LAPORAN
PEMETAAN SEKTOR EKONOMI (SEKTOR PERTANIAN)
Sebagai Bagian dari Pelaksanaan Program Kerja Inisiatif 2005
PENINGKATAN PERAN BANK INDONESIA DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI MELALUI PEMETAAN SEKTOR EKONOMI
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa patut kita panjatkan seiring dengan telah selesainya penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian Tahun 2005. Penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian merupakan salah satu upaya dari Bank Indonesia sebagai otoritas moneter untuk dapat lebih memahami dengan baik kondisi, permasalahan dan prospek sektor pertanian pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya. Data dan informasi yang diperoleh dari laporan tersebut diharapkan dapat menjadi masukan berharga bagi Bank Indonesia dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya terutama yang terkait dengan upaya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Laporan ini merupakan bagian dari program kerja Inisiatif Bank Indonesia yaitu melakukan pemetaan sektor ekonomi. Penyusunan Peta Sektor Ekonomi ini tidak terlepas dari dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kami yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak sbb: 1. Dewan Gubernur Bank Indonesia atas dukungannya dalam program kerja dimaksud. 2. Satuan kerja dan unit kerja internal Bank Indonesia sebagai anggota program kerja inisiatif yang salah satu kegiatannya adalah survei dimaksud. 3. Lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan peta sektor ekonomi. Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki keterbatasan dan beberapa kelemahan dalam kualitas data dan informasi yang dihasilkan serta dalam interpretasinya. Oleh karena itu, untuk perbaikan kedepan kami sangat mengharapkan kritik dan saran membangun dari para pembaca. Kegiatan penggalian data dan informasi sektor usaha semacam ini akan dilakukan secara kontinu oleh Bank Indonesia dalam berbagai bentuk kegiatan yang berbeda. Akhirnya harapan kami semoga laporan ini dapat menjadi rujukan atau referensi bagi Bank Indonesia, Pemerintah, Pelaku Usaha, Perbankan, Investor, Institusi Penelitian dan Pendidikan, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan upaya memperbaiki dan meningkatkan peran sektor usaha riil dalam proses pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Jakarta, Desember 2006
Halim Alamsyah Direktur Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter – Bank Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman 1.
Output Sektor Pertanian
1
1.1.
Sektor Pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB)
1
1.2.
Sektor Pertanian di Beberapa Negara Lain
6
1.3.
Komoditas Pertanian Food dan Non Food
8
1.4.
Kegiatan Ekonomi menurut Struktur Rural – Urban
10
1.5.
Komoditas Tradables dan Non-Tradables
11
2.
Perkembangan Komoditas Tradables Pertanian
14
2.1.
Ekspor Komoditas Pertanian Sebelum dan Sesudah Krisis
14
2.2.
Perkembangan Ekspor Beberapa Komoditas Pertanian
17
2.3.
Persaingan Ekspor Komoditas Pertanian
20
2.4
Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian
21
3.
Produktivitas Pertanian
23
3.1.
Luas Lahan dan Penggunaan Lahan Pertanian
23
3.2.
Tenaga Kerja Menurut Sektor Ekonomi
24
3.3.
Tenaga Kerja Menurut Gender
25
3.4.
Produktifitas Tenaga Kerja Sektor Pertanian
27
4.
Pembiayaan Perbankan Terhadap Sektor Pertanian
29
4.1.
Pembiayaan Formal Melalui Bank dan Non-Bank
29
5.
Pembentukan Harga Output Sektor Pertanian
32
6.
Output Pertanian Menurut Lokasi
34
7.
Kebijakan Pemerintah Saat Ini
36
8.
Komoditas Pertanian Unggulan
38
8.1.
Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan
38
8.2.
Profil Usaha Komoditas Pertanian
41
8.3.
Profil Usaha Beberapa Komoditas Unggulan
43
DAFTAR TABEL 9.
Hasil Kajian Lanjutan Terhadap Komoditi Unggulan Sektor Pertanian
45
9.1.
Gambaran Umum Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Peternakan
45
9.1.1.
Komoditas Padi
45
9.1.2.
Komoditas Jagung
48
9.1.3.
Komoditas Jeruk dan Pisang
49
9.1.4.
Komoditas Unggas (Ayam)
52
9.1.5.
Komoditas Sapi
52
9.1.6.
Komoditas Kambing-Domba
53
9.1.7.
Permasalahan dalam Meningkatkan Kapasitas Produksi
54
9.1.8
Kebijakan Peningkatan Kapasitas Produksi
56
9.2.
Gambaran Umum Subsektor Perkebunan
58
9.2.1.
Peluang Peningkatan Kontribusi dalam Pertumbuhan Ekonomi
dan Daya
60
Saing di Pasar Internasional 9.2.2.
Permasalahan dalam Peningkatan Produksi Subsektor Perkebunan
62
9.2.3.
Komoditas Kelapa Sawit
63
9.2.4.
Komoditas Karet
66
9.2.5.
Komoditas Kakao
69
9.2.6
Komoditas Tebu
71
9.3.
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Komoditas Unggulannya
73
9.3.1.
Komoditas Tuna
75
9.3.2.
Komoditas Udang
77
9.3.3.
Komoditas Rumput Laut
79
10.
Penutup
81
Lampiran Matriks Permasalahan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Peternakan Matriks Permasalahan Subsektor Perkebunan Matriks Permasalahan Subsektor Perikanan Potensi Pengembangan Komoditas Unggulan Subsektor Tabama dan Peternakan Lima (5) Besar Daerah Produsen Komoditas Unggulan Subsektor Perkebunan Sentra Produksi Subsektor Perikanan
Halaman Tabel 1.
PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Berlaku)
1
Tabel 2.
Pangsa Sub Sektor Pertanian
2
Tabel 3.
PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Konstan)
3
Tabel 4.
Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian
4
Tabel 5.
Pangsa Food dan Non Food
8
Tabel 6.
Pangsa PDB Menurut Daerah Rural dan Urban
11
Tabel 7.
Pangsa dan Peringkat Dunia Komoditas Pertanian Unggulan
20
Tabel 8.
Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian
21
Tabel 9.
Penggunaan Lahan Pertanian Antar Negara
24
Tabel 10.
Perkembangan Tenaga Kerja menurut Sektor Ekonomi
25
Tabel 11.
Produktivitas Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi
27
Tabel 12.
Perbandingan Produktivitas Sektor Pertanian Antar Negara
28
Tabel 13.
Kebutuhan Investasi Komoditas Pertanian Unggulan
30
Tabel 14.
Kebijakan Pemerintah 1970-2005
36
Tabel 15.
Komoditas Pertanian Tradables Ekspor Unggulan
38
Tabel 16.
Signifikansi Komoditas Pertanian Unggulan Terhadap Total Output Pertanian
40
Tabel 17.
Matriks Komoditas Pertanian Unggulan
41
Tabel 18.
Profil Usaha Beberapa Komoditas Pertanian Unggulan
44
Tabel 19.
Kondisi Jaringan Irigasi, 2006
46
Tabel 20.
Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi
47
Tabel 21.
Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung
49
Tabel 22.
Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Jeruk dan Pisang
50
Tabel 23.
Kinerja Komoditas Jeruk dan Pisang
51
Tabel 24.
Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Ayam Ras Pedaging
52
Tabel 25.
Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Sapi
53
Tabel 26.
Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Kambing/Domba
54
Tabel 27.
Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan, 1996–2005
64
Tabel 28.
Perkembangan Konsumsi CPO Indonesia Tahun 1996–2005
65
Tabel 29.
Luas Areal dan Produksi Karet 1999 – 2004
67
Tabel 30.
Produksi dan Konsumsi Karet Indonesia, 2000 – 2005
68
Tabel 31.
Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia
70
Tabel 32.
Luas Areal Tebu dan Produksi Gula Berdasarkan Propinsi
73
Tabel 33.
Proyeksi Produksi Tuna, Cakalang dan Tongkol, Tahun 2005-2009
77
Tabel 34.
Proyeksi Luas Areal dan Produksi Udang Budidaya dan Penangkapan
78
Tabel 35.
Proyeksi Produksi Rumput Laut, Tahun 2005-2009
80
DAFTAR GRAFIK
Halaman Grafik 1.
Pangsa Sektor Ekonomi dalam PDB
2
Grafik 2.
Pertumbuhan Rata-rata PDB
3
Grafik 3.
Kontribusi Pertumbuhan PDB
5
Grafik 4.
Kontribusi Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian
5
Grafik 5.
Pangsa PDB Sektoral di Beberapa Negara Asia
6
Grafik 6.
Peran PDB Sektoral di Beberapa Negara Non-Asia
7
Grafik 7.
Perkembangan Peran Sektor Pertanian di Beberapa Negara
7
Grafik 8.
Indeks Pertanian Beberapa Negara
8
Grafik 9.
Indeks Komoditas Food, Non-Food dan Tenaga Kerja
9
Grafik 10.
Perkembangan Food dan Non-Food di Beberapa Negara Asia
10
Grafik 11.
Struktur Demografi menurut Rural-Urban
10
Grafik 12.
Pangsa Tradables dan Non-tradables
12
Grafik 13.
Komoditas Non-Tradables menurut Sektor Ekonomi
12
Grafik 14.
Komoditas Tradables menurut Sub Sektor
13
Grafik 15.
Volume Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000- 2005
14
Grafik 16.
Nilai Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000- 2005
15
Grafik 17.
Trade Balance Komoditas Food dan Non-Food
15
Grafik 18.
Pangsa dan Pertumbuhan Ekspor Komoditas Pertanian
16
Terhadap Total Ekspor Non-Migas Grafik 19.
Negara Pengekspor Komoditas Pertanian Terbesar
17
Grafik 20.
Perkembangan Ekspor Komoditas Karet
18
Grafik 21.
Perkembangan Ekspor Komoditas CPO
18
Grafik 22.
Perkembangan Ekspor Komoditas Tekstil
19
Grafik 23.
Perkembangan Ekspor Komoditas Kayu dan Produk Kayu
19
Grafik 24.
Perkembangan Ekspor Komoditas Ikan Laut
20
Grafik 25.
Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian di Beberapa Negara Periode 1991-2003
22
Grafik 26.
Perkembangan Luas Lahan Pertanian
23
Grafik 27.
Perkembangan Tenaga Kerja Pertanian menurut Gender
25
Grafik 28.
Perkembangan Indeks Tenaga Kerja Pertanian
26
Grafik 29.
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (1994-2003)
27
Grafik 30.
Perkembangan Kredit Perbankan Sektor Pertanian
29
Grafik 31.
Perkembangan Bobot Inflasi Komoditas Pertanian
32
Grafik 32.
Pangsa Komoditas Pertanian dan Inflasi
33
Grafik 33.
Pangsa Terbesar Sektor Pertanian menurut Propinsi
34
Grafik 34.
Location Quotient Sektor Pertanian
34
Grafik 35.
Sebaran Komoditas Pertanian Menurut Rasio Backward dan Forward Linkage
39
Grafik 36.
Proses Produksi Usaha Pertanian
42
Grafik 37.
Pembiayaan Modal Kerja Usaha Pertanian
43
PENDAHULUAN
I
ndonesia dengan total luas lahan 181 juta hektar (86 persen merupakan lahan pertanian) 2
dan luas lautan diperkirakan mencapai 5,8 juta km
sangat potensial untuk
mengembangkan sektor pertanian, bahkan menjadikan pertanian sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi di masa mendatang. Selain mengembangkan komoditas unggulan untuk tujuan ekspor, output pertanian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan domestik (domestic demand) dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa. Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) periode 2000-2005, sektor pertanian memiliki pangsa sebesar 14,9 persen. Pangsa pertanian tersebut menyusut secara gradual dari waktu ke waktu sejak periode 1961-1965 yang pangsanya mencapai 57,8 persen. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara Asean tetapi juga di negara-negara maju seperti USA dan Jepang, dimana sektor-sektor lain dalam perekonomian tumbuh lebih tinggi terutama sektor industri (proses industrialisasi). Menurut klasifikasi yang digunakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), tidak terjadi perubahan komposisi antara kelompok makanan (food) dan bukan makanan (nonfood) dari total output sektor pertanian dalam kurun waktu lebih dari empat dasawarsa. Namun dalam kelompok food, terjadi penurunan output tanaman bahan makanan, sementara peternakan dan perikanan semakin meningkat.
Produktivitas pertanian juga
terlihat meningkat antara lain disebabkan adanya mekanisasi pertanian, sehingga pertumbuhan
produksi
pertanian
sejak
1985
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
pertumbuhan jumlah tenaga kerja pada sektor tersebut. Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling besar (ratarata 44,2 persen), sebagaimana terjadi pula di negara-negara lain seperti Vietnam (67,9 persen), Thailand (57,6 persen) dan Philippina (40,5 persen). Hal inilah yang menyebabkan produktivitas tenaga kerja pertanian jauh lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya, meskipun terus mengalami peningkatan.
Dibandingkan dengan beberapa negara lain,
produktivitas pertanian Indonesia juga termasuk rendah, jauh di bawah Philippina dan Malaysia meski relatif sama dengan Thailand. Secara demografis, terdapat indikasi adanya modernisasi wilayah ekonomi yang antara lain ditunjukkan dengan peningkatan jumlah desa perkotaan (urban area), yang diikuti dengan pergeseran tenaga kerja dari perdesaan (rural area) ke perkotaan.
Output komoditas
pertanian masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dimana Jawa Timur menempati urutan tertinggi (21,0 persen), Jawa Barat pada urutan kedua (13,6 persen), disusul Jawa Tengah
(11,9 persen), sementara urutan keempat dan kelima masing-masing adalah Sumatera Utara dan Riau. Berdasarkan pengelompokan komoditas tradables dan non-tradables (yaitu komoditas yang memilki komponen ekspor dan impor), diketahui 39,5 persen output perekonomian merupakan komoditas tradables dan sisanya non-tradables.
Untuk komoditas pertanian
(baik primer maupun olahan), sebesar 47,6 persen merupakan komoditas tradables, sementara sisanya adalah non-tradables. Dari sisi perdagangan, volume ekspor komoditas pertanian primer dan olahan mengalami peningkatan yang diikuti dengan kenaikan volume impor yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan transaksi perdagangan menjadi negatif (deficit trade balance). Namun apabila dilihat dari nilainya, transaksi perdagangan komoditas pertanian masih mengalami surplus. Saat ini, Indonesia menempati urutan ke-20 negara pengekspor terbesar komoditas pertanian, namun masih di bawah Thailand dan Malaysia. Volume ekspor karet terus mengalami pertumbuhan, meski sedikit turun pada saat krisis. Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 pengekspor komoditas karet. Demikian juga untuk komoditas CPO, Indonesia juga menempati urutan ke-2 dalam pangsa ekspor dunia. Meski tekstil merupakan salah satu komoditas unggulan, namun ekspornya masih terlalu besar dan hanya berada pada urutan ke-45 pangsa ekspor dunia. Sementara itu, ekspor kayu Indonesia yang saat ini menempati urutan ke-7 mengalami penurunan ekspor sejak 2001.
Ikan laut (baik ikan segar maupun awetan) merupakan salah satu komoditas
unggulan yang sangat prospektif. Ekspor ikan Indonesia berada di urutan ke-10 pangsa ekspor dunia, namun masih di bawah Thailand dan Vietnam. Banyak faktor menjadi penyebab belum optimalnya pengembangan sektor pertanian (baik primer maupun olahan) di Indonesia, salah satunya adalah faktor pembiayaan yang masih lemah terutama pembiayaan formal melalui perbankan. Dari total kredit bank, hanya sekitar 6 persen yang disalurkan pada sektor pertanian. Untuk pengembangan pertanian ke depan, diperlukan alternatif pembiayaan selain perbankan, misalnya pengembangan lembaga pooling fund dengan melibatkan institusi swasta dan dukungan dari pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam kurun waktu lebih dari 3 dasawarsa (1970 s.d. 2005) dapat dikelompokkan menjadi 3 aspek kebijakan, yaitu: kebijakan sumber daya lahan, kebijakan infrastruktur, dan kebijakan insentif.
Dalam periode tersebut, perkembangan pertanian
mengalami 3 fase pertumbuhan, yaitu: fase accelerating (1970an s.d. 1985), fase decelerating (1985 s.d. 2000), dan fase rebounding (2001 s.d. 2005).
Pada fase
accelerating, sektor pertanian memperoleh perhatian yang sangat besar dari pemerintah, dimana pembangunan infrastruktur dan pembiayaan institusional melalui kredit-kredit
program menjadi suatu kebijakan yang menonjol pada masa itu (green revolution). Namun, masa keemasan sektor pertanian tidak mampu bertahan lama, seiring dengan peran pemerintah yang semakin menurun.
Deregulasi perbankan pada periode 1980an tidak
mampu menyentuh sektor pertanian, sehingga pembiayaan dari perbankan tidak berpihak kepada sektor tersebut. Pada periode 2001 s.d. 2005, perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian mulai terlihat dengan dikeluarkannya kebijakan pokok pembangunan sistem usaha agribisnis dan peningkatan ketahanan pangan.
Meski demikian, banyak kendala yang dihadapi
pemerintah dalam pengembangan sektor pertanian, terutama disebabkan oleh luas lahan pertanian yang makin sempit, pendapatan tenaga kerja sektor pertanian rendah, dan masalah ketersediaan bahan pangan. Sejalan dengan upaya Pemerintah dalam pengembangan komoditas unggulan, Bank Indonesia telah melakukan studi awal mengenai hal tersebut, baik yang dilakukan melalui pengolahan data sekunder, diskusi dengan intansi/institusi terkait, maupun dari hasil Survei Pemetaan Sektor Ekonomi (SPSE).
Penentukan komoditas unggulan sektor pertanian
dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu: 1) Pendekatan kontribusi ekspor dan linkages, 2) Pendekatan output, konsumsi, produksi, dan/atau struktur input, serta 3) Pendekatan kebijakan
pemerintah.
Dengan
ketiga
pendekatan
diatas,
komoditas
pertanian
dikelompokkan sebagai komoditas unggulan apabila setidaknya memenuhi 2 pendekatan. Dengan kriteria tersebut, diperoleh 12 komoditas pertanian yang merupakan komoditas unggulan, yaitu padi/beras, jagung, karet, kelapa sawit, kelapa, pisang, jeruk, hasil kayu, sapi, unggas, kambing/domba, dan ikan/udang.
Ke-12 komoditas pertanian unggulan
merupakan penggerak utama sektor pertanian dengan sumbangan lebih dari 80 persen terhadap output sektor pertanian primer dan merupakan komoditas input yang dominan terhadap sektor pertanian olahan (agro-industri). Dari hasil SPSE yang dilakukan tahun 2005, diperoleh gambaran awal mengenai profil usaha komoditas pertanian yang mencakup struktur biaya produksi, sumber bahan baku, orientasi penjualan, dan masalah pembiayaan.
Ditinjau dari sifat proses produksinya, usaha
komoditas pertanian lebih banyak yang bersifat independen (69%) dibandingkan atas dasar pesanan (31%).
Sementara dari proses produksinya, 47 persen unit usaha pertanian
melakukan usahanya dengan mengolah bahan mentah sampai barang setengah jadi, dan 46 persen mengolah bahan mentah sampai barang jadi. Dari sisi bahan baku, sebagian besar unit usaha pertanian melakukan proses produksi dengan bahan baku domestik. Hal ini juga terlihat dalam struktur biaya produksinya dimana 65 persen dari total biaya adalah biaya bahan baku, sementara biaya tenaga kerja 11 persen, biaya bahan penolong 9 persen, dan biaya bunga 4 persen.
Sumber dana untuk pembiayaan modal kerja secara umum berasal dari dana non-perbankan yaitu 64 persen, sementara perbankan hanya memberikan kontribusi sebesar 36 persen dalam pembiayaan modal kerja usaha pertanian. Secara lebih rinci, pembiayaan modal kerja perusahaan terutama berasal dari dana iternal (termasuk dari retained earnings) mencapai 50,3 persen, dari bank domestik sebesar 31,4 persen, dan dari individu pemilik/partner usaha sebesar 6,9 persen. Berdasarkan hasil penentuan komoditas unggulan sektor pertanian, terdapat 12 komoditas yang merupakan komoditas unggulan dalam sektor pertanian, baik pertanian primer maupun agro-industri. Sementara berdasarkan hasil kongres ISEI 2006, telah ditetapkan 10 komoditas unggulan termasuk didalamnya 5 komoditas unggulan pertanian (kelapa sawit, kopi, karet, kakao, serta ikan dan udang). Kajian lanjutan dilakukan terhadap komoditas unggulan hasil kajian sebelumnya, termasuk beberapa komoditas unggulan pertanian hasil kongres ISEI dan dengan komoditas pertanian yang memiliki peranan yang cukup signifikan dalam penghitungan inflasi. Komoditas yang dipilih untuk kajian lanjutan adalah padi, jagung, jeruk, pisang, unggas (ayam), sapi, kambing-domba, kelapa sawit, karet, kakao, tebu, ikan tuna, udang, dan rumput laut. Dari hasil kajian lanjutan terhadap komoditas unggulan pertanian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam bidang sosial-ekonomi, namun pembangunan sektor pertanian masih menghadapi beberapa kendala / permasalahan. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian adalah kurang tersedianya pembiayaan jangka panjang (investasi) dalam rangka penyediaan dan perbaikan infrastruktur, perluasan lahan, dan penguatan kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor pertanian.
Namun demikian, apabila dilihat berdasarkan sub
sektor, perbedaan karakteristik subsektor pertanian / komoditi yang ada dalam sektor ini menyebabkan permasalahan yang dihadapi masing-masing subsektor / komoditi berbedabeda. Sehingga permasalahan pada sektor pertanian lebih tepat dilihat pada masing-masing subsektor / per komoditi. Hasil kajian peta sektor pertanian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi pemerintah, BI, perbankan (kreditor) dan investor dalam mengambil keputusan untuk mengatasi permasalahan di sektor pertanian.
PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI SEKTOR PERTANIAN 1. Output Sektor Pertanian 1.1. Sektor Pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB)
Dalam kurun waktu hampir 4 (empat) dekade (Tabel 1 dan Grafik 1), sejak 1960 sampai dengan masa sebelum krisis ekonomi, pangsa sektor pertanian selalu menempati urutan teratas dalam PDB namun dengan kecenderungan menurun. Tabel 1. PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Berlaku) (Miliar Rp) Sektor Ekonomi
1 Pertanian Rata-rata pangsa (%) 2 Pertambangan dan Penggalian Rata-rata pangsa (%) 3 Industri Pengolahan Rata-rata pangsa (%) 4 Perdagangan, Hotel dan Restoran Rata-rata pangsa (%) 5 Lainnya Rata-rata pangsa (%) Produk Domestik Bruto
1961-65
1966-70
4,149.7 55.8 254.9 3.6 541.6 8.0 151.3 2.4 414.8 6.0 7,171.5
1971-75
921.9 50.9 83.4 3.7 165.9 8.6 295.0 11.4 79.5 5.1 1,863.7
1976-80
2,738.7 37.6 1,265.0 13.8 687.3 9.1 1,324.1 17.7 334.9 4.3 7,689.8
1981-85
7,541.9 29.9 5,810.2 21.3 1,725.6 7.5 4,025.4 15.8 1,319.0 5.1 25,698.1
17,891.5 25.9 14,397.3 21.3 2,693.9 3.7 11,799.5 17.0 4,464.2 6.4 69,103.1
1986-90
1991-95
1996-00
33,915.5 27.3 18,774.6 14.9 5,102.3 4.1 24,880.9 19.9 8,428.4 6.8 124,815.4
59,677.0 20.0 33,301.8 11.6 57,942.3 15.7 54,896.3 18.0 21,511.1 7.0 313,372.7
159,029.3 313,020.1 17.2 14.9 99,919.2 198,360.4 10.4 9.3 242,994.5 611,457.1 26.2 29.0 146,749.3 343,341.7 15.9 16.2 54,482.2 130,234.4 6.0 6.1 921,103.5 2,117,351.4
2001-05
Sumber : BPS (Diolah)
Pada periode 1996-2000, pangsa sektor pertanian turun menjadi urutan kedua sementara pangsa terbesar dalam PDB adalah sektor industri pengolahan, sejalan dengan proses industrialisasi. Dengan berkembangnya sektor industri tersebut, sektor perdagangan, hotel dan restoran juga semakin tumbuh sehingga pangsa sektor pertanian semakin turun menjadi urutan ketiga pada periode 2001-2005, sementara pangsa terbesar kedua ditempati oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran. Grafik 1. Pangsa Sektor Ekonomi dalam PDB
3HUWDQLDQ /LVWULN *DVGDQ$LU
3HUWDPEDQJDQGDQ3HQJJDOLDQ %DQJXQDQ
,QGXV WUL3HQJRODKDQ 3HUGDJDQJDQ+RWHOGDQ5HV WRUDQ
3HQJDQJN XWDQGDQ.RPXQLN DV L
.HXDQJDQ3HUVHZDDQGDQ-DVD
- DV DMDVD
Sumber : BPS (Diolah)
Pada periode 2001-2005, subsektor yang memiliki pangsa terbesar dalam sektor pertanian adalah subsektor tanaman bahan makanan (51,1 persen), sementara subsektor yang memiliki pangsa terkecil adalah subsektor kehutanan (6,2 persen). Tabel 2. Pangsa Sub Sektor Pertanian (Dalam %) Sub Sektor Pertanian
1 2 3 4 5
1961-65 1966-70 1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-05
Tanaman bahan makanan Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Sektor Pertanian
64.8 17.4 6.7 3.1 8.0 100.0
63.9 17.1 6.0 3.4 9.5 100.0
59.7 16.9 7.0 10.7 5.6 100.0
59.1 17.7 7.1 10.2 5.9 100.0
60.9 15.9 10.5 5.8 7.0 100.0
61.3 16.5 10.3 4.2 7.7 100.0
55.6 16.4 11.0 7.9 9.2 100.0
52.7 16.6 10.8 8.0 11.9 100.0
51.1 15.1 12.6 6.2 15.1 100.0
Sumber : BPS (Diolah)
Tabel 3. PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Konstan) (Miliar Rp, Pertumbuhan dalam %) 6HNWRU(NRQRPL
1 Pertanian Rata-rata pertumbuhan tahunan
71,148.3 1.4
81,373.6 3.8
97,355.7 114,296.4 140,103.8 165,853.1 3.1 4.0 4.1 3.0
191,775.6 2.9
211,627.8 1.4
241,815.9 3.3
2 Pertambangan dan Penggalian Rata-rata pertumbuhan tahunan
30,019.5 2.2
45,048.9 15.8
88,885.4 121,456.5 115,723.9 116,039.0 9.6 4.8 -2.1 2.6
140,114.2 4.6
163,408.4 1.9
165,980.1 -0.6
3 Industri Pengolahan Rata-rata pertumbuhan tahunan
17,493.0 1.9
20,739.2 7.7
32,496.7 10.1
58,483.6 100,160.4 167,291.6 15.1 9.4 10.7
276,522.2 10.5
374,080.5 3.1
444,056.9 5.0
4 Perdagangan, Hotel dan Restoran Rata-rata pertumbuhan tahunan
5,270.4 0.8
16,651.8 95.3
48,096.3 9.8
68,474.9 7.5
97,592.6 135,701.1 5.6 8.4
196,003.1 7.4
230,977.8 0.3
259,911.0 5.6
5 Lainnya Rata-rata pertumbuhan tahunan
37,738.5 3.8
45,983.1 24.2
71,865.0 124,011.2 185,499.3 246,865.7 13.3 12.5 6.9 8.8
364,810.0 9.6
420,390.0 1.2
475,994.9 7.0
Produk Domestik Bruto Rata-rata pertumbuhan tahunan
161,676.1 209,919.2 338,731.5 486,754.0 639,097.0 831,775.2 1,169,250.6 1,400,491.1 1,587,772.0 1.9 10.0 7.9 7.7 4.4 6.5 7.3 0.9 4.7
Sumber : BPS (Diolah)
Selama kurun waktu 40 tahun, hampir seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif, namun pertumbuhan sektor pertanian relatif lebih lambat dibandingkan dengan sektor-sektor lain seperti sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor keuangan, persewaan dan jasa.
Grafik 2. Pertumbuhan Rata-rata PDB 16.0
%
14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 1971-75
1976-80
1981-85
1986-90
1991-95
1996-00
2001-05
-2.0 -4.0 Pertanian Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pertambangan dan Penggalian Lainnya
Industri Pengolahan Produk Domestik Bruto
Sumber: BPS (diolah)
Secara rata-rata, pertumbuhan sektor pertanian setelah krisis (2001-2005) yaitu sebesar 3,3 persen cenderung lebih baik dibandingkan periode sebelum krisis (19901997) yaitu 2,6 persen.
Ditinjau dari kontribusi terhadap pertumbuhan PDB, sektor pertanian senantiasa memberikan kontribusi positif kecuali pada tahun 1998 yang kontribusinya tercatat – 0,2 persen.
Tabel 4. Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian (Dalam %) 6HNWRU3HUWDQLDQ
7DQDPDQEDKDQPDNDQDQ 7DQDPDQSHUNHEXQDQ 3HWHUQDNDQGDQKDVLOKDVLOQ\D .HKXWDQDQ 3HULNDQDQ 3'%6HNWRU3HUWDQLDQ
Sumber: BPS (Diolah)
Berdasarkan
perkembangan
subsektor,
hampir
seluruh
subsektor
pertanian
mengalami pertumbuhan yang positif, dengan pertumbuhan tertinggi pada sub sektor peternakan dan perikanan.
Secara rata-rata, pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan setelah krisis (2001-2005) sebesar 2,5 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebelum
masa krisis (1990-1997) yaitu 1,1 persen.
Sebaliknya, sub sektor kehutanan
mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam pada masa setelah krisis yaitu -0,2 persen dibandingkan dengan masa sebelum krisis sebesar 2,1 persen. Grafik 3. Kontribusi Pertumbuhan PDB %
%
3.5
12.0
3.0
10.0
2.5
8.0 Pertumbuhan PDB - Skala kanan
2.0
6.0 4.0
1.5 2.0 1.0 0.0 0.5
-2.0
0.0
-4.0
-0.5
-6.0
-1.0
-8.0 1961-65
1966-70
1971-75
1976-80
1981-85
1986-90
1991-95
1996-00
2001-05
1 Pertanian
2 Pertambangan dan Penggalian
3 Industri Pengolahan
4 Perdagangan, Hotel dan Restoran
5 Lainnya
5 Produk Domestik Bruto
Sumber: BPS (diolah)
Berdasarkan kontribusi terhadap pertumbuhan PDB, sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan sementara sektor industri pengolahan cenderung meningkat.
Sektor pertanian memberikan kontribusi yang relatif stabil terhadap
pertumbuhan PDB. Grafik 4. Kontribusi Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian % 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1961-65
1966-70
1971-75
1976-80
1981-85
1986-90
1991-95
1996-00
2001-05
-1.0 -2.0 -3.0 1 Tanaman bahan makanan 3 Peternakan dan hasil-hasilnya 5 Perikanan
2 Tanaman perkebunan 4 Kehutanan 5 PDB Sektor Pertanian
Sumber : BPS (Diolah)
Secara subsektor, kontribusi pertumbuhan sektor pertanian sampai dengan saat ini disumbang oleh sub sektor tanaman bahan makanan, diikuti oleh sub sektor tanaman perkebunan dan peternakan.
1.2. Sektor Pertanian di Beberapa Negara Lain
Grafik 5. Pangsa PDB Sektoral di Beberapa Negara Asia 100
% Malaysia Gov't & Banks Fin, Insc, R-Estate & Business
80
100
%
Vietnam
80
Transport, Storage & Commun'c Whole's & Retail, Rest's & Hotel
60
60
Construction
40
Electricity, Gas & Water Manufacturing (Mfg)
20
Mining & Quarrying
Industry & Construction
20
Agriculture, Forestry & Fishery
Agriculture
0
0
91- 94- 97- 0093 96 99 03
100
Service 40
%
71- 76- 81- 86- 91- 96- 0175 80 85 90 95 00 03
Thailand Others Services
80
100
%
Philipina Finance & Other Services Government Services
80
Trade
Public Adm & Defence Sales Trade
60
Transport, Storage & Commn'c
60
Electricity, Gas & Water
Transport & Commn'c 40
Construction Manufacturing
20
40
Construction Manufacturing
20
Mining & Quarrying
Mining and Quarrying Agriculture
0 7175
8185
9195
0103
Agri'c, Fishery, Forestry
0 81- 86- 91- 96- 0185 90 95 00 03
Sumber : CEIC
Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian nasional terjadi pula di beberapa negara lain meskipun dengan besaran yang berbeda-beda.
Hal ini sejalan
dengan fenomena industrialisasi.
Di negara Asia seperti Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam, terlihat bahwa penurunan pangsa sektor pertanian diiringi dengan peningkatan pangsa sektor industri pengolahan.
Sementara untuk negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, pangsa sektor pertanian yang menurun diimbangi dengan peningkatan pada sektor jasa perusahaan, sementara di Meksiko sektor jasa publik meningkat secara pesat.
Grafik 6. Peran PDB Sektoral di Beberapa Negara Non-Asia % Amerika 100 S ik t
Government
100
%
Meksiko
Taxes & Imp Bank Services Public & Personal Service
80
Services Finance, Ins'c & R-Estate
80
60
Retail Trade Wholesale Trade
60
40
Transport & Public Utilities Manufacturing
40
Construction
20
Construction Mining
20
Manufacturing Mining
Agri, Forestry & Fishing
0 6165
7175
%
Japan
8185
9195
100
Gov't & others Services Transport & Commn'c Real Estate Finance and Insurance Whole's & Retail Trade Electricity, Gas & Water Construction Manufacturing Mining Agri, Forestry and Fishing
80 60 40 20 0 81- 8685 90
9195
96- 0100 02
Finance, Insc & R-Estate Transport, Storage & Commn'c Commerce, Rest's & Hotels
Agri, Cattle, Forestry & Fishing
0 80- 86- 91- 96- 0185 90 95 00 03
Grafik 7. Perkembangan Peran Sektor Pertanian di beberapa Negara % 50 40 30 20 10 0 80-85 Vietnam Meksiko
86-90
91-95
Indonesia USA
96-00 Thailand Japan
01-03 Malaysia
Sumber : CEIC
Dengan demikian, kecenderungan penurunan pangsa sektor pertanian dalam PDB yang terjadi di berbagai negara terutama disebabkan oleh akselerasi pertumbuhan sektorsektor non-pertanian yang relatif lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian. Meskipun ke-7 negara tersebut bervariasi dalam skala ekonomi, namun mengalami fenomena pergeseran sektoral yang relatif sama.
Grafik 8. Indeks Pertanian Beberapa Negara 140 120 100 80 60 40 20 0 1961 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 Australia Malaysia Thailand
Indonesia Mexico United States of America
Japan Philippines Viet Nam
Sumber: Agriculture Statistics, FAO
Perkembangan Indeks Pertanian antar negara menggambarkan perkembangan produksi pertanian di berbagai negara mengalami pertumbuhan positif, kecuali Jepang yang relatif stabil selama 30 tahun terakhir.
1.3. Komoditas Pertanian Food dan Non-Food Tabel 5. Pangsa Food dan Non Food (Dalam %) Sub Sektor Pertanian
1961-65
1966-70
1971-75
1976-80
1981-85
1986-90
1991-95
1996-00
2001-05
1 Food
79.5
79.5
72.4
72.1
78.4
79.3
75.8
75.4
2 Non Food
20.5
20.5
27.6
27.9
21.6
20.7
24.2
24.6
21.2
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
Sektor Pertanian
78.8
Sumber: BPS(diolah berdasarkan konsep FAO)
Pengelompokkan Food dan Non Food
dilakukan sesuai dengan penggolongan yang
dilakukan oleh FAO. Kelompok Food terdiri dari sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya, dan sub sektor perikanan. Kelompok Non Food terdiri dari sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan.
Dengan mengelompokkan sektor pertanian kedalam 2 (dua) kelompok yaitu: Food dan Non Food, terlihat bahwa pangsa Food cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu rata-rata 77 persen.
Hal yang menarik untuk dicermati dalam kelompok food dimana pangsa sub sektor tanaman bahan makanan cenderung turun, sementara peranan sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya, dan sub sektor perikanan semakin meningkat.
Kondisi ini
mencerminkan adanya pergeseran variasi makanan yang dikonsumsi masyarakat dimana makanan hasil peternakan dan perikanan semakin banyak dikonsumsi. Grafik 9. Indeks Komoditas Food, Non-Food dan Tenaga Kerja 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1961
1967
1973
1979
1985
Indeks Food Indeks Populasi
1991
1997
2003
Indeks Non Food Indeks TK-Pertanian
Sumber: BPS(diolah berdasarkan konsep FAO)
Berbeda dengan kondisi pada periode 1960-1985, dalam 15 tahun terakhir komoditas pertanian mengalami pertumbuhan lebih tinggi daripada jumlah orang yang bekerja pada sektor tersebut. Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan produktivitas tenaga kerja pada sektor tersebut yang antara lain disebabkan adanya mekanisasi pertanian.
Sejalan dengan hal tersebut, mekanisasi pertanian berdampak pada
pertumbuhan komoditas Food yang lebih tinggi dibandingkan komoditas Non-Food.
Grafik 10. Perkembangan Food dan Non-Food di Beberapa Negara Asia 250
%
Thailand
250
200
200
150
150
100
100
50
50
0 1961
1967
1973
1979
Indeks Food Indeks Populasi
1985
1991
1997
2003
%
Malaysia
0 1961
Indeks Non Food Indeks TK-Pertanian
1967
1973
1979
Indeks Food Indeks Populasi
1985
1991
1997
2003
Indeks Non Food Indeks TK-Pertanian
Sumber: FAO, diolah
Mekanisasi pertanian terjadi pula di Malaysia dan Thailand, bahkan dampaknya lebih menonjol dibandingkan Indonesia. Serupa fenomena di Indonesia, komoditas Food di Malaysia tumbuh lebih tinggi dibandingkan komoditas Non-Food, sementara di Thailand terjadi sebaliknya dimana komoditas Non-Food tumbuh lebih tinggi.
1.4. Kegiatan Ekonomi menurut Struktur Rural-Urban Grafik 11. Struktur Demografi menurut Rural-Urban 100%
80%
60%
40%
20%
0% 1970
1980
1990
2000
2003
Desa Rural
Desa Urban
Penduduk Rural
Penduduk Urban
TK Rural
TK Urban
Sumber: BPS(diolah berdasarkan konsep FAO)
Berdasarkan struktur demografi rural-urban, terlihat adanya modernisasi wilayah ekonomi yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah desa perkotaan (urban area), yang diikuti dengan pergeseran aktivitas ekonomi. Hal tersebut juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah tenaga kerja di wilayah urban.
Walaupun demikian, kawasan rural memegang peranan penting khususnya melalui sektor pertanian yang berkaitan dengan ketahanan pangan dan sumber devisa melalui kegiatan ekspor. Tabel 6. Pangsa PDB Menurut Daerah Rural dan Urban (Dalam %)
Urban
Rural
Tahun Pertanian Industri 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 Rata-rata
1.53 1.32 1.29 2.08 1.79 2.12 2.75 1.95
17.94 17.9 18.55 21.52 21.87 21.4 25.53 21.32
Jasa 35.57 33.75 30.36 37.97 37.39 35.76 40.08 36.35
Total
Pertanian Industri
55.03 52.7 50.2 61.57 61.05 59.28 68.36 59.62
18.56 18.3 17.37 15.26 13.77 15.02 13.34 15.4
10.5 11.36 11.56 9.51 10.3 11.06 6.91 9.93
Jasa 14.22 16.24 20.19 13.67 14.89 14.65 11.38 14.71
Total 43.28 45.9 49.12 38.44 38.96 40.73 31.63 40.04
Sumber: SMERU Research Institute (diolah berdasarkan data BPS)
1.5. Komoditas Tradables dan Non-Tradables
Pendekatan tradables dan non-tradables dilakukan dengan menggunakan Tabel I-O, yaitu dengan mengelompokkan tradables sebagai output dan input perekonomian yang memiliki komponen ekspor dan impor, sementara yang tidak memiliki komponen ekspor dan impor dikelompokkan sebagai non-tradables. Komoditas pertanian mencakup hasil produksi dari sektor pertanian dan hasil industri pengolahan yang berbasis pertanian (agro-industri), yaitu industri makanan, tekstil, kayu, kertas, dan industri kimia.
Grafik 12. Pangsa Tradables dan Non-tradables Pangsa Tradables dan Non-tradables
Pangsa Tradables menurut Sektor Pertanian 2,2%
Non-tradables 60,5%
Tradables 39,5%
Agro-industri 35,9%
Tradables
Non-pertanian 61,9% Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)
Dari total ouput perekonomian, sebesar 39,5 persen merupakan output tradables dan sisanya (60,5 persen) merupakan output non-tradables.
Dari total output tradables,
sebesar 2,2 persen merupakan komoditas tradables dari sektor pertanian primer, 35,9 persen adalah komoditas tradables agro-industri, dan selebihnya (61,9 persen) adalah komoditas tradables dari sektor lain.
Grafik 13. Komoditas Non-Tradables menurut Sektor Ekonomi
Bangunan 16,4% Agro-industri 29,7%
Non Pertanian 57,8%
Jasa-jasa 14,8% Perdagangan 9,3% Keuangan 5,2%
Pertanian 12,5%
Lainnya 12,1%
Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)
Untuk komoditas non-tradables, sektor pertanian primer memegang peranan 12,5 persen dan agro-industri 29,7 persen, sementara sektor non-pertanian mencapai 57,8
persen. Dengan kata lain, sektor pertanian primer lebih banyak dikonsumsi di dalam negeri (non-tradables) daripada sebagai komoditas tradables.
Grafik 14. Komoditas Tradables menurut Sub Sektor
21.9%
5.7% 20.3%
11.1% 12.0%
Pertanian primer Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki Industri kertas & barang cetakan
29.0%
Industri makanan, minuman & tembakau Industri barang kayu & hasil hutan lainnya Industri kimia & barang dari karet
Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)
Ditinjau dari komoditas pertanian primer, pangsa sektor pertanian hanya sebesar 8,4 persen. Sementara itu, ditinjau secara lebih luas yaitu komoditas pertanian primer dan olahan, sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian (40,6 persen).
Secara sub sektor, industri tekstil menempati urutan pangsa terbesar komoditas pertanian tradables yaitu 29,0 persen, diikuti oleh industri kimia dan karet (21,9 persen), serta industri makanan (20,3 persen). Industri kayu dan industri kertas memiliki pangsa komoditas tradables masing-masing sebesar 12,0 persen dan 11,1 persen. Sementara itu, komoditas pertanian primer hanya memiliki pangsa 5,7 persen.
2. Perkembangan Komoditas Tradables Pertanian 2.1. Ekspor Komoditas Pertanian 2000 - 2005
Pada tahun 2005 volume ekspor hampir mencapai 5 juta ton/tahun, meningkat dibandingkan pada tahun 2000 sebesar 3,4 juta ton/tahun.
Grafik 15. Volume Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000 – 2005 Juta ton
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00 -4.00 -6.00 Ekspor (volume) 2000
2001
Impor (volume) 2002
2003
Neraca Perdagangan 2004
2005
Sumber: BI (diolah)
Peningkatan volume ekspor tersebut diikuti pula dengan kenaikan volume impor yang tidak terlalu tinggi dari 7,1 juta ton/tahun pada tahun 2000, menjadi 7.6 juta ton/tahun di tahun 2005.
Meskipun dari sisi volume terjadi defisit, namun apabila dilihat dari sisi nilai, neraca ekspor-impor (trade balance) komoditas pertanian masih mengalami surplus dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2005 surplus perdagangan mencapai USD 2,3 milyar, atau
meningkat dari USD 282 juta pada tahun 2000.
Grafik 16. Nilai Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000 – 2005 Juta US$
50,000 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 Ekspor (nilai) 2000
Impor (nilai)
2001
2002
2003
Neraca Perdagangan 2004
2005
Sumber: BI (diolah)
Grafik 17. Trade Balance Komoditas Food dan Non-Food 10,000
Juta USD
8,000 6,000 4,000 2,000 0 Food
Non Food
1999 2000 2001 2002 2003 2004
1999 2000 2001 2002 2003 2004
-2,000 Export
Import
Trade Balance
Sumber: BPS (diolah)
Secara lebih rinci, baik komoditas food maupun non-food mengalami surplus yang cenderung meningkat dalam 6 tahun terakhir sejak krisis. Sementara itu, trade balance Food mencatat surplus lebih tinggi dibandingkan Non-Food.
Grafik 18. Pangsa dan Pertumbuhan Ekspor Komoditas Pertanian Terhadap Total Ekspor Non-Migas Pangsa Ekspor Komoditas Pertanian
Pertumbuhan Ekspor Komoditas Pertanian
% 25
30
20
20
15
10
10
0
5 -10
0 1999
2000 Volume
2001
2002
2003
2004
-20 2000
Nilai
2001
2002
Volume
2003
2004
Nilai
Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)
Dalam 6 tahun terakhir, pangsa ekspor komoditas pertanian terhadap total ekspor nonmigas meningkat secara gradual, sehingga pada 2004 pangsa volume ekspor pertanian mencapai 11,6 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor pertanian mencapai 22,4 persen. Sementara itu, pertumbuhan volume ekspor pertanian melambat sampai 2003, namun meningkat lagi pada 2004, sehingga pertumbuhan nilai ekspor yang lebih tinggi daripada pertumbuhan volume semata-mata disebabkan oleh faktor harga ekspor komoditas pertanian pada periode tersebut.
Dengan total ekspor komoditas pertanian sebesar 22,8 juta ton atau senilai USD 12,2 juta, Indonesia menduduki peringkat ke-20 negara eksportir terbesar komoditas pertanian di bawah peringkat Thailand (ke-15) dan Malaysia (ke-16) yang luas lahan pertaniannya jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Sementara itu, peringkat 10 besar negara eksportir komoditas pertanian adalah negara-negara maju, kecuali Brasil di peringkat ke-7. Sedangkan, peringkat pertama sampai dengan ke-3 secara berturutturut diduduki oleh Amerika Serikat, Perancis dan Belanda.
Grafik 19. Negara Pengekspor Komoditas Pertanian Terbesar Rank USA
1 2
Perancis
3
Belanda
4
Jerman
5
Belgia
6
Spanyol
7
Brasil
15
Thailand
16
Malaysia
17
19
Meksiko New Zealand Irlandia
20
Indonesia
18
0
20
40
60
80
Nilai Ekspor ($ Miliar)
Sumber: BPS (diolah)
2.2. Perkembangan Ekspor Beberapa Komoditas Pertanian
Total ekspor komoditas pertanian yaitu tekstil dan produk tekstil, minyak kelapa sawit (CPO), kayu dan produk turunannya, ikan olahan dan awetan, dan karet dan produk karet olahan mencapai 31,5 persen dari total ekspor non-migas. Untuk produk tekstil, persentase yang diekspor dari output domestik adalah sebesar 70,1 persen, sedangkan untuk komoditas kayu dan karet masing-masing sebesar 71,0 persen dan 60,3 persen. Sementara itu, untuk komoditas kelapa sawit (CPO) dan ikan masing-masing adalah 32,2 persen dan 56,6 persen dari output domestik komoditas tersebut.
Grafik 20. Perkembangan Ekspor Komoditas Karet Perkembangan Volume Ekspor Karet 2,500
Perkembangan Nilai Ekspor Karet
(Ribu Mt)
2,500
2,000
2,000
1,500
1,500
1,000
1,000
500
500
0
(Juta USD)
0 1991
1993
1995
Thailand
1997
1999
Indonesia
2001
2003
1991
1993
1995
Thailand
Malaysia
1997
1999
Indonesia
2001
2003
Malaysia
Sumber: FAO (diolah)
Volume Ekspor karet Indonesia terus mengalami pertumbuhan, meski agak turun pada periode krisis (1998-1999) dan meningkat lagi sejak tahun 2000. Dalam pangsa pasar dunia, ekspor karet Indonesia menduduki peringkat ke-2 setelah Thailand, namun masih lebih tinggi dari Malaysia. Meski terjadi kenaikan volume ekspor, namun nilai ekspor karet turun pada periode 1996-2001 sebagai akibat turunnya harga karet dunia.
Grafik 21. Perkembangan Ekspor Komoditas CPO Perkembangan Volume Ekspor CPO 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
Perkembangan Nilai Ekspor CPO
(Ribu Mt)
6,000
(Juta USD)
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 1991
1993
1995
Malaysia
1997
1999
2001
2003
1991
1993
Indonesia
1995 Malaysia
1997
1999
2001
2003
Indonesia
Sumber: FAO (diolah)
Indonesia merupakan negara pengekspor CPO terbesar ke-2 setelah Malaysia.
Volume
Ekspor CPO tumbuh dari sekitar 1,5 juta metric ton pada 1990-an menjadi 6,4 juta metric ton pada 2003. Meski ekspor CPO Indonesia masih di bawah Malaysia, namun pertumbuhannya lebih cepat yaitu sekitar 20 persen per tahun dibandingkan ekspor CPO Malaysia yang hanya tumbuh sekitar 6 persen per tahun.
Grafik 22. Perkembangan Ekspor Komoditas Tekstil Perkembangan Volume Ekspor Tekstil 70 60 50 40 30 20 10 0
(Ribu Mt)
1991
Perkembangan Nilai Ekspor Tekstil 35 30 25 20 15 10 5 0
1993
Indonesia
1995
1997
Malaysia
1999 Thailand
2001
2003
(Juta USD)
1991
Viet Nam
1993
Indonesia
1995
1997
Malaysia
1999
2001
Thailand
2003
Viet Nam
Sumber: FAO (diolah)
Komoditas tekstil mencakup produk serat sampai dengan produk olahan tekstil, seperti pakaian jadi. Dari sisi volume, ekspor tekstil Indonesia hanya berada di peringkat ke-45 dunia, di bawah Vietnam dan Thailand, namun dari sisi nilai lebih tinggi dibandingkan kedua negara tersebut. Grafik 23. Perkembangan Ekspor Komoditas Kayu dan Produk Kayu Perkembangan Volume Ekspor Kayu 50,000
Perkembangan Nilai Ekspor Kayu
(Ribu Cum)
5,000
40,000
4,000
30,000
3,000
20,000
2,000
10,000
1,000
0
(Juta USD)
0 1991
1993
1995
Indonesia
1997
1999
Malaysia
2001
2003
Thailand
1991
1993
1995
Indonesia
1997
1999
Malaysia
2001
2003
Thailand
Sumber: FAO (diolah)
Ekspor kayu Indonesia sejak tahun 2001 terus mengalami penurunan, baik dari sisi volume maupun nilai ekspor. Saat ini, ekspor kayu Indonesia menduduki peringkat ke-7 ekspor dunia dengan total ekspor mencapai 3,2 juta cum atau senilai USD 950 juta.
Grafik 24. Perkembangan Ekspor Komoditas Ikan Laut Perkembangan Volume Ekspor Ikan Laut 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
Perkembangan Nilai Ekspor Ikan Laut
(Ribu Mt)
5,000
(Juta USD)
4,000 3,000 2,000 1,000 0
1991
1993
1995
Indonesia
1997
1999
Thailand
2001
1991
2003
1993
1995
Indonesia
Viet Nam
1997
1999
Thailand
2001
2003
Viet Nam
Sumber: FAO (diolah)
Ekspor ikan laut Indonesia cenderung turun sejak 1998, namun masih menduduki peringkat ke-10 dengan volume ekspor mencapai 397 ribu Mt atau senilai USD 1,5 miliar pada 2003. Hal tersebut berbeda dengan Vietnam dimana ekspor ikan terus meningkat sehingga pangsa ekspornya melebihi Indonesia, sementara negara pesaing lain di Asean adalah Thailand yang berada di urutan ke-2.
2.3. Persaingan Ekspor Komoditas Pertanian
Tabel 7. Pangsa dan Peringkat Dunia Komoditas Pertanian Unggulan Pangsa Ekspor Kelompok Komoditas
Terhadap Output
Terhadap Ekspor Dunia
Peringkat Negara-negara pesaing Asia Dunia (peringkat) - pangsa dunia
Kelapa sawit dan minyak olahan
32.1%
27.5%
2
Malaysia (1) - 58.4%
Karet dan produk karet olahan
60.3%
27.5%
2
Thailand (1) - 41.8%
Ikan olahan
56.6%
2.74%
10
Thailand (2) - 7.24%
Tekstil dan produk tekstil
70.1%
0.23%
45
India (12) - 1.69%
Kayu dan produk dari kayu
71.0%
2.02%
10
Malaysia (7) - 3.74%
Sumber: Tabel IO 2000 dan FAO (diolah)
Empat dari lima komoditas pertanian unggulan Indonesia menduduki urutan 10 besar peringkat pangsa ekspor dunia.
Kelapa sawit dan karet beserta produk turunannya
masing-masing menduduki peringkat ke-2 dan menguasai hampir 30 persen pangsa ekspor dunia. Negara Asean pesaing untuk komoditas kelapa sawit adalah Malaysia yang menduduki peringkat pertama dan menguasai 58,4 persen pangsa dunia. Untuk komoditas karet, Thailand merupakan negara pengekspor terbesar dengan pangsa dunia sebesar 41,8 persen.
Ekspor komoditas ikan dan kayu masing-masing menduduki peringkat ke-10 negara pengekspor terbesar dunia, namun pangsa yang dikuasai tidak lebih dari 3 persen. Negara pesaing di Asean untuk komoditas ikan adalah Thailand, sementara untuk komoditas kayu adalah Malaysia. Untuk ekspor komoditas tekstil, meskipun Indonesia hanya menempati di urutan ke-45, namun berada di atas negara-negara Asean lainnya. China dan India masing menempati peringkat ke-3 dan ke-12 negara pengekspor tekstil terbesar di dunia.
2.4. Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian
Tabel 8. Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Pertumb. Ekspor Pertanian 11.42 8.92 6.38 33.88 13.39 7.51 3.14 (17.01) 1.61 (3.78) (11.62) 42.12 12.64
Pertumb. Rata-rata Elastisitas Periode PDB Elastisitas 9.26 10.30 8.76 8.15 9.46 9.10 5.63 (10.56) 1.68 4.15 3.83 4.38 4.88
1.23 0.87 0.73 4.16 1.42 0.83 0.56 1.61 0.96 (0.91) (3.03) 9.63 2.59
Sblm Krisis
1.40
Masa Krisis
1.28
Paska Krisis
2.07
Sumber: BPS dan FAO (diolah)
Elastisitas pertumbuhan ekspor komoditas pertanian terhadap pertumbuhan PDB sebelum krisis tercatat sebesar 1,40, kemudian turun menjadi 1,28 pada masa krisis, dan meningkat tajam menjadi 2,07 pada paska krisis.
Angka elastisitas paska krisis
menunjukkan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen akan mendorong pertumbuhan ekspor komoditas pertanian sebesar 2,07 persen.
Grafik 25. Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian di Beberapa Negara Periode 1991-2003 4.0
3.0
2.0
1.0
Elastisitas
Philippines
Thailand
USA
Indonesia
Vietnam
China
2.84
1.75
1.69
1.59
1.10
0.41
E
Sumber: CEIC dan FAO (diolah)
Elastisitas ekspor komoditas pertanian di beberapa negara Asean lainnya juga berkisar 13. Dengan demikian, elastisitas pertumbuhan ekspor pertanian Indonesia (1,6) relatif tidak jauh berbeda dengan negara-negara Asean yang cukup maju di bidang pertanian, seperti Thailand (1,7). Negara Asean yang memiliki elastisitas tertinggi adalah Filipina sebesar (2,84).
3. Produktivitas Sektor Pertanian . 3.1. Luas Lahan dan Penggunaan Lahan Pertanian
Grafik 26. Perkembangan Luas Lahan Pertanian
1981
2002
64.4%
14.7%
6.6%
4.4%
9.9%
Lahan pertanian basah (arable land) Lahan perkebunan (permanent cropland) Ladang kering (permanent pasture) Hutan (forest and woodland) Penggunaan lahan lainnya
15.5%
59.8%
6.2%
7.2%
11.3%
Lahan pertanian basah (arable land) Lahan perkebunan (permanent cropland) Ladang kering (permanent pasture) Hutan (forest and woodland) Penggunaan lahan lainnya
Sumber: FAO
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan penggunaan lahan pertanian. Dari total lahan (land area) seluas 181.157 ribu hektar digunakan sebagai lahan pertanian basah (arable land) sebesar 9,9 persen (1980) dan meningkat menjadi 11,3 persen (2002). Sedangkan penggunaan lahan untuk tanah perkebunan (permanent crops) juga mengalami peningkatan, dari 4,4 persen (1980) menjadi 7,3 persen (2002). Pada periode yang sama, luas area hutan (forest and woodland) menyusut dari 64,4 persen menjadi 59,8 persen.
Peningkatan penggunaan lahan pertanian di Indonesia, merupakan salah satu faktor yang mendukung peningkatan produksi sektor pertanian sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan Indeks Pertanian pada pembahasan terdahulu. Dalam jangka pendek, peningkatan produksi bisa dilakukan dengan memanfaatkan 1,08 juta hektar lahan tidur yang tersebar di 13 propinsi. Secara keseluruhan ada 38,7 juta hektar potensi lahan pertanian yang belum dimanfaatkan, terdiri dari 16,7 juta hektar lahan basah (sawah) dan 22 juta hektar lahan kering.
Sebagian besar lahan yang belum dimanfaatkan ini diluar Jawa. Potensi pertanian lahan basah terbesar di Papua, Sumatera dan Kalimantan, sedangkan untuk pertanian lahan kering di Sumatera dan Kalimantan. Khusus untuk perluasan lahan kering tanaman tahunan (perkebunan), potensi terbesar di Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Dalam periode 1981-1999 secara nasional terjadi konversi lahan pertanian ke nonpertanian mencapai 1,63 juta hektar. Konversi ini sebagian besar terjadi di Jawa dimana terjadi over utility lahan, dengan konversi lahan pertanian ke non-pertanian seluas 1 juta hektar.
Tabel 9. Penggunaan Lahan Pertanian Antar Negara Land Use
Permanent Crops (%)
Land Arable Land (%) Area (1000Ha) 1981
2002
1981
2002
Permanent Pasture (%) 1981
2002
Forests and Woodland (%) 1981
2002
Indonesia
181,157
9.9
11.3
4.4
7.3
6.6
6.2
64.4
61.5
Malaysia
32,855
3.1
5.5
11.7
17.6
0.8
0.9
67.7
67.7
Philippines
29,817
17.5
19.1
14.8
16.8
3.5
5.0
41.1
45.6
Viet Nam
32,549
18.2
20.6
2.1
6.7
0.9
2.0
34.6
29.5
China
932,743
10.5
15.3
0.4
1.2
36.6
42.9
14.4
13.9
Mexico
190,869
12.1
13.0
0.8
1.3
39.0
41.9
24.8
25.4
Thailand
51,089
33.0
31.1
3.6
6.9
1.3
1.6
31.5
29.0
Japan
36,640
13.3
12.1
1.6
0.9
1.6
1.2
67.5
67.6
USA
915,896
20.6
19.2
0.2
0.2
25.9
25.5
32.0
32.2
India
297,319
54.8
54.4
1.8
2.8
4.1
3.7
22.7
22.8
9,873
20.8
17.1
1.4
2.0
0.6
0.6
66.5
65.5
Korea
Sumber: FAO (diolah)
Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan untuk arable area dan permanent crops yang serupa terjadi pada beberapa negara seperti Malaysia, Philipina, Vietnam, China dan Meksiko, sebaliknya di Thailand, USA dan Jepang justru menunjukkan penurunan penggunaan lahan tersebut.
3.2. Tenaga Kerja Menurut Sektor Ekonomi
Sektor pertanian adalah sektor ekonomi yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Secara rata-rata, sektor pertanian mampu menyerap sebanyak 48,2 persen dari total tenaga kerja yang bekerja di seluruh sektor ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia (labor intensive).
Tabel 10. Perkembangan Tenaga Kerja menurut Sektor Ekonomi (Ribu orang) 1986-1988
1989-1991
1992-1994
1995-1997
1998-2000
2001-2003
2004
SEKTOR EKONOMI Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
37.092 339
54,7 0,5
39.787 501
54,7 0,7
38.470 627
49,5 0,8
35.932 789
42,9 0,9
39.490 617
44,5 0,7
41.140 772
44,8 0,8
40.608 1.035
43,3 1,1
5.611 76
8,3 0,1
7.431 136
10,2 0,2
9.061 170
11,7 0,2
10.720 190
12,8 0,2
11.030 136
12,4 0,2
11.897 157
13,0 0,2
11.070 231
11,8 0,2
1.643
2,4
2.095
2,9
2.947
3,8
3.875
4,6
3.478
3,9
4.055
4,4
4.540
4,8
10.067 1.818
14,9 2,7
10.908 2.320
15,0 3,2
12.518 2.944
16,1 3,8
15.859 3.903
18,9 4,7
17.611 4.305
19,8 4,8
17.505 4.687
19,1 5,1
19.119 5.481
20,4 5,8
357
0,5
463
0,6
587
0,8
667
0,8
711
0,8
1.142
1,2
1.125
1,2
Jasa-jasa
10.784
15,9
9.161
12,6
10.443
13,4
11.825
14,1
11.398
12,8
10.400
11,3
10.513
11,2
Total
67.787
100
72.803
100
77.766
100
83.759
100
88.776
100
91.755
100
93.722
100
Keuangan, Persewaan dan Jasa
Sumber : BPS
3.3. Tenaga Kerja Menurut Gender Grafik 27. Perkembangan Tenaga Kerja Pertanian menurut Gender Sebelum krisis
Masa krisis
Sesudah krisis
Pertumbuhan TK: 1,60%
Pertumbuhan TK: 0,96%
Pertumbuhan TK: 0,70%
P (39%)
L (61% )
P (42% )
L (58% )
P (43% )
L (57% )
Sumber: FAO
Dalam kurun waktu 15 tahun tenaga kerja di sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang melambat. Pada periode sebelum krisis (1986-1997), secara rata-rata, tingkat pertumbuhan tenaga kerja di sektor ini adalah sebesar 1,60 persen, sementara pada periode krisis (1998-1999) menurun menjadi 0,96 persen dan pasca krisis (2000-2003) sebesar 0,70 persen.
Berdasarkan komposisi gender, tenaga kerja di sektor pertanian masih didominasi oleh laki-laki, meskipun terdapat kecenderungan peningkatan komposisi tenaga kerja wanita di sektor tersebut.
Grafik 28. Perkembangan Indeks Tenaga Kerja Pertanian % 120 110 100 90 80 70 60 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Indeks TK Pertanian Sumber: BPS (diolah)
Indeks Pertanian
Dalam 15 tahun terakhir, sektor pertanian Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 2,75 persen, sementara jumlah tenaga kerja sektor pertanian tumbuh rata-rata 0,82 persen, sehingga sektor pertanian memiliki elastisitas terhadap pertumbuhan tenaga kerja sebesar 3,37 persen. Setiap pertumbuhan 1 persen tenaga kerja di sektor pertanian akan meningkatkan PDB sektor tersebut sebesar 3,37 persen. Dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang rata-rata memiliki elastisitas kurang dari 2 persen, peran tenaga kerja sektor pertanian relatif lebih tinggi dalam pembentukan pertumbuhan PDB.
Pada 1994 terjadi pergeseran dimana output sektor pertanian tumbuh menjadi lebih tinggi dari
pada
pertumbuhan tenaga
kerja sektor tersebut.
Hal tersebut
mengindikasikan intensifikasi sektor petanian yang dapat terjadi karena peningkatan produktifitas tenaga kerja ataupun karena penambahan investasi barang modal pada sektor tersebut.
Dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di beberapa negara Asia, terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Korea, Malaysia, dan Philipina namun masih lebih rendah dibandingkan Vietnam dan Thailand.
Grafik 29. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (1994-2003)
Viet Nam
67.9
Thailand
57.6
Indonesia
44.2
Philippines
40.5
Mexico
22.3
Malaysia
19.9
Korea
11.1
Australia
4.7
Japan
4.5
USA
2.2
% 0
Sumber : BPS dan FAO (diolah)
20
40
60
80
3.4. Produktifitas Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tabel 11. Produktivitas Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi (Juta/orang)
Sektor Ekonomi
Sebelum krisis
Pertanian
Masa krisis
Sesudah krisis
2.15
4.99
7.13
Pertambangan dan Penggalian
55.42
164.43
230.73
Industri Pengolahan
11.25
24.47
46.03
Listrik, Gas dan Air
30.66
73.51
99.75
Bangunan
9.67
18.65
25.46
Perdagangan, Hotel dan Restoran
5.18
9.39
16.83
Pengangkutan dan Komunikasi
8.61
12.81
20.71
62.86
112.76
142.47
3.72 5.70
7.60 11.65
17.16 20.24
Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-jasa Total
Sumber : BPS (diolah)
Meskipun penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Indonesia cukup tinggi, namun produktivitas tenaga kerja pada sektor tersebut sangat rendah.
Berdasarkan
produktivitas tenaga kerja yang dihitung dari rasio antara PDB (harga berlaku) dengan jumlah tenaga kerja per sektor, menunjukkan bahwa produktivitas sektor pertanian lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya maupun produktivitas PDB secara rata-rata. Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian sebelum krisis tercatat sebesar Rp2,15 juta/orang, jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas sektor industri pengolahan (Rp11,25 juta/orang) ataupun dibandingkan produktivitas rata-rata PDB (Rp5,70 juta/orang).
Sebagaimana produktivitas pada sektor-sektor lain, produktivitas tenaga kerja sektor pertanian tetap meningkat pada masa krisis menjadi Rp4,99 juta/orang dan meningkat lagi menjadi Rp7,13 juta/orang.
Tabel 12. Perbandingan Produktivitas Sektor Pertanian Antar Negara No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Countries
Indonesia Malaysia Thailand Philipina Vietnam China Japan USA Mexico
Crop Production Food Production Index Index
Livestock Production
Cereal Yield
Agricultural Productivity *)
kilogram/ha 1979-81 2000-02 1979-81 2000-02 1979-81 2000-02 1979-81 2000-02 1979-81 2000-02 65,9 122,9 63,1 123,6 51,0 124,7 2.837,0 4.141,0 604,0 748,0 75,3 119,4 55,6 142,1 41,0 142,1 2.828,0 3.132,0 3.939,0 6.912,0 79,1 124,3 79,7 123,5 64,5 135,3 1.911,0 2.654,0 616,0 863,0 88,3 123,1 86,1 137,1 73,8 177,8 1.611,0 2.692,0 1.381,0 1.458,0 65,8 180,3 62,5 171,4 50,1 193,8 2.049,0 4.375,0 N.A 256,0 67,1 155,6 60,8 185,9 45,4 226,7 3.027,0 4.845,0 161,0 338,0 108,3 87,1 94,1 91,6 85,1 93,2 5.252,0 5.879,0 17.378,0 33.077,0 98,6 118,3 94,5 122,5 89,0 123,6 4.151,0 5.830,0 20.672,0 53.907,0 86,5 123,6 85,3 135,7 86,2 150,1 2.164,0 2.870,0 1.482,0 1.813,0
Note: *) Agriculture value added per worker (in USD)
Sumber : 2004 World Development Indicators – World Bank
Dibandingkan dengan negara lain, produktivitas sektor pertanian Indonesia masih jauh di bawah negera-negara lainnya, kecuali Vietnam dan China. Dalam kurun waktu 19791981, negara dengan produktivitas sektor pertanian yang tertinggi adalah USA dan Jepang, dan yang terendah adalah China.
Pada dua dekade berikutnya, Jepang,
Malaysia, USA dan China mengalami peningkatan produktivitas hampir dua kali lipat sementara Indonesia hanya mengalami peningkatan sebesar 25 persen.
4. Pembiayaan Perbankan terhadap Sektor Pertanian
Dilihat dari perkembangan kinerja sektor pertanian dalam PDB, struktur demografis, penyerapan tenaga kerja, perdagangan ekspor dan impor, perkembangan pembiayaan dari perbankan serta mempertimbangkan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan, maka sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang masih memerlukan perhatian dari banyak pihak termasuk pemerintah dan pihak perbankan.
4.1. Pembiayaan Formal Melalui Bank dan Non-Bank
Ketersediaan modal dalam pembiayaan suatu usaha termasuk usaha di bidang pertanian (baik usaha primer maupun olahan) memiliki peran yang sangat penting.
Terdapat
indikasi bahwa sektor pertanian Indonesia saat ini masih banyak yang pembiayaannya diperoleh dari sektor informal ataupun pembiayaan secara informal (self-financing). Pembahasan pembiayaan dalam laporan ini akan difokuskan pada pembiaayaan formal dari sektor keuangan, khususnya perbankan.
Grafik 30. Perkembangan Kredit Perbankan Sektor Pertanian (Miliar Rp)
% 12.0
800,000 700,000
10.0
600,000 8.0
500,000 6.0
400,000 300,000
4.0
200,000 2.0
100,000 Total Kredit Bank Umum Pertanian Pangsa (dalam %) Pertumbuhan (dalam %)
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
0.0
188,871 234,611 292,921 378,134 487,426 225,133 269,000 307,594 365,410 437,942 553,548 689,671 13,860 15,525 17,630 26,002 39,308 23,777 19,504 20,864 22,332 24,307 32,376 36,678 7.3
6.6
6.0
6.9
8.1
10.6
7.3
6.8
6.1
5.6
5.8
5.3
12.0
13.6
47.5
51.2
-39.5
-18.0
7.0
7.0
8.8
33.2
13.3
Sumber: LBU Bank Indonesia
Jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan di atas 20 persen (kecuali masa krisis turun 53,8 persen). Pada tahun 1994, total kredit perbankan mencapai Rp188,9 triliun meningkat menjadi Rp689,7 trilun pada 2005. Dari jumlah tersebut, kredit yang disalurkan kepada sektor pertanian kurang dari 10 persen, bahkan terdapat kecenderungan semakin menurun dalam periode tersebut, meskipun
secara nominal meningkat yaitu dari Rp13,9 trilun pada 1994 menjadi Rp36,7 triliun pada 2005.
Dilihat dari pertumbuhannya, secara rata-rata kredit perbankan tumbuh 16,1 persen per tahun, sementara pertumbuhan kredit sektor pertanian tumbuh 12,3 persen per tahun, dibawah pertumbuhan kredit sektor lain, seperti pada sektor pertambangan (36,3 persen), diikuti oleh sektor jasa (32,0 persen) dan sektor perdagangan (14,4 persen).
Tabel 13. Kebutuhan Investasi Komoditas Pertanian Unggulan (Miliar Rp)
KOMODITAS
PUBLIK
Total Tanaman Pangan Padi Jagung Kedelai Total Hortikultura Pisang Jeruk Bawang Merah Anggrek Total Peternakan Unggas Sapi Kado Total Perkebunan Tanaman Obat Cengkeh Kelapa Karet Kelapa sawit Kakao Tebu
23.2 23.2 2,751.2 5.4 1,813.2 909.4 23.2 23,250.0 8,000.0 13,500.0 1,750.0 26,841.4 3,029.0 767.5 221.0 18,226.4 3,460.0 1,137.5
JUMLAH
52,865.8
PEMERINTAH 1,054.6 616.6 120.0 318.0 154.2
SWASTA
TOTAL
3.8 0.4 150.0 5,600.0 2,450.0 2,500.0 650.0 6,654.5 50.0 85.5 647.8 2,414.0 1,699.2 1,550.0 208.0
17,464.5 14,147.6 939.7 2,377.2 4,894.8 133.0 4,320.7 36.3 404.8 22,450.0 14,050.0 8,000.0 400.0 34,604.3 18,666.0 182.2 916.8 27.7 7,556.6 350.0 6,905.0
18,542.3 14,764.2 1,082.9 2,695.2 7,800.2 138.4 6,137.7 946.1 578.0 51,300.0 24,500.0 24,000.0 2,800.0 68,100.2 21,745.0 1,035.2 1,785.6 2,441.7 27,482.2 5,360.0 8,250.5
13,463.3
79,413.6
145,742.7
Sumber: Departemen Pertanian
Berdasarkan hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Litbang) Departemen Pertanian, pengembangan 17 komoditas agribisinis yang menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian periode 2005-2010 dibutuhkan investasi sebesar 145,7 triliun yang sebagian besar berasal dari swasta (54,4%), sementara investasi publik dan pemerintah masing-masing 36,3% dan 9,2%.
5. Pembentukan Harga Output Sektor Pertanian
Dalam pembentukan inflasi, komoditas pertanian barang-barang yang diklasifikasikan ke dalam sektor pertanian lebih fluktuatif dibandingkan inflasi pada barang-barang sektor non pertanian. Besarnya bobot inflasi komoditas pertanian bersifat musiman, hal ini terlihat dengan tingginya bobot pada masa-masa mendekati hari raya keagamaan, kemudian pada awal tahun sekitar bulan Februari dan Maret bobot inflasinya menurun secara drastis.
Grafik 31. Perkembangan Bobot Inflasi Komoditas Pertanian % 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 -1.0 -2.0 -3.0 F MAM J J A S ON D J F MAMJ J A S ON D J F MAM J J A S ON D J FMAM J J 2002
2003
Komoditas Pertanian
2004
2005
Komoditas Non-Pertanian
Sumber: BPS, Inflasi Bulanan
Sumbangan inflasi dari barang-barang yang diklasifikasikan ke dalam sektor non pertanian terhadap inflasi umum lebih dominan dibandingkan sumbangan inflasi dari barang-barang sektor pertanian. Sejalan dengan fenomena bobot inflasi komoditas pertanian yang musiman, sumbangan inflasi dari barang-barang sektor pertanian memuncak pada masa hari raya keagamaan (lebaran dan natal) yang dalam 4 tahun terakhir ini jatuh di triwulan IV, sementara di awal tahun sumbangannya kecil bahkan beberapa kali mencatat nilai negatif.
Grafik 32. Pangsa Komoditas Pertanian dan Inflasi % 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 F MAM J J A S ON D J F MAMJ J A S ON D J F MAM J J A S ON D J F MAM J J 2002
2003
2004
Komoditas Pertanian
2005
Komoditas Non-Pertanian
Sumber: BPS, Inflasi Bulanan
6. Output Pertanian menurut Lokasi
Grafik 33. Pangsa Terbesar Sektor Pertanian menurut Propinsi JATIM JABAR JATENG SUMUT RIAU BANTEN DKI SULSEL SUMSEL LAMPUNG %
0
5
10
15
20
25
Sumber: BPS (diolah)
Menurut PDRB per Propinsi, terlihat bahwa output komoditas pertanian masih terkonsentrasi di pulau Jawa, dimana Jawa Timur menempati urutan tertinggi (21,0 persen), Jawa Barat di urutan kedua (13,6 persen) dan Jawa Tengah (11,9 persen). Sementara itu, urutan ke-4 dan ke-5 masing ditempati oleh Sumatera Utara dan Riau.
Grafik 34. Location Quotient Sektor Pertanian
Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)
Sementara itu dengan menggunakan Location Quotient (LQ) atas dasar data PDRB 2004, diketahui bahwa sektor pertanian di daerah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah memiliki keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan daerahdaerah lainnya. Jika dilihat secara subsektor, untuk subsektor tanaman bahan makanan, daerah Nusa Tenggara Timur, Bengkulu dan Lampung unggul dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Sementara untuk perkebunan, 3 daerah yang memiliki LQ terbesar adalah Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Untuk peternakan, LQ terbesar dimiliki oleh daerah Nusa Tenggara Timur kemudian diikuti oleh Lampung dan Sulawesi Tenggara. Untuk kehutanan Kalimantan Tengah, Riau dan Sulawesi Tengah. Perikanan Maluku, Sulawesi Tenggara dan Bangka-Belitung.
7. Kebijakan Pemerintah Saat Ini
Dalam kurun waktu lebih dari 3 dasawarsa (1970 – 2005), pokok-pokok kebijakan pemerintah dapat dikelompokkan menjadi 3 aspek kebijakan, yaitu: kebijakan sumber daya lahan, kebijakan infrastruktur, dan kebijakan insentif.
Dalam periode tersebut,
perkembangan pertanian mengalami 3 fase pertumbuhan, yaitu: - Fase accelerating
: periode 1970an s.d. 1985
- Fase decelerating
: periode 1985 s.d. 2000
- Fase rebounding
: periode 2001 s.d. 2005
Tabel 14. Kebijakan Pemerintah 1970-2005 SUMBER DAYA LAHAN
INFRASTRUKTUR
INSENTIF
1. Pemberdayaan lahan 1. Pembangunan irigasi yang 1. Intervensi pemerintah dalam pertanian lebih diutamakan turut berperan dalam bentuk kebijakan harga, sarana pada lahan sawah. tercapainya swasembada produksi dan kebijakan beras tahun 1984. perdagangan. masa reformasi 2. Pengembangan komoditas 2. Adanya konversi dari lahan 2. Pada pembangunan irigasi menurun. strategis: beras, jagung, kedelai, pertanian ke lahan non ayam ras, susu, sapi, dan pertanian. berbagai komoditas perkebunan. 2003, pemerintah 3. Kebijakan tarif dan subsidi pupuk 3. Kemampuan lahan sawah 3. Tahun sebagai penggerak menyediakan sekitar Rp 4,76 kurang efektif, sehingga muncul ekonomi pedesaan trilyun untuk pembangunan masalah penyelundupan, seperti semakin melemah. irigasi. beras dan gula.
Sumber: BI, BPS, Deptan (diolah)
Pada periode 1970an s.d. 1985 dimana sektor pertanian mengalami fase accelerating dapat dijadikan referensi kebijakan dimana pada saat itu sektor pertanian memperoleh perhatian yang sangat besar dari pemerintah. Adapun kebijakan yang paling menonjol pada masa tersebut adalah pembangunan infrastruktur dan pembiayaan institusional melalui kredit-kredit program. Dengan pertumbuhan rata-rata lebih dari 4 persen per tahun, periode tersebut sering disebut sebagai green revolution.
Masa keemasan sektor pertanian nampaknya tidak mampu bertahan lama, sejalan dengan semakin menurunnya peran pemerintah dalam menumbuhkembangkan sektor pertanian. Deregulasi perbankan pada periode 1980an tidak mampu menyentuh sektor pertanian, sehingga pembiayaan dari perbankan tidak banyak berpihak kepada sektor tersebut.
Kondisi ini diperparah dengan semakin memburuknya pembangunan
infrastruktur pertanian yang seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah.
Pada periode 2001 – 2005, pemerintah mulai menunjukkan perhatiannya pada sektor pertanian dengan kebijakan pokok pembangunan sistem usaha agribisnis dan peningkatan ketahanan pangan. Adapun sasaran utama kebijakan tersebut adalah:
-
Meningkatkan kapasitas produksi pertanian
-
Mengentaskan kemiskinan di sektor pertanian dan wilayah pedesaan
-
Meningkatkan pendapatan rumah tangga tani
-
Memantapkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan nasional
-
Meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
-
Meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap devisa negara
Namun demikian, dalam periode tersebut pengembangan sektor pertanian menghadapi banyak kendala, terutama dalam hal: -
Luas lahan pertanian semakin berkurang
-
Pendapatan tenaga kerja sektor pertanian rendah
-
Ketersediaan bahan pangan
8. Komoditas Pertanian Unggulan 8.1. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan
Dalam menentukan komoditas unggulan sektor pertanian, digunakan 3 pendekatan yaitu: 1) Pendekatan Kontribusi Ekspor dan Linkage, 2) Pendekatan Konsumsi, Produksi, dan/atau Struktur Input, serta 3) Pendekatan Kebijakan Pemerintah. Tabel 15. Komoditas Pertanian Tradables Ekspor Unggulan Kelompok Komoditas
Tekstil dan produk tekstil
Kayu dan produk dari kayu
Karet dan produk karet olahan Kelapa Sawit Ikan (termasuk tuna)
% dari Total Backward Ekspor Linkage
Komoditas Pakaian jadi Barang-barang rajutan Tekstil Benang Permadani, tali dan tekstil lain Kayu lapis dan sejenisnya Industri kertas budaya Perabot RT dari kayu, rotan dan bambu Bahan bangunan dari kayu Bubur kertas Barang cetakan Karet olahan Damar sintetis, bahan plastik & serat Barang-barang dari karet Industri Minyak Nabati Dan Hewani Ikan olahan & awetan
12.25
11.25
3.29 2.74 1.96
1.25 1.34 1.24 1.19 0.99 1.06 1.33 1.20 1.14 1.34 1.14 1.05 1.03 1.18 1.11 1.11
Forward Linkage 0.53 0.56 1.02 1.49 0.67 0.71 1.26 0.52 0.55 1.96 0.73 0.87 1.91 0.78 1.60 1.06
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2000 (diolah)
Dengan
menggunakan
pendekatan
pertama,
komoditas
pertanian
unggulan
dikelompokkan berdasarkan komoditas pertanian yang memberikan kontribusi ekspor terbesar serta memiliki backward/forward linkage yang relatif kuat.
Hampir seluruh komoditas pertanian primer memiliki derajat penyebaran (backward linkage) dan daya kepekaan (forward linkage) yang relatif rendah (BL, FL <1), kecuali komoditas ternak yang memiliki BL>1. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas pertanian primer di Indonesia tidak memilki daya dorong yang cukup kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain serta belum mampu menciptakan permintaan yang tinggi dari sektorsektor lain.
Namun apabila dilihat dari komoditas pertanian olahan (agro-industri), industri kimia dan karet, industri makanan dan industri kertas memilki backward dan forward linkage yang cukup besar, sementara industri tekstil dan industri kayu memiliki backward linkage yang cukup besar, namun forward linkage-nya tidak terlalu besar.
Grafik 35. Sebaran Komoditas Pertanian Menurut Rasio Backward dan Forward Linkage 3
tambang
2.5
Rasio Forward Linkage
2
perdagangan in_kimiakaret keuangan
1.5
angkutan in_transport in_makanan tabama migas in_kertas kebun lainnya jasa ternak in_tekstil karet in_logam minyak kayu bangunan listrikair ikan_laut kelapa nabati in_dll in_kayu ikan_darat hutan udang in-semen
1
0.5
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Rasio Backward Linkage Sumber: BPS, Tabel IO (diolah)
Sebagai contoh, komoditas kelapa sawit dan produk olahannya memiliki rasio backward linkage 1,1 yang berarti setiap pertumbuhan 1 persen produksi komoditas kelapa sawit akan menarik tumbuhnya input dari komoditas lain sebesar 1,1 persen. Sedangkan rasio forward linkage komoditas kelapa sawit sebesar 1,6 berarti bahwa setiap pertumbuhan 1 persen produksi kelapa sawit akan mendorong kenaikan produksi komoditas lain sebesar 1,6 persen.
Dengan menggunakan pendekatan pertama tersebut, terdapat 5 kelompok komoditas pertanian unggulan yaitu: 1) Tekstil dan produk tekstil, 2) Minyak nabati, termasuk minyak kelapa sawit (CPO), 3) Kayu dan produk turunannya, 4) Ikan olahan dan awetan, dan 5) Karet dan produk karet olahan.
Dengan pendekatan kedua, komoditas pertanian dikatakan unggulan apabila output besar, konsumsi domestiknya tinggi dan/atau menjadi input yang dominan bagi sektor industri pengolahan yang berbasis pertanian. Dengan pendekatan tersebut, terdapat 14 komoditas pertanian yang memenuhi kriteria unggulan, yaitu: padi, jagung, umbiumbian, sayuran, buah-buahan, karet, kelapa, kelapa sawit, ternak, unggas, daging potong, kayu, ikan dan hasil laut, dan udang.
Tabel 16. Signifikansi Komoditas Pertanian Unggulan Terhadap Total Output Pertanian SUBSEKTOR Tanaman
KOMODITAS Padi
bahan makanan Jagung
% THD OUTPUT PERTANIAN 18.5 3.5
PENGGUNAAN Input beras (91,9%), bibit (4,4%) Konsumsi (37,8%), pakan ternak (21,8%), kopi giling (14,3%), minyak nabati (8,2%), tepung (6,6%), bibit (4,5%)
Umbi-umbian
2.9
Konsumsi (70,0%), restoran (10,6%), pakan ternak (7,5%), bibit (2,4%)
Sayuran
4.5
Konsumsi (70,8%), restoran (11,9%), jasa kesehatan (4,0%), bibit (4,0%)
Buah-buahan
7.4
Konsumsi (70,8%), restoran (4,8%), jasa kesehatan (2,4%), bibit (1,8%)
Tanaman
Karet
3.9
Industri karet remah/asap (57,3%), alas kaki (22,4%), bibit (16,3%)
perkebunan
Kelapa
2.2
Konsumsi (39,7%), industri minyak (35,8%), kopra (12,3%)
Kelapa sawit
1.7
Industri minyak (78,0%), sabun (13,5%), kosmetik (3,1%)
Ternak
3.2
Daging potong (72,6%), konsumsi (12,2%)
Unggas
11.6
Konsumsi (56,6%), Unggas potong (16,2%)
Daging potong
8.7
Konsumsi (63,4%), restoran (23,5%), industri kulit (5,6%)
Kayu
5.6
Peternakan
Kehutanan
Kayu lapis (30,2%), bangunan (24,7%), kayu gergajian (19,4%), industri kayu lain (9,8%), industri kertas (3,2%)
Perikanan
Ikan & hasil laut
7.2
Konsumsi (49,8%), ikan olahan (28,6), ikan kering (6,9%), ekspor (7,2%) restoran (5,6%)
Udang
3.6
Konsumsi (63,0%), bibit (11,0%), udang olahan (10,9%), udang kering (6,9%)
Total
84.5
Sumber: BPS, Tabel IO (diolah)
Pendekatan ketiga terkait dengan komoditas pertanian yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai komoditas unggulan.
Sebagaimana tertuang dalam rencana
pelaksanaan pembangunan pertanian periode 2005 – 2010, Departemen Pertanian secara khusus memprioritaskan pengembangan 17 komoditas agribisnis. Komoditas tersebut meliputi padi, jagung, kedelai, pisang, jeruk, bawang merah, anggrek, kelapa sawit, karet, cengkeh, kelapa, tanaman obat, kakao, tebu, unggas, kambing/domba, dan sapi.
Dari ketiga pendekatan diatas, komoditas pertanian dikelompokkan sebagai komoditas unggulan apabila setidaknya memenuhi 2 pendekatan.
Dengan kriteria tersebut,
terdapat 12 komoditas pertanian unggulan yang merupakan penggerak utama dalam pertumbuhan sektor pertanian, baik pertanian primer maupun agro-industri.
Tabel 17. Matriks Komoditas Pertanian Unggulan KOMODITAS PERTANIAN
PENDEKATAN TRADABLES & FORWARD-BACKWARD LINKAGES
PENDEKATAN KONSUMSI, PRODUKSI & INPUT
PRIORITAS PEMERINTAH
KOMODITAS UNGGULAN
-
V
V
V
-
V
V
V
V V
V
V V
V
V -
V V -
V V V
V V -
-
-
V V
-
V
V V V
V V -
V V V
-
-
V V V
-
-
V
V
V
-
V
V
V
-
V
V
V
V
V
-
V
Padi/beras Jagung Kedelai Tekstil (kapas) Karet Kelapa sawit Kelapa Kakao Tebu Cengkeh Pisang Jeruk Kayu/produk kayu Tanaman obat Bawang merah Anggrek Sapi Unggas Kambing/domba Ikan & udang
Sumber: BI, BPS, Deptan (diolah)
8.2. Profil Usaha Komoditas Pertanian (Berdasarkan hasil Survei Pemetaan Sektor Ekonomi – SPSE)
Dari hasil SPSE yang dilaksanakan Bank Indonesia tahun 2005, khususnya terhadap perusahaan yang menjalankan usaha komoditas pertanian, diperoleh gambaran awal mengenai profil usaha, struktur biaya produksi, orientasi penjualan, dan masalah pembiayaan.
Ditinjau dari sifat proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan responden, pada saat ini sedikit lebih banyak yang bersifat independen atau melakukan produksi atas dasar perencanaan sendiri atau tidak ditentukan oleh pembeli/prinsipal atau sebagainya (69%) dibandingkan atas dasar pesanan (30%).
Sementara apabila ditinjau dari proses
produksinya, 47 persen unit usaha pertanian melakukan usahanya dengan mengolah bahan mentah sampai barang setengah jadi, dan 46 persen unit usaha mengolah bahan mentah sampai barang jadi.
Grafik 36. Proses Produksi Usaha Pertanian Sifat Proses Produksi Lainnya
Proses Produksi
(1%) Bhn mentah sampai barang jadi
Produsen a/d pesanan
(30%)
(47%) (69%)
(46%)
Bhn mentah sampai brg 1/2 jadi Produsen Independen
Bhn 1/2 jd sampai (2%) barang jadi
Sumber: Hasil SPSE Bank Indonesia
Dari sisi bahan baku, diketahui bahwa sebagian besar unit usaha pertanian melakukan proses produksi dengan bahan baku domestik. Hal ini juga terlihat dalam struktur biaya produksinya dimana 65 persen dari total biaya adalah biaya bahan baku, sementara biaya tenaga kerja 11 persen, biaya bahan penolong 9 persen, dan biaya bunga 4 persen.
Ekspor komoditas pertanian sebagian besar dalam bentuk barang jadi, sementara untuk impor didominasi oleh bahan baku. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan produksi komoditas pertanian secara nasional memiliki nilai tambah yang cukup tinggi.
Dalam menjalankan usaha pertanian, sumber dana untuk membiayai modal kerja secara umum berasal dari dana non-perbankan yaitu 64 persen, sementara perbankan hanya memberikan kontribusi sebesar 36 persen dalam pembiayaan modal kerja usaha pertanian. Secara lebih rinci, pembiayaan modal kerja perusahaan terutama berasal dari dana internal (antara lain retained earnings) mencapai 50,3 persen, dari bank domestik sebesar 31,4 persen, dan individu pemilik/partner usaha sebesar 6,9 persen.
Grafik 37. Pembiayaan Modal Kerja Usaha Pertanian 60
(%) 50.3
50 40
31.4
30 20 10
1.1
3.9
2.8
3.6
6.9
0 Bank Domestik Bank Diluar Negeri Keluarga Pemilik Dana Internal
Bank Milik Asing Penjualan Saham Individu
Sumber: Hasil SPSE Bank Indonesia
8.3. Profil Usaha Komoditas Pertanian
Sebagaimana diuraikan diatas, terdapat 12 komoditas pertanian unggulan yang menjadi penggerak utama sektor pertanian.
Komoditas-komoditas tersebut memberikan
sumbangan lebih dari 80 persen terhadap output sektor pertanian
primer dan
merupakan komoditas input yang dominan terhadap sektor agro-industri.
Sementara itu, dari hasil SPSE 2005 dapat disajikan gambaran awal mengenai profil usaha beberapa komoditas pertanian, yaitu: karet, kelapa sawit, kayu, sayuran dan buahbuahan, serta ikan dan udang.
Profil beberapa komoditas pertanian dari hasil SPSE
tersebut diharapkan dapat menjadi preliminary study yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian di lapangan dalam bentuk indepth study pada tahun 2006. Penelitian tersebut akan dilakukan bekerjasama dengan instansi/institusi yang terkait dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia.
Tabel 18. Profil Usaha Beberapa Komoditas Pertanian Unggulan
KOMODITAS PROFIL ORIENTASI PENJUALAN BAHAN BAKU
PRODUKSI
STRUKTUR BIAYA
SUMBER PEMBIAYAAN
KOMPOSISI TENAGA KERJA
HASIL KAYU
IKAN & UDANG
SAYURAN & BUAH
Domestik 100%
0.0
25.0
0.0
4.8
15.4
91.3
33.3
50.0
95.2
53.9
Impor >50%
100.0 0.0
91.3 0.0
70.0 20.0
61.9 14.3
76.9 7.7
Bahan Baku
78.7
68.4
53.9
57.5
59.0
Bahan Penolong
4.4
7.7
17.2
11.4
10.0
Biaya Tenaga Kerja
9.0
10.1
12.0
11.3
12.2
Biaya Bunga
2.4
3.4
3.6
3.0
3.6
Lainnya
5.5
10.4
13.3
16.8
15.2
Domestik 100%
84.8
74.8
82.3
71.2
72.2
Dana Internal
43.6
70.2
67.5
38.6
35.1
Bank Domestik
41.4
24.2
8.4
27.4
38.1
Lainnya
15.0 84.5
5.5 66.4
24.1 69.3
34.0 62.1
26.8 53.3
Bank Domestik
5.5
25.4
5.8
20.7
29.7
Lainnya
10.0
8.2
24.9
17.2
17.0
Manajemen
11.0
11.8
10.3
7.1
13.8
Tenaga Kerja Ahli
18.4
32.4
33.1
18.6
24.2
Tenaga Kerja Kurang Ahli
70.6
55.7
56.6
62.0
ASEAN
Lebih Buruk
Lebih Buruk
Lebih Baik
74.2 Kurang Lebih Sama
INTERNASIONAL
Lebih Buruk
Kurang Lebih Sama
--
Dana Internal INVESTASI
KELAPA SAWIT
Ekspor >50%
KAPASITAS TERPAKAI (NORMAL) MODAL KERJA
HASIL KARET
POSITIONING
Sumber: Hasil SPSE Bank Indonesia
Lebih Buruk
Lebih Buruk Kurang Lebih Sama
PETA SEKTOR PERTANIAN
9. Hasil Kajian Lanjutan Terhadap Komoditi Unggulan Sektor Pertanian
Berdasarkan hasil penentuan komoditas unggulan sektor pertanian, terdapat 12 komoditas yang merupakan komoditas unggulan dalam sektor pertanian, baik pertanian primer maupun agro-industri. Sementara berdasarkan hasil kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 2006, telah ditetapkan 10 komoditas unggulan termasuk didalamnya 5 komoditas unggulan pertanian (kelapa sawit, kopi, karet, kakao, serta ikan dan udang).
Kajian lanjutan dilakukan terhadap komoditas unggulan hasil kajian sebelumnya, termasuk beberapa komoditas unggulan pertanian hasil kongres ISEI dan komoditas pertanian yang memiliki peranan yang cukup signifikan dalam penghitungan inflasi. Komoditas yang dipilih untuk kajian lanjutan adalah sebagai berikut: padi, jagung, jeruk, pisang, unggas (ayam), sapi, kambing-domba, kelapa sawit, karet, kakao, tebu, ikan tuna, udang, dan rumput laut.
Untuk pembahasan selanjutnya, komoditas padi, jagung, jeruk, pisang, unggas (ayam), sapi, kambing-domba akan dikategorikan dalam subsektor tanaman bahan makanan dan peternakan. Sementara untuk komoditas kelapa sawit, karet, kakao dan tebu termasuk dalam subsektor perkebunan dan komoditas ikan tuna, udang dan rumput laut termasuk dalam subsektor perikanan.
9.1. Gambaran Umum Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Peternakan
Hasil analisis model Input-Output menunjukkan bahwa komoditas padi dan industri penggilingan padi, komoditas peternakan (sapi, domba, kambing dan peternakan ruminansia besar dan kecil lainnya) dan industri pemotongan hewan, serta industri unggas merupakan industri kunci nasional. Industri kunci nasional adalah industri yang mampu membangkitkan dan mendorong industri lainnya yang pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
9.1.1. Komoditas Padi
Produksi padi mengalami perlambatan pertumbuhan sejak pertengahan tahun 1980-an, dan sejak awal tahun 1980-an laju pertumbuhannya telah di bawah laju pertumbuhan penduduk atau produksi beras per kapita terus menurun hingga saat ini.
Laju
pertumbuhan produksi padi pada periode 1980-1989 sebesar 5,32% per tahun turun menjadi 1,04% per tahun pada periode 2000-2005. Sementara pertumbuhan produksi
padi pada tahun 2005 tercatat sebesar 0,12%. Penurunan produksi beras ini menyebabkan swasembada beras yang diraih tahun 1984 tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan dan Indonesia harus melakukan impor beras.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kecenderungan penurunan laju pertumbuhan produksi padi adalah akibat dari kombinasi beberapa faktor yaitu : (a) penurunan luas baku lahan sawah, khususnya di Jawa; (b) stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas lahan. Penurunan luas baku lahan sawah adalah akibat dari konversi lahan untuk peruntukan di luar sektor pertanian. Cara yang paling mungkin untuk meningkatkan luas baku lahan sawah adalah melalui pembukaan lahan sawah. Stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas padi adalah konsekuensi dari tidak berkembangnya inovasi baru dan semakin memburuknya kesuburan lahan. Selain itu, peningkatan produksi padi juga dihadapkan pada masalah kerusakan jaringan dan sumber air irigasi. Dari 6,7 juta hektar jaringan irigasi yang dibangun, 1,5 juta hektar (22%) diantaranya rusak. Tabel 19. Kondisi Jaringan Irigasi, 2006 PRASARANA TERBANGUN Jaringan irigasi
JUMLAH
UNIT
6.771.826
hektar
11.547
buah
273
buah
Bendung Waduk
KONDISI RUSAK RUSAK BERAT RINGAN 341.327 (0,05%) 49 (0,24%) 14 (5,1%)
KEANDALAN AIR NON WADUK WADUK
1.178.548 (17,4%) -
719.173 (10,62) -
6.052.653 (89,38) -
5 (1,8)
-
-
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Usaha tani padi cukup menguntungkan secara finansial serta memiliki keunggulan komparatif. Sistem pemasaran gabah – beras juga cukup efisien, namun dengan marjin pemasaran cenderung meningkat. Hal ini terutama adalah akibat dari peningkatan biaya transportasi dan refleksi dari struktur mata rantai pemasaran yang panjang. Isu kebijakan utama dalam hal pemasaran ialah menjaga stabilitas harga musiman.
Berdasarkan kecenderungan historis, dan bila program revitalisasi industri perberasan nasional tidak efektif, diperkirakan produksi beras akan mengalami pertumbuhan negatif pada periode 2006 – 2010. Produksi beras pada 2006 diperkirakan sebesar 30,6 juta ton dan turun menjadi 27,5 juta ton pada 2010. Dalam kondisi demikian Indonesia akan terpaksa mengimpor beras dalam jumlah yang semakin besar. Hal ini tentu akan berdampak negatif terhadap ketahanan pangan nasional, dan dapat mengganggu kestabilan harga (inflasi) mengingat peranan beras dalam penghitungan inflasi cukup besar (sekitar 5,2%).
Tabel 20. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi
URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Luas panen (000 ha)
11.731
11.732
11.600
11.444
11.264
11.059
Produktivitas (kg/ha)
4.587
4.574
4.535
4.467
4.372
4.250
Produksi gabah (000 ton)
53.814
53.063
51.896
56.319
48.352
46.025
Produksi beras* (000 ton)
30.609
30.182
29.518
28.621
27.503
-
Total Konsumsi (000 ton)
31.130
31.528
31.935
32.254
32.479
Surplus (Defisit) (000 ton)
(521)
(1.346)
(2.417)
(3.633)
(4.976)
*) Konversi gabah – beras = 0.632 dan hilang 10%.
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Pada masa sebelum krisis, harga gabah tumbuh lebih cepat daripada harga beras. Sementara pasca krisis, harga gabah tumbuh lebih lambat dari harga beras. Hal ini menunjukkan ongkos pemasaran beras (termasuk laba pedagang) semakin tinggi. Harga gabah dan beras cenderung stabil pada periode tahun 2000-2004, tidak hanya dibanding masa krisis yang merupakan masa puncak instabilitas, tapi juga dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Harga gabah yang diterima petani jauh lebih tidak stabil daripada harga beras yang dibayar konsumen. Peningkatan pangsa harga konsumen yang diterima oleh petani padi (perbaikan efisiensi pemasaran) dan stabilisasi harga gabah yang diterima petani tersebut merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan produksi padi/beras dan meningkatkan pendapatan petani padi.
9.1.2. Komoditas Jagung
Produksi jagung terus mengalami pertumbuhan tinggi dan akseleratif. Pada periode 2000-2005, komoditas jagung secara rata-rata tumbuh 5,13% pertahun, atau meningkat dibandingkan 3,96% pada 1990-1999. Pertumbuhan produksi yang tinggi tersebut terutama berasal dari pertumbuhan produktivitas sebagai refleksi dari pesatnya inovasi teknologi. Berbeda dengan padi yang mengandalkan lembaga penelitian pemerintah, teknologi jagung terutama ditopang oleh sistem inovasi swasta, tepatnya perusahaan multi–nasional di bidang perbenihan dan agrokimia. Benih jagung hibrida dengan potensi produktivitas yang amat tinggi dan terus meningkat merupakan kunci dan akselerasi pertumbuhan produksi jagung.
Selain di didorong oleh inovasi teknologi, pertumbuhan produksi jagung yang akseleratif tersebut juga disebabkan oleh peningkatan permintaan jagung dalam negeri untuk industri pakan ternak.
Industri pakan ternak berkembang pesat karena ditarik oleh
pertumbuhan pesat usaha peternakan intensif, utamanya peternakan ayam ras. Permintaan jagung untuk pakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan usaha peternakan intensif. Selain itu, usahatani jagung tidak saja layak secara finansial, tetapi juga kompetitif sehingga jagung juga potensial untuk diekspor.
Masalah pokok sisi penawaran jagung ialah ketidakstabilan produksi, yang terutama berasal dari masalah luas panen. Luas panen tanaman jagung secara rata-rata tumbuh 0,8% pada 2000-2005, atau cenderung menurun dibandingkan 1,60% pada 19901999, namun cenderung meningkat dibandingkan 0,63% pada 1970-1979.
Akar
penyebab turunnya luas panen jagung adalah berfluktuasinya harga jagung yang diterima petani sehingga pada saat harga jagung menurun, petani melakukan konversi tanahnya untuk komoditas lain . Dengan demikian, stabilisasi harga jagung di tingkat petani merupakan isu kebijakan pokok yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa untuk periode tahun 2006 – 2010, produksi jagung akan terus tumbuh pesat dan akseleratif, melampaui laju peningkatan permintaan, sehingga akan terjadi surplus produksi yang semakin tinggi.
Tabel 21. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung
URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
Luas panen (000 ha)
3.916
4.206
4.498
4.789
5.077
Produktivitas (kg/ha)
3.569
3.692
3.822
3.962
4.112
Produksi (000 ton)
13.978
15.527
17.194
18.978
20.875
Konsumsi (000 ton)
13.510
14.232
15.005
15.756
16.623
468
1.295
2.189
3.222
4.252
Surplus (defisit) (000 ton)
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Harga jagung di tingkat konsumen meningkat lebih cepat daripada harga jagung di tingkat produsen. Pada tahun 1984-1989 harga gabah lebih tinggi 25% daripada harga jagung, namun pada tahun 2000-2004 selisih harga gabah dengan jagung kurang dari 8%, ini berarti insentif harga untuk usahatani jagung terus meningkat. Inilah salah satu alasan produksi jagung meningkat lebih cepat dalam tiga dekade terakhir. Sejak tahun 2000 harga jagung di tingkat produsen lebih stabil. Di sisi lain, harga jagung di tingkat konsumen semakin tidak stabil. Kecenderungan ini jelas tidak menguntungkan bagi konsumen jagung.
9.1.3. Komoditas Jeruk dan Pisang
Setelah mengalami penurunan produksi pada 1990-an, produksi jeruk meningkat pesat pada tahun 2000-an. Pada 1990-an, produksi jeruk rata-rata sebesar 502 ribu ton, meningkat pesat menjadi 1,2 juta ton pada 2000-an. Walaupun mengalami peningkatan produksi yang cukup signifikan, pengembangan komoditas jeruk masih menghadapi permasalahan yang cukup serius antara lain instabilitas produksi terutama gagal panen akibat serangan hama dan penyakit.
Walaupun lebih rendah dari periode 1990-1999, laju pertumbuhan produktivitas jeruk yang mencapai 9,48%, pada periode 2000-2004 sudah tergolong tinggi, yaitu dengan produktivitas sebesar 22,28 ton per hektar.
Masalah daya saing jeruk tidak terletak pada ongkos produksi tetapi pada mutu yang masih rendah. Selain itu, usahatani jeruk juga membutuhkan modal investasi yang cukup besar sementara pada umumnya petani tidak punya akses terhadap lembaga perbankan.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa berdasarkan data historis peningkatan produksi jeruk lebih cepat dari peningkatan permintaan domestik sehingga Indonesia akan surplus jeruk
dalam jumlah yang terus meningkat. Hal ini dapat pula dipandang sebagai peluang untuk mengembangkan industri pengolahan jeruk dalam negeri dan memacu ekspor jeruk. Tabel 22. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Jeruk dan Pisang
URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
1. Jeruk Produksi (000 ton)
3.275
4.242
5.617
7.609
10.511
Konsumsi (000 ton)
2.446
2.622
2.825
3.056
3.306
829
1.620
2.792
4.553
7.205
Produksi (000 ton)
5.174
5.331
5.492
5.659
5.830
Konsumsi (000 ton)
5.131
5.264
5.401
5.542
5.686
43
67
91
117
14
Surplus (defisit) 2. Pisang
Surplus (defisit)
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Setelah terus menurun selama periode tahun 1984-1999, stabilitas harga jeruk di tingkat produsen meningkat tajam pada periode tahun 2004-2005. Berbeda dengan di tingkat konsumen, stabilitas harga jeruk di tingkat produsen adalah yang terburuk selama dua dekade terakhir. Secara umum dapat dikatakan bahwa harga jeruk di tingkat produsen cenderung makin stabil pada level riil yang rendah. Kecenderungan demikian tentu tidak kondusif bagi upaya pemacuan produksi jeruk di dalam negeri.
Marjin pemasaran jeruk secara riil meningkat secara tajam pada periode 2000-2004, hal ini mengindikasikan semakin menurunnya pangsa harga konsumen yang diterima oleh petani jeruk. Pada tahun 2000, pangsa harga konsumen yang diterima oleh petani jeruk adalah sebesar 90% dan turun menjadi hanya sekitar 74% pada tahun 2004. Faktor lain yang cukup signifikan meningkatkan marjin pemasaran jeruk adalah retribusi daerah, pungutan tidak resmi dan pola perdagangan jeruk antar daerah yang meningkatkan ongkos transportasi.
Tabel 23. Kinerja Komoditas Jeruk dan Pisang
URAIAN
1970-1979
1980-1989
1990-1999
2000-2004
1. Jeruk Luas Panen (ha)
35.156
64.494
45.512
49.781
Produktivitas (ton/ha)
5,21
7,06
12,34
22,28
Pertumbuhan (%/thn)
4,77
-3,10
12,50
9,48
253.253
162.873
78.309
81.267
Produktivitas (ton/ha)
7,16
12,83
44,09
53,07
Pertumbuhan (%/thn)
3,22
7,15
10,27
1,30
2. Pisang Luas Panen (ha)
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Laju pertumbuhan produksi pisang terus meningkat secara konsisten. Masalah pokok pada aspek produksi pisang ialah sifat produsennya yang dominan, usahatani keluarga dan posisi usahatani pisang sebagai usahatani sampingan saja. Selain itu, tanaman pisang juga amat rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Dengan sifat demikian, tanpa ada upaya khusus, peningkatan produksi pisang diperkirakan akan tetap lambat dan tidak secepat laju peningkatan permintaannya.
Produktivitas komoditas pisang pada periode 2000-2004 mengalami peningkatan sebesar 1,3% per tahun, atau jauh menurun dari sebesar 10,27% per tahun pada 1990-1999.
Harga riil pisang cenderung meningkat konsisten baik di tingkat konsumen maupun di tingkat produsen. Harga pisang di tingkat konsumen meningkat lebih cepat daripada di tingkat produsen yang mengindikasikan peningkatan marjin pemasaran. Kecenderungan harga pisang ditingkat produsen yang semakin stabil dan meningkat secara riil merupakan indikasi prospek pasar yang baik untuk usahatani pisang. Insentif harga tersebut diperkirakan akan berperan signifikan dalam mendorong peningkatan produksi pisang di masa mendatang. Namun demikian, peningkatan harga produsen yang lebih lambat dan lebih stabil dari harga konsumen merupakan indikasi ketidaksempurnaan pemasaran pisang.
9.1.4. Komoditas Unggas (Ayam)
Usaha ternak ayam ras pedaging baru berkembang pada pertengahan 1970-an, tumbuh amat cepat dan kini menjadi tulang punggung subsektor peternakan.
Setelah
mengalami masa krisis pada periode 1998 – 1999, usaha ternak ayam ras pedaging kini telah pulih total dan tumbuh amat pesat. Usaha ternak ayam ras terutama ditopang oleh sektor swasta baik dari segi inovasi teknologi maupun dari segi modal dan pemasaran. Usahatani dapat berkembang pesat atas kemampuan sendiri dengan fasilitasi terbatas dari pemerintah. Tabel 24. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Ayam Ras Pedaging
URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi (000 ton)
1.079
1.361
1.774
2.396
3.358
Konsumsi (000 ton)
1.150
1.535
2.094
2.918
4.107
(71)
(174)
(320)
(522)
(649)
Surplus (defisit)
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Harga ayam di tingkat pedagang besar pada lima tahun terakhir cenderung tidak stabil. Ketidakstabilan harga ayam di tingkat konsumen meningkat jauh lebih kecil dari harga di tingkat pedagang besar. Ini mengindikasikan adanya ketidaksempurnaan pasar. Instabilitas harga yang tinggi merupakan resiko pasar yang tidak kondusif bagi perkembangan usaha ternak ayam.
9.1.5. Komoditas Sapi
Produksi daging sapi potong meningkat relatif lebih lambat dibandingkan peningkatan permintaan. Kondisi ini menyebabkan impor daging sapi mengalami peningkatan. Masalah pokok untuk komoditas sapi potong adalah penurunan laju pertumbuhan populasi yang berkelanjutan sejak dekade 1980-an. Bahkan pada periode tahun 2000-an, populasi sapi potong menurun secara absolut.
Usahaternak sapi potong didominasi oleh usahaternak tradisional dan pada umumnya hanya sebagai usaha sampingan. Usahaternak sapi potong cukup menguntungkan secara finansial, namun membutuhkan modal yang cukup besar, sementara peternak tidak memiliki akses terhadap kredit perbankan. Semakin terbatasnya padang penggembalaan juga merupakan kendala utama bagi usaha ternak sapi potong.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa tanpa ada upaya yang dapat meningkatkan produksi secara signifikan, Indonesia akan terus mengalami defisit daging sapi dalam jumlah yang semakin besar dan ketergantungan impor yang semakin tinggi. Tabel 25. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Sapi
URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi (000 ton)
372
380
388
396
405
Konsumsi (000 ton)
513
547
587
633
684
(141)
(167)
(199)
(237)
(279)
Surplus (defisit)
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Khusus untuk daging sapi, data yang digunakan adalah harga perdagangan besar di tiga propinsi produsen utama, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Harga perdagangan besar di daerah produsen utama dipandang berkorelasi kuat dan oleh karenanya dapat mengindikasikan dinamika dari harga sapi di tingkat produsen (peternak). Harga konsumen diwakili oleh data di Jakarta yang merupakan konsumen utama daging sapi. Jakarta merupakan daerah pemasaran sapi dari berbagai propinsi di Indonesia. Dari data tersebut diperoleh gambaran bahwa terdapat dinamika harga sapi antar wilayah yang mengindikasikan telah terjadi perubahan mendasar dalam pola perdagangan sapi antar pulau. Perubahan pola perdagangan sapi antar pulau tersebut juga telah mendorong persaingan antara pedagang. Hal inilah yang menyebabkan harga sapi di sentra produksi seperti Nusa Tenggara Barat meningkat lebih cepat daripada di Jakarta yang merupakan wilayah pemasaran akhir utama. Perubahan pemasaran sapi tersebut menguntungkan peternak di wilayah sentra produksi. Harga sapi yang stabil dan meningkat secara riil di wilayah sentra produksi seharusnya menjadi insentif yang baik bagi peternak.
9.1.6. Komoditas Kambing-Domba
Permasalahan yang dihadapi oleh usahaternak kambing dan domba serupa dengan permasalahan pada usaha ternak sapi potong. Usahaternak sapi dan domba dilakukan oleh usaha keluarga dan hanya sebagai usaha sampingan. Usahaternak kambing dan domba juga menghadapi permasalahan permodalan. Selain itu, semakin langkanya padang pengembalaan juga menjadi kendala bagi usaha ternak kambing dan domba.
Hingga lima tahun mendatang, produksi daging kambing dan domba masih tetap berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Hasil proyeksi menunjukan, produksi daging kambing dan domba masih di bawah permintaan domestik. Tanpa ada
program yang dapat meningkatkan produksi secara nyata sangat sulit bagi Indonesia dapat menjadi negara pengekspor daging kambing dan domba. Tabel 26. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Kambing/Domba
URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi (000 ton)
58
57
56
55
54
Konsumsi (000 ton)
59
60
61
62
64
Surplus (defisit) (000 ton)
(1)
(3)
(5)
(7)
(10)
Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.
Harga kambing tergolong yang paling stabil diantara semua komoditas ternak. Ini adalah refleksi dari pola pemasaran kambing yang tergolong bebas, berbeda dari komoditas peternakan lainnya yang tersegmentasi dalam kawasan lokal/terbatas (tidak ada perdagangan antar pulau). Selain itu, karena tidak ada impor kambing atau domba sehingga harga domestik tidak dipengaruhi oleh harga dunia. Secara umum, harga yang cenderung stabil dan meningkat secara riil dapat menjadi insentif yang kondusif bagi perkembangan usaha ternak kambing dan domba.
9.1.7. Permasalahan dalam Meningkatkan Kapasitas Produksi
Berdasarkan perkembangan kondisi komoditas sub sektor tabama dan peternakan di atas, hal penting perlu dilakukan di bidang produksi adalah meningkatkan kapasitas produksi.
Untuk meningkatan kapasitas produksi di masa mendatang, terdapat beberapa resiko yang perlu diperhatikan. Faktor resiko pertama adalah berkaitan dengan sumberdaya lahan dan air. Dalam jangka pendek dan panjang Indonesia menghadapi empat ancaman serius yang berkaitan dengan sumberdaya lahan dan air yaitu peningkatan laju konversi baik di Jawa maupun Luar Jawa, rusaknya jaringan irigasi, rusaknya beberapa sistem hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan penguasaan lahan yang sempit. Oleh karena itu, dalam jangka pendek dan
panjang diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi
tekanan pemanfaatan lahan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui pengembangan produksi komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang tinggi pula, meningkatkan alokasi fiskal untuk pembangunan jaringan irigasi dan pencetakan sawah baru, perbaikan sistem hidrologi DAS yang rusak, sedangkan untuk mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya rekayasa kelembagaan kerjasama antar petani.
Faktor resiko kedua adalah kemampuan produksi industri pupuk nasional yang makin menurun karena usia pabrik sudah tua dengan tingkat efisiensi yang rendah sekitar 70
persen. Selain itu, masalah lain adalah kelangkaan pasokan gas sebagai bahan baku terbesar produksi pupuk urea juga menjadi faktor resiko yang menghadang keberhasilan peningkatan produksi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya peremajaan industri
pupuk nasional.
Faktor resiko ketiga adalah sistem perbenihan nasional.
Selain mutu benih nasional
belum memenuhi standar mutu yang baik, juga kuantitas benih belum seluruh komoditas berkembang. Mungkin hanya padi dan jagung yang relatif berkembang dan itupun belum memenuhi standar yang diharapkan.
Akibat mutu benih nasional yang kurang
baik, petani melakukan penangkaran sendiri (contoh petani padi). Kondisi yang demikian dinilai kurang baik dilihat dari aspek kemurnian dan mutu produksi, sehingga akan menghambat peningkatan kapasitas produksi. Oleh karena itu, maka disarankan agar pemerintah membangun sistem perbenihan nasional yang bermutu.
Selain arah pengembangan peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi juga diupayakan melalui ekstensifiksi dimana potensi lahan pengembangan tersebar di propinsi Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Untuk padi, padi gogo dan jagung masingmasing 12, 5 dan 7 juta hektar; jeruk dan pisang masing-masing 5 dan 13 juta hektar; dan untuk padang pengembalaan 3 juta hektar.
Berdasarkan hasil analisa terhadap subsektor tabama, pembiayaan investasi khususnya untuk infrastruktur (perbaikan dan perluasan irigasi, pembukaan lahan, transportasi desakota, riset dan teknologi) merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan kapasitas produksi. Namun karena sifat pembiayaan investasi merupakan pembiayaan jangka panjang, dan sektor pertanian memiliki resiko yang cukup tinggi, sebagian besar investasi dilakukan oleh pemerintah dan hanya sedikit investor yang berminat untuk menyediakan pembiayaan.
Sementara itu, kemampuan permodalan juga merupakan
faktor penting lainnya untuk meningkatkan produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sumber pembiayaan usahatani berasal dari petani sendiri. Dengan keterbatasan modal yang dimiliki petani, maka pembiayaan usahatani jelas tidak akan memadai.
Akses petani terhadap pembiayaan dari perbankan juga terbatas karena
usahatani yang dikelola petani walaupun memiliki kelayakan ekonomi yang cukup baik, namun usahatani tersebut dinilai tidak layak dibiayai bank (bankable), sehingga penyerapan kredit perbankan untuk sektor pertanian sangat kecil.
9.1.8. Kebijakan Peningkatan Kapasitas Produksi
Berdasarkan masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kapasitas produksi
dan prospek pasar domestik yang masih terbuka lebar serta lahan untuk
pengembangan lebih lanjut masih tersedia, maka disusun pokok-pokok kebijakan antara lain sebagai berikut:
Peningkatan kapasitas produksi industri perberasan nasional tidak cukup dilakukan dengan memberikan dukungan harga gabah, subsidi pupuk, subsidi benih dan subsidi kredit modal kerja. Kebijakan pemerintah harus diorientasikan dari fokus kebijakan harga ke fokus peningkatan kapasitas produksi, yakni: (a) rehabilitasi dan ekstensifikasi infrastruktur irigasi; (b) pembukaan lahan sawah baru; (c) memacu inovasi teknologi, termasuk revitalisasi sistem penelitian dan pengembangan pertanian serta sistem diseminasi inovasi pertanian dengan deregulasi dan penciptaan iklim yang kondusif bagi investor swasta.
Kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan produksi jagung ialah: (a) Stabilisasi harga di tingkat petani; (b) Menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi swasta dalam industri perbenihan dan agrokimia; dan (c) Menjamin praktek persaingan yang sehat dalam bisnis benih, agrokimia dan pemasaran jagung.
Kebijakan pokok yang dapat dilakukan pemerintah untuk mempertahankan pertumbuhan produksi jeruk: (a) Akselerasi peningkatan luas tanam jeruk melalui pengembangan sistem perbenihan penyediaan modal investasi dan dukungan infrastruktur usahatani; (b) Peningkatan efisiensi pemasaran jeruk melalui pengembangan sistem pemasaran berbasis rantai pasok, perbaikan infrastruktur pemasaran dan deregulasi pemasaran; (c) Pengembangan sistem pencegahan serangan hama dan
penyakit; (d)
Perbaikan kualitas produk;
dan (e)
Pengembangan industri pengolahan domestik dan memacu ekspor.
Kebijakan yang perlu dilakukan untuk memacu laju pertumbuhan produksi pisang ialah: (a) Membangun sistem pencegahan serangan hama dan penyakit; (b) Pengembangan usahatani pisang komersial dan terspesialisasi; (c) Peningkatan kualitas produk; dan (d) Pengembangan rantai pasok terkelola.
Untuk pengembangan usahaternak ayam ras pedaging, kebijakan pemerintah yang dapat ditempuh adalah: (a) Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan
penyakit
menular
(terutama
penyakit
flu
burung);
(b)
Pengembangan struktur industri perunggasan yang bersaing dan pencegahan praktek persaingan yang tidak sehat; (c) Peningkatan peran usaha peternakan rakyat.
Kebijakan yang disarankan untuk meningkatkan produksi daging sapi potong ialah: (a) Peningkatan populasi sapi potong melalui pengembangan usahaternak intensif dan usaha pembibitan sapi; (b) Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dan tanaman; dan (c) Pemetaan sistem pemasaran sapi.
Beberapa kebijakan yang dapat digunakan untuk memacu produksi kambing dan domba : (a) Pengembang usahaternak kambing dan domba skala komersial; (b) Pengembangan sistem integrasi ternak kambing/domba dengan tanaman; (c) Pengembangan sistem perbenihan ternak kambing dan domba.
Berkaitan dengan permodalan, dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi sub sektor tabama dan peternakan terutama dalam jangka panjang, kebutuhan pendanaan tidak terbatas pada kebutuhan permodalan namun juga kebutuhan investasi.
Untuk itu, perlu dikembangkan sistem perkreditan pertanian yang
dikelola oleh sistem perbankan pertanian yang kuat sehingga akses petani terhadap pembiayaan perbankan dan permodalan meningkat sehingga dapat meningkatkan produksi.
Selain itu, perlu juga dipikirkan alternatif pendirian
lembaga pembiayaan khusus untuk sektor pertanian, termasuk pembiayaan kepada sub sektor tabama dan peternakan. 9.2.
Gambaran Umum Subsektor Perkebunan
Produk-produk perkebunan termasuk minyak kelapa sawit (CPO), karet, kakao, dan gula telah berperan penting dalam perekonomian nasional melalui pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja dan sumber pendapatan, pengurangan kemiskinan, perolehan devisa (kecuali gula), penyediaan bahan baku industri, dan ketahanan pangan (khusus gula dan CPO).
Dalam hal pertumbuhan ekonomi, PDB subsektor perkebunan tumbuh secara konsisten yaitu 4,5% pada 2004, dan diperkirakan tumbuh sebesar 6,19% pada 2006. Dengan
komposisi yang sebagian besar (sekitar 85%) merupakan usaha perkebunan rakyat di pedesaan, sektor perkebunan menampung lebih dari 17,5 juta tenaga kerja yang berarti mempunyai kontribusi terhadap pengurangan kemiskinan dan menjadi sumber pendapatan di pedesaan. Devisa yang dihasilkan dari subsektor perkebunan adalah ratarata USD4,5 milyar per tahun, bahkan pada 2006 diperkirakan lebih dari USD6 milyar. Minyak goreng dan gula merupakan kebutuhan pokok yang berkaitan dengan inflasi dan ketahanan pangan.
Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan paling konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan, areal perkebunan meningkat dengan laju 2,6% per tahun pada periode 1994–2004, dan mencapai lebih dari 16 juta ha pada 2004. Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu), kelapa sawit dan kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya dengan laju pertumbuhan diatas 5% per tahun. Pertumbuhan yang pesat dari kedua komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut.
Sejalan dengan pertumbuhan areal, produksi perkebunan juga meningkat dengan konsisten dengan laju 5,9% per tahun dalam 25 tahun terakhir atau 7,09% pada dekade terakhir. Seperti juga areal, pertumbuhan produksi tercepat dicapai oleh tanaman kakao dengan laju 9,2% per tahun dan kelapa sawit dengan laju peningkatan produksi sekitar 11,4% per tahun. Perkembangan produksi tanaman lainnya berkisar antara 0,5-5%, kecuali tanaman tebu dan teh yang mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi gula disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal seperti penurunan produktivitas dan bias kebijakan pemerintah, maupun pasar gula internasional yang sangat distortif sehingga harga gula terus mengalami penurunan.
Secara umum, laju pertumbuhan konsumsi dalam negeri relatif cepat untuk komoditi CPO, karet, dan kakao dan relatif lambat untuk gula, kopi, dan teh. Karet dan CPO bahkan tumbuh diatas 10% per tahun pada dekade terakhir. Lambatnya laju konsumsi domestik untuk ketiga komoditi adalah indikasi bahwa industri hilir perkebunan belum berkembang karena menyangkut masalah teknologi, hambatan pasar (entry barrier), dukungan kebijakan yang belum optimal, serta jiwa kewirausahaan yang belum berkembang.
Produk tanaman perkebunan umumnya berorientasi ekspor dimana lebih dari 50% produksi, kecuali gula, adalah diekspor. Sebagai contoh, proporsi produksi dari kopi dan karet yang diekspor pada tahun 2004 masing-masing adalah 68,74% dan 96,13%. Kinerja ekspor komoditas perkebunan Indonesia juga tumbuh dengan relatif stabil walau dukungan kebijakan ekspor belum maksimal.
Dari segi nilai, ekspor komoditas
perkebunan meningkat 6,52% per tahun yang menunjukkan bahwa nilai ekspor berkembang lebih cepat dari volume ekspor. Namun dalam dekade terakhir, fenomena ini berbalik dimana volume berkembang lebih cepat dibandingkan dengan nilai. Hal ini memberi indikasi adanya kecenderungan melemahnya harga komoditas perkebunan primer Indonesia di pasar internasional.
Walaupun impor komoditas primer perkebunan Indonesia terus meningkat, volume dan nilainya relatif masih kecil, kecuali impor gula. Sebagai contoh, impor CPO Indonesia meningkat dengan laju 12,04% per tahun pada dekade terakhir, dengan volume impor adalah sekitar 350 ribu ton pada tahun 1999 atau sekitar 6,15% dari produksi. Secara umum, impor komoditas perkebunan Indonesia relatif masih kecil sehingga belum merupakan pesaing yang signifikan untuk pasar domestik Indonesia.
Seperti kebanyakan komoditas pertanian, harga produk perkebunan primer mengalami fluktuasi yang cukup tajam di pasar internasional.
Pada saat ini harga komoditas
perkebunan secara umum relatif tinggi seperti karet yang sampai melebihi USD2/kg, demikian juga dengan gula dengan harga USD400/ton.
Namun demikian, fluktuasi
harga tampaknya sudah menjadi karakter produk primer perkebunan, seperti tercermin dari nilai koefisien keragaman harga tahunan yang cukup tinggi yaitu antara 18% untuk karet sampai dengan 42% untuk teh. Fluktuasi harga ini berkaitan dengan fluktuasi harga di pasar internasional berhubungan dengan faktor siklus biologis tanaman khususnya untuk tanaman keras, iklim, dan kondisi ekonomi (harapan harga). 9.2.1. Peluang Peningkatan Kontribusi dalam Pertumbuhan Ekonomi
dan Daya
Saing di Pasar Internasional
Subsektor perkebunan memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Indonesia memiliki potensi untuk melakukan perluasan lahan perkebunan secara signifikan.
Hal ini tidak dimiliki oleh negara pesaing, seperti Malaysia dan
Thailand. Selain itu, upah tenaga kerja yang relatif lebih murah akan membuat biaya produksi menjadi relatif lebih rendah sehingga produk perkebunan Indonesia mempunyai kecenderungan semakin kompetitif di masa mendatang.
Produk perkebunan Indonesia pada masa mendatang diperkirakan memiliki prospek pasar yang cerah di pasar internasional dengan daya saing yang semakin meningkat. Paling tidak ada tiga faktor fundamental yang melandasi pemikiran tersebut. Faktor pertama adalah keberhasilan Pertemuan World Trade Organization (WTO) Tingkat Menteri di Hongkong pada bulan Desember 2005 yang menyepakati bahwa semua bentuk subsidi ekspor pada sektor pertanian sudah harus dihapuskan paling lambat tahun 2013. Penghapusan subsidi tersebut akan mengurangi kemampuan negara maju untuk mengekspor produk pertanian seperti gula dan minyak nabati.
Hal ini akan
memperbesar peluang pasar produk CPO Indonesia serta peningkatan produksi gula Indonesia. Faktor kedua adalah negara pesaing, baik negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika, dan negara berkembang seperti Brazil yang secara konsisten menghadapi tekanan untuk melakukan reformasi sektor pertanian dengan mengurangi dukungan harga, subsidi, dan proteksinya secara substansial. Situasi ini akan meningkatkan daya saing produk perkebunan Indonesia sekaligus mengurangi perlakuan yang tidak fair dari negara maju, seperti untuk kasus kakao, kopi dan gula. Faktor fundamental ketiga adalah kenaikan harga bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil (BBM). Kecenderungan kenaikan harga BBM merupakan kecenderungan jangka panjang yang tidak dapat dihindarkan mengingat BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Jika ini benar, biofuel yang menggunakan bahan baku produk pertanian seperti CPO dan tebu, akan terus berkembang.
Di samping itu, karet sintetis yang
berbahan baku minyak bumi daya saingnya semakin lemah sehingga akan meningkatkan peluang pasar karet alam Indonesia.
Dengan perubahan fundamental tersebut serta dukungan kebijakan pemerintah yang lebih kondusif, subsektor perkebunan diperkirakan akan berkembang secara lebih pesat. Sebagai contoh, Indonesia berpeluang untuk melakukan perluasan areal kelapa sawit sekitar 2 juta ha untuk jangka antara 5-10 tahun ke depan, atau tumbuh antara 7-9% per tahun. Industri gula juga berpeluang tumbuh dengan laju sekitar
6-7% per tahun
sampai dengan tahun 2014. Untuk karet, peluang pasar akan semakin terbuka dengan peluang perluasan sekitar 300-500 ribu ha untuk periode 2006-2010 atau sekitar 2-3% per tahun.
Untuk produk penyegar seperti kakao dan kopi, peluang peningkatan
produksi dan ekspor diperkirakan diatas 3% per tahun.
9.2.2. Permasalahan dalam Peningkatan Produksi Subsektor Perkebunan
Upaya untuk merealisasikan peluang peningkatan produksi dan ekspor perkebunan dengan memanfaatkan kekuatan dan potensi yang dimiliki Indonesia, tampaknya masih banyak menghadapi masalah, baik yang berkaitan dengan pengembangan industri hulu maupun hilir. Beberapa masalah yang perlu mendapat penanganan yang antara lain adalah (i) rendahnya produktivitas hasil dibandingkan produktivitas hasil negara lain; (ii) mutu yang masih rendah/belum sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan pemerintah dan sering tidak konsisten; (iii) ekonomi biaya tinggi; (iv) kebijakan pemerintah yang belum menciptakan iklim usaha yang kondusif; dan (v) hambatan perdagangan (tarif dan non-tarif) dan persaingan tidak sehat di pasar internasional.
Berkaitan dengan rendahnya produktivitas pada industri hulu, terutama disebabkan oleh komposisi tanaman yang masih didominasi tanaman asal biji/bibit tidak unggul/bibit palsu dan sudah berumur tua, dan ketersediaan sarana produksi terutama bibit unggul bermutu dan pupuk yang masih terbatas. Selanjutnya masalah mutu yang rendah dan tidak konsisten disebabkan oleh (i) teknologi pengolahan yang ada belum memberi insentif bagi pelaku usaha terutama petani untuk meningkatkan mutu; (ii) kebijakan pemerintah tentang mutu (SNI) belum mencerminkan adanya sinergisme/koordinasi antar lembaga di sektor pertanian dan industri.
Ekonomi biaya tinggi merupakan masalah lain yang menghambat. Masalah ini berkaitan dengan (i) mahalnya harga input (bibit, pupuk dan obat-obatan); (ii) tingginya beban pelaku usaha termasuk petani dalam menanggung beban bunga pinjaman, pajak, retribusi dan pungutan-pungutan, serta perijinan investasi; (iii) tingginya biaya transpor dari kebun hingga pelabuhan atau ke lokasi industri pengolahan (primer dan hilir).
Sejalan dengan hal diatas, iklim usaha perkebunan juga belum kondusif sebagai akibat dari (i) pelaku usaha masih ragu tentang kepastian/perlindungan hukum dan jaminan keamanan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, jaminan keamanan dari konflik sosial dengan masyarakat lokal soal lahan; (ii) khusus untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit, adanya tekanan yang berkaitan dengan isu lingkungan (iii) ego sektoral dan konflik
kepentingan
Pusat
dan
Daerah
(iv)
inkonsistensi
penerapan
payung
kebijakan/peraturan, seperti Revitalisasi Pertanian, UU No.18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, dan UU/Perda Tentang Tata Ruang.
Di pasar internasional, produk perkebunan Indonesia menghadapi berbagai hambatan perdagangan (tarif dan non-tarif). Beberapa instrumen kebijakan yang menghambat antara lain: (i) non-tariff/technical barriers yang diterapkan negara pengimpor minyak
sawit (Eropa, India dan negara pengimpor lainnya); (ii) automatic detention oleh Amerika Serikat dan perlakuan diskriminasi (special and differential treatment) oleh negara-negara Eropa Barat serta holding orders oleh Australia untuk kakao, tarif impor eskalasi di negara-negara
maju
(iii)
hegemoni/penguasaan
perusahaan
multinasional
atau
transnasional di pasar internasional, terutama untuk karet, kakao, dan teh sehingga pasar menjadi bersifat buyer’s market; (iv) proteksi dan/atau subsidi produksi oleh negaranegara produsen utama, Eropa Barat, Amerika, Thailand, Brazil,
Ghana dan Pantai
Gading.
Dalam pengembangan industri hilir perkebunan, ada beberapa masalah mendasar seperti (i) beban pajak pertambahan; (ii) dominasi perusahaan multinasional/transnasional yang cenderung menerapkan multisourcing dalam penggunaan bahan baku melalui mekanisme internal transaction; (iii) belum memadainya fasilitas/insentif bagi pelaku usaha untuk menanamkan modalnya di industri hilir perkebunan (bunga, pajak, retribusi dan pungutan-pungutan); (iv) lemahnya penelitian dan pengembangan bidang industri hilir perkebunan; (v) mahalnya sebagian besar teknologi industri hilir perkebunan; dan (vi) dominasi perusahaan multinasional/ transnasional penghasil produk jadi perkebunan terhadap teknologi industri hilir perkebunan.
Mengingat investasi di bidang usaha perkebunan merupakan investasi yang berjangka panjang dan memerlukan jumlah yang besar, maka diperlukan alternatif pembiayaan terutama untuk kredit investasi dengan mempertimbangkan masa grace period. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah bukan hanya meningkatkan efisiensi dari investasi yang sudah ada saat ini, tetapi juga investasi baru yang mengisi pasar komoditas perkebunan yang baru, yang diperkirakan akan semakin terbuka pada masa yang akan datang. Kebutuhan pembiayaan subsektor perkebunan juga diperlukan untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM serta penelitian/pengembangan teknologi perkebunan. Sehingga kebutuhan akan alternatif pembiayaan sektor perkebunan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja sektor ini.
9.2.3. Komoditas Kelapa Sawit
Areal terluas untuk kelapa sawit berada di Sumatera, yaitu mencapai 76,47% diikuti Kalimantan dan Sulawesi, masing-masing 19,80% dan 2,31%. Pada tahun 2005, luas areal perkebunan rakyat mencapai 3.873 ribu ha (31,11%), perkebunan negara seluas 2.049 ribu ha (16,46 %) dan perkebunan besar swasta seluas 6.528 ribu ha (52,43%). Komposisi pengusahaan kelapa sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya perkebunan besar, tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun 1996 hingga tahun 2005 tumbuh sangat pesat dengan rata-rata pertumbuhan 10,66% per tahun. Pertumbuhan areal terbesar dipegang oleh perkebunan swasta (11,99% per tahun) diikuti pertumbuhan areal perkebunan rakyat (11,19%) dan perkebunan negara (5,25%).
Sejalan
dengan
perkembangan areal, produksi
kelapa sawit
juga mengalami
peningkatan, dari hanya 181 ribu ton CPO pada tahun 1968 menjadi 12.450 juta ton CPO pada tahun 2005. Dalam 10 tahun terakhir, produksi CPO Perkebunan Besar Swasta mendominasi komposisi produksi. Komposisi produksi CPO rata-rata secara berurutan adalah Perkebunan Rakyat sebesar 2.480 ribu ton (29,93%), Perkebunan Besar Negara sebesar 1.813 ribu ton (21,88%) dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 3.993 ribu ton (48,19%). Tabel 27. Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan, 1996–2005 PRODUKSI MINYAK SAWIT (RIBU TON) TAHUN
PERKEBUNAN RAKYAT (PR)
PERKEBUNAN MILIK NEGARA (PBN)
PERKEBUNAN BESAR SWASTA (PBS)
JUMLAH
1996
1.133
1.707
2.058
4.898
1997
1.283
1.587
2.579
5.449
1998
1.345
1.501
3.084
5.930
1999
1.544
1.468
3.439
6.451
2000
1.906
1.461
3.644
7.011
2001
2.798
1.519
4.079
8.396
2002
3.426
1.608
4.588
9.622
2003
3.517
1.750
5.173
10.44
2004
3.745
1.981
6.079
11.80
2005*)
3.873
2.049
6.528
12.45
Pertumbuhan (%/th)
14,63
2,05
13,69
10,92
Sumber
: Direktorat Jenderal Perkebunan (2006)
Keterangan : *) Sementara
Konsumsi domestik CPO yang merupakan komoditas primer masih belum berkembang. Konsumsi CPO di dalam negeri sebagian besar untuk pangan (80%-85%) dan sisanya
industri oleokimia (15%-20%).
Pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri
adalah sekitar 11,07% per tahun. Laju pertumbuhan konsumsi CPO dunia diproyeksikan mencapai sekitar 5,0% per tahun hingga tahun 2010.
Peningkatan yang signifikan
terutama akan terjadi pada negara yang sedang berkembang seperti di China, Pakistan, dan juga Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan konsumsi dengan laju sekitar 8% per tahun, sedangkan China, Eropa Barat, dan Pakistan diproyeksikan akan tumbuh dengan laju masing-masing 7,4%, 6,7%, 7,7% per tahun. Tabel 28. Perkembangan Konsumsi CPO Indonesia Tahun 1996–2005 TAHUN
KONSUMSI (JUTA TON)
JUMLAH PENDUDUK (JUTA)
KONSUMSI/KAPITA (KG)
1996
2,53
198.320
12,76
1997
2,84
201.353
14,10
1998
2,83
204.393
13,85
1999
2,90
206.517
14,04
2000
2,93
205.843
14,23
2001
2,86
208.725
13,70
2002
2,93
212.003
13,82
2003
3,17
215.286
14,72
2004
3,36
217.854
15,42
*)
219.142 1,12
16,29 2,75
2005 Pertumbuhan (%/tahun)
3,57 3,90
Sumber: ISTA Mielke GmbH (2005) dan Badan Pusat Statitistik (2006), diolah. Keterangan : *) Sementara
Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional (CIF Rotterdam) sejak tahun 1996 sampai dengan 2005 menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Walaupun terdapat pengaruh musim, pembentukan harga CPO internasional yang dilakukan melalui mekanisme pasar bebas dan berpusat di Rotterdam sangat ditentukan oleh penawaran dan permintaan CPO internasional, disamping terkait dengan harga minyak nabati lain (minyak kedele) dan pergerakan harga sebelumnya. Harga CPO di Rotterdam ini menjadi rujukan bagi pembentukan harga di pasar domestik (Jakarta dan Medan), termasuk di bursa komoditas.
Dalam kaitan kebijakan, berbagai kebijakan areal dan produksi telah diterapkan oleh pemerintah. Pola-pola lama yang sudah tidak dilanjutkan lagi diantaranya adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan Perkebunan Besar Nasional (PBN).
Pengembangan
perkebunan saat ini dilakukan melalui penerapan 5 pola, yaitu (1) pola koperasi usaha perkebunan (Pola KUP), (2) pola patungan koperasi sebagai majoritas pemegang saham
dan investor sebagai minoritas pemegang saham (Pola Pat K-I), (3) pola patungan investor sebagai mayoritas pemegang saham dan koperasi sebagai minoritas pemegang saham (Pola Pat I-K), (4) pola built, operated, and transferred (Pola BOT), dan (5) pola bank tabungan negara (Pola BTN). Pola pengembangan perkebunan ini lebih berdimensi pada penerapan nilai keadilan dan sekaligus pula mengutamakan efisiensi, produktivitas, dan peran serta masyarakat dalam satu paket kebijakan. Indonesia juga telah memiliki Undang-undang khusus tentang perkebunan, yaitu UU No. 18 Tahun 2004 disamping aturan perundang-undangan lainnya. 9.2.4. Komoditas Karet
Areal karet Indonesia terluas di dunia, dengan luas areal mencapai sekitar 3,28 juta hektar pada tahun 2005. Perkebunan karet di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh perkebunan karet rakyat (85%), dan sisanya merupakan perkebunan besar swasta dan negara. Perkebunan karet rakyat tersebar di 12 propinsi di Indonesia, namun propinsi utama karet rakyat Indonesia adalah Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara.
Dari sisi produksi, Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand, dengan produksi sekitar 2,27 juta ton pada tahun 2005. Perkebunan karet rakyat memberikan kontribusi produksi sekitar 81% (1,7 juta ton), sementara produksi perkebunan besar negara dan swasta masing-masing mencapai sekitar 197 ribu ton (9%), dan 208 ribu ton (10%).
Pertumbuhan produksi karet alam Indonesia menunjukkan respon sejalan dengan perkembangan harga karet alam dunia. Pada periode tahun 1982–2000 dimana harga karet alam dunia masih relatif rendah, pertumbuhan produksi karet alam Indonesia ratarata adalah sekitar 3,8% per tahun. Sementara itu pada periode 2000-2005, dimana harga karet alam dunia telah melonjak cukup tinggi, pertumbuhan produksi karet alam Indonesia meningkat tajam sekitar 8,7% per tahun.
Tabel 29. Luas Areal dan Produksi Karet 1999 – 2004 TAHUN
LUAS AREAL (000 HA)
PRODUKSI (000 TON)
PRODUKTIVITAS (KG/HA/TH)
2000
3.372
1.501
646
2001
3.345
1.607
686
2002
3.318
1.630
696
2003
3.290
1.792
764
2004
3.262
2.066
839
2005
3.279
2.271
842
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.
Sebagai negara produsen karet alam terbesar kedua di dunia, Indonesia berpotensi besar untuk menjadi produsen utama dalam dekade mendatang. Hal ini sangat mungkin dicapai karena Indonesia mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk meningkatkan produksi, baik melalui pengembangan areal baru maupun peningkatan produktivitas dengan meremajakan areal tanaman karet tua dengan menggunakan klonklon unggul terbaru.
Konsumsi karet alam domestik relatif masih relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara produsen karet alam dunia lainnya. Pada tahun 2004 konsumsi domestik baru mencapai sekitar 196 ribu ton (sekitar 9,5% dari total produksi), atau meningkat sekitar 25% dari konsumsi tahun 2003. Konsumsi karet alam domestik pada tahun 2005 meningkat menjadi sekitar 217 ribu ton (9,7%), dan pada tahun 2006 diperkirakan menjadi sekitar 242 ribu ton. Secara umum, tingkat pertumbuhan konsumsi karet alam domestik selama enam tahun terakhir (2000–2005) adalah sekitar 9,72%.
Tabel 30. Produksi dan Konsumsi Karet Indonesia, 2000 – 2005 TAHUN
PRODUKSI (000 TON)
KONSUMSI (000 TON)
2000
1.501
139 (9,26)
2001
1.607
142 (8,84)
2002
1.630
145 (8,89)
2003
1.792
156 (8,70)
2004
2.066
196 (9,49)
2005
2.271
221 (9,73)
Pertumbuhan (%/thn)
8,63
9,72
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.
Harga karet alam di pasar internasional sangat berfluktuasi. Dalam satu dasawarsa terakhir, harga karet alam pernah mencapai titik terendah pada bulan Nopember 2001, yang mencapai sekitar USD0,46 cent/kg. Menurunnya harga karet alam dunia sejak pertengahan tahun 1997 mendorong ketiga negara produsen utama karet alam dunia yakni Thailand, Indonesia dan Malaysia untuk melakukan kerjasama tripartite dibidang produksi dan pemasaran karet alam. Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartite antara tiga negara produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran dunia memperlihatkan kecenderungan yang membaik.
Agar diperoleh percepatan pembangunan agribisnis perkaretan nasional diperlukan dukungan kebijakan sebagai berikut: 1) Penciptaan iklim investasi yang makin kondusif antara lain melalui pemberian kemudahan dalam proses perijinan; pembebasan pajak (tax holiday) selama tanaman atau pabrik belum berproduksi; pemberian rangsangan kepada perajin industri hilir karet untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan mempunyai prospek pasar yang cerah; penciptaan perangkat kepastian hukum dan keamanan baik untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan; penghapusan berbagai pungutan dan pemberian keringan beban yang memberatkan pelaku agribisnis karet; menghilangkan hambatan yang mengganggu mekanisme pasar melalui pemerataan pembangunan infrastruktur dan penciptaan regulasi yang kondusif bagi pembangunan perkebunan, misalnya melalui penyederhanaan prosedur/birokrasi dan keringanan pajak; 2) Pengembangan sarana dan prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi, dan sumber energi (tenaga listrik); 3) Penyediaan dana pengembangan komoditas dengan menghidupkan kembali pungutan dari hasil produksi/ekspor karet yang sangat diperlukan untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM karet serta penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perkaretan.
9.2.5. Komoditas Kakao
Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat selama 20 tahun terakhir khususnya areal perkebunan kakao rakyat. Areal perkebunan kakao berkembang cukup pesat dari 92.797 ha pada tahun 1985 menjadi 992.191 ha pada tahun 2004 atau berkembang lebih dari 10 kali lipat dalam waktu 19 tahun.
Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kakao Indonesia meningkat pesat dari 33.798 ton tahun 1985 menjadi 650 ribu ton tahun 2004 atau meningkat lebih dari 19 kali lipat dalam waktu 19 tahun. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi kakao tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ke tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Perkebunan kakao Indonesia sebagian besar (89,6%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 5,0% dikelola perkebunan besar negara serta 5,4% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Irian Jaya dan Lampung. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara khususnya di Jawa Timur dan Sumatera Utara.
Konsumsi kakao/cokelat Indonesia relatif masih sangat rendah dan baru bangkit setelah mengalami kemerosotan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Pada tahun 1996/97 dan 1997/98, konsumsi cokelat Indonesia sebesar 12 ribu ton, kemudian turun menjadi 9 ribu ton pada tahun 1998/99 dan 8,4 ribu ton pada tahun 1999/00. Selanjutnya konsumsi cokelat berangsur-angsur naik hingga mencapai 12 ribu ton pada tahun 2003/04. Dengan total konsumsi sebesar 12 ribu ton tersebut berarti konsumsi cokelat per kapita masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah yaitu 0,055 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut sangat jauh dibawah tingkat konsumsi ratarata kakao dunia yang mencapai 0,565 kg/kapita/tahun.
Tabel 31. Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia TAHUN
PRODUKSI (TON) PR
PBN
PBS
JUMLAH
1970
487
1.061
190
1.738
1975
801
3.074
46
3.921
1980
1.058
8.410
816
10.284
1985
8.997
20.512
4.289
33.798
1990
97.418
27.016
17.913
142.347
1995
231.992
40.933
31.941
304.866
2000
363.628
34.790
22.724
421.142
2001
476.924
33.905
25.975
536.804
2002
511.379
34.083
25.693
571.155
2003
634.877
32.075
31.864
698.816
2004*
585.955
32.881
32.042
650.878
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Keterangan: *) data sementara, PR = Perkebunan Rakyat, PBN= Perkebunan Besar Negara, PBS = Perkebunan Besar Swasta.
Di Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditas yang tidak diatur tataniaganya oleh pemerintah, sehingga harga kakao di tingkat petani ditentukan oleh mekanisme pasar dan petani juga bebas menjual hasil panennya. Meskipun demikian, struktur pasar komoditas kakao yang terbentuk cukup bervariasi dari yang bersifat monopsoni sampai bersaing bebas.
Pembentukan harga kakao dunia ditentukan oleh tingkat produksi, konsumsi biji kakao dan posisi stok kakao dunia. Perkembangan harga kakao dunia sangat tergantung pada perkiraan dari masing-masing variabel penentu harga kakao tersebut. Apabila perkiraan produksi konsumsi menunjukkan adanya surplus, maka harga kakao dunia bergerak turun dan sebaliknya harga kakao dunia bergerak naik jika produksi konsumsi diperkirakan mengalami defisit.
Kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas kebun dapat dilakukan
melalui
rehabilitasi
dan
intensifikasi
serta
perluasan
areal
dengan
menggunakan klon unggul. Rehabilitasi kebun dapat dilakukan dengan cara sambung samping ataupun penyulaman kebun dengan bahan tanam klon unggul. Sementara, intensifikasi dilakukan dengan penerapan sistem budidaya sesuai dengan anjuran khususnya pemberian pupuk, pemangkasan bentuk dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman secara terpadu dan menyeluruh.
Selanjutnya, permasalahan rendahnya mutu produksi kakao berkaitan dengan masalah sosial ekonomi petani, insentif harga dan ketersediaan sarana pengolahan ditingkat petani. Untuk mengatasi permasalahan ini, selain perlu adanya bantuan teknis dan pendanaan, juga perlu dukungan kebijakan. Program perbaikan mutu produksi dilakukan dengan penerapan SNI wajib fermentasi biji kakao. Program penerapan SNI wajib dapat dilaksanakan setelah fasilitas pendukungnya terpenuhi. Disamping itu perlu adanya program pendampingan dan mediasi agar pelaku bisinis khususnya pedagang kakao mau memberikan insentif yang wajar bagi petani yang melakukan upaya perbaikan mutu kakao. Upaya perbaikan mutu tersebut perlu diikuti dengan program atau penyusunan rencana kerja untuk meniadakan potongan harga otomatis (automatic detention).
9.2.6. Komoditas Tebu
Secara nasional total areal dan produksi tebu berkembang sangat dinamis mengikuti dinamika berbagai faktor ekonomi, sosial, dan politik. Sejalan dengan kebijakan pergulaan yang bersifat suportif dan stabilisasi (1970–1996), pemerintah berusaha mendorong perkembangan areal dan produksi tebu/gula. Pada tahun 1985 areal tebu sudah mencapai 340.229 ha dan terus meningkat mencapai puncaknya tahun 1996 mencapai 446.533 ha, atau meningkat dengan laju 5,2% per tahun. Produksi juga meningkat secara konsisten dengan laju 2,8% per tahun. Namun produktivitas dalam bentuk rendemen cenderung menurun dengan laju –1,4% per tahun. Produksi gula nasional kembali mencapai puncaknya pada tahun 1994 dengan volume produksi 2,4 juta ton. Pada tahun 2005, produksi meningkat dengan laju 8,5% per tahun.
Konsumsi gula di sisi lain terus meningkat, kecuali pada masa krisis ekonomi yang mengalami penurunan. Secara umum, konsumsi gula meningkat dengan laju 3,4% per tahun selama periode stabilisasi. Ketika krisis ekonomi terjadi, konsumsi menjadi stagnan, bahkan menurun dengan laju –0,2% per tahun pada periode 1997-2002. Setelah perekonomian nasional pulih kembali, konsumsi gula mulai meningkat dengan laju 1,98% per tahun pada periode 2002–2005. Pada tahun 2005 konsumsi mencapai 3,5 juta ton dan konsumsi per kapita pada kisaran 16,0 kg per kapita.
Sebelum liberalisasi industri gula nasional yang dimulai tahun 1997, harga gula di tingkat petani ditentukan oleh pemerintah melalui Bulog yang dikenal sebagai harga provenue. Harga provenue ditetapkan pemerintah dengan mempertimbangkan target harga eceran, inflasi, biaya transpor, dan harga pupuk. Jika inflasi meningkat sebesar 1% maka harga tingkat petani meningkat sekitar 0,84%, jika harga pupuk naik sebesar 1% maka harga tingkat petani juga meningkat sekitar 0,60%. Pada tahun 1998–2002, pemerintah
melepas harga gula petani pada mekanisme pasar bebas yang mengacu pada harga gula di pasar internasional. Selanjutnya pemerintah menerapkan kebijakan tataniaga impor gula pada bulan September 2002 yang mengubah pembentukan harga di tingkat petani seperti harga provenue, disebut harga patokan petani (HPP) yang merupakan harga gula minimum di tingkat petani. HPP tersebut dijamin oleh perusahaan swasta yang bekerja sama dengan kelembagaan petani dan PTPN.
Mekanisme dan perkembangan harga gula eceran pada dasarnya identik dengan yang terjadi pada harga tingkat petani. Sampai dengan tahun 1997 harga eceran tetap di bawah kendali pemerintah sehingga harga eceran pada dasarnya sama dengan harga provenue ditambah dengan biaya pemasaran. Dengan demikian, harga eceran menjadi stabil terkendali dengan laju peningkatan sama dengan harga provenue sekitar 6,6% per tahun. Setelah tahun 1997, pembentukan harga di tingkat eceran lebih banyak ditentukan oleh harga gula impor, walaupun HPP yang ditentukan pemerintah juga mempunyai pengaruh.
Harga gula di pasar internasional cukup fluktuatif. Harga gula yang tinggi terjadi pada awal tahun 1970-an dan tertinggi terjadi pada tahun 1974 yaitu sebesar USD 660/ton. Pada dekade terakhir sebelum 2004, harga gula cenderung menurun dengan laju penurunan sekitar 6,97% per tahun.
Penurunan harga yang berkepanjangan ini
terutama disebabkan oleh peningkatan stok gula dunia sebagai dampak dari proteksi dan subsidi yang dilakukan beberapa negara. Harga terendah pada dekade terakhir terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar USD 114/ton.
Semenjak tahun 2004, industri gula dunia mulai mengalami titik balik yang ditunjukkan oleh peningkatan harga gula yang dipicu oleh defisit stok gula dunia antara 1–3 juta ton dan harga minyak bumi yang melambung diatas USD 70/barrel. Melambungnya harga minyak bumi tersebut telah mendorong penggunaan tebu sebagai bahan bakar alternatif (etanol), terutama oleh negara Brazil. Pada tahun 2006, harga gula melambung tinggi di atas USD400/ton.
Tabel 32. Luas Areal Tebu dan Produksi Gula Berdasarkan Propinsi AREAL (HA)
PROPINSI
PANGSA 2005 (%)
PRODUKSI (TON)
1980
2005
193.071
179.708
47,0
892.790
1.092.640
48,7
Jawa Tengah
62.309
32.613
8,5
358.529
152.236
6,8
Jawa Barat
21.008
22.726
5,9
68.240
123.110
5,5
5.550
9.339
2,4
26.028
30.423
1,4
281.938
244.386
64,0
1.345.587
1.398.409
62,4
12.237
102.848
26,9
38.693
694.192
31,0
0
12.297
3,2
0
55.637
2,5
453
9.359
2,4
332
40.636
1,8
5.244
5.472
1,4
26.314
26.162
1,2
Lainnya
16.045
7.721
2,0
32.674
27.275
1,2
Luar Jawa
33.979
137.697
36,0
98.013
843.902
37,6
Indonesia
315.917
382.083
100,0
1.443.600
2.242.311
100,0
Jawa Timur
DI Yogyakarta Jawa Lampung Sumatera Selatan Sumatera Utara Sulawesi Selatan
1980
2005
PANGSA 2005 (%)
Sumber : Ditjenbun (2005), diolah
Beberapa kebijakan berkaitan dengan komoditas tebu yang dapat dilakukan antara lain kebijakan perdagangan, kebijakan infrastruktur, kebijakan pendanaan dan investasi dalam penyediaan sarana produksi.
9.3.
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Komoditas Unggulannya
Indonesia merupakan negara maritim dengan potensi perikanan yang sangat besar. Sekitar 70% dari luas wilayah adalah lautan, dengan cakupan area mencapai sekitar 5,8 juta km2, yang membuat garis pantai sepanjang 81.000 km dan mengelilingi lebih dari 18.000 pulau.
Didukung oleh iklim dan keadaan geografisnya, Indonesia memiliki
keanekaragaman dan produktivitas biota laut yang tinggi. Dari berbagai komoditas yang potensinya yang telah berhasil diidentifikasi, diperkirakan perairan Indonesia mampu memproduksi 6,4 juta ton ikan pertahun. Di antara komoditas-komoditas tersebut, banyak di antaranya yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, misalnya tuna, udang, dan rumput laut. Apabila dikelola dengan baik, komoditas-komoditas tersebut mampu menopang peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.
Selama kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir, penawaran maupun permintaan ketiga komoditas tersebut (udang, tuna dan rumput laut) cenderung terus menunjukkan peningkatan. Rata-rata pertumbuhan produksi ketiga komoditas tersebut masing-masing sebesar 3,22%; 2,78%, dan 11,79%. Sementara itu, permintaan ketiga komoditas tersebut mengalami peningkatan masing-masing sebesar 2,10%, 3,02%, dan 10,07%.
Hasil analisis Tabel I-O memperlihatkan bahwa peran ekonomi dari kegiatan usaha komoditas udang, tuna dan rumput laut memiliki keterkaitan (linkages) yang tinggi dengan sektor ekonomi lainnya dalam perekonomian nasional baik secara keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke depan (forward linkages). Besaran nilai rata-rata koefisien keterkaitan ke belakang (backward linkages) untuk udang, tuna dan rumput laut adalah masing-masing 1,46, 1,34, dan 1,44.
Sementara rata-rata
koefisien keterkaitan ke depan (forward linkages) masing-masing mendekati nilai 1.
Ketiga komoditas revitalisasi perikanan tersebut juga memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar dari rata-rata dunia. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukkan bahwa nilai indeks RCA untuk komoditas udang, tuna dan rumput laut adalah berturut-turut sebesar 2,97; 8,43 dan 29,81). Angka-angka RCA yang kesemuanya lebih besar dari satu menunjukkan bahwa berdasarkan pemetaan daya saing ketiga komoditas unggulan tersebut memiliki keunggulan komparatif yang sangat baik dalam perdagangan internasional.
Hasil-hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah untuk merevitalisasi industri perikanan dengan menempatkan udang, tuna dan rumput laut sebagai komoditas unggulan merupakan hal yang tepat. Hal ini membawa implikasi perlunya dukungan upaya pengembangan investasi usaha budidaya dan penangkapan ketiga komoditas unggulan tersebut termasuk usaha-usaha turunannya seperti usaha di industri pengolahan hasil perikanan maupun perdagangan ekspor komoditas perikanan.
Terlepas dari berbagai potensi di atas, sektor perikanan masih menghadapi beberapa kendala seperti minimnya infrastruktur khusus perikanan seperti pelabuhan, stasiun penyediaan bahan bakar solar, irigasi perikanan.
Selain itu, petani/nelayan seringkali dihadapkan kepada kesulitan untuk menyediakan agunan dalam jumlah tertentu sebagai jaminan kepada pihak perbankan pada saat mengajukan kredit permodalan. Resiko produksi pada bisnis perikanan menyangkut siklus produksi perikanan yang musiman, sehingga hasilnya seringkali tidak dapat diperhitungkan dengan pasti. Hal inilah yang menyebabkan pihak perbankan enggan menyediakan modal bagi perkembangan bisnis di sektor tersebut. Di samping resiko produksi yang tergantung musim terutama hasil perikanan tangkap, juga mengandung resiko harga yang tinggi. Tidak adanya kepastian harga dan sangat berfluktuatif menyebabkan pendapatan nelayan dan petani ikan tidak dapat diperkirakan dengan tepat. Karakteristik resiko pada bisnis perikanan yang demikian dan disertai dengan status ekonomi petani ikan dan nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara
ekonomi, membuat mereka sulit untuk memenuhi syarat-syarat perbankan.
Untuk
mengatasi masalah permodalan tersebut perlu dipertimbangkan bentuk alternatif pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik usaha perikanan. 9.3.1. Komoditas Tuna
Komoditas Tuna (termasuk cakalang) adalah salah satu komoditas unggulan di sektor perikanan. Tingkat produksi Tuna masih sangat mungkin untuk ditingkatkan, terutama di kawasan Timur Indonesia, meskipun pengembangan komoditas ini harus dilakukan dengan selektif karena data menunjukkan bahwa usaha penangkapan sejumlah jenis tuna, khususnya tuna besar telah menunjukkan penurunan.
Potensi ikan pelagis besar (termasuk tuna) secara nasional mencapai 1.165,36 ribu ton. Sumberdaya tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dimasa mendatang bagi kepentingan pembangunan perikanan nasional. Dari 9 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia, semua WPP -selain WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa- sebagian besar masih memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Di WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa, tingkat pemanfatan sudah melebihi potensi yang ada (overfishing). Potensi ikan pelagis besar di WPP Selat Malaka mencapai 27,67 ribu ton sedangkan tingkat produksinya telah mencapai 36,27 ribu ton. Begitu pula halnya yang terjadi di WPP Laut Jawa, produksi ikan pelagis besar mencapai 137,82 ribu ton sedangkan potensinya hanya sekitar 55 ribu ton.
Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang pula industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang merupakan sentra pendaratan tuna seperti Muara Baru-Jakarta, Pelabuhan Ratu–Jawa Barat, Cilacap-Jawa Tengah, Benoa–Bali dan Bitung–Sulawesi Utara. Industri pengolahan dimaksud pada umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted); produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak (frozen steak); dan produk dalam kaleng (canned tuna).
Konsumsi tuna pada tahun 2006 sebesar 629.782 ton, diproyeksikan meningkat menjadi 694.943 ton pada tahun 2009. Sedangkan ekspor tuna pada tahun 2006 sebesar 113.293 ton, pada tahun 2009 meningkat menjadi 134.673 ton. Dengan demikian, permintaan total tuna pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 743.460 ton, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 829.616 ton.
Harga domestik tuna di Indonesia, disamping dipengaruhi oleh harga ekspor dan nilai tukar rupiah terhadap USD juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak
yang berdampak mengurangi supply tuna. Hal yang sama juga terjadi pada saat nilai tukar rupiah terhadap USD meningkat, dimana volume ekspor tuna meningkat, dan supply domestik berkurang, untuk kemudian mendorong peningkatan harga domestik. Tabel 33. Proyeksi Produksi Tuna, Cakalang dan Tongkol, Tahun 2005-2009
TAHUN
PRODUKSI TUNA (TON)
PRODUKSI CAKALANG (TON)
PRODUKSI TONGKOL (TON)
PRODUKSI TOTAL SEBELUM REVITALISASI (TON)
2005
185.654
258.180
281.733
725.567
-
2006
192.976
270.233
291.261
754.470
863.305
2007
200.298
274.445
297.197
771.940
885.111
2008
207.620
277.760
306.222
791.602
907.393
2009
214.942
283.979
313.255
812.176
930.916
200.298
272.919
297.934
771.151
896.681
3.60
2.34
2.62
2.78
2.48
Rata-rata Pertumbuhan (%)
PRODUKSI TOTAL SETELAH REVITALISASI (TON)
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, data hasil olahan.
9.3.2. Komoditas Udang
Udang dipilih menjadi komoditas unggulan untuk program revitalisasi karena posisi Indonesia saat ini merupakan salah satu di antara sedikit negara yang memiliki potensi produksi yang sangat besar.
Rata-rata produksi udang Indonesia selama periode tahun 1999-2003 mencapai 400.551 ton. Tahun 2002, produksi udang mengalami penurunan mencapai 400.672 ton, hal ini disebabkan oleh
turunnya produksi udang hasil tangkapan.
Produksi udang hasil
tangkapan paling besar dari Propinsi Riau sebesar 42.284 ton pada tahun 1999, dan dari Propinsi Sumatera Utara sebesar 38.914 ton pada tahun 2003. Sementara itu, untuk udang hasil budidaya rata-rata produksi selama 5 tahun (1999-2003) mencapai 157.213 ton. Produksi udang hasil budidaya paling besar dari Propinsi Jawa Timur sebesar 21.279 ton pada tahun 1999, dan dari Propinsi Jawa Barat sebesar 35.185 ton pada tahun 2003. Berbeda halnya dengan produksi udang hasil tangkapan, ternyata dari hasil budidaya mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama periode tersebut.
Tabel 34. Proyeksi Luas Areal dan Produksi Udang Budidaya dan Penangkapan PRODUKSI UDANG (TON)
AREAL TAMBAK (HA)
BUDIDAYA
PERAIRAN UMUM
PENANGKAPAN
TOTAL
TOTAL SETELAH REVITALISASI
2005
468.993
192.189
33.305
266.751
492.245
-
2006
480.987
201.148
34.709
274.392
510.249
577.501
2007
492.981
209.557
36.113
281.902
527.572
586.415
2008
504.976
217.580
37.518
289.339
544.437
595.257
2009
516.970
225.330
38.922
296.738
560.990
604.060
Rata-rata
492.981
209.161
36.113
281.824
527.099
590.808
2,41
3,90
3,82
2,63
3,22
1,49
TAHUN
Pertumbuhan (%)
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, data hasil olahan.
Konsumsi udang diproyeksikan meningkat dari 338.288 ton pada tahun 2006 menjadi 366.273 ton pada tahun 2009. Sementara itu, ekspor udang pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 130.807 ton, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 143.129 ton. Permintaan total udang pada tahun 2006 sebesar 469.095 ton, pada tahun 2009 meningkat menjadi 509.402 ton. Total permintaan udang setiap tahunnya masih berada dibawah tingkat produksinya; sebagai contoh, pada tahun 2009 diperkirakan terjadi kelebihan produksi sebesar 51.588 ton. Kecenderungan tersebut
mengindikasikan
adanya peluang untuk meningkatkan ekspor sebesar rata-rata 36% per tahun.
Untuk komoditas udang, harga domestik ditentukan oleh harga ekspor dan jumlah produksi udang, yaitu apabila harga ekspor meningkat maka peningkatan harga tersebut akan ditransmisikan secara langsung ke harga domestik. Hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan yang memperlihatkan adanya hubungan antar peningkatan harga ekspor dan volume ekspor udang Indonesia yang cenderung meningkat. Kecenderungan yang ada juga menunjukkan bahwa peningkatan ekspor tersebut mengakibatkan supply di dalam negeri menurun, dan mengakibatkan adanya kenaikan harga domestik. Hal yang sama terjadi; apabila produksi udang meningkat maka harga domestik cenderung menurun.
9.3.3. Komoditas Rumput Laut
Rumput laut dipilih sebagai komoditas unggulan revitalisasi karena memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi, teknologi budidaya yang mudah, masa tanam yang pendek (hanya 45 hari) atau quick yield dan biaya per unit produksi sangat murah.
Indonesia memiliki 5 propinsi utama penghasil rumput laut, yaitu Propinsi Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Dalam periode 7 tahun (1997 – 2003), produksi rata-rata tahunan tertinggi dicapai oleh Propinsi Bali (91.656 ton, basah), kemudian Sulawesi Selatan (26.025 ton, basah) dan NTB (19,190 ton, basah). Selama kurun waktu tersebut, produksi rumput laut di kelima propinsi utama cenderung meningkat dengan kenaikan rata-rata 31 s.d 1,6%. Besarnya kisaran kenaikan rata-rata tersebut menunjukkan bahwa produksi rumput laut di daerah tersebut cenderung tidak stabil. Hampir semua propinsi utama penghasil rumput laut tersebut mengalami gejolak produksi. Ketidakstabilan produksi rumput laut ini disebabkan oleh dominannya faktor alam pada budidaya yang bersifat water-based aquaculture ini dimana seharusnya menuntut campur tangan manusia yang relatif tinggi.
Produksi rumput laut Indonesia pada Tahun 2001 mencapai 255.233 ton (basah), dan cenderung meningkat selama 4 tahun sejak tahun 1998. Tahun 1998 produksi rumput laut di kelima propinsi utama tersebut, dan propinsi lainnya, umumnya anjlok hingga ke tingkat yang paling rendah. Pada tahun 2002 produksi rumput laut turun 223.080 ton dan meningkat kembali pada tahun 2003 sebesar 233.156 ton.
Konsumsi rumput laut pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 447.731 ton, dan pada tahun 2009 menjadi 608.747 ton. Sementara itu, ekspor rumput laut pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 55.974 ton, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 71.539 ton. Dengan demikian, permintaan total rumput laut pada tahun 2006 sebesar 503.705 ton, dan pada tahun 2009 diproyeksikan meningkat menjadi sebesar 680.286 ton.
Untuk komoditas rumput laut kondisi di lapangan menunjukkan bahwa harga rumput laut di tingkat petani banyak ditentukan oleh standar mutu yang ditentukan oleh kalangan industri (pabrikan). Kondisi lapangan juga menunjukkan bahwa harga rumput laut di tingkat petani sangat rendah, terutama karena panjangnya mata rantai. Selain itu, rendahnya harga pada komoditas rumput laut disebabkan adanya praktek yang mengarah pada pasar oligopoli, sehingga harga tersebut banyak dipengaruhi oleh pembeli dari kalangan industri dengan tingkat harga yang rendah.
Tabel 35. Proyeksi Produksi Rumput Laut, Tahun 2005-2009 Produksi Rumput Laut Sebelum Revitalisasi (Ton)
Produksi Rumput Laut Setelah Revitalisasi (Ton)
Luas Areal Rumput Laut (Ha)
Luas Areal Revitalisasi Rumput Laut (Ha)
2005
29.923
-
448.845
-
2006
33.580
4.800
503.706
727.706
2007
37.504
4.800
562.566
831.306
2008
41.428
7.200
621.426
943.826
2009
45.352
7.200
680.286
1.060.286
Rata-rata
37.557
6.000
563.366
890.781
9.87
11.11
9.87
11.79
Tahun
Pertumbuhan (%)
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, data hasil olahan.
10.
Penutup
Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian. Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi terletak dalam beberapa hal seperti penopang pertumbuhan ekonomi dan penyedia lapangan kerja nasional, penyedia kebutuhan pangan masyarakat, penghasil devisa, dan pendorong tumbuhnya sektor industri.
Meskipun memegang peranan yang penting, pembangunan sektor pertanian masih menghadapi beberapa kendala / permasalahan. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian adalah kurang tersedianya pembiayaan jangka panjang (investasi) dalam rangka penyediaan dan perbaikan infrastruktur, perluasan lahan, dan penguatan kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor pertanian. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan alternatif pembiayaan jangka panjang sektor pertanian, antara lain melalui pendirian lembaga pembiayaan khusus sektor pertanian.
Namun, perbedaan karakteristik subsektor pertanian / komoditi yang ada dalam sektor ini menyebabkan permasalahan yang dihadapi masing-masing subsektor / komoditi berbeda-beda. Sehingga permasalahan pada sektor pertanian lebih tepat dilihat pada masing-masing subsektor / per komoditi.
Berdasarkan hasil kajian peta sektor pertanian yang dihasilkan oleh Bank Indonesia, prioritas kebijakan sub sektor tabama dan peternakan sebaiknya diarahkan untuk mencapai ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan impor, sementara untuk sub sektor perkebunan dan perikanan prioritas kebijakan diarahkan pada peningkatan ekspor.
Hasil kajian peta sektor pertanian yang dihasilkan oleh Bank Indonesia ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, BI, perbankan (kreditor) dan investor dalam mengambil keputusan untuk mengatasi permasalahan di sektor pertanian.
PRODUKSI
ASPEK
Pembukaan lahan dan Pembuatan peraturan rencana tata ruang dan tata guna lahan
Pembukaan lahan sawah baru
Masalah infrastruktur (seperti sarana irigasi, jalan, pelabuhan, dll).
Program inovasi varietas unggul baru dipercepat
peran swasta dalam bisnis jasa litbang dan input inovatif
Perbaikan dan pembangunan sarana jalan dan angkutan pedesaan
Perbaikan dan perluasan sarana irigasi
Alokasi dana penelitian perbaikan varietas padi diperbesar
Deregulasi litbang & industri perbenihan
Perbaikan dan perluasan sarana irigasi
Penerapan ketentuan konversi lahan irigasi
TINDAK LANJUT
Pengendalian konversi lahan
KEBIJAKAN / PROGRAM
Penurunan pertumbuhan produksi: - penggunaan lahan pertanian ke non pertanian Intensifikasi pemanfaatan lahan - ketersediaan bibit unggul sawah - sarana produksi (pupuk, irigasi, dll) Revitalisasi litbang: mendorong
MASALAH
Lampiran 1 Sektor Pertanian – Matriks Sub Sektor Tabama dan Peternakan
HARGA
DISTRIBUSI / PEMASARAN
ASPEK
Kebijakan revit alisasi indust ri perberasan t erpadu
Kebijakan pemerintah t erlalu fokus pada kebijakan harga dasar gabah dan subsidi pupuk (khusus unt uk subsektor tabama)
dan st abilit asi harga gabah
Pangsa harga gabah yang diterima petani minimum dan tidak stabil Peningkat an efisiensi pemasaran
Informal price maker (terut ama unt uk komoditi subsektor t abama)
Belum ada kebijakan pemerint ah yang khusus menangani masalah pengemasan dan pergudangan komodit i pertanian
Sistem transportasi dan distribusi yang efisien
KEBIJAKAN / PROGRAM
Pengemasan dan pergudangan
Biaya distribusi yang besar (terutama dari produsen ke konsumen)
MASALAH
Kaji ulang ret ribusi dan pungut an t erkait pemasaran hasil pertanian
Perbaikan dan pembangunan sarana jalan dan angkut an pedesaan
Perlu kajian ulang kebijakan subsidi pupuk dan HDG
Kaji ulang ret ribusi dan pungut an t erkait pemasaran hasil pertanian
Perbaikan dan pembangunan sarana jalan dan angkut an pedesaan
TINDAK LANJUT
PEMBIAYAAN
ASPEK
Deregulasi program kredit sektor pertanian
Perlu dikembangkan sistem perkreditan pertanian yang dikelola oleh sistem perbankan pertanian yang kuat sehingga akses petani terhadap pembiayaan perbankan dan permodalan meningkat sehingga dapat meningkatkan produksi. Perlu juga dipikirkan alternatif pendirian lembaga pembiayaan khusus untuk sektor pertanian, termasuk pembiayaan kepada sub sektor tabama dan peternakan.
Rendahnya penyerapan modal kerja Kredit Ketahanan Pangan (terutama pada subsektor tabama)
Berkaitan dengan permodalan, dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi sub sektor tabama dan peternakan terutama dalam jangka panjang, kebutuhan pendanaan tidak terbatas pada kebutuhan permodalan namun juga kebutuhan investasi.
TINDAK LANJUT
Melibatkan sektor swasta dalam sektor pertanian
KEBIJAKAN / PROGRAM
Investasi yang minim (terutama untuk pengembangan infratruktur dan pengembangan industri pasca panen)
MASALAH
KEBIJAKAN PEMERINTAH
TEKNOLOGI
ASPEK
Tidak ada kebijakan yang terpadu antar departemen (fragmentasi kebijakan)
Koordinasi kebijakan
Perlu visi dan misi yang jelas mengenai pengembangan sektor pertanian
Belum ada arah/prioritas kebijakan sektor pertanian yang jelas
TINDAK LANJUT Program penyuluhan dan pendampingan
KEBIJAKAN / PROGRAM
Tingkat adopsi teknologi yang rendah di Memperkuat penelitian dan tingkat petani pengembangan (R & D)
MASALAH
DISTRIBUSI / PEMASARAN
PRODUKSI
A SPEK
Persaingan
Pembent ukan perusahaan gabungan ant ara BUMN dan sw asta untuk bersaing menghadapi perusahaan mult inasional
Peningkatan akses dan perluasan pasar ekspor (antara lain melalui market intelligence dan penyebaran informasi pasar)
Pengembangan lembaga penunjang ekspor
hambatan perdagangan (tarif dan non tarif), terutama yang diterapkan negara pengimpor minyak sawit.
Peningkatan t eknologi pengolahan
Penguatan riset sekt or perkebunan
Penyediaan bibit unggul bermut u dengan harga yang terjangkau
TINDAK LANJUT
Perlu dikembangkan industri hilir perkebunan
Adanya sertifikasi bibit unggul
KEBIJAKA N / PROGRAM
Laju pertumbuhan produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan konsumsi, terutama untuk komoditi CPO, karet dan kakao
Rendahnya produktivitas pada industri hulu, terutama karena: komposisi tanaman yang masih didominasi tanaman asal biji/bibit tidak unggul/bibit palsu dan berumur tua, keterbatasan saran produksi dan pupuk yang masih terbatas
MA SA LA H
Sektor Pertanian – Matriks Sub Sektor Perkebunan
KEBIJAKAN PEMERINTAH
TEKNOLOGI
PEMBIAYAAN
HARGA
A SPEK
Inkonsistensi penerapan payung kebijakan/peraturan
perkebunan,dll
Pemerintah perlu menerpakan kebijakan secara konsisten
Kurangnya kepastian hukum dan Penetapan UU No. 18 tent ang jaminan keamanan yang berkaitan Perkebunan sebagai payung dengan pemanfaat an lahan, jaminan ut ama pengambangan Revitalisasi Pertanian, UU No. 18 keamanan dan konflik sosial dengan perkebunan tahun 2004 tentang masyarakat lokal
Konflik kepentingan pemerintah pusat dan daerah
Perlu adanya koordinasi ant ar lembaga di sektor pertanian dan industri berkaitan dengan mutu produk.
T eknologi pengolahan belum memberikan insent if bagi pelaku untuk meningkatkan mut u produk.
Pemberian insentif invest asi, sepert i keringanan bunga dan pajak
Kerjasama dengan negara produsen utama untuk menjaga kestabilan harga produk.
TINDAK LANJUT
Mengembangkan alt ernat if pembiayaan sektor perkebunan.
Kebijakan mutu (SNI) dari pemerintah.
Masih mengikuti harga pasar internasional
KEBIJAKA N / PROGRAM
Memerlukan investasi jangka panjang dalam jumlah yang besar dan mempertimbangkan grace period.
Belum memadainya fasilitas/insentif bagi pelaku usaha untuk menanamkan modalnya di industri hilir perkebunan
Harga produk primer mengalami fluktuasi yang cukup tajam di pasar int ernasional
MA SA LA H
PRODUKSI
ASPEK
Ketidakstabilan produksi terutama untuk komoditas rumput laut karena dominannya faktor alam dan kurangnya kemampuan petani dalam mengelola kegiatan produksi
Penurunan produksi udang tangkapan
Overfishing di beberapa daerah penangkapan, terutama untuk komoditi Tuna
Minimnya infrastruktur : - Pelabuhan - Irigasi Perikanan - Stasiun pengisian bahan bakar solar
MASALAH
Sektor Pertanian – Matriks Sub Sektor Perikanan
Kebijakan pemerintah yang mendukung usaha pertambakan udang baik oleh rakyat maupun swasta.
KEBIJAKAN / PROGRAM
Penyuluhan petani mengenai pengelolaan kegiatan produksi rumput laut
Peningkatan produksi budidaya udang.
Pengalihan daerah penangkapan yang masih under fishing
Perlunya investasi untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Pengembangan infrastruktur tersebut memerlukan pendanaan yang cukup besar sehingga diperlukan adanya dukungan lembaga keuangan, yang secara efektif dapat membantu realisasi pembangunan infrastruktur dimaksud
TINDAK LANJUT
DISTRIBUSI / PEMASARAN
ASPEK
Pangsa pasar Indonesia masih rendah
Hambatan tariff dan non tariff menyulitkan penetrasi pasar Indonesia
Perlu dilakukan upaya peningkatan mutu hasil subsektor perikanan sehingga produk perikanan dapat memiliki mutu yang baik dan seragam, tersedia secara teratur dan sinambung serta dapat disediakan secara masal.
Perbaikan sarana transportasi.
Sarana dan infrastruktur transportasi masih buruk sehingga menyebabkan mahalnya biaya transportasi.
TINDAK LANJUT
Lemahnya sistem distribusi pemasaran internasional
KEBIJAKAN / PROGRAM
Perlu jaringan internasional yang mempu menjembatani industri pengolahan subsektor perikanan dengan pasar dunia.
MASALAH
KEBIJAKAN PEMERINTAH
TEKNOLOGI
Adanya kebijakan revitalisasi, yang di dalamnya memberikan prioritas besar terhadap tiga komoditas (Tuna, Udang dan Budidaya Rumput Laut)
Perlunya penguatan lembaga Teknologi budidaya (misal vaname) DKP telah memiliki lembaga riset riset di subsektor perikanan, perikanan yang kapasitasnya dapat mengancam eksistensi teknologi termasuk riset mengenai diandalkan budidaya lokal teknologi budidaya
PEMBIAYAAN
Adanya skim pembiayaan dari lembaga keuangan yang dapat mempercepat pembangunan perikanan, khususnya yang diarahkan pada pembangunan infrastruktur pendukungnya
TINDAK LANJUT
Pengembangan mekanisme Fasilitas permodalan untuk sektor pendanaan secara mandiri perikanan masih minim atau masih (Lembaga Mitra Mina - Mina kurang membuka akses terhadap Ventura - Asuransi Petani Ikan dan usaha-usaha perikanan Nelayan)
KEBIJAKAN / PROGRAM
HARGA
MASALAH Meskipun Indonesia merupakan produsen besar, masalah domestik menyebabkan harga ditentukan oleh mitra internasionalnya
ASPEK
PROPINSI Bali Bangka Belitung Banten Bengkulu DI Yogyakarta DKI Jakarta Gorontalo Jabar Jambi Jateng Jatim Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Lampung Maluku Maluku Utara NAD NTB NTT Papua Riau Sulsel Sulteng Sultra Sulut Sumbar Sumsel Sumut JUMLAH
Padi 129,013 105,663 214,159 163,844 101,402 11,267 82,081 1,186,601 428,716 1,503,083 1,567,708 493,373 893,950 1,096,975 447,004 628,329 296,165 267,405 580,479 153,866 199,178 9,550,816 447,533 1,165,779 539,499 371,128 121,337 483,305 1,386,946 984,379 25,600,983 27,677 123,790 8,283 7,404 76,585 361,007 238,410 157,245 522,276 2,369,755 872,057 1,570,823 5,358,262 808,761 140,695 114,945 102,464 326,789 782,621 4,176,733 273,136 342,997 118,012 479,264 16,859 151,728 1,573,257 1,102,135 22,220,190
Jagung 16,220
182,969 262,799 47,023 5,651,387
133,933
203,431
1,762,105 139,063 2,382,721 520,515
16,828
Jeruk
27,677 123,790 8,283 7,404 76,585 361,007 238,410 157,245 522,276 2,369,755 872,057 1,570,823 5,358,262 808,761 140,695 114,945 102,464 326,789 782,621 4,680,123 273,136 342,997 118,012 479,264 16,859 151,728 1,573,257 1,102,135 22,723,580 126,022 3,231,531
199,301 73,465 481,144
62,912 143,941 151,369 331,189 985,654 28,268
108,123 438,082
92,799
P.Penggembalaan Pisang 16,220 9,262
Lampiran 2 Potensi Pengembangan Komoditas Unggulan Subsektor Tabama dan Peternakan
Propinsi
Sumber : Statistik Ditjenbun 2005–2006
Sumatra Utara Jawa Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
Kakao
Sumatera Utara Riau Jambi Sumatera Selatan Kalimantan Barat
Propinsi
Kelapa Sawit
51.093 15.622 136.775 184.470 110.517
Produksi (ton)
3.192.830 3.189.087 790.781 975.686 830.351
Produksi (ton)
2004
2004
64.298 35.975 184.552 217.400 175.349
Luas Areal (Ha)
954.854 1.370.284 457.452 515.372 455.813
Luas Areal (Ha)
Lima (5) Besar Daerah Produsen Komoditas Unggulan Subsektor Perkebunan
Lampiran 3
Propinsi
Propinsi
Sumber : Statistik Ditjenbun 2005–2006
Jawa Timur Lampung Jawa Tengah Jawa Barat Sumatera Selatan
Tebu
Sumatera Utara Sumatera selatan Riau Jambi Kalimantan Barat
Karet
901.179 710.260 167.083 114.222 56.170
Produksi (ton)
402.977 379.316 261.507 210.628 200.552
Produksi (ton)
2004
2004
150.111 96.260 37.113 21.141 11.657
Luas Areal (Ha)
456.782 630.795 426.294 418.302 367.267
Luas Areal (Ha)
Laut Cina Selatan Laut Jawa Selat Makassar & laut Flores Laut Banda Laut Seram. Laut Halmahera dan Teluk Tomini Laut Sulawesi Samudera Pasifik Laut Arafura Samudera Hindia
Lokasi (Wilayah Pengelolaan Perikanan)
Tuna. Cakalang. Tongkol
Sentra Produksi Subsektor Perikanan
Lampiran 4
Produksi rata-rata (ton/tahun) Tuna Cakalang Tongkol 64 3.419 29.234 0 0 37.005 18.691 34.004 37.714 15.648 27.943 4.159 44.427 77.122 30.229 17.482 29.280 8.632 2.179 6.027 2.606 55.115 44.498 98.872
19.817 10.249 21.802 19.651 11.391 19.180 9.698 19.301 26.124 157.213 400.551
15.223 15.351 58.935 243.338
34.808 41.769 18.069 10.584 16.595 32.005
Rata-Rata 1999-2003
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2001 – 2005); Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2001 – 2005)
Kalimantan Timur Papua Lainnya Total Perikanan Budidaya Sumatera Utara Sumatera Selatan Lampung Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Lainnya Total TOTAL
Wilayah Perikanan Tangkap Sumatera Utara Riau Jambi Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan
Udang
Potensi Produksi E. Cottonii (ton/tahun) 104.100 2.000 1.800 2.400 5.200 29.500 18.100 12.000 Nusa Tenggara Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua
Lokasi
Industri Pengolahan (ton/tahun) 1.000 10.500 106.300 26.500 83.000 206.600 501.900
Sumber: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2004
Bali Nusa Tenggara Barat
Jawa Tengah Jawa Timur
NAD Sumsel DKI Jabar dan Banten
Lokasi
Rumput Laut