PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA.
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Syah Ul-Haq Abdul Fikri NIM. 1 1 1 2 0 4 4 1 0 0 0 2 3
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016 M
ABSTRAK Syah Ul-Haq Abdul Fikri, NIM 1112044100023, PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA. Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438H/2016M. viii + 84 halaman + 1 lampiran Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana metode istinbath hukum dan corak pemikiran Ali Mustafa Yaqub, karena sebagai seorang ulama kontemporer dan sebagai seorang Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yaqub cukup banyak memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan kepadanya seputar masalah hukum Islam. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif karenanya tehnik pengumpulan datanya menggunakan data kepustakaan (library research) Objek penelitian ini adalah Ali Mustafa Yaqub namun terbatas pada metode istinbath pemikiran hukum Islam khususnya dalam hukum keluarga. Sumber utama (primary resources) penelitian adalah buku-buku karya Ali Mustafa Yaqub adapun sumber sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini Hasil penelitian menunjukan bahwa Ali Mustafa Yaqub dalam mengistinbatkan hukum Islam menggunakan dalil-dalil al-Quran, hadis, ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, maqasid syariah, kaidah-kaidah ushuliyyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah. Adapun pemikiran Ali Mustafa Yaqub yang dibahas dalam penelitian ini antara lain antisipasi kondisi janin, operasi caesar demi milenium, menyimpan sel telur, kloning manusia, menikahi wanita hamil, menikah untuk bercerai, nikah beda agama, waris beda agama, istri bekerja suami menjaga anak dan suami istri menonton film porno. Kata Kunci
: Ali Mustafa Yaqub, Pemikiran, Istinbath Hukum.
Pembimbing : Drs. Sirril Wafa, MA Daftar Pustaka : 1947-2015 Tahun
iv
KATA PENGANTAR
بسم هللا ال ّرحمن ال ّرحيم Alhamdulillahirabbil’alamin, tiada untaian kata yang pantas diucapkan melainkan ucapan kalimat puja puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Karena rahmat dan karunianya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.” Sholawat berlantunkan salam semoga tercurahkan kepada manusia pengubah zaman yakni baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Tak lupa juga kepada para Sahabat, Tabiin, dan kita selaku Umatnya. Berkat rahmat dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT, penulis mendapatkan kemampuan untuk bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa adanya bantuan, bimbingan, arahan, dukungann, dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada : 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakart, beserta Wakil Dekan I, II, dan III. 3. Dr. H. Abdul Halim, M.A., Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam dan Arip Purkon, S.HI, M.A., Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga Islam. 4. Bapak Dr. J.M. Muslimin. MA., Ph.D Dosen Pembimbing Akademik. 5. Drs. Sirril Wafa, MA Dosen Pembimbing Skripsi.
v
6. Seluruh Dosen dan karyawan di lingkunan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Pimpinan Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Pascasarjana beserta staff UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Paling istimewa kedua orang tua, Ayah Doto Pujio dan Mamah Ocih Sukaesih tercinta. Terimakasih atas segala pengorbanan dan do’a kepada penulis, serta dukungan moril, materil, dan juga tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai menyelesaikan studi S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta Kak Nida Ul-Haq Siti Sajidah, Adik-Adik penulis Husni Syifa Ul-Haq, Widad Rifda Ul-Haq, dan Nafa Ul-Haq Az-Zahra yang selalu memberikan do’a dan semangat kepada penulis. 9. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga Islam 2012, terkhusus Martin, Faiq, Ripal, Lutfan, Ifud, Pian, Ayi, Putri, Nisa, Nanik, Ridwan, Deza, Fadli, Riyan, Miqdad dan yang penulis tidak sebutkan namanya terimakasih atas kebersamaan yang kita lalui. 10. Teman-teman MCC UIN JKT, KKN KATALIS, KOMANDAN, SEKOETOE dan khususnya kepada Razif, Tresna, Edi, Ajim, Putri, Sabila, Ulu, Eliv, Paris, Arlong, Pane, Yusuf, Fitria Daris, Akma, Eva Lestari yang selalu memberikan do’a dan semangat kepada penulis dan lainnya yang penulis tidak sebutkan namanya.
vi
11. Serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu namanya disini. Penulis ucapkan terima kasih dan semoga Allah Swt. membalas pengorbanan dan kebaikan mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Penulis sadari bahwa masih begitu banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini, namun begitu mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Akhir kata tiada yang dapat penulis ucapkan, kecuali rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, arahan, bantuan, do’a, dan bimbingannya atas terselesaikannya penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dijadikan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Dan semoga kita semua selalu dalam bimbingan, Rahmat, dan Hidayah Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin. Ciputat, 19 Desember 2016 Hormat saya,
Syah Ul-Haq Abdul Fikri Penulis
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................... LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... ABSTRAK.............................................................................................................. KATA PENGANTAR............................................................................................ DAFTAR ISI.......................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah....................................................... B. Identifikasi Masalah............................................................. C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah.................... D. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................. E. Metode Penelitian................................................................. F. Review Studi Terdahulu....................................................... G. Sistematika Penulisan........................................................... BAB II BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB A. Latar Belakang dan Pendidikan Ali Mustafa Yaqub............. B. Kiprah dan Aktifitas Ali Mustafa Yaqub.............................. C. Karya-karya Ali Mustafa Yaqub........................................... BAB III
BAB IV
ii iii iv v vii 1 4 5 5 6 8 10 12 16 18
PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM HUKUM ISLAM A. Metode Istinbat Hukum Ali Mustafa Yaqub......................... 21 B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Ali Mustafa Yaqub.................................................................................... 23 C. Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Terhadap Isu-Isu Kontemporer Hukum Islam......................................................................... 26 1. Antisipasi Kondisi Janin.................................................. 27 2. Operasi Caesar Demi Milenium...................................... 27 3. Menyimpan Sel Telur....................................................... 29 4. Kloning Manusia.............................................................. 31 5. Menikahi Wanita Hamil................................................... 32 6. Menikah Untuk Bercerai.................................................. 35 7. Nikah Beda Agama.......................................................... 36 8. Waris Beda Agama.......................................................... 41 9. Istri Bekerja Suami Menjaga Anak.................................. 43 10. Suami Istri Menonton Film Porno.................................... 44 METODE PENETAPAN HUKUM ALI MUSTAFA YAQUB A. Aplikasi Metode Istinbat Hukum Ali Mustafa Yaqub......... 1. Antisipasi Kondisi Janin.................................................. 2. Operasi Caesar Demi Milenium..................................... 3. Menyimpan Sel Telur..................................................... viii
46 46 49 51
4. Kloning Manusia............................................................. 5. Menikahi Wanita Hamil................................................... 6. Menikah Untuk Bercerai.................................................. 7. Nikah Beda Agama.......................................................... 8. Waris Beda Agama.......................................................... 9. Istri Bekerja Suami Menjaga Anak.................................. 10. Suami Istri Menonton Film Porno................................... B. Corak Pemikiran Ali Mustafa Yaqub................................... 1. Aliran Tradisionalis......................................................... 2. Aliran Modernis.............................................................. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan........................................................................... B. Saran-saran............................................................................ DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. LAMPIRAN............................................................................................................
ix
52 55 57 58 63 65 68 69 70 73 77 78 81 85
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses moderenisasi masyarakat muslim secara lebih khusus memberikan implikasi yang tidak sedikit terhadap perkembangan hukum Islam. Setidaknya, hukum Islam telah menjadi salah satu elemen hukum negara modern dan turut dalam satu sistem negara yang legitimited.1 Hukum Islam sebagai sebuah fenomena sejarah, mengalami masa-masa pertumbuhan dan perkembangan. Para ahli sejarah hukum Islam berpendapat pada periode awal (abad VII-X M.) hukum Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini terbukti dengan lahirnya sejumlah madzhab yang masing-masing memiliki perbedaan.2 Pada masyarakat kita terdapat beraneka corak dalam pengamalan ajaran Islam dan kita mengenal Islam dalam berbagai macam potret, seperti ditampilkan Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya, Fazlur Rahman dengan nuansa historis dan filosofis, dan masih banyak corak pemikiran kaum moderenis lain baik dari Indonesia maupun dari negara-negara Islam lainnya.3
1
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.13. Ghufron A. Mas’aid, Pemikiran Fazrul Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Cet. II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 2-3. 3 Akhmad Taufik, dkk., Sejarah dan Tokoh Moderenisme Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 1. 2
1
2
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam pada abad ke-20 adalah adanya usaha pembaruan hukum keluarga di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Turki misalnya, melakukannya pada tahun 1917, Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun 1930, Syiria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan pada tahun 1961, dan Indonesia pada tahun 1974.4 Adapun bentuk pembaruan yang dilakukan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Ada yang melakukan pembaruan berdasarkan taqnîn, ada yang berdasarkan putusan (dekrit) kepala negara (raja atau presiden), ada pula yang melakukannya dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim.5 Dalam perkembangannya, konunisasi hukum yang terjadi di negara-negara muslim yang sebagian besar hanya terjadi di bidang hukum keluarga, karena bidang ini dianggap sebagian dari subtansi hukum Islam. Penerapan hukum keluarga yang tidak jauh dari tradisi dan kebiasaan masyarakat ternyata menjadikan bidang ini cukup sensitif untuk dilakukan perubahan.6 Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. 7 Menurut Prof.
Subekti,
4
hukum
keluarga
ialah
hukum
yang
mengatur
perihal
Atho Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Pers, 2003), h. 1. 5 Hilal Malarangan, Pembaruan Hukum Islam dalam Hukum Keluarga di Indonesia, Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008, h. 39. 6 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h.13. 7 Mustafa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h.4.
3
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian serta curatele.8 Tujuan dari pembaharuan hukum keluarga antara lain adalah untuk univikasi, pengangkatan status wanita dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman. Hasil usaha pembaharuan hukum keluarga inipun di antaranya adalah adanya pembatasan praktek poligami, pembatasan hak talak sepihak oleh suami, keharusan pencatatan perkawinan, jaminan hak istri, dan jaminan hak anak yang orang tuanya bercerai.9 Salah satu ulama yang intens dalam mengkaji hukum Islam termasuk di dalamnya hukum keluarga adalah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. (Ali) beliau lahir dari sebuah keluarga yang taat dalam menjalankan agama. Ali merupakan sosok pribadi intelektual muslim, Ali dikenal sebagai pakar Ilmu Hadis di Indonesia. Selain itu Ali adalah seorang da’i, siraman rohani yang disampaikannya selalu menyejukan hati pendengarnya.10 Dalam keorganisasian, Ali terbilang sangat aktif dalam berorganisasi seperti menjadi Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyad, menjadi pengasuh pesantren al-Hamidiyah Depok (1995-1997), aktif sebagai Komisi Fatwa MUI serta Ketua Sekolah Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta dan seterusnya.11 Selain
8 9
10-11.
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata,(Jakarta: PT Intermasa), 1991, h.16. Atho Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h.
10
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.
11
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. h. 240.
240.
4
aktif
dalam
berbagai
keorganisasian,
beliau
juga
terbilang
aktif
dalam
menyumbangkan buah pikirannya yang dijadikan karya tulis dan sampai saat ini telah tercatat bahwa karya tulis beliau sebanyak 45 buku.12 Selama pengabdiannya di MUI beliau cukup banyak mengeluarkan fatwa-fatwa kontemporer, adapun yang berkaitan dengan hukum keluarga antara lain seperti, suami murtad, nikah beda agama, waris beda agama, menyimpan sel telur, mengupayakan jenis kelamin bayi, operasi caesar demi milenium. 13 Selain fatwa kontemporer, buku-buku beliau yang merupakan bagian dari kajian hukum keluarga antara lain, Fatwa-fatwa Kontemporer (2002), Nikah Beda Agama Dalam al-Quran dan Hadis (2005), Fatwa-Imam Besar Masjid Istiqlal (2007) dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai pemikiran Ali sebagai suatu karya ilmiyah dengan judul : “PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA.” B. Identifikasi Masalah Masalah-masalah yang menjadi identifikasi peneliti adalah : 1. Bagaimana pemikiran Ali tentang masalah-masalah kontemporer di Indonesia? 2. Bagaimana metode Ali dalam mengistimbatkan hukum Islam? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Ali? 4. Bagaimana corak pemikiran Ali?
12
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2008), h. 349. 13 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2002), h. xii
5
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk dapat terciptanya suatu penelitian yang baik diperlukan pembatasan masalah dan perumusan masalah yang tepat agar masalah yang akan dibahas dapat fokus dan tidak melebar. Adapun fokus penelitian ini hanya terbatas pemikiran dan metode istinbath Ali dalam masalah hukum Islam khususnya dalam hal hukum keluarga. 2. Perumusan Masalah Dari paparan identivikasi masalah yang telah dikemukakan di atas maka fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana metode Ali Mustafa Yaqub dalam mengistinbathkan hukum Islam? 2. Bagaimana corak pemikiran Ali Mustafa Yaqub? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
2.
a.
Untuk mengetahui metode istinbath hukum Islam Ali Mustafa Yaqub.
b.
Untuk mengetahui bagaimana corak pemikiran Ali Mustafa Yaqub.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: a.
Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam kajian Hukum Keluarga.
6
b.
Menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengembangkan potensi menulis karya-karya ilmiah sehingga dapat menjadi bekal, pelajaran yang berguna di masa yang akan datang.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
14
Karenanya tehnik
pengumpulan datanya menggunakan data kepustakaan (library research) yaitu upaya mengidentifikasi
secara
sistematis
dan
melakukan
analisis
terhadap
dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian.15 2. Sifat Penelitian Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Deskriptif adalah metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan dikumpulkan, sedangkan analisis adalah menguraikan sesuatu dengan tepat dan terarah. Jadi deskriptif-analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan dan mengklarifikasi dan secara objektif data-data yang dikaji kemudian menganalisisnya. 3. Objek Penelitian Objek penelitian penulis adalah Ali Mustafa Yaqub, tapi yang menjadi fokus penelitian adalah pemikiran dan metode istinbath Ali dalam masalah hukum Islam
14
Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), h. 174. 15 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010), h. 17-18.
7
khususnya dalam hal hukum keluarga. 4. Tehnik Pengumpulan Data Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan menggunakan data kepustakaan atau library research maka dari itulah tehnik yang digunakan dalam pengumpulan datanya dilakukan secara literatur baik yang sifatnya primer maupun yang sifatnya sekunder. a.
Sumber data primer digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku karya Ali Mustafa Yaqub yakni buku yang berjudul Fatwa-fatwa Kontemporer (2002), Hadis-hadis Bermasalah (2003), Nikah Beda Agama Dalam al-Quran dan Hadis (2005), Imam Perempuan (2006), Fatwa-Imam Besar Masjid Istiqlal (2007).
b.
Sumber data sekunder 16 dari studi ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini.
5. Analisis Data Metode analisis data penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut : a. Metode deduktif yaitu metode atau cara berfikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum menuju kesatu pendapat yang bersifat khusus. Dalam aplikasinya adalah untuk mengungkapkan pemikiran hukum keluarga perspektif Ali Mustafa Yaqub.
16
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h.30.
8
b. Metode deskriptif analisis yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis dan metode ini digunakan untuk memperoleh data yang jelas dan sistematis berkaitan dengan pemikiran hukum keluarga perspektif Ali Mustafa Yaqub 6. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah atau pemikiran, maka pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan historis, yaitu sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, mengefaluasi, serta memverifikasi bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.17 7. Tehnik Penulisan Tehnik penulisan studi ini, merujuk pada pedoman penulisan skripsi, tesis, disertasi disertai dengan buku pedoman penlisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta 2012. F. Review Studi Terdahulu Review studi terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai. Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa saja yang telah diteliti dan yeng belum diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian. 17
Sumardi Surayabrata, Metodologi Penelitian, Cet. XVI, (jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), h. 73.
9
1. Tamba Tuah Matondang, Pemikiran Fikih Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 M), Tesis, Pascasarjana Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1426H/2005M. Tesis ini membahas tentang bagaimana pemikiran,
metode
penetapan
hukum
(istinbath)
dan
kemanakah
kecenderungan madzhab fikih Syekh Arsyad Thalib. Metode yang digunakan adalah library research. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa; pemikiran Syekh Arsyad Thalib cenderung bersifat ta’kidiy. Metode istinbath menggunakan al-Quran, hadis, ijma’, qiyas dan beliau dapat dikatakan sebagai pengikut madzhab Syafi’i. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah; pertama, tokoh atau ulama yang menjadi objek kajian berbeda begitupun dengan spesialisasi keahlian tokohnya. Kedua, fokus penelitian penulis hanya terbatas metode istinbath dan corak pemikiran Ali Mustafa Yaqub dalam masalah hukum Islam yang khususnya dalam hal hukum keluarga. 2. Ni’ma
Diana
Cholidah,
Kontribusi
Ali
Mustafa
Yaqub
Terhadap
Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, Skripsi, Program Studi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Skripsi ini membahas tentang kontribusi Ali terhadap perkembangan kajian hadis kontemporer di Indonesia dengan fokus kepada studi Pemikiran Ali. Sumber utama penelitian adalah buku-buku yang ditulis oleh Ali. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah penelitian ini membahas tentang pemikiran hukum Islam Ali yang khususnya membahas hukum keluarga dan
10
kemudian menganalisis metode istinbath hukum dan corak pemikiran Ali dalam menentukan suatu hukum terhadap suatu permasalahan. 3. Hilal Malarangan, Pembaruan Hukum Islam dalam Hukum Keluarga di Indonesia, Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008. Jurnal ini membahas mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum keluarga dan aspek-aspek pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia. Perbedaan dengan penelitian penulis antara lain; penulis melakukan penelitian studi tokoh, tokoh yang menjadi objek penelitian penulis adalah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. kemudian, sumber data primer yang dipakai adalah buku-buku karya beliau khususnya Fatwa Fatwa Kontemporer, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal dan Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran dan Hadis. G. Sistematika Penulisan BAB I
Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembaasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Dalam bab ini peneliti akan menerangkan tentang, Latar Belakang dan Pendidikan, Kiprah dan Aktifitas, dan Karya-karya Ali Mustafa Yaqub
BAB III
Dalam bab ini peneliti akan mengungkapkan pemikiran Ali Mustafa Yaqub melalui Metode Istinbath Hukum, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran dan Isu-Isu Kontemporer antara lain;
11
antisipasi kondisi janin, operasi caesar demi milenium, menyimpan sel telur, kloning manusia, menikahi wanita hamil, menikah untuk bercerai, nikah beda agama, waris beda agama, istri bekerja suami menjaga anak dan suami istri menonton film porno. BAB IV
Bab ini merupakan Metode Penetapan Hukum Ali Mustafa Yaqub yang dibagi menjadi dua sub bab yakni, Aplikasi Metode Istinbath Hukum antara lain; antisipasi kondisi janin, operasi caesar demi milenium, menyimpan
sel telur, kloning manusia, menikahi wanita hamil,
menikah untuk bercerai, nikah beda agama, waris beda agama, istri bekerja suami menjaga anak dan suami istri menonton film porno dan Corak Pemikiran Ali Mustafa Yaqub BAB V Daftar Pustaka
Penutup, Kesimpulan, Saran.
BAB II BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB A. Latar Belakang dan Pendidikan Ali Mustafa Yaqub. Ali Mustafa Yaqub (Ali) lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. beliau hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan berkecukupan, masa kecil Ali tiap hari sesudah belajar di Sekolah Rakyat (SR) di desa tempat kelahirannya, Ia habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di lereng-lereng bukit pesisir Utara Jawa Tengah.1 Ayahnya bernama Yaqub, beliau adalah seorang muballigh terkemuka pada zamannya dan imam di masjid-masjid yang ada di Jawa Tengah, beliau memiliki misi, yakni “Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.” Selain itu beliau juga sangat aktif dalam proses belajar mengajar, hal demikian dilatarbelakangi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan rumahnya kebanyakan orang yang belum mengerti agama, baik dari kalangan pemerintah, guru-guru sekolah, masyarakat menengah sampai masyarakat awam. Karena latar belakang tersebutlah ayah dan kakek Ali mendirikan sebuah pondok pesantren (Darus Salam, Kemiri) yang santrinya adalah masyarakat sekitar.2
1
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 143. 2 Riki Efendi, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.35.
12
13
Ibunya bernama Zulaikha, beliau adalah seorang Ibu rumah tangga yang juga dikenal sebagai ustadzah dan ikut membantu perjuangan suaminya (Yaqub), Ibu Ali meninggal pada tahun 1996, beliau memiliki tujuh orang anak, namun dua diantaranya meninggal dunia, salah satu dari anak beliau yang bernama Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti jejaknya dan juga jejak ayah dan kakeknya.3 Ali merupakan suami dari Ulfah Uswatun Hasanah seorang wanita yang dinikahinya pada tahun 1986 dan ayah dari seorang anak laki-laki yang bernama Ziaul Haromain yang lahir pada tahun 1991. Setelah lulus SR dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) di desa tempat kelahirannya, Ali melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Seblak Jombang (1966-1969). Kemudian Ia melanjutkan kembali pendidikannya di pondok pesantren Tebuireng, Jombang dengan rentang waktu tiga tahun 1969-1971. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 Ia melanjutkan pendidikannya ketingkat perguruan tinggi yakni Fakultas Syariah Universitas Asy’ari, Jombang dan selesai pada tahun 1975.4 Di samping belajar sampai Fakultas Syarah Universitas Hasyim Asy’ari, di Pessantren Tebuireng ini Ali menekuni kitab-kitab kuning5 di bawah asuhan para kiyai sepuh, antara lain Idris Kamali, Adlan Ali, Shobari dan Syansuri Badawi. Di 3
Ni’ma Diana Cholidah, “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 11. 4 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik menurut alQuran dan Hadis, Cet. II, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Januari 2003), Cet. 2, h.349. 5 Kitab Kuning adalah karya-karya tulis berbahasa arab yang disusun oleh para ulama beberapa abad silam, Muntaha Azhar mengatakan, kitab kuning adalah ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari di pesantren, di tulis dalam tulisan Bahasa Arab dengan sistemetika klasik. Lihat Huzaemah Tahido, Laporan Penelitian Kedudukan Kitab Kuning (Kitab Fiqh) Setelah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam, (Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,1994), h.5.
14
pesantren ini Ali Mustafa Yaqub mengajar Kitab Kuning dan Bahasa Arab sampai awal tahun 1976.6 Dari Idris Kamali Ia belajar Ilmu Alat (Bahasa Arab), Hadis dan Tafsir yang kemudian Ia diwajibkan menghafal lebih dari sepuluh kitab, seperti Alfiyyah Ibnu Malik, al-Baiquniyyah, al-Waraqat. Dari Adlan Ia belajar Ilmu Hadis, sementara dari Syamsuri Badawi Ia belajar Hadis dan Ilmu Usul al-Fiqh. Selain berguru pada para kiyai besar di atas beliau juga sempat belajar Bahasa Arab dan Qatr al-Nada dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)7. Selain belajar beliau pun mengajar Kitab Kuning dan Bahasa Arab di pondok tersebut sampai awal tahun 1976.8 Di tahun 1976 Ali menuntut ilmu lagi untuk mendapatkan gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia sampai tamat dengan mendapatkan ijazah License (Lc), 1980. Kemudian masih di kota yang sama beliau melanjutkan kembali pendidikan Strata Dua (S2) di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis dan mendapat gelar Master pada tahun 1985 dan di tahun itu pula beliau pulang ke Indonesia dan mengajar di Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISQI/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) Al-Hamidiyah dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1989
6
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105. 7 Gus Dur atau Abdurrahman Wahid adalah guru Ali Mustafa Yaqub sejak tahun 1971 di pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umaat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105. 8 Ni’ma Diana C., “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia”, h.13.
15
bersama keluarganya beliau mendirikan Pesantren “Darus-salam” di desa kelahirannya, Kemiri.9 Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh yang pernah menjadi Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok (1995-1997) dan Ketua STIDA Al-Hamidiyah Jakarta (1991-1997) ini juga rajin menulis dan mengajar Hadis dan Ilmu Hadis, di samping aktif dalam organisasi dakwah. Ditahun 1990-1996 Ia diamanati menjadi Sekretaris Jendral Pimpinan Pusat Ittihadul Mubalighin kemudian untuk periode 1996-2000 Ia diamanati menjadi Ketua Dewan Pakar, merangkap Ketua Departemen Luar Negri DPP Ittihadul Mubalighin. Ia juga aktif sebagai Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi) dan Pengasuh Rubrik Hadis/Mimbar Majalah Amanah, Jakarta.10 Pada tahun 2005 Ali melanjutkan kembali studi doktoralnya di Universitas Nizam Hyderadab India di bawah bimbingan Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou yang juga Guru Besar Fiqh Islam dan Ushl Fiqh Universitas Kuwait dan Direktur Lembaga Studi Islam International di Frankfrut Jerman. Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou adalah orang yang berperan penting dalam studi S3 Ali Mustafa Yaqub dan pada tahun 2008 beliau mampu menyelesaikan program doktoralnya tersebut pada konsentrasi Hukum Islam.11
9
Yogi Sulaeman, “Analisa Wacana Kritis Dai Komersial dalam Buku Setan Berkalung Sorban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.38. 10 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cetakan ke 4, 2008), h.240. 11 Ni’ma Diana C., “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia,” h.14.
16
B. Kiprah dan Aktivitas Ali Mustafa Yaqub 1. Bidang Organisasi Dalam keorgansasian Ali dapat dikatagorikan sebagai ulama kontemporer yang sangat aktif, antara lain Ali menjadi Direktur Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Jakarta (1970-2016), menjadi Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Mubalighin (1990-1996), menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (2005-2010) menjadi Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI (1997-2010), menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal (2005-2016), menjadi Rais syuriah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Bidang Fatwa (20052016).12 2. Bidang Pendidikan Dalam pendidikan Ali pernah menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta (1991-1997), menjadi Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta (1998-2016) dan di tahun 2012 Ali di angkat menjadi Guru Besar Hadis-Ilmu Hadis, Pascasarjana Fakultas Dirasat Islamiyah Univesitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bersamaan dengan itu diangkat juga menjadi Guru Besar Hadis-Ilmu Hadis, Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Pekalongan Jawa Tengah (2012-
12
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2008), h.347
17
2016).13 kontribusi Ali pada bidang pendidikan lainnya adalah Mendirikan Madrasah Darus-Sunnah 6 Tahun Setingkat dengang SMP dan SMA (2014).14 3. Bidang Dakwah Dalam bidang dakwah seperti yang kita tahu bahwa Ali adalah Imam Besar Masjid Istiqlal sejak tahun 2005, kemudian aktif dalam pengajian rutin yang diadakan di Masjid Istiqlal, Masjid Sunda Kelapa, Masjid Agung At-Tin dan Masjid Raya Pondok Indah. Perlu kita ingat juga bahwa Ramdhan 1415 H/Februari 1995-1997 beliau diamanati untuk menjadi pengasuh/pelaksana Harian Pesantren Al-Hamidiyah Depok, setelah pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995. 15 4. Tugas Luar Negeri Selain dalam bidang organisasi, pendidikan dan dakwah kita bisa lihat juga dari tugas-tugas luar negeri yang diterima oleh Ali. Antara lain mejadi Delegasi MUI untuk Mengaudit Pemotongan Hewan di Amerika (2000), Delegasi Departemen Agama RI dalam melakukan Studi Banding tentang Metode Pelestarian al-Quran, di Turki, (2005), Delegasi MUI untuk Mengaudit Pemotongan Hewan di Amerika dan Kanada (2007), Kemudian melakukan Studi Banding tentang Metode Pelestarian al-
13
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, h.347 14 Ali Musta Yaqub, Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah, (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013), h.118. 15 Yogi Sulaeman, “Analisa Wacana Kritis Dai Komersial dalam Buku Setan Berkalung Sorban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.”, h.45.
18
Quran, di Iran, Mesir dan Saudi Arabia dan Safari Ramadhan 1429 H di Amerika dan Kanada (2008).16 Selain hanya menjadi delegasi, Ali juga pernah menjadi peserta dan pemakalah atau narasumber dalam beberpa pertemuan antara lain; Konfrensi Internasional tentang Metode Penetapan Fatwa di Kuala Lumpur, Malaysia (2006), Konfersi International ke-6, Lembaga Keuangan Islam Bahrain (2007), Seminar Takhrij
Hadis Serantau, Kuala Lumpur Malaysia, (Desember 2009), Seminar
Kepemimpinan Pegawai-pegawai Mesjid, Bandar Seri Begawan Negara Brunei Darussalam
(November
2010),
Pengajian
Ramadhan
Darus
Al-Hasaniyah
1432H/2011M, Kerajaan Maroko (Agustus 2011).17 C. Karya-karya Ali Mustafa Yaqub Menulis merupakan kegemaran Ali, selain sebagai pengisi kekosongan waktu juga menghasilkan rezeki, menurutnya menulis mempunyai dua keuntungan sekaligus yaitu keuntungan di dunia dan keuntungan di akhirat.18 Berdasarkan spesifikasi keilmuan, Ali adalah seornag pakar hadis, namun karya yang Ali hasilkan tidak terbatas pada kajian hadis saja, tapi pada kajian keilmuan lainnya, seperti Aqidah, Fiqih, Dakwah dan Tafsir. Sampai pada tahun 2015 telah berjumlah 45 judul buku yang telah Ali terbitkan.
16
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, h.348 17 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, h.348 18 Riki Efendi, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.”, h.43.
19
Dalam bidang Hadis, karya tulis Ali meliputi; Imam Bukhari dan Metode Kritik dalam Ilmu Hadis (1991), Kritik Hadis (1995), M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadis (2002), Hadis Hadis Bermasalah (2003) dan Hadis Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003). Dalam bidang Fiqih, meliputi; Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2005), Kriteria Halal dan Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik Menurut al-Qur’an dan Hadais (2009), Imam Perempuan (2006).19 Dalam bidang Dakwah, yaitu; Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghapal al-Qur’an (1990), Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997), Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2000), Pengajian Ramadhan Kiyai Duladi (2003), Toleransi Antar Umat Beragama (2008), 25 Menit Bersama Obama (Maktabah Darus Sunnah, 2010), Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008), Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2011), Makan Tak Pernah Kenyang (2012), Ijtihad, Terorisme dan Liberalisme (2012), Panduan Amar Makruf Nahi Munkar (Edisi Indonesia, 2012), Panduan Amar Makruf Nahi Munkar (Arab Indonesia, 2012), Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999), Kidung Bilik Pesantren (Maktabah Darus Sunnah 2009).20 Selain kajian di atas, ada beberapa buku Ali yang berisi kumpulan tulisan dari beberapa bahasan seperti Al-Quran, Hadis, Tafsir, Sirah Nabi SAW, Dakwah, Aqidah, Tarbiyah, Tanya Jawab Keagamaan dan lain-lain. Tulisan tersebut pernah di
19 19
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, h.348. 20 20 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, h.348.
20
muat di media masa dan tulisan itu sebagian ada yang berasal dari makalah yang di sampaikan oleh Ali dalam beberapa seminar. Antara lain; Islam Masa Kini (2001), Fatwa Fatwa Kontemporer (2002), Haji Pengabdi Setan (2006), Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007), Mewaspadai Provokator Haji (2009), Islam di Amerika (2009), Islam Between War and Peace (2009), Kiblat, Antara Bangunan dan Arah Ka’Bah (Arab-Indonesia, 2010), Kiblat Menurut al-Qur’an dan Hadis; Kritik Atas Fatwa MUI No. 5/2010 (2011), Cerita dari Maroko (2012), Menghafal al-Quran di Amerika Serikat (2013), Cara Benar Memahami Hadis (2014), Setan Berkalung Surban (2014), Titik Temu Wahabi-NU (2015), Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah (Bahasa Indonesia, 2013).21 Ali juga telah menerjemahkan beberapa buku karya ulama-ulama terkenal. Yaitu; Memahami Hakekat Hukum Islam (Ahli Bahasa dari Prof. Dr. Al-Bayanuni, 1986), Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Ahli Bahasa dari Prof. Dr. M.M. Azami, 1994), Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (Ahli Bahasa dari Muhammad Jameed Zino, 1997), Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (Ahli Bahasa dari Prof. Dr. Abd. Al-Rahman Al-Khumayis, 2001), Aqidah Imam Empat, Abu Hanifah, Imam Malik, Syafi’i, Ahmad (Ahli Bahasa dari Prof. Dr. Abd. AlRahman Al-Khumayis, 2001).22
21
Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, h.348. 22 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis, Cet. II, h.348.
BAB III PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM HUKUM KELUARGA A. Metode Istinbath Hukum Ali Mustafa Yaqub Istinbath menurut bahasa artinya adalah mengeluarkan atau mengambil air dari sumbernya, menurut istilah adalah mengeluarkan atau mengambil makna pengertian dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki, dalam menyusun dan menetapkan dasar-dasar pijakan Istinbath hukum, Ali Mustafa Yaqub (Ali) berpegang teguh kepada sumber-sumber sebagai berikut: 1. Al-Quran Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang primer, Ia adalah kitab Allah yang tidak datang kepada kebathilan, baik dari depan ataupun dari belakang.1 Dalam hal ini Ali memposisikan al-Quran sebagai sumber hukum yang pertama di antara sember-sumber hukum Islam lainnya. Beliau juga bersandar pada al-Quran seketat para Imam Madzhab dan kemudian menambahkan pandangan-pandangan baru di dalamnya setelah melalui pengkajian yang mendalam terhadap makna ayat-ayatnya. 2. As-Sunnah/Hadis Sunnah/Hadis adalah sumber hukum Islam yang ke-dua setelah al-Quran, hadis merupakan ucapan, perbuatan dan pernyataan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dalam hal ini Ali bersandar pada satu syarat dalam menerima hadis, yaitu hadis sahih.
1
Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung: Tafakur, 2007), h.39.
21
22
3. Ijma‟ Ijma‟ menurut ulama ushul (ushuliyin) ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah Saw. atas hukum syar‟i mengenai suatu kejadian/kasus. Maka apabila terjadi suatu kejadian dan diharapkan kepada semua mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan itu disebut ijma‟, dan dianggaplah ijma‟ mereka atas suatu kejadian mengenai suatu kejadian.2 Dalam sejumlah kasus Ali cukup banyak menerapkan ijma‟. 4. Qiyas Secara etimologi, qiyas berasal dari bahasa Arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Dalam pengertian terminologis menurut ulama ahli ushul, qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Quran dan Hadis dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.3 Dalam pandangan Ali, qiyas merupakan metode yang sah dalam merumuskan hukum lebih lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnya. Meski demikian Ali menempatkan pada posisi kesekian, bukan yang utama.
2
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah (Ilmu Ushul Fiqh), Cet. VI, (Jakarta: Pt. RajaGrapindo Persada), h.63-64. 3 Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, Cet. I, (Bandung: PT. Remaja Rosdikarya, Februairi 2015), h. 146.
23
5. Istihsan Istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, istihsan ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara‟. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh A. Hanafi bahwa istihsan adalah meninggalkan hukum suatu hal atau peristiwa yang bersandarkan kepada dalil syara‟ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada hukum syara‟ pula karena ada dalil syara‟ yang mengharuskan peninggalan tersebut. Dalil syara yang terakhir ini yang menjadi sandaran istihsah.4 Dalam beberapa kasus Ali menerapkan metode ini. 6. Maslahat Mursalah Secara etimologis term “Maslahat Mursalah” terdiri atas dua kata: yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berarti bebas, tidak terikat. Perpaduan dua kata menjadi “maslahat
mursalah”
yang artinya prinsip kemaslahatan (kebaikan)
yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam, dapat juga berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).5 B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Dalam perkembangan intelektual Ali, tentu tidak terlepas dari orang-orang yang berjasa dalam hidupnya, ada tiga guru yang sangat berperan penting dan
4
Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner. h. 147. 5 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, Cet. II, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, November 2012), h. 43.
24
berpengaruh dalam hidupnya yaitu; Pertama, Syamsuri Badawi, beliau adalah seorang guru Hadis dan Ushul Fiqh di pesantren Tebuireng, Jombang. Dari Syamsuri Badawi, Ali belajar bersikap tawadu, ikhlas dan semangat untuk mendalami Ilmu Hadis dan dari beliau Ali memperoleh sanad hadis-hadis sahih al-Bukhari dan sahih Muslim dengan cara ijazah yakni suatu metode dalam al-thammul wa al-ada (belajar) dalam Ilmu Hadis. Hal ini diketahui dengan ungkapan seorang guru yang mengatakan, “Ajaztuka sahih al-Bukhari”/Aku ijazahkan kamu sahih al-Bukhari.6 Kedua, dari Idris Kamali, Ali belajar Ilmu Alat (Bahasa Arab), Hadis dan Tafsir. Dengan kemampuan Bahasa Arab yang baiklah kemudian Ali mampu menelaah literatur berbahasa Arab dan tentunya dengan tuntunan dari Idris Kamali ini beliau menjadi pengajar Bahasa Arab yang baik pada saat mondok di Tebuireng. Ketiga, dari Muhammad Mustafa Al-A‟zami yakni guru Ali di Universitas King Sa‟ud Riyad. Al-A‟zami merupakan seorang ulama pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan penting beliau adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris yang berjudul “Studies in Early Hadis Literature” (1996), karena secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi Ignaz Goldziher (18501921) dan Joseph Schacht (1902-1969).7 Al-A‟zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang berjudul; On Schancht‟s Origins of Muhammadan 6
Ni‟ma Diana C., “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia”, h. 15. 7 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h.25.
25
Jurisprudence dan beliau juga berhasil menjaga hadis dengan argumentasi yang kuat dan ilmiah dengan menuturkan teori Projecting Back Joseph Schacht; menurut Schacht hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya‟bi (w. 110 H) dan penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah alSya‟bi. Ia berpedapat bahwa hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan qadi (hakim agama), para khalifah dahulu tidak pernah mengangkat hakim agama, pengangkatan hakim agama baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umaiyah.8 Dari para guru itulah Ali banyak belajar keistiqamahan, semangat menulis karya ilmiah dalam bidang hadis dan sikap kritis terhadap para pemikir orientalis. Selama sembilan tahun kuliah di Arab Saudi, Ali terbilang sangat rajin dalam mengikuti kajian di luar kampus, misalnya kajian hadis al-Kutub al-Sittah yang disusun oleh Abdul Aziz bin Adullah bin Baz (w. 1999) yang berjarak 30 KM dari tempat tinggal beliau di Riyad. Selain kemampuan Bahas Arab yang baik, Ali juga menguasai Bahasa Inggris dengan baik bahkan Ali bisa mengkaji karya tulis para orientalis Barat dengan baik seperti karya tulis dari Ignaz Goldziher (1850-1921), Joseph Scacht (1902-1969), David Samuel Margolioth (w. 1940), Junyboll (L. 1935), A. Guillaume dan lain-lain. Dari kajian-kajian yang dilakukan oleh Ali, Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh pemikiran para tokoh yang Ia kaji, justru memotifasinya
8
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h.25.
26
untuk mencari karya tandingan sebagai komparasi terhadap teori-teori yang mereka bangun.9 Hal tersebut melahirkan sikap kritis Ali, terutama terhadap orientalis dan sikap kritis ini banyak dipengaruhi oleh Mustafa al-Siba‟i (Guru Besar Universitas Damaskus) yang menulis karya al-Sunnah wa Makanatuha Fi al-Tasyri al-Islami (1949), Muhammad „Ajaj al-Khatib, yang menulis buku al-Sunnah Qabla Tadwin (1964) dan Muhammad Mustafa al-A‟zami, yang menulis Studies ini Erly Hadits Literature (1966). Ali sangat mengagumi mereka, Mustafa al-Siba‟i dikenal dengan sikap berani dan positif karena Ia tidak segan dan gentar untuk mendatangi langsung Joseph Scacht di Universitas Leiden Belanda untuk mendiskusikan keculasan dan ketidak jujuran Ignaz Goldziher dalam mengutip teks-teks sejarah. Muhammad „Ajaj al-Khatib menurut Ali memiliki kontribusi besar dalam membela eksistensi hadis Nabi dari serangan orientalis, sementara Muhammad Mustafa al-A‟zami, dalam pandangan Ali adalah sosok yang istiqamah dan punya dedikasi tinggi terhadap usaha pembelaan atas ajaran Islam.10 C. Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Terhadap Isu-Isu Kontemporer Hukum Islam Dari beberapa metode di atas, dalam penelitian ini akan diungkapkan beberapa Isu-isu kontemporer hukum Islam, khususnya hukum keluarga dalam pandangan Ali.
9
Ni‟ma Diana C., “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia”, h. 17. 10 Ni‟ma Diana C., “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia”, h. 18.
27
1. Antisipasi Kondisi Janin Dewasa ini, teknologi moderen memungkinkan kita untuk mengetahui kondisi bayi dalam kandungan melalui peralatan Ultra Sonografi (USG), apabila diketahui bayi dalam kondisi dikhawatirkan akan mengalami cacat bawaan yang serius jika dibiarkan lahir dan dikhawatirkan pula hidupnya menderita dan membuat repot keluraga. Maka timbul pertanyaan, bolehkah si jabang bayi digugurkan?11 Sehubungan dengan masalah di atas, pengguguran atau aborsi bayi cacat dalam kandungan. Jawabannya jelas, dengan alasan apapun haram hukumnya menggugurkan kandungan. Apabila ada yang melakukan aborsi, maka dianggap sebagai pembunuhan. Biarkan saja dia keluar, bagai mana kondisinya saat ia lahir nanti bukan urusan kita. Biarkan dia hidup. Kalau ada terapi meminimalisir cacatnya, itu bisa dilakukan, sepanjang tidak sampai melakukan aborsi atau membahayakan si jabang bayi. 2. Operasi Caesar Demi Milenium Akhir-akhir ini banyak ibu hamil yang meminta dokter untuk melakukan operasi caesar hanya untuk menentukan hari lahir anaknya dan operasi ini tidak dilakukan dalam keadaan darurat. Lebih-lebih menjelang milenium ini, ada tren untuk memanfaatkan momentum itu untuk hal-hal yang istimewa termasuk untuk pernikahan dan kelahiran bayi. Tidak sedikit yang menginginkan jabang bayinya lahir tanggal 1 Januari 2000, tepat pukul 00.00. Bolehkah perbuatan semacam ini? Dan
11
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Fatwa Kontemporer, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus , April 2002), h. 87.
28
bagaimana caesar hanya untuk menghindari rusaknya organ seksual? atau karena alasan tak mau merasakan sakitnya persalinan alami? 12 Keterangan yang rinci untuk masalah ini tidak ada. Adapun hanya hal-hal yang bersifat umum, larangan menimbulkan mudharat atau bahaya pada diri sendiri dan pada orang lain dalam hadis riwayat Ibnu Majah: 13
َض َشا َس َ ََل ِ ََلَٚ ض َش َس
Artinya: “Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam hal ini, operasi caesar umum dilakukan dalam keadaan darurat, adapun bila seseorang tanpa alasan darurat memilih merusak anggota tubuhnya (caesar) ini di haramkan. Kita jangan punya anggapan “jari saya ini kan milik saya, jadi boleh saya apakan saja.” Seluruh tubuh ini milik Allah َْٛأَبَاٌٍَٗسَاَجؼَٚ أَبَهلل. Kalau ada yang mengharapkan anaknya lahir tanggal 1 Januari 2000, berarti ia menganggap hari itu istimewa. Kalau diistimewakan, berarti ada sesuatu yang bersifat magis pada hari itu, padahal dalam agama tidak ada keterangan mengenai hari itu. Dengan demikian hal ini akan menjerumuskan pada kemusyrikan. Maka haram hukumnya mengistimewakan atau mensakralkan hari-hari tertentu yang tidak diatur oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Sebab Islam memiliki hari sakral tersendiri, misalnya hari Jum‟at, Idul Fitri, Idul Adha, Lailatul Qadar dan harihari itulah yang memiliki kelebihan dan keistimewaan.
12 13
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Fatwa Kontemporer, h. 90. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.784.
29
Terakhir, kalau demi menghindari rusaknya organ seksual, menurut saya cobalah dipikirkan kembali. Dengan caesar organ seksual memang tidak rusak, tapi perutnya akan rusak. Allah memudahkan jalan, menurut saya alasan seperti itu hanya dibuat-buat, ada juga yang beralasan karena enggan merasakan sakit lewat cara alami. Dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub berpendapat janganlah kita melakukan perbuatan yang
menjerumuskan
kepada
kerusakan
atau
berresiko
tinggi.14
Dengan
menggunakan dalil: Qs. Al-Baqarah (2) ayat 195.
ْ ُ ََلَرُ ٍۡمَٚ ... )ٔ٩١3(َاٌجمشح...َُٕٛس َِ أَ ۡحَٚ َ ٍُ َى ِخٙۡ َّاَثِأ َ ٌۡ ِذٌ ُىُۡ َإٌَِىَٱٌزٛ
Artinya :“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah.” 3. Menyimpan Sel Telur Sekarang sepasang suami istri bisa mendapat bayi tabung dengan menggunakan sel telur yang sudah dibekukan beberapa lama. Menurut para ahli tehnik pembekuan ini bermanfaat untuk perempuan yang akan menjalani operasi kanker rahim sehingga ia bisa menyimpan sel telurnya. Suatu saat ia sudah merasa siap ia bisa mempertemukan sel telurnya tersebut dengan sel sperma suaminya. Kemungkinan lain seorang wanita karir yang sehat wal afiyat, tapi tidak ingin kehilangan kesempatan berkarirnya ia bisa menyimpan sel tersebut untuk dibuahi bila ia sudah sreg. Pokoknya masalah waktu pembuahan dan saat ingin punya anak bisa diatur dengan teknik penyimpanan sel telur dan sperma ini. 15
14 15
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Fatwa Kontemporer, h. 91 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Fatwa Kontemporer, h. 83.
30
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan bagaimana pandangan Islam mengenai persoalan ini. Bolehkah menyimpan sel telur ketika masih perawan dan baru memproses sel telur tersebut melalui tehnik bayi tabung sepuluh tahun kemudian, dengan sperma suami?16 Dalam hal ini, ada dua masalah yang Ali tangkap dalam pertanyaan di atas. Pertama, seorang istri menyimpan sel telurnya karena akan menjalankan operasi kanker rahim. Masalahnya bila tidak disimpan terlabih dahulu, bisa jadi induk telurnya akan dibabat habis saat operasi nanti, sehingga tidak bisa memproduksi sel telur lagi. Selain itu hamil dalam kondisi terjangkit penyakit kanker bisa membahayakan sang ibu karena jaringan kanker bakal kian membesar. Rasulullah Saw. bersabda : 17
َض َشا َس َ ََل ِ ََلَٚ ض َش َس
Artinya: “Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Di samping itu, kaidah hukum Islam menegaskan ( اٌضشسٌضايsesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan) berdasarkan kaidah tersebut, si Ibu boleh menyimpan sel telurnya untuk dipakai dikemudian hari setelah sehat seusai operasi. Perlu dicatat bahwa sel telur yang akan disemayamkan kembali dalam rahimnya bukan milik orang lain. Sebab kalau itu terjadi maka akan menimbulkan masalah lain yaitu akan menjadi keturunan yang bukan “bahan” wanita itu atau bukan dari suami istri.
16 17
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Fatwa Kontemporer, h. 83. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.784.
31
Sebaliknya jika sperma itu bukan miliknya sendiri, ada kalangan ulama yang mengatakan itu termasuk perbuatan zina. Tapi, Ali berpendapat ini bukan zina kendati haram. Hal ini sebab akan menimbulkan kekaburan status anak. Padahal menghindari kekaburan keturunan merupakan salah satu diharamkannya zina. Alasan status anak itu hanya salah satu hikmah saja. Sedangkan hikmah yang lain adalah untuk membedakan manusia dengan binatang. Kedua, Ali Mustafa Yaqub mengherankan jika ada seorang wanita yang lebih mendahulukan karier ketimbang hamil lebih dahulu, sehingga ia menyimpan sel telurnya. Ini jelas bukan alasan yang dapat diterima menurut agama.18 4. Kloning Manusia Pertama, perlu kiranya mengklasifikasikan terlebih dahulu macam-macam riset kloning yang diuji-cobakan oleh para ilmuan antara lain, kloning hewan, tumbuh dan manusia. Dalam sebuah konferensi yang diadakan oleh Lembaga Fiqh Islam, salah satu Lembaga Konferensi Islam (OKI) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia, ditetapkan bahwa kloning manusia hukumnya haram. Sedangkan kloning hewan dan tumbuh-tumbuhan boleh. 19 Selanjutnya, mengenai keharaman kloning manusia, Lembaga Fiqh Islam beralasan, kloning manusia akan menimbulkan kekaburan nasab pada bayi yang dihasilkan. Padahal dalam Islam soal nasab ini sangatlah penting, karena banyak
18 19
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Fatwa Kontemporer, h. 84 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h.232.
32
mengandung peraturan syariat yang mengikat perihal nasab ini, antara lain seperti perwalian, pernikahan, hak waris, dan perwakafan yang terikat nasab. Pada dasarnya Islam tidak menghalangi setiap kreativitas dan inovasi para ilmuan untuk mengembangkan risetnya. Tapi bila riset itu melewati atau bersinggungan dengan batas-batas syariat yang sudah ditetapkan, maka Islam pun melarangnya, begitupun dengan hal kloning manusia. Masalah ini berkaitan erat dengan nasab, Nabi Saw. bersabda :
ََػ ََْٓ َػ ْج ِذٚدََث َِْٓ َػ ّْ ٍشُٚ َح َّذثََٕبَُ٘ َش ٍْ ٌَُػ ََْٓدَا ٔبيَأَ ْخجَ َش َ بي َ ََح َّذثََٕبَ ُِ َس َّذ ٌدَلََٚبَح َ َ َْ ٍَْلََٛث َُْٓػَُٚح َّذثََٕبَ َػ ّْش ْ ََ ٌََْٛ َْ َْٛ َسٍَّ ََُإَِّٔ ُى َُْرُ ْذػَٚ َِٗ ٍْ ٍَىََّللاَُ َػ َّ ٍََّص َّ يَُٛسس َّ ََاٌمٍَِب َِ ِخ َ ََُِّللا َ بي َ َبيَل َ ََّللاَِث َِْٓأَثًَِصَ َو ِشٌ َّبَػ ََْٓأَثًَِاٌذَّسْ دَا ِءَل دَاث َُْٓأَثِىَصَ َو ِشٌَّبٌََ ٌَُُْ ْذ ِس ْنَأََثَبَاٌذَّسْ دَا َِءُٚ َدَاُٛبيَأَث َ َاَأَ ْس َّب َء ُو َُْلُٕٛأَ ْس َّب ِءَآثَبئِ ُى َُْفَأَحْ ِسَٚ َ ُْ ثِأ َ ْس َّبئِ ُى 20 )4224/دُٚ َدَاُٛاَٖأَثَٚ(س
Artinya : “Sesungguhnya kalian akan dipanggil oleh Allah pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak kalian. Karenanya, perbaikilah nama kalian. Abu Dawud berkata, Ibnu Abu Zakariya belum pernah bertemu dengan Abu Darda.” (HR. Abu Dawud). 5. Menikahi Wanita Hamil Dalam menjawab permasalahan menikahi wanita hamil akibat zina, apakah pernikahannya sah? Perlu kiranya diketahui terlebih dahulu aturan Islam dalam menghukum pezina, hukuman ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, pezina berstatus belum menikah (Ghairu Muhshan), ia harus di cambuk sebanyak seratus kali, berdasarkan firman Allah Swt. QS. Al-Nur (24) : 2.
ْ ٱجٍِ ُذ ۡ َٱٌ َّضأًَِفَٚ )ٕ3سٌٕٛسحاَٛج ٍۡذ ٖ َٖۖحََ(س َ َُ َّبَ ِِبْئَخٕٙۡ ِِّ َ ِح ٖذََّٚ َ َٰ ًاَ ُوٚ َ ُٱٌ َّضأٍَِخ Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.” 20
h.292.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997M),
33
Kedua, pezina berstatus telah menikah (Muhshan), ia harus dilempari batu sampai meninggal dunia (rajam). Tetapi hukuman ini harus didasarkan pada saksi dan alat bukti yang menunjukan secara pasti bahwa ia telah berzina.21 Setelah kita menyadarai keagungan hukum Islam yang sangat menjaga harga diri dan martabat manusia, tak terkecuali masalah keturunan, maka di sini Islam mensyariatkan sebagai sarana menjalani hubungan nasab yang sah, di samping untuk memenuhi hajat seksual yang halal. Masalah ini penting diketahui, karena banyak masayarakat awam terjerumus. Ada pendapat yang mengatakan secara umum, menikahi wanita pezina bagi orang yang mengetahuinya dihukumi tidak boleh, kecuali dengan dua syarat. Pertama, masa iddahnya sudah habis. Apabila wanita pezina itu hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan dan ia tidak boleh menikah sebelum anaknya lahir. Pendapat ini bersumber dari Malik bin Anas, Abu Yusuf dan satu riwayat dari Imam Abu Hanifah. Sebagai penguat madzhab ini, ada beberapa dalil, di antaranya Hadis sahih riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Nasa‟i. Nabi Bersabda, Wanita hamil tidak dinikahkan sebelum ia melahirkan.22 Allah Swt. Berfirman QS. At-Thalaq: 4.
ۡ ذ ُ ٌََٰ ُْٚأَٚ ..َ َ )٤3سحاٌطالقٛ(َس..ََُّٓ َّۚ ٍَٙ َّۡح َ َٓض ۡؼ َ ٌَََْ ََُّٓأٍُٙبيَأَ َج ِ َّ َٱۡلَ ۡح
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
21 22
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 260. Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 261
34
Alasan lainnya, jika diketahui wanita itu hamil oleh lelaki lain (bukan suaminya), maka ia haram dinikahi sebelum melahirkan, sebagaimana wanita hamil lainnya. Jika hamil sebelum menikah, maka ia harus menjalani masa iddah dahulu agar nasab anak yang dikandungnya menjadi jelas. Karena menikah sebelum masa iddahnya habis, nikahnya tidak sah (bathil). Apa bila keduanya berhubungan badan maka dalam nikah sebelum masa iddahnya habis statusnya menjadi tidak jelas (syubhat). Kedua, wanita pezina harus bertaubat dan mengakui kekhilafannya. Syarat ini dikemukakan Qatadah, Ishaq dan Abu Ubaid. Ada juga yang berpendapat dari madzhab Syaf‟i, yang menegaskan menikahi wanita pezina yang sedang hamil itu boleh tanpa menunggu masa „iddah. Alasannya, kehamilan yang dialami pezina itu tidak ada hubungnnya dengan nasab (status) janin yang dikandungnya. Karena proses kehamilan tidak sah, maka menikahinya pun diperbolehkan sebelum ia melahirkan, ini seolah ia sedang tidak hamil. Di samping itu menurut madzhab ini tidak ada syarat yang mengikat bahwa pezina itu harus bertaubat dan mengakui kekhilafannya sebelum ia menikah.23 Hal demikian sejalan dengan Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah, Abd al-Razak, Sa‟id bin Manshur dan al-Baihaqi, bahwa Khalifah Umar bin al-Khatab pernah mencambuk lelaki dan perempuan yang berzina, beliau ingin mereka menikah, tapi lelaki itu menolaknya. Dari sini diketahui, taubat bukanlah syarat dibolehkannya menikahi wanita pezina. Karena lelaki yang membangkang itu ditengarai tidak mau 23
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 262
35
bertaubat, tapi Khalifah Umar bin al-Khatab tetap menyuruhnya menikahi pasangan zinanya. Argumen ini didukung Imam Malik bin Anas dan Imam Ibnu Hanifah. Untuk menentukan status anak dalam rahim wanita pezina itu, ketika ia sudah menikah secara sah maka harus dilihat dari usia kandungannya sebelum menikah. Dalam fiqh Islam usia minimal kehamilan adalah enam bulan, jika antara ia menikah dan melahirkan terdapat waktu kurang dari enam bulan, maka nasab anak yang dilahirkan tidak bisa diikutkan kepada suaminya, walaupun suaminya terbukti telah menzinahinya.24 6. Menikah Untuk Bercerai Pertanyaan dari Abu Fatah (Bekasi, Jawa Barat). Menjelang musim haji, saya didatangi pria dan wanita yang sudah cukup umur. Saya diminta menikahkan mereka, saya bertanya, mengapa bukan ayah kandung atau saudara yang menikahkan? Wanita itu menjawab, mereka sudah tidak memiliki wali. Lantas mereka saya bawa ke KUA, supaya dinikahkan oleh yang berwenang. Singkat cerita, mereka dinikahan oleh KUA. Setelah musim haji selesai saya diberitahu bahwa mereka menikah sekedar untuk pergi haji, karena wanita itu hendak untuk pergi haji, tapi tidak ada mahrom. Sepulang haji mereka bercerai. Pertanyaan saya, sahkah pernikahan mereka menurut agama? 25 Menurut Ali pada dasarnya apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan sah menurut Islam. Demikian juga haji, jika telah memenuhi sayarat
24 25
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 262 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 258.
36
dan rukunnya. Tapi, jika ketika melakukan akad mereka mensyaratkan “sebatas musim haji saja”, maka mereka telah melakukan nikah mut‟ah, yaitu nikah karena batas waktu yang telah ditetapkan dan disepakati antara pria dan wanita dan ini disebutkan dalam akad nikah. Hukum nikah mut‟ah itu sendiri haram, adapun dalil-dalil yang dikemukakan berdasarkan Sabda Nabi Saw.
ْ ػ ََِٓاٌ َّشثِ ٍْغَْثِ َِٓ َسج َْشح ََبيَأََل َْ َِٓ َىَػَََُٙٔ ٍَّ َسَٚ َ َلَٚ َ ِْ َيََّللاَُٛسس َ َّْ َِٕ ِّىَػ ََْٓاَثِ ٍْ َِٗاْٙ ََاٌ ُج َ َاٌ ُّ ْز َؼ ِخ َ ِٗ ٍْ ٍََصٍَّىََّللاَُ َػ ْ َِ ًٌٌَََْْٛ ِِ ُى ََُْ٘ َزاَإٌََْٛٓ ِِ ٌََ بَح َشا َ ََِّٙٔإ َُٖ َِ َْٓ َوبَْ َأَ ْػطَىَ َش ٍْئًبَفَالٌَََأَْ ُخ ْزَٚ َ َاٌمٍَِب َِ ِخ 26 )1404\ٍُاَِٖسَٚ(س Artinya: Dari Rabi‟ bin Sabrah Al Juhani r.a., dari bapaknya, katanya: “Rasulullah Saw. telah melarang melakukan nikah mut‟ah. Sabdanya : Ketahuilah ! Nikah mut‟ah haram mulai hari ini sampai hari kiamat. Siapa yang telah memberi sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut‟ah, janganlah mengambilnya kembali.” (HR. Muslim). Tujuan pernikah dalam Islam itu untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, tidak sekedar menghalalkan hubungan seksual saja. Karenanya, pernikahan seperti yang ditanyakan itu termasuk nikah dengan maksud cerai (al-nikah bi niyat al-thalaq).27 7. Nikah Beda Agama Dalam hal ini, Ali Mustafa Yaqub berpendapat pernikahan beda agama antara muslim dengan non-muslim, apabila non-muslim itu bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani, maka para ulama sepakat bahwa pernikahan itu haram hukumnya, baik antara pria muslim dengan wanita non-muslimah maupun antara pria non-muslim 26
Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.523. 27 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 259
37
dengan wanita muslimah.28 Keharaman pernikahan ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
َّۚ ۡ اُٛ ْ َل َرُٕ ِىح ْ ََل َرَٕ ِىحَٚ َ َ َٚ َاُٛ َ ذ ِ َٱٌ ُّ ۡش ِش َٰ َو َ ُۡۗۡ َأَ ۡػ َججَ ۡز ُىٛۡ ٌََٚ َ ش َ ِِّٓ َ ُِّ ۡش ِش َو ٖخٞ ٍَۡ خ َ ُِّ ۡؤ َِِٕخٌ َخٞ َِ َ َۡلَٚ َ َّٓ ِِ َحزَّىَٰ ٌَ ُۡؤ َّۚ َٰ ُ ْ ُِِٕ ۡٱٌ ُّ ۡش ِش ِوٍَٓ َ َحَزَّىَٰ ٌَ ُۡؤ َُٱهلل ََّ َٚ َ ش َ ِِّٓ َ ُِّ ۡش ِش ٖنٞ ٍۡ َذ َ ُِّ ۡؤ ِِ ٌٓ َخٞ ٌَ َؼ ۡجَٚ َ اٛ َ بس ِ ٖۖ ٌََّْٕ َإٌَِى َٱْٛ ٌَئِهَ ٌََ ۡذ ُػٚ َأَ ۡػ َججَ ُىُۡۗۡ َأٛۡ ٌََٚ ۡ ٌَِ ْاَإٌَٛ ۡذ ُػ )ٕٕٔ3سحاٌجمشحَْٛ َ(سُُُٚۡ ٌََزَ َز َّوشٍَّٙبطٌََ َؼ َ ٗ ۡٱٌ َّ ۡغفِ َش ِحَثِئ ِ ۡرِٔ ِٖۖۦَٚ َ ىَٱٌ َجٕ َّ ِخ ِ ٌٌٍََُِّٕجٍَ َُِّٓ َءا ٌََٰزِ ِٗۦَٚ Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. AlBaqarah (2): 221).
ۡ ُُ اَجب َء ُو َّ َّٓ ٖۖ ُُٕ٘ٛدَفَٱِۡ ز َِح ُ ََٰٕ ِِ َٱٌ ُّ ۡؤ ََّٓ ُُّ٘ٛ ُ ٖۖ ََّٓفَئ ِ َْۡ َػٍِّۡ زِٙ ََِّٕ َٰ ٌَِٱهللَُأَ ۡػٍَ َُُثِئ َ ْاَإِ َرَُِٕٛ َبَٱٌَّ ِزٌَٓ َ َءاٌٌَََُّٰٙأ ٖ َ ِج َٰ َشَٰٙ ُِ َذ َّۚ ٖۖ ۡ ْ َُُُ٘ َِّبَأَٔفَمُٛ َءارَٚ ََبح َ ٕ ََلَ ُجَٚ ِ َّٓ َُ٘بس َََل ٖ ََٰٕ ِِ ُِ ۡؤ َ اٛ َ َُّٓ ٌَََٙ ٍَُّْٛ ََلَُُ٘ۡ ٌََ ِحَٚ َ ًٌََُُّّۡٙ ٞ َح ِ ٖۖ َُّ٘ ََّٓإٌَِىَٱٌ ُىفُٛذَفَ َالَر َۡش ِجؼ َّۚ ۡ ُِ ص ْ ََلَرُّۡ ِس ُىَٚ ْ ٍََُ ٌٍَۡ ۡسَٚ ْ ٍَُس َ ۡ َٚ َاَ َِبٛ َ اَثِ ِؼٛ َ افِ ِشَٛ َٱٌ َى َ َّٓ ُ٘ َسُُٛ٘ ََّٓأُجُّٛ ُُ٘ ََّٓإِ َراَ َءار ٍَۡزَُٛػٍَ ٍۡ ُى َُّۚۡ َأََْرَٕ ِىح َ ُُۡاَ َِبَأَٔفَ ۡمزٛ ْ ُأَٔفَم َّ َٚ َّ ُُ اَ َٰ َرٌِ ُىُۡ َح ُۡىٛ )ٔٓ3سحاٌّّزحٕخٍَُٛ(سٞ َح ِى َ ٌُ ٍٍِٱهللَُ َػ َ َُٖۖۡٱهللٌََِ ۡح ُى ََُُثَ ٍَٕۡ ُى Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah (60): 10). Demikian, dua ayat di atas itu dengan tegas melarang (mengharamkan) pernikahan muslim dengan non-muslim (musyrik), kemudian mengenai pernikahan 28
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran dan Hadis, Cet. III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, April 2015), h. 25
38
kaum muslim dengan non-muslim (Ahli Kitab), terdapat dua kategori. Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab dan kedua pernikahan laki-laki Ahli Kitab dengan perempuan muslimah. Kedua kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. a. Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Non-Muslim Para ulama sepakat bahwa pernikahan ini diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Pendapat ini mengacu pada firman Allah :
ۡ اٛ ْ ُرُٚطَ َؼب ََُٱٌَّ ِزٌَٓ َأَٚ ُ ََٰٕ ص ُ ٖۖ َ َََأُ ِحًٌَََّ ُى َُُٱٌطٍَِّّ َٰجٛۡ ٌٍَۡٱ َ َِِٓ َذ ََ ًٌََُُّّٖۖۡٙ ٞ َح َ ۡٱٌ ُّ ۡحَٚ َ ََٱٌ ِى َٰز ِ ُۡطَ َؼب ُِ ُىَٚ ِ ت َ ُۡ ًٌََّّ ُىٞ َح َ ذ ۡ ْاُٛرُٚذَ َِِٓ َٱٌَّ ِزٌَٓ َأ ُ ََٰٕ ص َصٍَِٕٓ َغ ٍَۡ َش َ ََٱٌ ِى َٰز َ ۡٱٌ ُّ ۡحَٚ ِ َسُ٘ ََّٓ ُِ ۡحُُٛ٘ ََّٓأُجُّٛ ُتَ َِِٓلَ ۡجٍِ ُىُۡ َإِ َراَ َءار ٍَۡز ِ ََٰٕ ِِ ۡٱٌ ُّ ۡؤ َ ذ ۡ َِفَٛ َُ٘ٚۥ َ ٌََٓٱٌ َٰخَ ِس ِش َۡ َِِٓ ًََٱۡل ِخ َش ِح َ ٱۡلٌ َٰ َّ َِٓفَمَ ۡذ َ ٍَُُّٗ َحجِظََ َػ َ َْا ِ ۡ ِ ٌَََِٓ ۡىفُ ۡشَثَٚ ٖۡۗ ََلَ ُِزَّ ِخ ِزيَأَ ۡخذَٚ َ ٍَُِٓ َٰ َسفِ ِح )١3سحاٌّبئذحٛ(س Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah :5). Di samping itu, beberapa sahabat juga berpendapat seperti itu, di antara mereka adalah Umar, Usman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan Sahabat-sahabat lainnya. Semuanya menunjukan atas kebolehannya. Di antara mereka ada yang mempraktekannya, seperti Thalhah dan Hudzaifah,
39
sementara tidak ada satupun sahabat Nabi Saw. yang menentangnya. Dengan demikian, dibolehkannya ini sudah merupakan Ijma‟ Sahabat.29 Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa pada 1 Juni 1980 tentang haramnya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab, maka hal itu karena didasarkan kemaslahatan yang sifatnya lokal. Namun demikian fatwa tersebut tidak bisa menghapus kebolehan menikahi perempuan Ahli Kitab sebagai mana dalam surat AlMaidah ayat 5 di atas. b. Pernikahan Pria Non-Muslim dengan Wanita Muslimah Mengenai masalah ini, para ulama sepakat atas keharamannya. Pendapat ini di dasarkan atas dalil-dalil sebagai berikut:
ۡ َ ..ُٓ ََّ ٖۖ ٌََٙ ٍَُّْٛ ََلَُُ٘ۡ ٌََ ِحَٚ ًٌََََُُّّۡٙ ٞ َح ِ َّٓ َُ٘بس َََل ٖ ََٰٕ ِِ ُ٘ ََّٓ ُِ ۡؤُّٛ ُفَئ ِ َْۡ َػٍِّۡ ز ِ ٖۖ َُّ٘ ََّٓإٌَِىَٱٌ ُىفُٛذَفَ َالَر َۡش ِجؼ )ٔٓ3َ(اٌّّزحٕخ Artinya: “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suamisuami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. AlMumtahanah (60): 10). Ayat ini dengan tegas mengharamkan pernikahan laki-laki kafir dengan wanita muslimat, atau sebaliknya. Kemudian dijelaskan pula dalam surat al-Maidah ayat 5:
ۡ اٛ ۡ َِِٓ َذ ْ ُرُٚذَ َِِٓ َٱٌَّ ِزٌَٓ َأ ُ ََٰٕ ص ُ ََٰٕ ص )١3سحاٌّبئذحٛ(َس..َُۡتَ َِِٓلَ ۡجٍِ ُى َ ََٱٌ ِى َٰز َ ۡٱٌ ُّ ۡحَٚ َ ۡٱٌ ُّ ۡحَٚ ِ ََٰٕ ِِ َٱٌ ُّ ۡؤ َ ذ
29
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran dan Hadis, Cet. III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, April 2015), h. 230
40
Artinya: “(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah :5). Dalam potongan ayat di atas memberikan pemahaman bahwa Allah hanya membolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab, tidak sebaliknya.30 Kemudian pengharaman hal ini ditegaskan pula dalam suatu riwayat Nabi Saw.: 31
َْٔسبءٔبٛجَٚلٌَزضَٚجَٔسبءَأًَ٘اٌىزبةٚٔزض
Artinya: “Kami (kaum muslim) menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab, tetapi mereka (laki-laki Ahli Kitab) tidak boleh menikahi perempuanperempuan kami.” Dalam hal pernikahan ini, di kalangan para sahabat tidak ada seorang pun yang membolehkan pernikahan laki-laki non-muslim dengan wanita muslimah, bahkan sampai sekarang, tidak ada seorangpun ulama yang menghalalkan pernikahan ini. Karena hal ini merupakan ijma‟ para sahabat dan para ulama sesudahnya. Kemudian dalam kaidah fiqhiyah disebutkan : 32
ٌُاۡلصًَفًَاۡلَثضبعَاٌزحش
Artinya : “Pada dasarnya dalam masalah farj (kemaluan) itu adalah haram.” Karenanya, dalam masalah (farj) wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan 30
Tafsir Ath-Thobari, Jil-VIII, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.421. Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran dan Hadis, Cet. III, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, April 2015), h.43. Lihat juga Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thobari, Tafsir AthThobari: Jami Al-Bayan „an Ta‟wil Ay Al-Quran, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999M), h.390. 32 Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Beirut: Dar Al-Kutub AlIlmiyah, 1403H), h.66. 31
41
adalah hukum yang mengharamkan. Demikian lah pendapat Ali tentang nikah beda agama. 8. Waris Beda Agama Dalam suatu masalah, apabila seorang wanita yang beragama Islam menikah secara Islam di KUA dengan seorang lelaki yang baru masuk Islam, kemudian selama menikah belum dikaruniai anak, lalu suami meninggal dunia dan dimakamkan secara Islam. Namun suami mempunyai saudara-saudara yang non muslim semua, ayah dan ibunya sudah meninggal. Kemudian timbul pertanyaan, apakah saudara almarhum suami mendapatkan waris? Kedua, apakah saudara almarhum dapat diberi bagian waris melalui wasiat?33 Dalam hal ini Ali mengemukakan pendapatnya terkait masalah waris beda agama. Pertama, dalam hukum waris Islam ada ketentuan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang untuk mendapat harta waris. Maka dalam kasus ini, saudara almarhum, tidak mendapatkan hak waris. Ketentuan ini berdasarkan Hadis Nabi Saw.:
ُ ََلٌَ ِش3ََ َسٍَّ ََُلَبيَِٚٗ ٍْ ٍََصٍَّىََّللاَػ َُسَاٌ ُّ ْسٍِ ََُاٌ َىبفِش َ ً َ ػ ََْٓأَسب َِخََاث َِْٓ َص ٌْ ٍذ َّ ُِ َّبَأَ ََّْإٌَّجْٕٙ ض ًَََّللاَ َػ ِ َس 34 ُ َلٌََ ِشٚ )1114\ٍُِسَٖٚاٚسَاٌ َىبفِ َشَاٌ ُّ ْسٍِ َُُ(س
Artinya: Dari Usamah bin Zaid r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda, “Orang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim.” (H.R. Muslim).
33
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Cet. III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus 2007), h. 192. 34 Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.627.
42
Kedua, saudara-saudara almarhum dapat menerima bagian warisan dari almarhum melalui wasiat. wasiat adalah ungkapan seseorang untuk memberikan harta kepada orang lain yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai dia meninggal dunia. Jadi dalam kasus ini, apabila sebelum meninggal dunia almarhum pernah berwasiat agar saudara-saudara almarhum yang bukan muslim itu diberikan bagian dari harta pusaka, dengan ketentuan sebagai berikut.35 a. Saudara-saudara almarhum tidak termasuk orang non muslim yang memusuhi orang-orang Islam. Ketentuan ini berdasarakan QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9.
َٰ َّ ُُ َََٰى ُىٕٙۡ ٌََ ََّل َ ُُۡ٘ٚ ُّ ُوُ َ ِِّٓ َ ِد ٌََٰ ِش ُوُۡ َأَْ َرَجَشٌَُُٛۡ ٌَ ُۡخ ِشجَٚ َ ٌِّٓ ِ ُوُۡ َفًِ َٱٌذٍَُِٛٱهللُ َػ َِٓ َٱٌَّ ِزٌَٓ ٌََُۡ ٌَُمَز ۡ َُّٱهللَ ٌَ ُِحت َّ ُُ َ َٰى ُىٕٙۡ ٌََ) َإَِّٔ َّب٨(َ ٍََٓٱٌ ُّ ۡم ِس ِط َّ َّْ َُِّۡۚ َإِٙ ٍۡ ٌَِ ْا َإُٛرُ ۡم ِسطَٚ َِٓ ٌِّ ُوُۡ َفًَِٱٌذٍََُٛٱهللُ َػ َِٓ َٱٌَّ ِزٌَٓ َ َٰلَز ْ َشَٙ َٰظَٚ ََُُ َُ٘ ه َ ِْ ٌََٰئُُُٚۡ َفَأٌَََّٙٛ َِٓ ٌََزَٚ َ َُُّۚۡ٘ٛۡ ٌَََّٛ اج ُىُۡ َأَْ َر ِ ا َ َػٍَ َٰى َإِ ۡخ َشُٚ َ ُۡ ُوُ َ ِِّٓ َ ِد ٌََٰ ِش ُوُٛأَ ۡخ َشجَٚ َٰ َ )٩-٨َ3َسح اٌّّزحٕخَٛ(س.َ)٩( َََُّْٛ ٍَِّٱٌظ Artinya“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah (60) : 8-9). b. Jumlah harta pusaka yang diwasiatkan tidak melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta pusaka. Ketentuan ini berdasarakan hadis:
ُ صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َفقُ ْل ت اَ ْوصِ ى ِب َمالِى ِ َعنْ مُصْ َع َ ُّْن َسعْ ٍد َعنْ اَ ِب ْي ِه َقا َل َعادَ نِى ال َّن ِبى ِ بب ُ ُّ ْ ْ ُ ُ ُ ُ َ ِّ ُ َ ُكلِّهِ؟ َقا َل ُ َ َ َ َ َ َ َ َ .ٌ ن َع ْم َوالثلث ك ِث ْير: َل_فقلت ا ِبالثلثِ؟ فق َل: فالنصْ فُ ؟ قا َل: َلقلت: 36 )1121\ٍُِسَٚاَٖاٌجخبسيٚ(س 35
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Cet. III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus 2007), h. 193 36 Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.636-637.
43
Artinya: Dari Mush‟ab bin Sa‟id, dari bapaknya, katanya, (ketika aku sakit). Lalu aku bertanya kepada beliau, “Bolehkah aku berwasiat dengan seluruh hartaku?” Jawab beliau, “Tidak boleh!” Tanyaku, “Kalau seperdua?” Jawab beliau, “Tidak boleh!” Tanyaku selanjutnya, “Kalau sepertiga?” Jawab beliau, “Sepertiga boleh, itu masih terlalu banyak.” (HR. Muslim). Apabila wasiat itu lebih dari 1/3 harta pusaka, maka menurut ulama, pelaksanaan wasiat itu tergantung ahli waris almarhum apabila mereka menyetujui, maka itu boleh dilaksanakan dan apabila mereka tidak menyetujui, maka wasiat itu dinilai batal. c. Harus ada bukti-bukti otentik bahwa sebelum wafat almarhum sudah berwasiat. Bukti-bukti itu misalnya ada surat yang ditanda tangani oleh almarhum dengan bermaterai yang cukup, ada akta notaris tentang wasiat itu atau ada saksi-saksi yang cukup yang mendengar wasiat dari almarhum. 9. Istri Bekerja, Suami Menjaga Anak Dalam hal sepasang suami istri sepakat melakukan pembagian kerja, yang mereka anggap menguntungkan kedua belah pihak, yaitu suami menjaga anak mereka di tanah air, sementara istri bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di negeri orang. Islami kah kesepakatan bilateral ini?37 Perlu kita ketahui bahwa dalam keluarga, terdapat hak dan kewjiban yang harus dipenuhi oleh setiap anggotanya, hak dan kewajiban suami istri yang tertulis jelas dalam buku akta nikah. Dengan berpisah dalam waktu yang cukup lama seperti kerja sebagai TKW, apakah semua hak dan kewajiban dalam keluarga itu dapat terpenuhi. Di samping itu, anak yang merupakan tanggung jawab suami-istri harus 37
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 225.
44
diperhatikan, jangan sampai hanya alasan ekonomi anak menjadi “yatim” lantaran ditinggalkan ibunya dalam waktu yang lama. Kasih sayang ibu itu adalah hak asasi dan amat fundamental dalam pembentukan kepribadiannya.38 Dalam masalah hak dan kewajiban ini, ada riwayat yang menyebutkan :
ّ ٍّ َح َك ََ َْحمًّبَفَب ْػ ِظَ ُوًََّ ِري َّ ٍْ بيٌَََُٗ(أَثًَِاٌ ّذسْ دَاء)َ َس َ ََحمًّبَ ِۡلََ ٍِْ٘ه َ َبَْإٌَْشثّهَ َ َػٍَ ٍْه َ ٌََِٕ ْف ِسهََ َػٍَ ٍْهَٚب َ َفَم َ ًَّحم َق ََ ص َذ َ ٍَُسٍٍََٚٗجًَصًٍََّللاَػ َ ََسٍَُف َزَ َوشَ َرٌهَ ٌَََُٗفَمٍٍََٚٗحمَُّٗفَأرًََإٌَج ًَّصًٍََّللاَػ ُّ ٌٕبيَا 39 .َْس ٍْ َّب Artinya :“Salman Al-Faris berkata pada Abu Darda : sesungguhnya Tuhan mu itu mempunyai hak atas mu, dirimu juga memiliki hak atas mu dan keluargamu juga mempunyai hak atas mu.” Kemudian perkataan ini di laporkan kepada Nabi Saw. “benar sekali apa yang dikatakan oleh Salman.” Komentar Nabi Saw. (H.R. Al-Tirmidzi). Jadi memenuhi hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya merupakan ajaran Islam yang wajib ditaati, dan seorang yang telah menikah maka ia akan menjadi multi fungsi, sebagai istri atau suami, sebagai ayah, ibu, guru dan seterusnya. Kalau masalah ekonomi yang menjadi sentral “perpisahan” antara suami dan istrinya atau anak dengan ibunya sehingga menyebabkan terbengkalainya hak dan kewajiban itu, maka kami sarankan untuk berusaha mengais rezeki di tanah air saja. 10. Suami Istri Menonton Film Porno. Dalam sebuah hadis shahih riwayat Imam Muslim dari Abu Sa‟id al-Khudri r.a., Rasulullah Saw. bersabda :
ْ َعنْ اَ ِبى َس ِع ْي ِد ْال ً َهللا َم ْن ِِل ِ َاس عِ ْند َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َ هللا ِ حُد ِرىِّ َيقُ ْو ُل َقا َل َرس ُْول ِ وسلَّ َم اِنَّ مِنْ اَ َسرِّ ال َّن 40 ُ )1344\ٍُاَِٖسٚ (س.َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِ ً الرَّ جُ َل ُي ْفصِ ى ِالَى امْ َراَ ِت ِه َو ُت ْفضِ ى الِ َي ِ ً ث َّم َي ْنصُرُ سِ رَّ َها 38
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 225. Abu Isa Muhammad bin Isa Saurah At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2000M), h.339 39
45
Artinya: Dari Abu Sa‟id Al Khudri r.a., katanya Rasulullah Saw. bersabda: “seburuk-buruknya tempat manusia di sisi Allah kelak hari kiamat, ialah tempat suami yang telah saling percaya-mempercayai dengan istrinya, tetapi kemudian si suami membuka rahasia pribadi istrinya kepada orang lain. (H.R. Muslim). Dalam hadis di atas, meskipun hubungan seksual suami istri dalam Islam halal, tapi menceritakan hubungan itu termasuk perbuatan yang dikutuk oleh Allah pada hari kiamat nanti. Karena itu, menceritakan hubungan suami istri itu hukumnya haram, maka mendengarnya juga haram. Sebagaimana memperlihatkan aurat itu hukumnya haram, maka melihatnya juga haram. 41 Pada masa Nabi Saw. dulu memang belum ada alat-alat visualisai seperti film, video, kaset dan lain sebagainya. Namun kalau kita bandingkan hubungnnya dengan kondisi sekarang, terbukti bahwa memvisualisasikan hubungan seksual itu lebih besar dampaknya dari pada sekedar menceritakan. Apabila menceritakan hubungan seksual saja hukumnya haram, maka memvisuslisasikannya juga haram. Apabila mendengar cerita seksual saja haram maka melihat dan sekaligus mendengar visualisai hubungan seksual, kendati dilakukan oleh sepasang suami istri atau bukan, yang melihat adegan-adegan porno baik melalui video, bioskop, televisi dan lain sebagainya itu hukumnya haram.42
40
Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.539. 41 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 282. 42 Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, h. 283.
BAB IV METODE PENETAPAN HUKUM ALI MUSTAFA YAQUB A. Aplikasi Metode Istinbath Hukum Ali Mustafa Yaqub 1. Antisipasi Kondisi Janin Dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub (Ali) berpendapat bahwa pengguguran atau aborsi bayi cacat dalam kandungan, dengan alasan apapun haram hukumnya menggugurkan kandungan.1 kemudian ini Ali tidak mencantumkan dalil-dalil sehubungan dengan masalah ini, namun penulis meyakini apa yang dimaksudkan oleh Ali erat kaitannya dengan Maqashid Syari‟ah, yakni untuk menjaga keturunan (Hifd Nasl). Merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 1/Munas VI/MUI/2000 tentang aborsi yang ditetapkan pada tanggal 29 Juli 2000, dengan dalil QS. Al-A’Raf (7): 157.
َُُ٘ أأ ُِ ُش٠ ً١ َ َْ ٱٌ َّشعَُٛزَّجِؼ٠ َٓ٠ٱٌَّ ِز َّ ِِّ ُ أٱۡلٟ َّ ِي ٱٌَّٕجُٛ ِ ٱۡلٔ ِج ِ أَٚ َس ٰى ِخٛ ٱٌز َّ أِٟثًب ِػٕ َذُُ٘أ فَُٛٔٗۥُ َِ أىزَٚ ِج ُذ٠ ٞ ٱٌَّ ِزٟ ُُأ إِ إَٔٙض ُغ ػ أ َ ِ ُُ أٱٌخَ ٰجَئِٙ ١ُ َذشِّ َُ َػٍَ أ٠َٚ ذ ص َشُُ٘أ َ َ٠َٚ ش ِ َِّ ٰج١َُّ ُُ ٱٌطٌَٙ ًُّ ُِذ٠َٚ ُُأ ػ َِٓ أٱٌ ُّٕ َى ِشَٙ ٰىَٕٙ أ٠َٚ فُٚ ِ ثِ أٲٌ َّ أؼش ُ ْ ٱرَّجَؼَٚ َُُٖٚصش ْ َُِٕ َٓ َءا٠ُأۚۡ فَٲٌَّ ِزِٙ ١ َوبٔ أَذ َػٍَ أِٟ أٱۡلَ أغ ٍَٰ ًَ ٱٌَّزَٚ ُٗٔض َي َِ َؼ ۥ َ ٌُّٕا ٱُٛ َ َٔٚ ُُٖٚ َػ َّضسَٚ ا ثِ ِٗۦٛ ِ ُ ٞس ٱٌَّ ِزٛ )ٔ٘١:سح اۡلػشافَْٛ (عُْٛ ٌَٰئِهَ ُ٘ ُُ أٱٌ ُّ أفٍِذُُٚ Artinya:“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma´ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka bebanbeban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” 1
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Fatwa Kontemporer, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, April 2002), h. 87
46
47
Islam melarang aborsi, karena janin adalah makhluk yang telah memiliki kehidupan
(hayah
muhtaramah)
menggugurkannya
berarti
menghentikan
(menghilangkan) kehidupan yang ada dan ini hukumnya haram, berdasarkan dalil QS. Al-Isra’ (17) : 33.
ْ ٍُُ ََل ر أَمزَٚ َّ ََ َد َّشِٟظ ٱٌَّز ِّ ِّۗ ٱَّللُ إِ ََّل ثِ أٲٌ َذ )ٖٖ:سح اۡلعشاءٛك (ع َ ا ٱٌَّٕ أفٛ
Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”
Dalam Tafsir Al-Misbah, dijelaskan kata (ا إٌّفظٍٛ )رمزtaqtulu annafs/membunuh jiwa mencakup membunuh jiwa orang lain atau membunuh jiwa ّ د ّشَ هللا إَلّ ثبٌذٟ )اٌزallati harrama Allah illa bi alsendiri, sedang firman-Nya : (ك haq/yang diharamkan Allah melainkan dengan haq, mengecualikan beberapa jenis pembunuhan. Diantaranya qishash, zina dan orang murtad.2 Kemudian, perlu kiranya memperhatikan kaidah fiqhiyah: 3
Artinya : “Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan.”
ُضَ ا ُي٠اٌض ََّش ُس
Kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) orang lain.4 Kemudian larangan menimbulkan mudharat atau bahaya pada diri sendiri dan pada orang lain sebagaimana dalam hadis riwayat Ibnu Majah. 2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol. 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.460. 3 Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, Cet-II, (Beirut: Dar AlFikr, 1996), h.112. 4 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), h.17.
48
5
ض َشا َس َ ََل ِ ََلَٚ ض َش َس
Artinya : “Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain” (HR. Ibnu Majah). Kaidah ini terkonkretisasi menjadi sejumlah hukum fiqh yang bersifat
patrikuler (furu‟), di antaranya pembatasan wewenang (al-hijr), hudud, ta‟zir, pembatasan masalah kepemilikan atau pemanfaatannya agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain, dll.6 Pengguguran atau aborsi bayi cacat dalam kandungan, dengan alasan apapun َّ ٌا,7 maka penulis haram hukumnya. Namun mengacu kepada kaidah ُ َضا ُي٠ض َش ُس berpendapat apabila kecacatan bayi dalam kandungan mengancam nyawa si ibu, maka dengan memperhatikan menjaga jiwa. Keharaman menggugurkan bayi tersebut 8 bisa digugurkan. Sebab setiap perkara tergantung pada niatnya (بص ِذَ٘ب ِ َْ سْ ِث َّمُِٛ ُ)اَ َْل.
Dalam hal ini kiranya kita perlu juga memerhatikan kaidah : 9
ِ َش١ ِغ١ْ َّاَ ٌْ َّ َشمَّخُ رَجْ ٍِتُ اٌز
Artinya: “Kesukaran itu dapat menarik kepada kemudahan.” Dasar nash kaidah ini adalah QS. al-Baqarah: 185.
َّ ُذ٠ ُِش٠ .. )ٔ٨٘ :سح اٌجمشحٛ (ع.. ُذ ثِ ُى ُُ أٱٌؼ أُغ َش٠ ُِش٠ ََلَٚ أُغ َش١ٌٱَّللُ ثِ ُى ُُ أٱ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
5 6
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.784. Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah,
h.17. 7
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, Cet-II, (Beirut: Dar AlFikr, 1996.), h.112. 8 Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, tt.), h.6. Lihat juga Ali Haidar, Durar Al-Hukkam Syarh Majallat Al-Ahkam, Jilid-I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.17. 9 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dar Al-Hadis, tt, t.th), h. 241. Lihat juga Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.), 55.
49
Dalam hal ini, apabila kecacatan bayi dalam kandungan mengancam nyawa si ibu maka dapat digolongkan pada kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya dan kesulitan itu dapat diukur oleh akal sehat dan kesulitan seperti ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah).10 2. Operasi Caesar Demi Milenium Dalam hal ini Ali berpendapat apabila seseorang tanpa alasan darurat memilih merusak anggota tubuhnya, merobek perut (caesar) haram hukumnya, sebab yang demikian ini erat kaitanya dengan Maqashid Syari‟ah yakni menjaga jiwa (Hifd AaNafs). Begitu juga dengan mengistimewakan hari, sebab dalam Islam haram hukumnya mengistimewakan atau mensakralkan hari-hari tertentu yang tidak diatur oleh Allah Swt. dan Rasu-Nya hal ini berkaitan erat dengan Maqashid Syari‟ah yakni menjaga agama (Hifd Ad-Din) atau bisa kita artikan sebagai perlindungan dalam menjaga kemurnian Aqidah, Ibadah dan Hukum.11 Adapun Ali Mustafa Yaqub menggunakan dalil : QS. Al-Baqarah (2) ayat 195.
ْ ُ ََل رُ أٍمَٚ ... )ٔ٩٘ : سح اٌجمشحٛ(ع... إَُُٛ أد ِغَٚ ٍُ َى ِخٙ ٱٌزَّ أٌَِٝ ُىُأ إ٠ ِذ٠ا ثِأ َ أٛ
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” Dalam Tafsir Al-Misbah kata (ٍُ َىخٙ )ٱٌزَّ أat-Tahlukah atau kebinasaan/kerusakan adalah menyimpang atau hilangnya nilai positif yang melekat pada sesuatu tanpa 10
Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam), Cet. IV, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h.127. 11 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 333-343. Lihat juga. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Vol. II, Penerjemah Moch. Tolchan Mansoer, dkk. (Bandung: Risalah, 1947), h. 139.
50
diketahui kemana perginya, seperti keyakinan akan keesaan Allah, kemerdekaan dan kebebasan, bahkan hidup dan ketenangan lahir batin.12 Dalam hal ini Ali menggunakan kaidah ushuliyah nahi (larangan) yaitu tuntutan untuk meninggalkan perbuatan tertentu dari yang lebih tinggi menuju kepada yang lebih rendah tingkatannya:13 14
ُِ ِ٠ ٌٍِزَّذْ ِشِْٝ ٌَّٕٙ اِٝا َْلَصْ ًُ ف
Artinya: “Pada dasarnya larangan itu menunjukan arti haram.” 15
ْ ُسَٛ اٌفَٝض ِ َ ْمز٠ ِْٝ ٌَّٕٙ اِٝا َْلَصْ ًُ ف
Artinya: “Pada dasarnya larangan itu menunjukan pada kerusakan secara mutlak.”
Kemudian perlu kita perhatikan juga tentang larangan menimbulkan mudharat dalam kaidah fiqhiyah dan hadis riwayat Ibnu Majah: 16
Artinya : “Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan.” Hadis riwayat Ibnu Majah. : 17
ُضَ ا ُي٠اٌض ََّش ُس
ض َشا َس َ ََل ِ ََلَٚ ض َش َس
Artinya : “Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain” (HR. Ibnu Majah). Memperhatikan juga; 18
ػذ ِبٚ داٛجٚ ٗس ِغ ػٍزٚذ٠ ُاٌذى
Artinya: “Hukum itu mengikuti (berkisar) pada ada dan tiadanya „illat.” 12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Quran, Vol. 1,
h.397-398. 13
Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam), Cet. IV, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h.29. 14 Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1983), h.30. 15 Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1983), h.32. 16 Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, tt.), h.59. 17 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.784. 18 Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1983), h.19.
51
Dalam hal ini „illat diharamkannya Operasi Caesar Demi Milenium oleh Ali Mustafa Yaqub karena seseorang tanpa alasan darurat memilih merusak anggota tubuhnya, merobek perut (caesar) mendekatkan diri pada kerusakan dan membahayakan diri sendiri. 3. Menyimpan Sel Telur Dalam hal ini Ali berpendapat adakalanya boleh dan adakalanya menjadi haram. Pertama, menyimpan sel telur menjadi boleh apabila berada dalam keadaan darurat karena erat hubungnnya dengan Maqashid Syari‟ah yakni menjaga keturunan (Hifd Nasl). Adapun Ali menggunakan dalil : Larangan menimbulkan mudharat atau bahaya pada diri sendiri dan pada orang lain dalam hadis riwayat Ibnu Majah. 19
ض َشا َس َ ََل ِ ََلَٚ ض َش َس
Artinya : “Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain” (HR. Ibnu Majah). Kaidah fiqhiyah: 20
ُضَ ا ُي٠اٌض ََّش ُس
Artinya : “Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan.” Kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari
idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.21
19
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.784. Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, Cet-II, (Beirut: Dar AlFikr, 1996.), h.112. 21 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), h.17. 20
52
Kedua, menyimpan sel telur menjadi haram apabila sel telur yang akan disemaikan kembali dalam rahimnya bukan milik sendiri (milik orang lain). Selain itu, yang demikian adalah bertentangan dengan Maqashid Syari‟ah yakni dalam hal menjaga keturunan (Hifd Nasl). Adapun dalilnya sebagai berikut:
ػ َْٓ َػ ْج ِذٚ َد ث ِْٓ َػ ّْ ٍشُٚ ٌُ ػ َْٓ دَا١ْ بي َد َّذصََٕب ُ٘ َش َ َ َد َّذصََٕب ُِ َغ َّذ ٌد لٚ بي َُ ْخجَ َشَٔب ح َ َْ ٍْ لَٛ ث ُْٓ ػَُٚد َّذصََٕب َػ ّْش َّ ٍَّٝص َّ ُيُٛبي َسع َّ َب َِ ِخ١ِْ ََ ْاٌمَٛ٠ َْ َْٛ َعٍَّ َُ إَِّٔ ُى ُْ رُ ْذػَٚ ِٗ ١ْ ٍَهللاُ َػ َ ِهللا َ َبي ل َ َ اٌذَّسْ دَا ِء لِٟ َّب ػ َْٓ َُث٠ صَ َو ِشِٟهللاِ ث ِْٓ َُث ُ ْذ ِس ْن َُثَب اٌذَّسْ دَا ِء٠ ُْ ٌَ َّب٠ صَ َو ِشِٝد اث ُْٓ َُثُٚ دَاُٛبي َُث َ َا َُ ْع َّب َء ُو ُْ لَُُٕٛ ْع َّب ِء آثَبئِ ُى ُْ فَأَدْ ِغَٚ ُْ ثِأ َ ْع َّبئِ ُى 22 )4224/دُٚ دَاُٛاٖ َُثٚ(س Artinya : “Sesungguhnya kalian akan dipanggil oleh Allah pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak kalian. Karenanya, perbaikilah nama kalian. Abu Dawud berkata, Ibnu Abu Zakariya belum pernah bertemu dengan Abu Darda.” (HR. Abu Dawud). Secara implisit, hadis ini memerintahkan umat untuk memperjelas nasab. Jika demikian, sudah pasti segala yang mengakibatkan kekaburan nasab tidak diperbolehkan. Kemudian, terkait dengan masalah seorang wanita karir yang sehat wal afiyat, tapi tidak ingin kehilangan kesempatan berkarirnya kemudian ia menyimpan sel tersebut untuk di buahi bila ia sudah sreg dan hal ini jelas bukan alasan yang dapat diterima menurut agama. 4. Kloning Manusia Dalam pendapat Ali tentang Kloning Manusia, beliau merasa umat Islam perlu petunjuk yang jelas, karena dalam masalah kloning manusia akan menimbulkan kekaburan nasab pada kloning yang dihasilkan. Sebab kloning manusia ini bertentang
22
h.292.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997M),
53
pula dengan Maqashid Syari‟ah dalm hal menjaga keturunan (Hifd Nasl). Adapun dalilnya sebagai berikut :
ػ َْٓ َػ ْج ِذٚ َد ث ِْٓ َػ ّْ ٍشُٚ ٌُ ػ َْٓ دَا١ْ بي َد َّذصََٕب ُ٘ َش َ َ َد َّذصََٕب ُِ َغ َّذ ٌد لٚ بي َُ ْخجَ َشَٔب ح َ َْ ٍْ لَٛ ث ُْٓ ػَُٚد َّذصََٕب َػ ّْش َّ ٍَّٝص َّ ُيُٛبي َسع َّ َب َِ ِخ١ِْ ََ ْاٌمَٛ٠ َْ َْٛ َعٍَّ َُ إَِّٔ ُى ُْ رُ ْذػَٚ ِٗ ١ْ ٍَهللاُ َػ َ ِهللا َ َبي ل َ َ اٌذَّسْ دَا ِء لِٟ َّب ػ َْٓ َُث٠ صَ َو ِشِٟهللاِ ث ِْٓ َُث ُ ْذ ِس ْن َُثَب اٌذَّسْ دَا ِء٠ ُْ ٌَ َّب٠ صَ َو ِشِٝد اث ُْٓ َُثُٚ دَاُٛبي َُث َ َا َُ ْع َّب َء ُو ُْ لَُُٕٛ ْع َّب ِء آثَبئِ ُى ُْ فَأَدْ ِغَٚ ُْ ثِأ َ ْع َّبئِ ُى 23 )4224/دُٚ دَاُٛاٖ َُثٚ(س Artinya : “Sesungguhnya kalian akan dipanggil oleh Allah pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak kalian. Karenanya, perbaikilah nama kalian. Abu Dawud berkata, Ibnu Abu Zakariya belum pernah bertemu dengan Abu Darda.” (HR. Abu Dawud). Secara implisit, hadis ini memerintahkan umat untuk memperjelas nasab. Jika demikian, sudah pasti segala yang mengakibatkan kekaburan nasab tidak diperbolehkan dan kloning manusia ini salah satu dari hal yang mengaburkan nasab. Maka hukum kloning terhadap manusia adalah haram. Merujuk pada fatwa MUI No. 3/Munas VI/MUI/2000 yang diselenggarakan tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 H./25-29 Juli 2000 M.24 Keterangan yang rinci untuk masalah ini tidak ada, namun perlu kiranya mengingat firman Allah Swt. dalam QS. ar-Ra’d ayat 16:
ْ ُا ِ ََّّللِ ُش َش َوب َء خَ ٍَمٛ ْ ٍََُُأ َج َؼ... َّ ًِ ُُأۚۡ لِٙ ١ك َػٍَ أ ُ ٍِ َٱَّللُ ٰخ ُ ٍا وَخَ أٍمِ ِٗ فَزَ ٰ َشجََٗ أٱٌخَ أٛ َّ ُشٰٙ َ ِد ُذ أٱٌمَٛ ٰ ٌ أٱَٛ َُ٘ٚ ءٟك ُوًِّ َش أ )ٔٙ : سح اٌشػذٛ(ع Artinya:“Ataukah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa."
23
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997M),
24
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011),
h.292. h.650.
54
Dalam Tafsir Al Qurthubi, isi dari ayat 16 ini mengandung penolakan terhadapan pendapat kaum musyrik dan paham Qadariyah yang mengatakan bahwa mereka juga bisa menciptakan sebagaimana Allah menciptakan.25 Terkait dengan larangan umat Islam untuk menjalankan perilaku yang syubhat, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Swt. serta untuk mendahulukan menolak kerusakan, berdasarkan atas hadits Nabi SAW.
َّ يُٛ ُ ُي َع ِّؼَُٛم٠ ش١ ُ بي َع ِّؼ َ ْذ َسع َ َ ٍذ ػ َْٓ ُِ َجبٌِ ٍذ َد َّذصََٕب ػَب ِِ ٌش ل١ ث ُْٓ َع ِؼَٝ١ َْذ٠ َد َّذصََٕب ِهللا ٍ ْذ إٌُّ ْؼ َّبَْ ْثَٓ ثَ ِش َّ ٍَّٝص َٓ ْاٌ َذ ََل ِي١ْ َإِ َّْ ثَٚ ٌِّٓ ١َ ْاٌ َذ َشا ََ ثَٚ ٌِّٓ ١َ ِٗ إِ َّْ ْاٌ َذ ََل َي ث١ْ َٔ ُُ ُرٌَِٝ ِٗ إ١ْ ْ َِأ َ ثِئِصْ جَ َؼََُٚٚ َُ َّ ٍ َعَٚ ِٗ ١ْ ٍَهللاُ َػ َ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َّ ِٗ ِٕ٠َب ا ْعزَج َْشُ ٌِ ِذٙ ُ َْ ِِ ْٓ اٌ َذ َش ِاَ فَ َّ ْٓ ر ََش َوَٟ ِ٘ بط ُ َِِٓ اٌ َذ ََل ِي ٍ َبِٙاٌ َذ َش ِاَ ُِشزَجَٚ ِ ٌٕ ٌش ِِ ْٓ ا١ِ َوضَٞ ْذ ِس٠ د ََل ْ َ ْ ًٌُِِّىَٚ ِٗ ١َِشْ رَ َغ ف٠ ْْ َُ ه ُ شُٛ ُ شُٛ ِ ٠ ًّٝ ت ِد ِ ٕ َجٌَِٝ إَٝالِ َغ اٌ َذ َشا ََ فَ َّ ْٓ َسػَُٛ ٠ ْْ ُ ه ِ ٠ َبٙالَ َؼَٚ ْٓ َِ َٚ ِٗ ض ِ ْ ِػشَٚ 26 َّ )اٖ ادّذٚبس ُُِٗ ( س ِ هللاِ َِ َذَّٝ إِ َّْ ِدَٚ ًّٝ ٍَِِ ٍه ِد Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari [Mujalid] Telah menceritakan kepada kami [Amir] ia berkata, aku mendengar [An Nu'man bin Basyir] berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabdasambil ia mengisyaratkan dengan dua jari tangannya ke arah dua telinganya-: "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara yang halal dan yang haram ada perkara-perkara syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahui, apakah ia termasuk halal ataukah haram. Maka barangsiapa meninggalkan syubhat, berarti dia telah menjaga kehormatan dan agamanya. Dan barangsiapa terjerumus di dalamnya maka dikawatirkan ia akan terjerumus dalam perkara haram. Siapa yang mengembala di sekitar daerah terlarang, maka dikawatirkan ia akan terjerumus di dalamnya. Sesungguhnya setiap raja itu memiliki daerah terlarang, dan daerah terlarang Allah adalah hal-hal yang terlah diharamkan-Nya." (HR. Ahmad). Kaidah fiqhiyah :
25
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Vol.9, Penerjemah Sudi Rosadi, dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.712. 26 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jilid-III, (Riyadh: Muassasah Arrisalah, 1999M), h.320.
55
27
خ َ َّ ٌت ْا ِ ٍْ َد سْ ُء ْاٌ َّفَب ِع ِذ ُِمَ َّذ ٌَ ػٍَئ َج ِ ٌِصب
Artinya: “Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan.”
5. Menikahi Wanita Hamil Dalam masalah menikahi wanita hamil akibat zina, Ali berpendapat. Menikahi wanita pezina (hamil di luar nikah) bagi orang yang mengetahuinya dihukumi tidak boleh, kecuali masa iddahnya sudah habis. Apabila wanita pezina itu hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan, dan ia tidak boleh menikah sebelum anaknya lahir. Karena hal yang demikian ini berkaitan erat dengan Maqashid Syari‟ah dalm hal menjaga keturunan (Hifd Nasl). Ali menegaskan, jika hamil sebelum nikah maka ia harus menjalani ‟iddah dahulu agar nasab anak yang dikandungnya menjadi jelas. Karena menikah sebelum masa „iddah tidak sah. Apabila keduanya berhubungan seksual dalam nikah sebelum masa „iddah habis, maka statusnya syubhat (tidak jelas). Pendapat Ali Mustafa Yaqub ini sejalan dengan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungnnya. Mereka berpendapat sama halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin fasid, maka dia harus mensucikan diri
27
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.), h.55.
56
dalam waktu yang sama dengan iddah. Bahkan Imam Ahmad menambahkan, wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan pernikahan.28 Hal demikian berdasarkan, firman Allah Swt. QS. al-Thalaq: 4.
ُ ٌَٰ ُُْٚٚ.. )ٗ :سح اٌطَلقٛ (ع.. َُّٓ ۡۚ ٍَٙ ض أؼَٓ َدّأ َ َ٠ َُْ َُّٓ ٍُٙبي َُ َج ِ َّ ذ أٱۡلَ أد َ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” ُ ٌَٰ َُُْٚٚ meskipun sudah jelas untuk wanita Dalam firman Allah َُّٓ ٍُٙذ أٱۡلَ أد َّب ِي َُ َج yang diceraikan, namun ia pun mencakup wanita yang ditinggal mati suaminya.29 Sehubungan dengan surat al-Thalaq: 4 di atas, ada sebuah sabda Nabi Saw. yang menjelaskan tentang iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya. :
ْ ََٔب وبَّٙٔ َؼخَ اَدْ جَ َش ْرُٗ ا١ْ َػ َْٓ َػ ْج ِذهللاِ ث ِْٓ ُػ ْزجَ ِخ اَ َّْ ُعج ٍَّٜ ػَب ِِ ِش ث ِْٓ ٌُؤَِٕٝ ثِٝفَٛ َُ٘ٚ ٌََخٛ ََذ رَذْ ذَ َع ْؼ ِذث ِْٓ خ ْ ْ ض َؼ فَبٚ َب ثَ ْؼ َذٍَّْٙ ذ َد َ َٚ ْْ َ َدب ِِ ًٌ فٍََ ُْ رَ ْٕ َغتْ اَٟ ِ٘ ٚ َع ِ دَٛ ٌ َد َّج ِخ اَِٝبفْٕٙ َػِّٝفُٛ ُ َذ ثَ ْذسًا فَزِٙ وبََْ ِِ َّّ ْٓ َشَٚ ْ ٍََّّ َب ر ََجٙبع "اس َ َب اثُ َّغَٕبثِ ًِ ث ِْٓ ثَ ْؼ َى ٍهٙ١ْ ٍَة فَ َذخَ ًَ َػ ِ ذ ٌِ ٍْ ُخطَّب ِ َرِ ِٗ فٍََ َّّب رَ َؼٍّذَ ِِ ْٓ ِٔف ِ َػ ْج ِذاٌ َّذَِٕٝ"س ُج ًٌ ِِ ْٓ ث ٍُشٙهَ اَسْ ثَ َؼخُ اَ ْش١ْ ٍَ رَ ُّ َّش َػَّٝخ َدز َ َٓ إٌِّ َى١ْ ان ُِز ََج ٍَِّّخً ٌَ َؼٍَّ ِه رَشْ ِج َ َفَم ِ ْٔ هللاِ َِباَٚ َبح أَِّه ِ اَ َسٌَِٝب َِبٌَٙ بي ٍ ذ ثَِٕب ِو َّ ٍَّٝص َّ يُٛ ْ َرٌِهَ َج َّ َؼٌِٝ بي ْ ٌَ َػ ْش ٌشلَبٚ ُ ١َْذ فَبر ُ ١َٓ ا ِْ َغ١ ِدَِٝبث١ِ صٍَٝذ َػ ُهللا َ ِهللا َ ْذ َسع َ َ َؼخُ فٍََ َّّب ل١ْ َذ ُعج ُ ضؼ ُ ٍْ ٍَق َد ٌِٝط اِْ ثَ َذا َ َِٝٔ ثِبِٝٔ َعٍَّ َُ فَ َغب َ ٌْزُُٗ ػ َْٓ َرٌِهَ فَبَفَزَبَٚ ِٗ ١ْ ٍََػ َ َٚ َٓ١ْ ذ ِد ِ َّٚ ثِبٌزَّ َضِٝٔاَ َِ َشَٚ ٍِّْٝ ْذ َد 30 )1444\ٍُاٖ ِغٚ(س Artinya: Dari „Abdullah bin „Utbah r.a., katanya Subai‟ah mengabarkan kepadanya, bahwa dia (Subai‟ah) adalah istri Sa‟id bin Khaulah dari suku „Amir bin Luai. Dan Sa‟ad adalah salah seorang sahabat yang ikut berperang dalam peperangan Badar. Dia meninggal pada saat Haji Wada‟, di saat istrinya Subai‟ah sedang hamil tua. Beberapa hari setelahnya ia wafat, istrinya pun melahirkan. Setelah dia suci dari nifas, dia pun berhias karena mengharap supaya dia dilamar orang. Lalu dating kepadanya Abu Sanabil bin Ba‟akk (seorang dari suku Abdud Dar), katanya: “Aku melihatmu berhias diri; barang kali kamu berharap untuk kawin lagi. Demi Allah, kamu belum boleh nikah sebelum lewat empat bulan sepuluh hari.” Kata Subai‟ah, “setelah ia berkata demikian, kukenakan bajuku, kemudian aku pergi 28
Fathurrahman, (Syari’ah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 2006), h.231. Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Penerjemah Sudi Rosadi, dkk., Vol.18. h.668. Lihat juga Al-Imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli dan Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Penerjemah Najib Junaedi, (Surabaya: Fithrah, 2010), h.690. 30 Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.570-571. 29
57
menemui Rasulullah Saw. Lalu kutanyakan kepada belia masalah itu. Rasulullah Saw. Berfatwa kepadaku, bahwa aku sudah halal kawin setelah melahirkan anakku, bahkan beliau menyuruhku kawin jika aku mau.” (HR. Muslim/1484) 6. Menikah Untuk Bercerai Dalam pendapat Ali tentang Menikah Untuk Bercerai, beliau merasa hal ini perlu disikapi dengan tegas bahwa jika ketika melakukan akad mereka mensyaratkan “sebatas musim haji saja”, maka mereka telah melakukan nikah mut‟ah, yaitu nikah karena batas waktu yang telah ditetapkan dan disepakati antara pria dan wanita, dan ini disebutkan dalam akad nikah. Hukum nikah mut‟ah itu sendiri haram, kemudian keharaman ini erat hubungannya dengan Maqashid Syari‟ah yakni menjaga keturunan (Hifd Nasl). Berdasarkan dalil Nabi SAW.
َبي ََُل َ َلَٚ ػ َِٓ ْاٌ ُّ ْز َؼ ِخََٝٙٔ َُ ٍَّ َعَٚ ِٗ ١ْ ٍَ هللاُ َػٍَّٝص َ ِْ َي هللاُٛ ِٗ اَ َّْ َسع١ْ ِ ػ َْٓ اَثِّٝ ِْٕٙ ِْغ ْث ِٓ َعج َْشحَ ْاٌ ُج١ِػ َِٓ اٌ َّشث َُٖأْ ُخ ْز٠ َئًب فََل١ْ َشَٝ َِ ْٓ َوبَْ َُ ْػطَٚ َب َِ ِخ١ِْ َِ ْاٌمَٛ٠ ٌَْٟ ِِ ُى ُْ َ٘ َزا إَٛ٠ ْٓ ِِ ٌَ َب َد َشاَِّٙٔإ 31 )1404\ٍُاٖ ِغٚ(س Artinya: Dari Rabi‟ bin Sabrah Al Juhani r.a., dari bapaknya, katanya: “rasulullah Saw. telah melarang melakukan nikah mut‟ah. Sabdanya : Ketahuilah ! Nikah mut‟ah haram mulai hari ini sampai hari kiamat. Siapa yang telah memberi sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut‟ah, janganlah mengambilnya kembali.” (HR. Muslim). Merujuk pada fatwa MUI yang ditetapkan pada tanggal 25 Oktober tahun 1997 tentang Nikah Mut’ah.32 Dalil keharaman nikah mut‟ah, antara lain : Firman Allah Swt. Al-Mu’minun (23): 5-6.
) ٙ( َٓ١ِِ ٍَُِٛ ُش١َُُأ غ أَُُِّٙٔأ فَئَُّٕٙ ٰ ٠ َِب ٍََِ َى أذ َُ أُٚأ َُ أِٙ ِجَٚ ٰ َُ أصٰٝ ٍََْ )٘( إِ ََّل َػُُٛأ ٰ َدفِظِٙ جُٚ ِ َٓ ُُ٘أ ٌِفُش٠ٱٌَّ ِزَٚ )ٙ-٘ :ٌِّٓٛسح اٛ(ع 31
Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.523. 32 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, h.375-378.
58
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai istri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut‟ah tidak berfungsi sebagai istri atau sebagai jariah, ia bukan jariah karena akad mut‟ah bukan akad nikah. Oleh karena itu orang yang melakukan mut‟ah termasuk di dalam firman Allah QS. Al-Mu’minun (23): 7:
)١ :ٌِّٓٛسحاَْٛ (عْٚ ٌَٰئِهَ ُ٘ ُُ أٱٌ َؼب ُدُٚ َسا َء ٰ َرٌِهَ فَأَٚ َٰٝ فَ َّ ِٓ أٱثزَغ
Artinya :“Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorang yang melampaui batas.” Dalam hal ini perlu juga kita perhatikan kaidah : 33
Artinya: “Setiap perkara tergantung pada tujuannya.”
بص ِذَ٘ب ِ َْ ُسثِ َّمُِٛ ُاَ َْل
Maka dengan mencermati kaidah di atas, apabila dalam kasus ini jika seorang calon mempelai lelaki dan calon mempelai wanita ketika melakukan akad mereka mensyaratkan “sebatas musim haji saja”, maka jelas mereka telah melakukan nikah mut‟ah, dan yang demikian ini haram hukumnya. Berdasarkan dalil-dalil yang sudah dipaparkan di atas. 7. Nikah Beda Agama Dalam hal ini, Ali berpendapat pernikahan beda agama antara muslim dengan non-muslim adalah haram hukumnya, baik antara pria muslim dengan wanita nonmuslimah maupun antara pria non-muslim dengan wanita muslimah. 33
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, tt.), h.6. Lihat juga Ali Haidar, Durar Al-Hukkam Syarh Majallat Al-Ahkam, Jilid I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h.17.
59
ْ ََل رُٕ ِىذَٚ ِّۗ َُ أػ َججَ أز ُىُأٌَٛ أَٚ ش ِِّٓ ُِّ أش ِش َوخٞ ١َخ ُِّ أؤ َِِٕخٌ خ أٞ َِ َ َۡلَٚ َّٓ ۡۚ ِِ أُؤ٠ َّٰٝذ َدز ْ ََل رَٕ ِىذَٚ اُٛ ِ ا أٱٌ ُّ أش ِش ٰ َوُٛ ۡۚ ٰ ُ ْ ُِِٕ أُؤ٠ ٰٝ َّ َٓ َدز١أٱٌ ُّ أش ِش ِو َّ َٚ بس ُٱَّلل ِ ِۖ ٌَّٕ ٱٌََِْٝ إَٛ أذ ُػ٠ َْ ٌَئِهُٚ ِّۗ َُ أػ َججَ ُىُأٌَٛ أَٚ ش ِِّٓ ُِّ أش ِشنٞ ١ذ ُِّ أؤ ِِ ٌٓ خَ أٞ ٌَ َؼ أجَٚ اٛ أ أ أ )ٕٕٔ :سح اٌجمشحَْٛ (عَُٚزَ َز َّوش٠ ُُأٍَّٙبط ٌَ َؼ ِ ٌٍَِّٕ َزِ ِٗۦ٠ٰ ُِّٓ َءا١َُج٠َٚ ٗٱٌ َّ أغفِ َش ِح ثِئِرِٔ ِِۖۦَٚ ٱٌ َجٕ َّ ِخٌَِٝ ْا إَٛ أذ ُػ٠ Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. AlBaqarah (2): 221)
َّ َّٓ ِۖ َُُٕ٘ٛ ِج ٰ َشد فَٲِأ ز َِذٰٙ ُِ ذ ُ َٰٕ ِِ ْا إِ َرا َجب َء ُو ُُ أٱٌ ُّ أؤَُِٕٛ َٓ َءا٠َب ٱٌَّ ِزُّٙ٠ََأ٠ٰ َّٓ ُ ُّ٘ٛ ُ ِۖ َّٓ فَئ ِ أْ َػٍِّأ زِٙ َِّٕ ٰ ٠ِٱَّللُ َُ أػٍَ ُُ ثِئ ۡۚ ِۖ ٰ أ ْ ُُُ٘ َِّب َُٔفَمُٛ َءارَٚ َُّٓ ٌَٙ ٍََُّْٛ ِذ٠ ََل ُُ٘أَٚ ُُأٌَّٙ ًّ ٞ بس ََل ُ٘ َّٓ ِد ََل ُجَٕب َحَٚ اٛ ِ ِۖ َّ ٱٌ ُىفٌَُِٝ٘ َّٓ إُُِٛ أؤ َِِٕذ فَ ََل ر أَش ِجؼ ۡۚ ْ ََل رُّأ ِغ ُىَٚ َّٓ ُ٘ َسُُٛ٘ َّٓ ُُجُّٛ ُز١َُ٘ َّٓ إِ َرا َءار أُٛ ُىُأ َُْ رَٕ ِىذ١َػٍَ أ ْ ٍََُ أغ١ٌ أَٚ ا َِب َُٔفَ أمزُُأٛ ْ ٍَُ أعَٚ افِ ِشَٛ ص ُِ أٱٌ َى اٛ َ ا ثِ ِؼٛ ْ ۡۚ َُِب َُٔفَم َّ َٚ َِٕۖ ُىُأ١َ أذ ُى ُُ ثَ أ٠ ِٱَّلل َّ ُُ ا ٰ َرٌِ ُىُأ د أُىٛ )ٔٓ :ُ (سورة الممتحنة١ٞ ٌُ َد ِى١ٍِٱَّللُ َػ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah (60): 10). Surat Al-Mumtahanah ayat 10 ini menjelaskan perintah Allah Swt. kepada Nabi Saw. dan orang-orang yang beriman tentang sikap yang harus diambil jika seorang wanita beriman datang memohon perlindungan yang berasal dari daerah kafir. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
60
mereka.” Allah Swt. memerintahkan yang demikian itu bukan karena tidak tahu hal ikhwal mereka, tetapi untuk kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum Muslimin yag sedang berperang menghadapi orang kafir, walaupun yang demikian itu kerabat sendiri. Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka beriman, maka jangan kamu mengembalikan ke daerah kafir, sebab wanita yang beriman tidak halal lagi bersuami orang kafir, sebaliknya orang kafir tidak halal pula bagi orang yang beriman. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang wanita muslimat menikah dengan laki-laki kafir.34 Kemudian Ali juga berpendapat mengenai pernikahan kaum muslim dengan non-muslim (Ahli Kitab), terdapat dua kategori. Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab dan kedua, pernikahan laki-laki Ahli Kitab dengan perempuan muslimah. Kedua kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama, dalam hal pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab, Para ulama sepakat bahwa pernikahan ini diperbolehkan dalam syari’at Islam. Pendapat ini mengacu pada firman Allah :
ْ ُرُُٚ َٓ٠طَ َؼب َُ ٱٌَّ ِزَٚ ذ ُ َٰٕ ص ُ ِۖ َِّ ٰج١َّ ََ ُُ ِد ًَّ ٌَ ُى ُُ ٱٌطَٛ أ١ٌأٱ َِِٓ ذ َ أٱٌ ُّ أذَٚ ُُِۖأٌَّٙ ًّ ٞ طَ َؼب ُِ ُىُأ ِدَٚ ًّ ٌَّ ُىُأٞ ت ِد َ َا أٱٌ ِى ٰزٛ ْ ُرُُٚ َٓ٠ذ َِِٓ ٱٌَّ ِز ُ َٰٕ ص َش١ََٓ غ أ١ِٕص َ َا أٱٌ ِى ٰزٛ َ أٱٌ ُّ أذَٚ ذ ِ َسُ٘ َّٓ ُِ أذُُٛ٘ َّٓ ُُجُّٛ ُز١َت ِِٓ لَ أجٍِ ُىُأ إِ َرا َءار أ ِ َٰٕ ِِ أٱٌ ُّ أؤ ِّۗ َُ أخذٞ ََل ُِزَّ ِخ ِزَٚ َٓ١ُِ ٰ َغفِ ِذ َٓ٠ أٱۡل ِخ َش ِح َِِٓ أٱٌ ٰخَ ِغ ِشِٟ فَٛ َُ٘ٚ ُ ٰ َّ ِٓ فَمَ أذ َدجِظَ َػ ٍَُّٗۥ٠ٲۡل ِ َ أىفُ أش ثِ أ٠ َِٓ َٚ َْا )٘ :سح اٌّبئذحٛ(ع Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga 34
Universitas Islam Indonesia, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.112-114.
61
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”(QS. Al-Maidah :5). Di samping itu, beberapa sahabat juga berpendapat seperti itu, di antara mereka adalah Umar, Usman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan Sahabatsahabat lainnya. Semuanya menunjukan atas kebolehannya. Di antara mereka ada yang mempraktekannya, seperti Thalhah dan Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat Nabi Saw. yang menentangnya. Dengan demikian, dibolehkannya ini sudah merupakan Ijma‟ Sahabat. Sementara itu, MUI mengeluarkan fatwa pada 1 Juni 1980 tentang haramnya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab, hal itu didasarkan kemaslahatan.35 Namun demikian fatwa tersebut tidak bisa menghapus kebolehan menikahi perempuan Ahli Kitab sebagai mana dalam surat Al-Maidah ayat 5 di atas. Kedua, pernikahan laki-laki Ahli Kitab dengan perempuan muslimah. Mengenai masalah ini keharamannya sudah jelas. Pendapat ini didasarkan:
ٰ أ ٍََُّْٛ ِذ٠ ََل ُُ٘أَٚ ُُأٌَّٙ ًّ ٞ بس ََل ُ٘ َّٓ ِد ِ ِۖ َّ ٱٌ ُىفٌَُِٝ٘ َّٓ إُُٛ٘ َّٓ ُِ أؤ َِِٕذ فَ ََل ر أَش ِجؼُّٛ ُفَئ ِ أْ َػٍِّأ ز... )ٔٓ :سحاٌّّزذٕخٛ(ع..َُّٓ ِۖ ٌَٙ Artinya: “maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah (60): 10).
35
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, h.43-45.
62
Ayat ini dengan tegas mengharamkan pernikahan laki-laki kafir dengan wanita muslimat, atau sebaliknya. Kemudian dijelaskan pula dalam surat al-Maidah ayat 5:
ْ ُرُُٚ َٓ٠ذ َِِٓ ٱٌَّ ِز ُ َٰٕ ص ُ َٰٕ ص )٘ :سح اٌّبئذححٛ( ع.. ت ِِٓ لَ أجٍِ ُىُأ َ َا أٱٌ ِى ٰزٛ َ أٱٌ ُّ أذَٚ ذ َ أٱٌ ُّ أذَٚ ِ َٰٕ ِِ ذ َِِٓ أٱٌ ُّ أؤ
Artinya : “(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” Dalam ayat di atas memberikan pemahaman bahwa Allah hanya
membolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab, tidak sebaliknya.36 Adapun Nabi Saw. bersabda: 37
ْ ٔغبءٔبٛجٚزض٠ َلٚ ط ٔغبء ًُ٘ اٌىزبةٚٔزض
Artinya: “Kami (kaum muslim) menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab, tetapi mereka (laki-laki Ahli Kitab) tidak boleh menikahi perempuan-perempuan kami.” Dalam pernikahan ini, dikalangan sahabat tidak ada seorang pun yang membolehkan pernikahan laki-laki non-muslim dengan wanita muslimah, bahkan sampai sekarang. Karena hal ini merupakan ijma‟ para sahabat dan para ulama sesudahnya. Kemudian dalam kaidah fiqhiyah disebutkan : 38
ُ٠ اۡل ثضبع اٌزذشٟاۡلصً ف
Artinya : “Pada dasarnya dalam masalah farj (kemaluan) itu adalah haram.” Karenanya, dalam masalah (farj) wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang 36
Tafsir Ath-Thobari, Jil-VIII, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.421. Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran dan Hadis, Cet. III, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, April 2015), h.43. Lihat juga Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thobari, Tafsir AthThobari: Jami Al-Bayan „an Ta‟wil Ay Al-Quran, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999M), h.390. 38 Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Beirut: Dar Al-Kutub AlIlmiyah, 1403H), h.66. 37
63
mengharamkan. Atas dasar pendapat Ali dengan pertimabangan di atas, untuk menghindari segala macam perbuatan yang mengandung kerusakan. Penulis menyimpulkan bahwa dalam mengistinbathkan hukum terhadap pernikahan beda agama antara muslim dengan non-muslim terletak pada penggunaan Maqoshid Syariah yaitu Hifd Ad-Din atau yang bisa juga kita artikan sebagai perlindungan agama dalam menjaga kemurnian Aqidah. 8. Waris Beda Agama Dalam pendapat Ali Waris Beda Agama, beliau merasa umat Islam perlu mendapat petunjuk jelas, tentang waris beda agama. Dalam kasus waris beda agama ini, saudara-saudara non muslim tidak mendapatkan hak waris. Hal demikian senada dengan fatwa MUI No. 5/Munas VII/MUI/9/2005 tentang kewarisan beda agama.39 Ketentuan ini berdasarkan Hadis Nabi Saw. :
ُ َ ِش٠ َل: َعٍَّ َُ لَبيٚ ِٗ ١ْ ٍَ هللا ػٍَّٝص س اٌ ُّ ْغٍِ َُ اٌ َىبفِ ُش َ ٟ َّ ُِ َّب َُ َّْ إٌَّجْٕٙ هللا َػَٟ ض ِ ٍذ َس٠ْ ػ َْٓ َُعب َِخَ اث ِْٓ َص 40 ُ َ ِش٠ََلٚ )1414\ٍُاٖ ِغٚس اٌ َىبفِ َش اٌ ُّ ْغٍِ ُُ (س
Artinya: Dari Usamah bin Zaid r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda, “Orang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim.” (H.R. Muslim). Adapun saudara almarhum dapat menerima bagian waris dari almarhum melalui wasiat. Dalam kasus ini, apabila sebelum meninggal dunia almarhum pernah berwasiat agar saudara almarhum yang bukan muslim itu diberikan bagian dari harta pusaka, dengan ketentuan : Pertama, saudara-saudara almarhum tidak termasuk orang
39
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, h.483. Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.627. 40
64
non muslim yang memusuhi orang-orang Islam. Ketentuan ini berdasarakan QS. AlMumtahanah (60) : 8-9.
َّ ُُ َ ٰى ُىَٕٙ أ٠ ََّل َّْ ُِأۚۡ إِٙ ١ ْا إٌَِ أُٛرُ أم ِغطَٚ ُُ٘أٚ َُّ ِش ُوُأ َُْ رَجَش٠ٰ ُوُ ِِّٓ ِدُٛ أُخ ِشج٠ ٌَُأَٚ ِٓ ٠ِّ ٱٌذِٟ ُوُأ فٍُُِٛ ٰمَز٠ َٓ ٌَُأ٠ٱَّللُ ػ َِٓ ٱٌَّ ِز ٰ ٰ ْ َشَٙظَٚ َ ِش ُوُأ٠ٰ ُوُ ِِّٓ ِدَُُٛ أخ َشجَٚ ٓ٠ِّ َّ َّ ُُ َ ٰى ُىَٕٙ أ٠ ) إَِّٔ َّب٨( َٓ١ ُِذتُّ أٱٌ ُّ أم ِغ ِط٠ َٱَّلل اُٚ ِ ٱٌذِٟ ُوُأ فٍُٰٛ ََٓ لَز٠ٱَّللُ ػ َِٓ ٱٌَّ ِز )٩-٨ :سحاٌّّزذٕخٛ (ع.)٩( َُّْٛ ٍَِّْ ٌَٰئِهَ ُ٘ ُُ ٱٌظُُُٚأ فَأٌَََّٙٛ َز٠ َِٓ َٚ ُُۡۚ٘أٌَّٛ أََٛ اج ُىُأ َُْ ر ِ إِ أخ َشٰٝ ٍََػ
Artinya :“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Ayat di atas ini merupakan keringanan dari Allah Swt. untuk membina hubungan silaturahmi dengan orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak pula memerangi mereka dan jelas dikatakan Allah Swt. tidak melarang untuk berbuat baik, namun Allah Swt. hanya melarang kaum Muslimin saling tolongmenolong dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia di jalan Allah Swt. dan memurtadkan mereka sehingga berpindah kepada agama lain.41 Kedua, Jumlah harta pusaka yang diwasiatkan tidak melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta pusaka. Ketentuan ini berdasarakan hadis yang bersumber dari Mush’ab bin Sa’id. Pada waktu sakit keras, beliau dijenguk Nabi Saw. beliau tidak punya ahli waris kecuali seorang anak perempuan, sementara harta beliau banyak sekali.
42
ُ ٍْ ُ َعٍَّ َُ فَمَٚ ِٗ ١ْ ٍَ هللاُ َػٍَّٝص ِٗ ٍِّ ُوٌِٝ ثِ َّبٝص َ ُّٝ ِ إٌَّجِٝٔبي ػَب َد َ َ ِٗ ل١ْ ِت ث ِْٓ َع ْؼ ٍذ ػ َْٓ اَث ِ َْٚذ ا ِ ػ َْٓ ُِصْ َؼ ُ ٍُُاٌضَٚ ُْ َٔ َؼ: ًَ َش فَم ُ ٍْ َُلل: َ بي ُ ْ فَبٌِّٕص: ذ )1424\ٍُاٖ ِغٚ (س.ٌش١ْ ِش َوض َ َف ل َ َل ِ ٍُُّ ََل_فَمُ ٍْذ اَثِبٌض: بي 41
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Vol.18. Penerjemah Sudi Rosadi, dkk., h.360. Lihat juga, Universitas Islam Indonesia, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h.110-111. 42 Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.636-637.
65
Artinya : Dari Mush‟ab bin Sa‟id, dari bapaknya, katanya, (ketika aku sakit). Lalu aku bertanya kepada beliau, “Bolehkah aku berwasiat dengan seluruh hartaku?” Jawab beliau, “Tidak boleh!” Tanyaku, “Kalau seperdua?” Jawab beliau, “Tidak boleh!” Tanyaku selanjutnya, “Kalau sepertiga?” Jawab beliau, “Sepertiga boleh, itu masih terlalu banyak.” (HR. Muslim) Ketiga, Harus ada bukti-bukti otentik bahwa sebelum wafat almarhum sudah berwasiat. Maka dapat disimpulkan, apabila ketiga syarat itu terpenuhi maka saudarasaudara almarhum dapat menerima bagian warisan dari almarhum melalui wasiat. Sehubungan dengan itu istinbath hukum yang digunakan Ali Mustafa Yaqub terletak pada penggunaan Maqoshid Syariah yaitu menjaga keturunan (Hifd Nasl) dan menjaga agama (Hifd Ad-din). 9. Istri Bekerja, Suami Menjaga Anak Dalam pendapat Ali tentang Istri Bekerja, Suami Menjaga Anak. Beliau cenderung berpendapat kalau masalah ekonomi yang menjadi perpisahan antara suami dan istrinya atau anak dengan ibunya sehingga menyebabkan terbengkalainya hak dan kewajiban, maka lebih baik untuk berusaha mengais rezeki di tanah air. Dalam masalah hak dan kewajiban ini, Ali menggunakan dalil :
ّ ْ اٌ ّذسْ دَاء) َع ٍْ َّبِٟبي ٌَُٗ (َُث ٍّ ْ َدٞهَ َدمًّب ِۡلَ ٍِْ٘هَ َدمًّب فَب ْػ ِظ ُو ًَّ ِر١ْ ٌٍََِٕ ْف ِغهَ َػَٚ هَ َدمًّب١ْ ٍَإْ ٌشثّهَ َػ ك َ َفَم ق َ ص َذ َ ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٟ صَٟج َ َ عٍُ ف َز َوش َرٌهَ ٌَُٗ فَمٚ ٗ١ٍَ هللا ػٍٟ صّٟ إٌَجَٟدمُّٗ فَأر ُّ ٌٕبي ا 43 .َْع ٍْ َّب Artinya :“Salman Al-Faris berkata pada Abu Darda : sesungguhnya Tuhan mu itu mempunyai hak atas mu, dirimu juga memiliki hak atas mu dan keluargamu juga mempunyai hak atas mu.” Kemudian perkataan ini di laporkan kepada Nabi Saw. “benar sekali apa yang dikatakan oleh Salman.” Komentar Nabi Saw. (H.R. Al-Tirmidzi).
43
Abu Isa Muhammad bin Isa Saurah At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Jilid-III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2000M), h.339.
66
Jadi memenuhi hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya merupakan ajaran Islam yang wajib ditaati. Dalam hal ini salah satu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami adalah hak nafkah, yang dimaksud dengan kata nafkah di sini yaitu memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan, dan masih banyak lagi yang pada intinya hukum memberi nafkah terhadap istri adalah wajib. 44 Hal demikian berdasarkan firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
ُ ٌِ ٰ َذَٛ ٰ ٌ أٱَٚ َُّٓ ُٙ ِد ٌَٗۥُ ِس أصلٌُٛٛ أٱٌ َّ أٍَٝ َػَٚ ََّضب َػ ۚۡخ َ ُزِ َُّ ٱٌش٠ َُْ ِۖ ِٓ ٌِ َّ أٓ َُ َسا َد١ ِٓ َوب ٍَِِ أ١ٌَ أٛ ٌَٰ َذُ٘ َّٓ َد أٚض أؼَٓ َُ أ ِ أُش٠ د ٞ ٌُٛ ََل َِ أَٚ ٌَ ِذَ٘بَٛ ٌِِ َذ ُۢحُ ثَٚ ٰ ضب َّس ُ َّ ٍف ََل رُ َىُٚ ٍَٝ َػَٚ ِٖ ٌَۡۚ ِذۦَٛ ِد ٌَّٗۥُ ثٛ َ َُ ۚۡب ََل رٙ أع َؼُٚ ف ٔ أَفظٌ إِ ََّل ِ ۡۚ َُّٓ ثِ أٲٌ َّ أؼشُٙرَٛ ِو أغَٚ أ َُْ إِ أْ َُ َسدرُُّأَٚ َّ ِّۗبِٙ ١َبح َػٍَ أ َ ٕس فَ ََل ُجُٚ رَ َشبَٚ ُ َّبٕٙص ًبَل ػَٓ ر ََشاض ِِّ أ َ ِس ِِ أض ًُ ٰ َرٌِ ِّۗهَ فَئ ِ أْ َُ َسادَا ف ِ اس ِ َٛ ٌٱ ْ ُٱرَّمَٚ ف َّ َّْ َُ ْاُّٛ ٍَٱػ َّ اٛ أَٚ َٱَّلل ٱَّللَ ثِ َّب ِ ِّۗ ُٚزُُ ثِ أٲٌ َّ أؼش١َ ُىُأ إِ َرا َعٍَّّأ زُُ َِّب َءار أ١ ٌَٰ َذ ُوُأ فَ ََل ُجَٕب َح َػٍَ أٚ ْا َُ أُٛضؼ ِ ر أَغز أَش ٞ ص )ٕٖٖ :سح اٌجمشحٛش (ع١ ِ ََْ ثٍَُّٛ ر أَؼ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” Kewajiban suami menafkahi istri bukanlah didasarkan pada tradisi, budaya,
atau adat istiadat. Islam menetapkan kewajiban memberi nafkah kepada suami, sebagai suatu perintah illahiyyah. Yaitu perintah yang dikeluarkan sendiri oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, seorang suami yang tidak menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada istrinya maka ia telah berdosa kepada istrinya
44
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid VII, terjemahan Fiqihsunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2003), h.53.
67
dan berdosa kepada Allah Swt. Dalam masalah ini kiranya perlu kita perhatikan juga kaidah fiqhiyah yang berbunyi : 45
َّبِٙ ِة َُ َخف َ ُ َّبُّٙ َ َُ ْػظَٟ ْ ِػَُٚبْ س َ بس َ إِ َرارَ َؼ ِ ض َش ًس اثِبسْ رِ َىب ِ ض َِ ْف َغ َذر
Artinya: “Apabila bertentangan dua kebaikan, maka perhatikan mana yang lebih besar madlaratnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada madlaratnya.” Dalam kaidah ini menyebutkan apabila suatu ketika datang secara bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus dipilih atau diseleksi, manakah yang lebih kecil atau ringan. Setelah itu diketahui, maka yang madaratnya lebih besar atau harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih ringan madaratnya.46
Merujuk pada fatwa MUI No. 7/Munas VI/MUI/2000 tentang pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri yang ditetapkan pada 29 Juli tahun 2000. Bahwa perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negri, pada prinsipnya, boleh sepanjang disertai mahromnya, keluarga atau lembaga/kelompok perempuan terpercaya (niswah tsiqah). Kemudian jika tidak disertai mahromnya (keluarga) atau niswah tsiqah, hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i, serta dapat menjamin keamanan dan kehormatan tenaga kerja.47 Dalam hal ini penulis berpendapat, berdasarkan pada kecenderungan Ali dalam menyikapi masalah ini, yang mana apabila ekonomi yang menjadi perpisahan antara suami dan istrinya atau anak dengan ibunya sehingga menyebabkan 45
Abdul Hamid Hakim, as-Sullam, (Bukit Tinggi, 1958), 82. Lihat Juga Abdul Aziz Muhammad Azam, Qawaid al-Fiqh al-Islamiy, (Kairo: Maktabah Ar-Risalah, 1999), h.192. 46 Asjmuni A. Rahman. Qaidah-qaidah Fiqh (Qawaidul Fiqhiyah), Cet.I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.30. 47 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, h. 460.
68
terbengkalainya hak dan kewajiban. Maka merujuk pada surat al-Baqarah ayat 233 dan kaidah hukum Islam dan fatwa MUI di atas. Sebaiknya yang madaratnya lebih besar harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih ringan madaratnya yakni bekerja di tanah air saja. 10. Suami Istri Menonton Film Porno Dalam pendapat Ali tentang Suami Istri Menonton Film Porno, beliau berpendapat bahwa hal tersebut adalah haram. Karena menceritakan hubungan suami istri itu haram, maka mendengarnya juga haram. Sebagaimana memperlihatkan aurat itu hukumnya haram, maka melihatnya juga haram. Demikian hal itu erat kaitannya dengan istinbath hukum yang digunakan oleh Ali terletak pada penggunaan Maqoshid Syariah yaitu menjaga Akal (Hifd Aql) dan menjaga jiwa (Hifd Aa-nafs). Dengan dalil sebagai berikut :
ًبط ِػ ْٕ َذهللاِ َِ ْٕ ِضٌَخ َ ِْ ي هللاُٛبي َسع َ َْ ُي لَُٛم٠ ِّٜ ِذ ْاٌ ُذ ْذ ِس١ْ َع ِؼِٝػ َْٓ اَث ِ ٌَّٕ َعٍَّ َُ اِ َّْ ِِ ْٓ اَ َعشِّ اٚ ِٗ ١ْ ٍَ هللاُ َػٍَّٝص 48 )1434\ٍُِغٚ ٖاٚ (س.ص ُش ِع َّشَ٘ب ُ ْٕ َ٠ َُّ َُ ِخ ص١ٌِ اٝض ِ رُ ْفَٚ ِٗ ِ ا ِْ َشاَرٌَِٝ اٝص ِ ُ ْف٠ ًَُ َب َِ ِخ اٌ َّشج١ِْ ََ ْاٌمَٛ٠
Artinya: Dari Abu Sa‟id Al Khudri r.a., katanya Rasulullah Saw. bersabda: “seburuk-buruknya tempat manusia di sisi Allah kelak hari kiamat, ialah tempat suami yang telah saling percaya-mempercayai dengan istrinya, tetapi kemudian si suami membuka rahasia pribadi istrinya kepada orang lain. (H.R. Muslim). Kemudian, kita juga perlu memperhatikan al-Quran surat al-Isra’ ayat 32 dan qa’idah ushul al-fiqh saad al-zari‟ah, yang menyatakan bahwa semua hal yang dapat meneyebabkan terjadinya perbuatan haram adalah haram.
ْ ََل ر أَم َشثَٚ ِّ اُٛ )ٖٕ :سحاۡلعشاءَٛل (ع١ٗ ِ َعب َء َعجَٚ إَِّٔٗۥُ َوبَْ ٰفَ ِذ َش ٗخَِٰٝۖ ٔٱٌض
48
Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th.), h.539.
69
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” QS. al-Isra’(17): 32) Dalam Tafsir Al-Misbah ayat tersebut menegasan bahwa: Dan janganlah kamu mendekati zina dengan melakukan hal-hal; dalam bentuk menghayalkan sehingga dapat mengantar kamu terjerumus dalam keburukan itu. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, yang melampaui batas dalam ukuran apapun dan suatu jalan yang buruk, dalam menyalurkan kebutuhan biologis. Dalam firmanNya (َل١ )عبءعجsa‟sabilan/jalan yang buruk, dipahami oleh sementara ulama dalam arti jalan buruk karena ia mengantar menuju neraka.49 50
خ َ َّ ٌت ْا ِ ٍْ بع ِذ ُِمَ َّذ ٌَ ػ ًََ َج ِ ََدسْ ُء ْاٌ َّف ِ ٌِصب
Artinya :“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.” 51
ُضَ ا ُي٠ اٌض ََّش ُس
Artinya :“Bahaya harus dihilangkan.” B. Corak Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Dalam melihat corak pemikiran Ali terkait hukum keluarga di Indonesia, maka kita perlu kiranya memperhatikan pembaharuan hukum Islam yang timbul pada penghujung abad ke-19. Dalam hal ini apabila merujuk pada kerangka konseptual lama atas Cliffort Geertz terdapat indikasi dua aliran pemikiran pembaharuan hukum Islam yakni, aliran tradisionalis dan aliran modernis. Untuk lebih jelasnya penulis akan menjelaskan kedua macam aliran tersebut. 49
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, Vol. 7,
h.458-459. 50
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.), h.55. 51 Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah‟ Wan Nadho‟ir, Cet-II, (Beirut: Dar AlFikr, 1996.), h.112.
70
1. Aliran Tradisionalis Kata tradisionalis berasal dari asal kata bahasa Inggris tradition52 dalam bahasa Indonesia berarti tradisi. Tradisi dalam KBBI diartikan adat kebiasaan turuntemurun (dari nenek moyang) yg masih dijalankan masyarakat.53 Kemudian, dalam Bahasa Arab kata tradisi diidentikan dengan sunnah yang secara etimologi berarti jalan. Kata sunnah ini menjadi istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw. baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan.54 Dalam pemikiran tradisionalis, peran akal tidak begitu menentukan dalam memahami ajaran al-Quran dan hadis. Di samping itu, pemikiran tradisional terikat pada lafzhi dari teks ayat al-Quran dan hadis, karena itu kaum tradisionalis sulit sekali untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan modern sebagai hasil dari filsafat, sains dan teknologi.55 Maka dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan aliran tradisionalis adalah kelompok orang yang menganut suatu paham yang bersifat konservatif56
52
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXIX, (Jakarta : PT Gramedia, November 2010), h. 599. 53 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa/Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1543. 54 Elkhairati, “Corak Pemikiran Hukum Islam Sirajudin Abbas”, Tesis, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, h.70. 55 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Cet.V, (Bandung:Penerbit Mizan, November 1998), h. 9. 56 Dalam KBBI, konservatif diartikan kolot, bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi lama (yang turun temurun). Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa/Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h.749. Dalam konteks sekarang, ulama konservatif identik dengan ulama yang hanya memelihara pendapat ulama terdahulu (almuhâfazah „alâ al-qadîm al-sâlih ), dan tidak berani menciptakan pendapat baru (alakhdh bi al-jadîd al-aslah). Dengan perkataan lain, orientasi dan proyeksi ulama konservatif adalah ke masa lalu bukan ke masa depan. (Lihat Abd Moqsith, Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresiv Tentang Tafsir Ayat La Ikrah Fi Al-Din, (Volume 8, Nomor 1, September 2013), h. 221).
71
(jumud) dan mereka berusaha mempertahankan yang lama tanpa pembaharuan. Kaum tradisionalis ini hanya mengakui empat madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali). Kemudian, kaum tradisionalis ini melarang setiap usaha pembaharuan dan menentang keras adaptasi dan adopsi ide-ide, ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat meskipun dalam semua itu terdapat hal-hal positif.57 Karena sikap statis dan jumud ini, kaum tradisionalis tidak bisa mengikuti proses pembaharuan dalam zaman modern. Di samping itu, kelompok-kelompok ini terlibat dalam praktek-praktek keagamaan yang dianggap bid’ah, khufarat dan takhayul oleh kelompok lain terutama kelompok fundamentalis58 seperti gerakan wahabi.59 Aliran tradisionalisme di Indonesia berawal dari pengaruh kehidupan keagamaan yang didominasi oleh madzhab-madzhab fiqh, terutama bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlussunnah wal Jama‟ah.60 Kondisi masyarakat yang terdiri dari petani, yang hidup di pedasaan, sulit memungkinkan Islam untuk berkembang secara lebih rasional dan modern. Sedangkan paham Syafi’iyah lebih menekan aspek loyalitas terhadap para pemuka 57
Lalu Fahmi Husain, Corak Pemikiran Hukum Islasm Risyad Ridha, Tesis, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. h.80-83. 58 Fundamentalisme dalam Islam berarti kembali ke ajaran-ajaran kategori pertama yaitu, ajaran-ajaran dasar yang tercantum dalam al-Quran dan hadis. (Lihat Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Cet.V, (Bandung: Penerbit Mizan, November 1998), h. 122). 59 Gerakan wahabi merupakan gerakan pembangkitan kembali (revivalis). Gerakan ini hanya memahami situasi tempat Ia tumbuh di dalamnya dan memandang perlu untuk mengadakan perubahan. (Lihat A. Ali Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 1995). h.5.) 60 Ahlussunnah wal jama’ah, adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejaklangkah yang berasal dari Nabi Saw. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamenal (ushul) maupun yang divisional (furu’). (lihat Muhammad Talhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama‟ah, dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta:Lantabora Perss, cet-3, Oktober 2005), h.3.
72
agama (kyai, ulama) daripada subtansi ajaran Islam yang bersifat rasional. Sehingga menimbulkan sikap taklid terhadap para ulama tanpa syarat. Sementara ajaran yang disampaikan oleh para ulama lebih banyak terpusat pada bidang-bidang ritual dan disesuaikan dengan tradisi masyarakat. Hal ini dapat berjalan lancar, mengingat paham Ahlussunnah wal Jama‟ah mempunyai sikap-sikap toleran pada kelompokkelompok lain. Karenanya, mempertahankan tradisi menjadi sangat penting dalam kehidupan mereka.61 Meskipun demikian, kalangan tradisionalis tetap beranggapan bahwa ijtihad merupakan unsur yang penting dalam pemahaman hukum Islam. Namun hal itu hanya dapat dilakukan oleh ulama yang ahli dan mengajak umat Islam agar berpegang teguh pada al-Quran dan hadis. Aliran ini juga berpendapat bahwa syari’ah normatif sangat terbatas jumlahnya, sementara persoalan hukum dan kemanusiaan tidak pernah akan berakhir dan tidak pernah ada batasnya. Karena itu, syari’ah yang merupakan hukum Tuhan harus dijaga supaya tetap berada pada posisi ilahiatnya, dengan cara melaksanakan secara harfiyah apa yang tertulis dalam teks suci ini, sementara perkembangan masyarakat dapat diselesaikan melalui jalur pemahaman terhadap teks suci, sesuai dengan tradisi muslim.62 Dengan demikian, kalangan tradisionalis adalah kelompok ulama yang masih berusaha mempertahankan tradisi dan amalan yang oleh kalangan pembaharu
61
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Di Asia Tenggara : Sejarah, Wacana Dan Kekuasaan (Bandung: Rosda Karya, 1999), h. 98-102. 62 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer : Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Prenada Media, September 2004), h.524.
73
dianggap bid’ah. Kelompok tradisional sangat mengapresiasi khazanah dan tradisi yang telah berlangsung berabad-abad dalam sejarah Islam. Di sinilah letak perbedaan antara kelompok tradisionalis dengan kelompok modernis yang cenderung kurang apresiatif terhadap tradisi Islam karena mereka menilai hal itu telah ketinggalan zaman. 63 2. Aliran Moderenis Pemikiran Islam di Indonesia berkembang dengan cepat pada permulaan abad ke-20 dengan tumbuhnya gerakan moderenisme. Perubahan dari taqlid ke ijtihad, merupakan bagian dari modernisme atau pembaharuan pemikiran Islam.64 Modernisme adalah sebuah pergerakan pembaharuan, kata modernisme di sini yang dimaksud merupakan terminologi khusus, yaitu sebuah sudut pandang religius yang didasari oleh keyakinan bahwa kemajuan ilmiah dan budaya modern membawa konsekuensi reaktualisasi berbagai ajaran keagamaan tradisional mengikuti disiplin pemahaman filsafat ilmiah yang tinggi.65 Moderenisme dalam agama adalah sebuah sudut pemikiran yang dibangun di atas keyakinan bahwa kemajuan ilmiah dan wawasan modern mengharuskan reinterpretasi atau pemahaman ulang terhadap berbagai doktrin ajaran agama
63
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama‟at-i-Islami (Pakistan), Cet. I, (Jakarta: Paramadin, Mei 1999), h.31-33. Lihat juga Saudi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta : Paramadina, 1998), h.3. 64 Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, Cet.I, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), h. 107. 65 Muhammad Hamid an-Nashir, Menjawab Moderenisasi Islam, Cet-I, (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.2.
74
tradisisional berdasarkan sistematika ajaran filsafat ilmiah yang diagung-agungkan.66 Moderenisme atau pembaharuan berarti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi lama, dan sebagainya, agar semua itu disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern.67 Menurut Mukti Ali, modernisme adalah paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam kembali kepada al-Quran dan Sunnah dan mendorong kebebasan berpikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-Quran dan hadis.68 Kaum modernis berpendapat bahwa Islam sejalan dengan semangat perkembangan zaman modern karena agama Islam bersifat rasional dan logis. Oleh karena itu, Islam tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.69 Bagi mereka, pembaharuan diukur dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di Barat. Kaum moderenis berpendapat bahwa belum cukup kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang murni, tetapi ajaran-ajaran itu harus dipahami dalam konteks baru pada zaman modern yang setara dengan Barat.70 Kalau kehidupan beragama diliputi tradisionalisme yang kuat sehingga pelaku agama tidak
66 67
Muhammad Hamid an-Nashir, Menjawab Moderenisasi Islam, h.2. Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UI-Perss, jilid-2, 1978),
h.93. 68
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam : Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama‟at-i-Islami (Pakistan), h.13. 69 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet.14, (Jakarta: PT Bulan bintang, Oktober 2014), h. 66. 70 Lalu Fahmi Husain, Corak Pemikiran Hukum Islasm Risyad Ridha, Tesis, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. h.99-100.
75
memungkinkan berpikir maka akan terjadi pertentangan antara moderenitas dan kehidupan beragama. Sikap seperti ini menurut Harun Nasution tidak sejalan dengan ajaran Islam sebagai agama rasional yang mendorong umatnya untuk berpikir rasional.71 Kaum modernis membedakan doktrin ke dalam dua bidang, yaitu ibadah dan mu’amalah (kemasyarakatan). Dalam ibadah semua peraturan telah terperinci oleh syari’ah, sehingga tidak ada lagi kreativitas dalam bidang ini, sedangkan dalam bidang mu’amalah, syari’ah hanya memberikan prinsip-prinsip umum, di samping menetapkan hudud (batas-batas) yang tidak boleh dilampaui, mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad, Islam akan kehilangan relevansinya dengan zaman.72 Kaum modernis mengatakan bahwa, dalam bidang mu’amalah, para cendikiawan, pemimpin dan tokoh yang ahli dalam bidangnya juga boleh melakukan ijtihad, dan bukan hanya monopoli oleh ulama saja.73 Erat hubungannya dengan pandangan yang dinamis terhadap masyarakat seperti dikatakan di atas, kaum modernis pada umumnya juga berpandangan bahwa preseden74 tradis awal Islam hanyalah mengikat dalam prinsip, bukan dalam perinciannya yang partikuler. Demikian juga dengan ijtihad generasi sahabat Nabi. Ia 71
Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, Cet. I, (Jakarta : Pustaka Mapan, 2006), h.78. 72 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam : Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama‟at-i-Islami (Pakistan), h.14-15. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. 14, (Jakarta: PT Bulan Bintang, Oktober 2014), h.65. 73 Lalu Fahmi Husain, Corak Pemikiran Hukum Islasm Risyad Ridha, Tesis, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. h.101. 74 Hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai, http://kbbi.web.id/. Di akses 13:43, Kamis, 06 Oktober 2016.
76
senantiasa dapat dirubah dan diperbaharui. Hal ini dapat dilakukan jika faktor-faktor yang melatar belakangii ijtihad itu juga telah berubah.75 Dari pemaparan tentang modernisme ini maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat modern senantiasa diwarnai dengan perubahan, mereka sangat maju dan kreatif. Menurut Jalaludin Rahman, Untuk melanggengkan agama agar ajarannya tetap diterima baik masyarakat modern, maka diadakan pembaharuan atau modernisme usaha ini dapat diwujudkan jika umat Islam mampu membererikan potensi yang besar kepada akal.76 Oleh karena itu, dari apa yang telah dipaparkan penulis di atas tentang aliran tradisionalis dan aliran modernis. Penulis berkesimpulan bahwa Ali adalah seorang ulama modernis. Hal demikian penulis simpulkan berdasarkan data-data yang sudah penulis sampaikan di atas, mulai dari pengertian apa yang dimaksud modernis, awal perkembangan pemikiran modernis Islam di Indonesia, sampai pada paham bahwa dalam masalah ibadah kaum modernis tidak membolehkan ber-ijtihad, sedangkan dalam bidang mu’amalah lapangan ijtihad terbuka luas dan bahkan ijtihad merupakan keharusan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perubahan zaman.77
75
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama‟at-i-Islami (Pakistan), h.15. 76 Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, Cet. I, h. 53. 77 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h.64.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan beberapa bab pembahasan dalam penelitian ini, maka pertama-tama dapat penulis tarik simpulkan bahwa Ali Mustafa Yaqub (Ali) adalah salah satu ulama besar dari sekian banyak ulama di Indonesia, Ia memiliki tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang luar biasa, bukan hanya di bidang hadis yang memang sudah menjadi spesialisasinya namun juga ilmu-ilmu lain seperti fiqh, tafsir, aqidah, dakwah dan lain-lain. Ali lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di Desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah dan beliau wafat pada hari Kamis, 28 April 2016 di RS Hermina, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten. Ketokohan Ali dapat kita lihat dari berbagai aspek, baik dalam bidang organisasi, pendidikan, dakwah, tugas luar negeri, penghargaan sampai pada karyanya mulai dari tahun 1986-2015. Terlepas dari itu semua, dua hal yang dapat disimpulkan oleh penulis berkaitan dengan pemikiran hukum Islam Ali yang khususnya dalam hal metode istinbath hukum. Pertama, setelah penulis analisis pemikiran Ali dalam beberapa masalah hukum Islam, yang kemudian penulis khususkan pada hukum keluarga. Dalam hal mengistinbathkan suatu hukum Ali menggunakan dalil-dalil yang sudah mapan di kalangan fuqaha berupa al-Quran, hadis, ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, maqosid syariah, dalil-dalil ushuliyyah dan dalil-dalil fiqhiyyah dengan
77
78
unsur sosial kemasyarakatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kedua, kesimpulan yang dapat ditarik adalah pemikiran Ali bercorak moderenis. Kebebasannya dalam mengistinbathkan hukum Islam dengan metodemetode istinbath yang sudah mapan memperkuat kesimpulan ini. Keberagaman metode istinbath yang Ali pakai menunjukan bahwa dirinya bersikap independen terhadap madzhab fiqh yang ada sehingga kesimpulannya tidak cenderung menguatkan kalangan tertentu. Terakhir, dalam hal faktor yang mempengaruhi pemikiran Ali, penulis dapat menyimpulkan bahwa pemikiran Ali bukan hanya pengaruh dari para guru-gurunya. Melainkan sebagian dari faktor yang mempengaruhi pemikiran Ali ada pada kiprahnya semasa hidupnya. Kemudian pola pemikiran beliau ini tidak terikat dan dapat menyesuaikan perkembangan zaman. B. Saran-Saran Dalam rangka reaktualisasi hukum Islam di tanah air, maka sepatutnya unsurunsur budaya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat tempat tersendiri bagi tiap pemikiran hukum Islam sehingga hukum-hukum Islam sebagai salah satu tiang penyangga pembangunan hukum nasional dapat diterima dan diamalkan oleh masyarakat Islam Indonesia dengan penuh kesadaran. Terhadap hukum-hukum Islam yang dilahirkan oleh para mujtahid perlu kiranya dilakukan semacam studi kelayakan dalam penerapannya di Indonesia. Hal ini penting dilakukan karena sedikit banyaknya, kesimpulan mereka dilatari oleh proyeksi zamannya.
79
Untuk prospek dan pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia, keberadaan madzhab yang beragam di bidang hukum Islam perlu kiranya untuk dikaji lagi dalam rangka reaktualisasi hukum Islam. paling tidak, keterbukaan terhadap berbagai madzhab perlu dijadikan sikap keberagaman terhadap berbagai madzhab perlu dijadikan sikap keberagaman sehingga akibat buruk fanatik madzhab sebagai salah satu bidang perpecahan umat Islam dapat dihindari. Kemudian secara khusus penulis memiliki beberapa saran yang kiranya dapat bermanfaat bagi kelanjutan kajian sejenis ini pada masa mendatang. Terutama terkait dengan pemikiran hukum Islam seorang tokoh. Adapun saran-saran tersebut sebagai berikut Pertama, untuk melakukan pembaharuan hukum Islam, para pakar hukum Islam Indonesia mesti berani melakukan pembaharuan lewat ijtihad. Kalaulah ijtihad itu tidak daat dilakukan secara perorangan (ijtihad fardi), sebaiknya hal itu dilakukan secara kolektif (ijtihad jama’i). Ini nampaknya lebih mungkin, mengingat dewasa ini sangat sulit mencari seseorang yang benar-benar ahli dalam segala bidang. Kedua, bagi tokoh-tokoh atau ulama yang bertujuan membina dan memberi fatwa-fatwa kepada orang-orang yang memintanya, ada baiknya memberikan rujukan atas fatwanya. Terakhir, penelitian yang penulis lakukan mengenai pemikiran hukum Islam Ali Mustafa Yaqub yang khususnya dalam hal hukum keluarga Islam masih dalam tataran sederhana yang pembahasannya masih terfokus pada metode istinbath hukum Ali Mustafa Yaqub. Oleh karena itu, hendaknya ada penelitian lanjutan menyangkut
80
pembahasan yang belum sempat dibahas di dalam penelitian ini dan untuk peneliti selanjutnya dalam tema yang sama agar lebih komprehensif lagi. Akhirnya, tidak ada manusia sempurna. Kullu bani adama khataun wa khair al-khatain al-tawwabun. Setiap anak Adam itu berpotensi melakukan kesalahan, namun sebaik-baik orang yang selalu jatuh dalam kesalahan adalah yang selalu bertaubat dan menyadari kesalahannya, kata Nabi Saw. setiap gerakan sudah tentu memiliki sisi positif dan negatif. Yang terbaik pada akhirnya adalah yang mampu meminimalisir sisi negatifnya dan semakin hari memiliki perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jilid-III, Riyadh: Muassasah Arrisalah, 1999. Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, Cet. II, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, November 2012. Azam, Abdul Aziz Muhammad. Qawaid al-Fiqh al-Islamiy, Kairo: Maktabah ArRisalah, 1999. Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Di Asia Tenggara : Sejarah, Wacana Dan Kekuasaan, Bandung: rosda karya, 1999. Bukhari Al, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992. Cholidah, Ni’ma Diana. “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Dawud, Abu. Sunan Abi Dawud, Jilid-III, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997M. Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXIX, Jakarta: PT Gramedia, November 2010. Efendi, Riki. “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.”, Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Elkhairati, “Corak Pemikiran Hukum Islam Sirajudin Abbas”, Tesis, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. Fathurrahman, Syari’ah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 2006. Ghazali, Dede Ahmad dan Heri Gunawan. Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, Cet. I, Bandung: PT. Remaja Rosdikarya, Februairi 2015. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996. Haidar, Ali. Durar Al-Hukkam Syarh Majallat Al-Ahkam, Jilid-I, Beirut: Dar AlKutub Al-Ilmiyah, t.th. Hakim, Abdul Hamid. As-Sullam, Bukit Tinggi, 1958. ----------. Al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1983. Hasan, Muhammad Talhah. Ahlussunnah wal Jama‟ah, dalam Persepsi dan Tradisi NU, Cet. 3, Jakarta:Lantabora Perss, Oktober 2005. Hasan, Mustafa. Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. Husain, Lalu Fahmi. Corak Pemikiran Hukum Islasm Risyad Ridha, Tesis, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. ----------. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Vol. 2, Penerjemah Moch. Tolchan Mansoer, dkk. Bandung: Risalah, 1947. ----------. Kaidah-Kaidah (Ilmu Ushul Fiqh), Cet. VI, Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, t.th. 81
82
----------. Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al-Hadis, tt, t.th. Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah, Jilid-III, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th. Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama‟at-i-Islami (Pakistan), Cet. I, Jakarta: Paramadin, Mei 1999. Mahalli Al, Al-Imam Jalaluddin Muhammad dan Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Pennerjemah Najib Junaedi, Surabaya: Fithrah, 2010. Malarangan, Hilal. Pembaruan Hukum Islam dalam Hukum Keluarga di Indonesia, Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008. Mas’aid, Ghufron A. Pemikiran Fazrul Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998. Moqsith, Abd. Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresiv Tentang Tafsir Ayat La Ikrah Fi Al-Din, Volume 8, Nomor 1, September 2013. Mukti, A. Ali. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta:Ikrar Mandiriabadi, 1995. Muslim, Al-Imam Abul Husain. bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th. Muzdhar, M. Atho dan Khaeeruddin Nasution, Ed. Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Pers, 2003. Nashir An-, Muhammad Hamid. Menjawab Moderenisasi Islam, Cet. I, Jakarta: Darul Haq, 2004. Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: UI-Perss, jilid-2, 1978. ----------. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Cet. V, Bandung:Penerbit Mizan, November 1998. ----------. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan bintang, Cet. 14, Oktober 2014. Nawawi Al, Muhyiddin, Abu Zakariya bin Syarf. al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz XVI. Nur, Saifudin. Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), Bandung: Tafakur, 2007. Putro, Saudi. Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998. Qurthubi Al, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi, Vol.9, Penerjemah Sudi Rosadi, dkk., Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. ----------. Tafsir Al Qurthubi, Vol.18, Penerjemah Sudi Rosadi, dkk., Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Rahman, Asjmuni A. Qaidah-qaidah Fiqh (Qawaidul Fiqhiyah), Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid VII, terjemahan Fiqihsunnah, Bandung: PT. AlMa’arif, 2003.
83
Said, Nurhidayat Muh. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, Cet. I, Jakarta : Pustaka Mapan, 2006. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Quran, Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002. ----------. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Quran, Vol. 7. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1991. Sulaeman, Yogi. “Analisa Wacana Kritis Dai Komersial dalam Buku Setan Berkalung Sorban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.”, Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Surayabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian, Cet. XVI, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014. Suyuthi As, Jalaluddin Abdurrahman, al-Asyba‟ Wan Nadhoir, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1403H ----------. Al-Asyba‟ Wan Nadhoir, Cet-II, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996. ----------. Al-Asyba‟ Wan Nadhoir, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t. Tahido, Huzaemah. Laporan Penelitian Kedudukan Kitab Kuning (Kitab Fiqh) Setelah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam, (Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1994). Tamba Tuah Matondang, Nim. 00.2.00.1.01.01.0052, Pemikiran Fikih Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 M), Tesis, Pascasarjana Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1426H/2005M. Taufik, Akhmad, dkk. Sejarah dan Tokoh Moderenisme Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Tirmidzi At, Abu Isa Muhammad bin Isa Saurah.Sunan at-Tirmidzi, Jilid-III, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2000M. Thobari Ath, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Jami al-Bayan „an Ta‟wil Ay AlQuran, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1408H/1998M, Thobari Ath, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thobari, Jil-VIII, Cet. I, Penerjemah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Usman, Muchlis. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (pedoman dasar dalam istinbath hukum islam), Cet. IV, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawa‟id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009. Watt, William Montgomery. Fundamentalis Islam dan Modernitas, Cet. I, Penerjemah Taufik Adnan Amal, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, November 1997. Yafie, Ali. Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta : 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari, 2002 M. Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2000.
84
----------. Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2000. ----------. Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2002. ----------. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2003. ----------. Kriteria Halal Haram, untuk Pangan, Obat dan Kosmetik menurut alQuran dan Hadis, Cet.II, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, Januari 2003. ----------. Kritik Hadis, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2004. ----------. Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Cet. III, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, Agustus 2007. ----------. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Cet. IV, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2008. ----------. Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah, Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013. ----------. Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran dan Hadis, Cet. III, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, April 2015. Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer : Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Prenada Media, September 2004. Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa/Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Universitas Islam Indonesia, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995. http://kbbi.web.id/
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Syah Ul-Haq Abdul Fikri
Nim
: 1112044100023
Tempat/Tanggal Lahir: Bogor/12 Mei 1994 Program Studi
: Hukum Keluarga
Konsentrasi
: Peradilan Agama
Alamat Rumah
: Jl. KH. Dewaantara, No. 16, Rt.001/Rw.015, Kel-Ciputat, Kec-Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
Alamat Domisili
:-
No. Telp
:-
No. Hp
: 089650936208
Nama Ayah
: Doto Pujio
Nama Ibu
: Ocih Sukaesih
Alamat Orang Tua
: Jl. KH. Dewaantara, No. 16, Rt.001/Rw.015, Kel-Ciputat, Kec-Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
No. Telp. Orang Tua : No. Hp. Orang Tua
: 089661715334
85