spin off/komersialisasi
RG: Konversi Energi Terapan dan Nanoteknologi (KonvEnTer Nano)
Gambar 4. Roadmap penelitian Kelompok Riset Konversi Energi Terapan dan Teknologi Nano Fakultas Teknik UNS Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 13
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Selain penelitian-penelitian tersebut di atas, beberapa penelitian lain yang mendasari baik langsung atau tidak langsung pada pengembangan BPA adalah penelitian bahan batubara dan biomassa. Riset terkait batubara dan biomasa ini telah kami lakukan dalam hal coal upgrading (Suyitno 2001), pembriketan (Istanto, Suyitno et al. 2006), pirolisis (Suyitno and Lettner 2005; Suyitno, Lettner et al. 2005; Suyitno 2007; Suyitno, Hidayat et al. 2008), hydrothermal liquefaction (HTL) (Hadi, Suyitno et al. 2014), gasifikasi (Haselbacher, Lettner et al. 2005; Suyitno, Lettner et al. 2005; Suyitno, Lettner et al. 2005; Istanto, Suyitno et al. 2006; Suyitno, Lettner et al. 2006; Lettner, Haselbacher et al. 2007; Suyitno 2007; Suyitno 2008; Suyitno, Juwana et al. 2009; Suyitno, Wibowo et al. 2011), dan biogas (Suyitno, Nizam et al. 2010). Hasil utama, manfaat, hasil samping, kendala dan peluang dari penelitian dari tahun 2001-2013 khususnya dalam pengembangan BPA dan beberapa penelitian lain yang terkait dapat diringkas pada Tabel 2. Beberapa penelitian yang kami lakukan, kami akui banyak yang berhenti pada manuscript yang dipublikasi pada jurnal, seminar, paten, dan buku. Beberapa kendala untuk hilirisasi produk riset sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2, utamanya adalah pada ketersediaan bahan baku yang minim, harga produksi yang mahal karena belum sampai pada skala pilot, keterulangan yang masih rendah, belum terstandarisasinya proses pada skala yang besar, dan pasar yang belum berpihak dimana kondisi perdagangan Indonesia saat ini sangat bebas sekali. Tabel 2. Hasil, kendala, dan peluang penelitian yang berkaitan dengan BPA No Teknologi
Hasil Utama Penelitian 1 Teknologi Konsep Pengering fluidized bed & an spray dryer (testing 1920 hours)
Manfaat Utama
Hasil Samping
Selain - Diaplikasikan untuk mengeringkan menghasilkan serbuk BPA juga dapat pewarna alam, mengeringkan capacity: 20-50 L/hari biji-bijian, padi, - Harga competitive: jagung, dst serbuk pewarna Rp 300-600 rb/kg dibandingkan sintetis 200-800 rb/kg - High fastness: 4-5 2 Teknologi Teknologi briket Parametrisasi Karbon aktif LG (low Pirolisis pembriketan grade) dan biomassa Pembriket an
Kendala Perlu scale up capacity: 500-5000 L/hari
- Demand ada pada level HG (high grade) - Harga belum kompetitif - Biaya riset HG pada capacity yang middle—mahal. Spray Pirolysys Nanopartikel TiO₂ - Purity coating and ZnO - Capacity production production untuk pilot plant— investasinya mahal 3 Teknologi Teknologi - Capacity 1 kW - Gas CH4 - Investasi peralatan Gasifikasi/ Pembangkit (engine mahal - Gas H₂ Biogas Listrik modificatio) - Modeling perancangan - Suku cadang biogas/gasifikasi - Capacity 10 terbatas dengan
Peluang - Siap hilirisasi - Investasi peralatan/pabrik: 3/15 M
- Advanced bio-based material di bidang kimia, purifikasi, filter, kosmetik, obat, dan lainnya - High demand on nano material and nanotechnology - Kaca konduktif - Pembriketan atau pirolisis sampah kayu hasil ekstraksi BPA - PKS antara Pemkot Surakarta dengan PT Citra Metro Jaya tahun 2016 tentang
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 14
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... No Teknologi
Hasil Utama Penelitian Petent No: P00201201175
Manfaat Utama
Hasil Samping
kW (engine ANSYS/FLUENT modifation) - Buku Biogas-Penerbit - Capacity 300 PT. Graha Ilmu kW (gas engine - Buku GasifikasiKohlbach) Penerbit UNS Press 4 Teknologi DSSC - Know-how - Kendala bahan baku— Nano-Sel berefisiensi 3% fabrikasi DSSC agricultural, 3 ha Surya dengan pewarna dan komponenBerpewarn sintetis dan komponennya a alam 0,6% untuk alam Ekstraksi Meningkatkan - Teknologi ekstraksi dan pewarna alam efisiensi sel formulasi pewarna untuk Sel surya surya DSSC alam; Patent No: P00201508269
Kendala
Peluang kontrak Pengelolaan sampah Putri Cempo - Biogas dari sampah fermentasi BPA indigofera - Paten dan komersialisasi Kaca konduktif
- Efisiensi DSSC < 5% - Fabrikasi manual, jika otomatis berbiaya > 25 M - Scale up mesin - Paten dan ekstraksi kapasitas komersialisasi 50 L/hari pewarna alam, ada kebutuhan di fabric - Investasi 3 M colouring dan wood coating
Dari pengalaman penelitian-penelitian terdahulu menginspirasi peneliti untuk act locally think globally dimana terdapat produk riset lain yang justru menarik. Pada tahun 2010an, penelitian ilmu konversi energi kami gerakkan kearah riset nanomaterial untuk energi seperti pengembangan kaca transparan konduktif, material nano ZnO/TiO2, produksi zat warna alam, formula pewarnaan kain batik dengan pewarna alam, formula coating/politur kayu dengan pewarna alam, dan lainnya. Beberapa produk riset sampingan ini justru mempunyai daya tarik untuk dilakukan hilirisasi. Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian tersebut, hasil dari studi kami memang masih jauh, karena baru mampu menghasilkan efisiensi DSSC sekitar 3,4% sehingga DSSC hasil produksi kami masih belum layak untuk dikomersialisasi atau masih mempunyai TRL (technology readiness level) 4 dari skala 9. 5.2.
Penelitian Bidang BPA Pada tahap awal, tim UNS dan ITB melakukan screening dari berbagai jenis BPA
untuk kesesuaian dengan teknologi sel surya, coating, dan tekstil. Selain sifat ketahanan pewarna (fastness), dasar screening adalah ketersediaan bahan baku dan kecocokan dengan aplikasi yang dituju. Beberapa BPA hasil screening adalah biru dari tanaman indigofera, merah dari tanaman secang (Caesalpinia sappan), merah dari tingi (Ceriops condolleana), merah dari bixa, kuning dari tanaman tegeran (Cudraina), kuning dari kunyit, dan hijau dari daun pepaya. Berbagai gugus fungsi dari BPA dapat dilihat pada Gambar 8. BPA tekstil ini telah melewati tahapan standardisasi SNI di Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta (2014-2015) dengan parameter uji ketahanan luntur terhadap pencucian, terhadap gosokan dan terhadap sinar matahari dengan nilai rata-rata pada skala 4-5 yang tergolong baik untuk kelas zat warna alam seperti terlihat pada Gambar 9.
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 15
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam...
(a)
(b)
(c)
(d)
indigotin
(e)
bentuk reduced non-ionic
bentuk mono-fenolat
bentuk bi-fenolat
(f) Gambar 8. Berbagai gugus fungsi BPA; (a) curcumin bentuk Keto (Kim, Kim et al. 2013), (b) curcumin bentuk Enol (Kim, Kim et al. 2013), (c) senyawa ficetin, (d) skema anchoring ficetion pada semikonduktor TiO₂, (e) Struktur kimia brazilin dan brazilein (Wongsookin, Saowanee et al. 2008), (f) bentuk indigo (Broadbent 2001)
Gambar 9. Hasil uji kualitas pewarnaan BPA oleh BBKB Yogyakarta Selanjutnya, pada aplikasi coating, BPA telah diformulasi dan menghasilkan coating yang memenuhi standar SNI 3564:2009. Berdasarkan sifat fisik, coating hasil penelitian memiliki viskositas 3583,3 mPas, daya tutup 8,40 m2/kg, total solid 53,9%, waktu kering sentuh 25,41 menit, kering keras 48,56 menit, dan tingkat glossy 75,3 GU. Untuk cacat yang terdapat pada coating utamanya adalah crater. Formulasi coating dengan tingkat cacat crater terendah yaitu dengan penambahan antifoam 4%. Dengan hasil daya tutup, padatan total, waktu kering dan viskositas memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI 3564:2009). Bahkan dibandingkan dengan produk pasaran, cat hasil penelitian sudah mampu bersaing dan lebih baik ditandai dengan tingkat cacat crater, waktu kering, viskositas, tingkat glossy, padatan total, dan daya tutup yang lebih baik. Beberapa data formulasi coating menggunakan pewarna alam dapat dilihat pada Gambar 10. Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 16
60
30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
Drying Time (minute)
Hiding Power (m²/L)
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam...
20 0
Antifoam Concentration (%)
(a)
Touch Dry Hard Dry
40
(b)
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 Antifoam Concentration (%)
(c)
Gambar 10. Uji kualitas coating; (a) persentase cacat crater, (b) daya tutup, (c) waktu kering
5.3.
Hilirisasi BPA Hilirisasi BPA dapat dimanfaatkan dalam industri tekstil, seni, coating, dan painting.
18 Sedangkan hilirisasi BPA pada sel surya belum bisa dilakukan karena dari sisi teknologi 16 14
f(%)
masih terdapat banyak masalah yang 12belum terselesaikan khususnya efisiensi dan kestabilan. 10
Dalam proses pengembangan dan 86 hilirisasi produk riset ini, maka kami berusaha 4
menggandeng mitra-mitra penelitian 2 dari program studi lain di UNS, ITB, dan ATMI. 10 13.6 18.4 25 34 46.2 62.7 85.2 115.7 157.2 213.5 289.9 393.7 534.7 726.2 986.2 1339.3 1819 2470.3 3354.9 4556.3 6187.9 8403.8 11413.2 15500.2
0
Pengalaman dari Industri seperti PT. Sekar Lima Pratama, PT. Indaco, PT. Airvindo Abadi, Diameter (nm)dari pihak pemerintah sangat berperan UMKM Batik, Kelompok Tani, dan juga pengalaman
besar dalam proses maturity dari produk zat warna alam UNS. Beberapa produk yang siap dilakukan hilirisasi dapat dilihat pada Gambar 11. 30 25
Serbuk Pewarna Alam Ceriops candolleana
f(%)
20 15 10
Tebal 3 mm R < 25 ohm/cm2 Transmitansi > 78%
D_avg = 378.7 nm SD = 105.1 nm
0 98.7 114.5 132.9 154.2 179 207.7 241 279.7 324.6 376.7 437.1 507.3 588.7 683.1 792.8 920 1067.7 1239 1437.8 1668.6 1936.3
ü ü ü
5
Diameter (nm)
(a) Kaca transparan konduktif (Suyitno, Arifin et al. 2014)
(b) BPA serbuk
(c) Produk kain berpewarna alam
(d) BPA ekstrak (e) Coating Gambar 11. Produk riset yang dapat dilakukan hilirisasi
30 Cudraina javanensis
25
Caesalpinia sappan L.
f(%)
20
Ceriops candolleana
15 10 5 152.2 176.9 205.6 238.9 277.7 322.7 375.1 435.9 506.7 588.8 684.4 795.4 924.4 1074.3 1248.6 1451.2 1686.6 1960.2 2278.1 2647.7 3077.2
Gambar 12. 0Milestone hilirisasi pewarna alam Diameter (nm)
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 17
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Proses hilirisasi produk riset BPA sendiri dapat digambarkan tahapannya seperti pada Gambar 12. Pada tahap awal adalah dilakukan penelitian dasar khususnya untuk memperdalam know how secara komprehensif dan memberikan keunggulan yang spesifik dari suatu produk riset. Pada tahap selanjutnya adalah skala pilot dimana proses mini scale up dan standarisasi proses maupun prosedur dilakukan pada tahap ini sehingga diperoleh konsistensi kualitas produk. Pada tahap ketiga dilakukan produksi massal untuk kemudian dilakukan uji pasar. Setelah tahap uji pasar telah dilampaui, maka yang dilakukan selanjutnya adalah lisensi teknologi atau spin off yang dikelola oleh profesional. Pada produk BPA ini pilihan yang dilakukan adalah spin off dan kemudian membuat start up company pada tahun 2017. Dari analisis studi pada tahap pertama, proses pra-komersialisasi dapat berjalan dengan baik jika prasyarat baik dalam hal bahan baku, kapasitas produksi, dan pasar dapat dipenuhi sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 juga menunjukkan berbagai kegiatan yang telah dilakukan untuk mendukung komersialisasi BPA. BAHAN BAKU
STANDARDIZATION
LISENSI TEKNOLOGI
PROCESS
LAHAN BIBIT
PATEN
QUALITY TEST COLOURS CATALOGUE
PUPUK TEKNIK BUDIDAYA
PERJANJIAN LISENSI
Product Terstandar Pada Kapasitas ratusan liter/hari
Commersialization MARKET RESEARCH DISTRIBUTION
DIRECT
MAN POWER TRAINING
SALES TRAINING
DEVELOP WEB
PRODUCTION METHOD
CUSTOMER SERVICE
IT SYSTEM
MACHINE
COMMUNITY
MATERIALS
SPIN OFF
EXHIBITION
PRODUCTION
PRA-KOMERSIALISASI
Gambar 13. Komponen penting penelitian tahun kedua yang mengarah pada komersialisasi BPA Dari sisi bahan baku sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 14, diperlukan luasan lahan pertanian sampai 20 ha dimana yang dapat dipenuhi sampai akhir tahun 2016 baru 3 ha. Untuk budidaya tanaman BPA juga diperlukan pupun sebanyak 60 kg dan 218 ribu bibit tanaman. Dengan tanaman sebanyak itu, maka ditahap spin off dapat diproduksi pasta indigo sebanyak 25-37,5 kg/hari, serbuk indigo 2-2,5 kg/hari, pewarna merah 200-250 L/hari, dan pewarna kuning sebanyak 200-250 L/hari. Pemenuhan kebutuhan Bahan Baku agar memenuhi target pra spin-off diperlukan: 1. Perluasan Lahan 20 ha. 2. Penambahan Pupuk 60,6 kg. 3. Penambahan 218.160 unit Bibit tanaman indigofera.
Formulasi produksi Zat Warna Tekstil agar memenuhi target pra spin-off diperlukan : 1. Penambahan 25 unit reaktor fermentasi. 2. Penambahan 13 unit bak penggebur. 3. Penambahan 1 unit mesin pres hidraulik kapasitas 1 ton/hari. 4. Penambahan 1 unit reaktor spray dryer.
2016
2017
Produksi saat ini: 1. Pasta indigo 5-6,75 kg/hari. 2. Powder indigo 300-400 gr/ hari. 3. Pewarna merah 150 L/hari. 4. Pewarna kuning 150 L/hari.
Pra spin-off Target Kapasitas Produksi: 1. Pasta indigo 25-37,5 kg/hari. 2. Powder indigo 2-2,5 kg/hari. 3. Pewarna merah 200-250 L/hari. 4. Pewarna kuning 200-250 L/hari.
Penguatan dalam bidang: 1. IT system 2. Distribusi manajemen 3. Training manajemen
Gambar 14. Kapasitas produksi BPA
Formulasi produksi Acrylic Paint (AP) agar sesuai target pra komersialisasi diperlukan :
Produksi cat akrilik:
Pra komersialisasi
Kapasitas Produksi: Pada fase kedua, untuk formulasi dan standarisasi Target proses produksi telah dilakukan 1. Penambahan 1 unit 1. Indigo kapasitas 50 L.
1. Indigo 50 L.
Transform Infrared 2. Merah kapasitas 50 L. 2. Merah 50 L. baik untuk BPA tekstil Fourier maupun BPA coating. Untuk tekstil, standarisasi dilakukan Spectroscopy (FTIR). 3. Kuning kapasitas 50 L. BPA 3. Kuning 50 L. 2. Penambahan 1 unit RGB color
Penguatan dalam bidang: Analyzer BPA H500 Anaheim. dengan mengujikan kualitas pada kain dalam kurun 2014-2015 di BBKB Yogyakarta. 1. Riset pasar 2. Survei demand
Formulasi produksi Semi Conductor Selain itu, formulasi dan standarisasi proses dilakukan untuk menghasilkan katalog warna Pra komersialisasi Coating (SCC) agar sesuai target pra Produksi SCC:
PRA SPIN OFF PRA KOMERSIALISASI
komersialisasi diperlukan: 1. Penambahan 1 unit Column Chromatography. 2. Penambahan 3 unit Buchner Funnel. 3. Penambahan 1 unit Vacuum Pump. 4. Penambahan 1 unit Refrigerator.
1. SCC warna kuning 2 L. 2. SCC warna hijau 2 L.
Target Kapasitas Produksi:
SCC warna Suyitno, kuning 2 L. Prof. Dr. 1.2.techn. S.T., M.T. | 18 SCC warna hijau 2 L.
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 15. Katalog warna yang dibuat akan menunjang dalam memudahkan proses komersialisasi ke instansi yang tertarik untuk menggunakan BPA, sehingga memperkecil kemungkinan adanya perbedaan persepsi warna dengan pihak atau instansi yang ingin menggunakan BPA. Selain itu, tim peneliti juga sudah mendaftarkan paten pewarnaan alam dengan nomor pendaftaran paten P00201508269.
Gambar 15. Katalogisasi warna
Fase ketiga studi adalah fase pra-komersialisasi yang dilakukan tahun 2015-2016. Sedangkan fase keempat adalah pembentukan badan usaha dan ekspansi pasar yang dimulai tahun 2017. Pada fase pra-komersialisasi atau uji pasar dilakukan dengan cara (1) langsung, (2) website: pewarnaalam.com [discontinued], (3) twitter: https://twitter.com/nahecho, (4) facebook: rafnahecho, (5) pameran seperti inacraft, Jogya fashion week, dan Solo batik carnival, dan (6) outlet di pusdiklat/UNS inn. Pada fase pra-komersialisasi ini selain untuk menguji kemampuan produksi juga untuk menguji keinginan pasar. Hasilnya adalah kemampuan produksi perlu dibenahi dengan cara membuat workshop yang lebih besar dan tenaga kerja yang direkrut. Sampai dengan akhir 2016, sudah mempunyai workshop seluas 700 m² baik untuk produksi pasta indigo dan produksi pewarnaan kain, seperti dapat dilihat pada https://goo.gl/maps/oMXooZNiyjH2. Jumlah tenaga kerja yang diserap sampai 2016 adalah 17 orang. Dari sisi branding, tim pra komersialisasi sudah membuat branding dimana sampai dengan tahun 2016 adalah B3 (Batik Biru Biru) untuk produk fashion, Nahecho (natural herbal cloth) untuk produk kain batik, Polar untuk produk politur, dan Colorant untuk produk pewarna alam. Branding-branding tersebut secara umum belum mampu diterima pasar, kecuali Colorant. Selain itu, branding-branding tersebut belum didaftarkan ke ditjen HKI sehingga kedepan juga perlu segera didaftarkan. Pada fase keempat yaitu pembentukan badan usaha dan ekspansi pasar. Karena UNS masih berstatus badan layanan umum (BLU), maka pendirian badan usaha ini scara struktur masih terlepas Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 19
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... dari UNS namun dalam koordinasi dengan Badan Pengelola Usaha (BPU) UNS. Badan usaha yang dibentuk sudah resmi mendapat ijin Pendirian Perseroan Komanditer bernama CV. Indigo Biru Baru pada tanggal 13 Februari 2017. Dasar pendirian adalah akta notaris Eko Budi Prasetyo, SH (SK. Men Keh & HAM RI Nomor: C-1372 HT.03.01-TH.2002). CV. Indigo Biru Baru berkedudukan di Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Maksud dan Tujuan dari perseroan adalah Menjalankan usaha di bidang perdagangan umum, impor dan antar pulau/daerah serta lokal dan interinsulair, meliputi segala jenis barang-barang dagangan antara lain: (1) Perdagangan bahan-bahan pewarna, cat, politur; (2) Perdagangan hasil bumi serta kegiatan usaha lain yang terkait; (3) Agrobisnis (perdagangan hasil-hasil pertanian); (4) Perdagangan kebutuhan sehari-hari/sembako; (5) Perdagangan tepung serta kegiatan usaha lain yang terkait; (6) Perdagangan pakaian jadi/garment dan pakaian meliputi perdagangan pakaian jadi, konveksi (garment), craft, kain/bahan, kebaya dan pakaian adat beserta aksesorisnya, pakaian keagamaan serta kegiatan usaha lain yang terkait; (7) Perdagangan tekstil serta usaha lain yang terkait; (8) Perdagangan hasil hutan tanaman industri untuk perusahaan industri pengelolaan kayu serta kegiatan usaha terkait. Visi dari CV. Indigo Biru Baru adalah menjadi perusahaan modern penyedia jasa dan produk fashion, dyeing, dan coating bahan organik yang terkemuka di Indonesia. Adapun misi perusahaan yaitu: (1) Mengembangkan dan menyediakan jasa dan produk batik dari bahan organik yang eksklusif; (2) Mengembangkan dan menyediakan jasa dan produk fashion dari bahan organik yang stylish, modern, dan limited; (3) Mengembangkan dan menyediakan jasa dyeing dari bahan organik yang jumlahnya banyak, bervariasi, berkualitas, terstandar, stabil, dan harga terjangkau; (4) Mengembangkan dan menyediakan produk pewarna dari bahan organik yang jumlahnya banyak, bervariasi, berkualitas, terstandar, stabil, dan harga terjangkau. Adapun konsep produk dari CV. Indigo Biru Baru dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Konsep produk CV. Indigo Biru Baru
Kapasitas produksi CV. Indigo Biru Baru pada akhir tahun 2016 adalah 3 ton daun indigo per bulan atau mengalami peningkatan sebesar 2 kali dari tauhn 2014. Untuk produksi fashion juga mengalami peningkatan dari pewarnaan 500 m kain pada tahun 2016 menjadi 2500 m kain per bulan atau meningkat 5 kalinya. Kegiatan ini menunjukkan potensi pasar yang besar dimana sebaran pasar pewarna masih terbatas di Klaten, Surakarta, Pacitan, Trenggalek, Kediri, Bali, dan Jakarta. Sedangkan untuk produk fashion sudah memasok
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 20
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... kebutuhan batik dan fashion di Surakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Jakarta. Untuk pasar luar negeri sudah mulai ada pesaana beberapa pcs dari Jepang dan Malaysia. Sampai akhir 2016, selain telah mampu mempekerjakan 17 karyawan, kegiatan produksi CV. Indigo Biru Baru telah memberikan
juga peningkatan ekonomi bagi
masyarakat sekitar, 50 pecanting yang tersebar pada 4 kluster batik (Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan Surakarta), 10 pencolet, 3 kluster batik cap, dua kluster batik malam, dan tiga kelompok tani. Untuk produk fashion juga telah meningkatkan ekonomi bagi showroom batik dan boutiqe yang secara rutin telah melakukan kerjasama dengan CV. Indigo Biru Baru. Jika ditilik lebih jauh sebenarnya masih terdapat sekitar 101 sentra batik di Indonesia dimana 90% nya adalah menggunakan pewarna sintetis, sehingga BPA UNS ini diharapkan dapat diterima pasar yang lebih luas.
Gambar 17. Konsep dan lingkup perkembangan dan peran masing-masing pihak dalam proses
riset sampai hilirisasi produk riset Dari pembahasan di atas, konsep hilirisasi BPA yang ideal sebenarnya dapat digambarkan pada Gambar 17. Selain peneliti, peran universitas, perbankan, pemerintah, dan swasta termauk media sangat penting. Media mempunyai peran dalam menyampaikan informasi inovasi dengan baik. Sedangkan masyarakat adalah pasar atau pemakai dari produk riset tersebut. Pemerintah penting dalam hal dukungan pendanaan, lahan, sumber daya alam, dan perizinan. Perbankan penting dalam hal pemodalan dan resiko bisnis. Sedangkan universitas sebagai pemilik produk riset perlu secara aktif menyakinkan akan readiness level dari produk risetnya dan kalau perlu juga sharing pendanaan dan fasilitas jika bentuk hilirisasi yang dipilih adalah start up. Pada tahap penumbuhan kompetensi, invention/model, dan proven prototype, peran dari tim peneliti sangatlah besar. Sebaliknya, pada tahap uji coba produksi, pasar, dan tahap produksi komersial, peran tim peneliti menjadi minim dan digantikan dengan peran dari para professional sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 17.
6. Kesimpulan Pengembangan dan hilirisasi suatu produk riset sejatinya bukan perkara yang mudah tetapi juga bukan sulit sekali. Peran dan kerjasama kepemimpinan pada lembaga professional, universitas, industri, STP (science techno park), perbankan, pemerintah, media, dan masyarakat menjadi kunci untuk tumbuhnya industri-industri berbasiskan riset termasuk BPA Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 21
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... UNS. Selanjutnya pengembangan dan hilirisasi BPA harus dilakukan secara simultan setidaknya pada tiga hal, yaitu ketersediaan baha baku, standarisasi proses produksi, dan ekspansi pasar. Dalam hal bahan baku telah dikembangkan dua model, yaitu model kerjasama dengan distributor (pedagang) dan kerjasama dengan kelompok tani untuk budidaya tanaman BPA. Dalam hal formulasi untuk bahan pewarna sel surya DSSC (dye-sensitized solar cell) telah dihasilkan formulasi proses produksi Mg-klorofil, Fe-klorofil, dan sintesis senyawa fisetin. Untuk formulasi bahan pewarna coating telah dilakukan formulasi warna merah-tingi, kuning-tegeran, biru-indigo, putih-kapur, dan hitam-kombinasi dan sudah diujicobakan ke para pengrajin dan pelukis. Untuk formulasi bahan pewarna tekstil khususnya batik sudah dilakukan pra-komersialisasi bersama Badan Pengelola Usaha UNS dengan membentuk CV. Indigo Biru Baru dengan produk utama pewarna alam (ekstrak cair, pasta, dan serbuk), politur air, dan batik warna alam. Pasar utama CV. Indigo Biru Baru adalah ke Jawa Tengah, Jakarta, Bali, Jawa Timur, Kalimantan, Malaysia, dan Jepang. Ekspansi pasar terus diupayakan dengan tetap memperhatikan kapasitas bahan baku dan kapasitas produksi.
7. Daftar Pustaka Abidin, Z. H. Z., K. M. Nasir, et al. (2013). "The characteristics of a coating system containing lawsone dye colorant and PMMA‐acrylic polyol blended resin." Pigment & Resin Technology 42(2): 128-136. Abidin, Z. H. Z., N. N. Naziron, et al. (2013). "Influence of curcumin natural dye colorant with PMMA‐acrylic polyol blended polymer." Pigment & Resin Technology 42(2): 95-102. Agustia, Y. V., Suyitno, et al. (2016). "Effect of acidity on the energy level of curcumin dye extracted from Curcuma longa L." AIP Conference Proceedings 1717(1): 040005. Alkan, R., E. Torgan, et al. (2015). "Determination of Antimicrobial Activity of the Dyed Silk Fabrics with Some Natural Dyes." Journal of Textiles and Engineer 22(97). Arifin, Z., S. Soeparman, et al. (2017). "Performance Enhancement of Dye-Sensitized Solar Cells Using a Natural Sensitizer." International Journal of Photoenergy 2017: 5. Attanayake, C., C. De Silva, et al. (2013). Dye–Sensitized Solar Cells: Using Over 100 Natural Dyes As Sensitizers. AICHE. Baid, A. M. (2009). Method of dyeing the textile article from medicinally rich herbs. U. Patent. India. US 7,485,158 B2. BPS (2013). Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Triwulan I Tahun 2013. B. P. Statistik: 1-13. Broadbent, A. D. (2001). Basic Principles of Textile Coloration, Society of Dyers and Colourists. Çakmakçi, E., O. Deveoglu, et al. (2013). "HPLC-DAD analysis of Thymus serpyllum based natural pigments and investigation of their antimicrobial properties." Pigment & Resin Technology 43(1): 19-25. Calogero, G. and G. D. Marco (2008). "Red Sicilian orange and purple eggplant fruits as natural sensitizers for dye-sensitized solar cells." Solar Energy Materials & Solar Cells 92: 1341-1346. Chang, H. and Y. J. Lo (2010). "Pomegranate leaves and mulberry fruit as natural sensitizers for dye-sensitized solar cells." Solar Energy 84(10): 1833–1837. Chang, H., H. M. Wu, et al. (2010). "Dye-sensitized solar cell using natural dyes extracted from spinach and ipomoea." Journal of Alloys and Compounds 495: 606-610. Changa, H., H. M. Wub, et al. (2010). "Dye-sensitized solar cell using natural dyes extracted from spinach and ipomoea." Journal of Alloys and Compounds 495: 606–610. Dirjen, I. K. M. (2011). Media Informasi & Promosi Industri Kecil Menengah. Gema Industri Kecil & Menengah, Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah. XXXII. Elgemeie, G. H., K. A. Ahmed, et al. (2016). "A simple approach for the synthesis of coumarin fluorescent dyes under microwave irradiation and their application in textile printing." Pigment & Resin Technology 45(4): 217-224. Erkan, G., K. Şengül, et al. (2014). "Dyeing of white and indigo dyed cotton fabrics with Mimosa tenuiflora extract." Journal of Saudi Chemical Society 18(2): 139-148.
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 22
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Fitzsimons, B. and T. Parry (2010). Paint and Coating Failures and Defects, Elsevier. Ghobadian, G. R. C. a. B. (2007). "Spray Dryer Parameters for Fruit Juice Drying." World Journal of Agricultural Sciences 3. Gokilamani, N., N. Muthukumarasamy, et al. (2013). "Utilization of natural anthocyanin pigments as photosensitizers for dye-sensitized solar cells." J Sol-Gel Sci Technol. Gratzel, M. (2003). "Review Dye Sensitized Solar Cell." J. Photo. Chem. Rev 4: 145-153. Gross, J. (1991). "Pigments in Vegetable, Chlorophylls, and Carotenoids." Hadi, S., Suyitno, et al. (2014). "Biofuels Produced from Hydrothermal Liquefaction of Rice Husk." Applied Mechanics and Materials 575(2014): 628-634. Haselbacher, P., F. Lettner, et al. (2005). Experimental Gas Quality Results from Staged Gasification. 14th European Conference & Exhibition: Biomass for Energy, Industry and Climate Protection, Paris, France. Hemalatha, K. V., S. N. Karthick, et al. (2012). "Performance of Kerria japonica and Rosa chinensis flower dyes as sensitizers for dye-sensitized solar cells." Spectrochimica Acta Part A: Molecular and Biomolecular Spectroscopy 96: 305–309. Heyne, K. (1988). Tumbuhan berguna Indonesia, Yayasan Sarana Wana Jaya : Diedarkan oleh Koperasi Karyawan, Departemen Kehutanan. Hissen, A. "Effects of Working Fluids on the Performance of Stirling Engine." Istanto, T., Suyitno, et al. (2006). "Pengaruh Ukuran Partikel, Kadar Air Awal dan Temperatur Pembriketan terhadap Sifat Fisik Briket Batubara." Gema Teknik 2: 47-53. Juwana, W. E. and T. Istanto (2009). "Pengaruh Water Storage Volume Terhadap Unjuk Kerja Solar Assisted Heat Pump Water Heater (Sahpwh) Menggunakan HFC-134a." Mekanika 7(2). Kim, H.-J., D.-J. Kim, et al. (2013). "Curcumin Dye Extracted from Curcuma longa L. Used as Sensitizers for Efficient Dye-Sensitized Solar Cells." International Journal of Electrochemical Science 8: 8320 - 8328. Lee, S. V., A. N. Hadi, et al. (2015). "Thermal and UV degradation of roselle anthocyanin extract and its mixtures with poly(vinyl alcohol) in different acid." Pigment & Resin Technology 44(2): 109-115. Lettner, F., P. Haselbacher, et al. (2007). Latest Results of "CleanStGas" - Staged Biomass Gasification CHP. 15th European Biomass Conference & Exhibition - From Research to Market Deployment - Biomass for Energy, Industry and Climate Protection, Berlin, Germany. Luiz F.C. de Oliveiraa, H. G. M. E., Eudes S. Velozoc, M. Nesbittd (2002). "Vibrational spectroscopic study of brazilin and brazilein, the main constituents of brazilwood from Brazil." Vibrational Spectroscopy 28(2). Mars (2012). Perkembangan Cat Nasional. Perkembangan Cat Nasional. Min, Y., D. X. Wei, et al. (2006). "Brazilin an important immunosuppresive componen from Caesalpinia sappan L." Journal International Immunopharm 6. Mulyanto, S., Suyitno, et al. (2016). "Synthesis and characterization of natural red dye from Caesalpinia sappan linn." AIP Conference Proceedings 1717(1): 040032. Pawlak, K., M. Puchalska, et al. (2006). "Blue natural organic dyestuffs—from textile dyeing to mural painting. Separation and characterization of coloring matters present in elderberry, logwood and indigo." Journal of Mass Spectrometry 41(5): 613-622. Sachdev, R. R. (2014). Method for dyeing a textile product using Neem and Holy brasil extraxt. U. Patent. India. US 8,697,429 B2. Sastry, D. N., T. Prabhakar, et al. (2016). "Studies on preparation of Bio-Paints using fungal bio-colors." Pigment & Resin Technology 45(2): 79-85. Shahid, M., I. Shahid ul, et al. (2013). "Recent advancements in natural dye applications: a review." Journal of Cleaner Production 53: 310-331. Shanmugam, V., S. Manoharan, et al. (2013). "Performance of dye-sensitized solar cells fabricated with extracts from fruits of ivy gourd and flowers of red frangipani as sensitizers." Spectrochimica Acta Part A: Molecular and Biomolecular Spectroscopy 104(3): 35-40. Suyitno (2001). Dynamic Modelling and Experimental Study of Indonesian Low Rank Coal Drying in a Fluidized Bed Using Superheated Steam. Mechanical Engineering. Bandung, Indonesia, Bandung Institute of Technology. Master. Suyitno (2007). Pengembangan Gasifikasi Biomasa Sebagai Alternatif Energi Ramah Lingkungan. National Seminar on ―Tactics and Environmental Friendly Solutions in Fulfilling the National Electricity Necessitate‖, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Indonesia. Suyitno (2007). Process Simulation of Wood Pyrolysis, Char Reduction and Partial Oxidation of Staged Gasification Using CFD. Institute of Thermal Engineering. Graz, Austria, TU Graz. Doctoral Dissertation.
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 23
Pengembangan Riset dan Hilirisasi Bahan Pewarna Alam... Suyitno (2008). Teknologi Gasifikasi Biomasa untuk Penyediaan Listrik dan Panas Skala Kecil Menengah. Surakarta, Indonesia, UNS Press. Suyitno, Z. Arifin, et al. (2014). "Optimization Parameters and Synthesis of Fluorine Doped Tin Oxide for DyeSensitized Solar Cells." Applied Mechanics and Materials 575(2014): 689-695. Suyitno, Y. Hidayat, et al. (2008). Karakteristik Bahan Bakar Alternatif Hasil Pirolisis Lambat Sekam Padi Surakarta, Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Sebelas Maret. Suyitno, W. Juwana, E., et al. (2009). Prototipe Pembangkit Listrik 10 kW Tenaga Gasifikasi Bertingkat FLexi Biomass yang DIlengkapi Plasm Tar Reduction. Surakarta, Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Sebelas Maret. Suyitno and F. Lettner (2005). CFD Modelling of External Heated Pyrolysis of Wood Chips. 14th European Biomass Conference, Paris, France. Suyitno, F. Lettner, et al. (2006). Process Simulation of Char Reduction in a Multistage Gasifier. Conference of Fluid and Thermal Energy Conversion 2006, Jakarta, Indonesia. Suyitno, F. Lettner, et al. (2005). Devolatilization in Biomass Pyrolysis: Influence of Solid Size, Moisture Content and Heat Radiation. International Energy Conference, Jakarta, Indonesia. Suyitno, F. Lettner, et al. (2005). Research and Progress in Biomass Gasification CHP and Related Issues at the Institute of Thermal Engineering, Graz University of Technology. International Energy Conference, Jakarta, Indonesia. Suyitno, F. Lettner, et al. (2005). Working and Research Programme: Biomass Gasification CHP and Related Issues at the Institute of Thermal Engineering, Graz University of Technology. International Energy Conference, Jakarta 5-7 August 2005. Suyitno, M. Nizam, et al. (2010). Teknologi Biogas; Pembuatan, Operasional dan Pemanfaatan. Yogyakarta, Indonesia, Graha Ilmu. Suyitno, D. N. Rachmad, et al. (2014). "Effect of Natural and Synthetic Dyes on the Performance of DyeSensitized Solar Cells Based on ZnO Nanorods Semiconductor." Applied Mechanics and Materials 699: 577-582. Suyitno, A. H. Wibowo, et al. (2011). Metode Pengayaan Kandungan Hidrogen dalam Producer Gas Sekam Padi untuk Produksi Bahan Bakar Cair dan Pembangkit Listrik Berefisiensi Tinggi. Surakarta, Indonesia, LPPM UNS. Suyitno, S., T. J. Saputra, et al. (2015). "Stability and Efficiency of Dye-Sensitized Solar Cells Based on PapayaLeaf Dye." Spectrochimica Acta - Part A: Molecular and Biomolecular Spectroscopy 148(5 September 2015): 99-104. Tekerek, S., A. Kudret, et al. (2011). "Dye-sensitized solar cells fabricated with black raspberry, black carrot and rosella juice." Indian J. Phys 85: 1469-1476. Thambidurai, M., N. Muthukumarasamy, et al. (2011). "Dye-sensitized ZnO nanorod based photoelectrochemical solar cells with natural dyes extracted from Ixora coccinea, Mulberry and Beetroot." Mater Electron 22: 1662-1666. Usop, R., Z. H. Z. Abidin, et al. (2016). "The colour stability of natural dye coating films consisting of chlorophyll after exposed to UV-A." Pigment & Resin Technology 45(3): 149-157. Wongcharee, K., V. Meeyoo, et al. (2007). "Dye-sensitized solar cell using natural dyes extracted from rosella and blue pea flowers." Solar Energy Materials and Solar Cells 91: 566-571. Wongsookin, K., R. Saowanee, et al. (2008). "Study of an Al(III) complex with the plant dye brazilein from Caesalpinia sappan Linn." Journal Science Technology 15. Zhou, H., L. Wu, et al. (2011). "Dye-Sensitized Solar Cell Using 20 Natural Dyes as Sensitizer." Journal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry 219(2-3): 188–194.
Prof. Dr. techn. Suyitno, S.T., M.T. | 24