PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN STRATEGIS DAN VITAL DI PROPINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dalam pendayagunaan sumberdaya alam telah diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan pertambangan umum kepada Pemerintah Propinsi sesuai dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2.000 teritang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom dan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan serta Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pertambangan Umum ; b. bahwa pembangunan pertambangan umum dan surnberdaya mineral yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah suatu proses yang terencana dan terarah dalam melaksanakan pembangunan bidang pertambangan umum dan surnberdaya mineral dengan memperhatikan keseimbangan antara optimalisasi manfaat, masyarakat dan daya tarik investasi serta mengindahkan prinsip-prinsip konservasi dan pelestarian fungsi lingkungan karena sifat surnberdaya mineral yang tidak terbarukan, yang harus dikelola secara efisien, transparan. berwawasan lingkungan dan berkeadilan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut huruf a dan b, perlu mengatur tugas pemerintahan di bidang pertambangan umum bahan galian golongan strategis dan vital dalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur. Mengingat :
1. Undang - undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur juncto Undang - undang Nomor 18 tahun 1950 tentang Mengadakan Perubahan dalam Undang - undang Tahun 1950 Nomor 2 dari hal Pembentukan Propinsi Jawa Tirnur (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 32); 2. Undang - undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan –Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tarnbahan Lembaran Negara Nomor 2831); 3. Undang - undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 4. Undang - undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara 3699);
1
5. Undang - undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang - undang Nomor 11 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2916) sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4154); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3174); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 10. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 Ketentuan Pokok Perjarijian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara ; 11. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70); 12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah ; 13. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1165.K/ 844/M.PE/1992 tentang Penetapan Tarif luran, luran Tetap untuk Usaha Pertambangan Umum dalam rangka Kuasa Pertambangan ; 14. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/ 008/M.PE/1995 tentang Pencegahan, Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada kegiatan Usaha Pertambangan Umum ; 15. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); 16. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyeleng-garaan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum. 17. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 4 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur; 18. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 38 Tahun 2000 tentang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Timur. Dengari persetujuan, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN STRATEGIS DAN VITAL DI PROPINSI JAWA TIMUR
2
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Propinsi, adalah Pemerintah Propinsi Jawa Timur; 2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah DPRD Propinsi Jawa Timur; 3. Gubernur, adalah Gubernur Jawa Timur; 4. Bupati/Walikota, adalah Bupati / Walikota di Propinsi Jawa Timur; 5. Dinas, adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Timur; 6. Pejabat yang ditunjuk, adalah pejabat yang secara teknis membiclangi pertambangan umum ; 7. Badan, adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial .politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya ; 8. Usaha Pertambangan, adalah usaha pertambangan bahan galian strategis dan vital diluar minyak dan gas bumi serta radioaktif ; 9. Golongan Bahan Galian Strategis, adalah minyak bumi, bitumen cair, , lilin bumi, gas alarn, bitumen padat, aspal, antrasit, batubara, batubara muda, uranium, radium, thorium, dan bahan-bahan galian radioaktif lainnya, nikel, kobalt, timah; 10. Golongan Bahan Galian Vital, adalah besi, mangan, molibden, khrom, wolfram, vanadium, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, emas, platina, perak, air raksa, intan, arsen, antimon, bismut, yatrium, rhutenium, cerium dan logam-logam langka lainriya, berillium, korundum, zirkon, Kristal kwarsa, kriolit, fluorspar, barit, yodium, brom, khlor, belerang ; 11. Leges, adalah biaya administrasi sebagai penggantian atas pernberian izin ; 12. Kuasa Pertambangan yang selanjutnya disingkat KP, adalah wewenang yang diberikan kepada badan / perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan ; 13. Kontrak Karya yang selanjutnya disingkat KK, adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) untuk mengusahakan pertambangan bahan galian di luar minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara ; 14. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disingkat PKP2B, adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan Kontraktor Asing (PMA) maupun Nasional (PMDN) untuk melaksanakan pengusahaen pertambangan bahan galian batubara ; 15. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan yang selanjutnya disingkat SKPP, adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya kepada Instansi Pemerintah yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi; 16. Kemitrausahaan, adalah kerjasama antara pemegang izin usaha pertambangan umum dengan masyarakat setempat atas dasar saling menguntungkan dan saling membutuhkan ; 17. Reklamasi Pertambangan, adalah setiap pekerjaan yang bertujuan memperbaiki, mengembalikan kemanfaatan atau meningkatkan daya guna lahan yang diakibatkan oleh usaha pertambangan umum; 18. Jaminan Reklamasi, adalah dana yang disediakan oleh perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi di bidang pertambangan umum ; 19. Penyelidikan umum, adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika, di daratan, perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta
3
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
28. 29. 30.
31.
geologi urnum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya; Eksplorasi, adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti / seksama adanya dan sifat letakan bahan galian ; Eksploitasi, adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya ; Pengolahan dan Pemurnian, adalah pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur – unsure yang terdapat pada bahan galian itu ; Pengangkutan, adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan dan pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan / pemurnian ; Penjualan, adalah segala usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan / pemurnian bahan galian ; Hak Tanah, adalah hak atas sebidang tanah pada permukaan bumi menurut hukum tanah Indonesia ; Wilayah Usaha Pertambangan, adalah wilayah yang ditetapkan Pemerintah sebagai wilayah yang layak untuk ditambang ; Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat AMDAL, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan ; Rencana Pengelolaan Linakunaan Hiduo yang selanjutnya disingkat RKL, adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha atau kegiatan; Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat RPL, adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan; Upaya Pengelolaan Lingkungan yang selanjutnya disingkat UKL, adalah upaya yang memuat langkah-langkah yang akan dilsksanakan dalam rangka pengelolaan lingkungan pada waktu kegiatan sedang dilaksanakan dan merupakan upaya pencegahan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan; Upaya Pemantauan Lingkungan yang selanjutnya disingkat UPL, adalah upaya yang memuat langkah-langkah yang akan dilaksanakan dalam rangka pemantauan lingkungan pada waktu kegiatan sedang dilaksanakan dan merupakan upaya pencegahan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan. BAB II WILAYAH PERTAMBANGAN Pasal 2
Wilayah pertambangan bahan galian strategis dan vital meliputi: a. Wilayah usaha pertambangan yang terletak pada wilayah lintas Kabupaten/Kota dan pada wilayah laut dari 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil; b. Wilayah usaha pertambangan pada sungai yang melintas batas wilayah Kabupaten/Kota. Pasal 3 (1) Gubernur dapat menetapkan suatu wilayah terbuka atau tertutup untuk kegiatan pertambangan dengan memperhatikan pertimbangan teknis untuk kepentingan Regional dan Nasional; (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
4
BAB III USAHA PERTAMBANGAN Pasal 4 (1) Pada wilayah pertambangan bahan galian strategis dan vital dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan; (2) Usaha pertambangan bahan galian strategis dan vital sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat izin dari Gubemur. BAB IV PERIZINAN Bagian Kesatu Bentuk Izin Pasal 5 Bentuk izin pertambangan bahan galian strategis dan vital terdiri atas a. KP; b. KK; c. PKP2B; d. SKPP. Pasal 6 (1) KP, KK, PKP2B sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 dimanfaatkan untuk kegiatankegiatan : a. Penyelidikan umum; b. Eksplorasi; c. Eksploitasi; d. Pengolahan dan Pemurnian ; e. Pengangkutan dan Penjualan ; (2) SKPP sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 dimanfaatkan untuk kegiatan : a. Penyelidikan Umum; b. Eksplorasi. Pasal 7 (1) KP sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a diberikan kepada : a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Badan Usaha; d. Badan yang didirikan sesuai dengan Peraturan Perundangan Republik Indonesia; e. Perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia; (2) KK dan PKP2B sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 5 huruf b dan c diberikan kepada Badart yang berstatus PMA / PMDN ; (3) SKPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d diberikan kepada Instansi Pemerintah. Pasal 8 (1) Dalam KP, KK, PKP2B dan SKPP memuat persyaratan / ketentuan administrasi dan teknis serta kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang izin ; (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Gubernur.
5
Pasal 9 (1) KP, KK dan SKPP diberikan untuk satu jenis bahan galian ; (2) Pada suatu wilayah usaha pertambangan umum dapat diberikan KP, KK dan PKP2B untuk bahan galian lain yang keterdapatannya berbeda, setelah mendapat persetujuan dari pemegang izin terdahulu. Pasal 10 (1) KP, KK, PKP2B dan SKPP untuk kegiatan Penyelidikan Umum diberikan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun ; (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun atas permintaan yang bersangkutan ; (3) KP, KK, PKP2B dan SKPP untuk kegiatan Eksplorasi diberikan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun ; (4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali, setiap kalinya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun atas permintaan yang bersangkutan, dan yang harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan; (5) Dalam hal pemegang KP, KK dan PKP2B Eksplorasi telah menyatakan bahwa usahanya akan dilanjutkan dengan Eksploitasi rnaka Gubernur dapat memberikan perpanjangan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun lagi untuk pembangunan fasititas eksploitasi pertambangan, atas permintaan yang bersangkutan ; (6) KP, KK dan PKP2B Eksploitasi diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun; (7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali, setiap kalinya untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun atas permintaan yang bersangkutan, dan harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. Bagian Kedua Luas Wilayah KP, KK, PKP2B dan SKPP Pasal 11 (1) Wilayah KP, KK, PKP2B dan SKPP diberikan dalam proyeksi tegak lurus dari sebidang tanah dan luasannya ditetapkan di dalam izin ; (2) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Izin Penyilidikan Umum tidak melebihi 5.000 (lima ribu) hektar; b. Izin Eksplorasi tidak melebihi 2.000 (dua ribu) hektar; c. Izin Eksploitasi tidak melebihi 1.000 ( seribu) hektar; (3) Untuk mendapat izin yang luas wilayahnya melebihi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon izin harus terlebih dahulu mendapat izin khusus dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 12 (1) Jumlah luas wilayah yang meliputi izin Penyelidikan Umum, izin Eksolorasi serta izin Eksploitasi dapat diberikan kepada satu badan atau perorangan tidak melebihi berturutturut 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar, 10.000 (sepuluh ribu) hektar dan 5.000 (lima ribu) hektar;
6
(2) Untuk mendapat jumlah luas wilayah beberapa izin yang melebihi luas sebagairnana dimaksud pada ayat (1), pemohon izin harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Gubernur. Bagian Ketiga Pengesahan dan Rekomendasi Perizinan Pasal 13 (1) KP, KK, PKP2B dan SKPP dilaksanakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Pemerintah; (2) KP dan SKPP dinyatakan sah setelah ditandatangani oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk; (3) KK dan PKP2B ditandatangani oleh Gubernur dan Pemohon, setelah mendapat Rekomendasi DPRD; (4) Tata cara pengajuan permohonan KP, KK, PKP2B dan SKPP diatur lebih lanjut oleh Gubernur. Pasal 14 (1) Gubernur memberikan Izin Penyelidikan Umum, Izin Eksplorasi dan atau Izin Eksploitasi dan atau Izin Pengolahan dan Pemurnian dan atau Izin Pengangkutan dan Penjualan setelah mendapat pertimbangan Bupati / Walikota dimana usaha pertambangan itu berada ; (2) Mereka yang mempunyai hak atas tanah dan atau mereka yang akan mendapat kerugian karena adanya pemberian izin dapat mengajukan keberatan kepada Bupati / Walikota dimana usaha pertambangan itu berada paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah dikeluarkannya surat permintaan pertimbangan mengenai izin sebagairnana dimaksud pada ayat(1); (3) Bupati / Walikota dimana usaha pertambangan itu berada dapat menyampaikan keberatan kepada Gubernur dalam waktu sesingkatsirigkatnya dengan disertai berita acara yang memuat alasan-alasan dari keberatan tersebut; (4) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diterima oleh Gubernur, apabila usaha pertambangan tersebut nyata-nyata akan merugikan rakyat / penduduk setempat; (5) Jika dalam waktu paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal dikirimnya permintaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3), Gubernur tidak menerima pernyataan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka BupatiAA/alikota yang bersangkutan dianggap telah menyatakan tidak adanya keberatan atas permintaan izin. Pasal 15 (1) Penerbitan Izin di bidang pertambangan bahan galian strategis dan vital oleh Bupati / Walikota pada kawasan-kawasan tertentu terlebih dahulu mendapatkan Rekomendasi Teknik dari Gubernur; (2) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur. Bagian Keempat Jasa Pertambangan Pasal 16 (1) Pemegang KP, KK, PKP2B dalam melaksanakan usahanya dapat rnenggunakan jasa pertambangan;
7
(2) Dalam hal pemegang KP, KK, PKP2B rnenggunakan jasa pertambangan untuk melaksanakan kegiatan usahanya, maka perusahaan jasa pertambangan tersebut harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku. Bagian Kelima Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Pasal 17 (1) Pemegang Izin Penvelidikan Umum yang menemukan suatu bahan galian dalam wilayah izinnya, mendapat prioritas pertama untuk memperoleh Izin Eksplorasi atas bahan galian tersebut; (2) Pemberian KP, KK dan PKP2B Eksplorasi yang telah membuktikan hasil baik eksplorasinya atas bahan galian yang disebutkan dalam izinnya mendapat prioritas pertama untuk memperoleh Izin Eksploitasi atas bahan galian tersebut ; (3) Apabila pemegang Izin Eksplorasi dan atau Izin Eksploitasi menemukan bahan galian yang tidak disebutkan dalam izinnya maka kepadanya diberikan prioritas pertama untuk memperoleh Izin Eksplorasi dan atau Izin Eksploitasi atas bahan galian tersebut. Pasal 18 (1) KP dapat dipindahtangankan kepada badan / orang lain dengan izin Gubernur; (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 oleh Gubernur, apabila pihak yang akan menerima izin memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang Pokok Pertambangan dan peraturan pelaksanaannya ; (3) Apabila perorangan yang memegang KP meninggal dan para ahli warisnya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka KP tersebut dapat dipindahtangankan kepada badan atau orang lain yang telah memenuhi syarat-syarat. Pasal 19 (1) Pemegang KP, KK, PKP2B dan SKPP wajib melaksanakan ketentuanketentuan dalam izin dan peraturan perundang-undarigan yang berlaku ; (2) Pemegang SKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan keringanankeringanan terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam Undang - Undang Pokok Pertambangan dan Persturari Pelaksanaannya, apabila diperlukan dan hqrus dicantumkan dalam izin. Pasal 20 (1) Pemegang Izin Penyelidikan Umum diwajibkan menyampaikanlaporan mengenai hasil penyelidikannya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali; (2) Pemegang Izin Penyelidikan Umum diwajibkan pula menyampaikan laporan mengenai hasil seluruh penyelidikannya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelurn berakhirnya jangka waktu izin. Pasal 21 (1) Pemegang Izin Ekspiorasi diwajibkan menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai hasil penyelidikannya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk ; (2) Pemegang Izin Eksplorasi diwajibkan pula menyampaikan laporan mengenai hasil seluruh eksplorasinya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu izin.
8
Pasal 22 (1) Sebelum memulai usahanya, pemegang Izin Eksploitasi terlebih dahulu harus melaporkan rencana kegiatannya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk ; (2) Pemegang Izin Eksploitasi diwajibkan menyampaikan laporan triwufan dan tahunan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukannya kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 23 Tata cara penyarnpaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, 20 dan 21 ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur atau Pejabat yarig ditunjuk. Pasal 24 (1) Pemberian izin Penyelidikan Umum, Ekspiorasi , Eksploitasi dikenakan uang leges sebesar: a. atas pemberian izin Penyelidikan Umum : 1. Luas wilayah sampai dengan 250 (dua ratus lima puluh) hektar sebesar Rp 1.000.000,- ( satu juta rupiah ); 2. L.uas wilayah di atas 250 (dua ratus lima puluh) hektar sampai dengan 500 (lima ratus) hektar sebesar Rp 2.000.000,- ( dua juta rupiah ); 3. Luas wilayah di atas 500 (lima ratus) hektar sampai dengan 1000 (seribu) hektar sebesar Rp.4.000.000,- (empat juta rupiah); 4. Luas wilayah di atas 1000 (seribu) hektar sampai dengan 2000 (dua ribu) hektar sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah); 5. l.uas wilayah di atas 2000 (dua ribu) hektar sampai dengan 3000 (tiga ribu) hektar sebesar Rp. 16.000.000,-(enam betas juta rupiah); 6. Luas wilayah di atas 3000 (tiga ribu) hektar sampai dengen 5000 hektar sebesar Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah); 7. Luas wilayah di atas 5000 hektar sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). b. atas pemberian izin Eksplorasi: 1. Luas wilayah sampai dengan 100 (seratus) hektar sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah); 2. Luas wilayah di atas 100 (seratus) hektar sampai dengan 200 (dua ratus) hektar sebesar Rp. 3.000.000,-(satu juta lima ratus ribu rupiah ); 3. Luas wilayah di atas 200 (dua ratus) hektar sampai dengan 300 (tiga ratus) hektar sebesar Rp 4.000.000,-(ernpat juta rupiah); 4. Luas wilayah di atas 300 (tiga ratus) hektar sampai dengan 500 (lima ratus) hektar sebesar Rp 5.000.000,-(lima juta rupiah); 5. Luas wilayah di atas 500 (lima ratus) hektar sampai dengan 750 (tujuh ratus lima puluh) hektar sebesar Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); 6. Luas wilayah di atas 750 (tujuh ratus lima puluh) hektar sampai dengan 1.000 (seribu) hektar sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah); 7. Luas wilayah di atas 1000 (seribu) hektar sampai dengan 1.500 (seribu lima ratus) hektar sebesar Rp 15.000.000,-(lima belas juta rupiah); 8. Luas wilayah di atas 1.500 (seribu lima ratus) hektar sampai dengan 2.000 (dua ribu) hektar sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah); 9. Luas wilayah di atas 2.000 (dua ribu) hektar sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). c. atas pemberian Izin Eksploitasi: 1. Luas wilayah sampai dengan 25 (dua puluh lima) hektar sebesar Rp 1.000.000,(satu juta rupiah);
9
2. Luas wilayah di atas 25 (dua puluh lima) hektar sampai dengan 50 (lima puluh) hektar sebesar Rp 2.000.000,-(dua juta rupiah); 3. Luas wilayah di atas 50 (lima puluh) hektar sampai dengan 100 (seratus) hektar sebesar Rp.4.000.000,- (empat juta rupiah); 4. Luas wilayah di atas 100 (seratus) hektar sampai dengan 150 (seratus lima puluh) hektar sebesar Rp 6.000.000,-(enarn juta rupiah); 5. Luas wilayah di atas 150 (seratus lima puluh) hektar sampai dengan 200 (dua ratus) hektar sebesar Rp 8.000.000,- (delapan juta rupiah); 6. Luas wilayah di atas 250 (dua ratus lima puluh) hektar sampai dengan 350 (tiga ratus lima puluh) hektar sebesar Rp 14.000.000,- (empat belas juta rupiah); 7. Luas wilayah di atas 350 (tiga ratus lima puluh) hektar sampai dengan 500 (lima ratus) hektar sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah); 8. Luas wilayah di atas 500 (lima ratus) hektar sampai dengan 1.000 (seribu) hektar sebesar Rp 25.000.000,-(dua puluh lima juta rupiah); 9. Luas wilayah di atas 1.000 (seribu) hektar sebesar Rp 35.000.000,- (tiga puluh lima juta). d. atas pemberian izin Pengolahan dan Pemurnian sebesar Rp. 1000.000,-(satujuta rupiah); e. atas pemberian izin Pengangkutan dan Penjualan sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah); (2) Diluar uang leges sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin wajib membayar kewajiban keuangan lainnya sesuai ketentuan Perundangan yang berlaku. Bagian Keenam Berakhirnya KP, KK, PKP2B dan SKPP. Pasal 25 Apabila jangka waktu yang ditentukan dalam pemberian izin yang bersangkutan tidak diajukan permintaan izin lain atau permintaan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, maka berakhirlah izin tersebut dan segala kegiatan pertambangan harus dihentikan. Pasal 26 (1) Dalam 3 (tiga ) tahun terakhir dari jangka waktu Izin Eksploitasi, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk mengadakan pengawasan khusus ; (2) Selama jangka waktu dimaksud ayat (1), pemegang Izin Eksploitasi diwajibkan mengikuti petujuk-petunjuk yang diberikan oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk; Pasal 27 Dengan pemberitahuan 6 (enam) bulan sebelumnya, Gubernur dapat membatalkan Izin Eksploitasi dalam hal-hal tersebut di bawah ini: a. Jika ternyata pekerjaan persiapan eksploitasi belurn dimulai dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah pemberian izin; b. Jika ternyata pekerjaan eksploitasi belum dimulai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sesudah pemberian izin; c. Atas permintaan pemilik tanah atau pihak ketiga yang merasa dirugikan, jika pekerjaannya dimulai sebelum dibayar sejumlah ganti rugi atau sebelum diberikan jaminan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; d. Jika ternyata pemegang izin tanpa pemberitahuan kepada Gubernur telah meninggalkan usaha pertambangannya lebih dari 6 (enam) bulan; e. Jika pemegang izin tidak menyetorkan jaminan reklamasi;
10
f.
Jika pemegang izin tidak melakukan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Pasal 28
(1) Pemegang KP, KK, PKP2B dan SKpP dapat mengembalikan izinnya dengan menyampaikan pernyataan tertulis kepada Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk disertai dengan alasan yang cukup; (2) Pengembalian KP dan SKPP dinyatakan sah setelah mendapat persetujuan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk; (3) Pengembalian KK, PKP2B dinyatakan sah setelah mendapatkan persetujuan Gubernur dan dilaporkan kepada DPRD. Pasal 29 (1) Dengan berakhirnya KP, KK, PKP2B dan SKPP yang karena pembatalan, pengembalian dan berakhirnya izin, rnaka : a. Segala beban yang menjadi tanggung jawab pemegang KP, KK, PKP2B dan SKPP harus diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ; b. Wilavah izin kembali kepada kekuasaan Pemerintah Propinsi; c. Segala sesuatu yang digunakan untuk pengamanan bangunanbangunan tambang dan kelanjutan usaha pertambangan menjadi hak Pemerintah Propinsi tanpa diberikan ganti rugi; d. Pemegang KP, KK, PKP2B dan SKPP harus menyerahkan semua dokumen hasil penelitian / survey, hasil pemetaan, hasi! analisa bahan galian, dan peta wilayah untuk kepentingan Pemerintah Propinsi kepada Gubernur; (2) Gubernur menetapkan waktu yang diberikan kepada pemegang KP untuk memindahkan / mengangkut segala sesuatu yang menjadi hak miliknya, kecuali bangunan yang disebutkan pada ayat (1) huruf c dan untuk KK, PKP2B sebagaimana ditentukan dalam perjanjian; (3) Barang atau bangunan yang tidak dipiridahkan / diangkut sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi milik Pemerintah Propinsi; (4) Menyirnpang dari ketentuan ayat (1) apabila KP, KK, PKP2B dibatalkan demi kepentingan Negara, maka akan diberi kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 (1) Paling lambat jangka waKtu 3 (tiga) bulan sesudah Penyelidikan Umum berakhir, atau 6 (enam) bulan sesudah Izin Eksplorasi berakhir atau 1 (satu) tahun Izin Eksploitasi berakhir, Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk rnenetapkan jangka waktu dimana kepada Pemegang Izin yang bersangkutan diberikan kesempatan terakhir untuk mengangkat keluar segala sesuatu yang rnenjadi miliknya yang masih terdapat dalam bekas wilayah izinnya, kecuali benda-benda dan bangunan-bangunan yang telah dipergunakan untuk kepentingan umum pada masa izin yang bersangkutan masih berlaku. Segala sesuatu yang belum diangkat keluar setelah melampaui jangka waktu tersebut, menjadi milik Pemerintah Propinsi; (2) Dalam hal Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) maka paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah Izin Penyelidikan Umum berakhir, atau 1 (satu) tahun Izin Eksplorasi berakhir, atau 2 (dua) tahun Izin Eksploitasi berakhir, segala sesuatu yang belum diangkat keluar dari bekas wilayah izin yang bersangkutan menjadi milik Pemerintah Propinsi karena hukum, dan berada dibawah pengawasan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk;
11
(3) Dalam hal hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipergunakan untuk kepentingan umum dan tidak diangkat keluar dari bekas wilayah izin yang bersangkutan, maka oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan izin khusus untuk memindahkan hak milik tersebut Kepada pihak lain ; (4) Sebelum meninggalkan bekas wilayah izin, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang izin harus terlebih dahulu melakukan usaha- usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan, keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum ; (5) Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang izin sebelum meninggalkan bekas wilayah izin usaha pertambangannya. BAB V PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN REKLAMASI Pasal 31 (1) Setiap pemegang izin wajib melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta reklamasi lahan bekas tambang yang dilaksanakan sesuai UKL dan UPL atau AMDAL yang telah disetujui; (2) Di dalam pelaksanaan UKL dan UPL atau AMDAL pemegang izin dapat melakukan konsultasi dengan instansi teknis terkait; (3) Pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama kegiatan pertambangan berjalan dan harus dipertanggung jawabkan pada akhir kegiatan pertambangan. Pasal 32 (1) Pemegang izin eksploitasi wajib menyetorkan Dana Jaminan Reklamasi; (2) Tata cara dan penyetoran Dana Jaminan Reklamasi sebagaimana ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Gubernur; Pasal 33 (1) Pemegang izin sesuai dengan tahapan dan skala usahanya harus membantu program pengembangan masyarakat dan pengembangan wilayah ; (2) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dengan prinsip saling membutuhkan dan saling menguntungkan. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 34 (1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan bahan galian strategis dan vital; (2) Pembinaan dan pengav/asan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengelolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan, yang mencakup aspek teknis, produksi, keseiamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan ; (3) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha pertambangan umum dilakukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah izin diterbitkan.
12
BAB VII PELAPORAN DAN EVALUASI Pasal 35 (1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan evaluasi atas kegiatan yang dilaksanakan oleh pemegang KP, KK, PKP2B dan SKPP; (2) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan umum setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 36 Pelanggaran terhadap ketentuari Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (1) atau ketentuan lain yang ditetapkan dalam surat izin, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 37 Apabila pelanggaran dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan (3) mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang -undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Peraturan Perundang - undangan lainnya. BAB IX KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 38 Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Propinsi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 39 (1) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 adalah : a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas ; b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana retribusi daerah; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah ; d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah ; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah ;
13
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedarig berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana pada huruf e ; h. mernotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi daerah ; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan ; k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan ; (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1931 tentang Hukum Acara Pidana. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 40 Izin pertambangan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini. dinyatakan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Hal - hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur. Pasal 42 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Jawa Timur. Ditetapkan di Surabaya pada tanggal 30 Mei 2002 GUBERNUR JAWA TIMUR ttd. IMAM UTOMO. S Diundangkan di Surabaya Pada tanggal 30 Mei 2002 SEKRETARIS DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR ttd. Drs. SOENARJO, MSi LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2002 NOMOR 1 TAHUN 2002 SERI E.
14
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWATIMUR NOMOR 4 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN STRATEGIS DAN VITAL DL PROPINSI JAWA TIMUR I. PENJELASAN UMUM Potensi bahan galian Jawa Timur mernpunyai peranan yang penting dan perlu dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang Pembangunan Daerah maupun Nasional. Pemanfaatan potensi tersebut dalam pengelolaannya perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar dampak negatif terhadap lingkungan hidup dapat terkendali sehingga kemampuan daya dukung lingkungan tetap terpelihara. Pengelolaan pertambangan di Jawa Timur dilakukan melalui upaya penelitian, pengaturan, perizinan, pembinaan usaha, pengendalian dan pengawasan. Kegiatan serta pengembangan sentra-sentra pertambangan baru dengan mengikutsertakan rnasyarakat dan tetap menjaga fungsi lingkungan hidup, sebagai upaya untuk memanfaatkan potensi guna memenuhi kebutuhan industp manufaktur dan konstruksi. Pengelolaan pertambangan urnum selama ini bersifat sentralistik dan berorientasi pada perolehan devisa sehingga mengakibatkan peranan Daerah kurang berkembang. Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka Daerah diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya mineral yang tersedia di wilayahnya termasuk pengawasan dan pengendalian. Kemandirian daerah ini akan terwujud dengan melaksanakan pengawasan langsung terutama yang bersifat represif baik yang dilakukan Pemerintah Pusat t3rhadap Daerah maupun oleh Pemerintah Propinsi kepada Kabupaten / Kota, sehingga Daerah mernpunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam pengelolaan sumberdaya mineral. Berkenaan dengan kewenangan tersebut di atas, maka masih sangat diperlukan pengaturan sumberdaya mineral dengan kegiatan inventarisasi dan fasilitasi yang meliputi kegiatan pengumpulan data maupun informasi geologi, sumberdaya mineral, pertambangan umum dan kerentanan gerakan tanah. Data tersebut dapat berupa data sekunder maupun data primer dalam bentuk kegiatan survey dan pemetaan geologi sebagai perencanaan : a. Pengembangan wilayah dan tata ruang daerah; b. Pengembangan pertambangan. Sedangkan fasilitasi pertambangan umum merupakan upaya yang dilaksanakan melalui kegiatan penelitian. pelatihan dan pelayanan jasa teknologi untuk mendukung pengusahaan pertambangan umum yang mampu bersaing di pasar bebas. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka untuk mempersiapkan peranan daerah, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Tugas di bidang Pertambangan Umum, yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Peraturan Daerah ini khususnya untuk golongan bahan galian strategis (golongan A) dan golongan bahan galian vital (golongan B). Sedangkan untuk bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan A dan golongan B, telah diatur tersendiri pada Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 10 Tahun 1995 tentang Pertambangan Bahan Galian Golongan C Di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 angka 1 sampai dengan 7 angka 8
: :
Cukup jelas. Yang termasuk radioaktif adalah
bahan uranium,
15
angka 9 sampai dengan 31 Pasal 2 huruf a Pasal 2 huruf b
: : :
Pasal 3 ayat (1)
:
Pasal 3 ayat (2) Pasal 4 sampai dengan 15 Pasal 15 ayat (1)
: : :
adalah radium, thorium dan bahan galian radioaktif lainnya. Cukup jelas Cukup jelas. Yang dimaksud dengan sungai yang melintasi batas wilayah Kabupaten / Kota adalah sungai yang dikelola khusus dan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan yang bersifat Regional maupun Nasional. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Daerah Gubernur menentukan lokasi-lokasi yang diperbolehkan / layak untuk ditambang ( wilayah terbuka ). Untuk lokasilokasi yang dipandang rawan terhadap penambangan (wilayah tertutup ) seperti daerah resapan air, kawasan kars, cagar budaya, hutan lindung dan sebagainya, ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur. Cukup jelas. Cukup jelas. Maksud diberikan Rekomendasi Teknik oleh Gubernur adalah : − Dalam rangka perlindungan; − Kepentingan Regional dan Nasional; − Kawasan kars; − Kawasan hutan diberikan rekomendasi oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur. Kawasan-kawasan dan bahan galian tertentu adalah kawasan-kawasan dan bahan galian yang apabila dilakukan eksploitasi pada kawasan tersebut dan bahan galian dimaksud, akan dapat memberikan dampak lingkungan secara Regional sehingga diperlukan kehatihatian dalam pemberian izin. Kawasan kars, kawasan resapan air dan kawasan hutan merupakan kawasan yang sangat berpengaruh dalam penyediaan air bawah tanah,
16
ayat (2) Pasal 16 ayat (1)
: :
Pasal 16 ayat (2) Pasal 17 ayat (1)
: :
Pasal 17 ayat (2)
:
Pasal 17 ayat (3) Pasal 18 sampai dengan 25 Pasal 26 ayat (1)
: : :
ayat (2) Pasal 27 huruf a dan b huruf c
: : :
huruf d sampai dengan huruf f Pasal 28 ayat (1) sampai dengan 32 Pasal 28 ayat (1) dan (2)
: : :
sedangkan bahari galian yodium yang bersifat cair perlakuannya sama dengan perlakuan terhadap pengambilan air bawah tanah dan dalam eksploitasi pasir laut dapat memberikan pengaruh pada sektor lainnya (perikanan, perhubungan dan lain-lain). Cukup jelas. Jasa pertambangan adalah jasa untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pertambangan pada wilayah KP, KK dan PKP2B. Cukup jelas. Prioritas pertama untuk mendapatkan izin eksplorasi diberikan kepada pemegang izin penyelidikan umum yang menemukan bahan galian lain di wilayah izinnya (jasa temuan). Yang dimaksud membuktikan hasil baik eksplorasinya adalah apabila laporan hasil eksplorasinya dilakukan sesuai dengan rencana kerjanya dan aturan / ketentuan yang berlaku. Cukup jelas. Cukup jelas. Pengawasan Khusus adalah pelaksanaan pengawasan secara rutin dan terencana, sehingga apabila jangka waktu izin berakhir semua kewajiban yang dikenakan kepada pemegang izin sudah dapat diselesaikan dan dilaksanakan (kewajiban reklamasi, pelaporan dan lain-lain). Cukup jelas Cukup jelas. Pemilik tanah atau pihak ketiga adalah pihak yang mempunyai hak atas tanah atau hak pengelolaan atas tanah. Misalnya : perorangan / swasta, Instansi Pemerintah, dan lain-lain. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
17
Pasal 33 ayat (1)
:
Pasal 33 ayat (2) Pasal 34 sampai dengan 42
: :
Pengembangan wilayah adalah penataan ruang bekas areal pertambangan untuk mempersiapkan alih fungsi lahan. Cukup jelas. Cukup jelas.
18