BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Upaya penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis di Indonesia belum dilakukan secara sistematis. Hal ini bisa diduga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian hadis tidak seintens kajian di bidang keislaman yang lain, seperti al-Qur’an, fiqh, akhlak dan sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan berkembang sangat lambat, terutama bila dilihat dari kenyataan bahwa para ulama Nusantara telah menulis di bidang hadis sejak abad ke-17. Sejak abad ke-17 kajian hadis di Indonesia dapat ditemukan dengan ditulisnya kitab-kitab hadis oleh Nur al-Din al-Raniri dan ‘Abd al-Rauf alSinkili. Al-Raniri mengumpulkan –dalam karyanya Hidâyat al-Habîb fi alTarghîb wa al-Tarhîb–sejumlah hadis yang diterjemahkannya dari Bahasa Arab ke Bahasa Melayu. Dalam karyanya ini, ia memadukan hadis-hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendukung argumen-argumen yang melekat pada hadis.1 Selanjutnya, Al-Sinkili menulis dua karya tentang hadis, yaitu penafsiran terhadap Hadis Arba‘în karya al-Nawawi dan koleksi hadishadis qudsi yang diberi judul Al-Mawâ‘îzh al-Badî‘ah. Al-Sinkili juga
1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), 186-187.
1
2 menjadikan Syarh Kitab Muslim karya al-Nawawi sebagai salah satu rujukan penting dalam menyusun kitab fikih yang berjudul Mir’at al-Thullâb.2 Karya dua ulama di atas lebih diarahkan kepada pembinaan praktek keagamaan, terutama fiqih dan akhlak daripada kepada penelitian keotentikan nilai hadis-hadis yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu kajian ‘ilm musthalah al-hadis belum mendapatkan perhatian yang besar dari ulama Indonesia. Hanya pada masa setelahnya, Mahfûzh al-Tirmasi (w. 1919/1920 M) tercatat sebagai ulama yang menulis kitab musthalah al-hadîts dengan judul Manhaj Dzawi al-Nazhar. Kitab ini merupakan syarh kitab nazham yang ditulis oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthî yang berjudul Alfiyyat alSuyûthi. Sekalipun sudah ditemukan sejak abad ke-17, kajian hadis tidaklah begitu populer pada masa-masa sebelum abad ke-20. Ketidakpopuleran tersebut disebabkan oleh adanya kecenderungan kepada tasawuf yang lebih dominan daripada kepada syariat. Kecenderungan ini akhirnya bergeser menuju syariat akibat pembaruan dan pemurnian yang berlangsung sejak abad ke-17. Begitu pula, munculnya Tarekat Naqsyabandiyah pada abad ke-19 yang lebih berorientasi kepada syariat daripada tarekat merupakan bagian dari proses pergeseran ini. Namun demikian, pembaruan pada abad ke-17 belum cukup membawa pergeseran perhatian yang lebih besar kepada hadis. Barulah pada abad ke-20, munculnya pembaruan akibat dampak modernisme dengan
2
Ibid., 201 & 205. Judul lengkap kitab fikih ini adalah Mir’at al-Thullâb fi Tashîl Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhâb.
3 slogannya “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah” menandai munculnya perhatian yang cukup besar pada hadîs. Di sisi lain, hadis merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren. Menurut penelitian Martin van Bruinessen, kitab-kitab hadis hampir tidak diajarkan di Nusantara seabad yang lalu, kecuali beberapa kumpulan kecil hadis semacam kitab Arba’ûn Nawawi.3 Kitab al-Arba’ûn adalah kitab hadis jenis ini yang paling populer, meskipun ada kitab Arba’ûn lain yang juga dipelajari seperti al-Mawâ’îzh al-‘Ushfûriyah dan Tanqîh alQawl al-Hatsîts Syarah Lubâb al-Hadîts. Kitab Arba’ûn Nawawi tidak hanya populer di Indonesia, akan tetapi juga populer di negara-negara Islam lain, seperti Arab Saudi, Mesir, Pakistan dan lain-lain, sehingga ia termasuk kitab Arba’ûn yang paling banyak dikomentari dan disyarahi. Hanya kitab Tanqîh al-Qawl al-Hatsîts saja, diantara kitab Arba’ûn di atas, yang merupakan hasil karya ulama Indonesia. Itupun merupakan kitab syarah atas kitab Lubâb al-Hadîts, karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthi. Dua kenyataan yang penulis paparkan di muka menunjukkan; pertama, perlu adanya peningkatan intensitas kajian terhadap sejarah perkembangan hadis di Indonesia, sehingga tidak ketinggalan dengan disiplin keilmuan lain dan dapat memberikan gambaran sejarah itu yang benar-benar utuh. Kedua, pengajaran hadis juga berjalan sangat lambat dan ada tiga kitab Arba’un yang punya peran yang cukup besar dalam memperkenalkan hadis kepada masyarakat di Indonesia, tetapi bukan karya asli ulama Indonesia. 3
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), 161
4 Ketiga kitab ini sebenarnya adalah produk dari sebuah tradisi penulisan kitab hadis, yaitu metode penulisan kitab hadis Arba’un yang masih saja berlanjut hingga masa sekarang ini. Keterlibatan ulama asal Indonesia dalam tradisi ini juga perlu dimunculkan ke permukaan, yang nantinya sedikit banyak akan lebih memperjelas sejarah perkembangan hadis di Indonesia. Bertitik tolak dari dua kenyataan di atas, maka perlu ada kajian terhadap sebuah kitab hadis karya asli ulama Indonesia, sehingga benar-benar mencerminkan perkembangan kajian hadis di Indonesia. Mungkin beberapa kitab hadis bisa diajukan untuk keperluan ini, salah satu diantaranya adalah kitab al-Arba’ûna Hadîtsan yang ditulis oleh Syaykh Muhammad Yâsîn alFâdâni, ulama asal Indonesia, tepatnya Padang. Kitab al-Arba’ûna Hadîtsan ini lengkapnya adalah al-Arba’ûna Hadîtsan min Arba’îna Kitâban ‘an Arba’îna Syaykhan –sebagaimana klasifikasi Khalid Alavi– adalah Kitab Arba’în riwayat 40 syaykh. Kitab Arba’ûn model ini pernah menjadi trend pada ke-6 dan ke-7 H sudah banyak ditinggalkan pada beberapa abad belakangan, hingga akhirnya dihidupkan kembali oleh Syaykh Yâsîn alFâdâni. Upaya penelusuran perkembangan kitab hadis di Indonesia tidak selayaknya untuk meninggalkan kitab al-Arba’ûna Hadîtsan ini, karena di samping kitab ini bisa memberikan gambaran tentang perkembangan hadis di Indonesia pada abad 20, kitab ini juga sangat unik. Keunikan kitab ini selain bisa dilihat dari tokoh penyusunnya atau kapan karya itu disusun, tetapi bisa
5 juga dari karakteristik yang lain, yaitu motivasi yang mendorong penulis untuk menyusun kitab ini dan bagaimana sistematika penyusunannya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka yang menjadi fokus masalah pembahasan skripsi ini adalah: Bagaimanakah karakteristik Kitab al-Arba’ûn Haditsan karya Syaykh Yâsîn al-Fâdâni? Sedangkan turunan sub masalah dari fokus masalah di atas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah motivasi penyusunan kitab Arba’ûna Hadîtsan karya Syekh Yâsîn al-Fâdâni? 2. Bagaimanakah sistematika penyusunan kitab Arba’ûna Hadîtsan karya Syaykh Yasin al-Fâdânî? C. Tujuan Kajian Berdasarkan fokus masalah dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan karakteristik kitab Arba’ûna Haditsan karya Syekh Yâsîn al-Fâdâni. Adapun tujuan kajian berkenaan dengan sub masalah di atas adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan motivasi penyusunan kitab Arba’ûna Hadîtsan karya Syekh Yâsîn al-Fâdâni.
6 2. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan sistematika penyusunan kitab Arba’ûna Hadîtsan karya Syaykh Yasin al-Fâdânî.
D. Manfaat Kajian Setelah melakukan pembahasan atas masalah-masalah yang telah dirumuskan, skripsi ini nantinya diharapkan dapat: Memberikan sumbangan bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan, terutama bagi kemajuan ilmu hadis, khususnya menyangkut tradisi penulisan kitab Hadis Arba’în yang belum begitu dikenal akrab oleh pemerhati di bidang hadis; dan memberikan masukan bagi para ahli di bidang hadis mengenai eksistensi tradisi penulisan Kitab hadis Arba’în, yang nantinya diharapkan dapat dipetakan kedalam tradisi penulisan hadis secara umum. E. Telaah Pustaka Sangat terbatas kajian tentang kitab-kitab hadis Aba’in. Di antara kajian terpenting tentang subyek ini adalah tiga artikel Khalid Alavi dalam jurnal Islamic Studies yang diterbitkan oleh Islamic Research Institute Islamad Pakistan. Artikel pertama Khalid Alavi berjudul The Concept of Arba’în and it’s Basis in the Islamic Tradition4 membahas tentang dasar mengapa para penulis kitab hadis Arba’în sangat ketat dalam menggunakan angka empat puluh sebagai judul kitab mereka. Dia juga memaparkan bahwa angka
4
Khalid Alavi. “The Concept of Arba’in and Its Basis in The Islamic Tradition.” Islamic Studies 3, (Autumn 1983), 71-93
7 mempunyai arti penting dalam kebudayaan Arya, Babilon, Syria, Israel, Arab, Persia dan Turki. Dalam Islam banyak sekali ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berbicara tentang angka, khususnya angka empat puluh. Artikel ini juga membahas tentang hadis Nabi SAW yang memotivasi para penulis hadis Arba’în dari segi derajat hadis, dan hukum menggunakan hadis dha’if, dimana hadis tentang Empat puluh hadis juga termasuk, untuk fadhâ`il al-a’mal (perbuatan-perbuatan utama). Dalam artikel keduanya yang berjudul A Brief Survey of Arba’în Literature Alavi5 melaporkan hasil survei singkatnya tentang kitab-kitab hadis Arba’în mulai dari pertama ditulis oleh ‘Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 181 H) hingga kitab Arba’în yang ditulis oleh Yahya Ibn Syaraf An-Nawawi (w. 676 H). Kajiannya mencakup judul kitab, nama pengarang, dan sedikit deskripsi tentang karakteristik kitab. Khalid Alavi berargumen bahwa penulisan kitab hadis Arb’ain adalah sebuah genre tersendiri dalam bidang penulisan kitab hadis. Alavi juga membahas beberapa motif penulisan kitab hadis Arba’în yang terutama adalah untuk tujuan ibadah, disamping motifmotif lain seperti mendapatkan reputasi tertentu di kalangan ulama besar, mengabulkan permintaan murid untuk menyusun kitab Arba’în, dan mendapatkan keuntungan-keuntungan finansial tertentu. Menurut Khalid Alavi, penulisan kitab Arb’ain dikembangkan sejak kegiatan besar-besaran pengumpulan hadits pada abad kedua Islam. Hal itu dapat dilihat sebagai upaya awal untuk mengklasifikasikan, menyeleksi dan
5
Alavi. “A Brief Survey of Arba’in Literature.” Islamic Studies, 2 (Summer 1984), 67-82.
8 mempopulerkan hadits yang jumlahnya sangat banyak, melebihi 200.000 buah, yang menjadi problem besar bagi sarjana, khususnya pencari ilmu, dan orang awam di bidang ini. Kelahiran kitab hadis Arba’în dapat dipandang sebagai upaya untuk memperkenalkan literatur hadis kepada para awam, dan dengan demikian menyediakan sumber bacaan dan memberikan inspirasi spiritual. Artikel ketiga Khalid Alavi berjudul Arba’în An-Nawawi and Its Commentaries: an Overview6 membahas tentang kitab hadis Arba’în Nawawi dan kitab-kitab syarahnya. Khalid Alavi, dalam artikel ini, menyimpulkan bahwa kitab hadis Arba’în Nawawi adalah kitab Arba’în yang paling banyak dipelajari, diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, dikomentari (disyarahi), diberi catatan, dan digubah. Ada sekitar 27 kitab syarah (komentar) atas kitab Arba’în yang dipaparkan oleh Khalid Alavi, yang sebenarnya hanya sebagian kecil dari seluruh kitab syarah yang ada. Sementara kajian tentang kitab hadis Arba’în Nawawi saja masih sangat sedikit, kajian tentang kitab-kitab Arba’în yang lain lebih sedikit lagi. Sejauh literatur yang penulis pelajari, belum ada kajian terhadap Arba’ûna Hadîtsan karya Syaykh Yâsin al-Fâdâni. F. Metodologi Kajian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam membahas skripsi ini, penulis sepenuhnya melakukan studi kepustakaan.
6
Alavi. “Arba’in al-Nawawi and It’s Commentaries: an Overview.” Islamic Studies, 3 (Autumn 1985), 349-356
9 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis, seperti dikemukakan oleh Suriasumantri, yaitu metode yang dipergunakan untuk meneliti gagasan atau produk pemikiran manusia yang telah tertuang dalam bentuk media cetak, baik yang berbentuk naskah primer (dalam hal ini Kitab Arba’ûna Haditsan) maupun naskah sekunder (artikel dan buku kajian tentang kitabkitab hadis Aba’in) dengan melakukan analisis terhadapnya.7
2. Data dan Sumber Data a. Data Data yang diperlukan adalah informasi yang berkaitan dengan teori tentang kitab hadis Arba’ûn, ulama yang telah menulis kitab Arba’ûn, biografi Syaykh Muhammad Yâsîn al-Fâdâni dan karyakaryanya di bidang hadis, terutama kitab al-Arba’ûna Haditsan. b. Sumber Data Sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh.8 Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Sumber Data Primer Sumber utama dalam penelitian ini adalah kitab Arba’ûna Haditsan karya Syaykh Yâsîn al-Fâdâni.
7
Naskah primer adalah naskah yang memuat gagasan asli dari seseorang, seperti Arba’ûna Haditsan dan yang sejenis, sedangkan naskah sekunder adalah naskah yang memuat gagasan seseorang yang diterbitkan oleh orang lain, seperti Arba’ûna Nawawi dalam artikel-artikel Khalid Alavi. 8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2002), 114
10 2) Sumber Data Sekunder Data ini merupakan data penunjang yang dijadikan alat untuk membantu dalam penelitian, yaitu berupa buku-buku, artikel-artikel atau sumber-sumber dari penulis lain yang membahas tentang Syaykh Yâsîn al-Fâdâni dan metode penulisan kitab hadis Arba’în. Diantaranya adalah: Bulûghul Amânî, karya Muhammad Mukhtar ad-Din Ibn Zain al-‘Abidin al-Falimbani; Ulama Indonesia di Haramayn, Pasang Surut Sebuah Wacana Intelektual-Keagamaan,
Azyumardi
Azra;
Kitab
Kuning,
Pesantren, dan Tarekat, Martin van Bruinnesen; Ar-Risâlah alMustathrofah, karya Muhammad Ibn Ja’far al-Kattani; Kasyf azhZhunûn ‘an Asmâ’ wa al-Funûn, karya Hâji Khalîfah; A Brief Survey of Arba’în Literature, tulisan Khalid Alavi; Kitab alArba’în al-Buldaniyah, karya Ibnu ‘Asakir, dan lain sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik dan alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan “teknik penelitian kepustakaan” (library research methode), yaitu kegiatan mempelajari dan mengumpulkan data tertulis untuk menunjang penelitian. Data yang dikumpulkan berupa literatur yang berhubungan dengan topik permasalahan penelitian, baik dalam bentuk buku, artikel majalah, ensiklopedia, kamus, dan sebagainya.
11 4. Analisis Data Setelah data terkumpul, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Data-data primer dari kitab Arba’ûna Hadîtsan karya Syaykh Yâsîn al-Fâdâni dideskripsikan dalam konteks keseluruhan karya hadis sehingga dapat diketahui posisi kitab Arba’ûna Hadîtsan dalam bangunan pengetahuan hadis beliau, motivasi penulisannya, sanadsanad keilmuannya, serta karakteristik lainnya. Temuan-temuan dari data primer tersebut diperjelas dengan datadata dari sumber-sumber sekunder untuk mengetahui posisi kitab Arba’ûna Hadîtsan dalam tradisi kitab Arba’ûn secara umum dan sumbangan ilmiah dan religiusnya dalam tradisi itu. Dengan demikian akan diketahui juga keunikan kitab Arba’ûna Hadîtsan dibandingkan dengan kitab-kitab Arba’ûn yang lainnya. G. Sistematika Pembahasan Keseluruhan penulisan isi skripsi ini disusun dengan membagi ke dalam 5 (lima) bab, yang masing-masing berisikan hal-hal sebagai berikut: Bab I adalah Pendahuluan Di dalamnya menguraikan secara singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan kajian, kajian pustaka, metodologi kajian, dan sistematika penulisan. Bab II Tradisi Penulisan Kitab Hadis Arba’în Bab ini akan secara khusus membahas tentang tradisi penulisan kitab Arba’în, mulai dari sejarah penulisan kitab hadis yang menjadi
12 kerangka sejarah tradisi ini, sejarah muncul dan berkembangnya kitab Arba’în, dasar penulisan kitab Arba’în, dan sistematika penulisan kitab Arba’în. Bab III Syaikh Yâsîn al-Fâdâni dan Tradisi Keilmuan Hadis Bab ini akan membahas background intelektual Syaykh Yâsîn, gurugurunya, karya-karyanya, dan posisi Syekh Yâsîn al-Fâdâni dalam tradisi keilmuan hadis abad XX. Bab IV Karakteristik Kitab Al-Arba’ûna Hadîtsan Karya Syaykh Yasin Bab ini akan menganalisa karakteristik kitab al-Arba’ûna Hadîtsan, dengan
memaparkan
motivasi
penyusunan
dan
sistematika
penyusunan kitab al-Arba’ûna Hadîtsan. Bab V Penutup Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Ini diikuti dengan daftar pustaka dan lampiran.
13 BAB II TRADISI PENULISAN KITAB HADIS ARBA’ÛN
Pemahaman tradisi penulisan kitab hadis Arba’ûn tidak akan terlepas dari kerangka tradisi penulisan kitab Hadis secara umum, latar belakang pemikiran yang melahirkannya, sejarah tradisi itu, dan produk tradisi yang diwariskan tersebut. Hal-hal tersebut di atas akan dibahas dalam pembahasan bab ini. A. Sejarah Penulisan Kitab Hadis Penulisan hadis telah melewati masa yang sangat panjang hingga ia terkumpulkan dan terbukukan kedalam suatu kitab. Pada masa Nabi SAW, hadis yang terbentuk dari perkataan, perbuatan dan taqrir beliau dipelihara dan disimpan oleh para sahabat ke dalam tulisan, selain dengan hafalan. Terlepas dari kontroversi sekitar hukum penulisan hadis yang berkembang pada masa sahabat9 –juga pada masa tabi’in–, tercatat ada beberapa tulisan-tulisan hadis pada masa itu, seperti al-Shahîfah al-Shâdiqah, Shahîfah Jâbir, Shahîfah Abu Hurayrah, Shahîfah Abu Syâh, Shahîfah ‘Ali Ibn Khadîj, Shahîfah ‘Ali Ibn Abi Thâlib, dan lain-lainnya. Metode penulisan kitab hadis yang banyak digunakan kala itu adalah metode penulisan juz.10
9
Kontroversi ini tentang kebolehan menulis hadis. Menurut Imam Suyuthi, kelompok yang melarang penulisan hadis, mereka adalah Ibnu Mas’ûd, Ibnu ‘Umar, Zayd Ibn Tsâbit, Abu Mûsa, Abu Sa’îd al-Khudhrî, Abû Hurayrah, dan Ibnu ‘Abbâs. Sedangkan dari kelompok yang membolehkannya, adalah Umar, Ali Ibn Abi Thâlib, Jâbir Ibn ‘Abdillah dan Umar Ibn ‘Abd al‘Azîz. Mahfûzh at-Tirmasî, Minhaj Dzawi an-Nazhar (Kairo: Musthafa Halabî, 1954), 142. 10 Juz adalah kitab kecil yang menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari sahabat atau sesudahnya, atau menghimpun hadis-hadis dalam satu judul tertentu secara
14 Peristiwa pergolakan politik, setelah perang Jamal dan perang Shiffin pada masa pemerintahan Ali Ibn Thalib yang mengakibatkan munculnya hadis-hadis palsu pada masa-masa berikutnya, mendorong lahirnya rencana dan usaha untuk diadakannya kodifikasi hadis. Usaha tersebut direalisasikan oleh Ibn Syihab al-Zuhri pada masa Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz, yang kemudian dikenal dengan masa kodifikasi atau Tadwin Hadis. Pada periode ini al-Zuhri meletakkan batu pertama untuk kegiatan tadwin hadis kedalam suatu kitab khusus11 karena sesudah al-Zuhri muncul pentadwin lain seperti Anas Ibn Malik (w. 179 H) yang memperkenalkan metode penulisan muwaththa’.12 Penulisan hadis kemudian memasuki masa seleksi atau penyaringan hadis sejak masa al-Makmun sampai dengan al-Muqtadir (201-300 H) dari Bani Abbasiyah. Pada masa ini para ulama berhasil memisahkan hadis dha’if dari hadis shahih, dan hadis-hadis mawquf dan maqthu’ dari yang marfu’. Metode-metode penulisan yang banyak digunakan pada masa ini adalah metode jami’,13 seperti al-Jâmi’ al-Shahîh karya al-Bukhori, al-Jâmi’ alShahîh karya Muslim; metode sunan,14 seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Kitab-kitab tersebut kemudian dikenal dengan sederhana. Mahmud Thahhân, Ushul Takhrij wa Dirasat al-Asanid. (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1978), 137 11 ‘Umar Hâsyim, Assunnah An-Nabawiyah. (Mesir: Maktabah Gharîb, tt), 60 12 Muwaththa’ menurut istilah ahli hadis adalah kitab yang disusun sesuai dengan bab-bab fiqh, dan mempunyai hadis yang marfû’, mawqûf, dan maqthû’. Thahhân, Ushûl, 135. Kitab Muwaththa’ adalah kitab yang pertama kali mengenalkan klasifikasi pembukuan hadis berdasarkan topiknya atau populer dengan metode tabwib. 13 Dalam disiplin ilmu hadis, kitab jami’ adalah kitab dimana metode penyusunannya mencakup segala macam topik agama yang dibutuhkan, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, sejarah, sirah, manaqib, dan lain-lainnya. Muhammad al-Kattânî, ar-Risâlah al-Mustathrafah (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmîyah, 1986), 4 14 Kata Sunan adalah bentuk jamak dari kata sunnah, yang pengertiannya sama dengan hadis. Metode sunan adalah metode penyusunan kitab hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu’. Thahhan, Ushûl, 141.
15 al-Kutub al-Sittah. Metode musnad juga muncul pada periode ini, seperti Musnad Ahmad.15 Penyusunan kitab hadis pada periode selanjutnya lebih mengarah kepada usaha pengembangannya dengan beberapa variasi penulisan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Metode-metode yang digunakan adalah metode majma’, syarah, mukhtashar, mustakhraj, athrâf, zawâ`id, mustadrak, dan mu’jam.16 Sejarah penulisan kitab hadis ini akan memberikan kerangka yang jelas terhadap tradisi penulisan kitab Arba’ûn, karena suatu tradisi tidak terlepas dari tradisi lain yang lebih besar. Tradisi penulisan kitab Arba’ûn tidak muncul dalam ruang yang kosong, akan tetapi muncul dalam latar belakang sejarah penulisan kitab hadis secara umum. Sejarah penulisan kitab Arba’ûn sendiri akan dibahas pada sub bab berikutnya. 15 Metode musnad adalah metode pembukuan hadis berdasarkan nama sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis itu. Thahhan, Ushûl, 40. Hadis yang dihimpun kitab musnad bervariasi, ada yang sahih, hasan dan dha’if. 16 Munzir Suparta dan Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 78. Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 75-77. Metode Majma’ adalah Metode tersebut dengan menggabungkan kitab-kitab hadis yang sudah ada, seperti kitab al-Jam’u bayna ash-Shahîhayn karya al-Humaydî (w. 488 H) merupakan gabungan antara kitab Shahih alBukhori dan Shahih Muslim. Metode Mustakhraj adalah penyusunan kitab hadis dengan menuliskan kembali hadis-hadis dalam kitab lain, kemudian penulisan kitab tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, seperti al-Mustakhraj ‘ala Shahîh al-Bukharî karya Ismâ’îlî (w. 371 H). Metode Athraf adalah metode penyusunan hadis dengan hanya menyebutkan pangkalnya saja sebagai petunjuk matan hadis selengkapnya, serta menyebutkan jalur sanadnya secara lengkap atau membatasai sanad sampai kitab-kitab hadis tertentu, seperti Tuhfat al-Asyrâf bi Ma’rifat al-Athrâf karya ‘Abd al-Rahman al-Mizzi (w. 742 H). Metode zawa`id adalah metode penyusunan hadishadis yang hanya ditulis oleh penulis kitab hadis tertentu saja, sementara yang lainnya tidak menulisnya, seperti kitab Mishbâh az-Zujâjah fi Zawâ`id Ibn Majah karya al-Busyairî (w. 840 H) yang berisi hadis-hadis yang ditulis hanya oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan dan tidak terdapat dalam lima kitab yang lain. Metode Mustadrak adalah metode pembukuan hadis berdasarkan penyusunan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis yang lain dengan mengikuti persyaratan yang dipakainya, kitab al-Mustadrak ‘ala ash-Shahîhayn karya al-Hâkim an-Naisâburî (w. 405 H). Metode Mu’jam adalah metode penulisan kitab hadis dimana hadis-hadis yang terdapat di dalamnya disusun berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadis, negerinegeri, atau yang lain, yang lazimnya berdasarkan huruf mu’jam, seperti kitab al-Mu’jam alKabîr, al-Mu’jam al-Awsath, dan al-Mu’jam ash-Shaghîr karya ath-Thabarî (w. 360 H).
16 B. Sejarah Muncul dan Perkembangan Kitab Arba’ûn a. Pengertian Kitab Hadis Arba’ûn Sebenarnya ada banyak variasi istilah yang digunakan ulama selain istilah Kitab al-Arba’în. Beberapa ulama menggunakan istilah alArba’ûna Hadîtsan dan terekam dalam sebagian judul Kitab Arba’ûn.17 Kadang-kadang para ulama memakainya dalam bentuk jama’, yaitu Arba’ûnât atau ditambah ya’ nisbah di belakangnya sehingga menjadi Arba’ûnîyât untuk menunjuk kepada kelompok kitab Arba’în.18 Kata Arba’ûn berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti angka empat puluh. Secara etimologis, pengertian Kitab Arba’ûn diartikan sebagai sebuah lembaran berjilid yang berisi informasi yang berjumlah empat puluh buah topik bahasan atau bab. Sedangkan pengertian Kitab Arba’ûn menurut terminologi ahli hadis, beberapa pengertian dapat penulis kemukakan sebagai berikut: Pertama, menurut Khalid Alavi bahwa Kitab Arba’ûn adalah buku koleksi hadis yang terdiri dari pilihan laporan sejumlah empat puluh hadis, baik tentang etika umum maupun tentang subjek yang spesifik.19 Kedua, menurut Jamila Syaukat pengertian Kitab Arba’ûn adalah suatu kumpulan empat puluh hadis yang biasanya berkaitan dengan
17
Seperti judul kitab yang menjadi obyek kajian skripsi ini. Seperti yang digunakan oleh Shadr al-Dîn al-Bakri. Lihat: Al-Arba’ûna Hadîtsan, alArba’ûn min Arba’îna ‘an Arba’îna (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1980), 12-13 19 Khalid Alavi. “The Concept of Arba’in and Its Basis in The Islamic Tradition.” Islamic Studies 3, (Autumn 1983), 71. 18
17 berbagai jenis masalah yang tentu saja menjadi minat sang pengumpul hadis.20 Ketiga, menurut Muhammad Yâsin al-Fâdâni adalah
xwِ Wvً fْ tِ s َ [ َ dْ rِ qَ ْ َأرWpَ oْ nِ m l ى ُآhِ g ْ fَ ٍةeَ dْ cِ b َ ] َ^ا ٍء ْ [ْ َأS َ ٌ َرةWUَ S ِ Wpَ ] ُ e َ fُ ِ َوoِ dْ rَ qِ WًSْhy ُ ْhnَ ُ َ ~ َ }ٍ n{ WS َ ْ[ َأو ٍ d{ rَ nُ ع ٍ ْhy ُ ْhnَ ا{ ِىxqِ Wg َ { ~ ا { –إtِ oَ { [ ا ِS َ َد ًةe{ َ nُ Wpَ ُ َ fُ ْ ِ َأوtِ dْ ِ W َ َqِ ُ َ
ُ ا 21 .ُ ] َ e{ َ ْtَ ب ا{ ِى َ Wَ ِ ْ َواWrً Uْ َ َ fْ tِ g َ ْ َر َوى ا Juz-juz kecil yang terdiri dari empat puluh hadis dalam judul khusus atau topik yang umum, yang ditakhrij oleh penyusunnya dengan sanadnya sendiri atau disusunnya tanpa mencantumkan sanad–kecuali perawi hadis dari kalangan sahabat tentunya dan kitab hadis yang telah lebih dulu mentakhrijnya.. Jadi, menurut beberapa pengertian di atas Kitab Arba’ûn dapat penulis simpulkan adalah suatu kitab juz yang menghimpun hadis sebanyak empat puluh buah hadis dalam judul khusus, maupun lebih dari empat puluh hadis dalam empat puluh bab dengan mencantumkan sanadnya secara lengkap atau tanpa mencantumkan sanad secara lengkap dalam berbagai jenis masalah yang menjadi minat sang penyusun hadis. b. Sejarah Muncul Kitab Arba’ûn Kitab Arba’ûn muncul pertama kali pada masa kodifikasi hadis atau tadwin hadis, yaitu setelah Ibn Syihâb Az-Zuhrî (w. 124 H) sampai permulaan abad ke-3 H. Ulama yang pertama kali menulis kitab Arba’ûn
20
359.
21
Jamila Shaukat, “Classification of Hadits Literature,” Islamic Studies 3 (Autumn 1985),
Muhammad Yâsîn al-Fâdâni, al-Arba’ûn al-Buldânîyah. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir alIslâmîyah, 1986), 3
18 adalah ‘Abdullâh Ibn al-Mubârak al-Marwazî,22 yang hidup antara tahun 118-181 H. Ibn al-Mubârak adalah tokoh gerakan penulisan hadis dari kalangan tabi’in dan tabi’ at-tabi’in di Khurosan, setelah Ibn Syihâb Az-Zuhrî. Bentuk kitab Arba’ûn karya Ibn al-Mubârak ini, tidak diketahui secara pasti, karena kitab ini tidak sampai kepada kita. Tetapi sebagaimana karakteristik metode juz yang sederhana, maka mungkin sekali bentuknya juga sangat sederhana. Adapun tentang kandungan hadis yang ada di dalamnya pun mungkin sekali masih bercampur antara hadis sahih, hasan, maupun yang dha’if. Hal ini terjadi karena kitab ini ditulis pada masa kodifikasi dan masa sebelum masa seleksi atau penyaringan hadis. Para ulama pada masa itu belum berhasil memisahkan antara hadis mawquf dan maqthu’ dari hadis yang marfu’, begitu juga hadis dha’if dan mawdhu’ dari yang sahih.23 Namun nampaknya di dalam menulis hadis, Ibn al-Mubârak berusaha mencantumkan rangkaian sanad yang ada, karena ia pernah mengatakan, “Isnâd adalah bagian dari agama, kalau tidak ada Isnâd, maka orang akan berkata sekehendak hatinya.”24 c. Perkembangan Penulisan Kitab Arba’ûn Penulisan Kitab Arba’ûn yang muncul pada akhir abad ke-2 H, yang dipelopori oleh ‘Abdullâh Ibn al-Mubârak al-Marwazî, ternyata 22
Yahya Ibn Syaraf An-Nawawî, Al-Arba’în An-Nawawîyah. (Surabaya: Penerbit Miftah), 3; Muhammad Yâsin al-Fâdâni, al-Arba’ûna Hadîtsan. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmiyah, 1987), 3; Hajji Khalifah, Kasyf al-Zhunûn. (Istanbul, 1941), 57; Khalid Alavi, “A Brief Survey of Arb’ain Literature, Upto the Time of al-Nawawi.” Islamic Studies 2 (Summer 1984), 67. 23 Munzir Suparta & Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), 77 24 Mahmûd Tahhân. Ushûl at-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd. (Maktabah Ar-Rusyd), 158
19 diikuti oleh para ulama pada periode seleksi atau penyaringan hadis sekitar tahun 201-300 H dan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penulisan kitab hadis pada abad-abad sesudahnya. Pada abad ke-3 H penulis kitab Arba’ûn antara lain Ahmad Ibn Harb an-Naisâburî (w. 234 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), salah seorang penulis Kutub al-Sittah, dan Muhammad Ibn Aslam al-Thûsi (w. 242 H).25 Pada abad ke-4 H muncul kitab-kitab Arba’ûn yang memasukkan hadis tentang hukum atau fiqh oleh Hasan Ibn Sufyân al-Nasawi (w. 303 H).26 Nampaknya hal ini sejalan dengan maraknya penulisan kitab-kitab sunan pada masa itu, seperti Sunan Abu Dawud (w. 275 H), Sunan Ibnu Majah (w. 275 H), Sunan al-Nasa’i (w. 303 H), dan lain sebagainya. Pada abad ini juga muncul kitab-kitab Arba’ûn yang bertemakan ilmu dan keutamaannya, seperti yang ditulis oleh Abu Bakr Muhammad Ibn Husayn al-Ajurri (w. 306 H),27 yang lalu diikuti oleh Muhammad Ibn Ibrahim al-Asbihâni (w. 381 H) dan Muhammad Ibn ‘Abdillah al-Jawzaqî (w. 388 H). Penulis kitab Arba’ûn yang lain diantaranya adalah alDâruquthni (w. 385 H) yang menghimpun hadis berdasar syarat Bukhori dan Muslim. 25
Ibnu ‘Asâkir, al-Arba’ûn al-Buldâniyah. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), 32; Yahya Ibn Syaraf An-Nawawî, Al-Arba’în An-Nawawîyah. (Surabaya: Penerbit Miftah), 3; Khalid Alavi, a Brief Survey, 70. Nawawi dan Ibn ‘Asakir memasukkan al-Thusi sebagai penerus langsung Abdullah Ibn Mubarak, tetapi menurut penelitian Khalid Alavi, Ahmad Ibn Harb an-Naisâburî sebagai penerus langsung darinya. 26 Ibn ‘Asâkir, al-Arba’ûn al-Buldâniyah, 32; dan Khalid Alavi, a Brief Survey, 70. Kitab Arba’un karya al-Nasawi ini bisa didownload dari www.al-mostafa.com dalam format pdf dengan nomor file 000430. 27 al-Nawawi, al-Arba’in al-Nawawiyah, 3; Ibnu ‘Asâkir, al-Arba’ûn al-Buldâniyah, 33; alKattani, al-Risâlah al-Mustathrafah. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmiyah, 1986), 102; dan Alavi, a Brief Survey, 70. Kitab ini bisa juga dibaca di program al-Maktabah al-Syâmilah versi 2 dengan judul al-Arba’un Haditsan li al-Ajurri.
20 Pada abad ke-5 H muncul kitab-kitab Arba’ûn berkenaan dengan ajaran tashawuf (Shufi) dan keutamaan seseorang tokoh. Kitab Arba’în berkenaan dengan tashawuf ditulis oleh para shufi abad ini, seperti Ahmad Ibn Zayd Ibn ‘Abdillah al-Hasyimi (w. 400 H), yang lalu diikuti oleh Ahmad Ibn Muhammad al-Malini (w. 412 H) dengan judul Kitab alArba’în Hadîtsan min Ahâdits al-Syuyûkh al-Zuhâd wa Hibârim, Muhammad Ibn Husain al-Sulami (w. 422 H) dengan judul Kitab alArba’în li al-Shûfiyah, Ahmad Ibn ‘Abdillah al-Asfihani (w. 430 H) dengan judul Kitab al-Arba’în ‘ala al-Madzhab al-Muhaqqiqîn min alShûfiyah, ‘Abd al-Karim Ibn Hawazin al-Qusyairi (w. 465 H) berjudul Kitab al-Arba’în fi al-Zuhâd wa al-Raqâ`iq wa Targhîb fi A’mal al-Birr, Ahmad Ibn ‘Abd al-Mâlik al-Naisâburi (w. 470 H) berjudul Kitab alArba’în al-Tsâni fi Dzikr Thabaqât al-Masyâyikh al-Shûfiyah wa Zuhâd al-Tharîqah, dan lain sebagainya. 28 Sedangkan kitab Arba’ûn yang berkenaan dengan keutamaan tokoh tertentu ditulis oleh Muhammad Ibn ‘Abdillâh al-Hâkim alNaisâburi (w. 405 H),29 yakni tentang keutamaan Abu Bakr, ‘Umar dan Utsman, dan oleh Hamzah Ibn Yusuf al-Sahmi al-Jurjani (w. 427 H) berjudul Kitab al-Arba’în fi Fadhâ`il al-‘Abbâs.30
28
Alavi, a Brief Survey, 71-72. Ibnu ‘Asakir, al-Arba’ûn al-Buldâniyah, 35 30 Hâji Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn, 57; Khalid Alavi, a Brief Survey, 71 29
21 Penulis kitab Arba’ûn yang lain adalah Ahmad Ibn Husayn alBayhaqi (w. 458 H) dengan dua kitab Arba’ûn, yaitu al-Arba’ûn alShughra dan Kitab al-Arba’în al-Shaghîr.31 Pada abad ke-6 H, muncul kitab-kitab Arba’ûn yang mendasarkan bab-babnya pada sanad hadis, yaitu kitab Arba’ûn riwayat 40 syaykh, alArba’ûn al-Buldâniyah,32 dan Arba’ûn dengan isnâd ‘âli (isnad superior). Kitab Arba’ûn riwayat 40 syaykh disusun oleh Muhammad Ibn Ahmad alFurâwi (w. 530 H), Muhammad Ibn Yahya al-Naysâburi (w. 548 H), ‘Abd al-Khâliq Ibn Abu al-Qâsim al-Sahami (w. 549 H), dan Muhammad Ibn ‘Ali al-Thâ`i (w. 555 H). Penulis kitab al-Arba’ûn al-Buldâniyah pertama kali adalah Ahmad Ibn Muhammad al-Silafi (w. 576 H) dengan judul Kitab al-Arba’în ‘An Arba’în Syaykhan fi Arba’în Madinah. Model kitab seperti ini kemudian diikuti oleh Ibn ‘Asakir (w. 571 H). Setelah itu banyak sekali ulama yang mengikuti jejak al-Silafi dan Ibn ‘Asâkir, seperti diantaranya Abu Ya’qûb Yûsuf Ibn Muhammad (w. 585 H), ‘Abdullâh Ibn Abi Hafsh al-Qusyayrî (w. 600 H), Abu ‘Abdillâh Ismâ’îl al-Makki (w. 606 H), dan lain sebagainya.
33
Sedangkan penulis kitab Arba’în yang
menghimpun hadis dengan isnad yang ‘ali (superior) adalah Hibbat alRahmân Ibn ‘Abd al-Wâhid al-Qusyayri (w. 546 H) dengan judul Kitab al31
Khalid Alavi, a Brief Survey, 72 Al-Arba’ûn al-Buldâniyah adalah bagian dari kelompok kitab Arba’un seperti al-Arba’ûn al-Buldâniyah karya al-Hafizh Abi Thahir as-Silafi (w. 576 H) yang menghimpun empat puluh hadits dari empat puluh syaykh di empat puluh kota (Arba’in Hadîtsan ‘an Arba’în Syaykhan fi Arba’în Madinah). Shadr al-Dîn al-Bakri, al-Arba’ûn Hadîtsan. (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmi, 2005), 12 33 Muhammad Yâsîn al-Fâdâni, al-Arba’ûn al-Buldâniyah. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir alIslâmiyah, 1986), 3; Ibnu ‘Asâkir, , al-Arba’ûn al-Buldâniyah. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), 37; Alavi, a Brief Survey, 74; Shadr al-Dîn al-Bakri, al-Arba’ûn Hadîtsan. (Beirut: Dâr al-Gharb alIslâmi, 2005), 12 32
22 Arba’în al-Subâ’iyah, Abu al-Barakât ‘Abdullâh al-Farâwi (w. 549 H), dan Muhammad Ibn Abu al-Hasan al-Thûsi (w. 550 H), serta ibnu ‘Asakir dengan judul Kitab al-Arba’în al-Subâ’iyah.34. Penulisan kitab Arba’ûn berdasarkan matan hadis pada abad ini masih dilakukan, bahkan untuk tema-tema yang belum ada sebelumnya, seperti tentang tema jihad dan ushuluddin. Kitab Arba’ûn bertemakan jihad ditulis oleh Ibn ‘Asakir dengan judul al-Arba’ûn fi Ijtihâd li Iqâmat Fardh al-Jihâd dan Arba’ûn fi al-Hatsts ‘ala al-Jihâd.35 Kitab Arba’ûn yang bertemakan ushuluddin ditulis oleh Imam al-Ghazali (w. 555/1111) yang kemudian diikuti oleh Fakhr al-Dîn al-Râzi (w. 606/1209).36 Model-model penulisan kitab al-Arba’ûn al-Buldâniyah dan riwayat 40 syaykh nampaknya menjadi trend pada abad ke-6 H, dan masih berlanjut pada abad ke-7 H. Pada abad ke-7 H ini penulis kitab al-Arba’ûn al-Buldâniyah diantaranya adalah Abu ‘Abdillah Ismâ’il al-Makki, Muhammad Ibn Abi al-Shayf al-Yamani (w. 609 H), dan ‘Abd al-Qadir Ibn ‘Abdillah al-Ruhawi (w. 612 H).37 Penulis kitab Arba’ûn riwayat 40 syaykh adalah Syaraf al-Din al-Maqdisi (w. 611 H) dan Jamal al-Din Muhammad Ibn Abu Hasan al-Shabuni (w. 680 H).38 Pada abad ini muncul pula kitab Arba’ûn al-Qudsiyah yang menghimpun hadis-hadis qudsi yang disusun oleh Muhyi al-Din Ibn 34
Dr. G. F. Haddad. Ibnu ‘Asakir, (online) http://www.sunnah.org/history/Scholars/ ibn_asakir.htm 35 Hâji Khalifah, Kasyf al-Zhunûn, 55; Ibn ‘Asâkir, al-Arba’ûn al-Buldâniyah, 37; alKattâni, al-Risâlah al-Mustathrafah, 102. 36 Hâji Khalifah, Kasyf al-Zhunûn, 61; 37 Khalid Alavi, a Brief Survey, 75 38 Ibid., 76
23 ‘Arabi (w. 633 H).39 Tema-tema hadis Arba’ûn yang lain juga masih banyak disusun pada abad ini, seperti yang berkenaan dengan Ushuluddin yang ditulis oleh Fakhr al-Dîn al-Râzi, dan berkenaan dengan keutamaan tokoh tertentu seperti kitab Arba’ûn karya ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Asâkir (w. 620 H) tentang istri-istri Nabi. Tokoh penulis Arba’în yang paling populer pada abad ini adalah Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H) yang menulis kitab al-Arba’ûn fi Mabâni al-Islâm wa Qawâ’id al-Ahkâm yang lebih dikenal dengan alArba’în al-Nawawiyah. Kitab ini seperti namanya menghimpun empat puluh hadis tentang pondasi-pondasi Islam dan kaedah-kaedah hukum Islam. Kepopuleran Kitab Arba’în Nawawi ternyata membuat para ulama banyak yang lebih memilih untuk memberikan komentar dan syarah terhadapnya, daripada menyusun kitab Arba’ûn sendiri, pada masa-masa selanjutnya. Pada abad ke-8 H, sebagaimana catatan Khalid Alavi, ada tiga belas kitab syarah Arba’în Nawawi; pada abad ke-9 ada delapan kitab syarah, dan pada abad ke-10 H tercatat lima kitab syarah. Sekedar contoh adalah kitab syarah Ibn Daqîq al-‘Îd (w. 702 H), al-Manhaj al-Mubîn fi Syarh al-Arba’în karya Tâj ad-Din ‘Umar Ibn ‘Ali al-Fakihâni (w. 731 H), Natsr Farâ`id al-Murabbi’in al-Manwiyah fi Nasyr fawâ`id al-Arba’în anNawawiyah karya Zain ad-Din Sarija Ibn Muhammad al-Malathi (w. 788 H), ad-Durr ar-Rasîn al-Mustakhraj min Bahr al-Arba’în karya
39
Hâji Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn, 58; Khalid Alavi, a Brief Survey, 76.
24 Muhammad Ibn Muhammad as-Su’ûdi (w. 788 H), Tabyîn fi Syarh alArba’în karya ‘Izz ad-Dîn Ibn Jamâ’ah Muhammad Ibn Abi Bakr (w. 819 H), dan al-Majâlis as-Saniyah fi al-Kalâm ‘ala al-Arba’în an-Nawawiyah karya Ahmad Ibn Hijâzi al-Fasyâni (w. 978 H).40 Maraknya kitab syarah pada abad ke-8, 9, dan 10 H ini bukan berarti tidak ada kitab Arba’ûn lain yang disusun oleh para ulama. Ada beberapa ulama yang menyusun kitab Arba’ûn lain, seperti pada abad 8 H antara lain Yusuf Ibn Muhammad al-‘Âbidi al-Hanbali (w. 776 H) yang menyusun al-Arba’în ash-Shahihah, dan Muhib ad-Dîn Ahmad Ibn ‘Abdillah ath-Thabari (w. 794 H) yang menyusun al-Arba’în fi al-Hajj. 41 Penulis kitab Arba’ûn pada abad 9 H, antara lain Abu al-Fadhl ‘Abd ar-Rahîm Ibn Husayn al-‘Irâqi (w. 802 H) yang menyusun alArba’în al-‘Isyâriyat42, Ibn Hajar al-‘Asqalâni (w. 852 H) yang menyusun al-Imtâ’ bi al-Arba’în al-Mutabâyinah as-Simâ’. 43 Sedangkan penulis kitab Arba’în pada abad ke-10 H, adalah Jalâl ad-Dîn as-Suyûthi (w. 911 H) menulis Lubâb al-Hadîts, al-Arba'ûn Hadîtsan fi Qawā’îd al-Ahkâm al-Syar’îyah, al-Arba’în fi Fadhl al-Jihâd, al-Arba’ûn fi Raf’ al-Yadayn fi ad-Du’â`, al-Arba’ûn min Riwâyat Mâlik, dan al-Arba’ûn al-Mutabâyinah; Ibn Hajar al-Haitami (w. 973 H) yang menyusun kitab al-Arba’în al-‘Adliyah dan dihadiahkan kepada Sultan
40
Khalid Alavi, “Arba’in Nawawi and It’s Commentaries: an Overview,” Islamic Studies 3, (Islamad, Autumn 1985), 350-353. 41 Hâji Khalifah, Kasyf al-Zhunûn, 55, 56 42 Kitab ini bisa di download di www.al-mostafa.com, dalam bentuk pdf dengan nomor file 000479. 43 Hâji Khalifah, Kasyf al-Zhunûn, 58
25 Sulaiman Khan; dan Jamâl ad-Dîn Ibrâhîm Ibn ‘Ali al-Qalqasyandi (w. 960 H) yang menyusun kitab al-Arba’ûn ‘Isyâriyat al-Isnâd. 44 Pada masa-masa selanjutnya para penulis Arba’ûn hanya melanjutkan bentuk penulisan Arba’ûn yang telah ada. Akan tetapi yang menarik justru beberapa ulama nusantara ikut ambil bagian dalam tradisi ini, sebutlah Muhammad Mahfuzh at-Tirmasi (w. 1338 H) yang menulis kitab Arba’ûn berjudul al-Minhah al-Khairiyah45 dan Syaykh Muhammad Yasin yang menulis Kitab al-Arba’ûn al-Buldâniyah dan al-Arba’ûn Hadîtsan yang menjadi obyek pembahasan skripsi ini. Selain itu beberapa kitab Arba’ûn dapat disebutkan di sini antara lain ‘Ali Ibn Sulthân Muhammad al-Qârî (w. 1014 H) yang menyusun Faydh al-Mu’în ‘ala Jam’ al-Arba’în fi Fadhl al-Qur’ân al-‘Azhim, Shah Wali Allah ad-Dihlawi (lahir 1703 M), dan Yûsuf an-Nabhâni (w. 1350 H) menulis Risâlah al-Arba’în fi Amtsâl an-Nabi.46 Nampaklah bahwa penulisan kitab hadis Arba’în sebagaimana penulis sebutkan di muka menunjukkan penulisan kitab hadis Arba’în telah membentuk tradisi, dimana metode ini selalu diwariskan dalam tiap babakan sejarah yang ada dan melakukan penulisan kitab hadis Arba’în, bahkan dalam jumlah yang sangat banyak. Tradisi ini dimulai oleh Abdullâh Ibn al-Mubârak al-Marwazi pada periode kodifikasi atau tadwin
44
Hâji Khalifah, Kasyf al-Zhunûn, 56-57 Muhammad Mahfûzh al-Tirmasi, al-Minhah al-Khairiyah (Demak: Hafîdz al-Mu’allif Harir Ibn Muhammad Mahfûzh al-Tirmasi, 1990) 46 Yûsuf al-Nabhâni, Risalah al-Ahadîts al-Arba’in min Amtsâl Afshah al-‘Âlamîn (Kuwait: Maktabah Dâr al-Ghurûbah, 1988) 45
26 hadis, dan selalu dilanjutkan oleh para ulama hadis pada tiap kurun waktu tertentu hingga masa sekarang ini.
C. Dasar Penyusunan Kitab Hadis Arba’ûn Penyusunan Kitab Arba’ûn didasarkan kepada Hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Wً pdْ ¤ِ wَ }ِ nَ Wdَ ¤ِ ْ ْ َم اhfَ ¢ ُ ُ اvَ rَ qَ Wpَ qِ ن َ ْhrُ ِ َ oْ fَ Wً vfْ tِ s َ [ َ dْ rِ qَ ْ َأر ِ n{ ُأxَS َ َ ِ s َ ْ [nَ 47 W
ً ِWS َ Barangsiapa menjaga (menghafal) empat puluh hadis bagi kepentingan umatku dan mereka memanfaatkannya, maka Allah membangkitkannya pada hari kiamat sebagai seorang yang faqih dan alim. Hadis ini diriwayatkan oleh Bayhaqi dari ‘Ali Ibn Abi Thâlib. Dalam riwayat lain, Allah akan membangkitkannya termasuk kedalam golongan fuqaha dan ulama. Dan dalam riwayat Abu Dardâ` Allah akan memberi syafaat dan menjadi saksi, sedangkan dalam riwayat Ibnu Mas’ud, akan dikatakan kepadanya, “Masuklah engkau dari mana saja pintu surga yang engkau kehendaki.” Selain semua riwayat tersebut, masih ada riwayat Muâdz Ibn Jabal, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbâs, Anas Ibn Mâlik, Abu Hurayrah, Abu Sa’îd al-Khudri.48 Ibnu Jawzi dalam al-‘Ilal al-
47
Baihaqi. Al-Arba’ûn ash-Shughro (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986), 13-14. Hadis ini tidak ditemukan, baik dalam kitab Shahih Bukhori dan Muslim, maupun kitab induk yang lain. 48 Nawawi. Arba’ûn, 4-5; al-Khâthib al-Baghdâdi. Târikh Baghdâd (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 322
27 Mutawâliyah menyebutkan 23 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.49 Namun, Ibnu Mundzir menyimpulkan bahwa semua hadis-hadis itu jalur sanadnya tidak ada yang selamat dari cacat. Begitu juga adDâruquthnî telah mengatakan, “Tidak ada yang kuat satu pun di antara hadis-hadis itu.50 An-Nawawi sebagai penulis Kitab Arba’ûn sendiri mengatakan bahwa para hafidz sepakat bahwa hadis-hadis tersebut adalah dhaif.51 Walaupun hadis-hadis tersebut dhaif, ternyata mampu memotivasi penulisan Kitab Arba’ûn seperti yang telah penulis sebutkan dalam Sub Bab sebelumnya. Namun sebenarnya, sikap para penulis Kitab Arba’ûn terhadap Hadis Dhaif dapat dibagi kedalam dua kelompok. Pertama, menganggap bahwa hadis di atas adalah dhaif, dan hadis dengan predikat tersebut dapat digunakan sebagai fadhâ`il al-a’mâl. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas penulis Kitab Arba’ûn. Kedua, berpendapat bahwa hadis di atas adalah hasan. 1. Bolehnya Hadis Dhaif dipergunakan untuk fadhâ`il al-’amâl Para penulis Kitab Arba’ûn bisa termotivasi oleh hadis-hadis itu–walaupun dhaif–karena mereka berkeyakinan tentang bolehnya hadis dhaif digunakan sebagai fadhâ`il al-‘amâl. Sebenarnya ini adalah 49
Baihaqi. Al-Arba’un, 15 Ibid. 51 Nawawi. Arba’un, 4-5 50
28 pendapat ahli hadis, seperti Imam Ahmad dan sebagian fuqaha seperti Ibn ‘Abd al-Barr. Walau begitu, para ulama mensyaratkan bahwa hadis dhaif harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa kelemahan hadis tersebut tidak seberapa dan perawinya tidak tertuduh dusta, bahwa memegangnya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang sudah dibenarkan, dan bahwa memeganginya tidak beritikad bahwa hadis tersebut dari Nabi SAW, hanya sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasar sama sekali.52 2. Pendapat bahwa Hadis di atas adalah hasan Pendapat ini adalah pendapat Syaykh Yâsin al-Fâdâni.53 Nampaknya ia melihat bahwa hadis dhaif, kalau tidak terlalu lemah dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi, karena ada syawahid dan mutabi’ dari hadis lain yang senada. Memang sebagaimana disebutkan terdahulu membuktikan banyaknya riwayat hadis tersebut. Hadis hasan dapat digunakan sebagai hujjah (argumen) sebagaimana hadis sahih. Pendapat yang pertama maupun yang kedua menunjukkan kebolehan menggunakan hadis-hadis tersebut sebagai dasar untuk penyusunan Kitab Arba’ûn. Dengan begitu para penulis Kitab Arba’ûn mendapatkan justifikasi dan motivasi darinya.
52
Mahfuzh At-Tirmasi. Minhaj Dzaw an-Nazhar. (Kairo: Mustafa Halaby, 1954), 97 Muhammad Yâsîn al-Fâdâni. al-Arba’ûn Hadîtsan. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir alIslâmîyah, 1983), 64 53
29 D. Sistematika Penyusunan Kitab Arba’ûn Sistematika penyusunan Kitab Arba’ûn itu beragam, dapat penulis klasifikasikan sebagai berikut: a. Klasifikasi berdasarkan bab-bab hadis Khalid Alavi telah membuat klasifikasi yang disarikan dari kitab Arba’în Nawawi dan Ibnu ‘Asakir54, yakni kategori berdasarkan matannya dan kategori berdasarkan sanad hadisnya, dan dapat penulis paparkan sebagai berikut: a. Kategori berdasarkan matan hadis adalah kategori kitab Arba’în yang menghimpun empat puluh hadis dalam bab-bab dengan tema tentang: 1) Tauhid dan sifat Allah SWT. 2) Ibadah 3) Ushuluddin 4) Furu’ 5) Hukum Islam 6) Zuhd 7) Nasehat, peringatan dan khutbah. 8) Jihad 9) Keutamaan seseorang atau tempat 10) Keutamaan Haji 11) Bukti Kenabian
54
Khâlid Alavi, “A Brief Survey of Arba’in Literature,” Islamic Studies 2 (Summer 1984), 68-69. Klasifikasi oleh Khalid Alavi ini kemudian penulis kembangkan dengan memberikan contoh-contoh Kitab Arba’in yang termasuk ke dalam masing-masing kelompok.
30 b. Kategori berdasarkan sanad hadis adalah kategori kitab Arba’în yang menghimpun empat puluh hadis dengan kualifikasi sebagai berikut: 12) Hadis sahih dan selamat dari tuduhan dusta 13) al-Asanid al-‘Aliyah (isnad-isnad superior) 14) Takhrij hadis bermatan panjang dan jelas bagi pendengar 15) Riwayat 40 syaikh atau sahabat 16) al-Arba’în al-Buldâniyah 17) al-Ahadits al-Qudsiyah Berbeda dengan an-Nawawi dan Ibnu ‘Asâkir, Shadr al-Dîn alBakrî mengklasifikasikan kitab Arba’un berdasarkan kategori kitab yang menghimpun empat puluh hadis dalam bab-bab dengan tema-tema sebagai berikut: 1. Sunan 2. Jihad 3. Meninggalkan perbuatan zhalim 4. Larangan memaki sesama muslim 5. Kaedah-kaedah hukum 6. Keutamaan masjid 7. Hadis-hadis yang ditakhrij dari kitab-kitab hadis yang masyhur 8. Hadis-hadis riwayat ahli hadis tertentu 9. Menggunakan jumlah isnad sebagai judulnya, seperti rubâ’iyat dan tusâ’iyat. 10. al-Arba’ûn al-Buldâniyah
31 11. al-Arba’ûn al-Kitâbiyah55 b. Klasifikasi berdasarkan jumlah hadis Jumlah empat puluh buah dalam hadis tentang keutamaan menjaga atau menghafal empat puluh hadis, ternyata tidak difahami secara mutlak. Karena diantara ulama penulis Kitab Arba’ûn, sebagian konsisten dengan jumlah empat puluh buah dan sebagian lain menghimpun lebih dari empat puluh buah hadis dalam empat puluh bab hadis. i.
Kitab-kitab Arba’ûn yang menghimpun empat puluh buah hadis diantaranya adalah al-Arba’ûna Haditsan ‘an Arba’îna Syaykhan min Arba’îna Kitâban karya Syaykh Yâsîn al-Fâdânî, Mawâ’îd al‘Ushfûriyah karya Muhammad Ibn Abi Bakr,56 dan lain-lain.
ii.
Kitab-kitab Arba’ûn yang menghimpun empat puluh buah bab hadis dengan jumlah lebih dari empat puluh buah hadis. Diantaranya adalah al-Arba’ûn ash-Shughra karya al-Baihaqi yang memuat 154 buah hadis dengan jumlah tiap-tiap babnya tidak sama. Lubâb al-Hadîts karya as-Suyuthi yang memuat hadis pada tiap babnya sepuluh hadis dengan jumlah seluruhnya adalah empat ratus buah hadis, dan lainlain.
55
Shadr al-Dîn al-Bakri, Al-Arba’ûna Hadîtsan, al-Arba’ûn min Arba’îna ‘an Arba’îna (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1980), 12-13 56 Muhammad Ibn Abî Bakr. Al-Mawâ’îd al-‘Ushfûrîyah. (Semarang: Karya Toha Putra, t.t)
32 c. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya penjelasan matan hadis Sebagian penulis Kitab Arba’ûn memberikan penjelasan terhadap kandungan matan hadis yang dihimpunnya, sebagian lain tidak memberikan penjelasan. i.
Kitab-kitab Arba’ûn yang memberikan penjelasan matan hadis diantaranya adalah al-Mawâ’îd al-‘Ushfûriyah karya Muhammad Ibn Abi Bakr. Matan hadis dijelaskan dan dilengkapi dengan atsar sahabat dan hikayat-hikayat yang beredar di kalangan ulama, dan al-Arba’ûn karya Taqiy al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Fâsi.57 Selain kitabkitab di atas, penjelasan hadis dapat dijumpai dalam kitab-kitab syarah, seperti dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits Syarah Lubab al-Hadits karya Nawawi al-Bantani, al-Majâlis as-Saniyah syarh al-Arba’ûn anNawawiyah karya Ahmad Ibn Hijâzi al-Fasyâni, dan lain sebagainya.
ii.
Kitab-kitab Arba’ûn yang tidak memberikan penjelasan kandungan matan hadis banyak sekali, diantaranya adalah al-Arba’ûn ashShughra karya al-Baihaqi dan lain-lain.
d. Klasifikasi berdasarkan kelengkapan pencantuman sanad Di
antara
penulis
Kitab
Arba’ûn
ternyata
tidak
semua
mencantumkan jalur sanad secara lengkap. Hal itu–pada kitab yang ditulis pasca enam kitab induk–mungkin dikarenakan semua hadis telah dibukukan secara lengkap. Selain itu mungkin dengan tidak lengkapnya jalur sanad yang dicantumkannya terasa lebih memudahkan. 57
Al-Kattâni, al-Risâlah, 104
33 i.
kitab-kitab Arba’ûn yang mencantumkan jalur sanad secara lengkap mulai dari Nabi kepada penulis kitab diantaranya adalah al-Arba’ûn ash-Shughra karya al-Bayhaqî.
ii.
kitab-kitab Arba’ûn yang tidak mencantumkan jalur sanad secara lengkap
diantaranya
al-Arba’ûn
an-Nawawiyah,
Mawâ’îd
al-
‘Ushfûriyah, Lubâb al-Hadîts, al-Minhah al-Khairiyah dan lain-lain. Demikianlah tradisi penulisan kitab hadis Arba’ûn yang dapat penulis sajikan dalam bab ini, lalu bagaimana posisi kitab al-Arba’ûna Hadîtsan karya Syaykh Yâsîn al-Fâdânî? Inilah yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
34 BAB III SYAYKH YÂSÎN AL-FÂDÂNÎ DAN TRADISI KEILMUAN HADIS
E. Biografi Intelektual Syaykh Yâsîn Al-Fâdânî Memahami jejak biografi seorang tokoh adalah suatu keharusan dalam melihat posisi pemikiran tokoh besar. Karena banyak hal yang tidak sempat terekam dalam karya-karya seorang tokoh, dan hanya dapat dipahami dengan melacak jejak biografinya,58 termasuk pemikiran hadis al-Arba’ûna Hadîtsan karya Syaykh Yâsîn Al-Fâdânî. Nama pengarang kitab al-Arba’ûna Hadîtsan yang menjadi obyek kajian skripsi ini adalah Muhammad Yâsîn al-Fâdânî al-Makki. Dilihat dari namanya, al-Fâdânî, maka dapat diketahui bahwa beliau masih punya hubungan dekat dengan kota Padang Sumatera Barat, sedang al-Makkî menunjuk kepada kota Makkah Arab Saudi. Memang benar bahwa beliau adalah seorang ulama yang mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan kota Padang karena orang tua dan nenek moyangnya berasal dari sana, akan tetapi beliau sendiri dilahirkan di kota Makkah. Ayah Syaykh Yâsîn bernama Isa dan kakeknya bernama Udik. Sedangkan anaknya bernama Muhammad dan Faydh. Oleh karenanya Syaykh mendapat laqab (julukan) Abu al-Faydh, ayahnya Faidh. Saudara Syaykh Yâsîn bernama Muhammad Thaha dan Ibrâhîm.59
58 59
Ali Syariati. Sosiologi Islam. (Yogyakarta: Ananda, 1982), 73-74 Mukhtâruddin al-Falimbâni. Bulûgh al-Amânî. (Beirut: Dâr al-Qutaybah, 1988), 7
35 Muhammad Yâsîn dilahirkan di Kota Makkah pada tahun 1335 H/ 1917 M dan meninggal pada tahun 1410 H/ 1990 M. Muhammad Yâsîn dibesarkan dalam keluarga yang relijius dan dalam tradisi keilmuan yang kuat. Ayahnya yang bernama Isa adalah seorang alim terutama dalam bidang ilmu hadis. Ia pernah mendapatkan ijazah dari ‘Abdullah Ibn Ibrâhim as-Sûdâni, seorang guru dari Madrasah al-Falâh dan di Masjidil Haram,60 dari Muhammad Mukhtâr Ibn ‘Athârid al-Boghori al-Makki pada tahun 1348 H,61 kelahiran Bogor yang mengajar di Masjid al-Haram selama lebih kurang 28 tahun, mulai 1321 H/ 1903 M hingga tahun 1349 H/1930 M (1862-1930),62 dan dari para Syaykh terkenal di Masjidil Haram yang tidak perlu disebutkan di sini. Kedua saudaranya, Muhammad Thâha dan Ibrâhim, juga seorang yang alim dan keduanya pernah mendapatkan ijazah dari Abu al-Mahâsin alBayrutî dan dari Syams ad-Dîn Muhammad Ibn Ibrâhîm al-Miski.63 Sedangkan Muhammad Thaha sendiri adalah lulusan Madrasah Dâr al-‘Ulûm ad-Dîniyah tahun 1358 H.64 Syaykh Yâsîn menimba ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri, Syaikh ‘Isa al-Fâdânî, lalu kepada pamannya, Syaykh Mahmûd al-Fâdânî. Setelah itu
60
al-Falimbâni. Bulûgh al-Amânî, 32 Ibid., 39 62 Shaghir Abdullah. “Tuan Mukhtar Bogor-`Ulama' ahli syari'at dan haqiqat.” (On line), http://ulama-nusantara.blogspot.com, diakses 30 Oktober 2009 63 al-Falimbâni. Bulûgh al-Amânî, 135, 140 64 Muhammad Yâsîn al-Fâdânî. Ithâf al-Mustafîd bi Gharar al-Asânîd. (Beirut: Dâr alBasya’îr al-Islâmiyyah, 1983), 2. 61
36 melanjutkan pendidikannya di Madrasah Shawlathiyyah (1346 H) dan akhirnya di Dar al-‘Ulûm ad-Dîniyyah, Makkah (tamat 1353 H). 65 Kedua madrasah ini sangat terkenal dan banyak murid nusantara yang belajar di sana. Madrasah Shawlathiyyah adalah Madrasah yang didirikan oleh seorang tokoh perempuan dari India, Shaulah al-Nisâ’, pada 1874, karena itu disebut Shawlathiyyah. Pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada seorang ulama militan yang dikenal karena polemik-polemiknya melawan para misionaris Kristen di India dan menjadi salah seorang pemimpin pemberontakan anti-Inggris pada tahun 1857, yaitu Rahmatullah ibn Khalîl al’Utsmânî. Sedangkan pendirian Madrasah Dâr al-‘Ulûm berlatar belakang kejadian yang menyinggung rasa nasionalisme Syaykh Yâsîn dan muridmurid Indonesia lainnya. Ada suatu kejadian di madrasah Shawlatiyah yang membuat Syaykh Yâsîn marah dan kemudian memutuskan untuk keluar. Pada suatu hari, seorang guru di madrasah itu merobek koran berbahasa Indonesia yang dibaca oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Guru itu juga mengejek aspirasi nasonalis orang-orang Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh yang memakai bahasa seperti itu tak akan bisa meraih kemerdekaan.66 Kejadian ini disaksikan langsung oleh Syaykh Yâsîn, dan tentu saja membuatnya marah dan memutuskan untuk keluar dari madrasah itu. Ia 65
Sabilur Rosyad, “Syaykh Yasin Al-Fadani.” (Online), http://sabilurrosyad. blogspot.com, diakses 21 Januari 2009 66 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), 35-36. Lihat: Ulil Abshar Abdalla, “Syaykh Yasin al-Fadani dan Nasionalisme Indonesia.” (On Line), http://islamlib.com, diakses 05 Agustus 2009; Sachrony, “Syech Yasin Al Padani Ulama Mekkah Keturunan Indonesia,” (Online) http://sachrony.wordpress.com, diakses 05 Agustus 2009
37 kemudian terlibat dalam usaha-usaha untuk mendirikan madrasah terpisah guna menampung mahasiswa asal Indonesia. Berdirilah Madrasah Dâr al‘Ulûm ad-Dîniyyah pada 1934. Ada sekitar 120 santri Jawa (istilah Jawa saat itu mencakup seluruh kawasan Indonesia, Melayu, bahkan juga Thailand Selatan) yang pindah ke madrasah baru itu, termasuk Syaykh Yâsîn sendiri.67 Selain pendidikan formal, Syaykh Yâsîn juga banyak berguru kepada para ulama besar Timur Tengah. Diantaranya beliau belajar ilmu Hadist pada Syaykh ‘Umar Hamdân, pada Syaykh Muhammad ‘Ali bin Husayn al-Mâliki, Syaykh ‘Umar Bajunaid, mufti Syâfi’iyyah Makkah, lalu pada Syaykh Sa’îd bin Muhammad al-Yamâni, dan Syaykh Hassan al-Yamâni. Dalam disiplin ilmu Ushul fiqh, beliau menimba ilmu diantaranya pada Syaykh Muhsin Ibn ‘Ali al-Falimbâni al-Makki (ulama keturunan Palembang yang tinggal di Makah), Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbâs al-Mâliki al-Makki (ayah kandung Sayyid Muhammad, ulama Sunni Kontemporer dari Arab Saudi) dan banyak ulama berpengaruh lainnya. Bahkan disebutkan bahwa jumlah gurunya mencapai kisaran 700 orang, lelaki maupun perempuan.68 Kehidupan sehari-hari Muhammad Yâsîn selalu diperuntukkan untuk ilmu. Di segala tempat dan kesempatan selalu dimanfaatkan untuk mencari ilmu. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya Syaykh yang menjadi gurunya dari berbagai madrasah seperti Madrasah ash-Shawlathiyah, Madrasah Dâr al‘Ulûm, Masjidil Haram, Madrasah al-Falâh, dan lain-lain. Selain itu ia juga berguru kepada Syaykh yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam, seperti 67 68
Ibid., 37 Sabilur Rosyad, “Syaykh Yasin.”
38 dari Yaman, Beirut, Damaskus, Indonesia, Mesir, Tunisia, Turki, dan lainlain. Dalam setiap kesempatan ia gunakan untuk mencari ilmu dengan berbagai cara, seperti berikut: Pertama, belajar secara formal di suatu madrasah, seperti di Madrasah ash-Shawlatiyah dan Madrasah Dar al-‘Ulûm ad-Dîniyah. Kedua, belajar pada Syaykh yang membuka halaqah di Masjid alHaram atau kuttab di rumahnya. Ketiga, mendatangi Syaykh tertentu dari berbagai daerah untuk mendapatkan hadis ketika mereka melaksanakan ibadah haji atau pada kesempatan yang lainnya, seperti ketika ia mendapatkan ijazah dari Kyai Bâqir al-Jogjawi saat beliau berkunjung untuk menghadiri Ihtifâl an-Nihâ`i di Madrasah Dâr al-‘Ulûm, atau mendatangi seorang Syaykh di rumah atau penginapannya. Keempat, melalui surat menyurat, seperti yang beliau lakukan untuk Syaykh dari negeri yang jauh seperti Yaman, Irak, Indonesia dan lain-lain. Pada bulan 27 Ramadan 1354 H Syaykh Muhammad Yâsîn bin 'Isa alFâdânî menyelesaikan kitab berjudul Janî ats-Tsamar Syarh Manzhûmah Manâzil al-Qamar yang merupakan syarahan karya al-‘Allâmah Khalîfah Ibn Ahmad an-Nabhâni al-Falaki. Sebenarnya sebelum kitab tersebut disyarah oleh Syaykh Muhammad Yâsîn bin Isa al-Fâdânî, ia terlebih dulu pernah diberi taqrirât (memberi pujian dan keterangan untuk memperkukuhkan sesuatu perkara) pada bagian bawahnya oleh Sayid Muhsin al-Masâwi.69 Selama bertahun-tahun Syaykh Yâsîn aktif mengajar dan memberi kuliah di Masjidil Haram dan Dâr al-‘Ulûm ad-Dîniyyah, Makkah, terutama 69
Saghir Abdullah. “Saiyid Muhsin al-Masawi pengasas Dar al-Ulum di Mekah.” (Online) http://ulama-nusantara.blogspot.com, diakses: 21 Oktober 2009
39 pada mata kuliah ilmu Hadits. Pada tiap-tiap bulan Ramadhan selalu membaca dan mengijazahkan salah satu diantara Kutub al-Sittah (6 kitab utama ilmu Hadits). Hal itu berlangsung lebih kurang 15 tahun. Muhammad Yâsîn kemudian menjadi seorang yang alim dan disegani bahkan disebut-sebut sebagai ‘allâmah dan merupakan salah satu dari dua orang muhaddits (ahli hadis) terbesar abad ke-XIV H sampai abad ke-XV H.70 Dan termasuk salah satu ulama Jawi yang mengajar di Masjidil Haram.71 Pada tahun 1384 H/1964 M, Muhammad Yâsîn dipercaya untuk menjadi kepala Madrasah di Madrasah Dâr al-‘Ulûm yang keempat sampai pada tahun 1410 H/1990 M.72 Selain itu beliau juga dianggap sebagai perintis Madrasah Banât (sekolah perempuan), yakni Madrasah Ibtidaiyah putri di Syamiyyak Makkah pada bulan Rabiul Awal tahun 1362 H. Perjalanan Madrasah banat ini dari tahun ke tahun berkembang pesat, hal ini terbukti semakin banyaknya pelajar dan alumni, karena Madrasah banat ini adalah yang pertama di kota Makkah bahkan di kerajaan Saudi Arabia, sehingga pada tahun 1347 H didirikan Ma’had Mu’allimât.73 Semasa dia masih hidup, banyak jamaah haji Indonesia yang selalu menyempatkan mampir di madrasah yang dikepalainya. Syaykh Yâsîn juga memelihara relasi dengan sejumlah kiai di Indonesia, bahkan menuliskan
70
Azyumardi Azra. Ulama Indonesia di Haramain. Ulumul Qur’an, III, 3, 1992, 81 Ibid. 72 Ibid. 73 Ibnu Fathani. “Syaykh Yasin Isa al-Fadani (1916-1990),” (Online), http://ibnufathani.blogspot.com, diakses: 21 Oktober 2009; Lihat: Syaykh ‘Umar ‘Abd al-Jabbâr, Al-Bilâd (Jumat 24 Dzulqaidah 1379H/ 1960M): 71
40 semacam thabâqat/tarâjum atau biografi sejumlah kiyai di tanah air. Dia sempat hadir dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang pada 1979. Pada kesempatan itulah dia menyempatkan diri untuk mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa Tengah. 74 Di kalangan santri Indonesia, Syaykh Yâsîn dikenal sebagai “benteng” doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di tanah Haramayn berhadapan dengan kampanye agresif ideologi Wahabi yang disokong oleh pemerintah Saudi.75 1. Guru-Guru Syaykh Yâsîn Dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa jumlah guru Syaykh Yâsîn mencapai kisaran 700 orang, lelaki maupun perempuan,76 sedangkan Muhammad Mukhtâr ad-Dîn al-Falimbânî dalam kitab Bulûgh al-Amâni menyebutkan 172 orang, baik guru yang ada di Madrasah Shawlathiyah, Madrasah Dâr al-‘Ulûm, Madrasah al-Falâh, Masjidil Haram, di Madinah, Yaman, Iraq, Asia Tenggara dan lain sebaganiya. Di sini penulis tidak akan menyebutkan mereka semua satu persatu, akan tetapi hanya sebagian guru saja terutama guru yang beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan dan guru yang berasal dari wilayah Nusantara. Mereka diantaranya adalah:
74
Ulil Abshar, “Syaikh Yasin.” Ibid. 76 Sabilur Rosyad, “Syaikh Yasin Al-Fadani.” 75
41 a. Gurunya di Makkah 1) Di Madrasah ash-Shawlatiyah diantaranya adalah: a) Abu Hafsh ‘Umar Ibn Hamdân al-Mahrusi at-Tûnisi alMadani (w. 1368 H), syaikh di Madrasah ash-Shawlatiyah dan di Masjidil Haram Makkah, bergelar Muhaddits al-Haramayn asy-Syarîfayn dan bermazhab Maliki. Syaykh Yâsîn menimba ilmu dari beliau dalam jangka waktu yang lama baik di Madrasah Shawlathiyah maupun di Masjidil Haram Makkah dan mendapatkan Ijazah dari beliau pada tanggal 2 Shafar 1360 H.77 b) Syaykh ‘Abdullah Ibn Muhammad Ghâzî al-Hindi al-Makki (w. 1365 H), Kepala Perpustakaan Madrasah Shawlathiyyah Makkah dan Syaikh di Masjidil Haram dan bermazhab Hanafi. Beliau juga seorang muhaddits, musnid (ahli sanad), dan ahli sejarah. Syaykh Yâsîn mendapatkan Ijazah dari beliau pada 19 Rabiul Awal 1362 H.78 c) Syaykh ‘Abd ar-Rahmân Ibn Karîm Bakhs al-Hindi, Syaykh di Madrasah Shawlathiyah dan Masjidil Haram Makkah dan bermazhab Hanafi. Seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli bahasa Arab. Beliau wafat sebagai syahid pada 1368 H di
77 Al-Falimbânî, Bulûgh al-Amâni, 9. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 1 dari kitab Shahîh Bukhori. 78 Ibid., 17. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 23 dari kitab Musnad ath-Thayâlisi.
42 Makkah. Syaykh Yâsîn mendapatkan Ijazah dari beliau pada 18 Rabiul Tsani 1360 H.79 2) Gurunya di Madrasah Dâr al-‘Ulûm ad-Dîniyah diantaranya adalah: i.
Syaykh Muhammad ‘Ali Ibn Husain Ibn Ibrâhim Ibn Husayn Ibn ‘Âbid al-Mâliki al-Makki (w. 1368 H). Beliau adalah seorang Syaykh di Madrasah Dâr al-‘Ulûm ad-Dîniyah dan di Masjidil Haram, dan bergelar Sibawayh Zamânihi (Imam Sibawayh pada zamannya) Beliau adalah penulis Tadrîb athThulâb fi Qawâ’id al-I’râb, Tahdzîb al-Furûq, dan al-Qawâ’id as-Saniyah fi al-Asrâr al-Fiqhiyyah.80
ii.
Syaykh Ibrâhîm Ibn Dâwud ‘Abd al-Qâdhi al-Fathâni, selain di Madrasah Dâr al-‘Ulum beliau juga mengajar di Masjid alHarâm.81
iii.
Syaykh Husayn Ibn ‘Abd al-Ghanî al-Falimbâni al-Makki, selain di Madrasah Dâr al-‘Ulûm beliau juga mengajar di Masjidil Haram.82
3) Gurunya di Madrasah al-Falâh Makkah diantaranya salah satunya adalah Syaykh ‘Abdullâh Ibn Ibrâhîm al-Qursyi al-Sûdâni, selain di Madrasah al-Falâh beliau juga mengajar di Masjidil Haram.
79
Ibid., 20. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 37 dari kitab Musykil al-Atsar. 80 Ibid., 28. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 7 dari kitab Muwaththa` Mâlik riwayat Yahya Ibn Yahya al-Laytsi. 81 Ibid., 30. 82 Ibid., 31.
43 Beliau juga guru dari Muhammad ‘Isa al-Fâdânî, ayah Syaykh Yâsîn .83 4) Gurunya di Masjidil Haram dan di rumah diantaranya adalah: a) Syaykh ‘Umar Ibn Abi Bakr Ibn ‘Abdillah Bajunaid al-Kindi al-Makki (w. 1354 H), seorang muhaddits dan ahli fiqih.84 b) Syaykh Abu al-Yaman Sa’id Ibn Muhammad Ibn Ahmad alAkhlawdi yang terkenal dengan Yamani al-Makki (w. 1354 H), seorang muhaddits dan ahli fiqih. Selain sebagai seorang pengajar di Masjidil Haram beliau juga Imam di Maqâm Ibrâhim.85 c) Syaykh Burhân ad-Dîn Ibrâhîm Ibn ‘Abdillah Yarsyâh adDihlawi al-Kutbî al-Makki, seorang muhaddits, ahli Ushul Fiqih dan ahli bahasa. Beliau dijuluki al-Lihyâni karena jenggotnya yang tebal dan al-Kutubî karena berprofesi sebagai penjual kitab di tokonya di Makkah. Beliau berumur panjang (mu’ammar) karena wafat pada usia 103 tahun pada 18 Ramadhan 1354 H.86 d) Syaykh Muhammad ‘Abd as-Sattâr Ibn ‘Abd al-Wahhâb Ibn Khidyâr ash-Shiddiqi al-Makki ad-Dihlawi (w. 1355 H),
83
Ibid., 32 Ibid., 40. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 40 dari kitab ‘Amal al-Yawm wa al-Laylah karya Ibnu Sina. 85 Ibid., 42. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 18 dari kitab as-Sunan al-Kubra Bayhaqi. 86 Ibid., 43, 44. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 22 dari kitab al-Muntaqâ Ibn al-Jârûdî. 84
44 seorang muhaddits dan musnid (ahli sanad), serta bermazhab Hanafi.87 e) Syaykh ‘Ubaidullah Ibn al-Islâm as-Sanadi ad-Diwbandi (w. 1363 H), tinggal di kota Makkah selama 15 tahun.88 f) Sayyid Muhammad al-Marzûqi Ibn ‘Abd ar-Rahmân Ibn Mahjûb (w. 1365 H), seorang Syaykh bermazhab Hanafi di Masjidil Haram. Syaykh Yâsîn pernah mendapatkan ijazah dari beliau pada 17 Shafar 1363 H.89 g) Syaykh ‘Umar ibn Husain ad-Dâghistâni al-Makki asy-Syâfi’I (w. 1365 H), seorang alim dan ahli fiqih serta syaykh di Masjidil Haram. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada 29 Rabiul Tsani 1360 H.90 h) Bahâ` ad-Dîn Ibn ‘Abdillâh Ibn ‘Abd al-Hakîm al-Kâbûli alAfghâni, wafat pada tahun 1352 H di Makkah.91 i) Asy-Syihâb Ahmad Ibn ‘Abdillâh al-Mukhallalâti asy-Syâmi al-Makki (w. 1362 H). Seorang ahli hadits dan ahli qira’at ini adalah pemilik dan direktur Madrasah al-Ahmadiyah di Makkah.92
87 Ibid., 45. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 15 dari kitab Sunan ad-Dâruquthni. 88 Ibid., 47. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 9 dari Kitab al-Atsar Muhammad Ibn al-Hasan. 89 Ibid., 48. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 13 dari alMustadrak ‘ala ash-Shahîhayn karya al-Hâkim. 90 Ibid., 50. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 6 dari Sunan Ibnu Mâjah. 91 Ibid., 53. Beliau cantumkan dalam hadis 39 dari kitab Hilyat al-Auliyâ`. 92 Ibid., 55. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 38 dari Kitab as-Sunnah karya al-Alka`i.
45 j) Sayyid ‘Idrus Ibn Sâlim al-Bârr al-Makki, seorang ahli hadits dan ahli fiqih. Saudara Sayyid Abu Bakr Ibn Sâlim ‘Idrus alBârr al-Makki.93 k) Syaykh Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Fâlih Ibn Muhammad Ibn Fâlih azh-Zhâhiri al-Muhannawi al-Madani al-Makki (w. 1364 H), seorang wahli hadits dan ahli sanad. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada 18 Dzulqa’dah 1352 H.94 l) Syaykh ‘Ali Ibn ‘Abdillâh Ibn Arsyad Ibn ‘Abdillâh al-Banjari al-Makki (w. 1370 H), cucu Syaykh Muhammad Arsyad alBanjari, seorang ahli fiqih dan syaykh di Masjidil Haram. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada 2 Jumadil Ula 1360 H.95 m) Sayyid ‘Abd al-Muhsin Ibn Muhammad Amin Ridhwân alMadani (w. 1380 H), seorang pengajar di Masjidil Haram di Bâb an-Nabi.96 n) Syaykh al-Kiyahi Bâqir Ibn Muhammad Nûr Ibn Fâdhil Ibn Ibrâhim al-Jogjawi al-Makki (w. 1363 H), syaykh di Masjidil
93
Ibid., 56. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 16 dari Mu’jam ash-Shaghîr Thabrâni. 94 Ibid., 57. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 3 dari Sunan Abû Dâwud. 95 Ibid., 59. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 25 dari Musnad Abi Nu’aym Ibn ‘Adi al-Jurjâni. 96 Ibid., 61. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 33 dari Musnad Abi Zakariya al-Himmâni.
46 Haram. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada 232-1359 H.97 o) Syaykh al-Kiyâhi ‘Abd al-Muhîth Ibn Ya’qûb Ibn Fanji asSidarjawi al-Makki, lahir di Sidoarjo tetapi wafat dan dimakamkan di Jeddah pada bulan Dzul Qa’dah 1383 H.98 b. Gurunya di Madinah diantaranya adalah: 1) Syaykh Muhammad ‘Abd al-Bâqî Ibn al-Mulla ‘Ali al-Ayyûbi alAnshâri al-Laktsawi al-Madani (w. 1363 H). Beliau adalah seorang ahli hadits agung dan syaykh di Masjid an-Nabawi Madinah. Syaykh Yâsîn
mendapatkan ijazah dari beliau pada
tanggal 9 Jumadil Tsaniyah 1353 H, lalu pada tanggal 2 Jumadil Ula 1359 H, dan pada 27 Jumadil Ula 1360 H.99 2) Syaykh ‘Abd al-Qâdir Ibn Tawfîq Syalabi ath-Tharâbulisi alMadani (w. 1369 H), seorang muhaddits dan syaykh bermazhab Hanafi di Masjid an-Nabawi. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada tanggal 26 Jumadil Tsaniyah 1358 H dan pada tanggal 26 Muharram 1362 H.100 3) Syaykh ‘Ali Ibn ‘Abdillah ath-Thayyib al-Anshâri al-Madani (w. 1359 H), seorang ahli hadits dan ahli fiqih serta menjabat sebagai
97
Ibid., 62. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 14 dari Sunan ad-Dârimi. 98 Ibid., 63. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 12 dari kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal. 99 Ibid., 70. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 26 dari kitab Musnad ‘Abd Ibn Hâmid. 100 Ibid., 72. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 2 dari Shahih Muslim.
47 amin al-fatwa di Madinah. Syaykh Yâsîn pernah berkumpul dengan beliau dan mendapatkan ijazah pada tanggal 27 Dzul Qa’dah 1356 H.101 4) ‘Allamah Syaykh ‘Abd al-Hayy Ibn ‘Abd ar-Rahmân Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ibrâhim Abu Khudhayr alMadani, seorang ahli hadits tinggal di kota Madinah, dan terkenal dengan sebutan Abu Khudhair al-Madani. Syaykh Yasin pernah mendapatkan ijazah lafzhiyah dan secara wijadah.102 c. Gurunya di Yaman diantaranya adalah: 1) Sayyid Ahmad Idrîsi Ibn Muhammad Ibn Sulaymân al-Ahdal azZubaydî (w. 1357 H), seorang mufti kota Zubayd Yaman menggantikan saudaranya. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada awal bulan Rabi’ Tsani 1356 H.103 2) Husayn Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-‘Amri ash-Shan’âni, seorang ahli sanad dan qadhi di Yaman. Beliau wafat pada usia 93 tahun pada tanggal 2 Syawal 1361 H. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada akhir bulan Jumadil Ula 1356 H.104 3) Sayyid ‘Abd ar-Rahmân Ibn ‘Ubaidillah ibn Muhsin Ibn ‘Alwi asSiqâf (w. 1375 H), seorang mufti di ad-Diyâr al-Hadhramiyah.
101
Ibid., 73, 74. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 35 dari kitab Musnad Hannâd. 102 Ibid., 78. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 32 dari kitab Musnad Abi Bakr Ibn Abi Syaybah. 103 Ibid., 84. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 11 dari Musnad asy-Syâfi’i riwayat ar-Rabî’. 104 Ibid., 85. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 30 dari Mushannaf ‘Abd ar-Razzâq.
48 Syaykh Yâsîn mendapatkan ijâzah lafzhiyah di Masjidil Haram dan ijâzah kitâbiyah yang dikirimkan pada tangal 14 Syawal 1362 H dari Sion Yaman.105 4) Syaykh Muhammad Ibn ‘Iwadh Bafadhil at-Tarîmî di Makkah, datang ke kota Makkah beberapa kali untuk menunaikan ibadah haji, dan pada musim haji terakhir Syaykh Yâsîn banyak menghadiri majlis beliau dan mendapatkan ijazah dari beliau.106 d. Gurunya di Syam diantaranya adalah: 1) Sayyid Badr ad-Dîn Ibn Yûsuf al-Maghribi al-Ashl ad-Dimasyqi (w. 1354 H), seorang syaykh pengajar hadis di al-Jâmi’ al-`Umawî dan Dâr al-Hadîts al-Asyrafiyah di Syam. Syaykh Yâsîn menulis surat dari Makkah kepada beliau di Syam meminta ijazah dari beliau, yang akhirnya dikabulkan dan ijazah ditulis sebanyak tiga kali.107 2) Syaykh Muhammad Abu al-Khayr Ibn Muhammad al-Maydâni ad-Dimasyqi (w. 1380 H), seorang ahli hadis dari kota Damaskus, ahli ibadah, dan ahli fiqih bermazhab Hanafi. Beliau datang ke kota Makkah untuk melaksanakan haji pada tahun 1361 H yang dimanfaatkan Syaykh Yâsîn untuk menimba ilmunya dengan
105
Ibid., 101. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 8 dari kitab Muwaththa` Mâlik riwayat Muhammad Ibn al-Hasan. 106 Ibid., 106. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 21 dari Shahih Ibn ‘Awânah. 107 Ibid., 113. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 4 dari kitab Jâmi’ at-Tirmîdzi.
49 menghadiri beberapa majlisnya, hingga mendapatkan ijazah pada 12 Dzul Hijjah 1361 H dan pada tahun 1362 H.108 3) Syaykh Mahmûd Ibn Rasyîd Ibn Muhammad al-‘Aththâr adDimasyqi w. 1363 H), seorang ahli hadis, ahli sanad, ahli fiqih, dan ahli tahqiq. Beliau juga seorang syaykh yang mengajar di Madrasah Dâr al-Hadîts al-Asyrafiyah di Damaskus. Syaykh Yâsîn menemuinya pada musim haji 1361 H dan mendengarkan beberapa hadisnya, hingga mendapatkan ijazah pada tanggal 17 Dzul Hijjah 1361 H.109 e. Gurunya di Mesir diantaranya adalah: 1) Syaykh Muhammad Ibn Ibrâhim Ibn ‘Ali al-Humaydi al-Azhari al-Mishri (w. 1353 H), beliau bermazhab Maliki dan seorang pengajar di Universitas al-Azhar dan Masjid al-Husayni Mesir.110 2) Sayyid Ahmad Ibn Muhammad Rafi’ ath-Thahthawi al-Hanafi alMishri (w. 1355 H), seorang ahli tahqiq dan ahli sanad dari Diyâr al-Mishriyah. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah dari beliau pada tanggal 15 Dzul Qa’dah 1353 H di Kairo.111
108
Ibid., 118. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 28 dari kitab Musnad al-Humaydi. 109 Ibid., 123. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’una Hadîtsan pada hadis 34 dari kitab Musnad al-Baghawi. 110 Ibid., 140. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 36 dari kitab Musnad Muthayyan. 111 Ibid., 142, 143. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 10 dari kitab Sunan asy-Syâfi’i.
50 f. Gurunya di Iraq 1) Syaykh Jamîl Shidqî Ibn Muhammad Faidhi Ibn Mulla Ahmad Bâbân az-Zuhâwi al-Baghdâdi (w. 1354 H/1936 M) terkenal sebagai seorang filosof kota Baghdad abad XX. Syaykh Yâsîn mengirimkan surat melalui pos memohon ijazah dari beliau, yang kemudian dikabulkan pada 8 Syawal 1353 H.112 2) Sayyid Ibrâhim Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn ‘Abdillah Ibn Rajab ar-Râwi (w. 1365 H/1946 M), seorang syaykh dari Jamâ’ah Rifâ’iyah di Baghdad.113 g. Gurunya di India 1) Syaykh Husain Ahmad Ibn Habîb Allâh al-Faydh Abâdi (w. 1377 H) terkenal dengan al-Madani, seorang syaykh ahli hadis dari Diwband dan penulis kitab Naqsy Hayâh. Syaykh Yâsîn mendapatkan ijazah pada tanggal 24 Syawal 1372 H.114 2) Syaykh Muhammad Anûr Syâh Ibn Mu’azhzham Syâh al-Hâsyimi al-Kasymâri (w. 1352 H), penulis Ta’liqât ‘ala Shahîh Muslim.115 h. Gurunya di Asia Tenggara 1) Sayyid ‘Ali Ibn ‘Abd ar-Rahmân al-Habsyi al-Kuwitâni, lahir di Kwitang, Jakarta, pada 20 Jamadil Awwal 1286 H/20 April 1870
112
Ibid., 151. Ibid., 152. 114 Ibid., 158. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 29 dari kitab Musnad Ishâq Ibn Rahâwayh. 115 Ibid., 157. 113
51 M dan wafat di Jakarta pada 1388 H atau 23 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun.116 2) Sayyid ‘Alawi Ibn Thahir Ibn ‘Abdillah Ibn Thâhâ al-Haddâd Mufti Johor.117 3) Syaykh ‘Abdullah Azharî Ibn Muhammad Azharî Ibn ‘Abdullah al-Falimbânî al-Makkî.118 4) Kiyai Marzûqi Ibn Mirshâd Ibn Nawm Ibn Thayyib al-Fathâni alBatawi (w. 1353 H).119 5) Kiyai Muhammad Manshûr Ibn ‘Abd al-Hamîd Ibn Muhammad Damirî al-Batâwi.120 6) ‘Ali Ibn Husayn Ibn Muhammad al-‘Aththâs Syikini Jakarta (w. 1396 H).121 7) Kiyai Jam’ân Ibn Samûn al-Tangerâni (w. 1381 H).122 8) Syaykh Arsyad Ibn As’ad Ibn Mushthafa al-Bantani al-Makki (w. 1353 H).123 9) Kiyai Bakri Ibn Sayyid Ibn Arsyad Kraton al-Bantani (w. 1395 H).124 10) Kyai Ahmad Baidhawi Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Lasemî.125
116 Ibid., 166. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 27 dari kitab Musnad al-Kabîr karya al-Bazzâr. 117 Ibid., 179. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 17 dari Mu’jam al-Awsath Thabrâni. 118 Ibid. 163. 119 Ibid., 164, 165. 120 Ibid., 165. 121 Ibid., 167, 168. 122 Ibid., 169. 123 Ibid., 170. 124 Ibid., 171, 172.
52 11) Kyai Ma’shûm Ibn Ahmad Ibn ‘Abd al-Karîm al-Lâsemî.126 12) Kyai Ihsan Ibn ‘Abdullah Ibn Muhammad Shâlih Ibn ‘Abd arRahmân al-Jamfesî (w. 1374 H).127 13) Kyai Ahmad Marzûqi Ibn Hâmid Ibn Hasan as-Sawahâni asSurabâwi (w. 1355 H).128 14) Kyai Muhammad Hâsyîm Ibn Asy’arî al-Jombâni atau KH Hasyim Asy’ari (w. 1388 H).129 15) Kyai ‘Abd al-Wahwab Ibn Hasbullah al-Jombâni atau KH Wahab Hasbullah.130 16) Kyai Shidiq Ibn ‘Abdillâh Ibn Shâlih Ibn Muhammad al-Lasemî al-Jambarî.131 i. Gurunya di Maghrib 1) Sayyid Ahmad Ibn Muhammad Ibn ash-Shiddîq al-Ghumâri athThanji.132 2) Syaykh ‘Abd al-Hâfizh Ibn ath-Thâhir Ibn ‘Abd al-Kabîr al-Fihri al-Fâsi.133 Guru-guru Syaykh Yâsîn yang telah penulis sebutkan di atas sangat berpengaruh besar dalam membentuk intelektualitas Syaykh Yâsîn
125
Ibid., 173. Ibid. 127 Ibid., 174. 128 Ibid. 129 Ibid., 175. 130 Ibid., 176. 131 Ibid., 177. 132 Ibid., 185. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 19 dari kitab Kitab al-Asmâ` wa ash-Shifât Bayhaqî. 133 Ibid., 188. Beliau cantumkan dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan pada hadis 20 dari alAdab al-Mufrad Bukhâri. 126
53 dan memberikan sanad keilmuan dan sanad hadis. Empat puluh dari guru di atas telah memberikan sanad hadis dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan yang menjadi obyek kajian skripsi ini, dan dari mereka Syaykh Yâsîn mempelajari empat puluh kitab koleksi hadis yang terdapat di dalamnya. 2. Karya-Karya Syaykh Yâsîn Syaykh Yâsîn menulis banyak kitab–sebagian besar masih berupa naskah–tentang hadis, ushul fiqh, fiqh, manthiq, dan Bahasa Arab. Salah satu karya terbesarnya–yang sayangnya masih berupa manuskrip–adalah biografi ulama Makkah sepanjang abad ke-XIII sampai ke-XIV H. Jumlah karya beliau mencapai 97 Kitab, di antaranya tentang Ilmu Hadits, Ilmu dan Ushul fiqih, ilmu Falak, dan ilmu-ilmu yang lain.134 Di antara kitab-kitab karya Syaykh Yâsîn diantaranya adalah: a. Karya-Karya Non-Hadis 1) Bughyau al-Mustaq syarah Luma' Syaykh Abu Ishâq 2 Juz 2) Tatmîm al-Duhul Ta’liqât ‘ala Madkhal al-Wushûl ila al-‘Ilmi alUshûl. 3) Al-Durr al-Nadhîd hawâsyi ‘ala Kitâb al-Tamhîd li al-Asnawî. 4) Al-Fawâ`id al-Janiyyah hasiyah ‘ala al-Mawâhîb al-Saniyyah ‘ala Qawâ’îd al-Fiqhiyyah 5) Ta'liqât ‘ala al-Luma' al-Syaykh Abi Ishâq
134
Sachrony, “Syech Yasin,”; Ibnu Fathani, “Syaykh Yasin Isa,”; Solah Nawadi, “Syaykh Yasin Isa al-Fadani (1916-1990),” (Online) http://solahnawadi.blogspot.com, diakses: 21 Oktober 2009. Data tentang kitab-kitab karya Syaykh Yâsîn ini disarikan dari situs-situs tersebut.
54 6) Idhâ’atu al-Nûr al-Lâmi' syarah al-Kawkab al-Syâthi' Jam'u alJawâmi' 7) Hâsiyah ‘ala al-Talattufi syarah al-Ta'arruf fi al-Ushul Fiqhi 8) Nayl al-Ma’mûl Hâsyiyah ‘ala Lubb Ushûl al-Fiqh. 9) Hâsyiyah 'alâ al-Asybâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Furû' al-Fiqhiyyah Kitab-kitab di atas berkenaan dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh, sedangkan kitab-kitab Syaykh Yâsîn derkenaan dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu falak, balaghah, manthiq, dan lain-lainnya, di antaranya adalah sebagai berikut: 10) Janî al-Tsamar syarah Manzhûmah Manâzil al-Qomar 11) Al-Muhtadhar al-Muhadzab fi Ihtihrâji al-Awqât wa al-Qabîlah bi al-Rub'i al-Mujîb 12) Al-Mawâhîb al-Jazîlah syarah Tsamrat al-Wasîlah fi al-Falaki 13) Tastnîfu al-Sam'i Mukhtashar fi ’ilmi al-Wadh'i 14) Bulghat al-Musytâq fi’ ilmi al-Isytiqâq. 15) Manhalu al-Ifâdah hawasi ‘ala Risâlat al-Bahtsi Lathasyi Kubri Zadah 16) Husnu al-Shiyâghoh syarah kitab Durûsi al-Balâghah. 17) Risâlah fi al-Manthiqi 18) Ithâf al-Khalân Tawdhîh Tuhfat al-Ikhwân fi ‘Ilmi al-Bayân li alDardiri 19) Al-Risâlah al-Bayâniyyah ‘ala Thorîqat al-Su`âl wa al-Jawâb
55 b. Karya-Karya Hadis dan Isnad Kitab-kitab tersebut diantaranya adalah: 1) Al-Arba’ûna Hadîtsan min Arba’îna Kitâban ‘an Arba’îna Syaykhan, yang menjadi obyek kajian skripsi ini. 2) Al-Arba’ûna al-Buldâniyah (al-Arba’ûna Hadîtsan ‘an Arba’îna Syaykhan min Arba’îna Madînah). Kitab ini menghimpun empat puluh buah hadis, yang diriwayakan oleh empat puluh Syaykh yang berasal dari empat puluh kota. 3) Arba’ûna Hadîstan Musalsal bi al-Nuhad ila al-Jalâl al- Suyûthî. 4) Fath al-‘Allâm syarah dari kitab Hadîst Bulûgh al-Marâm 4 juz. 5) Ad-Durr al-Madhud fi Syarh Sunan Abu Dâwud 3 jilid. Kitab-kitab di atas berkenaan dengan hadis, sedangkan kitabkitab Syaykh Yasin berkenaan dengan ilmu sanad, di antaranya adalah sebagai berikut: 6) Al-Asânîd al-Makiyyah li Kutub al-Hadîts wa as-Siyar wa asySyamâ`il al-Muhammadiyah. 7) Kifâyat al-Mustafîd lima ‘Alâ min al-`Asânid. Kitab ini menjelaskan jalur-jalur isnad hadis yang dimiliki oleh Syaykh Mahfuzh at-Tirmasi. 8) Al-Maslak al-Jalî. Kitab ini menjelaskan jalur-jalur isnad hadis yang dimiliki oleh Muhammad ‘Ali Ibn Husain al-Makki (w. 1357 H).
56 9) Al-Washlu al-Sâti fi Tarjamati wa Asânîd al-Syihâb Ahmad alMukhollalati. 10) Faydh al-Mubdî. Kitab ini berisi ijazah yang diberikan oleh Muhammad Yâsîn kepada Muhammad ‘Awwâd az-Zubaydi pada tahun 1376 H. 11) Al-Wâfi Badzîl Tidzkâr al-Mashâfi. Kitab ini berisi ijazah yang diperolehnya dari ‘Abdullah Ibn ‘Abd al-Hakîm al-Jarâfi. 12) Asânîd al-Faqîh. Kitab ini menjelaskan jalur-jalur isnad hadis yang dimilikinya yang bersambung kepada Ahmad Ibn Hajar alHaytamî. 13) Ithâf al-Burdah bi Asânîd al-Kutub al-Hadîtsah al-‘Asyrah. 14) Waraqât li Majmû’ah al-Musalsalât wa al-`Awâ`il wa al-Asânid al-‘Âliyah. 15) Ithâf al-Mustafîd bi Gharar al-Asânid. Kitab ini berisi ijazahnya yang diberikan kepada saudaranya, Muhammad Thâhâ. 16) Ithâf al-Ikhwân bi Ikhtishâr Madmah al-Wujdân 2 Juz. 17) Asânîd al-Kutub al-Hadîtsah as-Sab’ah. 18) Takhrîj al-`Ajâlah al-Makkiyah. 19) Madmah al-Wujdan fi Asânîd al-Syaykh Umar Hamdân 3 Juz 20) Tanwîr al-Bashîrah bi Thuruq al-Isnâd al-Syahîrah. 21) Faydz al-Rahmân fi Tarjamat wa Asânîd al-Syaykh Khalîfah bin Hamdi al-Nabhân. 22) Al-Qawl al-Jamîl bi Ijâzat al-Sayyid Ibrâhîm ‘Aqîl.
57 23) Faydz al-Muhaymin fi Tarjamat wa Asânîd al-Sayyid Muhsin 24) Al-Irsyâdât fi Asânidi Kutub al-Nahwiyyah wa al-Sharfiyyah 25) Al-‘Ujâlah fi al-Ahâdîts al-Musalsalah. 26) Asmâ al-Ghâyah fi Asânîdi al-Syaykh Ibrâhîm al-Khazami fi alQirâ’ah. 27) Al-‘Iqdu al-Farîd min Jawâhiri al-Asânîd 28) Al-Riyâdz al-Nazhrah fi Ahâdîsi al-Kutub al-Hadîtsiyyah al-Asyrah 29) Ithaf al-Mustafîd bi Nûri al-Asânîd. 30) Qurrat al-‘Ayn fi Asânid A'lâmu al-Haramayn. 31) Ithâfu uli al-Himam al-‘Âliyyah bi al-Kalâm ‘ala al-Hadîtt alMusalsal bi al-Awwaliyyah 32) Al-Durr al-Farîd min Durar al-Asânîd. 33) Bughyat al-Murîd min ‘Ulûm al-Asânîd 4 Jilid 34) Al-Muqtathaf min Ithâf al-Akâbir bi Marwiyât ‘Abd al-Qâdir alShadîqi al-Makkî 35) Ihtishâr Riyâdh Ahl Jannah min Atsar Ahl Sunnah li ‘Abd al-Bâqi al-Ba'li al-Hanbalî. 36) Faydzu al-Ilah al-‘Aly fi Asânîdi ‘Abd al-Bâqi al-Ba'li al-Hanbali 37) Al-Salâsil
al-Mukhtârah
bi
ijâzati
al-Mu'arrikh
al-Sayyid
Muhammad bin Muhammad Ziârah 38) Al-Nafhat al-Makkiyah fi al-Asânid al-Makkiyah Ijâzah li alNâbighah al-Khodhi Muhammad bin ‘Abdullâh al-‘Umari.
58 39) Fathu al-Rabbi al-Majâd fîmâ li al-Syaykh min Farâ'idi al- Ijâzah wa al-Asânîd. 40) Silsilat al-Wuslah Majmû'ah Mukhtârah min al-Ahâdîts alMusalsalah. 41) Al-Kawâkib al-Darari bi ijâzat Mahmûd Said Mamdûh al-Hohiri 42) Al-Faydh al-Rahmân bi Ijâzat Samâhati al-‘Allâmah al-Kabîr Muhammad Taqî al-‘Ustmânî.
F. Posisi Syaykh Yâsîn al-Fâdânî dalam Tradisi Keilmuan Hadis Abad XX Keterlibatan ulama Indonesia dalam jaringan ulama yang berpusat di Haramayn, sejauh ditunjukkan temuan penelitian yang telah dilakukan, sedikitnya bermula sejak paruh kedua abad ke-17. Perintis keterlibatan ulama “Jawi” –Indonesia atau dunia Melayu secara keseluruhan– kelihatannya adalah Nûr ad-Dîn al-Râniri (w. 1068 atau 1658 M), ‘Abd al-Ra’ûf al-Sinkili (1024-1105 H atau 1615-1693 M), dan Muhammad Yûsuf al-Maqassari (1030-1111H atau 1629-1699 H).135 Setelah mereka muncul murid-murid dari ulama Indonesia lainnya, yang meski dipisahkan oleh rentangan waktu tetapi berkaitan dengan rumpun wacana intelektual-keagamaan yang sama. Mereka itu diantaranya adalah: ‘Abd al-Shamad al-Falimbâni, Muhammad Arsyad alBanjarî (1122-1227 H atau 1710-1812 M), Syaykh Muhammad Nafîs alBanjarî (lahir sekitar tahun 1735 M), Nawawi al-Bantani (1230-1314 M), Ahmad al-Khathib al-Minangkabawi (1276-1334 H atau 1816-1916),
135
Azyumardi Azra, Ulama Indonedia, 77
59 Muhammad Mahfuzh at-Tirmasî (1285-1338 H atau 1842-1929 M), Hasan Mushthafa al-Garuti (1268-1348 H atau 1852-1930 M), Sayyid Muhsin alFalimbânî, dan Muhammad Yâsîn al-Fâdânî (1917-1990 M).136 Signifikansi Syaykh Yâsîn sendiri dalam pembaruan Islam di Nusantara pada khususnya, dan dunia Islam umumnya, adalah dilihat dari aktivitasnya dalam penulisan kitab-kitab hadis dan non hadis seperti yang telah dikemukakan penulis dalam sub bab sebelumnya. Karya-karya tersebut menunjukkan akan luasnya Syaykh Yâsîn dalam bidang hadis baik riwayat maupun dirayat, ushul fiqih dan bidang keagamaan lain. Selain itu signifikansi Syaykh Yâsîn
juga bisa dilihat dari
keterlibatannya dalam insitusi-institusi keagamaan dan pendidikan umat. Dalam bidang pendidikan umat, selain mengajar di rumahnya, Syaykh Yâsîn juga tercatat sebagai orang yang berjasa dalam pendirian Madrasah Dar al‘Ulûm ad-Dîniyah di Makkah dimana puncaknya adalah menjadi mudir yang keempat untuk periode 1384-1410 H atau 1964-1990 M. Selain itu beliau juga dianggap sebagai perintis Madrasah Banat (sekolah putri), yang dianggap sebagai madrasah Ibtidaiyah Banat pertama di kota Makkah bahkan di kerajaan Saudi Arabia. Lebih jauh lagi, signifikansi Syaykh Yâsîn juga terlihat dalam posisinya di tanah suci. Syaykh Yâsîn berhasil mencapai posisi sosial keagamaan yang sangat terhormat, bukan hanya di kalangan komunitas Jawi sendiri, tetapi lebih penting lagi di antara masyarakat ulama kosmopolitan Haramayn secara
136
Ibid., 78
60 keseluruhan. Syaykh Yâsîn dipercaya untuk mengajar di halaqah Masjid alHaram, sesuatu yang sangat tidak mudah, karena hanya orang yang mempunyai kapasitas keilmuan yang tinggi yang bisa mengajar di sana.137 Demikian, lebih dari sekedar mengajar di berbagai halaqah Masjid alHaram, Syaykh Yâsîn berhasil mencapai posisi keilmuaan yang termasuk puncak. Beberapa pujian dari para ulama yang berasal dari berbagai negara di dunia Islam membuktikan hal tersebut. Seperti misalnya, Muhammad Yâsîn al-Fâdânî disebut ‘Allamah dan merupakan salah satu dua orang muhaddits terbesar abad ke-14 sampai 15 H.138 Seorang ahli Hadits, Sayyid Abdul Aziz Al-Qumari, pernah memuji dan menjuluki beliau sebagai kebanggaan Ulama Haramain dan sebagai Muhaddits. Dr. Abdul Wahhab bin Abu Sulaiman (Dosen Dirasatul ‘Ulya Universitas Ummul Qura) di dalam kitab: al-Jawâhir al-Tsamînah fi Bayân Adillat ‘Âlim al-Madînah menyatakan bahwa Syaykh Yâsîn adalah Muhaddits, Faqih, Mudir Madrasah Darul-Ulum, pengarang banyak kitab dan salah satu Ulama Masjid Al-Haram. Dr. Ali Jum’ah seorang Mufti Mesir dalam kitab Hâsyiah Al-Imâm Al-Bayjurî ‘Ala Jawharat atTawhîd yang ditahqiqnya, pada halaman 8 mengaku pernah menerima Ijazah Sanad Hadits Hasyiah tersebut dari Syaykh Yâsîn yang digelarinya sebagai Musnid al-Dunya. Begitu juga as-Sayyid ‘Alawî bin ‘Abbâs Al-Mâlikî sebagai guru Madrasah Al-Falâh dan Masjid Al-Haram, Syaykh Muhammad Mamdûh Al-Mishrî dan Al-Habîb ‘Ali bin Syaykh Balfaqîh Siun Hadramaut dan Ulama lainnya, pernah memuji karangan-karangan beliau. 137 138
Ibid., 80 Ibid., 81
61 Pujian kepada Syaykh Yâsîn juga diungkapkan dalam syair yang indah dan sebagiannya merupakan syair yang panjang seperti yang dilontarkan oleh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal seorang Mufti negeri Murawah Yaman saat itu, dimana salah satu baitnya berbunyi: 139
tُ dْ s ِ hَ ْ ¦ ا َ ْ ِر َأW { َ ْ اtِ ¤ْ rَ qِ َو
tُ fْ eِ wَ ِ Wrَ
َ ْ ْ ِ§ َواrِ ا wِ ¦ َ ْ َأ
“Engkau tak ada taranya dalam ilmu dan hakekat, Dibangun orang kejayaan kaulah satu-satunya yang jaya” Dr. Yûsuf ‘Abd al-Razzâq, dosen kuliah Ushuluddin Universitas AlAzhar Kairo, juga memuji beliau, ada satu bait syairnya yang berbunyi: 140
Wً W َ ْ §ْ إpُ َvْ nِ [ ُ dْ rَ ْ ى اeَ َ ~ َ
ا ِمeَ [ْ ِآnِ }ٌ d{¤ِ qَ Woَ dْ wِ ¦ َ ْ َأ
“Engkau di tengah kami orang terpilih dari orang terhormat, tak pernah mata melihat manusia seumpama mereka.” Ustaz Fadhal bin Muhammad bin Iwadh Attarimi-pun berkata: 141
ىeَ ¤ْ َا اpَ qِ ْحeَ wْ [ َوا َ dْ ِ Wfَ ا َءtَ ِ ¨ ّ َ §ِ ْ rِ ْ ¨ ا َ ِW َ Wdَ wَ
“Wahai pencari ilmu sambutlah panggilan Yâsîn, bergembiralah dengan sajian yang ia sajikan,” Al-Habîb as-Sayyid Segaf bin Muhammad Assagaf seorang tokoh pendidik di Hadramaut (pada tahun 1373 H) menceritakan kekaguman beliau terhadap Syaykh Yâsîn, dan menjulukinya sabagai "Sayuthiyyu Zamanihi". Beliau juga mengarang sebuah syair untuk memuji beliau, dimana dua baitnya berbunyi: 139
Sholah Nawadi, “Syaykh Yasin.” Ibid. 141 Ibid. 140
62
Wpَ dْ ِ ْ nُ َوWpَ dy ِ Wَ ¦ َ ْ ى أeَ ¤ُ ُأ م ا m] ُ [ْ َرnِ [ ُ dْ ِ Wfَ Wfَ ك َ ِ{ ِ َد ر 142 Wpftgf ب ُ WUَ ْ ¯® ا ُ َْ َأWnَ ك َ اtَ fَ WUَ َ ْ َآt¤َ َ ع ٍ ْhy ُ ْhnَ [ َو ¬ wَ m ُآ wِ “Bagus perbuatanmu hai Yâsîn engkau seorang tokoh, dari Ummul Qura engkau Qhadi dan Muftinya.” “Setiap pandan judul ilmu tertulis dengan dua tanganmu, Alangkah sejuknya akal pikiran rasa terhibur olehnya.” Dr. Yahya al-Ghawtsâni pernah menghadiri majlis Syaykh Yâsîn untuk mengkhatamkan Sunan Abu Daud. Ketika itu hadir pula Muhaddits al-Magrib Syaykh Sayyid ‘Abdullah bin as-Shiddîq al-Ghumâri dan Syaykh ‘Abd alSubhân Al-Barmawi dan Syaykh ‘Abd al-Fattâh Rawah. H. M. Abrar Dahlan berkata: “yang membuat beliau lepas dari sorotan publikasi ialah karena ia telah menjadi lambang Ulama Saudi yang “bukan Wahabi” yang tersisa di Makkah. Walaupun begitu ia diakui juga oleh ulama Wahabi sebagai Ulama yang bersih dan tidak pernah menyerang kaum Wahabi. Seorang tokoh agama Najid dari Ibukota Riyadh (Pusat Paham Wahabi), yaitu Jasim bin Sulaiman ad-Dausari pada tahun 1406 H pernah menyebutnya sebagai musnid al-waqti dan ‘alam ad-Din.143 Dari uraian di atas nampaklah bahwa pujian-pujian para ulama mengenai Syaykh Yâsîn adalah ‘Allamah (sangat alim), ‘Alam al-Din (panji agama), Musnid ad-Dunya (ahli sanad dunia), Musnid al-‘Ashr (ahli sanad masanya), Musnid al-Waqti (ahli sanad masanya), Suyuthiyu Zamanihi (Imam Suyuthi pada zamannya), kebanggaan Haramayn, Mufti dan Qadhi Ummul
142 143
Ibid. Ibid.
63 Quro (mufti dan Qadhi kota Makkah), Faqih (ahli fiqih), dan Muhaddits terbesar abad ke-14 sampai 15 H. Maka apabila kita lihat pujian-pujian dan gelar-gelar tersebut serta kualitas ulama yang memberikannya, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa hal itu merupakan pengakuan akan kedudukan Syaykh Yâsîn yang sangat terhormat di kalangan para ulama. Signifikansi Syaykh Yâsîn juga dapat dilihat dari kualitas para murid yang belajar, mendapatkan ijazah dan sanad-sanad hadits darinya. Mereka kebanyakan menjadi tokoh keagamaan yang disegani, seperti menjadi mufti, syaykh, kiyai, ustaz, dosen, bahkan ada yang menjadi seorang menteri. Di antara mereka adalah Al-Habib ‘Umar bin Muhammad (Yaman), Syaykh Muhammad ‘Ali As-Shabûnî (Syam), Dr. Muhammad Hasan Ad-Dimasyqî, Syaykh Isma’îl Zayn Al-Yamâni, Dr. ‘Ali Jum’ah (Mesir), Syaykh Hasan Qathirji, Tuan Guru H. M. Zaini Abdul Ghani (Kalimantan),144 Syaykh Muhammad Isma’îl Zayni al-Yamani, Syaykh Muhammad Mukhtâr ad-Dîn, KH Abdul Hamid (Jakarta), KH Ahmad Muhajirin (Bekasi), KH Zayadi Muhajir, KH Syafi’i Hadzami dan masih banyak murid beliau yang tersebar di pelosok penjuru dunia yang meneruskan perjuangan Syaykh Yâsîn alFâdânî.145 Sedangkan di antara murid-murid beliau yang di samping mengambil sanad hadits, mendapatkan ijazah ‘âmmah dan khâsshah, juga diberi izin untuk mengajar di Madrasah Dâr al-‘Ulûm adalah: H. Sayyid Hâmid al-Kaff, 144 145
Ibid. Sachrony, “Syech Yasin.”
64 Dr. Muslim Nasution, KH. Ahmad Damanhuri (Banten), H. M. Yusuf Hasyim, H. M. Abrar Dahlan, Dr. Sayyid Aqil Husayn al-Munawwar, Ustaz Sukarnawadi, KH. Husnuddu’at,146 Shaykh Muhammad Afifi al-Akiti (lahir di Malaysia),147 dan lain-lain. Akan tetapi, lebih dari itu semua, apa yang menyebabkan posisi Syaykh Yâsîn sangat penting dalam tradisi keilmuan hadis abad XX ini sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. ‘Abd al-Wahhab Ibrâhim Abu Sulayman, adalah bahwa Syaykh Yâsîn telah menghidupkan kembali berbagai cabang ilmu hadits yang cenderung dilupakan kalangan terpelajar Muslim sekarang ini.148 Cabang ilmu hadis yang dimaksud diantaranya adalah cabang ilmu isnad. Isnad yang merupakan mata rantai para perawi hadis ini sangat penting untuk menguji kesahihan suatu hadis. Karena pentingnya isnad ini Ibn al-Mubarak (w. 181 H) mengatakan: “Isnad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnad maka orang akan mengatakan sekehendak hatinya,” dan menurut Imam anNawawi: “Isnad adalah senjata seorang mukmin.”149 Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan: “Orang yang mencari hadis tanpa sanad seperti pencari kayu bakar di malam hari yang mengangkut kayu bakar dimana terdapat di dalamnya ular berbisa.”150 Pada era sekarang ini, tradisi ini banyak dilupakan kalangan terpelajar muslim. Mereka biasanya hanya menyebutkan matan hadis saja, atau hanya 146
Solah Nawadi, “Syaykh Yasin.” http://www.livingislam.org/maa/ 148 Azyumardi Azra. Ulama Indonesia, 82 149 Mahmud Thahhân. Ushul Takhrij wa Dirasat al-Asanid. Maktabah Arrusyd, t.t., 158 150 Muhamad Yâsîn al-Fâdâni, Kifâyat al-Mustafîd Lima ‘Alâ min al-Asânîd (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmiyah, 1987), 5 147
65 menyebutkan sanad dari generasi sahabat dan perawi yang mentakhrij hadis dari kitab karyanya. Sedangkan Muhammad Yâsîn tetap konsisten untuk menyebutkan hadits lengkap dengan mata rantai sanadnya mulai dari generasi sahabat sampai kepadanya, meskipun harus melewati tiga puluhan rijâl alhadîts. Semua sanad hadits tersebut harus bersambung sampai kepada Nabi dengan metode tahammul al-hadîts (mendapatkan hadits) yang dapat dibenarkan, seperti metode samâ’, ijâzah, munâwalah, kitâbah, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Muhammad Yâsîn harus mencari hadis dengan mendatangi para ahli hadits, baik itu di lembaga dia mengajar maupun di halaqah atau kuttâb di rumahnya yang di dalam istilah ahli hadits rihlah hadîtisyah (perjalanan mencari hadis), atau dengan jalan surat menyurat melalui pos. Untuk itu, pengetahuan tentang letak geografi suatu kota atau negara (tarjamat al-buldân) sangat diperlukan. Di samping itu beliau juga menyusun puluhan kitab berkaitan dengan ilmu sanad ini sebagaimana telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Maka tak mengherankan kalau Syaykh Yasin dianggap telah menghidupkan kembali beberapa cabang ilmu hadis, karena apa yang dilakukannya itu membutuhkan pengetahuan yang mendalam akan ilmu hadis baik dirayah maupun riwayah, seperti ilmu isnâd, ilmu tahammul hadits, ilmu al-Jarh wa at-Ta’dîl, Tarjamat al-Buldân, tradisi rihlah hadîtsiyah, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, posisi Syaykh Yâsîn dalam konteks ulama hadis abad XX adalah bahwa, pertama, ia seorang ulama hadis yang lebih mempunyai
66 spesialisasi keilmuan di bidang sanad hadis, sehingga bergelar musnid aldunyâ. Hal ini berbeda dengan ulama hadis lain seperti Nâshir al-Dîn alAlbâni yang lebih menonjol di bidang kritik hadis. Kedua, ia adalah seorang guru hadis bagi banyak ulama hadis di dunia Islam, termasuk ulama nusantara, yang banyak menyumbangkan sanad hadis kepada mereka. Ketiga, dalam konteks tradisi penulisan kitab hadis Arba’ûn sendiri, ia merupakan seorang tokoh yang mengidupkan kembali (revivalisasi) model penulisan hadis Arba’ûn riwayat empat puluh syaykh. Selanjutnya,
bagaimanakah
model
penulisan
kitab
al-Arba’ûna
Hadîtsan karya Syaykh Yâsin? Hal inilah yang akan dibahas pada bab IV.
67 BAB IV KARAKTERISTIK KITAB AL-ARBA’ÛNA HADîTSAN KARYA SYAYKH YÂSÎN
Setelah mengenal biografi penyusun Kitab al-Arba’una Haditsan sebagaimana telah dipaparkan pada bab III, maka pada bab ini penulis akan membahas mengenai karakteristik dari kitab ini yang sebenarnya merupakan fokus kajian skripsi ini, dan merupakan salah satu produk dari tradisi penulisan kitab hadis Arba’ûn. Karakteristik yang akan dikaji adalah mengenai apa yang mendorong penulis kitab ini dalam menyusunnya dan sistematika penyusunan kitab ini. G. Motivasi Penyusunan Kitab Sebenarnya Muhammad Yâsîn menyusun empat buah kitab Arba’un. Yang pertama, diberi judul Al-Arba’ûna Hadîtsan min Arba’îna Kitâban ‘an Arba’îna Syaykhan yang diselesaikannya pada tahun 1363 H. Kedua, alArba’ûna Kitâban min Kutub al-Hadîts, yang merupakan bagian dari kitab AlWâfi Badzîl Tidzkâr al-Mashâfi, yang diselesaikan pada tahun 1364 H. Ketiga, dan keempat diberi judul sama yaitu al-Arba’ûna Hadîtsan ‘an Arba’îna Syaykhan min Arba’îna Baladan, yang keduanya diselesaikan pada tahun 1364 H.151
151
Muhammad Yâsîn al-Fâdânî, al-Arba’ûn Hadîtsan. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir alIslâmîyah, 1983), 4
68 Kitab Al-Arba’ûna Hadîtsan min Arba’îna Kitâban ‘an Arba’îna Syaykhan pertama kali dicetak oleh Mathba’ah at-Thâhiriyah Jakarta pada tahun 1403/1983, dan mengalami cetak ulang oleh Dâr al-Basyâ`ir alIslâmiyah Beirut Lebanon pada tahun 1407/1987. Cetakan yang terakhir inilah yang menjadi obyek kajian penulis dalam skripsi ini. Kitab al-Arba’ûna Hadîtsan ‘an Arba’îna Kitâban min Arba’îna Syaykhan ditulis oleh Muhammad Yasin–sebagaimana disebutkan dalam mukaddimah kitab ini–untuk mengamalkan hadis Nabi SAW tentang keutamaan orang yang menjaga empat puluh hadis; seperti yang telah disebutkan pada Bab III. Bahkan hadis tersebut juga dicantumkan dalam kitab ini pada hadis nomor 31.152 Selain itu juga untuk ittibâ’ (mengikuti) para imam dan ulama sebelumnya yang telah menulis Kitab Arba’ûn. Hal ini diungkapkan oleh Syaykh Yasin bahwa orang yang menyerupai suatu kelompok kaum, maka ia akan menjadi bagian dari mereka; maka berserupalah dengan mereka jika tidak bisa seperti mereka, karena berserupa dengan orang-orang mulia itu adalah keberuntungan.153 Lebih tepatnya kitab ini disusunnya setelah ada permintaan temantemannya dan para pelajar di bidang hadis untuk menghimpun empat puluh buah hadis dalam sebuah Kitab Arba’ûn. Yakni setelah Syaykh Yâsîn memberikan pelajaran kitab al-Arba’ûn an-Nawawiyah karya Imam Nawawi di Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyah Makkah. Meskipun begitu penulisan
152 153
Arba’un.
Ibid., 63. Ibid., 3. Mereka yang dimaksud di sini adalah para ulama yang telah menyusun kitab
69 kitab tersebut setelah beliau melaksanakan shalat istikharah yang intensif, dan merasa mendapat petunjuk dari Tuhan.154 Namun jika kita mencermati pemilihan judul kitab yang memuat hadis yang dirujuk dari empat puluh kitab hadis yang riwayatnya diterima Syaykh Yasin dari empat puluh guru, kita akan melihat bahwa Syaykh Yasin ingin menegaskan reputasinya di kalangan para ulama besar abad XX, sebagai ulama yang mempunyai pengetahuan hadis yang cukup luas, karena penguasaan terhadap empat puluh kitab koleksi hadis bukanlah perkara yang mudah dan sudah langka. Apalagi upaya mendapatkan sanad dari empat puluh guru–sebenarnya
sebagian
kecil
dari
sanad
yang
dimilikinya–yang
bersambung kepada Nabi, merupakan hasil pencapaian dari pencarian yang sangat lama. Motivasi untuk mendapatkan reputasi tertentu di kalangan para ulama hadis ini adalah wajar dilakukan para penulis kitab Arba’un. Khalid Alavi dalam artikelnya, A Brief Survey of Arba’in Literature, menyebutkan beberapa motivasi penulisan kitab hadis Arba’un dimana salah satunya adalah mendapatkan reputasi tertentu di kalangan ulama besar.155 Begitu juga Shadr al-Dîn al-Bakrî dalam Kitab al-Arba’ûn min Arba’îna ‘an Arba’îna, menyebutkan penulisan kitab Arba’ûn al-Buldâniyah dan kitab Arba’un riwayat empat puluh Syaykh disusun untuk menunjukkan sangat luasnya
154
Ibid. Khalid Alavi. A Brief Survey of Arba’in Literature. Islamic Studies, 1984: Vol. XXIII, No. 2, 67-68 155
70 riwayat yang dimiliki penulisnya dan sikapnya yang sangat mengutamakan terhadap hadis.156 Akan tetapi terlepas dari motivasi yang ingin dicapai oleh Syaykh Yasin, penulis berkeyakinan bahwa penulisan kitab Arba’un ini telah meneruskan dan menghidupkan kembali tradisi penulisan kitab Hadis Arba’în, khususnya
penulisan
Kitab
Arba’un
riwayat
empat
puluh
syaykh,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abu ‘Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad al-Furâwî (w. 530 H), Abu Sa’îd Muhammad Ibn Yahyâ an-Naysâburî (w. 548 H), dan lain sebagainya. Model penulisan kitab Arba’un riwayat empat puluh guru, dewasa ini sudah banyak ditinggalkan oleh para penulis kitab Hadis. H. Sistematika Penyusunan Kitab Al-Arba’ûna Hadîtsan ‘an Arba’îna Syaykhan min Arba’îna Kitâban, sesuai dengan namanya, adalah kitab yang menghimpun empat puluh buah hadis. Kitab ini adalah salah satu dari sekian banyak kitab-kitab karya Muhammad Yasin. Adapun sistematika penyusunan kitab ini sesuai dengan kategori sebagai berikut: a. Pemilihan Bab Hadis dalam kitab ini disusun sesuai dengan nama kitab-kitab hadis tertentu, seperti kitab Shahîh Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan Abu Dâwud, dan lain-lain. Nama kitab-kitab tersebut tidak disusun berdasarkan
156
Shadr al-Dîn al-Bakri, Al-Arba’ûna Hadîtsan, al-Arba’ûn min Arba’îna ‘an Arba’îna (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1980), 12-13
71 abjad atau dengan metode mu’jam, melainkan disusun mulai dari kitabkitab dari kelompok Kutub al-Sittah (Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan Abu Dâwud, Jâmi’ al-Tirmidzi, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibnu Mâjah) secara berurutan, kemudian baru kitab-kitab di luar kelompok alKutub al-Sittah, yang menggunakan metode penulisan Muwaththa`, Sunan, Musnad, Mu’jam, Mushannaf, Mustadrak dan kitab lain sampai genap empat puluh kitab dan sekaligus empat puluh syekh. Penyusunan kitab didasarkan kepada nama-nama kitab yang telah mentakhrij hadis tersebut di dalam kitabnya dan disusun dalam bab-bab yang sangat sederhana. Kesederhanaan inilah yang menjadi ciri khas dari metode penulisan kitab juz. Dan memang kitab ini dikategorikan sebagai kitab Juz sebagaimana pengertian hadits Arba’un yang diberikan oleh Syaykh Yasin sendiri dan telah disinggung pada bab III. Penulisan kitab Hadis Arba’un seperti ini, menurut Khalid Alavi, termasuk dalam klasifikasi penulisan kitab hadis berdasarkan sanad hadisnya, tidak berdasarkan matannya.157 Lebih tepatnya adalah kitab Hadis Arba’ûn riwayat empat puluh syaykh. Materi hadis tidak dapat ditemukan dengan melihat bab-bab hadis, melainkan harus dicari satu per satu dari hadis-hadis tersebut. Apalagi kitab ini tidak dilengkapi dengan daftar isi matan hadis, maupun indeks. Oleh karena itu kita tidak akan menjumpai materi atau subyek dari matan
157
Alavi, A Brief Survey, 69
72 hadis pada judul bab, akan tetapi kita harus membaca matan hadis satu persatu. Materi-materi hadis hadis dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 5.1. Materi hadis dalam Kitab al-Arba’una Haditsan
1.
Nomor hadis 1 Haji qiran
2.
2
Sesama muslim bersaudara
Akhlak
3.
3
Shalat tasbih
Ibadah
4.
4
Menjaga hak Allah
Iman
5.
5
Ijtihad
Fiqh
6.
6
Kondisi orang yang hina
Akhlak
7.
7
Cara bershalawat atas Nabi
Fadhâ`il al-A’mâl
8.
8
Cara bershalawat atas Nabi
Fadhâ`il al-A’mâl
9.
9
Syahadat
Iman
10.
10
11.
11
Mendahulukan makan malam atas shalat Fiqh Isya’ Najis jilatan anjing Fiqh
12.
12
Memotong kuku dan kumis
Akhlak
13.
13
Asma’ul Husna
Iman
14.
14
Makan dengan tangan kanan
Fiqh
15.
15
Makmum kepada seorang mukmin
Fiqh
16.
16
Menolong orang zalim dan dizalimi
Akhlak
17.
17
Silaturahim
Akhlak
18.
18
Sholat ‘Îd al-Adhha
Ibadah
19.
19
Allah melihat kepada hati dan amal
Akhlak
20.
20
Sebaik-baik manusia
Akhlak
21.
21
Akad jual beli
Fiqh
22.
22
Membasuh Khuff
Fiqh
23.
23
Keutamaan ahli bait
Sirah
24.
24
Menghidupkan tanah tak bertuan
Fiqh
25.
25
Cara adzan dan iqomah
Ibadah
No.
Materi
Keterangan Ibadah
73
26.
Nomor hadis 26 Munafiq
27.
27
Kisah ahli jahiliyah pada hari akhir
Iman
28.
28
Hari kiamat
Iman
29.
29
Larangan menghancurkan mata uang
Fiqh
30.
30
Keutamaan ‘Ali Ibn Abî Thâlib
Sirah
31.
31
Keutamaan menghafalkan 40 hadis
Fadhâ`il al-A’mâl
32.
32
Lisan Nabi paling fasih
Sirah
33.
33
Larangan membuat hadis palsu
Ilmu hadis
34.
34
Larangan membuat kebohongan atas Nabi
Ilmu hadis
35.
35
Kondisi orang yang dibunuh
Fiqh
36.
36
Aurat lelaki
Fiqh
37.
37
Memuliakan orang yang sudah tua
Akhlak
38.
38
Ahli surga dan ahli neraka
Iman
39.
39
Larangan makan terlalu kenyang
Fiqh
40.
40
Doa mau bepergian
Ibadah
No.
Materi
Keterangan Akhlak
Dari tabel di atas, nampak bahwa materi-materi hadis dalam kitab ini adalah akhlak, fiqh, ibadah, iman, fadhâ`il al-a’mâl, dan sirah. Penyusunan bab dari kitab ini tidak disusun berdasarkan materi-materi ini, karena sebagaimana kita lihat materi-materi hadis tersebut tidak diklasifikasikan atau diurutkan berdasarkan kelompok temanya, melainkan berdasarkan sanad hadis. Akibatnya, subyek hadis nampak tidak disusun secara sistematis dan terpadu dari sisi matannya. Kalau dicermati, di antara matan hadis bahkan ada yang diulang, walaupun dirujuk dari kitab yang sama tetapi dengan riwayat yang – sampai kepada Muhammad Yasin–berbeda. Hadis tersebut terletak pada
74 hadis nomor 7 dan nomor 8, yaitu tentang tata cara bersolawat kepada Nabi, dirujuk dari kitab yang sama, yaitu Muwaththa` Imâm Mâlik. Tetapi keduanya diriwayatkan dengan jalur sanad yang berbeda. Hadis nomor 7 diriwayatkan dari Muhammad ‘Ali Ibn Husayn al-Makki, guru syekh Yasin, yang berujung kepada Yahya Ibn Yahya al-Laytsi, murid Imâm Mâlik. Sedangkan hadis nomor 8, diriwayatkan dari ‘Abd ar-Rahmân Ibn ‘Ubaidillâh as-Siqâf, guru Muhammad Yâsîn, yang berujung kepada Muhammad Ibn Hasan Asy-Syaybani, murid Imâm Mâlik.
b. Jumlah Hadis Telah disebutkan di dalam bab-bab terdahulu bahwa arti dari kata Arba’un adalah empat puluh. Meskipun begitu tidak semua kitab Arba’un menghimpun empat puluh buah hadis. Empat puluh bisa dipahami sebagai jumlah empat puluh atau ‘empat puluhan’ buah hadis atau bisa juga empat puluh bab. Beberapa kitab hadis Arba’un yang telah disebutkan sebelumnya menunjuk kepada pemahaman ini. Kitab al-Arba’una Haditsan sendiri menghimpun sebanyak empat puluh hadis yang disusun kedalam empat puluh buah bab; satu buah hadis pada tiap-tiap babnya. Hadis nomor 7 dan 8 matannya sama, yaitu tentang tata cara bersolawat kepada Nabi, dirujuk dari kitab yang sama, yaitu Muwaththa` Imam Malik. Tetapi keduanya diriwayatkan dengan jalur sanad yang berbeda. Hadis nomor 7 diriwayatkan dari Muhammad ‘Ali Ibn Husayn al-Makki, guru syekh Yasin, yang berujung kepada Yahya Ibn
75 Yahya al-Laytsi, murid Imam Malik. Sedangkan hadis nomor 8, diriwayatkan dari ‘Abd ar-Rahmân Ibn ‘Ubaidillah as-Siqâf, guru Muhammad Yasin, yang berujung kepada Muhammad Ibn Hasan AsySyaybânî, murid Imam Mâlik. Dengan demikian, tidak berarti bahwa jumlah hadis dalam kitab ini adalah empat puluh kurang satu, akan tetapi genap empat puluh buah. Hadis yang sama pada nomor 7 dan nomor 8 dihitung dua, bukan satu, karena menurut MM Azami, para Muhaddisin biasanya menghitung jumlah hadis berdasarkan isnad.158 c. Tahrij Hadis Takhrij hadis artinya menunjukkan lokasi suatu hadis di dalam kitab-kitab induk sumbernya yang telah meriwayatkannya dengan sanadnya sendiri, kemudian jika perlu memberikan penjelasan mengenai derajat hadis. Kitab-kitab sumber tersebut adalah kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan apa yang diterima dari gurunya dengan sanad yang bersambung kepada Nabi SAW seperti al-Kutub al-Sittah dan al-Kutub alTis’ah; kitab-kitab yang bersumber dari kitab-kitab induk, seperti mustadrak, mu’jam dan lain-lain; dan kitab-kitab dari bidang ilmu lain – seperti kitab tafsir, fiqh, dan sejarah –yang mempergunakan dalil dengan hadis-hadis dengan syarat penyusun meriwayatkannya dengan sanadnya sendiri, seperti kitab tafsir al-Thabari, al-Umm dan lain sebagainya.159
158
MM Azami, Metodologi Kritik Hadis. (Jakarta:Pustaka Hidayah, 1992), 150 Mahmûd Thahhân, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd. (Riyâdh: Maktabah alRusyd, 1978), 11-13 159
76 Di dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan, setelah menyebutkan matan hadis, Muhammad Yâsîn memberikan keterangan tentang lokasi hadis dalam kitab-kitab induk lainnya sejauh ada dan ditemukan. Kitab-kitab sumber dimaksud adalah kitab-kitab hadis dalam kelompok Kutub alSittah, Kutub al-Tis’ah, dan kitab-kitab di luar kelompok itu, seperti Mustadrak Hâkim, Mushannaf Abi Syaybah, Mushannaf ‘Abd al-Razzâq, Musnad al-Baghawi, dan lain sebagainya. Syaykh Yasin mempunyai sanad yang bersambung kepada kitab-kitab yang dijadikan sumber takhrij-nya.160 Apa yang dilakukan Syaykh Yâsîn ini sejalan dengan pendapat Mahmûd Thahhân bahwa untuk mentakhrij hadis, seseorang harus juga mempunyai sanad yang bersambung kepada penyusun kitab induk tersebut. Karena kalau tidak, maka seseorang tidak sedang melakukan takhrij hadis, melainkan hanya memberi penjelasan kepada pembaca bahwa sebuah hadis telah disebutkan dalam kitab hadis tertentu.161 Selain memberikan penjelasan mengenai lokasi hadis di dalam kitab-kitab sumber, Syaykh Yâsîn juga menjelaskan derajat hadis tersebut. Penilaian derajat hadis ini dilakukan terhadap hadis (sanad dan matan) dari kitab-kitab induk dan sumber rujukan yang telah meriwayatkan hadis, bukan terhadap sanad hadis setelah penulis kitab-kitab tersebut hingga guru Muhammad Yâsîn.
160
Sanad Hadis Syaykh Yasin untuk kitab-kitab koleksi hadis tersebut dapat dilihat di dalam Mukhtâruddin al-Falimbâni, Bulûgh al-Amânî. (Beirut: Dâr al-Qutaybah, 1988); dan bukubuku Al-Fadani: Ithâf al-Mustafîd bi Gharar al-Asânîd. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmîyah, 1983); Kifâyat al-Mustafîd Lima ‘Alâ min al-Asânîd. (Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmiyah, 1987); dan lain sebagainya. 161 Thahhân, Ushûl al-Takhrîj, 14
77 Dari empat puluh buah hadis yang terdapat di dalam kitab Arba’ûna Hadîtsan, tiga puluh lima hadis diberi penilaian, sedangkan yang lima tidak diberi penilaian. Berikut ini adalah penilaian derajat hadis terhadap hadis-hadis di dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan, baik shahih, hasan, dan lain-lain sebagaimana tabel berikut ini: Tabel 5.2. Penilaian Derajat Hadis al-Arba’una Haditsan Karya Syaykh Yasin al-Fadani162
1.
Shahîh
2.
Hasan
Nomor Hadis 1, 2, 5, 11, 16, 23, 25, 28, 33, 34, 35, dan 36 12, 18, 30, 31
3.
Dha’if
-
-
4.
4, 7, 9, 22, 29
5
3
1
6.
Hasan Shahîh Hasan gharîb isnâduhu shâlih Hasan Gharîb
40
1
7.
Isnâd ‘azîz
8
1
8.
Isnâd Shahîh
10, 13, 19, 24, 39
5
9.
Isnâd Hasan
32, 37, 38
3
10.
26
1
15
1
12.
Isnâd la ba’sa bih Mukhtalaf (diperselisihkan kesahihannya) Gharîb
17
1
13.
Tanpa penilaian
6, 14, 20, 21, 27
5
No.
5.
11.
Derajat hadis
JUMLAH
162
Jumlah 12 4
40
Tabel penilaian derajat hadis ini sesuai dengan redaksi yang diberikan Syaykh Yasin, sehingga istilah seperti hasan shahih ditulis apa adanya, meskipun sebenarnya hadis dengan kategori ini bisa menjadi shahih.
78 Dari tabel di atas kita dapat melihat bahwa jumlah hadis yang dinilai shahih berjumlah dua belas. Sedangkan jika ditambah dengan hadis berderajat hasan shahîh (hasan yang naik menjadi shahîh atau shahîh lighayrihi) yang berjumlah lima buah, maka akan berjumlah 17 buah. Hadis yang berderajat hasan berjumlah 4 buah, bersama Hadis Shahîh bisa dijadikan hujjah. Istilah Isnâd shahîh, Isnâd hasan, Isnâd ‘azîz, dan Isnâd lâ ba’sa bih adalah penilaian terhadap isnadnya, sedangkan matannya masih diragukan apakah syâdz atau mu’allal. Akan tetapi Isnâd Shahîh – yang berjumlah lima hadis–, kalau tidak mencantumkan apa ‘illah (kecacatannya) atau segi syâdz-nya, maka sang penilai bisa dianggap menilainya shahih. Begitu juga pada Isnâd Hasan–yang berjumlah tiga hadis–, kalau tidak mencantumkan apa ‘illah (kecacatannya) atau segi syâdz-nya, maka sang penilai bisa dianggap menilainya hasan. Oleh karena itu Isnâd Shahih bisa menjadi Shahih dan Isnâd Hasan bisa menjadi Hasan, apabila si penilai tidak mencantumkan ‘illah dan segi syâdz-nya, atau mampu menghilangkan keduanya. Pencantuman takhrîj terhadap hadis yang terdapat dalam kitab alArba’una Haditsan ini selain untuk menunjukkan lokasi hadis di dalam kitab induk, mungkin juga dimaksudkan untuk tujuan yang lain, seperti mengangkat derajat kekuatan hadis dengan banyaknya jalan periwayatan, baik sebagai syâhid atau mutâbi’. Hal itu terutama untuk hadis yang dirujuk dari kitab-kitab di luar Kutub al-Sittah dan kitab hadis yang kurang banyak dikenal.
79 d. Sanad Hadis a. Jumlah Rijâl al-Hadîts Jumlah rijâl al-hadîts pada masing-masing hadis dalam kitab ini mulai dari guru Syaykh Yasin hingga kepada Nabi SAW tidaklah sama. Ada hadis yang diriwayatkan oleh 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, dan 32 orang rijâl al-hadîts dengan frekuensi yang berbeda, seperti ditunjukkan oleh tabel berikut: Tabel 5.3. Jumlah Rijâl Al-Hadîts pada Kitab al-Arba’una Haditsan No.
Jumlah Rijal
Frekuensi
1
21
1
28
2
23
4
15, 17, 22, 25
3
24
3
11, 18, 39
4
25
4
16, 19, 21, 23
5
26
8
1, 4, 6, 9, 14, 20, 34, 37
6
27
2
13, 38
7
28
10
3, 7, 10, 26, 27, 30, 33, 35, 36, 40
8
29
3
12, 24, 32
9
30
3
2, 8, 31
10
31
1
29
11
32
1
5
Jumlah
Nomor Hadis
40
Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah rijal hadis paling sedikit dan mungkin bisa dikategorikan sebagai ‘âli (superior) adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua puluh satu orang rijâl al-hadîts,
80 yaitu hadis nomor 28.163 Sedangkan hadis yang paling banyak rijalnya dengan tiga puluh dua orang adalah hadis nomor 29.164 Sanad yang berkategori ‘ali (superior) dalam kitab ini mencantumkan dua puluh satu orang rijal hadis. Sedangkan jumlah rijal yang paling banyak frekuensinya diriwayatkan oleh dua puluh delapan orang adalah terdapat pada sepuluh hadis, yaitu nomor 3, 7, 10, 26, 27, 30, 33, 35, 36, dan 40. Masalah jumlah rijal hadis yang terdapat di dalam suatu sanad hadis sangatlah penting, karena dapat menentukan tingkatan ‘âli atau nâzil-nya suatu hadis. Sanad hadis Syaykh Yasin yang hanya dua puluh satu orang di atas sebenarnya sangat dimungkinkan karena jika kita hitung rata-rata usia masing-masing rijal akan ditemukan rata-rata berusia enam puluh tujuh tahun. Usia enam puluh tujuh tahun bagi seorang ulama relatif masih bisa dikatakan sebagai usia produktif. Oleh karena itu biasanya gelar al-mu’ammar (berumur panjang)165 selalu disebutkan mengiringi nama seorang rijal pada sanad hadis. Hal itu karena seorang rijal yang berumur panjang sangat dimungkinkan untuk dapat mengajarkan hadis kepada satu atau dua generasi sesudahnya, sehingga akan mengurangi jumlah rijal pada sanad suatu hadis. Sedangkan sanad hadis Syaykh Yasin yang mencapai tiga puluh
163
Al-Fâdânî, Al-Arba’ûna Haditsan, 58. Ibid., 59. 165 Seperti Malik Ibn Anas berusia 86 tahun, Syaykh Burhân ad-Dîn Ibrâhîm Ibn ‘Abdillah Yarsyâh ad-Dihlawi al-Kutbî al-Makki berusia 103 tahun, Husain Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-‘Amri ash-Shan’âni berusia 93 tahun, dan Sayyid ‘Ali Ibn ‘Abd ar-Rahmân alHabsyi al-Kuwitâni berusia 102 tahun. 164
81 dua orang sebenarnya juga sangat dimungkinkan, karena jika kita hitung rata-rata usia masing-masing rijal akan ditemukan rata-rata berusia empat puluh empat tahun. Usia empat puluh empat tahun bagi seorang ulama adalah usia yang sangat produktif. b. Variasi Sanad Hadis Kalau dicermati sanad-sanad hadis kitab al-Arba’ûna Hadîtsan maka kita dapat melihat beberapa variasi sanad hadis sebagai berikut: 1) bersambung kepada para tokoh mujaddid terkenal abad XV, XVI, XVII, dan XVIII.166 Mujaddid pada abad XV adalah Zakariyâ Ibn Muhammad al-Anshârî (w. 926/1520) dan Jalâl ad-Dîn as-Suyûthi (w. 911/1505),167 mujaddid abad XVI adalah Syams ad-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Ramlî (w. 957/1550),168 mujaddid abad XVII
adalah
Munlâ
Ibrâhîm
Ibn
Hasan
al-Kurânî
(w.
1102/1690),169 dan mujaddid abad XVIII adalah Murtadhâ alZabîdi (w. 1205/1791)170 dan Shâlih Ibn Muhammad al-Fulâni (w. 1218/1803).
166
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), 90 167 Hadis yang bersambung kepada Zakariyâ Ibn Muhammad al-Anshâri berjumlah lima belas buah hadis, yaitu hadis nomor 2, 5, 6, 10, 11, 14, 15, 18, 26, 27, 29, 32, 34, 38, dan 40; sedangkan yang bersambung kepada Jalal ad-Din al-Suyuthi berjumlah tujuh buah hadis, yaitu hadis nomor 9, 13, 22, 23, 25, 28, dan 37. 168 Hadis yang bersambung kepada Syams al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Ramlî berjumlah delapan buah hadis, yaitu hadis nomor 2, 6, 10, 11, 17, 18, 21, dan 32. 169 Hadis yang bersambung kepada Munlâ Ibrâhîm Ibn Hasan al-Kurâni berjumlah enam buah hadis, yaitu hadis nomor 2, 6, 16, 31, 37 dan 39. 170 Hadis yang bersambung kepada Murtadlâ al-Zabîdi berjumlah tujuh buah hadis, yaitu hadis nomor 9, 10, 15, 17, 18, 23 dan 36, sedangkan yang bersambung kepada Shâlih Ibn Muhammad al-Fulâni berjumlah dua buah hadis, yaitu hadis nomor 1 dan 25.
82 2) bersambung kepada para tokoh tarekat,
terutama tarekat
Syathariyah, seperti Ahmad al-Tsinnâwi, Shafi al-Dîn Ahmad alQusyâsyî dan Munlâ Ibrâhîm Ibn Hasan al-Kurânî. Ketiga tokoh tersebut adalah merupakan silsilah tokoh pemimpin tarekat Syathariyah. Munlâ Ibrâhîm Ibn Hasan al-Kurâni adalah guru dari ulama asal nusantara ‘Abd al-Ra’uf Sinkel dan Muhammad Yûsuf al-Maqassari. Dalam kitab ini riwayat al-Tsinnâwi ditransmisikan oleh murid dan menantunya serta khalifah terkenal tarekat Syathâriyah, Shafi al-Dîn Ahmad al-Qusyâsyî dalam tiga hadis. Riwayat al-Qusyasyi ditransmisikan melalui lima jalur sanad yang berbeda, yaitu melalui muridnya Ibrâhîm al-Kurâni sebanyak tiga hadis, ‘Abdullâh Ibn ‘Alwi al-Haddâd al-‘Alawi, ‘Abdullâh Ibn Salim al-Bashri, ‘Abdullâh Ibn Ahmad Balfaqîh al-‘Alawi, dan ‘Umar Ibn ‘Abd al-Rahmân ‘Aydîd al-‘Alawi masing-masing satu hadis.
Sedangkan
riwayat
Ibrâhîm
al-Kurâni
sendiri
ditransmisikan oleh salah seorang muridnya, yaitu Muhammad Ibn Muhammad al-Budayri al-Dimyâthi dan anaknya Abu Thâhir Ibn Ibrâhim al-Kurâni masing-masing tiga hadis. Pada hadis nomor 31 ketiga tokoh tarekat Syathâriyah tersebut membentuk jalur transmisi secara berurutan.171 3) Bersambung kepada beberapa ulama Kurdi, yang punya pengaruh yang sangat besar dalam transmisi intelektual dan spiritual kepada
171
Al-Fâdânî, Al-Arba’ûna Haditsan, 63.
83 para ulama nusantara, seperti Ibrâhîm al-Kurdi al-Kurâni, Abu Thâhir al-Kurdi al-Kurâni, dan keluarga al-Barzinji, seperti Ahmad Ibn Ismâ’îl al-Barzinji. 4) Bersambung kepada komunitas atau keluarga tertentu yang punya komitmen terhadap hadis.
Keluarga
yang
paling banyak
mentransmisikan hadis dalam kitab ini adalah keluarga al-Ahdal di Yaman, yaitu ada empat hadis yang ditransmisikan melalui para ulama dari keluarga ini. Bahkan pada hadis nomor 11 ada delapan generasi al-Ahdal yang mentransmisikannya, mereka adalah Sayyid Ahmad Idrisi Ibn Muhammad Ibn Sulaymân al-Ahdal alZabîdi (w. 1357 H), Sayyid ‘Abd al-Rahmân Ibn Sulaymân Ibn Muhammad al-Ahdal, Sayyid Sulaymân Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Rahmân al-Ahdal, Sayyid Muhammad Ibn ‘Abd al-Rahmân Ibn Sulaymân al-Ahdal, Sayyid ‘Abd al-Rahmân Ibn Muhammad Ibn Sulaymân Ibn Yahya Ibn ‘Umar Maqbûl al-Ahdal, Sayyid Sulaymân Ibn Yahya al-Ahdal (w. 1197), Sayyid Ahmad Ibn Muhammad Syarîf Maqbûl al-Ahdal, Sayyid Yahya Ibn ‘Umar Maqbûl al-Ahdal. Keluarga lain adalah keluarga keturunan Balfaqîh pada hadis 6 dan ada enam generasinya yang turut ambil bagian mentransmisikannya. 5) bersambung kepada beberapa muhaddits wanita. Mereka diantaranya adalah Umm al-Fadhl Muhâjir binti Muhammad al-Maqdisiyah, Juwayriyah binti Ahmad al-Hakkari,
84 Ibnat Abi Bakr Ibn Ayyûb, Ummu Hâni` Bint Ahmad Ibn ‘Abdillâh al-Fariqâniyah, Fâthimah Bint ‘Abdullâh Ibn Ahmad alJawzadijâniyah, Fâthimah Bint ‘Abdullâh al-Dimasyqiyah, Rajab Bint Ahmad al-Qalâji, Sarâh Bint ‘Ali al-Subki, Zainab Bint Ahmad Ibn al-Kamâl ‘Abd al-Rahîm, Hajar Bint Muhammad alMaqdisi, Umm al-Dhiyâ’ Bint ‘Abd al-Razzâq, dan Sitt al-‘Arab Bint Muhammad al-Sa’diyah. 6) bersambung kepada beberapa ulama nusantara. Diantara mereka adalah Syaykh al-Kiyâhi Bâqir Ibn Muhammad Nûr Ibn Fâdhil Ibn Ibrâhîm al-Jogjawi al-Makki (w. 1363 H), Sayyid ‘Alawi Ibn Thâhir Ibn ‘Abdillâh Ibn Thâha al-Haddâd Mufti Johor, Syaykh ‘Ali Ibn ‘Abdillâh Ibn Arsyad Ibn ‘Abdillâh al-Banjari al-Makki (w. 1370 H), ‘Ali Ibn ‘Abd ar-Rahman alHabsyi al-Kuwitâni (w.1388 H/968), Syaykh al-Kiyâhi ‘Abd alMuhîth Ibn Ya’qûb Ibn Fânji as-Sidoarji al-Makki (w. 1383 H), Muhammad Mahfûzh Ibn ‘Abdullâh at-Tirmasi (w. 1385/1920) 7) bersambung kepada tokoh-tokoh inti jaringan ulama abad 18. Seperti Ibrâhîm al-Kurâni (w. 1101/1690), Abu Thâhir al-Kurâni (w. 1145/1732), Syah Wali Allâh al-Dihlawi (w. 1176/1762), Shâlih Ibn Muhammad al-Fulâni (1218/1803), Murtadha al-Zabîdi (w. 1205/1791), ‘Abdullâh al-Bashri (w. 1134/1722), dan ‘Alâ` alDîn al-Bâbili (w. 1077/1666).
85 Sebagai contoh kita cermati sanad hadis nomor 2 yang dirujuk dari kitab Shahih Muslim, yaitu hadis nomor 4677, sebagai berikut:
xِqَاe° { اxU± ²ْdwَ ْhَ [ْq ِد ِرWَ¤ْ اtْUS َ ³ ُ dْ ´ { اWَeَ Uَ ْأ ىeدوe اxِ
¶ ِ Wَْ [ ا ِ
ْse{ ¨ ا ُ dْ Uِ s َ ³ْd´ { اWَeَ Uَ ْ َأ:لWَ ,xِtَ
َ ْ ا :ل َ Wَ ,ِىtoْ pِ ْ اxoq xِWَUْ [ ا ِ
ْse{ اtُ Uْ S َ xِeَ Uَ ْ أ:ل َ Wَ ,xِtَ
َ ْ ُ {§ ا tُ Uْ S َ xِoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,ِىhَ ْهt ا¢ ِ اm ِ ْ[ أ ْهq قWَg ْ إt{
g َ nُ Wَoَ tَ s َ W{´ِى اtِ وَاWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,ِىhَ ْهt ا¢ ِ ا ُ ِ َوW{´ْ[ اq ^ِ fْ ^ِ rَ ْ ا ْhqُ أt{
g َ nُ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,ِىhَ ْهt{ ْ§ اds ِ e{ اtُ Uْ S َ [ْq ¢ ِ ا ُ ِ َوtَ
s ْأ xِq أxِoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِtَ
َ اxِْرَاhُ ْ ْدِى اeُ ْ ْ§ اdَا ِهeqْ ْ[ إq eِهW{°ا xِْرَاhُ ْ ْدِى اeُ ْ ْ[ اft ب اWَp± ِ [ْq [َs َ [ْq §ْdَا ِهeqْ إ¹ َ oْ
ُ ْ ا :ل َ Wَ ,xِ±Wَ´¤ُ ْ اt{
g َ nُ [ْq tَ
s ْ أxِ { اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِtَ
َ ْ ا t{
g َ nُ ºْ
´ { اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِ±Wَ´¤ُ ْ اºُْhfُ [ْq t{
g َ nُ xِq َأWَeَ Uَ ْأ [ْq Wَfeِ َز َآxِyWَ¤ْ ِم ا¹ َ ْ ¼ ا³ ُ dْ ± َ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِnْ e{ اtَ
s ْ ْ[ أq xِS َ [ْq tَ
s ْ أmْ½َ ْ اhُq َأ ُ wِ Wَgْ اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,رِىWَْ ¯ َ اt{
g َ nُ وeْ
S َ xِqْ[ أq َح¹ { اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِ¹ َ ¤َ ْ rَ ْ اeَs َ [ْq hُq أeَْ ْ اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِU ا { َه¢ ِ اtِ Uْ S َ hُq أWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِtِ ¤ْ
َ ْ ا hُq َأWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,رِىWَUُ ْ [ ا ِ qْ Wِ qِ ف َ eِ S ُ tَ
s ْ ْ[ أq xِS َ [َg َ ْا t{
g َ nُ [ ِ fْ t{ ْ ُر اtb َ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,ِىtoْ ِ ْ َ[ اg َ ْ ْ[ اq tْf[ َز ِ
َ dَ ْ ا tَ
s ْ أWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِWَUْ اtْUS َ [ْq t{
g َ nُ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِnْوtُ dْ
َ ْ ا xَS [ْq t{
g َ nُ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,َادِىtcْ Uَ ْ ْ¨ اd° ِ َ ْ ِ¦ اqWَ [ْq xِS َ [ْq Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِo° ْ ُ {ا ُرt اeَ
S ُ [ْq xِS َ Wَoَ t{ s َ :لWَ ,¿ْ َ ْ ْ[ اq :ل َ Wَ ,tِSWَb [ْq t{
g َ nُ [ْq xَdg ْ fَ ,ْرِىhqُ Wَdْ o{ِى اedْ ´ َ ¤ُ ْ ج اW{g َ ْ ْ[ اq §ِ ْ nُ tْdِhَ ْ ْ اhqُ أWَoَ t{ s َ [َS mْd¤َ S ُ ْ[S َ ,dْ َ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,tْdrِ َ [ْq }َUdْ َ ُ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ :ِ dْ qِ [ْ َأS َ ,§ِWَ ْ[S َ ,ِىeا ^ ْه =ُ? َأBُ Dِ F ْ Gُ Hْ ا:ل َ Wَ §{ َ ِ َوdْ َS َ ¢ ُ اx{b َ ¢ ِ لا َ ْh ُ ن َر {أ O ُ نا َ Qَ آJِ Sْ ? ِ َأTِ U َ QَV WِX ن َ Qَْ آYZَ ,Jُ Gُ DِF ْ Kُ Lَ َوJُ Gُ Dِ N ْ Kَ Lَ Bِ Dِ F ْ Gُ Hْ ا Tً `َ ْ^ ُآQَa`ِ Jُ bْ c َ O ُ جا َ ^] Xَ Tً `َ ْ^ ُآBٍ Dِ F ْ Zُ ْYc َ ج َ ^] Xَ ْYZَ َو,Jِ [ِ U َ QَV WِX
86
=ْ َمKَ O ُ اhُ ^َ [َ i َ QًGِDF ْ Zُ ^َ [َ i َ ْYZَ َو,Tِ Zَ QَSeِ Hْ =ْ ِم اKَ ب ِ ^َ ْ ُآYZِ .Tِ Zَ QَSeِ Hْ ا ِ ْ {َا اpَ qِ ِ g ِ dْ g ِb َ xِw §ِ ْ nُ ُ ] َ eَ ْ ¿ٌ أdْ g ِb َ ٌfْ tِ s َ هَا 172 .ْ§ ِهeِ dْ Á َ ِى َوnِ ْeْ دَاوُد وَاhqُ َوَأtُ
َ s ْ َو َروَا ُ َأ, ِدWَo ْ ¼وَا Dari sanad hadis di atas kita melihat jumlah rijal dalam jalur periwayatan ini adalah tiga puluh orang, dan di antara mereka kita melihat banyak tokoh besar dan kredibilitasnya tidak diragukan terlibat di dalamnya, seperti: ‘Abd al-‘Azîz Ibn Syâh Wali Allâh adDihlawi (w. 1239 H) anak Syah Waliullah, Syâh Wali Allâh adDihlawi (w. 1176/1762), Abu Thâhir Ibn Ibrâhim al-Kurâni (w. 1145/1732), Munlâ Ibrâhîm Ibn Hasan al-Kurâni (w. 1102/1690) mujaddid abad XVII dan tokoh tarekat Syathâriyah; mereka adalah para tokoh inti jaringan ulama abad XVIII; Ahmad Ibn Muhammad alQusyâsyi (w. 1071/1661) tokoh besar tarekat Syathâriyah, Muhammad Ibn Yûnus al-Qusyâsyi, Syams al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad alRamli (w. 957/1550) mujaddid abad XVI, Zakariyâ Ibn Muhammad al-Anshâri (w. 926/1520) mujaddid abad XV, Ibn Hajar al-‘Ashqalâni (w. 853/1449), Abu ‘Abd Allâh al-Dzahabi (w. 748 H), Ahmad Ibn ‘Ali al-Khathîb al-Baghdâdi (w. 463 H), ‘Ali Ibn ‘Umar al-Dâruquthni (w. 385 H) penyusun kitab Sunan, dan penyusun kitab Shahîh Muslim, Abu al-Walîd Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyayri al-Naisâpuri (w. 261)
172
Ibid., 7, 8
87 Hadis ini diriwayatkan Muslim melalui Al-Zuhrî dari Sâlim Ibn ‘Abdillâh, ‘Abdullâh Ibnu ‘Umar yang merupakan ashahh al-asânîd Imam Muslim. c. Ittishâl al-Sanad Semua hadis yang terdapat dalam kitab ini mempunyai sanad yang muttashil (bersambung). Semua sanad dicantumkan secara lengkap mulai dari dirinya sampai kepada Nabi SAW. Empat puluh hadis dalam kitab ini, masing-masing diriwayatkan oleh Muhammad Yasin dari guru yang berbeda, sampai kepada penulis empat puluh kitab hadis yang berbeda pula, dan semua berujung kepada Nabi SAW. Sebagai contoh adalah hadis pertama dalam kitab al-Arba’ûna Hadîtsan yang dirujuk dari kitab Shahîh Bukhârî sebagai berikut:
xِdْ ِ ْh اxِeُ g ْ
َ ْ ن ا َ َاt
ْ s َ [ ُ qْ eُ
َ S ُ ٍْ s َ ْhqُ َأWَoَ t{ s َ m َ dْ S ِ Wَ
ْ [إ ُ qْ tَ
s ْ َأtd { اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,[ ِ dْ َ fْ eِ ´ { [ ا ِ dْ nَ eَ g َ ْ ث ا ُ t g َ nُ [ َ fْ [ َز ُ qْ mْdS ِ Wَ
ْ إtd { اxِq َأxِoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِtَ
َ ْ اxِْ ْ َزeUَ ْ ا ¿ ُ ِWَb tُ oِ ْ
ُ ْ ث ا ُ t g َ
ُ ْ اxِoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِtَ
َ ْ اxِْ ْ َزeUَ ْ [ ا َ fْ tِ qِ Wَrْ ا tُ
{ g َ nُ ُ fْ eِ ´ { اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِ¹ َ ُ ْ ِى اe
ْ rَ ْ ْح اhُ [ ِ qْ tِ
{ g َ nُ [ ُ qْ tُ Uْ S َ ف ِ ِرWَr
َ ْ ْ اhqُ أWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِ±ْe¤ُ ْ اxِ~ َ ْوhَ ْ ا¢ ِ اtِ Uْ S َ [ ُ qْ tَ Uْ S َ َوxِqeَ rَ ْ اt{
g َ nُ وْ ِرeُ اhُq َوَأxِ ِرWَ اt{
g َ nُ [ ُ qْ [ ِ
ْse{ ا §ِ ِ Wَ [ ُ qْ t{
g َ nُ eِ Ãِ Wَ{ اhُq أWَeَ Uَ ْ أ:ْاhُWَ ,eِ±WَS [ ُ qْ tِ s ِ َاhْ ا tْUS َ [ ُ qْ [ ِ َg َ [ ا ُ qْ tَ
s ْ أWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِWَْecْ اxِdْ ¤َ ْ ر اW{¤َ ا eِ qِ Wَ] [ ُ qْ t{
g َ nُ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِْh ُ { ِ^ اfْ ^ِ rَ ْ اtْUS َ [ْq [ ِ
ْse{ ا Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,tٍ ِهWَnُ [ ُ qْ اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِdْ ِ ْh اxِ±Wَfَا ِدhْ اxِdْ ¤َ ْ ا xَْhnُ [ ِ qْ ض ٍ WَdS ِ xِyWَ¤ْ اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِUْ { اmْdِ َ [ْq tَ
s ْأ Wَoَ t{ s َ :~ َ Wَ ,xِUِ ± ْ ¼ اxِqeَ rَ ْ [ ا ِ q eٍ َq ْhqُ وَأxِِWَ
ْ اxِU ُ g ْ dَ ْ ا ,xِwtَ { َة اeْ ُ [ْq نhds [ْq eْdw [ْq t{
g َ nُ [ ِ qْ [ْd َs ُ xِyَ¤ْ ا
88
:ل َ Wَ ,xِUْU ِ { اx] ِ WَUْ َ ا َ [ َ qْ ن ُ Wَ
dْ َ ُ tِ dْ ِhَ ْ ْ اhqُ َأWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ [ْq ¢ ِ اtُ Uْ S َ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,وِىeَ pَ ْ اt{
g َ nُ [ْq tَ
s ْ ْ[ أq tْUS َ Wَeَ Uَ ْأ [ ِ qْ tَ
َ s ْ[أ ُ qْ §ُ dْ َا ِهeqْ ق إ َ Wَg ْ إhُq وَأxِ{e اfhَ
s َ [ ِ qْ tَ
َ s ْأ ْ[ زراعq xّnَ [ ِ qْ t
{ g َ nُ §ِ َ dْ pَ ْ ْ اhqُ وَأxِ
ْ َ ْ
ُ ْ اxِْ Uَ ْ ْ§ اdَا ِهeqْ إ َ ُ ْhfُ [ ُ qْ t{
g َ nُ Wَoَ t{ s َ :اhُWَ ,xِopَ dْ
ِ ´ ْ ُ ْ [ زراع اqْ ُروْنWَ[ ه ِ qْ :ل َ Wَ ,ىeqeْ اeَ°nَ [ ِ qْ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,رِىWَUُ ْ اm َ dْ S ِ Wَ
ْ[ إ ُ qْ t{
g َ nُ Wَoَ t{ s َ ,xdo اeٍ ْ qَ [ ُ qْ eْ´qَ ِ ٍ§ َو ْ nُ [ ُ qْ tُ dْ ِhَ ْ اWَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,ِىtdْ
َ g ُ ْ ا xِq[ أ ُ qْ xَdg ْ fَ Wَoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,xِSو ا¯وْزَاeْ
S َ hُq أWَoَ t{ s َ :~ َ Wَ Æَ
ِ َ ُ { أ:ل ُ ْh¤ُ fَ س ٍ W{US َ [ ُ qْ اÆَ
ِ َ ُ { أ:}َneِ ْ S ِ xِoَ t{ s َ :ل َ Wَ ,eٍ dْ vِ َآ :ل ُ ْh¤ُ fَ ُ oْ S َ ¢ ُ اx َy ِ ب َر ِ W{° َ ْ [ ا ُ qْ eُ
َ S ُ ² ِ dْ ¤ِ rَ ْ َادِى اhqِ §َ { َ ِ َوdْ َS َ ¢ ُ اxَb ¢ ِ لا َ ْh ُ ¦ َر ُ rْ
ِ َ =َادِىHْ اhِ uِ َهWِX wl x َ : َلQَeXَ Wl`ْ َرYZِ ت ٍ o Tَ Dَ Sْ D]H اWِpQَq "أ:ل ُ ْh¤ُ fَ ".Tٍ | ]V َ WِX ٌ َ^ةGْ c ُ :ْwyُ ك َو ِ َرQَ{Gُ Hْ ا xِw ِ g ِ dْ g ِb َ xwِ رِىWَUُْ ] ُ ا َ eَ ْ ¿ٌ أdْ g ِb َ ٌfْ tِ s َ هَا xِw َ ] َ Wَn [ ُ qْ ْ دَاو َد وَاhqُ َو َروَا ُ أ, ِدWَo ْ ¼ وَا ِ ْ {َا اpَ qِ ® g َ ْ ب ا ِ Wَِآ xِw ُروْدِىWَ[ ا ُ qْ وَا, ِ o{ ّ
ُ ْ اxِw }َ Uَ dْ ± َ xِq[ أ ُ qْ وَا,Wَ
pِ oِ oَ ُ 173 .ِ g ِ dْ g ِb َ Hadis di atas diriwayatkan oleh Syaykh Yasin melalui 25 orang rijâl al-hadit dan kalau dicermati redaksi yang digunakan para perawinya maka dapat diketahui bahwa yang menggunakan istilah periwayatan
َ ) berjumlah 18 orang; haddatsânî (xِoَ t{ s َ) haddatsânâ berjumlah (Wَoَ t{ s َ Uَ ْ )أberjumlah 2 orang, sami’a (Æَ
ِ َ) berjumlah 3 orang; akhbaranâ (Wَe atau sami’tu (¦ ُ rْ
ِ َ ) berjumlah 3 orang. Istilah-istilah periwayatan yang dipakai di atas menunjukkan ketersambungan antara guru dan murid yang 173
Ibid., 5, 6
89 meriwayatkan hadis, berdasarkan metode penerimaan hadis yang digunakannya. Hanya saja tingkatan masing-masing istilah yang digunakan tersebut belumlah disepakati oleh para ulama.174 Tetapi, Muhammad Yasin tidak menjelaskan kandungan matan hadis, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Ibn Abi Bakr al-‘Ushfuri dalam kitab al-Mawâ’îd al-‘Ushfûrîyah. Sedangkan paragraf disusun sedemikian rupa yang bisa dijelaskan sebagai berikut: Paragraf ditandai dengan indentasi yang menjorok kedalam. Paragraf pertama berisi jalur sanad mulai dari guru Muhammad Yasin sampai kepada murid penulis kitab rujukan. Paragraf kedua, berisi jalur sanad mulai dari penulis kitab rujukan sampai kepada sahabat Nabi SAW. Paragraf ketiga adalah matan hadis Nabi SAW. Dan paragraf keempat berisi takhrij hadis dari kitab hadis yang lain. Sebagai contoh kita cermati contoh hadis sebelumnya yang dirujuk dari kitab Shahih Bukhari, dimana akan terlihat bahwa pada paragraf pertama adalah sanad hadis Syaykh Yasin dari gurunya yakni Syaykh ‘Umar Ibn Hamdân al-Mahrusi dan berakhir kepada murid penulis kitab, yakni Muhammad Ibn Yûsuf Ibn Mathar al-Farbarî. Paragraf kedua adalah sanad penulis kitab rujukan, yakni Imam al-Bukhâri dan berujung kepada ‘Umar Ibn al-Khatthâb. Paragraf ketiga adalah matan hadis, dan paragraf keempat adalah
174
MM Azami, Metodologi, 45.
90 penilaian derajat hadis sebagai shahîh dan takhrij hadis dari perawi lain, yaitu Abu Dâwûd, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaybah dan Ibn al-Jarudi.175
175
Lihat contoh hadis sebelumnya yang dirujuk dari kitab Shahih Bukhari.
91 BAB V PENUTUP I. Kesimpulan Setelah melakukan kajian dan pembahasan terhadap beberapa masalah dalam skripsi ini, penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa karakteristik kitab al-Arba’ûna Hadîtsan karya Syaykh Yâsîn al-Fâdânî adalah sebagai berikut: a. Motivasi Syaykh Yasin dalam menyusun kitab ini adalah ingin menegaskan reputasinya di kalangan para ulama besar abad XX, sebagai ulama yang mempunyai pengetahuan hadis yang cukup luas, karena penguasaan terhadap empat puluh kitab koleksi hadis bukanlah perkara yang mudah dan sudah langka. b. Sistematika penyusunan kitab ini adalah: a. Pemilihan bab tidak berdasarkan matan (subyek) hadis dan tidak disusun berdasarkan abjad, tetapi berdasarkan sanad hadis dan terbagi kedalam empat puluh bab. b. Jumlah hadis adalah empat puluh buah hadis, sesuai dengan namanya, Arba’un, yang berarti empat puluh. c. Takhrij hadis diberikan setelah menyebutkan sanad dan matan hadis dengan menunjukkan lokasi hadis tersebut dalam kitab-kitab induk, baik dalam kelompok al-Kutub al-Sittah maupun di luar kelompok tersebut, dan menyebutkan derajat kekuatan pada tiga puluh lima hadisnya.
92 d. Semua sanad hadis dalam kitab ini bersambung kepada penulis kitab hadis rujukan, dan berujung kepada Nabi SAW.
J. Saran Berdasarkan dari kesimpulan di atas dan guna meningkatkan kajiankajian di bidang hadis di masa mendatang, maka perlu kiranya disini penulis paparkan saran-saran sebagai berikut: a. Diperbanyak kajian-kajian tentang naskah kitab-kitab hadis baik yang klasik maupun yang kontemporer yang jumlahnya sangat banyak, sehingga sosialisasi dan pengenalan terhadap kitab-kitab tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dan menjadi sumber kajian yang tidak ada habisnya di masa yang akan datang. Terlebih lagi karya-karya ulama nusantara, sehingga ketokohan dan buah pemikiran mereka dapat diangkat ke permukaan, baik di lingkup kawasan regional dan internasional.
Ulama nusantara
yang punya
kiprah internasional
jumlahnya sangat banyak, akan tetapi sumber bacaan atau informasi yang membahas tentang mereka sangat sedikit. Pada gilirannya hal ini akan memberikan motivasi yang sangat besar terhadap para pelajar dan mahasiswa lokal yang menekuni bidang ini. b. Perpustakaan STAIN Ponorogo yang menjadi sumber bacaan dan referensi bagi penelitian-penelitian ilmiah, khususnya bidang ilmu hadis, semakin meningkatkan pelayanannya dan melengkapi koleksi buku-buku atau kitab-kitab, terutama yang menjadi rujukan program studi tafsir
93 hadis, sehingga mampu memberikan bahan rujukan yang memadai bagi penelitian-penelitian yang lebih mendalam di bidang ini.
94 DAFTAR RUJUKAN
Abdalla, Ulil Abshar, “Syaykh Yasin al-Fadani dan Nasionalisme Indonesia.” (On Line), http://islamlib.com, diakses 05 Agustus 2009 Saghir Abdullah. “Saiyid Muhsin al-Masawi pengasas Dar al-Ulum di Mekah.” (Online) http://ulama-nusantara.blogspot.com, diakses: 21 Oktober 2009 ---------. “Tuan Mukhtar Bogor-`Ulama' ahli syari'at dan haqiqat.” (On line), http://ulama-nusantara.blogspot.com, diakses 30 Oktober 2009 ‘Asâkir, ‘Abdurrahmân Ibnu. Kitâb al-Arba’în al-Buldânîyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992. al-‘Asqalany, Ibnu Hajar. Fath al-Bârî. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Alavi, Khâlid. A Brief Survey of Arba’in Literature. dalam Islamic Studies, 1984:67-82. ---------. Arba’in al-Nawawi and It’s Commentaries: an Overview. dalam Islamic Studies, 1985: 349-356 ---------. The Concept of Arba’in and Its Basis in The Islamic Tradition. dalam Islamic Studies, 1983:71-93 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2002), 114 al-Baghdâdi, al-Khâthib. Târikh Baghdâd. Beirut: Dâr al-Fikr, tt al-Bakry, Shadruddîn. Al-Arba’ûna Hadîtsan, al-Arba’ûn min Arba’îna ‘an Arba’îna. Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 2005. Baihaqi. Al-Arba’un ash-Shughro (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986 al-Fâdâni, Muhammad Yâsîn. al-Arba’ûn al-Buldânîyah. Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmîyah, 1986. ---------. al-Arba’ûn Hadîtsan. Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmîyah, 1983. ---------. Ithâf al-Mustafîd bi Gharar al-Asânîd. Beirut: Dâr al-Basyâ`ir alIslâmîyah, 1983. ---------. Kifâyat al-Mustafîd Lima ‘Alâ min al-Asânîd. Beirut: Dâr al-Basyâ`ir alIslâmiyah, 1987
95 al-Falimbâni, Mukhtâruddin. Bulûgh al-Amânî. Beirut: Dâr al-Qutaybah, 1988. al-Kattânî, Muhammad Ibn Ja’far. Al-Risâlah al-Mustathrafah. Beirut: Dâr alBasyâ`ir al-Islâmîyah, 1986. An-Nawawî, Yahya. Al-Arba’în An-Nawawîyah. Surabaya: Penerbit Miftah, tt. An-Nawawî, Yahya & Ibnu Rajab. Sjarah Hadits Chomsin Nawawîjah dan Sjihabijah, terj. Moh. Abdai Rathomy. Bandung: PT Alma’arif, 1969. al-Tirmasi, Muhammad Mahfûzh, al-Minhah al-Khairiyah (Demak: Hafîdz alMu’allif Harir Ibn Muhammad Mahfûzh al-Tirmasi, 1990 ---------. Manhaj Dzawi an-Nazhar. Kairo: Mustafa Halaby, 1954. Azami, MM. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta:Pustaka Hidayah, 1992 Azra, Azyumardi. Ulama Indonesia di Haramain. Ulumul Qur’an, III, 3, 1992 -----------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Penerbit Mizan, 1995 Bakr, Muhammad Ibn Abî. Al-Mawâ’îd al-‘Ushfûrîyah. Semarang: Karya Toha Putra, t.t Bruinnesen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1995. Dimyati, Ayat. Hadits Arba’in, Masalah Aqidah, Syariah dan Ahklak. Bandung: Penerbit Marja’, 2001. al-Falimbâni, Mukhtâruddin. Bulûgh al-Amânî. Beirut: Dâr al-Qutaybah, 1988 Fathani, Ibnu. “Syaykh Yasin Isa al-Fadani (1916-1990),” http://ibnufathani.blogspot.com, diakses: 21 Oktober 2009
(Online),
Haqqi, Ahmad Mu’adz. Syarah 40 Hadits tentang Akhlak, terj. Abu Azka. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003. Hâsyim, ‘Umar, Al-Sunnah al-Nabawîyah. Mesir: Maktabah Gharib, t.t. Khalîfah, Hâji. Kasyf Al-Zhunûn. Istanbul: 1941 Makluf, Louis. Qâmus al-Munjid fi al-‘Ilmi wa al-A’lâm. Beirut: Dâr al-Masyariq, t.t. Muslim. Shahih Muslim bi Syarh Annawawî. Syirkah Iqâmah ad-Dîn, t.t.
96 Nawadi, Solah, “Syaykh Yasin Isa al-Fadani (1916-1990),” http://solahnawadi.blogspot.com, diakses: 21 Oktober 2009
(Online)
Purwadarminto, WJS (ed.). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985. Riduwan. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta, 2008. Rosyad, Sabilur, “Syaykh Yasin Al-Fadani.” (Online), http://sabilurrosyad. blogspot.com, diakses 21 Januari 2009 Sachrony, “Syech Yasin Al Padani Ulama Mekkah Keturunan Indonesia,” (Online) http://sachrony.wordpress.com, diakses 05 Agustus 2009 Shaukat, Jamila, “Classification of Hadits Literature,” Islamic Studies 3 (Autumn 1985), 359. Sumantri, Jujun Suria. Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. Jakarta: 1992. Suparta, Munzir & Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers, 1993. Syariati, Ali. Sosiologi Islam. Yogyakarta: Ananda, 1982 Thahhân, Mahmûd. Ushûl at-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd. Riyadh: Maktabah alRusyd, 1978 Ya’kub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995. Yûsuf al-Nabhâni, Risâlah al-Ahâdîts al-Arba’în min Amtsâl Afshah al-‘Âlamîn. Kuwait: Maktabah Dâr al-Ghurûbah, 1988 Zahroh, Abu. Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn. Riyadh: Idârat al-Buhûts al-‘Ilmîyah, 1984.