PEMISAHAN PROTEIN DARI EKSTRAK RENNET ABOMASUM DOMBA LOKAL DENGAN METODE LIQUID ISOELECTRIC FOCUSING
NOVI TANDRIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pemisahan Protein dari Ekstrak Rennet Abomasum Domba Lokal dengan Metode Liquid Isoelectric Focusing adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011 Novi Tandria NIM B04062496
ABSTRACT NOVI TANDRIA. Protein Fractination of Rennet Extracted from Abomasal Mucosa of Local Sheep Using Liquid Isoelectric Focusing. Under supervised of CHAIRUN NISA’ and ITA DJUWITA. Extract of abomasum fundic mucosae of lamb contains at least two kinds of protein including protease enzymes especially pepsin and chymosin. The purpose of this study was to fractinate protein from crude rennet extracted from fundic mucosae using liquid isoelectric focusing (IEF) and to analyze the fractinated protein in order to determine the existence of proteases enzymes based on its molecular weight. This study used each of two rennet samples represented under and above one year of age, were fractinated using IEF procedure followed by biologic examination using milk clotting activities and protein analysis using sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). IEF separate proteins by its isoelectric point (pI). The results of fractination showed that chymosin was examined around pH 4.55.0. Milk clotting activities showed that fractinated rennet provide less time to coagulate than crude rennet samples. It showed that the fractinated rennet resulting milk curd formation better than the crude rennet. The protein analysis of the fractinated samples contained bands of protein, and one was considered as chymosin related to its molecular weight (31 kDa). The conclusion is liquid isoelectric focusing method could possibly fractinate crude rennet samples. Further research is necessary to optimize the purification method. Key words: chymosin, pepsin, rennet, milk clotting, liquid isoelectric focusing, SDS-PAGE.
ABSTRAK NOVI TANDRIA. Pemisahan Protein dari Ekstrak Rennet Abomasum Domba Lokal dengan Metode Liquid Isoelectric Focusing. Dibawah bimbingan CHAIRUN NISA’ dan ITA DJUWITA. Ekstrak mukosa fundus abomasum mengandung setidaknya dua macam enzim protease khususnya pepsin dan khimosin. Penelitian ini bertujuan untuk memfraksinasi protein yang berasal dari ekstrak kasar rennet yang diekstraksi dari mukosa fundus dengan menggunakan teknik liquid isoelectric focusing (IEF) serta menganalisa kandungan protein yang terdapat pada sampel untuk menentukan keberadaan enzim protease (khimosin dan pepsin). Penelitian ini menggunakan masing-masing dua sampel rennet yang merepresentasikan domba yang berusia diatas dan dibawah satu tahun. Sampel tersebut kemudian difraksinasi menggunakan IEF yang dilanjutkan dengan pengujian biologis melalui aktivitas penggumpalan susu dan analisa protein menggunakan teknik sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). IEF memisahkan protein berdasarkan titik isolistriknya (pI). Hasil fraksinasi menunjukkan bahwa enzim khimosin memiliki rentang pH 4.5-5.0. Aktivitas penggumpalan susu menunjukkan bahwa protein yang telah terfraksinasi membutuhkan waktu koagulasi yang lebih cepat dibandingkan ekstrak kasar, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada bentuk koagulan yang dihasilkan. Analisa protein pada sampel yang telah terfraksinasi mengandung beragam pita protein, dan salah satunya diperkirakan sebagai khimosin mengacu pada berat molekulnya, yakni sekitar 31 kDa. Sehingga dapat disimpulkan, metode IEF dapat memfraksinasi ekstrak kasar rennet, namun perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengoptimasi metode purifikasi enzim tersebut. Kata kunci: khimosin, pepsin, rennet, penggumpalan susu, liquid isoelectric focusing, SDS-PAGE
PEMISAHAN PROTEIN DARI EKSTRAK RENNET ABOMASUM DOMBA LOKAL DENGAN METODE LIQUID ISOELECTRIC FOCUSING
NOVI TANDRIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Nama NIM
: Pemisahan Protein dari Ekstrak Rennet Abomasum Domba Lokal dengan Metode Liquid Isoelectric Focusing : Novi Tandria : B04062496
Disetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet NIP.19631125 198903 2 004
Dr. drh. Ita Djuwita, MPhil, PAVet (K) NIP. 19590403 198601 2 002
Diketahui : a.n Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini NIP.19621205 198703 2 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa atas segala rahmat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitiannya yang berjudul “Pemisahan Protein dari Ekstrak Rennet Abomasum Domba Lokal dengan Metode Liquid Isoelectric Focusing”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing hingga skripsi ini selesai disusun kepada : 1. Keluargaku, terutama Papa dan Mama serta kakakku Stefanus dan adikadikku Christofer, Febrianto, Jimmy serta keluarga besar tercinta untuk kasih sayang, dukungan, kesabaran, perhatian, bimbingan, serta doa yang tiada henti-hentinya. 2. Ibu Dr. drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet dan Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil, PAVet (K), selaku dosen pembimbing yang telah memberikan kesempatan untuk menjadi bagian dari penelitian ini serta bimbingan dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Keluarga Om Budianto dan Tante Hartinah, serta adikku Minah Febriani dan Dwi Chairani atas dukungan serta doanya. 4. Bapak drh. Usamah Afiff, M.Sc selaku Pembimbing Akademik atas panduan dan dukungannya. 5. Dosen dan staf di bagian Anatomi, Histologi, dan Embriologi yang telah membantu selama penelitian berlangsung. 6. Khoirun Nisa’ dan Karunia Maghfiroh yang selalu memberikan dukungan dan perhatiannya, serta bantuan dan kerja samanya. 7. Vivit, Rini, dan Tim Penelitian Embriologi yang memberikan pengarahan dan menjadi mentor selama penelitian. 8. Sahabat-sahabatku G’ girls (Nina, Asme, Santi, Tetty), Sonya, Mega, 69’erz (Mamato, Sifa, Abhe, Renna), IRAFAN (Nirna, Teh Yevi, Dana), Gita Nelfa, Ega, Loisa, Mbambit untuk semua hari dimana kalian selalu ada untuk membantu, memberi, dan memperhatikanku. 9. Teman-teman Sekret Qurban (Linatul, Okta, Uut, Arifin, dan Kanda) atas dukungannya. 10. Teman-teman se-PA (Herna, Galuh, Ayu, Chrisna, Fajar, Iral) atas doa dan dukungannya. 11. Teman-teman FKH ’43 ”Aesculapius” atas dukungan dan doanya serta kenangan indah yang tak akan terlupakan. 12. Rizqy Arif Ginanjar yang selalu ada memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan yang tiada hentinya. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran semua pihak sangat diharapkan penulis demi kesempurnaannya. Semoga skripsi hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang memerlukan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Januari 2011 Novi Tandria
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Pinyuh, Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 27 November 1989 dan merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari keluarga Teddy Tandra dan Tjiu Fianty. Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Sungai Pinyuh, dan penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Puspanegara Citeureup dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis masuk ke SMA Regina Pacis Bogor dan lulus pada tahun 2006. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007, penulis masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan. Semasa menjadi mahasiswa, penulis tercatat sebagai anggota Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar FKH IPB Kluster Herpet sebagai anggota divisi Eksternal periode 2009/2010. Penulis juga pernah mengikuti Program Vaksinasi Rabies Massal di Bali pada tahun 2009.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................... Tujuan……………….………………………………………...... Manfaat …………….……………………………………………
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi lambung Domba ………………..………………….. Bahan Bioaktif Rennet ………………………………………… Enzim Khimosin ………………………………………… Enzim Pepsin …………………………………………… Koagulasi Susu ………………………………………………… Pemisahan Protein ............................................................... Liquid IEF Rotofor®................................................................ Preparasi Sampel .……………………………………….. Analisa Fraksi ……………………………………………. Elektroforesis Gel Poliakrilamid …………………………….…
4 5 6 7 8 9 11 12 12 13
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………… Alat dan Bahan…………………………………………………. Pengambilan Sampel ……….………………………………….…. Isolasi Rennet…………………………………………………………. Pengujian Aktivitas Rennet Mengkoagulasikan Susu …………. Fraksinasi Enzim Protease Rennet……….…………………..…… Analisa Protein Menggunakan Metode SDS-PAGE ………..…...... Analisa Data …………………………………………………….……..
15 15 16 16 17 17 18 18
HASIL Ekstraksi Rennet dari Abomasum Domba di Atas dan di Bawah Satu Tahun ………….…………………………………. Fraksinasi Ekstrak Kasar Rennet…....................................... Perbandingan Hasil Koagulasi yang Dipengaruhi oleh Aktivitas Enzimatis, Asam, dan Basa ……………….. Koagulasi Ekstrak Kasar Rennet ……………………... Koagulasi Rennet Hasil Fraksinasi …………………… Analisa Protein …………………………………………………. Analisa Protein Ekstrak Kasar Rennet………………… Analisa Protein Hasil Fraksinasi ……………………….
20 20 21 22 22 23 24 24
PEMBAHASAN …………………………………………………………….
25
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................... 32 Saran ....................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
33
LAMPIRAN …………………………………………………………….
37
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari domba di atas dan di bawah satu tahun ………..……………...................
20
2
Hasil uji pH terhadap fraksi isolistrik ……………………………………....
20
3
Perbandingan waktu koagulasi ekstrak kasar rennet ………………........
22
4
Perbandingan waktu koagulasi susu setelah penambahan rennet hasil pemusatan isolistrik ……………………..…….…………………………….
23
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Proporsi ukuran lambung (A) dan mukosa abomasum domba (B) ..…
2
Alat Rotofor®, yang terdiri dari Rotor Chamber (A), Harvesting Chamber (B) ………………………………………………………………
4
7
Diagram alir metodologi penelitian ……………………………………… Uji pH dengan kertas strip indikator pH ………………………………... Aktivitas koagulasi pada kondisi: ekstrim asam (A), enzim khimosin (B), dan basa tidak menunjukkan koagulasi (C) ……………………….. Hasil koagulasi rennet di bawah satu tahun (B1 dan B2) dan di atas satu tahun (A1 dan A2)…………………………………………………… Hasil uji koagulasi fraksi yang telah difraksinasi.............…………….....
8
Analisa protein ekstrak kasar rennet di atas satu tahun (A) dan di
3 4 5 6
9
11 19 21 21 22 23
bawah satu tahun (B)…...…………………………………………………
24
Hasil gel elektroforesis dari rennet domba yang telah difraksinasi ……
24
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur Rotofor ..................................................................................
38
2
Persiapan Running SDS-PAGE …………………………………............
40
PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan domba merupakan salah satu komoditi nasional yang memiliki potensi dan nilai strategis dalam peningkatan pendapatan peternak dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Populasi domba lokal di daerah Jawa Barat mencapai angka 4.9 juta ekor (DITJENAK 2008), namun potensi pemanfaatanya belum maksimal, yakni hanya sebatas digunakan sebagai makanan olahan. Potensi domba lokal juga diminati sebagai salah satu sumber plasma nutfah dan sumber daya genetik dalam bidang bioteknologi. Ekstrak mukosa abomasum domba lokal telah diketahui berpotensi sebagai salah satu sumber rennet (Nisa’ et al 2007). Domba yang dijadikan sumber rennet adalah domba yang berusia di bawah satu tahun Sementara itu data statistik menunjukkan bahwa angka pemotongan domba di Jawa Barat, termasuk domba muda berumur kurang dari satu tahun tercatat mencapai 3.3 juta ekor (Statistika Peternakan 2006). menunjukkan
tingginya
tingkat
limbah
Tingginya tingkat pemotongan ini hasil
pemotongan
yang
tidak
termanfaatkan, padahal di dalam lambung kelenjar (abomasum) domba dewasa muda terdapat enzim yang dapat diekstrak untuk selanjutnya diolah menjadi rennet yang digunakan dalam produksi keju. Rennet merupakan substansi esensial dalam industri pengolahan keju karena digunakan sebagai bahan awal dalam produksi dadih-dadih keju (Cheeseman 1981).
Rennet awalnya diekstraksi dari abomasum anak
ruminansia, khususnya anak sapi (Miura et al 1988). Perkembangan kini, rennet dapat diekstraksi dari abomasum hewan ruminansia lain seperti kambing (Bolen et al 2003), juga lambung non ruminansia seperti ikan tuna (Daulay 1995), anjing laut (Shamsuzzaman & Haard 2006), juga rennet yang berasal dari tanaman (Verissimo et al. 1995), serta rennet yang didapatkan sebagai hasil modifikasi genetik mikroorganisme (genetic modified organism = GMO) (Cmegar & Cruegar 1984; Teuber 1993). Pemenuhan kebutuhan rennet untuk industri keju di Indonesia didominasi oleh rennet GMO yang diimpor dan masih kontroversial menyangkut masalah kehalalan dan keamanan pangan yang mengacu pada kebijakan penggunaan produk rekayasa genetik.
Secara kualitas, keju yang berasal dari rennet
konvensional menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan rennet GMO,
namun proses produksinya yang membutuhkan pemotongan hewan muda menyebabkan harga rennet ini relatif mahal dan mengancam populasi spesies. Keadaan ini sinergis dengan solusi penggunaan limbah abomasum dari pemotongan domba untuk dimanfaatkan sebagai alternatif rennet komersial yang menguntungkan dari segi ekonomi dan secara berkesinambungan akan meningkatkan konsumsi protein hewani di Indonesia. Enzim khimosin merupakan enzim protease yang dihasilkan oleh sel parietal dalam dinding fundus abomasum dan merupakan komponen yang dapat menggumpalkan protein kasein dalam susu. Enzim pepsin merupakan enzim substitusi khimosin yang dihasilkan oleh sel yang sama dalam fundus. Jumlah pepsin akan bertambah seiring bertambahnya umur domba dan menggantikan produksi enzim khimosin. Konsentrasi enzim khimosin dan pepsin yang terdapat dalam abomasum sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh umur domba. Sebagai perbandingan, rennet yang diekstraksi dari anak sapi yang masih menyusu umumnya mengandung 88-94% khimosin, sementara rennet yang diekstraksi dari sapi lepas sapih dan lebih tua dapat mengandung 6-10% khimosin dan 90-94% pepsin (Broome dan Limsowtin 1998). Abomasum domba umur dewasa muda (5-12 bulan), khususnya dari daerah kelenjar fundus memberikan hasil yang baik dalam mengkoagulasikan susu (Fitriyani 2006). Belum diketahui secara pasti perbandingan enzim khimosin dan pepsin pada domba dewasa muda dengan rentang umur 5-12 bulan dan domba umur di atas satu tahun. Proses fraksinasi dibutuhkan untuk memisahkan enzim khimosin dan pepsin dari ekstrak rennet kasar.
Proses purifikasi dibutuhkan untuk
mendapatkan enzim khimosin dan pepsin murni. Fraksinasi merupakan langkah awal sebelum dilakukan purifikasi. Proses fraksinasi ekstrak rennet kasar dapat dilakukan menggunakan berbagai metode.
Kedua enzim ini memiliki berat
molekul (BM) yang berdekatan, namun memiliki rentang titik isolistrik (pI) yang berbeda, sehingga perlu dilakukan pemisahan menggunakan liquid IEF dengan prinsip perbedaan titik isolistrik.
Pengujian ini secara kualitatif kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan pita protein terhadap fraksi pada gel poliakrilamid SDS-PAGE dengan prinsip pemisahan berdasarkan BM. Enzim khimosin murni akan memberikan efektivitas yang lebih baik dan efesiensi yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak rennet kasar dalam proses pembuatan keju.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempurifikasi dengan cara fraksinasi ekstrak kasar rennet dengan teknik liquid isoelectric focusing Rotofor®, serta membandingkan secara kualitatif ekstrak kasar rennet dan hasil fraksinasi rennet dari domba lokal usia di bawah dan di atas satu tahun dengan teknik koagulasi susu dan SDS-PAGE.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif substitusi bagi rennet komersial dengan rennet abomasum domba lokal yang dapat menjamin kualitas, kehalalan, dan kesinambungan. Selain itu, pemanfaatan rennet domba lokal diharapkan dapat memberikan nilai tambah dari limbah hasil pemotongan domba dan secara tidak langsung dapat meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Lambung Domba Lambung domba terdiri dari dua bagian utama, yakni lambung depan yang tidak berkelenjar (proventrikulus) dan lambung kelenjar. Lambung depan terdiri dari rumen, retikulum, dan omasum yang pada bagian mukosanya tersusun atas epitel pipih banyak lapis yang melakukan pencernaan secara mekanis, sedangkan lambung kelenjarnya adalah abomasum. berada pada sisi kanan dari ruang abdomen.
Abomasum
Fungsi abomasum dapat
dianalogikan sama dengan fungsi lambung monogastrik pada berbagai spesies (Dyce et al. 1996).
Kapasitas lambung domba dewasa berkisar antara 15
sampai dengan 18 liter dengan komposisi kapasitas rumen sekitar 71%, retikulum 8%, omasum 2%, dan abomasum 19% (Getty 1975). Gambaran morfologi abomasum dapat dilihat pada Gambar 1.
Ru
Re Ru
F
Om
P
Ab
A
B
Gambar 1 Proporsi ukuran lambung (A) dan mukosa abomasum domba (B) Ru = rumen, Re = retikulum, Om = omasum, Ab = abomasum F = fundus, P = pilorus (Bar = 5 cm) (Sumber: Putra 2009).
Abomasum memiliki tiga daerah kelenjar yaitu: kardia, fundus, dan pilorus.
Daerah kelenjar kardia adalah area sempit penghasil mukus pada
kranial abomasum. Daerah kelenjar fundus merupakan daerah kelenjar lambung yang paling luas dan terdiri dari sel epitel permukaan yang menghasilkan mukus, sel leher mukus yang memproduksi cairan penetral, parietal cells atau oxyntic cells yang menghasilkan asam klorida (HCl), chief cells yang memproduksi prekursor enzim seperti pepsinogen, dan sel enteroendokrin sebagai penghasil hormon-hormon pencernaan (Dellmann & Eurell 1998) Daerah kelenjar pilorus menghasilkan mukus, untuk menetralisasi keasaman cairan lambung (chyme)
yang terletak di kaudal abomasum dan tersambung dengan duodenum pada bagian distal. Pilorus mengatur perpindahan chyme dari lambung ke duodenum dan mencegah aliran balik dari duodenum ke lambung (Banks 1993; Bergman et al. 1996; Colville & Bassert 2002). Sel-sel pada mukosa abomasum pada ruminansia mensekresikan sedikitnya tiga macam enzim pemecah protein yaitu pepsin, khimosin, dan gastriksin. Enzimenzim tersebut bersifat asam dan termasuk kedalam golongan endopeptidase yang disekresikan dalam bentuk inaktif, masing-masing pepsinogen, prokhimosin dan progastriksin (Heishi et al. 1995). Enzim akan diubah menjadi bentuk aktif oleh HCl yang diproduksi oleh sel-sel parietal pada bagian fundus menjadi pepsin, khimosin, dan gastriksin (Dellman & Eurell 1998). Pada daerah kelenjar fundus domba umur dewasa muda, sel-sel yang imunoreaktif terhadap pepsinogen
terdeteksi
dalam
jumlah
banyak,
sedangkan
sel-sel
yang
imunoreaktif terhadap prokhimosin jumlahnya sedang (Fitriyani 2006). Bahan Bioaktif Rennet Rennet merupakan bahan bioaktif hasil ekstraksi abomasum ruminansia muda, khususnya sapi yang digunakan sebagai starter dalam proses pembuatan keju karena mengandung enzim khimosin dengan kadar tinggi.
Rennet ini
digunakan sebagai bahan awal dalam produksi dadih-dadih keju (Cheeseman 1981).
Rennet yang berasal dari hewan yang lebih tua memiliki kandungan
pepsin yang lebih tinggi dibandingkan dengan rennet hewan muda yang tinggi kandungan khimosin. Tingginya pepsin menyebabkan perbedaan dalam proses koagulasi susu dan juga dalam cita rasa keju yang dihasilkan, seperti tekstur keju yang lebih lembek dan adanya rasa pahit (Kilara dan Iya 1984). Ekstrak rennet dari anak sapi mengandung 88-94% khimosin dan 6-12% pepsin, dan sebaliknya ekstrak yang berasal dari sapi dewasa yaitu mengandung 90-94 % pepsin dan hanya 6-10% khimosin (Broome dan Limsowtin 1998). Pemanfaatan rennet selain dari sapi muda juga telah dikembangkan, seperti rennet dari kambing muda (Bolen et al. 2003), tanaman, dan mikroba yang direkayasa secara genetik (genetic modified organism = GMO) (Cmegar & Cruegar 1984; Teuber 1993). Rennet yang diperoleh dari spesies hewan yang berbeda memiliki kemampuan mengkoagulasikan susu yang bervariasi.
Rennet mikroba yang banyak digunakan sebagai pengganti rennet sapi muda berasal dari mikroorganisme seperti kapang dan bakteri. Mikroorganisme yang telah digunakan dalam pembuatan rennet GMO antara lain Bacillus polymyxa, B. subtilis, B. cereus, Endothea parasiticus, Mucor pusillus, dan Mucor miehei. Biaya untuk memproduksi rennet dari mikroba lebih murah dibandingkan dengan pembuatan rennet konvensional yang diekstrak dari lambung ruminansia. Rennet mikroba bersifat seperti enzim tripsin dan pH optimum untuk aktivitasnya berkisar antara 7-8. Akan tetapi, produk rennet ini mempunyai sedikit rasa pahit, sehingga kurang disukai, walaupun keju yang dihasilkan sangat mirip dengan produk-produk keju komersial lainnya (Daulay 1990). Berbagai tanaman juga diketahui mengandung bahan yang dapat diisolasi
untuk
menghasilkan
senyawa
sejenis
rennet
yang
dapat
menggumpalkan susu. Penggunaan “rennet” tanaman dalam pembuatan keju, misalnya penggunaan getah pohon ara (Ficus carica), papain dari pohon dan buah pepaya, bromelin dari nanas, dan rezin dari biji jarak. Beberapa ekstrak tanaman tersebut mempunyai aktivitas proteolitik yang terlalu kuat, sehingga menghasilkan cita rasa yang sangat pahit pada keju. Menurut Daulay (1990), ekstrak dari beberapa jenis tanaman akan menghasilkan ekstrak kasar yang membentuk suatu kombinasi koagulasi asam dan enzim sehingga cocok digunakan terutama untuk pembuatan dadih keju. 1. Enzim Khimosin Khimosin atau rennin adalah suatu enzim proteolitik yang termasuk dalam golongan protease yang bersifat asam, sehingga akan aktif pada pH asam.
Khimosin diidentifikasi berdasarkan residu asamnya (aspartat atau
glisin) sebagai khimosin A dan B yang masing-masing memiliki pH optimum 4.2 dan 3.7 (Atallah 2007). Khimosin dihasilkan oleh sel utama (chief cell) pada mukosa fundus lambung anak hewan yang masih menyusu (Kumar et al. 2006). Enzim ini mempunyai fungsi spesifik untuk mengkoagulasikan susu sehingga
susu
tertahan
lebih
lama
mengoptimalkan proses pencernaan.
di
saluran
pencernaan
dan
Khimosin banyak digunakan dalam
industri keju khususnya dalam proses awal untuk menggumpalkan susu (Bowen 1996). Khimosin dengan kadar tinggi ditemukan pada hewan yang masih mengonsumsi susu induk,
Sekresinya semakin menurun sejalan dengan
pertambahan umur hewan. Pada hewan ruminansia yang telah lepas sapih dan mulai mengonsumsi pakan hijauan, produksi khimosin akan digantikan dengan pepsin (Daulay 1990).
Pada usia di atas satu minggu produksi
khimosin secara gradual akan menurun drastis, namun pada ruminansia produksi khimosin tidak pernah benar-benar terhenti walaupun telah memasuki usia dewasa (Fox 1993). Enzim
ini
disekresikan
dalam
bentuk
inaktif
proenzim
yakni
prokhimosin yang akan diaktivasi oleh HCl menjadi khimosin (Dellman dan Eurell 1998). Prokhimosin anak sapi memiliki berat molekul 40.8 kDa dan khimosin 35.6 kDa (Atallah 2007).
Menurut Suhartono (1992), aktivasi
prokhimosin melibatkan pemotongan ujung terminal-N prokhimosin dan mengakibatkan penurunan berat molekul prokhimosin dari 36 kDa menjadi khimosin dengan berat molekul 31 kDa. Enzim khimosin stabil pada pH 5.3 sampai dengan 6.3. 2. Enzim Pepsin Pepsin merupakan salah satu dari tiga enzim proteolitik utama di dalam sistem pencernaan hewan dewasa, selain chymotripsin dan tripsin. Enzim pepsin seperti halnya khimosin, dihasilkan oleh chief cell mukosa lambung yang secara alami juga terdapat dalam rennet ruminansia. Enzim pepsin disintesis dalam bentuk prekursor pepsinogen dengan berat molekul 42 kDa. Pepsinogen kemudian dapat diaktivasi melalui dua jalur, pertama melalui aktivasi oleh HCl.
Protein yang masuk kedalam lambung akan
merangsang pengeluaran hormon gastrin yang selanjutnya merangsang pengeluaran HCl oleh sel parietal mukosa lambung, serta sekresi pepsinogen dari sel utama. Aktivasi kedua melalui proses autokatalisis oleh pepsin itu sendiri.
Kedua jalur aktivasi tersebut membentuk pepsin dengan berat
molekulnya yang menurun menjadi 35 kDa dan stabil pada pH 5.0-5.5 (Suhartono 1992). Sementara menurut Harrow dan Mazur (1958) titik isolistrik pepsin yaitu 2.85. Berdasarkan Winarno (1983), berat molekul dari pepsin adalah 33 kDa yang mempunyai 321 residu asam amino, sangat stabil pada pH 5.0-5.3, dan sangat aktif pada pH 1-4 dengan keaktifan optimum pada pH 1.8. Kuantitas pepsin dipengaruhi oleh umur dan jenis pakan hewan. Pedet yang hanya mengonsumsi susu mengandung sekitar 6-12 % pepsin pada
ekstrak abomasumnya, sedangkan pedet yang telah mengonsumsi makanan padat (selain susu) akan mengalami peningkatan kandungan enzim pepsin dan pengurangan kadar khimosin.
Hasil koagulasi susu oleh pepsin akan
menghasilkan waktu koagulasi yang lama, koagulan yang lunak, kehilangan lemak dalam whey, terbentuk peptida pahit, serta tekstur dan dadih (curd) keju yang lebih lunak (Kilara dan Iya 1984). Komplemen khimosin dengan pepsin merupakan salah satu alternatif dalam industri pengolahan keju. Campuran khimosin dan pepsin dianggap paling optimum dan paling sering dipilih karena sulitnya mendapatkan khimosin murni.
Koagulasi Susu Susu terdiri atas bahan-bahan yang terdispersi dalam air, terutama kalsium, fosfat, dan protein. Bagian protein susu dibagi menjadi dua fraksi, yaitu kasein dan protein serum (whey protein). Kasein merupakan protein utama dalam susu yang dapat mencapai 80% dari total protein susu. Kasein termasuk ke dalam golongan fosfoprotein dengan berat molekul 20-30 kDa. Kasein akan bergabung dengan ion kalsium (Ca2+) membentuk agregat koloid yang disebut misel (Suhartono 1992). Kasein terdiri atas empat fraksi protein yaitu alpha (α), beta (β), kappa (κ), dan gamma (γ) yang mempunyai sifat khusus yaitu mudah menggumpal oleh adanya pengasaman atau penambahan rennet (Daulay 1990). Proses koagulasi susu dapat terjadi akibat aktivitas enzim, asam, dan mikroba. Koagulasi susu oleh enzim terutama aktivitas enzim khimosin menjadi prioritas dalam industri keju. Susu digumpalkan oleh khimosin menjadi koagulan (curd) yang lunak dan lembut, serta memisahkan cairannya (whey) dari curd dengan kecepatan yang seragam. Selain khimosin, pepsin juga dapat menggumpalkan susu, tetapi koagulannya lebih sensitif terhadap perubahan pH dan suhu, serta dapat menyebabkan dadih berasa pahit (Daulay 1990). Menurut Suhartono (1992), kekuatan aktivitas koagulasi enzim khimosin lebih tinggi dibandingkan dengan enzim protease lainnya, seperti pepsin dan khimotripsin. Proses koagulasi dengan reaksi enzimatis terjadi karena penambahan rennet yang bereaksi dengan kappa kasein akan memecah ikatan fenilalaninmetionin menghasilkan para-kasein dan menghancurkan aktivitas penstabilannya terhadap αs-kasein dan β-kasein. Pemecahan ikatan ini akan menyebabkan terpisahnya komponen yang bersifat hidrofilik dari para-kasein dan terbentuknya ikatan dengan ion Ca2+ yang melakukan penggabungan dengan komponen susu
lainnya membentuk curd yang terpisah dari whey (Goenardjoadi 1988, Daulay 1990).
Sedangkan
proses
koagulasi
susu
nonenzimatis
terjadi
karena
penambahan senyawa asam. Menurut Van Slyke et al. (1949) diacu dalam Widyowatie (1980) dengan bertambahnya kandungan asam pada susu, akan terjadi pembentukan asam laktat dari laktosa karena aktivitas bakteri. Asam laktat akan menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia dari kasein susu. Netralisasi muatan negatif dari kasein oleh ion H+ dari asam laktat akan menyebabkan tercapainya pH isolistrik kasein yang mengakibatkan protein terkoagulasi. Pengumpalan akan sempurna bila semua muatan kasein menjadi netral. Pembentukan curd setelah penambahan khimosin pada susu terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama, terjadi peningkatan komponen nitrogen terlarut karena aktivitas khimosin. Komponen nitrogen terlarut ini berasal dari molekul κ-kasein. Pada tahap kedua, terjadi agregasi misel kasein yang telah berubah secara enzimatik, sehingga terbentuk struktur gel (Suhartono 1992). Κappa-kasein kemudian terurai menjadi dua bagian pada ikatan asam amino fenilalanin dan metionin pada nomor 105-106 menjadi makropeptida ρ-κ-kasein dan makropeptida κ-kasein. Apabila sampai 90% κ-kasein telah terhidrolisis, maka terjadi agregat protein yang meningkatkan viskositas susu sampai terbentuk struktur gel. Produk makropeptida yang dihasilkan dari proses hidrolisis bersifat larut air, sedangkan struktur ρ-κ-kasein mengendap. Putusnya ikatan peptida antara fenilalanin dan metionin pada κ-kasein ini mengakibatkan hilangnya kestabilan misel kasein, sehingga fraksi kasein yang lain ikut mengendap (Suhartono 1992).
Pemisahan Protein Protein maupun peptida memiliki komponen kompleks yang memerlukan proses sekuensi untuk mendapatkan komponen biologisnya (Morris 1976). Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi perkembangan proses pemisahan protein. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan protein adalah molekul, muatan, serta sifat hidrofobiknya (Harrow & Mazur 1958). Pada awalnya proses pemisahan protein dilakukan dengan metode sederhana memisahkan fase yakni dengan metode filtrasi dan pemisahan fase liquid dengan pengeringan (drying). Pada perkembangannya, metode separasi protein dilakukan dengan cara yang
lebih progresif yakni dengan kristalisasi dan distilasi.
Kesulitan dalam
mengaplikasikan teknik pemisahan protein dipengaruhi oleh substansi yang ingin diteliti terdiri dari material yang sangat kompleks dan beragam, selain itu juga disebabkan bioavaibilitasnya yang sangat kecil di alam sehingga membutuhkan teknik pemisahan dengan sensitivitas yang tinggi (Morris 1976).
Pemurnian
protein merupakan proses yang dilakukan untuk mendapatkan isolat homogen dari suatu substansi.
Pemurnian dikatakan berhasil apabila tidak dapat lagi
membuktikan bahwa suatu material terdiri dari lebih dari satu substansi. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mengaplikasikan berbagai teknik pemisahan protein dan dilanjutkan dengan sistem analisa yang sesuai.
Proses analisa
tersebut dapat dilakukan secara biologis maupun kimiawi (Morris 1976). Teknik yang banyak dikembangkan dalam pemisahan protein terbagi menjadi dua metode mayor, yakni chromatographic dan non-chromatografic. Metode non-chromatographic dalam hal ini antara lain elektroforesis, presipitasi, serta filtrasi membran. Berdasarkan Shetty et al. (2006) kromatografi merupakan suatu teknik purifikasi dimana komponen dari sampel dipisahkan berdasarkan kemampuan masing-masing komponen tersebut untuk berinteraksi dengan fase gerak ataupun fase diam yang dilalui sampel. Metode purifikasi chromatographic terdiri atas dua fase, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase bergerak (mobile phase). Fase diam dapat berbentuk padat, gel, cair atau campuran padat dan cair, sementara fase gerak dapat berbentuk cair atau gas dan mengalir melewati fase diam. Semua metode chromatographic bekerja dengan dasar keseimbangan yang dicapai antara fase diam dan fase gerak. Metode
non-chromatographic
elektroforesis
adalah
suatu
teknik
pemisahan senyawa berdasarkan kecepatan migrasi senyawa yang bermuatan dibawah pengaruh medan listrik (Caprette 1996). Dengan teknik elektroforesis molekul-molekul biologis yang memiliki berat molekul tinggi seperti karboidrat, lipid, asam nukleat, dan kompleks lipid-karbohidrat atau kompleks lipid-protein dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya (Djuwita 2004). Salah satu teknik pengembangan dari elektroforesis adalah gel elektroforesis yang menggunakan basis selulosa-asetat. Gel elektroforesis dapat diklasifikasikan berdasarkan media gel yang digunakan, yakni starch gel,. polyacrylamide gel, discontinuous gel electrophoresis, sodium dodecyl sulfatepolyaccrylamide electrophoresis, dan agarose gel electrophoresis.
Liquid Isoelectric Focusing Rotofor® (BioRad) Isoelectric focusing (IEF) merupakan teknik non-chromatografic elektroforesis untuk memisahkan molekul berdasarkan perbedaan muatan listrik dengan prinsip mobilitas elektrolit dalam fungsi pH (Boyer 1986). Protein, termasuk didalamnya enzim membawa muatan listrik, baik positif, negatif, maupun netral.
Muatan listrik dari suatu protein
dipengaruhi oleh pH lingkungan di sekitar protein tersebut. Molekul yang akan difraksinansi dipreparasi ke dalam medium dengan pH gradien tertentu yang difasilitasi dengan penggunaan amfolit yang akan memperluas rentang pH dalam medium. Arus listrik dari sumber listrik mengalir dalam medium membentuk ujung-ujung kutub elektroda; anoda yang bermuatan positif di salah satu ujung dan katoda yang bermuatan negatif di ujung lainnya. Molekul yang membawa muatan negatif akan bermigrasi melalui gradien pH menuju elektroda bermuatan positif, sedangkan molekul yang bermuatan positif akan bermigrasi ke arah sebaliknya (Boyer 1986).
Hal ini akan terus
berlangsung sampai pada titik isolistrik. Titik isolistrik (isoelectric point = pI) yaitu suatu kondisi dimana selisih muatan listrik pada permukaan protein adalah nol. Pada kondisi inilah susu menggumpal dengan baik menjadi dadih karena tidak ada muatan yang tertinggal untuk mempertahankan kasein dalam suspensi.
1
2
1
2 A
B
Gambar 2 Alat Rotofor®, terdiri atas focusing chamber (A) yang terdiri dari elektroda katoda (1), dan elektroda anoda (2); harvesting apparatus (B), yang terdiri dari collection tubes (1), dan vaccum vein (2). Teknik IEF merupakan langkah awal dalam proses pemurniaan protein. Protein dipisahkan berdasarkan titik isolistrik dan dianalisa kandungan proteinnya dengan SDS-PAGE berdasarkan berat molekulnya.
Liquid IEF Rotofor®
mengisolasi protein dengan cara meningkatkan gradien pH linear dalam medium
yang beraliran listrik. Protein yang bersifat asam dengan muatan positif akan bermigrasi menuju wilayah katoda yang bermuatan negatif.
Perpindahan
tersebut juga diikuti oleh pelepasan ion hidrogen [H+] sampai tercapai selisih muatan nol dan protein akan berhenti bermigrasi. Apabila protein memperoleh muatan secara tidak sengaja akibat penyebaran dalam gradien pH, maka medan beraliran listrik tersebut akan mengembalikan protein tersebut pada rentang pH yang sesuai dengan titik isolistriknya. Protein yang tefraksinasi kemudian dipanen yang selanjutnya mengalami proses pemurnian lanjutan menggunakan gel elektroforesis (Perrit et al. 1992).
1. Preparasi Sampel Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemisahan protein dalam penyiapan sampel antara lain konsentrasi garam, homogenitas, dan kelarutan. Sampel yang mengandung konsentrasi garam melebihi 10mM harus mengalami proses salting-out (pelepasan garam) sebelum penambahan amfolit ke dalam sampel. Hal tersebut untuk memastikan kisaran pH amfolit dapat diperluas hingga mencapai rentang pada focusing chamber (Gambar 2) dan voltase optimal dapat diaplikasikan. Konsentrasi garam yang tinggi dalam sampel akan bermigrasi menuju kutub-kutub anoda dan katoda yang dapat mengurangi efektivitas pemisahan.
Penambahan buffer atau larutan penyangga akan
meningkatkan konduktivitas dan menurunkan resolusi sampel. Efek lain dari penambahan buffer akan menekan gradien pH pada wilayah pKa buffer [BioRad]. Sampel yang tidak homogen dan keruh harus dihomogenisasi terlebih dahulu melalui filtrasi maupun sentrifugasi untuk memisahkan debris yang dapat menghalangi membran anion maupun kation. Kelarutan sampel menunjukkan kemampuan presipitasi dalam gel IEF analitik. Peningkatan kelarutan dapat dilakukan dengan penambahan urea 3-5 M yang telah diionisasi sebelumnya [BioRad].
2. Analisa Fraksi Analisa fraksi dilakukan untuk menentukan kandungan protein yang terdapat dalam fraksi yang telah dipanen. Analisa yang paling umum adalah dengan menggunakan SDS-PAGE atau IEF gel dalam rentang pH 3-10. Metode lain yang dapat diaplikasikan untuk menganalisis fraksi bergantung
pada jenis protein meliputi uji khusus dan pengujian menggunakan metode immunoblotting.
Kandungan amfolit dalam sampel dapat mempengaruhi
kualitas pengujian. Pemisahan amfolit dari sampel dapat melalui teknik dialisa, presipitasi garam dengan ammonium sulfat, dan teknik kromatografi. Elektroforesis Gel Poliakrilamid Elektroforesis digunakan untuk memisahkan campuran asam nukleotida ataupun protein berdasarkan pergerakan molekul-molekul yang bermuatan dibawah pengaruh medan listrik. Molekul-molekul biologis yang memiliki berat molekul tinggi seperti karbohidrat, lipid, asam nukleat, dan kompleks lipidkarbohidrat atau kompleks lipid-protein dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya.
Prinsip perpindahan muatan mengakibatkan molekul akan
bermigrasi ke arah katoda atau anoda, bergantung dari muatannya.
Banyak
molekul biologis seperti asam amino, peptida, protein, nukleotida dan asam nukleat memiliki muatan listrik yang besarnya tergantung pada jenis molekul, pH, dan komponen medium pelarutnya (Djuwita 2004). Elektroforesis gel melalui agarose atau poliakrilamid merupakan metode yang paling umum dan sering dipergunakan dalam penelitian maupun biologi molekuler terapan. Secara umum, gel agarose lebih ditujukan untuk pemisahan molekul yang berukuran besar, sedangkan gel poliakrilamid untuk molekul yang berukuran lebih pendek (Djuwita 2004). Elektroforesis gel dapat digunakan untuk menentukan atau mendeteksi berbagai hal berikut: berat molekul (BM) suatu bahan (fragmen DNA, RNA atau protein); banyaknya jenis protein dalam suatu sampel misalnya serum albumin; terjadinya pemalsuan bahan atau kerusakan bahan, ada tidaknya suatu infeksi virus atau bibit penyakit lainnya dengan cara mendeteksi antibodi yang terbentuk. Sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDSPAGE) adalah metode yang banyak diaplikasikan untuk analisa campuran protein secara kualitatif, khususnya untuk melihat hasil purifikasi protein dan menentukan estimasi jumlah dan berat molekul protein. SDS poliakrilamid gel elektroforesis terbatas pada berat molekul 10.000 – 200.000 Dalton (Boyer 1986).
Menurut Wilson dan Walker (1999), sodium dodecyl sulphate (SDS)
(CH3-(CH2)10-CH2OSO3-Na+)
merupakan
detergen
yang
tidak
bermuatan
(anionik). SDS-PAGE dilakukan pada pH sekitar netral. SDS akan membentuk kompleks dengan protein dan kompleks ini bermuatan negatif karena gugus-
gugus anion dari SDS.
Kompleks SDS-protein yang lebih besar mempunyai
mobilitas yang lebih kecil, sedangkan kompleks yang lebih kecil memiliki mobilitas yang lebih besar. Berat molekul protein dapat ditentukan dengan kalibrasi menggunakan standar protein yang telah diketahui berat molekulnya (marker) (Nur & Adijuwana 1989; Rybicki & Purves 2000).
Penentuan berat molekul suatu fraksi dapat
dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Cara kualitatif dilakukan dengan menggunakan patokan pita standar protein terhadap pita sampel, sedangkan cara kuantitatif dapat dilakukan dengan menghitung mobilitas relatif.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 14 bulan, dimulai dari bulan Juni 2009 sampai
Agustus
2010
bertempat
di
Laboratorium
Riset
Anatomi
dan
Laboratorium Embriologi, Depertemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi serta Laboratorium Pendidikan dan Layanan Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Adapun pengambilan sampel dilakukan di Tempat
Pemotongan Hewan (TPH) Perumahan Sindang Sari RT 04/RW 07 Ciampea, Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi termos es, gunting, pinset, gelas ukur, gelas piala, gelas Erlenmayer, tabung reaksi, pipet Pasteur, pipet mikro, spatula, gelas pengaduk, magnetic stirrer, timbangan digital, blender, pH meter, cawan petri, termometer, water heater, pengocok mekanis (shaker), vortex mixer, alat sentrifus, tabung sentrifus, microtube, refrigerator (4oC), freezer (-30oC), set liquid IEF BioRad® Rotofor, alat vakum, cooler machine dan seperangkat alat elektroforesis. Penelitian ini menggunakan empat sampel abomasum domba lokal. Semua sampel abomasum ini diperoleh dari hewan yang disembelih untuk kepentingan konsumsi langsung dari TPH. Sebelum disembelih hewan diperiksa status kesehatan dan ditentukan umurnya berdasarkan perubahan morfologi gigigiginya. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah: asam asetat 10% untuk ekstraksi mukosa abomasum dan NaOH 1N untuk proses netralisasi. Bio-Lyte® Ampholyte pH 3-10, NaOH 0.1 N, H3PO4 untuk proses pemusatan liquid IEF. Gel elektroforesis dibuat dengan bahan-bahan yaitu BIS acrylamide, aquades, tris HCl (pH 8.8 dan 6.8), SDS 10%, N,N,N’,N’-tetramethylenediamine (TEMED), ammonium persulfat 10%. Bahan yang digunakan untuk pewarnaan silver adalah perak nitrat, etanol absolut, aquades, dan asam asetat glasial. Sensitizer menggunakan campuran etanol absolut, glutaraldehid, sodium tiosulfat, dan sodium asetat.
Developer menggunakan sodium karbonat dan
formaldehid, serta stopper. Persiapan sampel yang akan dirunning terdiri dari
ekstrak sampel, Laemmli sample buffer, dan loading dye buffer protein. Terakhir persiapan running buffer yang terdiri dari tris HCl, glycine, dan SDS 0.1%. Pengambilan Sampel Sampel abomasum diambil langsung dari TPH.
Sebelum disembelih
domba diperiksa status kesehatannya dan ditentukan umurnya berdasarkan susunan gigi-giginya. Segera setelah disembelih lambung bagian abomasum dikeluarkan dari tubuh, dan dimasukkan ke dalam plastik yang berisi NaCl fisiologis. Setelah itu, dimasukkan ke dalam termos dingin dan segera dibawa ke laboratorium untuk proses selanjutnya.
Isolasi Rennet Abomasum disayat pada daerah kurvatura mayor untuk mengeluarkan kotoran yang ada di dalamnya dan dicuci dengan NaCl fisiologis. Meja yang akan digunakan diusahakan steril dengan cara didesinfeksi dan bunsen dinyalakan untuk menjamin proses aseptis.
Abomasum yang telah bersih
kemudian ditimbang, selanjutnya bagian fundus dan pilorus dipisahkan dan masing-masing ditimbang kembali.
Bagian mukosa fundus dikelupas dan
ditimbang kembali untuk selanjutnya dilakukan proses ekstraksi. Proses ekstraksi yang digunakan adalah modifikasi metode Qadri et al. (1962) oleh Nisa’ et al. (2009).
Mukosa fundus yang diperoleh dicincang
menggunakan gunting dan ditambahkan asam asetat 10% dengan perbandingan 1 : 2 (mukosa : asam asetat). Untuk mempercepat proses ekstraksi, campuran tersebut dihomogenkan menggunakan blender sebanyak lima kali (5x), masingmasing satu menit dengan selang waktu 30 detik. Di sekitar tabung blender diberikan es batu untuk menjaga agar suhu tidak terlalu tinggi. Campuran yang telah diblender kemudian dibagi ke dalam beberapa tabung untuk disentrifugasi. Tiap tabung dilabel dan diukur ketinggian sampelnya.
Sentrifugasi dilakukan
0
dengan kecepatan 11.000 rpm pada suhu 4 C selama 20 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan dengan cara mengambil supernatan pada tabung sentrifus menggunakan mikro pipet.
Hasil ekstraksi tersebut kemudian
dinetralisasi menggunakan NaOH 1N sampai mencapai pH rennet optimum 5,4 (Putra 2009). Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas koagulasi susu.
Pengujian Aktivitas Rennet dalam Mengkoagulasikan Susu Uji
aktivitas
rennet
terhadap
koagulasi
susu
dilakukan
dengan
menggunakan metode Scott (1981). Uji ini dilakukan terhadap supernatan yang sudah dinetralisasi untuk membuktikan keberadaan enzim protease (khimosin dan pepsin). Konsentrasi supernatan yang digunakan adalah 4%. Susu terlebih dahulu dipasteurisasi dengan suhu 72 0C selama 15 detik dan didiamkan selama beberapa menit hingga mencapai suhu 35-40 0C. Selanjutnya susu dimasukkan kedalam gelas piala sebanyak 9.6 ml dan ditambah dengan 0.4 ml supernatan. Campuran tersebut kemudian diaduk beberapa saat sampai homogen. Setelah itu didiamkan dan diamati sampai terjadi penggumpalan susu. Waktu dari mulai menggumpal sampai susu menggumpal sempurna dihitung dengan pengukur waktu (stopwatch). Parameter yang diamati dalam pengujian koagulasi adalah waktu koagulasi dan tekstur koagulan yang terbentuk. Fraksinasi Enzim Protease Rennet Proses fraksinasi dimulai dengan menyusun membran dan elektroda alat Rotofor®. Elektroda anoda berisikan membran kation yang membawa muatan positif yang direndam semalaman dalam elektrolit anoda (H3PO4 0,1 M). Elektroda katoda berisikan membran anion yang membawa muatan negatif juga direndam semalaman dalam larutan elektrolit katoda (NaOH 0.1 M). Elektroda yang sudah dirakit ke dalam cooling finger kemudian diisi dengan elektrolit yang sesuai pada chamber elektrolit. Cooling finger yang telah dirakit kemudian dipasang pada rotor machine, dan bagian posterior focusing chamber ditutup dengan selotip. Tahapan fraksinasi dengan liquid IEF meliputi proses pre-running selama lima menit, prefocusing selama 30 menit dan focusing selama tiga jam. Prerunning dilakukan dengan air destilasi sebanyak 55 ml yang kemudian dikeluarkan dari chamber dengan cara disedot dengan vaccum pump. Prefocusing dilakukan dengan menjalankan zat pelarut tambahan untuk memunculkan gradien pH.
Proses focusing dilakukan dengan memasukkan
sampel pada chamber pada daya konstan 15 Watt. Preparasi sampel rennet sebanyak 40 ml supernatan dengan penambahan amfolit pH 3-10 sebanyak 2% dari total volume sampel, yakni sebanyak 0.8 ml.
Lubang focusing chamber
bagian anterior kemudian juga ditutup dengan selotip untuk mencegah
kebocoran.
Sebelumnya dilakukan pengaturan suhu chamber mencapai 4°C
selama 30 menit. Proses pemanenan fraksi dilakukan ketika voltase stabil selama tiga jam. Ujung pipa kolektor yang runcing ditusukkan pada bagian posterior lubang chamber dan mesin vakum dinyalakan pada 40-60 Gauge. Protein yang telah difraksinasi akan tertarik dan masuk ke dalam fraksi koleksi berdasarkan titik isolistriknya yang ditunjukkan dengan gradien pH.
Setelah itu dilakukan
pengujian pH pada masing-masing fraksi dengan menggunakan kertas indikator pH dan dilakukan uji aktivitas pada hasil fraksinasi dengan metode Scott (1981) pada susu yang telah dipasteurisasi.
Analisa Protein Menggunakan Metode SDS-PAGE Pengujian protein dilakukan terhadap enzim yang terdapat pada fraksi yang telah diuji dalam rentang pH optimum dan menunjukkan hasil uji koagulasi berupa pembentukan curd yang kemudian akan dianalisis menggunakan SDSPAGE. Intensitas warna yang tinggi (gelap) pada pita mengindikasikan kualitas dan kuantitas protein yang tinggi, sedangkan warna terang mengindikasikan kualitas dan kuantitas protein yang rendah. Pita diwarnai dengan pewarnaan silver.
Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara statistika deskriptif. Statistika deskriptif adalah bidang statistika yang membicarakan cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi.
Mukosa fundus
Isolasi
Rennet
Fraksinasi dengan IEF Rotofor®
Uji pH
Uji Koagulasi
Pengujian kualitas dengan SDS-PAGE
Gambar 3 Diagram alir metodologi penelitian
HASIL Ekstraksi Rennet dari Abomasum Domba di Atas dan di Bawah Satu Tahun Perbandingan antara berat abomasum, fundus, dan mukosa daerah kelejar fundus dapat dilihat seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari domba di atas dan di bawah satu tahun Berat (gr) Abomasum Fundus Mukosa A1 109.92 77.29 57.53 A2 102.53 70.89 46.93 B1 58.38 40.08 31.45 B2 66.67 47.36 38.58 Rata-rata ± SD 84.38 ±25.63 58.91 ± 17.98 43.62 ± 11.22 Keterangan: A1 dan A2 untuk domba umur di atas satu tahun, B1 dan B2 untuk domba umur di bawah satu tahun. Domba
Fraksinasi Ekstrak Kasar Rennet Pemisahan protein dengan teknik liquid IEF akan memisahkan protein dalam ekstrak kasar ke dalam tabung koleksi yang akan diuji pH (Tabel 2). Tabel 2 Hasil uji pH terhadap fraksi isolistrik Fraksi ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
pH A1 1 1.5 2.5 3 3.5 4 5 10 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
A2 1 2.5 3.5 4.5 5 11 12.5 13 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
B1 1 2 2.5 3 3.5 4.5 5 6.5 11 11.5 12 12.5 13 14 14 14 14 14 14 14
B2 1 2 2.5 3 4 4.5 6.5 10 12 13 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
1 2 3 19 20
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
Gambar 3 Uji pH dengan kertas strip indikator pH memperlihatkan perubahan warna yang menunjukkan gradien peningkatan pH pada fraksi 1 sampai 20
1. Perbandingan
Hasil
Koagulasi
yang
Dipengaruhi
oleh
Aktivitas
Enzimatis, Asam, dan Basa Rennet yang telah difraksinasi melalui pemusatan isolistrik ke dalam fraksi-fraksi koleksi kemudian diujikan terhadap pH maka akan menunjukkan peningkatan gradien. Hasil koagulasi susu pada kondisi perbedaan tingkat
A
B pada Gambar 4. keasaman tersebut terlihat A
A
C A
B
C
Gambar 4 Gambaran Aktivitas koagulasi pada kondisi ekstrim asam menyebabkan susu pecah (A), penggumpalan sempurna membentuk curd oleh enzim khimosin (B), dan pada kondisi basa tidak menunjukkan koagulasi (C).
2. Koagulasi Ekstrak Kasar Rennet Tabel 3 Perbandingan waktu koagulasi ekstrak kasar rennet Rennet < 1 tahun B1 B2 Rata-rata± SD
Waktu Koagulasi (menit.detik) 1.57 1.26 1.42±0.22
Rennet > 1 tahun A1 A2 Rata-rata± SD
B 1
B2
A1
A2
Waktu Koagulasi (menit.detik) 5.02 8.39 6.71± 2.38
A1 Gambar 5 Hasil koagulasi rennet di bawah satu tahun (B1 dan B2) memperlihatkan curd yang lebih padat dan kompak dibandingkan hasil koagulasi rennet di atas satu tahun (A1 dan A2).
3. Koagulasi Rennet Hasil Fraksinasi Rennet yang telah difraksinasi selanjutnya diuji secara biologik terhadap kemampuan mengkoagulasaikan susu dengan parameter yang diamati adalah waktu koagulasi dan koaggulan yang terbentuk seperti terlihat pada Tabel 4 dan Gambar 6.
Tabel 4 Perbandingan waktu koagulasi susu setelah penambahan rennet hasil pemusatan isolistrik
Fraksi < 1 Tahun B1-6 B2-6 Rata-rata± SD
Waktu Koagulasi (menit.detik) 0.16 0.21 0.19±0.04
Fraksi > 1 Tahun A1-7 A2-5 Rata-rata± SD
B16
B26
A17
A25
Waktu Koagulasi (menit.detik) 2.13 5.52 3.83± 2.40
Gambar 6 Hasil uji koagulasi fraksi di bawah satu tahun (B1-6 dan B2-6) yang memiliki kualitas koagulan yang lebih baik dibandingkan fraksi di atas satu tahun (A1-7 dan A2-5).
Analisa Protein Identifikasi fraksi yang telah dipisahkan melalui pemusatan isolistrik dapat melalui berbagai metode analisa. SDS-PAGE adalah metode elektroforesis yang diaplikasikan untuk analisa campuran protein secara kualitatif, khususnya untuk melihat hasil purifikasi protein dan menentukan estimasi jumlah dan berat molekul (BM) protein. Poliakrilamid gel digunakan karena memiliki spesifikasi yang lebih baik pada molekul protein.
1. Analisa Protein Ekstrak Kasar Rennet
Pada pengujian analisa protein ekstrak kasar rennet, didapatkan gambaran yang mewakili kandungan protein pada mukosa fundus abomasum domba seperti terlihat pada Gambar 7.
A
B
Gambar 7 Analisa protein ekstrak kasar rennet di atas satu tahun (A) dan di bawah satu tahun (B) menunjukkan keberadaan pita protein dengan variasi ketebalan dan intensitas warna. 2. Analisa Protein Hasil Fraksinasi Pada analisa protein rennet yang telah difraksinasi dapat dilihat bahwa
B2-20
B1-8
A2-5
A1-7
A1-6
B1-6
B2-6
B2-1 B2-5
Marker
masih terdapat pita protein yang beragam, seperti terlihat pada Gambar 8.
Khimosin (31 kDa) 36,5 kDa 21.5 kDa
Gambar 8 Hasil gel elektroforesis dari fraksi rennet domba di bawah satu tahun (B2-1, B2-5, B2-6, B1-6, B1-8, B2-20) dan di atas satu tahun (A1-6, A1-7, A2-5) diwarnai dengan pewarnaan silver memperlihatkan keberadaan pita khimosin pada lingkaran merah.
PEMBAHASAN Abomasum merupakan bagian dari lambung ruminansia yang memiliki kemampuan metabolisme enzimatis. Abomasum dijadikan sebagai bahan baku utama penghasil rennet karena didasarkan pada sel-sel penghasil enzim protease yang terdapat pada mukosa abomasum bagian fundus.
Daerah
kelenjar fundus terdiri dari sel epitel permukaan yang menghasilkan mukus, sel leher mukus yang memproduksi cairan penetral, parietal cells atau oxyntic cells yang menghasilkan asam klorida (HCl), chief cells yang memproduksi prekursor enzim seperti pepsinogen, dan sel enteroendokrin sebagai penghasil hormonhormon pencernaan. (Dellmann & Eurell 1998) Pada daerah kelenjar fundus domba umur dewasa muda, sel-sel yang imunoreaktif terhadap pepsinogen terdeteksi dalam jumlah banyak, sedangkan sel-sel yang imunoreaktif terhadap prokhimosin jumlahnya sedang (Fitriyani 2006)
Penentuan umur domba di
bawah satu tahun dan di atas satu tahun didasarkan terhadap pengamatan morfologi gigi-geligi domba. Domba yang memiliki umur di bawah satu tahun menunjukkan berat abomasum yang lebih kecil dibandingkan domba dengan umur di atas satu tahun. Setiap hewan ruminansia mempunyai proporsi ukuran abomasum yang berbeda-beda. Menurut Ruckebush et al (1983), proporsi ukuran dan kapasitas masing-masing ruangan lambung ruminansia berubah sesuai dengan perubahan umur hewan. Umur dan berat badan domba sangat menentukan proporsi besarnya abomasum domba.
Pertambahan berat badan domba berbanding
lurus dengan pertambahan umur domba yang mengakibatkan semakin besar pula abomasumnya. Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa mukosa fundus B2 lebih besar dibandingkan B1 untuk sampel di bawah satu tahun, sedangkan pada sampel di atas satu tahun mukosa A1 lebih besar dibandingkan A2. Pembuatan ekstrak rennet (modifikasi Qadri et al. 1962) berasal dari mukosa daerah fundus karena berdasarkan penelitian sebelumnya telah diperoleh hasil koagulasi susu yang lebih baik dengan ekstrak fundus dibandingkan dengan pilorus.
Prokhimosin
merupakan bentuk inaktif dari khimosin yang kemudian akan diubah menjadi bentuk aktif, yakni khimosin oleh asam klorida (HCl) yang diproduksi oleh sel-sel parietal pada daerah fundus (Dellman & Eurell 1998).
Fraksinasi merupakan langkah awal untuk melakukan proses purifikasi. Prinsip fraksinasi menggunakan liquid IEF BioRad Rotofor® yakni memisahkan enzim protease utama (khimosin dan pepsin) yang terdapat pada ekstrak yang berasal dari fundus ruminansia dengan perbedaan titik isolistriknya.
Hasil
fraksinasi dan purifikasi rennet menggunakan liquid IEF membagi masing-masing sampel ke dalam dua puluh tabung fraksi koleksi yang terpisah berdasarkan titik isolistriknya. Titik isolistrik (isoelectric point = pI) merupakan pH dimana selisih muatan listrik pada permukaan protein adalah nol. Mengacu pada Suhartono (1992), titik isolistrik dari enzim khimosin adalah sekitar pH 4.5 dan titik isolistrik pepsin yaitu sekitar pH 2.85 (Harrow & Mazur 1958). Proses pemisahan protein dengan menggunakan liquid IEF BioRad Rotofor® berlangsung dalam tiga prosedur utama. Proses pre-running sebelum pemusatan isolistrik meliputi proses pembilasan chamber dengan air destilasi yang bertujuan untuk membersihkan ion yang dapat mengkontaminasi sampel. Proses selanjutnya adalah prefocusing, yakni dengan penambahan amfolit BioLyte ke dalam sampel yang bertujuan untuk memunculkan gradien pH yang berfungsi untuk memperluas rentang koreksi dari pH dan dapat menstabilkan gradien pH sewaktu proses pemusatan isolistrik. Perubahan gradien pH secara ekstrim dapat mempresipitasi dan mendenaturasi protein sampel.
Prosedur
terakhir adalah proses focusing, yakni proses pemusatan isolistrik terhadap enzim ke dalam masing-masing fraksi yang mewakili perbedaan pI. Pemilihan amfolit dengan rentang pH 3-10 didasarkan pada tujuan pemisahan enzim khimosin yang memiliki rentang pI yang dapat difasilitasi oleh rentang tersebut. Elektrolit yang digunakan pada elektroda katoda adalah NaOH 0.1 M dan elektrolit yang digunakan pada elektroda anoda adalah H3PO4 0.1 M. Pemilihan elektrolit ini didasarkan pada kemampuan menahan pelepasan ion melalui membran selama proses pemusatan berlangsung. Fraksi yang telah terpurifikasi kemudian dipanen ke dalam Harvesting Chamber dengan prinsip tarikan pompa vakum ke dalam tabung koleksi untuk mencegah terjadinya pencampuran enzim di dalam chamber.
Masing-masing tabung koleksi kemudian diuji pH untuk
memperlihatkan gradien yang terbentuk dengan kertas indikator pH (Gambar 4). Hasil pengujian yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil purifikasi liquid IEF didapatkan bahwa daya fraksinasi terlihat berdasarkan adanya gradien pH yang semakin meningkat seiring kenaikan nomor fraksi (Tabel 2). Fraksi awal memiliki gradien pH asam karena
adanya pelepasan ion H+ yang berasal dari electrolyte chamber anoda yang mengandung H3PO4, sedangkan pada fraksi akhir memiliki gradien pH basa karena pelepasan ion OH- dari katoda yang mengandung NaOH. Pemusatan isolistrik akan terjadi apabila pergerakan kation dan anion hingga mencapai titik netral (tidak bermuatan) yang berbeda untuk masing-masing jenis enzim yang terdapat dalam ekstrak kasar rennet. Banyaknya fraksi yang menunjukkan pH ekstrim basa (pH >10) dikarenakan penggunaan amfolit pada rentang pH 3-10 tidak memfasilitasi terjadinya proses pemusatan isolistrik yang berada di luar rentang amfolit. Pergerakan masif dari ion bermuatan positif (kation) dari elektroda anoda menuju elektroda katoda yang bermuatan negatif juga turut mendukung kenaikan gradien pH.
Lingkungan yang asam membawa jumlah proton yang tinggi yang
dipengaruhi oleh konsentrasi ion H+.
Perkiraan rentang titik isolistrik enzim
khimosin didasarkan terhadap hasil uji koagulasi masing-masing fraksi yang didukung oleh waktu koagulasi yang paling efisien dengan bentuk koagulan yang paling baik sehingga didapatkan bahwa IEF Rotofor mampu mengonsentrasikan enzim khimosin pada rentang pH 4.5-5.
Pada proses koagulasi, netralisasi
muatan negatif dari kasein oleh ion H+ dari asam laktat akan menyebabkan tercapainya pH isolistrik kasein yang mengakibatkan protein terkoagulasi. Penggumpalan akan sempurna bila semua muatan kasein menjadi netral (Bowen 1996). Koagulasi susu merupakan uji spesifik yang digunakan untuk menguji secara kualitatif kemampuan rennet untuk membentuk curd. Metode koagulasi (Scott 1981) digunakan untuk menentukan keberadaan enzim khimosin dalam rennet. Sampel yang tidak mengandung khimosin tidak akan mengalami proses koagulasi membentuk curd.
Susu yang digunakan pada pengujian aktivitas
koagulasi adalah susu pasteurisasi.
Susu pasteurisasi digunakan untuk
menstandarisasikan kualitas biologi susu dengan jalan membunuh bakteri yang tidak diinginkan atau bakteri patogen (Scott 1981). Pada penelitian sebelumnya, didapatkan konsentrasi penambahan rennet yang optimum adalah 4% (v/v), sedangkan suhu optimum susu agar terbentuk curd yang baik akibat penambahan khimosin adalah 37 °C. Jika suhu susu berkisar antara 40-60 °C, maka enzim khimosin akan inaktif (Winarno 1983). Proses koagulasi susu terjadi melalui dua cara, yaitu dengan reaksi enzimatis dan reaksi non enzimatis. Perbandingan hasil koagulasi pada tingkat
keasaman yang beragam dapat dilihat pada Gambar 5.
Pada reaksi non
enzimatis, contohnya oleh penambahan asam akan membentuk kondisi susu pecah dan menggumpal karena keseimbangan kaseinnya berkurang. Sifat asam ini akan mengganggu kestabilan sifat koloidal pada selubung air yang meliputi butir-butir protein, terutama kasein. Proses koagulasi dengan reaksi enzimatis terjadi karena penambahan rennet yang bereaksi dengan κ-kasein akan memecah ikatan fenilalanin-metionin menghasilkan
para-kasein
dan
terhadap α-kasein dan β-kasein.
menghancurkan
aktivitas
penstabilannya
Pemecahan ikatan ini akan menyebabkan
terpisahnya komponen yang bersifat hidrofilik dari para-kasein dan terbentuknya ikatan dengan ion Ca2+ yang melakukan penggabungan dengan komponen susu lainnya membentuk koagulan (curd) yang terpisah dari cairannya (whey) (Daulay 1990).
Sedangkan pada kondisi basa tidak menunjukkan aktivitas koagulasi
dikarenakan enzim protease tidak bekerja dalam lingkungan basa. Parameter yang diukur dalam pengujian koagulasi adalah kualitas koagulan yang terbentuk serta waktu koagulasi. Waktu koagulasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya gumpalan pertama setelah dimasukkan rennet ke dalam susu. Titik akhir pengamatan terjadi setelah susu menggumpal sempurna (curd). Waktu koagulasi dari sampel rennet di atas dan di bawah satu tahun dapat dilihat dalam Tabel 3. Hasil koagulan yang terbentuk terlihat pada Gambar 6. Berdasarkan hasil uji koagulasi, ekstrak kasar rennet di bawah satu tahun memiliki hasil koagulan yang lebih kompak dan lebih padat serta waktu koagulasi yang lebih cepat dibandingkan rennet di atas satu tahun. Terdapat perbedaan waktu secara deskriptif yang signifikan antara ekstrak kasar rennet di atas dan di bawah satu tahun dikarenakan pada hewan ruminansia yang telah lepas sapih dan mulai mengonsumsi pakan hijauan, produksi khimosin akan digantikan dengan sekresi pepsin (Daulay 1990). Hasil koagulasi susu oleh pepsin akan menghasilkan waktu koagulasi yang lama, koagulan yang lunak, kehilangan lemak dalam whey, terbentuk peptida pahit, tekstur dan dadih (curd) keju yang lebih lunak (Kilara dan Iya 1984). Kuantitas pepsin dipengaruhi oleh umur dan jenis makanan hewan.
Pedet yang hanya mengonsumsi susu mengandung
sekitar 6-12% pepsin pada ekstrak abomasumnya, sedangkan pedet yang telah mengkonsumsi makanan padat (selain susu) akan mengalami peningkatan enzim pepsin dan pengurangan kadar khimosin. Pada usia di atas satu minggu
produksi khimosin akan menurun drastis, namun pada ruminansia produksi khimosin tidak pernah bernar-benar terhenti walaupun telah memasuki usia dewasa (Fox 1993). Mengacu pada Tabel 1, didapatkan bahwa mukosa fundus yang lebih besar, yakni sampel A1 untuk rennet di atas satu tahun dan sampel B2 untuk sampel rennet di bawah satu tahun berpengaruh terhadap waktu koagulasi yang lebih cepat. Besarnya mukosa fundus berkorelasi positif dengan jumlah sekresi enzim protease.
Semakin luas permukaan mukosa fundus, maka semakin
banyak jumlah sel utama yang mensekresikan enzim khimosin. Waktu yang diperlukan untuk mengkoagulasi susu dari tiap sampel fraksi berbeda-beda. Waktu koagulasi dari susu yang ditambahkan sampel B1-6 dan B2-6 (di bawah satu tahun) lebih cepat dibandingkan dengan pemberian sampel A1-7 dan A2-5 (di atas satu tahun). Domba dengan umur di atas satu tahun memiliki fundus yang lebih besar dibandingkan domba yang berumur di bawah satu tahun, namun semakin sedikit khimosin yang dihasilkan oleh sel utama karena terjadi kolokalisasi fungsi sel utama dan sekresi enzim khimosin telah disubstitusi dengan sekresi pepsin yang merupakan protease utama dalam saluran pencernaan hewan dewasa. Waktu koagulasi yang dibutuhkan fraksi rennet yang telah mengalami pemusatan isolistrik (Tabel 4) lebih cepat dibandingkan ekstrak kasar (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan uji koagulasi, terjadi proses pemusatan enzim khimosin pada fraksi tersebut yang meningkatkan efisiensi waktu koagulasi. Fraksi-fraksi tersebut memiliki konsentrasi enzim khimosin yang lebih tinggi dibandingkan fraksi lain akibat pemusatan IEF terhadap titik isolistriknya. Pemusatan enzim khimosin dapat dibuktikan dengan keberadaan pita protein yang dianalisa dengan menggunakan SDS-PAGE. Identifikasi fraksi yang telah dipisahkan melalui pemusatan isolistrik dapat melalui berbagai metode analisa. SDS-PAGE adalah metode elektroforesis yang diaplikasikan untuk analisa campuran protein secara kualitatif, khususnya untuk melihat hasil purifikasi protein dan menentukan estimasi jumlah dan berat molekul (BM) protein. Poliakrilamid gel digunakan karena memiliki spesifikasi yang lebih baik pada molekul protein. Hasil analisa protein menggunakan SDS-PAGE pada ekstrak kasar rennet memberikan gambaran banyaknya pita protein dengan ketebalan yang beragam.
Pita-pita protein tersebut merepresentasikan protein yang terdapat
pada sekreta fundus abomasum. Rennet di atas dan di bawah satu tahun tidak memberikan gambaran perbedaan secara kualitatif. Intensitas warna yang lebih gelap mengindikasikan kandungan protein yang lebih tinggi. Variasi keragaman ekstrak kasar rennet yang tinggi dapat disebabkan terjadinya pemotongan protein yang terjadi selama prosedur ekstraksi. Pada analisa protein rennet yang telah difraksinasi dapat dilihat bahwa masih terdapat pita protein yang beragam, dengan variasi yang lebih minim dibandingkan dengan elektroforesis ekstrak kasar (Gambar 8). Hal ini menunjukkan terjadi proses pemurnian yang bersifat parsial dari prosedur pemusatan isolistrik. Pemurnian bersifat parsial dikarenakan proses liquid IEF hanya memusatkan jenis protein yang memiliki titik isolistrik yang sama dalam satu tabung koleksi. Fraksi yang mewakili pH ekstrim asam (B2-1) memiliki pita tebal dan gelap di bagian bawah yang menandakan keberadaan protein dengan BM yang kecil dalam kuantitas yang tinggi. Fraksi yang mewakili pH ekstrim basa (B2-20) tidak menunjukkan keberadaan pita protein dikarenakan tidak terdapat enzim pada mukosa fundus abomasum yang memiliki titik isolistrik pada pH tersebut. Fraksi yang mewakili pH dalam rentang titik isolistrik khimosin (B2-5, B2-6, B1-6, A1-6, A1-7, A1-5, B1-8) menunjukkan keragaman pita dengan ketebalan yang berbeda-beda. Enzim khimosin dapat diestimasi berdasarkan perbandingan BM antara pita marker dan pita sampel, yakni diestimasi pada BM 31 kDa yang terletak di antara Lactate dehydrogenase (36,5 kDa) dan Trypsin Inhibitor (21.5 kDa) pada marker NuPAGE®. Keberadaan pepsin dalam gel elektroforesis tidak dapat diestimasi secara pasti karena pepsin memiliki pI yang lebih rendah dari khimosin, yakni dalam rentang 1.5-2.85 namun memiliki BM yang lebih tinggi (36 kDa) sehingga pepsin akan terkonsentrasi pada fraksi awal dengan pH rendah diluar rentang amfolit yang digunakan (pH 3-10). Keberadaan enzim khimosin dalam gel elektroforesis membuktikan bahwa koagulasi susu yang terjadi pada pengujian fraksi tersebut terjadi secara enzimatis. Berdasarkan hasil analisa protein dan uji koagulasi, proses fraksinasi liquid IEF BioRad Rotofor® terhadap ekstrak kasar rennet mampu memfraksinasi dan mengeliminir protein yang tidak berada dalam rentang pI khimosin, dibuktikan dari perbandingan pita sebelum pemusatan isolistrik liquid IEF (Gambar 8-A) dan setelah pemusatan isolistrik (Gambar 8-B; 9) yang
menunjukkan berkurangnya keragaman pita setelah difraksinasi, namun IEF Rotofor® tidak dapat memisahkan dan mengisolasi enzim khimosin dan pepsin secara murni. Banyaknya pita protein lain yang terdapat dalam gel hasil pemurnian dapat disebabkan karena protein-protein tersebut mempunyai rentang tititk isolistrik yang sama, sehingga terkonsentrasi dalam satu tabung koleksi namun memiliki BM yang berbeda-beda.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Teknik IEF dapat mengonsentrasikan enzim khimosin pada rentang pH 4,5-5, yang didukung oleh efisiensi waktu koagulasi. Fraksinasi menggunakan IEF Rotofor® terhadap rennet dapat memisahkan enzim khimosin berdasarkan titik isolistrik (pI), namun belum maksimal untuk purifikasi karena tidak dapat mengisolasi enzim khimosin dan pepsin secara murni. Rennet yang difraksinasi memiliki waktu koagulasi yang lebih cepat dibandingkan dengan ekstrak kasar renet. Sampel dari domba berumur diatas dan dibawah satu tahun dapat mengkoagulasikan susu dengan baik, namun sampel di bawah satu tahun menunjukkan kualitas koagulasi yang lebih baik. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas purifikasi rennet menggunakan IEF Rotofor® dengan melakukan refraksinasi dan memperpanjang waktu pemusatan serta dengan penggunaan rentang amfolit yang lebih spesifik terhadap masing-masing enzim khimosin dan pepsin. Perlu dilakukan pemurnian lanjutan dengan kromatografi untuk mendapatkan hasil pemurnian enzim yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Atallah AG. 2007. Characters of chymosin gene isolated from different animal sources at molecular level. J of Applied Sciences Research 3(9): 904-907. Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Ed ke-3. Philadelphia: Mosby Pp: 338-349. Bergman AR, Adel KA, Paul MH. 1996. Histology. Philadelphia: W. B. Saunders Co. Bolen PL, Cihak PL, Scharpf Jr LG. 2003. Goat pregastric esterase and its use in the production of cheese. International Flavors & Fragrances Inc. US Patent WO 03045156. [BioRad]. Rotofor® System Instruction Manual. Bowen R. 1996. Chymosin (Rennin) and the Coagulation of Milk. http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/digestion/stomach/rennin. Html. [3 Feb 2009]. Boyer
RF. 1986. Modern Experimeental Benjamin/Cummings Publishing Co. Inc.
Biochemistry.
Canada:
Broome MC, Limsowtin GKY. 1998. Milk coagulants. Aust J Dairy Technol 53:188–190. Caprette D.1996. Introduction SDS-PAGE. www.ruf.rice.edu/~bioslabs/studies/sds-page/gellab2.html.[3 Februari 2009] Cheeseman GC. 1981. Rennet and Cheesemaking. Di dalam: Birch GG, Blakebrought N, Parker KJ, editor. Enzyme and Food Processing. London: Applied Science Publisher Ltd. Cmegar W, Cruegar A. 1984. Enzymes. Di dalam: Brock TD, editor. Biotechnology: a Textboox of Industrial Microbiology. Madison: Sci. Tech., Inc. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri : Mosby. Daulay D. 1990. Fermentasi Keju. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi-PAU Pangan dan Gizi IPB. Daulay D. 1995. Isolasi, karakterisasi fungisional dan penggunaan protease ikan tuna sebagai pengganti rennet untuk pembuatan keju. Abstrak. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Dellman HD, Eurell J. 1998. Buku Teks Histologi Veteriner. R. Hartono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Histology. Pp: 180-187.
[DITJENAK]. Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Populasi Domba menurut Propinsi. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/2008/pop-domba.html [10 Jan 2009]. Djuwita I. 2004. Pemanfaatan Teknik Elektroforesis dalam Karakterisasi Asam Nukleat dan Protein. Pelatihan Pemanfaatan Teknik dan Instrumentasi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 1996. Textbook of Veterinary Anatomy 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co. Fitriyani EN. 2006. Studi Morfologi Abomasum Domba Lokal Umur Dewasa Muda (6-12 bulan) dan Uji Aktivitas Ekstrak Mukosanya dalam Mengkoagulasikan Susu [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Fox PF. 1993. Cheese. Chemistry, Physics, and Microbiology. Maryland: Aspen Publisher Inc. Getty R. 1975. Sisson’s and Grosmann. The Anatomy of the Domestic Animals, Vol. 2. 5th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co. Pp: 480. Goenardjoadi. 1988. Evaluasi Karakteristik Ekstrak Rennet dari Abomasum Anak Sapi Perah [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harrow B, Mazur A. 1958. Textbook of Biochemistry. USA: W.B. Saunders Co. Heishi Y, Yamada J, Kitamura N, Yamashita T, Andren A. 1995. Immunohistochemical study on the development of progastricsinimmunoreactive cells in the bovine abomasal mucosa. Eur J Histochem. 39: 39-46. Kilara A, Iya KK. 1984. Proteolytic enzymes and their application in dairy industry. Indian J Dairy Sci 37(3): 241. Kumar A, Sharma J, Mohanty AK, Grover S, Batish VK. 2006. Purification and characterization of milk clotting enzyme from goat (Capra hircus). Comparative Biochemistry and Physiology Part B 145: 108–113 Miura H, Yamada J, Kitamura N, Andren A. 1988. An immunohistochemical study of prokhimosin- and pepsinogen-immunoreactive cells in the abomasal mucosa of cattle fetuses. Z Mikrosk Anat Forsch 102: 101-110. Morris CJOR. 1976. Separation Methods In Biochemistry. Ed ke-2. London: Pitman Publishing. Nisa’ C, Agungpriyono S, Maheswari RRA. 2007. Uji aktivitas ekstrak mukosa abomasum domba lokal dalam mengkoagulasikan susu. J Medis Veteriner Indonesia II (2): 58-63. Nisa’ C, Purnawarman T, Djuwita I, Choliq C. 2009. Produksi dan uji biologis rennet dari abomasum domba lokal sebagai bahan bioaktif dalam
pembuatan keju. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB, Buku I Bidang Pangan dan Energi. Bogor: LPMM Institut Pertanian Bogor. Nur M, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Bogor: Depdikbud Dikti-PAU Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Perrit D, Flechner I, Okunev E, Yanai P, Halperin T, Treves AJ, Barak V. 1992. Purification by preparative isoelectric focusing in free solution. J Immunol Methods. 155(2): 159-65. Putra MD. 2009. Pengaruh Netralisasi pH Terhadap Kualitas Rennet Yang Diisolasi Dari Abomasum Domba Lokal [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Qadri RB, Ansari MA, Mahdihassan S. 1962. A revised method of preparing rennet. Pakistan J Sci Ind Res 5:196. Ruckebush Y, Dardillat C, Guilloteau P. 1983. Development of digestive function in the newborn ruminant. Ann Rech Vet. 14(4): 360-374. Rybicki E, Purves M. 2000. SDS poliacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). http://www.faseb.org/opa/bloodsupply/sds.html. [3 Februari 2009] Scott R. 1981. Cheese Making Practice. London: Applied Science Publisher Ltd. Shamsuzzaman K, Haard NF. 2006. Evaluation of harp seal gastric protease as a rennet substitute for cheddar cheese J of Food Science 48(1):179 – 182: abstrak. Shetty K, Paliyath G, Pometto A, Levin RE. Editor. 2005. Food Biotechnology 2nd Edition. Suite: Taylor and Francis Groups. Statistika Peternakan. 2006. Bandung: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. Suhartono MT. 1992. Protease. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Teuber M. 1993. Genetic engineering techniques in food microbiology and enzymology [abstrak]. Di dalam: Food Reviews International 9(3): 389 – 409. Vanslyke LL, Price VW. 1949. Cheese. New York: Orange Judd Publishing Company, Inc. Verissimo P, Esteves C, Faro C, Pires E. 1995. The vegetable rennet of Cynara cardunculus L. contains two proteinases with chymosin and pepsin-like specificities. Biotechnology Letters 17(6): 621-626. Wilson K, Walker JM. 1999. Principles and Techniques of Practical Biochemistry, 5ed. New York: Cambridge University Press. Widyowatie D. 1980. Mempelajari Ekstraksi Rennet, Pengaruh Wadah Komposisi Pelarut dan Daya Penggumpalannya terhadap Susu pada Berbagai Tingkat
Keasaman [skripsi]. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 1983. Enzym Pangan. Jakarta: Gramedia.
Lampiran 1 Prosedur Rotofor
Kalibrasi Membran Ion Membran ion terdiri dari membran kation yang berkorelasi dengan elektrolit H3PO4 0,1 N terpasang pada elektroda anoda sebagai pembawa ion positif, sedangkan membran anion berkorelasi dengan elektrolit NaOH 0,1 N terpasang pada elektroda katoda sebagai pembawa ion negatif. Membran ion tersebut sebelum digunakan harus direndam larutan elektrolit selama satu malam.
Pre-running Condition Pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan denaturasi protein dan merusak Rotor Chamber. Sebelum dan selama proses pemusatan berlangsung, mesin pendingin (cooler inflow) harus diaktifkan untuk mensirkulasikan air dengan suhu yang telah diatur pada 4 °C. Pengaturan suhu sebaiknya dilakukan 10-15 menit sebelum pemusatan untuk mengadaptasi alat sampai mencapai ekulibrium suhu dalam chamber. Lubang posterior pada Rotor kemudian diselotip untuk mencegah kebocoran selama pemasukan sampel. Sampel yang telah ditambahkan dengan 2% amfolit kemudian dimasukkan ke dalam lubang-lubang anterior pada Rotor dengan menggunakan syringe 15 ml, dan lubang anterior tersebut kemudian diselotip untuk mencegah kebocoran selama proses pemusatan berlangsung. Selama pemasukan sampel, harus diperhatikan kemungkinan timbulnya gelembung udara pada Rotor karena gelembung udara dapat menyebabkan lonjakan voltase selama proses sehingga sistem akan mati (safety shutdown).
Running Proses pemusatan menggunakan energi listrik dengan voltase tinggi, sehingga selama proses pemusatan harus selalu dipastikan tutup chamber terpasang agar voltase tidak terekspos ke luar dan bersifat membahayakan pemakai alat. Proses pemusatan akan berlangsung ketika tombol Rotor diatur pada kondisi ”RUN” dengan terminal Rotor tersambung dengan sumber listrik.
Daya yang digunakan pada Standard Rotofor Chamber selama proses adalah sebesar 15 Watt dan diatur konstan, sehingga penambahan kuat arus (mA) dan voltase (V) dapat disinkronisasi. Proses pemusatan umumnya berlangsung selama 3-5 jam, dengan maksimal 6 jam. Apabila pemusatan berlangsung lebih dari 6 jam, maka akan merusak gradien pH yang terbentuk.
Post-running Condition Prosedur untuk mengoleksi fraksi dimulai dengan pemasangan rak koleksi pada Harvesting Chamber. Rak kolekksi kemudian diisi dengan 20 tabung kultur (12 x 75 mm). Setelah pemasangan selesai, selanjutnya ke dalam terminal chamber, dihubungkan selang yang tersambung pada mesin vakum dengan tekanan 10-50 mmHg. Setelah proses pemusatan selesai, alat kemudian di set untuk posisi panen dengan menekan tombol ”HARVEST” pada Rotor Chamber. Alat akan memposisikan ke dalam kondisi panen, selanjutnya pin port untuk panen yang tersambung dengan Harvesting Chamber ditusukkan pada bagian lubang posterior Rotor, dan proses pemanenan akan berlangsung ketika mesin vakum dinyalakan. Sampel akan masuk ke dalam masing-masing tabung koleksi yang telah terpisah berdasarkan titik isolistriknya. Fraksi yang telah dikoleksi tersebut kemudian akan di analisa gradien pemisahannya dengan cara pengujian pH terhadap masing-masing fraksi. Hasil pemisahan yang lebih baik akan didapatkan apabila dilakukan refraksinasi terhadap fraksi yang dikoleksi dengan menggunakan Mini Rotofor Chamber. Pengujian terhadap kandungan protein di dalam fraksi dapat dilakukan dengan elektroforesis SDS-PAGE, metode dialisa, presipitasi garam dengan Ammonium Sulfat, dan teknik kromatografi.
Lampiran 2 Persiapan Running SDS-PAGE
Pembuatan larutan buffer Larutan buffer yang digunakan dalam proses elektroforesis adalah tris HCl 1,5 M pH 8,8; tris HCl 0,5 M pH 6,8; dan running buffer. Tris HCl 1,5 M pH 8,8 dibuat dengan mencampur tris base 54,45 gr dan aquadest 150 ml. Setelah homogen, pH-nya diatur hingga mencapai 8,8 dengan penambahan NaOH atau HCl dan selanjutnya ditambah aquades sampai volumenya 300 ml. Tris HCl 0,5 M pH 6,8 dibuat dengan campuran tris base sebanyak 6 gr, dan aquades 60 ml yang jika telah homogen, maka pH-nya diatur hingga mencapai 6,8 dengan penambahan NaOH atau HCl. Kemudian aquades ditambahkan sampai volumenya 100 ml. Langkah pertama yang dilakukan untuk pembuatan running buffer adalah pembuatan stock buffer. Stock buffer dibuat dengan campuran tris base 1,5 gr; glisin 7,2 gr; dan SDS 0,5 gr. Setelah itu, campuran dihomogenkan dan untuk membuat running buffer 10x yang siap dipakai, maka 100 ml stock buffer ditambah dengan 400 ml aquades. Larutan tersebut kemudian diatur pH-nya dengan menambah NaOH atau HCl sampai pH mencapai 8,3.
Pembuatan gel elektroforesis (SDS-PAGE) Gel untuk elektroforesis terdiri dari dua yaitu separating gel dan stacking gel. Separating gel dibuat dengan mencampurkan 4 ml poliakrilamid; 3,35 ml aquades; 2,5 ml tris HCl pH 8,6; 0,1 ml SDS 10%; 5 µl TEMED dan 50 µl amonium persulfat 10%. Semua bahan tersebut dihomogenkan dalam gelas piala, kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam lempeng kaca pembentuk gel sampai memenuhi tiga perempat lempeng kaca tersebut. Separating gel dibuat terlebih dahulu dibandingkan stacking gel. Setelah separating gel mulai memadat, kemudian stacking gel dimasukkan dan sisir untuk membuat sumur dipasang. Selanjutnya dibiarkan beberapa lama hingga gel memadat. Stacking gel dibuat dengan campuran 0,65 ml poliakrilamid; 3,05 ml aquades; 1,25 ml tris HCl pH 6,8; 50 µl SDS 10%; 5 µl TEMED dan 25 µl amonium persulfat 10%. Apabila gel telah memadat, maka sisir dilepas dan lempeng kaca dimasukkan ke dalam chamber alat elektroforesis.
Proses running SDS-PAGE Chamber yang telah dipasang lempeng kaca diisi dengan running buffer 10X sampai kira-kira bagian bawah gel terendam minimal setinggi 1 cm. Bagian atas chamber juga diisi dengan running buffer 10X. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam masing-masing sumur gel. Sampel tersebut terdiri dari 30 µl loading buffer dan 15 µl supernatan. Chamber ditutup dan kabel dipasang, kemudian alat diatur dengan kuat arus listrik 35 mA dan tegangan sebesar 110 V, serta waktu 180 menit. Setelah selesai, gel dilepas dari lempeng kaca secara perlahan agar tidak rusak dan gel diwarnai dengan pewarnaan coomasie brilliant blue R.
Pewarnaan silver untuk SDS-PAGE Larutan pewarna harus dibuat segar tidak lebih dari 24 jam agar memberikan hasil terbaik. Proses pewarnaan meliputi tahapan sebagai berikut: a. Proses fiksasi dilakukan selama 30 menit. Larutan fiksasi dibuat dengan mencampurkan 100 ml etanol absolute dengan 25 ml asam asetat glasial, lalu ditambah aquades hingga volume mencapai 250 ml. b. Proses sensitisasi dilakukan selama 30 menit sambil digoyangkan secara perlahan-lahan. Cara membuat larutan ini adalah mencampur 75 ml etanol absolute dengan 1,25 ml glutardialdehid, 10 ml sodium tiosulfat, dan
10 ml sodium asetat, lalu ditambah aquades hingga volume
mencapai 250 ml. c. Gel dicuci dengan aquades selama 5 menit dengan 3 kali pengulangan. d. Proses pewarnaan dilakukan selama 20 menit sambil menggoyangkan wadahnya secara perlahan-lahan. Pembuatannya adalah mencampur 25 ml larutan silver nitrat dengan 0,1 ml formaldehid, lalu aquades ditambahkan hingga volume mencapai 250 ml. e. Gel dicuci kembali dengan aquades selama 1 menit sebanyak 2 kali pengulangan. f.
Proses developing dilakukan selama 2 menit, hingga larutan developing tampak berwarna coklat. Proses ini menggunakan campuran sodium karbonat dengan 0,05 ml formaldehid, lalu ditambah dengan aquades hingga volume mencapai 250 ml. Campuran dikocok secara perlahan hingga bening.
g. Proses stopping selama 10 menit menggunakan EDTA-Na2.2H2O (3.65 g) ditambah dengan aquades hingga volume mencapai 250 ml. h. Proses terakhir gel dicuci dengan aquades selama 5 menit dengan 3 kali pengulangan.