KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208
Pembimbing,
Dr. Bustamin, M.Si NIP. 19630703 199803 1 003
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
ABSTRAK
Ni’ma Diana Cholidah Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia
Berbicara tentang perkembangan kajian hadis kontemporer di Indonesia, yang berkaitan dengan pemahaman tekstual dan kontekstual pemikiran Ali Mustafa Yaqub-sampai hari ini ternyata masih cukup relevan untuk dibincangkan dan diteliti. Di Indonesia, kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi salah satu prioritas kajian keislaman sejak abad-abad awal islamisasi di Indonesia yang diperkirakan berawal pada abad ke-13. Penelitian tentang hadis di Indonesia dalam taraf perkembangannya dikatakan mudah. Beberapa literatur yang ada tentang pembelajaran hadis dan sejumlah akademisi hadis terlihat telah berhasil membuktikan pernyataan ini. Ali Mustafa Yaqub adalah tokoh yang punya pengaruh besar terhadap corak keberagaman sebagian umat Islam Indonesia, terutama dalam kajian di bidang hadis. Skripsi ini membahas tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia dengan fokus kepada studi Pemikiran Ali Mustafa Yaqub. Sumber utama (Primary Resources) penelitian adalah buku-buku yang ditulis Ali Mustafa. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, data-data yang telah dikumpulkan dari beberapa sumber, diseleksi dan dirangkaikan ke dalam hubungan-hubungan fakta, sehingga membentuk pengertian-pengertian, yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk penulisan deskriptif-analitis. Ali Mustafa dianggap sebagai ahli hadis yang melanjutkan pembelaan A’zamî (l. 1932) secara akademis terhadap hadis. Dalam menghadapi hadis-hadis yang berkaitan dengan permasalahan ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah) dan ibadah murni (al-Ibâdah al-Mahdah), Ali Mustafa menekankan aspek tekstual, karena menganggap dua hal ini tidak mampu dipahami secara utuh oleh nalar manusia.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan kekuatan rohani, jasmani, taufik, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, serta berbagai kemudahan dan kesabaran untuk menjalani berbagai rintangan selama penyelesaian skripsi ini. Penulis yakin benar bahwa hanya dengan pertolongan-Nya skripsi ini selesai disusun. Untuk itu sudah sepatutnya bagi penulis untuk mengakui kebesaran dan kedermawanan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah mengajak umatnya kepada jalan yang diridhai Allah SWT supaya mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Skripsi ini merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan penulis dalam rangka mencapai gelar Sarjana Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Tafsir Hadis. Judul skripsi ini adalah “KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA”. Dalam hasil penelitian ini, penulis menyadari banyak kekurangan yang sangat memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka pintu lebar-lebar untuk menerima kritik dan saran yang sifatnya konstruktif. Dalam proses penyusunan ini, penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik berupa sumbangan pikiran, tenaga maupun materil. Maka sepatutnyalah dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, (Dekan
iv
Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si, (Ketua Jurusan Tafsir Hadis) dan selaku pembimbing yang telah bersikap sangat kooperatif dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., (sekretaris Jurusan Tafsir Hadis) yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam melengkapi persyaratan administratif selama penyusunan skripsi ini. 2. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadis yang dengan penuh keikhlasan telah mencurahkan ilmu dan pengetahuannya selama penulis dalam masa studi. 3. Segenap pengelola perpustakaan, baik Fakultas Ushuluddin, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah maupun Iman Jama’ yang telah memberikan berbagai fasilitas yang penulis butuhkan. 4. Kedua orangtua penulis, Ibu Nurnihayah dan Bapak H. Mas ‘Udi, S.Ag. yang telah dan masih mendidik penulis sejak buaian hingga sekarang serta senantiasa memberikan do’a dan motifasi kepada penulis. Semoga penulis selalu mendapatkan rida mereka, dan dapat berbakti kepada keduanya. (Allâhumma irhamhumâ wa ihfazhumâ kamâ rabbayânî sagîran, waballig maqâsidahumâ wa tawwil ‘umûrahumâ fî tâ’âtik) 5. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA.; yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara guna melengkapi data-data kajian skripsi ini dan selaku khâdim ma’had Dârus-Sunnah, yang telah mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. (Jazâhullâh wa hafizahu wanafa’anâ bi’ulûmih); juga Ibu Hj. Ulfah Uswatun Hasanah (istri Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub) yang telah membantu penulis dalam menentukan waktu wawancara.
v
6. Segenap keluarga, Mbah Hj. Sa’idah, Mas Mujib dan Bule’ Tutik yang selalu memberikan bantuan moril maupun materil dan mengajarkan makna kesungguhan guna menuntaskan kewajiban. Terima kasih atas motivasi yang telah diberikan kepada penulis. 7. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA. Terima kasih atas masukan-masukan yang telah diberikan, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 8. Bapak Dr. M. Isa HA Salam, MA (penguji I) dan bapak Maulana, MA (penguji II). Terima kasih atas kritikan dan saran-sarannya. 9. Segenap civitas akademika Darus-Sunnah High Institute For Hadith Sciences, mahasantri khususnya K’ Rika, Teh Aan, The Iwi, Alya, Iin dan Syifa berikut alumninya. (Allahumma waffiqna fî kulli khayr). 10. Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis TH-B angkatan 2007 khususnya May, Risti, Ajeng, Nuril, Eva, k’ Ana, Zahro, Ni’mah dan Nisa’. Teman-teman seperjuangan KKN HASTA, teman-teman bisnis MLM (Ita, Arma, Teh Zizah, Hanim, k’ Aunur dan k’ Nia Amalia) dan sahabat satu almamater (Indri Yulianti) yang selalu mendampingi penulis dalam segala keadaan dan yang selalu memberikan support.
vi
11. Serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya disini. Penulis ucapkan terima kasih dan Jazâkum Khair al-Jazâ, semoga Allah membalas pengorbanan dan kebaikan mereka semua dengan sebaikbaiknya balasan. Seberapa maksimal pun penulis mengerjakan skripsi ini tentu tak akan luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari mereka yang sudi membaca skripsi ini amat penulis harapkan untuk perbaikan penulis selanjutnya. Wallah al-Hadî ilâ Sirât al-Mustaqîm
Ciputat, 09 Maret 2011
Ni’ma Diana Cholidah
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................
i
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ....................................................................
ii
Abstrak ............................................................................................................ iii Kata Pengantar ................................................................................................. iv Daftar Isi.......................................................................................................... viii Pedoman Transliterasi ......................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah ........................
5
C. Kajian Pustaka ....................................................................
6
D. Tujuan Penelitian ................................................................
7
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian...........................................
8
F. Metodologi Penelitian .........................................................
8
G. Sistematika Penulisan..........................................................
9
BAB II
BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB ................................... 11 A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan .................................. 11 B. Sumber Pemikiran ............................................................... 15 C. Aktivitas dan Karya ............................................................ 18 D. Aliran Theologi ................................................................... 25
viii
BAB III
SEKILAS MENGENAI KAJIAN HADIS ............................. 27 A. Dua Istilah Yang Populer .................................................... 27 B. Pembagian Hadis ................................................................ 30 C. Kajian Hadis di Indonesia ................................................... 35
BAB IV
PEMIKIRAN
ALI
MUSTAFA
YAQUB
DALAM
PEMAHAMAN HADIS .......................................................... 45 A. Tekstual .............................................................................. 46 1. Perkara Ghaib (al-Umur al-Ghaibiyyah)........................ 50 2. Ibadah Murni (al-‘Ibadah al-Mahdhah)......................... 51 B. Kontekstual ......................................................................... 52 1. Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd) ........... 54 2. Lokal dan Temporal (Makâni wa Zamâni) ..................... 57 3. Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm) .............................. 58 4. Sosio Kultural (Taqâlid) ................................................ 59
BAB V
PENUTUP ............................................................................... 60 A. Kesimpulan ......................................................................... 60 B. Saran-saran ......................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64 LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia. Di Indonesia banyak lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Demikian juga organisasi Islam tersebar di seluruh nusantara. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah ulama dan pemikir Islam sejak dahulu sampai sekarang. Tapi sayangnya, kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi primadona kajian keislaman di Indonesia. Padahal, sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam umumnya dan syariat khususnya, hadis seharusnya menduduki posisi penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, hadis tidak boleh diabaikan. Karena itu, hadis di tengah masyarakat Islam perlu dikaji.1 Memahami dan menjabarkan prinsip umum ajaran Islam berikut penjelasannya akan menemukan kesulitan, jika tanpa bantuan hadis-hadis Nabi Saw yang diyakini sebagai penjelas. Maka, sebuah kemestian jika kemudian di Indonesia bermunculan para tokoh-tokoh yang secara intens ataupun tidak yang memasyarakatkan atau mengembangkan hadis, baik secara individual ataupun kelompok.
1
Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam”, al-Bayan; Jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, Vol: IV, No: 4, Malaya, April 2006, h. 63.
1
2
Dari uraian di atas dapat kita pahami dari arti kebutuhan masyarakat Islam di Indonesia terhadap pengetahuan ajaran Islam dengan baik khususnya dalam bidang kajian hadis, karena seseorang tidak hanya dituntut mampu memahami dan mendalami hadis Nabi saw dari segi matannya saja, juga dituntut untuk mengetahui tentang sanad dan para periwayatnya. Dalam kajian ini, pengetahuan tentang berbagai istilah, kaidah, metode penelitian dalam ilmu hadis yang berhubungan erat dengan hadis yang dikajinya itu perlu dipahami dengan baik. Karena cukup banyak dan rumit pengetahuannya yang berkaitan erat dengan hadis tersebut, maka dapat dimaklumi bila ulama dan para sarjana Islam yang memiliki keahlian tentang hadis relatif tidak banyak. Di Indonesia pun, ulama dan sarjana Islam yang ahli tentang hadis amatlah minim. Usaha untuk memahami hadis Nabi saw2 agar bisa dimengerti dan diamalkan secara benar juga banyak dilakukan. Mengetahui beragam fungsi yang Rasulullah saw perankan ikut menjadi faktor penting dalam menciptakan pemahaman yang baik. Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad saw. selain dinyatakan sebagai Rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa. 2 Memahami hadis Nabi dengan baik agar bisa diamalkan secara benar adalah satu hal yang harus dilakukan seorang muslim, walaupun Hadis merupakan wahyu sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam firmannya: إن ھﻮ إﻻ وﺣﻲ ﯾﻮﺣﻰ.“وﻣﺎ ﯾﻨﻄﻖ ﻋﻦ اﻟﮭﻮىDan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya,ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”. (QS. Al-Najm/53: 3-4). Menurut Syuhudi Ismail ada beberapa pengecualian tertentu dari keadaan Rasul yang tidak wajib diteladani. Yang disimpulkan dalam tiga hal, Pertama, karena adanya dispensasi dari Allah swt terhadap pribadi Rasulullah saw. Seperti Rasulullah saw beristri lebih dari empat. Kedua, yang berhubungan dengan masalah dunia. Sesuai sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah ra: أﻧﺘﻢ أﻋﻠﻢ ﺑﺄﻣﻮر دﻧﯿﺎﻛﻢ “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Contohnya pada waktu sebelum perang khandak, Rasul saw telah merencanakan taktik untuk melawan musuh, tetapi Salman al-Farisi ra mengusulkan kepadanya agar dibuat parit untuk melawan musuh. Ketiga, perbuatan yang bersifat manusiawi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), h. 51-52.
3
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Imran ayat 144 dan al-Kahf ayat 110:
. “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) ? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-Imran: 144).
. Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahf: 110). Menurut Yusuf al-Qardawî untuk memahami hadis secara baik dan benar harus memperhatikan perbedaan kewenangan Rasulullah saw. Selanjutnya menurut Mahmûd Syaltut, mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi saw. dengan mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan halhal itu sangat besar manfaatnya.
4
Dalam wacana kaijian hadis kontemporer di Indonesia dikenal beberapa nama. 3 Salah satunya adalah Ali Mustafa Yaqub. Beliau adalah ulama hadis di Indonesia yang cukup disegani dan diperhitungkan kredibilitas dan intelektualitasnya. Buku-bukunya banyak dibaca kaum muslimin Indonesia dewasa ini, baik yang berkaitan dengan Hadis, Fiqih dan Dakwah. Tidak kurang dari 32 karya Ali Mustafa Yaqub dalam bentuk buku beredar di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut Hidayat Nurwahid, buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal adalah buku fatwa khas Indonesia yang memang meng-Indonesia.4 Ali Mustafa Yaqub yang penulis ambil sebagai salah satu tokoh yang memahami kebutuhan umat Islam di Indonesia terhadap kajian hadis maupun Ilmu Hadis, melalui karya-karya inovatifnya yang telah dipublikasikan merupakan salah satu solusi kesulitan dalam memahami ajaran Islam. Kiranya sejalan dengan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji, selanjutnya penulis merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah judul skripsi ini yaitu: “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer Di Indonesia”. Alasan penulis memilih Ali Mustafa Yaqub sebagai tokoh yang dikaji, lebih didasarkan pada anggapan bahwa beliau banyak menekuni dan mendalami hadis, baik meneliti kualitasnya, menjelaskan makna dan 3
Seperti Mahmûd Yûnus, Syuhudi Ismâ’îl, Daud Rasyid, Lutfi Fathullah, Yunahar Ilyas, Abdul Qâdir Jawwâz, Afif Muhammad, ‘Abdurrahman, Muhibbin Noor, Ahmad Sutarmadi, dan masih banyak lagi. 4 Hidayat Nurwahid, “Pengantar” dalam Ali Mustafa Yaqub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 22.
5
kandungannya, dan mendidik Jama’ah (santrinya) untuk mendalami hadis dan Ilmu Hadis. Namun di sisi lain banyak juga yang mempermasalahkan kapasitas ilmiah dan kredibilitasnya dalam Ilmu Hadis. Sehingga muncul pendapat-pendapat, baik yang mendukung maupun yang menentang pemikirannya. Terlepas dari semua itu, peranan beliau dalam membumikan sunnah Rasulullah saw dengan kekhasan beliau perlu mendapat apresiasi.
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul permasalahan mendasar yang menjadi pokok (major research question) penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah dinamika kajian hadis kontemporer di Indonesia yang diperankan Ali Mustafa Yaqub ? pokok masalah tersebut selanjutnya dapat dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan (minor research questions) sebagai berikut: 1. Apa saja kontribusi dan gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub sebagai upaya pelestarian dan pengembangan pemikiran dan kajian Hadis di Indonesia ? 2. Bagaimanakah tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) akademisi maupun non akademisi terhadap gagasan pemikiran Ali Mustafa Yaqub ? Dari identifikasi masalah tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi batasan penulis, yaitu: Pertama, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia difokuskan kepada tiga tema, yaitu: 1.
6
Biografi Ali Mustafa Yaqub; 2. Sekilas Mengenai Kajian Hadis; 3. Pemikiran Ali Mustafa Yaqub dalam Pemahaman Hadis. Kedua, Komentar para tokoh yang relevan untuk mengetahui sejauh mana peranan dan kiprah Ali Mustafa Yaqub diakui masyarakat akademis. Maka rumusan masalahnya adalah apa “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia ?”
C. Kajian Pustaka Sejauh ini, penulis menemukan jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, dalam jurnal itu terdapat tulisan Ramli Abdul Wahid yang berjudul Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam; Pemikiran Syuhudi Ismail Tentang Hadis Nabi saw. Karya Arifuddin Ahmad. Di dalam tulisannya ini Arifuddin mengelaborasi pemikiran Ali Mustafa Yaqub tentang peran Ilmu Hadis dalam pembinaan hukum Islam. Tetapi karena kepentingan Arifuddin hanya untuk tinjauan pustaka disertasinya, sehingga tulisannya tentang Ali Mustafa Yaqub tersebut hanya sedikit saja dan tidak mendalam; Kajian Hadis di Indonesia: Profil Literatur Hadis di Indonesia Dari Tahun 1955 sampai tahun 2000 karya Andriansyah. Di dalam tulisannya ini, Andriansyah membahas tiga karya Ali Mustafa Yaqub, yaitu Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam, Kritik Hadis, serta Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis sebagai karya yang patut diperhitungkan dalam deretan literatur hadis di Indonesia. Namun Adriansyah sama sekali tidak membahas metodologi yang dipakai Ali Mustafa Yaqub di
7
dalam ke dua bukunya tersebut ataupun hal lain yang terkait dengan Ali Mustafa Yaqub. Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada. Kajian ini merupakan kajian tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia. Tidak sekedar mengemukakan kualitas dan kapasitas intelektual di bidang hadis, tetapi juga yang lebih utama adalah mengungkapkan peran dan pemikirannya.
D. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi ini adalah: 1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang berhubungan dengan hadis. 2. Mengetahui kontribusi dan gagasan-gagasan baru yang dikemukakan dan dilakukan tokoh-tokoh hadis di Indonesia dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub sebagai upaya pelestarian dan pengembangan hadis. 3. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) terhadap gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub dalam masalah hadis. 4. Tujuan akademis, yaitu memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.
8
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi yang memadai kepada para peminat dan pemerhati kajian hadis serta kepada masyarakat umum
mengenai Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap
Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, sebagai satu kajian terhadap tokoh-tokoh hadis melalui karya-karyanya, diharapkan muncul gambaran objektif dan penilaian yang jujur.
F. Metodologi Penelitian Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail dan dapat dipahami. Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research), yaitu sebuah penelitian berasal dari buku-buku karangan Ali Mustafa Yaqub dan buku-buku yang diberikan kata pengantar oleh Ali Mustafa Yaqub. Oleh karena itu sumber datanya diperoleh dari berbagai buku yang telah ditelaah oleh peneliti, sehingga dengan melakukan hal itu diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan valid tentang kajian yang sedang dibahas. Selanjutnya, pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
9
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 5 Atau dengan ungkapan lain menguraikan dengan kata-kata dan menganalisis satu persatu hal-hal yang menyangkut pokok permasalahan. Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007”.6
G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut: Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi, rumusan dan batasan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, untuk memberikan gambaran umum tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia maka pada pembahasan ini akan dipaparkan biografi Ali Mustafa Yaqub yang terdiri dari: sosio kultural, sumber pemikiran, aktivitas dan hasil karya, serta aliran theologi Ali Mustafa Yaqub. Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas sekilas mengenai kajian hadis yang terdiri dari: dua istilah yang popular, pembagian hadis, dan kajian hadis di Indonesia.
5 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Kaya, 2004), h. 4 6 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II (Jakarta: CeQda, 2007).
10
Bab Keempat, pemikiran Ali Mustafa Yaqub terhadap pemahaman hadis Nabi Muhammad saw secara tekstual dan kontekstual. Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab sebelumnya sembari menguraikan saran-saran atas permasalahan tersebut.
BAB II BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB
A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan Ali Mustafa Yaqub lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali tiap hari sehabis belajar di sekolah dasar (SD) di desa tempat kelahirannya, ia habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di lereng-lereng bukit pesisir Utara Jawa Tengah.1 Kebiasaan ini kelak membentuk karakter dan kepribadian Ali yang tegas, kritis, dan peduli. Ayahnya bernama Yaqub, seorang mubaligh terkemuka pada zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah, misinya “Menegakkan Amar Ma’ruf dan memberantas Kemungkaran”. Sejak matahari terbit sampai terbenam ayahnya melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas penduduk di lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang belum mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah dan kakeknya mendirikan sebuah pondok pesantren yang para santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah beliau mengajar tanpa pamrih dan hanya mengharap rida Allah swt, berjiwa besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah swt.2 Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan Ibu rumah tangga yang ikut membantu perjuangan suaminya (Yaqub). Ibu Ali meninggal pada 1
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 143. 2 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
11
12
tahun 1996. Beliau memiliki tujuh saudara, dari tujuh bersaudara tersebut, dua di antaranya meninggal dunia, dan yang masih hidup lima bersaudara, salah satu dari kakaknya yang bernama Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti jejak ayahnya sama seperti beliau, dan sekarang kakaknya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darus Salam di Batang, Jawa Tengah. 3 Semula Ali berminat ke pendidikan umum. Namun ayahnya memasukkannya ke pesantren. Setelah belajar di SD dan SMP di desa tempat kelahirannya, dengan diantar ayahnya ia mulai mondok untuk memperoleh ilmu agama di pesantren Seblak, Jombang, sampai tingkat Tsanawiyah. Rentang waktu 1966-1969. Kemudian ia nyantri lagi di pesantren Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari pondok Seblak, 1969-1972. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan menuntut ilmu pada program studi syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari Jombang dan selesai pada tahun 1975.4 Di Tebuireng ini ia banyak menekuni kitab-kitab kuning5 di bawah asuhan para kiyai senior antara lain: KH. Idris Kamali, KH. Adhlan Ali, KH. Shobari, dan KH. Syamsuri Badawi. Dari KH. Idris Kamali ia belajar ilmuilmu alat (bahasa Arab), hadis dan tafsir dengan metode sorogan (individual) dimana ia diwajibkan menghafal lebih dari sepuluh kitab, antara lain: Alfiyyah
3
Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 240. 5 Dinamakan kitab kuning karena buku tersebut dicetak di atas kertas berwarna kuning. Sebagian penerbit bahkan mencetak kitab di atas kertas berwarna kuning (yang diproduksi khusus untuk mereka oleh beberapa perusahaan Indonesia) karena tampaknya kitab berwarna kuning ini menjadi lebih klasik di pikiran para pemakainya. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 142. 4
13
Ibnu Malik, al-Baiqûniyyah, al-Waraqât, dan lain-lain. Sebagai prasyarat untuk boleh membaca kitab di hadapan beliau- dari KH. Adhlan ia belajar ilmu akhlak dan lain-lain. Dari KH. Shobari ia belajar ilmu hadis dan ilmu lain-lain. Sementara dari KH. Syamsuri Badawi ia belajar hadis dan ilmu usûl al-Fiqh. Di tebuireng dia juga pernah belajar dengan Abdurrahman Wahid (Gusdur)6 khususnya untuk bidang studi bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada.7 Di samping belajar, Ali Mustafa juga mendapat tugas mengajar di almamaternya tersebut untuk kajian kitab-kitab kuning dan bahasa Arab, sampai awal tahun 1976. Pada pertengahan tahun 1976 atas beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi, Ali Mustafa mencari ilmu lagi di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Imâm Muhammad bin Sa’ûd, Riyâd, Saudi Arabia, sampai tamat dengan ijazah Licance (Lc) tahun 1980. Masih di kota yang sama ia melanjutkan studi lagi di Universitas King Sa’ud Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985. Dipilihnya Fakultas Syari’ah (S1) dan Departemen Tafsir Hadis (S2) oleh Ali Mustafa bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya kedua ilmu ini (Syari’ah dan Hadis) sangat diperlukan masyarakat.8
6
Lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940, wafat di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun. Beliau adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Lihat Syamsul Hadi, Gus Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, (Jombang: Zahra Book, t.t.), h. 11. 7 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105. 8 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
14
Pada tahun-tahun Ali Mustafa kuliah di Saudi, program doktor belum dibuka pada Universitas-universitas di Riyâd. Hal tersebut karena rendahnya minat orang Arab Saudi untuk kuliah S2 waktu itu. Pihak universitas hanya bersedia untuk membuka program doktor dengan syarat mahasiswa asli Saudi harus lebih dari 50 persen. Tetapi, saat itu dari 20 orang mahasiswa program S2 di Universitas King Sa’ûd Riyâd hanya dua orang saja yang asli saudi sehingga program S3 tidak bisa diadakan. Kondisi ini membuat Ali Mustafa tidak bisa langsung melanjutkan kuliahnya pada program doktor, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia. 9 Baru pada tahun 2006 Ali Mustafa melanjutkan studi doktoralnya di universitas Nizamia Hyderabad India di bawah bimbingan M. Hasan Hitou,10 Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh universitas Kuwait dan Direktur lembaga studi Islam International di Frankfurt Jerman. Pada pertengahan tahun 2007 Ali Mustafa mampu menyelesaikan program doktornya pada konsentrasi Hukum Islam universitas tersebut.11
9
Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. M. Hasan Hitou adalah orang yang paling berperan besar dalam studi S3 Ali Mustafa di universitas Nizamia Hyderabad India. Kepakarannya dalam Fiqh Islam menjadi motivasi tersendiri bagi Ali Mustafa untuk secepatnya merealisasikan cita-citanya yang sempat tertunda sejak 1985. Bimbingan M. Hasan Hitou lah yang diharapkannya sehingga ia memilih kuliah S3 di India bukan di Timur Tengah. Wawancara Pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 11 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 10
15
B. Sumber Pemikiran Dalam perkembangan intelektual Ali Mustafa Yaqub, ada empat orang gurunya yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Pertama, Syamsuri Badawi, guru hadis dan Usûl Fiqh Ali Mustafa di pesantren Tebuireng Jombang. Dari beliaulah Ali Mustafa banyak belajar sikap tawâdû’, ikhlas, dan semangat untuk mendalami studi hadis. Dari beliau pula Ali memperoleh sanad hadis-hadis sahîh al-Bukhâri dan sahîh Muslim dengan cara ijâzah12 yang bersambung kepada Nabi saw melalui jalur Hasyim Asy’ari. Kedua, Idris Kamali, darinya Ali belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir. Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali Mustafa kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab. Ketiga, Muhammad Mustafa alA’zamî,13 guru hadis Ali Mustafa di Universitas King Sa’ûd Riyâd.
12
Ijazâh termasuk salah satu metode dalam al-tahammul wa al-adâ’ (belajar) dalam ilmu hadis. Hal ini diketahui dengan ungkapan seorang guru yang mengatakan, “Ajaztuka sahîh al-Bukhari”/Aku ijazahkan kamu sahîh al-Bukhâri. Dengan ungkapan itu, seorang yang mendapatkan ijazah telah mempunyai jalur sanad sebagaimana gurunya kepada pengarang kitab. 13 Muhammad Mustafa al-A’zamî, guru besar ilmu hadis Universitas King Sa’ûd, Riyâd, Arab Saudi adalah salah satu ulama pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan penting A’zamî adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris yang berjudul “Studies in Early Hadîtsh Literature” (1996), karena secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A’zamî secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang berjudul; On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. A’zamî telah berhasil menjaga hadis dengan argumentasi yang kuat dan ilmiah dengan meruntuhkan teori Projecting Back Joseph Schacht. Dimana menurut Schacht hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para qâdi (hakim agama). Para khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qâdi. Pengangkatan qâdi baru dilakukan pada masa dinasti Banî Umaiyah. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 25.
16
Dari para guru itulah Ali Mustafa banyak belajar keistiqamahan, semangat menulis karya ilmiah dalam bidang hadis, dan sikap kritis terhadap orientalis. A’zamî dalam pandangan Ali Mustafa adalah satu contoh ulama kontemporer yang punya karakter kuat. Walaupun kuliah di universitas Cambridge Inggris yang saat itu menjadi salah satu sarangnya orientalis, A’zamî sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi A’zamî justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1920-1969). Sikap kritik ilmiah A’zamî ini akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh orientalis sendiri seperti Arthur John Arberry (1905-1969).14 Selama 9 tahun kuliah di Arab Saudi, Ali Mustafa juga rajin menghadiri halâqah-halâqah di luar kampus, misalnya halâqah hadis al-Kutub al-Sittah yang diasuh oleh Abdul Azîz bin ‘Adullâh bin Bâz (w. 1999) yang berjarak 30 kilo meter dari tempat tinggal Ali di Riyâd. Nampaknya, dari interaksi dengan halâqah inilah Ali Mustafa mendapat inspirasi untuk mendirikan pesantren khusus hadis kemudian hari di tanah air. Di samping itu, Ali Mustafa juga menghadiri perkuliahan-perkuliahan yang dibawakan oleh ‘Abdul Azîz dan tokoh-tokoh lain. Kemampuan bahasa Inggris Ali Mustafa yang baik, menjadikan ia juga bisa mengkaji karya tulis para orientalis Barat dengan baik seperti buku-buku 14 A. J. Arberry adalah orientalis Inggris yang ahli di bidang tasawwuf Islam dan sastra Persia. Arberry tergolong orientalis yang bersikap netral terhadap ajaran Islam. Terbukti dengan usaha dia untuk menjelaskan hakikat Islam terutama pada orientalis sebelum memberikan justifikasi negatif atas ajaran Islam lewat menterjemahkan literatur-literatur Arab dan Persia ke bahasa Inggris, tetapi tidak diketahui dengan jelas apakah dia menganut agama Islam atau tidak. Lihat Abd al-Rahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis. Penerjemah Amroni Drajat, (Yogyakarta: LKis, 2003), h. 1-4.
17
Ignaz Goldziher (1850-1921), Joseph Schacht (1902-1969), David Samuel Margoliouth (w. 1940), Junyboll (L. 1935), A. Guillaume, dan lain-lain. Namun pembacaan tersebut bukan membuat Ali Mustafa menjadi terpengaruh oleh pemikiran mereka. Tetapi malah ia mencari karya tandingan sebagai komparasi terhadap teori-teori yang mereka bangun. Hal tersebut melahirkan sikap kritis Ali Mustafa terutama terhadap orientalis. Sikap kritis Ali Mustafa tersebut banyak dipengaruhi oleh Mustafa al-Sibâ’î (Guru besar Universitas Damaskus) yang menulis buku al-Sunnah wa Makânatuhâ Fi al-Tasyrî’ al-Islâmi (1949), Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb yang menulis buku al-Sunnah Qabla Tadwîn (1964), dan Muhammad Mustafa al-‘Azami (l. 1932) yang menulis Studies in Early Hadith Literature (1966). Ali Mustafa sangat kagum terhadap pembelaan yang mereka lakukan terhadap hadis Nabi saw. Mustafa al-Sibâ’î dikenal dengan sikap berani dan sportif karena ia tidak segan dan gentar untuk mendatangi langsung Joseph Schacht di universitas Leiden Belanda untuk mendiskusikan keculasan dan ketidak jujuran Ignaz Goldziher dalam mengutip teks-teks sejarah. Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb menurut Ali Mustafa juga memiliki kontribusi besar dalam membela eksistensi hadis Nabi dari serangan orientalis. Sementara ‘Azami dalam pandangan Ali Mustafa adalah sosok intelektual yang istiqamah dan punya dedikasi tinggi terhadap usaha pembelaan atas ajaran Islam. Walaupun ia belajar di komunitas orientalis, namun ‘Azami sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi ‘Azami justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz Goldziher
18
(1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Sikap kritik ilmiyah ‘Azami ini akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh orientalis sendiri seperti Arthur John Arberry (1905-1969). Sikap kritis dan kritis Ali Mustafa tidak pandang bulu. Bukan hanya tokoh-tokoh orientalis yang menjadi sasaran kritiknya, ulama besar seperti Nâsir al-Dîn al-Bânî (w. 1999 M) tidak luput dari kritik tajam Ali Mustafa. Menurutnya, pemikiran al-Bânî banyak yang melawan arus. Hadis yang sudah di-sahîh-kan oleh ulama ahli hadis justru di-daif-kan oleh al-Bânî. Sebaliknya, ia juga sering men-daif-kan hadis yang sebelumnya sudah sahîh. Seperti fatwa al-Bânî tentang diharamkannya perhiasan emas yang melingkar, padahal fatwa tersebut bertentangan dengan hadis sahîh dan ijmâ’ ulamâ’.15
C. Aktivitas dan Karya Walaupun berniat untuk mengabdikan diri berdakwah di Indonesia Timur Papua, tetapi takdir berkata lain. Pertemuannya dengan Abdurrahman Wahid (Gusdur)16 ketika pulang dari belajar di Saudi Arabia pada tahun 1985 di kantor pengurus besar Nahdlatul Ulama (PB NU)17 merubah paradigma berpikir Ali Mustafa sejak masa kuliahnya itu. Menurut Gusdur, berdakwah tidak mesti harus ke Papua (Irian Jaya) apalagi Timor-Timor. Jakarta adalah medan dakwah yang juga butuh perhatian khusus. 15
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, h. 122-126. Gusdur atau Abdurrahman Wahid adalah guru Ali Mustafa Yaqub sejak tahun 1971 di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Dari Gusdur, Ali Mustafa belajar bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif alQur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105. 17 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis, h. 108. 16
19
Setelah pertemuan tahun 1985 dengan Gusdur tersebut, Ali Mustafa mengajar di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta untuk mata kuliah hadis dan ilmu hadis. Di samping sebagai dosen tetap IIQ Jakarta, beliau juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Pengajian tinggi Islam masjid istiqlal Jakarta. Dalam perjalanan karir dosennya, beliau juga pernah mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang telah menjadi UIN, Institut Agama Islam Shalahuddin al-Ayyubi (INNISA) Tambun Bekasi, pendidikan Kader ulama Hamidiyah, Jakarta, dan di berbagai majlis ta’lim. Tahun 1989. Beliau bersama keluarganya mendirikan pesantren Darus-Salam di desa kelahirannya, Kemiri. 18 Dalam keorganisasian, Ali pernah menjadi ketua umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyâd. Setelah kembali ke Indonesia Ali pernah menjadi pengasuh pesantren al-Hamidiyah Depok (1995-1997), juga pernah aktif sebagai anggota Komisi Fatwa MUI pusat sejak 1987 dan pada tahun 2005 menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI serta Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta. Selain itu, ia juga aktif mengajar hadis dan ilmu hadis di berbagai tempat. Ketika aktif dalam organisasi dakwah, tahun 1990-1996 Ali diamanahi menjadi Sekretaris Jendral Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin. Kemudian untuk periode kepengurusan 1996-2000 Ali diamanahi menjadi Ketua Dewan Pakar, merangkap Ketua Departemen Luar Negeri DPP Ittihadul Muballighin.
Ketua Lembaga
Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi), pengasuh Rubrik hadis majalah 18
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 240.
20
Amanah, dan pengasuh rubrik mudzakarah majalah Panji Masyarakat dan Wakil Ketua Dewan Syari’ah Nasional. Pada tahun 1997 ia mendirikan pesantren Darus Sunnah di Pisangan Barat Ciputat dengan spesialisasi hadis dan ilmu hadis. 19 Sekarang Ali Mustafa tercatat sebagai guru besar hadis pada Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta,20 pengasuh (Khadim Ma’had) pesantren Darus Sunnah. Imam Besar Masjid Istiqlal sejak 2005, anggota Lajnah Pentashih alQur’an DEPAG RI,21 anggota dewan Syari’ah Majlis al-Zikra, anggota dewan Syari’ah Bank Bukopin Syari’ah, pengasuh rubrik tanya jawab majalah Amanah, buletin Nabawi, pemateri hadis masjid Sunda Kelapa dan sebagainya. 22 Dalam dunia tulis menulis Ali Mustafa punya sebuah filosofi yang menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya yaitu, “Walâ Tamûtunna Illâ wa antum Kâtibûn”. “Pantang meninggal sebelum berkarya”. Menurutnya, tulisan akan menjadi guru lintas generasi; sedang kata-katanya hanya untuk orang waktu yang terbatas. Buku akan selalu bisa dibaca oleh banyak orang di
19
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 240. 20 Pengukuhan Ali Mustafa sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hadis IIQ Jakarta dilangsungkan pada hari kamis, 14 Sya’ban 1419 H bertepatan dengan 3 Desember 1998. Orasi ilmiah Ali Mustafa ketika pengukuhan tersebut berjudul “Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam”. Di depan sidang senat IIQ Jakarta yang dipimpin oleh Ibrahim Hosen (Rektor IIQ dan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat pada waktu itu) Ali Mustafa resmi dikukuhkan sebagai guru besar. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis, h. XX. 21 Anggota lainnya adalah Muhammmad Quraish Shihab, Sayyid Muhammad Sara, Khatibul Umam, Ali Audah, Ahsin Sakho Muhammad, Muhammad Ardani, Rif’at Syauqi Nawawi, Salman Harun, Faizah Ali Syibromalisi, Mujahid AK, Syibli Syarjaya, Abdul Muhaimin Zain, Badri Yunardi, Mazmur Sya’rani, Muhammad Syatibi al-Haqir, Bunyamin Surur, Ahmad Fathoni, Ali Nurdin, dan Ahmad Husnul Hakim. Lihat al-Qur’ân al-Karîm Edisi Doa, (Jakarta: PT. Cicero, 2007). 22 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.
21
setiap waktu. Dalam sebuah syair yang beliau gubah, Ali Mustafa mengungkapkan:
’
’
“Karya-karya tulis akan kekal sepanjang masa sementara penulisnya hancur terkubur di bawah tanah.”23 Berdasarkan spesifikasi keilmuan, Ali Mustafa adalah seorang pakar hadis, tetapi karya yang telah beliau hasilkan tidak hanya terbatas pada kajian hadis saja, tetapi pada kajian keilmuan lainnya juga, seperti Aqidah, Fiqih, Dakwah, dan Tafsir. Sampai tahun 2009 telah berjumlah 27 judul bukunya yang telah diterbitkan. Dalam bidang kajian hadis, karya tulis Ali Mustafa meliputi: Imam Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis (1991); Kritik Hadis (1995); Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (1999); MM A’zamî Pembela Eksistensi Hadis (2002); Hadis-Hadis Bermasalah (2003); dan Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003). Dalam bidang Fiqih meliputi: Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2009); Nikah Beda Agama Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2005); dan Imam Perempuan (2006). Dalam bidang Dakwah meliputi: Nasihat Nabi Kepada Pembaca Dan Penghafal al-Qur’an (1990); Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (1997); Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2000); Pengajian 23
Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. v.
22
Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010). Selain kajian di atas, ada beberapa buku Ali Mustafa yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai materi bahasan seperti al-Qur’ân, Tafsir, Hadis, Sirah Nabi saw, Dakwah, Aqidah, Tarbiyah, Fiqih, Tanya Jawab Keagamaan, dan lain-lain. Tulisan-tulisan tersebut pernah dimuat di berbagai media massa, baik surat kabar maupun majalah yang terbit di Jakarta. Tulisantulisan itu sebagian ada yang berasal dari makalah-makalah yang disampaikan Ali Mustafa dalam berbagai seminar, simposium,24 lokakarya, temu ilmiah, dan ada juga yang berasal dari Tanya jawab yang diasuh oleh Ali Mustafa di majalah. Buku-buku tersebut meliputi: Islam Masa Kini (2001); Fatwa-Fatwa Masa Kini (2002); Haji Pengabdi Setan (2006); Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007); Provokator Haji (2009); Islam Between War and Piace (2009); dan Islam di Amerika (2009). Ali Mustafa juga telah menerjemahkan beberapa buku karya ulamaulama terkenal yang menurut beliau memiliki manfaat dan dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat. Yaitu: Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih Bahasa dari al-Bayanuni, Jakarta: 1986); Bimbingan Islam Untuk Pribadi Dan Masyarakat (Alih Bahasa dari Mohammad Jameel Zino, Saudi Arabia: 1418 H); Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (Alih Bahasa Dari Abd al-Rahman al-Khumais, Jakarta: 2001); Aqidah Imam Empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Abd al-Rahman al-Khumais, Jakarta: 24
Pertemuan yang didalamnya ada beberapa pidato singkat tentang suatu topic. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena, h. 711.
23
2001); dan Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Alih Bahasa dari Muhammad Mustafa A’zami, Jakarta: 1994). Dari sekian banyak karya tulis Ali Mustafa, yang menjadi karya monumentalnya dan sekaligus menjadi masterpeacenya adalah buku Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif alQur’an dan Hadis (Jakarta: 2009). Buku ini diangkat dari disertasi Ali Mustafa untuk memperoleh gelar Doktor dalam hukum Islam dari Universitas Nizamia, Hyderabad India dengan judul asli “Ma’âyîr al-Halâl wa al-Harâm fi al-At’imah wa al-Asyribah wa al-Adwiyah wa al-Mustahdarât al-Tajmilah ‘Alâ Daw’ al-Kitâb wa al-Sunnah”.25 Buku yang dicetak dalam dua bahasa (Arab dan Indonesia) ini diberi pengantar oleh Wahbah al-Zuhaili pakar Fiqih dan Usûl Fiqih paling populer saat ini. 26 Dalam buku ini dan buku-buku Ali Mustafa lainnya, tampak dengan jelas kalau beliau adalah seorang ahli hadis. Mentakhrij hadis adalah salah satu aktifitasnya yang paling menonjol. Langkah-langkah “takhrîj” yang ia tempuh merujuk kepada kitab Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd karya Mahmûd al-Thahhân. Dalam kajiannya Ali Mustafa mengkombinasikan antara kritik sanad 25
(kritik ekstren) dan kritik matan (kritik intern) dengan
Sidang Munâqasyah yang dilakukan oleh tim penguji internasional, dipimpin oleh M. Hassan Hitou, Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh Universitas Kuwait yang juga Direktur lembaga studi Islam di Frankfurt Jerman. Para anggota penguji terdiri dari: Taufi Ramadân al-Bûti (Guru Besar dan Ketua Jurusan Fiqih dan Usûl Fiqh Universitas Damaskus, Syria), Mohammed Khaja Sharief M. Shahabuddin (Guru Besar dan Ketua Jurusan Hadis Universitas Nizamia, Hyderabad, India) dan Saifullah Mohammed Afsafullah (Guru Besar dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Nizamia). Mereka menyatakan Ali Mustafa Yaqub lulus dan berhak menyandang gelar doctor. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Ikhtisar Kriteria HalalHaram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: t.pn, 2008); Hasil Pengamatan pribadi, Jakarta, Juni 2008. 26 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. vii.
24
menggunakan kaedah umum takhrîj hadis sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Thahhân dan ulama-ulama lainnya. Dalam memberikan penilaian terhadap kualitas sebuah hadis (sahîh, hasan, atau da’if), Ali Mustafa menukil pendapat-pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimîn) seperti al-Tirmidzî, Ibn Hibbân, al-Baihaqî, Ibn al-Jauzî, dan pendapat ulama mutaakhirîn seperti al-Dzahabî, al-Zaila’î al-Haytsamî, Ibn Hajar, al-Sakhâwi, al-Suyûtî, dan al-Munâwî. Ia juga mengutip pendapat ulama kontemporer seperti al-Bâni, Ahmad Syâkir, al-Arna’ût dan lainnya. Ali Mustafa juga sering melakukan ijtihad mandiri dalam menentukan kualitas suatu hadis dengan mengkomparasikan pendapat-pendapat ulama jarh dan ta’dil tersebut. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama jarh wa ta’dil mengenai kualitas seorang râwi, maka ia mengkomparasikan antara ulama mutasyaddidûn27, mutawassitûn28, dan mutasâhhilûn29.
D. Aliran Theologi Walaupun Sembilan tahun belajar di Riyâd, Ali Mustafa tidak terkontaminasi dengan lingkungan sekitar di Riyâd. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ali Yafie (mantan ketua MUI) yang banyak memberikan penilaian positif dengan mengatakan, “Meskipun tercatat sebagai salah seorang alumnus Timur Tengah, yang sering diklaim sebagai daerah yang
27 28
Adalah ulama yang dikategorikan sangat ketat dalam menilai seorang rawi hadis. Ulama yang dikategorikan moderat (pertengahan) dalam menilai seorang rawi
hadis. 29
Ulama yang dikategorikan agak longgar dalam menilai seorang rawi hadis.
25
jumud, statis dan cenderung agak keras dalam menyikapi berbagai fenomena keagamaan, tak menjadikan beliau (Ali Mustafa) bersikap keras”.30 Sepertinya, interaksi Ali Mustafa dengan tradisi pesantren NU Tebu Ireng Jombang dari jenjang SMA sampai universitas (1969-1975) menjadi salah satu penyebabnya. Di sini beliau banyak dididik untuk menghargai perbedaan. Demikian juga bimbingan Muhammad Mustafa A’zami selama di Riyâd, semakin memperkuat jiwa moderat dan toleran Ali Mustafa. Hal ini ditambah lagi dengan interaksi Ali Mustafa dengan tokohtokoh ulama Syiria (2003) seperti Muhammad Hasan Hitou, Wahbah Zuhailî, Badî’ Sayyid al-Laham dan Taufîq bin Ramadân al-Bûti. Dengan berguru bersama mereka Ali Mustafa semakin banyak belajar sikap toleransi dalam perbedaan dan budaya menghargai dalam keberagaman. Secara teoritis sikap egaliter ini seharusnya memang harus dilakukan oleh setiap muslim secara luas, baik dalam kehidupan individu dan sosial. Karena antara aspek religius, sosial, dan konsep kesederajatan dalam Islam berkaitan erat satu sama lainnya. 31 Dalam banyak hal, sikap ulama Saudi memang dikenal tegas dan kurang mengenal kompromi dalam perbedaan terutama sejak Abd al-‘Azîz bin Bâz menjadi mufti umum kerajaan pada tahun 1395 H. Pada masa tersebut buku-buku anti bid’ah seperti al-Bida’ wa al-Muhdatsât karya Abd al-‘Azîz bin Bâz dan kawan-kawan tersebar secara luas ke berbagai negara muslim. Buku tersebut banyak berbicara tentang hal-hal yang oleh penulisnya dianggap 30
Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta, 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari
31
Loise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, (Bandung: Mizan, 1999), h. 7.
2002 M.
26
bid’ah yang sesat walaupun di dalam perbuatan tersebut ada unsur-unsur kebaikannya. Seperti zikir berjama’ah, membaca wirid pagi dan sore secara berjama’ah, merayakan maulid Nabi saw, merayakan isrâ’ mi’râj, merayakan nuzûl al-Qur’ân, fotografi, isbâl, dan lain-lain. 32 Dalam hal ini Ali Mustafa lebih memilih sikap moderat. Ia berpandangan bid’ah bukanlah pendapat yang berbeda karena lahir dari konsekuensi adanya ijtihad. Namun bid’ah dalam ibadah adalah amalanamalan yang tidak ada dalilnya. 33 Oleh karena itu, menurutnya zikir berjama’ah, perayaan isrâ’ dan mi’raj, maulid Nabi saw, nuzul al-Qur’an, qunut subuh terus-menerus, berdo’a berjama’ah selesai salat, tidaklah termasuk bid’ah yang sesat.34
32
Abd al-Azîz bin Bâz dkk, al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed., Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, (Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999), h. 201. 33 Ahmad Dimyati Badruz Zaman, Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Republika, 2003), h. Xxxiv. 34 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Antar Umat Beragama, h. 10; Islam Masa Kini, h. 48.
BAB III SEKILAS MENGENAI KAJIAN HADIS
A. Dua Istilah Yang Populer Dalam buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Kritik Hadis disebutkan bahwa: “untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, ada dua istilah yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, pertama: Hadis, dan kedua: Sunnah. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang definitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi Hadis Nabi atau Hadis Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar itu, masih ada istilah lain, yaitu khabar (berita), dan atsar (peninggalan). Namun kedua istilah ini tidak berkembang. Dari sudut kebahasaan (etimologis), kata Hadis (aslinya tertulis: Hadith atau Hadits), berarti baru. Arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata Qadîm (lama, dulu) yang menjadi sifat Kalam Allah (al-Qur’an), karena hadis sebagai sabda Nabi saw memiliki sifat baru, yaitu didahului oleh sifat ‘tidak ada’. Sementara kalam Allah (alQur’an) tidak demikian, ia tidak didahului dengan ‘tidak ada’”.1 Hadis berasal dari bahasa Arab ( اﻟﺤﺪﯾﺚal-Hadîs); jamaknya adalah ( اﻷﺣﺎدﯾﺚal-Ahâdîts). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti di antaranya: ( اﻟﺠﺪﯾﺪal-jadîd) yang berarti baru, lawan dari kata ( اﻟﻘﺪﯾﻢal-qadîm) berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, itu adalah hadis (baru) sebagai lawan dari wahyu Allah (kalam Allah) yang bersifat qadîm. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, beliau mengatakan hadis berarti sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah, hadis diberi pengertian yang berbeda-beda oleh ulama.
1
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 32.
27
28
Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis yang dikutip oleh Usman Sya’roni dalam kitab ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu karya Subhî al-Sâlih adalah:
.
’ “Semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, dan sifat.”2 Menurut Ibn al-Subkî (w. 771 H = 1370 M), hadis adalah segala sabda
dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Beliau tidak memasukkan taqrîr Nabi Muhammmad saw sebagai bagian dari rumusan definisi hadis. Sementara pendapat masyhur ulama mengatakan hadis adalah segala sabda, perbuatan, taqrîr, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam kategori yang keempat, yaitu hal-ihwal Nabi Muhammad saw, di luar jazirah Arab lebih banyak ditinggalkan karena dipandang sebagai pengaruh budaya Arab bukan bagian dari ajaran Islam, sehingga meninggalkan hal tersebut bukan berarti meninggalkan ajaran Islam tetapi hanya meninggalkan budaya Arab.3 M.M. Azamî dalam kitabnya Dirâsât fi al-Hadîth al-Nabawi wa Târîkh Tadwînih berpendapat tentang pengertian sunnah Menurut ahli hadis, sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun
2 Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 3. 3 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 6.
29
sesudahnya. Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim dengan hadis.4 Sejumlah ahli hadis berpendapat bahwa hadis adalah sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw. Sedang ahli-ahli hadis yang lain berpendapat bahwa hadis tidak hanya berarti sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw saja, tetapi mencakup perkataan, pekerjaan dan ketetapan sahabat dan tabi’în.5 Sedangkan kata Sunnah, secara etimologis berarti ‘tata cara’. Menurut Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata ‘sunnah’ pada mulanya berarti ‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka. Sementara al-Razi, penulis kamus Mukhtar al-Sihah menuturkan bahwa ‘sunnah’ secara kebahasaan berarti ‘tata cara dan prilaku hidup’ (al-tariqah dan al-sirah). Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan ‘Sunnah alIslam’ atau ‘Sunnah’ saja, sebagai lawan dari bid’ah (tata cara yang tidak dikenal dalam Islam). 6 Adapun pengertian sunnah menurut ahli hadis yang terdapat dalam buku otentisitas hadis menurut ahli hadis dan kaum sufi karya Usman Sya’roni adalah:
’ . 4
M.M. ‘Azamî, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj: Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 14. 5 M.M. ‘Azamî, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj: Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 644. 6 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 32.
30
“Sunnah adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, (perangai atau jasmani), tingkah laku, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya”.7 Dari sudut terminologis, para ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis dan sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun prilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya. 8
B. Pembagian Hadis Yang dimaksud dengan pembagian hadis di sini adalah pembagian hadis dilihat dari kualitasnya. Penulis mengutip dari pendapat al-Ghazâli yang menyepakati berbagai rumusan yang telah dibuat oleh jumhur ulama ahli hadis, bahwa setelah diadakan seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis Nabi dari zaman ke zaman yang telah dilakukan oleh para ulama dari periode ke periode berikutnya, akhirnya hadis-hadis tersebut terkumpul dalam kitab-kitab hadis, yang dari segi kualitasnya terdiri dari hadis sahih, hasan, da’if dan mawdu’.9
7
Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 5. 8 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 33. 9 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 272.
31
Istilah mutâwâtir dan ahâd pada awalnya lebih akrab dalam pembicaraan fuqahâ’ dan usûliyyûn.10 Imâm al-Syâfi’î (w.204 H) masih menggunakan istilah khabar ‘âmmah (berita umum) dan khabar khâsah (berita perorangan) dalam karya risalahnya. Ibnu Hibbân (w. 354 H) yang mengalami kampanye hadis ahâd oleh ulama Mu’tazilah semacam Abû ‘Ali al-Jubbâ’i (w. 303 H) dan sebelumnya oleh al-Nazâm (w. 223 H) serta Qasyâni, belum merasa perlu terlibat membahas kriteria mutawâtir dan ahâd. Ulama Muhaddîtsîn yang mulai bergabung membicarakannya adalah Imâm alHâkim (w. 405 H), kemudian Ibn Abd al-Barr (w. 463 H) dan Khâtib alBaghdâdi (w. 463 H).11 Sementara pembagian hadis dilihat dari periwayatannya menurut pendapat al-Ghazali, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli hadis, yang terbagi pada hadis mutawâtir dan ahâd,12 hadis-hadis ahâd walaupun sanad-nya sahîh-kehilangan validitas (ke-sahîh-annya) apabila terdapat padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz atau ‘ilah qadihah. Misalnya, ia mengemukakan contoh bahwa Abû Hanîfah menolak hadis yang menyatakan bahwa “seorang muslim tidak boleh dibunuh sebagai hukuman atas perbuatannya membunuh seorang kafir”, walaupun hadis ini sahîh sanadnya. Hal ini bertentangan dengan nas al-Qur’an tentang qisas yang tercantum dalam ayat 45 surat al-Maidah. Bahkan atas dasar ini, para pengikut
10
Ibn al-Salâh, Muqaddimah Ibn Salâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, h. 169. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 131. 12 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 273. 11
32
madzhab Hanafî mengutamakan penafsiran ayat al-Qur’an tersebut di atas hadis ahâd. Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek penduduk kota Madinah di atas hadis ahâd seperti itu, dengan alasan bahwa praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih dekat kepada sunnah nabawiyah ketimbang apa yang hanya dirawikan oleh perorangan. 13 Prasarat minimal untuk memenuhi kriteria mutawâtir adalah jumlah banyak perawi berimbang pada generasi sahabat selaku saksi primer, generasi tâbi’în, dan tâbi’ al-tâbî’în selaku penyambung transmisi periwayatan, sehingga
mereka
mustahil
bersepakat
berbohong.14
Untuk
generasi
sesudahnya karena sudah membudaya proses belajar mengajar hadis memanfaatkan jasa (media) dokumen kitab, maka tak penting lagi pelacakan jumlah tersebut. Al-Suyûti menyatakan 10 orang untuk setiap generasi periwayat. 15 Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh sembilan orang saja dalam salah satu jenjang periwayatannya meskipun dalam jenjang yang lain jumlah itu mencapai seratus orang rawi misalnya, maka hadis tersebut tetap disebut hadis ahâd, karena persyaratan sepuluh orang itu tidak terpenuhi dalam semua jenjang. 16 Sementara itu, ahâd secara kebahasaan berarti wâhid (satu). Dalam terminologi ilmu hadis, hadis ahâd adalah hadis yang diriwayatkan satu orang atau lebih dalam setiap jenjang (tabaqah) periwayatannya, dan jumlah itu
13
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 273. 14 Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h. 452. 15 Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002), h. 177. 16 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 132.
33
tidak mencapai jumlah periwayat yang ditentukan dalam hadis mutawâtir.17 Jelasnya, hadis ahâd itu diriwayatkan dari Nabi saw. oleh satu orang sahabat atau lebih, kemudian dari mereka hadis itu diriwayatkan oleh satu orang tâbi’i (murid sahabat) atau lebih, dan seterusnya. Namun jumlah mereka dalam setiap jenjang nya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadis mutawâtir. Imâm Ibn Hazm (w. 456 H) menegaskan, umat Islam secara keseluruhan, baik ahlussunnah, khawârij, syî’ah maupun qadâriyah menerima hadis ahâd sebagai hujjah. Baru pada awal abad kedua hijriyyah para ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi dengan mengatakan bahwa hadis ahâd tidak sah dijadikan hujjah dalam agama. 18 Bila ditelusuri mayoritas fuqaha’ dengan mengecualikan al-Jubbâ’i dari Mu’tazilah sepakat mengakui kehujjahan hadis ahâd. Persyaratan yang harus terpenuhi sangat bervariasi antara fuqaha’ berbagai madzhab. 1) Hanâbilah:
mencukupkan
dengan
kesahihan
sanad;
2)
Syâfi’iyyah:
mensyaratkan a). sanad harus sahîh, baik periwayat faqîh dan ‘âlim atau tidak. b). perawi harus hâfiz dan dâbit. c). hadisnya tidak kontradiksi dengan hadis lain yang sanadnya terdiri dari para pakar hadis; 3). Mâlikiyyah mensyaratkan: substansi hadis ahâd tersebut tidak bertentangan dengan praktek keagamaan warga Madinah;19 4). Hanâfiyyah mensyaratkan: bahwa prilaku perawi harus
17
Mahmûd Tahhân, Taisîr Mustalah al-Hadîts, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 22. Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002), h. 73. 19 Mustafa Sa’îd al-Khinn, Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982), h. 411-412. 18
34
sejalan
dengan
hadis
yang
ia
riwayatkan,
sebab
penyimpangan
mengindikasikan nasakh. Bila perawi bukan seorang faqîh dan cara pengungkapan hadis dengan penyaduran (riwayat bi al-Ma’na), substansi hadis tidak boleh menyalahi qiyas serta prinsip-prinsip syari’ah secara umum.20 Di dalam buku Otentisitas Hadis karya Badri Khaeruman disebutkan bahwa, al-Ghazali merinci lebih jauh penjelasan para ulama tentang syarat kesahih-an suatu hadis sebagai berikut: 1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya. 2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan. 3. Kedua sifat tersebut di atas (point 1 dan 2) harus dimilki oleh masingmasing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak dianggap mencapai derajat sahîh. 4. Mengenai matn (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya). 5. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya). Dengan demikian, al-Ghazali mengakui adanya hadis ahâd dan mutawâtir. Ini menunjukkan bahwa al-Ghazali mengakui adanya pembagian hadis, yakni bahwa hadis itu ada yang mutawâtir dan ada yang ahâd, jika dilihat dari segi periwayatannya. Sedangkan dilihat dari segi kualitasnya, tentu
20
472.
Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h. 471-
35
saja al-Ghazali mengakui adanya hadis sahîh, hasan, da’if, dan bahkan hadis mawdu’.21
C. Kajian Hadis di Indonesia Melacak kajian hadis di Indonesia, tidak akan terlepas dari perkembangan hubungan antara Muslim di kepulauan Nusantara ini dengan pusat pendidikan Islam yang ada di Timur Tengah, yang menurut Azyumardi, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan masa yang panjang dan dinamis dalam sejarah sosio-intelektual kaum Muslim. 22 Hal tersebut kemudian didukung oleh semakin kuatnya semangat baru dalam keagamaan (religious revivalism) di sebagian besar kepulauan Nusantara,
seperti
Jawa
dan
Sumatera.
Penyebabnya
antara
lain
berkembangnya hubungan laut antara Eropa dan Asia (dan tentunya dengan Jawa), terutama setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, yang melancarkan proses penyebaran Islam ke daerah-daerah pedesaan di Jawa. Untuk beberapa puluh tahun terakhir di abad ke-19, Jawa seolah-olah dilanda oleh intensitas kehidupan Islam.23 Di samping itu, perkembangan selanjutnya yang cukup penting ialah sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali anakanak muda dari Jawa yang menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuan mereka.
21
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 274-275. 22 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1994), h. 15 dan 23. 23 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 133.
36
Bahkan, banyak di antara mereka yang menjadi ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah atau di Madinah. Karena para ulama dari Jawa ini turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang berpusat di Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di Nusantara. Semakin kuatnya keterlibatan mereka dalam kehidupan intelektual dan spiritual Timur Tengah, Islam di Nusantara, dan semakin jelas di Jawa menyebabkan hilangnya sifat-sifat lokal dan titik beratnya pada aspek tarekat semakin berkurang (walaupun tidak berarti hilang sama sekali). 24 Pada akhir abad ke-19, terdapat beberapa ulama kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di masjid al-Haram di Makkah, seperti Syekh Nawawi (Banten) dan Syekh Mahfudz dari Tremas (w. 1919/ 20 M), Perkembangan pemikiran ‘ulum alHadis di Indonesia tidak akan terlepas dari pengaruh pendidikan ulama Indonesia di Timur Tengah, khususnya di Haramayn. Sedikitnya karya ulama Indonesia dalam bidang hadis dan ulum alHadis, menjadikan semakin sulitnya melacak informasi kekuatan dari pemikiran ‘ulum al-Hadis di Indonesia. Bahkan, Dalam penelitian Martin, dijelaskan bahwa perhatian ulama Indonesia pada pelajaran hadis dan ulum alHadis sama sekali baru. Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini ialah bahwa para pelajar dari berbagai daerah di Nusantara yang melanjutkan pelajaran di Makkah biasanya baru dapat menyempurnakan pelajaran mereka
24
Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 134.
37
setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa.25 Pada dasarnya, hampir semua kajian ke-Islam-an sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis, ilmu hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi saw masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Mustalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi. Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar
25
Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 134.
38
merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.26 Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya larangan ini dihapus.27 Kajian hadis sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad (abad 13-19 H). Namun, kembali menggeliat pada saat seorang orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadis dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien (Studi Islam).28 Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas hadis seperti yang telah ditetapkan ulama-ulama hadis terdahulu.29 Pada dasarnya, “Kritik Hadis” yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw telah dimulai oleh para ulama. Bahkan hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa Nabi Muhammad saw. maupun
26
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 1. Misalnya hadis yang dinukil oleh MM. Azami dalam bukunya Studies In Early Literature, (terjemah oleh Ali Mustafa Yaqub) dari Sa’id bin Khudari yang berbunyi: “Jangan kamu tulis ucapan-uacapanku, barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur’an maka hendaknya ia menghapusnya……meskipun nantinya hadis ini dinaskh oleh hadis lain. 28 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 8. 29 Manna’ Al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Hadis mengatakan bahwa syarat diterima tidaknya sebuah hadis ada lima, pertama, sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, kedua, rawinya adil, ketiga, rawinya dabit baik dabit secara hafalan maupun tulisan, keempat, tidak ada cacat/’illat dalam matannya, kelima, tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih unggul. (hal.117). 27
39
masa sahabat. Namun hal tersebut masih terbatas pada kritik matan hadis. Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oeh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, metode kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosiolokultural, dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî dimana menurutnya, al-Bukhârî hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Goldziher, hadis itu ternyata palsu.30 Goldziher juga orang pertama yang menuduh al-Zuhri sebagai seorang pembuat hadis palsu. Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits” dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif (ma’rifah), yaitu “al-ahadits”. Sepertinya Ini bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai “al”. pengertian ucapan al-Zuhri yang asli
30
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 15.
40
adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada saat itu.31 Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujukan utama yang harus dibaca oleh setiap orientalis dan buku ini juga dianggap sakral oleh mereka sehingga kritik dan meragukan keilmiahannya harus diberangus dari dunia. Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadis oleh orientalis dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan hasil kajian tentang hadis Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadis nabawi terutama yang berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriyah. 32 Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori “Projecting Back” yaitu memproyeksikan periwayatan hadis kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia menyatakan bahwa isnâd, yakni rangkaian para periwayat hadis yang menjadi sandaran ke-sahîh-an sebuah matan hadis memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Menurutnya isnâd berawal dari bentuk yang 31 32
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 10. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 20.
41
sederhana , lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrindoktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi saw. Inilah yang dinamakan teori projecting back.33 Kritik hadis yang menjadi corak utama kajian hadis kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori common link-nya. Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.34 Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cummatn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem
33 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 2. 34 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. x.
42
penanggalan hadis ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah (historical approach). Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadis dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnâd yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnâd hadis itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.35 Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadis. Ini dapat dilihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak berkembang dewasa ini. Kajian terhadap hadis dalam karya-karya itu, pada umumnya bersifat filosofis. Kajian yang didasarkan pada pendekatan murni ilmiah, baru terjadi pada abad 19 M, yang dilakukan oleh para orientalis. Namun umumnya hasil studi mereka khususnya terhadap hadis, kurang bias diterima oleh umat Islam. Karena mereka selain bukan muslim, juga konklusi mereka terhadap hadis nabawi umumnya negatif, sehingga menyentuh emosi umat Islam, yang pada gilirannya mendapat sanggahan negatif pula dari kalangan penulis muslim, sehingga nilai-nilai ilmiah menjadi terabaikan.
35
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 3.
43
Namun ada satu buku yang menyanggah pandangan kaum orientalis terhadap hadis yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan dipuji oleh banyak kalangan, baik muslim maupun non muslim, yaitu buku: Studies in Early Hadith Literature,36 karya Muhammad Mustafa ‘Azamî, seorang cendekiawan muslim kelahiran India pada tahun 1932. Ia adalah guru besar ilmu hadis di Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia, yang lebih dikenal dengan M.M. ‘Azamî. Buku tersebut semula merupakan disertasi M.M. A’zamî di Universitas Cambridge, Inggris, pada tahun 1965 / 1966. Sumbangan pemikiran M.M. A’zamî pada masa awal (pra-Goldziher), disimpulkan bahwa hadis bukanlah ucapan atau perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad saw. Konsekuensi dari anggapan ini adalah penolakan atas hadis sebagaimana didefinisikan oleh ulama muhadditsin, karena dipandang tidak pernah ada. Menurut mereka, hadis adalah karya manusia belaka, yang tidak memiliki kebenaran sama sekali. Periode kedua tentang penelitian hadis yang dilakukan oleh orientalis tercapai ketika Ignaz Goldziher menerbitkan karyanya, Muhammadenische Studien. Di samping bukunya yang lain, Die Zahiriten, karya tersebut adalah puncak tulisan-tulisan Goldziher.37
36
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diberi judul: Dirâsât fi alHadîth al-Nabawi wa Tarîkh Tadwînih, diterbitkan oleh Dâr al-Maktab al-Islami, Beirut pada tahun 1980. Pada tahun 1986, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Endang Nurjaman dan Endang Soetari Ad, namun tidak diterbitkan. Pada tahun 1994, diterjemahkan pula oleh Ali Mustafa Yaqub, dan diberi judul: Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994. 37 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 244.
BAB IV PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM PEMAHAMAN HADIS
Kemampuan Nabi berkomunikasi dengan komunitas Arab yang berbedabeda membawa dampak tidak hanya pada penelitian kualitas hadis, tetapi juga pada pemahaman matan hadis. Yakni selain memberikan peluang yang relatif luas terjadinya periwayatan makna, hal itu juga dapat menyebabkan adanya lafal yang berfariasi. Adakalanya berupa Jawâmi’ al-Kalim (ungkapan singkat namun padat makna), tamtsîl (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan, Qiyâs (ungkapan analogi), dan lain-lain.1 Perbedaan bentuk matan hadis menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi pun harus berbeda-beda. Dalam hal ini, Yûsuf al-Qardâwi merumuskan bahwa ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis nabi, yaitu tekstual dan kontekstual.2 Gejala awal pemahaman tekstual dan kontekstual ini telah muncul sejak zaman Nabi saw masih hidup. Hal tersebut dapat dilihat pada perbedaan para sahabat dalam menterjemahkan pesan Nabi, “Janganlah kalian salat Ashar kecuali di perkampungan Banî Quraizah”. 3
1
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, temporal dan lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 9. 2 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. Penerjemah Alwi. A.M (Bandung: Mizan, 2001), cet-9, h. 54. 3 Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahih al-Bukhâri, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb salâh al-tâlib wa al-matlûb râkiban wa îmâ’an, hadis nomor 904, j. 1. H. 321.; Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim, bâb al-mubâdarah bi al-Ghazw, hadis nomor 1770, j. 3, h. 1391.
44
45
Berdasarkan realitas sejarah di atas, penulis akan mencoba memetakan pada bab ini tentang pemahaman tekstual dan kontekstual yang akan digali dari buku-buku yang pernah ditulis oleh Ali Mustafa Yaqub. A. Tekstual Tekstualis (zâhiri) adalah orang-orang yang hanya berpegang kepada nas-nas secara harfiah, tanpa mendalami maksud kandungan serta tujuannya. Kelompok tekstualis menolak mempertimbangkan alasan, motivasi, dan latar belakang hukum, dan menyamaratakan antara adat dan ibadah dalam satu rangkaian. 4 Jamal al-Din al-Qasimî dan Yusuf al-Qardawi menilai bahwa hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu motivasi cinta (adab kepada Rasulullah Saw) dan motivasi ibadah. Pertama, Motivasi cinta (adab kepada Rasulullah saw) seperti yang ditunjukkan oleh sebagian sahabat sejak Rasulullah saw masih hidup. Ibnu Umar merupakan potret utama dalam hal ini. Ketika Rasulullah saw pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan salat dua rakaat, maka Ibnu Umar melakukannya ketika ia melewati tempat itu.5 Kesetiaannya yang tinggi dalam mengikuti jejak langkah Rasulullah saw ini telah mengundang pujian dari Ummu al-Mukminîn ‘Āisyah ra, “Tak seorangpun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagai yang dilakukan oleh Ibnu Umar.”6
4
Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. h. 54. Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah. Penerjemah Mahyudin Syaf, dkk. (Bandung: CV. Diponegoro, 2002), h. 121. 6 Khâlid Muhammad Khâlid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat, h. 121. 5
46
Kedua,
Motivasi
Ibadah,
misalnya
seorang
muslim
yang
memendekkan pakaiannya (sarung, baju gamis dan celana) karena ingin mengikuti sunnah, menjauhkan diri dari tuduhan melakukan kesombongan, atau menghindari perbedaan pendapat, maka ia mendapat pahala. Tetapi dengan syarat ia tidak boleh memaksa orang lain melakukan seperti dirinya sendiri. Dan juga tidak boleh bertindak keterlaluan dalam mengkritik orang lain yang tidak melakukannya, karena adanya pendapat mujtahid lain yang berbeda, dan setiap mujtahid akan mendapat pahala atas ijtihadnya. 7 Namun
Muhammad
Abduh
seorang
tokoh
revivalis
modern
berpandangan bahwa tidak semua ucapan dan perbuatan Nabi saw memiliki kandungan hukum. Hanya para ahli fiqh tradisionalis ekstrim dari madzhab Zahiri dan sebagian pengikut Hanbali yang menyerukan bahwa mengikuti Nabi saw dalam setiap hal sebagai kewajiban. 8 Mereka juga terikat pada makna harfiah teks al-Qur’an dan hadis.9 Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hanbali10 (w. 241 H).
7
Yûsuf al-Qardâwi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa Dawâbit (Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi,1990), h. 108. 8 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah Jaziar Radianti, (Bandung: Mizan, 2000), h. 33. 9 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 151. 10 Ahmad bin Hanbal memiliki nama lengkap Abû Abdillah ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal al-Syaibani. Keluarganya pindah dari Marwa ke Baghdad pada waktu ibunya mengandung Imam Ahmad. Ia lahir pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 164 H di Baghdad dalam keadaan yatim. Imam Ahmad belajar hadis secara dikte kepada para guru-gurunya di Bagdad selama 7 tahun yaitu sejak berumur 15 tahun sampai umur 22 tahun. Setelah itu, ia pergi ke Kûfah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah Arab untuk menuntut ilmu. Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, h. 5. Ahmad bin Hanbal mempunyai kitab koleksi hadis yang memuat 40.000 hadis. Ia menulisnya berdasarkan musnad (kumpulan hadis) para sahabat dan menyusunnya berdasarkan tema-tema hadis. Namun Imâm Ahmad menyusunnya tidak berdasarkan urutan huruf hijaiyah atau huruf mu’jam, melainkan berdsarkan hal-hal yang bermacam-macam, di antaranya; keistimewaan para sahabat, daerah tempat tinggal sahabat, suku atau kabilah sahabat, dan lain sebagainya. Lihat Mahmûd al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid, (Riyâd: Maktabah alMa’arif, (1417 H/1996 M), h. 42.
47
Sementara itu, tokoh-tokoh madzhab lain berpendapat adanya kebutuhan akan langkah penafsiran antara tradisi dan penerapan hukumnya. 11 Imam al-Syafi’i (204 H) misalnya, walaupun ia cenderung tekstualis, akan tetapi dia masih mentolelir dinamika penakwilan terhadap hadis-hadis yang memang berpotensi pada pemaknaan yang lebih dari satu.12 Selain itu, dua corak pemikiran al-Syâfi’î, Qaul Qadîm ketika ia tinggal di Bagdad dan Qaul Jadîd ketika ia tinggal di Mesir menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan konteks secara serius.13 Adapun Abû Hanîfah (w. 150 H) lebih dikenal sebagai tokoh madrasah Ahl Ra’y (aliran Rasional) walaupun ia juga seorang ahli hadis,14 sehingga madzhab Hanafi seperti diutarakan Muhammad al-Ghazâli lebih dekat dengan rada keadilan dan protokol tentang hak asasi manusia. 15 Berdasarkan karakteristik setiap tokoh tersebut, Farûq Abû Zaid menyebut kelompok pertama sebagai al-muhafizûn (kaum ortodoks), sedang kelompok
11
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 33. Muhammad Jamâl al-Din al-Qâsimi, Qawâid al-Tahdits min Funun Mustalah alhadîts, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 305. 13 Misalnya, menurut Qaul Qadim orang yang salat sementara pakaiannya terkena najis beberapa waktu sebelum salat maka salatnya tidak sah kecuali ia orang bodoh atau lupa. Menurut Qaul Jadid salatnya tidak sah apabila ia bodoh atau lupa. Muhyi al-Dîn bin Syarf alNawâwi, al-Majmû’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H/1996 M), juz 3, h. 139. 14 Menurut Imâm Yahya bin Ma’în (w. 233 H), Abû Hanîfah adalah seorang yang tsiqah (dapat diandalkan hadisnya). Ia tidak mau meriwayatkan hadis kecuali yang ia hafal saja. Di antara orang yang menulis hadis darinya adalah ‘Abdullah bin al-Mubârak, Abû Yûsuf, dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Salah satu kitab hadis karya Abû Hanîfah adalah kitab Musnad al-Imâm al-A’zam Abî Hanîfah. Lihat Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahîm al-Mubârakfûri Abû al-A’la, Tuhfah al-Ahwadzi, (Beirut: Dâr al-Kutub alIlmiyyah, 1410 H/1990 M), h. 13. Muhammad Mustafa al-A’zami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 425. Menurut Mustafa al-A’zamî pendapat yang mengatakan bahwa orang Iraq lebih mementingkan ra’yu dari pada hadis adalah tidak tepat Karena pernyataan eksplisit ulama Iraq menyebutkan “lâ hujjata Fi Ahadin ma’a al-Nabiy shallallahu ‘alaihi wasallam” / “Tidak ada orang yang memilki otoritas jika dipersandingkan dengan Nabi saw”. Muhammad Mustafa alA’zami , Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins Of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, penerjemah Asrofi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 97. 15 Muhammad al-Ghazâli, Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penerjemah Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1998), h. 32. 12
48
kedua sebagai al-mujaddidûn (kaum pembaharu).16 Adapun pada masa kontemporer ini, tradisi pemahaman tekstual dilanjutkan oleh Salafi.17 Sementara Ali Mustafa Yaqub memiliki pandangan bahwa pada dasarnya hadis harus dipahami secara tekstual. Namun apabila pemahaman tekstual ini dinilai tidak mungkin dilakukan, maka pemahaman kontekstual boleh digunakan. 18 Walaupun terlihat ada perbedaan tentang posibilitas pemahaman kontekstual antara Ali Mustafa Yaqub dan tokoh-tokoh hadis kontemporer lain, namun mereka memiliki pandangan yang sama tentang beberapa tema hadis-hadis yang harus dipahami secara tekstual. Tema-tema hadis tersebut dalam hal ini, yaitu perkara ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah) dan Ibadah Murni (al-Ibâdah al-Mahdah).19
16
Farûq Abû Zaid, al-Syari’ât al-Islâmiyyah bain al-Muhâfizin wa mujaddidîn, (Kairo: Dâr al-Ma’mun, 1978), h. 5. 17 Salafi adalah gerakan yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam berdasarkan pemahaman kaum salaf al-Sâlih yaitu orang-oramg terdahulu yang saleh dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama Islam. Nama salafi (wahhabi) disandarkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhâb yang melakukan usaha untuk memurnikan kembali ajaran Islam dari budaya bid’ah dan takhayul yang dianggapnya telah meracuni umat Islam pada saat itu. Gerakan ini mulai pada abad 18 M (1744 M) di daerah Nejed dan Hijaz yang dikenal sekarang sebagai Arab Saudi. Selain dinamakan Wahhabi kelompok ini menamakan dirinya salafi. Inti ajaran salafi (wahhabi) adalah mengamalkan ajaran agama berdasarkan alQur’an dan hadis serta bertumpu pada pemahaman salaf al-Shâlih tanpa terikat dengan salah satu madzhab. Mereka mengambil ajaran-ajaran yang berada dalam madzhab tersebut yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Terutama hadis yang derajatnya baik dan tidak ada pertentangan di dalamnya. Lihat Muhammad Tijani, Madzhab Alternatif, Perbandingan Syi’ah Sunnah (Cianjur: Titian Cahaya, 2005). 18 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 152; menurut Ali Mustafa pemahaman tekstual (textual) hadis dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap makna hadis seperti apa adanya (lafziyyah). Lihat Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 152. 19 Tabligh al-Risalah (hal-hal yang termasuk wahyu kerasulan) berdasarkan firman Allah swt. ِ وَﻣَﺎ آَ ﺗَﺎﻛُﻢُ اﻟﺮﱠﺳُﻮلُ ﻓَﺨُﺬُوهُ وَﻣَﺎ ﻧَﮭَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﮫُ ﻓَﺎﻧْﺘَﮭُﻮا وَاﺗﱠﻘُﻮا اﻟﱠﻠﮫَ إِنﱠ اﻟﻠﱠﮫَ ﺷَﺪِﯾﺪُ اﻟْﻌِﻘَﺎب/ “Apa yang diberikan Rasul maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. AlHasyr/59: 7) di antaranya adalah informasi tentang akhirat, kehidupan alam ghaib, syariat, aturan ibadah, dan akhlak umum. Fungsi Nabi dalam hal ini di antaranya adalah merinci halhal global, seperti akhlak terpuji dan tercela. Lihat Muhammad Jamal al-Din al-Qâsimi, Qawâid al-Tahdits Min Funûn Musthalah al-hadits, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 269; Lihat juga Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 21.
49
1. Perkara Ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah) Yûsuf al-Qardâwi menegaskan bahwa semua hadis sahîh yang terkait dengan
alam ghaib harus diyakini kebenarannya dan dipahami dengan
tekstual. Tidak boleh ditolak, walaupun mustahil menurut akal dan ganjil menurut kebiasaan. Sikap terbaik adalah dengan mengatakan, “Kami beriman dan kami membenarkannya.” 20 Dalam hal ini Yûsuf al-Qardâwi menyebutkan bahwa di antara fenomena Ghaib yang harus dipahami secara tekstual ada tiga hal. Pertama, kehidupan alam barzah seperti pertanyaan kubur, nikmat, dan azabnya. Kedua, kehidupan akhirat seperti kebangkitan, mahsyar, kondisi hari kiamat, syafa’at, timbangan, jembatan, surga, neraka dan lain-lain. Ketiga, hakekat Allah, Malaikat, Iblis, dan Jin.21 Adapun Ali Mustafa mencoba mendefinisikan terlebih dahulu alam ghaib berdasarkan kategorinya. Ia mengatakan bahwa ghaib itu ada dua macam, yaitu ghaib nisbi (relatif) dan ghaib haqîqî (mutlak). Ghaib nisbi (relatif) seperti kota New York bagi orang yang belum pernah berkunjung, namun bagi orang yang telah berkunjung tidak ghaib lagi. Sedangkan ghaib haqîqî (mutlak) adalah seperti datangnya hari kiamat, yang tidak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Nabi Muhammad saw. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah ghaib, seperti hakikat Allah, malaikat, surga, neraka, dan lain-lain tidak layak untuk ditafsirkan secara kontekstual. Dalam masalah-
20 Yûsuf al-Qardâwi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa Dawâbit (Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi,1990), h. 173-174. 21 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), j. 1, h. 254.
50
masalah ini cukup mengikuti petunjuk tekstual dari al-Qur’an dan hadis nabawi. Ali Mustafa menolak alasan sebagian orang yang masih mau melakukan interpretasi terhadap hal tersebut hanya karena ketidakmampuan untuk memahaminya. Ketidakpahaman manusia tidak dapat dijadikan argumen untuk menundukkan hadis-hadis itu kepada pemikiran manusia dengan mengontekstualkannya. 22 2. Ibadah Murni (al-‘Ibadah al-Mahdah) Yûsuf al-Qardâwi mengemukakan bahwa masalah ibadah merupakan suatu kepastian yang harus ditaati oleh manusia tanpa memandang maksudmaksud dan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Berlainan dengan apa yang berkaitan dengan masalah adat kebiasaan dan muamalah. 23 Oleh karena itu, tidak diperkenankan mengatakan bahwa infaq harta untuk fakir miskin lebih penting dari pada menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Adapun dalam masalah-masalah selain ibadah yang murni (al-‘Ibadah al-Mahdah) seperti hal-hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan dan muamalah antar manusia harus dengan memperhatikan sebab-sebabnya serta maksud-maksud yang terkandung di dalamnya. 24 Di samping itu, al-Dahlawi menyebutkan bahwa sesuatu yang termasuk dalam kategori ibadah yang murni (al-‘Ibadah al-Mahdah) adalah aturan rinci pelaksanaan ibadah25 seperti hadis, “Salatlah kalian sebagaimana
22
Ali Mustafa Yaqub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 48. 23 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. h. 55. 24 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. h. 55. 25 Jamâl al-Dîn al-Qâsimi, Qawâid al-Tahdits, h. 269.
51
kalian melihat aku salat”.26 Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut tidak memberi peluang bagi kemunculan interpretasi yang melahirkan pengertian yang berbeda. Dalam ilmu al-Qur’an model redaksi kata seperti itu sering disebut dengan (muhkamât).27 Adapun teks yang berkaitan dengan ibadah-ibadah murni (al-‘Ibâdah al-Mahdah), yang berkaitan dengan hubungan personal antara khâliq dan makhluk-Nya menurut Ali Mustafa Yaqub juga tidak layak ditafsirkan secara kontekstual. Teks yang berkaitan dengan ibadah murni seperti cara salat, puasa, haji, dan lain-lain harus dipahami secara tekstual dan apa adanya, bahkan seseorang mesti tunduk kepada petunjuk tekstual semua jenis dan bentuk pelaksanaan ibadah murni baik dari al-Qur’an maupun hadis nabawi. Mengontekstualkan masalah-masalah tersebut, ungkap Ali Mustafa, malah akan menjadikan substansi teks tersebut kehilangan universalitasnya, karena masing-masing lingkungan atau negara dapat membuat aturan salat yang berbeda dengan negara lain karena perbedaan kondisi negara tersebut.28
B. Kontekstual Dalam pandangan Ali Mustafa, tafsir kontekstual tidak bisa dinafikan sebagai sebuah aktifitas berfikir (ijtihâd) yang bersifat “human construction”. Sebagai bikinan manusia tentu saja hal tersebut bisa benar bisa salah serta
26
Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb al-adzân li al-musâfir, hadis nomor 605, j. 1, h. 226. 27 Abd al-Wahhâb Khalâf, Ilm Usûl al-Fiqh (Kwait: Dâr al-Kuwaitiyyah, 1972), h. 168. 28 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 21.
52
masih debatable (dapat diperdebatkan), karena itu “seorang mufassir kontekstual” dituntut untuk memiliki perangkat-perangkat ilmiah yang diperlukan untuk melakukan aktifitas ijtihad, di samping dituntut pula untuk memiliki perangkat ilmiah yang diperlukan untuk melakukan penafsiran kontekstual. Adapun dalam melakukan aktifitas itu ia tetap dituntut untuk menempuh metode yang disebut sebagai ahsan turuq al-tafsîr terlebih dahulu sebelum melakukan penafsiran kontekstual, yaitu tafsir al-Qur’an bi alQur’an, kemudian tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah. Ali Mustafa mengingatkan bahwa tanpa memakai metode seperti itu dikhawatirkan “tafsir tekstual” merupakan tindakan mendikte Allah (al-hukm ‘ala Allâh), karena hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat pribadi.29 Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa memiliki rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya, apabila sebuah hadis tidak dapat dipahami secara tekstual, maka harus dipahami secara kontekstual, yaitu dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafaz (teks) itu sendiri, yang meliputi Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd); Lokal dan Temporal (Makâni wa Zamâni); Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm) dan; Sosio Kultural (Taqâlid).30 Berikut ini akan dipaparkan beberapa perangkat pemahaman kontekstual yang dirumuskan Ali Mustafa Yaqub.
29 30
Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 22. Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 152.
53
1. Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd) Pada dasarnya, tidak semua hadis mempunyai latar belakang historis, karena ada hadis yang muncul begitu saja, tidak karena sebab tertentu. Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah meneliti apakah hadis yang akan dikaji itu mempunyai sabab al-wurûd atau tidak. Pemahaman terhadap hadis Nabi saw, sering kali memang tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan tekstual. Kondisi dan situasi saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi (asbâb al-Wurûd)31 harus pula diperhatikan. Secara sederhana, sabâb al-Wurûd dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang melatar-belakangi turunnya hadis. Menurut Jalâl al-Dîn al-Suyûti (w. 911 H), sabâb al-Wurûd berarti sesuatu yang menjadi Târiq (jalan) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum dan khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatar-belakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa, maupun keputusan Nabi terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat.32 Menurut Ibnu Hamzah Asbâb al-Wurûd kadangkala disebutkan dalam hadis itu langsung, namun kadangkala disebutkan pada hadis lain.33 31
Sebab-sebab yang melatar-belakangi terjadinya hadis Nabi saw dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah asbâb al-Wurûd. Para ulama telah menghimpun hadis-hadis Nabi yang memiliki asbâb al-Wurûd dalam kitab-kitab tertentu, misalnya: al-Bayân wa al-Ta’rîf Fi Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf karya al-Sayyid al-Syarîf Ibrâhîm bin Muhammad Ibn Hamzah al-Husaini dan asbâb Wurûd al-Hadîts karya Jalâl al-Din ‘Abd al-Rahmân bin Abi Bakr al-Suyûti. 32 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153. 33 Ibnu Hamzah al-Husaini, Asbâb al-Wurûd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1, h. 27.
54
Ali Mustafa menjelaskan bahwa tela’ah historis melalui sabâb alWurûd ini sangat penting dilakukan, karena sebagaimana dinyatakan alSuyûtî, dengan mengetahui sabâb al-Wurûd seseorang akan bisa mengetahui mana hadis yang umum, khusus, mutlaq, dan mana hadis yang muqayyad, sehingga bisa menempatkan hadis sesuai porsinya. Jadi, mengetahui sabâb alWurûd itu sangat membantu dalam memahami hadis dan ayat, karena mengetahui sebab itu dapat mengetahui musabbab (akibat).34 Dengan mengetahui latar belakang lahirnya hadis, ajaran Islam juga bisa ditempatkan secara proporsional. Dengan sikap ini, seseorang bisa menyimpulkan isi kandungan sebuah hadis secara tepat. Bahkan pengamalan dan penerapannya akan lebih tepat pula. Misalnya, hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhâri dari al-Barrâ bin Âzib, bahwa Rasulullah saw pada suatu ketika ditanya oleh seorang pemuda yang hendak masuk Islam, namun ia baru akan mengucapkan syahadat setelah ikut perang bersama Nabi saw, lalu beliau bersabda: “Masuk Islamlah kamu, kemudian berperanglah!”.35 Orang yang tidak mengetahui latar belakang munculnya hadis di atas, kemungkinan ia akan salah menyimpulkan. Dengan membaca hadis ini secara sepintas, bisa saja ada kalangan yang berasumsi bahwa Islam itu punya tradisi yang buruk, suka berperang, dan ajarannya memberatkan. Bahkan, tidak mustahil ada orang yang memahami, bila tidak berani berperang, tidak usah masuk Islam. Akan tetapi, bila dilihat dari latar belakang lainnya hadis
34
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153. Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb ‘amal sâlih qabla qitâl, hadis nomor 2653, j. 3, h. 1034. 35
55
tersebut, dapat diketahui dengan jelas kepada siapa perintah yang ada di balik hadis itu dan dalam konteks apa ucapan itu lahir. Menurut al-Barrâ’, ternyata hadis itu diucapkan Nabi saw karena ada suatu peristiwa. Yaitu, peristiwa datangnya seorang laki-laki yang menemui beliau seraya berkata. “Ya Rasulullah saw, aku berperang kemudian barulah masuk Islam.” Kata Rasulullah saw, “Masuk Islamlah kemudian berperang!” akhirnya orang tersebut menyatakan masuk Islam, kemudian ia meloncat ke medan perang dan terbunuh di sana. Menyaksikan kejaidian itu, Rasulullah saw bersabda, “Dia beramal sedikit namun diberi pahala yang banyak.”36 Jadi, sekarang kita bisa mengetahui bahwa hadis tersebut terkait dengan sebuah peristiwa dan ditujukan kepada seorang tertentu juga. Dengan demikian, kesimpulan bahwa Islam itu suka berperang, tentu tidak tepat.37 Contoh lain, hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhâri dan Imâm Muslim dari ‘Abdullâh bin ‘Âbbas. Nabi saw bersabda, “Apabila kamu sekalian hendak menunaikan salat jum’at, maka hendaklah (terlebih dahulu) mandi”. 38 (HR. al-Bukhâri dan Muslim). Berdasarkan petunjuk hadis di atas, Ali Mustafa menukilkan bahwa Imâm Dâwud al-Zâhiri (w. 270 H/883 M) seorang pendiri madzhab al-Zâhiri menyatakan bahwa mandi pada hari Jum’at sebelum menunaikan salat Jum’at adalah wajib dan berlaku untuk siapa pun.
36
Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb ‘amal sâlih qabla qitâl, hadis nomor 2653, j. 3, h. 1034. 37 M. Suwarta Wijaya, Pengantar dalam Ibn Hamzah al-Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, h. i-v. 38 al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb fadlu al-ghusli yaum al-Jum‘ah, hadis nomor 837, j. 1, h. 299; Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim (T. tp: Maktabah Dahlân, t.t.), kitâb al-Jum’ah, hadis nomor 844, j. 2, h. 579.
56
Ini dikarenakan beliau memahami hadis itu apa adanya, tanpa mengaitkannya dengan sebab yang melatarbelakangi kemunculannya. 39 Ali Mustafa menjelaskan bahwa menurut riwayat yang ada, hadis itu memilki sebab khusus. Dalam sebuah riwayat, pada saat itu perekonomian para sahabat pada umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah berladang, banyak dari mereka yang langsung pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jum’at. Pada suatu Jum’at, cuaca sedang panas, sementara masjid sempit. Tatkala Nabi saw berkhutbah, aroma keringat dari orang yang berbaju wol kasar dan belum mandi itu menerpa hidung Nabi saw. Suasana hening di dalam masjid menjadi terganggu oleh aroma yang tidak sedap itu, sehingga Nabi saw pun mengatakan seperti tadi. Oleh karena itu, Ali Mustafa Yaqub menyimpulkan bahwa berdasarkan kondisi sosiologis di atas, Nabi saw hanya mewajibkan mandi Jum’at itu bagi orang-orang yang badannya kotor saja. 40 2. Lokal dan Temporal (Makâni wa Zamâni) Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat tempat dimana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat. Misalnya hadis yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara tekstual belum tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Karenanya, kondisi seperti ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu menjadi tepat, kendati diterapkan pada 39
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153-
40
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 154.
154.
57
wilayah berbeda. Misalnya hadis yang diriwayatkan Imâm al-Tirmidzi. “Antara Timur dan Barat adalah kiblat”.41 Untuk masyarakat Madinah, yang secara geografis berada di utara Ka’bah (Makkah), maka makna tekstual hadis itu tepat sekali. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang secara geografis berbeda dengan masyarakat Madinah. Apabila hadis tersebut dipahami secara tekstual, maka tentu akan menimbulkan kekeliruan yang fatal. Oleh karena itu, pemahaman yang mendekati kebenaran adalah dengan melalui pendekatan kontekstual, yaitu dengan melihat lokasi geografis hadis yang disabdakan. 42 3. Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm) Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi saw terkadang menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dipahami secara konkrit oleh setiap sahabat. Dari sekian banyak hadis, ada yang tidak dapat dipahami kecuali melalui pendekatan kontekstual, yaitu pemahaman terhadap kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm). Misalnya, sabda Nabi saw, “Seandainya tidak ada Bani Israil, maka makanan tidak akan menjadi basi, daging tidak akan menjadi busuk, dan seandainya tidak ada Hawâ’, maka tidak ada istri yang berkhianat pada suaminya.”43 Hadis ini disabdakan Nabi saw sebagai kritik atas kebakhilan orangorang Yahudi yang tidak mau memberikan makanannya pada orang lain,
41
Muhammad bin ‘Îsa Abu ‘Îsa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Semarang: Toha Putra, t.t.), bâb mâ jâ’a anna mâ bain al-masyriq wa al-maghrib qiblah, hadis nomor 342, j. 2, h. 171. 42 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 155. 43 Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bâb laulâ hawâ lam takhun untsa zaujuhâ, hadis nomor 1470, j. 2, h. 1092.
58
sementara mereka sendiri tidak siap mengkonsumsi semuanya, sehingga makanan itu busuk. Ali Mustafa menukilkan bahwa Muhammad al-Ghazâlî memahami hadis ini secara tekstual, sehingga ia berkesimpulan bahwa hadis ini palsu, karena membusuknya daging tidak ada kaitannya dengan orangorang Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad al-Ghazâlî yang terkenal kontekstualis masih terjebak pada metode tekstual ketika memahami beberapa hadis yang tidak ia pahami.44 Dalam hal ini prinsip umum kaedah usûl fiqh mesti diterapkan untuk mengetahui kandungan ‘illat dalam sebuah hadis. Karena berjalannya ketentuan hukum selama ada ‘illatnya. Kalau ‘illatnya sudah hilang, maka ketentuan hukumpun menjadi batal / “al-hukmu yadûru ma’a al-‘illah wujûdan wa ‘adaman.”45 4. Sosio Kultural (Taqâlid) Di samping tiga pendekatan di atas, pemahaman kontekstual juga dapat dilakukan melalui pengetahuan tentang Sosio Kultural (Taqâlid), yaitu dengan mengaitkan hadis itu dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Misalnya, hadis Nabi saw yang membolehkan orang yang sedang salat, meludah di masjid.46 Untuk konteks waktu itu, meludah di masjid merupakan persoalan biasa, karena konteks masjid waktu itu tidak seperti masjid sekarang. Masjid zaman Nabi saw belum mengenal lantai keramik, melainkan pasir, sehingga ludah yang jatuh di masjid saat itu langsung diserap pasir. 44 45
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 157. Al-Sayyid Bakri bin al-Sayyid, I’ânah al-Tâlibîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), j. 2, h.
290. 46
Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bâb hadis Jâbir al-Ta’wîl, hadis nomor 3006, j. 4, h. 2303.
59
Apalagi ternyata pasir di Arab dengan udara kering dan panas menyebabkan bakteri-bakteri tidak tahan lama. Ini berbeda dengan masjid saat ini yang lantainya telah menggunakan keramik atau marmer. Bila meludah di masjid seperti ini dibenarkan, maka justru akan mengotori masjid dan membahayakan kesehatan. Bahkan boleh jadi, masjid semakin tidak ada peminatnya, karena penuh kotoran ludah. Karena itu, kita tidak mungkin menerapkan hadis itu secara tekstual, tanpa mengaitkannya dengan kondisi kultural saat itu.47
47
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 157.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia tampak mempunyai corak yang khas sebagaimana terjadi di dunia Islam secara umum. Dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub (l. 1952) termasuk tokoh yang mempertahankan tradisi kajian hadis dengan pendekatan berbeda, yaitu lebih banyak menggunakan pendekatan kontekstual (ma’nawi). Berdasarkan hasil penelitian tentang Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer (Studi Atas Pemikiran Ali Mustafa Yaqub), maka peneliti memperoleh beberapa kesimpulan: 1. Ali Mustafa dianggap sebagai ahli hadis yang melanjutkan pembelaan Mustafa al-A’zamî secara akademis terhadap hadis. Walau pernah selama 9 tahun kuliah di Arab Saudi dan belajar langsung kepada Abd al-Azîz bin Abdullâh bin Bâz (w. 1999) dan Abd al-‘Azîz Âlu Syaikh, namun Ali Mustafa terkesan lebih tertarik untuk memadukan antara tradisi lokal dan Arab. Oleh karena itu, Ali Mustafa termasuk yang menggagas konsep lokalisasi tradisi keislaman. Ia juga terlihat toleran terhadap interpretasi kontekstual, bahkan ia juga ikut menerapkan pendekatan tersebut. Ali Mustafa Yaqub termasuk tokoh kontemporer Indonesia yang mempertahankan tradisi kajian hadis dengan pendekatan berbeda, yaitu lebih banyak menggunakan pendekatan kontekstual (ma’nawi). Namun
60
61
dalam menghadapi hadis-hadis yang berkaitan dengan permasalahan ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah) dan ibadah murni (al-Ibâdah al-Mahdah) beliau menekankan aspek tekstual. Karena beliau menganggap dua hal tersebut tidak mampu dipahami secara utuh oleh nalar manusia. 2. Kontribusi dan gagasan Ali Mustafa sebagai upaya pelestarian dan pengembangan pemikiran kajian hadis di Indonesia sangat banyak sekali. Di antaranya beliau menerbitkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian hadis, beliau juga mendirikan pesantren luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah khusus untuk mahasiswa. 3. Ali Mustafa Yaqub dinilai oleh banyak kalangan tokoh seperti Ali Yafi, Hidayat Nurwahid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Huzaimah Tahido Yanggo, Nasaruddin Umar, dan lain-lain sebagai ahli hadis Indonesia yang produktif menulis, kritis dan telah dikenal luas oleh masyarakat, baik umum maupun perguruan tinggi. Namun bukan berarti beliau tidak diterpa berbagai kritikan. Berdasarkan pemahaman yang ia yakini kebenarannya, Ali Mustafa tidak menilai bid’ah sesat praktik lokal seperti peringatan maulid, Isrâ’ dan mi’râj, yasinan, selamatan tujuh bulanan, shalawatan sebelum azan, zikir berjama’ah, bersalaman selesai salat, dan lain-lain. Karena menurut ahli bid’ah sesat dalam ibadah adalah sesuatu yang tidak memiliki dalil syar’î, baik dari al-Qur’an, hadis, ijmâ’, qiyâs, istihsân dan lain-lain. Seperti salat shubuh empat rakaat.
62
B. Saran-saran Setelah menyimpulkan, penulis memiliki beberapa saran yang kiranya dapat bermanfaat bagi kelanjutan kajian-kajian sejenis pada masa mendatang. Terutama yang terkait dengan pemahaman tekstual dan kontekstual terhadap hadis Nabi saw, adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Diperlukan kajian yang mendalam tentang sikap tekstual dan kontekstual tokoh-tokoh Islam Indonesia yang berimplikasi langsung terhadap praktek keberagaman masyarakat. Hal ini diharapkan bisa mewujudkan terciptanya budaya saling menghargai dan sikap arif menyikapi perbedaan. 2. Diperlukan kajian yang komprehensif tentang sejarah masa lalu umat Islam. Termasuk didalamnya sejarah generasi al-Salaf al-Sâlih yang menjadi panutan semua gerakan Islam-tentu saja dengan kadar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. 3. Penelitian yang penulis lakukan mengenai kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap perkembangan kajian hadis kontemporer di Indonesia masih dalam tataran yang sederhana, yang pembahasannya masih terfokus pada pemahaman tekstual dan kontekstual. Karena itu, hendaknya ada penelitian lanjutan menyangkut pembahasan yang sempat belum dibahas di dalam penelitian ini.
63
Akhirnya, tidak ada manusia sempurna. Kullu banî âdama khatâûn wa khair al-khatâin al-tawwabûn. Setiap anak Adam itu berpotensi melakukan kesalahan, namun sebaik-baik orang yang selalu terjatuh dalam kesalahan adalah yang selalu bertaubat dan menyadari kesalahannya, kata Nabi saw. setiap gerakan sudah tentu memiliki sisi positif dan negatif. Yang terbaik pada akhirnya adalah yang mampu meminimalisir sisi negatifnya dan semakin hari memiliki perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Wallahu al-Muwaffiq.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Teras, 2004. Abû al-A’la, Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahîm al-Mubârakfûri, Tuhfah al-Ahwadzi, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1410 H/1990 M. Al-A’zami, Muhammad Mustafa. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj: Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. I, Bandung: Mizan, 1994. Badawi, Abd al-Rahman. Ensiklopedi Orientalis. Penerjemah Amroni Drajat, Yogyakarta: LKis, 2003. Bâz, Abd al-Azîz, dkk, al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed., Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999. Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Penerjemah: Jaziar Radianti. Bandung: Mizan, 2000. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999. Al-Bukhâri, Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah. Shahîh al-Bukhâri. Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M. Bustamin dan Salam, M. Isa H. A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Al-Ghazâli, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penerjemah Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998. Hadi, Syamsul. Gus Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, Jombang: Zahra Book, t.t. Husaini, Ibnu Hamzah. Asbâb al-Wurûd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, temporal dan lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
64
65
Al-Khalâf, Abd al-Wahhâb, Ilm Usûl al-Fiqh, Kwait: Dâr al-Kuwaitiyyah, 1972. Khâlid, Khâlid Muhammad. Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah. Penerjemah Mahyudin Syaf, dkk. Bandung: CV. Diponegoro, 2002. Al-Khinn, Mustafa Sa’îd. Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982. Marlow, Loise. Masyarakat Egaliter Visi Islam. Bandung: Mizan, 1999. Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: Lkis, 2007. Al-Naisâbûrî, Muslim bin al-Hajjâj. Shahîh Muslim. T. tp: Maktabah Dahlân, t.t. Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II. Jakarta: CeQda, 2007. Al-Nawâwi, Muhyi al-Dîn bin Syarf, al-Majmû’. Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H/1996 M. Al-Qardâwi, Yûsuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa Dawâbit. Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi, 1990. ------------------------, Membedah Islam Ekstrim. Penerjemah Alwi. A.M. Bandung: Mizan, 2001. Al-Qâsimi, Muhammad Jamal al-Din. Qawâid al-Tahdits Min Funûn Musthalah al-hadits. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t. Al-Qur’ân al-Karîm dan terjemahannya. Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.t. Rudliyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Al-Sayyid, Bakri, I’ânah al-Tâlibîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Al-Suyûti, Jalal al-Din. Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrib al-Nawawi. Beirût: Dâr alFikr, 2006. Sya’roni, Usman. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Al-Syahrazûrî, Ibn al-Salâh. Muqaddimah Ibn al-Salâh fî ‘Ulûm al-Hadîts. (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006).
66
Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta, 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari 2002 M. Al-Tahhan, Mahmûd, Usul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid. Riyâd: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H/1996 M. -------------------------, Taisîr Mustalah al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm, 1979. Tijani, Muhammad. Madzhab Alternatif, Perbandingan Syi’ah Sunnah Cianjur: Titian Cahaya, 2005. Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Îsa Abu ‘Îsa bin Saurah. Sunan al-Tirmidzi. Semarang: Toha Putra, t.t. Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam”. al-Bayan; Jurnal al-Qur’an dan alHadis, Vol: IV, No: 4, Malaya, April 2006. Wijaya, M. Suwarta. Pengantar dalam Ibn Hamzah al-Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul. tp, tt. Yaqub, Ali Mustafa, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. ------------------------, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003. ------------------------, Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. ------------------------, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. ------------------------, Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. ------------------------, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. ------------------------, Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. ------------------------, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. ------------------------, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. ------------------------, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
67
------------------------, Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. ------------------------, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. ------------------. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins Of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. penerjemah Asrofi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Zaid, Farûq Abû. al-Syari’ât al-Islâmiyyah bain al-Muhâfizin wa mujaddidîn. Kairo: Dâr al-Ma’mun, 1978. Zaman, Ahmad Dimyati Badruz, Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Republika, 2003. Zuhaili, Wahbah. Usûl Fiqh al-Islâmi. Beirût: Dâr al-Fikr, 1986.
Pedoman Transliterasi Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development dan Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. I.
Konsonan Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
Huruf Latin tidak dilambangkan B T Ts J H Kh D Dz R Z S Sy S D T Z ‘ G F Q K L M N W H ' Y
x
Nama tidak dilambangkan be te te dan es je ha dengan garis di bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik di atas Ge Ef Ki Ka El Em En We Ha apostrof Ye
II.
Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَـ
A
Fathah
ـِـ
I
Kasrah
__و
U
dammah
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَﺎ
Â
a dengan topi di atas
ـِﻲ
Î
i dengan topi di atas
ـُﻮ
Û
u dengan topi di atas
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـِـ ي
Âi
A dan i
ـُـ و
Au
A dan u
III. Vokal Panjang (Madd)
IV. Vokal Rangkap
xi