ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Disusun Oleh: Yogi Sulaeman NIM: 1111051000004
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M./1436 H.
ABSTRAK Nama : Yogi Sulaeman Nim : 1111051000004 “Analisis Wacana Kritis “Dai Komersial” dalam Buku Setan Berkalung Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA” Berdakwah melalui tulisan merupakan media dakwah yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan–pesan dakwah di zaman sekarang, karena media ini memiliki usia dalam jangka panjang dan pengaruh dalam jangkauan luas. Salah satu media tulisan yang dapat digunakan sebagai dakwah ialah buku, seperti buku Setan Berkalung Surban dalam penelitian ini. Di sisi lain, masyarakat modern sekarang ini sedang euforia dengan buku yang berisi hiburan, dan mulai melupakan buku yang berisi keislaman. Jelasnya, bagaimana dakwah itu dikemas dengan sebaik mungkin. Karena dakwah yang efektif, ialah yang dapat menarik hati objek dakwahnya, dalam hal ini ialah pembacanya. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur teks yang diwacanakan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dalam buku Setan Berkalung Surban? Bagaimana kognisi sosial dan konteks sosial yang ada dalam buku Setan Berkalung Surban? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk dengan pendekatan kualitatif. Menurutnya penelitian wacana tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks diproduksi dan dipahami oleh si pembuat teks. Dan bagaimana kognisi sosial dan konteks sosial yang ada. Penelitian ini fokus pada tulisan tentang dai komersial. Tulisan ini memiliki 3 pesan utama, pertama menghimbau dai agar memiliki perilaku yang sesuai dengan ucapan mereka. Kedua, mengkrtitik dan memperingati dai yang yang mengejar popularitas dalam dakwah. Ketiga, menjelaskan keharaman dai komersial. Tulisan ini disampaikan dengan alur singkat dan padat dengan 3-5 halaman. Tulisan ini memiliki latar, detail, maksud, dan praanggapan yang jelas. Bahasa dan pilihan kata yang digunakan cukup ringan dan kaya akan unsur retoris. Secara kognisi sosial, tulisan ini berisikan representasi pemikiran beliau terhadap fenomena dai komersial yang dilandaskan pada pengetahuan Islamnya yang mendalam dengan disiplin ilmu lainnya. Kemudian strategi beliau dalam menulis buku ini adalah menggunakan bahasa yang ringan dan pengantar berupa kisah nyata atau hasil dari perkumupulan bersama para Ulama. Secara konteks sosial, dapat diketahui bahwa alasan beliau dalam menulis buku ini adalah untuk mengkritik perilaku para dai komersial, dan memberi solusi dari fenomena itu, dengan cara pertama, masyarakat untuk tidak mengundang mereka lagi dan kedua, pemerintah agar memberdayakan peran imam masjid di Indonesia. Layaknya matahari dengan bumi, begitulah perumpamaan arti penting pengetahuan Islam bagi umat Islam. Fungsi buku ini dalam menyampaikan pesan dakwah sangat bermanfaat bagi masyarakat. Mereka harus mendongkrak kembali semangat baca mereka terhadap buku bertema Islam, agar mendapat bekal pengetahuan Islam yang cukup sehingga selamat dunia dan akhirat. Kata Kunci: Buku, Dai Komersial, Analisis Wacana, Kognisi Sosial, dan Konteks Sosial.
ii
KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan kemudahan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan pada junjungan Nabi Besar Muhammad saw., para keluarga beliau, para sahabat beliau yang mulia, dan umat beliau yang mengikuti dan mengamalkan sunnah dan ajarannya hingga hari akhir nanti. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari benar bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak terkait, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, dan motivasi yang diberikan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata Satu (S1) di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua penulis H. Eman Sulaeman dan Hj. Dedeh Kurniasih, S.Pd.I. yang telah memberikan banyak kebaikan kepada penulis yang tak bisa penulis sebutkan seluruhnya dan tak akan pernah bisa penulis balas seutuhnya. Terimakasih banyak Ayah dan Ibu, semoga Allah swt. memberikan pahala yang berlimpah atas amal kebaikan kalian kepada anak-anak kalian. Aamiin. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
iii
1.
Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. Suparto, MA, selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Ibu Dr. Roudhonah, M.Ag., selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Bapak Dr. Suhaimi, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
3.
Bapak Rachmat Baihaky, MA, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, selalu memberikan dukungan kepada penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
4.
Ibu Fita Fathurokhmah, SS., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) yang telah banyak membantu penulis.
5.
Bapak Dr. H. A.Ilyas Ismail, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak memberikan arahan, saran serta motivasi kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Terimakasih banyak atas bimbingannya.
6.
Ibu Artiarini Puspita Arwan, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan perhatian, dukungan, doa, dan bimbingan kepada penulis sejak awal perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini selesai.
7.
Seluruh Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8.
Sahabat-sahabat mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam angkatan 2011 dan sahabat-sahabat mahasantri Darus-Sunnah angkatan 2011 (Fushilat). Terimakasih atas kebersamaannya, penulis bangga menjadi bagian dari kalian. Tetap berjuang dan tetap semangat!
iv
9.
Adik-adik tersayang, Balkis dan Yaser Hafair Syah yang selalu menemani dan menghibur penulis selama ini. Semoga Allah swt. selalu melindungi kalian dengan rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Aamiin.
10. Langit Merah di malam hari, Mia Islamiati, yang jauh di sana tapi selalu serasa dekat di sisi, yang selalu tulus untuk menemani, mendukung, mendoakan, dan memberi perhatian yang hangat kepada penulis dalam menjalani segala rintangan dalam kehidupan ini. Juga atas bantuannya yang sangat berharga dalam pengeditan tulisan skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu melimpahkan cinta-Nya kepadamu dan kepada kita. Aamiin. Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat menambah keilmuan terutama bagi rekan-rekan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis menyadari pentingnya kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menjadi masukan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pihak lain pada umumnya.
Jakarta, 09 Juni 2015
Yogi Sulaeman
v
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
i
ABSTRAK ......................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................
5
D. Metodologi Penelitian ...............................................................
6
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................
12
F. Teknik Penulisan .......................................................................
13
G. Sistematika Penulisan ................................................................
13
LANDASAN TEORITIS A. Analisis Wacana .......................................................................
15
B. Dakwah .....................................................................................
31
C. Buku sebagai Media Dakwah ...................................................
35
BAB III PROFIL PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA DAN GAMBARAN UMUM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN A. Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA ..........................
37
B. Karya-Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA ..............
40
C. Aktivitas Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA ....................
43
D. Gambaran Umum Buku Setan Berkalung Surban....................
45
vi
BAB IV
ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA A. Struktur Teks yang Diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung
BAB V
Surban.......................................................................................
49
B. Analisis Wacana Berdasarkan Kognisi Sosial .........................
93
C. Analisis Wacana Berdasarkan Konteks Sosial .........................
100
PENUTUP A. Kesimpulan ...............................................................................
105
B. Saran .........................................................................................
107
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
109
LAMPIRAN ....................................................................................................
113
vii
DAFTAR TABEL Tabel 1
........................................................................................................
8
Tabel 2
........................................................................................................
9
Tabel 3
........................................................................................................
19
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang semakin pesat sekarang ini melahirkan banyak teknologi canggih yang bisa dimanfaatkan manusia. Penggunaan media komunikasi modern pun, menjadi sebuah kebutuhan yang harus dimanfaatkan keberadaannya untuk kepentingan dalam menyampaikan pesan atau dakwah Islam. Salah satunya adalah dakwah melalui media tulisan, yang disebut dengan dakwah bil qalam, baik melalui media cetak seperti buku atau media internet seperti blog. Keuntungan dakwah bil qalam adalah bisa menembus ruang dan waktu dalam jangkauan luas.1 Rasulullah saw. sebagai panutan umat Islam sedunia tidak hanya melakukan dakwah secara lisan dan memberikan suri tauladan dalam berperilaku, akan tetapi juga melakukan dakwah melalui tulisan. Hal ini dapat dilihat pada dokumentasi surat-surat Nabi saw. yang ditulis oleh seorang ahli sejarah yaitu Muhammad bin Sa’ad (W. 230 H.) dalam kitabnya Al-Thabaqat al-Kubra yang seluruhnya berjumlah tidak kurang dari 105 buah surat.2 Sebagai fenomena keagamaan, perintah tentang dakwah serta pengertian yang dikandungnya bersumber dari firman Allah swt. yang tercantum dalam Al-Qur’an (Surat Ali Imran, 3: 104), yaitu:
1
M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif, (Jakarta: CV. Pedoman, 1997), h.33. Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. Ke-2, h. 181. 2
1
2
َ َ َُ َ ََتَ ت َ َ تُ ت َ ت َ ُ ت ت ُ ت ُ َّ ٌ َ ت ُ َ َ ت َ ت َ َ ت ُ ُ َ ت َ ت ُ وف وينهون ع ِو الهنك ِر وأوَلِك ِ ْي ويأمرون بِالهعر ِ وْلكو ِننكم أنة يدعون إَِل اْل َ ُ تُ ت
ُ
ه ُم الهف ِلحون
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” Buku adalah salah satu media cetak yang cukup diminati di kalangan masyarakat Indonesia. Eksistensi buku sebagai penyampai informasi dan pengetahuan kepada masyarakat Indonesia, tidak akan lekang termakan usia. Tulisan atau karya seseorang akan terus melekat dalam hati sebagai buah tutur setiap hari, berbeda dengan dakwah secara lisan yang dapat memikat jutaan orang akan tetapi bisa hilang dengan cepat tanpa membekas dalam hati.3 Salah satu buku yang menyajikan pesan dakwah Islam adalah buku yang berjudul Setan Berkalung Surban, karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Buku ini berisi kumpulan artikel beliau yang diterbitkan di media cetak terkenal di Indonesia, seperti Koran KOMPAS, REPUBLIKA, Majalah NABAWI, dan juga memuat makalah beliau pada Seminar Internasional, khutbah Jumat di New York, dan khutbah nikah yang sangat mengharukan pada pernikahan Duta Besar Paraguay yang baru saja masuk Islam di bawah bimbingan beliau. Pesan dalam buku ini sarat akan pesan dakwah di dalamnya, karena buku ini menjawab banyak problematika sosial yang muncul di tengah masyarakat Islam modern saat ini, khususnya di Indonesia. Dengan terdiri dari tiga bab besar yaitu akidah, ibadah, dan muamalah, buku ini membahas tuntas semua 3
M. Isa Anshori, Mujahid Dakwah, (Bandung: Diponegoro, 1991), cet. Ke-4, h. 34.
3
masalah sosial yang muncul dengan menghadirkan solusi yang pas sesuai nashnash yang ada, yang berasal dari Al-Quran dan riwayat-riwayat hadis shahih yang bisa dijadikan hujjah dan dalil dalam menyampaikan ajaran Islam. Salah satu temanya adalah membahas tuntas tentang dai komersial. Selain isi pesannya yang sangat dalam akan ajaran Islam dan memiliki tingkat kredibilitas yang sangat tinggi, pesannya pun dikemas dengan sangat menarik dan memiliki kesan berbaur dengan pembacanya, sehingga sangat mudah untuk memahami isinya dan tidak membosankan untuk membacanya. Kemudian kredibilitas penulisnya juga sangatlah terkenal sebagai dai dan ulama hadis di dalam Negeri bahkan di luar Negeri. Banyak sekali tugas mulia beliau yang sudah dilakukan dan sedang dilakukan untuk umat muslim di Indonesia maupun di dunia. Di Indonesia beliau adalah Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, masjid yang menjadi kebanggan bangsa Indoesia, karena memiliki penghargaan sebagai masjid terbesar se-Asia Tenggara. Juga sebagai pendiri dan penanggung jawab Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences sebagai pesantren berstandar Internasional satu-satunya yang ada di Indonesia yang khusus mempelajari hadis dan ilmu hadis. Di luar Negeri beliau menjadi penasihat di Darul Uloom, New York, USA. Beliau juga sering megikuti dan menyampaikan materi presentasi di Seminar Internasional antara Ulama Dunia. Ketika orang lain disibukkan dengan kehidupan dunia untuk mencari harta benda, beliau hanya disibukkan dengan kegiatan dan aktifitas untuk menyiarkan agama Islam ke seluruh dunia. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis wacana dalam buku ini, yang membahas tentang fenomena dai komersial yang sedang hangat
4
di tengah masyarakat modern Islam di Indonesia sekarang ini. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini diberi judul “Analisis Wacana Kritis “Dai Komersial” dalam Buku Setan Berkalung Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.” B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah menganalisis pesan dakwah tentang dai komersial yang terkandung dalam bab muamalah pada buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Berikut ini 8 judul yang akan diteliti: a.
Setan Berkalung Surban
b.
Surban dan Jubah Haram
c.
Dai Berbulu Musang
d.
Dai-dai Sesat
e.
Kode Etik Dakwah
f.
Dakwah dan Kearifan Lokal
g.
Keteladanan Buya Hamka
h.
Memberdayakan Imam Masjid
2. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: a. Bagaimana struktur teks yang diwacanakan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dalam Buku Setan Berkalung Surban?
5
b. Bagaimana kognisi sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA? c. Bagaimana konteks sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini ialah : a. Mengetahui struktur teks yang diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. b. Mengetahui kognisi sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. c. Mengetahui konteks sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis 1. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap khasanah keilmuan dalam bidang dakwah melalui media cetak buku. 2. Juga dapat menjadi referensi bagi penelitian analisis wacana kritis dalam sebuah buku. b. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada aktivis dakwah untuk menjadikan media cetak khususnya buku, sebagai media dalam menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat modern sekarang ini.
6
Penelitian ini juga dapat memberikan masukan dan dorongan kepada mahasiswa dan masyarakat untuk lebih menyukai buku yang bertema Islam. D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma Penelitian adalah kumpulan sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang dapat mengarahkan cara berpikir peneliti dalam penelitiannya.4 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Teori kritis adalah usaha pencerahan. Sebagai toeri yang kritis, maka teori yang dikembangkan Horkheimer dan Adorno mau menciptakan kesadaran yang kritis: teori kritis pada hakikatnya mau menjadi Aufklarung atau pencerahan.5 Meskipun banyak macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsi-prinsip dasar ilmu sosial interpretatif yakni bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usaha mengungkap struktur-struktur yang sering kali tersembunyi. Ketiga, pendekatan kritis berupaya menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori
4
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.49. 5 Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 156166.
7
tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita.6 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan untuk menjelaskan sebuah penelitian dengan menggunakan kata-kata.7 Pendekatan ini bertujuan untuk memahami (understanding) dunia makna yang diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.8 3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis wacana kualitatif. Analisis wacana merupakan salah satu bentuk alternatif untuk menganalisis pesan dalam media selain analisis isi kuantitatif.9 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk, teori Van Dijk merupakan model analisis wacana yang paling banyak digunakan. Ini dikarenakan model tersebut dapat mengelaborasikan elemen-elemen wacana dalam suatu teks secara praktis dan kritis. Melalui metode ini penulis dapat mengetahui bagaimana sebuah pesan disampaikan melalui kata atau kalimat. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan, kesatuan, dan penafsiran peneliti.
6
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teori Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 259-260. 7 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan), (Bandung: Refika Aditama, 2012), h.50. 8 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), h.9. 9 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 68.
8
Model yang digunakan adalah model Teun A. Van Djik, menurutnya penelitian wacana tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks diproduksi. Kelebihan analisis wacana model Van Djik adalah bahwa penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja, tetapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu, sehingga analisis wacana ini memiliki sifat kritis.10 Terdapat tiga struktur yang menjadi elemen analisis wacana dalam pemaparan struktur teks oleh Van Djik. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut: Tabel 1 Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks Superstruktur Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.
10
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS, 2013), cet. Ke-3, h. 224.
9
Berikut tabel yang akan menjelaskan satu per satu elemen wacana Teun A. Van Djik yang diterapkan dalam dimensi teks sosial penelitian ini: Tabel 2 Struktur Wacana
Hal yang Diamati
Elemen
Tematik Tema atau topik yang Struktur Makro
dikedepankan dalam Buku Topik Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA Skematik
Suprestruktur
bagaimana pendapat disusun Skema dan dirangkai dalam Buku Setan Berkalung Surban karya
1. Semantik Latar, Detail, Makna
yang
ingin Maksud,
ditekankan Struktur Mikro
dalam
Buku Praanggapan
Setan Berkalung Surban
2. Sintaksis
Bentuk kalimat,
Bagaimana kalimat (bentuk,
Koherensi,
susunan yang dipilih)
Kata ganti
10
3. Stilistik pilihan
kata
apa
yang Leksikon
dipakai dalam Buku Setan Berkalung Surban 4. Retoris Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan dalam
Buku
Berkalung
Setan
Grafis, Metafora, ekspresi
Surban
dilakukan.11
4. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Objeknya adalah buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan, yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Observasi dilakukan dengan membaca dan mengamati setiap paragraf dalam buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.12
11
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 227-229. Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Lainnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 69. 12
11
b. Dokumentasi Dokumentasi adalah merupakan sebuah teknik untuk mencari dan mendapatkan data mengenai hal-hal yang tertulis disebut juga studi pustaka.13 Yaitu dengan mengumpulkan data berupa buku penelitian, buku dakwah, buku komunikasi, buku-buku Islam, informasi dari internet dan informasi lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian. c. Wawancara Untuk
mengumpulkan
informasi
dari
informan,
penulis
menggunakan teknik wawancara. Yaitu percakapan yang dilakukan dua orang atau lebih,14 di mana penulis mengajukan beberapa pertanyaan kepada nara sumber dalam penelitian ini. Adapun nara sumbernya ialah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc., dan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I. 6. Teknik Analisis Data a. Proses Penafsiran Data Teknik Analisis penelitian kualitatif adalah menggunakan teknik penjabaran
dengan
kata-kata.15
Dalam
hal
ini,
penulis
akan
memperhatikan teks-teks yang terdapat pada buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, yang kemudian akan ditafsirkan oleh peneliti dengan kerangka analisis wacana yang dikemukakan oleh Teun A. Van Dijk.
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. Ke-5, h. 149. 14 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. Ke1, h. 130. 15
Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan), h.123.
12
b. Penyimpulan Hasil Penelitian Kesimpulan hasil penelitian diambil berdasarkan pada interpretasi peneliti atas obyek yang diteliti dan data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian. E. Tinjauan Pustaka Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah meninjau beberapa skripsi yang sama pembahasannya dengan subjek yang berbeda, antara lain: a. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Dakwah dalam Buku Renungan Tasawuf Karya Hamka” yang ditulis oleh Muhammad Rico Zulkarnain Tahun 2008 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. b. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Dakwah dalam Novel Kopiah Gusdur Karya Damien Dematra” yang ditulis oleh Ririn Syodikin Tahun 2011 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititaif. c. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Materi Khotbah Jumat Muhasabah Dzikrulmaut Ustaz Dr. H. Sunandar, M.Ag (2010-2011)” yang ditulis oleh Faiz Fikri Al-Fahmi Tahun 2013 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititaif. Perbedaan antara skripsi ini dengan yang terdahulu adalah pada subjek dan objeknya. Persamaan antara skripsi ini dengan yang terdahulu adalah menggunakan metode analisis wacana Teun A. Van Djik dan menggunakan pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan penelitian kualitatif.
13
F. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang disusun oleh tim penulis Hamid Nasuhi, dkk., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat, CeQDA, 2007). G. Sistematika Penulisan Dalam pembahasan penelitian ini, secara sistematis penulisannya dibagi kedalam lima bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan, meliputi: Latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka,
teknik
penulisan,
dan
sistematika
penulisan. BAB II
Berisi Landasan Teoritis, meliputi: Pertama teori tentang analisis wacana, yaitu: Pengertian analisis wacana dan model analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk “kognisis sosial dan konteks sosial”. Kedua teori tentang dakwah, yaitu: Pengertian dakwah dan pesan dakwah. Ketiga buku sebagai media dakwah.
BAB III
Berisi profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dan gambaran umum buku Setan Berkalung Surban, meliputi: Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, karya-karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, aktivitas Prof. Dr.
14
KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, dan gambaran umum buku Setan Berkalung Surban. BAB IV
Berisi temuan data dan pembahasan penelitian,yang meliputi: Struktur teks yang diwacanakan dalam buku Setan Berkalung Surban, analisis wacana berdasarkan kognisi sosial, dan analisis wacana berdasarkan konteks sosial.
BAB V
Penutup, meliputi: Kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Analisis Wacana 1. Pengertian Analisis Wacana Secara etimologi, „Wacana‟ berasal dari bahasa Sansekerta wac atau wak atau vak yang memiliki arti „Berkata‟ atau „Berucap‟. Kata ana berfungsi
sebagai
sufiks
(akhiran)
yang bermakna
„Membedakan‟
(nominalisasi). Kemudian kata Sansekerta itu mengalami perubahan menjadi wacana, yang berarti perkataan atau tuturan.1 Istilah wacana merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yakni discourse. Kata discourse berasal dari bahasa latin discursus, dis: dari, dalam arah yang berbeda dan curere: lari, sehingga berarti lari kian kemari.2 Dalam hierarki gramatikal, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas satuan kalimat, sebagai satuan tertinggi yang lengkap, maka di dalam wacana terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami tanpa keraguan.3 Wacana dapat di realisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti, novel, buku, seni ensiklopedia, artikel, dan sebagainya.4 Secara terminologi, istilah wacana memiliki arti yang sangat luas. Hal ini dikarenakan perbedaan lingkup dan displin ilmu yang menggunakannya.
1
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-prinsip Analisis Wacana, (Yohyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3. 2 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 9. 3 Abdul Chaer, Kajian Bahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 62 . 4 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana, (Jakarta: The Intercultural Intitute, 2009), h. 11.
15
16 Bahkan kamus pun, tidak bisa dianggap sepenuhnya merujuk pada referensi yang objektif, pasti memiliki definisi yang berbeda pula. Wacana adalah komunikasi buah pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan, dan percakapan.5 Berikut ini beberapa pengertian wacana dari beberapa pakar komunikasi: Menurut Samsuri wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula memakai tulisan.6 Sedangkan
Ismail
Marhaimin
mengartikan
wacana
sebagai
“Kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urutan-urutan yang teratur dan semestinya”, dan “Komunikasi buah pikiran, baik lisan maupunn tulisan, yang resmi dan teratur”.7 Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah “rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa”.8 Kajian terhadap wacana sering disebut sebagai analisis wacana, istilah analisis dalam Kamus Pintar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu sifat
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 9. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 10. 7 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 10. 8 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 11. 6
17 penelitian, penguraian, kupasan. Sedangkan analisa adalah penyeledikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya.9 Analisis wacana merupakan pendekatan baru muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisaannya hanya kepada soal kalimat dan barulah memalingkan perhatiannya kepada penganalisaan wacana.10 Analisis wacana merupakan salah satu studi mengenai pesan dalam komunikasi selain analisis isi kuantitatif. Menurut Eriyanto, terdapat empat perbedaan anatara analisis wacana dengan analisis isi (kuantitatif), antara lain: a. Analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif, analisi wacana menekankan pada pemaknaan teks ketimbang penjumlahan unit kategori seperti yang terdapat dalam analisi isi. Sehingga dalam menentukan analisis datanya, analisis wacana tidak memerlukan lembaran koding. b. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan kepada “apa” (what) yang dikatakan oleh media, dan hanya bergerak pada level makro isi media saja. Sedangkan analisis wacana menekankan kepada “bagaimana” (how) dan isi media, analisis wacana juga meneliti pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. c. Analisi isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat
digunakan untuk
membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), atau dengan kata lain yang dipentingkan adalah objektivitas, validitas 9
Hamis ST, Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka Dua, 2000), cet. Ke-1, h. 34. A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 1993), cet. Ke-
10
1, h. 12.
18 (keakuratan data), dan realibitas. Sedangkan dalam analisis wacana, unsur terpenting dalam analisisnya adalah penafsiran dari teks yang latent (tersembunyi). d. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi dalam penyimpulan hasil penelitiannya, dan bahkan melakukan prediksi. Hal ini karena dalam unit atau
perangkat
penelitiannya
menggunkan
sample,
angket
dan
sebagainya. Sedangkan analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi dengan menggunakan beberapa asumsi.11 Analisis wacana bersifat lebih mendalam bila dibandingkan dengan analisis isi sebab analisis wacana menafsirkan pesan yang tersembunyi. Untuk analisis wacana tulisan, penelitian bukan hanya sekedar pada kalimat yang ditulis, tetapi pada kata dan hubungan kalimat, bagaimana kalimat itu dibentuk dan tujuan dari kata atau kalimat itu disajikan. Analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi seperti yang dilakukan dalam penelitian dengan menggunakan analisis isi dalam menyimpulkan hasil. 2. Model Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Dari berbagai macam model analisis wacana yang diperkenalkan oleh para ahli. Model analisis wacana milik Van Dijk adalah model yang banyak dipakai dalam penelitian, karena model ini mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis dan kritis. Model yang dipakai oleh Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”. Nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Djik. Menurutnya,
11
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 70-71.
19 penelitian wacana tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks diproduksi. Kelebihan analisis wacana model Van Djik adalah bahwa penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja, tetapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu, sehingga analisis wacana ini memiliki sifat kritis.12 Wacana oleh Van Dijk digambarkan memiliki tiga dimensi, yaitu: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Ketiga bagian ini adalah bagian yang integral dalam kerangka teori Van Dijk, untuk itulah Van Dijk menggambungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. a. Teks Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema dari suatu teks. Kedua Suprastruktur, adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. Ketiga struktur mikro, adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrasa
12
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.
20 yang dipakai, dan sebagainya.13 Struktur wacana Van Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 3.
Struktur Wacana
Hal yang Diamati
Unit Analisis
TEMATIK Struktur Makro
(apa yang dikatakan)
Teks
Elemen: Tema atau Topik SKEMATIK (bagaimana pendapat Suprestruktur
disusun dan dirangkai)
Teks
Elemen: Skema SEMANTIK (apa arti pendapat yang ingin disampaikan?)
Paragraf
Elemen: Latar, Detail, Maksud, Praanggapan Struktur Mikro
SINTAKSIS (Bagaimana pendapat Kalimat disampaikan?) Proposisi Elemen: Bentuk kalimat, Koherensi, Kata ganti STILISTIK
13
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 226.
21 (pilihan kata apa yang
Kata
dipakai?) Elemen: Leksikon RETORIS (dengan cara apa pendapat Kalimat disampaikan?) Proposisi15 Elemen: Grafis, Metafora, Ekspresi14
Beberapa hal yang diamati dari struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro dalam analisis wacana Van Dijk adalah: 1) Tematik Tematik adalah hal yang diamati dalam struktur makro analisis wacana Van Dijk. Secara etimologi tematik berasal dari kata Yunani yaitu tithenai yang berarti menempatkan atau meletakkan. Sedangkan dilihat sebagai sebuah tulisan, tema merupakan suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.16 Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari sebuah teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik merupakan elemen yang terdapat dalam tematik. Topik menunjukan inti pesan atau informasi yang paling penting yang ingin disampaikan komunikator dalam hal ini penulis 14
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 227-229. Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 163. 16 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 75. 15
22 rubrik. Dengan topik, kita dapat mengetahui masalah dan tindakan yang diambil oleh penulis rubrik dalam mengatasi masalah. Gagasan penting Van Djik, wacana umumnya dibentuk dalam tata aturan umum (macrorule). Teks tidak hanya didefinisikan mencerminkan suatu pandangan tertentu atau topik tertentu, tetapi suatu pandangan umum yang koheren. Van Djik menyebut hal ini sebagai koherensi global (global chorence), yakni bagian-bagian dalam teks kalau dirunut menunjuk pada suatu titik gagasan umum, dan bagian-bagian itu saling mendukung satu sama lain untuk menggambarkan topik umum tersebut.17 2) Skematik Pada umumnya, teks, atau wacana memiliki skema atau alur, yang dimulai dari pendahuluan hingga penutup. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Dalam menganalisis wacana sebuah berita, terdapat dua kategori besar pada struktur skema, pertama summary yang terdiri dari dua elemen judul dan lead (teras berita). Sedangkan kategori yang kedua adalah story yakni isi berita secara keseluruhan.18 Menurut Van Dijk, skematik merupakan strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik
17 18
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 229-230. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 232.
23 yang memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang diakhirkan untuk menyembunyikan informasi penting.19 3) Semantik Secara umum, semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal yaitu makna untuk semantik yang terkecil yang disebut leksem, maupun makna yang terbentuk dari penggabungan satuan kebahasaan yang disebut dengan makna gramatikal. Sementara itu dalam Analisis wacana, semantik dalam pandangan Van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal, yaitu makna yang muncul dari hubungan makna tertentu dalam suatu bangunan teks.20 Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Elemen yang diamati dalam semantik adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Berikut penjelasan masing-masing elemen wacana seperti semantik, seperti latar, detail, dan maksud: a) Latar Latar adalah bagian berita yang dapat memengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan, latar dapat menjadi alasan pembenar dalam suatu gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar umumnya ditampilkan di awal sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan maksud mempengaruhi dan memberi 19 20
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 234. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 78.
24 kesan bahwa pendapat wartawan sangat beralasan. Oleh karena itu, latar membantu menyelediki bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa.21 b) Detail Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan kedudukannya. Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya ditampilkan secara berlebih tetapi juga dengan detail yang lengkap kalau perlu dengan data-data. Detail yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Detail yang lengkap itu akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau kegagalan dirinya. Hal yang menguntungkan komunikator atau pembuat teks akan diuraikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan. Detail informasi akan dikurangi.22 c) Maksud Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detail. Elemen 21 22
maksud
melihat
informasi
yang
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 235. Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 238.
menguntungkan
25 komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi.23 d) Praanggapan Elemen wacana praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti upaya mendukung pendapat dengan jalan memberi latar belakang, maka praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan.24 Teks berita umumnya mengandung banyak sekali praanggapan. Praanggapan ini merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu. 4) Sintaksis Secara etimologi, kata sintaksis berasal dari kata Yunani (sun berarti dengan, dan tattein berarti menempatkan). Jadi, kata sintaksis berarti menempatkan bersama-sama hal-hal menjadi kelompok kata atau kalimat. Secara terminologi, menurut Ramlan, sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, ataupun frasa.25 Maksudnya adalah bagaimana sebuah kata atau kalimat disusun menjadi kesatuan yang memilki arti. Elemen yang diamati dalam 23
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 240. Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 256. 25 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 80. 24
26 sintaksis adalah bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Berikut penjelasan masing-masing elemen wacana sintaksis, seperti bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti: a) Bentuk kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Dimana ia menanyakan apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. Logika kaulitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menetukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya.26 b) Koherensi Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Koherensi secara mudah dapat diamati di antaranya dari kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta.
26
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 251.
27 Apakah dua kalimat dipandang sebagai hubungan kausal, keadaan, waktu, kondisi dan sebagainya. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan.27 c) Kata Ganti Merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukan
dimana
seseorang
dalam
wacana.
Dalam
mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti "saya" atau "kami" yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Tetapi, ketika memakai kata ganti "kita" menjadikan sikap tersebut sebagai represntasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan
untuk
menunjukan
apa
yang
menjadi
sikap
komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan.28 5) Stilistik Stilistik adalah cara yang digunakan oleh penulis rubrik untuk menyatukan maksudnya dengan menggunakan gaya bahasa tertentu sesuai dengan keinginan penulis rubrik. Gaya bahasa dalam pengertian disini mencakup pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan dan sebagainya. Elemen dalam bentuk stalistik adalah leksikal merupakan pemilihan dan pemakaian kata atau frasa dalam menyebut sesuatu ataupun peristiwa dengan menggunakan kata lain 27 28
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 242-243. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 82.
28 yang memiliki persamaan (sinonim), seperti kata “meninggal”, yang memiliki kata lain mati, tewas, gugur, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir, dan sebagainya. Pengertian leksikon, pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Diantara beberapa kata itu seseorang dapat memilih diantara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.29 6) Retoris Strategi retoris yang dimaksud disini adalah yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Retoris berhubungan erat dengan bagaimana suatu pesan disampaikan kepada khalayak. Retoris berfungsi persuasive (mempengaruhi).30 Elemen dalam strategi retoris dapat muncul dalam bentuk grafis, metafora, dan ekspresi. Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan pengertian grafis, metafora sebagai berikut: a) Grafis Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati oleh teks. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain 29 30
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 255. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 84.
29 dibandingkan tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar. Termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar atau table untuk mendukung arti penting suatu pesan. Bagian yang dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang penting oleh komunikator, dimana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut.31 b) Metafora Dalam suatu wacana seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok melalui teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita. Akan tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh wartawan secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada public. Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, pribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan utama.32 b. Kognisi Sosial dan Konteks Sosial Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau 31 32
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 258. Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 259.
30 menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Dalam dimensi ini, menerangkan bagaimana teks diproduksi oleh pembuat teks, cara memandang suatu realitas sosial yang melahirkan teks tertentu. Untuk membongkar
bagaimana
makna
tersembunyi
dari
teks,
kita
membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Kognisi sosial memiliki hubungan dengan proses produksi pembuatan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita, karena setiap teks pada dasarnya dihasilkan melalui kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Meskipun terlihat bersifat individual, bukan berarti pendekatan Van Dijk bersifat personal dan mengabaikan faktor sosial. Analisis teks harus tetap dihubungkan dengan konteks sosial. Konteks sosial berusaha memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa. Titik perhatian dari konteks sosial adalah menghubungkan teks lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat atas suatu wacana untuk menunjukkan bagaimana makna yang dihayati bersama. Penelitian ini sangat efektif dalam melihat sejauh mana peranan teks membangun pemahaman bersama dalam masyarakat.33
33
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 260-270.
31 B. Dakwah 1. Pengertian Dakwah Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab yakni berasal dari kata “da’aa-yad’uu-da’watan” yang berarti seruan, ajakan, dan panggilan.34 Dilihat dari kosakatanya, kata dakwah merupakan bentuk kata benda (isim), dalam pengertiannya, karena diambil (musytaq) dari fi’il muta’addi, mengandung nilai dinamika, yakni ajakan, seruan, panggilan, permohonan. Seruan dan panggilan ini dapat dilakukan suara, tulisan, atau perbuatan.35 Dalam buku Ensiklopedi islam, kata dakwah diartikan dengan menyeru atau mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan meuruti petunjuk, menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan mugkar sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.36 Secara terminologi, dakwah memiliki arti yang beragam dari para ahli. Berikut pengertian dakwah menurut para ahli: a) Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dakwah bukan hanya penyampaian kata-kata semata, tetapi juga moralitas dan perilaku. Melakukan dakwah berarti memberi contoh dan teladan secara terusmenerus kepada masyarakat yang didakwahi.37 b) Menurut Prof. Dr. Hamka, dakwah adalah seruan dan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang pada dasarnya berkonotasi positif dengan 34
Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah. 1990), h. 127. 35 Abu Al-Husain Ahmadi ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 279. 36 Siti Uswatun Khasanah, Berdakwah dengan jalan debat antara muslim dan non muslim. (Purwokerto : STAIN Purwokerto Press, 2007), h. 25. 37 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 230.
32 substansinya terletak pada aktivitasnya yang memerintahkan amar ma‟ruf nahi munkar.38 c) Menurut Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah memotivasi manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyeru mereka berbuat ma’ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapat kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.39 d) Menurut Ahmad Ghalwusy, dakwah adalah menyampaikan pesan Islam kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan berbagai metode dan media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan dakwah.40 Dari beberapa definisi tentang dakwah di atas, dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah menyampaikan pesan Islam kepada manusia, baik lisan maupun tulisan dengan cara menyeru, memotivasi, dan memberi contoh dalam bentuk perilaku kepada mereka secara terus-menerus, untuk melakukan kebaikan (ma’ruf) dan menjauhi perbuatan mungkar (munkar), agar selamat di dunia dan akhirat. Dakwah memiliki setidaknya 3 unsur penting di dalamnya dari sekian banyak masukan dari para ahli, yaitu dai (subjek dakwah), mad’u (objek dakwah), dan pesan dakwah. Dai adalah adalah bentuk (isim fa’il) dari kata da’a,yang berarti orang yang menyeru, sering kali disebut juga mubalig karena proses menyeru tersebut juga merupakan proses penyampaian atas
38
Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), h. 233. Ali Mahfudz, Hidayah al-Mursyidin, Terjemahan Chodijah Nasution (Yogyakarta: Tiga A, 1970), h. 17. 40 Ahmad Ghalwusy, Al-Da’wah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr, 1987), h. 1011. 39
33 pesan-pesan tertentu. Dai sebagai subjek dakwah atau komunikator memiliki dua pengertian sebagai berikut: a. Secara umum, dai adalah setiap muslim yang berdakwah sebagai kewajiban yang melekat sebagai penganut Islam, berdasarkan pada hadis Rasul saw. “Ballighu ‘anni walau ayat.” b. Secara khusus, dai adalah mereka yang mengambil keahlian khusus dalam dakwah dengan kesungguhan luar biasa dan qudrah hasanah.41 2. Pesan Dakwah Pesan dakwah dalam komunikasi disebut sebagai message (pesan).42 Pesan
adalah
seperangkat
lambang
bermakna
yang
disampaikan
komunikator kepada komunikan, baik berupa bahasa, isyrat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung dapat menerjemahkan perasaan atau ide komunikator kepada komunikan.43 Pesan dalam ajaran Islam adalah perintah, nasihat, permintaan, dan amanah yang harus disampaikan kepada orang lain. Sedangkan pesan dakwah adalah semua pernyataan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan AlHadis baik secara lisan maupun tulisan.44 Oleh sebab itu, apabila sebuah pesan dakwah bertentangan Al-Qur‟an dan Al-Hadis, tidak dapat dikatakan sebagai pesan dakwah. Kategorisasi pesan dakwah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga jenis pesan dakwah, yaitu, akidah, syariah, dan akhlak,45 sebagai berikut:
41
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h.27. Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 88. 43 Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), cet. Ke-8, h. 18. 44 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 43. 45 Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 332. 42
34 a) Akidah Akidah Islam disebut dengan Tauhid dan merupakan pokok kepercayaan agama Islam. Dalam Islam, akidah merupakan I’tiqadh Bathiniyyah yang mencakup keyakinan-keyakinan dalam rukun iman. Di dalamnya bukan hanya menjelaskan apa yang wajib diyakini, akan tetapi juga meliputi larangan akan sesuatu yang bertentangan di dalamnya, contohnya sesuatu yang wajib kita yakini adalah salah satu sifat yang wajib bagi Allah Qidam (terdahulu), maka kita dilarang dan haram hukumnya untuk meyakini sifat yang berlawanan dari Qidam yaitu Huduts (baru).46 Adapun isinya meliputi: 1) Iman kepada Allah swt. 2) Iman kepada malaikat-malaikat Allah swt. 3) Iman kepada kitab-kitab Allah swt. 4) Iman kepada rasul-rasul Allah swt. 5) Iman kepada hari akhir (kiamat) 6) Iman kepada Qadha dan Qadar Allah swt. b) Syariah Secara etimologi, syariah berasalah dari bahasa Arab yang berarti jalan. Secara terminologi, syariah adalah ketentuan atau aturan dari Allah swt. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah swt. dan untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Syariah adalah sesuatu yang harus dilakukan setelah keimanan, yaitu merealisasikan
46
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, h. 90.
35 amal baik dalam kehidupan sehari-hari sesuai perintah Allah swt.47 Adapun isinya meliputi: 1) Ibadah meliputi apa yang ada dalam rukun Islam, yaitu, shalat wajib, puasa, zakat, dan pergi haji jika mampu. 2) Muammalah meliputi semua hubungan sosial manusia dengan sesame manusia lainnya, yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadis, agar tercipta hubungan yang harmonis dan kerukunan antar sesama. Di dalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan, ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, dan sebagainya.48 c) Akhlak Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk jamak dari khuluqun, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Secara terminologi, akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi sebuah kepribadian.49 Akhlak terbagi menjadi dua menurut sifatnya, akhlak mahmudah (terpuji), dan akhlak madzmumah (tercela). C. Buku sebagai Media Dakwah Hamzah Ya‟qub membagi sarana dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, audio, visual, dan internet. Dari lima macam pembagian tersebut, secara umum dapat dipersempit menjadi tiga media, yaitu : a) Spoken words, media dakwah yang berbentuk ucapan atau bunyi yang ditangkap dengan indra telinga, seperti ceramah secara langsung.
47
E. Hasan Saleh, Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan Pengembangan Wawasan, (Jakarta: ISTN, 2000), h. 55. 48 Hendi Suhendi, Fiqh Mu’ammalah,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 2. 49 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 4.
36 b) Printed writings, berbentuk tulisan seperti buku, gambar, lukisan, dan sebagainya yang dapat ditangkap dengan mata. c) The audio visual, berbentuk gambar hidup yang dapat didengar sekaligus dilihat, seperti televisi, video, film, dan lain sebaginya.50 Buku sebagai salah satu contoh media cetak merupakan satu alat yang ampuh dalam komunikasi. Keistimewaan yang dimiliki oleh media ini, tidak terdapat pada media lain, yaitu bahwa media tersebut bisa dibaca berulang kali, sehingga benar-benar dapat mempengaruhi sasarannya. Melihat antusias masyarakat yang sangat baik terhadap buku, membuat buku menjadi salah satu media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan dakwah kepada masyarakat Indonesia.51 Bahkan buku menjadi sarana “perang pena” bagi para penulis, ketika suatu buku muncul, maka akan muncul buku lain untuk melengkapi, bahkan mengkritik. Asalkan berangkat dengan niat yang baik untuk memperbaiki dan mencari kebenaran dalam rangka berdakwah, maka tidak menjadi masalah.52
50
Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, (Jakarta: GIP, 1998), h. 154. 51 H.A. Suminto, Problematika Da’wah, (Jakarta : Tinta Mas, 1973), cet. Ke-1, h. 47. 52 Badiatul Muchlisin Asti, Berdakwah dengan Menulis Buku, (Bandung: Media Qalbu, 2004), cet. Ke-1, h. 44.
BAB III PROFIL PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA DAN GAMBARAN UMUM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN
A. Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA 1. Riwayat Hidup Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA Ali Mustafa Yaqub, lahir di Desa Kemiri Kecamatan Subah Kabupaten Batang Jawa Tengah, 2 Maret 1952. Nuansa religius telah menemaninya sejak beliau masih duduk di bangku sekolah dasar.1 Ayahnya bernama Yaqub, seorang dai terkemuka di masanya dan sebagai imam di masjid-masjid Jawa Tengah, misinyanya adalah “Menegakkan Amar Ma’ruf dan Memberantas Kemungkaran.” Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan ibu rumah tangga, dan meninggal pada tahun 1996. Ali Mustafa memiliki 7 orang saudara, yang dua di antara telah meninggal dunia. Salah satu kakaknya ialah Ahmad Dahlan Nuri Yaqub, yang juga mengikuti jejak ayahnya sama seperti beliau, pengasuh pondok pesantren Darus Salam Batang, Jawa Tengah.2 Namun, obsesinya untuk terus belajar di sekolah umum terpaksa kandas, karena setelah tamat SMP beliau harus mengikuti arahan orang tuanya, mencari kaweruh di Pesantren. Maka dengan diantar ayahnya, pada tahun 1966 beliau mulai mondok untuk menerima piwulang di Pondok Seblak Jombang sampai tingkat Tsanawiyah 1969. Kemudia beliau nyantri 1
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 143. 2 Ni’ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 11.
37
38 lagi di Pesantren Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak, terhitung dari tahun 1969-1972. Kemudian pada pertengahan tahun 1972, beliau melanjutkan studi strata satu pada program studi syariah Universitas Hasyim Asy’ari Jombang sampai tahun 1975.3 Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari, di pesantren ini beliau menekuni kitab-kitab kuning4 di bawah asuhan para kiai sepuh, antara lain Al-Marhum KH. Idris Kamali, Al-Marhum KH. Adlan Ali, Al-Marhum KH. Shobari, dan Al-Musnid KH. Syansuri Badawi. Di Pesantren ini beliau juga mengajar Bahasa Arab, sampai awal 1976.5 Tahun 1976 beliau ngelmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan mendapatkan ijazah License (Lc.), pada tahun 1980. Kemudian masih di kota yang sama, beliau melanjutkan lagi studinya di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis, sampai tamat dengan memperoleh ijazah Master, 1985. Tidak berhenti sampai di sana, beliau pun menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Nizamia, Hyderabad India, Spesialisasi Hukum Islam, pada tahun 2007.6 Sekarang ini beliau beetempat tinggal dengan keluarganya yang terdiri dari seorang istri dan seorang anak laki-laki 3
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 240. Dinamakan kitab kuning karena kitab-kitab itu dicetak pada kertas berwarna kuning, dengan alasan dapat memberi kesan klasik pada pembacanya. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 142. 5 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105. 6 Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub), (Jakarta: Tesis S2 Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 8384. 4
39 sulungnya di Jl. SD Inpres No. 11 Pisangan Barat Ciputat 15419 Jakarta. Dan sekarang beliau sedang membina Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences yang beliau dirikan sejak tahun 1997 di dekat rumahnya dan juga di Malaysia. Sosok yang dipanggil akrab “Pak Kiai” oleh para muridnya ini merupakan sosok yang sangat menginspirasi para muridnya. Sikapnya yang tegas dan disiplin selalu beliau ajarkan setiap pertemuan perkuliahan tanpa henti, dengan harapan semua muridnya menjadi Ulama Besar di dunia, bahkan sampai bisa melebihinya.7 Dahulu, setiap pukul 03.30 WIB dini hari, ketika beliau masih dalam usia
muda,
beliau
rela
mengetuk
pintu
kamar
muridnya
untuk
membangunkan mereka melaksanakan Qiyam al-Lail. Tanpa henti beliau memberikan perhatian yang hangat dan berlimpah kepada muridnya. Namun sekarang, diusianya yang mulai menua, beliau cukup membangunkan muridnya dengan menelpon murid tertuanya, untuk membangunkan teman yang lainnya. Tidak hanya bagi muridnya saja beliau melimpahkan kasih sayangnya yang berlimpah, beliau juga melimpahkan kasih sayangnya kepada umat Islam di Dunia. Salah satu buktinya adalah beliau selalu menulis buku bertema Islam di tengah kesibukannya yang sangat padat. 8 2. Riwayat Pendidikan Jika diurutkan, maka perjalanan pendidikan beliau ialah sebagai berikut :
7
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015. 8 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah DarusSunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.
40 a. Pondok Seblak Jombang (1966 – 1969) b. Pesantren Tebuireng, Jombang (1969 – 1972) c. Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang (1972 – 1975) d. Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia (S1, 1976 – 1980) e. Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Spesialisasi Tafsir Hadis (S2, 1980 – 1985) f. Universitas Nizamia, Hyderabad India, Spesialisasi Hukum Islam (S3, 2006 – 2007) B. Karya-karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA Berikut ini karya-karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dari tahun 1986-20159: 1. Memahami Hakikat Hukum Islam (alih Bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah al-Bayanuni, 1986) 2. Nasihat Nabi kepada para Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an (1990) 3. Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis (1991) 4. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (alih Bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, 1994) 5. Kritik Hadis (1995) 6. Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (alih Bahasa dari Muhammad Jameel Zino, Saudi Arabia, 1418 H) 7. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997) 8. Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999) 9
163.
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), h. 160-
41 9. Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis (2000) 10. Islam Masa Kini (2001) 11. Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd. al-Rahman al-Khumayis, 2001) 12. Aqidah Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad
(alih
Bahasa dari Prof. Dr. Abd. al-Rahman al-Khumayis, 2001) 13. Fatwa-fatwa Kontemporer (2002) 14. MM Azami Pembela Eksistensi Hadis (2002) 15. Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003) 16. Hadis-hadis Bermasalah (2003) 17. Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003) 18. Nikah Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis (2005) 19. Imam Perempuan (2006) 20. Haji Pengabdi Setan (2006) 21. Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007) 22. Pantun Syariah Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008) 23. Toleransi antar Umat Beragama, (dua bahasa, Arab dan Indonesia, 2008) 24. Islam di Amerika; Catatan Safari Ramadhan 1429 H. Imam Besar Masjid Istiqlal, (dua bahasa, Inggris – Indonesia, 2009) 25. Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Perspektif Al-Qur'an dan Hadis (2009) 26. Islam Between War and Piece (2009) 27. Mewaspadai Provokator Haji (2009) 28. Kidung Bilik Pesantren (2009)
dalam
42 29. وعايري احلالل واحلرام يف األطعىة واألرشبة واألدوية واملستحرصات اتلجىينية ىلع ضوء الكتاب )0202( والسنة 30. Kiblat antara Bangunan dan Arah Ka’bah (dua bahasa, Arab dan Indonesia, 2010) 31. )0202( امقبنة ىلع ضوء الكتاب والسنة 32. 25 Menit Bersama Obama (2010) 33. Kiblat Menurut Al-Qur’an dan Hadis: Kritik atas Fatwa MUI No. 5/2010, (2011) 34. Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2011) 35. Makan Tak Pernah Kenyang (2012) 36. Cerita dari Maroko (2012) 37. Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (2012) 38. )0202( ديلل احلسبة 39. Panduan Amar Makruf Nahi Munkar (2012) 40. )0202( إثبات رمضان وشوال وذي احلجة ىلع ضوء الكتاب والسنة 41. Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab dan Sunnah (2013) 42. Menghafal Al-Qur’an di Amerika Serikat (2014)
43 43. )0202( امطرق الصحيحة يف فهه السنة انلبوية 44. Cara Benar Memahami Hadis (2014) 45. Setan Berkalung Surban (2014) 46. )0202( الوهابية ونهضية امعنىاء اتفاق يف األصول ال اختالف 47. Titik Temu Wahabi-NU (2015) C. Aktivitas Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA 1. Bidang Organisasi
a. Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat (1987). b. Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin (1990-1996). c. Ketua Dewan Pakar, merangkap ketua Dewan Departemen Luar Negeri Ittihadul Muballighin (1996-2000). d. Anggota Delegasi MUI untuk Memantau Pemotongan Hewan di Amerika (2000). e. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Iran, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005). f. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Mesir, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005). g. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Saudi Arabia, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005). h. Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh. i. Wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2005 sampai sekarang).
44 j. Anggota lajnah Pentashih Al-Qur’an DEPAG RI (2005 sampai sekarang). k. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Turki, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2006). l. Peserta & Pemakalah dalam Konferensi Dunia tentang Metode Penetapan Fatwa di Kuala Lumpur, Malaysia (2006). m. Ketua Delegasi MUI untuk Memantau Pemotongan Hewan di Kanada (2007). n. Peserta Konferensi ke 6 tingkat dunia, Lembaga Keuangan Islam Dunia, di Bahrain (2007). o. Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi). p. Anggota Dewan Syari’ah Majlis Al-Dzikra. q. Anggota Dewan Syari’ah Bank Bukopin Syari’ah.10 2. Bidang Pendidikan a. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta (1991-1997). b. Guru Besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) (1985 sampai sekarang). c. Dosen di Institut Studi Ilmu Al-Quran (ISIQ/PTIQ). d. Dosen Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (2012 sampai sekarang). e. Mendirikan Madrasah Darus-Sunnah 6 Tahun Setingkat Dengan Smp Dan Sma (2014).11
10
Ni’ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, h. 20. 11 Ali Mustafa Yaqub, Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab dan Sunnah, (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013), h. 118.
45 3. Bidang Dakwah a. Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal. b. Pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa. c. Pengajian di Masjid Agung At-Tin. d. Pengajian di Masjid Raya Pondok Indah.12 e. Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI. f. Tahun 1989, bersama keluarganya beliau mendirikan Pesantren “DarusSalam” di desa kelahirannya. g. Ramadhan 1415 H/Februari 1995-1997 beliau diamanati untuk menjadi pengasuh/pelaksana Harian Pesantren Al-Hamidiyah Depok, setelah pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995. h. Imam Besar Masjid Istiqlal (2005 sampai sekarang). i. Pengasuh Darus-Sunnah International Institute for Hadith Scincens di Indonesia dan Malaysia (1997 sampai sekarang).13 D. Gambaran Umum Buku Setan Berkalung Surban 1. Tampilan Fisik dan Identitas Buku Judul Buku
: Setan Berkalung Surban
Penulis
: Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
Editor
: Denden Taupik Hidayat, SS., Lc.
Penerbit
: Pustaka Firdaus
No. ISBN
: 978-979-541-224
Tahun Terbit
: 2014 M.
Tempat Terbit
: Jakarta
12
Tim Redaksi Majalah Nabawi, Kolom Artikel Utama, (Jakarta: IMDAR, 1436 H./2015 M.), edisi 109, h. 12. 13 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 240.
46 Cetakan
: Ke-1
Jumlah Halaman
: 163
Tampilan Fisik
: Warna cover depan adalah hitam. Terdapat
gambar surban berwarna merah di depan sampul. Di tengahnya tertera judul buku yang sangat mencolok dengan menggunakan warna merah pada kata “Setan” dan warna putih pada kata “Berkalung Surban”. Menandakan bahwa buku ini mencoba menarik perhatian pembaca dan mencoba menjelaskan dengan singkat apa yang ada dalam buku ini. Ukuran bukunya sedang, sehingga mudah dibawa kemana-mana, dan bisa dibaca dimanapun kita berada. 2. Sekilas Tentang Buku Setan Berkalung Surban Buku ini adalah salah satu dari karya beliau yang menjawab problematika kehidupan umat Islam di Indonesia. Buku dengan judul yang sangat mengandung makna majas ini berisi kritikan-kritikan beliau terhadap fenomena kehidupan umat sekarang ini yang semakin kompleks. Dengan buku ini beliau mencoba menerjemahkan apa yang ada pada masyarakat Indonesia, dan meluruskannya dengan pendapat beliau yang didasari pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadis, serta memberikan solusi yang tepat di dalamnya.14 Buku ini berisi artikel-artikel beliau yang dimuat di berbagai media massa terkenal, seperti, Koran KOMPAS, REPUBLIKA, Majalah Nabawi. Juga memuat makalah beliau pada Seminar Intenasional, Khutbah Jumat di New York USA, dan Khutbah Nikah Duta Besar Paraguay yang baru saja 14
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah DarusSunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.
47 masuk Islam di bawah bimbingan beliau. Semua materi ini berjumlah 42 judul yang dibagi menjadi tiga kategori besar di dalamnya, yaitu akidah berjumlah 9 judul, ibadah 13 judul, dan muamalah 20 judul. Seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia, kecuali 3 judul khusus yang berasal dari makalah beliau pada Seminar Intenasional, Khutbah Jumat di New York USA, dan Khutbah Nikah Duta Besar Paraguay.15 Kategori pertama adalah tentang akidah. Salah satu persoalan yang disorot pada bidang ini adalah toleransi umat beragama di Indonesia. Indonesia merupakan Negara yang mendapatkan perhatian besar dunia dalam hal toleransi antarumat beragama. Banyak wartawan mancanegara bahkan tokoh-tokoh dunia yang datang langsung ke Indonesia untuk menanyakan tentang rahasia stabilitas sosial di Negara Indonesia yang multietnis dan multiagama. Dalam buku ini beliau memberi jawaban yang gamblang dan menunjukkan solusinya yang berasal dari sejarah umat Islam masa lalu, yaitu saat di Madinah Nabi Muhammad saw. membina kerukunan antara umat Islam dengan agama-agama lainnya seperti, Nashrani, Yahudi, Majusi, dan Paganisme. Bahkan Rasul saw. bersama penganut agama lain membuat perjanjian damai untuk saling menghormati dan menjaga satu sama lain yang disebut Piagam Madinah. Tidak kalah menariknya isi pesan yang ada pada kategori ibadah. Kritik demi kritik beliau sampaikan demi membangun kesadaran umat Islam dalam menjalankan ibadah yang baik dan benar. Di dalamnya dijelaskan 15
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.
48 banyak penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan umat Islam dalam praktek ibadah seperti, kurban, puasa Ramadhan, haji, azan, dan salat. Bahkan beliau juga mampu menguak hubungan kualitas ibadah dengan kemunduran umat Islam di Indonesia dalam bidang ekonomi. Beliau menekankan adanya reorientasi ibadah agar berpahala maksimalis sehingga berbuntut pada ekonomis maksimalis. Kategori terakhir adalah persoalan muamalah, yang menjadi pamungkas pada buku ini, juga fokus pada penelitian ini. Problematika umat Islam dalam bidang muamalah lebih kompleks dibandingkan dengan dua bidang sebelumnya. Salah satunya adalah fenomena dai bertarif yang beliau bahasakan dengan sebuah singkatan yaitu dai walakedu (jual ayat kejar duit) yang semakin ramai muncul di masyarakat.16
16
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. vii-ix.
BAB IV ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
A. Struktur Teks yang Diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung Surban 1. Judul: Setan Berkalung Surban a. Level Teks 1) Struktur Makro a) Segi Tematik Tema atau topik adalah sebuah gambaran umum dari teks, dapat juga dikatakan sebuah gagasan inti atau ringkasan utama sebuah teks. Dalam tulisan Alex Sobur yang mengutip Keraf, mengatakan bahwa tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.1 Topik tulisan ini adalah tentang muamalah. Gagasan intinya adalah mengkritik dai yang hanya bermodal surban tetapi berdakwah tidak berdasarkan niat karena Allah swt. melainkan mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan.2 2) Superstruktur a) Segi Skematik Pada umumnya, teks, atau wacana memiliki skema atau alur, yang dimulai dari pendahuluan hingga penutup. Alur tersebut
1
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 75.
2
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015.
49
50 menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Skematik memiliki dua kategori besar yaitu summary yang terdiri dari judul dan lead (teras berita) serta story (isi berita keseluruhan). Berikut penjabarannya: Tulisan ini berjudul “Setan Berkalung Surban.” Lead (teras berita) menggambarkan mengenai judul yang diangkat untuk membawa pembaca kepada pendahuluan. Pendahuluan tulisan ini diawali dengan sebuah cerita yang berasal dari hadis Rasul saw. dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia, sebagai berikut: ُ ُ َ ََ ل َ َ ل ْ َُ َ َْ َ َ ل ِبف ِظ َزَك ِة :عٌ أيب ِريرة ريض اهلل عَُ قال ِ ِ هلل صَّل اهلل عوي ُِ وسوى ِ "وَّك ِِن رسْل ا َ َ َ ْ ْ َ ل َ َ ْ َل َََ َ َ َ َ َ َ َ ََ َُْ َ ل َُ ُ َُ ُُ َ َ هلل صَّل ِ ْل ا ٍ فأح ِاِن، رمضان ِ ألرفعَك ِإَل رس: وقوج، ُ فأخذح، ِ فجعن َيثْ ِيٌ اهطعام، آت َ َ ل َ ُ ْ َ ْ ََ ُ ْ َ ُ ْ ي َُْ ٌ َ َ َل َ ٌ َ َ َ ٌ َ َ ٌ َ َ ل ُ ح ،ج فأصت، َُ فخويج ع، و ِِل حاجث ش ِديدة، وعَل ِعيال، ِإِن ُمخاج: قال، اهلل َعويْ ُِ َو َسو َى ُ ْ قُو: قَ َال، " اْلار َح َث ؟ ُ ِب َص لَّل ُ َيا َف َع َن أَس، " يَا أَةَا ُِ َريْ َر َة: اهلل َعوَيُْ َو َسول َى َف َق َال ل َ ْ ري َك ُّ انل يَا: ج ِ ِ ِ ِ َ َ َ َ َُ َ َ َ َْ َ ل َ َ ُُْ ََ َ اج ًث َشد َ َش ََك َح،ْل اهلل ُ ْخولي ، أ َيا ِإٍ ُُ قد لذةَك: " قال، ُُ ج َس ِبيو ف، ُ فر ِِحخ، َو ِعيَاال، يد ًة رس ِ ِ 3 ُ ُ َ َ َ ".وسيعْد “Abu Hurairah ra. Bercerita: Suatu hari Rasulullah saw. menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-lihat makanan dan langsung mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan: “Kamu akan saya laporkan kepada Rasul saw.” orang itu menjawab: “Saya orang yang sudah berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan tersebut untuk keluarga saya.” Mendengar itu saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba Rasul saw. bertanya: “Wahai Abu Hurairah apa yang kamu lakukan pada orang yang kamu tangkap tadi malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan kesusahan keluarganya, dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu saya bebaskan.” Rasul saw. bersabda: Dia telah mengelabuimu, dan nanti malam ia akan datang lagi.”4 Pendahuluan dalam tulisan ini menggunakan cerita dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tujuannya adalah untuk mengajak 3 4
Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Mesir: Dar al-Hadis, 2008), juz 3, h. 101. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 92.
51 pembaca agar membaca hadis Rasul saw. juga agar memberi penguatan pada pesannya. Inti dari tulisan ini berada dalam akhir cerita tersebut, yaitu: “Dari Hadis ini, ada pelajaran menarik. Pertama, bahwa setan dapat menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban, setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut dan nasehat-nasehatnya.”5 Tulisan ini ditutup dengan memberikan sebuah peringatan kepada kita agar berhati-hati terhadap segala macam bentuk rayuan setan yang ada di dunia ini. Cerita ini berlangsung sampai tiga kali berulang-ulang dan pada hari ketiga Rasul saw. memberitahukannya bahwa ia adalah setan. Kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan bahwa meskipun seseorang itu menggunakan surban dan menjadi dai, jika dakwahnya tidak berlandaskan ikhlas karena Allah, maka sama saja dakwahnya itu mengikuti rayuan setan dan hawa nafsunya. Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang bahwa setan dapat menyerupai apapun dan siapapun untuk menggoda manusia, bahkan dalam bentuk yang menurut umat Islam baik (menggunakan surban). Jika para dai yang menggunakan surban melakukan dakwahnya bukan dilandaskan atas keikhlasan karena Allah swt. melainkan karena mengikuti hawa nafsunya karena ingin populer misalnya, maka sama saja dakwahnya itu mengikuti kehendak setan bukan mengikuti keinginan Allah swt.
5
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
52 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Semantik adalah studi linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa.6 Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari Abu Hurairah yang diamanati untuk menjaga zakat Ramadhan yaitu di Bait al-Mal. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif tentang kejadian yang dialami Abu Hurairah selama 3 hari untuk menjaga harta zakat dari awal sampai akhir. Berikut detail dalam tulisan ini: “Abu Hurairah ra. bercerita, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seseorang melihatlihat makanan dan langsung mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: „Saya orang yang sudah berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan untuk keluarga saya.” Mendengar itu saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya: “Wahai Abu Hurairah apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu saya bebaskan.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Dia telah mengelabui kamu wahai Abu Hurairah dan nanti malam dia akan kembali lagi”. Dari sabda Nabi ini, saya tahu bahwa dia akan kembali lagi. Malam harinya saya mengawasinya secara teliti dan ternyata betul apa yang disampaikan Rasulullah, ia telah berada di ruang harta zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu ia mengambilnya. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: “Saya betul-betul sangat membutuhkan makanan itu sekarang, keluarga saya kini sedang menunggu sambil menahan lapar. Saya berjanji tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar itu, saya merasa kasihan dan akhirnya saya lepaskan kembali. Keesokan harinya Rasulullah bertanya kembali: “Apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam, wahai Abu Hurairah?” Saya menjawab: “Orang kemarin datang kembali dan mengambil harta zakat. Karena keluarganya sudah lama kelaparan, akhirnya 6
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet. Ke-3, h. 2.
53 saya melepaskannya”. Mendengar itu, Rasulullah bersabda: “Dia telah membohongi kamu dan nanti malam ia akan kembali untuk yang ketiga kalinya”. Malamnya ternyata orang itu kembali lagi dan seperti biasa dia mengambil harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah. Bukankah kamu kemarin berjanji tidak akan kembali lagi tapi mengapa kini kembali juga?” Orang itu menjawab: “Ijinkanlah. Saya akan ajarkan kepada kamu sebuah kalimat yang apabila kamu membacanya Allah akan selalu menjaga kamu serta kamu tidak akan disentuh dan didekati oleh setan hingga pagi hari". Saya merasa tertarik dengan ucapannya lalu saya menanyakan kalimat apa itu. Dia menjawab: “Apabila kamu hendak tidur, jangan lupa membaca ayat Kursi, maka Allah akan menjaga kamu dan kamu tidak akan didekati oleh setan sehingga pagi tiba”. Para Sahabat Nabi saw. memang suka dengan amalan-amalan. Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah saya lakukan tadi malam dan saya katakan: “Ya Rasulullah, dia mengajarkan saya kalimat yang sangat bermanfaat dan berfaidah.” Rasulullah lalu bertanya kembali: “Kalimat apa yang diajarkannya?” Saya menjawab, “Dia mengajarkan ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau saya membacanya sebelum tidur, maka Allah akan menjaga saya sampai pagi hari.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”(HR. Al-Bukhari)”7 Sedangkan maksud dalam tulisan ini menjelaskan jika ibadah bukan karena Allah swt., maka ibadah itu untuk setan, disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisiki oleh setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk setan.”8 Praanggapan tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan. Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya, 7 8
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 92-94. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
54 tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya adalah sebuah ibadah.”9 b) Sintaksis Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam tuturan atau kalimat.10 Maksudnya adalah bagaimana sebuah kata atau kalimat disusun menjadi kesatuan yang memilki arti. Elemen yang diamati dalam sintaksis adalah bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan kalimat pasif awalan di- dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Pertama, bahwa setan dapat menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban, setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut dan nasehat-nasehatnya.” 11 “Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan tersebut adalah benar.”12 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „tetapi‟ yang bermakna pengingkaran, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan. Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya, tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya adalah sebuah ibadah. Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisik oleh setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk setan.”13
9
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. W. M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2001) cet. Ke-3, h. 161. 11 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 12 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 13 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 10
55 Kata „tetapi‟ yang pertama berfungsi untuk menjelaskan situasi orang yang beriman dan suka beribadah justru akan digoda dengan sesuatu yang lahirnya adalah ibadah akan tetapi hakikatnya mengikuti setan. Sedangkan pemahaman yang beredar adalah bahwa setan akan menggoda seseorang yang beriman dengan sesuatu yang mungkar atau buruk. Kemudian kata „tetapi‟ yang kedua berfungsi untuk menjelaskan seorang dai yang berdakwah bukan karena Allah, maka dakwahnya itu tidak lain adalah untuk mengikuti kehendak setan. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”14 Penggunaan kata „dia‟ dalam kalimat ini menggambarkan ketidaksukaan Rasul saw. terhadap apa yang dilakukan setan. Sedangkan kata „kamu‟ dalam kalimat ini menggambarkan kedekatan Rasul saw. dengan Abu Hurairah. “Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar hatihati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan berkalung surban.”15 Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah ajakan beliau. 14 15
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 93-94. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
56 c) Segi Stilistik Stilistik adalah cara yang digunakan beliau untuk menyatakan maksud melalui pilihan kata yang digunakan. Seperti terdapat dalam kutipan berikut: “Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan tersebut adalah benar, sehingga ia mengamalkannya bukan karena mengikuti perintah setan tapi mengikuti perintah Nabi saw.”16 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata wiridan untuk menjelaskan ayat kursi yang dimaksud di dalam ceritanya. d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk ekspresi berupa peringatan tentang gangguan setan dan metafora dalam bentuk kiasan tentang setan, untuk menyampaikan pesannya kepada pembaca. Hal ini terlihat dari kutipan: “Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar hati-hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan berkalung surban.”17 2. Judul: Surban dan Jubah Haram a. Level Teks 1) Struktur Makro a) Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum pakaian syuhrah yaitu pakaian
16 17
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
57 yang dipakai karena ingin tenar atau dikenal orang lain, dalam hal ini ingin dikenal sebagai seorang dai atau kiai.
18
2) Superstruktur a) Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Surban dan Jubah Haram”. Pendahuluan tulisan ini diawali dengan sebuah hadis sebagai berikut: ْ ُ َ َْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ُّ ْ َ َ ْ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ل َ ْ َ ْ َ َ ُ ل ً َ ٍ ُب ف ي ارا (رواه ِ ِ ّ ثى أل،يٌ ه ِبس ثْب شّ َر ٍة ِِف ادلنيا أهبسُ اهلل ثْب يذه ٍث يْم اه ِقياي ِث
)ُاةٌ ياج “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar dalam api neraka. (HR. Ibnu Majah)”20 19
Pendahuluan dalam tulisan ini menyampaikan sebuah hadis yang mengharamkan memakai pakaian syuhrah. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah (popularitas), karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orangorang. Pakaian syuhrah adakalanya berebda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya.”21 Tulisan ini
ditutup dengan ajakan kepada kita untuk
berpenampilan sesuai apa yang ada di budaya kita sendiri. Kesimpulan
18
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 19 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Mesir: Dar ibn Haytsam, 2005), juz 4, h. 84. 20 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 21 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95.
58 dari tulisan ini adalah menegaskan keharaman memakai pakaian syuhrah sesuai yang telah disepakati oleh para Ulama dan menganjurkan memakai pakaian sesuai budaya masing-masing seperti yang dicontohkan oleh Rasul saw. Story tulisan ini adalah memberikan penjelasan kepada orangorang bahwa memakai pakian syuhrah adalah haram hukumnya, karena berbeda dari adat pemakainya berada dan terdapat niat yang buruk dalam memakainya, seperti ria, somobong, dan bahkan ingin dianggap zuhud. Dalam hal ini larangan bagi para dai untuk menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, karena ingin dikenal sebagai dai. 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari sebuah hadis yang melarang memakai pakaian syuhrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Detail tulisan ini sangat bagus, karena beliau menjelaskan secara naratif tentang hukum memakai pakaian syuhrah, dari mulai mendatangkan hadisnya, menjelaskan maknanya, sampai menyimpulkannya, yang terdapat dalam kutipan berikut: “Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada Hadis bahwa Rasulullah saw. mengatakan: ْ ُ َ َْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ُّ ْ َ َ ْ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ل َ ْ َ ْ َ َ ُ ل ً َ ٍ ُب ف ي ارا (رواه ِ ِ ّ ثى أل،يٌ ه ِبس ثْب شّ َر ٍة ِِف ادلنيا أهبسُ اهلل ثْب يذه ٍث يْم اه ِقياي ِث
)ُاةٌ ياج
59 “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.” (HR. Ibnu Majah) Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah (popularitas) karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orangorang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya. Berdasarkan Hadis ini, para Ulama sepakat bahwa pakaian syuhrah adalah haram dikenakan. Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian Ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai surban. Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para Ulama. Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi (adat) dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka, surban (penutup kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai surban.”22 Maksud dalam tulisan ini ialah menerangkan hukum pakaian syuhrah dalam konteks Indonesia, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubbah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah, karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian Ulama. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai 22
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95-96.
60 surban. Maka pada masa itu, surban menjadi tradisi para Ulama. Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi (adat) dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dalam syariat Islam.”23 Praanggapan dalam tulisan ini ialah menghukumi penampilan syuhrah sama dengan hukum pakaian syuhrah, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Melihat makna hadis di atas, tampaknya bukan hanya pakaian syuhrah saja yang dilarang oleh Nabi saw., tetapi juga penampilan syuhrah.”24 b) Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Berdasarkan hadis ini, para Ulama sepakat pakaian syuhrah adalah haram dikenakan.”25 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Para Ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti Besar Syeikh Bin Baz rahimahullah, Mufti Besar masa kini Syeikh Abdul Aziz Alu al-Syaikh, Syeikh Shaleh bin Muhammad al-„Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa memakai surban bukan merupakan ibadah. Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu dikarenakan tidak ada satu hadis pun yang shahih yang menerangkan keutamaan memakai surban. Semua hadis tentang keutamaan memakai surban adalah hadis-hadis palsu.”26 Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal sebab akibat, yaitu menjelaskan tidak adanya satu 23
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 25 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 26 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 24
61 hadis pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan memakai surban, sehingga memakai surban tidaklah mengandung ibadah sunah apalagi wajib. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila masyarakat di mana kita tinggal tidak memelihara rambut panjang dan tidak memakai belangkon, maka berambut panjang dan memakai belangkon juga dilarang oleh Rasulullah saw. Di antara kita terkadang karena ketidaktahuannya menganggap pakaian yang dipakai adalah sebuah ibadah, sunah, dan mengikuti Nabi saw. padahal pakaian seperti itu justru dilarang oleh Rasulullah saw.”27 Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau. c) Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk Negeri di mana pemakainya tinggal.”28 “Memang, dalam hadis yang shahih, Nabi saw. memakai surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban.”29 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „syuhrah‟ unuk menjelaskan pakaian yang digunakan untuk dikenal orang lain atau pakaian yang berbeda dari budaya si pemakainya. Sedangkan kata „surban‟ untuk menjelaskan pakaian yang menjadi adat Arab yaitu penutup kepala dari kain yang dibelitkan.
27
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 97. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 29 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 28
62 d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora dalam bentuk ungkapan sehari-hari seperti pada kalimat berikut: “Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban.”30 Juga menggunakan grafis pada arti dari hadis seperti dalam kutipan berikut: “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar dalam api neraka. (HR. Ibnu Majah)”31 “Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin adalah memakai kopiah lebih dahulu.(HR. Imam Abu Dawud dan AlTirmidzi)”32 3. Judul: Dai Berbulu Musang a. Level Teks 1) Struktur Makro a) Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif menurut kajian fikih.33 2) Superstruktur a) Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Dai Berbulu Musang.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran 30
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 32 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 33 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 31
63 nasional berjudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan.”34 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim dalam koran nasional. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballighin, sebuah organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi objek dakwah.”35 Tulisan ini ditutup dengan wasiat dan nasihat kepada para dai, agar menjadi orang yang memecahkan masalah umat, bukan menambah masalah umat dengan memasang tarif tinggi ketika di undang berdakwah oleh umat. Kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan semakin maraknya fenomena dai yang bertarif. Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang bahwa zaman sekarang ini sedang marak muncul fenomena dai bertarif yang menyusahkan masyarakat sebagai objek dakwah mereka. Seharusnya dai itu adalah orang yang menenangkan masyarakat dengan nasihat-nasihatnya, bukan malah meresahkan mereka dengan tarifnya. Sudah seharusnya para dai kembali bertaubat untuk tidak memasang tarif lagi dalam dakwahnya, jika pun nanti diberi hadiah
34 35
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98.
64 atau bahkan uang oleh masyarakat yang mengundang, hal itu tidak mengapa asalkan tidak ada perjanjian dari awalnya. 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni 1996 yang menjelaskan fenomena dai bertarif. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif tentang tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan hasil Musyawarah Nasional ke-4, juga tentang hukum dai bertarif, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah memberikan pahala kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit). Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin itu mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu Bapak Dr. H. Tarmizi Taher. Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan
65 jauh lebih parah, karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif dalam berdakwah.”36 Maksud dalam tulisan ini ialah menjelaskan hukum dai bertarif, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang sebesar itu kepada dari bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga pendapat yang berkembang: pertama, pendapat yang mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnya maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari Al-Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua, yang membolehkan berdakwah dengan memungut imbalan.” “Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang dai akan menerima upah dalam dakwahnya, maka hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan.”37 Praanggapan dalam tulisan ini ialah menyamakan kewajiban dakwah dengan salat dan puasa, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat dan puasa, kendati ia tidak menjadi rukun Islam.”38 b) Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.”39 “Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang 40 dai.”
36
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98-99. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 38 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 39 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 40 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 37
66 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah adalah seratus juta rupiah satu kali ceramah (satu titik) dan yang paling murah adalah sepuluh juta rupiah. Maka wajar saja apabila masyarakat mengeluh dan protes terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat tapi kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang itu.”41 Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan karena dai memasang tarif, wargapun menjadi mengeluh dan resah. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia karena dia masih punya kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah dai ketika aibnya dibuka oleh Allah swt. di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk bertaubat.”42 Kata „ia‟ dalam kalimat ini menjelaskan tentang dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia. Kemudian kata „dia‟ menunjukkan jarak antara beliau dengan dai yang tidak dibuka aibnya oleh Allah swt. Hal ini menunjukkan beliau tidaklah memiliki hubungan apapun terhadap dai tersebut. c) Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut 41 42
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 101.
67 imbalan bahkan pasang tariff dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit).”43 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „dai berbulu musang‟ dan „walakedu‟ (jual ayat kejar duit) untuk menjelaskan dai yang bertarif. d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan grafis terutama pada arti dari ayat Al-Qur‟an dan hadis seperti dalam kutipan berikut: “Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit).”44 “Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah Al-Qur‟an. (HR. Al-Bukhari)”45 “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati.(QS. Al-Baqarah: 129)”46 Kemudian menggunakan bentuk ekspresi berupa nasihat kepada para dai, yang terdapat dalam kutipan berikut: “Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang membuat masalah umat. Dai adalah orang yang meringankan masalah umat bukan orang yang membuat masalah umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat.”47 4. Judul: Dai-dai Sesat a. Level Teks 1) Struktur Makro
43
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 45 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 46 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 47 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100-101. 44
68 a) Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan haramnya dai memasang bertarif dan mengikuti dai bertarif.48 2) Superstruktur a) Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Dai-dai Sesat.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Dalam Surat Yasin, ada kisah menarik yang berkaitan dengan masalah dakwah. Dalam ayat 13 dan seterusnya, Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menceritakan sebuah kisah kepada kaum musyrikin Makkah yang mendustakan Nabi saw. Kisah itu adalah perilaku orang-orang dalam menyikapi para dai (utusan Allah).”49 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan sebuah kisah kepada kaum musyrikin Makkah tentang perilaku orang-orang dalam menyikapi para dai. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima ajakan dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat yang jauh yang bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong para dai itu dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan warga Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati kaumnya agar mengikuti ajakan (dakwah) para dai itu. Kemudian Habib mengatakan: ل ْ ُ ْ َ ُ ُ َ ل )12 :اح ِت ُعْا َي ٌْ ال ي َ ْسئَوك ْى أج ًرا َوِ ْى ُّمّخَ ُد ْون (يس “Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah” (QS. Yasin: 21).”50
48
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 49 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 102. 50 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103.
69 Tulisan ini ditutup dengan penegasan dalam pelarangan mengikuti dai yang bertarif berdasarkan kaidah hukum Islam “apa yang haram diambil haram juga diberikan.” Kesimpulan dari tulisan ini adalah menjelaskan bahwa ayat 21 surat Yasin ini sangat tepat untuk dijadikan petunjuk bagi kita dalam menyikapi perilaku sejumlah dai yang dalam dakwahnya menyimpang dari tuntunan Islam, dalam hal ini para dai yang memasang tarif. Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang bagaimana cara berperilaku terhadap para dai. Jika seorang dai tidak meminta imbalan dalam dakwahnya, maka kita harus mengikutinya. Tapi sebaliknya, jika seorang dai meminta imbalan dalam dakwahnya maka kita tidak boleh mengikutinya kalau tidak disebut haram. Karena para dai yang bertarif tidak melandaskan dakwahnya karena Allah swt. melainkan karena hawa nafsu dan godaan setan. 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini perintah Allah swt. kepada Nabi saw. untuk menceritakan sebuah kisan kepada kaum musyrikin. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif kisah yang dimaksud dalam perintah Allah swt. itu, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Disebutkan bahwa sebuah negeri yang menurut beberapa sumber disebut Negeri Anthakiyah didatangi oleh tiga orang utusan Allah yang masing-masing bernama Shadiq, Shaduq, dan Syallom. Dalam riwayat lain disebutkan para utusan itu bernama Sam‟un, Yohana, dan Bolus (Paulus). Mereka memperkenalkan kepada warga negeri Anthakiyah bahwa mereka para dai yang diutus oleh Nabi Isa
70 al-Masih as. untuk berdakwah kepada warga Anthakiyah agar mereka hanya menyembah Allah swt. dan tidak menyekutukan-Nya. Warga Anthakiyah saat itu dipimpin oleh raja yang bernama Antikhos yang menyembah patung. Warga Anthakiyah ternyata tidak merespon dakwah para dai itu. Mereka menolak para dai itu bahkan mengatakan bahwa kamu semua adalah orang-orang seperti kami, mana mungkin kamu mendapat wahyu dari Allah? Sekiranya kamu adalah utusan-utusan Allah, niscaya kamu bukan manusia tapi malaikat. Mereka bahkan mengatakan bahwa keberadaan para dai itu telah mencelakakan kehidupan mereka. Mereka mengancam apabila para dai itu tidak menghentikan dakwahnya, maka mereka akan melempari batu dan menyiksanya. Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima ajakan dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat yang jauh yang bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong para dai itu dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan warga Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati kaumnya agar mengikuti ajakan (dakwah) para dai itu.”51 Maksud dalam tulisan ini ialah menentukan hukum dai bertarif berdasarkan penafsiran beliau terhadap surat Yasin ayat 21, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-Qur‟an seperti ini memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq (pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian tersurat. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil) dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang sesat.”52 Praanggapan dalam tulisan ini ialah menjelaskan keadaan kebolehan memberi imbalan kepada dai, dapat dilihat dalam kutipan berikut: 51 52
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 102-103. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103.
71 “Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan, maka menurut mayoritas Ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya dari larangan-laranganNya.”53 b) Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.”54 “Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang dai.”55 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Kisah Habib al-Najjar ini kemudian menjadi firman Allah karena disebutkan di dalam Al-Quran.”56 Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan kisah Habib al-Najjar yang menjadi alasan turunnya Al-Quran surat Yasin ayat 21. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Bila demikian, maka pasang tarif dalam berdakwah juga sangat diharamkan. Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan, maka menurut mayoritas ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya dari larangan-laranganNya.”57 53
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 104. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 55 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 56 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 57 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 104. 54
72 Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau. c) Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-Qur‟an seperti ini memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq (pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian tersurat. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil) dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah meminta imbalan karena mereka adalah orangorang sesat.”58 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata kata dari bahasa Arab karena untuk menjelaskan tentang tafsir dari sebuah ayat Al-Qur‟an. d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan grafis pada arti dari ayat Al-Qur‟an seperti dalam kutipan berikut: “Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah” (QS. Yasin: 21).”59 Juga menggunakan sebuah kaidah hukum Islam yang dicetak miring, sebagi berikut:
58 59
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103.
73 “Berdasarkan kaidah hukum Islam, apa yang haram diambil haram juga diberikan, maka haram hukumnya memberikan imbalan kepada dai yang dalam dakwahnya meminta imbalan.”60 5. Judul: Kode Etik Dakwah a. Level Teks 1) Struktur Makro a) Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan tujuh kode etik dakwah bagi para dai.
61
2) Superstruktur a) Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Kode Etik Dakwah.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para mubalig yang dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun, menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas).”62 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan waktu terjadinya Musyawarah Nasional. Inti dari tulisan ini berada dalam: “Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Munas itu adalah merumuskan Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena pada waktu itu mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar Duit).”63 Tulisan ini ditutup dengan ungkapan perasaan beliau yang kecewa terhadap semakin maraknya fenomena dai bertarif di Indonesia ini. Kesimpulan dari tulisan ini adalah pengharapan beliau
60
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 62 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 63 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 61
74 agar rumusan kode etik itu dapat menjadi pedoman para dai atau mubalig dalam menjalankan dakwahnya. Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai tentang tujuh kode etik dakwah yang telah disepakati oleh Ulama seDunia, yang harus mereka laksanakan dalam dakwahnya agar mendapat pahala dari Allah dan bukan mendapat laknat dari-Nya. 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni 1996 yang meghasilkan kode etik dakwah bagi para dai. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menjelaskan tujuan dibuatnya kode edik dakwah, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para mubalig yang dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun, menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Munas itu adalah merumuskan Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena pada waktu itu mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar Duit). Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubalig dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para Nabi, bukan justru mendapat laknat dari Allah swt. dalam berdakwah.”64 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan kode etik bagi para dai. Terlihat dalam kutipan berikut: “Sekurang-kurangnya ada tujuh Kode Etik Dakwah, kode pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari Al-Qur‟an Surah al-Shaff ayat 2-3.” “Kode kedua, tidak melakukan toleransi agama. Hal itu berdasarkan Firman Allah swt. dalam surat Al-Kafirun.” 64
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105.
75 “Kode Ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari surat Al-An‟am ayat 108.” “Kode keempat, tidak melakukan diskriminasi. Tedapat dalam surat Al-An‟am 52.” “Kode kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil dari surat Saba‟ ayat 47.” “Kode keenam, tidak berkawan dengan pelaku maksiat. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan dalam surat Al-Madinah ayat 78-79.” “Kode ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode ini diambil dari surat Al-Isra ayat 36.”65 Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai bertarif tidak lenyap setelah dimunculkannya kode etik dakwah. Terlihat dalam kutipan berikut: “Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai.”66 b) Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Ketika Nabi saw. masih berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin.”67 “Akhirnya justru Allah swt. melaknat mereka semua.”68 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „namun‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Namun bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi saw. untuk mengusir 65
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105-109. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 67 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 107. 68 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 66
76 Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi saw. kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi saw. itu, yaitu Surah al-An‟am ayat 52.”69 Kata „namun‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal, yaitu menjelaskan sikap Nabi saw. yang menjadi alasan turunnya surat al-An‟am ayat 52 untuk mengkritik perilaku Nabi saw. itu. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah saw. di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu kecuali beliau melakukannya.”70 Kata „beliau‟ dalam kalimat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan berfungsi sebagai penghormatan beliau (penagrang) kepada Nabi Muhammad saw. c) Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar.”71 “Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai”72 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata runtangruntung, gandeng renceng untuk menjelaskan berteman atau bergaul. Kemudian menggunakan kata walakedu (jual ayat kejar duit) untuk menjelaskan dai yang bertarif.
69
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 107. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 71 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 72 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 70
77 d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk grafis terutama pada arti ayat Al-Qur‟an dan hadis yang disampaikan dalam tulisan ini, terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar.”73 “Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai”74 “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.(QS. Ash-Shaff: 2-3)”75 “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. (QS. AlKafirun)”76 “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf adalah satu bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi, agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka. (HR. Ibnu Hisyam)”77 6. Judul: Dakwah dan Kearifan Lokal a. Level Teks 1) Struktur Makro a) Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus menggunakan
73
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 75 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 76 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 77 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 74
78 pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah memaksakan budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan.
78
2) Superstruktur a) Segi Skematik Tulisan
ini
berjudul
“Dakwah
dan
Kearifan
Lokal.”
Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Bulan Agusuts 1982, Almarhum Bapak Mr. (Sarjana Hukum) H. Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim Association in Europe (YMAE) yang akrab di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan PPME (Persatuan Pemuda Muslim Eropa) di Kediaman Bapak H. Hambali Ma‟sum di Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa Buya Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki (Ketua Japan Islamic Congress), “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa begitu mudah masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang banyak tanpa ada konflik sedikit pun?” Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang saya pelajari.”79 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan pidatonya H. Muhammad Roem dalam pertemuan PPME. Inti dari tulisan ini berada dalam: “Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia, khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia pada abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi). Sebagian berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Kendati begitu, para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak melalui cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara yang sangat damai.”80 Tulisan ini ditutup dengan ungkapan kekecewaan beliau terhadap
sikap
dai
zaman
sekarang
yang
cenderung
tidak
memerhatikan kearifan lokal dan cenderung memaksakan budaya 78
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 79 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 80 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110.
79 Arab kepada masyarakat. Kesimpulan dari tulisan ini adalah menjelaskan alasan mayoritas masyarakat Indonesia dapat menerima Islam karena dahulu para dai dari Arab menyampaikan dakwahnya berdasarkan pendekatan kultural. Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai di Indonesia bahwa dakwah seharusnya dilakukan dengan pendekatan kultural atau budaya sesuai dengan kearifan lokal dari suatu objek dakwah. Bukan dengan pemaksaan suatu budaya lain kepada masyarakat Indonesia apalagi sampai melarang budaya asli mereka dengan kekerasan. Dengan demikian, masyarakat Indonesia pun akan mudah menerima ajaran Islam dengan lapang dada. 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari pidato H. Muhammad Roem dalam pertemuan PPME tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menjelaskan bagaimana masuknya Islam ke Indonesia, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa. Kendati mereka banyak berasal dari negeri Arab, namun mereka tidak serta merta mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa. Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Mesjid Agung Demak, Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak
80 menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu.”81 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan alasan para dai menggunakan pendekatan kultural untuk menyebarkan Islam di Indonesia. Terlihat dalam kutipan berikut: “Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budauya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesanpesan keislaman kepada masyakat Jawa.”82 Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai Indonesia sekarang ini, kurang memerhatikan kearifan lokal rakyat Indonesia. Bahkan ia cenderung memaksakan corak Arab kepada objek dakwahnya. Terlihat dalam kutipan berikut: “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.”83
81
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 83 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 82
81 b) Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan pendekatan sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi.”84 “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas.”85 Tulisan ini juga menggunakan kalimat pasif dengan imbuhan di-kan, seperti berikut: “Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural.”86 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „sehingga‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun dalam masalah sosial budaya, sementara mereka sudah menjadi orang Islam.”87 Kata
„sehingga‟
dalam
paragraf
ini
digunakan
untuk
menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan alasan masyarakat mudah menerima ajaran Islam yang diajarkan oleh para dai kepada mereka.
84
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 86 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 87 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 85
82 Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa.”88 Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau. c) Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Kami mengatakan sekiranya masjid di Bali memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan Utara memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang Dayak akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka merasa memasuki rumah adat mereka sendiri.”89 “Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup manusia.”90 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata ornamen untuk menjelaskan arsitektur bangunan. Kemudian menggunakan kata tembang untuk menjelaskan syair atau lagu. d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora ungkapan sehari-hari, terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa.
88
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112-113. 90 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 89
83 Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu.”91 Dan juga menggunakan grafis pada nama-nama tembang karya Sunan Kalijaga, terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di Jogjakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan bahwa para wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau menciptakan tembang-tembang (lagu-lagu) seperti tembang Dhandang Gulo dan lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah Mijil, yang mengisahkan tentang kelahiran seorang manusia ke dunia, kemudian Sinom yang menceritakan tentang manusia yang muda, kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang manusia yang sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya, Megatruh (putus nyawa) yang menceritakan tentang kematian manusia, Pucung alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan dan masuk liang lahat, dan lain-lain.”92 7. Judul: Keteladanan Buya Hamka a. Level Teks 1) Struktur Makro a) Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan kiprah keislaman Buya Hamka yang sampai akhir hayatnya masih tetap memegang ajaran Rasulullah saw. tanpa memikirkan kepentingan duniawi.
91
93
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111-112. 93 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 92
84 2) Superstruktur a) Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Keteladanan Buya Hamka.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala institut Wasatiyyah Malaysia (IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang.”94 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan latar belakang untuk menceritakan tentang permintaan Perdana Menteri Malaysia kepada beliau. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Sekurang-kurangnya, ada dua sikap Buya Hamka yang patut diteladani. Pertama, pada tahun 1982, ketika Buya Hamka masih menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Indonesia tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka didesak untuk mencabut fatwa itu atau mengundurkan diri. Buya Hamka akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Beliau lebih berprinsip pada penegakkkan yang hak sesuai tuntutan Al-Qur‟an dan Hadis.”95 “Kedua, pada akhir tahun 1970-an, Buya Hamka juga melakukan kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan kelompoknya. Selama itu, dalam menetakan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal, ada kelompok yang bersikukuh menggunakan metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka juga mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui petunjuk Nabi saw. bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal haruslah menggunakan rukyat (melihat bulan), Buya Hamka kemudian mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan, di mana beliau berkata “Saya kembali ke rukyat.” Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang mencemoohkan, melecehkan dan mengolok-olokkan Buya Hamka
94 95
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114.
85 karena sikap dan perilakunya itu. Namun Buya Hamka tetap memgang prinsip rukyat itu sampai beliau wafat pada tahun 1984.”96 Tulisan ini ditutup dengan doa beliau terhadap almarhum Hamka dan harapan beliau kepada muslim Indonesia agar bisa meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka. Kesimpulan dari tulisan ini adalah menjelaskan bahwa Buya Hamka tidak merasa gengsinya akan jatuh dengan sikapnya yang moderat, justru dengan sikap itulah Buya Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya. Strory tulisan ini ingin memberikan kisah keteladanan Buya Hamka dalam melaksanakan dakwah Islam dengan ikhlas dan benar sesuai sumber yang terpercaya yaitu berasal dari ajaran Rasulullah saw.
dan
tidak
mendahulukan
kepentingan
pribadi
apalagi
kepentingan duniawi sampai akhir hayatnya. 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari permintaan staf kantor perdana menteri Malaysia yang meminta kepada beliau untuk mencarikan salah satu murid Buya Humka untuk menyapaikan pemikiran moderat Buya Hamka. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menampilkan latar belakang penulisan dengan jelas, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala Institut Wasatiyyah Malaysia 96
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115.
86 (IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang. Dan melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid Buya Hamka yang dimaksud. Kami kemudian ternostalgia dengan kiprah keislaman Buya Hamka yang patut diteladani oleh tokoh dan umat Islam Indonesia.”97 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan prinsip Buya Hamka dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut: “Buya Hamka bukanlah tipologi seorang yang disebut ulama “ulama” alias “usia lanjut makin ambisi”, namun beliau lebih berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan al-Qur‟an dan Hadis. Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”98 Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut: “Sikap dan perilaku Buya Hamka ini barangkali sulit ditemukan di negeri kita ini. Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya mati-matian. Seandainya ada tokoh yang mundur dari jabatannya, itu pun karena dia berambisi untuk mendapatkan jabatan lain yang lebih tinggi tingkatannya.”99 “Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila memiliki pendapat, mereka pertahankan mati-matian pendapat itu kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.”100 b) Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Buya Hamka juga melakukan sebuah kejutan besar.”101 “Semoga Allah swt. menerima amal ibadah Buya Hamka.”102 Juga menggunakan awalan ber-, dan imbuhan me- -kan, dalam kalimat berikut:
97
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 99 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 100 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 101 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 102 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 116. 98
87 “Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”103 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „ketika‟ yang memiliki makna hubungan waktu, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Kami sungguh merasa terharu, ketika Buya Hamka telah meninggalkan kita 30 tahun yang lalu, negeri Jiran Malaysia mencari murid Buya Hamka dalam Islam. Kami teringat dengan sebuah pepatah yang menyatakan, “Seorang Nabi tidak dihormati di negerinya sendiri.” Betapapun, tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak untuk meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka, kendati kita tidak dapat melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di Negara lain juga akan meneladani sikap dan perilkau Buya Hamka.”104 Kata „ketika‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan waktu di dalamnya, yaitu menjelaskan kiprah Buya Hamka dalam berdakwah yang tetap menjadi panutan bagi dunia, setelah 30 tahun sepeninggalannya. Kata ganti dalam tulisan ini adalah: “Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”105 Kata „beliau‟ dalam kalimat ini ditujukan kepada Buya Hamka dan berfungsi sebagai bentuk penghormatan beliau (pengarang) kepada Buya Hamka. c) Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan
103
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115-116. 105 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 104
88 murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya Hamka.”106 “Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila memiliki pendapat, mereka pertahankan mati-matian pendapat itu kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.”107 Buya Hamka tidak merasa bahwa dengan sikapnya untuk kembali ke rukyat itu gengsinya akan jatuh.”108 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata moderat untuk menjelaskan orang yang selalu berada di tengah-tengah, dan orang yang berada dalam jalan yang benar. Kemudian menggunakan kata ustaz bawahan untuk menjelaskan dai yang tidak sesuai dengan kode etik dakwah, dan dai yang tidak memiliki pengetahuan yang tinggi. Juga menggunakan kata gengsi untuk menjelaskan harga diri. d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora dalam bentuk pepatah disampaikan kalimat di bawah ini dengan tulisan miring: “Kami teringat dengan sebuah pepatah yang menyatakan, “Seorang Nabi tidak dihormati di negerinya sendiri.” Betapapun, tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak untuk meneladani sikap dan perilkau Buya Hamka, kendati kita tidak dapat melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di Negara lain juga akan meneladani sikap dan perilkau Buya Hamka.”109 8. Judul: Memberdayakan Imam Masjid a. Level Teks 1) Struktur Makro a) Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan keharusan meningkatkan peran dan jaminan 106
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 108 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 109 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 107
89 kehidupan kepada Imam Masjid sebagai upaya meminimalisir dai bertarif di Indonesia.
110
2) Superstruktur a) Segi Skematik Tulisan
ini
berjudul
“Memberdayakan
Imam
Masjid.”
Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Sekurang-kurangnya, ada dua perhelatan yang berkaitan dengan imam masjid yang diselenggarakan pada tahun 2013. Pertama, silaturahmi dan konferensi imam masjid se-Indonesia yang diselenggarakan pada 27-29 Juni 2013 di Batam, Kepulauan Riau. Acara yang disponsori oleh Gubernur Kepulauan Riau dan dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia ini, melahirkan sebuah organisasi nasional imam masjid yang bernama IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid). Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 250 orang mewakili imam-imam masjid seluruh Indonesia. Perhelatan imam masjid yang kedua adalah konferensi imam masjid se-Dunia yang diselenggarakan pada 2-6 Desember 2013 di Pekanbaru, Riau, yang disponsori oleh Gubernur Provinsi Riau dan dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia.”111 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan latar belakang untuk menceritakan tentang dua perhelatan yang diselenggarakan berkaitan dengan peran Imam Masjid. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Ada kesepakatan dari para peserta maupun para narasumber, baik dalam konferensi IPIM maupun konferensi ICIM, semuanya bersepakat bahwa imam masjid memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis karena ia selalu berhadapan langsung dengan para jamaah minimal lima kali dalam satu sehari. Peran dan fungsi ini dapat dimanfaatkan untuk mentrasformasi ajaran Islam yang merupakan rahmat bagi semua penghuni alam kepada para jamaah masjid.”112
110
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 111 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 112 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.
90 Tulisan ini ditutup dengan harapan beliau kepada para imam masjid agar memiliki pengetahuan ilmiah yang tinggi untuk mencerahkan umat dari paham-paham yang sesat. Kesimpulan dari tulisan ini adalah menjelaskan bahwa imam masjid tidak hanya seorang yang hafal Al-Qur‟an, tetapi juga harus memiliki kapasitas keilmuan untuk menjawab persoalan-persoalan umat.”113 Story tulisan ini ingin menjelaskan tentang peran penting seorang Imam Masjid di setiap tempat, bahkan setiap Negara. Di mana peran ini sangat strategis untuk mentransformasikan ajaran Islam kepada masyarakat, karena ia sering berinteraksi dengan masyarakat setiap
harinya.
Sehingga
IPIM
memiliki
semangat
untuk
memberdayakan atau meningkatkan peran Imam Masjid ini. 3) Struktur Mikro a) Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari Konferensi Imam Masjid se-Indonesia yang diselenggarakan tanggal 27-29 Juni 2013 di Batam dan Konferensi Imam Masjid se-Dunia yang diselenggarakan tanggal 2-6 Desember 2013 di Pekanbaru. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menampilkan siapa saja yang termasuk dalam Konferensi itu dengan jelas, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut alMajlis al-„Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM (International Council of Imam Masjid). Apabila IPIM berkantor pusat di Jakarta, 113
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.
91 maka ICIM berkantor pusat di Pekanbaru, Provinsi Riau. Deklarasi pembentukan ICIM yang tertuang dalam Piagam Pekanbaru ditandantangani oleh wakil-wakil dari 12 negara peserta, yaitu Malaysia, Kuwait, Palestina, Perancis, Irak, Sinegal, Singapura, Afrika Selatan, Tunisia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Indonesia. Sebagai ketua ICIM terpilih wakil dari Kuwait, sementara Indonesia diamanati menjadi Sekretaris Jenderal. Beberapa negara yang siap hadir namun berhalangan adalah Mesir, Rusia, Jepang, dan Australia.”114 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan peran Imam Masjid dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut: “Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga menjadi khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, konferensi, baik IPIM maupun ICIM, menyepakati untuk meningkatkan kualitas sumber daya imam masjid sehingga imam masjid tidak menjadi sebatas seorang tukang yang menjalankan tugas menjadi imam, tetapi juga menjadi pembina umat sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Maka imam masjid haruslah seorang yang memiliki kreatifitas dan inovatif dalam membina umat. Imam masjid juga bukan sebatas memimpin shalat berjamaah, tetapi juga memimpin masyarakat.”115 Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut: “Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga sibuk memikirkan asap dapur.”116 b) Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat pasif dengan awalan di-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Karenanya, dalam konferensi pertama IPIM kemarin, muncul wacana bahwa seyogianya imam masjid diangkat oleh pejabat tinggi negara. Untuk mesjid negara, imam masjid diangkat oleh Presiden; untuk masjid raya (tingkat provinsi), imam masjid diangkat oleh Gubernur; untuk masjid agung (tingkat kabupaten/kota), imam masjid 114
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 116 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 115
92 diangkat oleh Bupati/Walikota; untuk masjid jami‟ (tingkat kecamatan), imam masjid diangkat oleh Camat; dan untuk masjid (tingkat desa), imam masjid diangkat oleh Kepala Desa.”117 Juga menggunakan imbuhan meng- -i, dalam kalimat berikut: “Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah.”118 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga menjadi khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain.”119 Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal di dalamnya, yaitu menjelaskan bahwa imam masjid memiliki peran yang dominan dalam berdakwah karena ia tidak hanya mengimami salat berjamaah tetapi juga sering berinteraksi dengan masyarakat. Kata ganti dalam tulisan ini adalah: “Apabila imam memiliki kapasitas ilmiah yang memadai, maka diharapkan ia dapat mencerahkan umat.”120 Kata „ia‟ dalam kalimat ini digunakan untuk menjelaskan imam yang memiliki kapasitas ilmiah yang memadai. c) Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Dalam konteks inilah beberapa negara, seperti Saudi Arabia misalnya, imam masjid menjadi sebuah icon pemimpin umat, sebut 117
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118-119. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 119 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 120 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 118
93 saja misalnya imam-imam Masjid al-Haram di Makkah dan imam Masjid Nabawi di Madinah.”121 “sehingga dengan demikian imam memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah munculnya faham-faham radikalisme, apatisme, liberalisme, dan faham-faham sesat lainnya.”122 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata icon untuk menjelaskan seorang figure dan tokoh. Kemudian menggunakan kata radikalisme untuk menjelaskan sebuah paham ekstrem atau keras. Juga menggunakan kata apatisme untuk menjelaskan paham yang acuh tak peduli terhadap sesuatu. Lalu menggunakan kata liberalisme untuk menjelaskan paham yang selalu ingin bebas dan mendambakan kebebasan mutlak. d) Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora berupa idiom disampaikan seperti kalimat di bawah ini: “Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga sibuk memikirkan asap dapur.”123 Juga menggunakan bentuk grafis dalam kalimat berikut: “Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut alMajlis al-„Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM (International Council of Imam Masjid).”124 B. Analisis Wacana Berdasarkan Kognisi Sosial Penelitian mengenai kognisi sosial ini menyangkut kesadaran mental penulis dalam membentuk teks tersebut. Pendekatan ini berdasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh si 121
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 123 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 124 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 122
94 pemakai bahasa, dengan kata lain, teks merupakan representasi dari si penulis.125 Oleh karena itu dibutuhkan penelitian terhadap representasi kognisi dan strategi beliau dalam memproduksi teksnya. Buku Setan Berkalung Surban ini, merupakan salah satu karya yang mencerminkan kepribadian beliau sebagai Ulama yang kritis dalam menegakkan kebenaran sesuai ajaran agama Islam yang diperintahkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.126 Kehidupan beliau sebagai Ulama Besar di dunia, membuat beliau memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah sosial umat Islam se-Dunia, terkhusus di Indonesia sebagai tanah kelahiran beliau. Tugas mulianya ini pun, membuat beliau sangat produktif dalam membuat karya-karya bertema Islam, yang isinya kebanyakan membahas tentang fenomena sosial yang muncul di Indonesia. Setiap Tulisan beliau dalam buku ini, didasarkan pada analisis yang mendalam tentang pengetahuan agama Islam yang murni sesuai dengan AlQur‟an dan Hadis, yang juga tetap menggunakan pendekatan disiplin ilmu pengetahuan lainnya.127 Tulisan dalam buku ini seolah wujud dari adonan pengetahuan yang beliau racik, yang terdiri dari bahan ilmu pengetahuan agama Islam, ilmu pengetahuan umum, dan fenomena sosial. Sehingga memberi kesan bahwa beliau mampu merangkum berbagai disiplin ilmu dan berbagai fenomana lintas sektor kehidupan. Adapun representasi kognisi dari setiap tulisan ialah sebagai berikut, judul pertama “Setan Berkalung Surban” memuat banyak sekali nilai-nilai 125
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 74. Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015. 127 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah DarusSunnah, Jakarta, 11 Mei 2015. 126
95 Islam di dalamnya yang beliau hubungkan dengan fenomena sosial yang ada. Kunci dari tulisan ini adalah sebuah kisah dari sebuah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang menceritakan tentang kisah Abu Hurairah dengan Rasulullah saw. yang kemudian dihubungkan dengan fenomena yang ada di muslim Indonesia tentang para dai yang hanya bermodal surban untuk berdakwah yang mengedepankan hawa nafsu dan rayuan setan belaka. Dengan demikian, terlihatlah keabsahan representasi kognisi beliau dalam tulisan ini, karena dilandaskan dengan dalil yang kuat. Judul kedua “Surban dan Jubah Haram” memuat nilai-nilai Islam juga memuat nilai-nilai sosial dan budaya di dalamnya yang beliau hubungkan dengan fenomena sosial yang ada. Kunci dari tulisan ini adalah sebuah hadis riwayat Imam Ibnu Majah yang menjelaskan keharaman memakai baju syuhrah. Juga menjelaskan tentang bagaimana seharusnya seorang warga sebuah Negara bersikap dan berpakaian sesuai dengan budaya masing-masing, bukan justru membanggakan budaya lain apalagi sampai mengagungkan budaya itu. Kemudian dihubungkan tentang fenomena warga dan dai di Indonesia yang terkesan mengagungkan pakaian jubah dan menganggapnya sebagai syariat Islam, yang padahal pakaian itu adalah budaya dari pakaian Arab dan bukan merupakan syariat Islam. Dengan demikian terlihatlah kekayaan representasi kognisi beliau dalam tulisan ini. Judul ketiga “Dai Berbulu Musang” memuat banyak nilai Islam di dalamnya yang membahas tentang hukum memasang tarif dalam berdakwah menurut kajian fikih. Kunci dalam tulisan ini adalah ketiga kajian fikih tentang hukum memasang tarif dalam dakwah. Penjelasan beliau tentang hukum
96 memasang tarif dalam tulisan ini sangat menggambarkan kekuatan representasi kognisi beliau yang dalam akan kajian fikih yang berdasarkan pada Al-Quran dan Hadis. Judul keempat “Dai-dai Sesat” memuat banyak nilai Islam yang membahas tentang hukum dai yang meminta tarif. Tulisan dalam judul ini sangat menunjukkan representasi kognisi beliau yang Istiqamah dalam menjelaskan hukum dai yang memasang tarif, dengan hukum haram. Kunci ini adalah Qs. Yasin ayat 21. Secara implisit atau mafhum mukhalafah dari ayat ini melarang umat Islam untuk mengikuti dai yang memasang tarif kalau tidak disebut haram. Judul kelima “Kode Etik Dakwah” memuat banyak nilai Islam di dalamnya yang membahas tentang tujuh kode etik bagi seorang dai yang disahkan oleh Musyawarah Nasional (Munas) Organisasi Ittihadul Muballighin pada tahun 1996. Kunci dalam tulisan ini adalah ketujuh kode etik dakwah tersebut, di mana semuanya berdasarkan pada Al-Qur‟an dan Hadis. Sehingga terlihatlah kredibilitas kognisi pemikiran beliau dalam menyampaikan tulisan ini, karena makna teks dalam tulisan ini dibuat dari perkumpulan resmi para dai se-Nasional yang berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Hadis. Judul keenam “Dakwah dan Kearifan Lokal” memuat banyak nilai Islam dan nilai budaya di dalamnya. Kunci tulisan ini adalah kata „budaya‟ yang beliau kaitkan dengan fenomena yang ada di masyarakat juga sesuai dengan ajaran Islam. Di mana beliau menjelaskan dalam tulisan ini, bahwa kiat sukses dalam berdakwah itu harus menggunakan pendekatan budaya yang dimiliki
97 masyarakat sekitar di mana tempat para dai berdakwah. Baik dalam kampung maupun dalam kota, baik kaya maupun miskin, dari Sabang sampai Merauke. Para dai harus menghormati kearifan lokal masyarakat. Bukan memaksakan budaya lain kepada mereka, bahkan sampai melarang budaya mereka, tentu saja kata budaya ini harus digaris bawahi yaitu hanya budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, seperti gaya berpakaian, arsitektur bangunan, cara bersosialisasi, dan sebagainya yang masih bisa diterima oleh ajaran Islam. Dengan demikian terlihatlah garis merah dari representasi kognisi beliau dalam tulisan ini. Judul ketujuh “Keteladanan Buya Hamka” memuat pemikiran dan perasaan beliau tentang sosok Buya Hamka yang sangat beliau hormati. Tulisan ini menceritakan kisah Buya Hamka yang memiliki pemikiran sangat moderat dalam membela agama Allah swt. dalam dakwahnya dan tidak mementingkan keindahan dunia dalam hidupnya. Jika dibaca, maka tulisan ini akan menyentuh hati pembacanya karena memberikan nuansa yang mengharukan dan memotivasi untuk melakukan dakwah seperti sosok Hamka. Dari sini terlihat jelas representasi kognisi beliau berdasarkan pada pemikiran dan perasaan beliau yang setuju dengan metode dakwah Hamka. Judul kedelapan “Memberdayakan Imam Masjid” memuat nilai-nilai Islam dan juga nilai ekonomi di dalamnya yang dihubungkan dengan fenomena dai bertarif dan tentang peran penting imam masjid. Ide tulisan ini berasal dari dua perhelatan besar yang berkaitan dengan imam masjid, pertama perhelatan se-Indonesia yang diadakan 27-29 Juni 2003 di Batam Riau, kedua perhelatan se-Dunia yang diadakan 2-6 Desember 2003 di Pekanbaru Riau. Tulisan ini
98 menjelaskan bahwa solusi berikutnya dalam meminimalisir dai bertarif adalah dengan memberdayakan peran imam masjid. Dari tulisan ini terlihat bahwa representasi kognisi beliau berdasarkan pada dua perhelatan yang besar tentang imam masjid, sehingga dapat meyakinkan para pembacanya terhadap apa yang beliau tuangkan dalam tulisan ini. Kognisi pemikiran beliau dalam 8 tulisan ini ialah banyaknya ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadis-hadis Rasulullah saw. yang bernilai shahih dan dapat dijadikan hujjah atau dalil, yang dijadikan sebagai landasan berpikir beliau dalam berdakwah melalui buku ini. Dengan penonjolan berupa ayat Al-Qur‟an dan hadis Rasul saw. dalam buku ini, dapat diketahui bahwa kritik beliau sebagai Ulama di Indonesia adalah sebuah ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat Islam di Indonesia. Dari hal ini juga dapat diketahui bahwa beliau memiliki kredibilitas yang tinggi sebagai komunikator yang menyampaikan pesan dakwah kepada umat Islam di Indonesia melalui bukunya Setan Berkalung Surban. Di mana kredibilitas komunikator adalah sarat utama untuk mewujudkan komunikasi yang efektif, karena komunikasi dikatakan berhasil jika gagasan atau pemikiran komunikator berhasil tersampaikan kepada komunikannya, hal ini didasarkan pada sebuah definisi komunikasi; “Komunikasi merupakan pertukaran sebuah pemikiran atau gagasan.”128 Akan tetapi tidak hanya sampai di sini, beliau memiliki tujuan agar umat Islam Indonesia merubah perilaku yang menyimpang itu menjadi perilaku yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal tersebut didasarkan pada sebuah 128
John B. Hoben, “English Communication at Colgate Re-examined,” Journal of Communication 4, (1954): h. 77.
99 definisi komunikasi yang menjelaskan bahwa pengiriman dan penerimaan pesan dilakukan dengan maksud tertentu; “Situasi-situasi tersebut merupakan sebuah sumber yang mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi perilaku manusia.”129 Hal ini diperkuat oleh keterangan beliau bahwa sosok yang mengisnpirasi beliau dalam menulis kritikan ini adalah Rasulullah saw. dan alhmarhum Ayah beliau. Rasulullah saw. bersabda:
َ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ُْ ْ ُ ْ َ ْ م ًرا فَوْيُ َغ ي ُِ ري ُه ِبيَ ِدهِ ف ِإن ل ْى ي َ ْسخَ ِط ْع ف ِت ِو َساٍِ ُِ ف ِإن ل ْى ي َ ْسخَ ِط ْع ف ِتقو ِت ََي ٌْ َرأى ِيَكى ي َُ ْ َ َ ََ َ ف وذلِك أضع )ان (رواه مسوى ِ ًاإلي ِ Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”130 Menurut beliau, merubah kemungkaran dengan tangan tidak selalu bermakna kekerasan apalagi peperangan. Pengertian kekerasan dan peperangan hanya ada zaman Rasul saw., karena situasi zaman dahulu yang memungkinkan untuk itu. Sedangkan zaman sekarang sudah berbeda dari zaman dahulu. Agama Islam itu rahmatan lil‟aalamiin (rahmat bagi seluruh alam). Meskipun zaman sudah berbeda, tapi hukum Islam akan selalu bisa ditegakkan
dan
kemungkaran,
129
dijalankan.
maka
pada
Salah zaman
satunya sekarang
tentang pilihan
menghilangkan terbaik
dengan
Gerald R. Miller, “On Defining Communication: Another Stab,” Journal of Communication 16, (1966): h. 92. 130 Muslim, Shahih Muslim, (Mesir: Dar al-Hadis, 2010), juz 1, h. 50.
100 menggunakan tangan adalah dengan cara menulis, bukan kekerasan.131 Begitulah representasi kognisi beliau dalam menyusun buku ini. Selanjutnya beliau selalu memberikan pengantar berupa cerita ataupun kisah nyata yang mayoritas berasal dari pertemuan-pertemuan yang beliau ikuti bersama tokoh-tokoh dunia. Dengan memberikan ilustrasi dan pengantar seperti ini, para pembaca pun akan mudah memahami apa yang hendak beliau sampaikan, dan para pembaca akan mudah menerima segala pesan beliau karena memiliki sumber yang dapat dipercaya. Terlebih pada bagian akhir dari setiap judul beliau memberikan ajakan dan menyampaikan doa dan harapan, dengan bahasa yang santun, agar dapat kembali pada ajaran Islam yang murni yang diridhai oleh Allah swt. agar selamat dunia dan akhirat. Begitulah strategi penyampaian pesan dakwah beliau dalam buku ini. C. Analisis Wacana Berdasarkan Konteks Sosial Titik perhatian dari konteks sosial adalah mengubungkan teks lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat atas suatu wacana.132 Bagian ini adalah langkah terakhir yang terdapat dalam metode analisis wacana Van Dijk. Buku ini berisi kritikan beliau terhadap fenomena sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satu pembahasan terbesarnya adalah tentang dai komersial.133 Dai sekarang ini hanya mengejar
131
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 19 Mei 2015. 132 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 260-270. 133 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah DarusSunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.
101 harta dalam dakwahnya. Bahkan dalam isinya, sangat sedikit sekali mengandung pesan dakwah di dalamnya.134 Adapun konteks sosial dari setiap bab ialah sebagai berikut, judul pertama “Setan Berkalung Surban” yang menjadi kata kunci adalah „surban‟ dan „setan‟, yang digunakan secara eksplisit untuk mengkritik para dai yang hanya bermodal surban untuk menyampaikan dakwahnya tetapi tidak berlandaskan dengan niat karena Allah swt. malah mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan dalam melaksanakan dakwahnya itu. Judul kedua “Surban dan Jubah Haram,” yang menjadi kata kuncinya adalah „syuhrah‟, „surban‟, „jubah‟ dan „haram‟, yang digunakan untuk menjelaskan fenomena yang semakin marak tentang penampilan dai yang berlebih-lebihan, yang bertujuan untuk dikenal masyarakat sebagai dai atau kiai. Seolah-olah mereka ingin menyatakan pakaian itu menjadi ciri khas bagi para dai dan bahkan menjadi syariat. Dari judul ketiga “Dai Berbulu Musang” yang menjadi kata kunci adalah „walakedu‟, yang digunakan untuk menjelaskan tentang semakin maraknya fenomena dai bertarif di masyarakat. Bahkan semakin hari fenomena dai bertarif semakin menjadi karena dilihat dengan tarifnya yang kian menjulang ke langit dan membuat masyarakat panik. Judul keempat “Dai-dai Sesat,” yang menjadi kata kuncinya adalah „dai‟ dan „sesat‟, yang digunakan untuk menjelaskan bahwa hukum dai bertarif adalah haram dan begitu pula hukum mengikuti dai bertarif. Tulisan ini sebagai pembuktian keistiqamahan beliau dalam menghukumi dai bertarif secara tegas.
134
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.
102 Kemudian tidak hanya kepada dainya saja, akan tetapi juga kepada masyarakat yang mengikuti dai tersebut. Judul kelima “Kode Etik Dakwah,” yang menjadi kata kuncinya adalah „kode etik dakwah‟ sendiri, yang digunakan untuk menjelaskan tujuh kode etik dakwah bagi para dai sedunia, sebagai salah satu solusi untuk mengurangi fenomena dai bertarif. Dengan demikian mereka para dai yang biasa memasang tarif, diharapkan akan sadar dan merubah niat dakwahnya ikhlas karena Allah swt., bukan karena mencari harta, apalagi sampai menyusahkan warga. Judul keenam “Dakwah dan Kearifan Lokal,” yang menjadi kata kuncinya adalah „dakwah‟ dan „budaya‟, yang digunakan untuk menjelaskan keadaan para dai sekarang yang cenderung memaksakan budaya Arab kepada masyarakat. Juga menjelaskan keharusan berdakwah bagi para dai untuk menggunakan pendekatan budaya yang ada di masyarakat. Bukan malah memaksakan budaya lain kepada mereka, apalagi sampai melarang dan mengharamkan budaya mereka, karena dengan demikian masyarakat akan mudah untuk menerima ajaran Islam. Begitulah yang dicontohkan oleh Ulama terdahulu
dalam
misinya
menyebarkan
Islam
di
Indonesia,
mereka
menggunakan pendekatan budaya kepada penduduk Indonesia dan tidak memaksakan budaya Arab atau Timur Tengah. Judul ketujuh “Keteladanan Buya Hamka,” yang menjadi kata kuncinya adalah „keteladan Buya Hamka‟, „dakwah yang benar‟, yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana cara Buya Hamka berdakwah yang selalu membela kebenaran yang sebenarnya dan tidak mementingkan kepentingan dunia dan kepentingan pribadinya. Bahkan sampai setelah Buya Hamka meninggal dunia,
103 Negara
Malaysia
masih
mencari
murid
Hamka
untuk
menjelaskan
pemikirannya yang moderat, hal ini menjadi penguat kiprah dakwah Hamka yang sangat menakjubkan. Judul kedelapan “Memberdayakan Imam Masjid,” yang menjadi kata kuncinya adalah „pemberdayaan‟, dan „imam masjid‟, yang digunakan untuk menjelaskan keharusan untuk memberdayakan peran imam masjid yang sangat penting, karena situasi dan kondisinya yang sangat strategis untuk menyebarkan pesan dakwah kepada masyarakat. Hal ini sekaligus menjadi opsi kedua untuk meminimalisir dai bertarif, karena dengan kehadiran imam masjid, masyarakat tidak perlu lagi mencari dai-dai lain yang bertarif mahal yang menyusahkan mereka, juga karena imam masjid diberi jaminan kehidupan yang layak oleh pemerintah. Dengan demikian, imam masjid akan merasa cukup dengan kehidupannya tanpa harus memberi tarif lagi untuk berdakwah kepada masyarakat karena untuk menutupi kehidupannya.135 Dalam delapan bab ini, beliau membahas tuntas tentang masalah fenomena dai yang mulai memprihatinkan di Indonesia tercinta ini. Terlihatlah tujuan beliau dalam menulis buku ini ialah untuk meluruskan fenomena dai komersial itu, seperti jelas beliau dalam wawancara bersama penulis: “Salah satu bahasan dalam buku ini menjelaskan tentang fenomena dai yang memasang tarif yang muncul di tengah umat Islam Indonesia. Di mana mayoritas dai sekarang hanya mengejar materi dan popularitas dalam dakwah mereka. Sehingga hal ini perlu saya luruskan melalui buku ini, sesuai dengan ajaran Islam yang benar tentunya.”136
135
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 19 Mei 2015. 136 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 19 Mei 2015.
104 Solusi yang beliau sarankan dalam mengatasi dai bertarif atau dai komersial adalah agar masyarakat Indonesia tidak lagi dan berhenti mengundang para dai komersial itu. Dan agar pemerintah memberdayakan peran imam masjid dan memerhatikan kehidupan imam masjid khususnya dalam hal ekonomi, karena imam masjid memiliki posisi yang strategis sebagai pencerah bagi umat Islam.137 Buku Setan Berkalung Surban ini adalah salah satu karya beliau yang membahas tentang fenomena sosial yang sedang berkembang di masyarakat Indonesia. Buku ini dapat dijadikan acuan bagi masyarakat untuk mengetahui fenomena sosial yang sedang aktual muncul di masyarakat Indonesia dan juga untuk menjalankan pesan dakwah yang ada dalam buku ini, tanpa harus mengerahkan kemampuan berpikir yang mendalam, karena bahasa dalam buku ini sangat simpel dan mudah dipahami oleh masyarakat awam.
137
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 19 Mei 2015.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan penelitian dan menganalisis bahasan-bahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis memiliki kesimpulan sebagai berikut: 1. Struktur makro dalam tulisan ini menunjukan konsep dominan di dalamnya, tema dari tulisan yang diteliti dalam buku ini adalah tentang muamalah yaitu membahas dai komersial. di mana Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., dalam 8 judul yang diteliti menjelaskan tiga pesan inti di dalamnya. Pertama menjelaskan keharusan para dai dan para imam masjid untuk menyesuaikan diri mereka antara ucapan dan perilaku mereka di depan dan di belakang masyarakat. Kedua mengkritik dan memperingati mayoritas dai sekarang ini yang berdakwah dan berpakaian hanya untuk mendapatkan kepopuleran dalam hidupnya, sehingga dakwah yang mereka lakukan bukan ikhlas karena Allah swt tetapi mengikuti kehendak setan. Ketiga yaitu menjelaskan keharaman bagi para dai untuk memasang tarif pada setiap aktivitas dakwahnya. Kemudian menjelaskan tentang himbauan kepada pemerintah untuk memberikan perhatian khusus bagi para imam masjid dalam hal ekonomi, agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai imam dan dai di masyarakat sekitar mereka, dengan tenang dan fokus tanpa harus memikirkan asap dapur di rumahnya, juga demi meminimalisir fenomena dai bertarif, karena imam masjid memiliki kedudukan strategis untuk mentransformasikan ajaran islam kepada masyarakat.
105
106 2. Secara superstruktur Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA mengarang buku ini dengan alur yang sangat singkat dan padat untuk disampaikan, dalam satu judul hanya terdiri dari 3-5 halaman saja, di mana sudah mencakup pendahuluan, inti, penutup dan kesimpulan. 3. Secara struktur mikro Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA menggunakan detail yang sangat baik dari masing-masing judul tersebut. Beliau juga menyampaikan maksud dan praanggapannya dengan jelas dalam setiap judul. Bahasa yang digunakan sederhana dan tidak terlalu berat, beliau tidak banyak menampilkan ragam gaya bahasa yang sulit, dan terkesan akrab dengan pembacanya. Bentuk kalimat yang digunakan merupakan bentuk kalimat aktif dan pasif. Beliau lebih sering menggunakan kata ganti orang ketiga, dan koherensi sebab akibat. Leksikal yang ditampilkan merupakan ragam bentuk bahasa tulisan yang populer. Retoris yang digunakan dalam buku ini berupa penggunaan grafis, metafora, dan ekspresi. Buku ini kaya akan unsur retoris di dalamnya, inilah yang membuat buku ini terkesan akrab dengan pembacanya. 4. Jika dilihat dari kognisi sosial dari 8 judul yang diteliti, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA membentuk makna setiap teks dalam tulisannya berdasarkan penggabungan nilai-nilai Islam yang mendalam dan disiplin ilmu lainnya terhadap fenomena dai komersial yang berkembang di tengah masyarakat yang dituangkan dengan singkat dan padat. Sehingga cara beliau mengisahkan dan menyelipkan pesan moral dan sosial dalam tulisannya yang diperkuat dengan dalil-dalil dari ayat Al-Qur’an dan Hadis, merupakan representasi dari pemikirannya. Sedangkan pendahuluan berupa kisah nyata,
107 juga gaya bahasa beliau yang mudah dipahami dan akrab dengan pembacanya merupakan strategi beliau dalam menulis buku ini. Dalam konteks sosial dapat diketahui bahwa alasan beliau dalam menulis buku ini adalah untuk mengkritik perilaku dai komersial Indonesia yang sedang aktual, juga memberi solusi dari perilaku dai komersial itu dengan cara masyarakat agar tidak mengundang mereka lagi dan pemberdayaan peran imam masjid di Indonesia oleh pemerintah terutama juga memberikan bantuan ekonomi kepada imam masjid, karena mereka memiliki posisi yang strategis sebagai dai dan pencerah bagi umat Islam Indonesia. Setiap pesan dalam tulisan di buku ini disampaikan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis, sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan dalam buku ini merupakan manifestasi dari pemikiran Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. B. Saran-saran Mengingat bahwa tidak ada yang sempurna dari setiap karya manusia, maka buku Setan Berkalung Surban ini pun tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan. Maka dalam bagian ini, penulis mencoba memberikan pandangan mengenai beberapa hal berkenaan dengan saran untuk buku ini dan untuk pihak lainnya. Saran-sarannya ialah sebagai berikut: 1. Kepada Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA terus semangat dalam menyampaikan dakwah Islam di Indonesia dan di seluruh dunia. Jangan pernah berhenti berdakwah. Tetap konsisten untuk selalu menuliskan buku bertema Islam, karena buku memiliki ketahanan yang panjang untuk menyimpan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan kehendak Allah swt. dan Rasul-Nya. Seyogianya tulisan dalam buku ini direvisi kembali, untuk
108 memperbaiki beberapa kesalahan dalam hal pengetikan, adapun tentang isi sudah sangat baik. 2. Kepada masyarkat secara umum, jangan menjauhi bacaan bertema Islam dan lebih menyukai bacaan yang bersifat menghibur apalagi gosip, karena kita tak selamanya hidup di dunia, dan kita sudah harus mempersiapkan bekal untuk diri kita kelak di akhirat. Salah satu caranya adalah dengan kita rajin membaca buku bertema Islam dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan agar tidak mengundang para dai komersial lagi untuk berdakwah, agar fenomena dai seperti itu berkurang jumlahnya, untuk kemudian menghilang selamanya. Semoga tulisan dalam buku ini dapat menjadi bahan pelajaran dan renungan untuk memperbaiki diri menuju jalan yang dikehendaki Allah swt. dan Rasul-Nya, karena dengan dengan begitu, kita akan selamat di dunia dan akhirat. Aamiin. 3. Kepada para dai di Indonesia, mengingat para dai memiliki peran dan tugas yang sangat mulia bagi agama Islam, sudah selayaknya bagi para dai untuk menyempurnakan dakwahnya dan sudah seharusnya para dai membuang jauh-jauh budaya meminta imbalan pada masyarakat yang mengundang untuk berdakwah, karena dakwah sendiri berarti menolong agama Allah, dan barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolongnya. Juga agar para dai di Indonesia dapat menyampaikan dakwahnya lewat tulisan dengan kreatifitas yang tinggi, agar masyarakat Indonesia mulai tertarik kembali untuk membaca buku-buku bertema Islam. Semoga para dai di Indonesia semakin bersemangat dan semakin ikhlas dalam menjalankan dakwahnya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009. Anshori, M. Isa. Mujahid Dakwah. Bandung: Diponegoro. Cet. Ke-4. 1991. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Cet. Ke-5. 2002. Asti, Badiatul Muchlisin. Berdakwah dengan Menulis Buku. Bandung: Media Qalbu. Cet. Ke-1. 2004. Aziz, Moh Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1999. Bukhari. Shahih al-Bukhari. Mesir: Dar al-Hadis. 2008. Bungin, Burhan. Analisa Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. _____________. Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teori Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. Ke-3. 2002. __________. Kajian Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Cholidah, Ni’ma Diana. Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Universitas
Islam
Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011. Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Ke1. 2002.
109
110
Effendy, Onong Uchana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS Cet. Ke-3. 2013. Faris, Abu Al-Husain Ahmadi ibn. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Dar alFikr, 1979. Ghalwusy, Ahmad. Al-Da’wah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr, 1987. Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif. Jakarta: CV. Pedoman, 1997. Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1956. Hartono. Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub). Jakarta: Tesis S2 Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (SPs UIN Jakarta), 2009. Hoben, John B. “English Communication at Colgate Re-examined.” Journal of Communication 4, (1954): h. 77. Khasanah, Siti Uswatun. Berdakwah dengan jalan debat antara muslim dan non muslim. Purwokerto : STAIN Purwokerto Press, 2007. Lubis, A. Hamid Hasan. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Cet. Ke-1. 1993. Mahfudz,
Ali.
Hidayah
al-Mursyidin,
Terjemahan
Chodijah
Nasution.
Yogyakarta: Tiga A, 1970. Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah. Mesir: Dar ibn Haytsam. 2005. Miller, Gerald R. “On Defining Communication: Another Stab.” Journal of Communication 16, (1966): h. 92.
111
Moleong, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007. Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yohyakarta: Tiara Wacana, 2005. Muriah, Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000. Muslim. Shahih Muslim. Mesir: Dar al-Hadis. 2010. Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Saleh, E. Hasan. Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan Pengembangan Wawasan. Jakarta: ISTN, 2000. Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995. ST, Hamis. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Pustaka Dua. Cet. Ke-1. 2000. Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Bandung: Refika Aditama, 2012. Suhendi, Hendi. Fiqh Mu’ammalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Suminto, H.A. Problematika Da’wah. Jakarta : Tinta Mas. Cet. Ke-1. 1973. Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001.Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Tim Redaksi Majalah Nabawi. Kolom Artikel Utama. Jakarta: IMDAR. edisi 109. 1436 H./2015 M.
112
Verhaar, W. M. Asas-asas Linguistik Umum. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press. Cet. Ke-3, 2001. Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh Salamah. Jakarta, 04 Mei 2015. Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-Sunnah. Jakarta, 11 Mei 2015. Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau. Jakarta, 19 Mei 2015. Yaqub, Ali Mustafa. Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. _________________. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet. Ke-2. 2000. _________________. Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003. _________________. Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab dan Sunnah. Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013. _________________. Setan Berkalung Surban. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014. Yunus, Muhammad. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah. 1990. Zaimar, Okke Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. Telaah Wacana. Jakarta: The Intercultural Intitute, 2009. Zarkasyi, Amal Fathullah. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah. Jakarta: GIP, 1998.
116
DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB 1. Mengapa anda menulis buku ini? Jawaban: “Tulisan ini saya buat untuk mengkritik para dai yang bertarif dalam dakwahnya yang sangat menyusahkan warga Indonesia sekarang ini.” 2. Siapa yang menginspirasi anda dalam menulis buku ini? Jawaban: “Rasulullah saw. pertama dari hadis yang menceritakan tentang kisah Abu Hurairah ra. Bersama Rasul saw. kedua dari hadis yang menjelaskan keharusan menghilangkan kemungkaran dengan tangan, lisan, dan hati. Saya mengambil pilihan pertama, yaitu dengan menggunakan tangan, tetapi tidak dengan pedang melainkan dengan tulisan, karena agama Islam adalah Rahmatan lil‟aalamiin (rahmat bagi seluruh alam).” 3. Apa gagasan inti dari judul Setan Berkalung Surban? Jawaban: “Gagasan intinya adalah mengkritik dai yang hanya bermodal surban, tetapi melakukan dakwah tidak berdasarkan niat ikhlas karena Allah swt. melainkan mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan.” 4. Apa gagasan inti dari judul Surban dan Jubah Haram? Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum pakaian syuhrah yaitu pakaian yang dipakai karena ingin tenar atau dikenal orang lain, dalam hal ini ingin dikenal sebagai seorang dai atau kiai.” 5. Apa gagasan inti dari judul Dai Berbulu Musang? Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif menurut kajian fikih.” 6. Apa gagasan inti dari judul Dai-dai Sesat? Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan haramnya dai memasang bertarif dan mengikuti dai bertarif.” 7. Apa gagasan inti dari judul Kode Etik Dakwah? Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tujuh kode etik dakwah bagi para dai.” 8. Apa gagasan inti dari judul Dakwah dan Kearifan Lokal? Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus menggunakan pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah memaksakan budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan.” 9. Apa gagasan inti dari judul Keteladanan Buya Hamka? Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan kiprah keislaman Buya Hamka yang sampai akhir hayatnya masih tetap memegang ajaran Rasulullah saw. tanpa memikirkan kepentingan duniawi.” 10. Apa gagasan inti dari judul Memberdayakan Imam Masjid? Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan keharusan meningkatkan peran dan jaminan kehidupan kepada Imam Masjid sebagai upaya meminimalisir dai bertarif di Indonesia.” 11. Judul mana yang menjadi inti dari pembahasan “Dai Komersial” dalam buku ini? Jawaban: “Inti dari pembahasan tentang Dai Komersial terdapat dalam judul Dai-dai Sesat. Dalam tulisan ini dijelaskan keharaman dai memasang tariff. Hal ini sesuai dengan ayat suci Al-Qur‟an ayat 21 yang artinya Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan karena mereka
117
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Berarti jika orang berdakwah meminta imbalan mereka tidak mendapat petunjuk melainkan sesat dan menyesatkan. ” 12. Judul mana yang menjadi solusi dari fenomena “Dai Komersial” dalam buku ini? Jawaban: “Solusinya terdapat dalam judul Memberdayakan Imam Masjid, karena dengan demikian tidak ada lagi dai yang akan memasang tarif. Pertama, karena masyarakat sudah merasa cukup dengan keberadaan imam masjid di sekitar mereka. Kedua, para imam masjid tidak usah memikirkan masalah ekonomi lagi dalam dakwahnya, karena sudah ditanggung biaya hidupnya dan keluarganya oleh pemerintah.” 13. Bagaimana perasaan anda tentang “Dai Komersial” yang anda wacanakan dalam buku ini? Jawaban: “Saya terbebas dan tidak mau kenal dengan mereka dai yang memasang tarif dalam dakwahnya.” 14. Bagaimana konteks sosial tentang “Dai Komersial” dalam buku ini? Jawaban: “Salah satu bahasan dalam buku ini menjelaskan tentang fenomena dai yang memasang tarif yang muncul di tengah umat Islam Indonesia. Di mana mayoritas dai sekarang hanya mengejar materi dan popularitas dalam dakwah mereka. Sehingga hal ini perlu saya luruskan melalui buku ini, sesuai dengan ajaran Islam yang benar tentunya.” 15. Apa saran anda untuk para dai komersial di Indonesia sekarang ini? Jawaban: “Segera bertaubat! Karena kehidupan dunia hanya sementara. Jika belum ikhlas dalam berdakwah lebih baik jangan berdakwah dan melakukan pekerjaan lain. Karena dakwah adalah kewajiban bukan pekerjaan untuk mencari uang. Ingatlah jika kalian menolong agama Allah, maka Allah akan menolong kalian dalam segala hal! Tidak hanya terbatas dalam masalah uang. Jadi perbaiki kembali niat kalian dalam berdakwah di masyarakat.” 16. Apa saran anda untuk masyarakat mengenai fenomena “Dai Komersial” di Indonesia? Jawaban: “Jangan panggil mereka! Dengan demikian mereka tidak akan berani lagi memasang tarif. Dan sedikit demi sedikit para dai komersial akan berkurang.”
118
DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA EDITOR BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN, DENDEN TAUPIK HIDAYAT, SS., Lc. 1. Bagaimana sosok Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menurut anda selaku muridnya? Jawaban: “Beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi para muridnya. Sikapnya yang tegas dan disiplin selalu beliau ajarkan setiap pertemuan perkuliahan.” 2. Hal apa yang paling berkesan dari beliau untuk anda? Jawaban: “Beliau selalu mendoakan kami dengan penuh keikhlasan dengan berharap kami menjadi Ulama Besar di dunia bahkan bisa melebihi beliau. Meskipun sulit, namun kami akan berusaha untuk meraih harapan beliau itu.” 3. Bagaimana kesan anda menjadi editor buku ini? Jawaban: “Saya sungguh sangat bangga dan terhormat menjadi editor dalam buku Setan Berkalung Surban ini. Siapa yang tidak akan bahagia memiliki kesempatan menjadi editor buku seorang Ulama besar seperti beliau ini? dalam kesempatan ini juga saya meminta maaf karena masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam pengeditan buku ini.” 4. Bagaimana pendapat anda tentang buku ini? Jawaban: “Buku ini sangat bagus dalam menjelaskan fenomena yang ada di tengah masyarakat Indonesia sekarang ini.” 5. Menurut anda, dari mana sajakah kognisi pemikiran beliau dalam menulis buku ini? Jawaban: “Menurut saya, pengetahuan beliau yang mendalam tentang agama Islam menjadi dasar kognisi pemikiran beliau dalam tulisan ini. Beliau berhasil melihat Islam secara menyeluruh. Maksudnya adalah, beliau bisa melihat fenomena sosial yang ada dan menafsirkannya dengan ajaran-ajaran Islam. Hal ini juga menggambarkan kepribadian beliau yang kritis.” 6. Menurut anda, bagaimana konteks sosial dalam buku ini? Jawaban: “Dai sekarang ini hanya mengejar harta dalam dakwahnya. Bahkan dalam isinya, sangat sedikit sekali mengandung pesan dakwah di dalamnya, kebanyakan hanyalah mengandung unsur hiburan dari pada unsur pengetahuan. Beliau berhasil menjelaskan dengan tuntas semua fenomena itu dan juga memberikan solusi atas fenomena itu.”
119
DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA MUHAMMAD ALI WAFA, Lc., S.S.I., ASISTEN PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA 1. Bagaimana sosok Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menurut anda selaku muridnya? Jawaban: “Beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi kami dalam membela agama Allah.” 2. Hal apa yang paling berkesan dari beliau untuk anda? Jawaban: “Kenangan paling berkesan untuk kami adalah perhatian beliau yang luar biasa kepada kami dan kepada umat Islam di Dunia. Beliau sering membangunkan kami untuk melaksanakan Qiyam al-Lail dengan ikhlas. Dahulu ketika beliau masih muda, beliau membangunkan kami dengan langsung mengetuk pintu kamar kami. Sekarang meski sudah tua, beliau tetap membangunkan kami dengan cara menelpon saudara tertua di antara kami, untuk membangunkan yang lainnya melaksanakan Qiyam al-Lail .” 3. Bagaimana kesan anda menjadi asisten beliau? Jawaban: “Saya sungguh bahagia. Tetapi di sisi lain saya merasa malu karena kapasitas saya yang masih jauh untuk menuju sempurna. Tapi saya akan terus berusaha mencari ilmu sebanyak-banyaknya agar bisa membuat beliau bahagia pula.” 4. Bagaimana pendapat anda tentang buku ini? Jawaban: “Buku ini cukup berani. Beliau memang orang yang sangat berani untuk mengkritik dan menghapuskan kemungkaran di tengan umat Islam. Salah satu moto beliau yang selalu disampaikan kepada murid-muridnya setiap hari adalah Janganlah kalian mati, kecuali kalian menjadi penulis. Kedisiplinan beliau dalam menulis sangat ketat sekali, bahkan di tengah kesibukan beliau yang sangat padat mengurusi umat, beliau selalu bisa produktif menghasilkan hasil tulisan.” 5. Menurut anda, dari mana sajakah kognisi pemikiran beliau dalam menulis buku ini? Jawaban: “Menurut saya, pengetahuan beliau dalam buku ini diambil hasil beliau dalam menafsirkan fenomena sosial dalam pengetahuan Islam dan disiplin ilmu lainnya. Di mana seluruh pengetahuan beliau itu berasal dari nash Al-Quran dan Hadis. Beliau juga adalah sosok Ulama yang tegas dalam memberantas kemungkaran. Hanya saja, cara beliau dalam melakukan itu tidak dengan kekerasan. Inilah yang menjadi ciri khas beliau dalam menegakkan kebenaran di bumi ini, dan seperti itulah ideologi beliau selaku Ulama di dunia ini.” 6. Menurut anda, bagaimana konteks sosial dalam buku ini? Jawaban: “Buku ini berisi kritikan beliau terhadap fenomena sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satu pembahasan terbesarnya adalah tentang dai komersial. Beliau berhasil menjelaskan dengan tuntas semua fenomena itu dan juga memberikan solusi atas fenomena itu.”
120
BAB III MUAMALAH 23 SETAN BERKALUNG SURBAN Dalam Kitab Shahih al-Bukhari, ada kisah menarik:
َ لَ ُ ُ ُ َ َْ َ َ ل َ ْ ََ َ ل غَ أيب ْريرة ريض اهلل غِّ كال/ "وَّك ِِن َرشٔل اهلل صَّل اهلل غيي ِّ وشيً ِ ِ ِبف ِظ زَكةِ َ َ َ ْ ل ََْل َ َ َ َ َ َََ َ َ َ َ َُْ َ ل َ َُ َ َ ُُْ َُ ُ هلل َصَّل ٔل ا ِ رمضان ،فأح ِاِن ٍ آت ،فجػو َيثٔ ٌَِ اىطػامِ ،فأخذحّ ،وكيج :ألرفػِم إَِل رش ِ ل َ َ ُ َ ي َُْ ٌ َ َ َل َ ٌ َ َ َ ٌ َ َ ٌ َ َ لْ ُ َ ْ ُ ََ ْ َ ْ د ُ ج، اهلل َغييْ ِّ َو َشي ًَ ،كال /إِِن ُمخاج ،وغَل ِخيال ،و ِِل خاجث ش ِديدة ،فخييج خِّ ،فأصت ج /ياَ اْلار َخ َث ؟ " ،كَ َال /كُيْ ُ ِب َص لَّل ُ اهلل َغيَيْ ِّ َو َشيل ًَ " /يَا أَةَا ُْ َريْ َر َة ٌَ ،ا َف َػ َو أَش ُ َف َل َال ل ري َك ْ َ انل ُّ ِ ِ ِ ََ ُُْ َ َ لْ ُ َ َُ َ َ َُ َ ََ لُ َْ َ ََ َ َ َ َ َ ً َ ًَ َ َ هلل ،شَك خاجث ش ِديدة ،و ِخياال ،فر ِِحخّ ،فخييج ش ِبييّ ،كال " :أٌا إُِّ كد نذةم ، رشٔل ا ِ ُ َو َشيَ ُػٔد". ل َ ل ُ َ لُ َ َُ ُ َََ ْ ُ َلُ َ َُ ُ ٔد " فَ َر َص ْدحُ ُّ ،فَ َ ٔد ،ى َل ْٔل َر ُ ج َ اء اهلل َغييْ ِّ َو َشي ًَ " ِ :إُّ شيػ هلل صَّل ا ٔل ش فػرفج أُّ شيػ ِ ِ ِ ِ َ َ ل ُ َ ََْل َ ل َ َ َ ْ ََ َ م إ ََل َر ُ خ ْذحُ ُّ َ ،ف ُليْ ُ ََيْثُٔ ٌ ََ ل اىط َػامِ ،فأ هلل صَّل اهلل َغييْ ِّ َو َشي ًَ ،كال /دغ ِِن ، ِ ش ػ ف ر أل / ج ِ ٔل ا ِ ِ ِ َ َ َ ي َُْ ٌ َ َ َ َ ٌ ُ ُ َ ُُْ َ َ لْ ُ َ َُ َ ْ َ ْ ُ ََ َ َُ ُ ل ف ِإِن ُمخاج ،وغ ل هلل َصَّل َل ِخيال ،ال أغٔد ،ف َر ِِحخّ ،فخييج ش ِبييّ ،فأصتدج ،فلال ِِل رشٔل ا ِ َ َ ْ ُ ُ َ َُ َ َ َ َ َ ً اهلل َغيَيّْ َو َشيل ًَ " /يَا أةَا ُْ َريْ َر َة ٌَ ،ا َف َػ َو أش ُ َ ُ اجث َو ِخيَاال ، هلل ،شَك خ ريك ؟ " كيج :يا رشٔل ا ِ ِ ِ َ َ َ َ ل َْ َ َ َ ََ ُُْ َ َ ُ خيليْ ُ ج َش ِبيي ُّ ،كال " /أ ٌَا ِإُ ُّ كد نذةَم َ ،و َشيَ ُػٔد". فر ِِحخّ ،ف َ َ َ ْ ل ََْل َ ََ َ ْ ُُ ل ََ َ َ َ َُْ َ ل َ َُ َ َ ُُْ َُ ُ هلل َصَّل ٔل ا ِ فرصدحّ اثل ِاثلث ،فجاء َيثٔ ٌَِ اىطػامِ ،فأخذحّ ،فليج /ألرفػِم إَِل رش ِ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ ْ ُ ي َ ل َ َ ُ ُ َ َْ َ ل َ َل ات ،إُِم ح ْزخ ًُ ال ت ُػٔد ،ث لً ت ُػٔد ،كال /دغ ِِن أ َغي ٍْم اهلل غيي ِّ َوشيً َ ،وْذا ِ الث مر ٍ آخ ُر ث ِ ََْ ُ َ ُ َ ُْ ُ َ ُ ل َ َ َ ََْ َ َ َ َ َ َْْ ََ ْ ُ َ َ ْ ُ ي اشم ،فاكرأ آيث اىهر ِس اهلل ال ات حِفػم اهلل ةِٓا ،كيج ٌ /ا َْ ؟ كال " /إِذا أويج إَِل فِر ِ ِ َكٍ ٍ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ ٌ ل ٌ َ ْ إ َ ََل إال ُْ َٔ اى َ ُّ ُّ ُ َ ل ْ َ َ َ َ هلل َخا ِفظ َ ،وال حل َربَم شيْ َطان َح اىلئم خَّت َت ِخً اآليث ،ف ِإُم ىَ ي َزال غييم ٌَِ ا ِ ِ ِ َ ل ُ ْ َ َ َ ل ْ ُ َ َُ خَّت حص ِتح ،فخييج ش ِبييّ. َ ََ ْ َ ْ ُ َ َ َ َُ ُ اْلار َخ َث ؟ " ،كُيْ ُ ٔل اهلل َص لَّل ُ اهلل َغيَيْ ِّ َو َشيل ًَ ٌَ " /ا َف َػ َو أش ُ ري َك ْ َ ج: ش ر ِل ال ِ ِ فأصتدج ،فل ِ ِ َ َ َ َُ َ ُ َ َ َ ٔل اهلل َ ،ز َخ ًَ َأُل ُّ ُح َػيي ٍُِن ََك ٍَات َحِْ َف ُ خيليْ ُ ج َشبييَ ُّ ،كَ َال ٌَ " /ا ِ َ ِه ؟ " ،كال : ف ، ا ٓ ة اهلل ِن ػ يا رش ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َْ ََ ْ ُ َ ْ َ س ٌِ َْ أ لول ِ َٓا َخ لَّت َتْخ ًَ اآليَ َث ُ ه ْر ِ ي اهلل ال ِإ ََل ِإال ُْ َٔ اى ْ َ ُّ اشم ،فاكرأ آيث اى َح كال ِِل ِ /إذا أ َويج ِإَل فِر ِ ِ ْ َ ُّ ُ َ َ َْ َ َ ٌ َ ُ َ ْ ُ ْ ٌ َ ْ َ َ َ َْ َ َ هلل َخافِظ َ ،وال حل َربَم شيْ َطان َخ لَّت حص ِت َح َ ،وَكُٔا أخ َر َص اىلئمَ ،وكال ِِل /ىَ ي َزال غييم ٌَِ ا ِ َ ْ َ َ َْ ْ َ َ َ َ ل ُ َ َ ْ َ ل ََ لُ َ ْ َ َ َ َ ُ َ ُ ٌ َ ْ َ َ ْ َُ َتاط ُ ب ري ،فلال صَّل اهلل غيي ِّ َوشي ًَ " /أٌا ِإُّ كد صدكم َوْ َٔ نذوب ،تػي ًُ ٌَ ِ َش ٍء لَع ال ِ َ َ َ َ َ َ َ َ ٌ ُ َ ٌُِْ ُذ ثَ ِ َ َ اك شيْ َطان" ال يَا أةَا ْ َريْ َرة ؟ " ،كال /ال ،كال " /ذ الث َل ٍ (رواه اْلخاري)
Abu Hurairah ra. bercerita, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-lihat makanan dan langsung mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya
121
laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: „Saya orang yang sudah berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan untuk keluarga saya.” Mendengar itu saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya: “Wahai Abu Hurairah apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu saya bebaskan.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Dia telah mengelabui kamu wahai Abu Hurairah dan nanti malam dia akan kembali lagi”. Dari sabda Nabi ini, saya tahu bahwa dia akan kembali lagi. Malam harinya saya mengawasinya secara teliti dan ternyata betul apa yang disampaikan Rasulullah, ia telah berada di ruang harta zakat sambil memilihmilih harta zakat yang terkumpul lalu ia mengambilnya. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: “Saya betul-betul sangat membutuhkan makanan itu sekarang, keluarga saya kini sedang menunggu sambil menahan lapar. Saya berjanji tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar itu, saya merasa kasihan dan akhirnya saya lepaskan kembali. Keesokan harinya Rasulullah bertanya kembali: “Apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam, wahai Abu Hurairah?” Saya menjawab: “Orang kemarin datang kembali dan mengambil harta zakat. Karena keluarganya sudah lama kelaparan, akhirnya saya melepaskannya”. Mendengar itu, Rasulullah bersabda: “Dia telah membohongi kamu dan nanti malam ia akan kembali untuk yang ketiga kalinya”. Malamnya ternyata orang itu kembali lagi dan seperti biasa dia mengambil harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah. Bukankah kamu kemarin berjanji tidak akan kembali lagi tapi mengapa kini kembali juga?” Orang itu menjawab: “Ijinkanlah. Saya akan ajarkan kepada kamu sebuah kalimat yang apabila kamu membacanya Allah akan selalu menjaga kamu serta kamu tidak akan disentuh dan didekati oleh setan hingga pagi hari". Saya merasa tertarik dengan ucapannya lalu saya menanyakan kalimat apa itu. Dia menjawab: “Apabila kamu hendak tidur, jangan lupa membaca ayat Kursi, maka Allah akan menjaga kamu dan kamu tidak akan didekati oleh setan sehingga pagi tiba”. Para Sahabat Nabi saw. memang suka dengan amalanamalan. Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah saya lakukan tadi malam dan saya katakan: “Ya Rasulullah, dia mengajarkan saya kalimat yang sangat bermanfaat dan berfaidah.” Rasulullah lalu bertanya kembali: “Kalimat apa yang diajarkannya?” Saya menjawab, “Dia mengajarkan ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau saya membacanya sebelum tidur, maka Allah akan menjaga saya sampai pagi hari.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”(HR. Al-Bukhari) Dari Hadis ini, ada pelajaran menarik. Pertama, bahwa setan dapat menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban, setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut
122
dan nasihat-nasihatnya. Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan. Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi , dan sebagainya, tetapi, setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya adalah sebuah ibadah. Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisik oleh setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk setan. Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan tersebut adalah benar, sehingga ia megamalkannya bukan karena mengikuti perintah setan tapi mengikuti perintah Nabi saw. Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar hati-hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan berkalung surban.*** 24 SURBAN DAN JUBAH HARAM Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada Hadis bahwa Rasulullah saw. mengatakan:
ُ ادل ْجيَا أَىْبَ َص َ َاهلل ثَ ْٔ َب ٌَ َذىلث يَ ْٔ َم اىْلي َ َٓ ْ ُث لً أَل،اٌث ُّ ٌَ َْ ىَب َس ثَ ْٔ َب ُش ْٓ َرة ِف ً َُ ّب في ُ . ارا ّ ِ ِ ٍ ِ ِ ٍِ ِ )ّ(رواه اةَ ٌاج
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.” (HR. Ibnu Majah) Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk Negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah (popularitas) karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang-orang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya penduduk suatu Negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya. Berdasarkan Hadis ini, para ulama sepakat bahwa pakaian syuhrah adalah haram dikenakan. Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai surban. Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para ulama. Karenanya, sah-sah saja, ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi (adat) dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka, surban (penutup
123
kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai surban. Dalam Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan al-Tirmidzi, Nabi saw. berkata:
ْ َ ْ ْ ُْ َ ََْ َََْ َ ُ َْ َ َْ ََ . ْي اى َػ ٍَائِ ًُ لَع اىلالن ِ ِس ْش ِك ِ ٍفرق ٌا ةيِِا وبْي ال )(رواه أةٔ داود واىرتٌذي
”Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin adalah memakai kopiah lebih dahulu.” (HR. Imam Abu Dawud dan al-Tirmidzi) Para ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti Besar Syekh Bin Baz rahimahullah, Mufti Besar masa kini, Syekh Abdul Aziz Alu al-Syaikh, Syekh Shaleh bin Muhammad al-„Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa memakai surban bukan merupakan ibadah. Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu harena tidak ada satu Hadis pun yang sahih yang menerangkan keutamaan memakai surban. Semua Hadis tentang keutamaan memakai surban adalah Hadis-Hadis palsu. Menurut para ulama itu, sunah Nabi saw. dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila kita menjadi tamu di sebuah Negeri, maka kita boleh memakai pakaian Negeri kita sendiri, seperti orang Indonesia yang sedang beribadah haji di Makkah. Melihat makna Hadis di atas, tampaknya bukan hanya pakaian syuhrah saja yang dilarang oleh Nabi saw., tetapi juga penampilan syuhrah. Termasuk berambut panjang bagi laki-laki dan memakai belangkon. Apabila masyarakat di mana kita tinggal tidak memelihara rambut panjang dan tidak memakai belangkon, maka berambut panjang dan memakai belangkon juga dilarang oleh Rasulullah saw. Di antara kita terkadang karena ketidaktahuannya menganggap pakaian yang dipakai adalah sebuah ibadah, sunah, dan mengikuti Nabi saw. padahal pakaian seperti itu justru dilarang oleh Rasulullah saw.*** 25 DAI BERBULU MUSANG Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah memberikan pahala kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit). Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin itu mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu Bapak Dr. H. Tarmizi Taher.
124
Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah, karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif dalam berdakwah. Kami sungguh sangat kenyang menerima pengaduan masyarakat tentang kekecewaan mereka terhadap oknum-oknum dai yang memasang tarif dalam berdakwah. Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang dai karena setelah tawar-menawar seperti layaknya berdagang sapi mereka tidak mampu membayar tarif yang diminta oleh dai yang bersangkutan. Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang sebesar itu kepada dai bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga pendapat yang berkembang: pertama, pendapat yang mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnya maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari al-Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua yang membolehkan berdakwah dengan memungut imbalan. Pendapat ini berlandaskan sebuah Hadis riwayat Imam Bukhari di mana Rasulullah saw. mengatakan:
ْ َ َْ َ ْ ُْ َ َ َ ل َ َ ل ُ َج ًرا نخ . هلل ا ِإن أخق ٌا أخذتً غيي ِّ أ اب ِ ِ )(رواه اْلخاري
“Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah al-Qur‟an.” (HR. Al-Bukhari) Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal) Hadis ini untuk membolehkan memungut imbalan dalam berdakwah sangat lemah, karena berdasarkan Sabab Wurud Hadis ini, Hadis ini tidak berkaitan dengan dakwah melainkan berkaitan dengan proses pengobatan orang yang sakit dengan cara ruqyah (membacakan Surah al-Fatihah). Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang dai akan menerima upah dalam dakwahnya, maka hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan. Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat dan puasa, kendati ia tidak menjadi rukun Islam. Surah al-Baqarah ayat 159 mengancam orang-orang yang tidak mau berdakwah, bahwa mereka akan dilaknat oleh Allah swt. dan makhluk-makhluk-Nya yang melaknat.
ْ َ ْ َ َلل ُ ل َ ُْ َ َل ل َ َ ْ ُ ُ َ َ ََْ َْ َ َْ ي َيِداس ِف اىْهخ داب ل داه ِ ي ة دا ٌ دد ػ ب َ ٌ ى د ٓ ال و ات ِاَّليَ يكخٍٔن ٌا أُزنلا ٌَِ اْلي ِ ِ ِ إِن ِ ِ ِ ِ ِ ِ ل ْ َ َ ُ َ ُ ًُ ُٓ ُِم يَيْ َػ . اهلل َو َيي َػُِ ُٓ ًُ الال ِغُِٔن ِأوَل )959 /(اْللرة
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati” (QS. Al-Baqarah: 129)
125
Maka, orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan sama artinya dia tidak mau berdakwah. Fenomena memungut imbalan ini belakangan sungguh sangat memprihatinkan karena banyak dai yang dalam dakwahnya memakai cara berdagang sapi dengan tawar-menawar, per jam, per titik, dan sebagainya. Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah ini adalah seratus juta rupiah satu kali ceramah (satu titik) dan yang paling murah adalah sepuluh juta rupiah. Maka wajar saja apabila masyarakat mengeluh dan protes terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat tapi kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang itu. Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang membuat masalah umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat. Dai-dai yang berkeinginan cepat kaya lebih baik berdagang sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang sapi mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun banyak, dan istri pun berderet-deret. Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia karena ia masih punya kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah dai ketika aibnya dibuka oleh Allah swt. di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk bertaubat.*** 26 DAI-DAI SESAT Dalam Surat Yasin, ada kisah menarik yang berkaitan dengan masalah dakwah. Dalam ayat 13 dan seterusnya, Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menceritakan sebuah kisah kepada kaum musyrikin Makkah yang mendustakan Nabi saw. Kisah itu adalah perilaku orang-orang dalam menyikapi para dai (utusan Allah). Disebutkan bahwa sebuah Negeri yang menurut beberapa sumber disebut Negeri Anthakiyah didatangi oleh tiga orang utusan Allah yang masing-masing bernama Shadiq, Shaduq, dan Syallom. Dalam riwayat lain disebutkan para utusan itu bernama Sam‟un, Yohana, dan Bolus (Paulus). Mereka memperkenalkan kepada warga Negeri Anthakiyah bahwa mereka para dai yang diutus oleh Nabi Isa al-Masih as. untuk berdakwah kepada warga Anthakiyah agar mereka hanya menyembah Allah swt. dan tidak menyekutukan-Nya. Warga Anthakiyah saat itu dipimpin oleh raja yang bernama Antikhos yang menyembah patung. Warga Anthakiyah ternyata tidak merespon dakwah para dai itu. Mereka menolak para dai itu bahkan mengatakan bahwa kamu semua adalah orang-orang seperti kami, mana mungkin kamu mendapat wahyu dari Allah? Sekiranya kamu adalah utusan-utusan Allah, niscaya kamu bukan manusia tapi malaikat. Mereka bahkan mengatakan bahwa keberadaan para dai itu telah mencelakakan kehidupan mereka. Mereka mengancam apabila para dai itu tidak menghentikan dakwahnya, maka mereka akan melempari batu dan menyiksanya. Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima ajakan dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat yang jauh yang bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong para dai itu dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan warga Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati kaumnya agar mengikuti ajakan (dakwah) para dai itu. Kemudian Habib mengatakan:
126
َ ْ ُ ً ْ َ ُ ُ ل . اح ِت ُػٔا ٌَ َْ ال ي َ ْصئَيك ًْ أجرا َوْ ًْ ُمٓخَ ُدون )19 /(يس
“Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah” (QS. Yasin: 21) Kisah Habib al-Najjar ini kemudian menjadi firman Allah karena disebutkan di dalam Al-Quran. Ayat 21 Surah Yasin ini sangat tepat untuk dijadikan petunjuk bagi kita dalam menyikapi perilaku sejumlah dai yang dalam dakwahnya menyimpang dari tuntunan Islam. Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks AlQur‟an seperti ini memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq (pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian tersurat. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil) dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang sesat. Apabila mengikuti dai yang dalam berdakwah meminta imbalan saja diharamkan oleh Allah melalui ayat di atas, apalagi mengikuti dai yang dalam berdakwah memasang tarif. Berdasarkan kaidah hukum Islam, apa yang haram diambil haram juga diberikan, maka haram hukumnya memberikan imbalan kepada dai yang dalam dakwahnya meminta imbalan. Bila demikian, maka pasang tarif dalam berdakwah juga sangat diharamkan. Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan, maka menurut mayoritas ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya dari laranganlaranganNya.*** 27 KODE ETIK DAKWAH Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para mubalig yang dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun, menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Munas itu adalah merumuskan Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena pada waktu itu mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar Duit). Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubalig dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para Nabi, bukan justru mendapat laknat dari Allah swt. dalam berdakwah. Sekurang-kurangya ada tujuh Kode Etik Dakwah, kode pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari al-Qur‟an Surah al-Shaff ayat 2-3:
ُ َُ َْ َ ُ َْ َ َ ْ ً ْ َ َ ُ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ َ ُّ َ ل . هلل أن تلٔلٔا ٌَا ال تف َػئن ا د ِ نُب ٌلخا ِغ. اَّليَ آٌِٔا لًِ تلٔلٔن ٌا ال تفػئن ِ ياأحٓا ِ )3-1 /(الصف
127
“Hai Orang-Orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka disisi Allah swt, karena kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan.”(QS. Al-Shaff: 2-3) Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah saw. di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu kecuali beliau melakukannya. Kode kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antar umat beragama memang sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Dalam masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi. Bahkan Nabi saw. banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi dalam akidah dan ibadah dilarang dalam Islam. Hal itu berdasarkan Firman Allah swt. dalam Surah al-Kafirun ayat 6:
ْ ُ ُ
ْ ُ َ
َ َ . َي ِ ىكً ِديِكً و ِِل ِد
)6 /(الَكفرون
“Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6) Dalam Hadis riwayat Imam Ibn Hisyam juga disebutkan:
ْ َ ْ ْ ُ ْ َ ْ ُُ ْ ْ َُ َ ْ ْ ُْ َ َ ٌ ل َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ُل . ًْ ُٓ ُِْي ِدح ِِ ٌِ ِإن حٓٔد ة ِِن غٔ ٍف أٌث ٌع الٍؤ ٌِ ِِْي لًٓ ِدحًِٓ ولِيٍؤ )(رواه اإلٌام اةَ ْشام
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf adalah satu bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi, agama mereka dan bagi orang-orang Islam, agama mereka.” (HR. Ibnu Hisyam) Kode ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari Surah al-An‟am ayat 108.
ُ َ َ ْ ً َْ ْ َ َ َ ل ُي َ ُ ْ َ َ َ َ َ ُ ُّ ل ُّ ُ َ َ ٔن ٌ َْ ُدون ا ري ِغي ًٍ نذلِم َز ليِا ِىُك أ لٌ ٍث اَّليَ يدغ ِ ِ وال تصتٔا ِ ِ ِ هلل فيصتٔا اهلل غدوا ةِغ َ ُ َ َ َ ُ َْ ُ َ َ َ . خ ٍَي ُٓ ًْ ث لً ِإَل َر يب ِٓ ًْ َم ْر ِج ُػ ُٓ ًْ فيُنتيئُ ُٓ ًْ ةِ ٍَا َكُٔا حػ ٍَئن )908 /(األُػام
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. AlAn‟am: 108) Kode keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi saw. masih berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin antara lain Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang kepada Nabi saw. tokoh-tokoh bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam dari beliau. Namun bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi saw. untuk mengusir Bilal dan kawankawannya itu. Nabi saw. kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi saw. itu, yaitu Surah al-An‟am ayat 52:
128
َ َ ْ َ ُ ُ ََ َْ ُ ل َ َْ ُ َ َلُ ْ َْ َ َ َْ ي َْ ٌِ ًْ ِٓ ِيدون َوج َٓ ُّ ٌَا َغييْم ٌِ َْ ِخ َصاة اَّليَ يدغٔن ربًٓ ةِاىغدا ِة واىػ ِِش ي ِر ِ وال تطر ِد َ ُ َ َ َ َ ْ ََ ْ َ َ َ ْ ْ ْ ْ َْ َُ ُ ْ َ َ َ ل َ ٍاىظال .ْي ٌَِ َش ٍء وٌا ٌَِ ِخصاةِم غيي ًِٓ ٌَِ َش ٍء فخطردًْ فخهٔن ِِ )52 /(األُػام
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orangorang yang zalim)” (QS. Al-An‟am:52) Kode kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil antara lain dari alQur‟an Surah Saba` ayat 47:
ََ ُ ْ َ َ َْ ُ ْ ْ َ ْ َ ُ َ َ ُ ْ ْ َ ْ َ ل ٌ َ ْ َ َ ُ َ ََ ُي . َش ٍء ش ِٓيد هلل ؤْ لَع ُك ِ كو ٌا شأ ُْلكً ٌَِ أج ٍر فٓٔ ىكً ِإن أج ِري ِإال لَع ا )77 /(شتأ
“Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. Saba‟: 47) Demikian pula perilaku para Nabi, termasuk Nabi Muhammad saw. dalam berdakwah, mereka tidak pernah memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawarmenawar, dan lain sebagainya. Kode keenam, tidak berkawan dengan pelaku maksiat. Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya justru Allah swt. melaknat mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan dalam Surah al-Maidah ayat 78-79:
ََ َ َ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َ ُ َ ل َك َف ُروا ٌ َْ ة َ لَع ل اوود َو ِغيَس اةْ َِ َم ْريَ ًَ ذلِم ةِ ٍَا َغ َص ْٔا ان د ص يو ئ ا ْس إ ِن َاَّلي ِ ِ َى ِػ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َََ َ ُ َْ ُ َ َ ُ َْ َ ُ ََ ُ َ . ْلئ َس ٌَا َكُٔا حف َػئن ِ ) َكُٔا ال يتِأْن خَ ٌِه ٍر فػئه87( وَكُٔا حػخدون )79-78 /(املائدة
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Ma‟idah: 78-79) Kode ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode ini diambil dari Surah al-Isra ayat 36:
ً َ َ َْ َُْ َ ْ َ َ َ َ َ ُ ُّ ُ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ ٌ ل ل . َص َواىفؤاد ُك أوَلِم َكن خِ ُّ َم ْصئُٔال َوال تلف ٌَا ىي َس لم ةِ ِّ ِغيً ِإن الصٍع واْل )36 :(اإلسراء
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Isra: 36)
129
Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai Walakedu semakin ramai. Bahkan sering dibarengi dengan apa yang disebut dengan management walakedu.*** 28 DAKWAH DAN KEARIFAN LOKAL Bulan Agusuts 1982, Almarhum Bapak Mr. (Sarjana Hukum) H. Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim Association in Europe (YMAE) yang akrab di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan PPME (Persatuan Pemuda Muslim Eropa) di Kediaman Bapak H. Hambali Ma‟sum di Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa Buya Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki (Ketua Japan Islamic Congress), “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa begitu mudah masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang banyak tanpa ada konflik sedikit pun?” Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang saya pelajari.” Buya Hamka rahimahullah wafat pada tahun 1984. Semoga sebelum itu, beliau sudah menemukan jawaban yang dipelajarinya tadi. Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia, khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia pada abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi). Sebagian berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Kendati begitu, para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak melalui cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara yang sangat damai. Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun dalam masalah sosial budaya, sementara mereka sudah menjadi orang Islam. Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalanpeninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa. Kendati mereka banyak berasal dari Negeri Arab, namun mereka tidak serta merta mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa. Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Mesjid Agung Demak, Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu. Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budauya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan
130
budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan-pesan keislaman kepada masyakat Jawa. Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di Jogjakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan bahwa para wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau menciptakan tembang-tembang (lagu-lagu) seperti tembang Dhandang Gulo dan lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah Mijil, yang mengisahkan tentang kelahiran seorang manusia ke dunia, kemudian Sinom yang menceritakan tentang manusia yang muda, kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang manusia yang sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya, Megatruh (putus nyawa) yang menceritakan tentang kematian manusia, Pucung alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan dan masuk liang lahat, dan lainlain. Itu semua merupakan pesan-pesan moral ajaran Islam yang dikemas dengan budaya lokal. Di bidang sosial, khususnya di Kawasan Pesisir Utara Jawa Tengah, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengonsumsi daging sapi. Di daerah Pekalongan misalnya, saaat ini kita akan melihat apa yang namanya bakso kerbau, bukan bakso sapi. Bahkan sebagai bagian dari masyarakat Pesisir Utara Jawa Tengah, kami mengonsumsi daging sapi setelah kami tinggal di Jawa Timur. Konon, ketika Islam masuk di Kawasan Utara Jawa Tengah, masyarakat yang saat itu masih beragama Hindu sangat keberatan apabila orang Islam membunuh dan mengonsumsi hewan sapi yang mereka sucikan. Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan pendekatan sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi. Inilah bentuk-bentuk kearifan lokal yang dilakukan oleh para dai dalam menjalankan dakwah pada saat itu. Dan hasilnya adalah seperti yang dipertanyakan oleh Dr. Syauqi Futaki di atas. Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium. Di Bali, Kalimantan Utara, dan lain-lain, kami sempat menanyakan ketika warga setempat membangun masjid, “Mengapa ornamen Bali dan Dayak tidak Anda masukkan dalam masjid yang sedang Anda bangun?” Kami mengatakan sekiranya masjid di Bali memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan Utara memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang Dayak akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka merasa memasuki rumah adat mereka sendiri.*** 29 KETELADANAN BUYA HAMKA Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala Institut Wasatiyyah Malaysia (IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang.
131
Dan melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid Buya Hamka yang dimaksud. Kami kemudian ternostalgia dengan kiprah keislaman Buya Hamka yang patut diteladani oleh tokoh dan umat Islam Indonesia. Sekurang-kurangnya, ada dua sikap Buya Hamka yang patut diteladani. Pertama, pada tahun 1982, ketika Buya Hamka masih menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam Indonesia tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka didesak untuk mencabut fatwa itu atau mengundurkan diri. Buya Hamka akhirnya justru memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya Sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Sikap dan perilaku Buya Hamka seperti ini barangakali sulit ditemukan di Negeri kita ini. Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya mati-matian. Seandainya ada tokoh yang mundur dari jabatannya, itu pun karena dia berambisi untuk mendapatkan jabatan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Buya Hamka bukanlah tipologi seorang yang disebut ulama “ulama” alias “usia lanjut makin ambisi”, namun beliau lebih berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan al-Qur‟an dan Hadis. Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis. Kedua, pada akhir tahun 1970-an, Buya Hamka juga melakukan sebuah kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan kelompoknya. Selama itu, dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal, ada kelompok yang bersikukuh menggunakan metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka juga mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui petunjuk Nabi saw. bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal haruslah menggunakan rukyat (melihat bulan), Buya Hamka kemudian mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan di mana beliau berkata, “Saya kembali ke rukyat.” Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang mencemoohkan, melecehkan, dan mengolok-olokkan Buya Hamka karena sikap dan perilakunya itu. Namun Buya Hamka tetap memegang prinsip rukyat itu sampai beliau wafat pada tahun 1984. Buya Hamka tidak merasa bahwa dengan sikapnya untuk kembali ke rukyat itu gengsinya akan jatuh, justru dengan sikap itulah Buya Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya. Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila memiliki pendapat, mereka pertahankan matian-matian pendapat itu kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw. Ustaz-ustaz bawahan lebih mempertahankan gengsinya karena arogansi pribadi atau kelompok daripada kembali mengikuti petunjuk Nabi saw. Kami sungguh merasa terharu, ketika Buya Hamka telah meninggalkan kita 30 tahun yang yang lalu, Negeri Jiran Malaysia mencari murid Buya Hamka yang dapat memaparkan pemikiran moderat Buya Hamka dalam Islam. Kami teringat dengan sebuah pepatah yang menyatakan, “Seorang Nabi tidak dihormati di Negerinya sendiri.” Betapapun, tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak untuk meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka, kendati kita tidak dapat melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di Negara lain juga akan meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka.
132
Semoga Allah swt. menerima amal ibadah Buya Hamka, mengampuni dosa-dosanya, dan menjadikan tokoh dan umat Islam Indonesia meneladani sikap dan perilakunya.*** 30 MEMBERDAYAKAN IMAM MASJID Sekurang-kurangnya, ada dua perhelatan yang berkaitan dengan imam masjid yang diselenggarakan pada tahun 2013. Pertama, silaturahmi dan konferensi imam masjid se-Indonesia yang diselenggarakan pada 27-29 Juni 2013 di Batam, Kepulauan Riau. Acara yang disponsori oleh Gubernur Kepulauan Riau dan dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia ini, melahirkan sebuah organisasi nasional imam masjid yang bernama IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid). Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 250 orang mewakili imam-imam masjid seluruh Indonesia. Perhelatan imam masjid yang kedua adalah konferensi imam masjid se-Dunia yang diselenggarakan pada 2-6 Desember 2013 di Pekanbaru, Riau, yang disponsori oleh Gubernur Provinsi Riau dan dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut al-Majlis al-„Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM (International Council of Imam Masjid). Apabila IPIM berkantor pusat di Jakarta, maka ICIM berkantor pusat di Pekanbaru, Provinsi Riau. Deklarasi pembentukan ICIM yang tertuang dalam Piagam Pekanbaru ditandantangani oleh wakil-wakil dari 12 Negara peserta, yaitu Malaysia, Kuwait, Palestina, Perancis, Irak, Sinegal, Singapura, Afrika Selatan, Tunisia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Indonesia. Sebagai ketua ICIM terpilih wakil dari Kuwait, sementara Indonesia diamanati menjadi Sekretaris Jenderal. Beberapa Negara yang siap hadir namun berhalangan adalah Mesir, Rusia, Jepang, dan Australia. Ada kesepakatan dari para peserta maupun para narasumber, baik dalam konferensi IPIM maupun konferensi ICIM, semuanya bersepakat bahwa imam masjid memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis karena ia selalu berhadapan langsung dengan para jamaah minimal lima kali dalam satu sehari. Peran dan fungsi ini dapat dimanfaatkan untuk mentrasformasi ajaran Islam yang merupakan rahmat bagi semua penghuni alam kepada para jamaah masjid. Di banyak Negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya mengimami salat berjamah tetapi juga menjadi khatib, baik untuk Salat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, konferensi, baik IPIM maupun ICIM, menyepakati untuk meningkatkan kualitas sumber daya imam masjid sehingga imam masjid tidak menjadi sebatas seorang tukang yang menjalankan tugas menjadi imam, tetapi juga menjadi pembina umat sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Maka imam masjid haruslah seorang yang memiliki kreatifitas dan inovatif dalam membina umat. Imam masjid juga bukan sebatas memimpin salat berjamaah, tetapi juga memimpin masyarakat. Dalam konteks inilah beberapa Negara, seperti Saudi Arabia misalnya, imam masjid menjadi sebuah icon pemimpin umat, sebut saja misalnya imam-imam Masjid al-Haram di Makkah dan imam Masjid Nabawi di Madinah. Karenanya, imam masjid tidak hanya seorang yang hafal al-Qur‟an, memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an dan vokal yang memadai, namun juga memiliki kapasitas keilmuan untuk menjawab persoalanpersoalan umat.
133
Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga sibuk memikirkan asap dapur. Di sejumlah Negara seperti Kuwait, Saudi Arabia, Turki ,dan lain-lain, imam masjid menjadi tanggung jawab Negara. Ia diangkat oleh Negara dan mendapatkan jaminan kesejahteraan dari Negara. Bahkan, Imam Masjid alHaram misalnya di Saudi Arabia, memiliki pengawal dan ajudan seperti layaknya seorang pejabat tinggi Negara. Sementara di beberapa Negara, termasuk Indonesia, imam masjid belum sampai kepada level itu. Karenanya, dalam konferensi pertama IPIM kemarin, muncul wacana bahwa seyogianya imam masjid diangkat oleh pejabat tinggi Negara. Untuk mesjid Negara, imam masjid diangkat oleh Presiden; untuk masjid raya (tingkat provinsi), imam masjid diangkat oleh Gubernur; untuk masjid agung (tingkat kabupaten/kota), imam masjid diangkat oleh Bupati/Walikota; untuk masjid jami‟ (tingkat kecamatan), imam masjid diangkat oleh Camat; dan untuk masjid (tingkat desa), imam masjid diangkat oleh Kepala Desa. Apabila imam memiliki kapasitas ilmiah yang memadai, maka diharapkan ia dapat mencerahkan umat, melalui transformasi ajaran Islam sesuai tuntunan Nabi saw. sehingga dengan demikian imam memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah munculnya paham-paham radikalisme, apatisme, liberalisme, dan paham-paham sesat lainnya.***