PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA PEMASAKAN TERHADAP MUTU BAKSO DARI SURIMI IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)
Oleh : Elvina Fuji Astuti C34104016
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
ELVINA FUJI ASTUTI. C34104016. Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINI TRILAKSANI. Pemanfaatan ikan Hasil Tangkap sampingan (HTS) belum dilakukan secara optimal padahal kelompok ikan ini memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Ikan HTS cukup potensial untuk diolah menjadi surimi, yaitu bahan baku untuk produk-produk fish jelly seperti bakso ikan, namun ikan HTS ini umumnya jarang ditemukan dalam kondisi yang sangat segar karena jenis ini tertangkap bersama-sama dengan ikan hasil tangkapan utama (target) sehingga penanganannya kurang diperhatikan. Untuk memperbaiki mutu surimi ikan HTS yang akan dijadikan sebagai bahan baku bakso ikan, dilakukan teknik pencucian dengan penambahan hidrogen peroksida (H2O2) yang berfungsi sebagai oxidizing agent. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk membuat surimi campuran ikan hasil tangkap samping (HTS) dengan teknik pencucian menggunakan H2O2. Tujuan penelitian utama adalah mempelajari pengaruh penggunaan surimi campuran ikan HTS terbaik dengan penambahan tepung tapioka dan tepung sagu secara tunggal maupun kombinasi keduanya dalam pembuatan bakso ikan serta pengaruh metode pemasakan (perebusan dan pengukusan). Nilai kekuatan gel tertinggi sebesar 457,5 g.cm yang diperoleh dari surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan H2O2 dan surimi dengan frekuensi pencucian 1 kali dengan penambahan H2O2 10 ppm. Surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan H2O2 dijadikan sebagai surimi terbaik karena mampu menghasilkan kekuatan gel tertinggi melalui pencucian hanya dengan air dan dinilai lebih aman. Bakso D atau bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% merupakan bakso ikan terbaik untuk bakso yang dimasak dengan cara perebusan dengan nilai karakteristik organoleptik rasa (6,83), tekstur (7,57); dan nilai karakteristik fisik seperti kekuatan gel (505,5 g.cm), uji lipat (4,03), uji gigit (7,23); serta memperoleh karakteristik kimia yang sesuai standar mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) dengan air (73,90%), abu (1,85%), protein (9,70%), lemak (0,50%), dan karbohidrat (14,05%). Bakso ikan terbaik yang dimasak dengan cara pengukusan didapatkan dari bakso C (tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5%) dengan karakteristik organoleptik penampakan (7,37), aroma (7,53), rasa (7,00), tekstur (7,73); dan karakteristik fisik meliputi kekuatan gel (371,25 g.cm), uji gigit (7,13); serta memperoleh karakteristik kimia yang sesuai SNI 01-3819-1995 dengan air (73,45%), abu (1,99%), protein (10,07%), lemak (0,80%), dan karbohidrat (13,69%).
PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA PEMASAKAN TERHADAP MUTU BAKSO DARI SURIMI IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Elvina Fuji Astuti C43104016
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
:
PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA PEMASAKAN TERHADAP MUTU BAKSO DARI SURIMI IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)
Nama Mahasiswa
:
Elvina Fuji Astuti
NRP
:
C34104016
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si NIP 131 999 592
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc NIP 131 578 851
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799
Tanggal lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Elvina Fuji Astuti NRP : C34104016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 19 Januari 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Aang Mulya Sukmana dan Ibu Iis Idah. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992 di SDN II Sukarame, kemudian tahun 1998 dilanjutkan ke SLTPN 3 Singaparna dan SMUN 1 Singaparna sampai dinyatakan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan kepanitiaan. Organisasi yang pernah diikuti antara lain: Club Teater Asrama Tingkat Persiapan Bersama
(TPB)
(2004-2005),
Himpunan
Mahasiswa
Hasil
Perikanan
(HIMASILKAN) periode 2006-2007 dan Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) dari tahun 2004 hingga sekarang.
Kegiatan kepanitiaan yang
pernah diikuti diantaranya Gemar Makan Ikan (GMI), SANITASI, pelatihan pembuatan produk perikanan dan berbagai seminar lainnya. Penulis juga pernah tercatat sebagai asisten mata kuliah Penanganan Hasil Perairan (2006/2007) dan Ilmu dan Teknologi Surimi (2008/2009). Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS)”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Wini Trilaksani, M.Sc.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala karunia, limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS)”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapat banyak dukungan, baik moral maupun materi untuk dapat menyelesaikan tugas ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu, diantaranya adalah: 1. Ayahanda Aang Mulya Sukmana dan Ibunda Iis Aisyah serta Umi Iis idah dan bapak Paryaman, terima kasih untuk do’a yang tidak terputus, kasih sayang, restu, dukungan moral dan materi sehingga penulis mampu menjalankan amanah untuk belajar di IPB dan menghasilkan karya ini. 2. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc sebagai dosen-dosen pembimbing yang telah sabar mengajarkan, membimbing dan memberi masukan pada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak nasehat, petunjuk dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa THP. 4. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam menyempurnakan tugas akhir penulis. 5. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan . 6. Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta. 7. Adik-adikku tersayang Aldi Ma’mun Mawardi, Iman Muhammad Ramadhan dan Ulfah Nurul Azmi yang selalu memberi semangat, tawa dan canda.
8. Teman-temanku satu bimbingan Luh Putu Ari Widiani, Marya Ulfah dan Deslina Zahra Nauli, terima kasih atas solidaritas, kerjasama, usaha dan semangatnya. 9. Yayandi Gushagia, Yudha Adi Pradana, Sereli Pia, Nia DH, Eka A, Enifia DK, Ardilla P, Anang F, Rijal NH, Ika P, Dede S, terima kasih banyak atas pengorbanan waktu dan tenaganya. 10. Teman THPku satu tempat tinggal Tri Septiarini di “Wahda Indah” tercinta yang sudah bersama selama lebih dari 3 tahun, serta teman-teman WI yang lain seperti mba Acen, Simaw, Mada, Icha, mba Ressy, Ony dan mba Roza, terima kasih sudah mau berbagi segala hal denganku tentang pentingnya barbagi, memahami, mengingatkan, menjaga hati, dan semua hal yang indah lainnya. 11. Teman-teman THP ’41 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas bantuannya, kebersamaaan, keceriaan, kekompakan, persahabatan dan pengalaman berharga selama kita belajar bersama di THP tercinta serta memberi arti bahwa ‘hidup penuh dengan warna’ karena setiap orang punya cara pandang, sifat, kebiasaan dan sikap hidup yang berbeda. 12. Bu Ema, Mba Icha, dan Mas Zaki yang banyak membantu segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. 13. Adik-adik THP ’42 yang banyak membantu dalam penelitian ini baik sebagai panelis maupun dorongan semangatnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih ada kekurangannya, meskipun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2009
Elvina Fuji Astuti
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xii
1. PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1
1.2 Tujuan .........................................................................................
4
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
5
2.1 Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS) ..........................................
5
2.2 Protein Daging Ikan ......................................................................
6
2.2.1 Protein sarkoplasma .............................................................. 2.2.2 Protein miofibril ................................................................... 2.2.3 Protein stroma ......................................................................
7 8 9
2.3 Surimi ...........................................................................................
9
2.3.1 2.3.2 2.3.3 2.3.4
Definisi surimi ...................................................................... Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi ............................ Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ............................ Pembentukan gel ..................................................................
10 11 12 14
2.4 Bakso Ikan ....................................................................................
15
2.4.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan......................... 2.4.2 Pembuatan bakso ikan .......................................................... 2.4.3 Mutu bakso ...........................................................................
16 23 25
2.5 Proses Pemasakan .........................................................................
25
2.5.1 Perebusan ............................................................................. 2.5.2 Pengukusan .......................................................................... 2.5.3 Pengaruh pemasakan terhadap komponen gizi ......................
26 26 27
2.6 Hubungan antara Bahan Pengisi dan Ashi ......................................
28
3. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
30
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................
30
3.2 Bahan dan Alat ..............................................................................
30
3.2.1 Bahan .................................................................................... 3.2.2 Alat .......................................................................................
30 31
3.3 Tahapan Penelitian ........................................................................
31
3.3.1 Penelitian pendahuluan .......................................................... 3.3.2 Penelitian utama ....................................................................
31 33
3.4 Prosedur Analisis ...........................................................................
35
3.4.1 Analisis organoleptik (uji skoring)( Rahayu 1998) .................
35
3.4.2 Analisis fisik.........................................................................
36
(1) Uji kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) ................................................................... (2) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) ............................... (3) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) ....................... (4) Uji derajat putih (Whiteness) (Park 1994 diacu dalam Chaijan et al. 2004).......................................................... (5) Water holding capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 diacu dalam Faridah et al. 2006) ......................................
38
3.4.3 Analisis kimia........................................................................
38
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
36 36 37 37
Kadar air (AOAC 1995) ................................................. Kadar abu (AOAC 1995)................................................. Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) .............. Kadar lemak (AOAC 1995) ............................................. Kadar karbohidrat (by difference) .................................... Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Eryanto 2006) .............................................. (7) Nilai pH (Suzuki 1981) ................................................... (8) Total volatile base (TVB) (BSN 1998) ............................
39 39 39 40 40
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .......................................
42
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
46
4.1 Karakteristik Bahan Baku Ikan Hasil Tangkap Samping (HTS) .....
46
4.2 Karakteristik Surimi Ikan HTS ......................................................
47
4.2.1 Karakteristik fisik surimi ikan HTS.......................................
48
(1) Kekuatan gel ................................................................... (2) Derajat putih ................................................................... (3) Water Holding Capacity (WHC) .....................................
48 49 51
4.2.2 Karakteristik kimia surimi ikan HTS.....................................
53
(1) Kadar air ......................................................................... (2) Kadar protein .................................................................. (3) pH ...................................................................................
53 54 56
4.3 Karakteristik Bakso dari Surimi Ikan HTS.....................................
57
4.3.1 Penilaian organoleptik bakso ikan HTS..................................
58
(1) Penampakan ...................................................................
59
41 41 41
(2) Aroma ............................................................................. (3) Rasa ................................................................................ (4) Tekstur ............................................................................
60 63 64
4.3.2 Karakteristik fisik bakso ikan HTS .......................................
66
(1) (2) (3) (4) (6)
Kekutan gel .................................................................... Uji lipat ........................................................................... Uji gigit .......................................................................... Derajat putih ................................................................... Water holding capacity (WHC) .......................................
67 69 71 73 74
4.3.3 Karakteristik kimia bakso ikan HTS .....................................
76
(1) (2) (3) (4) (5)
Kadar air ......................................................................... Kadar abu ........................................................................ Kadar protein .................................................................. Kadar lemak .................................................................... Kadar karbohidrat ...........................................................
76 78 80 81 83
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
85
5.1 Kesimpulan ...................................................................................
85
5.2 Saran .............................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
86
LAMPIRAN .............................................................................................
94
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rendemen surimi dari beberapa jenis ikan hasil tangkap samping ........
6
2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 ......................
18
3. Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 01-3729-1995...........................
20
4. Sifat fisik pati tapioka dan sagu ............................................................
20
5. Komposisi kimia pati tapioka dan sagu ................................................
21
6. Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) ........................................
25
7. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan................................................
33
8. Komposisi kimia daging ikan HTS ........................................................
46
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir proses pembuatan surimi ................................................
32
2. Diagram alir prosedur pembuatan bakso ikan ......................................
34
3. Diagram batang nilai kekuatan gel surimi ikan HTS ............................
48
4. Diagram batang nilai derajat putih surimi ikan HTS ............................
50
5. Diagram batang nilai WHC surimi ikan HTS ......................................
52
6. Diagram batang kadar air surimi ikan HTS ..........................................
54
7. Diagram batang kadar protein surimi ikan HTS ...................................
55
8. Diagram batang nilai pH surimi ikan HTS ...........................................
56
9. Diagram batang penampakan bakso ikan HTS.....................................
59
10. Diagram batang aroma bakso ikan HTS ..............................................
61
11. Diagram batang rasa bakso ikan HTS ..................................................
63
12. Diagram batang tekstur bakso ikan HTS .............................................
65
13. Diagram batang kekuatan gel Bakso ikan HTS ....................................
67
14. Diagram batang uji lipat bakso ikan HTS ............................................
70
15. Diagram batang uji gigit bakso ikan HTS ............................................
72
16. Diagram batang derajat putih bakso ikan HTS.....................................
74
17. Diagram batang water holding capacity (WHC) bakso ikan HTS ........
75
18. Diagram batang kadar air bakso ikan HTS ..........................................
77
19. Diagram batang kadar abu bakso ikan HTS .........................................
79
20. Diagram batang kadar protein bakso ikan HTS ...................................
80
21. Diagram batang kadar lemak bakso ikan HTS .....................................
82
22. Diagram batang kadar karbohidrat bakso ikan HTS .............................
83
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembar penilaian (score sheet) organoleptik bakso ikan ......................
95
2. Data hasil uji analisis fisik surimi ikan HTS ........................................
96
3. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai kekuatan gel ......................................
96
4. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai derajat putih.......................................
96
5. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai WaterHolding Capacity (WHC) .................................................................................
96
6. Data hasil uji analisis kimia surimi ikan HTS ......................................
97
7. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai kadar air ..........
97
8. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai kadar protein .....................................
98
9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai pH ...................
98
10. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang direbus ..
99
11. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang dikukus .
100
12. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus ..............................................................
101
13. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ...........
101
14. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus .....................
102
15. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ....................
102
16. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus ..............................................................................
103
17. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ........................
103
18. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus.....................
104
19. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ...................
105
20. Data hasil uji analisis fisik bakso dari surimi ikan HTS .......................
105
21. Data hasil uji lipat dan uji gigit bakso dari surimi ikan HTS yang direbus dan dikukus ............................................................................
106
22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang direbus ..............................................................
107
23. Hasil analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang dikukus ...............................................................................................
107
24. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus .................................................
107
25. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ................................................
108
26. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus .................................................
109
27. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ................................................
109
28. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang direbus ................................................................................................
110
29. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang dikukus ...............................................................................................
110
30. Hasil analisis ragam terhadap Water Holding Capacity (WHC) bakso ikan HTS yang direbus ........................................................................
110
31. Hasil analisis ragam terhadap Water Holding Capacity (WHC) bakso ikan HTS yang dikukus .......................................................................
110
32. Data hasil uji analisis kimia bakso dari surimi ikan HTS .....................
111
33. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar air bakso ikan HTS yang direbus ........................................................................
111
34. Hasil analisis ragam terhadap kadar air bakso ikan HTS yang dikukus .......................................................................................
111
35. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar abu bakso ikan HTS yang direbus ........................................................................
112
36. Hasil analisis ragam terhadap kadar abu bakso ikan HTS yang dikukus .......................................................................................
112
37. Hasil analisis ragam terhadap kadar protein bakso ikan HTS yang direbus ................................................................................................
112
38. Hasil analisis ragam terhadap kadar protein bakso ikan HTS yang dikukus ...............................................................................................
112
39. Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak bakso ikan HTS yang direbus ................................................................................................
113
40. Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak bakso ikan HTS yang dikukus ...............................................................................................
113
41. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang direbus ................................................................................................
113
42. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang dikukus ...............................................................................................
113
43. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTS yang direbus .......................
114
44. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTS yang dikukus ......................
114
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kekayaan sumberdaya laut Indonesia sangat berlimpah, mengingat dua per
tiga wilayah Indonesia terdiri dari laut, potensi perikanan sebesar 6,26 juta ton/tahun namun belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2005, total produksi perikanan 4,71 juta ton, sekitar 75% (3,5 juta ton) berasal dari tangkapan laut dan 25% berasal dari tangkapan budidaya (DKP 2007). Tingkat pemanfaatan hasil tangkapan laut terutama untuk ikan-ikan non-ekonomis belum dilakukan secara optimal.
Hal ini disebabkan pemanfaatannya masih
terbatas dalam bentuk olahan tradisional dan konsumsi segar. Akibatnya ikanikan tidak ditangani dengan baik di kapal, sehingga ikan yang didaratkan bermutu rendah (20–30%), sehingga berdampak pada tingginya tingkat kehilangan (losses) sekitar 30-40%. Lebih jauh lagi, ekspor hasil perikanan Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh ikan dalam bentuk gelondongan dan belum diolah. Sebagai konsekuensinya, usaha pengolahan produk hasil perikanan di Indonesia belum bergairah. Produksi tangkapan laut yang melimpah dimanfaatkan dalam bentuk basah sebesar 57,05%; bentuk olahan tradisional sebesar 30,19%; bentuk olahan modern sebesar 10,90% dan olahan lainnya 1,86% (DKP 2007). Disisi lain ikan hasil tangkap sampingan (HTS/by catch) pukat udang dan sisa olahan (by product) industri perikanan juga belum dimanfaatkan secara optimal sehingga ikan HTS khususnya ikan-ikan non-ekonomis yang tidak termanfaatkan dibuang ke laut dengan demikian terjadi kehilangan nilai jual ikan. Hasil penelitian Purbayanto et al. (2004) menunjukkan bahwa jumlah HTS pada perikanan pukat udang yang melimpah merupakan potensi sangat besar bagi pengembangan industri perikanan.
Sebagai contoh, di wilayah perairan Laut
Arafura, potensi HTS per tahun diperkirakan mencapai 332.186 ton, yang terdiri atas ikan gulamah, tigawaja, gerot-gerot, dan nomei dengan rasio penangkapan udang dan ikan HTS yaitu 1:28 (perairan Dolak), 1:1-13 (perairan Kaimana) dan 1:11-41 (Kepulauan Aru). Ikan hasil tangkap sampingan (HTS) yang terbuang kini bisa dimanfaatkan menjadi produk bernilai ekonomis lebih tinggi dengan
teknologi tepat guna yang efisien, efektif, dan terjangkau. Teknologi tersebut berupa mesin pemisah daging dan tulang ikan HTS menjadi surimi. Menurut Nakai dan Modler (2000), surimi merupakan istilah dalam Bahasa Jepang untuk daging lumat dan jaringan ikan yang dicuci. Produksi surimi secara komersial dibuat dengan menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali) dengan air atau larutan garam. Proses pencucian menghilangkan sebagian besar komponen yang larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak. Setelah pencucian terakhir, daging lumat diperas dan dicampur dengan cryoprotectant
yang
tepat
untuk
mencegah
denaturasi
protein
selama
penyimpanan beku. Hasil tangkap sampingan (HTS) yang bisa dimanfaatkan hanya 37% dari jumlah total, sedangkan selebihnya dibuang ke laut (63%). Pemanfaatan ini masih dikelola oleh anak buah kapal (ABK) dalam bentuk produk beku maupun kering (salted fish). Penanganan HTS dalam bentuk ikan beku masih dilakukan dengan cara sederhana, ikan-ikan ini dimasukkan ke dalam pan untuk proses pembekuan selama 3-4 jam. Setelah beku, ikan-ikan ini kemudian dimasukkan ke dalam karung dan setiap karungnya berisi 3-4 pan. Penanganan seperti ini menyebabkan penurunan mutu ikan dan ikan berada dalam kondisi kurang segar. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik pengolahan yang dapat mengurangi tingkat kerusakan pada ikan terutama nilai gizi protein.
Salah satu solusinya adalah dengan
penggunaan oksidator pada saat proses pencucian ikan menjadi surimi. Menurut Liu dan Xiong (2000) diacu dalam Patcharat et al. (2005), oksidator dapat menyebabkan oksidasi pada protein, terutama melalui formasi disulfida (ikatan penting dalam proses pembentukan gel), fragmen-fragmen protein yang didegradasi dari protein daging membentuk ikatan silang dan agregat protein dibentuk lebih besar sehingga dapat memperbaiki kemampuan membentuk gel. Salah satu oksidator yang aman digunakan adalah hidrogen peroksida (H2O2). Salah satu bentuk olahan lanjutan dari surimi adalah bakso ikan. Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%)
dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995 a). Pemanfaatan ikan HTS menjadi produk bakso adalah karena potensi pasar bakso di Indonesia yang berpenduduk sangat besar ini sangat tinggi, dapat dibayangkan betapa besar potensi pasar bakso di Indonesia jika lebih dari 50% remaja, terutama di kota besar merupakan bakso mania. Belum lagi usia anakanak dan dewasa. Karena itu, tidak heran jika beberapa pengusaha mancanegara seperti Malaysia dan Singapura mulai melirik kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta dan Medan untuk memasarkan baksonya (Wibowo 2006). Selain itu, dari produk olahan ikan segar dan beku yang terdapat dipasaran saat ini, yang berasal dari produk lokal seperti otak-otak, nugget dan aneka bakso kebanyakan, ternyata pengunjung supermarket masih lebih menyukai bakso ikan/udang/cumi-cumi dan otak-otak. Hal tersebut dapat dilihat dari urutan volume penjualan produk olahan ikan di beberapa pasar modern, dimana bakso ikan tetap berada pada urutan pertama, diikuti oleh otak-otak dan nugget ikan, dengan urutan persentase 40%, 30%, dan 20%, sedangkan 10% merupakan produk lainnya, termasuk produk impor (Anonim 2007). Dalam penelitian kali ini, digunakan tepung tapioka dan tepung sagu sebagai bahan pengisi untuk formulasi bakso ikan dari surimi campuran beberapa ikan HTS. Tepung tapioka memiliki banyak kelebihan yaitu harganya relatif murah, memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang terang, dan daya lekatnya yang baik (Radley 1976). Begitu pula dengan tepung sagu yang memiliki ukuran granula yang lebih besar dari tepung tapioka (16-25,4 µm) sehingga sifat kedua tepung tersebut mampu memperbaiki kualitas bakso ikan yang dihasilkan. Selama ini, proses pemasakan yang umum digunakan pada bakso ikan adalah perebusan. Surimi atau produk-produk berbasis surimi menggunakan cara perebusan atau pengukusan untuk proses cooking-nya agar terbentuk gel yang elastis.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, proses
pemasakan yang digunakan ada dua cara yaitu perebusan dan pengukusan, karena bakso ikan yang dibuat ini merupakan produk berbahan dasar surimi.
1.2
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :
(1)
membuat surimi campuran ikan hasil tangkap samping (HTS) dengan teknik pencucian menggunakan H2O2 serta menganalisis karakteristik fisik dan kimianya untuk menentukan surimi yang terbaik;
(2)
mempelajari pengaruh penggunaan surimi campuran ikan HTS terbaik dengan penambahan tepung tapioka dan tepung sagu secara tunggal maupun kombinasi keduanya dalam pembuatan bakso ikan serta pengaruh metode pemasakan (perebusan dan pengukusan) dengan menganalisis karakteristik fisik, kimia dan organoleptik bakso ikan untuk menentukan formulasi tepung terbaik dari masing-masing cara pemasakan yang dipakai.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ikan Hasil Tangkap sampingan (HTS) Potensi sumber daya laut Indonesia dapat memberikan manfaat yang besar
bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Hingga saat ini, produksi perikanan
Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap. Sebagian dari hasil tangkapan perikanan tropis adalah ikan dengan nilai ekonomis rendah. Organisme laut atau ikan-ikan yang tidak termasuk ke dalam tujuan penangkapan utama merupakan by catch (hasil tangkap sampingan) yang biasanya terdiri dari berbagai jenis dan ukuran (Purbayanto et al. 2004). Ikan hasil tangkap sampingan (by catch) adalah ikan yang ikut tertangkap dalam suatu operasi penangkapan ikan tertentu (biasanya udang) yang sebenarnya tidak ditujukan untuk menangkap ikan tersebut.
Jenis ikan tersebut pada
umumnya kurang memiliki nilai ekonomis dan seringkali tidak dibawa ke daratan. Masalah yang menyebabkan rendahnya nilai ekonomis ikan tersebut adalah bentuk dan ukuran yang tidak menarik (Moeljanto 1994). Usaha-usaha pemanfaatan ikan hasil tangkap sampingan tersebut lebih banyak diarahkan pada pemanfaatan ikan yang berukuran besar. Padahal pada tahun 2004, total hasil tangkapan sebesar 4.320.241 ton, sekitar 76% merupakan ikan hasil tangkap sampingan (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006). Sebagai gambaran produksi udang di Indonesia bagian timur pada tahun 2000 sebesar 70.021 ton dan dengan prediksi perbandingan udang dan ikan (spesies nontarget) 1:4, maka akan ada sekitar 300.000 ton ikan by catch yang tertangkap, dari jumlah tersebut hanya sekitar 46% (128.938 ton) ikan saja yang dibawa ke daratan dan sisanya yang sebesar 54% (156.847 ton) dibuang kembali ke laut (Budiyanto dan Djazuli 2003). Hasil tangkapan trawl/pukat udang terdiri dari udang sebagai target spesies, berbagai jenis ikan, krustase dan moluska.
Beberapa spesies dari
berbagai jenis ikan hasil tangkap sampingan yang berukuran kecil, ada yang dapat ditingkatkan pemanfaatannya yaitu kakap kuniran (Lutjanus monostigma), swanggi (Priacanthus macracanthus), beloso (Glossogobius callidus), gulamah (Argyrosomus
japonicus),
kurisi
(Nemiptherus
hoxodon),
gerot-gerot
(Pomadasys), pepetek (Leiognatus sp.) dan spesies lainnya (Purbayanto et al. 2004). Ikan-ikan HTS didominasi oleh spesies ikan berdaging putih (white muscle). Daging ikan jenis berkadar protein tinggi sehingga sangat tepat dibuat produk olahan yang memanfaatkan karakteristik fisiko-kimia protein ikan, terutama sifat gel-nya sebagai surimi. Rendemen surimi dari beberapa ikan HTS di Laut Arafuru, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen surimi dari beberapa jenis ikan hasil tangkap samping Jenis-jenis ikan
Rendemen surimi (%)
Alu-alu (Sphyraena sp)
40-45
Beloso (Saurida tumbil)
35-40
Ikan kurisi (Nemiphterus sp)
30-35
Ikan paperek (Leiognathus sp)
25-30
Gulamah (Pseudociena anoyensis)
25-30
Pisang-pisang (Caesio chrysozomus)
25-30
Ikan nomei (Harpodon sp)
20-25
Ikan layur (Trichiurus sp)
20-25
Layang (Sardinella sp)
20-25
Swanggi (Priacanthus tayenus)
20-25
Biji Nangka (Upeneus sulphureus)
20-25
Tiga waja (Jonius dusscemieri)
20-25
Kurisi (Nemipterus nematophorus)
20-25
Gerot-gerot (Pomadasys sp)
20-25
Sumber : BPPMHP, Ditjen PT DKP (2002) diacu dalam Wahyuni (2007)
2.2
Protein Daging Ikan Menurut Junianto (2003), protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari
kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Kandungan protein ikan relatif besar, yaitu antara 15-25%/100g daging ikan. Selain itu, protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang ampir semuanya diperlukan oleh tubuh manusia. Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril, sarkoplasma, dan stroma. Komposisi ketiga jenis protein pada daging ikan terdiri dari 65-75% miofibril, 20-30% sarkoplasma dan 1-3% stroma.
Kandungan protein kasar ikan berkisar 17-20%.
Protein sarkoplasma
berjumlah sekitar 16-22% dari total protein jaringan daging. Protein kontraktil atau protein miofibril sekitar 75% dari total protein. Protein jaringan ikat pada teleostei berkisar 3%, dan pada elasmobranchia seperti hiu dan pari mencapai 10% (Belitz dan Grosch 1987). Menurut Alasalvar dan Taylor (2002), protein daging ikan terdiri dari 3 kelompok utama, yaitu : protein sarkoplasma (18-28%), protein miofibril (70-80%), protein jaringan ikat (stroma) (2-3%). Protein ikan banyak mengandung asam amino esensial. Kandungan asam amino dalam daging ikan sangat bervariasi, tergantung pada jenis ikan. Pada umumnya, kandungan asam amino dalam daging ikan kaya akan lisin, tetapi kurang akan kandungan triptofan (Junianto 2003).
2.2.1 Protein sarkoplasma Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan terutama terdiri dari enzim-enzim yang berhubungan dengan metabolisme sel. Protein ini terdiri dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya (Shahidi 1994). Protein sarkoplasma disebut juga miogen. Kandungan miogen dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung dari jenis ikannya, juga tergantung habitat hewan tersebut. Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan protein sarkoplasma lebih tinggi dibandingkan dengan ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma berjumlah sekitar 30% dari total protein daging. Protein sarkoplasma termasuk sebagian besar enzim melibatkan energi metabolisme seperti glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma mempunyai sifat kimia yaitu berat molekul yang kecil, pH isoelektrik tinggi, dan berstruktur globular.
Karakteristik fisiknya sebagian besar bertanggung jawab untuk
kelarutan yang tinggi protein ini pada air. Satu bagian dari protein sarkoplasma yang penting dalam menentukan kualitas daging adalah mioglobin. Mioglobin bertanggung jawab untuk warna merah pada daging segar dan warna pink pada daging yang dicuring (Nakai dan Modler 2000). Protein sarkoplasma mengendap pada pemasakan dan tidak berkontribusi secara nyata pada teksur ikan (Alasalvar dan Taylor 2002). Protein ini tidak berperan dalam pembentukan gel seperti beberapa protease yang merusak protein
miofibril. Protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel (Haard et al. 1994).
2.2.2
Protein miofibril Jumlah protein miofibril, miosin dan aktin berkisar 70-80% dari total
protein tergantung pada spesies ikan (Alasalvar dan Taylor 2002).
Protein
miofibril merupakan bagian terbesar dalam protein daging ikan, yaitu protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein regulasi, yaitu gabungan dari aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomisin (Suzuki 1981). Miosin adalah protein yang paling penting dari semua protein otot, bukan hanya karena jumlahnya yang besar (50-60%) dari total miofibril (Shahidi 1994), tetapi juga karena mempunyai sifat biologis khusus. Dengan adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi, miosin dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin. Sifat kontraksi pada proses pembentukan aktomiosin inilah yang menyebabkan terjadinya gerakan otot sewaktu ikan hidup dan selama terjadinya kekejangan setelah ikan mati. Aktin merupakan protein miofibril terbesar kedua setelah miosin di dalam daging ikan, yaitu sekitar 20 % dari total protein miofibril (Shahidi 1994). Protein otot sebagian besar dalam bentuk koloid, baik berupa sol maupun gel. Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH agak tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk akhir lebih rendah meskipun jumlah miosin yang diekstrak lebih banyak (Junianto 2003). Menurut Junianto (2003), pada umumnya protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air. Pada pengolahan daging, protein miofibril mempunyai peran sebagai struktur dan fungsi utama yaitu berinteraksi dengan komponen lain dan dengan unsur nonprotein secara kimia dan secara fisik untuk menghasilkan karakteristik produk yang diinginkan (Nakai dan Modler 2000).
2.2.3
Protein stroma Protein stroma atau protein jaringan ikat tersusun dari kolagen dan elastin.
Jumlahnya sekitar 3% dari total protein otot pada ikan teleostei dan sekitar 10% dalam ikan elasmobranchii, sedangkan pada mamalia sekitar 17% (Hush 1988). Sama seperti protein miofibril, protein jaringan ikat juga merupakan protein struktural dan terdiri dari sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot. Protein jaringan ikat ini memelihara struktur bentuk pada tulang, ligamen dan tendon.
Jaringan ikat pada tempat interstitial sel otot terdiri dari 3 protein
ekstraselular (kolagen, retikulin dan elastin) dan substansi dasar penyangga (Nakai dan Modler 2000). Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Menurut Hall dan Ahmad (1992), pada pengolahan surimi protein stroma tidak dapat oleh panas dan merupakan komponen ‘netral’ pada produk akhir. Pada daging mamalia, kolagen berikatan silang secara kimia dengan jumlah yang bervariasi, kadang-kadang mengharuskan pemasakan yang ekstensif untuk melunakkan daging. Pada kenyataannya, daging ikan memiliki melting point atau suhu untuk melunakkan daging yang lebih rendah dan dapat dengan mudah diubah menjadi gelatin melalui pemasakan (Alasalvar dan Taylor 2002).
2.3
Surimi Surimi merupakan istilah dalam Bahasa Jepang untuk daging lumat dan
jaringan ikan yang dicuci.
Produksi surimi secara komersial dibuat dengan
menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali) dengan air atau larutan garam. Proses pencucian menghilangkan sebagian besar komponen yang larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak. Setelah pencucian terakhir, daging lumat diperas dan dicampur dengan cryoprotectant yang tepat untuk mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku (Nakai dan Modler 2000). Produk surimi sebenarnya sangat tepat untuk pemanfaatan produksi perikanan di Indonesia mengingat (Wahyuni 2007):
(1) jenis ikan di daerah tropis terdiri dari banyak jenis, namun untuk setiap jenis mempunyai populasi sedikit; (2) hampir semua jenis dan ukuran ikan dapat dibuat sebagai bahan baku surimi; (3) surimi dapat disimpan jangka panjang sebagai bahan baku produk berbasis fish-gel; (4) surimi mempunyai volume lebih kecil dari ikan utuh; (5) surimi dan produk lanjutannya dapat memberikan nilai tambah untuk nelayan serta perbaikan gizi masyarakat; (6) dapat memperluas bentuk-bentuk diversifikasi olahan hasil perikanan sehingga akan meningkatkan daya terima konsumen; (7) memiliki jangkauan pemasaran yang luas karena mudah diterima konsumen segala lapisan dan bersifat global; (8) memiliki daya simpan yang panjang pada kondisi beku.
2.3.1 Definisi surimi Surimi adalah daging lumat yang telah dicuci yang stabil dalam waktu yang lama pada penyimpanan beku dengan penambahan cryoprotectant. Surimi merupakan produk antara yang dibuat dari daging ikan atau seafood. Pengolahan surimi sebagai suatu cara yang terfokus pada protein miofibril daging ikan. Protein miofibril daging ikan mempunyai karakteristik pembentukan gel yang unik yang dapat digunakan untuk dijadikan surimi dasar pembuatan produk seafood seperti crab analog (Pearson and Dutson 1997). Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak berbau amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus yang akan memberikan hasil (surimi) yang lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain: ikan cunang/remang, tenggiri, kakap, tigawaja, beloso, cucut (Peranginangin et al. 1999). Suzuki (1981) menyebutkan ada dua tipe surimi beku, yaitu Mu-en Surimi, dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan fosfat tanpa penambahan garam (NaCl) dan telah mengalami proses pembekuan; dan Ka-en Surimi, dibuat dengan menggiling campuran
daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam (NaCl) dan telah mengalami proses pembekuan. Disamping surimi beku, terdapat tipe lain yang disebut Nama Surimi (raw surimi) yaitu surimi yang tidak mengalami proses pembekuan.
2.3.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam inorganik (Ca2+ dan Mg2+), dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida (TMAO).
Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama
proses pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian selain dapat meningkatkan gel surimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki 1981). Kemampuan membentuk gel surimi dan aktivitas ATP-ase selama penyimpanan beku dipengaruhi oleh tingkat leaching atau pencucian. Kekuatan gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian. Dengan pencucian berulang (maksimal 3 kali) akan meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi dan mencegah denaturasi protein miofibril surimi selama penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992). Efisiensi proses pencucian dipengaruhi oleh faktor banyaknya pencucian dan waktu pencucian. Pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan ikan 3:1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12 menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1 dan 6:1), karena jika terlalu lama daging ikan akan menyerap air dalam jumlah yang besar dan akan menyulitkan pada saat pembuangan air/pengepresan (Toyoda et al. 1992). Jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci yang akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut air. Menurut Suzuki
(1981) kisaran suhu air yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10 oC. Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat menunjang kemampuan membentuk gel (ashi) dan menghambat denaturasi protein akibat pembekuan. Walaupun pencucian ini pada dasarnya dapat meningkatkan sifat elastis daging ikan, tetapi perlu juga diperhatikan pengaruhnya terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan. Protein yang hilang selama proses pencucian dapat mencapai 25%. Air pencuci yang memiliki tingkat kesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila digunakan air laut atau air garam kehilangan proteinnya akan semakin tinggi.
2.3.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa. Bahan tambahan meliputi pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat dan pengental (Winarno 1997).
Bahan tambahan yang digunakan dalam proses
pembuatan surimi adalah hidrogen peroksida (H2O2) dan cryoprotectant.
(1)
Hidrogen peroksida (H2O2) Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 ditemukan oleh Louis
Jacques Thenard di tahun 1818. Hidrogen peroksida merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Hidrogen peroksida tidak berwarna dan memiliki bau yang khas agak keasaman. Hidrogen peroksida larut dengan sangat baik dalam air. Dalam kondisi normal hidrogen peroksida sangat stabil, dengan laju dekomposisi yang sangat rendah yaitu kira-kira kurang dari 1% per tahun (Skuler 2007).
Pada saat mengalami dekomposisi hidrogen peroksida
terurai menjadi air dan gas oksigen, dengan mengikuti reaksi eksotermis berikut: H2 O2
O2 + H2O + kalor (panas)
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan, karena tidak meninggalkan
residu, hanya air dan oksigen. Kekuatan oksidatornya juga dapat diatur sesuai dengan kebutuhan (Skuler 2007). Sebagai oksidator kuat, H2O2 dimanfaatkan manusia sebagai bahan pemutih (bleach), disinfektan, oksidator, dan bahan bakar roket. Oksidator dapat menyebabkan oksidasi pada protein, terutama melalui formasi disulfida, fragmen-fragmen protein yang didegradasi dari protein daging membentuk ikatan silang dan agregat protein dibentuk lebih besar sehingga dapat memperbaiki kemampuan membentuk gel (Liu dan Xiong 2000 diacu dalam Patcharat et al. 2005). Patcharat et al. (2005) menggunakan H2O2 sebagai bahan pengoksidasi dalam pembuatan surimi ikan bigeye snapper (Priachantus tayenus). Penambahan H2O2 dengan konsentrasi 10-40 ppm mampu meningkatkan kekuatan gel surimi dari ikan berkualitas rendah.
(2)
Cryoprotectant (antidenaturan) Cryoprotectant adalah komponen yang dapat memperpanjang daya awet
suatu makanan yang dibekukan. Istilah cryoprotectant diartikan secara luas yaitu semua komponen yang membantu mencegah hal yang menyebabkan perubahan (biasanya merusak komponen zat gizi) pada makanan atau komposisi makanan oleh pembekuan, penyimpanan beku atau pelelehan setelah dibekukan. Pada surimi mentah, penambahan cryoprotectant dibutuhkan untuk menstabilkan salah satu komponen penting yaitu protein miofibril (MacDonald et al. 2000). Umumnya surimi yang dibuat ditambahkan sukrosa (4%) dan sorbitol (4-5%) sebagai cryoprotectant dan polifosfat (0,3%) untuk meningkatkan water holding capacity (Morrissey et al. 1993 diacu dalam Pearson dan Dutson 1997). Namun, sekarang ini komponen-komponen yang digunakan sebagai cryoprotectant untuk melindungi protein yang labil selama pembekuan banyak macamnya yaitu : gula, asam amino, poliol, metil amina, polimer karbohidrat, polimer sintetik (seperti polietilen glikol, PEG), protein lain (seperti bovine serum albumin, BSA), dan garam anorganik (seperti potassium fosfat dan ammonium sulfat). Pada sebagian besar protein, cryoprotectant yang digunakan harus berada pada konsentrasi yang tinggi untuk memberi perlindungan maksimum, pengecualian polimer seperti PEG, BSA dan polivinilpirolidon (PVP), harus
digunakan pada konsentrasi kurang dari 1% (b/v) yang sepenuhnya melindungi enzim yang sensitif. Antioksidan dan pengikat logam, seperti komponen fosfat, dapat juga dipakai untuk memperpanjang daya awet surimi dan protein makanan yang lain, berguna sebagai pembantu cryoprotective (MacDonald et al. 2000).
2.3.4 Pembentukan gel Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Menurut Baier dan Mc Clements (2005), kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Terdapat empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu : ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik (Niwa 1992). Asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin dan treonin tergabung dalam grup hidroksil, dan prolin serta hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan aseptor proton, sedangkan glutamin dan asparagin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai aseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang akan memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan (Niwa 1992). Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu
mendekati 40 oC (Niwa 1992). Menurut Jaczynski dan Park (2004) interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan sistem protein. Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 oC). Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan.
Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan
hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992). Suzuki (1981) menambahkan bahwa ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari tidak hanya terbentuk melalui hidrasi molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan hidrogen dan hidrofobik pada molekul protein miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50
o
C. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga
o
50-60 C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Gel kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati zona suhu modori. Dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi.
2.4
Bakso Ikan Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan
atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995a).
Bakso merupakan produk
emulsi daging bakso dibuat dari daging yang digiling halus ditambah bahan pengisi pati atau tepung terigu dan bumbu-bumbu.
Daging yang baik untuk
membuat bakso adalah daging yang segar yang belum mengalami rigormortis karena daya ikat air pada daging ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging rigormortis maupun pascarigor (Pearson dan Tauber 1984). Pada prinsipnya pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu : (1) penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4) pemasakan. Pada proses penggilingan daging harus diperhatikan kenaikan suhu akibat panas saat proses penggilingan karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di bawah 20 oC. Pemasakan bakso setelah dicetak dilakukan dengan cara perebusan dalam air mendidih atau dapat juga dikukus (Bakar dan Usmiati 2007). Bakso ikan merupakan produk perikanan olahan yang sangat penting di Cina, Taiwan, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bakso ikan dapat dibuat dari ikan bersirip, udang dan sotong.
Salah satu sifat penting dalam
menentukan kualitas bakso ikan adalah elastisitas. Sifat ini sangat diperhatikan oleh orang Cina, namun hal tersebut tidak disukai oleh konsumen barat (Ang et al. 1999).
2.4.1
Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso ikan yaitu bahan utama
(daging ikan) dan bahan tambahan (bahan pengisi, es atau air es, dan bumbubumbu).
(1)
Daging ikan atau surimi Bahan utama untuk bakso ikan adalah daging ikan dari satu jenis ikan atau
campuran daging beberapa jenis ikan. Daging ikan yang cocok untuk pembuatan bakso adalah daging putihnya saja. Daging putih ini dapat diperoleh dari jenis ikan berdaging putih, misalnya daging kakap, kerapu, tenggiri, ikan cunang atau ikan remang (Congresox talabon) (Wibowo 2006). Jenis ikan berdaging merah tidak bagus dijadikan bakso, kecuali jika ikan tersebut juga memiliki daging putih dan mudah dipisahkan dengan daging
merahnya, misalnya tuna, cakalang, tongkol dan kembung. Selain itu, jenis ikan yang digunakan juga menentukan tekstur dan rendemen bakso yang diperoleh. Jenis ikan gemuk dan sedikit berduri menghasilkan rendemen yang tinggi (Wibowo 2006). Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa surimi, karena menghasilkan tekstur bakso yang lebih kenyal dan warna yang lebih putih. Kriteria mutu utama dari bakso sebagai produk fish jelly adalah kelenturan dan kekenyalannya (BBPMHP 2001).
(2)
Bahan pengisi Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan
dalam pembuatan bakso. Adapun penambahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan citarasa dan memperkecil penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich et al. 1971). Bahan pengisi yang umumnya digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung pati singkong (tapioka) dan tepung sagu. Bahan tersebut memiliki kadar karbohidrat yang tinggi, namun kadar proteinnya rendah (Tarwotjo et al. 1971). Agar rasa bakso lezat, tekstur bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya sekitar 10-15% dari berat daging (Wibowo 2006).
a)
Tepung tapioka Menurut SNI 01-3451-1994, tapioka adalah pati (amilum) yang diperoleh
dari umbi kayu segar (Manihot utilissima/Manihot esculenta Crantz) setelah melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy 2004). Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih. Tepung tapioka banyak digunakan di berbagai industri karena kandungan patinya
yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam air panas dan membentuk kekentalan yang dikehendaki (Sumaatmaja 1984). Selain itu, tapioka memiliki banyak kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah, memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang terang, dan daya lekatnya yang baik (Radley 1976). Tepung tapioka memiliki kadar amilosa 17% dan amilopektin 83% dengan ukuran granula 10,1-20 µm dan memiliki berat molekul 32 x 104 – 39 x 104 g/mol. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994
No.
Jenis uji
Persyaratan Mutu I
Mutu II
Mutu III
1.
Keadaan
2.
Kadar air maksimum (%)
15
3.
Kadar abu maksimum (%)
0,60
0,60
0,60
4.
Serat dan benda asing maksimum (%)
0,60
0,60
0,60
5.
Derajat putih minimum (BaSO4=100%) (%)
94,5
92
92
6.
Kekentalan (Engler)
3-4
2,5-3
<2,5
7.
Derajat asam maksimum (ml N NaOH/100 g)
3
3
3
8.
Cemaran logam: - Timbal (Pb) (mg/kg) - Tembaga (Cu) (mg/kg) - Seng (Zn) (mg/kg) - Raksa (Hg) (mg/kg) - Arsen (As) (mg/kg)
9..
Cemaran mikroba - Angka lempeng total maksimum (koloni/gram) - E. coli maksimum (koloni/gram) - Kapang maksimum (koloni/gram)
Sumber : BSN (1994)
Sehat, tidak berbau apek atau masam, murni, tidak kelihatan ampas dan/atau bahan asing 15
15
1,0 10,0 40 0,05 0,5
1,0 10,0 40 0,05 0,5
1,0 10,0 40 0,05 0,5
10 x106
10 x106
10 x106
10
10
10
10 x104
10 x104
10 x104
b)
Tepung sagu Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari keluarga (famili) Palmae.
Tepung sagu diekstrak dari tanaman sagu (Metroxylon sago Rottb) yang diperoleh dari isi batang (empulur) melalui pengolahan yang sederhana. Setelah pohon ditebang, batang dipotong menjadi potongan-potongan sekitar 2-3 meter tergantung besar kecilnya garis tengah batang tersebut. Kemudian batang dibelah dua, empulur ditokok atau dipukul, hasil penokokan adalah tepung yang masih bercampur dengan serat. Kemudian pada tepung tersebut dilakukan ekstraksi, maka akan diperoleh pati sagu (Haryanto dan Pangloli 1992). Tepung sagu memiliki berat molekul 12,4x104 gram/mol. Sifat fisik dan komposisi kimia pati sagu memiliki sifat tergantung pada panjang rantai karbonnya dan bercabang atau lurusnya rantai molekulnya. Pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73% (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Tepung sagu kaya dengan karbohidrat (pati) namun sangat miskin gizi lainnya. Ini terjadi akibat kandungan tinggi pati di dalam teras batang maupun proses pemanenannya. Seratus gram sagu kering setara dengan 355 kilo kalori. Di dalamnya rata-rata terkandung 94 g karbohidrat, 0,2 g protein, 0,5 g serat, 10 mg kalsium, 1,2 mg besi, dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah sangat kecil (Wikipedia 2008a). Pati sagu berbentuk elips (prolate ellipsoidal), mirip pati kentang dengan ukuran 5-80 mm dan relatif lebih besar daripada pati serelia (Wirakartakusumah et al. 1984). Kandungan amilopektin dalam tepung sagu berguna untuk memperbaiki tingkat mutu penampilan produk, tidak mudah menggumpal, dan memiliki daya rekat yang tinggi. Kandungan amilopektin tepung sagu dapat mempengaruhi kelarutan dan derajat gelatinisasi, semakin banyak kandungan amilopektin, maka pati akan bersifat tidak kering dan lengket, sedangkan kandungan amilosa menyebabkan pati bersifat kering dan kurang lengket serta cenderung menyerap air lebih banyak (Wirakartakusumah et al. 1984). Sagu terdapat di Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 01-3729-1995 dapat dilihat pada Tabel 3.
Sifat fisik pati tapioka dan sagu,
komposisi kimia pati tapioka dan sagu masing-masing dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
Tabel 3. Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 01-3729-1995 No. 1.
Jenis uji
Persyaratan
Keadaan a. Bau b. Warna c. Rasa
Normal Normal Normal
2.
Benda asing
tidak boleh ada
3.
Serangga (bentuk stadia dan potongannya)
tidak boleh ada
4.
Jenis pati selain pati sagu
tidak boleh ada
5.
Air (%)
maksimum 13
6.
Abu (%)
maksimum 0,5
7.
Serat kasar (%)
maksimum 0,1
8.
Derajat asam (ml NaOH 1N/100 gram)
maksimum 4
9.
SO2 (mg/kg)
maksimum 30
10.
Bahan tambahan makanan (bahan pemutih)
sesuai SNI 01-0222-1995
11.
Kehalusan,lolos ayakan 100 mesh (%)
minimum 95
12.
Cemaran logam a. Timbal (Pb) (mg/kg ) b. Tembaga (Cu) (mg/kg) c. Seng (Zn) (mg/kg) d. Raksa (Hg) (mg/kg)
maksimum 1,0 maksimum 10,0 maksimum 40,0 maksimum 0,05
13.
Cemaran arsen (As)Mg/kg
maksimum 0,5
14.
Cemaran mikroba a. Angka lempengan total (koloni/gram) b. E. coli (APM/gram) c. Kapang (koloni/gram)
maksimum 106 maksimum 10 maksimum 104
Sumber : BSN (1995b)
Tabel 4. Sifat fisik pati tapioka dan sagu Tapioka
Sagu
Kandungan amilosa (%)
Parameter
17
27
Kandungan amilopektin (%)
83
73
Oval
Elips, agak terpotong
10,1-20
16-25,4
Bentuk granula Ukuran granula (µm) o
Suhu gelatinisasi ( C) Berat molekul (g/mol)
65,8 32-39 x 10
74,5 4
Sumber : Knight (1969) diacu dalam Haryanto dan Pangloli (1992)
12,4 x 104
Tabel 5. Komposisi kimia pati tapioka dan sagu Komposisi zat gizi
Tapioka
Sagu
Air (mg)
12
14
Amilosa (mg)
17
27
Karbohidrat (g)
86,9
84,7
Protein (g)
0,5
0,7
Lemak (g)
0,3
0,2
Kadar abu (g)
0,19
0,4
Kalsium (mg)
-
Magnesium (mg)
4
Sodium (mg)
5
43
Fosfor (mg)
-
12,7
Thiamin (mg)
-
0,01
Besi (mg)
-
1,5
Kalium (mg)
1
1,2
11 1,5
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1979) diacu dalam Haryanto dan Pangloli (1992)
(3)
Bumbu-bumbu Bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso berupa garam dapur
halus, sedangkan bumbu penyedap dibuat dari campuran bawang putih dan merica. Garam dapur yang digunakan sekitar 2,5% dan bumbu penyedapnya sekitar 2% dari berat daging. Sebagai bumbu penyedap dapat juga digunakan bumbu campuran bawang merah, bawang putih, dan jahe dengan perbandingan 15:3:1. Sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan monosodium glutamat atau vetsin (Wibowo 1999).
a)
Garam Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet
(Wibowo 1999). Garam dalam pengolahan selain berfungsi untuk menguatkan citarasa juga berperan sebagai pembentuk tekstur dan mengontrol pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen.
b)
Bawang merah dan bawang putih Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein
1,5%, lemak 0,3%, dan karbohidrat 9,2%. Selain itu, umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asama amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air (Wibowo 1999).
Bawang merah
mengandung cukup banyak vitamin B dan C dan biasanya bawang merah digunakan sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional. Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang populer di dunia ini dengan nama ilmiahnya Allium sativum Linn. Kandungan bawang putih antara lain air mencapai 60,9-67,8%, protein 3,5-7%, lemak 0,3%, karbohidrat 24,0-27,4 % dan serat 0,7 %, juga mengandung mineral penting dan beberapa vitamin dalam jumlah tidak besar (Wibowo 1999). Bawang putih telah dikenal sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional.
c)
Lada Lada atau merica (Piper nigrum Linn) adalah tumbuhan penghasil rempah-
rempah yang berasal dari bijinya. Lada sangat penting dalam komponen masakan dunia. Di Indonesia, lada terutama dihasilkan di Pulau Bangka (Wikipedia 2008b). Lada (Piper nigrum Linn) merupakan tanaman serba guna dimana buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dalam berbagai masakan. Tujuan penambahan lada adalah sebagai pemberi aroma sedap, menambah kelezatan, dan memperpanjang daya awet makanan.
d)
Telur Telur merupakan salah satu bahan pangan yang paling lengkap gizinya,
selain itu bahan pangan ini juga bersifat serbaguna karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan baku untuk membuat kue. Bahan makanan ini mengandung protein sekitar 13% dan lemak sekitar 12%, juga mengandung 10 macam asam amino esensial dari 18 macam asam amino yang ada. Selain itu, telur mengandung mineral (fosfor, besi dan kalsium) dan vitamin B kompleks serta vitamin A dalam jumlah cukup serta karbohidrat dalam jumlah sedikit sekali (Sarwono 1994).
e)
Gula Gula lebih banyak berperan memberikan citarasa daripada mengawetkan
produk. Meskipun demikian pemakaian gula akan menyebabkan bakteri-bakteri asam berkembang terutama bakteri-bakteri yang dapat memfermentasi gula menjadi asam dan alkohol. Dengan timbulnya asam dan alkohol diharapkan akan dapat memperbaiki citarasa produk (Hadiwiyoto 1993).
(4)
Es atau air es Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Es
yang digunakan sebaiknya berupa es batu.
Bahan ini berfungsi membantu
pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es berfungsi meningkatkan air ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Untuk itu, dalam adonan bakso, dapat ditambahkan es sebanyak 15-20% atau bahkan 30% dari berat daging (Wibowo 2006).
2.4.2 Pembuatan bakso ikan Proses pembuatan bakso ikan pada prinsipnya terdapat 4 tahap yaitu: (1) penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4) pemasakan.
(1)
Penghancuran daging Tahap ini bertujuan untuk memperluas permukaan daging sehingga protein
yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian jaringan lunak akan berubah menjadi mikro partikel (Wong 1989 diacu dalam Nurfianti 2007). Proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air dingin sebanyak 20% dari berat adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan (Winarno dan Rahayu 1994).
(2)
Pembuatan adonan Setelah daging lumat dicuci dan dibersihkan menjadi surimi, daging ikan
dicampur dengan garam dapur dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur merata, ke dalam surimi tersebut ditambahkan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pada saat pembentukan adonan bakso ikan ditambahkan es batu sekitar sekitar 15-20% atau bahkan 30% dari berat daging ikan lumat. Es ini berfungsi mempertahankan suhu dan menambah air ke dalam adonan agar adonan tidak kering dan rendemennya tinggi (Wibowo 2006).
(3)
Pencetakan Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap
direbus atau dikukus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan, caranya adalah adonan diambil dengan sendok makan kemudian diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk bola bakso. Bagi mereka yang sudah mahir, untuk membuat bola bakso ini cukup dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas dan ditekan ke arah ibu jari. Adonan yang keluar dari lubang antara ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan kemudian bulatan tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).
(4)
Pemasakan Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul
membentuk suatu jaring-jaring. Kondisi optimum untuk pembentukan gel adalah pada kadar garam 0,6 M, pH 6, dan suhu 65 oC (Pomeranz 1991). Untuk mendapatkan kekuatan gel yang maksimum, bakso harus dijendalkan dengan cara direndam dengan air dengan suhu 28-30 oC selama 1-2 jam atau pada suhu air 45 oC selama 20-30 menit. Pemasakan bakso umunya dilakukan dengan air mendidih (Tarwotjo et al. 1971) dapat juga dilakukan dengan cara blanching dengan uap air panas atau air panas pada suhu 85-90 oC.
Pengaruh pemasakan ini terhadap adonan bakso
adalah terbentuknya struktur produk yang kompak. Menurut Wibowo (2006), jika
bakso yang direbus sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat dilihat dengan melihat bagian dalam bakso. Biasanya perebusan bakso ini memerlukan waktu sekitar 15 menit. Jika diiris, bekas irisan bakso yang sudah matang tampak mengilap agak transparan, tidak keruh seperti adonan lagi.
Setelah cukup matang, bakso
diangkat dan ditiriskan sambil didinginkan pada suhu ruang. Agar lebih cepat dingin, dapat dibantu dengan kipas angin asal dijaga dengan benar agar tidak terjadi kontaminasi kotoran setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastik dan ditutup rapat. Sebaiknya bakso yang telah dikemas disimpan dalam lemari pendingin pada suhu yang terjaga sekitar 5 oC.
2.4.3 Mutu Bakso Mutu didefinisikan sebagai sekelompok sifat atau faktor pada komoditas yang membedakan tingkat pemuas atau daya terima (acceptability) dari suatu komoditas bagi konsumen atau pembeli. Unsur mutu yaitu segala sesuatu yang ada pada komoditas yang berlangsung mempengaruhi nilai pemuas atau nilai manfaat pada komoditas (Soekarto 1990).
Syarat mutu bakso berdasarkan
SNI 01-3819-1995 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) No. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 5 6
Kriteria Uji Keadaan Bau Rasa Warna Tekstur Air Abu Protein Lemak Boraks
Satuan
Persyaratan
%b/b %b/b %b/b -
Normal, khas ikan Gurih Normal Kenyal Maks 80,0 Maks 3,0 Min 9,0 Maks 1,0 Tidak boleh ada
Sumber : BSN (1995a)
2.5
Proses Pemasakan Proses pemanfaatan panas atau pemasakan merupakan salah satu tahap
penting dalam pengolahan ikan. Pemanasan yang diupayakan pada ikan adalah
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, seperti mempertahankan mutu ikan, perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi dan daya cerna (Harikedua 1992).
2.5.1
Perebusan Perebusan adalah salah satu cara pemasakan dimana bahan yang akan
dimasak menerima panas melalui media air atau cara memasak makanan dalam air mendidih cepat dan bergolak, pada temperatur 212 oF (100 oC). Merebus ini biasanya dipakai dalam pengolahan makanan, sayuran, atau bahan yang bertepung. Temperatur yang tinggi akan mengeraskan (membuat liat) protein daging, ikan, dan telur.
Air yang mendidih dengan cepat akan mengurai
kehalusan makanan (delicated food) (Widyati 2001). Proses perebusan pada produk yang menggunakan pati bertujuan agar pati mengalami proses gelatinisasi, sehingga granula pati mengembang dan protein terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan molekul-molekul air melakukan penetrasi ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekulmolekul amilosa dan amilopektin (Muchtadi 1988). Kekuatan gel yang terbentuk setelah pemanasan dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan (Tanikawa 1985).
2.5.2
Pengukusan Pengukusan merupakan salah satu cara pemasakan bahan dengan uap air
secara langsung. Suhu atau panas yang didapat dari uap biasanya lebih panas, oleh karena itu jika memasak dengan cara pengukusan akan lebih cepat dibandingkan dengan cara perebusan (Widyati 2004). Prinsip pengolahan dengan cara pengukusan adalah dengan menggunakan uap air dengan air panas bersuhu 100 oC dengan lama yang bervariasi sesuai dengan sifat bahan.
Kisaran waktu untuk pengukusan umumnya 1-11 menit
(Potter 1973). Dalam pengukusan diterapkan proses suhu tinggi dan penambahan air sehingga menyebabkan proses gelatinisasi pati (Harris 1989). Perubahan yang terjadi selama proses pengukusan antara lain: karbohidrat akan mengalami sedikit perubahan warna, pati akan tergelatinasi membentuk struktur jaringan yang
kokoh, protein akan mengeras karena mengalami koagulasi.
Kadar air akan
mengalami perubahan yang relatif sama. Pada waktu pengukusan, penyerapan air atau uap air oleh bahan yang berukuran besar lebih cepat sehingga kadar air bahan bertambah besar. Bahan yang dikukus pada waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman 1992 diacu dalam Sulistiyo 2002).
2.5.3
Pengaruh pemasakan terhadap komponen gizi Proses pemanfaatan panas seperti pemasakan dapat mengakibatkan
perubahan pada penampakan secara umum, citarasa, bau dan tekstur ikan. Pada waktu proses pemasakan atau pengukusan sedang berlangsung, kebanyakan daging ikan dapat mengalami pengurangan kadar air. Bersamaan dengan keluarmya air tersebut, ikut pula terbawa komponen zat gizi yang lain seperti vitamin C (asam askorbat), riboflavin, tiamin, karoten, niasin, vitamin B-6, Co, Mg, Mn, Ca, P asam amino dan protein (Harikedua 1992; Harris 1989). Faktorfaktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pengukusan, yaitu luas permukaaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air (Harris 1989). Perubahan yang terjadi akibat pemanasan ini diperlukan untuk meningkatkan daya cerna atau untuk memanfaatkan perubahan warna atau cita rasa yang timbul pada makanan tersebut. Selain itu dapat terjadi perubahan yang tidak diinginkan, yang ditandai dengan menurunnya daya ekstraksi dan kelarutan protein, kehilangan kemampuan dalam membentuk gel, penurunan daya pengikat air dan daya emulsi lemak, serta sifat fungsional lain yang berperan terhadap pengembangan mutu produk perikanan (Suwandi 1990).
Penyusutan daging
selama pemasakan yang paling utama adalah terjadi kehilangan air, yang keluar sebagai uap air, dan kehilangan air dan lemak, yang dilepaskan dari daging dan berkumpul di dasar panci masak (Dawson 1959 diacu dalam Mountney 1966).
2.6
Hubungan antara Bahan Pengisi dan Ashi Penambahan pati ke dalam daging ikan giling pada pembuatan gel
kamaboko bertujuan untuk memperkuat ashi, terutama pada daging ikan yang memiliki ashi yang lemah, disamping itu juga untuk memodifikasi tekstur dan menurunkan biaya. Pati berperan sebagai bahan pengisi gel protein miofibril yang sederhana, tidak berinteraksi langsung dengan matriks protein surimi maupun mempengaruhi formasi protein tersebut karena pada proses pemasakan yang terjadi lebih dulu adalah gelasi protein diikuti dengan mengembangnya pati (Wu et al. 1985). Proses mengembangnya granula pati pada gel protein selama proses pemanasan dijelaskan oleh Lee dan Kim (1985) yang dikutip oleh Wu et al. (1985) sebagai berikut: selama proses pemanasan, pati mengalami gelatinisasi, granula mengembang dan memerlukan air. Selama perubahan ini granula pati mengembang pada tingkat tertentu dan menyebar melewati struktur jala protein ikan. Mengembangnya granula pati tersebut menyebabkan tekanan yang kuat pada matriks protein disertai dengan penarikan air yang berada di sekitar matriks protein sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan kohesif. Wu et al. (1985) menegaskan bahwa efek meningkatnya kekuatan gel oleh pati tidak terjadi jika gelatinisasi tidak terjadi dalam pasta ikan. Menurut Okada (1973) yang dikutip oleh Suzuki (1981), agar pati menunjukkan pengaruhnya membangun ashi dibutuhkan suhu yang spesifik selama pemanasan. Wu et al. (1985) melaporkan bahwa setiap pati memiliki suhu gelatinisasi yang berbeda, seperti pati kentang 65 oC, tapioka 69 oC dan maizena 73 oC. Suhu gelatinisasi juga tergantung pada konsentrasi pati, makin kental larutan, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno 1997). Menurut Wu et al. (1985) pada proses pengolahan gel, saat pati dicampur dengan surimi, suhu gelatinisasi pati bergeser ke suhu yang lebih tinggi dibandingkan jika pati hanya dicampur dengan air. Ketersediaan air dalam sistem surimi bukan faktor utama yang menyebabkan pergeseran suhu gelatinisasi pati tersebut. Ada faktor-faktor lain yang menyebabkan meningkatnya suhu gelatinisasi pati. Faktor-faktor tersebut adalah adanya sukrosa, garam dan protein.
Garam menghambat ‘opening’ daerah kristal di dalam granula pati (Ganz 1965 diacu dalam Fitrial 2000).
Di dalam tepung, protein membentuk kompleks
dengan pati pada permukaan granula sehingga menghambat pembebasan eksudat pati (Olkku dan Rha 1978 diacu dalam Wu et al. 1985). Menurut Okada (1973) dalam Suzuki (1981), penambahan pati akan berpengaruh terhadap sifat ashi kamaboko jika hal dibawah ini terjadi: (1) granula pati harus tergelatinisasi; (2) pada saat terjadi gelatinisasi, granula pati menyerap air dan menjadi elastis sehingga membantu pembentukan tekstur ashi; (3) granula pati yang telah tergelatinisasi lebih tahan terhadap kekuatan mekanis sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel protein daging. Penambahan pati optimum untuk mendapatkan kekuatan gel maksimum menurut Lee et al. (1992), sangat tergantung pada tipe pati yang ditambahkan. Menurut Wu et al. (1985) pati yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi untuk memperkuat ashi adalah pati kentang, tapioka dan maizena. Diantara pati-pati tersebut, pati kentang mempunyai pengaruh yang paling baik untuk menguatkan gel karena pati tersebut memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah besar air dan mengembang dengan diameter yang besar.
Menurut Swinkels (1985)
diameter granula pati kentang adalah sekitar 33 µm, sedangkan granula tapioka sekitar 20 µm dan pati jagung sekitar 15 µm. Pengaruh fraksi yang terdapat pada pati terhadap ashi gel telah dilaporkan oleh Suzuki (1981). Fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat gel. Pati kentang mengandung 21% (b/b) amilosa dan 79% (b/b) amilopektin, sedangkan tapioka 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin (Swinkels 1985).
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September
2008.
Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu
Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan pada Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BPP2HP) Jakarta untuk kegiatan preparasi bahan baku dan pembuatan surimi, Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk kegiatan pembuatan bakso ikan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk analisis Total Volatile Base (TVB), Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk analisis proksimat, Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk analisis derajat putih, kekuatan gel dan Water Holding Capacity (WHC). Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB untuk uji pH, dan protein larut garam serta Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk uji lipat, uji gigit dan uji organoleptik.
3.2
Bahan dan Alat
3.2.1
Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan
untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta bahan-bahan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan.
Bahan-bahan yang digunakan untuk
pembuatan surimi adalah ikan HTS (kurisi, beloso, gulamah dan mata goyang), garam, air dan es. Bahan-bahan untuk pembuatan bakso ikan adalah surimi ikan HTS, tepung tapioka “Alini”, tepung sagu “Alini”,air es dan bumbu-bumbu (bawang merah, bawang putih, garam, telur, dan merica). Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan meliputi bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia seperti K2SO4, HgO, H2SO4, tablet Kjeldahl, akuades, NaOH 40%, H3BO3, HCl, heksana, NaCl, buffer, TCA, K2CO3 dan indikator.
3.2.2
Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi
peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta peralatan yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan meliputi: cool box, wadah air bersih (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder) elektrik, alat pengepres hidrolik, kain kasa saring, food processor, plastik, kompor gas, panci perebusan, refrigerator dan timbangan digital. Peralatan yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan meliputi labu Kjeldahl, perangkat alat destilasi, perangkat alat ekstraksi soxhlet, oven, desikator, cawan conway dan tutup cawan, tanur pengabuan, pH meter, sentrifus dingin, Rheoner RE 3305, coloring measuring and difference calculating digital display system, kertas saring, pipet volumetrik, inkubator dan peralatan jenis lainnya.
3.3
Tahapan Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap proses yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama.
Pada penelitian pendahuluan dilakukan
penentuan surimi dengan faktor perlakuan frekuensi pencucian dan penggunaan hidrogen peroksida (H2O2). Pada penelitian utama dilakukan penentuan bakso dengan faktor perlakuan formulasi jenis tepung pati (tapioka dan sagu) dari masing-masing cara pemasakan (perebusan dan pengukusan).
3.3.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan diawali dengan pembuatan daging lumat dengan menggunakan alat meat-bone separator. Masing-masing daging lumat sebelum diproses lebih lanjut menjadi surimi dianalisis karakteristik kimianya, yaitu komposisi proksimat, nilai pH dan TVB. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan surimi dari campuran daging ikan HTS seperti kurisi, beloso, gulamah dan mata goyang dengan perbandingan 1:1:1:1 berdasarkan berat ikan utuh, dengan teknik pencucian yang berbeda terdiri dari 1, 2 dan 3 kali frekuensi
pencucian serta penambahan 0, 10, 20 dan 30 ppm H2O2. Proses pencucian surimi ini dilakukan pada suhu 0–10 oC yang yang disertai dengan pengadukan selama kurang lebih 10 menit. Selanjutnya, daging lumat yang telah dicuci, dipress untuk dibuang airnya serta ditambahkan sukrosa (4%) dan sorbitol (4%) sebagai cryprotectant. Surimi yang telah dibuat dianalisis karakteristik fisik dan kimianya yang meliputi kadar air, kadar protein, nilai pH, WHC, derajat putih, dan kekuatan gel, sehingga diketahui mutu surimi yang dihasilkan. Diagram alir penelitian tahap pertama disajikan pada Gambar 1. Ikan HTS
Pencucian
Penyiangan (kepala, sisik dan jeroan)
Pencucian
Pemisahan daging dari tulang dan kulit dengan Meat Bone Separator
Daging lumat ikan
H2O2 0 ppm H2O2 10 ppm H2O2 20 ppm H2O2 30 ppm
Analisis : proksimat, pH, TVB dan PLG
Pencucian daging ikan: air =1:3 (suhu 0-10oC, selama 10 menit)
1 kali 2 kali 3 kali
Pengepresan
Surimi
Analisis: kekuatan gel, derajat putih, WHC, kadar air, kadar protein dan pH Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan surimi
3.3.2
Penelitian Utama Penelitian utama merupakan aplikasi surimi terbaik hasil penelitian
pendahuluan pada pembuatan bakso ikan HTS.
Bakso ini dibuat dengan
formulasi dua macam tepung yaitu tepung tapioka dan tepung sagu dengan perbandingan 10%:0%; 7,5%:2,5%; 5%:5%; 2,5%:7,5% dan 0%:10%; dan dilakukan dengan dua cara pemasakan yaitu perebusan atau pengukusan. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan Jenis bahan baku dan bahan tambahan Surimi ikan HTS (gram) Tepung tapioka Tepung sagu Es atau air dingin Telur Bawang merah Bawang putih Garam Lada bubuk Keterangan: x = 10%; 7,5%; 5%; 2,5% dan 0% y = 0%; 2,5%; 5%; 7,5% dan 10%
Komposisi A x% A y% A 5-10% A 10% A 2,5% A 2,5% A 2,5% A 0,5% A
Proses pembuatan bakso ikan diawali dengan mencampurkan surimi terbaik dengan komposisi bahan tambahan lainnya (tepung tapioka, tepung sagu, air dingin, telur, bawang merah, bawang putih, gara dan lada bubuk) dengan menggunakan food processor agar adonan tercampur merata.
Kemudian
dilakukan pembentukan adonan menjadi bola bakso dengan menggunakan tangan, caranya adalah dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas dan ditekan ke arah ibu jari. Adonan yang keluar dari lubang antara ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan kemudian diambil dengan sendok. Selanjutnya bulatan bakso dimasak dengan dua langkah pemasakan yaitu setting (suhu 40 oC) dan cooking (suhu 85-100 oC). Proses cooking dilakukan dengan dua cara yaitu perebusan dan pengukusan. Bakso ikan matang setelah proses cooking selesai. Tujuan penelitian utama adalah untuk menentukan formula bakso ikan HTS terbaik dari masing-masing pemasakan dengan perlakuan pati (tepung tapioka dan
tepung sagu). Untuk menentukan karakteristik bakso yang diinginkan, maka pada setiap perlakuan bakso dianalisis karakteristik fisik dan organoleptiknya dengan menganalisis derajat putih, kekuatan gel, WHC, uji lipat, uji gigit dan uji organoleptik. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 2.
Ikan HTS Formulasi tepung : - Tapioka 10% - Tapioka 7,5% + sagu 2,5% - Tapioka 5% + sagu 5% - Tapioka 2,5% + sagu 7,5% - Sagu 10%
Surimi
-
Garam 2,5% Telur 10% Lada 0,5% Bawang merah 2,5% - Bawang putih 2,5%
Pengadonan
Pengadukan dan pencetakan dengan tangan Perendaman air hangat (20-40 oC) 30-60 menit
Perebusan (85-100 oC sampai bakso mengapung)
Pengukusan ± 7 menit
Bakso ikan
Pengujian : Organoleptik, fisik (gel stength, derajat putih, uji lipat, uji gigit dan WHC) dan kimia (proksimat) Gambar 2. Diagram alir prosedur pembuatan bakso ikan
3.4
Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian meliputi fisik, kimia, dan
sensori/organoleptik. Analisis karakteristik fisik terdiri dari kekuatan gel dan derajat putih untuk surimi dan bakso ikan. Analisis karakteristik kimia daging ikan terdiri dari kadar proksimat, nilai pH dan TVB; untuk surimi terdiri dari kadar air, kadar protein, pH, WHC dan protein larut garam; sedangkan untuk bakso
terdiri
dari
kadar
proksimat
dan
WHC.
Analisis
karakteristik
sensori/organoleptik untuk surimi terdiri dari uji lipat dan uji gigit, sedangkan untuk bakso ikan terdiri dari uji gigit, uji lipat dan uji skoring (skor mutu).
3.4.1
Analisis organoleptik (uji skoring) (Rahayu 1998) Penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan metode
penilaian yang sering digunakan karena dapat digunakan secara cepat dan langsung.
Penerapan penilaian organoleptik dalam praktek nyata disebut uji
organoleptik yang dilakukan sesuai prosedur tertentu. Sistem penilaian organoleptik telah dibakukan dan telah dijadikan alat penilaian di dalam laboratorium. Dalam hal ini, prosedur penilaian memerlukan pembakuan baik dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisis data. Dalam uji organoleptik, indera yang berperan dalam pengujian yaitu indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Selain itu, untuk melakukan uji ini diperlukan panelis.
Panelis dapat digolongkan menjadi
beberapa golongan, yaitu panelis terbatas, panelis terlatih, panelis agak terlatih, panelis tidak terlatih, dan panelis konsumen. Uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik.
Pada uji ini
diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji ini adalah pemberian sutu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu, yaitu penilaian terhadap penampakan, aroma, rasa dan tekstur dari sutu produk, dalam hal ini adalah bakso ikan.
Skala angka dan spesifikasi dari setiap
karakteristik mutu produk sudah dicantumkan dalam score sheet organoleptik. Lembar penilaian (score sheet) bakso ikan (BSN 2006) dapat dilihat pada Lampiran 1.
Metode ini menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah 5 (lima) artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama atau lebih kecil dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar dan tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala angka ini ditujukan dengan spesifikasi masing-masing produk yang dapat memberikan pengertian pada panelis. Panelis pada uji organoleptik ini berjumlah 30 orang semi-terlatih.
3.4.2
Analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap bakso ikan ini adalah uji kekuatan
gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih dan water holding capacity (WHC).
(1)
Uji kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) Kekuatan gel diukur dengan menggunakan Rheoner jenis RE 3305.
Prinsip pengukurannya adalah dengan memberi gaya terhadap sampel yang dianalisis. Alat diseting dengan jarak 400 x 0,01mm, sensitivitas 0,5 V. Sebelum dilakukan pengujian, sampel didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar dengan maksud untuk mendapatkan suhu yang sama dengan suhu kamar karena pengujian dilakukan pada suhu kamar. Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm, diukur dengan probe 5 mm, yang terbuat dari bahan plastik dengan kecepatan pengukuran 0,5 mm/s. Nilai kekuatan gel dihitung dengan rumus: Kekuatan gel (g cm) = {jumlah kotak (grafik) x 25}g x jarak cm
(2)
Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu surimi dan bakso yang
dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 4-5 mm. Potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya retakan pada bakso. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut : 5 : Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran 4 : Sedikit retak jika dilipat seperempat lingkaran
3 : Sedikit retak jika dilipat setengah lingkaran 2 : Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran 1 : Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari-jari tangan
(3)
Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk. Uji ini memberi
taksiran secara subyektif dengan melatih 10 orang panelis. Pengujian dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm dan berdiameter 12 mm. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut : 10 : Amat sangat kuat 9 : Sangat kuat 8 : Kuat 7 : Cukup kuat 6 : Dapat diterima 5 : Dapat diterima, sedikit kuat 4 : Lemah 3 : Cukup lemah 2 : Sangat lemah 1 : Tekstur seperti bubur, tidak ada kekuatan
(4)
Uji derajat putih (Whiteness) (Park 1994 diacu dalam Chaijan et al. 2004) Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu
analisis warna secara obyektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60). Nilai derajat putih atau whiteness dihitung dengan rumus: Derajat putih atau whiteness (%) = 100-[(100-L*)2 + a*2 + b*2]1/2
(5)
Water Holding Capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 diacu dalam Faridah et al. 2006) Prinsip pengujian daya ikat air (Water Holding Capacity) adalah
pengepresan pada tekanan tertentu, air bebas yang terdapat pada daging atau bahan dilepaskan ke kertas saring yang digunakan untuk pengepresan. Cairan yang terpisah membentuk lingkaran pada kertas saring antara air yang terikat dengan air bebas yang dilepaskan akibat perlakuan pengepresan, berbanding terbalik dengan kemampuan bahan untuk mengikat air bebas sebagai akibat dari perlakuan pengepresan atau berbanding terbalik dengan WHC atau daya ikat airnya. Sampel sebanyak 0,3 g diambil dan ditempatkan di atas kertas saring dan ditutup dengan penutupnya. Setelah itu diletakkan pada alat pengepres hidrolik dan ditekan sampai 200 bar atau 200 kg/cm2 selama 5 menit. Luasan lingkaran dari daging diukur, begitu pula luasan lingkaran luar yang terbentuk oleh air. Luasan lingkaran yang terbentuk oleh air bebas merupakan pengurangan dari luasan lingkaran luar dengan luasan lingkaran dalam. Kriteria umum yang digunakan adalah jika luasan lebih kecil dari 6 cm2, maka hanya sekitar 25% air bebas yang dilepaskan pada waktu pengepresan yang berarti daya ikat airnya tinggi, jika luasannya 6-8 cm2 maka daya ikat airnya sedang dan jika luasan air bebasnya lebih dari 8 cm2 maka daya ikat airnya rendah. Perhitungan luasan air bebas adalah sebagai berikut : Luasan air bebas (cm) = luasan lingkaran luar - luasan lingkaran dalam
Jumlah air bebas (mg) =
luas lingkaran air bebas -8 0,0948
Jumlah air sampel = kadar air (%) x berat sampel (mg) WHC dihitung dengan menggunakan rumus : WHC (%) =
Jumlah air sampel - jumlah air bebas x 100% Jumlah air sampel
3.4.3 Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), protein larut garam, pH dan TVB.
(1)
Kadar air (AOAC 1995) Penetuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan
sesudah dikeringkan.
Mula-mula cawan kosong yang akan digunakan
dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 oC atau sampai didapat berat tetap, kemudian didinginkan selam 30 menit dalam desikator, setelah dingin beratnya ditimbang.
Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukkan
kedalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 100 oC sampai 102 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selam 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus :
Kadar air (%) =
B1 - B2 x 100% B
Dimana : B = berat sampel (g) B1 = berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (g) B2 = berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (g)
(2)
Kadar abu (AOAC 1995) Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil
pembakaran bahan organik pada suhu 650 oC. Cawan kosong dipanaskan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur. Secara bertahap suhu tanur dinaikkan hingga mencapai suhu 650 oC hingga diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar abu (%) =
(3)
Berat abu (g) x 100% Berat sampel (g)
Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) Penentuan total nitrogen dan kadar protein menggunakan metode mikro
Kjeldahl. Contoh sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam tabung Kjeldahl 30 ml ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2,5 ml H2SO4, serta beberapa tablet
Kjeldahl.
Contoh dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih
kemudian didinginkan. Isi labu dituangkan ke dalam alat destilasi, labu dibilas sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan yang berasal dari ujung tabung kondensor ditampung pada Erlenmeyer 125 ml berisi larutan 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol dan metil biru 0,2% dalam alkohol 2:1). Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam Erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung berdasarkan kadar N dengan rumus sebagai berikut: Kadar N (%) =
(ml HCl - ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100% mg sampel
Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6,25)
(4)
Kadar lemak (AOAC 1995) Contoh sebanyak 5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring
dan diletakkan pada alat ektsraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta labu lemak dibawahnya.
Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak
secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105 oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar lemak (%) =
(5)
Berat lemak (g) x 100% berat sampel (g)
Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar karbohidrat (%) = 100% - (% air + % abu + % protein + %lemak)
(6)
Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Eryanto 2006) Sampel sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian
dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit pada suhu 10 oC. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring whatmann no.1. Filtrat ditampung dalam erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 oC.
Sebanyak 25 ml
dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah: Kadar PLG (%) =
(A - B) x NHCl x 14,007 x FP x 6,25 x 100% w(g) x 1000
Keterangan : A
= ml titrasi HCl sampel
B
= ml titrasi HCl blanko
W
= berat sampel (g)
(7)
Nilai pH (Suzuki 1981) Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang
dinyalakan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue.
Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan
mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7 dibiarkan beberapa saat hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan stirrer selama 2 menit. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca setelah menunjukkan angka stabil.
(8)
Total volatile base (TVB) (BSN 1998) Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVB contoh adalah senyawa-
senyawa basa volatil (ammonia, mono-, di-, trimetilamin, dll) yang terdapat dalam sampel yang bersifat basa diuapkan. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl 0,02N. Penentuan TVB dilakukan dengan metoda Conway, dimana pertama-tama 25 gram sampel diblender selama 25 menit dengan 75 ml larutan TCA 7%, lalu disaring untuk mendapatkan filtrat yang bening.
Sebanyak 1 ml H3BO3 2%
dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway dan 1 ml filtrat ke outer
chamber sehingga kedua macam larutan bercampur di outer chamber. Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi vaselin agar penutupan sempurna. Pada posisi hampir menutup ditambahkan K2CO3 1:1 (b/v) ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan Conway segera ditutup. Blanko dikerjakan dengan mengganti filtrat dengan 7% TCA dengan prosedur yang sama seperti di atas. Setelah itu, diinkubasi pada suhu 35 oC selama 24 jam. Selanjutnya larutan asam borat yang mengandung sampel atau tidak (blanko) ditetesi 2 tetes indikator (methyl red 0,1% dan bromthymol blue 0,1%; 2:1), kemudian dititrasi dengan larutan HCl sambil diaduk sehingga warnanya berubah menjadi pink. Kadar TVB dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar TVB (mgN/100g) =
(i - j) x NHCl x 14,007 x FP x 100 Berat sampel (g)
Keterangan : i
= volume titrasi sampel (ml)
j
= volume titrasi blanko (ml)
FP = faktor pengenceran
3.5
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk menghitung data penelitian
ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 kali ulangan pada penelitian pendahuluan dan rancangan acak lengkap (RAL) pada penelitian utama. Analisis data parametrik yang digunakan untuk penelitian pendahuluan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 2 kali ulangan. Perlakuan konsentrasi H2O2 (A): A1 = konsentrasi H2O2 0 ppm A2 = konsentrasi H2O2 10 ppm A3 = konsentrasi H2O2 20 ppm A4 = konsentrasi H2O2 30 ppm Perlakuan frekuensi pencucian (B): B1 = frekuensi pencucian 1 kali
B2 = frekuensi pencucian 2 kali B3 = frekuensi pencucian 3 kali Model rancangan acak lengkap pola faktorial (Steel dan Torrie 1991) adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εijk Keterangan : Yijk
= respon dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ
= rataan umum populasi
Ai
= pengaruh dari faktor A taraf ke-i
Bj
= pengaruh dari faktor B taraf ke-j
ABij
= pengaruh dari interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
εijk
= pengaruh dari sisa perlakuan pada ulangan ke-k dalam kombinasi perlakuan Apabila hasil analisis ragam yang diperoleh menunjukkan adanya interaksi
berbeda nyata, maka dilakukan analisis lanjutan untuk mengetahui perlakuan mana yang paling berpengaruh pada percobaan. Jika interaksi tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata tetapi ada pengaruh yang nyata pada perlakuan A maupun B, selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan. Rumus uji lanjut Duncan adalah :
Rp = q
( Σp;dbs;α )
kt s r
Keterangan : Rp
= nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan
q
= perlakuan
dbs
= derajat bebas
kts
= jumlah kuadrat tengah
r
= ulangan Analisis data parametrik yang digunakan untuk penelitian utama adalah
rancangan acak lengkap dengan 2 kali ulangan. Perlakuan jenis tepung : A = tepung tapioka 10% B = tepung sagu 10%
C = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% D = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% E = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% Model rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1991) adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + εij Keterangan : Yij
= pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= rataan umum populasi
τi
= pengaruh perlakuan ke-i
εij
= pengaruh dari sisa perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (anova). Perbedaan
nyata akan diuji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Analisis data non-parametrik yang dilakukan untuk pengujian organoleptik dengan skala mutu menggunakan uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparisons untuk melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Panelis yang digunakan tergolong kedalam panelis semi terlatih untuk memberikan penilaian mengenai tingkat kesukaan dan ketidaksuakaan terhadap produk yang dihasilkan yaitu sebanyak 30 orang. Perhitungan uji Kruskal Wallis : 2
H=
R 12 + ∑ ( i ) - 3(n + 1) n + (n + 1) ni
H' =
H pembagi
Pembagi = 1 -
∑T (n - 1) n (n + 1)
dengan T = (t-1)(t+1)
Keterangan : n
= jumlah total data
Ni
= jumlah panelis
Ri
= ranking
T
= suku yang sama dalam 1 perlakuan
x
= nilai total
H
= simpangan baku
Untuk mendapatkan keputusan, x2 hitung dibandingkan dengan x2 tabel, cara mencari x2 tabel adalah sebagai berikut : (a) mencari derajat bebas dengan rumus dimana : db = derajat bebas (p-1) p = banyaknya perlakuan (b) untuk mendapatkan nilai x2 tabel digunakan data tabel Jika hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji lanjut Multiple Comparisons dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991): Rumus uji lanjut Multiple Comparisons :
Ri − R j >< Zα 2p (N + 1) k/6 Keterangan :
R i = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i
R j = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j K = banyaknya ulangan N = jumlah total data
p = k (k+1)/2
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Analisis kimia terhadap campuran daging ikan HTS meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak), protein larut garam, TVB dan nilai pH. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui tingkat kesegaran dan kandungan kimia awal daging ikan sebelum dilakukan pengolahan.
Hal ini
mengingat bahwa tingkat kesegaran dan komposisi kimia ikan sangat berpengaruh terhadap karakteristik surimi sebagai bahan baku bakso ikan. Komposisi kimia daging ikan HTS disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi kimia daging ikan HTS
Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein kasar (%) Kadar lemak (%) pH TVB (mg N/100g) Protein larut garam (%)
Komposisi kimia 75,84 ± 0,65 1,17 ± 0,11 16,74 ± 1,09 0,69 ± 0,06 6,60 ± 0,02 18,42 ± 0,00 4,13 ± 0,00
Menurut Junianto (2003), ikan yang tergolong berlemak rendah dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20% dan kandungan lemak lebih kecil dari 5%. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan berprotein tinggi dan berlemak rendah. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan produk lainnya terletak pada kelengkapan komposisi asam aminonya dan kemudahannya untuk dicerna.
Protein yang mudah dicerna
(dihidrolisis) oleh enzim-enzim pencernaan, serta mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap serta dalam jumlah yang seimbang, merupakan protein yang bernilai gizi tinggi. Protein yang tinggi (16,74%) dan lemak yang rendah (0,69%) menjadikan daging ikan HTS tepat untuk diolah menjadi surimi. Selain itu, nilai pH ikan HTS ini adalah 6,60 yang menunjukkan bahwa ikan tersebut berada dalam kondisi segar karena nilai pH-nya mendekati pH netral
atau berada pada kondisi rigormortis.
Menurut Junianto (2003), pada fase
rigormortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2. Berdasarkan tingkat kesegarannya, ikan HTS yang digunakan memiliki nilai Total Volatile Base (TVB) sebesar 18,42 mg N/100g. Nilai ini menunjukkan bahwa ikan HTS tersebut berada dalam kondisi yang segar. Tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan nilai TVB dikelompokkan menjadi empat, yaitu ikan sangat segar dengan TVB maksimum 10 mg N/100g, ikan segar dengan kadar TVB 10-20 mg N/100g, ikan yang berada pada garis batas kesegaran ikan yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVB 20-30 mg N/100g dan terakhir ikan yang busuk dan tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVB lebih besar dari 30 mg N/100g (Ferber 1965). Protein miofibril merupakan protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein regulasi yaitu gabungan dari aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomisin (Suzuki 1981). Nilai protein larut garam (PLG) ikan HTS ini adalah 4,13%.
4.2 Karakteristik Surimi Ikan HTS Surimi merupakan istilah dalam Bahasa Jepang untuk daging lumat dan jaringan ikan yang dicuci.
Produksi surimi secara komersial dibuat dengan
menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali) dengan air atau larutan garam. Proses pencucian menghilangkan sebagian besar komponen yang larut dalam air, darah (pigmen), dan lemak (Nakai dan Modler 2000). Surimi ikan HTS dibuat dengan perlakuan frekuensi pencucian dan konsentrasi H2O2. Pencucian daging ikan dengan air merupakan tahap penting dalam proses pengolahan surimi. o
surimi berkisar antara 5-10 C.
Suhu air yang digunakan untuk pencucian Pencucian dalam pembuatan surimi selain
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peningkatan gel juga untuk meningkatkan kualitas warna dan aroma. Dengan pencucian akan menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel dan akan meningkatkan kandungan protein miofibril (Suzuki 1981). Selain itu, penggunaan
suhu rendah dalam proses pencucian surimi air sangat diperlukan karena dapat menghambat denaturasi protein.
4.2.1 Karakteristik fisik surimi ikan HTS Analisis fisik yang dilakukan terhadap surimi ikan HTS yang dihasilkan melalui perlakuan frekuensi pencucian serta penambahan konsentrasi H2O2 adalah: kekuatan gel, derajat putih, dan water holding capacity (WHC). Data lengkap hasil uji analisis fisik surimi ikan HTS dapat dilihat pada Lampiran 2.
(1) Kekuatan gel Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981). Tujuan dari pencucian pada daging ikan lumat adalah untuk memisahkan daging lumat dari bahan yang larut dalam air, lemak dan darah untuk memperbaiki warna dan flavor juga untuk meningkatkan kekutan gel pada surimi (Toyoda et al. 1992). Hasil analisis kekuatan gel surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 3. 500
457.5a
457.5a
Kekuatan gel (g.cm)
450 400 350
402.5a 277.5a
342.5a
432.5a
435a 367.5a
360a 312.5a
300
312.5a
242.5a
250 200 150 100 50 0 0
10
20
30
Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm) Frekuensi pencucian 1 kali
Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 3. Diagram batang nilai kekuatan gel surimi ikan HTS Nilai kekuatan gel rata-rata surimi campuran ikan HTS berkisar antara 242,5 g.cm sampai dengan 457,5 g.cm.
Kekuatan gel pada surimi dengan
frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan hidrogen peroksida dan surimi dengan frekuensi pencucian 1 kali dengan penambahan hidrogen peroksida 10 ppm memiliki nilai yang sama yaitu 457,5 g.cm yang merupakan nilai kekuatan gel tertinggi pada surimi ikan HTS.
Hal ini menunjukkan bahwa proses
pencucian surimi dengan menggunakan air cukup efektif dan memiliki kemampuan yang sama dalam menghasilkan kualitas gel yang baik dibandingkan dengan surimi yang proses pencuciannya menggunakan hidrogen peroksida. Hal ini terkait dengan kondisi bahan baku ikan HTS yang digunakan untuk membuat surimi berada pada rigormortis (pH 6,6) yaitu kondisi saat terbentuk kompleks aktomiosin yang merupakan kondisi paling baik untuk ikan yang akan dibuat surimi. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Patcharat et al. (2005), bahwa penambahan hidrogen peroksida mampu menghasilkan nilai kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi yang hanya dicuci dengan air, karena kondisi ikannya sudah jauh menurun atau kurang segar. Hasil analisis ragam (Lampiran 3), menunjukkan bahwa faktor konsentrasi hidrogen peroksida, faktor frekuensi pencucian dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kekuatan gel surimi campuran ikan HTS. Hal ini disebabkan karena hidrogen peroksida yang ditambahkan pada air pencuci surimi terurai menjadi air. Menurut Skuler (2007), H2O2 larut dengan sangat baik dalam air. Pada saat mengalami dekomposisi hidrogen peroksida terurai menjadi air dan gas oksigen. Kekuatan gel surimi ikan HTS cukup tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Haetami (2008) yaitu surimi yang dihasilkan dari campuran tetelan ikan kakap dan daging ikan layang dengan proses pencucian yang dilakukan terhadap ikan layang menggunakan alkali memiliki kekuatan gel berkisar antara 167,50 sampai 243,95 g.cm; dan surimi hasil penelitian Yasin (2005) yang dihasilkan dari campuran ikan cucut dan ikan pari yang berkisar antara 177,915 sampai 209,290 g.cm.
(2) Derajat putih Pada proses pembuatan surimi, mioglobin memainkan peranan penting pada warna atau derajat putih surimi karena derajat putih merupakan salah satu
faktor paling penting dalam menentukan kualitas surimi (Chen 2002 diacu dalam Jin et al. 2007). Surimi bermutu tinggi dengan derajat putih yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan memisahkan daging gelap. Kandungan mioglobin yang rendah lebih baik daripada daging yang kandungan mioglobinnya tinggi untuk mutu surimi (Ochiai et al. 2001 diacu dalam Jin et al. 2007). Warna surimi dapat diperbaiki dengan meningkatkan siklus atau frekuensi pencucian dan waktu pencucian (Kim et al. 1996 diacu dalam Jin et al. 2007). Proses pencucian dengan perbandingan air dan daging 3 : 1 mampu menghilangkan bau dan warna abu-abu pada daging ketika red hake fillet diuji (Toyoda et al. 1992). Hasil analisis derajat putih surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 4.
Derajat putih (%)
30 25
26.34 a 23.57 22.50 a
a
24.84 22.16 a
25.02 a
a
25.05 a 23.23 a 23.23 a
27.14 a 25.50 a a 24.48
20 15 10 5 0 0
10
20
30
Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm) Frekuensi pencucian 1 kali
Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 4. Diagram batang nilai derajat putih surimi ikan HTS Kisaran rata-rata nilai derajat putih yang dihasilkan dari surimi ikan HTS adalah 22,16% - 27,14%. Hasil analisis ragam (Lampiran 4), menunjukkan bahwa faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2), faktor frekuensi pencucian dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai derajat putih surimi ikan HTS. Hal ini disebabkan kemampuan air dingin dan air dingin yang ditambah dengan hidrogen peroksida sebagai air pencuci untuk pembuatan surimi memiliki kemampuan yang sama dalam menghilangkan komponen-komponen yang dapat menghambat proses
pembentukan gel dan warna.
Komponen-komponen tersebut seperti protein
sarkoplasma, lemak dan heme protein. Heme protein merupakan protein yang terdapat pada darah (hemoglobin) dan daging merah (mioglobin) (Lanier 2000 dalam Jafarpour et al. 2008). Derajat putih surimi ikan HTS (22,16% - 27,14%) lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Haetami (2008) yaitu surimi yang dihasilkan dari campuran tetelan ikan kakap dan daging ikan layang dengan proses pencucian yang dilakukan terhadap ikan layang menggunakan alkali memiliki nilai derajat putih berkisar antara 19,75% sampai 35,05%; dan surimi hasil penelitian Yasin (2005) yang dihasilkan dari campuran ikan cucut dan ikan pari yang berkisar antara 32,50% sampai 41,10%. Hal ini disebabkan nilai pH yang rendah yang menyebabkan denaturasi protein yang cukup tinggi. Rawdkuen
et al. (2008) melaporkan bahwa denaturasi protein yang tinggi pada tilapia terjadi karena perubahan nilai pH terutama pada kondisi asam. Pemisahan komponen
heme protein (hemoglobin pada darah dan mioglobin pada daging merah) dari daging selama proses pemurnian tergantung dari pemeliharaan heme protein itu sendiri yaitu pada kondisi tidak terjadi denaturasi. Jika komponen heme protein terdenaturasi, warna surimi akan menjadi gelap karena terjadi pengikatan antara
heme protein dan protein miofibril (Lanier 2000 dalam Jafarpour et al. 2008).
(3) Water holding capacity (WHC) Daya mengikat air (WHC) protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar misalnya pemotongan daging, penggilingan dan tekanan. Menurut Offer dan Knight (1988), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya mengikat air daging antara lain spesies, umur, fungsi otot, pH dan pemanasan. Daya mengikat air tersebut dipengaruhi oleh kualitas daging. Secara umum daging yang berkualitas baik adalah daging yang memiliki daya mengikat yang lebih tinggi. Hasil analisis WHC surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai WHC rata-rata surimi beberapa ikan HTS berkisar antara 52,12% sampai 70,08%. Hasil analisis ragam (Lampiran 5a), menunjukkan bahwa faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) dan interaksi antara faktor konsentrasi
hidrogen peroksida dan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05), sedangkan faktor frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai WHC surimi ikan HTS. 80 70
WHC (%)
60
61.42
a
57.12 a 52.12 a
65.45 a 62.73 a 53.52 a
65.04 a a 59.1057.76 a
70.08 a 63.59 a 56.24 a
50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm) Frekuensi pencucian 1 kali
Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 5. Diagram batang nilai WHC surimi ikan HTS Surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali memperoleh nilai WHC paling rendah dan melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 5b), surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali ini berbeda nyata dengan frekuensi pencucian 1 dan 3 kali. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan protein miofibril dalam mengikat air. Masuknya air ke dalam jaringan disebabkan oleh penggelembungan protein miofibril. Protein miofibril mempunyai daya ikat air yang tinggi yaitu sekitar 97% (Pomeranz 1991).
Pada frekuensi pencucian 2 kali sebagian kecil protein
miofibril ikut terlarut dalam air pencuci. Pada proses pencucian, sebagian besar protein sarkoplasma dengan mudah terlarut dan terbuang ketika proses pencucian pertama, pada pencucian kedua, sisa protein sarkoplasma terus terbuang dan sejumlah kecil dari miosin, aktin, troponin dan tropomiosin juga ikut terbuang (Lin dan Park 1995 diacu dalam Morissey et al. 2000). Oleh karena itu, nilai WHC yang rendah pada surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali disebabkan adanya protein miofibril yang ikut terlarut dalam air, sedangkan nilai WHC pada surimi dengan frekuensi pencucian 3 kali dipengaruhi oleh sifat hidrofilik daging ikan. Menurut Suzuki (1981) pencucian yang berulang-ulang pada umumnya
dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang. Nilai WHC yang dihasilkan dari surimi ikan HTS ini hampir sama (52,1270,10%) jika dibandingkan dengan nilai WHC dari surimi campuran tetelan daging kakap dan daging ikan layang dengan proses pencucian yang dilakukan terhadap ikan layang menggunakan alkali, yang berkisar 57,79% sampai 65,75% (Haetami 2008); serta lebih tinggi dari nilai WHC surimi campuran ikan cucut dan ikan pari sebesar 31,15%-33,60% (Yasin 2005).
4.2.2 Karakteristik kimia surimi ikan HTS Analisis kimia yang dilakukan terhadap surimi ikan HTS yang dihasilkan melalui perlakuan frekuensi pencucian serta penambahan konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) adalah : kadar air, kadar protein dan pH. Data lengkap hasil uji analisis kimia analisis kimia surimi ikan HTS dapat dilihat pada Lampiran 6.
(1) Kadar air Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan.
Semua bahan
makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati.
Kandungan air dalam bahan makanan ikut
menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno 1997). Hasil analisis kadar air surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 6. Kadar air surimi yang dihasilkan melalui pencucian daging ikan HTS berkisar antara 74,75 sampai 79,04%. Kandungan air yang optimum pada surimi agar menghasilkan gel yang baik adalah 78% (Lanier 1992). Pada surimi hasil pencampuran antara surimi yang bermutu tinggi dengan yang bermutu rendah, kandungan airnya berkisar antara 73–80%, dengan atau tanpa penambahan pati. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran kandungan air yang terdapat pada surimi campuran beberapa ikan HTS sesuai dengan yang diungkapkan Lanier (1992).
90 80
78.61 a 76.4275.40 a
a
a 78.12 a a 74.75 75.22
a 79.04 a a 74.8876.31
10
20
76.15 a77.84 a 75.71 a
Kadar air (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 0
30
Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm) Frekuensi pencucian 1 kali
Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 6. Diagram batang kadar air surimi ikan HTS Hasil analisis ragam (Lampiran 7a) menunjukkan bahwa faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05), sedangkan faktor frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap kadar air surimi ikan HTS. Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 7b), diketahui bahwa frekuensi pencucian 3 kali berbeda nyata dengan frekuensi pencucian 1 dan 2 kali. Surimi dengan frekuensi pencucian 3 kali mempunyai kadar air yang paling tinggi dibandingkan dengan frekuensi pencucian 1 dan 2 kali. Menurut Suzuki
(1981)
pencucian
yang
berulang-ulang
pada
umumnya
dapat
meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang.
(2) Kadar protein Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu protein yang mudah larut, tidak dapat larut dan protein yang sukar larut. Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging, yaitu protein sarkoplasma, myofibrillar dan protein jaringan pengikat (stroma).
Sedangkan berdasarkan
fungsinya yaitu protein penyusun sel dan jaringan serta protein pembentuk atau pembuat enzim, koenzim dan hormon (Hadiwiyoto, 1993). Hasil analisis kadar protein surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 7.
Pada proses pencucian, suhu air yang digunakan harus berkisar antara 3 sampai 10 oC. Suhu air yang tepat mampu menjaga kestabilan fungsional protein miofibril terhadap panas. Jika melebihi suhu toleransi (>10 oC) akan terjadi penurunan protein miofibril yang akan mempengaruhi pembentukan gel (Toyoda
et al. 1992). 18
Kadar protein (%)
16 14
14.62a 14.40a a 13.78
16.08a 15.47a
a
14.40
a
15.03a
14.06a 11.91a
15.39a 16.04 15.25a
12 10 8 6 4 2 0 0
10
20
30
Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm) Frekuensi pencucian 1 kali
Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 7. Diagram batang kadar protein surimi ikan HTS Berdasarkan Gambar 7, hasil pengujian rata-rata kadar protein surimi ikan HTS adalah 11,91% - 16,08%. Hasil analisis ragam (Lampiran 8), menunjukkan bahwa faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2), faktor frekuensi pencucian dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap kadar protein surimi ikan HTS.
Hal ini
disebabkan kemampuan air dingin dan air dingin yang ditambah dengan hidrogen peroksida sebagai air pencuci untuk pembuatan surimi memiliki kemampuan yang sama dalam menghilangkan komponen-komponen yang dapat menghambat proses pembentukan gel dan warna.
Komponen-komponen tersebut seperti protein
sarkoplasma, lemak dan pigmen atau heme protein. Heme protein merupakan protein yang terdapat pada darah (hemoglobin) dan daging merah (mioglobin) (Lanier 2000 dalam Jafarpour et al. 2008). Nilai kadar protein surimi HTS yang dihasilkan mengalami penurunan dari protein ikan sebelum dibuat surimi.
Hal ini terjadi karena larutnya protein
sarkoplasma pada saat proses pencucian. Fraksi protein sarkoplasma (protein larut air) berkisar 20 – 30% dari protein total pada ikan dan sebagian besar hilang atau terbuang pada saat pembuatan surimi yaitu pada proses pencucian (Foegeding et al. 1996). Selain itu, protein miofibril pada daging putih ikan juga dapat larut dalam air (Wu dan Lin 1995 diacu dalam Morissey et al. 2000). Sebagian besar protein sarkoplasma mudah terlarut dan terbuang ketika proses pencucian pertama. Pada pencucian kedua, sisa protein sarkoplasma terus terbuang dan sejumlah kecil dari miosin, aktin, troponin dan tropomiosin juga ikut terbuang (Lin dan Park 1995 diacu dalam Morissey et al. 2000).
(3) Nilai pH Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan gel dari surimi. Gel yang elastis tidak dapat dibentuk jika daging ikan berada pada kisaran di luar pH 6-8 (Shimizu et al. 1992). Kelarutan protein miofibril dalam pembentukan gel sangat dipengaruhi oleh pH. Protein miofibril menjadi tidak stabil pada kondisi asam (pH<6). Aktomiosin lebih stabil pada pH 7, dan kestabilan aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel (Suzuki 1981). Hasil analisis pH surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 8. 6
5.3 a 5.3 a 5.2 a
a a 5.2 a 5.4 5.3
Nilai pH
5
5.0 a 5.0 a
4.8 a 4.7 a 4.9 a
4.6 a
4 3 2 1 0 0
10
20
30
Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm) Frekuensi pencucian 1 kali
Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 8. Diagram batang nilai pH surimi ikan HTS
Nilai pH rata-rata surimi campuran ikan HTS berkisar antara 4,65 sampai 5,35. Hasil analisis ragam (Lampiran 9a), menunjukkan bahwa faktor frekuensi pencucian dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05), sedangkan faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai pH surimi ikan HTS. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa surimi dengan penambahan konsentrasi H2O2 sebesar 0 dan 10 ppm berbeda nyata dengan 20 dan 30 ppm. Pada konsentrasi hidrogen peroksida yang tinggi, nilai pH surimi yang dihasilkan berada pada kondisi yang semakin asam. Nilai pH yang rendah dapat menyebabkan denaturasi protein yang cukup tinggi. Rawdkuen et al. (2008) melaporkan bahwa denaturasi protein yang tinggi pada tilapia terjadi karena perubahan nilai pH terutama pada kondisi asam. Kondisi pH yang asam dapat memicu beberapa enzim menjadi aktif, salah satunya adalah katepsin-L.
Pada kondisi asam, dihasilkan nilai breaking force yang
rendah disebabkan oleh aktivitas enzim katepsin-L (Choi dan Park 2002 diacu dalam Rawdkuen et al. 2008). Pada kondisi pH yang asam (pH 5,5), aktivitas katepsin-L semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi NaCl di atas 0,2 M (Hu et al. 2008). Katepsin-L diketahui mempunyai aktivitas hidrolisis kuat terhadap protein secara luas (miosin, aktin, nebulin, protein sitosilat, kolagen dan elastin) pada hewan terestrial (Etheringthon et al. 1990 dalam Hu et al. 2008) katepsin L mampu mendegradasi kompleks AM (aktomiosin) pada ikan mackerel yang menyebabkan pelunakan gel surimi (Jiang et al. 1996 diacu dalam Hu et al. 2008).
4.3 Karakteristik Bakso dari Surimi Ikan HTS Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995a). Bakso ikan yang dibuat dalam penelitian ini adalah bakso yang menggunakan surimi ikan HTS dengan frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan hidrogen peroksida. Selain itu pati yang digunakan sebagai bahan pengisi adalah tepung tapioka dan tepung sagu yang merupakan perlakuan
yaitu dicampurkan secara tunggal atau kombinasi dari keduanya dengan konsentrasi total 10% untuk setiap formulasi pati. Penambahan pati sebanyak 10% ini merupakan konsentrasi maksimal untuk produk berbahan dasar surimi karena ketika pati yang ditambahkan lebih dari 10% pada surimi, pati akan menghambat pembentukan gel protein ikan karena berkompetisi untuk mengikat air (Park 2000).
Proses pemasakan yang digunakan ada dua macam yaitu
perebusan dan pengukusan. Proses ini dilakukan pada tahap cooking (85-100 oC) dimana tahap ini merupakan rangkaian dari proses pembentukan gel untuk produk-produk yang berbahan dasar surimi. Berdasarkan karakterisasi yang dilakukan terhadap surimi dari campuran ikan HTS, maka frekuensi pencucian dua kali tanpa penambahan hidrogen peroksida (H2O2) merupakan pencucian yang terbaik dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena nilai kekuatan gel tertinggi diperoleh pada pencucian 2 kali tanpa penambahan H2O2.
4.3.1 Penilaian organoleptik bakso ikan HTS Soekarto (1985) menyebutkan bahwa uji organoleptik adalah menilai sutu produk dengan menggunakan alat indera penglihatan, pencicip, pembau dan indera pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui penerimaan panelis/konsumen terhadap suatu produk. Penilaian organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu dari suatu produk bertujuan untuk memberikan suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik atau mutu dari suatu produk, yaitu penilaian terhadap penampakan, aroma, rasa dan tekstur (dalam hal ini bakso ikan). Pada uji ini diberikan penilaian terhadap mutu organoleptik dalam suatu jenjang mutu (Rahayu 1998).
Skala angka dan spesifikasi setiap karakteristik produk
dicantumkan dalam lembar penilaian (score sheet) organoleptik dengan nomor SNI 01-2346-2006 untuk bakso ikan (BSN 2006). Lembar penilaian bakso ikan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan data lengkap hasil uji organoleptik bakso ikan dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11.
(1) Penampakan Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting, karena merupakan sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Bila kesan penampakan produk baik atau disukai, maka konsumen baru akan melihat sifat sensoris yang lainnya (aroma, rasa, tekstur dan seterusnya). Meskipun penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk dengan bentuk rapi, bagus dan utuh pasti lebih disukai konsumen dibandingkan dengan produk yang kurang rapi dan tidak utuh (Soekarto 1985). Hasil uji organoleptik terhadap
Penampakan
parameter penampakan bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 9. 9 a 8 a 6,77 6,47a 7 6,13 6,03a 5,87a 6 5 4 3 2 1 0 A B C D E
7,37c 4,93a
5,73a
A
Rebus
B
C
6,50b 6,53bc
D
E
Kukus Formulasi tepung
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 9. Diagram batang penampakan bakso ikan HTS Paremeter penampakan bakso ikan HTS dengan formulasi tepung tapioka dan tepung sagu yang dimasak dengan cara perebusan memperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara 5,87 sampai dengan 6,77.
Hasil uji Kruskal-Wallis
(Lampiran 12) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan bakso ikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung pada bakso yang direbus mampu menghasilkan bentuk dan warna yang seragam.
Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan bakso ikan HTS yang dikukus adalah 4,93 sampai 7,37 dengan nilai penampakan tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (7,37) sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (4,93). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 13a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter penampakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi penilaian panelis terhadap parameter penampakan adalah warna bakso ikan. Penampakan atau warna bakso ikan dipengaruhi oleh derajat putih dari masing-masing pati yang digunakan. Derajat putih tepung tapioka adalah 9294,5% (BSN 1994), sedangkan tepung sagu mempunyai derajat putih 73,22% (Saripudin 2006). Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 13b) menunjukkan bahwa penampakan bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% tidak berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung sagu 10%, tetapi berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Hal ini disebabkan bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% mempunyai bentuk bulat beraturan, seragam, sedikit berongga, dan warna lebih menarik; sehingga bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% lebih disukai dan diterima oleh panelis daripada bakso lainnya.
Hal tersebut diduga karena
keseimbangan komposisi tepung tapioka dan tepung sagu yang ditambahkan untuk pembuatan bakso ikan HTS ini memberikan warna yang cerah dan menarik serta menghasilkan bentuk bulat yang beraturan sehingga mendapat apresiasi penilaian penampakan yang tinggi dari panelis.
(2) Aroma Aroma dalam banyak hal menentukan enak atau tidaknya makanan, bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks daripada cicip atau rasa, dan kepekaan indera pembauan lebih tinggi daripada indera pencicipan.
Industri
pangan bahkan menganggap sangat penting terhadap uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil apakah produk disukai atau tidak (Soekarto 1985).
Bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus.
Produksi senyawa-senyawa aroma sangat ditentukan oleh komposisi
kimia dari produk itu sendiri, enzim-enzim yang terlibat didalamnya, maupun bekteri yang terlibat dalam senyawa tersebut (Winarno 1997).
Hasil uji
organoleptik terhadap parameter aroma bakso ikan HTS dapat dilihat pada
Aroma
Gambar 10. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
a
7,27c
6,33
A
B
6,60ab
7,10bc
C
D
a
6,27
b 7,23b 7,53 7,23b 7,3b a
6,17
E
A
Rebus
B
C
D
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 10. Diagram batang aroma bakso ikan HTS Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter aroma bakso ikan HTS yang direbus berkisar antara 6,27 sampai dengan 7,27. Nilai aroma tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% (7,27), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung sagu 10% (6,27). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 14a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis dalam penilaian aroma bakso ikan. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 14b) menunjukkan bahwa aroma bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5%
berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung sagu 10% dan dengan formulasi tepung tapioka 10%, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% mempunyai spesifikasi aroma yang tidak amis, spesifik bakso ikan sedikit berkurang; sedangkan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% atau tepung sagu 10% mempunyai aroma spesifik bakso ikan berkurang. Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap aroma bakso ikan HTS yang dikukus adalah 6,17 sampai 7,53 dengan nilai aroma tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (7,53), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (6,17). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 15a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter aroma.
Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 15b)
menunjukkan bahwa aroma bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% hanya berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10%, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Perubahan flavor disebabkan oleh panas yang sebagian hilang dari bahan yang mudah menguap, karamelisasi karbohidrat, dekomposisi protein dan lemak serta koagulasi protein. Perubahan flavor akan lebih besar pada daging yang dimasak terlalu lama (Dawson 1959 diacu dalam Mountney 1966). Bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 10% baik yang direbus maupun yang dikukus memiliki spesifikasi aroma bakso ikan berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka dapat menutupi aroma ikan. Berbeda halnya dengan bakso ikan yang dibuat dengan formulasi tepung yang lain, aroma bakso ikan yang timbul masih cukup kuat.
Aroma yang timbul
disebabkan oleh adanya komponen volatil yang terbentuk pada proses pemanasan dari bahan utama dan bumbu-bumbu. Berbagai peptida-peptida dan asam amino bebas serta asam lemak bebas seringkali dikaitkan dengan rasa dan aroma daging ikan.
Senyawa-senyawa lain yang berperan dalam bau/aroma ikan adalah
senyawa belerang atsiri, hidrogen sulfida, metil merkaptan, metil disulfida dan gula yaitu ribose, glukosa dan glukosa 6 fosfat (deMan 1997). Aroma yang muncul juga disebabkan oleh bumbu-bumbu seperti bawang putih yang
memberikan aroma dan bau yang kuat yang berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Bawang merah juga mempunyai aroma yang kuat dari komponen volatil. Kompoen volatil ini akan muncul bila sel pecah sehingga terjadi antara enzim liase dan komponen flavor seperti metil dan turunan propil (Lewis 1984).
(3) Rasa Peramuan rasa ialah suatu sugesti kejiwaan terhadap makanan yang menentukan nilai pemuasan orang yang memakannya. Bagi seseorang yang sudah sejak kecil mengenal suatu jenis makanan dapat menikmati rasa enak makanan tersebut, sebaliknya orang yang belum mengenal makanan yang sama, tidak akan memberikan apresiasi terhadap rasa makanan yang bersangkutan bahkan mungkin menganggap makanan yang menjijikkan (Soekarto 1985). Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan pada keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun parameter penilaian yang lain lebih baik, tetapi jika rasanya tidak enak atau tidak disukai maka produk akan ditolak. Hasil
Rasa
uji organoleptik parameter rasa bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 11. 9 8 6,80a 6,40a 6,83a 6,53a 7 5,93a 6 5 4 3 2 1 0 A
B
C
D
E
7,00c 7,00c
bc
6,30b 6,67
5,03a
A
Rebus
B
C
D
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 11. Diagram batang rasa bakso ikan HTS
Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap rasa bakso ikan HTS yang direbus berkisar antara 5,93 sampai 6,83. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 16) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso ikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan HTS yang direbus bersifat netral sehingga penilaian rasa oleh panelis tidak berbeda nyata. Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap rasa bakso ikan HTS yang dikukus adalah 5,03 sampai 7,00 dengan nilai rasa tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (7,00), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (5,03).
Hasil uji
Kruskal-Wallis (Lampiran 17a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter rasa.
Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 17b)
menunjukkan bahwa rasa bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Bakso yang dibuat dengan menambahkan tepung tapioka dan tepung sagu memberikan rasa yang enak dan spesifik rasa ikannya. Lain halnya dengan bakso ikan yang hanya ditambahkan tepung tapioka dalam formulasinya sehingga mendapatkan penilaian yang rendah dari panelis karena menghasilkan rasa yang kurang enak dan rasa ikannya berkurang. Rasa gurih mempunyai kecenderungan yang sama dengan rasa umami. Yamaguchi (1987) menyatakan bahwa cita rasa gurih yaitu rasa umami pada produk dari laut dan produk daging ditimbulkan oleh senyawa monosodium
glutamate, (MSG) dan 5’ nukleotida seperti 5”-inosine monophosphate (IMP) dan 5’-guanosine monophosphate GMP).
(4) Tekstur Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Ciri yang sering dijadikan acuan adalah kekerasan, kekohesifan dan kandungan air (deMan 1997).
Penilaian terhadap tekstur bakso ikan sangat
dipengaruhi oleh kekuatan gel yang dihasilkan. Penilaian tekstur bakso ikan atau
produk-produk gel ikan lainnya bertujuan untuk mengetahui
tingkat
kekenyalannya. Hal ini perlu dilakukan karena bakso ikan merupakan salah satu produk fish jelly yang kriteria mutu utamanya menuntut adanya kelenturan dan kekenyalan tertentu (BBPMHP 1987). Hasil uji organoleptik terhadap parameter
Tekstur
tekstur bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 12. 9 7,57c 8 b b 6,57 6,37 7 a 5,57a 5,43 6 5 4 3 2 1 0 A
B
C
D
E
c
7,73c
6,87c
6,90
5,07b 3,13a
A
Rebus
B
C
D
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 12. Diagram batang tekstur bakso ikan HTS Berdasarkan Gambar 12, hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter tekstur bakso ikan HTS yang direbus berkisar antara 5,43 sampai 7,57. Nilai tekstur tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (7,57), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (5,43).
Hasil uji
Kruskal-Wallis (Lampiran 18a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso ikan. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 18b) menunjukkan bahwa tekstur bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% berbeda nyata formula bakso lainnya. Bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% mempunyai spesifikasi
tekstur yang padat, kompak dan agak kenyal; sedangkan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% atau tepung sagu 10% mempunyai tekstur bakso yang kurang padat, kurang kompak dan kurang kenyal. Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur bakso ikan HTS yang dikukus adalah 3,13 sampai 7,73 dengan nilai tekstur tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (7,73) sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (3,13). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 19a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat penilaian panelis pada parameter tekstur.
Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 19b)
menunjukkan bahwa tekstur bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% mempunyai spesifikasi tekstur yang padat, kompak dan agak kenyal; sedangkan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% mempunyai tekstur bakso yang agak lembek dan tidak kenyal. Menurut Wibowo (2006), tekstur produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata ke seluruh bagian masa daging, memudahkan ektraksi protein dari daging dan membantu dalam pembentukan emulsi. Selain itu, tekstur pada bakso juga dipengaruhi oleh ukuran granula pati. Diameter granula pati sagu adalah sekitar 16-25,4 µm, sedangkan granula tapioka sekitar 10,1-20 µm (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Semakin besar ukuran granula pati, maka kemampuan membengkaknya akan semakin tinggi. Hal ini mempengaruhi sifat tekstur bakso ikan.
4.3.2 Karakteristik fisik bakso ikan HTS Analisis karakteristik kimia bakso ikan dari campuran beberapa ikan HTS dengan perlakuan formulasi pati (tepung tapioka dan tepung sagu) meliputi
kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih dan water holding capacity (WHC). Data lengkap hasil uji karakteristik fisik bakso ikan dari surimi ikan HTS dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21.
(1) Kekuatan gel Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981). Hasil analisis kekuatan gel bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 13.
Kekuatan gel (g.cm)
600
502,5b
500 400
322,5
a
247,5
300 200
427,5a 371,25a
296,25 a
288,75a
a
382,5a
225 a
187,5a
100 0 A
B
C
D
E
A
B
Rebus
C
D
E
Kukus Formulasi tepung
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 13. Diagram batang kekuatan gel bakso ikan HTS Hasil pengujian rata-rata nilai kekuatan gel bakso ikan yang direbus berkisar antara 187,5 sampai 502,5 g.cm. Nilai kekuatan gel tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (502,5 g.cm), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (187,5 g.cm).
Hasil analisis ragam
(Lampiran 22a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai kekuatan gel.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 22b) menunjukkan bahwa kekuatan gel bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% berbeda nyata dengan formula bakso yang lain. Bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% mempunyai kekuatan gel yang tinggi karena teksturnya yang kenyal dan kompak. Berbeda halnya dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan dengan formulasi tepung sagu 10% yang memperlihatkan kekuatan gel bakso yang sangat rendah. Hal ini disebabkan kadar air dari kedua jenis bakso tersebut yang cukup tinggi yaitu diatas 75 %. Kisaran kadar air 75 sampai 81% pada produk-produk yang berbahan dasar surimi mengurangi pengaruh kekuatan gel dari pati (Lee dan Kim 1986 dalam Okada et al. 1992). Dengan kata lain, pati memperkuat gel protein dengan lebih baik pada kondisi kadar air yang lebih rendah. Hal tersebut terbukti, yaitu pada bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%, kadar air produk rendah (73,90%), dan kekutan gel yang dihasilkan sangat tinggi (502,5 g.cm). Kisaran rata-rata hasil pengujian kekuatan gel terhadap bakso ikan HTS yang dikukus adalah 288,75 sampai 427,5 g.cm. Hasil analisis ragam (Lampiran 23) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kekuatan gel. Hal ini disebabkan karena pada bakso yang dikukus, kadar air yang dikandung produk tidak lebih dari 75% sehingga efek penguatan gel dari pati terjadi dengan baik karena kadar air yang terdapat pada produk mempengaruhi nilai kekuatan gel, produk dengan kadar air yang tinggi akan menghasilkan kekuatan gel yang rendah akibat tidak adanya kompetisi yang dilakukan oleh pati dan protein dalam pengikatan air untuk pembentukan gel. Kekuatan
gel
pada
pati
dijelaskan
melalui
proses
swelling
(pembengkakan) dan pengikatan air selama gelatinisasi oleh panas. Diantara patipati tersebut, pati sagu mempunyai pengaruh yang paling baik untuk menguatkan gel karena pati tersebut memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah besar air dan mengembang dengan diameter yang besar. Menurut Knight (1969) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) diameter granula pati sagu adalah sekitar 16-25,4
µm sedangkan granula tapioka sekitar 10,1-20 µm. Selama proses transisi ini, granula pati membesar hingga batas maksimum.
Pembesaran granula pati
disebabkan tekanan di atas matriks protein. Hal ini terjadi bersamaan dengan penarikan kadar air dari sekeliling matriks protein, menghasilkan matriks gel yang lebih kokoh dan sedikit lebih kohesif (Lee dan Kim 1986 dalam Lee et al 1992). Jadi, pati bertindak sebagai pengisi sederhana pada gel protein miofibril, tidak berinteraksi
secara
langsung
dengan
matriks
protein
surimi
maupun
mempengaruhi formasi tersebut secara nyata, namun terjadi belakangan saat pembengkakan pati pada siklus panas ketika terjadi gelasi protein. Pengaruh fraksi yang terdapat pada pati terhadap ashi gel telah dilaporkan oleh Suzuki (1981) fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat gel. Pati tapioka mengandung 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin, sedangkan sagu 27% (b/b) amilosa dan 73% (b/b) amilopektin (Knight 1969 dalam
Haryanto
dan Pangloli
1992).
Kandungan
amilopektin
dapat
mempengaruhi kelarutan dan derajat gelatinisasi, semakin banyak kandungan amilopektin, maka pati akan bersifat tidak kering dan lengket, (Wirakartakusumah
et al. 1984). Jadi tingginya nilai kekuatan gel pada bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (bakso ikan yang direbus) dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (bakso ikan yang dikukus) dipengaruhi oleh sifat fraksi amilopektin dari tepung tapioka dan ukuran granula dari tepung sagu.
(2) Uji lipat Pengukuran uji lipat dari sutu produk dilakukan secara subyektif atau sensoris dengan menggunakan panelis sebagai alat pengukurnya dan berdasarkan pada spesifikasi penilaian yang sudah ditentukan. Uji lipat secara luas digunakan di industri-industri karena uji tersebut sederhana dan dengan cepat dapat menunjukkan kekuatan dan elastisitas gel (Hasting et al. 1990 diacu dalam Fitrial 2000). Metode uji lipat digunakan untuk membedakan gel bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa untuk membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik (Lanier 1992). Hasil uji organoleptik terhadap parameter uji lipat bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 14.
5 4
Uji lipat
4,17c 4,13c
4,03c
a 3 2,67
4,03c b
3,40
b
3,23 3,13ab
2,87ab
2,37a
2 1 0 A
B
C
D
E
A
Rebus
B
C
D
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 14. Diagram batang uji lipat bakso ikan HTS Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter uji lipat bakso ikan HTS yang direbus berkisar antara 2,67 sampai 4,73. Nilai uji lipat tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (4,73), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (2,67). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 24a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap uji lipat bakso ikan. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 24b) menunjukkan bahwa uji lipat bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap uji lipat bakso ikan HTS yang dikukus adalah 2,37 sampai 4,17 dengan nilai uji lipat tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% (4,17) sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (2,37). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 25a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter uji lipat. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons
(Lampiran 25b) menunjukkan bahwa uji lipat bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Setiap formulasi tepung memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji lipat bakso ikan yang direbus juga dikukus.
Hal ini
dipengaruhi oleh ukuran granula pati. Diameter granula pati sagu adalah sekitar 16-25,4 µm sedangkan granula tapioka sekitar 10,1-20 µm (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Selain itu juga dipengaruhi oleh fraksi amilosa dan amilopektin pada masing-masing tepung pati. Pati tapioka mengandung 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin, sedangkan sagu 27% (b/b) amilosa dan 73% (b/b) amilopektin (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Menurut Suzuki (1981) fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat gel. Menurut Lee dan Kim (1987) dalam Lee et al (1992), akibat penyerapan air oleh granula pati yang berada di dalam gel protein selama perebusan, granula menjadi mengembang dan mendesak matriks protein. Pada saat bersamaan, matriks protein kehilangan air dan menyebabkan gel protein menjadi lebih padat dan kompak. Hal tersebut menyebabkan gel menjadi kuat.
(3) Uji gigit Cara subyektif lain yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel produk
fish jelly selain uji lipat adalah uji gigit.
Uji gigit dilakukan dengan cara
menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Hasil uji organoleptik terhadap parameter uji gigit bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter uji gigit bakso ikan HTS yang direbus berkisar antara 4,73 sampai 7,23. Nilai uji gigit tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (7,23), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (4,73). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 26a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap uji gigit bakso ikan. Hasil uji
lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 26b) menunjukkan bahwa uji gigit bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. 10
Uji gigit
8 6 4,73a
5,83bc
5,97c
7,23d
6,63c
7,13c
5,03ab
6,20c 4,87b
3,03a
4 2 0 A
B
C
D
E
A
Rebus
B
C
D
E
Kukus Formulasi tepung
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 15. Diagram batang uji gigit bakso ikan HTS Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap uji gigit bakso ikan HTS yang dikukus adalah 3,03 sampai 7,13 dengan nilai uji gigit tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (7,13), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (3,03). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 27a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter uji gigit. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 27b) menunjukkan bahwa uji gigit bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso lainnya. Setiap formulasi tepung memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji gigit bakso ikan yang direbus juga dikukus.
Hal ini
dipengaruhi oleh fraksi amilosa dan amilopektin pada masing-masing tepung pati. Menurut Suzuki (1981) fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat gel. Pati tapioka mengandung 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin, sedangkan sagu 27% (b/b) amilosa dan 73% (b/b) amilopektin (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Selain itu juga dipengaruhi oleh ukuran granula pati. Diameter granula pati sagu adalah sekitar 16-25,4 µm sedangkan granula tapioka sekitar 10,1-20 µm (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Selama proses pemanasan, protein miofibril sangat mempengaruhi pembentukan gel aktomiosin terutama bagian miosin yang memberikan karakteristik tekstur elastis yang unik pada produk (Hall dan Ahmad 1992). Niwa (1992) menyatakan bahwa pati mempunyai efek menguatkan terhadap gel protein jika pati tersebut terikat kuat dengan protein miofibril.
(4) Derajat putih Kecerahan bakso ikan sangat menentukan kualitas bakso itu sendiri. Umumnya bakso ikan yang berwarna putih paling banyak disukai oleh konsumen. Derajat putih yang tinggi akan dihasilkan jika daging ikan yang digunakan hanya daging putihnya saja, namun pada penelitian bakso ikan HTS ini daging yang digunakan adalah daging merah dan daging putih. Hasil analisis derajat putih bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil pengujian rata-rata nilai derajat putih bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 32,59 sampai 34,55%; sedangkan kisaran rata-rata hasil pengujian derajat putih terhadap bakso ikan HTS yang dikukus adalah 29,34 sampai 33,275%. Hasil analisis ragam (Lampiran 28 dan Lampiran 29) menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai derajat putih bakso ikan yang direbus juga bakso ikan yang dikukus. Hal ini disebabkan jumlah pati yang ditambahkan untuk setiap formulasi bakso ikan adalah sama yaitu 10% sehingga derajat putih yang terukur pada masing-masing bakso ikan tidak berbeda nyata.
Derajat putih (%)
34,52a 40 34,55a a a 33,23 33,23a 35 32,59 30 25 20 15 10 5 0 A B C D E
33,28a
A
Rebus
a
30,95 29,61a 30,68a 29,34a
B
C
D
E
Kukus Formulasi tepung
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 16. Diagram batang derajat putih bakso ikan HTS Peningkatan derajat kecerahan bakso ikan disebabkan karena larutnya komponen pembentuk warna daging ikan yaitu ”heme”. Proses pencucian dapat menghilangkan darah, pigmen, enzim dan garam-garam anorganik dan substansi organik dengan berat molekul rendah seperti trimetilamin oksida (TMAO) dalam daging (Noguchi 1982 dalam Toyoda et al 1992). Selain itu, kecerahan bakso juga dipengaruhi adanya penambahan tepung pati yaitu tepung tapioka dan tepung sagu yang berfungsi sebagai bahan pengisi. Derajat putih tepung tapioka adalah 92-94,5% (BSN 1994), sedangkan tepung sagu mempunyai derajat putih 73,22% (Saripudin 2006).
(5) Water holding capacity (WHC) Water holding capacity (WHC) atau daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap mutu bakso ikan, seperti tekstur, warna dan sifat sensoris.
Menurut Zayas (1997) daya mengikat air adalah kemampuan
daging untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan struktur bahan untuk menahan air
bebas dari struktur tiga dimensi protein. Hasil analisis WHC bakso ikan HTS
WHC (%)
dapat dilihat pada Gambar 17. 100 88,67a 88,42a 86,12a 83,16a 82,82a 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 A B C D E
a
71,53
a
A
79,02a 82,33 79,05a
B
Rebus
C
D
83,25a
E
Kukus Formulasi tepung
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 17. Diagram batang Water Holding Capacity (WHC) bakso ikan HTS Hasil pengujian rata-rata nilai WHC bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 82,82 sampai 88,67%; sedangkan kisaran rata-rata hasil pengujian WHC terhadap bakso ikan HTS yang dikukus adalah 71,53 % sampai 83,25 %. Hasil analisis ragam (Lampiran 30 dan 31) menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai WHC pada bakso ikan yang direbus juga bakso ikan yang dikukus. Hal ini diduga karena tidak ada perbedaan jumlah pati yang ditambahkan untuk setiap formulasi bakso ikan yang dibuat yaitu 10% sehingga kemampuan daging ikan dalam mengikat air tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Menurut, protein miofibril khusunya aktin dan miosin memegang peranan yang besar terhadap daya mengikat air daging (Hamm 1974 diacu dalam Arifin 1993).
Leakkonen (1973) diacu dalam Arifin (1993) menyatakan kelompok-
kelompok hidrofilik yang bertanggung jawab untuk mengikat air daging yaitu
kelompok polar dari sisi rantai protein yang meliputi karboksil, amino, hidroksil dan kelompok sulfihidril. Selain itu oleh kelompok-kelompok amino yang berasal dari ikatan-ikatan peptida, molekul-molekul air tersebut juga diikat oleh ikatanikatan hidrogen.
4.3.3 Karakteristik kimia bakso ikan HTS Analisis karakteristik kimia bakso ikan dari campuran beberapa ikan HTS dengan perlakuan formulasi pati (tepung tapioka dan tepung sagu) adalah analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat). Data lengkap hasil analisis proksimat bakso ikan dari surimi ikan HTS dapat dilihat pada Lampiran 32.
(1) Kadar air Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan.
Semua bahan
makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati.
Kandungan air dalam bahan makanan ikut
menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno 1997). Hasil analisis kadar air bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 18. Kadar air merupakan petunjuk titik kritis pada kualitas surimi.
Hasil
pengujian rata-rata nilai kadar air bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 73,68 sampai 75,37%. Nilai kadar air tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (75,37%), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (73,68%). Hasil analisis ragam (Lampiran 33a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai kadar air. Hal ini diduga karena proses pemasakan yang dilakukan kontak langsung dengan air sehingga ada kemungkinan bahwa pati atau protein pada bakso masih dapat mengikat air yang ada di sekelilingnya dalam hal ini
adalah air perebusan.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 33b) menunjukkan
bahwa kadar air bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan formulasi tepung sagu 10% berbeda nyata dengan bakso yang dibuat dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5%, bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%. Kadar air bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan formulasi tepung sagu 10% lebih dari 75%. Hal ini menyebabkan kekuatan gel bakso yang dihasilkan menjadi rendah. Tingkat kadar air yang tinggi dari 75 sampai 81% pada produk-produk yang berbahan dasar surimi mengurangi pengaruh kekuatan gel dari pati (Lee dan Kim 1986 dalam Okada et al. 1992). Oleh karena itu, pengaruh pati dalam memperkuat gel lebih nyata pada kandungan
Kadar Air (%)
air yang lebih rendah dari pati yang lebih elastis dan lebih kuat. 90 75,37 c 73,68a 75,17c 74,70bc 73,90ab 80 70 60 50 40 30 20 10 0 A
B
C
D
a
74,01 a
E
A
Rebus
74,82 74,35 a 74,91a 73,45a
B
C
D
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 18. Diagram batang kadar air bakso ikan HTS Pada bakso ikan HTS yang dikukus, kisaran rata-rata hasil pengujian kadar air adalah 73,45% sampai dengan 74,91%. Hasil analisis ragam (Lampiran 34) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar air. Hal ini diduga
karena konsentrasi total setiap formulasi tepung yang ditambahkan dalam pembuatan bakso ikan HTS ini adalah sama yaitu 10%. Jadi pengaruh formulasi tepung terhadap kadar air pada bakso ikan tidak berbeda nyata. Menurut standar mutu bakso ikan dalam SNI 01-3819-1995 (BSN 1995a), kadar air maksimal untuk bakso ikan adalah 80%. Hal ini berarti bahwa bakso ikan HTS yang direbus (73,68-75,37%) maupun yang dikukus (73,45-74,91%) telah memenuhi standar yang ditetapkan. Menurut Lanier (1992), pada surimi hasil pencampuran antara surimi yang bermutu tinggi dengan yang bermutu rendah, kandungan airnya berkisar antara 73–80%, dengan atau tanpa penambahan pati.
(2) Kadar abu Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahanbahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 1997). Hasil analisis kadar abu bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil pengujian rata-rata nilai kadar abu bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 1,54 sampai 1,85%. Nilai kadar abu tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% (1,85%), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (1,54%). Hasil analisis ragam (Lampiran 35a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai kadar abu. Hal ini terkait dengan kadar air yang terkandung pada bakso ikan yang direbus.
Tingginya kadar air bakso
menunjukkan bahwa tingginya komponen-komponen yang tidak terlarut dalam bakso dan salah satunya adalah komponen anorganik atau mineral yang hasil pembakarannya disebut abu. Karena nilai kadar air bakso ikan yang direbus bervariasi dan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka hal ini pun mempengaruhi kandungan abunya sehingga hasil atau kadar abu yang diperoleh juga berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 35b) menunjukkan bahwa
kadar abu bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5%.
Kadar abu (%)
2.5
1,86c
2.0 a
1,54
1,62b
1,85bc
a
1,67ab
1,89
1,77a
1,99a
2,14a 1,69a
1.5 1.0 0.5 0.0 A
B
C
D
E
A
Rebus
B
C
D
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 19. Diagram batang kadar abu bakso ikan HTS Kisaran rata-rata hasil pengujian kadar abu terhadap bakso ikan HTS yang dikukus adalah 1,69 sampai dengan 2,14%. Hasil analisis ragam (Lampiran 36) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar abu.
Hal ini
disebabkan oleh kadar air produk bakso yang dikukus menunjukkan keseragaman (tidak berbeda nyata), sehingga komponen gizi yang lain seperti mineral atau abu (hasil pembakaran mineral) juga menunjukkan keseragaman. Selain itu, hal ini diduga pada bakso yang dikukus, tidak terjadi kontak langsung antara produk dengan air sehingga tidak ada atau kecil terjadinya kehilangan mineral karena proses pemasakan. Menurut standar mutu bakso ikan dalam SNI 01-3819-1995 (BSN 1995a), kadar abu maksimal untuk bakso ikan adalah 3%. Hal ini berarti bahwa bakso
ikan HTS yang direbus (1,54 sampai 1,85%) maupun yang dikukus (1,69 sampai 2,14%) telah memenuhi standar yang ditetapkan.
(3) Kadar protein Protein merupakan suatu zat yang amat penting bagi tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Protein adalah
sumber-sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat juga digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Winarno 1997). Hasil analisis kadar protein bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 20.
Kadar protein (%)
12 a a 10 9,14 9,46
9,92a 9,70a
9,21a
9,67a
E
A
a 10,07a 10,13
a
9,04
9,04a
8 6 4 2 0 A
B
C
D
Rebus
B
C
D
E
Kukus Formulasi tepung
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 20. Diagram batang kadar protein bakso ikan HTS Hasil pengujian rata-rata nilai kadar protein bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 9,14 sampai 9,92%; sedangkan pada bakso ikan yang dikukus berkisar antara 9,04 sampai dengan 10,13%.
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar protein baik pada bakso ikan yang direbus (Lampiran 37) maupun bakso ikan yang dikukus (Lampiran 38). Hal ini diduga karena konsentrasi total setiap formulasi tepung yang ditambahkan dalam pembuatan bakso ikan HTS ini adalah sama yaitu 10%. Jadi pengaruh formulasi tepung terhadap nilai gizi protein pada bakso ikan tidak berbeda nyata. Menurut Khotimah (2007), protein-protein mengalami denaturasi karena perebusan, tetapi nilai nutrisi tidak terpengaruh. Protein ikan paling berperan terhadap kekenyalan gel, sedangkan pati berperan untuk memperkuat gel, seperti juga yang telah dikemukakan oleh Niwa (1992), bahwa keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi tidak meningkatkan elastisitas gel. Dengan mengkombinasikan protein miofibril ikan dengan pati pada konsentrasi tertentu diperoleh gel yang kenyal dan kuat. Niwa (1992) menyatakan bahwa pati mempunyai efek menguatkan terhadap gel protein jika pati tersebut terikat kuat dengan protein miofibril. Menurut Lee dan Kim (1985) yang dikutip oleh Wu et al. (1985), pada saat gel yang ditambah pati dipanaskan, air masuk ke dalam granula sehingga granula mengembang. Selama terjadinya perubahan ini, granula pati mengembang sampai pada tingkat tertentu yang dibatasi oleh matriks protein. Selama granula mengembang menyebabkan tekanan yang kuat terhadap matriks protein. Hal ini bersamaan dengan masuknya air yang berasal dari sekitar matriks ke dalam granula. Efek gabungan terhadap granula pati yang mengembang di dalam matriks protein menyebabkan gel protein menjadi kenyal dan kuat. Menurut standar mutu bakso ikan dalam SNI 01-3819-1995 (BSN 1995a), kadar protein minimal untuk bakso ikan adalah 9%. Hal ini berarti bahwa bakso ikan HTS yang direbus (9,14-9,92%) maupun yang dikukus (9,04-10,13%) telah memenuhi standar yang ditetapkan.
(4) Kadar lemak Lemak merupakan salah satu unsur yang penting dalam bahan pangan, karena lemak berfungsi untuk memperbaiki bentuk dan struktur fisik bahan pangan, menambah nilai gizi dan kalori, serta memberikan citarasa yang gurih
pada bahan pangan. Selain itu, lemak berperan sangat penting bagi gizi dan kesehatan tubuh, terutama karena merupakan sumber energi serta sebagai sumber dan pelarut vitamin A, D, E dan K (Winarno 1997). Hasil analisis kadar lemak bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 21. Hasil pengujian rata-rata nilai kadar lemak bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 0,30 sampai dengan 0,90%; sedangkan pada bakso ikan yang dikukus, kadar lemaknya berkisar antara 0,69 sampai dengan 1%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar lemak bakso ikan yang direbus (Lampiran 39) maupun yang dikukus (Lampiran 40). Karena jumlah tepung yang ditambahkan untuk setiap formulasi bakso ikan sebesar 10%, jadi kadar lemak yang terdapat pada produk juga tidak berbeda nyata.
Kadar lemak (%)
1.2 1.0 0,90a
1,00a
0,99a 0,80a
0,79a
0,79a 0,80a
0.8
0,70a
0,50a
0.6 0,30a
0.4 0.2 0.0 A
B
C
D
E
A
Rebus
B
C
D
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 21. Diagram batang kadar lemak bakso ikan HTS Menurut standar mutu bakso ikan dalam SNI 01-3819-1995 (BSN 1995a), kadar lemak maksimal untuk bakso ikan adalah 1%. Hal ini berarti bahwa bakso
ikan HTS yang direbus (0,3 sampai 0,90%) maupun yang dikukus (0,69 sampai 1%) telah memenuhi standar yang ditetapkan.
(5) Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama yang terdapat dalam makanan. Dibandingkan protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah.
Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan
karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Di dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 1997). Hasil analisis kadar karbohidrat
Kadar karbohidrat (%))
bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 22. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
13,06a
A
13,18a
B
14,47a 14,05a
C
D
14,05a 13,16a
13,43
E
A
a
Rebus
13,69a 12,22a
B
C
D
13,35a
E
Kukus
Formulasi tepung Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan: A = tepung tapioka 10% B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%
Gambar 22. Diagram batang kadar karbohidrat bakso ikan HTS Hasil pengujian rata-rata nilai kadar karbohidrat bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 13,06 sampai 14,47%; sedangkan pada bakso ikan yang dikukus, nilai kadar karbohidratnya berkisar antara 12,22% sampai dengan 14,05%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kadar karbohidrat pada bakso ikan yang direbus (Lampiran 41) juga bakso ikan yang dikukus (Lampiran 42). Hal ini dikarenakan jumlah total pati yang ditambahkan pada masing-masing adonan bakso adalah sama yaitu 10% sehingga kadar karbohidrat yang terkandung pada masing-masing bakso tidak berbeda secara nyata. Tingginya kadar karbohidrat yang terkandung dalam bakso ikan HTS ini adalah disebabkan oleh adanya penambahan pati ke dalam adonan bakso yang berfungsi sebagai pengisi. Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung pati, yaitu tepung tapioka dan tepung pati aren (sagu). Bahan pengisi mempunyai kandungan protein yang rendah, sedangkan kandungan karbohidratnya tinggi.
Kandungan karbohidrat tepung tapioka adalah 86,9%,
sedangkan tepung sagu sebesar 84,7% (Departemen Kesehatan RI 1979 diacu dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Surimi terbaik dari daging ikan HTS yang dibuat melalui perlakuan
frekuensi pencucian dan penambahan hidrogen peroksida (H2O2) adalah daging ikan yang mengalami dua kali frekuensi pencucian tanpa penambahan H2O2. Hal ini dilihat dari kekuatan gel yang diukur lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Bakso D atau bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% merupakan bakso terbaik yang mengalami proses pemasakan dengan cara perebusan karena memiliki karakteristik fisik dan organoleptik yang lebih baik dibandingkan dengan bakso lainnya, juga memiliki karakteristik kimia yang memenuhi standar mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995). Berbeda halnya dengan bakso yang dimasak dengan cara pengukusan, bakso terbaik diperoleh dari bakso C atau bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% karena memiliki karakteristik organoleptik dan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan bakso lainnya. Selain itu, bakso C juga memiliki karakteristik kimia yang sesuai SNI 01-3819-1995.
5.2
Saran Perlu dilakukan penyimpanan bakso ikan pada kondisi suhu dingin dan
suhu beku untuk mengetahui umur simpannya.
Selain itu, perlu dilakukan
diversifikasi produk-produk fish jelly lainnya, seperti sosis, nugget dan fish
burger, sehingga akan meningkatkan nilai tambah dan pemanfaatan ikan HTS di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Alasalvar C, Taylor T. 2002. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Application. Berlin : Springer. Ang CWY, Liu KS, Huang YW. 1999. Asian Foods : Science and Technology. Pennsylvania : Technomic Publishing Company Inc. Anonim. 2007. Olahan ikan: tak kenal maka tak sayang. Di dalam: Majalah Warta Pasar Ikan edisi Januari 2007. Departeman Perikanan dan Kelautan. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official methods of analysis of the Association of Analytical Chemist. Virginia USA : Association of Official Analytical Chemist, Inc. Arifin. 1993. Pengaruh lama dan suhu pemasakan terhadap kelarutan protein dan daya mengikat air daging sapi peranakan ongole [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Baier KS, Mc Clements DJ. 2005. Influence of covalent system on the gelation mechanism of globular prortein : thermodynamic, kinetic and structural aspects of globular protein gelation. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 4 : 43-45. Bakar A, Usmiati S. 2007. Teknologi Pengolahan Daging. Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Belitz HD, Grosch W. 1987. Food Chemistry. Berlin : Springer-Verlag. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka. SNI 01-3451-1994. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. _____________________________. 1995a. Bakso Ikan. SNI 01-3819-1995. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. _____________________________. 1995b. Tepung Sagu. SNI 01-3729-1995. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. _____________________________. 1998. Total Volatile Base (TVB). SNI 014495-1998. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. _____________________________. 2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori SNI 01-2346-2006. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. [BBPMHP] Balai Besar Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2001. Teknologi Pengolahan Surimi dan Produk Fish Jelly. Jakarta: Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan.
Budiyanto D, Djazuli N. 2003. Konsepsi Percepatan Pengembangan Produk Benilai Tambah. Jakarta : BPPMHP, Departemen Kelautan dan Perikanan. Chaijan M, Benjakul S, Visessanguan, Fautsman C. 2004. Characteristic and gel properties of muscle from sardine (Sardinella gibbosa) and mackerel (Rastrelliger kanagurta) caught in Thailand. Food Research International. 37:1021-1030. Damodaran S. 1996. Amino acids, peptides and proteins. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Padmawinata K, Penerjemah. Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari : Food Chemistry. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2004. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Masalah dan Kebijakan Peningkatan Produk Perikanan untuk Pemenuhan Gizi Masyarakat. http://www.litbang.deptan.go.id/special/HPS/kebijakan_perikanan.pdf [7 November 2008] Eryanto I. 2006. Karakteristik surimi fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) yang disimpan pada suhu dingin [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ferber L. 1965. Freshness tests. Di dalam : Borgstrom G, editor. Fish as Food. New York : Academic Press. Foegeding EA, Lanier TC, Hultin H. 1996. Characteristics of edible muscle tissues. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry 3rd ed. New York: Marcel Dekker, Inc. Fitrial Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suhu dan lama perebusan terhadap mutu gel daging ikan cucut lanyam (Charcharinus limbatus) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB Haard NF, Simpson BK, Pan BS. 1994. Sarcoplasmic protein and other nitrogenous compound. Di dalam : Sikorsky ZE, editor. Seafood Proteins. New York : Chapman & Hall. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan Jilid 1. Yogyakarta : Liberty
Haetami RR. 2008. Karakteristik surimi hasil pengkomposisian tetelan ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dan ikan layang (Decapterus sp.) pada penyimpanan beku [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish mince product. Di dalam: Hall GM, editor. Fish Processing Technology. New York: VCH Publisher, Inc. Harikedua JW. 1992. Pengaruh perebusan terhadap komponen zat gizi ikan layang (Decapterus ruselli) khususnya asam lemak tidak jenuh omega-3 [tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harris RS. 1989. Bahasan umum kemantapan gizi. Di dalam : Harris RS, Karmas E. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan Edisi ke-2. Bandung : ITB Press. Haryanto B, Pangloli P. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta : Kanisius Press. Hasting RJ, Keay JN, Young KW. 1990. The properties of surimi and kamaboko gels from nine British species of fish. International Journal Food Science and Technology. 25: 281-294. Hu Y, Marioka K, Itoh Y. 2008. Actomyosin nonbinding chatepsin L in pollock waleye surimi. Journal Food Biochemistry. 32: 143-152. Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci. Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical change in Alaska pollack surimi and surimi gel as affected by electron beam. Journal of Food Science. 69 (1): C53-C57 Jafarpour A, Sherkat F, Leonard B, Gorczyca EM. 2008. Colour improvement common carp (Cyprinus carpio) fillets by hydrogen peroxide for surimi production. Journal of Food Science and Technology. 43: 1602-1609. Jin SK, Kim IS, Kim SJ, Jeong KJ, Choi YJ, Hur SJ. 2007. Effect of muscle type and washing time on physico-chemical characteristic and qualities surimi. Journal of Food Engineering. 81: 618-623. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya. Khotimah K. 2007. Pengaruh Ekstrak Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dan Metode Pengolahan pada Kualitas Daging Broiler. http://www.undiksha.ac.id [31 Desember 2007] Kramlich AM, Harson, Tauber FM. 1971. Processed Meat. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Co Inc.
Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker. Lee CM. 1994. Surimi process technology. Journal Food Technology. 38(11): 6980. Lee CM, Wu MC, Okada M. 1992. Ingredient and formulation technology for surimi based product. Didalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker. Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Principles of Biochemistry. Lewis YS. 1984. Spices and Herbs for the Food Industry. Orpington, England : Food Trade. MacDonald GA, Lanier TC, Carvajal PA. 2000. Stabilization of protein in surimi. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York : Marcel Dekker, Inc. Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1992. Cryostabilization of protein in surimi. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc. Moeljanto R. 1994. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar Swadaya. Moorthy SN. 2004. Tropical sources of starch. Didalam : Eliasson AC, editor. Starch in Food: Structure, Function and Application. Baco Raton, Florida: CRC Press. Morissey MT, Park JW, Huang L. 2000. Surimi processing waste: its control and utilization. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York: Marcel Dekker. Mountney GJ. 1966. Poultry Product Technology. Westport, Connecticut : The AVI Publishing Company, Inc. Muchtadi TR. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Nakai S, Modler HW. 2000. Food Protein Processing Applications. New York: Wiley-VCH. Niwa E. 1992. The chemistry of surimi gelation. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker.
Nurfianti D. 2007. Penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan pengawet bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) pada penyimpanan suhu chilling [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Offer G, Knight P. 1988. The structural basis of water holding in meat. Di dalam : Development in Meat Science-4. Lawrie R, editor. London : Elsevier Applied Science. Park JW. 2000. Surimi seafood: products, market, and manufacturing. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York : Marcel Dekker, Inc. Paul PC, Palmer HH. 1972. Colloidal systems and emulsions. Di dalam : Paul PC, Palmer HH, editor. Food Theory and Applications. New York : John Wiley and Sons, Inc. Patcharat S, Benjakul S, Visessanguan W. 2005. Effect of washing with oksidising agents on the gel-forming ability and psycochemical properties of surimi produced from bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Food Chemistry. 98: 431-439. Pearson AM, Dutson TR. 1997. Production and Processing of Healthy Meat, Poultry and Fish Products Advances in Meat Research Series vol III. London : Blackie Academic & Professional. Pearson AM, Tauber FM. 1984. Processed Meat. Westport, Connecticut : The AVI Publishing Co Inc. Peranginangin R, Wibowo S, Fawzya YN. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta : Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut. Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Component 2nd Ed. New York: Academic Press. Potter NN. 1973. Food Science 2nd Ed. Connecticut : The AVI Publishing Co Inc. Purbayanto A, Wisudo SH, Santoso J, Wahyuni M, Wahyu RI, Dinarwan, Zulkarnain, Sarmintohadi, Nugraha AD, Soeboer DA, Pramono B, Marpaung A, Riyanto M. 2004. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura. Jakarta : Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Papua. Radley JA. 1976. Starch Production Technology. London : Applied Science Publisher, Ltd.
Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Pengenalan Organoleptik. Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi pertanian, IPB. Rawdkuen S, Sai-Ut S, Khamsorn S, Chaijan M, Benjakul S. 2008. Biochemical and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using acidalkaline process. Food Chemistry. 112:112-119 Saripudin U. 2006. Rekayasa proses tepung sagu (Metroxylon sp.) dan beberapa karakternya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sarwono B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Jakarta : Penebar Swadaya. Shahidi F. 1994. The chemistry, processing technology and quality of seafood an interview. Di dalam : Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood : Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic & Professional. Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. 1992. Surimi production from fatty and darkfleshed fish species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker.
Mengenal Hidrogen Peroksida (H2O2). Skuler. 2007. http://anekailmu.blogspot.com/2007/04/mengenal-hidrogen-peroksidah2o2.html [7 November 2008] Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta : Bhratara Karya Aksara. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Principles and Procedures of Statistics. Sulistiyo CN. 2006. Pengembangan brownies kukus tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L) di PT Fits Mandiri Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sultanbawa Y, Chan LECY. 1998. Cryoprotective effect of sugar and polyol blends in Ling cod surimi during frozen storage. Food Research International. 31(2):87-89. Sumaatmadja D. 1984. Tepung Sorghum (Sorghum vulagari) sebagai Pengganti Tepung gandum dalam Pembuatan Mie dan Roti Tawar. Bogor : Prosiding Seminar Teknologi Pangan VI BBIHP.
Suwandi R. 1990. Pengaruh proses penggorengan dan pengukusan terhadap sifat fisiko-kimia protein ikan mas (Cyprinus carpio L) [tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Swinkels JJM. 1985. Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam: Van Beynum GMA, Roels JA, editor. Starch Conversion Technology. New York: Marcel Dekker, Inc. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. London : Applied Science Publisher, Ltd. Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo: Koseisha Koseikaku Co. Ltd. Tarwotjo I, Hartini S, Soekirman S, Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso. Jakarta : Akademi Gizi. Toyoda K, Kimura I, Fujita T, Noguchi SF, Lee CM. 1992. The surimi manufacturing process. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker. Wahyuni M. 2007. Teknologi rekayasa alat pemisah daging dan tulang ikan. Di dalam : majalah Craby and Starsky edisi September 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Jakarta : PT Penebar Swadaya. _________. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta : PT Penebar Swadaya. Widyati R. 2001. Pengetahuan Dasar Pengolahan Makanan Indonesia. Jakarta : PT Grasindo. _________. 2004. Pengetahuan Dasar Pengolahan Makanan Eropa. Jakarta : PT Grasindo. Wikipedia. 2008a. Sagu. http://www.wikipedia.org/sagu.html [3 November 2008] ________. 2008 b. Lada. http://www.wikipedia.org/lada.htm. [25 April 2008] Winarno FG, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wirakartakusumah MA, Apriyantono A, Ma’arif MS, Suliantari, Muchtadi D. 1984. Studi tentang Ekstraksi, Sifat-Sifat Fisiko-Kimia Pati Sagu dan Pengkajian Enzim. Bogor : IPB. Wu MC, Lanier TC, Hamman DD. 1985. Thermal transition of admixed starch/ fish protein system during heating. Journal of Food Science. 50: 20-25. Yasin AWN. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat ikan cucut pisang (Charcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Tryghon sephen) terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Foods. Berlin: Springer Verlag.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar penilaian (score sheet) organoleptik bakso ikan
Nama Panelis : ……………………… Tanggal : ………………………
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi
Nilai
1 Penampakan Bentuk bulat beraturan, seragam, tidak berongga, warna putih susu Bentuk bulat beraturan, seragam, sedikit berongga, warna putih krem Bentuk bulat kurang beraturan, agak seragam, agak berongga, warna putih krem Bentuk bulat kurang beraturan, kurang seragam, berongga, warna krem agak kusam Bentuk bulat tidak beraturan, tidak seragam, berongga agak banyak, warna krem kusam Bentuk bulat tidak beraturan, tidak seragam, banyak rongga, warna krem sangat kusam 2 Bau Tidak amis, spesifik baso ikan Tidak amis, spesifik baso ikan sedikit berkurang Tidak amis, spesifik baso ikan berkurang Agak amis, agak tengik Amis, agak busuk, tengik Sangat amis, busuk dan sangat tengik 3 Rasa Enak, rasa ikan dominan Enak, rasa ikan sedikit berkurang Agak enak, rasa ikan kurang Kurang enak, rasa ikan kurang, penyedap rasa dominan Tidak enak, rasa ikan tidak ada, penyedap rasa dominan Sangat tidak enak, rasa ikan tidak ada, penyedap rasa dominan 4 Tekstur Padat, kompak, kenyal Padat, kompak, agak kenyal Agak padat, agak kompak, agak kenyal Kurang padat, kurang kompak, kurang kenyal Agak lembek, tidak kenyal Lembek Sumber : SNI 01-2346-2006 (BSN 2006)
9 7 6 5 3 1 9 7 6 5 3 1 9 7 6 5 3 1 9 7 6 5 3 1
A
Kode contoh B C D
E
Lampiran 2. Data hasil uji analisis fisik surimi ikan HTS Parameter Konsentrasi H2O2 (ppm) 0 Rata-rata 10 Rata-rata 20 Rata-rata 30 Rata-rata
Kekuatan gel 1
2
3
310 375 342,5 535 380 457,5 545 320 432,5 465 405 435
550 365 457,5 320 235 277,5 385 335 360 595 140 367,5
285 200 242,5 540 265 402,5 490 135 312,5 270 355 312,5
Derajat putih Pencucian 1 2 3 22,87 22,14 22,50 22,73 21,60 22,16 23,50 22,96 23,23 24,50 24,46 24,48
21,41 25,73 23,57 22,09 27,60 24,84 23,27 26,82 25,05 26,60 24,41 25,50
WHC 1
24,60 28,09 26,34 23,05 27,00 25,02 21,68 24,78 23,23 26,69 27,59 27,14
64.86 57.98 61.42 66.01 64.89 65.45 57.07 61.13 59.10 63.39 63.79 63.59
2 51.57 52.67 52.12 48.79 58.26 53.52 54.91 60.60 57.76 48.68 63.80 56.24
3 59.28 54.96 57.12 61.88 63.58 62.73 58.71 71.37 65.04 69.74 70.43 70.08
Lampiran 3. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai kekutan gel Kekuatan gel Konsentrasi H2O2 Frekuensi pencucian Konsentrasi H2O2 * Frekuensi pencucian Sisa Total
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
3308,333 39514,583 70485,417
3 2 6
1102,778 19757,292 11747,569
0,48 0,863 0,513
0,985 0,447 0,788
274775 3614750
12 24
22897,917
Lampiran 4. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai derajat putih Derajat putih Konsentrasi H2O2 Frekuensi pencucian Konsentrasi H2O2 * Frekuensi pencucian Sisa Total
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
13,483 23,112 14,463
3 2 6
4,494 11,556 2,411
1,011 2,599 0,542
0,422 0,115 0,767
53,363 14420,891
12 24
4,447
Lampiran 5. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai Water Holding Capacity (WHC) Lampiran 5a Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai Water Holding Capacity (WHC) WHC Konsentrasi H2O2 Frekuensi pencucian Konsentrasi H2O2 * Frekuensi pencucian Sisa Total
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
125,122 362,182 132,732
3 2 6
41,707 181,091 22,122
1,670 7,251 0,886
0,226 0,009 0,534
299,709 88324,651
12 24
24,976
Lampiran 5b Hasil uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap nilai Water Holding Capacity (WHC) Frekuensi Pencucian
α = 0,05
N
2 kali (B2) 1 kali (B1) 3 kali (B3)
1
8 8 8
2
57,91 62,39 63,74
Lampiran 6. Data hasil uji analisis kimia surimi ikan HTS Parameter Kadar air Konsentrasi H2O2 (ppm) 1 2 3 0 77.86 75.94 78.50 74.99 74.87 78.73 Rata-rata 76.42 75.40 78.61 10 74.76 74.35 78.39 74.73 76.08 77.85 Rata-rata 74.75 75.22 78.12 20 75.31 77.15 77.47 74.45 75.47 80.60 Rata-rata 74.88 76.31 79.04 30 75.75 76.22 77.29 75.68 76.08 78.39 Rata-rata 75.71 76.15 77.84
Kadar protein Pencucian 1 2 3 12.56 13.92 14.74 14.99 15.33 14.05 13.78 14.62 14.40 14.57 14.98 17.68 14.22 17.18 13.25 14.40 16.08 15.47 16.29 12.05 12.57 13.76 11.76 15.55 15.03 11.91 14.06 13.19 17.14 17.85 17.31 13.64 14.24 15.25 15.39 16.04
pH 1 5.26 5.38 5.32 5.08 5.3 5.19 4.81 4.81 4.81 4.95 5.15 5.05
2 5.42 5.22 5.32 5.17 5.54 5.35 4.63 4.72 4.67 4.93 5 4.96
3 5.2 5.27 5.23 5.25 5.33 5.29 4.78 4.95 4.86 4.79 4.51 4.65
Lampiran 7. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai kadar air Lampiran 7a Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2terhadap nilai kadar air Kadar air Konsentrasi H2O2 Frekuensi pencucian Konsentrasi H2O2 Frekuensi pencucian Sisa Total
*
Jumlah kuadrat 2,284 42,152 4,839
Derajat bebas 3 2 6
13,657 140656,196
12 24
Kuadrat tengah 0,761 21,076 0.806
F hitung 0,669 18,519 0,709
Signifikan 0,587 0,000 0,649
1,138
Lampiran 7b Hasil uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap nilai kadar air Frekuensi Pencucian 1 kali (B1) 2 kali (B2) 3 kali (B3)
α = 0,05
N 8 8 8
1
2
75,4413 75,7700 78,4025
Lampiran 8. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai kadar protein Kadar protein Konsentrasi H2O2 Frekuensi pencucian Konsentrasi H2O2 * Frekuensi pencucian Sisa Total
Jumlah kuadrat 14,295 1,062 13,547
Derajat bebas 3 2 6
45,289 5260,941
12 24
Kuadrat tengah 4,765 0.531 2,258
F hitung 1,263 0,141 0,598
Signifikan 0,331 0,870 0,727
3,774
Lampiran 9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai pH Lampiran 9a Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan konsentrasi H2O2 terhadap nilai pH pH Konsentrasi H2O2 Frekuensi pencucian Konsentrasi H2O2 * Frekuensi pencucian Sisa Total
Jumlah kuadrat 1,348 0,031 0,219
Derajat bebas 3 2 6
0,200 615,880
12 24
Kuadrat tengah 0,449 0,015 0,037
F hitung 26,967 0,925 2,192
Signifikan 0,000 0,423 0,117
0,017
Lampiran 9b Hasil uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap nilai pH Konsentrasi H2O2 (ppm) 20 (A3) 30 (A4) 10 (A2) 0 (A1)
α = 0,05
N 6 6 6 6
1
2
4,767 4,883 5,283 5,300
Lampiran 10. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang direbus parameter Panelis
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Rata-rata
Penampakan
6 5 7 6 5 6 5 3 7 3 7 6 7 7 6 7 6 6 7 6 7 7 7 5 7 6 7 7 6 7 6,13
B
C
D
7 7 7 5 5 9 5 6 7 5 9 6 9 7 6 9 7 7 9 5 9 7 5 7 9 7 6 6 5 5 6,77
7 6 7 3 3 7 5 5 6 3 6 5 9 6 6 9 6 5 9 5 6 6 5 7 7 6 6 7 6 7 6,03
7 5 1 6 5 6 6 6 7 6 6 6 9 9 5 7 9 5 7 5 3 6 7 6 7 6 9 9 9 9 6,47
Aroma E
A 5 5 6 5 5 3 6 5 6 3 5 6 9 9 6 7 6 5 7 7 6 6 5 5 7 6 3 6 7 9 5,87
6 6 5 6 6 6 5 5 6 5 5 7 7 6 6 9 7 5 6 7 9 7 6 5 6 9 6 7 7 7 6,33
Rasa
B
C
D
6 6 6 6 6 9 7 5 6 6 9 7 7 7 9 7 9 6 9 7 7 9 7 9 7 9 9 6 9 6 7,27
6 6 6 6 7 7 5 6 6 6 5 6 6 7 6 9 7 7 9 9 6 6 5 6 6 9 6 6 7 9 6,60
9 7 6 6 6 6 7 7 6 7 7 7 9 7 7 9 7 9 7 6 9 9 5 6 6 9 6 5 9 7 7,10
Formulasi tepung E A B 7 6 6 6 6 7 6 3 6 5 5 5 6 5 6 5 3 7 5 5 6 6 5 5 6 7 9 5 5 6 5 6 7 6 7 7 7 6 7 7 7 9 6 6 9 9 7 9 6 6 7 6 6 7 6 6 5 6 6 6 5 9 6 7 7 6 6 5 5 9 5 6 6 6 7 6 7 9 7 6 9 6 7 6 6 6 7 9 7 7 6,27 5,93 6,80
Tekstur
C
D
7 6 6 5 5 5 5 5 5 6 9 6 6 9 7 9 6 7 6 7 6 7 6 7 7 7 6 5 7 7 6,40
7 6 6 7 7 6 6 6 7 6 7 6 9 7 9 9 7 7 7 7 5 7 6 6 7 9 5 5 9 7 6,83
E
A 9 6 5 5 3 7 5 6 5 6 6 9 6 7 6 9 7 6 6 7 9 6 9 9 6 6 5 5 9 6 6,53
5 5 5 3 5 5 3 3 6 5 7 7 3 5 5 6 5 5 7 6 7 6 6 7 3 7 6 9 6 5 5,43
B
C
D
5 7 5 5 6 9 5 6 6 6 7 5 9 9 6 9 6 7 7 6 5 5 6 9 7 7 5 6 9 7 6,57
5 6 5 5 6 5 3 6 6 5 6 7 5 9 6 7 6 9 9 9 7 7 6 9 7 7 7 3 6 7 6,37
7 7 7 7 7 7 6 9 7 7 7 6 9 9 9 6 9 6 9 7 6 7 7 9 7 9 7 9 9 9 7,57
E 5 3 5 3 5 5 5 3 3 5 6 6 3 7 6 6 6 6 7 9 6 6 5 9 6 5 5 5 9 7 5,57
Lampiran 11. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang dikukus parameter Panelis
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Rata-rata
Penampakan
6 3 1 1 3 1 5 1 5 3 6 5 9 5 6 9 6 6 6 5 6 5 3 6 7 6 3 7 6 7 4,93
B
C
D
7 6 3 6 5 6 5 5 7 5 6 6 6 5 6 6 6 6 7 5 6 6 5 7 7 6 5 3 6 7 5,73
7 6 6 6 5 7 6 9 6 6 7 7 9 9 7 9 9 7 9 5 9 7 9 7 7 9 9 9 6 7 7,37
7 7 7 5 5 9 6 6 7 6 7 5 9 7 6 9 6 6 7 5 7 5 6 6 7 9 9 3 5 6 6,50
Aroma E
A 7 6 7 7 5 7 5 3 6 5 9 6 7 6 7 9 7 7 7 6 9 7 6 7 7 7 3 7 7 7 6,53
6 6 6 6 6 5 5 6 6 3 6 6 7 6 7 6 9 5 7 7 6 6 5 7 6 9 6 6 6 7 6,17
Rasa
B
C
D
9 7 6 7 6 6 5 6 6 7 9 7 9 7 7 9 7 7 7 7 9 7 6 9 6 7 9 7 9 7 7,23
7 9 6 7 6 9 7 9 6 6 9 9 9 6 7 9 7 9 9 7 9 9 6 9 6 7 6 7 7 7 7,53
9 7 6 6 6 9 7 7 6 7 9 6 9 6 6 9 7 9 9 7 7 9 7 7 6 9 6 3 9 7 7,23
Formulasi tepung E A B 9 7 7 7 5 7 6 5 5 9 3 6 6 6 5 6 1 5 6 5 6 7 6 5 6 6 6 6 3 6 9 6 9 9 6 9 6 6 7 9 5 9 7 5 9 9 6 9 9 6 7 6 5 7 7 7 7 6 5 7 9 3 7 7 7 9 5 3 7 9 3 6 6 6 7 9 7 7 9 1 7 6 5 6 7 7 7 7 5 9 7,30 5,03 7,00
Tekstur
C
D
7 6 6 7 5 7 7 7 7 6 9 9 9 6 7 9 7 7 6 6 6 9 9 6 7 7 5 5 7 9 7,00
6 5 6 5 5 6 6 7 6 7 9 6 7 6 5 7 6 7 6 6 5 7 7 5 6 9 5 7 7 7 6,30
E
A 7 5 6 7 3 6 5 5 5 6 7 7 6 7 9 9 6 6 6 7 9 7 7 7 7 9 6 7 7 9 6,67
6 3 5 1 3 1 3 1 3 3 5 5 3 1 3 3 3 3 5 1 3 3 3 3 3 6 1 1 5 5 3,13
B
C
D
7 7 7 5 6 9 5 6 6 7 7 7 6 6 9 7 7 9 7 7 7 5 6 6 7 7 9 5 9 9 6,90
7 7 9 6 6 9 6 6 6 7 9 9 9 9 7 9 9 9 9 7 9 9 6 7 7 7 9 9 7 7 7,73
6 5 5 3 5 6 3 5 6 7 9 5 7 1 5 6 5 9 5 7 6 5 3 5 3 5 1 1 6 7 5,07
E 7 6 9 6 5 5 5 5 5 7 7 7 6 7 9 7 7 6 9 9 7 7 6 7 7 9 7 9 7 6 6,87
Lampiran 12. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 76.867 87.267 69.517 81.167 62.683
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
6.319
4
9.488
0.177
tidak ada perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 13. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Lampiran 13a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 48.233 58.500 103.550 80.050 87.167
χ2hit
33.474
db
4
χ2tabel
9.488
Asymp. Sig
Ket
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 13b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
selisih 10.27 55.32 31.82 38.93 45.05 21.55 28.67 23.50 16.38 7.12
Nilai pembanding
19.5168
ket tidak berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata
Lampiran 14. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Lampiran 14a Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 63.533 93.267 71.267 89.633 59.800
χ2hit
16.317
χ2tabel
db
4
9.488
Asymp. Sig
Ket
0.003
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 14b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus selisih 29.73 7.73 26.10 3.73 22.00 3.63 33.47 18.37 11.47 29.83
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
Nilai pembanding
ket berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata
19.4393
Lampiran 15. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Lampiran 15a Uji Kruskal-Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 45.733 81.833 88.800 81.400 79.733
χ2hit
20.321
db
4
χ2tabel
9.488
Asymp. Sig
Ket
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 15b
Uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus selisih
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
Nilai pembanding 36.10 43.07 35.67 34.00 6.97 0.43 2.10 7.40 9.07 1.67
ket berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata
19.4489
Lampiran 16. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 59.817 84.500 72.250 87.983 72.950
χ2hit
8.636
db
4
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
0.071
tidak ada perlakuan yang berbeda nyata
9.488
Lampiran 17. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Lampiran 17a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 41.817 91.750 91.333 69.683 82.917
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
29.777
4
9.488
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 17b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus selisih 49.93 49.52 27.87 41.10 0.42 22.07 8.83 21.65 8.42 13.23
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
Nilai pembanding
ket berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata
19.4961
Lampiran 18. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Lampiran 18a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Perlakuan
N
Mean Rank
1
30
53.400
2
30
80.217
3
30
77.583
4
30
110.817
5
30
55.483
Total
χ2hit
36.272
db
4
χ2tabel
9.488
Asymp. Sig
Ket
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
150
Lampiran 18b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
selisih 26.82 24.18 57.42 2.08 2.63 30.60 24.73 33.23 22.10 55.33
Nilai pembanding
19.5356
ket berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata
Lampiran 19. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Lampiran 19a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 24.383 93.483 111.667 55.367 92.600
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
81.720
4
9.488
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 19b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus selisih 69.10 87.28 30.98 68.22 18.18 38.12 0.88 56.30 19.07 37.23
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
Nilai pembanding
Ket berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata
19.5621
Lampiran 20. Data hasil uji analisis fisik bakso dari surimi ikan HTS Cara pemasakan Parameter Kekuatan gel (g.cm) Rata-rata
Derajat putih (%) Rata-rata WHC (%) Rata-rata
Rebus
kukus
A
B
C
D
172,5 202,5 187,5 32.59 32.59 32.59 91.30 86.05 88.67
352,5 292,5 322,5 34.87 34.23 34.55 77.33 89.00 83.16
277,5 217,5 247,5 33.05 33.41 33.23 93.05 83.80 88.42
420 585 502,5 32.45 34.00 33.23 80.10 92.14 86.12
Formulasi tepung E A B 255 195 225 34.09 34.96 34.52 81.60 84.04 82.82
142,5 435 288,75 33.91 32.64 33.28 59.15 83.92 71.53
427,5 427,5 427,5 30.69 28.53 29.61 76.83 81.22 79.02
C
D
E
442,5 300 371,25 28.68 30.00 29.34 84.71 79.96 82.33
240 352,5 296,25 32.41 29.50 30.95 75.77 82.32 79.05
360 405 382,5 28.64 32.73 30.68 84.95 81.55 83.25
Lampiran 21. Data hasil uji lipat dan uji gigit bakso dari surimi ikan HTS yang direbus dan dikukus Rebus
Parameter Panelis
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Rata-rata
Kukus
Uji lipat
3 3 3 2 2 2 3 3 2 3 2 3 1 2 3 2 3 3 3 2 4 3 3 3 1 3 2 4 4 3 2,67
Uji gigit
B
C
D
3 4 3 2 3 2 3 3 3 3 2 3 5 3 3 4 3 3 3 4 4 4 5 3 3 3 2 3 4 4 3,23
5 3 4 2 2 2 3 4 3 3 2 3 2 2 2 5 3 5 3 4 4 3 5 4 2 3 2 2 4 3 3,13
4 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 3 5 3 5 5 5 5 3 4 4 3 5 5 3 4 5 5 5 5 4,03
E
A 4 4 3 2 3 4 2 3 2 3 2 3 3 2 2 3 3 3 3 2 4 3 2 3 3 3 2 2 4 4 2,87
6 5 4 4 4 4 3 4 4 4 4 7 4 4 4 5 4 3 6 4 8 5 4 8 6 3 4 6 6 5 4,73
Uji lipat
B
C
D
8 7 6 6 5 4 5 4 5 5 4 4 8 8 6 5 6 5 7 6 4 4 7 7 7 7 6 4 8 7 5,83
9 4 5 4 5 4 4 6 5 4 9 5 5 9 6 5 5 7 8 6 8 5 7 8 7 7 6 3 7 6 5,97
9 7 5 6 7 4 6 6 6 5 8 6 10 10 7 6 8 8 8 7 6 6 7 10 8 8 8 9 8 8 7,23
Formulasi tepung E A B 7 3 5 5 2 3 4 2 5 4 1 3 2 3 4 2 1 5 3 5 3 5 3 4 4 2 4 4 2 4 4 2 3 7 3 5 2 1 5 8 5 5 4 2 5 6 1 2 5 3 5 5 2 5 7 3 5 4 2 5 7 2 3 5 3 4 4 3 4 8 2 5 7 1 2 4 3 5 2 2 5 7 1 2 7 3 5 8 3 5 5,03 2,37 4,17
Uji gigit
C
D
4 4 3 3 4 5 4 4 4 4 3 3 5 2 2 5 5 5 5 5 4 5 5 5 3 5 5 4 4 5 4,13
3 2 5 2 2 5 4 4 2 4 5 3 5 3 2 5 3 5 3 4 3 5 5 4 2 5 1 1 3 2 3,40
E
A 5 3 3 4 5 3 3 3 4 4 2 5 4 5 5 5 3 3 5 5 4 4 4 5 2 5 5 4 4 5 4,03
7 2 2 3 4 2 2 4 4 4 1 3 1 3 4 2 2 3 3 5 2 4 2 4 6 2 1 2 4 3 3,03
B
C
D
8 4 6 4 6 8 5 6 5 6 5 8 7 7 7 5 7 7 8 7 7 5 7 8 7 7 8 6 9 9 6,63
8 6 5 5 5 7 7 6 6 5 9 9 9 8 6 7 7 8 9 7 8 7 6 10 8 8 4 9 7 8 7,13
6 4 4 2 4 5 7 6 4 3 8 4 8 2 4 5 3 8 4 6 6 4 3 6 6 6 4 3 6 5 4,87
E 8 4 5 4 5 3 4 4 6 3 7 6 6 6 7 6 4 5 8 7 8 7 7 9 8 8 4 8 10 9 6,20
Lampiran 22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang direbus Lampiran 22a Hasil analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang direbus Kekuatan gel
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Perlakuan Sisa Total
125010,0 19462,5 144472,5
4 5 9
Kuadrat tengah 31252,500 3892,500
F hitung
Signifikan
3,029
0,021
Lampiran 22b Hasil uji lanjut Duncan terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang direbus Formulasi tepung A E C B D
α = 0,05
N
1
2 2 2 2 2
2
187,5 225 247,5 322,5 502,5
Lampiran 23. Hasil analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang dikukus Kekuatan gel
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Perlakuan Sisa Total
28203,750 60271,875 88475,625
4 5 9
Kuadrat tengah 7050,938 12054,375
F hitung
Signifikan
0,585
0,688
Lampiran 24. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Lampiran 24a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 54.400 78.633 71.867 110.467 62.133
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
33.388
4
9.488
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 24b Uji lanjut Multiple Comparisons terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus selisih 24.23 17.47 56.07 7.73 6.77 31.83 16.50 38.60 9.73 48.33
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
Nilai pembanding
19.4212
ket berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata
Lampiran 25. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Lampiran 25a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 35.600 93.700 91.683 68.367 88.150
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
40.822
4
9.488
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 25b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
selisih 58.10 56.08 32.77 52.55 2.02 25.33 5.55 23.32 3.53 19.78
Nilai pembanding
19.5062
Ket berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata
Lampiran 26. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparisons terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Lampiran 26a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 49.000 78.167 80.500 109.600 60.233
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
34.967
4
9.488
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 26b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan HTS yang direbus selisih 29.17 31.50 60.60 11.23 2.33 31.43 17.93 29.10 20.27 49.37
A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
Nilai pembanding
19.5761
ket berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata
Lampiran 27. Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji gigit setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Lampiran 27a Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus Perlakuan 1 2 3 4 5 Total
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 26.750 97.000 106.717 59.900 87.133
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
67.916
4
9.488
0.000
minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Lampiran 27b Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus A-B A-C A-D A-E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
selisih 70.25 79.97 33.15 60.38 9.72 37.10 9.87 46.82 19.58 27.23
Nilai pembanding
19.6011
ket berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata tidak berbeda nyata berbeda nyata
Lampiran 28. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang direbus Derajat putih Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 6,086 1,845 7,931
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 1,522 0,369
F hitung
Signifikan
4,123
0,076
Lampiran 29. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang dikukus Derajat putih Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 19,436 16,603 36,039
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 4,859 3,321
F hitung
Signifikan
1,463
0,338
Lampiran 30. Hasil analisis ragam terhadap Water Holding Capacity (WHC) bakso ikan HTS yang direbus WHC Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 62,100 200,229 262,329
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 15,525 40,046
F hitung
Signifikan
0,388
0,810
Lampiran 31. Hasil analisis ragam terhadap Water Holding Capacity (WHC) bakso ikan HTS yang dikukus WHC Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 169,884 354,811 524,695
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 42,471 70,962
F hitung
Signifikan
0,599
0,680
Lampiran 32. Data hasil uji analisis kimia bakso dari surimi ikan HTS Cara pemasakan Parameter Kadar air (%) Rata-rata Kadar abu (%) Rata-rata Kadar protein (%) Rata-rata Kadar lemak (%) Rata-rata Kadar karbohidrat (%) Rata-rata
Rebus A B C 75,07 74,49 73,26 75,66 74,91 74,10 75,37 74,70 73,68 1,59 1,83 1,55 1,49 1,89 1,70 1,54 1,86 1,62 9,09 9,54 9,88 9,18 9,39 9,97 9,14 9,46 9,92 1,00 0,80 0,20 0,79 0,79 0,40 0,90 0,79 0,30 13,24 12,87 13,06
13,35 13,02 13,18
15,11 13,83 14,47
kukus Formulasi tepung D E A B 73,83 74,99 72,65 74,49 73,98 75,35 75,36 74,20 73,90 75,17 74,01 74,35 1,90 1,64 2,05 1,74 1,80 1,70 1,74 1,80 1,85 1,67 1,89 1,77 9,13 9,33 9,62 8,67 10,27 9,09 9,72 9,41 9,70 9,21 9,67 9,04 0,40 0,60 0,99 1,00 0,60 0,99 1,00 0,59 0,50 0,80 0,99 0,79 14,75 13,44 14,69 14,10 13,36 12,87 12,17 14,00 14,05 13,16 13,43 14,05
C 73,75 73,15 73,45 1,84 2,14 1,99 10,17 9,98 10,07 0,80 0,80 0,80 13,44 13,94 13,69
D 75,34 74,30 74,82 2,24 2,04 2,14 9,14 11,12 10,13 0,79 0,60 0,70 12,49 11,95 12,22
Lampiran 33. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar abu bakso ikan HTS yang direbus Lampiran 33a Hasil analisis ragam terhadap kadar air bakso ikan HTS yang direbus Kadar air Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 4,493 0,689 5,181
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 1,123 0,138
F hitung 8,155
Signifikan 0,020
Lampiran 33b Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar air bakso ikan HTS yang direbus Formulasi tepung A E C B D
N 2 2 2 2 2
1 73,682 73,901
α = 0,05 2 73,901 74,704
3
74,704 75,169 75,367
Lampiran 34. Hasil analisis ragam terhadap kadar air bakso ikan HTS yang dikukus Kadar air Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 2,908 6,829 9,737
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,727 1,366
F hitung 0,532
Signifikan 0,720
E 73,82 76,01 74,91 1,89 1,50 1,69 9,43 8,65 9,04 1,00 1,00 1,00 13,87 12,84 13,35
Lampiran 35. Nilai kadar abu dan analisis ragam terhadap kadar abu bakso ikan HTS yang direbus Lampiran 35a Analisis ragam terhadap kadar abu bakso ikan HTS yang direbus Kadar abu Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 0,157 0,024 0,181
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,039 0,005
F hitung
Signifikan
8,240
0,020
Lampiran 35b Uji lanjut terhadap kadar abu bakso ikan HTS yang direbus Formulasi tepung A E C B D
N 2 2 2 2 2
1 1,541 1,623 1,671
α = 0,05 2
1,671 1,848
3
1,848 1,858
Lampiran 36. Hasil analisis ragam terhadap kadar abu bakso ikan HTS yang dikukus Kadar abu Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 0,249 0,189 0,437
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,062 0,038
F hitung
Signifikan
1,648
0,296
Lampiran 37. Hasil analisis ragam terhadap kadar protein bakso ikan HTS yang direbus Kadar protein Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 0,874 0,699 1,573
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,218 0,140
F hitung
Signifikan
1,561
0,316
Lampiran 38. Hasil analisis ragam terhadap kadar protein bakso ikan HTS yang dikukus Kadar protein Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 2,267 2,546 4,813
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,567 0,509
F hitung
Signifikan
1,113
0,443
Lampiran 39. Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak bakso ikan HTS yang direbus Kadar lemak Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 0,497 0,138 0,635
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,124 0,028
F hitung
Signifikan
4,488
0,065
Lampiran 40. Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak bakso ikan HTS yang dikukus Kadar lemak Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 0,145 0,101 0,246
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,036 0,020
F hitung
Signifikan
1,786
0,269
Lampiran 41. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang direbus Kadar karbohidrat Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 3,254 2,076 5,33
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,813 0,415
F hitung
Signifikan
1,959
0,239
Lampiran 42. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang dikukus Kadar karbohidrat Perlakuan Sisa Total
Jumlah kuadrat 3,777 3,969 7,745
Derajat bebas 4 5 9
Kuadrat tengah 0,944 0,794
F hitung
Signifikan
1,190
0,417
Lampiran 43. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTS yang direbus
Keterangan : B2B 74B 2LR
= tepung tapioka 10% = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5%
4LR 1BB
= tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% = tepung sagu 10%
Lampiran 44. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTS yang dikukus
Keterangan : P2K = tepung tapioka 10% J1K = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% D1S = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5%
72H 4K4
= tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% = tepung sagu 10%