KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, SENSORI GEL DAN BAKSO DARI SURIMI IKAN LAYARAN (Istiophorus orientalis)
IKHSANUL KHAIRI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRAK IKHSANUL KHAIRI. Karakteristik Fisik, Kimia, Sensori Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus orientalis). Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan SUGENG HERI SUSENO. Ikan layaran (Istiophorus orientalis.) berpotensi diolah menjadi produk berbasis gel seperti surimi dan bakso ikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik fisik, kimia, sensori gel dan bakso ikan layaran serta membandingkan dengan bakso ikan komersial. Hasil uji karakteristik fisik gel ikan layaran adalah kekuatan gel 1937,0 gf, derajat putih 62,63% dan WHC 87,27%. Karakteristik kimia gel ikan layaran adalah kadar protein 15,63%, kadar lemak 0,20%, kadar air 72,64%, kadar abu 1,98%, kadar karbohidrat 9,54%, dan protein larut garam 2,58%. Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan layaran adalah derajat putih bernilai 69,22%, WHC bernilai 65,56% dan kekuatan gel bernilai 766,38gf. Karakteristik kimia bakso ikan layaran adalah kadar air bernilai 65,97%, kadar protein 10,71%, kadar lemak 3,47%, kadar abu 0,99%, kadar karbohidrat 18,92%, protein larut garam 2,56%, dan nilai pH 7,24. Bakso hasil penelitian lebih baik dibandingkan bakso komersial I dan lebih rendah dari bakso komersial II, tetapi belum sesuai SNI, namun mendapat respon baik dari panelis. Kata kunci: bakso ikan, gel ikan, surimi, karakteristik fisik-kimia-sensori, pencucian,
ABSTRACT IKHSANUL KHAIRI. Physical, Chemical, Sensory Characteristics of Gel and Fish Ball from Sailfish’s Surimi (Istiophorus orientalis). Supervised by DJOKO POERNOMO and SUGENG HERI SUSENO. The aim of this research is to study chemical, physical, sensory characteristics of gel and fish balls and compared it with commercial fish balls, SNI and another research of sailfish’s fish balls. Physical characteristics results of fish gel were gel strength, whiteness and WHC 1937.0 gf; 62.63%, and 87.27%, respectively. Chemical characteristics results of fish gel were protein, fatty, moisture, ash, carbohydrate, and salt soluble protein 15.63%; 0.20%; 72.64%; 1.98%; 9.54% and 2.58%, respectively. Physical characteriscics results of fish ball were whiteness, WHC and gel strength 69.22%; 65.56% and 766,38 gf, respectively. Chemical characteristics results of fish gel were protein, fatty, moisture, ash, carbohydrate, salt soluble protein and pH level 10.71%; 3.47%; 65.97%; 0.99%; 18.92%; 2.56% and 7,24, respectively. Fish balls from the research was better than commercial fish balls I but not good enough from commercial fish balls II, which is inappropriate with the SNI but had good response from the panelist. Keywords: fish balls, fish gels, surimi, chemical-physical-sensory characteristics, washing cycle.
KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, SENSORI GEL DAN BAKSO DARI SURIMI IKAN LAYARAN (Istiophorus orientalis)
IKHSANUL KHAIRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NIM
: Karakteristik Fisik, Kimia, Sensori Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) : Ikhsanul Khairi : C34080059
Disetujui oleh
Ir. Djoko Poernomo, B.Sc Pembimbing I
Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Si Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil Ketua Departemen
Tanggal lulus :
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisik, Kimia, Sensori Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)”. Penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ir. Djoko Poernomo, B.Sc dan Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing, Ir Heru Sumaryanto M.Si sebagai dosen penguji, Dr. Ir. Ruddy Suwandi, Ms, M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Keluarga terutama Ayah (Darnius) Mama (Ida Hani) serta adikadikku Maulana Furqan dan Rizka Maulidya yang telah memberikan semangat, kasih sayang serta materil. Rafika Akhtariana, Sahabat sepenelitian (Bayu, Siska, Okta), THP 45, IMTR 45 yang telah memberikan bantuan dan motivasi, Ibu Emma, Mba Dini, Ibu Rubiyah dan Mas Zacki yang telah membantu banyak selama penelitian di laboratorium. Berkenaan dengan penulisan skripsi ini, penulis menyadari dalam penyusunan skripsi masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi yang membutuhkan serta dilanjutkan sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Bogor, April 2013 Ikhsanul Khairi
DAFTAR ISI
PRAKATA
viii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
x
PENDAHULUAN
1
Latar belakang
1
Tujuan
1
Manfaat
2
METODE PENELITIAN
2
Bahan
2
Alat
2
Penentuan kesegaran ikan (uji sensori)
2
Preparasi ikan
3
Pembuatan surimi
3
Pembuatan bakso
3
Prosedur analisis data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Hasil
4
Pembahasan
7
SIMPULAN DAN SARAN
14
Simpulan
14
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16
RIWAYAT HIDUP
19
DAFTAR TABEL 1. Hasil uji sensori ikan layaran (Istiophorus orientalis) 2. Persentase bagian-bagian tubuh ikan layaran (Istiophorus orientalis) 3. Hasil uji proksimat daging ikan layaran (Istiophorus orientalis) 4. Hasil uji sensori gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) 5. Hasil uji karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) 6. Hasil uji karakteristik kimia gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) 7. Hasil uji sensori bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) 8. Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) 9. Hasil uji karakteristik kimia bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis)
4 5 5 5 5 6 6 7 7
PENDAHULUAN Latar belakang Produksi perikanan tangkap ikan layaran (Istiophorus orientalis) cenderung naik tiap tahunnya. Data statistik KKP (2011) menunjukkan produksi ikan layaran pada tahun 2010 mencapai 4.765 ton dan naik menjadi 5.572 ton pada tahun 2011. Hal ini menunjukan bahwa ikan layaran memiliki prospek yang baik untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah seperti bakso ikan. Tingkat konsumsi ikan di kalangan masyarakat Indonesia juga masih rendah, berbeda dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang. Sebagai ilustrasi, KKP (2012) menyebutkan data tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2011 mencapai 31,64 Kg/kapita sedangkan Jepang mengkonsumsi ikan lebih banyak dibandingkan Indonesia yakni 100 Kg/kapita. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ikan nasional adalah dengan diversifikasi produk. Salah satu produk diversifikasi perikanan adalah bakso ikan. Bakso ikan merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau bentuk lain, yang dibuat dari campuran daging dan pati dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Kualitas bakso ikan sangat dipengaruhi oleh surimi. Surimi yang memiliki mutu tinggi adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi serta bewarna putih cerah. Untuk memperoleh surimi yang berkualitas maka harus dilakukan proses pencucian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shimizu et al (1992) untuk mendapatkan surimi dengan kualitas pembentukan gel yang baik, maka dalam produksi surimi dilakukan teknik pencucian. Pembuatan bakso memerlukan surimi yang berkualitas, agar menghasilkan bakso berkualitas. Untuk menentukan kualitas suatu surimi maka kita akan memerlukan informasi tentang karakteristiknya. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian bakso ikan layaran sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Subekti (2012) bakso berbahan baku daging lumat ikan layaran diperoleh nilai kekuatan gel 755,65 gf, hasil penelitian Warsianingsih (2012) bakso berbahan baku surimi pencucian satu kali diperoleh nilai kekuatan gel 849,90 gf dan hasil penelitian Oktaviani (2012) bakso berbahan baku surimi pencucian dua kali diperoleh nilai 916,25 gf. Dalam penelitian ini akan mempelajari lebih dalam pengaruh surimi pencucian tiga kali terhadap karakteristik fisik, kimia serta nilai sensori bakso dan membandingkan dengan bakso komersial, bakso ikan layaran hasil penelitian sebelumnya dan standar SNI, sehingga hasil penelitian ini didapatkan sebuah informasi yang berharga bagi pelaku pengolahan bakso ikan layaran. Tujuan Tujuan dilaksanakan penelitian adalah untuk mengetahui : 1. Karakteristik fisik, kimia dan sensori gel dari surimi ikan layaran. 2. Karakteristik fisik, kimia dan sensori bakso dari surimi ikan layaran.
2 3. Membandingkan karakteristik fisik, kimia dan sensori bakso ikan layaran hasil penelitian dengan bakso ikan komersial dan bakso ikan layaran penelitian sebelumnya serta standar SNI. Manfaat Penelitian karakteristik fisik, kimia, sensori gel dan bakso dari surimi ikan layaran dapat dijadikan acuan dalam menentukan formulasi pengolahan bakso ikan. Penelitian ini juga membantu menentukan jenis surimi yang tepat dalam pengolahan bakso ikan secara konvensional.
METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, serta Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian dilakukan selama empat bulan (Februari - Mei 2012).
Bahan Bahan baku yang digunakan adalah ikan layaran (Istiophorus orientalis) dibeli dari TPI Pelabuhan Ratu, bahan lain yang digunakan adalah tepung tapioka, bawang merah goreng, bawang putih, garam, merica, minyak goreng, air, es, akuades, HCl 0,1 N, K2 SO4 , HgO, H2 SO4 , NaOH 40 %, H3 BO3 . Alat Alat yang digunakan selama penelitian meliputi pisau, talenan, baskom plastik, sendok, karet, tabung stainless, timbangan digital, meat grinder, food processor, alat pengepres surimi, kain belacu, panci perebusan, kompor, oven, desikator, kompor, tanur, tabung kjeldahl, erlenmeyer, soxhlet, kondensor, labu lemak, waring blender, gelas kimia, termometer, pH meter dan kertas saring, chromameter minolta, carverpress dan texture analyzer (TA-XT21).
Penentuan kesegaran ikan (uji sensori) Uji sensori mengacu pada SNI 01-2729.1-2006 yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Panelis yang digunakan adalah 30 panelis semi terlatih.
3 Preparasi ikan Ikan dipreparasi untuk memperoleh rendemen. Preparasi dimulai dengan memisahkan daging, jeroan, sirip, kulit serta kotoran-kotoran lainnya. Daging selanjutnya dilumatkan dengan meat grinder. Pembuatan surimi Pembuatan surimi mengacu pada penelitian Uju et al. (2004) yang telah dimodifikasi. Proses pembuatan surimi dimulai dengan penimbangan daging, kemudian dicuci dengan air es (5-8oC) dan diaduk selama 10 menit. Proses pencucian dilakukan hingga tiga kali ulangan. Perbandingan air es dan daging lumat sebesar 3:1. Daging selanjutnya disaring menggunakan kain blacu dan diperas menggunakan alat pemeras surimi dengan tingkat pemerasan yang sama. Pencucian terakhir ditambahkan garam sebanyak 0,3% (b/b), kemudian dilanjutkan penimbangan berat akhir. Pembuatan gel ikan Pembuatan gel ikan mengacu pada penelitian Nagai et al. (2007) yang telah dimodifikasi. Proses pembuatan gel ikan diawali dengan dicampurkan garam 2,5% (b/b) dengan surimi menggunakan food processor hingga homogen. Adonan selanjutnya dicetak menggunakan tabung stainless, tabung stainless yang berisi adonan direbus. Perebusan dilakukan dua tahap, tahap pertama menggunakan suhu 45-50oC selama 20 menit dan tahap kedua dengan suhu 80-90 oC selama 30 menit. Pembuatan bakso Pembuatan bakso mengacu pada penelitian Kok (2005) yang telah dimodifikasi. Pembuatan bakso diawali dengan memasukkan surimi dalam food processor serta ditambahkan garam sebanyak 2,5% sambil diaduk hingga lengket. Food processor selanjutnya dimatikan untuk ditambahkan bawang goreng 2,5%, bawang putih 4%, lada 1%, selanjutnya food processor dinyalakan kembali serta ditambahkan tepung tapioka 10% dari berat total surimi serta diaduk hingga homogen. Terakhir ditambahkan minyak goreng 1%, air es dan diaduk hingga homogen, kemudian bakso dicetak. Tahap berikutnya direbus dengan suhu 4550 oC selama 5 menit pertama, dilanjutkan dengan suhu 80-90 oC selama 15 menit. Prosedur Analisis Data Analisis terdiri dari tiga, yaitu uji sensori, analisis fisik dan kimia. Uji sensori dilakukan dengan menggunakan uji scoring. Analisis fisik dilakukan terdiri dari uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji water holding capacity (WHC). Analisis kimia meliputi analisis proksimat, protein larut garam (PLG) dan pengukuran nilai pH.
4 Rendemen Perhitungan rendemen daging ikan layaran segar dan surimi diperoleh dengan persamaan. Berat akhir dinyatakan dalam x dan berat awal dinyatakan dalam y. Rendemen surimi = x x 100 % y Analisis sensori (Rahayu 2001) Uji sensori mengacu pada metode Rahayu (2001). Panelis yang digunakan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur, penampakan, uji lipat dan uji gigit. Analisis fisik Analisis fisik meliputi uji kekuatan gel menggunakan texture analyzer (TA-XT21). Uji derajat putih menggunakan chromameter minolta. Uji lipat dan uji gigit mengacu metode Suzuki (1981). Uji water holding capacity (WHC) menggunakan carverpress. Analisis kimia Analisis kimia yaitu uji proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak mengacu metode AOAC (1999), kadar karbohidrat dengan motode by difference. Analisis protein larut garam mengacu metode Shuffle dan Galbraeth (1964). Pengukuran nilai pH menggunakan pH meter.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sensori ikan Hasil uji sensori ikan layaran yang digunakan sebagai bahan baku dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil uji sensori ikan Parameter Mata Insang Lendir Daging Bau Tekstur Rata-rata
Hasil 5 5 7 7 7 7 6,33
Persentase bagian tubuh ikan, daging lumat, surimi dan hasil uji proksimat daging segar Hasil persentase bagian-bagian tubuh ikan layaran utuh dapat dilihat pada Tabel 2. Bagian fillet ikan tanpa kulit yang diperoleh selanjutnya dilumatkan. Berat awal daging ikan sebesar 8.898 gram, setelah menjadi daging lumat, berat
5 berubah menjadi 7.724 gram. Hasil uji proksimat daging ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 3. Proses pembuatan surimi menggunakan daging lumat sebanyak 5.500 gram. Rendemen yang dihasilkan setelah diolah menjadi surimi dengan pencucian tiga kali sebesar 2.933 gram. Tabel 2 Persentase bagian-bagian tubuh ikan layaran (Istiophorus orientalis) Bagian tubuh Daging Tulang Insang Kepala Jeroan Sirip Kulit Daging samping Lain-lain
Jumlah (%) 44,49 9,25 2,36 5,68 7,62 5,09 8,23 14,63 2,65
Tabel 3 Hasil uji proksimat daging ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter Kadar lemak Kadar protein Kadar abu Kadar karbohidrat Kadar air
Hasil (%) 0,39‚0,02 12,43‚0,02 1,09‚0,15 6,98‚0,39 79,10‚0,25
Karakteristik sensori gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil yang diperoleh dari uji sensori dapat dilihat pada Tabel 4. Parameter warna, penampakan serta rasa diperoleh nilai rata-rata enam (agak suka). Parameter tekstur dan aroma diperoleh nilai rata-rata lima (netral). Tabel 4 Hasil uji sensori gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter Penampakan Rasa Warna Aroma Tekstur
Nilai rata-rata 6 6 6 5 5
. Karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil uji karakteristik fisik gel ikan dapat dilihat pada Tabel 5. Parameter uji lipat diperoleh nilai tiga (gel ikan sedikit retak bila dilipat sebanyak satu kali). Parameter uji gigit memperoleh nilai tujuh (gel ikan agak kuat). Tabel 5 Hasil uji karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter Uji lipat Uji gigit Kekuatan gel (gf) Derajat putih (%) WHC (%)
Hasil 3 7 1937,0‚7,77 62,63‚0,14 87,27‚0,52
6 Karakteristik kimia gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Karakteristik kimia gel ikan yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 6. Parameter paling tinggi adalah kadar air yaitu 72,64%. Kadar protein diperoleh hasil 15,63%. Kadar karbohidrat diperoleh hasil 9,54%. Tiga parameter terendah adalah protein larut garam 2,58%, kadar abu 1,98%, dan kadar lemak 0,20%. Tabel 6 Hasil uji karakteristik kimia gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter Kadar protein Kadar lemak Kadar air Kadar abu Kadar karbohidrat Protein larut garam (PLG)
Hasil (%) 15,63‚0,17 0,20‚0,02 72,64‚0,25 1,98‚0,01 9,54‚0,08 2,58‚0,03
Karakteristik sensori bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil uji sensori ketiga jenis bakso dapat dilihat pada Tabel 7. Parameter rasa memiliki nilai paling rendah pada bakso hasil penelitian yaitu lima (netral). Parameter penampakan, tekstur dan aroma pada bakso ikan hasil penelitian ini diperoleh nilai enam (agak suka). Parameter warna pada bakso ikan hasil penelitian diperoleh nilai tujuh (suka). Bakso ikan komersial I diperoleh nilai empat untuk parameter penampakan, rasa tekstur, dan aroma (agak tidak suka). Parameter warna diperoleh nilai lima (netral). Bakso ikan komersial II diperoleh nilai tujuh (suka) untuk semua parameter. Tabel 7 Hasil uji sensori bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter Warna Penampakan Rasa Tekstur Aroma
Bakso ikan hasil penelitian 7 6 5 6 6
Bakso ikan komersial I 5 4 4 4 4
Bakso ikan komersial II 7 7 7 7 7
Karakteristik fisik bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan layaran yang diperoleh pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa parameter uji lipat diperoleh nilai tiga dari panelis dengan deskripsi sedikit retak bila dilipat satu kali, bakso komersial I diperoleh nilai dua dari panelis dengan deskripsi retak bila dilipat satu kali, bakso komersial II yang diperoleh nilai empat dari panelis dengan deskripsi tidak retak bila dilipat satu kali. Hasil uji gigit bakso ikan hasil penelitian adalah enam (normal) dari panelis, bakso komersial II diperoleh nilai delapan (kuat) dari panelis, bakso ikan komersial I diperoleh hasil lima (agak lunak) dari panelis. Derajat putih bakso hasil penelitian adalah 69,22%, bakso komersial II adalah 73,44%, bakso komersial II diperoleh nilai 61,17%. Hasil uji WHC bakso hasil penelitian adalah 65,56%, bakso komersial I 63,57% dan bakso komersial II diperoleh nilai 60,95%. Hasil analisis kekuatan gel bakso penelitian adalah 766,25 gf, bakso komersial I yaitu 2219,20 gf dan bakso komersial II yaitu 1171,85 gf.
7 Tabel 8 Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter Uji lipat Uji gigit Derajat putih (%) WHC (%) Kekuatan gel (gf)
Bakso ikan hasil penelitian 3 6 69,22‚0,02 65,56‚0,07 766,25‚38,68
Bakso ikan komersial I 2 5 61,17‚0,00 63,57‚1,66 2219,20‚68,02
Bakso ikan komersial II 4 8 73,44‚0,03 60,95‚0,74 1171,85‚24,11
Karakteristik kimia bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil pada Tabel 9, bakso ikan hasil penelitian diperoleh kadar air 65,97%, bakso komersial II dengan nilai 73,79%, bakso komersial I dengan nilai 59,44%. Kadar protein bakso ikan hasil penelitian diperoleh nilai 10,71%, bakso komersial adalah I 5,01% dan bakso komersial II adalah 7,88%. Kadar lemak bakso ikan komersial I dengan nilai 4,02%, bakso ikan hasil penelitian diperoleh nilai 3,47% dan bakso komersial II diperoleh nilai 0,87%. Kadar abu bakso ikan hasil penelitian diperoleh nilai 0,99%, bakso komersial I 2,27% dan komersial II 2,16%. Kadar karbohidrat bakso ikan hasil penelitian diperoleh nilai 18,92%, bakso komersial I dengan nilai 29,24%, bakso komersial II dengan nilai 15,32%. Protein larut garam bakso komersial I diperoleh nilai 3,89%, bakso ikan hasil penelitian dengan nilai 2,56%, bakso komersial II dengan nilai 0,37%. Nilai pH bakso ikan hasil penelitian diperoleh nilai 7,24, bakso komersial I adalah 5,62 dan bakso komersial II adalah 6,62. Tabel 9 Hasil uji karakteristik kimia bakso ikan Parameter Kadar air (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar abu (%) Kadar karbohidrat (%) PLG (%) Nilai pH
Bakso ikan hasil penelitian 65,97‚0,14 10,71‚0,11 3,47‚0,46 0,99‚0,01 18,92‚0,60 2,56‚0,02 7,24‚0,04
Bakso ikan komersial I 59,44‚0,16 5,01‚0,00 4,02‚0,13 2,27‚0,12 29,24‚0,09 3,89‚0,02 5,62‚0,02
Bakso ikan komersial II 73,79‚0,05 7,88‚0,01 0,84‚0,02 2,16‚0,00 15,32‚0,01 0,37‚0,00 6,62‚0,01
Standar SNI (01-3819-1995) Maks 80% Min 9% Maks 1% Maks 3% -
Pembahasan Sensori ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil uji sensori diperoleh nilai rata-rata 6,33. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa ikan yang digunakan dalam keadaan agak segar. Nilai uji sensori masih dikisaran angka tujuh, kecuali spesifikasi mata dan insang yang turun hingga lima. Ikan yang digunakan diperkirakan mulai terjadi penurunan mutu pasca penangkapan diatas kapal. Kemunduran mutu ikan diakibatkan oleh penerapan rantai dingin yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hasil uji sensori menunjukan bahan baku tidak sesuai dengan mutu bahan baku yang ditetapkan BSN dalam SNI 01-2729.2-2006, namun Widiastuti (2007) menyebutkan mutu ikan yang berkisar antara lima dan enam masih layak untuk dikonsumsi.
8 Persentase bagian tubuh, daging lumat, surimi dan hasil uji proksimat daging segar ikan layaran (Istiophorus orientalis) Jumlah rendemen daging ikan yang digunakan relatif sedikit. Hal ini diakibatkan hanya daging berkualitas yang digunakan untuk bahan baku. Bagian tubuh ikan yang lebih banyak mengandung lemak seperti organ dalam, daging perut tidak digunakan, karena prinsip pengolahan surimi hanya menggunakan protein. Hasil uji proksimat daging ikan parameter kadar lemak merupakan komposisi paling rendah pada hasil uji proksimat. Kadar lemak pada ikan bervariasi jumlahnya. Kadar lemak ikan pelagis berkisar antara kurang 1% hingga 30%. Kadar lemak pada ikan dipengaruhi oleh musim (Ranken et al. 1997), kondisi fisiologis dan makanan (Brown dan Murphy 1991). Kadar lemak pada ikan layaran tergolong rendah, karena tidak mencapai 2% (Shahidi dan Botta 1994). Kadar protein pada ikan layaran lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak. Ikan yang mengandung kadar lemak rendah, secara umum kadar proteinnya akan lebih tinggi (Adawiyah 2008). Kadar protein pada ikan juga dipengaruhi kondisi fisiologis ikan (Naeem dan Ishtiaq 2011). Kadar air merupakan komponen paling tinggi pada ikan. Persentase air merupakan indikator dari energi relatif, protein dan lemak. Semakin rendah persentase air maka protein, lemak dan kepadatan energi pada ikan akan semakin tinggi (Dempson et al 2004). Namun nilai-nilai ini juga dipengaruhi oleh spesies, ukuran, tingkat kematangan gonad, musim dan aktifitas fisik ikan (Aberoumand 2012). Jumlah kadar abu ikan layaran kedua terendah setelah kadar lemak. Srilakshmi (2005) menyebutkan komposisi kadar abu pada ikan umumnya berjumlah sekitar 1.5%. Kandungan karbohidrat pada ikan ini juga tidak terlalu tinggi. Kadar karbohidrat ikan sangat kecil jumlahnya (Almatsier 2006). Jenis karbohidrat dalam ikan berupa selulosa dan jenis karbohidrat berserat (Krogdahl et al 2004), sama halnya dengan protein, lemak dan kadar air, karbohidrat pada ikan juga dipengaruhi oleh ukuran, jenis kelamin serta tingkat kematangan gonad (Nurnadia et al 2011). Karakteristik sensori gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil uji sensori menunjukan panelis agak suka dengan penampakan gel ikan. Penampakan menarik pada gel ikan diduga dipengaruhi oleh proses pencucian hingga tiga kali ulangan. Haryati (2001) menyebutkan bahwa proses pencucian pada surimi dapat meningkatkan nilai penampakan gel ikan. Parameter rasa mendapat respon agak suka dari panelis. Rasa pada gel ikan diduga dipengaruhi oleh garam yang ditambahkan selama proses pembuatan gel ikan. Nishioka et al. (2003) meyebutkan garam yang digunakan dalam proses produksi gel ikan mempengaruhi rasa, karena mineral seperti kalsium dan magnesium memberi efek rasa asin ringan. Winarti dan Asriningrum (2008) juga menyebutkan garam mempengaruhi rasa gel ikan. Gel ikan yang dihasilkan penelitian ini mendapat respon agak suka dari panelis untuk parameter warna. Warna yang disukai panelis, diduga dipengaruhi oleh pencucian surimi hingga tiga kali ulangan. Haryati (2001) berpendapat bahwa proses pencucian saat pembuatan surimi mempengaruhi warna gel ikan. Pada saat pencucian pigmen daging, darah dan kotoran akan ikut terlarut bersama air
9 Uji sensori parameter aroma mendapat tanggapan netral dari panelis. Aroma pada gel ikan diduga dipengaruhi oleh penambahan garam, sehingga gel ikan tidak berbau amis. Penelitian Winarti dan Asriningrum (2008) menyebutkan bahwa penambahan NaCl (garam) dapat mempengaruhi aroma gel ikan. Hasil uji sensori parameter tekstur mendapat respon netral dari panelis. Tekstur yang diperoleh adalah elastis, diduga tekstur elastis pada gel ikan dipengaruhi saat proses perebusan. Suryaningrum (2008) menyebutkan pembentukan gel elastis terjadi karena adanya dua prinsip, yaitu pemasakan dan pengadukan. Karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter uji lipat diperoleh hasil sedikit retak jika dilipat satu kali. Frekuensi pencucian mempengaruhi hasil uji lipat gel ikan. Semakin banyak pencucian yang dilakukan maka semakin baik hasil uji lipat yang diperoleh. Hasil yang diperoleh pada gel ikan penelitian ini berbeda dengan teori yang ada, diduga hal ini disebabkan oleh penurunan keutuhan protein myofibrillar selama proses pembekuan. Dugaan ini diperkuat dengan penelitian Nopianti et al. (2012) yang menyatakan bahwa surimi tanpa cryoprotectant akan diperoleh hasil uji lipat yang lebih rendah, karena penambahan cryoprotectant merupakan cara yang efektif untuk mempertahankan keutuhan protein myofibrillar selama penyimpanan beku. Parameter uji gigit diperoleh hasil agak kuat untuk tingkat kekenyalan gelnya. Tingkat kekenyalan gel pada ikan dipengaruhi oleh proses pencucian. Proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma, sehingga kandungan protein miofibril meningkat. Protein miofibril merupakan pembentul gel pada surimi (Park 2005). Nilai kekuatan gel yang diperoleh adalah 1937,0 gf. Hasil ini diduga dipengaruhi oleh proses pencucian yang dilakukan hingga tiga kali ulangan. Amiza dan Ain (2012) menyebutkan surimi yang diolah dengan pencucian hingga tiga kali ulangan menghasilkan kekuatan gel surimi yang semakin tinggi. Penelitian ini juga menyebutkan penambahan garam tidak memberikan efek yang signifikan dalam perubahan kekuatan gel ikan. Hasil derajat putih yang diperoleh mencapai 62,63%. Derajat putih pada gel ikan dipengaruhi oleh pencucian yang dilakukan hingga tiga kali ulangan dan penambahan garam pada tahap pencucian akhir. Menurut Amiza dan Ain (2012) gel ikan dengan pencucian hingga empat kali memiliki derajat putih paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan pencucian yang lain, mereka juga menyebutkan penambahan garam juga mempengaruhi tingkat derajat putih gel ikan. Hasil uji WHC yang diperoleh pada penelitian ini adalah 87,27%. Nilai WHC diduga dipengaruhi oleh garam yang ditambahkan dalam gel ikan. Menurut Poernomo et al. (1999) garam yang ditambahkan dapat memperluas ruang antar filamen dalam protein miofibril, sehingga menyebabkan air yang terikat oleh protein miofibril semakin banyak. Karakteristik kimia gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) Persentase kadar protein pada gel ikan lebih tinggi dibandingkan pada daging ikan segar. Peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh proses pencucian. Selama proses pencucian dapat melarutkan lemak, sehingga terjadi peningkatan
10 untuk persentase kadar protein. Hossain et al. (2004) menyebutkan gel ikan yang dilakukan proses pencucian, persentase kadar proteinnya akan meningkat. Persentase kadar lemak menurun dibandingkan dengan daging ikan segar. Proses pencucian diduga menjadi penyebabnya. Selama proses pencucian pada surimi terjadi pelarutan lemak bersama air yang digunakan. Pattaravivat et al. (2008) berpendapat ketika penggulangan pencucian bertambah, maka kandungan lemak pada daging akan berkurang. Persentase kadar air pada gel ikan terjadi penurunan dibandingkan dengan daging ikan segar. Penurunan persentase kadar air diduga dipengaruhi oleh proses perebusan pada saat pembuatan gel ikan, sehingga kadar air dalam bahan sedikit banyaknya keluar. Persentase kadar abu pada gel ikan cenderung naik dibandingkan pada daging segar. Penambahan garam diduga menjadi penyebabnya. Garam merupakan salah satu jenis mineral. Hasil yang sama juga diperoleh dalam penelitian Yathavamoorthi et al. (2010) dengan hasil gel ikan yang dilakukan pencucian dengan penambahan garam terjadi peningkatan persentase kadar abu. Perubahan persentase ini juga terjadi pada kadar karbohidrat. Parameter protein larut garam diperoleh nilai 2,58%. Protein larut garam dipengaruhi oleh proses pencucian. Santoso et al. (2008) menyebutkan kadar protein larut garam meningkat dengan meningkatnya protein miofibril selama proses pencucian. Karakteristik sensori bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter warna mendapat respon suka dari panelis. Hasil ini sama dengan bakso komersial II dan lebih baik dari bakso komersial I yang mendapat respon netral. Jika dibandingkan dengan penelitian bakso ikan layaran sebelumnya, parameter warna bakso penelitian ini memperoleh nilai sama dengan bakso ikan layaran dengan bahan baku daging lumat (Subekti 2012) dan surimi pencucian satu kali (Warsianingsih 2012) serta lebih tinggi dibandingkan dengan bakso berbahan baku surimi pencucian dua kali yang hanya mendapat respon agak suka (Oktaviani 2012). Warna yang disukai panelis warna putih atau sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh BSN dalam SNI 01-3819-1995. Warna pada bakso dipengaruhi oleh surimi. Menurut Haryati (2001) selama proses pencucian surimi, pigmen warna daging, kotoran, dan darah ikut terbawa air sehingga menghasilkan surimi yang lebih putih. Parameter penampakan mendapat respon agak suka dari panelis. Parameter penampakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bakso komersial I yang mendapat respon agak tidak suka dari panelis dan lebih rendah jika dibandingkan bakso komersial II yang mendapat respon suka dari panelis. Perbedaan antara bakso yang dihasilkan dengan bakso komersial II tidak terlalu signifikan, berbeda jika dibandingkan dengan bakso komersial I yang jauh lebih rendah. Jika dibandingkan dengan penelitian bakso ikan layaran sebelumnya, penampakan bakso hasil penelitian ini memperoleh nilai yang sama dengan bakso berbahan baku surimi pencucian tiga kali (Oktaviani 2012) serta lebih rendah jika dibandingkan dengan bakso berbahan baku surimi pencucian dua kali (Warsianingsih 2012) dan tanpa pencucian (Subekti 2012). Dari segi penampakan, bakso yang dihasilkan dapat diterima oleh konsumen secara umum. Parameter ketiga adalah rasa. Bakso yang dihasilkan mendapat respon netral. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan bakso komersial I yang mendapat
11 respon agak tidak suka. Hasil yang diperoleh berbeda signifikan dibandingkan dengan bakso komersial II. Bakso komersial II mendapat penilaian suka dari panelis. Tingginya hasil rasa bakso komersial II diduga karena penambahan bahan tambahan untuk menguatkan rasa seperti mononatrium glutamate. Rasa bakso hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran yang mendapat respon agak suka (Subekti 2012), hal yang sama jika dibandingkan dengan bakso berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali (Warsianingsih 2012) namun jika dibandingkan dengan bakso berbahan baku surimi ikan layaran pencucian dua kali maka diperoleh nilai yang sama dengan bakso hasil penelitian ini (Oktaviani 2012). Parameter tekstur, bakso hasil penelitian mendapat penilaian agak suka terhadap parameter tekstur. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan bakso komersial II yang mendapat penilaian suka dari panelis. Perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan bakso komersial I yang mendapat penilaian agak tidak suka. Bakso yang dihasilkan secara umum sudah dapat diterima oleh konsumen. Tekstur yang disukai panelis diduga dipengaruhi oleh surimi yang digunakan. Djazuli et al. (2009) menyebutkan protein larut garam (miofibril) sangat penting dalam menentukan mutu fungsional terutama pembentukan gel dan tekstur. Tekstur bakso berbahan baku daging lumat ikan layaran mendapat respon suka dari panelis (Subekti 2012) atau lebih tinggi dibandingkan dengan bakso berbahan baku surimi pencucian satu kali (Warsianingsih 2012) yang memperoleh nilai sama dengan bakso hasil penelitian. Hasil lebih rendah ditemukan pada penelitian bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian dua kali (Oktaviani 2012). Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi nilai kekuatan gel tidak mendapat respon baik dari panelis. Parameter aroma yang dihasilkan pada bakso penelitian ini mendapat respon agak suka, tidak jauh berbeda dengan bakso ikan komersial II yang mendapat respon suka. Aroma bakso ikan yang dihasilkan jauh berbeda dibandingkan aroma bakso komersial I yang mendapat respon agak tidak suka. Dilihat dari segi aroma, bakso yang dihasilkan sudah dapat diterima oleh konsumen. Aroma yang dihasilkan pada bakso penelitian ini netral. Aroma bakso penelitian memperoleh nilai sama dibandingkan dengan bakso berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali (Warsianingsih 2012) dan dua kali (Oktaviani 2012). Hasil yang lebih tinggi diperoleh pada bakso berbahan baku daging lumat ikan layaran yaitu suka (Subekti 2012). Hasil ini diduga panelis lebih suka dengan aroma bakso berbahan baku daging lumat karena aroma khas ikan. Karakteristik fisik bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Hasil uji lipat bakso penelitian akan sedikit retak bila dilipat satu kali. Bakso komersial I lebih rendah kualitasnya karena retak bila dilipat satu kali, sedangkan bakso komersial II lebih tinggi kualitasnnya karena tidak retak bila dilipat satu kali. Bakso komersial II mendapat nilai uji lipat terbaik diduga memakai bahan tambahan dalam proses pembuatan bakso. Hasil penelitian bakso ikan layaran sebelumnya diperoleh bakso ikan layaran berbahan baku daging lumat memperoleh nilai uji lipat lima (tidak retak bila dilipat dua kali) (Subekti 2012), berbeda dengan bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali memperoleh nilai tiga (sedikit retak bila dilipat satu kali) (Warsianingsih 2012), hasil serupa juga diperoleh pada penelitian bakso ikan surimi ikan layaran
12 pencucian dua kali (Oktaviani 2012) dan bakso penelitian ini. Hasil yang berbeda ini diduga dipengaruhi oleh tingkat kesegaran ikan yang digunakan pada penelitian ini (Park 2005). Parameter uji gigit untuk bakso penelitian mendapat respon normal. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan bakso komersial II yang memperoleh respon kuat dari panelis, namun lebih baik dibandingkan dengan bakso ikan komersial I yang memperoleh respon agak lunak. Hasil penelitian bakso ikan layaran meggunakan daging lumat diperoleh nilai tujuh (agak kuat) dari panelis (Subekti 2012), hasil serupa diperoleh pada bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali (Warsianingsih 2012). Hasil yang lebih rendah diperoleh pada bakso ikan berbahan baku surimi pencucian dua kali (Oktaviani 2012) dan bakso hasil penelitian ini yaitu dengan nilai enam (normal). Hasil ini juga dipengaruhi oleh tingkat kesegaran ikan (Park 2005). Parameter derajat putih bakso penelitian lebih rendah dari bakso komersial II dan lebih tinggi dari bakso komersial I. Bakso komersial I nilai derajat putihnya rendah karena menggunakan daging lumat sebagai bahan baku, berbeda dengan bakso penelitian ini yang menggunakan surimi pencucian tiga kali. Bakso komersial II lebih baik dari kedua bakso lainnya, diduga dipengaruhi oleh jenis surimi yang digunakan. Parameter derajat putih bakso hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan bakso daging lumat ikan layaran hasil penelitian Subekti (2012), serta bakso berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali (Warsianingsih 2012) dan pencucian dua kali (Oktaviani 2012). Poernomo et al. (1999) berpendapat bahwa pada proses pencucian dan pemerasan semua kotoran, lemak, darah dan protein sarkoplasma larut dalam air sehingga warna gel ikan semakin putih. Penambahan tepung tapioka juga berfungsi sebagai bahan pembantu pewarna putih (Raditya dan Agusto 2008). Hasil uji Water Holding Capacity (WHC) pada bakso penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan dua jenis bakso lain. Nilai WHC terjadi fluktuasi jika dibandingkan dengan hasil penelitian bakso ikan layaran sebelumnya. Nilai WHC terjadi peningkatan pada bakso ikan layaran berbahan baku surimi pencucian satu kali (Warsianingsih 2012) dan pencucian dua kali (Oktaviani 2012) dibandingkan dengan bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran (Subekti 2012), namun pada bakso berbahan baku surimi ikan layaran pencucian tiga kali terjadi penurunan nilai WHC. Hasil ini diduga berhubungan dengan nilai protein pada bakso, karena Kramlich (1971) berpendapat faktor yang menyebabkan tinggi nilai WHC adalah kandungan air, protein dan penggunaan garam. Semakin tinggi kandungan protein maka semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat. Parameter kekuatan gel, hasil yang diperoleh pada bakso penelitian memiliki nilai kekuatan gel paling rendah dibandingkan dengan bakso komersial I dan bakso komersial II. Nilai kekuatan gel yang tinggi tidak selalu berdampak baik pada produk yang berbasis gel. Hal ini dapat dilihat pada bakso komersial I yang memiliki kekuatan gel yang tinggi tidak mendapatkan respon yang baik pada uji gigit. Jika dibandingkan dengan dengan bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran, terjadi peningkatan kekuatan gel pada bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali (Warsianingsih 2012) dan pencucian dua kali (Oktaviani 2012), namun terjadi penurunan pada bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian tiga kali. Pencucian pada surimi dapat
13 meningkatkan nilai kekuatan gel (Park 2004), namun jika terlalu banyak ulangan pencucian dapat menurunkan nilai kekuatan gel. Hossain et al (2004) berpendapat pencucian yang terlalu banyak dilakukan dapat melarutkan protein sarkoplasma (pembentuk gel) yang ada pada daging ikan. Pada penelitian ini juga disebutkan pencucian terbaik adalah pencucian dua kali ulangan. Karakteristik kimia bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) Parameter kadar air, bakso ikan komersial I paling rendah kadar airnya diduga karena paling tinggi komposisi pati yang ditambahkan dalam proses pengolahan. Jenis makanan yang banyak ditambahkan pati didalamnya memiliki kemungkinan penurunan kadar air. Penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air digantikan untuk inetraksi pati dan protein (Manullang et al. 1995). Selain itu garam yang ditambahkan juga berperan dalam menghilangkan kadar air yang ada dalam bahan (Park 2005). Kadar air pada bakso jika dibandingkan dengan penelitian bakso ikan layaran sebelumnya, terjadi penurunan jumlahnya dari bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran, surimi ikan layaran pencucian satu kali hingga tiga kali, namun kadar air ketiga jenis bakso ini masih dalam batas standar yang telah ditetapkan dalam SNI 013819-1995 yaitu maksimum 80%. Kadar protein bakso hasil penelitian paling tinggi dari bakso pembanding. Hasil ini diduga dipengaruhi jenis surimi yang digunakan. Kadar protein bakso ikan komersial I dan II tidak memenuhi standar SNI, dalam SNI 01-3819-1995 kadar protein yang harus terkandung minimal 9%. Jika dibandingkan dengan bakso ikan layaran sebelumnya, terjadi peningkatan kadar protein dari bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran (Subekti 2012), bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali (Warsianingsih 2012), pencucian dua kali (Oktaviani 2012), namun pada pencucian tiga kali terjadi penurunan. Tingginya kandungan protein pada bakso berbahan baku surimi pencucian satu dan dua kali diduga karna selama pencucian dapat melarutkan lemak, namun jika pencucian yang dilakukan berulang-ulang, protein juga ikut larut selama pencucian. Zamri dan Etty (2012) menyebutkan jenis surimi mempengaruhi kadar protein pada bakso ikan, surimi dengan ulangan pencucian yang terlalu tinggi dapat menggurangi kadar protein dalam bakso yang akan dihasilkan. Berdasarkan standar SNI, dari keempat jenis bakso ikan layaran ini hanya bakso berbahan baku daging lumat yang tidak memenuhi standar. Kadar lemak pada bakso penelitian dan bakso komersial I tergolong tinggi, bahkan melebihi standar SNI (maksimum 1%), hanya bakso komersial I yang memenuhi standar. Tingginya kadar lemak bakso penelitian diduga karena adanya penambahan minyak goreng. Sartika (2009) berpendapat jenis minyak yang umumnya dipakai adalah minyak nabati. Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat. Terjadi penurunan kadar lemak pada bakso ikan daging lumat ikan layaran (Subekti 2012) dibandingkan dengan bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali (Warsianingsih 2012), namun kadar lemak kembali tinggi pada penelitian bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian dua kali (Oktaviani 2012) dan pada bakso ikan penelitian ini. Jika diacu standar SNI, pada bakso
14 berbahan baku ikan layaran, hanya bakso ikan berbahan baku surimi pencucian satu kali yang memenuhi standar. Kadar abu bakso penelitian paling rendah dibandingkan dengan kedua jenis bakso komersial. Kadar abu ketiga jenis bakso masih dalam batas standar SNI 01-3819-1995 yaitu maksimum 3%. Rendahnya persentase kadar abu pada baksi hasil penelitian diduga karena bakso hasil penelitian menggunakan surimi dengan ulangan pencucian hingga tiga kali. Jika dibandingkan dengan bakso ikan layaran penelitian sebelumnya, terjadi penuruan nilai kadar abu dari bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran, berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu, dua hingga tiga kali. Hossain et al. (2004) berpendapat bahwa proses pencucian surimi dapat mempengaruhi kadar abu pada bahan, karena bahan anorganik dapat ikut larut bersama air. Berdasarkan standar SNI, kadar abu pada keempat jenis bakso ikan layaran ini masih sesuai standar. Kadar karbohidrat tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah bakso komersial I, bakso penelitian dan bakso komersial II. Tingginya kadar karbohidrat pada bakso komersial I diduga karena pengaruh tepung yang ditambahkan. Huda et al. (2010) menyebutkan bahwa kadar karbohidrat dalam bakso ikan dipengaruhi oleh penambahan tepung. Jika dibandingkan dengan penelitian bakso ikan layaran sebelumnya, tidak terjadi perbedaan yang signifikan dengan nilai kadar karbohidratnya. Nilai protein larut garam paling (PLG) tinggi diperoleh pada bakso komersial I, kedua tertinggi pada bakso penelitian dan paling rendah pada bakso komersial II. PLG berkaitan dengan kekuatan gel suatu bahan karena pembentuk kekuatan gel adalah protein larut garam. Kandungan PLG paling tinggi diperoleh pada bakso komersial I yang diolah menggunakan daging lumat. Rendahnya nilai PLG pada bakso hasil penelitian ini diduga karena surimi yang digunakan untuk pembuatan bakso mengalami perubahan struktur protein miofibril selama penyimpanan beku. Seperti yang dikemukakan oleh Pan et al. (2010) yang menyebutkan selama proses penyimpanan protein miofibril dapat terdenaturasi. Nilai PLG pada penelitian bakso ikan layaran sebelumnya, terjadi penuruan nilai PLG pada bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran, surimi ikan layaran pencucian satu, dua hingga tiga kali. Nilai pH paling tinggi diperoleh pada bakso penelitian dan paling rendah pada bakso ikan komersial I. Nilai pH berkolerasi dengan kekuatan gel yang dihasilkan tiap bakso ikan. Thawornchinsombut dan Park (2004) menyebutkan nilai pH melebihi tujuh dapat melemahkan kekuatan gel karena terjadi hidrasi protein, namun pada nilai pH sekitar enam hingga tujuh dapat menciptakan kekuatan gel yang tinggi, karena pada nilai pH tersebut protein miosin mudah larut. Nilai pH pada penelitian bakso ikan berbahan baku daging lumat ikan layaran tidak berbeda pada bakso berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali, namun terjadi peningkatan nilai pH pada bakso berbahan baku surimi ikan layaran pencucian dua dan tiga kali.
15
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan hasil penelitian gel dan bakso dari surimi ikan layaran (Istiophorus orientalis) frekuensi pencucian tiga kali yaitu: 1) Gel ikan layaran memiliki karakteristik sensori parameter penampakan, rasa serta warna bernilai enam, parameter aroma dan tekstur bernilai lima. Karakteristik fisik yaitu parameter uji gigit dan uji lipat yaitu tujuh dan tiga, parameter kekuatan gel, derajat putih dan WHC masing masing 1937,0 gf, 62,63%, 87,27%. Karakteristik kimia yaitu kadar protein 15,63%, kadar lemak 0,20%, kadar air 72,64%, kadar abu 1,98%, kadar karbohidrat 9,54%, dan protein larut garam 2,58%. 2) Bakso memiliki karakteristik sensori yaitu parameter penampakan, tekstur serta aroma bernilai enam, parameter warna bernilai tujuh dan rasa bernilai lima, parameter derajat putih bernilai 69,22%, parameter WHC bernilai 65,56% dan kekuatan gel bernilai 766,38%. Karakteristik kimia parameter kadar air bernilai 65,97%, kadar protein 10,64%, kadar lemak 3,47%, kadar abu 0,99%, kadar karbohidrat 18,92%, protein latur garam 2,56%, dan nilai pH 7,24. 3) Berdasarkan karakteristik fisik bakso ikan yang paling baik adalah bakso ikan komersil I, berdasarkan karakteristik kimia bakso ikan yang paling baik adalah bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali, berdasarkan karakteristik sensori bakso yang paling baik adalah bakso ikan komersil I, namun hanya bakso ikan bakso ikan berbahan baku surimi ikan layaran pencucian satu kali yang memenuhi standar SNI. Saran Saran dari penelitian ini adalah menggunakan ikan yang lebih segar untuk bahan baku, mengurangi penggunaan minyak goreng dalam formulasi pengolahan bakso agar nilai kadar lemaknya rendah, serta menggunakan formulasi yang tepat dalam pembuatan bakso agar hasil uji sensori yang diperoleh maksimal.
16
DAFTAR PUSTAKA Adawyah R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Aberoumand A. 2012. Fish species for determination of the nutritive values in iran. Journal of Agricultural Technology Vol 8(3) 917-922. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official method of analysis (16th ed.). Washington DC : Association of Official Analytical Chemists,Inc. Brown ML dan Murphy BR. 1991. Relationship of relative weight (Wr) to proximate composition of juvenile triped bass and hybrid striped bass. Transactions of The American Fisheries Society 120:509-518,1991. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso Ikan SNI 01-3819-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. ________________________________. 2006. Spesifikasi Ikan Segar I. SNI 012729.1-2006. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Dempson IB, Schwarz CJ, Shears M, Furey G. 2004. Comporative proximate body composition of atlantic salmon with emphasis on parr from fluvial and lacustrine. Journal of Fish Biology Vol 64: 1275-1271. Djazuli N, Wahyuni M, Monintja, Purbayanto A. 2009. Modifikasi teknologi pengolahan surimi dalam pemanfaatan “by-catch” pukat udang di laut arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol XII Nomor 1 Tahun 2009. Huda N, Shen YH, Huey YL, Dewi RS. 2010. Ingredients, Proximate Composition, Colour and Textural properties of Commercial Malaysian Fish Balls. Pakistan journal of Nutrition 9 (12): 1183-1186, 2010. Hultin HO, Kristinsson HG, Lanier TC. Park JW. 2005. Process for recovery of functional proteins by pH shifts. In: Park. JW. Editor Surimi and Suirimi Seafood, Boca Ration: Taylor and Francis Group. P.107-139. Hossain MI, Kamal MM, Shikha FH, Haque MS. 2004. Effect of washing and salt concentration on the gel forming ability of two tropical fish species. International Journal of Agriculture and Biology. 1560-8530/2004/06-5762-766. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Statistik Perikanan Indonesia. Jakarta : Kementrian Kelautan dan Perikanan ____________________________________. 2012. KKP ingin Jadikan Ikan menu Utama Indonesia. http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/7931/KKPIngin-Jadikan-Ikan-Menu-Utama-Indonesia/?category_id=58 [30 Juli 2012]. Kok TN. 2005. Biochemical and physical factors affecting fish ball [thesis]. Oregon (US). Oregon State University. Kramlich R V. 1971. The Science of Meat and Meat Product 2nd ed. San Francisco: Freeman Co. Krogdahl A, Hemre GI, Momsen TP. 2004. Carbohidrates in fish nutrition: digestion and absorbation in postarval stages. www.aseanfood.info /articles/11022158.pdf [16 April 2013].
17 Min BJ dan Lee SK. 2004. Surimi quality from mechanically deboned chicken meat as affected bu washing cycle, salt concentration, heating temperature adn rate. Asian-Aust J. Anim Sci 2004. Vol 17 No 1 : 131-136. Manullang M, Theresia M, Irianto HE. 1995. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan sodium tripolophosfat terhadap mutu dan daya awet kamaboko ikan pari kelapa (Trygon sephen). Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 6(2):21-26. Naeem M and Ishtiaq A. 2011. Proximate composition of mystus bleekeri in relation to body size and condition factor from nala daik, sialkot, pakistan. African Journal of Biotechnology Vol 10(52) 10763-10765. Nagai T, Suzuki N, Tanoue Y, Kai N, Nagashima T. 2007. Physical properties of kamaboko derived from walleye pollack (Theragra chalcogramma) surimi and functional properties of its enzymatic hydrolysates. Journal of Food, Agriculture & Environment 5(1): 76-81. Nishioka F, Ishiuuchi I, Matsuoka K. 2003. The effect of minerals contained in salt on the taste and elasticity of kamaboko. Annuals Research Reports 2003. Nopianti R, Huda N, Fazilah A, Ismail N, Easa AM. 2012. Effect of differents types of low sweetness sugar on physicochemical properties of threadfin bream surimi (Nemipterus spp.) during frozen storage. International Food Research Journal 19(3): 1011-1021(2012). Nurnadia AA, Azrina A, Amin I. 2011. Proximate composition and energetic value od selected marine fish and shellfish from the west coast of peninsular malaysia. International Food Research Journal Vol 18: 137148. Oktaviani D. 2012. Karakteristik fisika kimia gel dan bakso dari surimi ikan layaran (Istiophorus sp) frekuensi pencucian dua kali. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Park JW. 2005. Surimi and Seafood 2nd edition. New York: CRC Press. _______.1994. Functional protein additives in surimi gels. Journal of Food Science, 59 (1994), pp. 525-527. Pattaravivat J, Morioka K, Shirosaki M, Itoh Y. 2008. Effect of washing conditions on removal of lipid from the fatty fish escolar (Lepidocybium flavobrunneum) meat. Journal of Biological Sciencis. Vol.8:34-42. Poernomo D, Sekarwati I, Sukarsa DR. 1999. Pengaruh konsentrasi garam dan jenis tepung terhadap karakteristik mutu fisik bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis). Buletin teknologi Hasil Perairan. 6(2):19-23. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Sensori. Bogor: Departemen teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Saffle RL and Galbreath JW. 1964. Quantitative determination of salt-soluble protein in various types of meat. Food Technology. December 119-120. Sartika RAD. 2009. Pengaruh suhu dan lama proses menggoreng (deep frying) terhadap pembentukan asam lemak trans. Makaira Sains. Vol 13, No 1: 23-28 Shahidi F. 1994. Seafood protein and preparation of protein concentrates. Didalam : Shahidi F, Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry Processing Technology and Quality. London : Blackie Academic & Profesional. Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. 1992. Surimi Production from Fatty and Darkfleshed Fish Spesies. New York : Marcel Dekker.
18 Subekti BP. 2012. Karakteristik fisika kimia gel daging lumat dan bakso dari daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp). Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum D. 2008. Ikan patin: peluang ekspor, penanganan pascapanen dan diversifikasi produk olahannya. Squalen Vol 3 No 1 Juni 2008. Suzuki. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publishers Tld. Thawwornchinsombut S dan Park JW. 2004. Roles of pH in Solubility and conformational changes of Pacific whiting muscle proteins. Journal of Food Biochemistry 28(2): 135-154. Uju, Nitibaskara R, Ibrahim B. 2004. Pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap mutu produk baksi ikan jangilus (Istiophorus sp.). Buletin Teknologi Hasil Perairan. 8(2):1-10 Warsianingsih S. 2012. Karakteristik fisika kimia gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus sp) dari bahan baku surimi frekuensi pencucian satu kali. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Widiastuti IM. 2007. Sanitasi dan mutu kesegaran ikan konsumsi pada pasar tradisional di kotamadya palu. Jurnal Agroland 14(1) 77-81 Maret 2007. Winarti S dan Asriningrum I. 2008. Proses pembuatan kamaboko ikan mujair (Tilapia mossambica) dengan penambahan garam dan tepung tapioka. Neptunus Vol 14, No 2. Januari 2008:120-130. Zamri AI dan Etty SI. 2012. Development and Physicochemical Analysis of Fish Ball from Starry Trigergish (Abalistes Stellatus) Surimi. International Annual Symposium on Sustainability Science and Management 09-11 July 2012, Tarenggenu, Malaysia.
19
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Aceh Besar pada tanggal 16 September 1990. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Darnius dan Ida Hafni. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Pemda Tingkat II Banda Aceh (1995-1996), MIN Mesjid Raya Banda Aceh (1996-2002), MTsN Model Banda Aceh I (2002-2005). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 3 Banda Aceh (2005-2008). Tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor). Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan meliputi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai staff Divisi Peduli Pangan periode 2009-2010, dan Kepala Divisi Kewirausahaan periode 2010-2011. Penulis juga aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah Aceh (IMTR) dan asisten m.k Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan tahun 2012. Penulis juga aktif menjadi panitia dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Karakteristik Kimia, Fisika, Sensori dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)”. Dibimbing oleh Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si.