PEMODELAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM JARINGAN REVERSE LOGISTICS UNTUK INDUSTRI PEMBONGKARAN KAPAL BEKAS Widha K Ningdyah, Ahmad Rusdiansyah, Maria Anityasari Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected];
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuat model jaringan logistik untuk aktivitas pembongkaran kapal bekas (ship dismantling), dimulai dari proses pengadaan kapal hingga proses re-distribusi ke perusahaan manufaktur baja sebagai konsumen akhir dari bisnis ini. Model reverse logistics untuk kapal pada penelitian ini dibuat dengan berdasarkan pengamatan pada aktivitas bisnis di Indonesia dan diperkuat dengan literatur review mengenai aktivitas yang sama di beberapa negara lain. Model yang dikembangkan bertujuan untuk mengoptimalkan profit yang didapatkan oleh pengusaha besi tua mengingat fluktuasi dan sensitifitas harga yang sangat berpengaruh terhadap keuntungan pengusaha. Variabel keputusan yang digunakan pada penelitian ini adalah pemilihan lokasi pembongkaran kapal, keputusan untuk tunda atau lanjutkan proses pembongkaran kapal dan pengambilan keputusan untuk simpan atau jual langsung hasil reverse logistics. Uji numerik dilakukan untuk mengukur performansi model. Uji numerik dilakukan dengan menggunakan 2 set data harga berdistribusi normal dan uniform dimana masing-masing data set diturunkan menjadi dua data set baru yang dibedakan berdasarkan interval perubahan harga. Skenario dirancang dengan melakukan perubahan pada beberapa variabel untuk mengetahui pengaruhnya terhadap optimasi profit. Hasil uji numerik menunjukkan bahwa secara umum model dan algoritma optimasi nilai profit dapat menghasilkan kebijakan yang menguntungkan untuk mencapai profit yang optimal. Model yang dikembangkan pada penelitian ini dapat digunakan sebagai alat untuk membantu proses pengambilan keputusan bagi pengusaha industri pembongkaran kapal bekas. Kata kunci : reverse logistics, industri pembongkaran kapal, fluktuasi harga, optimasi profit, alat pengambilan keputusan.
ABSTRACT This research is aimed to model reverse logistics network for shipbreaking industry, initiate with obsolete ship procurement process trough redistribution of output to steel manufacturer as the end costumer from this business. In this research, reverse logistics model for shipbreaking industri wss developed based on observation to the real business activity in Indonesia supported by literature review about the same business in other countries.The objective of the developed model is to optimize the profit gained by the shipbreaking industry considering cost for shipbreaking and price fluctuation.The decision variables include location selection for shipbreaking process and decision making to hold or sell the output of reverse logistics process. Numerical test was done to measure the model performance. It was done by using two set of price data distributed in normal and uniform. Form each of data set then was generated two data sets which differed by price interval changes. Scenarios were designed by changing several parameter to observe the impact to profit gained. Result from numerical test shows that generally model and algorithm to optimize profit provides advantages to increase the optimal profit. Model developed in this research then is used as basis to design a decision support system for the shipbreaking industry. Keywords : reverse logistics, shipbreaking indsutry, price fluctuation, profit optimation, decision support systems.
1. Pendahuluan Penelitian ini bertujuan untuk membuat model jaringan logistik untuk aktivitas pembongkaran kapal tua (ship dismantling) yang berada pada akhir siklus hidupnya, dimulai dari proses pengadaan kapal hingga proses re-distribusi ke perusahaan manufaktur baja sebagai konsumen akhir dari bisnis ini. Model reverse logistics untuk kapal pada penelitian ini dibuat dengan berdasarkan pengamatan pada aktivitas bisnis di Indonesia dan diperkuat dengan literatur review mengenai aktivitas yang sama di beberapa negara lain, seperti India (Hess, dkk., 2001 ; Reddy, dkk., 2003) dan Turki (Nesser, dkk., 2008). Ship Dismantling merupakan suatu proses awal penting dari suatu reverse logistics untuk industri baja. Reverse logistics saat ini menjadi salah satu alternatif terbaik yang dapat dipertimbangkan untuk mengurangi keterbatasan sumber daya bahan baku. Selain itu, reverse logistics terbukti dapat memberikan nilai ekonomi bagi para pelakunya (Rivera dan Ertel, 2008). Dilain pihak, isu lingkungan menjadi salah satu motivasi terkuat untuk melakukan reverse logistic (misalnya : Francas dan Minner, 2009; Schultzmann, dkk., 2006). Aktivitas utama dari reverse logistics adalah mengumpulkan produk yang akan diperbaharui dan melakukan redistribusi material baru yang dihasilkan (de Britto, dkk., 2002). Pada literatur, beberapa penelitian sebelumnya telah banyak membahas tentang desain jaringan logistik untuk reverse logistics. Desain jaringan logistik dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam prosesnya. Hingga saat ini, berbagai penelitian tentang desain jaringan logistik telah dibuat untuk mengatasi permasalahan untuk produk tertentu (Barros, dkk., 1998; Biehl, dkk., 2007; Rivera dan Ertel, 2008; Nunes, dkk., 2009), dengan mengambil kondisi pada negara tertentu (Rivera dan Ertel, 2008; Nunes, dkk., 2009) dan dengan sistem operasional dan kondisi tertentu (Min dan Ko, 2008; Sayed, dkk., 2008; Lee dan Dong, 2009). Setiap jaringan logistik didesain secara spesifik untuk mengatasi masalah yang timbul bergantung pada karakteristik dan asumsi yang ditetapkan.
Walaupun telah banyak beberapa penelitian di bidang jaringan logistik untuk reverse logistics, namun demikian belum ada yang membahas secara spesifik untuk industri pembongkaran kapal. Penelitian ini berupakan upaya untuk mengisi research gap terebut. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada perancangan model jaringan logistik untuk industri pembongkaran kapal. Model jaringan logistik dikembangkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu : (1) Pemilihan lokasi pembongkaran kapal, terkait dengan fasilitas dan biaya yang muncul untuk tiap lokasi yang potensial; (2) Keputusan penundaan proses pembongkaran kapal beserta waktunya terkait dengan fluktuasi harga dan keuntungan yang akan diperoleh; dan (3) Keputusan jual atau simpan besi tua yang dihasilkan pada saat terjadi perubahan harga jual besi tua pada manufaktur. Lebih jauh lagi, model yang dibuat akan digunakan sebagai alat pengambil keputusan dalam proses bisnis untuk mendapatkan profit yang optimal dan meminimalkan resiko kerugian yang harus ditanggung ketika harga jual besi tua menurun. Beberapa parameter biaya yang menjadi pertimbangan antara lain adalah biaya transportasi, biaya operasional, biaya penyimpanan, serta biaya dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pembongkaran kapal itu sendiri. Dalam industri pembongkaran kapal keputusan penyimpanan material didahului oleh adanya keputusan pembongkaran atau penundaan. Keputusan tersebut dipengaruhi oleh harga jual besi tua yang berlaku pada saat itu dan lead time pembongkaran agar dapat diperoleh profit yang optimal. Harga jual besi tua selama ini ditetapkan oleh pihak manufaktur. Penetapan harga dibuat berdasarkan kebutuhan manufaktur terhadap supply besi tua. Dilain pihak penyedia besi tua, dalam hal ini pelaku aktivitas pembongkaran kapal, diharapkan memiliki persediaan yang selalu mencukupi ketika ada permintaan. Hal ini menjadi permasalahan ketika harga yang ditetapkan oleh pihak manufaktur tidak sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyediakan besi
2
tua itu sendiri. Pada dasarnya pelaku bisnis besi tua memiliki hak untuk menunda penjualan besi tuanya. Oleh karena itu, beberapa pelaku bisnis ini cenderung untuk menyimpan barangnya hingga mendapatkan harga yang sesuai. Namun dilain pihak, kebanyakan pelaku bisnis dengan modal kecil menjual produknya sesegera mungkin ke manufaktur dan mengalami kerugian. Pilihan tersebut diambil karena kebutuhan terhadap modal kembali sangat besar dengan anggapan untuk menghindari resiko kerugian yang lebih besar. Penelitian ini akan membuat model keputusan yang dapat membantu para pelaku bisnis untuk mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh dan atau meminimalkan resiko terkait dengan permintaan dan harga beli oleh manufaktur. Selain pengembangan model, penelitian ini juga akan melakukan berbagai percobaan untuk mengkaji berbagai skenario pengambilan keputusan. Berbagai skenario tersebut dikaji menggunakan alat bantu keputusan yang dikembangkan berdasarkan model diatas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai tambahan literatur akademik dalam bidang reverse logistics sekaligus memberikan wacana baru bagi praktisi, khususnya yang bergerak dalam industri pembongkaran kapal ini. 2. Jaringan Logistik Industri Pembongkaran Kapal Jaringan Logistik untuk industri Pembongkaran Kapal dapat digolongkan sebagai Jaringan Logistik Manufakturing. Hal ini sesuai dengan pendapat de Britto, dkk (2002) bahwa jaringan logistik untuk remanufacturing biasanya diaplikasikan untuk produk atau mesin dengan tingkat kompleksitas tinggi, dimana didalamnya banyak mengandung komponen dan modul. Pada proses pengerjaannya, biasanya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar (labor intensive). Hal ini diperkuat bahwa kapal sebagai produk yang akan di-remanufacturing memiliki karakteristik produk dengan banyak komponen dan modul pada desainnya serta membutuhkan jumlah tenaga kerja yang tidak sedikit dalam pengerjaannya. Faktor lain yang menjadi karakteristik jaringan logistik ini adalah bentuk dan lokasi penyimpanan material. Material dapat disimpan
dalam dua bentuk, yaitu sebagai kapal bekas, sebelum dilakukan proses pembongkaran dan besi tua. Penyimpanan dalam bentuk kapal bekas dilakukan di pantai, dimana hal ini tentunya akan membutuhkan biaya dampak lingkungan, selain biaya inventory. Dilain pihak, penyimpanan dalam bentuk besi tua dapat dilakukan di gudang persediaan, dan hanya akan timbul biaya inventory. Namun demikian, terdapat trade-off antar kedua alternatif lokasi tersebut, terkait dengan jarak angkut dari lokasi pengumpulan produk ke lokasi pembongkaran atau ke lokasi warehouse. Oleh karena itu, perlu dilakukan perhitungan yang cermat agar dapat diambil keputusan yang tepat. Pada prakteknya, jaringan logistik ini ditandai dengan tersebarnya lokasi supply di berbagai wilayah dengan fasilitas pembongkaran di beberapa lokasi yang berbeda pula. Perbedaan antar fasilitas pembongkaran kapal ditandai dengan perbedaan peralatan/fasilitas yang dipengaruhi oleh type fasilitas (permanen dan temporary) dan sumber daya manusia. Kedua hal tersebut akan berpengaruh pada besarnya biaya operasional yang dibutuhkan. Selain itu kebijakan pemerintah yang terdesentralisasi juga berpengaruh pada besarnya biaya dampak terhadap lingkungan. Hasil pengamatan awal penelitian ini di lapangan menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dilakukan tanpa memperhatikan secara detail aliran material , dalam hal ini kapal, dimana dalam hal ini akan berpengaruh pada total biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, pelaku bisnis kurang detail dalam memperhitungan komponen biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses ini dari awal hingga akhir. Sehingga seringkali dinyatakan oleh pengusaha kapal bahwa banyak sekali terjadi biaya tidak terduga dalam bisnis ini. Kedua hal diatas menunjukkan bahwa aktivitas pembongkaran kapal, khususnya jaringan logistiknya, belum terstruktur dengan baik sehingga tidak dapat diukur tingkat efisiensinya. Bisnis yang dinilai menguntungkan bisa jadi malah merugikan, ketika dilakukan pengukuran terhadap prosesnya. Ditambah lagi dengan kondisi harga besi tua yang saat ini terus mengalami fluktuasi, dimana hal ini akan berpengaruh pada profit yang seharusnya didapatkan oleh pengusaha. Belum lagi biaya atas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh
3
aktivitas itu sendiri yang selama ini belum terlalu diperhatikan, khususnya di Indonesia. 3. Pengembangan Model dan Algoritma Model ini ditujukan untuk menetapkan strategi yang tepat untuk mengoptimalkan profit yang diperoleh. Dalam situasi yang berbeda, model yang dibuat juga dapat digunakan untuk meminimalkan resiko kerugian pengusaha besi tua ketika menggunakan kapal bekas sebagai komoditinya. Bagian ini akan membahas rancangan desain model beserta asumsi yang menyertainya. Beberapa asumsi dibuat sebagai dasar untuk melakukan what-if analysis. Namun, asumsi tersebut dapat dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan data pada kondisi yang berbeda. 3.1 Asumsi Model Sebuah model simulasi didesain untuk menggambarkan kondisi industri ship dismantling bekas beserta permasalahannya. Dalam model simulasi ini dibuat beberapa asumsi sebagai simplifikasi dari kondisi sebenarnya. Dilain pihak, asumsi juga digunakan untuk menggambarkan kondisi ideal dari suatu system.Asumsi yang berlaku untuk model yang diajukan adalah sebagai berikut : 1. Manufaktur sebagai konsumen besi tua, tersebar pada lokasi pasar yang sama, sehingga biaya transportasi untuk mengirimkan besi tua dari fasilitas ke tiap manufaktur diasumsikan sama. 2. Profit yang diperhitungkan hanya berasal dari penjualan besi tua. 3. Perubahan harga besi tua dan intervalnya ditetapkan secara random sesuai dengan informasi pengusaha besi tua. 4. Kapasitas fasilitas ditetapkan berdasarkan ketersediaan sumber daya manusia. 3.2 Penetapan Parameter dan Variabel yang digunakan dalam Model 3.2.1 Permintaan (Demand) terhadap besi tua Permintaan terhadap besi tua selalu ada setiap periodenya. Dengan demikian, besi tua yang dihasilkan oleh pengusaha ship dismantling selalu terserap oleh pasar. Namun besarnya jumlah besi tua yang terserap bergantung pada keputusan dari pengusaha kapal bekas, dimana keputusan tersebut dipengaruhi oleh harga jual besi tua yang sedang berlaku pada saat itu.
3.2.2 Supply Kapal Bekas dan Besi Tua Kapal bekas untuk dibongkar selalu tersedia. Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa pengusaha kapal bekas secara teratur mengerahkan stafnya untuk mencari kapal bekas yang tersebar tidak hanya di wilayah perairan Indonesia, namun juga di berbagai penjuru dunia. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pasokan kapal bekas yang tidak terbatas akan berpengaruh pada ketersediaan pasokan besi tua. 3.2.3 Penetapan Harga Kapal Bekas Harga kapal bekas, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dipengaruhi oleh berbagai factor, meliputi berat kapal bekas (LDT), komposisi logam yang dimiliki oleh kapal tersebut, dan kondisi kapal itu sendiri. 3.2.4 Penetapan harga besi tua Harga besi tua pada model ini ditetapkan oleh manufaktur sebagai konsumen. Pada saat krisis global, banyaknya persediaan yang dimiliki oleh manufaktur mempengaruhi harga jual besi tua. Semakin banyak persediaan yang dimiliki oleh menufaktur pada suatu periode, semakin rendah harga yang ditetapkan (Jamil, 2009). Namun pada saat ini, tingginya harga besi tua yang ditetapkan dipengaruhi oleh impor besi dari Negara Asia lain seperti Cina dan Korea (Farid, 2010). Perubahan harga sering terjadi pada periode random. Selain itu besarnya perubahan harga yang terjadi tidak dapat diketahui secara pasti. Faktor harga jual besi tua memiliki tingkat ketidak pastian yang tinggi. Farid (2010), seorang pengusaha besi tua, menyatakan bahwa sejak terjadinya krisis global, harga besi tertinggi pernah mencapai Rp 6700/kg dengan harga terendah mencapai Rp 2900/kg. Hal ini menunjukkan interval harga yang cukup tinggi yaitu Rp 3800. Perubahan harga terjadi pada interval waktu yang tidak menentu, sehingga tidak dapat ditetapkan waktu dimana harga akan berubah. Pada penelitian ini, interval waktu perubahan harga ditetapkan secara random dan atau berdasarkan aturan tertentu. 3.2.5 Komponen Biaya Untuk Proses Ship dismantling Bekas Komponen biaya yang digunakan untuk industri ship dismantling bekas pada dasarnya sama untuk tiap alternatif fasilitas. Perbedaan
4
komponen biaya terletak pada biaya pengapungan kapal yang hanya berlaku untuk kapal karam dan akan dibongkar di fixed facility atau dynamic facility. Selain itu, ship dismantling pada on the spot facility tidak membutuhkan biaya pengiriman kapal bekas, karena prosesnya dilakukan langsung pada lokasi ditemukannya. Hanya saja biaya operasional menjadi jauh lebih mahal jika dilakukan pada lokasi karamnya.
Rn : Estimasi revenue yang akan diperoleh oleh kapal ke n
µ
: Koefisien produktifitas pada tiap tahap
Komponen biaya yang digunakan pada proses ship dismantling meliputi :
LTn
: Lead time proses untuk kapal n
LTp
: Lead time kapal n untuk tahap persiapan
2. Biaya Operasional Proses Ship dismantling Bekas
LTd
: Lead time kapal n untuk tahap dismantling
3. Biaya tetap untuk fixed facility atau Biaya sewa untuk dynamic facility.
LTs
: Lead time kapal n untuk tahap scrapping
4. Biaya Pengiriman Kapal Bekas
LTmaks
5. Biaya Transportasi untuk Mengirimkan Besi Tua
: Lead time maksimum yang diijinkan untuk membongkar kapal n
P0
: Harga jual besi pada periode awal
6. Biaya Inventori
Pt
: Harga jual besi pada periode t
7. Biaya Pengapungan Kapal
Pmaks(0) : Profit yang dihasilkan dengan harga jual besi P0
1. Biaya Pembelian Kapal Bekas
8. Biaya Dampak Lingkungan 3.2.6 Notasi Notasi-notasi yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Indeks: I = {1,.., i} menyatakan lokasi kapal berasal sekaligus menyatakan lokasi bongkar kapal dengan metode on the spot shipbreaking
rnt
: Estimasi total berat kapal yang akan dibongkar (Death Weight Tonnage) : Koefisien yang menyatakan komposisi besi yang dikandung oleh kapal tua
π
: Koefisien profit
P’makst : Profit yang dihasilkan oleh inventori pada periode t dengan harga jual Pt TPmaks : Target profit yang ditetapkan untuk seluruh besi tua yang dihasilkan TP’maks: Target profit turunan yang dihasilkan dari penjualan inventori pada t Dt
J = {1,.., j} menyatakan set dari lokasi fasilitas permanen (fixed facility)
: Jumlah hari penundaan (delay) yang diijinkan
d’t
K ={1.., k} menyatakan set dari lokasi fasilitas temporari (dynamic facility)
: Jumlah hari penundaan (delay) yang telah terjadi
dt
M={1,..,m}menyatakan manufaktur
: Jumlah hari penundaan (delay) yang belum terjadi
Mn
: Biaya pembelian kapal tua ke -n
set
dari
lokasi
N={1,...,n} menyatakan jumlah kapal yang masuk ke dalam sistem, baik yang akan dibongkar maupun yang sedang dibongkar
Mtot
: Total biaya pembelian kapal tua
TBn
: Total biaya untuk memproses kapal n pada fasilitas terpilih
Parameter :
TBit
dmt : Permintaan besi tua oleh manufaktur m pada periode t
: Total biaya hingga menghasilkan sejumlah besi tua pada periode t
It
: Level persediaan pada periode t
Sn
Wt
: Jumlah orang yang dipekerjakan
W
: Jumlah maksimum pekerja yang tersedia
: Estimasi berat total besi tua yang dihasilkan oleh kapal ke n
5
Ws
: Waktu standar untuk menghasilkan 1 ton besi tua
Wh
: Jumlah jam kerja dalam sehari
Tf
: Biaya fixed untuk mengirimkan besi tua setiap kali pengiriman
Sn(t)
: Jumlah besi tua yang dihasilkan hingga periode t : Jumlah besi tua yang akan diproduksi pada periode t
Lc : Loading Capacity, yaitu batasan minimum jumlah besi tua dapat dijual Tcnijt : Biaya transportasi untuk mengirimkan kapal dari lokasi asal i ke fixed facility j pada periode t Tcnikt : Biaya transportasi untuk mengirimkan kapal dari lokasi asal i ke dynamic facility k pada periode t Fcnt : Biaya untuk mengapungkan kapal n pada periode t Ftj
: Biaya tetap untuk fixed facility j
Ftk
: Biaya sewa untuk dynamic facility k
Vcnjt : Biaya operasional untuk melakukan proses ship dismantling n pada fixed facility j diperiode t Vcnkt : Biaya operasional untuk melakukan proses ship dismantling n pada dynamic k diperiode t Vcnit : Biaya operasional untuk melakukan proses ship dismantling n pada on the spot facilities i diperiode t TScjm : Biaya transportasi untuk mengirimkan besi tua dari fixed facility j ke manufaktur m TSckm :Biaya transportasi untuk mengirimkan besi tua dari dynamic facility k ke manufaktur m TScim :Biaya transportasi untuk mengirimkan besi tua dari on the spot facility i ke manufaktur m EScnj : Biaya dampak lingkungan untuk kapal ke-n, pada fixed facility j EScnk : Biaya dampak lingkungan untuk kapal ke-n, pada dynamic facility k EScni : Biaya dampak lingkungan untuk kapal ke-n, pada on the spot facility j CI
: Fraksi biaya inventori
Kriteria performansi yang akan dijadikan acuan adalah maksimasi profit pengusaha besi tua dari industri ship dismantling bekas. Variabel keputusan yang akan dikalkulasi pada model ini adalah pemilihan lokasi fasilitas ship dismantling, kapan (t) proses pembongkaran atau penundaan kapal dilakukan serta kapan sebaiknya dilakukan penjualan dan berapa (dt) jumlah besi tua yang sebaiknya dijual pada periode (t) sehingga dapat diperoleh profit optimal. Besarnya profit dipengaruhi oleh informasi harga jual besi tua (Pt) pada tiap periode dan besarnya loading capacity (Lc) yang menentukan jumlah pengiriman besi tua ke manufaktur. 3.2.7 Pengembangan Model dan Algoritma Model dan Algoritma yang dikembangkan terdiri dari lima tahapan. Secara detail langkah pada tiap tahapan dapat dijelaskan pada gambar 4, 5 dan 6. Tahap 1. Pemilihan Lokasi Fasilitas Bongkar Kapal Gambar 4.4 menjelaskan mengenai proses yang terjadi pada tahap satu dan tahap dua. Secara detail proses yang terjadi dapat dijelaskan pada bagian berikut ini. Tahap ini ditujukan untuk memilih lokasi fasilitas bongkar kapal. Pemilihan lokasi didasarkan pada optimal profit yang dapat diperoleh dari tiap alternatif lokasi pada periode awal, dimana t = 0. Input yang dibutuhkan pada dasarnya adalah data-data terkait dengan kapal sebagai inisialisasi biaya yang dibutuhkan. Data mengenai kapal bekas meliputi : a. Tipe Kapal b. Berat Kapal Tipe kapal pada penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu obsolete ship (kapal bekas) dan sunken ship (kapal karam). Perbedaan jenis kapal akan berpengaruh pada banyaknya alternatif lokasi fasilitas ship dismantling. Sedangkan berat kapal akan berpengaruh pada estimasi besarnya biaya yang dibutuhkan dan besarnya output besi tua yang dapat dihasilkan. Secara detail, langkah-langkah para tahap ini dijelaskan sebagai berikut. 1. Inputkan tipe dan berat kapal pada sistem. Kemudian lakukan inisialisasi biaya untuk 3 atau 2 alternatif proses, bergantung pada tipe kapal. Terdapat 2 alternatif lokasi untuk
6
obsolete ship, yaitu fixed facility dan dynamic facility. Sedangkan untuk sunken ship terdapat 3 alternatif lokasi yaitu fixed facility, dynamic facility dan on the spot
facility. Perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan event yang terjadi pada fixed facility dan dynamic facility pada obsolete ship dan sunken ship.
Gambar 1. Flowchart tahap 1 dan tahap 2 dari algoritma model
2. Selanjutnya adalah melakukan perhitungan biaya bongkar kapal tanpa penundaan (postponement). Secara detail, perhitungan biaya bongkar untuk tiap fasilitas dilakukan dengan persamaan yang akan ditunjukkan pada persamaan berikut ini. a. Alternatif biaya bongkar untuk obsolete ship (1) Biaya bongkar fasilitas fixed untuk obsolete ship :
(2) Biaya bongkar fasilitas dynamic untuk obsolete ship :
(3) Biaya bongkar fasilitas fixed untuk sunken ship :
(4) Biaya bongkar fasilitas dynamic untuk sunken ship :
(5) Biaya bongkar on the spot facility untuk sunken ship :
3. Sedangkan revenue yang diperoleh pada periode awal dihitung dengan menggunakan persamaan berikut. b. Alternatif biaya bongkar untuk sunken ship
7
4. Selanjutnya pemilihan lokasi dilakukan dengan mencari profit yang paling optimal dari alternatif lokasi yang ada. Pemilihan lokasi untuk ship dismantling ke –n dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut ini. a. Untuk obsolete ship Maks :
(Pmaks(0)) yang dapat dicapai tanpa adanya postponement. Disebut nilai maksimum, karena profit yang diperoleh hanya berdasarkan biaya ship dismantling tanpa dipengaruhi oleh biaya penundaan. Keluaran dari tahap ini akan digunakan pada perhitungan tahap 2. Dan untuk selanjutnya, total biaya yang dibutuhkan untuk alternatif lokasi terpilih akan dinyatakan dengan TBn. Tahap 2. Perhitungan Maksimum (TPmaks)
Target
Profit
Pada tahap ini ditetapkan target profit yang ingin dicapai dan tidak dipengaruhi oleh biaya penundaan. Besarnya profit yang dicapai biasanya ditetapkan berdasarkan Harga Beli kapal bekas dan koefisien nilai profit. Koefisien profit dinyatakan dalam prosentase. Target profit maksimum untuk sebuah kapal – n dihitung dengan persamaan berikut. Dengan batasan :
b. Untuk sunken ship Maks :
Gambar 5 menjelaskan secara ringkas mengenai proses yang terjadi pada tahap tiga dan tahap empat. Secara detail, proses yang terjadi pada tiap tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Tahap 3. Pengambilan Keputusan Untuk ”Tunda” Atau ”Lanjutkan” Proses Ship Dismantling Keluaran dari tahapan sebelumnya digunakan sebagai input pada tahapan ini. Pmaks(0) (keluaran dari tahap 1) dibandingkan dengan TPmaks (keluaran tahap 2). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut. TPmaks - Pmaks(0) ≤ 0
Dengan batasan :
Pada tahap ini, selain didapatkan fasilitas terpilih, diperoleh pula nilai profit maksimum
Jika hasil yang didapatkan memenuhi persamaan diatas, maka keputusan yang diambil ada ”lanjutkan”, artinya lanjutkan proses ke tahap ship dismantling, dimana keputusan langkah ini akan menjadi state awal untuk proses ship dismantling tersebut. Dan sebaliknya, jika persamaan diatas tidak dapat dipenuhi, maka keputusan yang diambil adalah ”tunda”, artinya tunda proses ship dismantling. Keputusan ini akan terus dievaluasi seiring dengan bertambahnya nilai t. Tahap 4. Perhitungan Lead Time Pada Fasilitas Terpilih
8
Tahapan ini bertujuan untuk menghitung lead time untuk menyelesaikan proses ship dismantling pada suatu fasilitas terpilih. Perlu dicatat sebelumnya bahwa lead time pengiriman kapal bekas ke fasilitas (LTk) dan lead time
proses pengapungan kapal (LT a) tidak termasuk dalam perhitungan lead time proses perhitungan kapal (LTn). Lamanya proses ship dismantling ditentukan oleh banyaknya jumlah tenaga kerja yang tersedia di fasilitas tersebut.
Gambar 2. Flowchart tahap 3 dan tahap 4 dari algoritma model
Proses ship dismantling, sebagaimana dijelaskan pada bab II, terdiri dari 3 tahap yaitu: 1. Tahap Persiapan 2. Tahap Dismantling 3. Tahap Scrapping Tiap tahapan diatas memiliki komposisi lead time-nya masing-masing terhadap total lead time proses dengan koefisien produktifitas yang berbeda pula. Koefisien produktifitas menyatakan tingkat produktifitas pekerja untuk menghasilkan besi tua pada tiap tahap terkait dengan proses yang sedang berjalan. Komposisi lead time tiap tahap dan koefisien produktifitasnya secara berturut-turut dinyatakan dengan [(LTp, ) ;(LTd, ) ;(LTs, )].
dengan dimana dengan komposisi tiap tahap terhadap total lead time proses berturut-turut dinyatakan dengan : -
Lead time tahap persiapan
-
Lead time tahap dismantling
-
Lead time tahap scrapping
Dengan mensubstitusikan LT n dengan persamaan diatas, maka diperoleh persamaan sebagai berikut.
Dengan demikian, input yang dibutuhkan untuk tahapan ini terdiri dari : a. Jumlah tenaga kerja tersedia pada fasilitas (Wt) b. Waktu standar pekerja untuk menghasilkan besi tua (WS) c. Jumlah jam kerja/hari (Wh) Waktu standar dihitung dengan menggunakan informasi yang didapat dari lapangan. Sedangkan total lead time untuk kapal n dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.
Kemudian masukkan nilai komposisi lead time dan koefisien produktifitas, sehingga didapatkan persamaan
Jika nilai LT n telah didapat, maka nilai LTp, LTd, LT s dapat dihitung. Persamaan tersebut
9
diatas berlaku dengan batasan kapasitas Wt ≤ W, menyatakan bahwa jumlah pekerja yang digunakan tidak lebih dari jumlah total pekerja yang tersedia di suatu lokasi fasilitas.
ts untuk Pembedaan tersebut ditujukan untuk mempermudah proses evaluasi, terkait dengan produktifitas yang berbeda untuk tiap tahap.
Dengan demikian, maka lead time proses untuk tiap tahap dan untuk seluruh proses dapat diketahui. Selain itu, pada tahap ini ditetapkan pula LTmaks yang menyatakan lead time maksimum suatu proyek. Horison waktu untuk LTmaks ditetapkan berdasarkan target waktu pengembalian modal yang ditetapkan oleh pengusaha. Maka waktu penundaan proses yang diijinkan dihitung dengan persamaan Dtn = LTmaks - LTn
Untuk setiap perubahan t, disertai dengan informasi mengenai harga jual besi tua yang berlaku saat itu sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan.
Waktu delay menyatakan penundaan yang diijinkan, baik penundaan proses maupun penundaan penjualan. Gambar 3 menjelaskan secara ringkas proses yang terjadi pada tahap 5. Dimana tahapan tersebut secara detail dapat dilihat pada penjelasan berikut ini. Tahap 5 : Update ”t” Dan Evaluasi Entitas Untuk Tiap “t” Tahap 5 dilakukan untuk mengevaluasi entitas ketika terjadi penambahan waktu sejumlah t. Perubahan variabel pada entitas dihitung untuk setiap penambahan t sebelum akhirnya dilakukan pengambilan keputusan untuk mengoptimalkan profit yang diperoleh. Terdapat 2 (dua) jenis keputusan yang diambil pada setiap t, yaitu : a. Keputusan untuk “lanjutkan” atau “tunda” proses ship dismantling pada periode t. b. Keputusan untuk “jual” atau “simpan” penjualan besi tua pada periode t. Proses evaluasi entitas untuk setiap transisi t dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut. 1. Perubahan setiap waktu dinyatakan dengan t = t +1. Evaluasi dilakukan untuk setiap t, dimana t menyatakan jumlah hari kerja berlangsungnya proses ship dismantling ditambahkan dengan proses awal sebelum dilakukan ship dismantling. Terkait dengan adanya tahapan dalam proses ship dismantling, maka dalam penelitian ini, t dibedakan menjadi tiga berdasarkan proses yang sedang terjadi pada t tersebut, yaitu : tp untuk td untuk
2. Langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan variabel tiap entitas sebagai dasar evaluasi untuk pengambilan keputusan. Keputusan pertama adalah untuk menentukan keputusan untuk melanjutkan proses atau menunda, dengan harga jual besi tua pada t. Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut. - Lakukan perhitungan Profit untuk periode t dengan persamaan
- Kemudian gunakan persamaan TPmaks – Pmaks [t,Pt] ≤ 0 untuk mengambil keputusan. Putuskan untuk ‘lanjutkan’ proses jika persamaan terpenuhi, dan ‘tunda’ proses jika sebaliknya. Jika keputusan adalah ‘tunda’ proses, maka periksa kondisi apakah jumlah hari penundaan yang belum terpakai memenuhi syarat Δdt ≤ Dt - d’t - Jika syarat terpenuhi, maka putuskan ‘tunda’ yang akan dieksekusi setelah satu tahap selesai, jika tidak maka putuskan untuk ‘lanjutkan’ proses. 3. Tahap selanjutnya adalah pengambilan keputusan penjualan besi tua yang dinyatakan dengan keputusan ‘jual’ dan ‘simpan’ penjualan. Pengambilan keputusan dilakukan dengan mengikuti tahapan sebagai berikut. - Hitung output produksi yang telah dihasilkan hingga periode t dengan menggunakan persamaan , dan dihitung dengan persamaan berikut : o Jika
maka berlaku
:
o Jika
maka berlaku
:
10
o Jika
maka berlaku
:
- Kemudian update jumlah inventori It dengan menggunakan persamaan Dimana pada langkah ini, dmt yang menyatakan jumlah besi tua yang terjual pada periode t belum diputuskan, sehingga dmt = 0.
Periksa apakah . Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka keputusan yang diambil adalah ‘simpan’ yang artinya tunda penjualan. Pada keputusan ini maka besarnya It tidak perlu di update karena tidak ada penjualan. Dan sebaliknya, jika kondisi tersebut terpenuhi, maka keputusan yang diambil adalah ‘jual’, yang artinya lakukan penjualan.
Gambar 3. Flowchart tahap 5 dari algoritma model
11
- Namun demikian, perlu kembali dilakukan pemeriksaan terhadap profit yang dapat diraih pada t dengan harga jual Pt. Langkah yang dilakukan pertama kali adalah menghitung biaya produksi untuk menghasilkan besi tua sejumlah It yang dinyatakan dengan Sedangkan revenue dengan menjual sejumlah I, dihitung dengan persamaan : Dengan asumsi awal bahwa akan dilakukan penjualan pada periode t, maka profit pada periode t dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
a. Jendela Opt-Shipbreak!!, bertujuan untuk memilih fasilitas yang memberikan profit yang paling optimal. b. Jendela kedua yaitu Simulation *OptShip!!*, bertujuan untuk melakukan simulasi sekaligus melakukan perhitungan dari tiap entitas untuk setiap perubahan setiap waktu. a. Jendela Opt-Shipbreak!! Gambar 4 menunjukkan tampilan awal dari jendela Opt-Shipbreak!!. Jendela ini terdiri dari empat panel, dimana tiap panel terdiri dari input dan atau output yang dikelompokkan berdasarkan fungsinya.
Target profit maksimal untuk penjualan periode t dihitung dengan menggunakan persamaan - Langkah selanjutnya yaitu melakukan evaluasi terhadap kelayakan penjualan hasil besi tua dengan menggunakan persamaan . Jika kondisi tersebut terpenuhi, maka putuskan untuk ‘jual’, dan kirim besi tua ke manufaktur. Namun jika tidak, maka putuskan ‘simpan’ dengan syarat t ≤ LTmaks. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka putuskan untuk ‘jual’. - Jika keputusan ‘jual’ dilakukan, maka update It dengan persamaan , dengan dt sejumlah It yang terjual. 4. Ulangi langkah 3 dan 4 hingga proses ship dismantling selesai dimana LTs < t ≤ LTmaks 5. Jika LT (s) < t ≤ LTmaks, maka evaluasi dilakukan langsung pada langkah 4, dan ulangi hingga It = 0 dan t > LTmaks. Demikian algoritma dijalankan hingga iterasi selesai dilakukan. 5. Desain Antarmuka Bagian ini menjelaskan tentang desain antarmuka dari DSS yang telah dibuat. DSS ini untuk selanjutnya disebut Opt-Ship!!ware. OptShip!!ware terdiri dari dari jendela utama, yaitu:
Gambar 4. Jendela Opt-Shipbreak!!
Panel pertama terdiri dari label dan button yang berfungsi sebagai input yang berlaku secara umum untuk proses. Panel pertama pulalah yang pertama kali diidentifikasikan inputnya pada saat memulai proses. Tampilan jendela Opt-Shipbreak!! yang telah diisi lengkap dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Tampilan jendela setelah pengambilan keputusan
c. Jendela Simulation *Opt-Ship!! Bagian ini digunakan untuk melakukan evaluasi dan update entitas pada setiap perubahan waktu. Jendela ini digambarkan pada gambar 5 diatas.
12
Hasil dari simulasi dapat dilihat pada gambar 6 dimana gantt chart, job status dan grafik akumulasi profit telah ter-update.
Gambar 6. Tampilan jendela setelah pengambilan keputusan
6. Analisis Hasil Uji Numerik Percobaan numerik dilakukan dengan menggunakan data lapangan dan disintesa dengan data hipotesis. Data hipotesis digunakan karena kurangnya ketersediaan data aktual di lapangan mengingat belum berjalannya prosedur dokumentasi yang baik di industri pembongkaran kapal. Beberapa kondisi diasumsikan berdasarkan kondisi yang terjadi di Indonesia. Percobaan ini menggunakan 2 type kapal sebagai input, yaitu kapal bekas dan kapal karam, dimana masing-masing memiliki parameter biaya yang berbeda. Kedua kapal tersebut akan dianalisa secara terpisah. Informasi mengenai kapal dan harga beli kapal diperoleh dari data aktual, namun parameter biaya lainnya diasumsikan.Uji numerik menunjukkan bahwa secara parsial, profit yang dihasilkan dipengaruhi waktu, yaitu lead time maksimum dan interval perubahan harga, namun tidak dipengaruhi oleh LC. Pengaruh yang diakibatkan oleh variabel-variabel tersebut ternyata berbeda untuk tiap data set harga. Selain itu, pengaruhnya juga tidak dapat dipolakan. Sehinggadalam hal ini dapat disimpulkan, bahwa secara bersama-sama lead time maksimum dan interval perubahan harga tidak berpengaruh terhadap profit yang dihasilkan. Namun perlu diketahui bahwa faktor waktu sangat terkait dengan harga besi tua pada suatu periode. Panjangnya lead time dan interval waktu perubahan harga akan berpengaruh terhadap tren harga yang terjadi selama proses pembongkaran kapal dan periode penjualannya.
Tren harga yang digunakan untuk uji numerik ini dapat dilihat pada gambar 7, 8, dan 9.
Gambar 7. Fluktuasi Harga Untuk Interval Perubahan 1 Hari
Gambar 8. Fluktuasi Harga Untuk Interval Perubahan 5 Hari
Gambar 9. Interval Harga Untuk Interval Perubahan 10 Hari
Tren harga antara data set harga berdistribusi normal dan uniform beserta turunannya memiliki pola yang hampir sama. Namun demikian terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan pada tren harga untuk interval perubahan 5 hari. Dari uji numerik yang telah dilakukan sebelumnya, dapat diihat bahwa untuk tren harga yang cenderung naik selama proses pembongkaran kapal dan periode penjualan besi tua berlangsung, akan menghasilkan profit yang tinggi dan bahkan cenderung melampaui target. Dan sebaliknya, jika tren harga menurun pada
13
saat proses pembongkaran dan khususnya pada saat fase penjualan, maka profit yang dihasilkan akan rendah. Pada suatu ketika dimana fluktuasi harga memiliki pola yang tidak teratur, maka tren harga pada saat fase penjualan seringkali berpengaruh pada profit, apalagi jika pada tren harga selama proses produksi cenderung rendah dan tidak mencapai target profit. Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa nilai profit tertinggi untuk semua skenario dicapai oleh data set berdistribusi uniform pada interval perubahan harga 1 hari. Panjang lead time maksimum tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada perbedaan profit yang dicapai. Hal yang sama berlaku untuk data set harga berdistribusi normal. Dapat dilihat untuk kedua kapal bahwa profit tertinggi dapat dicapai untuk interval perubahan 1 hari. Perbedaan interval mengacu pada tren harga yang berlaku selama proses pembongkaran kapal dan periode penjualan berlangsung. Melalui uji numerik ini terbukti bahwa untuk dua data set harga beserta turunannya, penggunaan algoritma dapat memberikan profit yang lebih tinggi dibandingkan tanpa menggunakan algoritma. Pada beberapa kasus profit yang dihasilkan tanpa menggunakan algoritma lebih tinggi daripada menggunakan algoritma. Namun demikian, terbukti bahwa besarnya peningkatan profit yang dengan algoritma dapat dicapai 26%, sedangkan penurunan profit yang diakibatkan implementasi algoritma mencapai maksimal 4%. Oleh karena itu, sementara ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan algoritma ini terbukti dapat mengoptimalkan profit pengusaha besi tua dari kapal dengan resiko perolehan profit minimum yang kecil. 6. Kesimpulan Analisa numerik berbasis data hipothesis dengan single ship entry telah dilakukan untuk validasi model, sekaligus untuk mengetahui pengaruh beberapa variabel terhadap profit optimal yang dapat dicapai dengan hasil sebagai berikut : a. Tidak ditemukan adanya pengaruh lead time maksimum secara langsung terhadap profit yang diperoleh b.Tidak ditemukan adanya pengaruh LC terhadap profit yang diperoleh
c. Tidak ditemukan adanya pengaruh interval waktu perubahan harga secara langsung terhadap profit yang diperoleh d.Lead time maksimum dan interval perubahan harga berpengaruh dalam menentukan tren harga selama proses ship dismantling dan fase penjualan besi tua. e. Tren harga yang terjadi selama proses ship dismantling dan fase penjualan besi tua berpengaruh pada pencapaian profit optimal.
Gambar 10. Perbandingan Profit Antar Distribusi Harga untuk Kapal Karam
Gambar 11. Perbandingan Profit Antar Distribusi Harga Untuk Kapal Bekas
Dari hasil uji numerik dengan menggunakan enam set data harga yang berbeda, membuktikan bahwa model dan algoritma yang dibuat dapat meningkatkan nilai profit hingga 26% dibandingkan tanpa algoritma, bergantung pada trend harga yang terjadi pada suatu periode tertentu. Dilain pihak, model dan algoritma ini dapat menurunkan nilai profit hingga 4%, namun dengan tanpa merubah pencapaian terhadap target profit.Model dan algoritma optimasi nilai profit dapat menghasilkan kebijakan yang menguntungkan untuk mencapai profit yang optimal. Dari penelitian ini terdapat beberapa saran sebagai arahan untuk penelitian lanjutan guna mengembangkan penelitian yang telah dilakukan, yaitu :
14
1. Penelitian ini menggunakan single ship entry sebagai bahan analisa dan evaluasi. Pada penelitian selanjutnya dapat digunakan multi ship entry untuk menganalisa profit jika terjadi multi entry pada sistem. 2. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan hasil penjualan komponen yang reusable dari kapal selain dari besi tua yang dihasilkan. 7. Daftar Pustaka ______________, H Mustofa, Pengusaha Sukses yang Buta Huruf. http:// www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/ 0312/ukm2.html (diunduh tanggal 18.02.09 12:45) ______________, Shipbreaking. http://www. globalsecurity.org/military/systems /ship/shipbreaking.htm (diunduh tanggal : 08-082009) Biehl,M. Prater, E. , Realff, MJ. (2007) Assessing performance and uncertainty in developing carpet reverse logistics systems. Computers & Operations Research 34 : 443– 463 De Brito, Maria.,”Reverse Logistics: a review of case studies,” Econometric Institute Report EI 2002-21, 2002. Fleischmann, Moritz. (2000). Quantitative Models for Reverse Logistics, Thesis, Rotterdam: Erasmus University Francas dan Minner, 2009. Manufacturing network configuration in supply chains with product recovery. Omega 37, 757 -769 Hess, R.W., Hynes, M.V., Peters, J.E., Rushworth, D. (2001) Disposal Option for Ship, Santa Monica : Rand Kara, S., Rugrungruang, F., Kaebernick,H., (2007) Simulation modelling of reverse logistics networks. International Journal of Production Economics 10 : 61–69 Lauridsen, et al., “Shipbreaking in OECD,” Working Report No. 18, 2003. Lee dan Dong (2009). Dynamic network design for reverse logistics operations under uncertainty. Transportation Research Part E 45: 61–71
Liecken dan Vandaele (2007) Reverse logistics network design with stochastic lead times. Computers & Operations Research 34 : 395– 416 Lu and Bostel (2007) A facility location model for logistics systems including reverse flows: The case of remanufacturing activities. Computers & Operations Research 34 : 299– 323. Neser, G., Unsalan, D., Tekogul, N., Lauridsen, F. (2006). The shipbreaking industri in Turkey: environmental, safety and health issues. Journal of Cleaner Production 16 Nunes, K.R.A., Mahler, C.F., Valle, R.A. (2009). Reverse logistics in the Brazilian construction industry. Journal of Environmental Management : 1–4 Reddy, M.S., Basha, S. Joshi, H.V., Ramachandraiah G.(2005) Seasonal distribution and contamination levels of total PHCs, PAHs and heavy metals in coastal waters of the Alang–Sosiya ship scrapping yard, Gulf of Cambay, India. Chemosphere 61 : 1587–1593. Rivera, Reynaldo., Ertel, Jurgen. (2008) Reverse logistics network design for the collection of End-of-Life Vehicles in Mexico. European Journal of Operational Research 196 : 930– 939 Schultmann, F., Zumkeller,M.,Rentz, O. (2006) Modeling reverse logistic tasks within closedloop supply chains: An example from the automotive industry. European Journal of Operational Research 171: 1033–1050 Shih, Li-Hsing., 2001. Reverse Logistics system planning for recycling electrical appliance and computer in Taiwan. Journal of Resources, Conservation and Recycling 32, 55-72 Sundelin, Oskar. (2008). The Scrapping of Vessels – An examination of the waste movement regime’s applicability to vessels destined for scrapping and potential improvements made in the IMO Draft Convention on Ship Recycling, Thesis, Gothenburg : Department of Law School of Business, Economics and Law University of Gothenburg.
15