PEMBUATAN PEPTON IKAN SELAR (Caranx leptolepis) HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) PADA KONDISI POST RIGOR DAN BUSUK
Oleh :
Dede Saputra C34104006
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
yang
berjudul
Pembuatan Pepton ikan Selar (Caranx leptolepis) Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Kondisi Post Rigor dan Busuk adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam
bentuk
apapun
kepada
perguruan
tinggi
manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2008
Dede Saputra C34104006
RINGKASAN DEDE SAPUTRA. C34104006. Pembuatan Pepton Ikan Selar (Caranx leptolepis) Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Kondisi Post rigor dan Busuk. Dibimbing Oleh TATI NURHAYATI dan SRI PURWANIGSIH. Pepton adalah turunan atau derivat dari hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas. Pepton merupakan produk dari bahan-bahan yang mengandung protein, seperti daging, kasein, dan gelatin, selain itu mengandung mineral dan vitamin. Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari proses pembuatan pepton ikan selar (Caranx leptolepis) hasil tangkap sampingan pada kondisi post rigor dan busuk. Penelitian ini terdiri dari enam tahap, tahap pertama yaitu mempelajari komposisi kimia ikan selar, kedua mempelajari fase post mortem ikan selar, ketiga mempelajari optimasi penggunaan enzim, keempat mempelajari waktu hidrolisis optimum, dan tahap kelima adalah mempelajari karakterisasi pepton ikan yang dihasilkan dan tahap keenam perbandingan mutu pepton ikan selar dengan pepton komersial sebagai media pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi proksimat ikan selar, kadar air sebesar 75,71 %, abu 2,31 %, lemak 2,94 % dan protein 15,47 %. Kondisi post rigor pada ikan selar terjadi setelah penyimpanan ke-9 jam, dengan nilai organoleptik 5, pH 6,94, dan TVB 25,76 mg N/100 g. Kondisi busuk terjadi setelah penyimpanan ke-11 jam, dengan nilai organoleptik 3, pH 7,42, dan TVB 36,40 mg N/100 g. Tahap selanjutnya melakukan proses hidrolisis ikan selar menggunakan enzim papain, ikan fase post rigor dan busuk masing-masing dihidrolisis dengan konsentrasi enzim papain 0,26 % dan 0,20 % (b/v) dari total volume substrat dan dihidrolisis selama 6 jam. Analisis proksimat produk pepton ikan selar fase post rigor dan busuk dalam bentuk serbuk, menunjukkan persentase kadar air masing-masing sebesar 9,00 % dan 7,37 %, kadar abu 4,76 % dan 4,38 %, kadar lemak 0,09 % dan 0,07 %, kadar protein 74,17 % dan 77,46 % (bb), dan total nitrogen 11,86 % dan 12,39 %. Pepton ikan terdiri dari 17 macam asam amino. Asam glutamat merupakan asam amino dengan kadar tertinggi yang terdapat pada pepton ikan selar post rigor dan busuk, yaitu masing-masing sebesar 10,18 % dan 10,43 %, sedangkan asam amino dengan kadar terendah adalah alanin 0,74 % (post rigor) dan 0,55 % (busuk). Hasil uji karakteristik pepton ikan selar, menunjukkan nilai kelarutan pepton ikan selar fase post rigor dan busuk masing-masing 96,74 %; 97,08 %, total nitrogen 11,86 %;12,39 %, α-amino nitrogen 1,07 g/100g;1,03 g/100g, AN/TN sebesar 9,02; 8,31 dan kadar garam 0,41 % dan 4,19 %. Kemampuan daya dukung pepton terhadap pertumbuhan bakteri dalam media sederhana, menunjukkan bahwa pepton ikan selar memiliki nilai Optical Density (OD) yang lebih baik dibandingkan pepton komersial.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PEMBUATAN PEPTON IKAN SELAR (Caranx leptolepis) HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) PADA KONDISI POST RIGOR DAN BUSUK
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Dede Saputra C34104006
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: PEMBUATAN PEPTON IKAN SELAR (Caranx leptolepis) HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) PADA KONDISI POST RIGOR DAN BUSUK
Nama
: Dede Saputra
NRP
: C34104006
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si NIP. 132 149 436
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si NIP. 131 937 878
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus : ...............................
KATA PENGANTAR Puji dan segala syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah, rahmat, karunia dan izin-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi
ini
dengan
baik.
Shalawat
dan
salam
kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya yang setia mengikuti ajarannya sampai akhir zaman. Penelitian
dengan
judul
Pembuatan
Pepton
Ikan
Selar
(Caranx leptolepis) Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Kondisi Post Rigor dan Busuk merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada
kesempatan
ini
penulis
mengucapkan
terima
kasih
yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada : 1. Ayah dan ibunda, terimakasih atas semua hal yang selalu ada, terimakasih atas kasih sayang, cinta, semangat, kepercayaan, nasehat, doa dan semua dukungan, baik moril maupun materi yang tiada pernah henti menyertai ananda disetiap langkah ini, semoga ananda bisa menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi orang lain. 2. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan keluarga, selaku dosen pembimbing yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis, bukan hanya kritikan dan saran dalam penelitian dan penulisan namun banyak hal, terimakasih atas nasihat, kesabaran, semangat dan kepercayaan yang selalu ibu berikan. Memang benar adanya kepercayaan itu sangat mahal harganya. 3. Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si dan keluarga, selaku pembimbing yang telah memberikan dukungan, semangat, kepercayaan, kesabaran, dan beribu ilmu pengetahuan untuk memaknai hidup ini, serta nasehat untuk menjadi lebih dewasa dan ikhlas menjalani sesuatu untuk masa depan. 4. Dra. Hj. Pipih Suptijah selaku dosen penguji tamu dan moderator pada seminar hasil penelitian penulis, yang telah memberikan kritik, saran, semangat pantang menyerah dan nasihat dalam penulisan skripsi.
5. Ir. Djoko Poernomo, B.Sc. selaku dosen penguji tamu, yang telah memberikan kritik, saran, dan nasihat dalam penulisan skripsi. 6. Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS selaku pembimbing akademik, terimaksih atas bimbingan, dorongan, kesabaran, kepercayaan, doa dan semangat yang selalu penulis dapat dari ibu, disaat-saat penulis sangat membutuhkan semangat itu. 7. Kakakku (Praka Syamsuardi, Desi Susilawati, A.ma, Rahmat Hidayat, Fitriyanti), adikku (Ayuni Rahayu Ningsih dan Rafika Wulansari), dan ponakkan tercinta (Shylva Aulia, Zahra, Kendithya, M. Adam) terimakasih untuk kasih sayang, dan doanya kepada penulis. Semoga kita bisa menjadi anak-anak yang didamba orang tua dan selalu berbakti pada mereka. Nenekku (Annisah Koto, Yuliar, dan keluarga besar ayahanda dan ibunda; Ir. Nusirwan, Ir. Satra Mulya, Jasril dan keluarga di Bogor dan di Jakarta). 8. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen terimakasih untuk ilmu yang pernah bapak dan ibu berikan kepada penulis. Spesial untuk Dr. rer. nat. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol, dan Dr. Ir. H. Ruddy Suwandi, MS, M. Phil. 9. Dr. Ir. Etty Riani, MS., Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, Ir. Nurlisa A. M.Sc, Ir. Kiagus A. Aziz, M.Sc, Ir. Rahmat Kurnia, M.Si dan Dr. Ir. Yunizar, MS. (Dept. MSP) Dra. Winati Wigna, MDS (Dept. KPM); Ir. Ade Iskandar, M.Si (Dept. TIN) terimakasih untuk kepercayaan dan segala bantuannya. 10. Bapak Danuarsa (terimakasih untuk antar jemput dimalam hari, telepon yang selalu berdering setiap saat, dan doa-doa yang bapak berikan), Ibu Rubiyah, bapak Nurwanto, Wahid,
Ibu Ika Malikah, Dewi dan kru lab PAU,
Ema Masruroh, A.md, Mba Icha, Mas Ipul, Zacky, Ibu Yati, seluruh Staf TU THP: Mas Is, Om Jimmy, dan “Ummi” tercinta yang telah banyak memberi semangat dan membantu penulis selama penelitian dan kuliah di THP. 11. Muhammad Ubit Mitarsyah Adam, Marglory Siburian, Taufiqurrahman, S.Pi. Andi Patria, S.Pi, Tirta Lesmana, Budi, Ndalu, Iswaty Adityana, Andri dan seluruh sahabat-sahabat terbaikku.
Persahabatan ini sangat sulit untuk
dilupakan. 12. Teman-teman THPers 41: Syeni Budi, S.Pi, Spesial untuk “Amelia TW” we are true peptoners, Dwi Sartika, Yudha, S.Pi, Indah, S.Pi, Hangga, Alif,
Vika, Theta, Yanti, Santi, Sereli, Bang Yandi, Ardilla Prameswarie, S.Pi, Nia, Eka, Ika, Tri, dan semuanya terimakasih atas kekompakan, kebersamaan yang tiada duanya, dan dukungan selama empat tahun ini. Teman-teman teristimewa Luh Putu, Rijal, Teteh Uji, Deslin (THP 41 dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 13. Sahabat terbaik dalam hari-hariku, Kak Sefri Rusyadi, S.Pi dan Teh Kie, S.Pi, Krisan, S.Si, Mba Ulin, S.Pi, Mba Tati, S.Si, Mba Elin, Mba Diah, Mba Rita, Mba Ninik, Mba Tia dan Pak Chandra (S2 THP) dan sahabat-sahabat Asisten Dosen Biokim (Mba Merry, Dian, Wida, Riri, Lisda, Andri), dan seluruh asisten MSPi, Asisten Biotoksikologi, Sosiologi Umum PTPB, Rancob, TITL, Fisiologi, Formasi dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan, Transportasi Biota, PHP dan seluruh asisten. 14. Adik-adik kelasku THP 42 (Fuad, Ifa, Binyo, Tia, Irfan, Rustam, Jamal, Dan, Yuli, Adek, Teteh, Dewi, Dini) MSP 42 (Ikhsan Abdul Aziz, Ebit, Pipit, Silfi), THP 43 (Wati, Roma), dan Edithya, Winda, Indah, Adit, Gabby, Fadhil, Ridho, Ryan, Neno, Nurul, Timeh, Kadut, Ndeb, Sleb, dan Mak, lain-lain atas semangat dan doa nya kepada penulis dan tetap semangat. 15. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Desember 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, 4 Juni 1985 sebagai putra keempat dari pasangan Bapak Joni dan Ibu Minang. Penulis mengawali pendidikan di SDN 41 Toboh pada tahun 1992 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTPN 7 Sakarek Ulu dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Pariaman kelas jauh (2001-2004). Tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus dan anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) Periode 2005-2006 dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) FORCES (Forum Scientific Studies) periode 2004-2006. Selain itu penulis juga aktif sebagai Asisten Dosen mata kuliah Sosiologi Umum Pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (PTPB) pada tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008 kurikulum Mayor-Minor, Koordinator Asisten mata kuliah Biokimia Hasil Perairan pada tahun ajaran 2006/2007 kurikulum Passing Out dan 2007/2008 kurikulum Mayor-Minor, Asisten Dosen mata kuliah Metode Statistika dan Komputer kurikulum Mayor-Minor pada tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008 dan 2008/2009, Asisten Dosen Perancangan Percobaan (RANCOB) kurikulum Passing Out tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, Koordinator Asisten Penangan Hasil Perikanan kurikulum Passing Out tahun ajaran 2006/2007 dan Penanganan Hasil Perairan kurikulum Mayor-Minor tahun ajaran 2007/2008, Koordinator Asisten Fisiologi Formasi dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009 kurikulum Mayor-Minor, Asisten Teknologi Industri Tumbuhan Laut tahun ajaran 2007/2008 kurikulum Mayor-Minor, Koordinator Asisten Teknologi Penanganan dan Transportasi Biota Perairan tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009 kurikulum Mayor-Minor, serta menjadi Koordinator Asisten mata kuliah Biotoksikologi Hasil Perairan pada tahun ajaran 2008/2009 kurikulum
Mayor-Minor. Selain itu penulis juga aktif mengikuti berbagai pelatihan dan kegiatan seminar nasional; Pelatihan HACCP include ISO 22000 ke-VI Departemen ITP-IPB dengan Badan POM-RI tahun 2008, Seminar ISO 22000 Departemen THP dengan KAN tahun 2007, Assistant Trainer at Fish Processing and Packaging Training at Nanggro Aceh Darussalam coorporate CCRMS-IPB dengan MERCY COORPS tahun 2008. Finalis PKMP tahun 2007, serta aktif dalam penyusunan modul (buku ringkasan praktikum) PHP, TITL, Fisiologi, Formasi dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan, serta modul Teknologi Penanganan dan Transportasi Biota Perairan untuk praktikum laboratorium Strata Satu kurikulum Mayor Minor. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Pembuatan Pepton Ikan Selar (Caranx leptolepis) Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Kondisi Post rigor dan Busuk, dibimbing oleh Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR....................................................................................
v
DAFTAR ISI...................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xv
1. PENDAHULUAN.....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang...................................................................................
1
1.2. Tujuan ................................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
2.1. Hasil Tangkap Sampingan (HTS) ......................................................
4
2.2. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selar (Caranx leptolepis)..................
4
2.3. Mutu Ikan ...........................................................................................
6
2.4. Proses Kemunduran Mutu.................................................................. 2.4.1. Pre rigor................................................................................... 2.4.2. Rigor mortis ............................................................................. 2.4.3. Post rigor ................................................................................. 2.4.4. Deteriorasi ................................................................................
9 10 10 12 12
2.5. Protein Ikan dan Asam Amino...........................................................
13
2.6. Pepton.................................................................................................
16
2.7. Protease Papain ..................................................................................
18
2.8. Hidrolisis Protein dan Hidrolisat Protein ...........................................
22
3. METODOLOGI .......................................................................................
27
3.1. Waktu dan Tempat .............................................................................
27
3.2. Bahan dan Alat...................................................................................
27
3.3. Tahapan Penelitian .............................................................................
28
3.3.1. Pembuatan pepton ikan selar (Caranx leptolepis) ................... 3.3.2. Perlakuan.................................................................................. (1) Penentuan komposisi kimia ikan selar ............................... (2) Penentuan fase post mortem ikan selar............................... (3) Penentuan konsentrasi enzim terbaik ................................. (4) Penentuan waktu hidrolisis terbaik..................................... (5) Karakterisasi pepton ikan selar dan pepton komersial ....... (6) Perbandingan mutu pepton ikan selar dengan pepton komersial sebagai media pertumbuhan bakteri ..................
28 31 31 31 31 31 32 32
3.4.
Prosedur Analisis .............................................................................
32
3.4.1. Analisis proksimat.................................................................. (a) Kadar air (AOAC 2005) ................................................... (b) Kadar abu (AOAC 2005) ................................................. (c) Kadar total nitrogen dan protein (AOAC 2005) .............. (d) Kadar lemak (AOAC 2005).............................................. 3.4.2. Uji organoleptik (SNI-2006) .................................................. 3.4.3. Penentuan pH (Hana 1995) .................................................... 3.4.4. Uji Total Volatoli Base (TVB) (AOAC 1984)....................... 3.4.5. Kadar α-amino nitrogen bebas (LPTP 1974) ......................... 3.4.6. Rendemen pepton ikan selar .................................................. 3.4.7. Analisis asam amino (AOAC 1995) ...................................... (a) Tahap pembuatan hidrolisat protein ................................. (b) Tahap pengeringan ........................................................... (c) Tahap derivatisasi ............................................................. (d) Injeksi ke HPLC ............................................................... 3.4.8. Uji pertumbuhan mikroorganisme (Poernomo 1997) ............
32 32 33 33 34 35 35 36 36 36 37 37 37 38 38 39
Analisis Data ....................................................................................
39
3.5.1 Rancangan acak lengkap .......................................................... 3.5.2 Analisis statistika pendugaan parameter bagi nilai tengah dan simpangan baku ..................................... 3.5.3 Analisis statitstika Relative Standard deviation (RSD) Horwitzt dan hitung ................................................................. 3.5.4 Analisis deskripsi .....................................................................
40
41 41
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
42
4.1. Komposisi Kimia Ikan Selar (Caranx leptolepis).............................
42
4.2. Penentuan Fase Post Mortem Ikan Selar...........................................
43
4.3. Penentuan Konsentrasi Enzim Terbaik .............................................
47
4.4. Waktu Hidrolisis Terbaik..................................................................
50
4.5. Pengaruh konsentrasi Enzim, Waktu Hidroloisis Terhadap Nilai pH.............................................................................
53
4.6. Karakterisasi pepton ikan selar dan komersial..................................
55
4.6.1. Komposisi kimia pepton ikan selar fase post rigor dan busuk (1) Kadar air ............................................................................ (2) Kadar abu .......................................................................... (3) Kadar lemak ...................................................................... (4) Kadar total nitrogen dan protein........................................ 4.6.2. Komposisi asam amino ........................................................... 4.6.3. Rendemen pepton ikan selar ................................................... 4.6.4. Perbandingan karakteristik pepton ikan selar dengan pepton komersial ........................................................
55 56 57 58 59 60 64
3.5
40
66
4.7. Perbandingan mutu pepton ikan selar dengan pepton komersial sebagai media pertumbuhan bakteri..................................................
69
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
73
5.1 Kesimpulan .........................................................................................
73
5.2 Saran....................................................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
75
LAMPIRAN....................................................................................................
82
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
1.
Komposisi kimia daging ikan selar ...................................................
6
2.
Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar ...................................................
8
3.
Beberapa fungsi asam amino essensial dan non esencial..................
14
4.
Karakteristik pepton komersial .........................................................
18
5.
Enzim kelas protease.........................................................................
19
6.
Enzim komersial penghidrolisis protein ikan....................................
19
7.
Komposisi asam amino penyusun papain .........................................
21
8.
Standar protein hidrolisat ..................................................................
26
9.
Komposisi kimia ikan selar (Caranx leptolepis)...............................
42
10.
Ciri-ciri organoleptik ikan selar selama fase post mortem................
44
11.
Hubungan nilai organoleptik, pH, dan TVB ikan selar (Caranx leptolepis) selama penyimpanan suhu ruang ......................
45
12.
Hasil analisis produk pepton ikan selar post rigor dan busuk ..........
56
13.
Kandungan asam-asam amino produk tepung pepton ikan selar (post rigor dan busuk), dan Bactopeptone sebagai pembanding.......
62
Karakterisasi pepton ikan selar HTS fase post rigor, busuk dan bactopeptone .....................................................................................
67
13.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1.
Ikan selar (Caranx leptolepis)...........................................................
5
2.
Hubungan kesegaran ikan dengan bentuk olahan .............................
10
3.
Cara kerja enzim pada substrat hidrólisis..........................................
22
4.
Proses hidrolisis protein dengan menggunakan enzim .....................
25
5.
Diagram alir proses pembuatan pepton ikan selar ............................
30
6.
Nilai rata-rata NTT/NTB hasil hidrolisis enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda pada kondisi post rigor dan busuk .........................................................................
48
Nilai rata-rata NTT/NTB hasil hidrólisis enzim papain dengan waktu hidrolisis yang berbeda pada kondisi post rigor dan busuk .........................................................................
51
8.
Nilai pH hidrolisat ikan selar fase post rigor dan busuk...................
53
9.
Kandungan asam amino produk pepton fase post rigor....................
62
10.
Kandungan asam amino produk pepton fase busuk..........................
63
11.
Kandungan asam amino produk pepton komersial ...........................
63
12.
Nilai persentase rendemen pepton ikan selar ....................................
65
13.
Perbandingan laju pertumbuhan bakteri Bacillus sp. dengan media pepton ikan selar post rigor, busuk dan bactopeptone....................................................................
69
Perbandingan laju pertumbuhan bakteri S. aureus. dengan media pepton ikan selar post rigor, busuk dan bactopeptone....................................................................
70
Perbandingan laju pertumbuhan bakteri E. coli. dengan media pepton ikan selar post rigor, busuk dan bactopeptone....................................................................
70
7.
14.
15.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Score sheet uji orgoneltik ikan segar (SNI-01-2345-2006) ..............
83
2.
Rekapitulasi nilai organoleptik ikan selar tiap fase postmortem ................................................................................
86
Data hasil pengukuran nilai NTT/NTB untuk menentukan konsentrasi enzim papain terbaik. .....................................................
90
Data hasil pengukuran nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis terbaik. ....................................................................
93
Data hasil pengujian kadar proksimat produk pepton fase post rigor dan busuk ....................................................
95
6.
Uji asam amino produk pepton ikan selar.........................................
99
7.
Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase post rigor 1. ............................................................................... 100
8.
Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase post rigor 2. ............................................................................... 101
9.
Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase busuk 1....................................................................................... 102
10.
Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase busuk 2....................................................................................... 103
11.
Kromatogram analisis asam amino standar....................................... 104
12.
Nilai rendemen pepton ikan selar...................................................... 105
13.
Nilai OD laju pertumbuhan bakteri pada produk pepton ikan selar dan komersial ................................................................... 106
3. 4. 5.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayatinya, terutama kekayaan yang terkandung di laut. Kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah tersebut dapat memberikan manfaat bagi manusia. Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya hayati tersebut adalah penggunaan ikan-ikan hasil tangkap sampingan sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai jual tinggi, baik di pasaran regional maupun internasional. Namun
kenyataan
yang
dihadapi
dunia
perikanan
tidak
mudah,
karena selama ini pemanfaatan hasil perikanan di Indonesia hanya tertuju pada satu sektor saja yaitu pangan, sehingga masih banyak hasil-hasil tangkapan perikanan di Indonesia yang tidak dimanfaatkan dan pada akhirnya terbuang dengan sia-sia. Hasil samping perikanan tangkap saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pada dasarnya hasil samping perikanan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, yaitu hasil samping pemanfaatan sumberdaya berupa ikan (by catch) dan multispesies. Hasil samping perikanan ini, berupa ikan rucah yang dibuang lagi ke laut, karena tidak memiliki nilai ekonomis yang penting dan dapat menguntungkan bagi para nelayan.
Dilain pihak sekitar 20-30 % ikan hasil
tangkapan yang didaratkan tidak memenuhi standar mutu dan kualitas yang rendah (Mangungsong dan Djazuli 2001). Ikan-ikan hasil tangkap sampingan yang sudah tidak segar lagi tidak layak untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk-produk perikanan seperti, surimi, bakso, nugget, serta untuk konsumsi secara langsung. Salah satu jenis ikan hasil tangkap sampingan yang umum dikenal masyarakat Indonesia adalah ikan selar. Ikan selar termasuk ikan laut perenang cepat dan kuat. Daerah penyebaran ikan ini adalah semua laut di daerah tropis dan semua lautan Indopasifik, ikan ini banyak tertangkap di perairan pantai serta hidup berkelompok sampai kedalaman 80 m (Djuhanda 1981).
Pada dasarnya ikan selar merupakan golongan ikan pelagis yang memiliki kandungan protein tinggi, yaitu 18,8 %, selain memiliki kandungan protein yang tinggi ikan selar juga memiliki kadar air sebesar 75,4 %; kadar abu sebesar 1,36 %; dan kadar lemak sebesar 2,2 % (Depkes RI 1989). Komposisi protein yang tinggi pada ikan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan jenis by product dengan nilai jual yang lebih tinggi, yaitu pepton. Potensi hasil tangkapan ikan selar dari tahun 1999 sampai 2004 berkisar antara 128.797-138.923 ton (DKP 2007). Beberapa jenis by product berbahan baku ikan hasil tangkap sampingan yang ada selama ini, yaitu minyak ikan dan produk lainnya seperti silase, tepung ikan, protein konsentrat dan jenis lainnya.
Pada industri perikanan, dimana
by product ini tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Seiring dengan perkembangan bidang teknologi, maka dibutuhkan suatu jenis by product dalam penyediaan bahan pendukung, yaitu jenis by product dengan bahan baku ikan hasil tangkap sampingan yang memiliki nilai jual yang tinggi seperti pepton ikan yang dihasilkan dari ikan-ikan hasil tangkap sampingan yang sudah tidak segar lagi. Dufossé et al. (2001) menyatakan pepton ikan adalah produk turunan atau derivat dari hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas. Kebutuhan pepton dalam bidang bioteknologi sangat tinggi. Selama ini kebutuhan pepton di Indonesia dipenuhi melalui impor dan dengan harga yang sangat mahal.
Kebutuhan terhadap pepton untuk negara Indonesia cenderung
meningkat tiap tahun, pada tahun 1998 kebutuhan terhadap pepton mencapai 1.673.394 kg dengan harga sebesar US $ 3,18 juta, pada tahun 1999 dari bulan Januari hingga Desember impor pepton sebesar 59.868.979 kg dengan nilai sebesar US $ 38,8 juta (BPS 1999). Pada tahun 2001 impor pepton menjadi 1.773.278 kg dengan harga US $ 4.47 juta (Anonimous 2001), sedangkan pada tahun 2005 bulan April kebutuhan pepton di Indonesia mengalami penurunan menjadi 438.245 kg dengan harga sekitar US $ 1,1 juta. Namun bulan bulan Januari hingga April tahun 2005 impor pepton di Indonesia kembali mengalami peningkatan menjadi 1.306.618 kg dengan harga sebesar US $ 3,5 juta (BPS
2005). Beberapa jenis produk pepton yang selama ini digunakan adalah jenis Difco, Oxoid, dan Sigma. Setelah masuk ke distributor dan diolah serta dikemas nilai jual pepton Oxoid sebesar Rp 2.600.000,- per kg dan pepton Difco Rp 1.900.000,- per kg (BPS 2008). Data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap pepton di Indonesia sangat besar, oleh karena itu maka perlu dikembangkan suatu upaya dalam menghasilkan produk pepton dari ikan hasil tangkap sampingan yang sudak tidak segar lagi dengan kualitas yang baik dan harga yang murah. 1.2 Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari proses pembuatan pepton ikan selar (Caranx leptolepis) hasil tangkap sampingan pada kondisi post rigor dan busuk. Tujuan khusus dari penelitian ini: 1) mempelajari komposisi kimia ikan selar (Caranx leptolepis); 2) mempelajari pengaruh tingkat kesegaran ikan selar (post mortem); 3) mempelajari optimasi penggunaan enzim terbaik; 4) mempelajari pengaruh waktu hidrolisis terbaik; 5) mempelajari karakteristik pepton ikan selar yang dihasilkan dan; 6) perbandingan mutu pepton ikan selar dengan pepton komersial sebagai media pertumbuhan bakteri
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Hasil Tangkap Sampingan (HTS) atau by catch merupakan permasalahan dan isu perikanan yang sangat global semenjak tahun 1990-an. Ikan HTS yang selalu mengalami peningkatan menjadi salah satu penyebab penurunan jumlah stok ikan, secara umum diketahui hampir semua kegiatan perikanan tangkap menghasilkan HTS.
Beberapa jenis alat tangkap khususnya pukat udang
(shrimp trawl), diketahui memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan alat tangkap yang lainnya. Ikan-ikan HTS dapat mencapai 5-10 kali lebih berat dari
hasil
tangkapan
udang
(Alverson
et
al.
1994
diacu
dalam
Purbayanto et al. 2004). Kondisi ini disebabkan oleh penggunaan mata jaring dibagian kantong (cod-end) pada trawl yang ukurannya relatif lebih kecil, sehingga banyak jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan-ikan juvenil. Hasil tangkap sampingan yang jumlahnya mencapai 80-85 % dari total tangkap pukat udang tersebut bernilai ekonomis rendah dan memakan waktu penyortiran (Purbayanto et al. 2004). Berdasarkan jumlah, HTS bervariasi tergantung kepada kedalaman perairan, musim, kondisi daerah penangkapan, lamanya penarikan jaring, serta ukuran alat tangkap yang digunakan oleh oleh industri penangkapan udang.
Total hasil
tangkap sampingan jumlahnya mencapai 84 %, namun yang dimanfaatkan hanya 37 % dan selebihnya 63 % dibuang ke laut (Purbayanto et al. 2004).
Jumlah
HTS tersebut sangat besar, namun belum optimal dimanfaatkan sehingga merupakan suatu kerugian yang sangat berarti terhadap kegiatan operasional penangkapan ikan, dan berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan perairan. 2.2. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selar (Caranx leptolepis) Ikan selar merupakan salah satu hasil perikanan yang cukup menonjol dan berpotensi tinggi serta memiliki nilai ekonomis dan banyak disukai masyarakat. Pemasaran ikan selar umumnya dilakukan dalam bentuk segar sehingga perlu diterapkan teknik penanganan yang baik.
Adapun klasifikasi ikan selar menurut Saanin (1984)(adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Perciformes
Famili
: Carangidae
Genus
: Caranx
Spesies
: Caranx leptolepis
Secara
morfologi,
ikan
ini
memiliki
bentuk
tubuh
lebih
kecil.
Panjang tubuh ikan ini sampai dengan 16 cm. Jenis ikan ini ditandai dengan garis lebar berwarna kuning dari mata sampai ekor. Sirip punggung ikan selar terpisah dengan jelas, bagian depan disokong oleh jari-jari keras dan banyak jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dua dengan lekukan yang dalam. Sirip perut terletak di bawah sirip dada.
Ikan selar termasuk ikan laut perenang cepat dan kuat.
Daerah penyebaran ikan ini adalah semua laut di daerah tropis dan semua lautan Indopasifik, ikan ini banyak tertangkapi di perairan pantai serta hidup berkelompok sampai kedalaman 80 m, ikan selar ini banyak tersebar di beberapa daerah misalnya, Batu putih, Kema, Belang, Tumpaan yang merupakan pensuplai ikan selar ke pasar-pasar
khususnya di Manado (Djuhanda 1981).
Gambar 1 penampakan morfologi ikan selar (Caranx leptolepis).
Sumber : Chaerudin 2008 (http://www.balifish.com)
Gambar 1. Ikan Selar (Caranx sp.)
Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung pada spesies, tingkat umur, musim, habitat dan kebiasaan makan.
Nilai gizi daging ikan
terutama ditentukan oleh kandungan lemak dan proteinnya. Ikan selar termasuk kategori ikan perenang cepat dan kuat, berkadar lemak rendah karena kurang dari 5 % dan memiliki protein yang tinggi yaitu antara 15-20 % (Stansby 1983). Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia daging ikan selar. Tabel 1. Komposisi kimia daging ikan selar dalam setiap 100 gram bahan Jenis kandungan Air Abu Protein Lemak
Jumlah (gram) 75,4 1,36 18,8 2,2
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1989)
2.3. Mutu Ikan Khusus bagi produk yang cepat membusuk, seperti ikan basah yang baru ditangkap,
pengertian
mutu
sebenarnya
identik
dengan
kesegaran.
Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan yang baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan. Kedua, ikan yang mutunya masih baik; disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia, fisika, maupun biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikan-ikan yang dibekukan. Kesegaran akan bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan baik.
Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan
biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan (Irawan 1995). Nelayan, pedagang, dan konsumen di Jepang menyebut kondisi ikan dan kerang-kerangan
yang
masih
seperti
saat
hidup
dengan
istilah
iki.
Kata iki ini sering digunakan dengan arti yang sama dengan ikan atau kerang-kerangan yang masih segar atau kondisi pre-rigor. Lamanya kondisi iki bervariasi tergantung pada berbagai faktor seperti spesies, cara mati, kondisi ikan, dan temperatur (Konogaya 1990). Faktor, mutu yaitu hal-hal yang tidak dapat diukur atau diamati secara langsung namun mempengaruhi mutu, seperti varietas, faktor genetik, dan asal
daerah. Segala sesuatu yang ada pada komoditas, lansung mempengaruhi nilai pemuas atau nilai manfaat pada komoditas disebut unsur mutu. Unsur mutu terdiri dari 3 kategori (Soekarto 1990) yaitu: a) sifat mutu, yaitu sifat yang lansung dapat diukur secara objektif atau subjektif; b) parameter mutu, yaitu besaran yang mencirikan sifat mutu produk; c) faktor mutu, yaitu hal-hal yang dapat diukur atau diamati secara langsung namun mempengaruhi mutu, seperti varietas, faktor genetik, dan asal daerah. Mutu ikan segar dan tidak segar dapat dilihat dari penampakan fisik seperti mata, insang, daging, dan lain-lain. Berikut ini ciri-ciri ikan segarm menurut Stansby (1963) : a) daging ikan elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya; b) aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut; c) mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan; d) e)
insang berwarna merah cerah; kulit mengkilat dengan berwarna cerah. Bahan baku harus secepatnya diolah. Apabila terpaksa harus menunggu
proses lebih lanjut, maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0 oC sampai dengan 5 oC), saniter dan higienis (SNI 01-2729.1-2006). Tingkat kesegaran ikan memberikan kontribusi utama terhadap mutu produk hasil perikanan. Pada semua produk, kesegaran ikan sangat penting bagi mutu dari produk akhir yang dihasilkan. Umumnya ada 2 metode utama yang biasa digunakan untuk menilai tingkat kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori (subjektif) dan non-sensory (objektif) (Robb 2002). Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu materi, produk atau jasa, seperti hasil pertanian pada umumnya. Produk hasil perikanan memiliki paling kurang beberapa aspek mutu antara lain aspek bio-teknis, aspek sanitasi dan higiene, aspek industrial, dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilai-nilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983). Hal- hal lain yang membentuk mutu komoditas meliputi unsur-unsur mutu yang terlihat dan tersembunyi serta dapat diukur dan yang tidak dapat diukur (Soekarto 1990). Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar Parameter
Tekstur Daging
Kondisi Segar Pupil hitam menonjol dengan kornea jernih, bola mata cembung dan cemerlang atau cerah. Warna merah cemerlang atau merah tua tanpa adanya lendir, tidak tercium bau yang menyimpang (off odor). Elastis dan jika ditekan tidak ada bekas jari, serta padat dan kompak.
Keadaan kulit dan Lendir
Warna sesuai dengan aslinya dan cemerlang, lendir dipermukaan jernih dan transparan dan baunya segar khas menurut jenisnya.
Mata
Insang
Keadaan perut dan sayatan Daging
Bau
Perut tidak pecah masih utuh dan warna sayatan daging cemerlang jika ikan dibelah daging melekat kuat pada tulang terutama rusuknya. Spesifik menurut jenisnya, dan segar seperti bau rumput laut, pupil mata kelabu tertutup lendir seperti putih susu, bola mata cekung dan keruh
Kondisi Tidak Segar Pupil mata kelabu tertutup lendir seperti putih susu, bola mata cekung, dan keruh. Warna merah coklat sampai keabu-abuan, bau menyengat, lendir tebal. Daging kehilangan elastisitasnya atau lunak dan jika ditekan dengan jari maka bekas tekanannya lama hilang. Warnanya sudah pudar dan memucat, lendir tebal dan menggumpal serta lengket, warnanya berubah seperti putih susu. Perut sobek, warna sayatan daging kurang cemerlang dan terdapat warna merah sepanjang tulang belakang serta jika dibelah daging mudah lepas. Bau menusuk seperti asam asetat dan lama kelamaan berubah menjadi bau busuk yang menusuk hidung.
Sumber : Junianto (2003)
Kesegaran ikan menurut Hadiwiyoto (1993) dapat digolongkan ke dalam empat kelas mutu yaitu: (1). Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima). Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar. (2). Ikan yang kesegarannya masih baik (advanced) Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun lunak bila ditekan.
(3). Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang) Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan, bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek. (4). Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk). Saat kondisi ini ikan sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Ciri-cirinya adalah daging sudah lunak, sayatan daging tidak cemerlang lagi, bola mata cekung, insang berubah jadi berwarna coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah menyebarkan bau busuk. 2.4. Proses Kemunduran mutu ikan Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Cepat atau lambatnya kemunduran mutu dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal, yang berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan penanganan (Junianto 2003). Setelah ikan mati, terjadi berbagai proses perubahan fisik, kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan.
Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan
setelah mati meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi (Junianto 2003). Lamanya kesegaran ikan adalah durasi ikan dapat diterima oleh konsumen. Batasan waktu kesegaran ikan akan berbeda sesuai dengan tujuan ikan tersebut akan digunakan. Tidak ada yang lebih baik daripada ikan pada kondisi iki (ikan dimatikan seketika setelah ditangkap sehingga ikan pada kondisi pre rigor) atau paling tidak pada kondisi rigor.
Ikan pada kondisi akhir post rigor dapat
dijadikan pakan hewan dan ikan pada kondisi busuk dijadikan pupuk (Konogaya 1990). Hubungan kesegaran ikan dengan penggunaan ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Ikan mati
Pre rigor
Rigor
Post-rigor
Spoilage
Rigor-off
Sashimi Pemasakan biasa Pengolahan Pakan Fertilizer Gambar 2. Hubungan kesegaran ikan dengan bentuk olahan (Konogaya 1990) Berdasarkan diagram pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa ikan yang baru saja mati atau dalam keadaan hiperaemia ( pre rigor) dapat dijadikan bahan baku pembuatan surimi, sedangkan ikan yang memasuki tahap rigor mortis pada umumnya dimanfaatkan menjadi makan yang langsung diolah dalam hal ini ikan langsung dimasak. Ikan fase post rigor biasanya dilakukan pengolahan menjadi by product (produk sampingan), seperti silase, minyak ikan, dan jenis lainnya. Ketika ikan telah mengalami kebusukan, maka dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak, ikan atau lainnya, produk fertilizer dapat dihasilkan pada kondisi rigor off. 2.4.1. Pre rigor Perubahan pre rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003). Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman 2000). Keadaan ini terjadi saat jaringan otot masih lembut dak lentur ditandai dengan menurunnya kadar ATP dan kreatin fosfat seperti halnya pada reaksi aktif glikolisis (Eskin 1990). 2.4.2 . Rigor mortis Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,
sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat.
Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan
menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidak mampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya.
Kondisi ini
dikenal dengan istilah rigor mortis (Junianto 2003). Rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen. Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan, selain dapat memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan masih sangat segar (Eskin 1990). Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen. Glikolisis (penguraian glukosa) menghasilkan ATP dan asam laktat. Rigor mortis segera terjadi dengan cepat setelah ikan mati jika ikan dalam keadaan lapar dan kandungan glikogen sedikit atau dalam keadaan stres. Ikan yang dimatikan dengan cara hyporthemia (ikan dibunuh dengan air dingin) menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cepat, sedangkan mematikan ikan secara langsung dengan menusuk pada bagian kepala dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung lebih dari 18 jam (Huss 1995). Nilai pH tubuh ikan pada fase ini menurun menjadi 6,2-6,6 dari mula-mula pH 6,9-7,2.
Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah
glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, trymetylamine oxyde (TMAO), dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung, maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003).
2.4.3 Post rigor Kondisi post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Proses ini terjadi terutama pada ikan yang disimpan tanpa dibuang isi perutnya. Tahap post rigor
ditandai dengan melunaknya otot ikan secara bertahap
(Huss 1995). Enzim masih mempunyai kemampuan unutk berkerja secara aktif setelah ikan mati namun sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi. Enzim akan merusak organ tubuh ikan. Enzim tersebut bekerja hanya satu arah, yaitu hanya memecah protein (Murniyati dan Sunarman 2000). Ciri terjadinya perubahan autolisis adalah dengan dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir, yang pada tahap sebelumnya tidak dihasilkan pada jaringan tubuh (Huss 1995). Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalan suhu yang sangat rendah. Proses ini dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Protein dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein. Protein terpecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Pada proses ini juga dihasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat terpecah. Hidrolisis juga terjadi menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Murniyati dan Sunarman 2000).
Enzim pada tubuh ikan akan
menguraikan komponen-komponen makro terutama protein menjadi senyawa yang berbau busuk seperti amonia, histamin, indol, skatol dal lain-lain hingga bahan-bahan tersebut habis terurai (Pandit 2007). 2.4.4 Deteriorasi Deteriorasi merupakan proses akhir dari fase post rigor, biasanya otot ikan benar-benar mengalami pelunakan.
Pada fase ini terjadi autolisis, dan
pembusukan oleh bakteri, hal ini hampir sama dengan post rigor. Pada fase busuk terbebtuk senyawa-senyawa basa volatil.
Komponen utama senyawa volatil
tersebut adalah adalah amoniak (NH3), TMA, dan dimetil amina (DMA). Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi, yaitu ATP juga
berperan dalam penambahan jumlah amoniak pada amin volatil setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Yunizal dan Wibowo 1998). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase sarkoplasma, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim AMP-deaminase menjadi IMP, dan IMP diubah menjadi inosin oleh IMP-fosfohidrolase. Kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin oleh inosin nukleosidase, dan hipoksantin diubah menjadi xantin oleh enzim xanthin oksidase. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenin (Eskin 1990). Perubahan kandungan TVB selama pembusukan mirip dengan TMA, namun kandungan awalnya lebih tinggi. Nilai total volatile base (TVB) dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir pembusukan. Adapun batas penerimaan ikan ditinjau dari kandungan TVB, yakni sebesar 20-30 mg N/100 g ikan. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan spesies ikan (Soekarto 1990). Tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan TVBN dikelompokkan menjadi empat (Farber 1965), yaitu: - ikan sangat segar dengan kadar TVBN 10 mg N/ 100 g atau lebih kecil; - ikan segar dengan kadar TVBN sebesar 10-20 mg N/100 g; - ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN 20-30 mg N/100 g; - ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN lebih besar dari 30 mg N/100 g. 2.5. Protein ikan dan Asam Amino Protein adalah senyawa yang mengandung berbagai asam amino membentuk rantai panjang dengan ikatan peptida. Protein tersusun atas unsur C, H, O, dan N. Molekul protein juga mengandung unsur posfor, belerang, dan ada jenis protein tertentu yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 1997). Senyawa protein merupakan konstituen pengisi jaringan otot
ikan yang paling penting. Ikan mengandung protein 18-22 % per 100 gram dagimg ikan yang dapat dimakan (Peterson dan Johnson 1978). Protein merupakan makromolekul yang paling melimpah di dalam sel. Unit pembangunnya adalah asam amino yang berikatan secara kovalen untuk menghubungkan molekul-molekul menjadi rantai. Apabila protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari gugus R (rantai cabang), sebuah gugus asam amino, sebuah gugus karboksil, dan sebuah atom hidrogen (Winarno 1997). Asam amino merupakan senyawa penyusun protein, yang membentuk sel tubuh manusia dan hewan. Asam amino dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu asam amino esensial dan nonesensial.
Asam amino esensial tidak dapat
diproduksi oleh tubuh sehingga harus disuplai lewat makanan, sedangkan asam amino nonesensial dapat diproduksi dalam tubuh. Berbagai jenis asam amino menyatu dalam ikatan peptida menghasilkan protein. Asam-asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh manusia, yaitu histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, arginin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan valin, sedangkan asam-asam amino non esensial, yaitu alanin, aspargin, sistein, asam glutamat, glutamin, asam aspartat, glisin,
hidroksiprolin,
dan
tirosin
(Poedjiadi
dan
Supriyanti
2006).
Beberapa fungsi asam amino esensial dan non esensial dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Beberapa fungsi asam amino esensial dan non esensial. Asam Amino 1. Esensial Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Arginin Phenilalanin Treonin Triptofan Valin
Fungsi Prekursor histamin, penting untuk pertumbuhan fisik dan mental sempurna dan menanggulangi penyakit rematik. Pertumbuhan bayi dan keseimbangan nitrogen bagi orang dewasa. Merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas. Untuk crosslinking protein dalam biosintesis karnitin, menyembuhkan penyakit herpes kelamin. Produksi sulfur, menjaga kenormalan metabolisme, sebagai antioksidan dan merangsang serotonin sehingga dapat menghilangkan kantuk. Terlibat dalam sintesis urea di hati dan memperlancar peredaran darah. Untuk prekursor tirosin, katekolamin dan melanin. Menyumbangkan nitrogen. Prekursor nikotinamin dan produksi serotonin pada otak. Pada penyakit anemia, menggantikan posisi asam glutamat dalam hemoglobin.
Lanjutan Tabel 3. Beberapa fungsi asam amino esensial dan non esensial. Fungsi Alanin Prekursor glukogenik, pembawa N dari jaringan ke permukaan untuk ekskresi N. Aspartat Biosintesis urea, prekursor glukogenik, dan prekursor primidin. Sistein Sebagai prekursor taurin (misalnya proses konjugasi asam empedu). Glutamat Produksi antara-dalam reaksi interkonversi asam amino, prekursor prolin, ornitin, arginin, poliamin, neurotransmiter α-amino butirat (GABA), sumber NH3. Glisin Prekursor dalam proses biosintesis purin dan neurotransmitter. Serin Komponen fosfolipid, prekursor sfingolipid, prekursor etanolamin dan kholin. Tirosin Prekursor katekolamin dan melanin. Prolin Pembentukan kolagen dan penyerapan zat-zat gizi bagi tubuh. Glutamin Donor kelompok amino untuk berbagai reaksi non asam amino pembawa N. Sumber : Lender (1992)
2. Non esensial
Asam amino yang tersedia dalam protein dengan jumlah dan proporsi yang diperlukan memenuhi persyaratan minimum seseorang, dapat menghasilkan energi untuk bekerja optimum walaupun pemasukannya rendah. Namun, asam amino non esensial atau nitrogen non-protein yang cukup harus ada agar asam amino esensial tidak digunakan untuk tujuan selain fungsi membangun jaringan (Haris dan Karmas 1989 diacu dalam Sumarto 2005). Protein ikan merupakan komponen utama dalan semua sel hidup. Fungsinya terutama sebagai unsur pembentuk sel, misalnya dalam rambut, kolagen jaringan penghubung, membran sel, wool, membran sel, dan lain-lain. Selain itu dapat pula sebagai protein aktif, seperti enzim yang berperan sebagai katalis segala proses biokimia dalam sel (Wirahadikusumah 1989). Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu sarkoplasma, miofibril, dan stroma (Fenema 1976). Komposisi protein ikan tersebut berbeda-beda menurut jenis dan spesiesnya. Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan, yang mana protein ini bersifat larut dalam garam (Hall dan Ahmad 1992). Protein miofibril pada otot ikan dengan kadar antara 75 hingga 85 % dari total protein otot ikan (Govindan 1985).
Protein miofibril
pada otot ikan
mengandung miosin, aktin, aktomiosin, dan tropomiosin. Miosin merupakan komponen miofibril yang mampu mengalami denaturasi dan agregasi.
Pada proses denaturasi dihasilkan molekul-molekul gel dari miosin dengan sifat elastis yang akan tergabung akibat adanya proses agregasi (Wong 1989). Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut dalam air dan secara normal ditemukan di dalam plasma sel yang mana protein tersebut berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot. Protein stroma adalah ptotein yang membentuk jaringan ikat.
Komponen penyusun
protein ini adalah kolagen dan elastin. Berdasarkan kelarutannya protein ikan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu mioplastik, miofibril, dan protein miostroma (Okuzumi dan Fujii 2000). Dalam jumlah besar protein sarkoplasma akan membentuk haemoprotein. Kandungan protein sarkoplasma lebih banyak pada ikan pelagis dibanding ikan demersal. Bagian otot gelap spesies ikan tertentu mengandung sedikit protein sarkoplasma daripada otot putihnya (Suzuki diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Molekul protein akan mengendap karena terdenaturasi, namun denaturasi belum tentu menyebabkan koagulasi, bisa saja hanya menyebabkan flokulasi, yaitu
protein
mengendap
lalu
kembali
pada
keadaan
semula
(Syachrie et al. 1995 diacu dalam Rachman 2003). Protein pada pH tertentu, muatan gugus amino dan karbonil akan saling menetralkan sehingga molekul-molekul protein akan bermuatan netral, pada pH ini disebut titik isoelektrik (Anglemier dan Montgomery 1976). 2.6. Pepton Dufossé et al. (2001) menyatakan pepton ikan adalah suatu turunan atau derivat dari hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas.
Pepton ikan ini merupakan produk yang sangat
memiliki nilai ekonomis penting pada industri perikanan, karena memiliki harga pasar yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan produk sampingan lainnya seperti silase ikan dan tepung ikan. Pepton juga didefinisikan sebagai produk dari bahan-bahan yang mengandung protein, seperti daging, kasein, dan gelatin, selain itu mengandung vitamin dan karbohidrat.
Penguraian bahan-bahan tersebut dapat dilakukan
dengan suatu senyawa asam atau berupa enzim (Pelczar dan Chan 1986).
Pepton dapat diperoleh dari hasil hidrolisis protein hewani, baik limbah (jeroan) atau daging yang tidak bernilai ekonomis tinggi, gelatin, susu, kasein, tanaman maupun khamir (Clausen 1985 diacu dalam Wardana 2008). Definisi lain pepton adalah sebagai hidrolisat protein yang terbuat dari bahan-bahan berprotein tinggi, seperti pada daging, kasein, gelatin, tepung kedelai, khamir, biji kapas, dan bunga matahari (Bridsson dan Brecker 1970 diacu dalam Wardana 2008). Pepton ikan (fish peptones) dan proteosa dijelaskan dalam terminologi sebagai bahan antara peptida dan protein. Proteosa didefinisikan sebagai kelompok turunan protein, sedangkan pepton adalah protein dari jaringan hewan atau tumbuhan yang telah mengalami hidrolisis atau telah mengalami pemutusan ikatan menjadi asam amino dan peptida sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme (Anonimous 2004). Pepton dapat dibuat dari bahan yang mengandung protein melalui hidrolisis asam atau enzimatis. Pepton memiliki kemampuan yang berbeda dalam menunjang pertumbuhan bakteri tergantung pada jenis protein yang digunakan dan proses pembuatannya. Kandungan protein bahan baku pembuatan pepton untuk media pertumbuhan bakteri dapat bervariasi, protein hewan dengan kadar 59-90 % berat kering sampai protein pada beberapa serealia yang mengandung protein kurang dari 1 %
(Bridson dan Brecker 1970).
Hidrolisis enzimatis
protein tersebut dapat dilakukan dengan berbagai enzim proteolitik atau protease. Protease mengkatalis proses hidrolisis protein kompleks menjadi larutan campuran polipeptida, dipeptida, dan asam amino yang secara keseluruhan disebut pepton. Komposisi kimia pepton tidak diketahui secara tepat.
Pada dasarnya
kandungan pepton merupakan campuran kompleks bahan larut air yang berasal dari turunan protein daging tanpa lemak dan sumber lainnya, termasuk jantung, otot, kasein, dan tepung kedelai.
Kandungan senyawa utama pepton adalah
proteosa, asam amino, garam organik, dan vitamin (Heritage et al. 2000) Produksi pepton dalam skala besar umumnya menggunakan papain, tripsin, dan pepsin (Bridson dan Brecker 1970). Proteolisis dalam skala besar harus dikontrol dengan ketat untuk memperoleh hasil maksimal dan kualitas hidrolisat
standar. Adapun sifat pepton antara lain larut dalam air, tidak terkoagulasi atau tahan terhadap panas, tetapi dapat diendapkan dengan amonium sulfat dan seng sulfat. Pepton digunakan sebagai nutrisi media dalam bakteriologi. Ciri yang paling penting dari pepton adalah fungsinya sebagai sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan bakteri, sehingga pepton yang bermutu tinggi memiliki kandungan nitrogen yang cukup tinggi terutama nitrogen yang terdapat dalam ikatan protein. Analisis kimia hanya dapat digunakan sebagai petunjuk yang tepat dalam mengevaluasi karakterisrik pepton (Peterson dan Johnson 1978). Adapun karakteristik pepton komersial dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik pepton komersial (Bactopeptone) No
Karakteristik
Bactopeptone*
1
Kelarutan (dalam air %)
2
Total Nitrogen
12-13
3
α-amino Nitrogen
1,2-2,5
4
AN/TN
11-21
5
Kadar Garam (NaCl) Sumber Keterangan
100
≤17
: *Anonymous (2005) : AN = Amino nitrogen TN =Total nitrogen
2.7. Protease papain Protease merupakan enzim proteolitik yang berkerja memecah protein menjadi asam amino dan polipeptida.
Protease berkerja mengkatalis reaksi
pemutusan ikatan protein, sehingga reaksi dapat berjalan dengan cepat. Katalisator adalah zat yang mempercepat reaksi kimia.
Katalis mengalami
perubahan secara fisik selama reaksi tetapi tetap kembali ke kedudukan semula setelah reaksi berakhir.
Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi kimia
dalam sistem biologis (Rodwell et al. 1985). Protease dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsi dan karakteristiknya dan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelas protease Kelas Protease Serin protease Aspartik protease Cystein protease Metalloprotease
Contoh Trypsin, chymitripsin, elastase, subtilins, proteinase K Pepsin, renin, Microbial aspartic protease Papain, ficin, bromelin Collagenase, elastase, themyosin
Sumber : Walsh (2003)
Berbagai macam enzim protease dapat digunakan sebagai katalisator dalam hidrolisis. Protease yang sering digunakan dalam proses hidrolisis antara lain pankreatin, pepsin, papain, ficin, bromelin, dan lainnya. Beberapa enzim komersial penghidrolisis protein ikan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 . Enzim komersial penghidrolisis protein ikan Enzim Bromelin Fisin Pankreatin Papain Pepsin Pronase Tripsin
Kondisi Ph 4-9 4-9 7-9 5-8 2 7-8 7-9
Suhu (oC) 30-60 30-50 40 50-60 40-50 40 40
Sumber : Muliati (1986) diacu dalam Herdiana (1999)
Papain adalah enzim yang telah digunakan secara komersial dalam industri pangan. Enzim yang digunakan secara komersial dalam industri pangan harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) biaya produksi enzim harus lebih kecil dari pada nilai tambah produk yang dihasilkan, (2) enzim harus cukup aktif secara optimal pada kisaran pH, temperatur, dan konsentrasi substrat yang umum diperlukan dalam industri pangan, (3) enzim harus aman (bebas dari komponen toksin, karsinogenik, dan patogen) dan (4) enzim komersial harus mudah diperoleh dalam keadaan murni dan stabil serta aktivitas yang terkontrol (Muchtadi et al. 1992) Papain merupakan enzim proteolitik hasil isolasi dari getah penyadapan buah pepaya (Carica papaya L.). Selain mengandung papain sebanyak 10 %,
getah buah pepaya juga tersusun atas enzim kemopapain dan lisozim sebesar 45 % dan 20 % (Winarno 1987). Satu kilogram getah pepaya dapat menghasilkan 200 gram enzim papain kasar (Muhidin 1999).
Papain kasar dapat diisolasi dari
buah pepaya dengan mengiris permukaan buah, mengumpulkan getahnya dan melanjutkan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari atau alat pengering Pengeringan dalam waktu singkat pada suhu di bawah 50 oC menghasilkan produk yang lebih bersih dan lebih aktif.
Aktivitas proteolitik papain juga
dipengaruhi oleh jenis buah, umur buah dan penanganan pascapanennya (Muhidin 2000).
Buah pepaya berumur 3 bulan setelah berbunga atau tepat
sebelum pektin terbentuk akan menghasilkan papain yang paling baik atau super papain kasar. Teknik pengendapan menggunakan alkohol dapat menghasilkan papain dengan aktivitas lebih tinggi dan menurunkan kadar impuritas logam pada produk akhir. Aktivitas enzim papain dapat mengkatalis proses hidrolisis dengan baik pada kondisi pH serta suhu dalam kisaran waktu tertentu. Papain biasanya aktif pada nilai pH antara 5,0 hingga 8,0 dengan titik isoelektrik 8,75 dan suhu 50 oC hingga 60 oC. Keaktifan papain berkurang hingga 20 % apabila dipanaskan pada suhu 75 oC selama 30 menit dan 50 % pada pemanasan menggunakan suhu 76 oC hingga 85 oC selama 56 menit pada pH 7,0.
Aktivitas papain masih dapat
dipertahankan apabila enzim tersebut distabilkan dalam bentuk kristal melalui penambahan
senyawa
etyldiaminetetraacid
(EDTA),
sistein
dimerkaptopropanol dengan kondisi penyimpanan pada suhu 5
o
dan
C selama
12 bulan (EDC 1999). Nilai pH optimum enzim papain adalah 4,5-7,0, dan suhu optimum 60-75 oC (Suhartono 1989). Papain tersusun atas 212 residu asam amino yang membentuk sebuah rantai peptida tunggal dengan bobot molekul sebesar 23.000 g/mol. Rantai ikatan tersebut tersusun atas arginin, lisin, leusin, dan glisin. Molekul papain memiliki sisi aktif yang terdiri dari gugus histidin dan sistein (Drenth et al. 1971). Sisi aktif tersebut berfungsi sebagai ion zwiter (zwitter ion) selama proses katalisasi berlangsung. Molekul papain juga mengandung gugus sulfidril bebas, sehingga papain dapat digolongkan dalam protease sulfidril. Aktivitas katalis papain dilakukan melalui hidrolisis yang berlangsung pada sisi-
sisi aktif papain (Wong 1989). Kemampuan papain dalam menghidrolisis sebagian besar substrat protein lebih ekstensif dibandingkan dengan protease lainnya, seperti tripsin dan pepsin (Leung 1996). Selama proses katalisis hidrolisa gugus-gugus amida, mula-mula gugus sistein (Cys-25) yang bersifat sangat reaktif berikatan dengan substrat pada sisi aktif papain sehingga dihasilkan ikatan kovalen substrat dengan enzim yang terbentuk tetrahedral. Kemudian, gugus histidin (His-159) terprotonasi sehingga berikatan dengan nitrogen yang terdapat di dalam substrat. Akibatnya, gugus amin pada substrat terdifusi dan kedudukannya digantikan oleh molekul-molekul air yang pada akhirnya menghidrolisis hasil intermediat sehingga mengembalikan enzim ke dalam bentuk dan fungsinya semula (Beveridge 1996). Mengingat fungsinya sebagai enzim proteolitik, maka hingga saat ini papain dapat digunakan untuk menghasilkan beberapa produk. Pada industri makanan papain digunakan untuk pengempuk daging, konsentrat protein, dan hidrolisat protein. Di bidang kesehatan, papain dimanfaatkan untuk menurunkan viskositas bahan dan juga untuk mencegah deformasi luka pada kornea mata dan pembersih lensa mata (Leipner dan Saller 2000). Selain itu, banyak aplikasi lain penggunaan papain, misalnya pada industri makanan berfungsi untuk menggumpalkan susu di dalam proses pembuatan keju, membuang sisa-sisa serat dari kain pada industri detergen
serta
bahan
aktif
dalam
pembuatan
krim
pembersih
kulit
(Muhidin 1999). Komposisi asam amino dari papain dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi asam amino penyusun papain Asam Amino Lisin Histidin Arginin Asam Aspartat Asparagin Asam Glutamat Glutamin Treonin Serin Prolin
Jumlah 10 2 12 6 13 8 12 8 13 10
Asam Amino Glisin Alanin Valin Isoleusin Leusin Tirosin Fenilalanin Triptofan Sistein Sistin
Sumber : Cayle et al. (1996) diacu dalam Yamamoto (1975)
Jumlah 28 14 18 12 11 19 4 5 1 6
Berdasarkan mekanisme pengikatan enzim terhadap substrat, proses hidrolisa tersusun atas dua tahap. Reaksi tahap pertama adalah reaksi asilasi untuk membentuk ikatan kompleks enzim, sedangkan reaksi kedua adalah reaksi deasilasi yang ditandai dengan hidrolisis ikatan kompleks enzim substrat menjadi produk dan enzim. (Wong 1989). Reaksi hidrolisis dengan menggunakan katalis enzim papain terdiri dari dua tahap yaitu, tahap pertama reaksi asilasi dengan bentuk intermediet acyl-enzim dan tahap kedua merupakan deasilasi yang menghidrolisis hasil intermediet.
Cara kerja enzim selama proses hidrolisis
berlangsung dapat dilhat pada Gambar 3.
O
HX
E-SH + R- C -X
O
H2O
E-S-C-R Asilasi
E-SH + RCOOH Deasilasi
Gambar 3. Cara kerja enzim pada substrat hidrolisis (Wong 1989) 2.8. Hidrolisis dan hidrolisat Protein Kata hidrolisis pada umumnya berhubungan dengan reaksi yang meliputi air dan dua atau lebih komponen produk (Kirk dan Othmer 1953). Pada hidrolisis, sebuah ikatan antara dua atom dipecah.
Meskipun demikian istilah
kadang-kadang berkembang pada reaksi pemecahan banyak ikatan menjadi satu ikatan. Reaksi hidrolisis dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu: - hidrolisis murni hanya air digunakan untuk proses hidrolisis; - hidrolisis dengan larutan asam; - hidrolisis dengan larutan alkali; - hidrolisis dengan peleburan alkali yang menggunakan air atau tanpa air pada temperatur tinggi; - hidrolisis dengan enzim sebagai katalisator. Hidrolisis protein dan peptida sederhana dengan asam dan basa akan menghasilkan suatu campuran asam amino bebas. Hidrolisat dan protein sederhana ini kemudian disebut pepton yang dapat digunakan sebagai sumber nitrogen dalam media pertumbuhan mikroba. Tiap jenis protein menghasilkan proporsi jenis-jenis asam amino yang khas setelah melalui proses hidrolisis (Lehninger 1982).
Hidrolisis protein dapat dilakukan secara kimia dan enzimatis. Selain itu hidrolisis protein dapat dilakukan menggunakan uap panas, kapang, khamir, dan bakteri (Eircle 1950 diacu dalam Syahrizal 1991). Hidrolisis protein terjadi bila protein dipanaskan dengan asam, alkali kuat, atau dengan penggunaan enzim yang akan disertai dengan pembebasan asam amino penyusun molekul protein (Kirk dan Othmer 1953). Ikatan peptida pada protein dapat dihidrolisis dengan perebusan dalam asam atau basa kuat untuk menghasilkan komponen asam amino dalam bentuk bebas. Ikatan ini dapat juga dihidrolisis dengan enzim tertentu, seperti tripsin dan kimotripsin (Lehninger 1993). Hidrolisis asam dilakukan menggunakan asam anorganik kuat, seperti HCl atau H2SO4 pekat dan dipanaskan pada suhu mendidih, dengan tekanan diatas 1 atm. Hidrolisis asam memiliki beberapa kelemahan antara lain produk yang dihasilkan menjadi sangat asam, sehingga perlu dinetralkan dengan alkali sampai pH 7. Tahap ini menyebabkan hidrolisat protein mengandung sejumlah garam. Selain itu, komponen triptofan, glutamin, dan sejumlah asam amino lainnya dapat hancur sehingga produk yang dihasilkan kehilangan zat gizi. Hidrolisis asam juga dapat mengakibatkan terbentuknya humin atau bahan-bahan lain serupa humin yang secara kompleks memisahkan asam amino dan hidrolisat (Johnson dan Peterson 1974). Secara teoritis metode hidrolisis protein yang paling efisien adalah menggunakan enzim, karena enzim menghasilkan peptida-peptida yang kurang kompleks dan mudah dipecah. Disamping itu hidrolisis enzim dapat menghasilkan produk hidrolisat yang terhindar dari perubahan dan kerusakan produk yang bersifat non hidrolitik (Johnson dan Peterson 1974). Hidrolisis protein dipengaruhi oleh konsentrasi bahan-bahan penghidrolisis, suhu, dan waktu hidrolisis serta tekanan udara. Peningkatan konsentrasi enzim ternyata akan meningkatkan volume hidrolisat protein ikan yang bersifat tidak larut menjadi senyawa nitrogen yang bersifat larut. Kecepatan katalisis enzim meningkat pada konsentrasi enzim yang lebih besar, tetapi bila konsentrasi enzim berlebih, maka proses tersebut tidak efisien. Untuk meningkatkan aktivitas hidrolisis, maka dapat digunakan enzim-enzim proteolitik komersial (Syahrizal 1991).
Hidrolisis menggunakan enzim berlangsung secara spesifik, maka proses hidrolisis secara ekstensif mampu mempengaruhi pembentukan peptida dan asamasam amino. Melalui proses hidrolisis diharapkan terjadi proses modifikasi karakteristik fungsional protein juga dipengaruhi oleh tingkat hidrofobisitas bagian rantai non polar pada protein, derajat hidrolisis serta tipe enzim proteolitik yang digunakan (Shahidi dan Botta 1994). Proses hidrolisis diawali dengan pengecilan ukuran.
Pada kondisi
tertentu, substrat dihancurkan sehingga diperoleh peptida maupun asam amino.
Hasil hidrolisis substrat kemudian dapat distabilkan pada pH
rendah melalui penambahan asam (Govindan 1985). Produksi pepton dapat dilakukan dengan ekstraksi menggunakan metode hidrolisis dan autolisis dari bahan yang mengandung protein (Stephen et al. 1976). Proses hidrolisis juga dapat dilakukan untuk memisahkan asam amino dalam protein protein dengan memisahkan ikatan peptidanya.
Pemisahan
asam amino dapat dilakukan dengan hidrolisis asam, hidrolisis basa dan hidrolisis enzimatis. Hidrolisis asam umumnya menggunakan HCl 6 % dalam wadah tertutup berisi N2 yang dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 120 o
C dibawah tekanan 4-5 PSI (pound per square inch) selama 12-48 jam (Nur
dan Adijuwana 1989). Hidrolisis basa dilakukan menggunakan NaOH 2-4 N pada suhu 100 oC selama 2-4 jam, dengan kondisi lainnya sama, seperti hidrolisis asam. Hidrolisis enzimatis dilakukan dalam kondisi yang alamiah, akan tetapi kelemahanya adalah adanya pencemaran asam amino protein bahan yang dihidrolisis oleh asam amino asal enzim dan hidrolisis ini umumnya lebih kompleks. Proses pembuatan hidrolisat protein ikan secara enzimatis mempunyai teknik yang beraneka ragam tergantung pada jenis enzim yang digunakan dan kondisi pengolahannya. Proses hidrolisis protein pada ikan dilakukan dengan mencacah-cacah daging ikan menjadi bagian yang kecil-kecil kemudian diletakkan ke dalam bejana ditambahkan air dan enzim. Enzim yang digunakan sebagai katalisator hidrolisis adalah enzim proteolitik, seperti papain, pankreatin, dan bromelin (Nur dan Adijuwana 1989). Hidrolisis protein menggunakan protease dapat merubah sifat-sifat fungsional protein asalnya (Mahmoud 1994). Sifat fungsional didefinisikan
sebagai sifat fisik dan kimia yang mempengaruhi protein dalam sistem pangan selama proses pengolahan, penyimpanan, persiapan, pemakaian. Hidrolisis secara luas oleh protease non spesifik, seperti papain, menyebabkan kelarutan lebih tinggi pada protein yang sukar larut.
Hasil hidrolisis umumnya
mengandung peptida dengan molekul terdiri dari 2 atau 4 sekuen asam amino. Protease mengkatalis ikatan peptida yang menghasilkan unit molekul lebih kecil atau peptida-peptida yang lebih kecil dan mudah terlarut. Kelarutan peptida dianggap sebagai proporsi nitrogen yang terkandung dalam produk protein terlarut.
Kelarutan protein adalah sifat fungsional pertama yang
biasanya ditentukan selama pengembangan dan uji protein bahan pangan (Zayas 1997). Ada tiga perubahan pada ikatan peptida selama proses hidrolisis berlangsung, yaitu kenaikan jumlah gugus terionisasi (NH4+, COO-) sehingga produk bersifat hidrofilik, penurunan ukuran molekul rantai polipeptida sehingga sifat antigenitas menurun tajam dan perubahan struktur molekul membentuk struktur hidrofobik yang terbuka terhadap lingkungan berair (Mahmoud 1994).
Hidrolisis ikatan peptida umumnya meningkatkan
kelarutan dan derajat hidrolisis namun menurunkan viskositas (Zayas 1997). Prinsip dasar hidrolisis adalah pemutusan ikatan peptida oleh enzim dengan bantuan air yang secara kimiawi disajian pada Gambar 4. Enzim
-CHR”- CO- NR- CHR” + H2O
-CHR”-COOH + NH2- CHR”
Gambar 4. Proses hidrolisis protein dengan menggunakan enzim (Peterson 1981). Hasil hidrolisis protein secara enzimatis berupa suatu hidrolisat yang mengandung peptida yang berat molekulnya lebih rendah dan asam amino bebas. Produk hidrolisat mempunyai kelarutan pada air yang tinggi, kapasitas emulsinya baik,
kemampuan
(Fox et al. 1991).
mengembang
besar
serta
mudah
diserap
tubuh
Hidrolisat protein pertama kali diperkenalkan di Cina dan Jepang sekitar tahun 1990 dan merupakan hasil sampingan pembuatan Monosodium Glutamat (MSG). Setelah proses kristalisasi MSG selesai, tersisa asam amino yang telah dinetralisir dan dikeringkan. Hidrolisat protein dapat berbentuk cair, pasta atau tepung yang bersifat higroskopis. Hidrolisat protein yang berbentuk cair mengandung 30 % padatan, sedangkan bentuk pasta mengandung 65 % padatan.
Hidrolisat protein dalam bentuk cair yang
diproduksi secara komersial mempunyai adar garam berkisar antara 10-21 %, kadar amino nitrogen 0,5-2 % dan kadar padatan terlarut 10-21 % (Johnson dan Peterson 1974). Hidrolisat protein merupakan sumber protein alami yang dihidrolisis secara parsial sehingga lebih mudah diasimilasi oleh makhluk hidup. Hidrolisis secara parsial mampu memecah molekul protein menjadi beberapa gugus asam amino maupun peptida melalui pemutusan ikatan rantai peptida (Rehm dan Reed 1995). Hidrolisat protein untuk menghasilkan peptida dan asam amino dapat dilakukan secara parsial dengan penambahan asam maupun basa. Mengingat proses penambahan asam maupun basa pada proses hidrolisis dapat merusak beberapa gugus asam amino serta menghasilkan senyawa karsinogenik, maka fungsi asam atau basa digantikan oleh enzim secara spesifik. Akibat sifat enzim yang sangat spesifik, maka diperlukan pula pemilihan kondisi hidrolisis yang tepat. Kondisi yang perlu diperhatikan selama hidrolisis berlangsung adalah suhu, nilai pH, dan waktu hidrolisis (Gesualdo dan Li-Chan 1999). Adapun standar protein hidrolisat dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Standar protein hidrolisat Penyusun Kadar abu termasuk NaCl Total padatan Padatan organik Sodium klorida Total Nitrogen MSG Amonium klorida pH (larutan 3%) Sumber : Johnson dan Peterson (1974)
Komposisi (%) 45 97 50 35 7,5 19,8 3,5 5,2
3. METODOLOGI 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai bulan Nopember 2008.
Penelitian bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Kimia Pangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Departemen Pertanian, Cimanggu, Bogor.
3.2.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama
ikan, yaitu selar (Caranx leptolepis) sebagai ikan hasil tangkap sampingan (HTS) dan enzim papain yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan untuk analisis, yaitu bahan untuk uji proksimat ikan selar, meliputi H2SO4 pekat, HgO, NaOH-Na2S2O3, kjeltab, H3BO3 4 % yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1 %, HCl 0,2 N, akuades (protein, total nitrogen, dan uji NTT/NTB); benzena, kertas saring, kapas (lemak), dan analisis kadar air, abu. Asam borat (H3BO3) dan indikator, asam trikloro asetat (TCA) 7 %, HCl, indikator fenolftalen, akuades, dan bahan lainnya Total Volatile Base (TVB), larutan buffer standar 4 dan 7 (analisis pH). Kuprifosfat, TCA 7 %, kalium iodida (KI) 20 %, asam asetat, indikator kanji 1 %, NaOH 1 N, indikator fenolftalein (kadar α-amino nitrogen bebas).
Bahan untuk uji
pertumbuhan mikroorganisme seperti yeast extraxt produksi Difco, pepton komersial merk bactopeptone dari Difco, dan natrium clorida (NaCl). Mikroorganisme yang digunakan dalam pengujian adalah Bacillus sp., Sthaphylococcus aureus, dan Eschericia coli, dan bahan lainnya. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bejana atau wadah untuk menghidrolisis, hot shakerbath (B-Braunch), oven (Yamato), pH meter, nylon mesh 200 mesh, spray drier, High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merk Waters, spektrofotometer (Spektronic 20), inkubator (Yamato), dan alat gelas lainnya seperti tabung reaksi, beaker glass, botol penyimpan sampel,cawan porselen, oven, desikator (analisis kadar air), gelas erlenmeyer, aluminium foil, tabung kjeldahl (analisis protein), tabung soxhlet (analisis kadar lemak), score sheet untuk uji organoleptik dan peralatan lainnya. 3.3.
Tahapan Penelitian Penelitian terdiri dari enam tahap, tahap pertama mempelajari komposisi
kimia ikan selar. Penelitian tahap ini bertujuan untuk mempelajari kandungan proksimat ikan selar. Penelitian tahap kedua bertujuan untuk mempelajari fase postmortem ikan selar (pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk) dengan
analisis (organoleptik, nilai pH, dan pengukuran kadar TVB).
Tahap ketiga
adalah mempelajari penggunaan konsentrasi enzim terbaik (kontrol -0,32 %). Tahap keempat bertujuan untuk mempelajari waktu hidrolisis yang terbaik (2-6 jam). Tahap kelima bertujuan mengkarakterisasi pepton ikan selar (uji nilai asam amino, kelarutan pepton ikan, total nitrogen, α-amino nitrogen, AN/TN dan kadar garam, dan tahap keenam perbandingan kemampuan daya dukung pepton ikan selar terhadap pertumbuhan bakteri dengan pepton komersial. 3.3.1. Pembuatan pepton ikan selar (Caranx leptolepis) Pembuatan pepton ikan selar meliputi ikan dengan kondisi kesegaran yang berbeda, yaitu post rigor dan busuk kemudian dilakukan pencucian, penghilangan jeroan, insang dan kepala, selanjutnya daging ikan dicacah-cacah hingga ukuran kira-kira 1-2 cm.
Daging yang telah berbentuk kecil-kecil dihomogenisasi
menggunakan air dengan perbandingan 2:1 (2 bagian air dicampur dengan 1 bagian ikan cacahan atau daging ikan), kemudian pH diukur. Nilai pH dalam proses awal hidrolisis harus netral, yaitu berkisar antara 6-8. Campuran ikan dan air dimasukkan ke dalam wadah sebanyak 100 gram untuk setiap perlakuan, selanjutnya dilakukan penambahan enzim papain dengan konsentrasi tertentu, lalu dihidrolisis pada suhu 60 oC menggunakan hot shakerbath selama waktu tertentu. Setelah proses hidrolisis selesai, dilanjutkan dengan proses inaktivasi enzim, pada suhu 85 oC selama 15 menit. Sampel yang diperoleh berupa larutan disaring dengan nylon mesh 200 mesh kemudian diendapkan dan disimpan selama 24 jam pada suhu 4 oC. Tujuan penyaringan dan pengendapan serta penyimpanan larutan pada suhu dan waktu tersebut di atas untuk memisahkan fase terlarut dengan yang tidak larut, dan proses pembuangan lemak pada permukaan cairan setelah penyimpanan 24 jam. Fase cair diambil untuk dilakukan uji kandungan nitrogen terlarut. Kandungan nitrogen terlarut kemudian dibandingkan dengan total nitrogen bahan sehingga dihasilkan perbandingan total nitrogen terlarut dan total nitrogen bahan (NTT/NTB).
Kandungan total nitrogen terlarut dan total nitrogen bahan
(NTT/NTB) tertinggi merupakan kondisi optimum untuk proses hidrolisis protein. Pemisahan lemak harus dilakukan agar ekstrak pepton kasar yang dihasilkan
memiliki mutu yang baik dan memiliki daya simpan yang lama. Pemisahan dilakukan dengan penyimpanan pada suhu 4 oC selama
24 jam. Lemak yang
berada di permukaan larutan hasil hidrolisis dibuang, kemudian dilakukan pengeringan dan penyimpanan dalam wadah atau plastik tebal yang tertutup rapat. Diagram alir proses pembuatan pepton dapat dilihat pada Gambar 5.
Ikan Selar (Caranx leptolepis)
Ikan selar kondisi post rigor dan busuk
Penentuan fase post mortem dan penentuan komposisi kimia ikan selar
Penyiangan (dibuang bagian jeroan, insang dan kepala) dan pemotongan
Homogenisasi dengan akades 1:2 pH 6-8 Enzim papain : 0,02 %, 0,08 %, 0,14 %, 0,20 %, 0,26 %, 0,32 % (b/v), terhadap total volume substrat
Penambahan enzim papain
Hidrolisis : 2 jam, 4 jam dam 6 jam
Hidrolisis pada shakerbath selama 6 jam (T= 60 oC pH 6-8)
Inaktivasi enzim pada suhu 85 oC t = 15’
Penyaringan dan pengendapan dengan nylon mesh*
Penyimpanan pada suhu 4 oC selama 24 jam* Pemisahan lemak setelah penyimpanan 24 j
Analisis NTT/NTB
Pengeringan spray drier
Pepton ikan selar
Uji Karakteristik
Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan pepton, (Modifikasi Balitkan 1999 diacu dalam Susetyo 2000). Keterangan :
Mulai dan akhir proses Persiapan proses Proses * Modifikasi
3.3.2. Perlakuan (1)
Penentuan komposisi kimia ikan selar (AOAC 2005) Penelitian tahap pertama ini bertujuan untuk menentukan komposisi kimia
(proksimat) ikan selar. Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya kandungan air, lemak, abu dan protein. (2)
Penentuan fase post mortem ikan Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase
post mortem ikan selar, yaitu pre-rigor, rigor mortis, post rigor, awal busuk. Penyimpanan dilakukan selama 12 jam. Pengamatan dilakukan secara organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan (BSN 2006) (Lampiran 1) dan melakukan analisis nilai pH (Hanna 1995), TVB (AOAC 1984).
(3)
Penentuan konsentrasi enzim terbaik Penelitiah tahap ini bertujuan untuk menetapkan konsentrasi enzim terpilih
yang akan digunakan dalam penelitian tahap selanjutnya. Penelitian tahap ini menggunakan konsentrasi enzim papain 0 % (tanpa penambahan enzim), 0,02 %; 0,08 %; 0,14 %; 0,20 %; 0,26 %; dan 0,32 % (b/v). Hidrolisis dilakukan pada suhu 60 oC, menggunakan ikan selar (Caranx leptolepis) dalam kondisi post rigor dan busuk. Konsentrasi yang terpilih ditentukan dengan mengukur perbandingan antara total nitrogen terlarut dan total nitrogen bahan (NTT/NTB) (AOAC 2005) dan dilanjutkan dengan analisis ragam. Perbandingan tersebut merupakan indikasi derajat hidrolisis yang dikatalis oleh enzim papain. (4)
Penentuan waktu hidrolisis terbaik Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk memilih waktu hidrolisis yang
tepat berdasarkan kondisi kesegaran ikan, yaitu kondisi post rigor dan busuk. Hidrolisis dilakukan pada 2, 4, dan 6 jam dengan suhu 60 oC. Waktu hidrolisis terbaik ditentukan dengan mengukur perbandingan antara total nitrogen terlarut dan total nitrogen bahan (NTT/NTB) (AOAC 2005) dan dilanjutkan dengan analisis ragam.
(5)
Karakterisasi pepton ikan selar dan pepton komersial Penelitian tahap ini bertujuan untuk membandingkan pepton ikan selar
(Caranx leptolepis) hasil dari hidrolisis pada kondisi yang tepat (enzim terpilih, dan waktu hidrolisis yang tepat pada setiap kondisi kesegaran ikan yang berbeda) dengan pepton komersial. Analisis yang dilakukan yaitu, uji proksimat selar (AOAC 2005), analisis asam amino (AOAC 1995), total nitrogen (AOAC 2005), α-amino nitrogen (LPTP 1974), AN/TN, kelarutan dalam air, dan kadar garam (AOAC 1995). (6)
Perbandingan mutu pepton ikan selar dengan pepton komersial sebagai media pertumbuhan bakteri Penelitian tahap ini bertujuan untuk melihat kemampuan daya dukung
pepton ikan selar post rigor dan busuk sebagai media sederhana untuk
pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan pepton komersial.
Pad tahap ini
dilakukan uji pertumbuhan bakteri gram positif dan negatif, yang diukur nilai Optical Density (OD) pada panjang gelombang 650 nm selama 24 jam (Poernomo 1997). 3.4.
Prosedur Analisis Analisis dilakukan pada ikan selar segar (bahan baku), produk hidrolisat
ikan selar (fase post rigor dan busuk), serta produk pepton ikan selar setelah dikeringkan. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui rendemen produk yang dihasilkan, mutu pepton ikan selar, karakteristik pepton ikan selar dan kemampuan daya dukung pepton ikan selar terhadap pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan pepton komersial. 3.4.1
Analisis proksimat (AOAC 2005) Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk memprediksi
komposisi kimia suatu bahan termasuk didalamnya analisis kandungan air, lemak, abu dan protein. (a)
Analisis kadar air (AOAC 2005) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Perhitungan kadar air pada pepton: Kehilangan berat (g)
= berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g) Kehilangan berat (g)
Kadar air (berat basah) =
x 100 % Berat sampel awal (g)
(b)
Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan
pengabuan
dikeringkan
di
dalam
oven
selama
1
jam
o
pada suhu 105 C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Sampel sebanyak 5 gram
dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 400 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – cawan kosong (g) Berat abu (g) Kadar abu
=
x 100 % Berat contoh (g)
(c)
Analisis kadar total nitrogen dan protein (AOAC 2005) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 ml, lalu ditambahkan 7 g K2SO4, kjeltab 0,005 g jenis HgO dan 15 ml H2SO4 pekat dan 10 ml H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan 10 menit di ruang asam. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4 % yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1 % dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3
ke
dalam alat destilasi hingga tertampung 100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut : (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100 %
%N= mg contoh % Protein = % N x faktor konversi* *) FK = 6,25
(d)
Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada
kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.
Pada saat destilasi
pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak pada daging ikan selar:
% Kadar Lemak =
W3 – W2
x 100 %
W1 Keterangan : W1 = Berat ikan selar (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 3.4.2. Uji organoleptik (BSN 2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan scoree sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006). Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subyektif menggunakan indera yang ditujukan pada penampakan, bau, tekstur. Pada uji organoleptik ada beberapa syarat yang harus dipenuhi panelis antara lain tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang diuji, berbadan sehat, bebas dari
penyakit THT dan tidak buta warna (psikologis), tidak merokok, serta jumlah panelis mimimum yang digunakan adalah 15 orang dengan kategori panelis semi terlatih pada masing-masing titik pengamatan yaitu pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Dari data yang diperoleh dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (SNI 01-2346-2006): Segar
: nilai organoleptik berkisar antara 7-9
Agak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 5-6
Tidak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 1-3
3.4.3. Penentuan pH (Hanna 1995) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan pH meter dinyalakan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan mencelupkan elektroda ke dalam larutan bufer fosfat pH 7 dan 4, elektroda dibiarkan beberapa saat sampai pembacaan stabil. Angka pH yang terbaca diatur menggunakan tombol kalibrasi sampai diperoleh angka pH yang sesuai dengan pH buffer. Sampel diambil sebanyak 10 ml kemudian diukur pH nya.
3.4.4. Uji total volatile base (AOAC 1984) Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisa TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam. Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl. Tahapan pengujian diawali dengan preparasi sampel, yaitu daging ikan ditimbang sebanyak 15 g, digiling, dan ditambahkan 45 ml TCA 7% dan dihomogenkan selama satu menit. Selanjutnya larutan tersebut disaring sehingga didapat filtrat yang jernih.
Setelah preparasi sampel, maka 1 ml H3BO3
dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan
dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan menggunakan pipet lain, 1 ml filtrat dimasukkan dalam outer chamber di sebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh dituangkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup dengan sebelumnya pinggir cawan diolesi vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur.
Sedangkan pada cawan
blanko, dikerjakan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti TCA 7 %. Kemudian kedua cawan conway diinkubasi pada suhu kamar semalam atau suhu 35 °C 2 jam. Setelah diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber dititrasi dengan larutan HCl 0,032N hingga warna larutan asam borat berubah menjadi merah muda. Perhitungan TVB dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan:
N fp
= konsentrasi HCl = faktor pengenceran
3.4.5. Kadar α-amino nitrogen bebas (Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan 1974) Prinsip analisis kadar α-amino nitrogen bebas adalah pada penambahan suspensi kuprifosfat ke dalam filtran yang dibuat dari ekstrak contoh dalan larutan TCA 7 %, maka tembaga (Cu) akan membentuk senyawa kompleks dengan gugus asam amino yang berbanding langsung dengan grup amino yang ada. Prosedur analisis kadar α-amino nitrogen bebas adalah sebagai berikut: sampel ditimbang 25 gram, ditambahkan 75 ml TCA 7 % diaduk hingga rata atau homogen dan disaring.
Filtrat dipipet sebanyak 10 ml ke dalam labu takar 50 ml, lalu
ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein lalu dinetralkan dengan NaOH 1 N sampai warna merah, kemudian dikocok agar campuran homogen dan disaring, filtrat dipipet sebanyak 10 ml ke dalam labu erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 0,50 ml asam asetat, glisin dan KI 20 % sebanyak 5 ml. Titrat dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,01 N ditambahkan 4 tetes indikator kanji 1 % dan dititrasi hingga warna biru menghilang. Rumus perhitungan α-amino nitrogen bebas : (a-b) x N x 0,014 x P
% α-amino nitrogen =
x 100 % gram sampel
Keterangan : a : ml titrasi sampel b : ml titrasi blanko
N : Normalitas titer P : Pengenceran
3.4.6. Rendemen pepton ikan selar Rendemen produk hidrolisat merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input dan output. Rendemen (%) =
Α × 100 % Β
Keterangan : A = berat hidrolisat setelah dikeringkan (g) B = berat basah sampel awal setelah perendaman (g) 3.4.7. Analisis asam amino (AOAC 1995) Komposisi asam amino ditentukan dengan HPLC.
Sebelum dipakai,
perangkat HPLC harus dibilas terlebih dahulu dengan eluen yang akan digunakan selama
2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan harus dibilas
dengan akuades. Analisis asan amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) pembuatan hidrolisat protein; (2) pengeringan; (3) derivatisasi; (4) injeksi, serta analisis asam amino. (a) Pembuatan hidrolisat protein Preparasi sampel dilakukan dengan membuat hidrolisat protein. Sampel ditimbang sebanyak 0,1 gram dan dihancurkan,
sampel yang telah hancur
ditambahkan dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 ml. Larutan tersebut dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam.
Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak menganggu kromatogram yang dihasilkan.
Setelah pemanasan selesai, hidrolisat protein
disaring menggunakan milipore berukuran 45 mikron. (b) Pengeringan Hasil saringan diambil sebanyak 10 µl dan ditambahkan 30 µl larutan pengering.
Larutan
pengering
dibuat
dari
campuran
natrium asetat, dan trimetilamin dengan perbandingan 2:2:1.
antara
metanol,
Setelah sampel
dikeringkan dengan pompa vakum untuk mempercepat proses dan mencegah oksidasi. (c) Derivatisasi Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara larutan metanol, pikoiodotiosianat,
dan
trinetilamin
dengan
perbandingan
3:3:4.
Proses
derivatasisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel.
Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan
10 ml asetonitril 60 % dan natriun asetat 1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali dengan menggunakan milipore berukuran 45 mikron. Larutan derivatatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan. (d) Injeksi ke HPLC Hasil saringan diambil sebanyak 20 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Untuk perhitungan konsentrasi asam amino pada bahan, dilakukan pembuatan kromatogram standar menggunakan asam amino standar yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino: Temperatur kolom
: 38 oC
Jenis kolom
: Pico tag 3,9 x 150 nm columm
Kecepatan alir eluen : 1 ml / menit Program
: Gradien
Tekanan
: 3000 psi
Fase gerak
: Asetonitril 60 % dan Natrium asetat 1 M 40 %
Detektor
: UV / 254 nm
Merk
: Waters
Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus yaitu persentase asam amino dalam 100 gram sampel : Luas puncak sampel Luas puncak standar x 0,05 mmol /ml x 5 ml x BMA x 100 % Asam Amino = mg sampel Keterangan : BMA = Berat Molekul Asam amino
3.4.8. Uji pertumbuhan mikroorganisme (modifikasi Poernomo 1997) Pengujian kemampuan pepton sebagai sumber nitrogen dalam medium perkembang biakan mikroorganisme dilakukan menggunakan 3 macam mikroba dari media sediaan dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pepton komersial dengan merek bactopeptone produksi Difco sebagai pembanding. Media pertumbuhan dibuat dengan melarutkan pepton ikan selar sebanyak 1 % (b/v). Pepton komersial (Difco) digunakan sebagai media pembanding dalam menguji kemampuan daya dukung pepton ikan selar. Pepton komersial dilarutkan sebanyak 1 % (b/v). Masing-masing media ditambahkan yeast extract sebanyak 0,50 % (b/v) dan NaCl 1 % (b/v), setelah itu medium disterilisasi (untuk bakteri pH 7,00 ± 0,01). Inokulasi kultur mikroba murni dilakuan dengan mengambil 4 ml kultur murni yang sebelumnya ditumbuhkan pada media nutrient broth (NB), dan diukur OD pada panjang gelombang 650 nm, apabila OD telah sesuai dengan standar (0,6-0,8), kemudian dimasukkan kedalam media yang telah diberi pepton, kultur yang telah dimasukkan ke dalam media diinkubasi dalam suhu 37 oC selama 24 jam. Pengamatan OD (Optical Density) dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan bakteri setiap 2 jam sekali. 3.5.
Analisis Data Analisis statistik untuk penelitian tahap kedua menggunakan analisis
pendugaan parameter bagi nilai tengah, sedangkan tahap ketiga dan keempat menggunakan rancangan Anova Single Factor (RAL) dengan dua kali ulangan tiap-tiap perlakuan, dan uji lanjut Least Significant Different (LSD). Penelitian tahap kelima menggunakan analisis Relative Standard Deviation (RSD) Horwitz dan hitung. 3.5.1 Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel and Torrie 1980) Data yang diperoleh dari penelitian tahap pendahuluan dan tahap lanjut dianalisis dengan menggunakan softwear microsoft exel 2003 dengan metode Rancangan Acak Lengkap atau Anova Single Factor dengan 2 kali ulangan, dan
menggunakan uji lanjut LSD (Least Significant Different) yang menentukan beda nyata antar perlakuan yang diberikan baik tolak maupun gagal tolak. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + εij Keterangan: Yij
= Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i (konsentrasi enzim dan waktu didrolisis) dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rataan umum populasi
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i (kondisi ikan, konsentrasi enzim, dan lama waktu hidrolisis)
εij
= Galat pengamatan atau percobaan pada perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j.
3.5.2. Analisis statistika pendugaan parameter bagi nilai tengah dan simpangan baku
Keterangan: P
= Peluang nilai tengah pada selang kepercayaan 95%
µ
= Nilai rataan (tengah) umum populasi
x
= Rataan nilai pengamatan
S
= Simpangan Baku (STDEV)
n
= Banyaknya pengamatan
3.5.3. Analisis statistika relative standard deviation (RSD) Horwitz dan hitung SD = ±√ (Xi-X)2/ (n-1) RSDHitung (%) = 100SD/ x RSDHorwitz = 2 exp (1-0,5 log C) Keterangan: SD = Standar Deviasi x
= Rataan nilai pengamatan
RSD = Relative Standard Deviation
xi = Jumlah terukur, x1, x2, x3, ......xn n = Banyaknya pengamatan C = Nilai rata-rata Konsentrasi analat
Hipotesis: Penambahan enzim dengan berbagai konsentrasi Ho: Penambahan enzim tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah NTT/NTB pepton ikan selar (Caranx leptolepis) pada kondisi post rigor dan busuk. H1: Penambahan
enzim memberikan pengaruh yang nyata terhadap
jumlah NTT/NTB pepton ikan selar (Caranx leptolepis) pada kondisi post rigor dan busuk. Lamanya waktu hidrolisis Ho: Lamanya waktu hidrolisis tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah NTT/NTB pada pepton ikan selar dalam kondidsi post rigor dan busuk. H1: Lamanya waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah NTT/NTB pada pepton ikan selar dalam kondidsi post rigor dan busuk. 3.5.4. Analisis deskripsi Kemampuan daya dukung pepton ikan selar hasil tangkap sampingan (HTS) pada kondisi post rigor dan busuk terhadap pertumbuhan bakteri ditentukan dengan melakukan pengukuran nilai OD.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Kimia Ikan Selar (Caranx Leptolepis) Penentuan komposisi kimia ikan selar (Caranx leptolepis) dilakukan dengan pengujian analisis proksimat. Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya kandungan air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat. Hasil analisis komposisi kimia ikan selar yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Melalui analisis proksimat dapat diketahui bahwa ikan selar memiliki komposisi
kimia dalam basis basah yaitu kadar air sebesar 75,71 %, kadar abu 2,31 %, kadar protein 15,47 %, serta kadar lemak sebesar 2,94 %. Tabel 9. Komposisi kimia ikan selar (Caranx leptolepis) No
Parameter
Rata-rata Basis Basah (%)
Rata-rata Basis Kering (%)
1
Kadar Air
75,71
14,12
2
Kadar Abu
2,31
9,51
3
Kadar Protein
15,47
59,57
4
Kadar Lemak
2,94
12,10
Komposisi kimia daging ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal (yang berasal dari ikan), dan faktor eksternal (yang berasal dari luar). Faktor internal yang mempengaruhi komposisi kimia ikan meliputi jenis dan golongan ikan, jenis kelamin serta sifat warisan. Adapun faktor luar yang berpengaruh terhadap komposisi kimia ikan adalah daerah tempat hidup ikan, musim, dan jenis makanan yang tersedia Nilai daging ikan terutama ditentukan berdasarkan komposisi protein dan kadar lemaknya (Hadiwiyoto 1993). Nilai
kadar protein dan lemak pada ikan selar dapat diklasifikasikan
berprotein tinggi dan memiliki kadar lemak rendah, sesuai dengan klasifikasi yang dikemukakan oleh Stansby (1982), yaitu protein berkisar 15-20 %, dan kadar lemak rendah kurang dari 5 %. Pada penelitian ini digunakan ikan selar, karena ikan ini termasuk jenis ikan yang selalu ada tiap musim, dan di beberapa daerah (Kema, Belang, Tumpaan, Pelabuhan Ratu) merupakan ikan hasil tangkap sampingan yang kurang dimanfaatkan secara optimal, serta memiliki nilai jual yang rendah. 4. 2. Penentuan Fase Post Mortem Ikan Selar Penentuan fase post mortem ikan dilakukan untuk mengetahui serta mengenali kondisi tingkat kesegaran ikan pada beberapa fase post mortem. Setelah ikan mati, ikam mengalami kemunduran mutu meliputi fase pre rigor (hiperaemia), rigor mortis, post rigor dan busuk (Junianto 2003).
Perubahan
pre rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah
permukaan kulit
Lendir yang dilepaskan tersebut sebagian besar terdiri dari
glukomikoprotein (Rahayu et al. 1992). Perubahan selanjutnya ikan memasuki tahap rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati, sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (Huss 1995). Tubuh ikan mengejang berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kangungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor (Eskin 1990). Kondisi post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Peristiwa autolisis ini terjadi setelah rigor mortis berakhir (Afrianto dan Liviawaty 1989). Proses ini terjadi terutama pada ikan yang disimpan tanpa dibuang isi perutnya. Tahap post rigor ditandai dengan melunaknya otot ikan secara bertahap (Huss 1995). Pada awalnya peristiwa autolisis dan mikrobiologis terjadi
hampir
bersamaan,
autolisis
terlebih
dahulu
kemudian
disusul
mikobiologis, namun selanjutnya kedua proses tersebut terjadi secara bersamaan (Wibowo dan Yunizal 1998). Busuk merupakan proses akhir dari fase post rigor, biasanya otot ikan benar-benar mengalami pelunakan. Pada fase ini terjadi autolisis, dan pembusukan oleh bakteri, hal ini hampir sama dengan post rigor. Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006). Pada tahap ini, ikan selar yang telah mati disimpan di suhu ruang (±25 oC), pengamatan dilakukan selama 12 jam. Fase post mortem yang terjadi pertama kali pada ikan selar yang diamati yaitu pre rigor, dimulai saat penyimpanan ke-0 jam hingga ke-2 jam, kemudian dilanjutkan dengan rigor mortis pada ke-3 jam hingga ke-8 jam, fase post rigor terjadi pada ke-9 jam hingga penyimpanan ke-11 jam, pada penyimpanan ke-11 jam dan diatasnya terjadi proses pembusukan yang berlangsung cepat. Pengamatan organoleptik ikan selar selama fase post mortem pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Tabel 10. Data lengkap organoleptik ikan selar dapat dilihat di Lampiran 2.
Tabel 10. Ciri-ciri organoleptik ikan selar selama fase post mortem Waktu penyimpanan (jam)
0
3
9
11
Fase post mortem
Ciri-ciri organoleptik
Pre rigor
Mata cerah, kornea jernih, insang merah cemerlang, bau sangat segar (spesifik jenis), tekstur padat, elastis bila ditekan dengan jari, otot daging mudah dilenturkan.
Rigor mortis
Mata cerah, kornea jernih, insang merah kurang cemerlang, bau segar (spesifik jenis), tekstur agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, otot daging mulai agak kaku.
Post rigor
Mata agak cekung, kornea agak keruh, insang merah agak kusam, bau seperti amoniak, tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, otot daging mulai agak melemas.
Pembusukan berlangsung cepat
Mata cekung, kornea keruh, insang merah coklat, mulai tercium bau busuk, tekstur lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, otot daging melemas.
Nilai rata-rata untuk masing-masing parameter (organoleptik, pH, dan kadar TVB) ikan selar selama fase post mortem dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hubungan nilai organoleptik, pH, dan TVB ikan selar (Caranx leptolepis) selama penyimpanan suhu ruang Waktu penyimpanan (jam) 0 3 9 11
Fase Post mortem Pre rigor Rigor mortis Post rigor Busuk
Rata-rata nilai orgaoleptik
Rata-rata nilai pH
Rata-rata nilai TVB mg N/100g)
8,00 6,00 5,00 3,00
6,66±0,01 6,51±0,09 6,94±0,03 7,42±0,01
3,10±0,42 14,28±0,39 25,76±0,79 36,40±0,00
Setelah ikan mati (penyimpanan jam ke-0), daging ikan selar masih berada dalam kondisi segar atau disebut fase pre rigor (hiperaemia). Pada fase ini ikan secara fisik memiliki nilai organoleptik berkisar pada selang kepercayaan 8,11 hingga 8,36, berdasarkan pengujian bagi nilai tengah pada selang kepercayaan 95 % dapat disimpulkan bahwa ikan selar pada fase ini memiliki nilai rata-rata organoleptik sebesar 8,00. Nilai organoleptik ikan selar di atas, sesuai dengan kondisi ikan segar pada umumnya yang memiliki nilai orgonoleptik rata-rata 8,00-9,00 (BSN 2006). Untuk parameter pH, ikan selar memiliki nilai rata-rata sebesar 6,66±0,01. Nilai pH ikan selar pada kondisi ini sesuai dengan pendapat Yunizal dan Wibowo (1998) yang mengatakan bahwa ikan yang baru mati umumnya mempunyai pH netral, yakni sekitar 7,0. Sementara itu, secara biokimiawi pada fase ini dapat dilihat nilai rata-rata TVB, yaitu sebesar 3,10±0,42 mg N/100 g. Total Volatile Base (TVB) merupakan indikator kesegaran ikan yang didasarkan pada terbentuknya senyawa-senyawa basa dan amin. Senyawa amin merupakan hasil dekarboksilasi asam amino dan reduksi TMAO. Makin banyak senyawa amin yang terbentuk semakin tinggi nilai TVB yang dihasilkan maka semakin menurun mutu ikan tersebut.
Berdasarkan hasil
pegujian, nilai TVB tersebut di atas, sesuai untuk ikan yang masih dalam keadaan segar yaitu dengan nilai kadar TVBN sebesar 10 mg N/100g atau lebih kecil menurut Farber (1965). Setelah ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh dengan melepaskan energi. Bersamaan dengan itu, terjadi suatu proses perubahan biokimiawi yang menyebabkan bagian protein otot (aktin dan miosin) berkontraksi sehingga membentuk aktomiosin dan menjadi kaku atau lebih dikenal dengan kondisi rigor mortis. Seiring dengan itu pula, karbohidrat dalam daging ikan yang berbentuk glikogen terurai menghasilkan asam laktat pada akhir proses glikolisis. Asam laktat ini dapat menurunkan pH dan menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses pembusukan. Laju penurunan pH ini besarnya tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998 diacu dalam Fitriyani 2006). Fase rigor mortis terjadi setelah 3 jam penyimpanan, yang ditandai dengan rata-rata nilai organoleptik dan pH yang sedikit menurun, masing-masing sebesar
5,96-6,22. Berdasarkan pengujian bagi nilai tengah pada selang kepercayaan 95 % dapat disimpulkan bahwa ikan selar pada fase ini memiliki nilai rata-rata organoleptik sebesar 6,00 dengan nilai rata-rata pH sebesar 6,51±0,09. Perubahan nilai pH dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seperti suhu lingkungan (Flick et al. 1982). Penurunan nilai pH pada kondisi rigor mortis ini terjadi akibat proses glikolisis yang mengubah glikogen dalam tubuh ikan menjadi asam laktat. Asam laktat yang terbentuk mengakibatkan nilai pH ikan selar turun dari 6,66±0,01 menjadi 6,51±0,09. Nilai pH minimal yang dapat tercapai setelah ikan mati tergantung dari cadangan glikogen yang terdapat di dalam daging ikan (Rahayu et al. 1992) Secara
biokimiawi
nilai
TVB
pada
saat
rigor
mortis
adalah
14,28±0,39 mg N/100 g. Nilai ini sesuai dengan klasifikasi Farber (1965), yaitu pada saat rigor mortis nilai TVBN yang dihasilkan sebesar 10-20 mg N/100 g. Akhir dari fase rigor mortis merupakan awal dari proses post rigor. Pada fase ini terjadi proses autolisis. Autolisis adalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan tersebut. Selama ikan hidup enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan adalah enzim dalam daging ikan (katepsin), enzim pencernaan (tripsin, kemotripsin, dan pepsin) atau enzim dari mikroorganisme. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah mikroba, sebab semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba (Rahayu et al. 1992). Pada fase ini nilai uji organoleptik berada pada selang 4,57-5,04, berdasarkan uji nilai tengah pada selang kepercayaan 95 %, maka nilai rata-rata organoleptik adalah 5,00. Nilai rata-rata pH sebesar 6,94±0,03. Peningkatan nilai pH sejalan dengan berakhirnya masa rigor mortis yaitu mulai terbentuknya amonia sebagai hasil akhir degradasi protein. Nilai TVB pada fase post rigor sebesar 25,76±0,79. Kenaikan nilai TVB diakibatkan oleh kerja enzim proteolitik yang menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu menjadi peptida, asam amino, dan amonia yang akan menaikkan pH ikan, dan kadar TVB akibat penguraian asam amino oleh bakteri (Vyncke 1978 diacu dalam Fitriyani 2006).
Fase busuk memiliki nilai uji organoleptik pada selang 3,07-3,41, berdasarkan uji terhadap nilai tengah pada selang kepercayaan 95 % dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata uji organoleptik untuk fase busuk ini adalah 3,00. Nilai pH untuk fase ini sebesar 7,42±0,01. Kenaikan nilai pH disebabkan semakin meningkatnya amonia yang terbentuk selama fase post mortem, pH ikan bervariasi antara 6-7,1, tergantung dari musim, spesies ikan, dan faktor lain (Chen et al. 1998). Selain itu pada fase busuk ini aktivitas bakteri semakin meningkat sehingga mengakibatkan terjadinya penguraian senyawa non protein nitrogen yang menghasilkan basa-basa volatil. Penguraian asam amino oleh bakteri dalam tubuh ikan mengakibatkan jumlah nitrogen total non protein juga meningkat, hingga reaksi yang terjadi pada tubuh ikan menjadi basis (Huss 1995). Nilai TVB pada fase busuk sebesar 36,40±0,00. Nilai ini sesuai dengan klasifikasi Farber (1965), yang menyatakan nilai TVBN pada saat busuk atau akhir post rigor lebih dari 30 mg N/100 g. 4.3. Penentuan Konsentrasi Enzim Terbaik Konsentrasi enzim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan
tingkat
degradasi
enzim
proteolitik.
Pada
proses
hidrolisis
menggunakan enzim, substrat yang digunakan akan diubah menjadi produk hidrolisat. Pada penelitian tahap ini dilakukan proses hidrolisis, dengan menggunakan konsentrasi enzim papain sebesar 0 %-0,32 % (interval 0,06 %) pada masing-masing sampel ikan, yaitu kondisi post rigor dan busuk. Kemampuan enzim papain dalam menghidrolisis daging ikan yang berada pada fase post rigor dan busuk dapat diketahui dengan melakukan uji kandungan total nitrogen terlarut (NTT), kemudian dibandingkan dengan kandungan nitrogen total bahan (NTB), sehingga diperoleh nilai nitrogen total terlarut/nitrogen total bahan (NTT/NTB).
Diagram batang nilai tengah NTT/NTB berdasarkan
konsentrasi enzim yang digunakan fase post rigor dan busuk disajikan pada Gambar 6.
0,40 0,35
0,32
Nilai NTT/NTB
0,30
0,28
b
0,26
0,25
c
c
0,28
b
bc
0,32 0,31c
0,33
c
0,32
c
0,33
cd
0,31
c
0,34
d
0,30
c
a
0,21 a 0,20
0,20 0,15 0,10 0,05
Post rigor
Busuk
% 0,
32
% 26 0,
0,
20
%
% 0,
14
% 0,
08
% 02 0,
Ko
nt
ro l
0,00
Konsentrasi enzim (%)
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 6. Nilai rata-rata NTT/NTB hasil hidrolisis enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda pada kondisi post rigor dan busuk Nilai NTT/NTB yang tinggi yang dihasilkan dipengaruhi oleh aktivitas enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim yang ditambahkan, maka aktivitas enzim dalam mengkatalisis pemutusan ikatan protein akan semakin cepat, sehingga akan meningkatkan jumlah asam amino dan polipeptida yang terlarut. Berdasarkan hasil penelitian, seperti yang terlihat pada Gambar 6, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang digunakan pada perlakuan post rigor dan busuk, maka akan meningkatkan nilai rata-rata NTT/NTB hingga mencapai reaksi hidrolisis sempurna. Apabila konsentrasi enzim terus ditingkatkan akan menyebabkan reaksi tetap, karena telah mencapai titik yang paling optimal (hidrolisis mencapai titik stasioner), sehingga nilai NTT/NTB yang dihasilkan akan tetap pula. Berdasarkan hasil pengujian, pada hidrolisat ikan selar fase post rigor, didapatkan kandungan nilai NTT/NTB berkisar antara 0,21-0,34. Penambahan konsentrasi enzim papain sebesar 0,32 % merupakan konsentrasi enzim dengan nilai rata-rata NTT/NTB tertinggi, sedangkan nilai rata-rata NTT/NTB hidrolisis yang menggunakan ikan busuk berkisar antara 0,20-0,32. Penambahan konsentrasi enzim sebesar 0,20 % pada hidrolisat ikan selar fase busuk memiliki nilai rata-rata tertinggi. Konsentrasi enzim papain yang memiliki nilai NTT/NTB terendah adalah kontrol, yaitu dengan nilai rata-rata NTT/NTB sebesar 0,21 untuk hidrolisat fase post rigor dan
0,20 untuk hidrolisat fase busuk. Hal ini terjadi karena pada perlakuan kontrol tidak dilakukan penambahan enzim sehingga proses hidrolisis tidak berjalan optimal dan menghasilkan nilai NTT/NTB yang rendah. Nilai rata-rata NTT/NTB yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan reaksi yang dikatalis oleh enzim dan akan berbanding lurus dengan jumlah enzim yang ditambahkan, semakin tinggi nilai atau jumlah asam amino dan polipeptida terlarut maka nilai NTT/NTB akan semakin tinggi pula (Rodwell 1985). Berdasarkan hasil pengujian analisis ragam nilai rata-rata NTT/NTB pada hidrolisat yang menggunakan ikan selar fase post rigor dan busuk (Lampiran 3), menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi enzim papain memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata NTT/NTB yang dihasilkan. Uji lanjut Least Significant Different (LSD) menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95 %, penambahan konsentrasi enzim sebesar 0,26 % dan 0,32 % tidak berbeda pengaruhnya. Dengan demikian konsentrasi enzim 0,26 % ditetapkan sebagai konsentrasi enzim terbaik pada hidrolisat fase post rigor yaitu dengan nilai rata-rata NTT/NTB sebesar 0,33 dan dipilih sebagai perlakuan terbaik untuk penelitian tahap selanjutnya. Konsentrasi enzim papain 0,20 % untuk hidrolisat fase busuk dengan nilai rata-rata NTT/NTB tertinggi yaitu sebesar 0,32 dipilih sebagai perlakuan terbaik. Nilai rata-rata NTT/NTB yang tinggi selama proses hidrolisis salah satunya dipengaruhi oleh semakin tingginya konsentrasi enzim yang ditambahkan, sama halnya dengan penelitian Praptono (2006), bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan pada proses hidrolisis ikan gulamah, maka semakin tinggi pula nilai NTT/NTB yang dihasilkan hingga batas waktu tertentu.
4.4. Waktu Hidrolisis Terbaik Sesuai dengan fungsinya, protease mengkatalisis proses hidrolisis protein menjadi peptida dan asam amino dan turunan lainya. Selama hidrolisis, protease menghidrolisis substrat dengan kecepatan tertentu.
Nilai kecepatan hidrolisis
selain dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu, tetapi juga dipengaruhi oleh waktu hidrolisis. Semakin lama waktu yang digunakan, maka proses hidrolisis berjalan lebih sempurna (Gesualdo dan Li-Chan 1999).
Waktu hidrolisis yang lama digunakan, akan menghasilkan komponen terlarut yang semakin tinggi, sehingga berpengaruh nyata terhadap nilai NTT/NTB yang terukur. Berdasarkan penentuan konsentrasi enzim optimum enzim papain terhadap nilai NTT/NTB pada penelitian tahap sebelumnya (hidrolisart pada fase post rigor dan busuk), diketahui bahwa konsentrasi enzim 0,26 dan 0,20 % dipilih sebagai perlakuan terbaik. Selanjutnya konsentrasi enzim tersebut digunakan untuk menentukan waktu terbaik proses hidrolisis ikan selar pada fase post rigor dan busuk. Waktu hidrolisis yang dilakukan pada penelitian ini mulai dari 2, 4, dan 6 jam. Hasil pengukuran terhadap nilai NTT/NTB yang dihasilkan dengan konsentrasi enzim papain tersebut di atas baik perlakuan post rigor maupun busuk dengan waktu hidrolisis masing-masing dari 2 sampai 6 jam rata-rata berkisar antara 0,29-0,33 (post rigor) dan 0,28-0,33. Nilai NTT/NTB yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.
Nilai rata-rata NTT/NTB
b
0,33±0,01 c 0,33±0,00
0,34 0,33 0,32 0,31 0,30 0,29 0,28
a
0,30±0,01 b 0,30±0,00 0,29±0,00
a
0,28±0,00
a
0,27 0,26 0,25 2 jam
4 jam
6 jam
W a ktu hidrolisis (ja m ) Post rigor
Busuk
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 7. Nilai rata-rata NTT/NTB hasil hidrolisis enzim papain dengan waktu hidrolisis yang berbeda pada kondisi post rigor dan busuk. Selain faktor suhu, konsentrasi enzim, proses hidrolisis juga dipengaruhi oleh faktor waktu. Waktu merupakan salah satu faktor yang penting bagi kerja enzim, karena waktu dapat mempengaruhi kestabilan kerja enzim. Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin lama waktu yang diperlukan untuk menghidrolisis maka akan semakin tinggi nilai NTT/NTB yang terukur. Nilai NTT/NTB yang
terukur pada hidrolisat ikan selar fase post rigor berkisar antara 0,29-0,33, sedangkan busuk nilai NTT/NTB berkisar antara 0,28-0,33, dengan waktu hidrolisis selama 6 jam dan konsentrasi enzim berbeda yaitu 0,26 % dan 0,20 %, waktu yang digunakan dalam menghidrolisis daging ikan selar cukup lama sehingga meningkatkan kandungan asam amnio dan polipeptida terlarut, yang berkorelasi positif terhadap tingginya nilai NTT/NTB yang terukur. Selama proses hidrolisis berlangsung rasio NTT/NTB terus mengalami peningkatan dari jam ke 2 hingga ke-6. Jumlah protein terhidrolisis akan meningkat dengan meningkatnya waktu hidrolisis hingga mencapai keadaan stasioner (Parkin 1993 diacu dalam Susetyo 2000). Waktu hidrolisis 2 jam, merupakan waktu hidrolisis yang memiliki nilai NTT/NTB terendah yaitu dengan rata-rata nilai sebesar 0,29 (post rigor) dan 0,28 (busuk). Nilai NTT/NTByang rendah pada penelitian ini, terjadi karena waktu yang digunakan untuk memecah rantai protein menjadi asam-asam amino, polipeptida dan derivat lainnya, sangat pendek sehingga reaksi hidrolisis tidak berjalan sempurna dan menghasilkan nilai NTT/NTB yang rendah. Hasil analisis ragam Anova Single Factor (RAL) menunjukkan bahwa waktu hidrolisis yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap tingginya nilai (rasio) NTT/NTB yang terukur. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya waktu hidrolisis suatu bahan (ikan selar), maka nilai NTT/NTB akan semakin meningkat, namun hingga batas waktu tertentu nilai NTT/NTB akan konstan karena reaksi telah mencapai titik yang paling optimal atau stasioner. Hasil uji lanjut Least Significant Different (LSD) menunjukkan bahwa sampel perlakuan post rigor dan busuk dengan konsentrasi enzim sebesar 0,26 % dan 0,20 % dan waktu hidrolisis selam 6 jam ditetapkan sebagai perlakuan terbaik, karena pada kondisi ini waktu hidrolisis yang paling optimal menghasilkan nitrogen total terlarut dan pengaruhnya berbeda nyata terhadap nilai NTT/NTB yang terukur pada selang kepercayaan 95 %. Kecepatan hidrolisis dipengaruhi juga oleh kestabilan enzim, semakin stabil kondisi enzim maka kecepatan reaksi akan semakin meningkat. Namun dengan semakin bertambahnya waktu, kestabilan enzim semakin menurun yang berakibat pada menurunnya proses hidrolisis. Misalnya kestabilan enzim subtilins carlsberg
semakin
menurun
sejalan
dengan
bertambahnya
waktu
(Rose
1980).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya kecepatan reaksi, yaitu penurunan ikatan peptida spesifik bagi enzim, inhibisi produk, inaktivasi enzim, dan kompetisi antara substrat asli atau protein yang tidak terhidrolisis dengan peptida yang terbentuk selama hidrolisis (Fachraniah 2002). Turunnya rasio NTT/NTB yang dihasilkan pada penelititan ini juga terjadi pada penelitian Susetyo (2000), nilai NTT/NTB yang terukur menurun disebabkan oleh kurang homogennya bahan baku yang digunakan (tulang kepala tuna), selain itu terjadinya penghambatan proses oleh produk, sehingga asam amino yang terbentuk sebagai hasil hidrolisis akan menutup sisi aktif protein substrat, dan pada akhirnya enzim tidak dapat melanjutkan proses hidrolisis. Mackie (1982) melaporkan bahwa terdapat pola yang khas dari hidrolisis daging ikan dimana terdapat sekitar 20 % total nitrogen yang tidak larut meskipun sejumlah enzim ditambahkan secara berlebih, hasil yang sama juga disampaikan oleh Shahidi et al. (1995) pada hidrolisis protein capelin. Tidak adanya penambahan protein terlarut dari hidrolisis capelin dipastikan ketika sejumlah proteolitik enzim ditambahkan setelah proses hidrolisis mencapai fase stasioner. Mereka menduga bahwa hidrolisis mungkin dihambat oleh produk hidrolisis atau adanya cleavage pada semua ikatan peptida yang dihidrolisis oleh enzim.
4.5. Pengaruh Konsentrasi Enzim, Waktu Hidrolisis Terhadap Nilai pH Selain faktor suhu, konsentrasi enzim, dan waktu hidrolisis, faktor lain yang mempengaruhi hidrolisis adalah pH. Nilai pH merupakan derajat keasaman suatu larutan atau bahan. Hidrolisis dengan menggunakan enzim papain dapat berjalan dengan baik jika dalam keadaan kisaran pH netral berkisar 6-8. Nilai pH sebelum dilakukan proses hidrolisis harus dalam keadaan netral yaitu dengan kisaran pH 6-8. Proses hidrolisis menggunakan ikan selar pada fase post rigor dan busuk ini, tidak memerlukan penambahan asam (HCl) dan basa (NaOH) atau jenis lainnya untuk menetralkan larutan bahan, karena pH larutan bahan sudah dalam kondisi netral.
Pada kondisi ini pengamatan dilakukan untuk mengetahui
perubahan dan pengaruh nilai pH selama berlangsungnya proses hidrolisis ikan selar, fase post rigor dan busuk. Selama proses hidrolisis terjadi suatu fenomena
pemutusan ikan protein sehingga mengakibatkan terjadinya pertukaran ion-ion. Pertukaran ion-ion sangat berpengaruh terhadap perubahan nilai pH, dimana selama proses hidrolisis berlangsung akan terjadi penerimaan dan pelepasan ion H+ dan ion OH-. Perubahan pH selama proses hidrolisis ikan selar fase post rigor dan busuk, konsentrasi enzim 0,26 % dengan waktu hidrolisis 6 jam, dan perlakuan busuk dengan konsentrasi enzim 0,20 % selama 6 jam pengamatan
Nilai rata-rata pH
ditunjukkan pada Gambar 8. 7,40 7,20 7,00 6,80 6,60 6,40 6,20 6,00 5,80 5,60
7,21
7,21 7,21
7,21
6,30 6,22
2 jam
Post-rigor
4 jam
6 jam
W aktu hidrolisis (jam)
Busuk
Gambar 8. Nilai pH hidrolisat menggunakan ikan selar pada fase post rigor dan busuk. Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai pH dari larutan hidrolisat ikan selar fase post rigor dan busuk cenderung mengalami kenaikan selama berlangsungnya proses hidrolisis.
Nilai pH dari kedua hidrolisat yaitu post rigor dan busuk
dengan konsentrasi enzim papain yang berbeda, selalu mengalami kenaikan dari jam ke-2 hingga berakhirnya proses hidrolisis pada jam ke-6. Nilai pH pada fase post rigor konsentrasi enzim papain sebesar 0,26 % dari jam kedua hingga jam keenam berkisar sebesar 6,22-7,21, sedangkan untuk hidrolisat ikan selar pada fase busuk dengan konsentrasi enzim sebesar 0,20 %, dari jam kedua hingga jam keenam berkisar pada selang 6,30-7,21. Terdapat sedikit perbedaan nilai pH pada kedua perlakuan, hal ini diduga terkait kondisi bahan baku yang digunakan. Pada hidrolisat fase post rigor, bahan baku yang digunakan
telah
mengalami
peristiwa
autolisis,
yang
mengakibatkan
terdenaturasinya protein ikan sehingga terjadi pemutusan ikatan protein menjadi asam-asam amino, polipeptida, dan derivat protein lainnya dan mengakibatkan
terbentuknya sedikit senyawa-senyawa basa volatil. Pada hidrolisat fase busuk proses autolisis semakin meningkat, sehingga senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk lebih banyak, sehingga sangat berpengaruh terhadap nilai pH. Selain itu terjadinya peningkatan nilai pH pada kedua hidrolisat tersebut dipengaruhi oleh terdenaturasinya protein dalam daging ikan yang menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan asam amino dan terjadinya proses penerimaan dan pelepasan ion H+ dan ion OH- selama berlangsungnya proses hidrolisis. Nilai pH pada hidrolisat menunjukkan konsentrasi ion OH- yang dilepaskan selama proses hidrolisis.
Terjadinya
peningkatan
jumlah
R-COO-OH- pada
hidrolisat
menyebabkan kenaikan nilai pH. Kenaikan nilai pH hidrolisat juga dipengaruhi oleh kecepatan proses hidrolisis, apabila proses hidrolisis berjalan cepat maka nilai pH akan semakin cepat menurun dan sebaliknya. Kenaikan nilai pH terjadi hanya sampai batas waktu tertentu, ketika substrat yang akan dikatalis oleh enzim telah mencapai batas optimal untuk diurai, maka nilai pH akan mengalami penurunan seiring dengan menurunnya aktivitas enzim papain. Kenaikan nilai pH pada proses ekstraksi atau hidrolisis ikan selar ini terjadi karena asam amino yabg sudah terbentuk ada yang terhidrolisis menjadi amonia yang bersifat basa dalam air. Hal ini juga terjadi pada penelitian pembuatan hidrolisat ikan dengan protease bakteri. Pada penelitian tersebut mengemukakan bahwa pelarutan nitrogen akan lebih cepat selama pH hidrolisis terkontrol dibanding tahap pengontrolan pH (Rebecca et al. 1991). Selain itu pada penelitian ini juga terjadi penurunan nilai pH dari 9,5 menjadi 8 pada bubur hidrolisat yang menggunakan protease basa (alkali) dan dari 7,5 menjadi 6,5 pada hidrolisat menggunakan protease netral.
Hal itu terjadi pada satu jam pertama hidrolisis, yang
berhubungan dengan penurunan aktifitas protease sebesar 15-30 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selama proses hidrolisis berlangsung terjadi proses naik dan turunya nilai pH.
4.6.
Karakterisasi Pepton Ikan Selar dan Komersial
4.6.1
Komposisi kimia pepton ikan selar fase post rigor dan busuk
Komposisi kimia dari suatu bahan sangat bervariasi, tergantung pada jenis bahan yang digunakan. Apabila bahan yang digunakan adalah ikan, komposisi kimia dari bahan tersebut bervariasi tergantung pada spesies ikan, tingkat umur, musim, habitat, dan kebiasaan makan ikan. Pepton yang dihasilkan dari bahan baku ikan selar ini, komposisi kimianya juga dipengaruhi oleh tingkat kemunduran mutu ikan, banyaknya konsentrasi enzim yang digunakan, lamanya waktu hidrolisis, dan dipengaruhi juga oleh suhu. Hasil analisis kimiawi dari produk pepton ikan selar perlakuan post rigor dan busuk, dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil uji relative standard deviation (RSD) komposisi kimia pepton ikan selar disajikan pada Lampiran 5. Tabel 12. Hasil analisis produk pepton ikan selar post rigor dan busuk Nilai rata-rata No 1 2 3 4 5
1.
Post rigor
Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Total nitrogen (%)
Busuk
Basis basah
Basis kering Basis basah
9,00±0,58 4,76±0,40 0,09±0,00 74,17±0,30
9,89±0,71 5,23±4,22 0,09±0,00 81,50±0,19
11,86±0,04
7,37±0,51 4,38±0,48 0,07±0,01 77,46±0,54
Basis kering 7,96±0,60 4,73±0,54 0,07±0,01 83,62±1,05
12,39±0,08
Kadar air Air merupakan komponen dasar dari ikan, kira-kira jumlah air hampir 80 %
dari bagian daging ikan yang dapat dimakan. Telah diketahui terdapat hubungan timbal balik antara kadar air dengan kadar lemak, semakin tinggi kadar air yang terdapat pada ikan maka semakin rendah kadar lemaknya demikian pula sebaliknya (Yunizal et al. 1998). Air merupakan komponen utama bahan makanan, air dalam bahan makanan sangat menentukan kesegaran dan daya tahan bahan tersebut karena kandungan air erat kaitannya dengan perkembangan mikroorganisme dalam produk tersebut. Kandungan air bahan pangan tidak dapat ditentukan hanya dengan bentuk fisiknya. Air juga dapat mempengaruhi tekstur, rupa maupun cita rasa bahan makanan (Winarno 1997).
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa kadar air yang dikandung oleh produk pepton ikan selar perlakuan post rigor dan busuk masing-masimg sebesar 9,00±0,58 % dan 7,37±0,51 % (bb). Rendahnya nilai kadar air pada produk pepton ikan selar, dipengaruhi oleh komponen air bebas yang terdapat pada bahan baku yang digunakan baik pepton ikan selar fase post rigor maupun busuk sehingga kandungan air bebas yang terdapat pada bahan baku tersebut akan mengalami proses penguapan selama proses pengeringan pada saat hidrolisat dikan menggunakan spray drier dengan suhu yang cukup tinggi, tetapi proses pengeringan dalam kondisi terkontrol, sehingga produk yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan secara fisik maupun kimiawi. Air bebas yang terdapat dalam jaringan daging ikan yang kurang segar (post rigor dan busuk) sangat mudah menguap bila dikeringkan (Yunizal et al. 1998). Sehingga akan menurunkan kandungan kadar air pepton ikan selar yang dihasilkan. Hasil analisis statistik Relative Standart Deviation (RSD) terhadap kadar air produk
pepton ikan selar menunjukkan bahwa, pepton ikan selar fase
post rigor dan busuk pepton ikan layak digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme, karena nilai RSDHitung
Kadar abu Sebagian besar bahan makanan (96 %) terdiri dari bahan organik dan air.
Dalam proses pembakaran sampai suhu 600 oC bahan organik mudah terbakar, sedangkan zat oraganik tidak terbakar. Zat organik yang tidak terbakar disebut abu yang terdiri dari Ca, Mg, Na, P, K, Fe, Mn, dan Cu. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan (Winarno 1997). Berdasarkan hasil pengujian seperti telihat pada Tabel 12, menunjukkan bahwa kandungan abu yang dihasilkan oleh pepton ikan selar fase post rigor dan busuk masing-masing sebesar 4,76±0,40 (bb) dan 4,38±0,48 (bb). Nilai ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan kadar abu yang pernah dilakukan oleh Johnson dan Peterson (1974), yaitu 45 %. Tingginya kadar abu pada penelitian
ini disebabkan oleh adanya penambahan NaCl dan ammonium klorida sehingga kadar abunya tinggi, terkait dengan bahan tambahan yang digunakan merupakan komponen zat organik yang tidak terbakar (abu). Hasil analisis statistik Relative Standart Deviation (RSD) terhadap kadar abu produk
pepton ikan selar menunjukkan bahwa, pepton ikan selar fase
post rigor layak digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme, karena nilai RSDHitung < RSDHorwitz, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada selang kepercayaan 95 %, menyatakan bahwa produk
pepton ikan selar pada fase
post rigor dapat diterima sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Pepton ikan selar pada fase busuk, memiliki nilai RSDHitung>RSDHorwitz, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada selang kepercayaan 95 %, menunjukkan bahwa pepton ikan selar pada fase busuk kurang baik digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme untuk parameter kadar abu. Tingginya nilai kadar abu pada perlakuan busuk diduga karena bahan baku yang digunakan (daging ikan dan tulang), tulang mengandung sel-sel hidup dan matriks intraseluler dalam bentuk garam mineral, selain itu faktor yang juga berpengaruh adalah semakin lamanya waktu hidrolisis yang digunakan maka kontak antara larutan pengestrak dan bahan akan semakin lama pula. Sehingga kesempatan untuk melarutkan komponenkomponen non-mineral dalam bahan semakin besar. Semakin rendah komponen non-mineral yang terkandung dalam bahan akan semakin meningkat persen abu relatif terhadap bahan. 3.
Kadar lemak Lemak merupakan salah satu unsur yang penting dalam pangan yang
berfungsi sebagai sumber energi (Winarno 1997). Produk hidrolisat protein ikan dengan kadar lemak rendah umumnya mempunyai mutu yang lebih stabil dan tahan lama jika dibandingkan dengan produk hidrolisat yang mempunyai kadar lemak yang tinggi. Tabel 12 menunjukkan bahwa kadar lemak yang terukur pada produk pepton ikan selar fase post rigor dan busuk masing-masing sebesar 0,09±0,00 dan 0,07±0,01 % (bb). Kadar lemak yang diperoleh pada produk pepton lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar lemak bahan baku awal.
Rendahnya nilai
persentase lemak pada produk pepton yang dihasilkan disebabkan oleh proses
pemanasan pada saat hidrolisis, dimana proses pemanasan dan perebusan akan mempengaruhi kadar lemak dalam bahan dan mengurangi lemak yang berlebihan. Selama proses perebusan atau pengolahan, terjadi perubahan terhadap protein, lemak, dan karbohidrat (Dogerskog 1977 diacu dalam Nurhayati 1994). Hal yang juga mempengaruhi rendahnya kadar lemak pada pepton ikan selar ini diduga karena setelah hidrolisat terbentuk, kemudian diendapkan dan disimpan pada suhu 4 oC selama 24 jam, sehingga pada suhu dan lama waktu penyimpanan ini lemak yang terdapat pada larutan hidrolisat akan mengapung di bagian permukaan, dan kemudian dilakukan proses pembuangan hingga jumlah lemak yang mengapung berkurang.
Selain itu lemak yang masih tersisa pada cairan hidrolisat akan
memempel pada chamber alat spray drier
pada saat larutan hidrolisat
dikeringkan, sehingga lemak akan terpisah dari produk pepton. Hasil analisis statistik Relative Standart Deviation (RSD) terhadap kadar lemak produk pepton ikan selar menunjukkan bahwa, pada perlakuan post rigor dan busuk
pepton ikan layak digunakan sebagai media pertumbuhan
mikroorganisme, karena nilai RSDHitung
Kadar total nitrogen dan protein Protein merupakan komponen terpenting dalam produk pepton. Salah satu
tujuan memproduksi produk pepton adalah untuk memenuhi kebutuhan media bagi mikroorganisme bagi perkembangan bidang bioteknologi, terutama produk pepton yang berbahan bahu hasil perikanan (ikan). Tingkat mutu dari produk pepton ikan ditentukan oleh kadar zat terlarut, terutama kadar proteinnya yang dihitung dengan kadar total nitrogen (Sutedja et al. 1981). Selama proses hidrolisis berlangsung terjadi konversi protein yang bersifat tidak larut menjadi senyawa nitrogen yang bersifat larut, selanjutnya terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida-peptida, asam amino dan amonia sehingga mudah diserap oleh tubuh.
Apabila hidrolisis
berjalan sempurna, maka akan menghasilkan campuran 18-20 macam asan amino (Kirk dan Othmer 1953).
Metode penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl umumnya digunakan untuk menentukan kandungan protein dalam suatu bahan. Metode ini didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total yang terdapat di dalam contoh. Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk contoh yang dianalisis karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein (Faridah et al. 2008). Tabel 12 menunjukkan bahwa kadar protein dan total nitrogen yang terukur pada produk pepton ikan selar fase post rigor dan busuk masing-masing sebesar 74,17±0,30 dan 77,46±0,54 % (bb), sedangkan kadar total nitrogen pada pepton ikan selar post rigor dan busuk masing-masing sebesar 11,86±0,04 dan 12,39±0,08 %. Kadar protein yang diperoleh pada produk pepton baik fase post rigor maupun busuk lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein bahan baku awal. Terjadinya kenaikan nilai kadar protein pada pepton diduga karena selama proses hidrolisis terjadi proses pemecahan ikatan protein menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana yaitu asam amino, peptida-peptida dan derivat protein lainnya. Semakin banyaknya asam amino dan peptida yang terbentuk akan menghasilkan zat terlarut yang semakin tinggi, sehingga total nitrogen juga semakin meningkat. Selain itu peningkatan kandungan protein dan total nitrogen juga diduga karena terdeteksinya enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis protein ikan selar, dimana enzim merupakan bagian dari protein. Hasil analisis statistik Relative Standart Deviation (RSD) terhadap kadar total nitrogen produk pepton ikan selar menunjukkan bahwa, pada fase post rigor dan busuk
pepton ikan layak digunakan sebagai media pertumbuhan
mikroorganisme, karena nilai RSDHitung
Komposisi asam amino Molekul protein tersusun dari sejumlah asam amino sebagai bahan dasar
yang saling berikatan satu sama lain. Asam amino dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, muatan dan reaktivitasnya (Winarno 1997). Bila suatu protein dihidrolisis
dengan asam, alkali atau enzim akan dihasilkan campuran asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada atom yang dikenal sebagai karbon α (alpha), serta gugus R yang merupakan rantai cabang (Winarno 1992). Kualitas protein dapat ditentukan dengan melihat kandungan asam amino penyusunnya. Tidak semua protein mempunyai nilai gizi yang sama karena perbedaan jumlah dan jenis asam amino yang terkandung dalam tiap protein (Harper et al. 1979). Analisis asam amino bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah asam amino esensial yang terkandung dalam suatu protein bahan pangan (Muchtadi 1989). Mutu pepton ikan yang dihasilkan dapat diketahui dengan cara membandingkan pepton ikan selar pada fase post rigor dan busuk dengan pepton komersial, pepton ikan gulamah dalam hal jumlah asam amino yang terkandung. Hasil perbandingan ini sebagai suatu indikasi baik atau tidaknya prouk pepton ikan selar yang dihasilkan. Hasil analisis komposisi asam amino dari produk pepton ikan selar (Caranx leptolepis) dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) disajikan pada Tabel 13. Kromatogram kurva standar asam amino dan analisis contoh pepton post rigor dan busuk disajikan pada Lampiran 7, 8, 9, 10, dan 11. Tabel 13. Kandungan asam-asam amino produk pepton ikan selar (post rigor dan busuk), dan pepton komersial, gulamah, pari dan tuna sebagai pembanding. Jumlah Asam Amino (%) No
Jenis Asam Amino
1
Alanin
2
Arginin
3
Asam Aspartat
4
Asam Glutamat
5
Glisin
6
Histidin
7
Isoleusin
8
Leusin
9
Lisin
9,20
7,00
1,32
0,31
0,01
Pepton selar post rigor 0.74
5,80
8,60
2,89
1,67
1,58
3.27
2.85
5,00
7,50
3,55
1,01
0,46
6.50
5.92
8,10
11,60
5,41
0,83
0,43
10.18
10.43
15,90
5,60
4,23
0,45
0,03
1.04
0.96
0,80
1,50
4,95
1,52
0,67
4.70
4.12
2,10
2,40
2,68
-
0,12
1.33
0.96
3,80
5,00
2,61
0,01
2,36
4.76
2.42
3,40
5,80
1,08
0,37
-
2.76
2.25
Difco
1)
Oxoid
2)
Pepton gulamah3)
Pepton pari4)
Pepton tuna4)
Pepton selar busuk 0.55
10
Methionin
11
Phenilalanin
12
Prolin
13
Serin
14
Sistein
15
Tirosin
16
Treonin
17
Valin Sumber :
1
0,70
1,40
1,50
0,32
0,78
4.01
3.07
2,80
2,30
1,27
0,43
1,31
2.17
1.68
8,80
-
3,33
0,32
0,25
1.80
1.49
1,50
2,90
1,77
0,11
0,08
2.88
2.93
-
0,50
1,34
0,35
0,07
1.06
0.65
0,60
1,80
1,28
-
1,76
1.45
1.32
1,10
2,60
1,42
-
1,70
1.25
1.06
2,80
3,60
3,33
0,13
2,64
3.82
2.61
2
Anonymous (2005); Difco Manual diacu dalam Poernomo (1997); Praptono (2006) ; dan 4 Susetyo (2000) Keterangan : - Tidak dihitung (terputus selama hidrolisis berlangsung) 3
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa produk
pepton ikan selar
perlakuan post rigor dan busuk memiliki 17 macam asam amino. Suatu proses hidrolisis dapat dikatakan berjalan sempurna menurut Kirk dan Othmer (1953), jika menghasilkan campuran 18-20 macam asam amino, sehingga dapat dikatakan bahwa pepton ikan selar dihidrolisis mendekati kondisis yang sempurna, karena kandungan asam amino yang terdapat pada produk
pepton ikan selar baik
post rigor maupun busuk terukur sesuai standar asam amino. Jika dibandingkan asam amino dari masing-masing perlakuan yaitu fase post rigor dan busuk, jenis asam amino yang dihasilkan keduanya sama tetapi kadar beberapa jenis asam amino (alanin, arginin, asam aspartat, glisin, histidin, isoleusin, leusin, methionin, phenilalanin, prolin, sistein, tirosin, treonin, dan valin) pada fase post rigor lebih tinggi dari kadar asam amino perlakuan busuk. Semua protein yang dihidrolisis akan menghasilkan asam-asam amino, tetapi ada beberapa protein yang disamping menghasilkan asam amino juga menghasilkan molekul-molekul protein yang masih berikatan (West dan Todd 1964). Asam glutamat merupakan asam amino tertinggi yang terdapat pada produk pepton ikan selar (Caranx leptolepis) baik perlakuan
pepton ikan selar fase
post rigor maupun busuk, masing-masing sebesar 10,43 % dan 10,18 %. Asam amino dengan kadar terendah, yaitu asam amino alanin sebesar 0,55 % dan 0,74 % masing-masing untuk fase post rigor dan busuk Berikut di bawah ini diagram batang persentasi rata-rata asam amino fase post rigor dan busuk. Gambar 9 ,10 dan 11.
10,18 10,00 8,00
6,50
6,00
4,76
4,70
4,01
3,27
4,00 2,00
3,82
2,76
2,17
1,33
1,04
0,74
2,88 1,80
1,06
1,45
1,25
V al in
S er in Si st ei n Ti ro si n T re on in
P ro lin
G lis in H is tid in Is ol eu si n Le us in
L M isin et hi on P he in ni la la ni n
0,00
A la ni n As Ar am g in As in As p ar am ta t G lu ta m at
Rata-rata asam amino (%)
12,00
Je nis Asam Amino
12,00
10,43
10,00 8,00 5,92 6,00 4,12 4,00
2,85
2,00
3,07
2,42 2,25 0,96
0,55
2,93 1,68 1,49
0,96
2,61 0,65
1,32
1,06
0,00
Al an in As A am r gi n As in As p am ar ta G t lu ta m at G lis i H n is tid in Is ol eu si n Le us in Li si M et n h Ph io e n ni n il a la ni n Pr ol in Se ri n Si st ei n Ti ro si Tr n eo ni n Va l in
Rata-rata asam amino (%)
Gambar 9. Kandungan asam amino produk pepton ikan selar fase post rigor
Je nis Asam Amino
Gambar 10. Kandungan asam amino produk pepton fase busuk 15,9
16 14 12
9,2
10 8
8,8
8,1 5,8
6
5 3,8
4
3,4
2,8
2,1 0,8
2
2,8 1,5
0,7
1,1
0,6
0
n
lin Va
ni
in
Tr eo
in
ro s Ti
st e Si
rin Se
n
in Pr ol
ni la
ila en
Ph
et
hi
on
in
n si
an Al
Li M
A As am rgin in A s A sp ar am ta t G lu ta m at G lis in H is tid in Is ol eu sin Le us in
0
in
Rata-rata asam amino (%)
18
Jenis Asam Amino
Gambar 11. Kandungan asam amino produk pepton komersial (Difco Manual diacu dalam Poernomo 1997) Mutu protein dapat dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut. Pada prinsipnya suatu protein yang dapat
menyediakan asam amino esensial dalam suatu komposisi yang hampir menyamai kebutuhan manusia, mempunyai mutu yang tinggi. Analisis asam amino produk pepton ikan selar menghasilkan 9 asam amino esensial pada fase post rigor dan busuk, yaitu asam amino histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin dan lisin, serta 8 asam amino non esensial yang meliputi asam aspartat, asam glutamat, tirosin, sistin, serin, glisin, alanin, dan prolin (Gambar 9 dan 10). Pada produk hidrolisat ini hampir semua jenis asam amino esensial dihasilkan kecuali triptofan yang dalam hal ini tidak dianalisis, karena untuk menganalisis asam amino tersebut harus dengan proses hidrolisis basa (White dan Hart 1992). Hasil pengujian kandungan asam amino, masing-masing produk pepton pada fase post rigor dan busuk memiliki nilai rata-rata asam amino yang berbeda. Kandungan asam amino pada fase post rigor lebih baik, karena memiliki persentase rata-rata asam amino dengan nilai yang lebih tinggi. Hampir sebagian besar nilai rata-rata asam amino pada fase post rigor memiliki nilai yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan asam amino pada perlakuan busuk, kecuali beberapa jenis asam amino seperti asam glutamat dan serin memiliki persentase nilai rata-rata yang lebih tinggi dibanding fase post rigor dengan nilai masing-masing sebesar (10,43 % dan 2,93 %), tingginya persentase nilai rata-rata asam amino pada produk pepton fase post rigor, hal ini terkait dengan jenis bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan pepton. Pada fase post rigor bahan baku masih belum terdegradasi secara sempurna, sehingga masih memiliki kandungan asam amino yang cukup tinngi, sedangkan untuk perlakuan busuk bahan baku yang digunakan telah mengalami degradasi yang lebih besar jika dibanding post rigor, sehingga kandungan asam amino yang dihasilkan akan lebih rendah, karena diduga telah terurai selama proses autolisis. Apabila persentase nilai rata-rata asam amino produk komersial (bactopeptone) dibandingkan dengan pepton ikan selar, maka sebagian besar persentase nilai ratarata produk pepton ikan selar memenuhi standar produk komersial, bahkan beberapa asam amino yaitu asam aspartat, sistein, asam glutamat, histidin, leusin, methionin, serin, threonin, tirosin, dan valin memiliki persentase nilai rata-rata asam amino yang lebih tinggi dibanding pepton komersial, baik untuk perlakuan
post rigor maupun perlakuan busuk. Persentase nilai rata-rata asam amino pada produk pepton ikan selar (produk pepton fase post rigor dan busuk) cukup tinggi hal ini terkait dengan bahan baku yang digunakan, yaitu ikan selar yang merupakan salah satu jenis ikan dengan nilai protein yang cukup tinggi dibandingkan daging hewan. 4.6.3 Rendemen pepton ikan selar Konsentrasi enzim dan waktu merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan tingkat degradasi enzim proteolitik. Pada proses hidrolisis dengan menggunakan enzim, substrat yang digunakan akan diubah menjadi produk hidrolisat. Persentase banyaknya produk hidrolisat yang dihasilkan terhadap berat bahan baku sebelum dihidrolisis disebut rendemen produk hidrolisat. Komponen gizi yang terlarut seperti lemak, protein, dan mineral selama proses hidrolisis mempengaruhi
besarnya
rendemen
produk
hidrolisat
yang
dihasilkan
(Shahidi et al. 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi enzim papain 0,26 % fase post rigor rendemen produk hidrolisat yang dihasilkan berkisar antara rata-rata sebesar 5,23 %, sedangkan fasebusuk rendemen produk hidrolisar yang dihasilkan sebesar 6,84 %. Nilai persentase rendemen terdapat pada Lampiran 12. Histogram nilai rendemen produk hidrolisat yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 12. 6,84± 1,65 a
9,00
Rendemen (%)
8,00 7,00
5,23± 1,11 a
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Pos t rigor
Bus uk
Kondisi P e rla kua n
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) Gambar 12. Nilai persentase rendemen pepton ikan selar Gambar 12 memperlihatkan peningkatan nilai rendemen produk hidrolisat ikan selar seiring dengan penambahan enzim papain dan lamanya waktu
hidrolisis. Hidrolisis substrat dengan perlakuan penambahan enzim papain sebesar 0,26 % (fase post rigor) menghasilkan rendemen produk hidrolisat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan busuk, yaitu sebesar 5,23 %, sedangkan pada konsentrasi enzim papain 0,20 % (perlakuan busuk) menghasilkan rendemen yang lebih besar yaitu sebesar 6,68 %. Hal ini menunjukkan semakin banyaknya kandungan protein ikan selar yang dapat larut dalam air, maka semakin tinggi nilai rendemen yang akan dihasilkan. Hidrolisis protein melibatkan pemberian air sehingga jumlah air yang berada dalam proses menjadi lebih besar dibandingkan dengan jumlah substrat yang digunakan. Pemberian air dalam proses hidrolisis berfungsi untuk menstabilkan nilai pH dalam proses hidrolisis protein, dapat mempermudah pengadukan dan homogenisasi antara enzim dan substrat yang tersedia, dan berpengaruh terhadap laju reaksi enzimatik. Penggunaan air juga mampu memperluas bidang kontak antara enzim dan substrat, sehingga pada rentang waktu tertentu dapat dihasilkan produk hidrolisat yang lebih besar ( Tucker 1995). Nilai rendemen pepton ikan selar yang dihasilkan, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi enzim papain dan lamanya waktu hidrolisis berpengaruh terhadap peningkatan kecepatan pembentukan produk. Pada hidrolisis substrat kecepatan aktivitas katalitik enzim semakin naik dan akhirnya akan mencapai suatu batas maksimum dan setelah batas ini terlampaui, kecepatan reaksi tetap meningkat tapi dengan nilai yang semakin kecil. Pada kondisi tersebut enzim menjadi jenuh oleh subsratnya dan tidak dapat berfungsi lebih cepat (Lehninger 1993). Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Purbasari (2008), yang memiliki nilai rendemen yang cenderung meningkat dengan tingginya konsentrasi enzim yang ditambahkan dan lamanya waktu hidrolisis yang digunakan, sehingga hidrolisat protein kerang mas ngur yang diperolehnya semakin meningkat. 4.6.4. Perbandingan karakteristik pepton ikan selar dengan pepton komersial Pepton adalah hidrolisat protein yang dapat dihasilkan melaului proses hidrolisis enzimatis atau asam. Hidrolisis protein menjadi pepton secara enzimatis terjadi akibat pemutusan ikatan peptida dari rantai polipeptida pada molekul
protein. Pemutusan ikatan peptida oleh protease dapat terjadi pada asam amino, serin, sulfihidril, dan asam amino asam (Suhartono 1992). Mutu pepton ikan selar hasil tangkap sampingan pada fase post rigor dan busuk dapat diketahui dengan membandingkan karakteristiknya dengan pepton komersial. Karakteristik pepton pembanding yang digunakan adalah pepton komersial bactopepton merk Difco. Karakterisasi pepton ikan selar HTS fase post rigor, busuk dengan pepton komersial bactopeptone merk Difco, disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Karakterisasi pepton ikan selar HTS fase post rigor, busuk dan bactopepton Pepton ikan selar HTS No
Karakteristik
Bactopeptone*
Post rigor
1
Kelarutan (dalam air %)
2
Busuk
100
96,74
97,08
Total Nitrogen (%)
12-13
11,86
12,39
3
α-amino Nitrogen (g/100 g)
1,2-2,5
1,07
1,03
4
AN/TN x 100
11-21
9,02
8,31
5
Kadar Garam (NaCl) (%)
≤17
0,41
4,19
Sumber Keterangan
: *Anonymous (2005) : AN = Amino nitrogen TN =Total nitrogen
Tabel 14 menunjukkan perbedaan karakteristik pepton ikan selar HTS perlakuan post rigor dan busuk dengan pepton komersial merk bactopepton produksi Difco. Kelarutan pepton ikan selar HTS baik produk pepton pada fase post rigor maupun busuk memiliki kelarutan yang hampir sama dengan kelarutan pepton komersial. Pepton ikan selar HTS fase post rigor dan busuk memiliki kelarutan yang cukup tinggi dengan nilai masing-masing sebesar 96,74 % dan 97,08 % pada konsentrasi pengujian 5 % dalam air. Pepton merupakan turunan protein yang larut dalam air, tidak terkoagulasi oleh panas dan tidak mengalami salting out dengan ammonium sulfat, tetapi akan mengendap oleh pereaksi alkaloid seperti asan fosfotungstat (Winarno 1992).
Kelarutan pepton dipengaruhi oleh banyaknya gugus bermuatan pada asam aminonya. Keberadaan gugus-gugus bermuatan banyak pada asam amino menyebabkan gugus-gugus ini dapat larut pada pelarut polar, seperti air dan etanol, tetapi tidak larut pada pelarut non polar seperti benzena, heksana, dan eter (Rodwell et al. 1985). Total nitrogen pada produk pepton ikan selar HTS fase post rigor dan busuk sesuai dengan standar yang terdapat pada pepton komersial, pepton ikan selar fase post rigor dan busuk masing-masing memiliki nilai total nitrogen sebesar 11,86 % dan 12,39 %. Kadar nitrogen pada produk pepton ikan selar HTS disebabkan oleh tingginya kadar protein bahan baku pembuat pepton, yaitu ikan selar. Selain itu jumlah nitrogen dalam protein daging ikan yang dapat terhidrolisis dalm jumlah yang sangat banyak bila dibandingkan pada daging hewan. Kadar α-amino nitrogen, pepton ikan selar dengan nilai masing-masing sebesar 1,07 g/100 g dan 1,03 g/100 g. Nilai α-amino nitrogen menunjukkan nilai asam amino dalam produk, semakin banyak jumlah α-amino nitrogen maka jumlah asam amino dalam produk akan semakin banyak, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk pepton ikan selar HTS baik fase post rigor maupun busuk memiliki mutu yang cukup baik, sesuai dengan standar pepton komesial. Nilai α-amino nitrogen pada produk pepton yang menggunakan ikan selar fase post rigor dan busuk sesuai dengan standar dimana jumlah α-amino nitrogen yang harus dimiliki suatu produk hidrolisat menurut Food Chemical Codex yaitu berkisar pada selang 0,02 sampai 0,67 (Lahl dan Braun 1994). Hal ini sesuai dengan α-amino nitrogen yang dimiliki oleh produk pepton ikan selar baik fase post rigor maupun busuk, dengan nilai masing-masing sebesar 1,07 dan 1,03 g/100g. Untuk karakteristik rasio α-amino nitrogen dan total nitrogen (AN/TN) produk pepton ikan selar HTS fase post rigor dan busuk memiliki nilai sedikit rendah dibandingkan pepton komesial yaitu dengan nilai 9,02 % untuk post rigor dan 8,31 % untuk fase busuk. Untuk karakteristik kadar garam produk pepton ikan selar HTS
baik
post rigor maupun busuk memiliki nilai yang sangat rendah, yaitu dengan kadar garam masing-masing sebesar 0,41 % dan 4,19 %. Hal ini sesuai dengan standar
pepton komersial yaitu ≤17 %. Rendahnya kandungan kadar garam dari produk pepton ikan selar HTS baik fase post rigor maupun busuk diduga karena selama proses pengolahan, baik proses hidrolisis maupun pengeringan tidak dilakukan penambahan garam. Kadar mineral yang terdeteksi pada produk pepton ikan selar HTS diduga karena mineral-mineral yang terdapat di dalam daging ikan (bahan baku pembuat pepton) ikut larut selama proses hidrolisis.
4.7. Perbandingan mutu pepton ikan selar dengan pepton komersial sebagai media pertumbuhan bakteri Aktivitas pepton ikan selar terhadap pertumbuhan bakteri dapat diketahui dengan melakukan pengujian terhadap bakteri serta perbandingan dengan pepton komersial. Pengujian kemampuan pepton ikan selar dalam mendukung pertumbuhan bakteri menggunakan bakteri E. coli, S. aureus, dan Bacillus sp. Pengamatan dilakukan pada laju pertumbuhan bakteri. Bakteri memerlukan nitrogen dalam pertumbuhan sebagai sumber energi khususnya untuk bakteri autotrof. Bakteri autotrof mampu megoksidasi bahan orgaik tanpa menggunakan energi matahari. Energi yang dibutuhkan berasal dari NH3, NO2-, S2, dan Fe2+ (Jursthuk 2005).
Pertumbuhan bakteri salah satunya dapat diketahui dengan
mengukur nilai OD. Hasil pengamatan laju pertumbuhan bakteri dilihat dari kepadatan bakteri (OD) yang disajikan dalam Gambar 13, 14 dan 15. 1,6 1,4
Nilai OD
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Wak tu pe ngam atan (jam )
Bac topeptone
Pos t rigor
Bus uk
20
Gambar 13. Perbandingan laju pertumbuhan bakteri Bacillus sp. dengan media pepton ikan selar post rigor, busuk, dan bactopepton. 1,6 1,4
Nilai OD
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Wak tu pe ngam atan (jam )
Bactopeptone
Post rigor
Busuk
Gambar 14. Perbandingan laju pertumbuhan bakteri S. aureus dengan media pepton ikan selar post rigor, busuk, dan bactopepton. 1,6 1,4
Nilai OD
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Wak tu pe ngam atan
Bactopeptone
Post rigor
Busuk
Gambar 15. Perbandingan laju pertumbuhan bakteri E. coli dengan media pepton ikan selar post rigor, busuk, dan bactopepton. Gambar 13, 14, dan 15 menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri dengan menggunakan media pepton ikan selar memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan media pepton komersial. Bakteri Bacillus sp, dan. E. coli, S. aureus. Pada media pepton ikan selar (post rigor dan busuk) mampu tumbuh lebih
cepat
dibandingkan
dengan
media
pepton
komersial.
Selama
pertumbuhannya ketiga jenis bakteri memperlihatkan pertumbuhan yang baik hal ini terlihat dari nilai OD yang semakin meningkat. Terjadi kenaikan nilai OD diduga karena selama pertumbuhannya bakteri-bakteri tersebut mampu memecah ikatan-ikan peptida terlarut yang dikandung oleh
pepton ikan selar yang
dihasilkan, sehingga konsumsi nitrogen oleh ke tiga jenis bakteri tersebut lebih
baik bila dibandingkan dengan pepton komersial. Nilai OD untuk masingmasing bakteri yaitu Bacillus sp., S. aureus, dan E. coli. Pada jam ke 20 (jam terakhir pengukuran) nilai OD pada media pepton komersial adalah 0,55; 0,95; dan 0,90; sedangkan pada media pepton ikan selar fase post rigor nilai OD adalah 0,85; 0,50 dan 0,95, untuk perlakuan busuk pada jam ke 20 pengukuran OD untuk masing-masing bakteri adalah 0,7; 0,9 dan 0,85. Gambar 12, 13 dan 14 diketahui bahwa kecepatan tumbuh bakteri pada media yang ditambahkan pepton ikan selar memiliki nilai OD yang lebih tinggi atau lebih keruh dibandingkan pepton komersial produksi Difco, hal ini dikarenakan pepton ikan selar memiliki jumalah total nitrogen yang lebih banyak dibandingkan pepton komersial. Jumlah nitrogen dalam pepton tergantung pada jumlah total nitrogen bahan baku pembuatan pepton. Ikan merupakan bahan yang memiliki kadar protein yang cukup tinggi, sehingga kadar total nitrogen juga tinggi. kandungan mineral yang cukup tinggi.
Bahan baku ikan juga memiliki
Mineral merupakan salah satu faktor
pendukung pertumbuhan bakteri karena setiap makhluk hidup dalam pertumbuhan dan kehidupannya membutuhkan mineral. Selain itu tingginya nilai OD pada media sederhana pepton ikan selar baik post rigor maupun busuk diduga karena bahan baku yang digunakan dalam kondisi yang telah terurai proteinnya, sehingga pada saat hidrolisis menggunakan enzim eksternal (protease papain) lebih mudah mengurainya, dan menghasilkan rasio nitrogen terlarut yang lebih tinggi. Hasil pengujian terhadap pertumbuhan bakteri di atas dapat disimpulkan bahwa media sederhana pepton ikan selar (post rigor dan busuk) sangat layak dijadikan media pertumbuhan bakteri Bacillus sp., S. aureus, dan E. coli. Media pepton ikan selar memiliki nilai nitrogen terlarut yang sangat baik untuk konsumsi bakteri tersebut di atas sehingga dapat disimpulkan pepton ikan selar layak digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Praptono (2006), pada penelitian tersebut terjadi peningkatan nilai OD yang terlihat dari kurva pertumbuhan bakteri pada media sederhana ikan gulamah yang lebih baik dibandingkan pepton komersial. Penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Wardhana (2008), yang menyatakan bahwa tingginya pertumbuhan bakteri jenis S. aureus pada media pepton kerang, diduga karena semakin miringnya
kecenderungan suatu garis penggunaan konsumsi nitrogen oleh masing-masing bakteri maka semakin mudah mikroorganisme tersebut untuk mengkonsumsinya dan akhirnya menghasilkan pertumbuhan bakteri yang sangat baik. Media pertumbuhan bakteri sangat beragam tergantung pada jenis bakteri yang akan dikulturkan karena bakteri sendiri memiliki persyaratan terhadap kebutuhan nutrien dan lingkungan fisiknya. Pepton merupakan salah satu sumber nutrien atau nutrisi bagi pertumbuhan bakteri, terutama sebagai sumber nitrogen. Bakteri sebagai makhluk hidup sangat beragam dilihat dari kebutuhan nitrogen, beberapa tipe menggunakan nitrogen atsmoferik, beberapa tumbuh pada senyawa nitrogen anorganik dan yang lain membutuhkan nitrogen dalam bentuk seyawa nitrogen oraganik (Pelczar dan Chan 1986). Bakteri dalam pertumbuhannya juga menggunakan beberapa senyawa logam seperti natrium, kalsium, kalium, magnesium, mangan, besi, seng, tembaga, kobalt untuk pertumbuhan normal. Jumlah senyawa logam yang dibutuhkan sangat kecil diukur dalam jumlah part per million (Pelczar dan Chan 1986). Beberapa mikroorganisme terutama jenis patogenik dalam pertumbuhannya memerlukan beberapa faktor pertumbuhan yang khusus, seperti vitamin, asam lemak, asam amino, atau seyawa pertumbuhan yang berasal dari darah hewan (Kathleen 2005). Pepton merupakan senyawa sumber senyawa nitrogen organik dan dapat pula mengandung vitamin dan kadangkadang mengandung karbohidrat, bergantung pada jenis bahan yang mengandung protein yang dicernakan pada bakteri (Pelczar dan Chan 1986). Pepton memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mendukung pertumbuhan bakteri. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri diantaranya adalah suhu, pH, tekanan (pressure), tekanan osmotik, aktivitas air (aw), dan konsentrasi garam (Kathleen 2005). Nutrien digunakan dalam pertumbuhan bakteri sebagai penyusun sel, diantaranya adalah karbohidrat, lemak, dan protein.
Lemak
dibutuhkan dalam bentuk asam-asam lemak bebas sebagai pendukung pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu pepton ikan selar lebih baik dibandingkan pepton komersial. Hal ini didukung dengan hasil perbandingan daya dukung pertumbuhan bakteri, asam amino, dan karakteristik pepton ikan selar dengan pepton komersial.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Hasil penentuan komposisi kimia ikan selar pada penelitian tahap pertama
menunjukkan bahwa ikan selar memiliki kadar air sebesar 75,71 %; abu 2,31 %; protein 15,47 % dan lemak 2,94 %. Penelitian tahap kedua fase post mortem ikan selar (Caranx leptolepis) selama penyimpanan suhu ruang menunjukkan fase pre rigor terjadi pada 0 jam penyimpanan, rigor mortis pada jam ke-3, post rigor pada jam ke-9 dan pembusukan berlangsung cepat pada jam ke-11. Pola kemunduran mutu ikan selar dari fase pre rigor awal hingga terjadinya pembusukan berlangsung cepat dapat dilihat dari kisaran nilai rata-rata organoleptik selang 3-8; pH dengan nilai rata-rata selang 6,66-7,42; TVB 3,10-36,40 mg N/100 g. Ikan selar fase post rigor dan busuk dipilih sebagai perlakuan pada pembuatan pepton ikan selar.
Setelah dilakukan hidrolisis
menggunakan enzim papain, didapatkan perlakuan terbaik untuk sampel post rigor dan busuk yaitu proses hidrolis dengan konsentrasi enzim sebesar 0,26 % dan 0,20 %. Penentuan waktu hidrolisis terbaik selama 6 jam, baik fase post rigor maupun busuk. Hasil analisis secara kimiawi pepton ikan selar terhadap beberapa parameter menunjukkan nilai kadar air produk pepton ikan selar sebesar 9,00 % (bb) fase post rigor dan 7,37 % (bb) fase busuk, kadar abu dengan nilai masing-masing sebesar 4,76 % (bb) dan 4,38 % (bb), kadar lemak sebesar 0,09 % dan 0,07 % (bb), sedangkan total nitrogen dan protein masing-masing sebesar untuk total nitrogen sebesar 11,86 % dan 12,39 % masing-masing fase post rigor dan busuk, 74,17 % (bb) untuk fase post rigor dan 77,46 % (bb) fase busuk. Uji asam amino produk tepung pepton ikan selar HTS fase post rigor dan busuk menunjukkan terdapat 17 macam amino yang terdeteksi, dimana asam amino glutamat merupakan asam amino dengan kadar persentase terbesar untuk masing-masing produk pepton ikan selar dengan nilai rata-rata sebesar 10,18 % (post rigor) dan 10,43 % (busuk), sedangkan jenis asam amino alanin merupakan
asam amino dengan persentase terkecil sebesar 0,74 % dan
0,55 % fase post
rigor dan busuk. Karakterisasi pepton ikan selar pada fase post rigor dan busuk sesuai dengan standar produk pepton komersial (bactopeptone), dengan nilai kelarutan masing-masing fase post rigor dan busuk sebesar 96,74 % dan 97,08 %; total nitrogen sebesar 11,86 % dan 12,39 %; α-amino nitrogen sebesar 1,07 g/100g dan 1,03 g/100g; AN/TN sebesar 9,02 % dan 8,31 % dan nilai kadar garam sebesar 0,41 % dan 4,19 %. Rendemen masing masing fase post rigor sebesar 5,23 % dan busuk 6,84 %. Hasil uji statistik pendugaan nilai parameter bagi nilai tengah (μ) dengan simpangan baku (σ) telah diketahui dan uji statistik RSDHitung dibanding RSDHorwitz menunjukkan sebagian besar karakteristik kimiawi produk pepton ikan selar baik postrigor maupun busuk layak diterima sebagai produk media pertumbuhan mikroorganisme untuk pemenuhan kebutuhan perkembangan ilmu dan teknologi teutama bidang bioteknologi. 5.2. Saran Produk pepton ikan selar HTS fase post rigor dan busuk merupakan salah satu produk yang mudah mengalami proses penggumpalan atau bersifat higroskopis ketika terkena udara dan mudah berikatan dengan air, sehingga mudah mengalami kerusakan mutu secara fisik dan kimiawi. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya pendesaianan wadah penyimpan yang baik, aman dan murah sehingga produk dapat disimpan dalam waktu yang lama. Saran lain yang harus diperhatikan adalah perlunya penelitian lebih lanjut mengenai komposisi makro dan mikro mineral serta komposisi vitamin yang terkandung di dalam pepton ikan selar HTS fase post rigor dan busuk, untuk mendukung informasi yang lebih lengkap lagi.
Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjut untuk
penggunaan jenis enzim proteolitik lain dalam proses hidrolisis, sehingga dengan kombinasi enzim proteolitik lebih dari satu mampu memotong ikatan peptida lainya, dan menghasilkan produk yang bermutu tinggi dengan harga yang murah. Jika akan membuat pepton ikan selar pada kondisi post rigor dapat dihidrolisis dengan penambahan enzim sebanyak 0,26 % (b/v). Ikan dalam kondisi busuk
dapat dihidrolisis dengan penambahan konsentrasi enzim cukup 0,20 % (b/v) dengan waktu hidrolisis selama 6 jam dan suhu 60 oC. DAFTAR PUSTAKA Afrianto E dan Liviawaty E. Yogyakarta: Kanisius.
1989.
Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Anglemier AF, Montegomery MW. 1976. Amino acid, peptides and protein. Di dalam: Fennema OR, editor. Principles of Food Science Part I. New York: Marcel Dekker, Inc. [Anonimous]. 2001. Impor. Buletin Perdagangan Luar Negeri. Jakarta: BPS . 2004. Bionutrient Technical Manual. BD Biopharmacuetical Production. http://www.bd.com [6 April 2008]. . 2005. Bactopeptone. http://www.bd.com [22 September 2005]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA : Published by The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA : Published by The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Beveridge AJ. 1996. A theoritical study of the active site of papain dan s195c rat tripsin; implication for the low: Reactivity of mutan serin proteinase. J. Protein Sci. 5:1355-1356. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Perdagangan Luar Negeri. Jakarta: BPS. . 2008. Perdagangan Luar Negeri. Jakarta: BPS. Bridson EY, Brecker A. 1970. Desing and formulation of microbial culture media. Di dalam: Norris J, Ribbon DW, editor. Method in Microbial. London: Academic Press 229-292. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia 01-2345. 2006. Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta: BSN. Chaeruddin. 2008. Ikan Selar (Caranx leptolepis). http://www.balifish.com. [6 April 2008].
Chen CM, Wei CL, Kobuger CA, Marshall MR. 1998. Comparison of four agar media for detection of histamine forming bacteria in tuna. J. Food. Protec. 52:808-813. Dassow. 1963. Handling of Fosh Aboard The Vessel Refrigation of Fish Part 2. Washington: Fish and Wild Service, Fishery Leaflet. [Direktorat Gizi] Departemen Kesehatan RI. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharata. 56 hal. Djuhanda T. 1981. Dunia Ikan. Bandung: Penerbit Armico. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2007. Tangkap. Jakarta: DKP.
Statistik Perikanan
Drenth J, Jaosonius JN, Koekoed R, Wither. 1971. The structure of papain. Di dalam: Anfinson CB, Richar FM, Edsall, editor. Advance in Protein Chemistry. New York: Academy Press. Dufossë L, Denis De La Broise, Fabienne Guerard. 2001. Evaluation of nitrogenous substrates such as peptones from fish: a new methode on gompertz modeling of microbial growth. J. Microbiology. 42: 32-39pp. [EDC] Enzyme Development Corporation. 1999. Meat Tenderizing, A Brief Discussion. New York: Enzyme Development Corporation. Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. San Diego: Academic Press, Inc. Farber L. 1965. Freshness test. Di dalam: Borgstorm G, editor. Fish as Food Vol IV. New York: Academic Press. Fardiaz S. 1984. Mikrobiologi Pangan. Penuntun Praktek. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Tekonologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fennema OR. 1976. Principle of Food Science. New York: Marcel Deker Inc. Fitriyani I. 2006. Studi perubahan mutu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan layang (Decapterus sp.) di tempat pelelangan ikan Sodoha Kendari [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Flick GJ, Roy EM, Chieko EH, Donn RW. 1982. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Westport-Connecticut: AVI Publishing Company. Fox PF, Morrissy PA and Mulvihil DM. 1991. Chemical and Enzymatic Modification of Food Protein. London: Development in Food Protein. APPL.Sci.Pbl.
Gesualdo AML, Li-Chan ECY. 1999. Functional properties of fish protein hydrolisates from herring (Clupea harengus). J. Food Sci. 64 (6): 1000-1004. Govindan TK. 1985. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. PVT. Ltd. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Jakarta : Penerbit Liberty. Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and minced fish product. Di dalam: Hall GM, editor. Fish Processing Technology. New York: Blackie Academic and Professional. Hanna. 1995. Introduction Mannual. Leihgton buzzard: Hanna Pub. Hanna J.
1992. Rapid microbial method and fresh fish quality assesment. Di dalam: Hall GM, editor. Fish Processing Technology. New York : VCH Publishers, Inc.
Herdiana
N. 1999. Pembuatan protein hidrolisat ikan mujair (Oreochromis mossambicus) secara enzimatik dan pemanfaatannya dalam pembuatan kerupuk [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Heritage, Evans, Killington. 2000. Introductory Microbilogy. Department of Microbiology University of Leeds. Cambridge University Press. Huss. 1995. Quantity and Quality Changes in Fresh Fish. Spanyol : KOR. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigasi Hasil Perikanan. Jilid I. Jakarta: CV Paripurna. Irawan HSR. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo : CV Aneka. Johnson A H, Peterson M S. 1974. Encyclopedia of Food Technology. Volume II. Westport: The AVI Publ.Co.Inc. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya. Jurtshuk PJ. 2005. Bacterial Metabolism. http://www.edu.com. [12 Juli 2005]. Kirk RW, Othmer DF. 1953. Encyclopedia of Chemical Technology. Volume II. New York: The Interscience Publ Inc. Konagoya. 1990. Keeping of freshness of wet fish. Di dalam: Motohiro T et. al, editor. Science of Processing Marine Food Products. Volume 1. Hyogo: Japan International Cooperation Agency.
Lahl WJ, Braun SD. 1994. Enzymatic production of protein hydrolisat for food use. Di dalam: Food Industry X. Chicago: Institute of Food Technologist USA. Lawrie RA. 1985. Meat Science. Fourth edition. New York : Pergamon. Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawijaya M, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. . 1993. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawijaya M, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Leipner J, Saller R. 2000. Systememic enzyme therapy in oncology: effect and mode of action. J. of Drugs. 59(4): 769-780. Lender HC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Jakarta: Universitas Indonesia. Leung AY. 1996. Encyclopedia in Common Natural Ingredients and Used In Food, drugs, and Cosmetics. New York: The Intersience , Inc. [LPPT] Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. 1974. Metode Prosedur Pemeriksaan Mikrobiologis dan Kimiawi Hasil Perikanan. Jakarta: LPPT. Mahmoud. 1994. Physcochemycal and Functional Properties of Protein Hydrolisates in Nutrition. Food Tech. Hal 89-93. Mangungsong S, Djazuli N. 2001. Pengembangan Pasca Panen dan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Makalah Seminar ASEAN-SEAFDEC Conferenceon Sustsainable Fisheries for Food Security in The New Millenium Fish for The People 19-24 May 2001. Bangkok, Thailand. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT Penebar Swadaya. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Bogor: IPB-PAU.
Jakarta:
Enzim dalam Industri Pangan.
Muhidin D. 1999. Agroindustri Papain dan Pektin. Jakarta: Penebar Swadaya. Murniyati AS dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Penerbit Kanisius. Nurhayati T. 1994. Pengaruh asam dan bleaching terhadap mutu tepung ikan (fish flour) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nur MA dan Adijuwana. 1989. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Okozumi M dan Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties on Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperation Association of Squid Processor. Pandit IGS, Suryadhi NT, Arka IB, Adiputra N. 2007. Pengaruh penyiangan dan suhu penyimpanan terhadap mutu kimiawi, mikrobiologis dan organoleptik ikan tongkol (Auxis thazard, Lac). http://www.dkp.go.id. [25 Desember 2007]. Pelczar MJ dan Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobilogi I. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. Peterson MS, Jhonson AH. 1978. Encyclopedia of Food Science. Connecticut: AVI Publishing Company. Poedjiadi A, Supriyanti FMT. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia. Poernomo A. 1997. The utilization of cowtail ray viscery. [Ph. D Thesis]. Sidney: The University of New South Wales. Praptono B. 2006. Produksi pepton ikan gulamah (Argyrosomus sp.) sebagai sumber nitrogen media pertumbuhan mikroba [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Purbayanto A, Wisudo SH, Santoso J, Wahyu RI, Dinarwan, Zulkarnain, Sarmintohadi, Nugraha AD, Souboer DA, Pramono B, Marpaung A, Riyanto M. 2004. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafuru. Jakarta: Sucofindo dan DKP Provinsi Papua. Rachman. 2003. Produksi peptone dari limbah bir dengan enzim papain untuk pertumbuhan bakteri [tesis]. Bogor: Teknologi Industri, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahayu et al. 2003. Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Rebecca et al. 1991. Procuction of fish protein hydrolysates with bacterial protease. J. Food Sci. 56(2): 304-314. Rehm HJ, Reed G. 1995. Biotechnology: Enzymes, Biomass, Food and Feed. New York: VCH. Robb D. 2002. The Killing of Quality: The Impact of Slaughter Procedures on Fish Flesh. Di dalam Alasalvar C dan Taylor T, editor. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. New York. Springer. Hal 7.
Rodwell VW, Peter AM, Daryl KR, David MV. 1985. Biokimia (Harper’s Review of Biochemistry). Ed ke-20. Darmawan I, penerjemah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Harper’s Review of Biochemistry. Rose. A. H. 1980. Microbial Enzymes and Bioconversions. Economics Microbiology Vol. 5. New York: Academic Press. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Bandung: Binacipta. Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professsional. [SNI] Standar Nilai Indonesia. 2006. Petunjuk Penilaian Organoleptik Produk Perikanan. Jakarta : Deperin. R.I. Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor : IPB Press. Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. DIKTI, PAU IPB. . 1992. Enzim dan Bioteknologi. DIKTI, PAU IPB. Sumarto. 2005. Kajian kinerja proses membrane nanofiltrasi dalam pemisahan asam amino dari hidrolisat enzimatik protein cacing tanah (Lumbricus rubellus) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Stansby ME. 1963. Industrial Fishery Technology. London : Reinhold Publisher. Co. Chapman and Hall Ltd. . 1982. Properties of fish oils and their application to handling of fish and to nutritional and industrial use. Di dalam: RE Martin, editor. In Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Westport Conecticut: AVI Publishing Company. Steel R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistics, a Biometrical Approach. McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd. 633p. Susetyo AR. 2000. Isolasi pepton secara enzimatis menggunakan limbah perikanan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Syahrizal FSNA. 1991. Mikrobiologi kecap ikan yang dibuat secara hidrolisis enzimatis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Walsh G. 2002. Protein Biochemistry and Biotechnology New York: John Wiley and Sons. 421p.
Wardana. 2008. Hidrolisis protein keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) menggunakan papain untuk menghasilkan pepton. [tesis]. Bogor: Teknologi Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Winarno . 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. Wirahadikusumah M. 1989. Biokimia Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. Bandung: ITB. White JA, Hart RA. 1992. HPLC analysis of amino acids. Di dalam: Nollet LML, editor. Food Analysis by HPLC. New York: Marcell Dekker. Wong DMS. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. New York: AVI Book-Van Norstrand Reinhold. Yamamoto A. 1975. Proteolitic Enzymes. Di dalam: G.Reed, editor. Enzyme in Food Processing. New York: Academic Press. Yunizal et al. 1998. Prosedur Analisa Kimiawi dan Produk Olahan Hasil-hasil Perikanan. BRKP Slipi. Jakarta: BRKP DKP RI. Yunizal dan Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Jakarta : Pusat
. 1998. Cara Menghambat Kemunduran Mutu Kesegaran Ikan. http://www.dkp.go.id. [09 Nopember 2007]. Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Food. Germany: Springer.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Score sheet organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) - Nama Panelis :___________ Tanggal :_______________ - Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. - Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi
Nilai
Kode contoh
1 I. Kenampakan 1. Mata - Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih. - Cerah, bola mata rata, kornea jernih. -Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. -Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. -Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh. -Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh. -Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning 2. Insang -Warna merah cemerlang, tanpa lendir. -Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir -Warna merah agak kusam, tanpa lendir. -Merah agak kusam, sedikit lendir. -Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir. -Warna merah coklat, lendir tebal. -Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal. 3. Lendir permukaan badan -Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. -Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. -Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. -Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. -Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh.. -Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning. -Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan. 4. Daging (warna dan kenampakan) -Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. -Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. -Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. -Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. -Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. -Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak. II. Bau -Bau sangat segar, spesifik jenis. -Segar, spesifik jenis. -Netral.
9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 9
8 7 5 3 1 9 8 7
2
3
4
5
-Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. -Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. -Bau busuk jelas.
5 3 1
Lanjutan Lampiran 1. Score sheet organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) Spesifikasi III. Tekstur -Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. -Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. -Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. -Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. -Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang. -Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang.
Nilai 9 8 7 5 3 1
1
Kode contoh 2 3 4
5
Lampiran 2. Rekapitulasi nilai organoleptik ikan selar tiap fase post mortem a. Fase Pre rigor Parameter Mata Insang Lendir Daging Bau Tekstur
Panelis
Kode D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C
1 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 8 8 9 8 9 8 9 9
2 8 8 8 8 8 7 7 8 8 9 9 8 8 8 8 8 8 8
3 8 8 8 9 8 8 8 8 8 9 8 9 8 8 7 9 8 8
4 8 8 8 8 7 7 8 8 8 9 8 9 8 8 8 7 7 7
5 8 8 7 9 9 8 9 9 8 8 8 8 8 8 8 7 7 7
6 9 9 9 7 7 7 8 8 8 9 9 9 8 8 8 8 8 8
7 8 8 8 8 8 8 9 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
8 9 9 9 9 9 9 9 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 8 9 9 9 9 8 9 9 8 9 9 8 9 9 8 9
Lanjutan Lampiran 2. Rekapitulasi nilai organoleptik ikan selar tiap fase post mortem
10 8 8 9 8 8 8 7 8 7 8 7 9 8 8 9 9 9 9
11 8 8 8 9 8 8 9 8 9 8 7 8 8 8 9 8 8 9
12 8 8 8 9 9 9 8 8 8 8 8 8 7 8 8 9 9 9
13 8 8 9 8 8 9 9 9 9 9 9 9 7 8 8 9 9 9
14 9 9 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
15 8 7 7 8 8 7 8 8 8 7 7 7 8 7 8 7 7 7
b. Fase Rigor mortis Parameter
Mata
Insang
Lendir
Daging
Bau
Tekstur
Panelis
Kode D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C
1 5 5 6 5 6 5 7 8 7 5 7 5 7 7 7 5 5 5
2 6 5 6 6 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 5 5
3 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 7 5 8 8 8 5 5 5
4 6 6 6 5 6 6 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 5 5
5 6 5 5 5 6 6 6 6 6 5 7 7 7 7 7 5 5 5
6 6 6 6 6 5 6 6 7 6 7 7 7 5 7 7 5 5 5
7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 5 7 7 7 7 5 5 5
8 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 5 5 5
9 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 5 7 7 7 8 5 5 5
Lanjutan Lampiran 2. Rekapitulasi nilai organoleptik ikan selar tiap fase post mortem c. Fase Post rigor
10 6 6 6 6 6 6 7 8 7 7 7 7 7 8 7 5 5 5
11 6 5 6 6 6 6 7 7 7 5 5 7 5 7 7 5 5 5
12 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 5 7 7 5 5 5
13 6 5 5 6 6 6 7 6 6 7 7 7 5 7 5 5 5 5
14 6 5 6 5 6 5 6 7 7 7 7 7 7 7 7 5 5 5
15 5 6 6 5 5 5 7 6 7 7 7 7 7 7 7 5 5 5
Parameter Mata Insang Lendir Daging Bau Tekstur
Panelis
Kode D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C
1 5 5 5 5 3 3 6 7 6 5 5 5 5 5 5 3 3 3
2 5 3 5 5 3 3 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3
3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3 5 5 5 5 5 5
4 5 5 5 5 5 5 5 6 6 5 3 3 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 7 5 5 5 5 5 5 5 5 3
6 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3
7 5 5 5 5 5 5 5 6 6 5 5 5 5 5 5 5 3 3
8 5 5 5 5 5 5 5 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
9 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 3
Lanjutan Lampiran 2. Rekapitulasi nilai organoleptik ikan selar tiap fase post mortem d. Fase Busuk
10 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 3 3 5 5 5 5 5 3
11 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3
12 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
13 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3 3
14 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
15 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 5
Jenis Mata
Insang
Lendir
Daging
Bau
Tekstur
Panelis
Kode D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C D1A D1B D1C
1 3 3
2 5 3
3 3 3
4 3 3
5 3 3
6 3 3
7 3 3
8 3 3
9 3 5
10 5 5
11 5 3
12 5 3
13 5 3
14 3 3
15 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 5 3 3 5 5 3 5 5 3 5 5 3 5 3 3
3 3 3 3 5 5 5 3 3 3 5 5 5 3 3 3
3 3 3 3 5 5 3 5 5 5 5 5 3 3 3 3
3 3 3 3 5 5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 5 5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Lampiran 3. Data hasil pengukuran nilai NTT/NTB untuk menentukan konsentrasi enzim papain terbaik a. Nilai rata-rata penentuan konsentrasi enzim terbaik untuk fase terlarut (NTT). Vol HCl KODE ULG Brt.Conth %N 0.03 N 1 1,0258 12,85 0,5594 Kontrol 2 1,0072 12,6 0,5586 1 1,0631 18,25 0,7665 Post 0,02% 2 1,017 12,85 0,6642 1 1,0356 19 0,8292 Post 0,08% 2 1,0621 18,15 0,763 1 1,0583 19,8 0,8354 Post 0,14% 2 1,0279 20,2 0,8774 1 1,0257 20,15 0,8772 Post 0,20% 2 1,0621 21,3 0,8954 1 1,0544 20,45 0,866 Post 0,26% 2 1,0458 19,95 0,8518 1 1,0404 18,7 0,8025 Post 0,32% 2 1,0751 21 0,8722 1 1,0955 13,05 0,5319 Kontrol 2 1,1036 13,3 0,5381 1 1,0603 16,2 0,6822 Busuk 0,02% 2 1,1014 17,5 0,7094 1 1,0543 18,6 0,7877 Busuk 0,08% 2 1,0849 19,5 0,8025 1 1,0596 18,35 0,7732 Busuk 0,14% 2 1,0838 19,75 0,8173 1 1,0539 19,15 0,8113 Busuk 0,20% 2 1,0707 19,95 0,8319 1 1,0975 20,4 0,8299 Busuk 0,26% 2 1,1313 20,75 0,819 1 1,0211 19,15 0,8374 Busuk 0,32% 2 1,0642 20,65 0,8664 b. Nilai rata-rata penentuan konsentrasi enzim terbaik untuk bahan baku (NTB). Vol HCl KODE ULG Brt.Conth %N 0.03 N 1 0,071 4,5 2,8299 Daging Busuk 2 0,0856 5,3 2,7645 1 0,0891 5,1 2,5557 Daging Post rigor 2 0,0608 3,35 2,4602
Lanjutan Lampiran 3.
c. Nilai rata-rata penentuan konsentrasi enzim terbaik untuk NTT/NTB. KODE Kontrol Post 0,02% Post 0,08% Post 0,14% Post 0,20% Post 0,26% Post 0,32% Kontrol Busuk 0,02% Busuk 0,08% Busuk 0,14% Busuk 0,20% Busuk 0,26% Busuk 0,32%
ULG
NTT/NTB
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
0,19767 0,20206 0,27086 0,24026 0,29301 0,276 0,2952 0,31738 0,30998 0,32389 0,30602 0,30812 0,28358 0,3155 0,20812 0,21872 0,26693 0,28835 0,30821 0,32619 0,30254 0,33221 0,31745 0,33814 0,32473 0,3329 0,32766 0,35217
Rata
STDEV
0,20
0,00
0,26
0,02
0,28
0,01
0,31
0,02
0,32
0,01
0,31
0,00
0,30
0,02
0,21
0,01
0,28
0,02
0,32
0,01
0,32
0,02
0,33
0,01
0,33
0,01
0,34
0,02
d. Tabel struktur data perancangan, nilai rata-rata NTT/NTB untuk penetuan konsentrasi optimum enzim. d.1. Nilai rata-rata NTT/NTB post rigor Ulangan 1 2
Kontrol 0,2081 0,2187
0,02 % 0,2669 0,2884
PERLAKUAN 0,08 % 0,14 % 0,2 % 0,3082 0,3025 0,3174 0,3262 0,3322 0,3381
Lanjutan Lampiran 3. d.2. Nilai rata-rata NTT/NTB fase busuk
0,26 % 0,3247 0,3329
0,32 % 0,3277 0,3522
Ulangan 1 2
Kontrol 0,2081 0,2187
0,02 % 0,2669 0,2884
PERLAKUAN 0,08 % 0,14 % 0,2 % 0,3082 0,3025 0,3174 0,3262 0,3322 0,3381
0,26 % 0,3247 0,3329
0,32 % 0,3277 0,3522
e. Analisis Statistika Anova Single Factor (RAL) untuk nilai NTT/NTB fase post rigor. Perlakuan Kontrol 0,02 % 0,08 % 0,14 % 0,2 % 0,26 % 0,32 %
Ulangan 2 2 2 2 2 2 2
Jumlah 0,4268 0,5553 0,6344 0,6347 0,6556 0,6576 0,6798
Rata-rata 0,2134 0,2776 0,3172 0,3174 0,3278 0,3288 0,3399
Ragam 0,0001 0,0002 0,0002 0,0004 0,0002 0,0000 0,0003
ANOVA (Tabel Sidik Ragam) fase post rigor Sumber Keragaman Konsentrasi enzim Galat
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
0,0234 0,0014
6 7
0,0039 0,0002
Total
0,0249
13
F hitung
P-value
F Tabel
19,0530
0,0005
3,8660
f. Analisis Statistika Anova Single Factor (RAL) untuk nilai NTT/NTB fase busuk Perlakuan Kontrol 0,02 % 0,08 % 0,14 % 0,2 % 0,26 % 0,32 %
Ulangan 2 2 2 2 2 2 2
Jumlah 0,3997 0,5111 0,5690 0,6126 0,6339 0,6162 0,5991
Rata-rata 0,1999 0,2556 0,2845 0,3063 0,3169 0,3081 0,2995
Ragam 0,0000 0,0005 0,0001 0,0002 0,0001 0,0000 0,0005
ANOVA (Tabel Sidik Ragam) perlakuan busuk Sumber Keragaman Konsentrasi enzim Galat Total
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
0,0205 0,0015 0,0220
6 7 13
0,0034 0,0002
F hitung
P-value
F Tabel
16,2183
0,00087
3,866
Lampiran 4. Data hasil pengukuran nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis terbaik
a. Nilai NTT/NTB post rigor dan busuk untuk fase terlarut (NTT) PERLAKUAN Post 2 jam Post 4 jam Post 6 jam Busuk 2 jam Busuk 4 jam Busuk 6 jam
ULG 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
B.CNTH 0,5642 0,5553 0,5096 0,5612 0,5608 0,5590 0,5215 0,6173 0,6829 0,5551 0,6084 0,5358
VOL HCl 9,8500 10,4500 9,1000 10,0500 10,0600 10,0600 9,7500 11,3500 13,6500 11,0000 13,1500 11,5000
%N 0,7416 0,7027 0,7585 0,7607 0,8574 0,8054 0,7941 0,7810 0,8490 0,8417 0,9181 0,9117
b. Nilai NTT/NTB post rigor dan busuk untuk bahan baku (NTB) PERLAKUAN DGNG POST DGNG BSK
ULG 1 2 1 2
B.CNTH 0,0710 0,0856 0,0891 0,0608
VOL HCl 4,5000 5,3000 5,1000 3,3500
c. Nilai rata-rata penentuan waktu hidrolisis terbaik untuk NTT/NTB. PERLAKUAN ULG NTT/NTB RATA 1 0,29017 0,29 Post 2 jam 2 0,28563 1 0,29679 0,30 Post 4 jam 2 0,30920 1 0,33549 0,33 Post 6 jam 2 0,32737 1 0,28061 0,28 Busuk 2 jam 2 0,28251 1 0,30001 0,30 Busuk 4 jam 2 0,30447 1 0,32443 0,33 Busuk 6 jam 2 0,32979
%N 2,5557 2,4602 2,8299 2,7645 STDEV 0,00 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00
Lanjutan Lampiran 4. d. Tabel struktur data perancangan, nilai rata-rata NTT/NTB penetuan waktu hidrolisis terbaik. d.1. post rigor
ULANGAN 1 2
PERLAKUAN HIDROLISIS 4 Jam 0,29679 0,30920
2 Jam 0,29017 0,28563
6 Jam 0,33549 0,32737
d.2. busuk ULANGAN 1 2
PERLAKUAN HIDROLISIS 2 Jam 4 Jam 0,28061 0,30001 0,28251 0,30447
6 Jam 0,32443 0,32979
e. Analisis Statistika Anova Single Factor untuk nilai NTT/NTB perlakuan post rigor Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata Ragam 2 jam 2 0,575802088 0,287901044 1,03E-05 4 jam 2 0,605990077 0,302995038 7,71E-05 6 jam 2 0,654743517 0,327371758 0 ANOVA (Tabel Sidik Ragam) perlakuan post rigor Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas Tengah Waktu hidrolisis 0,00158666 2 0,00079333 Galat 8,74061E-05 3 2,91354E-05 Total
0,001674066
F hitung
P-value
F Tabel
27,2291
0,01193 9,55209
5
f. Analisis Statistika Anova Single Factor untuk nilai NTT/NTB perlakuan busuk Perlakuan 2 jam 4 jam 6 jam
Ulangan 2 2 2
Jumlah 0,5631 0,6045 0,6542
Rata-rata 0,2816 0,3022 0,3271
Ragam 1,8E-06 9,93E-06 1,44E-05
ANOVA (Tabel Sidik Ragam) perlakuan busuk Jumlah Derajat Kuadrat Sumber Keragaman F hitung P-value F Tabel Kuadrat Bebas Tengah Waktu hidrolisis 0,002080466 2 0,001040233 119,5647 0,001379 9,55209 Galat 2,61005E-05 3 8,70017E-06 Total
0,002106566
5
Lampiran 5. Data hasil pengujian kadar proksimat produk pepton fase post rigor dan busuk a. Uji kadar air dan analisis RSD (Relative Standart Deviation)
Fase
Ulangan 1 2 1 2
Post Rigor Busuk RSD Horwitz
Berat Cawan (gram) 3,2355 4,4296 5,031 5,0309
Berat Sampel (gram) 1,0223 1,0327 2,0216 2,0628
B. Cawan+Sampel Kering B.Cawan+Sampel (gram) (gram) 4,1701 4,2578 5,3651 5,4625 6,8963 7,0526 6,9492 7,0937
% Kdr. AIR BB 8,58 9,41 7,73 7
Post Rigor = 2 exp (1-0,5 log C) Rata-rata konsentrasi C = analat RSD = 2 exp (1-0,5 log 9,00) RSD = 6,67% Busuk = 2 exp (1-0,5 log C) Rata-rata konsentrasi C = analat RSD = 2 exp (1-0,5 log 7,37) RSD = 7,37%
RSD Hitung
Post Rigor = (100xSD)/(µ) RSD = 6,44% Busuk = (100xSD)/(µ) RSD = 6,92%
Keputusan Hipotesis Statistik : Layak sebagai media, karena RSD hitung
Ulangan
Post Rigor Busuk RSD Horwitz
1 2 1 2
Berat Cawan (gram) 17,3404 19,9822 21,1484 19,1375
Post Rigor = C= RSD = RSD =
Berat Sampel (gram) 1,0928 1,0958 1,0003 1,0043
B. Cawan+Sampel B.Cawan+Abu (gram) (gram) 18,4332 17,3955 21,0781 20,0312 22,1478 21,1956 20,1418 19,1781
2 exp (1-0,5 log C) Rata-rata konsentrasi analat 2 exp (1-0,5 log 0,09) 66,67%
Busuk = 2 exp (1-0,5 log C) RSD = 2 exp (1-0,5 log 0,07) RSD = 75,59%
% Kdr. Abu BB 5,04 4,47 4,72 4,04
RSD Hitung
Post Rigor = (100xSD)/(µ) RSD = 0% Busuk = (100xSD)/(µ) RSD = 20,14%
Keputusan Hipotesis Statistik : Layak sebagai media, karena RSD hitung
RSDHorwitz, sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini tidak memberikan pengaruh yang nyata pada parameter kadar abu produk. c. Uji kadar lemak dan analisis RSD (Relative Standart Deviation) Fase
Ulangan
Post Rigor Busuk RSD Horwitz
RSD Hitung
Berat Labu (gram) 106,5099 107,1245 106,3402 97,5527
1 2 1 2
Berat Sampel (gram) 1,0514 1,0244 1,0425 1,0312
B. Labu+Lemak (gram) 106,5109 107,1254 106,3408 97,5535
Post Rigor = C= RSD = RSD =
2 exp (1-0,5 log C) Rata-rata konsentrasi analat 2 exp (1-0,5 log 0,09) 66,67%
Busuk = C= RSD = RSD =
2 exp (1-0,5 log C) Rata-rata konsentrasi analat 2 exp (1-0,5 log 0,07) 75,59%
% Kdr. Lemak BB 0,09 0,09 0,06 0,08
Post Rigor = (100xSD)/(µ) RSD = 0% Busuk = (100xSD)/(µ) RSD = 20,14%
Keputusan Hipotesis Statistik : Layak sebagai media, karena RSD hitung
Lanjutan Lampiran 5. d. Uji kadar Total Nitrogen dan protein dan analisis RSD (Relative Standart Deviation)
Fase
Post Rigor Busuk RSD Horwitz
Ulangan 1 2 1 2
Berat Sampel (gram) 0,145 0,1865 0,1164 0,1194
Kdr. TN
% Kdr. TN
0,1189 0,1183 0,1245 0,1233
11,89 11,83 12,45 12,33
2 exp (1-0,5 log Post Rigor = C) Rata-rata konsentrasi C = analat RSD = 2 exp (1-0,5 log 11,86) RSD = 5,80% Busuk = C= RSD = RSD =
RSD Hitung
Vol HCl 0,0229 N 53,8 68,8 45,2 45,9
2 exp (1-0,5 log C) Rata-rata konsentrasi analat 2 exp (1-0,5 log 12,39) 5,8%
Post = (100xSD)/(µ) RSD = 0,33% Busuk = (100xSD)/(µ) RSD = 0,64%
Keputusan Hipotesis Statistik : Layak sebagai media, karena RSD hitung
Post Rigor Busuk RSD Horwitz
Ulangan Berat Sampel (gram) 1 1,079 2 1,0685 1 1,0528 2 1,0653 Post Rigor = C= RSD = RSD =
Berat Kertas Saring (gram) 0,5753 0,5815 0,582 0,576
BKS+Residu
% Kelarutan
0,6087 0,6136 0,6104 0,6049
96,77 96,7 97,08 97,07
2 exp (1-0,5 log C) Rata-rata konsentrasi analat 2 exp (1-0,5 log 96,74) 2,0334%
Busuk = 2 exp (1-0,5 log C) C = Rata-rata konsentrasi analat
RSD = 2 exp (1-0,5 log 97,08) RSD = 2,0298% Lanjutan Lampiran 5. RSD Hitung
Post = RSD = Busuk = RSD =
(100xSD)/(µ) 0,0517% (100xSD)/(µ) 0,0103%
Keputusan Hipotesis Statistik : Layak sebagai media, karena RSD hitung
Lampiran 6. Uji asam amino produk pepton ikan selar
No
Hasil
Jenis Asam Amino
% Rata asam amino post rigor
% Rata asam amino busuk
1
Alanin
0,74
0,55
2
Arginin
3,27
2,85
3
Asam Aspartat
6,50
5,92
4
Asam Glutamat
10,18
10,43
5
Glisin
1,04
0,96
6
Histidin
4,70
4,12
7
Isoleusin
1,33
0,96
8
Leusin
4,76
2,42
9
Lisin
2,76
2,25
10
Methionin
4,01
3,07
11
Fenilalanin
2,17
1,68
12
Prolin
1,80
1,49
13
Serin
2,88
2,93
14
Sistein
1,06
0,65
15
Tirosin
1,45
1,32
16
Treonin
1,25
1,06
17
Valin
3,82
2,61
Lampiran 7. Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase post rigor (1)
Lampiran 8. Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase post rigor (2)
Lampiran 9. Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase busuk (1)
Lampiran 10. Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar fase busuk (2)
Lampiran 11. Kromatogram analisis asam amino standar
Lampiran 12. Nilai persentase rendemen pepton ikan selar Perlakuan
Konsentrasi enzim
Post rigor
0,26%
Busuk
0,20%
Nilai Rendemen 4,44 6,01 5,67 8,01
Rata-rata (%)
STDEV
5,23
1,11
6,84
1,65
Lampiran 13. Nilai OD laju pertumbuhan bakteri pada produk pepton ikan selar dan komersial. Lama Bacillus sp. pengamatan Post (jam) Bactopeptone rigor 0 0,06 0,058 2 0,105 0,095 4 0,21 0,21 6 0,32 0,42 8 0,325 0,51 10 0,345 0,69 12 0,349 0,75 14 0,36 0,85 16 1,05 1,5 18 1,06 1,52 20 0,55 0,85
Jenis Produk S. aureus E. coli Post Post Busuk Bactopeptone Busuk Bactopeptone Busuk rigor rigor 0,085 0,07 0,095 0,095 0,155 0,157 0,17 0,1 0,13 0,125 0,125 0,445 0,345 0,34 0,18 0,37 0,3 0,25 0,465 0,415 0,42 0,33 0,53 0,65 0,46 0,475 0,445 0,5 0,46 0,64 0,9 0,701 0,476 0,475 0,59 0,61 0,74 0,92 0,8 0,477 0,477 0,625 0,62 0,75 0,96 0,9 0,478 0,485 0,685 0,75 0,8 0,99 0,95 0,5 0,5 0,75 1,49 1,4 1,51 1,51 1,1 1,1 1,5 1,48 1,41 1,49 1,495 1,1 1,095 1,5 0,7 0,95 0,5 0,9 0,9 0,95 0,85