PENGARUH PENYIMPANAN BEKU TERHADAP KUALITAS RENNET YANG DIEKSTRAK DARI ABOMASUM DOMBA LOKAL
FATONA AULIA SARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap Kualitas Rennet yang Diekstrak dari Abomasum Domba Lokal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009 Fatona Aulia Sari NIM B04052759
ABSTRACT FATONA AULIA SARI. The Influence of Frozen Storage on the Quality of Rennet Extracted from Abomasum of Domestic Sheep. Under direction of CHAIRUN NISA’ and ITA DJUWITA. The study aims to determine the influence of frozen storage on protein quality of rennet extracted from fundic mucosa of abomasum young adult domestic sheep (5-12 months). Eight samples were extracted from fundic mucosa and divided into two groups. First group was unstored (N = 4) and second group was stored for ten months (N = 4). Samples was extracted using a modification of the Qadri et al. (1962) method. The quality of rennet was analyzed using milk coagulation test (Scott 1981) and sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Evaluation was carried out on the texture of coagulant, coagulation time, and the colour intensity of the protein band. Milk coagulation test that of both treatments showed the texture of coagulant (curd) was compact and the coagulation time of both treatments was not significantly different (P > 0,05). The results of SDS-PAGE showed that the protein band of the rennet was stored for ten months was thicker and darker than that of unstored one. Keywords: rennet, frozen storage, milk coagulation, SDS-PAGE.
ABSTRAK FATONA AULIA SARI. Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap Kualitas Rennet yang Diekstrak dari Abomasum Domba Lokal. Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan ITA DJUWITA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan beku terhadap kualitas protein rennet hasil ekstraksi mukosa fundus abomasum domba lokal umur dewasa muda (5-12 bulan). Sampel yang digunakan adalah delapan ekstrak abomasum domba lokal yang dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok yang tidak disimpan (N = 4) dan kelompok yang disimpan selama sepuluh bulan (N = 4). Ekstraksi dilakukan menggunakan modifikasi dari metode Qadri et al. (1962). Analisa kualitas rennet dilakukan berdasarkan uji koagulasi susu (Scott 1981) dan sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Parameter yang diamati adalah bentuk koagulan dan waktu yang dibutuhkan untuk mengkoagulasi susu, serta gambaran pita protein. Hasil uji koagulasi susu menunjukkan bahwa kedua perlakuan mampu mengkoagulasi susu dengan bentuk koagulan (curd) yang padat dan waktu koagulasi dari kedua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hasil SDS-PAGE menunjukkan bahwa pada rennet yang disimpan selama sepuluh bulan terlihat pita-pita yang lebih tebal dan gelap dibandingkan dengan rennet yang tidak disimpan. Kata kunci: rennet, penyimpanan beku, koagulasi susu, SDS-PAGE.
PENGARUH PENYIMPANAN BEKU TERHADAP KUALITAS RENNET YANG DIEKSTRAK DARI ABOMASUM DOMBA LOKAL
FATONA AULIA SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Nama NIM
: Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap Kualitas Rennet yang Diekstrak dari Abomasum Domba Lokal : Fatona Aulia Sari : B04052759
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet NIP.19631125 198903 2 004
Dr. Drh. Ita Djuwita, MPhil, PAVet NIP. 19590403 198601 2 002
Diketahui : a.n Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini NIP.19621205 198703 2 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasihnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap Kualitas Rennet yang Diekstrak dari Abomasum Domba Lokal”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet dan Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil, PAVet (K), selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi hasil penelitian ini. 2. Kedua orangtuaku dan kakakku (Ismi) tercinta untuk kasih sayang, dukungan, kesabaran, perhatian, bimbingan, serta doa yang tiada henti-hentinya. 3. Seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. 4. Meka Dian Putra yang selalu memberikan dukungan dan perhatiannya, serta bantuan dan kerja samanya. 5. Sahabat-sahabatku (Wulan, Reni, Rani, Ex Green House) untuk semua hari dimana kalian selalu ada untuk membantu, memberi, dan memperhatikanku. 6. Dosen dan staf di bagian Anatomi, Histologi, dan Embriologi yang telah membantu selama penelitian berlangsung. 7. Teman-teman FKH ’42 ”GOBLET” atas kenangan indah yang diberikan. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran semua pihak sangat diharapkan penulis demi kesempurnaannya. Semoga skripsi hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang memerlukan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2009
Fatona Aulia Sari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 24 Januari 1987 dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari keluarga A. Hasyim Baharuddin, S. Sos dan Sua’imah (Alm). Pada tahun 1999, penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Sumbawa, selanjutnya masuk SMP Negeri 1 Sumbawa dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis masuk ke SMA Negeri 1 Sumbawa dan lulus pada tahun 2005. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2006, penulis masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan. Selama kuliah penulis pernah menjabat sebagai sekretaris II Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas FKH-IPB periode 2007/2008 dan sekretaris I periode 2008/2009. Penulis juga pernah menjadi supervisor Program Eliminasi Massal Filariasis Kota Bogor pada tahun 2007.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL …………………………………………………………..
vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
viii
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………… 1.2 Tujuan ………………………………………………………………. 1.3 Hipotesa …………………………………………………………….. 1.4 Manfaat ……………………………………………………………...
1 2 3 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Abomasum Domba ……………………………………… 2.2 Enzim Protease ……………………………………………………... 2.3 Bahan Bioaktif Rennet ……………………………………………… 2.3.1 Enzim Khimosin …………………………………………… 2.3.2 Enzim Pepsin ………………………………………………. 2.4 Penyimpanan Beku …………………………………………………. 2.5 Isolasi Rennet ……………………………………………………….. 2.6 Identifikaasi Rennet 2.6.1 Koagulasi Susu ………………………………………........... 2.6.2 Elektroforesis Gel Poliakrilamid ........................................... 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………. 3.2 Alat dan Bahan ……………………………………………………… 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Rancangan Percobaan ……………………………………… 3.3.2 Sampling Abomasum ………………………………………. 3.3.3 Ekstraksi Abomasum ………………………………………. 3.3.4 Pengujian Koagulasi Susu ………………………………….. 3.3.5 Pengujian Waktu Koagulasi Susu ………………………….. 3.3.6 Analisa Protein ……………………………………………...
4 5 6 7 8 9 10 10 12
14 14 14 15 15 16 16 17
4. HASIL 4.1 Morfologi Abomasum Domba ……………………………………… 4.2 Pengujian Koagulasi Susu ………………………………………….. 4.3 Pengujian Waktu Koagulasi Susu …………………………………... 4.4 Analisa Protein ………………………………………………………
19 20 20 21
5. PEMBAHASAN ..........................................................................................
22
v
6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ............................................................................................. 6.2 Saran ...................................................................................................
27 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
28
LAMPIRAN ……………………………………………………………...
31
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Rancangan percobaan ………………………………………………….
2.
Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari tiaptiap domba pada kelompok sampel tidak disimpan …………………...
3.
19
Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari tiaptiap domba pada kelompok sampel disimpan …………………………
4.
15
20
Perbandingan antara waktu koagulasi susu dari sampel yang tidak disimpan dan sampel yang disimpan 10 bulan ………………………...
21
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Diagram alir ekstraksi, uji koagulasi susu,dan analisa protein ………..
2.
Proporsi ukuran lambung (A) dan mukosa abomasum domba umur dewasa muda (B) ………………………………………………………
3.
Hasil koagulasi susu dengan rennet yang tidak disimpan
19
(A-D) dan
rennet yang disimpan 10 bulan (E-G) ………………………………… 4.
18
20
Hasil gel elektroforesis dari rennet domba menggunakan pewarnaan coomasie brilliant blue R dari sampel tidak disimpan dan sampel yang disimpan 10 bulan ……………………………………………………..
21
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Persiapan Running SDS-PAGE ………………………………………...
32
2.
Uji-T 2 Sampel Independen ……………………………………………
34
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan di Indonesia merupakan salah satu bidang yang cukup berkembang. Peternakan dapat menjadi sumber ekonomi yang baik di Indonesia karena dapat membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat. Selain berpengaruh terhadap perekonomian, peternakan juga sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa angka konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, sehingga bidang peternakan perlu ditingkatkan. Domba merupakan salah satu hewan yang dipilih masyarakat untuk diternakkan
karena
memiliki
banyak
kelebihan,
salah
satunya
adalah
pemeliharaannya yang mudah. Menurut Ditjen Peternakan (2008), Jawa Barat menjadi salah satu daerah yang memiliki populasi ternak domba yang besar, sehingga mampu menunjang perekonomian rakyat.
Domba lokal memiliki
beberapa potensi, antara lain sebagai salah satu plasma nutfah yang perlu dijaga kelestariannya, sumber protein hewani, dan bulunya dapat dimanfaatkan untuk industri. Sebagai sumber protein hewani, selain karkas juga dimanfaatkan organorgan dalam, seperti saluran pencernaan, hati, paru-paru, jantung, dan sebagainya. Namun, sejauh ini pemanfaatan beberapa organ dalam yang memiliki potensi lain belum dilakukan secara optimal. Salah satu organ dalam yang memiliki potensi selain sebagai sumber protein hewani adalah abomasum. Abomasum selain untuk konsumsi, juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan rennet. Akan tetapi, sampai saat ini belum banyak dilaporkan penggunaan abomasum domba lokal untuk pembuatan rennet. Rennet merupakan hasil ekstraksi dari abomasum anak hewan ruminansia. Rennet ini digunakan sebagai bahan awal dalam produksi dadih-dadih keju (Cheeseman 1981).
Saat ini rennet yang banyak digunakan adalah dari
abomasum sapi muda, kambing muda, tanaman, dan mikroba yang direkayasa secara genetik (genetic modified organism = GMO).
2
Kebutuhan dan permintaan keju di Indonesia semakin meningkat sejalan dengan selera masyarakat yang menyukai cita rasanya yang khas dan nilai gizinya yang tinggi.
Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat ini perlu
dipikirkan alternatif rennet yang diproduksi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk rennet import yang memiliki harga relatif mahal. Selain itu, rennet dari sapi muda import masih sering dipertanyakan kehalalannya oleh konsumen Indonesia yang mayoritas muslim (Anonim 2008). Oleh karena itu, inovasi baru pembuatan rennet dari abomasum domba menjadi alternatif yang baik, sehingga dapat membantu untuk mencegah terjadinya penurunan populasi sapi secara signifikan karena pemanfaatannya yang terus menerus. Sejauh ini domba umur dewasa muda cukup banyak dipotong untuk memenuhi
kebutuhan
konsumsi
dimanfaatkan secara maksimal.
masyarakat
dan
abomasumnya
belum
Dari hasil penelitian, penggunaan abomasum
domba dapat memberikan hasil yang baik pada proses koagulasi susu. Seperti yang dikemukakan oleh Fitriyani (2006) bahwa abomasum domba umur dewasa muda (5-12 bulan), khususnya dari daerah kelenjar fundus memberikan hasil yang menggembirakan karena memiliki kemampuan mengkoagulasi susu dengan cukup baik. Rennet yang digunakan dalam pembuatan keju tidak selalu dalam kondisi segar, sehingga diperlukan adanya suatu proses penyimpanan agar rennet dapat digunakan dalam waktu yang lama. Metode penyimpanan yang dilakukan harus mampu mempertahankan kualitas dari rennet. Selain itu, perlu diketahui juga batas waktu penyimpanan yang baik sehingga kualitas rennet tidak hilang.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan beku terhadap kualitas rennet hasil ekstraksi mukosa fundus abomasum domba lokal umur dewasa muda (5-12 bulan) menggunakan uji koagulasi susu dan sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE).
3
1.3 Hipotesa Ho : rennet tanpa disimpan dan rennet yang disimpan selama 10 bulan memiliki efek yang sama terhadap aktivitas mengkoagulasikan susu, waktu koagulasi, serta analisa protein. H1 : rennet tanpa disimpan dan rennet yang disimpan selama 10 bulan memiliki efek yang berbeda terhadap aktivitas mengkoagulasikan susu, waktu koagulasi, serta analisa protein
1.4 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu mendapatkan alternatif pengganti rennet anak sapi produk impor dengan produk lokal yang dapat menjamin harga, kontinuitas, kualitas dan kehalalan produk, merupakan terobosan ilmiah dalam pengembangan teknologi inovasi dan diharapkan akan memberikan nilai tambah yaitu peningkatan nilai ekonomis domba lokal.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Abomasum Domba Lambung domba terdiri atas lambung depan yang tidak berkelenjar dan lambung kelenjar. Lambung depan terdiri dari rumen, retikulum, dan omasum yang pada bagian mukosanya tersusun atas epitel pipih banyak lapis, sedangkan lambung kelenjarnya adalah abomasum. Abomasum berada pada sisi kanan dari ruang abdomen. Kapasitas lambung domba dewasa berkisar antara 15 sampai dengan 18 liter dengan rumen sekitar 71%, retikulum 8%, omasum 2%, dan abomasum 19% (Getty 1975). Abomasum memiliki tiga daerah kelenjar yaitu: kardia, fundus, dan pilorus.
Daerah kelenjar kardia adalah area sempit penghasil mukus pada
perbatasan esofagus dan lambung. Daerah kelenjar fundus merupakan daerah kelenjar lambung yang paling luas dan menghasilkan enzim-enzim protease, HCl, mukus, dan hormon.
Daerah kelenjar pilorus menghasilkan mukus dan
tersambung dengan duodenum pada bagian distal. Pilorus mengatur perpindahan cairan lambung (chyme) dari lambung ke duodenum dan mencegah aliran balik dari duodenum ke lambung (Banks 1993; Bergman et al. 1996; Colville & Bassert 2002). Struktur kelenjar fundus berbentuk tubulus sederhana atau bercabang yang menjulur ke dalam lamina propria. Fundus juga kaya akan kelenjar yang terdiri dari beberapa macam sel sebagai berikut: a) Sel epitel permukaan, berfungsi menghasilkan sejumlah besar mukus yang bersifat alkalis, sehingga mampu melindungi lambung yang sangat asam dan proteolitik. b) Mucous neck cells (sel leher), berfungsi memproduksi cairan penetral. c) Chief cells (sel utama), berfungsi memproduksi prekursor enzim seperti pepsinogen. d) Sel parietal yang berfungsi menghasilkan HCl. e) Sel enteroendokrin yang berfungsi untuk menghasilkan hormon-hormon pencernaan. (Dellmann dan Eurell 1998; Colville & Bassert 2002).
5
Sel-sel pada mukosa abomasum pada ruminansia mensekresikan sedikitnya tiga macam enzim pemecah protein yaitu pepsin, khimosin, dan gastriksin. Enzim-enzim tersebut bersifat asam dan termasuk kedalam golongan endopeptidase
yang
disekresikan
dalam
bentuk
inaktif,
masing-masing
pepsinogen, prokhimosin dan progastriksin (Heishi et al. 1995). Pada daerah kelenjar fundus domba umur dewasa muda, sel-sel yang imunoreaktif terhadap pepsinogen terdeteksi dalam jumlah banyak, sedangkan sel-sel yang imunoreaktif terhadap prokhimosin jumlahnya sedang (Fitriyani 2006). Enzim akan diubah menjadi bentuk aktif oleh asam klorida (HCl) yang diproduksi oleh sel-sel parietal pada bagian fundus (Dellman & Eurell 1998).
2.2 Enzim Protease Protease merupakan enzim yang sangat penting dalam industri pangan maupun non pangan. Pemanfaatan protease dalam industri pangan diantaranya adalah untuk mengurangi kekeruhan dalam industri bir, mengurangi gluten pada industri roti, dan untuk menggumpalkan susu pada industri keju. Enzim protease dapat diperoleh dari jaringan tanaman, hewan, maupun mikroba (Putranto 2006). Klasifikasi protease dilakukan berdasarkan sumber/asal protease, letak pemecahan ikatan peptida, lingkungan daya kerjanya, dan spesifitas.
Enzim
protease juga diklasifikasikan berdasarkan jenis residu asam amino yang berada dalam sisi aktifnya (Winarno 1983; Suhartono 1992), yaitu: a) Protease serin adalah enzim yang mempunyai residu serin pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini dihambat kuat oleh diisopropil fluorophosfat (DFP). Termasuk dalam golongan ini antara lain tripsin, khimotripsin, elastase dan subtilisin. b) Protease sulfidril, yang aktivitasnya tergantung dari adanya satu atau lebih residu sulfidril pada sisi aktifnya.
Enzim ini dihambat kerjanya oleh
oksidator, alkilator dan logam. Contoh enzim dalam golongan ini antara lain papain, fisin dan bromelin. c) Protease metal, yang aktivitasnya tergantung adanya metal.
Enzim ini
dihambat oleh ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA). Logam yang dapat mengaktifkan enzim ini adalah Mg, Zn, Co, Fe, Hg, Cd, Cu dan Ni.
6
d) Protease asam, enzim yang pada lokasi aktifnya terdapat dua gugus karboksil dan mempunyai pH optimum pada selang asam. Keaktifannya dapat dihambat atau dicegah oleh p-bromofenasilbromida. Enzim ini merupakan kelompok enzim yang digunakan dalam pembuatan keju.
Enzim yang termasuk ke
dalam golongan ini adalah pepsin dan khimosin.
2.3 Bahan Bioaktif Rennet Rennet pada mulanya merupakan hasil ekstraksi dari abomasum anak sapi. Rennet ini digunakan sebagai bahan awal dalam produksi dadih-dadih keju (Cheeseman 1981). Tidak hanya dari hewan muda, rennet dari sapi dewasa juga dapat dipakai. Akan tetapi, kandungan enzim pepsinnya lebih tinggi. Tingginya pepsin menyebabkan perbedaan dalam proses koagulasi susu dan juga dalam cita rasa keju yang dihasilkan, seperti tekstur keju yang lebih lembek dan adanya rasa pahit (Kilara & Iya 1984). Ekstrak rennet dari anak sapi mengandung 88-94% khimosin dan 6-12% pepsin, dan sebaliknya ekstrak yang berasal dari sapi dewasa yaitu mengandung 90-94 % pepsin dan hanya 6-10% khimosin (Scott 1981). Saat ini rennet tidak hanya diproduksi dari hewan, tetapi dapat diproduksi dari mikroba dan tanaman.
Rennet mikroba yang banyak digunakan sebagai
pengganti rennet sapi muda adalah berasal dari mikroorganisme seperti kapang dan bakteri yang direkayasa secara genetik (GMO). Mikroorganisme yang telah digunakan antara lain Bacillus polymyxa, B. subtilis, B. cereus, Endothea parasiticus, Mucor pusillus, dan M. miehei. Biaya untuk memproduksi rennet dari mikroba lebih murah dibandingkan dengan dari sapi muda. Rennet mikroba bersifat seperti enzim tripsin dan pH optimum untuk aktivitasnya berkisar antara 7-8.
Akan tetapi, produk rennet ini mempunyai sedikit rasa pahit, sehingga
kurang disukai, walaupun keju yang dihasilkan sangat mirip dengan produkproduk keju komersial lainnya (Daulay 1990). Penggunaan rennet tanaman dalam pembuatan keju telah dilaporkan, misalnya penggunaan getah dari pohon ara (Ficus carica). Selain itu, masih banyak ekstrak-ekstrak dari tanaman yang dapat menggumpalkan susu. Akan tetapi, beberapa diantaranya mempunyai aktivitas proteolitik yang terlalu kuat, sehingga menghasilkan cita rasa yang sangat pahit pada keju. Beberapa enzim
7
tanaman yang sering digunakan pada pembuatan keju, diantaranya adalah: papain dari pohon dan buah pepaya, fisin dari pohon ara, bromelin dari nenas, dan rezin dari biji jarak. Beberapa dari ekstrak-ekstrak tanaman yang dihasilkan berbentuk ekstrak kasar yang menghasilkan suatu kombinasi koagulasi asam dan enzim yang cocok digunakan terutama untuk pembuatan keju dadih lemak (Daulay 1990).
2.3.1 Enzim Khimosin Khimosin yang dulu dikenal sebagai Rennin adalah suatu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh chief cells pada mukosa lambung anak hewan yang masih menyusu. Enzim ini berperan penting dalam mengkoagulasikan susu sehingga susu tertahan lebih lama di saluran pencernaan untuk mengoptimalkan proses pencernaan. Akibat fungsinya yang spesifik tersebut, khimosin banyak digunakan dalam industri keju khususnya dalam proses awal untuk menggumpalkan susu (Bowen 1996). Khimosin tergolong enzim protease yang bersifat asam, sehingga akan aktif pada pH asam. Enzim ini disekresikan dalam bentuk inaktif proenzim yang disebut prokhimosin dan akan diaktivasi oleh HCl menjadi khimosin (Dellman dan Eurell 1998). Aktivasi prokhimosin melibatkan pemotongan ujung terminal-N prokhimosin yang mengakibatkan penurunan berat molekul dari 36 kDa menjadi 31 kDa (Suhartono 1992). Sedangkan Attallah (2007) mengemukakan bahwa prokhimosin anak sapi memiliki berat molekul 40,8 kDa dan khimosin 35,6 kDa. Enzim khimosin mempunyai titik isoelektrik sekitar pH 4,5 dan stabil pada pH 5,3 sampai dengan 6,3 (Suhartono 1992). Titik isoelektrik yaitu suatu kondisi dimana muatan listrik pada permukaan protein adalah nol.
Pada kondisi inilah susu
menggumpal dengan baik menjadi dadih karena tidak ada muatan yang tertinggal untuk mempertahankan kasein dalam suspensi.
Khimosin diidentifikasi
berdasarkan residu asamnya (aspartat atau glisin) sebagai khimosin A dan B yang masing-masing memiliki pH optimum 4,2 dan 3,7 (Attallah 2007). Khimosin yang digunakan untuk pembuatan keju sejauh ini diperoleh dari lambung anak sapi, kerbau, kambing, dan babi (Daulay 1990). Selain diperoleh dari lambung hewan, khimosin juga dapat diproduksi melalui proses mikrobial (misalnya Mucor sp), sehingga dapat lebih mudah disesuaikan dengan arus
8
permintaan pasar karena didasarkan pada cepatnya perkembangbiakan mikroba (Bailey & Ollis 1988). Akan tetapi, keju yang dihasilkan melalui proses ini kurang diminati di pasaran karena memberikan cita rasa yang sedikit pahit (Andren 1991).
2.3.2 Enzim Pepsin Enzim pepsin seperti halnya khimosin, merupakan enzim proteolitik asam yang dihasilkan oleh chief cells mukosa lambung dan secara alami juga terdapat dalam rennet anak sapi. Pada hewan muda kandungan enzim khimosin lebih tinggi dibandingkan enzim pepsin. Namun, seiring bertambahnya umur, maka kandungan enzim pepsin semakin bertambah menggantikan enzim khimosin (Daulay 1990). Jumlah enzim pepsin dipengaruhi oleh umur dan jenis makanan. Abomasum pedet yang hanya minum susu mengandung 6-12 % pepsin. Pedet yang telah mengkonsumsi makanan padat (selain susu) akan mengalami peningkatan enzim pepsin.
Enzim pepsin sendiri disintesis dalam bentuk
pepsinogen dengan berat molekul 42 kDa. Pepsinogen akan diaktivasi oleh HCl atau dengan autokatalisis oleh pepsin itu sendiri, sehingga berat molekulnya menurun menjadi 35 kDa dan stabil pada pH 5,0-5,5 (Suhartono 1992). Sedangkan Winarno (1983) mengemukakan bahwa berat molekul dari pepsin adalah 33 kDa yang mempunyai 321 residu asam amino, sangat stabil pada pH 5-5,3 dan sangat aktif pada pH 1-4 dengan keaktifan optimum pada pH 1,8. Pepsin merupakan enzim protease yang paling umum digunakan sebagai pengganti khimosin dalam pembuatan keju, tetapi tidak digunakan sendiri. Campuran khimosin dan pepsin dianggap paling optimum dan paling sering dipilih. Beberapa faktor yang menyebabkan pepsin tidak digunakan sendirian adalah waktu koagulasi yang lama, koagulan yang lunak, kehilangan lemak dalam whey, terbentuk peptida pahit, tekstur dan body keju yang lebih lunak (Kilara & Iya 1984).
9
2.4 Penyimpanan Beku Pembekuan merupakan salah satu cara yang dipilih untuk melakukan penyimpanan, sehingga memperpanjang umur bahan yang disimpan tersebut. Dari sekian banyak sifat protein, stabilitas terhadap suhu merupakan hal yang paling banyak diperhatikan. Hal ini disebabkan karena sejak proses produksi, penyimpanan (storage) sampai kepada penggunaan, semuanya dipengaruhi oleh panas (Witarto 2001). Pada pembekuan protein, dapat terjadi denaturasi yang mengakibatkan sedikit perubahan nilai gizi protein tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam proses pendadihan bahan-bahan yang berprotein terutama selama pembekuan dan pencairan yang berulang-ulang. Walaupun nilai biologis protein yang mengalami denaturasi sebagai bahan pangan manusia tidak banyak berbeda dengan protein asli, tetapi penampilan dan kualitas bahan pangan tersebut mungkin akan berubah karena perlakuan-perlakuan yang demikian (Rohanah 2002). Aktivitas dari suatu enzim bergantung pada suhu. Aktivitas tersebut dapat rusak pada suhu mendekati 200 oF (93,3 oC). Aktivitas enzim masih dimiliki pada suhu serendah -100 oF (-73,3 oC), walaupun kecepatan reaksinya sangat rendah pada suhu tersebut. Sistem enzim hewan cenderung memiliki kecepatan reaksi optimum pada suhu sekitar 98 oF atau sekitar 36,7 oC (Rohanah 2002). Selama proses pembekuan, pada bagian yang belum membeku masih terdapat air. Pada bagian itulah terjadi pengumpulan dan pengentalan larutanlarutan, sehingga konsentrasi elektrolit meningkat dan pH juga berubah yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pengaruh buruk.
Peningkatan
konsentrasi larutan dalam air yang belum membeku tersebut dapat meningkatkan atau sebaliknya menurunkan keaktifan enzim (Winarno 1983). Metode pembekuan yang dipilih tergantung pada mutu dan tingkat pembekuan yang diinginkan, tipe atau bentuk sampel, serta pengemasan yang dilakukan (Rohanah 2002).
Untuk pembekuan enzim, sebaiknya dilakukan
pembekuan dan pencairan secara cepat untuk mencegah hilangnya aktivitas dari enzim tersebut (Winarno 1983).
10
2.5 Isolasi Rennet Prosedur dasar isolasi enzim terdiri dari dua tahap.
Pertama adalah
melarutkan enzim yang diinginkan menjadi suatu larutan dan yang kedua adalah memisahkan enzim dari larutan. Namun, pada pembuatan ekstrak rennet, tahap kedua tidak dilakukan (Schwimmer & Pardee 1947 diacu dalam Budoyo 1989). Khimosin dan pepsin yang merupakan enzim intraselular dapat diperoleh dengan cara ektraksi terlebih dahulu, dimana ekstrak dapat diperoleh dengan cara memisahkan sel-sel atau endapan hasil sentrifugasi.
Pemecahan sel-sel dapat
dilakukan dengan berbagai teknik yang meliputi homogenisasi dalam alat penghancur (seperti blender), penggilingan mekanis atau ultrasonikasi (Bailey & Ollis 1988). Qadri et al. (1962), membuat ekstrak rennet dengan menambahkan larutan asam asetat glasial 10%. Abomasum segar sebanyak 100 g diekstrak dengan 500 ml larutan asam asetat 10% selama 24 jam pada suhu 30 ºC, ekstraksi dilakukan 5 kali berturut-turut.
Setiap hasil ekstraksi dinetralisasi dengan
menambahkan NaOH 1N sampai pH mencapai 5,4, kemudian digabungkan dan dipekatkan menjadi 20 ml. Menurut Scott (1981), ekstraksi rennet yang biasa dilakukan dalam skala kecil, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: - Abomasum anak sapi yang baru disembelih dicuci sampai bersih, kemudian dipotong kecil-kecil. - Ekstraksi dilakukan dengan penambahan larutan NaCl 12-20%. - Hasil ekstraksi disaring dan dimurnikan dengan cara “salting down”. - Larutan akhir yang diperoleh diawetkan dengan garam dan asam borat.
2.6 Identifikasi Rennet 2.6.1 Koagulasi Susu Di dalam susu terdapat bagian yang terdispersi dalam air, yaitu kalsium, fosfat, dan protein. Bagian protein susu dibagi menjadi dua fraksi, yaitu kasein dan protein serum (whey protein). Kasein merupakan 80% dari seluruh protein susu yang mempunyai sifat mudah menggumpal oleh adanya asam atau penambahan rennet (Daulay 1990).
11
Proses koagulasi susu dapat terjadi akibat aktivitas enzim, asam, dan mikroba. Dalam proses pembuatan keju, koagulasi susu terutama mengandalkan aktivitas enzim khususnya khimosin. Susu digumpalkan oleh khimosin menjadi koagulan yang lunak dan lembut, serta dapat mengeluarkan whey dengan kecepatan yang seragam. Selain khimosin, pepsin juga dapat menggumpalkan susu, tetapi koagulannya lebih sensitif terhadap perubahan pH dan suhu, serta dapat menyebabkan dadih berasa pahit (Daulay 1990). Menurut Suhartono (1992), kekuatan aktivitas koagulasi enzim khimosin lebih tinggi dibandingkan dengan enzim protease lainnya, seperti pepsin dan khimotripsin. Pada proses koagulasi susu, khimosin menghidrolisis bagian κ-kasein, sehingga menimbulkan destabilisasi struktur koloid dan menimbulkan proses koagulasi α- dan β-kasein bila terdapat kalsium dan fosfat pada lingkungan. Koagulan ini merupakan jalinan molekul yang tersusun oleh κ-kasein dan mikropeptida, dengan air, laktosa mineral, globular lemak, vitamin dan sejumlah senyawa terlarut lainnya di dalam koagulan tersebut. Khimosin yang ditambahkan akan terdegradasi selama pengolahan selanjutnya, terutama oleh proses pasteurisasi (Suhartono 1992). Pembentukan koagulan atau gel setelah penambahan khimosin pada susu terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan komponen nitrogen terlarut karena aktivitas khimosin. Komponen nitrogen terlarut ini berasal dari molekul κ-kasein. Pada tahap kedua terjadi agregasi misel kasein yang telah berubah secara enzimatik, sehingga terbentuk struktur gel (Suhartono 1992). κ-kasein terurai menjadi dua bagian pada ikatan asam amino fenilalanin dan metionin pada nomor 105-106 menjadi makropeptida ρ-κ-kasein dan makropeptida κ-kasein. Apabila sampai 90% κ-kasein telah terhidrolisis, maka terjadi agregat protein yang meningkatkan viskositas susu sampai terbentuk struktur gel. Produk makropeptida yang dihasilkan dari proses hidrolisis bersifat larut air, sedangkan struktur ρ-κ-kasein mengendap. Putusnya ikatan peptida antara fenilalanin dan metionin pada κ-kasein ini mengakibatkan hilangnya kestabilan misel kasein, sehingga fraksi kasein yang lain ikut mengendap (Suhartono 1992).
12
2.6.2 Elektroforesis Gel Poliakrilamid Elektroforesis merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan campuran asam nukleotida ataupun protein berdasarkan pergerakan molekulmolekul yang bermuatan dibawah pengaruh medan listrik. Dengan teknik elektroforesis molekul-molekul biologis yang memiliki berat molekul tinggi seperti karbohidrat, lipid, asam nukleat, dan kompleks lipid-karbohidrat atau kompleks lipid-protein dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya. Banyak molekul biologis seperti asam amino, peptida, protein, nukleotida dan asam nukleat memiliki muatan listrik yang besarnya tergantung pada jenis molekul, pH, dan komponen medium pelarutnya. Dibawah pengaruh medan listrik molekulmolekul yang bermuatan ini akan bergerak (migrasi) ke arah katoda atau anoda, bergantung dari muatannya (Djuwita 2004). Elektroforesis gel melalui agarose atau poliakrilamid merupakan metode yang paling umum dan sering dipergunakan dalam penelitian maupun biologi molekuler terapan. Secara umum, gel agarose lebih ditujukan untuk pemisahan molekul yang berukuran besar, sedangkan gel poliakrilamid untuk molekul yang berukuran lebih pendek (Djuwita 2004). Selain untuk memisahkan partikel-partikel bermuatan, elektroforesis dapat juga digunakan untuk menentukan atau mendeteksi hal-hal berikut (Djuwita 2004): a) Berat molekul (BM) suatu bahan (fragmen DNA, RNA atau protein). b) Banyaknya jenis protein dalam suatu sampel misalnya serum albumin. c) Terjadinya pemalsuan bahan atau kerusakan bahan. d) Ada tidaknya suatu infeksi virus atau bibit penyakit lainnya dengan cara mendeteksi antibodi yang terbentuk. e) Titik isoelektrik protein. Sodium dodecyl sulphate
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-
PAGE) adalah metode yang paling banyak dipakai untuk analisa campuran protein secara kualitatif, khususnya untuk memonitoring hasil purifikasi protein dan menentukan berat molekul protein. Sodium dodecyl sulphate (SDS) (CH3(CH2)10-CH2OSO3-Na+) merupakan detergen anionik (Djuwita 2004). SDS-PAGE dilakukan pada pH sekitar netral. SDS akan membentuk kompleks dengan protein dan kompleks ini bermuatan negatif karena gugus-gugus anion dari SDS.
13
Kompleks SDS-protein yang lebih besar mempunyai mobilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kompleks yang lebih kecil. Berat molekul protein secara estimasi, dapat ditentukan dengan kalibrasi menggunakan standar protein yang telah diketahui berat molekulnya (Nur & Adijuwana 1989). Caranya adalah dengan mencari nilai Rf
terlebih dahulu yang diperoleh berdasarkan
perbandingan antara jarak pergerakan pita protein dari tempat awal dengan jarak pergerakan standar protein dari tempat awalnya (Wigati & Manin 1991).
3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2008-Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Riset Anatomi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi;
Laboratorium
Pendidikan
dan
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Layanan
Terpadu
Fakultas
Adapun pengambilan sampel
dilakukan di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Ciampea Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi termos es, gunting, pinset, gelas ukur, gelas piala, gelas Erlenmeyer, pipet Pasteur, pipet mikro, spatula, magnetic stirrer, timbangan digital, blender, alat sentrifugasi, tabung sentrifugasi, pH meter, termometer, cawan petri, tabung Eppendorf, refrigerator (4oC), freezer (-30oC), dan seperangkat alat elektroforesis. Penelitian ini menggunakan 8 abomasum domba lokal usia dewasa muda (5-12 bulan). Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah asam asetat 10% untuk ekstraksi mukosa fundus abomasum dan NaOH 1 N untuk proses netralisasi. Sedangkan untuk membuat gel elektroforesis digunakan bahanbahan yaitu poliakrilamid, aquades, tris HCl (pH 8,8 dan 6,8), sodium dodecyl sulphat (SDS) 10%, N,N,N’,N’-tetramethylenediamine (TEMED),
amonium
persulfat 10%. Bahan yang digunakan untuk pewarnaan adalah coomassie brilliant blue R, metanol, aquades, dan asam asetat glasial. Larutan destaining dibuat dengan bahan yaitu methanol dan aquades. Persiapan sampel yang akan dirunning terdiri dari ekstrak sampel dan loading buffer protein. Loading buffer dibuat dari campuran Laemmli sample buffer dengan mercaptoetanol. Terakhir persiapan running buffer yang terdiri dari tris HCl, glisin, dan SDS 0,1 %.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Rancangan Percobaan Sebanyak 8 abomasum domba lokal dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah 4 abomasum. Semua abomasum dari kedua
15
kelompok diekstrak menjadi rennet dan diberi perlakuan yang berbeda. Satu kelompok rennet (A-D) tidak disimpan (N = 4), sedangkan kelompok rennet lainnya
(E-H) disimpan selama 10 bulan pada suhu -30 oC (N = 4). Kelompok perlakuan yang tidak disimpan, langsung dilakukan uji
koagulasi susu. Kelompok perlakuan disimpan, dilakukan uji koagulasi susu setelah masa penyimpanan mencapai 10 bulan. Waktu koagulasi dari kedua perlakuan diolah menggunakan uji-T 2 sampel independen. Protein dari kedua perlakuan dianalisis menggunakan SDS-PAGE.
Tabel 1 Rancangan percobaan Perlakuan
Kelompok
Tidak disimpan
Disimpan 10 bulan
A-D
√
-
E-H
-
√
3.3.2 Sampling Abomasum Metode pertama yang dilakukan adalah pengambilan sampel abomasum domba lokal. Sampel abomasum diambil langsung di TPH. Sebelum disembelih domba diperiksa status kesehatannya dan ditentukan umurnya berdasarkan susunan gigi geliginya. Segera setelah disembelih lambung bagian abomasum dikeluarkan dari tubuh, dan dimasukkan ke dalam plastik yang berisi NaCl fisiologis. Setelah itu, dimasukkan ke dalam termos dingin dan segera dibawa ke laboratorium untuk proses selanjutnya.
3.3.3 Ekstraksi Abomasum Sesampai di laboratorium, abomasum disayat pada daerah kurvatura mayor untuk mengeluarkan kotoran yang ada di dalamnya dan dicuci dengan NaCl fisiologis.
Meja yang akan digunakan diusahakan steril dengan cara
didesinfektasi menggunakan alkohol 70% dan menyalakan Bunsen. Abomasum yang telah bersih ditimbang, selanjutnya bagian fundus dan pilorus dipisahkan dan masing-masing ditimbang kembali. Bagian fundus mukosanya dikelupas dan ditimbang kembali.
16
Proses ekstraksi menggunakan modifikasi dari metode Qadri et al. (1962). Mukosa kemudian dicincang menggunakan gunting dan ditambahkan asam asetat 10% dengan perbandingan volume 1:2 (mukosa : asam asetat). Untuk mempercepat proses ekstraksi, campuran tersebut dihomogenkan menggunakan blender sebanyak lima kali (5x) @ satu menit dengan selang waktu 30 detik. Di sekitar tabung blender diletakkan es batu untuk menjaga agar suhu tidak terlalu tinggi. Campuran yang telah diblender kemudian dibagi ke dalam beberapa tabung untuk disentrifugasi. Tiap tabung harus mempunyai tinggi yang sama, serta diberi label agar tidak tertukar. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 11.000 g dengan suhu 40 C selama 20 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan dengan cara mengambil supernatan pada tabung sentrifugasi menggunakan mikro pipet. Hasil ekstraksi tersebut kemudian dinetralisasi sampai pH mencapai 5,4 dengan menambahkan NaOH 1N sebanyak volume tertentu.
3.3.4 Pengujian Koagulasi Susu Uji aktivitas
rennet terhadap
koagulasi
susu
dilakukan dengan
menggunakan metode Scott (1981). Konsentrasi dari supernatan yang digunakan adalah 3%. Konsentrasi ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Fitriyani (2006). Susu yang digunakan dipasteurisasi terlebih dahulu dengan suhu 72 oC selama 15 detik. Setelah dipasteurisasi, susu didiamkan selama beberapa menit hingga suhu mencapai 35-40 oC. Selanjutnya susu dimasukkan ke dalam gelas piala sebanyak 9,7 ml dan ditambah 0,3 ml supernatan. Campuran tersebut kemudian diaduk beberapa saat
sampai homogen.
sampai terjadi koagulasi susu.
Setelah itu didiamkan dan diamati
Pengamatan dilakukan pada bentuk koagulan.
Bentuk koagulan yang padat berarti enzim protease memiliki kualitas yang baik dan bekerja secara optimum.
3.3.5 Pengujian Waktu Koagulasi Susu Waktu dari mulai terjadi koagulasi sampai dengan susu mengkoagulasi sempurna dihitung dengan pengukur waktu (stopwatch). Waktu koagulasi yang singkat berarti kandungan enzim protease tinggi, sedangkan waktu koagulasi yang lama berarti kandungan enzim rendah. Waktu koagulasi susu ini kemudian diolah
17
menggunakan uji-T 2 sampel independen. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut:
t
hitung
s
p
x1 x 2 1 1 n1 n2
Keterangan:
x1
= rataan waktu koagulasi dengan perlakuan yang tidak disimpan.
x2
= rataan waktu koagulasi dengan perlakuan disimpan 10 bulan.
sp
= simpangan baku gabungan.
n1
= jumlah perlakuan yang tidak disimpan.
n2
= jumlah perlakuan yang disimpan 10 bulan.
3.3.6 Analisa Protein Kualitas protein dari rennet dianalisis menggunakan SDS-PAGE. Berdasarkan intensitas warna dari pita protein, warna gelap dan tebal mengindikasikan kandungan yang tinggi, sedangkan intensitas warna yang terang dan tipis mengindikasikan rendahnya kandungan atau telah terjadinya kerusakan pada protein. Selanjutnya gel diwarnai dengan pewarnaan coomassie brilliant blue R (Lampiran).
18
Abomasum daerah kelenjar fundus
Mukosa dikelupas dan dicincang
Penambahan asam asetat 10% 1:2
Dihomogenkan dengan blender sebanyak 5 x @ satu menit dengan interval 30 detik
Sentrifugasi 11 000 g, 20 menit, 4 0C
Supernatan
Netralisasi dengan NaOH sampai pH 5,4
Rennet yang tidak disimpan
Rennet disimpan 10 bulan
Uji aktivitas
Pengujian kualitas dengan SDS-PAGE
Gambar 1 Diagram alir ekstraksi, uji koagulasi susu,dan analisa protein
4. HASIL 4.1 Morfologi Abomasum Domba Dari hasil pengamatan terhadap abomasum domba umur dewasa muda, terlihat bahwa daerah kelenjar fundus merupakan bagian yang luas dan ditandai dengan adanya lipatan-lipatan mukosa yang disebut plicae spiralis. Dengan berakhirnya plicae spiralis, maka berakhir juga daerah kelenjar fundus dan dilanjutkan dengan daerah pilorus (Gambar 2).
Ru
Re Ru
F
Om
P
Ab
A
B
Gambar 2 Proporsi ukuran lambung (A) dan mukosa abomasum domba umur dewasa muda (B) Ru = rumen, Re = retikulum, Om = omasum, Ab = abomasum F = fundus, P = pilorus (Bar = 5 cm)
Berat abomasum dari tiap domba berbeda-beda. Begitu pula dengan berat daerah kelenjar fundus dan mukosa fundusnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3 di bawah ini.
Tabel 2 Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari tiap-tiap domba pada kelompok sampel yang tidak disimpan
*
Domba
Abomasum
Berat (g) Fundus
A (5-6 bulan) B (5-6 bulan) C (5-6 bulan) D (5-6 bulan) Rata-rata ± St. Dev
48.93 56.10 60.49 61.15 56.67±5.62
33.64 38.44 45.70 44.02 40.45±5.50
) Persentase berat mukosa fundus terhadap berat fundus
Mukosa Fundus 20.35 29.92 36.59 34.42 30.32±7.20
Persentase* (%) 60.49 77.83 80.06 78.19 74.14±9.15
20
Tabel 3 Perbandingan berat abomasum, fundus, dan mukosa fundus dari tiap-tiap domba pada kelompok sampel yang disimpan 10 bulan
*
Domba
Abomasum
Berat (g) Fundus
E (5-6 bulan) F (5-6 bulan) G (5-6 bulan) H (7-8 bulan) Rata-rata ± St. Dev
58.24 60.93 52.66 90.74 65.64±17.08
40.50 42.07 34.37 68.47 46.35±15.11
Mukosa Fundus 32.12 33.14 30.32 53.56 37.28±10.91
Persentase* (%) 79.31 78.77 88.22 78.22 81.13±4.75
) Persentase berat mukosa fundus terhadap berat fundus.
4.2 Pengujian Koagulasi Susu Pada pengujian aktivitas rennet akan terbentuk koagulan (curd) yang terpisah dari cairannya (whey). Pengujian aktivitas terhadap koagulasi susu dari rennet yang tidak disimpan maupun disimpan selama 10 bulan memberikan hasil yang baik. Koagulan yang dihasilkan dari kedua kelompok rennet berbentuk padat dan terlihat kompak (Gambar 3).
A
B
C
D
E
F
G
H
Gambar 3 Hasil koagulasi susu dengan rennet yang tidak disimpan (A-D) dan rennet yang disimpan 10 bulan (E-G) menunjukkan hasil yang baik yaitu koagulan yang padat 4.3 Pengujian Waktu Koagulasi Susu Pada pengujian aktivitas, terlihat bahwa ada perbedaan waktu koagulasi dari kedua kelompok sampel, yaitu sampel yang disimpan selama 10 bulan
21
memiliki kemampuan mengkoagulasikan susu lebih cepat dari sampel yang tidak disimpan (Tabel 3). Namun, hasil dari uji-T 2 sampel independen menunjukkan bahwa waktu koagulasi sampel tanpa disimpan tidak berbeda nyata dengan sampel yang disimpan selama 10 bulan. Tabel 4 Perbandingan antara waktu koagulasi susu dari sampel yang tidak disimpan dan sampel yang disimpan 10 bulan No Sampel yang Tidak Disimpan A B C D Rata-rata ± St. Dev
Waktu Koagulasi (menit.detik) 5.26 5.56 2.44 6.47
No Sampel yang Disimpan E F G H Rata-rata ± St. Dev
4.93±1.74a
Waktu Koagulasi (menit.detik) 3.18 2.38 3.26 3.50 3.08± 0.49a
Keterangan: Huruf superskrip pada kolom yang berbeda menunjukkan uji berbeda nyata (p < 0,05).
4.4 Analisa Protein Hasil analisa protein menggunakan metode SDS-PAGE dengan pewarnaan coomasie blue menunjukkan bahwa pada rennet yang disimpan selama 10 bulan (sumur 4,5,6) terlihat pita-pita protein yang lebih tebal dengan intensitas warna yang gelap dibandingkan dengan rennet yang tidak disimpan (sumur 1,2,3). 1
Gambar 4
2
3
4
5
6
Hasil gel elektroforesis dari rennet domba menggunakan pewarnaan coomasie brilliant blue R dari sampel tidak disimpan (1,2,3) dan sampel yang disimpan 10 bulan (4,5,6) 1 = sampel D 2 = sampel C 3 = sampel A
4 = sampel E 5 = sampel F 6 = sampel G
5. PEMBAHASAN Setiap domba memiliki ukuran abomasum yang berbeda-beda. Ukuran tersebut dipengaruhi oleh umur domba. Hal ini terlihat dari berat abomasum domba umur 5-6 bulan lebih rendah dibandingkan dengan domba umur 7-8 bulan (Tabel 3). Semakin bertambahnya umur, maka berat abomasum domba juga meningkat. Menurut Ruckebush et al. (1983), proporsi ukuran dan kapasitas masing-masing ruangan lambung ruminansia berubah sesuai dengan perubahan umur hewan. Pada penelitian ini hanya menggunakan mukosa daerah fundus, karena berdasarkan penelitian sebelumnya diperoleh hasil koagulasi susu yang lebih baik dengan ekstrak fundus dibandingkan dengan pilorus. Hal ini berkorelasi dengan adanya sejumlah sel-sel yang immunoreaktif terhadap prokhimosin pada daerah kelenjar fundus dan negatif pada daerah pilorus (Fitriyani 2006). Prokhimosin merupakan bentuk inaktif dari khimosin yang kemudian akan dirubah menjadi bentuk aktif menjadi khimosin oleh asam klorida (HCl) yang diproduksi oleh selsel parietal pada daerah fundus (Dellman & Eurell 1998). Pada saat preparasi sampel, dinding mukosa abomasum terlihat kotor. Mukosa yang kotor ini diduga karena domba sudah mulai mengkonsumsi pakan hijauan ataupun makanan padat lainnya. Untuk itu, sebelum melakukan ekstraksi, maka abomasum domba dibersihkan terlebih dahulu menggunakan larutan NaCl fisiologis. Pemberian NaCl fisiologis bertujuan sebagai pengawet karena NaCl merupakan garam yang biasa digunakan sebagai pelarut untuk mengekstraksi rennet dari abomasum (Suhartono 1992). Abomasum domba yang mengalami kelainan tidak digunakan untuk penelitian ini karena dimungkinkan dapat mempengaruhi hasil ekstraksi.
Kelainan-kelainan pada abomasum dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah banyaknya investasi cacing pada abomasum tersebut. Metode ektraksi enzim menurut Qadri et al. (1962) merupakan metode yang sering digunakan untuk ekstraksi enzim protease khususnya dalam pembuatan rennet. Mukosa hasil kelupasan diberi tambahan asam asetat 10% dengan maksud untuk mengaktifkan enzim protease, sehingga enzim yang
23
diperoleh dari hasil ekstraksi adalah enzim aktif. Sebagaimana telah diketahui bahwa enzim protease asam disekresikan dalam bentuk inaktif dan dapat diaktifkan dengan penambahan asam (Dellman & Eurell 1998). Modifikasi dalam proses
ekstraksi
dilakukan
dengan
menggunakan
blender,
bukan
lagi
menggunakan magnetic stirrer seperti penelitian sebelumnya karena ekstraksi dengan magnetic stirrer membutuhkan waktu yang lama (24 jam), sehingga tidak efisien. Namun, kedua proses ekstraksi ini mampu menghasilkan rennet dengan aktivitas koagulasi yang sama baiknya.
Menurut Bailey dan Ollis (1988),
ekstraksi menggunakan alat penghancur (blender) dimaksudkan untuk memecah sel-sel pada mukosa abomasum. Pada saat dilakukan ekstraksi dengan blender, daerah di sekeliling blender diberi es batu. Perlakuan ini ditujukan untuk menjaga agar suhu tidak terlalu tinggi akibat aktivitas blender. Jika suhu terlalu tinggi, maka dapat menyebabkan kerusakan pada enzim atau enzim menjadi inaktif. Pada umumnya semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimia, baik yang tidak dikatalisis maupun yang dikatalisis oleh enzim. Tetapi, seperti yang kita ketahui bahwa enzim adalah protein, jadi semakin tinggi suhu, maka proses inaktifasi enzim juga meningkat (Winarno 1983). Supernatan hasil ekstraksi mukosa fundus abomasum dinetralisasi menggunakan NaOH 1 N dengan volume tertentu, sehingga pH-nya meningkat menjadi 5,4. Penggunaan NaOH 1 N adalah untuk menetralisir keasaman akibat penambahan asam asetat, sehingga membuktikan bahwa koagulasi susu yang terjadi adalah benar disebabkan oleh aktivitas enzim dan bukan karena asam. Selain itu, netralisasi pH juga ditujukan agar enzim dapat mencapai pH optimum sehingga mencegah terjadinya kerusakan (denaturasi) enzim selama proses penyimpanan beku. Hal ini sesuai dengan Suhartono (1992) bahwa pH optimum untuk stabilitas khimosin adalah 5,3-6,3 dan pH pepsin 5,0-5,5. Penyimpanan beku ini ditujukan untuk memperpanjang umur dari enzim protein dan mengurangi terjadinya denaturasi selama proses penyimpanan (Witarto 2001). Aktivitas dari suatu enzim tergantung pada suhu. Aktivitas tersebut dapat rusak pada suhu mendekati 200 oF (93,3 oC). Aktivitas enzim masih dimiliki pada suhu serendah -100 oF (-73,3 oC), walaupun kecepatan reaksinya sangat rendah pada suhu tersebut (Rohanah 2002).
24
Uji aktivitas rennet menggunakan susu yang telah dipasteurisasi. Pasteurisasi terhadap susu yang digunakan untuk pembuatan keju merupakan usaha untuk menstandarisasikan kualitas biologi susu dengan jalan membunuh bakteri yang tidak diinginkan atau bakteri yang berbahaya dan merusak beberapa enzim (Scott 1981). Setelah proses pasteurisasi, susu didiamkan selama beberapa menit hingga suhu mencapai 35-40 oC. Winarno (1983) menyebutkan bahwa suhu optimum susu agar terbentuk curd yang baik akibat penambahan khimosin adalah 40 oC. Pada suhu susu 60 oC enzim khimosin akan inaktif. Penambahan rennet pada susu menyebabkan terbentuknya koagulan (curd) yang terpisah dari cairannya (whey). Pengujian
aktivitas
terhadap
koagulasi
susu
dilakukan
dengan
menggunakan rennet dari kedua kelompok sampel dengan konsentrasi 3%. Konsentrasi ini dipilih karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dengan konsentrasi 3% susu dapat mengkoagulasi dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi 1% ataupun 2% (Fitriyani 2006). Hasil yang diperoleh dari kedua kelompok rennet adalah terbentuk koagulan yang padat (curd) dan terpisah dari cairannya (Gambar 3). Hal ini menunjukkan dengan penyimpanan selama 10 bulan pada suhu -30 ºC, enzim protease asam dalam rennet yang berperan pada saat proses koagulasi susu masih aktif, sehingga rennet tersebut masih memiliki kemampuan mengkoagulasi susu yang baik dan tidak berbeda dengan rennet segar. Protein utama pada susu adalah kasein yang dapat mencapai 80% total protein susu. Kasein pada susu terbagi menjadi α-kasein, β-kasein, dan κ-kasein. Pada proses koagulasi susu, khimosin menghidrolisis bagian κ-kasein, sehingga menimbulkan destabilisasi struktur koloid dan menimbulkan proses koagulasi αdan β-kasein bila terdapat kalsium dan fosfat pada lingkungan. Gumpalan ini merupakan jalinan molekul yang tersusun oleh κ-kasein dan mikropeptida, dengan air, laktosa mineral, globular lemak, vitamin dan sejumlah senyawa terlarut lainnya di dalam gumpalan tersebut.
Khimosin yang ditambahkan akan
terdegradasi selama pengolahan selanjutnya, terutama oleh proses pasteurisasi (Suhartono 1992).
25
Pembentukan koagulan atau gel setelah penambahan khimosin pada susu terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan komponen nitrogen terlarut karena aktivitas khimosin.
Komponen nitrogen terlarut ini
berasal dari molekul κ-kasein. Pada tahap kedua terjadi agregasi misel kasein yang telah berubah secara enzimatik, sehingga terbentuk struktur gel (Suhartono 1992). κ-kasein terurai menjadi dua bagian pada ikatan asam amino fenilalanin dan metionin pada nomor 105-106 menjadi makropeptida ρ-κ-kasein dan makropeptida κ-kasein. Apabila sampai 90% κ-kasein telah terhidrolisis, maka terjadi agregat protein yang meningkatkan viskositas susu sampai terbentuk struktur gel. Produk makropeptida yang dihasilkan dari proses hidrolisis bersifat larut air, sedangkan struktur ρ-κ-kasein mengendap.
Putusnya ikatan peptida
antara fenilalanin dan metionin pada κ-kasein ini mengakibatkan hilangnya kestabilan misel kasein, sehingga fraksi kasein yang lain ikut mengendap (Suhartono 1992). Waktu dari koagulasi susu (Tabel 4) pada pengujian aktivitas rennet diolah menggunakan uji-T 2 sampel independen. Uji ini dipilih karena abomasum yang digunakan berasal dari kelompok domba yang berbeda dan diberi dua perlakuan yang berbeda pula, tetapi diasumsikan sebagai sampel yang homogen karena umur domba dan berat abomasum yang digunakan terdapat dalam kisaran yang sama. Menurut Kurniawan (2008), uji–T 2 sampel independen (bebas) adalah metode yang digunakan untuk menguji kesamaan rata-rata dari 2 populasi yang bersifat independen, dimana peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi. Maksud dari independen adalah bahwa populasi yang satu tidak dipengaruhi atau tidak berhubungan dengan populasi yang lain. Hasil perhitungan dari uji–T 2 sampel independen menunjukkan bahwa waktu koagulasi kedua kelompok sampel tidak berbeda nyata karena thitung < ttabel atau p-value > 0,05, walaupun waktu dari rennet yang disimpan selama 10 bulan terlihat lebih cepat dibandingkan dengan rennet yang tidak disimpan. Hal ini berarti rennet yang tidak disimpan dan rennet yang disimpan selama 10 bulan mempunyai efek yang hampir sama terhadap waktu koagulasi susu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi waktu koagulasi
26
adalah pengaruh pH, suhu, penambahan Ca+, dan pengenceran enzim (Goenardjoadi 1988). SDS-PAGE protein dapat digunakan untuk mendeteksi berat molekul (BM), jumlah protein, dan terjadinya kerusakan protein.
Pada penelitian ini
SDS-PAGE tidak digunakan untuk mendeteksi BM dari enzim penyusun rennet, tetapi melihat pengaruh penyimpanan terhadap kualitas dan kuantitas rennet melalui gambaran pita yang terbentuk pada gel. Gambaran pita yang tebal serta intensitas warna yang tinggi (gelap) pada analisa protein menggunakan SDSPAGE (Gambar 4) menunjukkan sampel memiliki kandungan enzim protease (khimosin dan pepsin) yang lebih tinggi, sedangkan pada pita yang terlihat tipis dengan intensitas warna yang rendah (terang) menunjukkan kandungan enzim yang rendah. Pada gel hasil SDS-PAGE terlihat pita-pita protein dari kelompok rennet yang disimpan selama 10 bulan lebih tebal dengan intensitas warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan pita dari rennet yang tidak disimpan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kedua perlakuan menggunakan domba yang berbeda, sehingga perbedaan kandungan enzim protease dalam rennet dari masing-masing perlakuan juga berbeda. Menurut Suhartono (1992) dan Scott (1981), faktor yang mempengaruhi konsentrasi enzim protease yang terdiri dari enzim khimosin dan pepsin adalah umur dan jenis makanan. Data analisa protein yang didapatkan dari SDS-PAGE ini mendukung hasil pengujian waktu rennet dalam mengkoagulasikan susu.
6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Rennet hasil ekstraksi mukosa fundus abomasum domba lokal umur dewasa muda yang disimpan selama 10 bulan pada suhu -30 ºC masih mampu mengkoagulasikan susu dengan baik dan pada gel hasil SDS-PAGE pita-pita proteinnya masih terlihat tebal. Hal ini berarti penyimpanan beku tidak menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap kualitas rennet.
6.2 Saran a) Melakukan pengujian hasil ekstraksi fundus abomasum domba lokal dalam proses pembuatan keju dan menguji cita rasa yang dihasilkan. b) Perlu adanya kerja sama dengan bidang ilmu lainnya (seperti biokimia dan teknologi pangan) dalam pengembangan hasil penelitian ini, sehingga dapat diaplikasikan untuk masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Andren A. 1991. Milk protein, casein micelles, milk-clotting and milk–clotting enzymes. Oral presentation at Obihiro Univ. of Agriculture & Vet. Medicine, October 7th. Anonim. 2008. Rennet Sapi, Baru Hidup Sudah Mati Lagi. Halal Guide. http://www.halalguide.info/content/view/423/38.html [10 Jan 2009]. Atallah AG. 2007. Characters of chymosin gene isolated from different animal sources at molecular level. Journal of Applied Sciences Research 3(9): 904-907. Bailey JE, Ollis FD. 1988. Dasar-dasar Rekayasa Biokimia. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Ed ke-3. Philadelphia: Mosby Pp: 338-349. Bergman AR, Adel KA, Paul MH. 1996. Histology. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Bowen R. 1996. Chymosin (Rennin) and the Coagulation of Milk. http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/digestion/stomach/rennin. html [3 Feb 2009]. Budoyo TY. 1989. Pengaruh Pengeringan dan Penyimpanan Abomasum Anak Sapi terhadap Aktivitasnya dalam Menggumpalkan Susu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Cheeseman GC. 1981. Rennet and Cheesemaking. Di dalam: Birch GG, Blakebrought N, Parker KJ, editor. Enzyme and Food Processing. London: Applied Science Publisher Ltd. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri : Mosby. Daulay D. 1990. Fermentasi Keju. Bogor: Depdikbud Dikti-PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Dellman HD, Eurell J. 1998. Buku Teks Histologi Veteriner. R. Hartono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Histology. Pp: 180-187. Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Populasi Domba menurut Propinsi. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/2008/pop-domba.html [10 Jan 2009].
29
Djuwita I. 2004. Pemanfaatan Teknik Elektroforesis dalam Karakterisasi Asam Nukleat dan Protein. Pelatihan Pemanfaatan Teknik dan Instrumentasi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Fitriyani EN. 2006. Studi Morfologi Abomasum Domba Lokal Umur Dewasa Muda (6-12 bulan) dan Uji Aktivitas Ekstrak Mukosanya dalam Mengkoagulasikan Susu [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Getty R.1975. Sisson’s and Grosmann: The Anatomy of the Domestic Animals, Vol. 2. 5th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company. Pp: 480. Goenardjoadi. 1988. Evaluasi Karakteristik Ekstrak Rennet dari Abomasum Anak Sapi Perah [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Heishi Y, Yamada J, Kitamura N, Yamashita T, Andren A. 1995. Immunohistochemical study on the development of progastricsinimmunoreactive cells in the bovine abomasal mucosa. Eur J Histochem. 39: 39-46. Kilara A, Iya KK. 1984. Proteolytic enzymes and their application in dairy industry. Indian J. Dairy Sci. 37(3): 241. Kurniawan D. 2008. Uji-T 2 Sampel Independen. http://ineddeni.wordpress.com [22 Jul 2009]. Nur M, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Bogor: Depdikbud Dikti-PAU Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Putranto WS. 2006. Purifikasi dan Karakterisasi Protease yang Dihasilkan Lactobacillus acidophilus dalam Fermentasi Susu Sapi Perah. Seminar Nasional Bioteknologi “Capturing Opportunities through Biotechnology” Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI 15-16 November 2006. Qadri RB, Ansari MA, Mahdihassan S. 1962. A revised method of preparing rennet. J Sci Ind Res. 5:196. Rohanah A. 2002. Pembekuan. USU Digital Library. http://library.usu.ac.id/download/fp/Tekper-Ainun.pdf [3 Jul 2009]. Ruckebush Y, Dardillat C, Guilloteau P. 1983. Development of digestive function in the newborn ruminant. Ann Rech Vet. 14(4): 360-374. Schwimmer S, Pardee AB. 1947. Principles and procedures in the isolation of enzymes. Advan. Enzymol. 14:375. Scott, R. 1981. Cheese Making Practice. London: Applied Science Publisher Ltd. Suhartono MT. 1992. Protease. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
30
Wigati S, Manin F. 1991. Fraksinasi Protein Serum Darah Sapi Bali dan Sapi Peranakan Onggole dengan Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Poliakrilamid (Laporan). Bogor: Program Pencangkokan PAUBioteknologi. Winarno FG. 1983. Enzym Pangan. Jakarta: Gramedia. Witarto AB. 2001. Protein Engineering: Perannya dalam Bioindustri dan Prospeknya di Indonesia. Seminar on-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad21.http://witarto.files.wordpress.com/2008/01/ariefwitarto_paper_re kayasaprotein_2001.pdf [3 Jul 2009].
32
Lampiran 1 Persiapan Running SDS-PAGE
Pembuatan larutan buffer Larutan buffer yang digunakan dalam proses elektroforesis adalah tris HCl 1,5 M pH 8,8; tris HCl 0,5 M pH 6,8; dan running buffer. Tris HCl 1,5 M pH 8,8 dibuat dengan mencampur tris base 54,45 gr dan aquadest 150 ml. Setelah homogen, pH-nya diatur hingga mencapai 8,8 dengan penambahan NaOH atau HCl dan selanjutnya ditambah aquades sampai volumenya 300 ml. Tris HCl 0,5 M pH 6,8 dibuat dengan campuran tris base sebanyak 6 gr, dan aquades 60 ml yang jika telah homogen, maka pH-nya diatur hingga mencapai 6,8 dengan penambahan NaOH atau HCl. Kemudian aquades ditambahkan sampai volumenya 100 ml. Langkah pertama yang dilakukan untuk pembuatan running buffer adalah pembuatan stock buffer. Stock buffer dibuat dengan campuran tris base 1,5 gr; glisin 7,2 gr; dan SDS 0,5 gr. Setelah itu, campuran dihomogenkan dan untuk membuat running buffer 10x yang siap dipakai, maka 100 ml stock buffer ditambah dengan 400 ml aquades. Larutan tersebut kemudian diatur pH-nya dengan menambah NaOH atau HCl sampai pH mencapai 8,3.
Pembuatan gel elektroforesis (SDS-PAGE) Gel untuk elektroforesis terdiri dari dua yaitu separating gel dan stacking gel. Separating gel dibuat dengan mencampurkan 4 ml poliakrilamid; 3,35 ml aquades; 2,5 ml tris HCl pH 8,6; 0,1 ml SDS 10%; 5 µl TEMED dan 50 µl amonium persulfat 10%. Semua bahan tersebut dihomogenkan dalam gelas piala, kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam lempeng kaca pembentuk gel sampai memenuhi tiga perempat lempeng kaca tersebut. Separating gel dibuat terlebih dahulu dibandingkan stacking gel. Setelah separating gel mulai memadat, kemudian stacking gel dimasukkan dan sisir untuk membuat sumur dipasang. Selanjutnya dibiarkan beberapa lama hingga gel memadat. Stacking gel dibuat dengan campuran 0,65 ml poliakrilamid; 3,05 ml aquades; 1,25 ml tris HCl pH 6,8; 50 µl SDS 10%; 5 µl TEMED dan 25 µl amonium persulfat 10%. Apabila gel
33
telah memadat, maka sisir dilepas dan lempeng kaca dimasukkan ke dalam chamber alat elektroforesis.
Proses running SDS-PAGE Chamber yang telah dipasang lempeng kaca diisi dengan running buffer 10X sampai kira-kira bagian bawah gel terendam minimal setinggi 1 cm. Bagian atas chamber juga diisi dengan running buffer 10X. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam masing-masing sumur gel. Sampel tersebut terdiri dari 30 µl loading buffer dan 15 µl supernatan. Chamber ditutup dan kabel dipasang, kemudian alat diatur dengan kuat arus listrik 35 mA dan tegangan sebesar 110 V, serta waktu 180 menit. Setelah selesai, gel dilepas dari lempeng kaca secara perlahan agar tidak rusak dan gel diwarnai dengan pewarnaan coomasie brilliant blue R.
Pewarnaan coomassie brilliant blue R Pewarna coomassie brilliant blue R dibuat dengan melarutkan 0,5 gr coomassie brilliant blue R dalam 91 ml metanol, 91 ml aquades, dan 18 ml asam asetat glasial. Semua bahan tersebut dihomogenkan dan siap untuk digunakan. Pada saat penambahan asam asetat glasial dilakukan dalam ruang asam agar tidak membahayakan lingkungan sekitar. Destaining dibuat dari 40 ml metanol dan 60 ml aquades. Semua bahan dihomogenkan dan siap untuk digunakan. Proses pewarnaannya adalah gel direndam dalam larutan fiksasi selama 1,5 jam, lalu diwarnai dengan pewarna commasie brilliant blue R selama satu malam (over night). Gel yang telah selesai diwarnai, direndam dalam larutan destaining dan dilanjutkan dengan aquades.
34
Lampiran 2 Uji-T 2 Sampel Independen
Perhitungan secara manual
sp 2
s
2
s s
2
t
p
n 1s n 1s 2 1
2 2
n1 n2 2
4 13.03 4 10.24 442
p
1.635
p
1.28
hitung
s
p
x1 x 2 1 1 n1 n2
4.93 3.080 1.28
2 4
1.85 0.905 2.044
t
tabel
2.45
thitung < ttabel → tidak berbeda nyata Hasil perhitungan Mini Tab Two-sample T for segar vs disimpan
segar disimpan
N 4 4
Mean 4.93 3.080
StDev 1.74 0.486
SE Mean 0.87 0.24
Difference = mu (segar) - mu (disimpan) Estimate for difference: 1.853 95% CI for difference: (-1.021, 4.726) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.05 = 0.133 DF = 3
P-Value
35
Boxplot of segar, disimpan 7
6
Data
5
4
3
2 segar
disimpan
Individual Value Plot of segar, disimpan 7
6
Data
5
4
3
2 segar
disimpan