Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
ANALISIS PRAKTEK-PRAKTEK REVERSE LOGISTICS DI INDUSTRI MANUFAKTUR SEKITAR SURABAYA I Nyoman Sutapa Jurusan Teknik Industri, Universitas Kristen Petra email:
[email protected]
ABSTRAK Dalam artikel ini dibahas hasil kajian eksploratif praktek-praktek pengelolaan reverse logistics di beberapa perusahaan manufaktur di sekitar Surabaya. Hal-hal yang dikaji berkaitan dengan kebijakan retur perusahaan, prosentase produk retur dibandingkan total penjualan, aktivitas-aktivitas pengelolaan produk retur, hambatanhambatan pengelolaan reverse logistics, serta waktu siklus penyelesaian proses retur. Kata kunci: pengelolaan reverse logistics, industri manufaktur, kebijakan retur, hambatan pengelolaan reverse logistics.
PENDAHULUAN Reverse logistics (RL) kembali mendapatkan perhatian yang besar dikalangan pebisnis maupun peneliti sejak 20 tahun terakhir ini, walaupun praktek-praktek RL telah lama ada seumur dengan logistik itu sendiri. RL didefinisikan sebagai “sekumpulan pendekatan yang digunakan untuk mengintegrasikan secara efisien para pemasok, pabrikan, gudang penyimpanan, distributor, grosir, dan pusat-pusat penjualan atau ritilritil, sedemikian hingga barang-barang diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang tepat, pada lokasi yang sesuai, dan pas pada waktunya, untuk meminimalkan biaya dalam sistim secara keseluruhan dalam rangka mencapai tingkat pelayanan yang dibutuhkan” (Stock, 2001; Stock et al., 1999; Blumberg, 1999). Belakangan ini kebanyakan peneliti berkonsentrasi pada aliran dan transformasi bahan baku atau barang dari hulu ke hilir (maju), yaitu dari para pemasok ke pelanggan akhir, serta dampak ketidakpastian informasi yang semakin besar dari hilir ke hulu, yang disebut bullwhip effect. Bagaimanapun, aliran balik (reverse) bahan-bahan baku atau barang-barang dari pelanggan ke bisnis hulu (mundur) belum banyak diteliti (Rogers dan Tibben-Lembke, 1999, 2001). Bagaimanapun, menurut Reverse Logistics Council, biaya untuk penanganan, transportasi, dan penentuan disposisi barang-barang yang dikembalikan, bagi perusahaan-perusahaan Amerika nilainya mencapai $35 milyar pertahun. Sedangkan biaya pabrikasi ulang mencapai $50 milyar pertahun (Dowlatshahi, 2005). Reverse logistics management (RLM) yang merupakan pengembangan dari manajemen logistik tradisional, yaitu dengan melanjutkan pengelolaan bahan-bahan baku atau barang-barang yang dikirim balik ke bagian hulu atau bagian pemrosesan ulang atau dibuang. Lebih spesifik, de Brito et al. (2002) menyatakan RL sebagai “proses perencanaan, implementasi dan pengendalian aliran bahan baku, atau barang setengah jadi, atau barang jadi, dari pabrikan, saluran distribusi, atau dari tempat pemakaian ke tempat pemulihan ulang atau tempat pembuangan”. Penelitian RLM belakangan ini semakin meningkat, dikarenakan: Jumlah produk balik semakin tinggi, beberapa industri dilaporkan tingat baliknya mencapai 50% total penjualan (Rogers dan Tibben-Lembke, 1999).
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
Peluang penjualan barang-barang yang telah dipulihkan/diproses kembali pada secondary market dan/atau pasar global semakin meningkat (Stock et al., 2002). Peraturan-peraturan yang belakangan ini diberlakukan di Eropa dan Amerika yang mewajibkan perusahaan untuk mengumpulkan kembali barang-barang yang telah dijual yang telah habis masa hidupnya (end-of-life) atau masa pakainya (end-ofuse), mengharuskan perusahaan-perusahan mengelola secara efektif sepanjang hidup produk-produknya (Rogers dan Tibben-Lembke, 2001; de Brito et al., 2002). Konsumen belakangan ini semakin menekan perusahaan untuk mengambil tanggung-jawab terhadap produk-produk pasca-penjualannya terutama yang mengandung bahan berbahaya (Daugherty et al., 2004, 2005; Richey et al., (2005)). Kapasitas tanah areal pembuangan barang-barang bekas semakin sempit dan mahal. Pilihan lain seperti dikepak-ulang (repacking), dipabrikasi-ulang (remanufacturing), dan recycling menjadi lebih lazim dan layak (de Brito et al., 2002). Penerapan RLM semakin meningkat (Rogers dan Tibben-Lembke, 1999, 2001), tapi beberapa ganjalan masih terus terjadi, seperti: Pengembalian produk yang sering tertunda, hal ini sangat krusial pada produkproduk yang sensitive terhadap waktu dan teknologi. Kuantitas produk balik sangat bervariasi dan sulit diramalkan. Parah dan luasnya produk cacat Kualitas produk sulit diketahui karena informasi dari pelanggan atau dari ritil biasanya tidak dikomunikasikan sepanjang RL. Di atas telah dibahas beberapa hasil kajian RL yang dilakukan di beberapa Negara maju, pertanyaannya adalah bagaimana dengan kondisi RL di Indonesia, khususnya bagaimana dengan praktek-praktek pengelolaan reverse logistics di beberapa perusahaan manufaktur di sekitar Surabaya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan kajian, yakni yang berkaitan dengan kebijakan retur perusahaan, prosentase produk retur dibandingkan total penjualan, aktivitas-aktivitas pengelolaan produk retur, hambatan-hambatan pengelolaan reverse logistics, serta waktu siklus penyelesaian proses retur. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Penelitian dilakukan dibeberapa perusahaan manufaktur di sekitar Surabaya, dengan penyebaran kuesioner yang disertai dengan wawancara. Obyek penelitiannya adalah para manajer yang menangani RL, yakni manajer distribusi/transportasi, gudang, produksi, PPIC, pemasaran, dan pengadaan. Jumlah perusahaan yang diteliti sebanyak 39 buah, dengan jenis-jenis usaha diantaranya perusahaan meubel, air minum dalam kemasan, kemasan plastik, kemasan karton, pakan ternak, karoseri kendaraan, dan makanan siap saji/snack. Sedangkan besar-kecilnya perusahaan responden jika dilihat dari jumlah tenaga kerja adalah sebagai berikut jumlah tenaga kerja kurang dari 100 orang (14%), antara 100 dan 500 orang (44%), antara 500 dan 1000 orang (28%), dan lebih dari 1000 orang (14%). Sedangkan gambaran lama masa pakai (life cycle) produk manufaktur yang disurvey adalah sebagai berikut kurang dari 6 bulan (14%), antara 6 bulan dan 1 tahun (3%), antara 1 dan 2 tahun (35%), antara 2 dan 3 tahun (10%), antara 3 dan 5 tahun (7%), dan lebih dari 5 tahun (31%). Kebijakan retur adalah ketentuan yang diberikan perusahaan bagi konsumen atau pelanggannya dalam pengembalian suatu produk yang telah dibeli. Semakin konservatif perusahaan dalam kebijakan returnya maka semakin kecil jumlah retur,
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-45-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
sebaliknya semakin bebas kebijakan retur maka semakin besar kemungkinan retur. Dari temuan di lapangan, sebagian besar perusahaan (86%) memilih untuk konservatif. Hal ini dapat dipahami karena industri manufaktur berbeda dengan industri perdagangan/eceran yang bertatap muka langsung dengan pelanggan akhir. Hasil lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. Kebijakan Retur Sangat Bebas 14%
Sangat Konservatif 21%
Bebas 0%
Agak Konservatif 36% Konservatif 29%
Gambar 1. Kebijakan Retur Perusahaan
Berdasarkan kebijakan retur yang sebagaian besar konservatif seperti ditunjukkan gambar 1, temuan di lapangan menunjukkan bahwa prosentase retur berkisar antara 1% dan 15%. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Rogers dan TibbenLembke (2001), bahwa semakin konservatif kebujakan retur maka semakin kecil prosentase retur. Produk-produk yang diretur atau dikirim balik ke perusahaan selanjutnya akan didisposisi, diambil suatu keputusan penyelesaian. Industri manufaktur di sekitar Surabaya sebagian besar memilih untuk dipabrikasi ulang (29%), dikemas ulang dan selanjutnya dijual kembali seperti baru (25%), dan didaur ulang bagi komponenkomponen yang dapat dipakai sebagai bahan baku (21%). Sementara itu hanya sebagian kecil yang membuang langsung sebagai limbah (13%) atau dijual kembali apa adanya di pasar diskon (8%), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2. Disposisi
Dibuang 13%
Daur Ulang 21%
Disumbangkan 4% Dijual kembali 8%
Pabrikasi ulang/Perbaikan 29%
Dikemas ulang 25%
Gambar 2. Disposisi Produk Retur
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-45-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
Dalam prakteknya, banyak hambatan yang ditemui di lapangan bagi perusahaan yang mengimplementasikan program reverse logistics. Hal ini terjadi karena bagi banyak perusahaan reverse logistics merupakan pembawa masalah daripada pembawa berkah. Hambatan-hambatan yang ditemui adalah kekurangan personil (20%), ketiadaan kebijakan atau sistem di perusahaan (15%), alokasi keuangan yang minim (12%), dianggap tidak penting (8%), kurangnya komunikasi dengan pelanggan (8%), serta sisanya menyatakan tidak ada hambatan. Hasil ini mendukung hasil kajiannya Rogers dan Tibben-Lembke (1999), serta hasil kajiannya Daugherty et al. (2004). Waktu siklus penyelesaian retur, mulai dari komplin diterima sampai dengan selesainya permasalahan adalah sebagai berikut: antara 1 dan 2 hari (23%), antara 3 hari dan 1 minggu (35%), antara 2 minggu dan 1 bulan (15%), antara 1 dan 2 bulan (15%), dan data selengkapnya terdapat pada Gambar 3. Waktu siklus penyelesaian retur ini bervariasi, sebagian besar dapat menyelesaikan cepat (kurang dari 1 minggu) dan sebagian perusahaan butuh waktu lama, sampai berbulan-bulan. Bagi perusahaan yang lambat menyelesaikan masalah retur akan berdampak pada penurunan kepercayaan pelanggan (Stock et al., 2001). Waktu Siklus Penyelesaian Retur > 2 bulan < 1 hari 4% 4% 1 - 2 bulan 15% 1 - 2 hari 23%
2 minggu - 1 bulan 15%
1 - 2 minggu 4% 3 hari - 1 minggu 35%
Gambar 3. Waktu Siklus Penyelesaian Retur
PENUTUP Di atas telah diberikan secuil gambaran mengenai kondisi atau praktek-praktek pengelolaan RL di beberapa perusahaan manufaktur di sekitar Surabaya. Masih banyak yang belum dikaji sebagai bahan bagi pengambil keputusan atau logistician dalam menangani retur lebih baik. Kedepan perlu dicermati lagi akar masalah mengapa beberapa perusahaan membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaian retur, bagaimana mengatasi hambatan-hambatan yang ditemui dalam pengelolaan RL, bagaimana menentukan kebijakan retur perusahaan dikaitkan dengan life cycle product. REFERENSI Blumberg, D.R., 1999. “Strategic examination of reverse logistics and repair service requirements, needs, market size, and opportunities,” Journal of Business Logistics, vol. 20 no. 2, pp. 141-159. Daugherty, P.J., R.G. Richey, S.E. Genchev, and H. Chen, 2005. “Reverse Logistics: superior performance through focused resource commitments to information techno-logy,” Transportation Research, Part E 41, pp. 77-92.
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-45-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
Daugherty, P.J., A.E. Ellinger, and D.S. Rogers, 2004. “Information accessibility, customer responsiveness, and enhanced performance,” International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, vol. 25 no. 1, pp. 4-17. De Brito, M.P., S.D.P. Flapper, and R DEkker, 2002. ”Reverse logistics: a review of case studies,” Econometric Institute Report EI, vol. 21. Dowlatshahi, S., 2005. “A strategic framework for the design and implementation of remanufacturing operations in reverse logistics,” International Journal of Production Research, vol. 43 no. 16, pp. 3455-3480. Richey, R.G., S.E. Genchev, and P.J. Daugherty, 2005. “The role of resource commitment and innovation in reverse logistics performance,” International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, vol. 35 no. 4, pp. 233-257. Rogers, D.S., and R. Tibben-Lembke, 2001., “An examination of reverse logistics practices”, Journal of Business Logistics, vol. 22 no. 2, pp. 129-148. Rogers, D.S., and R. Tibben-Lembke, 1999. Going back-wards: reverse logistics trends and practices, Reverse Logistics Executive Council, University of Nevada, Reno Center for Logistics Management. Stock, J.R., 2001. “The seven deadly sins of reverse logistics,” Material handling Management, vol. 56 no. 3, pp. 5-11. Stock, J.R., T.W. Speh, and L.H. Shear, 2002. “Many happy (product) return,” Harvard Business Review, vol. 80 no. 7, pp. 16-17.
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-45-5