Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PEMANFAATAN PROTEIN PADA DOMBA LOKAL AKIBAT PERBEDAAN SUHU LINGKUNGAN (Protein Utilization of Indigenous Sheep at Different Ambient Temperature) SUSILONINGSIH, I. MEGAKUSUMA, SOEDARSONO, E. RIANTO dan A. PURNOMOADI Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang
ABSTRACT The aim of this experiment was to examine the effects of ambient temperature on protein utilization in indigenous sheep. Sixteen indigenous sheep, aged 12 months old with an average body weight of 15.24±2.01 kg (CV=13.21%) were used. The sheep were penned, fed and watered individually indifferent temperature (24°C vs 34°C). The sheep were given a complete feed diet to fulfill the requirement of 1.5x maintenance (1.5xM; equal to 3.9%BW). The experimental design employed was a Completely Randomized Design. The results showed that the CP intake was similar in 24oC and 34oC (64.43 vs 69.30 g/d, respectively). Fecal CP was similar for sheep at 24oC and 34oC. Digestible CP and metabolisable CP did not differ between temperature. The CP digestibility did not differ between temperatures. There were no significant effects of different temperature on protein utilization. The current results show that high ambient temperature did not affect protein utilization with respect to water intake. Key Words: Indigenous Sheep, Ambient Temperatures, Protein Utilization ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan protein pada domba local akibat perbedaan suhu lingkungan. Enam belas domba local berumur 12 bulan dengan rata-rata bobot hidup 15,24 ± 2,01 kg digunakan dalam penelitian ini. Ternak dikandangkan, diberi pakan dan minum secara individu pada ruang dengan suhu yangberbeda (24°C vs 34°C). Ternak diberi pakan komplit untuk memenuhi 1,5 kali kebutuhan maintenance (3,9% BH). Penelitian dilakukan berdasarkan rancangan acak lengkap. Hasil menunjukkan bahwa perbedaan temperatur lingkungan tidak nyata mempengaruhi konsumsi protein kasar (64,43 vs 69,30 g/ekor/hari). Kandungan protein kasar dalam feses tidak berbeda antara domba yang dipelihara pada temperatur 24°C maupun 34°C. Perlakuan tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein kasar maupun penggunaan protein oleh domba lokal. Kata Kunci: Domba Lokal, Temperatur Lingkungan, Pemanfaatan Protein
PENDAHULUAN Produktivitas ternak dipengaruhi oleh stress panas (FUQUAY, 1981). RIANTO (1997) menunjukkan bahwa penurunan konsumsi pakan pada suhu 30○C mengindikasikan domba sedang mengalami stres panas. Pada suhu lingkungan tinggi, ternak berusaha menurunkan produksi panas dan menyeimbangkan suhu tubuh dengan menurunkan konsumsi pakan (LENG, 1990; DAHLANUDDIN dan THWAITES, 1993; RIANTO et al., 2001). Kondisi ini terjadi jika ternak tidak dapat melepaskan panas tubuh melalui konduksi, konveksi, evaporasi dan radiasi.
Evaporasi air melalui permukaan kulit atau saluran respirasi adalah mekanisme utama yang digunakan oleh ternak untuk mengurangi peningkatan panas tubuh pada suhu lingkungan tinggi. BLAXTER (1962) melaporkan bahwa ternak ruminansia mencoba mengurangi peningkatan panas tubuh melalui evaporasi, dengan menaikkan suhu tubuh. Penurunan suhu melalui evaporasi terjadi saat suhu udara di sekitar ternak lebih rendah daripada suhu permukaan kulit ternak (FUQUAY, 1981). Namun, pada kondisi lingkungan yang panas, konsumsi pakan akan menurun. Meskipun konsumsi pakan menurun, kecernaan cenderung tidak berubah atau
477
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
bahkan meningkat (COLDITZ dan KELLAWAY, 1972). Hal ini menjadi benar saat konsumsi menurun, kecepatan aliran pakan menurun sehingga mikroba dan enzim lebih lama mencerna pakan. Akan tetapi, produksi ternak, seperti pertambahan bobot badan harian, secara umum berada pada keadaan stagnan selama stres panas (MC GUIRE et al., 1989; KNAPP dan GRUMMER, 1991). Akibat penurunan konsumsi pakan pada suhu lingkungan tinggi adalah menurunnya pasokan protein pakan untuk aktivitas mikroba dan pertumbuhan. Oleh karena itu, kebutuhan untuk hidup pokok dan pemanfaatan protein pakan diduga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. COMBS (1965) melaporkan bahwa pada ayam petelur kebutuhan asam amino meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. Demikian juga pada domba ada kecenderungan kebutuhan protein untuk hidup pokok meningkat selama stres panas (BRINK dan AMES, 1978). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh KAMIYA et al. (2006), menunjukkan bahwa pada sapi perah pemanfaatan nitrogen untuk produksi susu menurun selama suhu lingkungan tinggi dan pembatasan pakan. Hasil tersebut menjadi pertimbangan bahwa pemanfaatan protein pada domba lokal kemungkinan berhubungan dengan suhu lingkungan tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu lingkungan terhadap pemanfaatan protein pada domba lokal.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar pakan standar yang tepat untuk domba lokal Indonesia guna mengatasi pengaruh suhu lingkungan yang tinggi. MATERI DAN METODE Materi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September sampai dengan bulan November 2007 di Laboratorium Ternak Potong dan Kerja, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro Semarang. Enam belas domba, berumur 12 bulan dengan rata – rata bobot badan 15,24 ± 2,01 kg (CV = 13,21%) digunakan dalam penelitian ini. Domba dikandangkan, diberi pakan dan minum secara individu pada ruangan yang bersuhu beda. Domba diberi pakan complete feed yang berbentuk partikel kecil untuk memenuhi kebutuhan 1,5 x hidup pokok (1,5 x HP; sama dengan 3,9% BB). Bahan pakan terdiri dari rumput gajah 20%, kulit kopi 10%, dedak padi 35%, onggok 18%, bungkil kedelai 15%, mineral 1% dan garam 1%. Kandungan nutrisi bahan pakan tersebut ditampilkan pada Tabel 1. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2 perlakuan 8 ulangan selama 8 minggu, setelah 2 minggu periode pendahuluan.
Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini PK
Bahan pakan (proporsi %)
LK
SK
Abu
BETN
…………………. %DM...........................
GE (KJ/g)
Pakan complete feed
13,71
2,03
23,71
14,78
45,75
14,66
Rumput gajah (20%)
8,27
2,42
43,80
11,68
23,78
13,28
Bungkil kopi (10%)
9,13
2,03
29,49
6,17
42,57
16,00
Dedak padi (35%)
8,32
7,27
23,65
15,57
37,32
15,49
Onggok (18%)
2,86
1,47
12,49
10,70
60,99
13,69
Bungkil kedelai (15%)
46,37
2,57
2,58
6,63
31,73
16,77
Mineral (1%)
-
-
-
-
-
-
Garam (1%)
-
-
-
-
-
-
BK = bahan kering; PK = protein kasar; LK = lemak kasar; SK = serat kasar; GE = gross energy; BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen
478
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Parameter penelitian Parameter yang diamati adalah jumlah konsumsi bahan kering (BK), jumlah protein yang dikonsumsi, protein yang dikeluarkan melalui feses, dan protein yang dikeluarkan melalui urin. Pemanfaatan protein dihitung dari selisih antara jumlah protein yang dikonsumsi dikurangi dengan protein feses dan protein urin. Prosedur penelitian Penelitian ini dilakukan selama 8 minggu dengan 3 periode yaitu 3 minggu untuk periode adaptasi, 1 minggu periode pendahuluan dan 4 minggu untuk periode total koleksi. Selama periode adaptasi, domba diberi obat cacing secara oral untuk menghilangkan gangguan parasit cacing di tubuh ternak domba. Pada tahap ini domba diberi pakan penelitian secara bertahap pada pagi dan sore hari untuk membiasakan domba mengkonsumsi pakan tersebut. Kegiatan yang dilakukan selama periode pendahuluan adalah penempatan materi penelitian di kandang dengan suhu yang berbeda. Pakan yang diberikan pada tahap pendahuluan ini telah sesuai dengan perlakuan pakan yang dicobakan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh pakan sebelumnya. Konsumsi air diberikan ad libitum. Pada akhir periode pendahuluan dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal domba. Periode total koleksi dilakukan selama 4 minggu. Konsumsi bahan kering dihitung dari selisih dari pakan yang dikonsumsi dan pakan yang sisa, kemudian mengalikan dengan hasil dari analisis bahan kering. Total koleksi feses dan urin yang dikeluarkan oleh ternak dilakukan selama 7 hari berturut-turut pada minggu keenam. Hasil penampungan feses dan urin ditimbang dan kemudian diambil sampel. Pada hari pertama total koleksi, sampel feses diambil sebanyak 200g. pengambilan sampel feses pada berikutnya, disesuaikan proporsinya dengan pengambilan hari pertama. Hasil total koleksi feses selama 7 hari kemudian dikeringkan. Feses yang kering ditumbuk dan dicampur hingga homogen, kemudian diambil sampel untuk dianalisis. Sampel urin pada hari pertama diambil kurang lebih 200g. Hasil total koleksi urin selama 7 hari kemudian dicampurkan hingga homogen,
kemudian diambil sampel untuk dianalisis. Sebelum analisis, sampel urin disimpan didalam freezer (suhu -20°C). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan kecernaan pakan Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi bahan kering (KBK), bahan kering tercerna, kecernaan bahan kering dan konsumsi air ditampilkan di Tabel 3. Konsumsi bahan kering dan bahan kering tercerna menunjukkan tidak ada perbedaan antara suhu perlakuan, yang berkisar antara 469,80 – 479,84 g/hari untuk KBK dan 266 – 270 g/hari untuk bahan kering tercerna (P > 0,05). Tabel 2. Konsumsi bahan kering, bahan kering tercerna dan kecernaan bahan kering pada domba lokal akibat perbedaan suhu lingkungan Parameter
Suhu lingkungan
Pengaruh
24°C
34°C
KBK (g/hari)
469,80
479,84
ns
BK tercerna (g/hari)
270
266
ns
Kecernaan BK (%)
56,65
55,50
ns
Konsumsi air (ml/hari)
1377
2003
T**
KBK = konsumsi bahan kering; BK = bahan kering; T = suhu lingkungan; * = P < 0,05; ** = P < 0,01; ns = tidak berbeda
Pengaruh suhu lingkungan tidak signifikan terhadap kecernaan bahan kering, rata–rata berkisar 54,41 – 57,74% (P > 0,05). Pada suhu lingkungan yang tinggi konsumsi air lebih tinggi (P < 0,05) daripada suhu thermonetral. Pada perlakuan, tidak ada perbedaan yang signifikan (P > 0,05) terhadap konsumsi bahan kering, berkisar 469,80 g/hari untuk 24○C dan 479,84 g/hari untuk 34○C. Hal ini berbeda dengan RIANTO et al. (1998) yang melaporkan bahwa konsumsi bahan kering menurun pada domba yang mendapat suhu lingkungan yang tinggi. Selain itu, perbedaan tersebut kemungkinan akibat suhu yang berfluktuasi dalam penelitian ini (Tabel 3), yang membuat domba lebih tahan terhadap perubahan suhu
479
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
lingkungan. Hasil tersebut sesuai dengan GIACOMINI (1979) yang menyatakan bahwa domba dalam suhu lingkungan yang berfluktuasi (dengan rata–rata suhu 15○C) tidak berbeda dengan suhu yang konstan. Pada studi menggunakan babi, MINTON et al. (1988), menemukan bahwa suhu lingkungan yang berfluktuasi menghasilkan konsumsi pakan dan performans pertumbuhan yang sama dengan babi pada suhu lingkungan yang konstan. Tabel 3. Suhu lingkungan yang telah diukur dalam penelitian ini Thermonetral (°C)
Suhu lingkungan tinggi (°C)
06.00
20
30
09.00
23
33
11.00
29
36
13.00
30
38
17.00
26
37
20.00
23
33
23.00
19
31
Jam
03.00 Rata-rata
18
30
23,5
33,5
Konsumsi bahan kering berhubungan dengan konsumsi air. Peningkatan konsumsi bahan kering pada suhu lingkungan yang tinggi kemungkinan diikuti peningkatan konsumsi air. Tetapi, pada penelitian ini konsumsi bahan kering dalam suhu lingkungan yang tinggi besarnya sama dengan pada suhu thermonetral. Hal tersebut berarti bahwa dimungkinkan air yang dikonsumsi dapat menyeimbangkan suhu tubuh dan mengurangi pengaruh stres panas. Sehingga, konsumsi bahan kering tidak terpengaruh dengan suhu lingkungan yang tinggi. Bahan kering tercerna pada domba dibawah suhu thermonetral (24°C) besarnya sama (P > 0,05) dengan domba pada suhu lingkungan yang tinggi (34°C). Kecernaan bahan kering akibat perlakuan suhu lingkungan, rata-rata berkisar 55,50 – 56,65%. Hal ini bisa disebabkan karena besarnya konsumsi bahan kering yang sama pada kedua perlakuan. Kecernaan bahan kering yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian sebelumnya (66,7 vs 68,3%) dengan suhu 20
480
sampai 30°C (RIANTO et al., 1998). Hasil tersebut berbeda dengan kesimpulan BLAXTER (1962), yang menyatakan bahwa peningkatan suhu lingkungan selalu meningkatkan kecernaan bahan kering. Akan tetapi, pada beberapa percobaan dengan menggunakan domba yang diberi pakan konsentrat, nilai kecernaan umumnya tidak terpengaruh oleh suhu lingkungan (NRC, 1981). Konsumsi air minum lebih rendah pada suhu thermonetral (24○C) daripada suhu lingkungan yang tinggi (34○C) (P < 0,05) (Tabel 3). Suhu lingkungan meningkatkan konsumsi air dari 1377 sampai 2003 ml/hari. Konsumsi air secara normal meningkat saat suhu lingkungan tinggi (WARREN et al., 1974; DAHLANUDDIN dan THWAITES, 1993; RIANTO, 2001). Peningkatan konsumsi air pada suhu lingkungan yang tinggi, adalah strategi ternak untuk mengatur suhu tubuh dan menyeimbangkan air tubuh dalam mengatasi keluarnya air melalui respirasi dan mekanisme evaporasi lain seperti berkeringat (DAHLANUDDIN dan THWAITES, 1993). KATOH et al. (1989) melaporkan bahwa saat suhu lingkungan meningkat dari 20○C sampai 32○C, konsumsi air domba meningkat dari 2,5 menjadi 3,6 l/hari. Hal tersebut berbeda dengan penelitian ini, dimana konsumsi air tertinggi pada suhu 34○C adalah 2 l/hari. Pemanfaatan protein Tidak ada perbedaan antara suhu perlakuan (24○C vs 34○C) pada semua parameter pemanfaatan protein yang diukur. Hal ini berkaitan dengan konsumsi bahan kering (data ditunjukkan di Tabel 2). Konsumsi PK tidak berbeda antara suhu perlakuan. Hasil tersebut berbeda dengan RIANTO et al. (2001) yang melaporkan bahwa konsumsi PK menurun selama stres panas. Keluaran protein feses tidak berbeda (P > 0,05) untuk domba yang mendapat suhu 24oC daripada 34oC. Hasil tersebut lebih rendah daripada pernyataan BONDI (1987) bahwa keluaran PK feses adalah 38% dari total konsumsi PK. Suhu lingkungan tidak berpengaruh pada keluaran PK urin, rata–rata berkisar 19,78 – 20,60 g/hari (P > 0,05). Keluaran PK urin berkaitan dengan besarnya kandungan PK dalam pakan percobaan yang sama.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Protein kasar tercerna tidak berbeda pada domba yang menerima suhu 24oC daripada 34oC (44,79 vs 45,97 g/hari; P > 0,05). Hal ini sangat berkaitan dengan konsumsi PK. Tidak ada perbedaan pada kecernaan PK yang ditemukan pada perlakuan suhu lingkungan rata – rata berkisar 68,94 – 69,30%. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh ZHAO et al. (1996) bahwa kecernaaan PK tidak berbeda akibat perbedaan suhu lingkungan antara 18 dan 28○C. Persentase PK termetabolis pada perlakuan suhu, pada suhu 24oC tidak berbeda daripada suhu 34oC (38,83 vs 35,89%; P > 0,05). Perubahan pada PK termetabolis mengikuti perubahan pada konsumsi PK (LOPEZ dan GARCIA, 1984), dimana konsumsi PK pada suhu 24 sama besarnya (P > 0,05) dengan suhu 34oC. PAPPAS (1977) dan BRINK (1978), yang mempelajari pengaruh langsung suhu panas lingkungan terhadap PK tercerna untuk hidup pokok, melaporkan tidak ada perbedaan (P > 0,05) antara domba dalam kondisi suhu panas dan thermonetral (2,17 vs 1,28 g DP/W0,75/ hari). Hasil tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh BUNTING et al. (1992) bahwa retensi N oleh domba tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Tabel 4. Pengaruh suhu lingkungan pada konsumsi PK, konsumsi PK tercerna, keluaran PK dan pemanfaatan PK, kecernaan PK pada domba lokal Parameter
Suhu lingkungan
Pengaruh
○
24 C
34 C
64,43
69,30
ns
PK feses
19,63
20,34
ns
PK urin
19,78
20,60
ns
Konsumsi PK (g/hari)
○
Keluaran PK (g/hari)
PKC (g/hari)
44,79
45,97
ns
Kecernaan PK (%)
68,94
69,30
ns
PKM (g/hari)
25,02
24,87
ns
Retensi PK (%)
38,83
35,89
ns
PK = protein kasar; PKC = protein kasar tercerna; PKM = protein kasar, termetabolis; HP = hidup pokok; T = pengaruh suhu; * = P < 0,05; ** = P < 0,01; ns = tidak berbeda nyata
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suhu 24 dan 34○C tidak mempengaruhi domba dalam konsumsi, kecernaan dan pemanfaatan protein pakan. Meskipun perubahan suhu dari 24 menjadi 34○C telah mampu menurunkan konsumsi air, tetapi belum mempengaruhi metabolisme protein. DAFTAR PUSTAKA BLAXTER, K.L. 1962. The Energy Metabolism of Ruminants. Hutchinson, London. BONDI, A.A. 1987. Animal Nutrition. First publishing. John Wiley and Sons, Chichester. BRINK, D.R. 1978. Effect of thermal stress on protein for maintenance of lambs. In: In adjusting protein in feedlot diets during thermal stress. AMES, D.R., D.R. BRINK and C.L. WILLMS. J. Anim. Sci. 50: 1 – 6. BRINK, D.R. and D.R.AMES, 1978. Effect of thermal stress on protein for maintenance. J. Anim. Sci. 47 (Suppl. 1): 407. BUNTING, L.D., L.S. STICKER and P. J. WOZNIAK. 1992. Effect of ruminal escape protein and fat on nitrogen utilization in lambs exposed to elevated ambient temperatures. J. Anim. Sci. 70: 1518 – 1525. COLDITZ, P.J. and R.C. KELLAWAY. 1972. The Effect of diet and heat stress on feed intake, growth and nitrogen metabolism in Friesan F1 Brahman X Friesan, and Brahman heifers. Aust. J. Agric. Res. 23: 717 – 725. COMBS, G.F. 1965. Studies of protein and amino acid needs of poultry. Proc. 18th Anu. North Carolina Anim. Nutr. Conf. p. 7. DAHLANUDDIN and C.J. THWAITES, 1993. Feed-water intake relations in goats at high ambient temperatures. J. anim. Physiol. A. Anim. Nutr. 69: 169 – 174. GIACOMINI, G.E. 1979. Effect of fluctuating temperature on lamb performance. In National Research Council (NRC). 1981. Effect of Environment on nutrient requirements of domestic animals. National Academy Press, Washington, DC. FUQUAY, J.W. 1981. Heat stress as it affects animal production. J. Anim. Sci. 52: 164 – 174.
481
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
KAMIYA, M., Y. KAMIYA, M. TANAKA, T. OKI, Y. NISHIBA and S. SHIOYA. 2006. Effects of high ambient temperature and restricted feed intake on urinary and plasma 3-methylhistidine in lactating Holstein cows. Anim. Sci. J. 77: 201 – 207. KATOH, K., C. BURANAKRL, N. MATSUNAGA, S.R. LEE, T. SUGAWARA and Y. SASAKI. 1989. Effects of heat exposure on water metabolism and passage in sheep. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 2: 91-97. KNAPP, D.M. and R.R. GRUMMER. 1991. Response of lactating dairy cows to fat supplementation during heat stress. J. Dairy Sci. 74: 2573 – 2579. LENG, R.A. 1990. Factors affecting the utilization of ‘poor quality’ forage by ruminants particularly under tropical conditions. Nutr. Res. Rev. 3: 277 – 303. LOPEZ, A. and C. GARCIA. 1984. Energy/protein ratio in natural-ingredient diets for weanling rats. II. Energy and protein retention and efficiency of retention. Laboratory Animals 18: 75 – 80. MC GUIRE, M.A., D.K. BEEDE, M.A. DELORENZO, C.J. WILCOX, G.B. HUNTINGTON, C.K. REYNOLDS and R.J. COLLIER. 1989. Effects of thermal stress and level of feed intake on portal plasma flow and net fluxes of metabolites in Lactating Holstein cows. J. Anim. Sci. 67: 1050 – 1060. MINTON, J.E., D.A. NICHOLS, F. BLECHA, R.B. WESTERMAN and R.M. PHILLIPS. 1988. Fluctuating ambient temperature for weaned pigs: effects on performance and immunological and endocrinological functions. J. Anim. Sci. 66: 1907 – 1966.
482
NATIONAL RESEARCH COUNCIL (NRC). 1981. Effect of Environment on nutrient requirements of domestic animals. National Academy Press, Washington. PAPPAS, A. 1977. Protein requirements of Chios sheep during maintenance. J. Anim. Sci. 44: 665. RIANTO, E. 1997. The effects of heat stress and water restriction on sheep production. Thesis. University of New England, Armidale. RIANTO, E., M.K. HILL and J.V. NOLAN. 1998. The effect of quality of diet on feed intake, Feed digestibility, and ambient temperature of 20○ and 30○C. Bul. Anim. Sci., Gadjah Mada Univ. Supplement edition: December 1998. RIANTO, E., C.J. THWAITES and J.V. NOLAN. 2001. The Effects of high ambient temperature and urea supplementation on feed digestibility and microbial protein production in lambs. J. Trop. Anim. Dev. Special Edition: October 2001. WARREN, W.P., F.A. MARTZ, K.H. ASAY, E.S. HILDERBRAND, C.G. PAYNE and J.R. VOGT. 1974. Digestibility and rate of passage by steers fed tall fescue, alfalfa and orchard grass hay in 18 and 32○C ambient temperatures. J. Anim. Sci. 39: 93 – 96. ZHAO, X., H. JORGENSEN, V.M. GABERTA and B.O. EGGUM. 1996. Housed in 18○C or 28○C environments and Fed different levels of dietary protein. Department of Agricultural, Food and Nutritional Science, University of Alberta, Edmonton, Alberta, Canada.