KARAKTERISTIK BAKSO IKAN DARI CAMPURAN SURIMI IKAN LAYANG (Decapterus spp) DAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
CHAIRITA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2008
Chairita NIM C351050071
ABSTRACT CHAIRITA. Characteristic of Fishball from Mixed-Surimi Mackerel Scad (Decapterus spp) and Red Snapper (Lutjanus sp) in Chilling Storage. Supervised by LINAWATI HARDJITO, JOKO SANTOSO, and SANTOSO. The utilization of Mackerel Scad (Decapterus spp) has not been done yet optimally. This species is a potential fish to be processed into surimi that is a raw material of fish jelly products, such as fishball. Mackerel Scad contains red meat in greater proportion compared to white meat. For this reason, surimi of Mackerel Scad (Decapterus spp) is produced using alkaline leaching method; and mixed with Red Snapper (Lutjanus sp) surimi to be used a raw material of fishball. The fishball was added by chitosan at concentration of 0,1% as preservative, while carrageenan was added at concentration of 1% as gelling agent. The fishball was stored in chilling condition (0-4 oC). The results indicated that surimi of Decapterus spp being leached twice showed the same quality as white meat surimi. Fishball containig Red Snapper surimi and Mackerel Scad surimi of 1:3 added by 25% of tapioca starch showed a good physical and sensory characteristics. The mixed surimi of fresh fish meat was better in term of its physical, chemical, and sensory characteristics compared to the frozen one. Chitosan added at 0,1% could preserve the fishball for two weeks in chilling storage (0-4 oC) without causing any change of its physical and chemical characteristics. The fishball produced has a better flavor and texture was similar to commercial one. Keywords : fishball, mixed-surimi, Decapterus spp, Lutjanus sp, chilling storage
RINGKASAN CHAIRITA. Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO, JOKO SANTOSO, dan SANTOSO. Pemanfaatan ikan layang (Decapterus spp) belum dilakukan secara optimal. Ikan layang adalah ikan yang potensial untuk diolah menjadi surimi, yaitu bahan baku untuk produk-produk fish jelly, seperti bakso ikan. Ikan layang memiliki daging merah yang lebih besar dibandingkan daging putih. Oleh karena itu, produksi surimi yang berasal dari ikan layang dilakukan melalui teknik pencucian alkali; dan dicampur dengan surimi ikan kakap merah sebagai bahan baku bakso ikan. Bakso ikan yang dihasilkan, ditambah kitosan 0,1% sebagai bahan pengawet, dan karagenan 1% sebagai bahan pembentuk gel (pengenyal) bakso. Bakso ikan disimpan pada suhu dingin (0-4 oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan layang (Decapterus spp) menghasilkan surimi dengan kualitas yang hampir sama dengan surimi ikan berdaging putih, melalui pencucian alkali dengan dua kali frekuensi pencucian. Bakso ikan dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang dengan perbandingan 1:3, dan penambahan tepung tapioka 25% merupakan formula bakso ikan terbaik, karena menghasilkan karakteristik fisik dan organoleptik bakso ikan yang baik dan diterima oleh konsumen. Berdasarkan karakteristik fisik, kimia dan organoleptiknya, surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan kakap merah dalam bentuk segar bermutu lebih baik dibandingkan surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan kakap merah dalam bentuk beku. Penambahan kitosan 0,1% dapat mengawetkan (meningkatkan daya simpan) bakso ikan selama 2 minggu penyimpanan pada suhu dingin (suhu 0-4 0C), tanpa merubah karakteristik fisik dan kimianya. Bakso ikan yang dihasilkan lebih baik dari segi aroma dan rasa, serta tekstur yang sama dengan bakso ikan komersial. Kata kunci: bakso ikan, campuran surimi, Decapterus spp, Lutjanus sp, penyimpanan dingin
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK BAKSO IKAN DARI CAMPURAN SURIMI IKAN LAYANG (Decapterus spp) DAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
CHAIRITA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN TESIS Judul Tesis
: Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin
Nama
: Chairita
NIM
: C351050071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Anggota
Ir. Santoso, M.Phil Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si
Tanggal Ujian: 10 Juni 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus: 23 juli 2008
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas segala karunia, limpahan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul ”Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc selaku pembimbing utama, yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku pembimbing kedua, yang telah dengan sabar mengajarkan, membimbing, dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Terima kasih atas kesedian bapak menjadi pembimbing kedua, semoga ilmu yang sudah saya dapatkan dapat bermanfaat bagi pengembangan BBP2HP Jakarta, tempat saya bekerja, amin. 3. Ir. Santoso M.Phil selaku Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta, dan sekaligus pembimbing ketiga. Terima kasih atas bimbingan, arahan, saran dan motivasinya bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 4. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi, yang telah dengan sabar menguji penulis pada saat ujian tesis. Terima kasih atas saran dan masukan berharganya dalam penyusunan tesis ini. 5. Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta, yang telah menjadi sponsor bagi penulis dan mendanai sebagian dari penelitian ini. Kepada Bapak Sutimantoro, A.Pi, MM selaku Kabid. TU-BBP2HP Jakarta, terima kasih atas motivasi dan bantuannya. 6. Suamiku tercinta Nedi Hartono, yang telah dengan sabar, penuh pengertian dan kasih sayangnya menemani penulis dalam suka dan duka selama menyelesaikan penulisan tesis ini. Kedua putriku Nadira dan Luhtfiya yang senantiasa mendoakan.
7. Chairuddin, SH (Papa) dan Dahliana (Mama), terima kasih untuk doanya yang selalu menyertai, kasih sayang dan restu yang tiada terputus, serta dukungan baik moril maupun materiil. Abangku Yen dan Kakakku Eri, terima kasih atas motivasi dan doanya. 8. Adikku Riza dan Nunuk (istri) yang telah banyak membantu penulis baik suka maupun duka, serta Adikku Sibontot Alid terima kasih atas bantuan dan doanya. 9. Rudi Ramdhani THP-40, teman sekaligus adik kelas yang telah dengan sabar membantu penulis selama melakukan penelitian. Atas bantuan, kerjasama dan motivasinya penulis ucapkan banyak terima kasih. 10. Vita dan Pak Adreanus yang sudah membuat diriku termotivasi selama kuliah dan melakukan penelitian, dan selalu menjadi teman dalam suka maupun duka. 11. Ibu Ema, Mas Zaki, Mas Ismail, Mas Ipul, Bahrul dan Bibik, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. 12. Gud Elina yang telah dengan sabar menolong dan membantu penulis dalam kepayahan dan dalam kondisi sakit. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keikhlasanmu. 13. Adik-adik kelasku THP ’40 (Caca, Angling, Rama, Finda, Nono, Putri, Hilda, Deden, Almira) dan THP ’39 (Joko Aprianto dan Megi), terima kasih atas bantuan, kerjasama dan motivasinya. 14. Teman-teman sekelas THP ’05 (Bu Niken, Bu Dewi, Pak Dhani, Mas Fajar dan Mas Agus), teman-teman THP ’06 (Pak Aim, Nunik, Tia, Candra, Pak Max, Pak Ahmad, Suci dan Po’e) serta teman-teman THP ‘07. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Semoga jalinan silaturahmi diantara kita tetap terjaga sampai akhir hayat nanti, amin. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih ada kekurangannya, meskipun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Juli 2008
Chairita
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, pada tanggal 30 Maret 1972. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara keluarga Bapak H. Chairuddin, SH dan Ibu H. Dahliana. Pada tahun 1991, selepas menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Ngawi, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di IPB pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan pada tahun 1995. Pada tahun 1998 sampai dengan sekarang (tahun 2008), penulis bekerja di Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP), Jakarta. Pada tahun 2005 melalui Anggaran Proyek BBP2HP-Jakarta, penulis mendapat beasiswa (tugas belajar) untuk melanjutkan pendidikan S2, pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xv
1. PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah................................................................................
3
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................
4
1.4
Hipotesis ................................................................................................
4
1.5
Kerangka Pemikiran ..............................................................................
5
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
7
2.1 Ikan Layang............ ................................................................................
7
2.2 Ikan Kakap Merah...................................................................................
9
2.3 Daging Ikan ............................................................................................
11
2.4 Surimi .....................................................................................................
13
2.4.1 2.4.2 2.4.3 2.4.4
Proses pengolahan surimi............................................................. Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi................................... Pengaruh pH terhadap mutu surimi.............................................. Bahan tambahan dalam pembuatan surimi...................................
14 15 16 16
2.5 Surimi dari Ikan Berdaging Merah .........................................................
17
2.6 Mekanisme Pembentukan Gel................................................................ 18 2.7 Mutu Surimi............................................................................................
20
2.8 Bakso Ikan..............................................................................................
21
2.8.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan..............................
22
(1) (2) (3) (4)
Daging ikan atau surimi........................................................ Bahan pengisi....................................................................... Bumbu-bumbu...................................................................... Es atau air es.........................................................................
22 23 23 24
2.8.2 Pengolahan bakso ikan................................................................
24
2.9 Karagenan..............................................................................................
25
2.10 Kitosan...................................................................................................
26
3. METODOLOGI PENELITIAN......................................................................
29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................
29
3.2 Bahan dan Alat........................................................................................
29
3.2.1 Bahan............................................................................................ 29 3.3.2 Alat............................................................................................... 30 3.3 Tahapan Penelitian..................................................................................
30
3.4 Prosedur Analisis....................................................................................
38
3.4.1 Uji fisik........................................................................................
38
(1) Uji kekuatan gel.................................................................... (2) Derajat putih.........................................................................
38 39
3.4.2 Analisis kimia..............................................................................
39
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Kadar air............................................................................... Kadar abu............................................................................. Kadar protein........................................................................ Kadar lemak......................................................................... Kadar protein larut garam (PLG)......................................... Nilai pH................................................................................ Total volatile base (TVB).................................................... Water holding capacity (WHC)........................................... Kadar histamin......................................................................
39 40 40 41 41 42 42 43 44
3.4.3 Analisis mikrobiologi : Total plate count (TPC).........................
45
3.4.4 Uji sensori atau uji organoleptik..................................................
46
(1) Uji skoring dan uji perbandingan pasangan.......................... (2) Uji gigit (teeth cutting test)................................................... (3) Uji lipat (folding test)............................................................
47 48 48
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data...............................................
49
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
51
4.1 Komposisi Kimia Daging Ikan Layang dan Ikan Kakap Merah............
51
4.2 Penentuan Frekuensi Pencucian Terbaik................................................
52
4.3 Penentuan Formula Bakso Ikan Terbaik dari Campuran Surimi Tetelan Ikan Kakap Merah dan Surimi Ikan Layang dengan Tepung Tapioka .. 57 4.3.1 Analisis kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit................................. 4.3.2 Penilaian organoleptik dengan metode skoring............................
57 61
(1) Kenampakan........................................................................... (2) Aroma.....................................................................................
62 63
(3) Rasa....................................................................................... (4) Tekstur...................................................................................
64 64
4.4 Karakteristik Campuran Surimi Ikan Layang dan Surimi Ikan Kakap Merah (Beku dan Segar) serta Karakteristik Bakso Ikan yang Dihasilkan ............................................................................................... 4.4.1 Derajat keasaman (pH)..................................................... 4.4.2 Total volatile base (TVB)................................................. 4.4.3 Derajat putih..................................................................... 4.4.4 Kekuatan gel..................................................................... 4.4.5 Uji lipat............................................................................. 4.4.6 Uji gigit.............................................................................
66 66 68 69 70 72 73
4.5 Karakteristik Kimia..................................................................................
74
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kadar air............................................................................... Kadar abu............................................................................. Kadar protein........................................................................ Kadar lemak......................................................................... Kadar histamin..................................................................... Derajat keasaman................................................................. Water holding capacity (WHC)...........................................
74 76 77 78 79 81 83
4.6 Karakteristik Fisik : Kekuatan Gel..........................................................
85
4.7 Karakteristik Mikrobiologi : Total Plate Count (TPC)...........................
88
4.8 Uji Organoleptik Perbandingan Pasangan..............................................
90
5. SIMPULAN DAN SARAN.............................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
93
LAMPIRAN......................................................................................................... 101
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi kimia daging ikan layang (Decapterus spp) dalam 100 g...............
9
2. Komposisi kimia daging ikan kakap (Lutjanus sp)...........................................
10
3. Persyaratan mutu surimi beku...........................................................................
21
4. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan.......................................................................................
32
5. Komposisi kimia daging ikan layang dan ikan kakap merah segar...................
51
6. Nilai pH, PLG, kekuatan gel dan derajat putih surimi ikan layang dan tetelan ikan kakap merah pada setiap frekuensi pencucian...........................................
53
7. Nilai kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit dari setiap formula bakso ikan..........
58
8. Hasil uji organoleptik dari setiap formula bakso ikan.......................................
62
9. Karakteristik surimi A, surimi B dan bakso ikan yang dihasilkan....................
66
10. Jumlah koloni rata-rata bakteri bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin.
88
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian........................................................................
6
2.
Ikan layang (Decapterus spp) ........................................................................
7
3.
Ikan kakap merah (Lutjanus sp).....................................................................
10
4.
Struktur molekul kitosan................................................................................
27
5. Diagram alir penelitian tahap pertama ..........................................................
34
6. Diagram alir penelitian tahap kedua .............................................................
35
7.
Diagram alir penelitian tahap ketiga .............................................................
36
8.
Diagram alir penelitian tahap keempat..........................................................
37
9. Histogram nilai derajat keasaman (pH) surimi dan bakso ............................
67
10. Histogram nilai TVB surimi..........................................................................
68
11. Histogram nilai derajat putih surimi dan bakso ............................................
70
12. Histogram nilai rata-rata kekuatan gel surimi dan bakso .............................
71
13. Histogram nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin......
75
14. Histogram nilai kadar abu bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin..................................................................................................
76
15. Histogram nilai kadar protein bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin.......... ........................................................................................... 77 16. Histogram nilai kadar lemak bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin.....................................................................................................
79
17. Histogram nilai kadar histamin bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin............................................................................... 80 18. Histogram nilai derajat keasaman (pH) bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin....................................................................................................
82
19. Histogram nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin...........
84
20. Histogram nilai kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin.
86
21. Histogram nilai rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan...............
91
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembar penilaian (score sheet) organoleptik bakso ikan.................................
102
2. Lembar isian uji organoleptik perbandingan pasangan antara bakso ikan (A dan B) dan bakso ikan komersial...................................................................
103
3. Nilai pH dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai pH.................................................................................................... 104 3a. Nilai pH surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian................................................................................................................ 104 3b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai pH................................................................................................................. 104 4. Nilai PLG dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai PLG......................................................................................... 105 4a. Nilai PLG surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian............................................................................................................... 105 4b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai PLG............................................................................................................... 105 5. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel............................................................. 106 5a. Nilai kekuatan gel surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian............................................................................................................... 106 5b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel .................................................................................................. 106 6. Nilai derajat putih dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel............................................................ 107 6a. Nilai derajat purih surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian.............................................................................................................. 107 6b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai derajat putih. ............................................................................................... 107 7. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam dari setiap formula bakso ikan terhadap nilai kekuatan gel................................................................................................. 108 7a. Nilai kekuatan gel dari setiap formula bakso ikan ............................................. 108 7b. Analisis ragam dari setiap formula bakso ikan terhadap nilai kekuatan gel....... 108 8.
Lembar penilaian (score sheet) uji gigit dan uji lipat surimi dan bakso ikan..... 109
9.
Nilai uji lipat, uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan ............................................
110
9a. Nilai uji lipat dari setiap formula bakso ikan ...................................................
110
9b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan ..............
111
9c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji lipat dari setiap formula bakso
112
10. Nilai uji gigit, uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan ............................................................ 113 10a. Nilai uji gigit bakso ikan dari setiap formula bakso ikan .................................
113
10b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan ..............
114
10c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji gigit dari setiap formula bakso .
115
11. Nilai rata-rata kenampakan, uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kenampakan dari setiap formula bakso ikan ................
116
11a. Nilai rata-rata kenampakan dari setiap formula bakso ikan ............................
116
11b. Uji Kruskal Wallis terhadap kenampakan dari setiap formula bakso ikan .....
117
11c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap kenampakan dari setiap formula bakso.................................................................................................................. 118 12. Nilai rata-rata aroma dan uji Kruskal Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan ........................................................................................................ 119 12a. Nilai rata-rata aroma dari setiap formula bakso ikan ....................................
119
12b. Uji Kruskal Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan ..............
120
13.
Nilai rata-rata rasa dan uji Kruskal Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan......................................................................................................
121
13a. Nilai rata-rata rasa dari setiap formula bakso ikan.........................................
121
13b. Uji Kruskal Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan..................
122
14.
Nilai rata-rata tekstur, uji Kruskal Wallis, dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan........................
123
14a. Nilai rata-rata tekstur dari setiap formula bakso ikan....................................
123
14b. Uji Kruskal Wallis terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan .............
124
14c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap tekstur dari setiap formula bakso..
125
15.
126
Nilai pH dan analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B.....................
15a. Nilai pH surimi A dan B................................................................................
126
15b. Analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B.........................................
126
16. Nilai pH dan analisis ragam terhadap nilai pH bakso ikan A dan B............
126
16a. Nilai pH bakso ikan A dan B...........................................................................
126
16b. Analisis ragam terhadap nilai pH bakso ikan A dan B....................................
126
17.
Nilai TVB dan analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B................... 127
17a. Nilai TVB surimi A dan B..............................................................................
127
17b. Analisis ragam terhadap nilai TVB surimi A dan B.......................................
127
18. Nilai derajat putih dan analisis ragam terhadap derajat putih surimi A dan B..........................................................................................................
127
18a. Nilai derajat putih surimi A dan B..................................................................
127
18b. Analisis ragam terhadap derajat putih surimi A dan B....................................
127
19.
Nilai derajat putih dan analisis ragam terhadap nilai derajat putih bakso ikan A dan B..................................................................................................... 128
19a. Nilai derajat putih bakso ikan A dan B............................................................
128
19b. Analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan A dan B.............................
128
20. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel surimi A dan B...........................................................................................................
128
20a. Nilai kekuatan gel surimi A dan B..................................................................
128
20b. Analisis ragam terhadapn nilai kekuatan gel surimi A dan B.........................
128
21. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B....................................................................................................
129
21a. Nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B..........................................................
129
21b. Analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B....................
129
22. Nilai rata-rata uji lipat dan uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat gel surimi A dan B............................................................................................................
130
22a. Nilai rata-rata uji lipat gel surimi A dan B dari 15 orang panelis....................
130
22b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat gel surimi A dan B................................
130
23. Nilai rata-rata uji lipat dan uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat bakso ikan A dan B..................................................................................................... 130 23a. Nilai rata-rata uji lipat bakso ikan A dan B dari 15 orang panelis...................
130
23b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat bakso ikan A dan B...............................
131
24. Nilai rata-rata uji gigit dan uji Kruskal Wallis terhadap uji gigit gel surimi A dan B................................................................................................
131
24a. Nilai rata-rata uji gigit gel surimi A dan B dari 15 orang panelis....................
131
24b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji gigit gel surimi A dan B...............................
131
25. Nilai rata-rata uji gigit dan uji Kruskal Wallis terhadap uji gigit bakso ikan A dan B....................................................................................................
132
25a. Nilai rata-rata uji gigit bakso ikan A dan B dari 15 orang panelis..................
132
25b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji gigit bakso ikan A dan B..............................
132
26.
Nilai kadar air, abu, protein, lemak dan histamin dan analisis ragam kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin.........................................
133
26a. Nilai kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin................................
133
26b. Analisis ragam kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin.................
133
26c. Nilai kadar abu bakso selama penyimpanan suhu dingin...............................
133
26d. Nilai kadar protein bakso selama penyimpanan suhu dingin..........................
134
26e. Nilai kadar lemak bakso selama penyimpanan suhu dingin...........................
134
26f. Nilai kadar histamin bakso selama penyimpanan suhu dingin.......................
134
27. Nilai pH, analisis ragam dan uji lanjut Multi Comparison terhadap nilai pH baksoikan selama penyimpanan suhu dingin.............................................
135
27a. Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin...................................
135
27b. Analisis ragam terhadap pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin....
135
27c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai pH bakso selama penyimpanan suhu dingin................................................................................. 135 28.
Nilai WHC, analisis ragam, uji lanjut Tukey dan uji Multi Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin........................
136
28a. Nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin......................................
136
28b. Analisis ragam terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin......................................................................................................
136
28c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin................................................................................. 136 29.
Nilai kekuatan gel, analisis ragam, uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin........................
137
29a. Nilai kekuatan gel bakso selama penyimpanan suhu dingin.........................
137
29b. Analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel bakso selama penyimpanan suhu dingin......................................................................................................
137
29c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai kekuatan gel bakso selama penyimpanan suhu dingin...................................................................
137
30. Nilai TPC, analisis ragam, uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin.............................
138
30a. Nilai TPC bakso selama penyimpanan suhu dingin.......................................
138
30b. Analisis ragam terhadap nilai TPC bakso selama penyimpanan suhu dingin..............................................................................................................
138
30c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai kekuatan gel bakso selama penyimpanan suhu dingin...................................................................
138
31. Nilai rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan bakso ikan................
139
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemanfaatan ikan layang (Decapterus spp) belum dilakukan secara optimal. Produksi ikan layang per tahunnya cukup besar yaitu 290.609 ton atau 6,59% dari total produksi perikanan laut di Indonesia (DKP 2007). Ikan-ikan pelagis kecil seperti layang, lemuru, tembang dan slengseng di Perairan Teluk Prigi digunakan sebagai umpan hidup bagi penangkapan rawai tuna di Samudera Indonesia (DKP 2002). Ikan-ikan tersebut pada umumnya merupakan hasil tangkapan nelayan tradisional yang memiliki harga jual yang rendah dan dikelompokkan sebagai ikan non-ekonomis. Ikan layang (Decapterus spp) berpotensi dikembangkan menjadi produk bernilai tambah. Salah satu alternatif adalah surimi yaitu bahan baku produk-produk fish jelly seperti bakso, nugget, sosis, chikuwa, fishburger, dan otak-otak. Produk fish jelly sudah memiliki pasar dan saat ini semakin populer serta banyak dijual di berbagai supermarket sebagai produk siap saji. Menurut Budiyanto (2002) keuntungan produk surimi seperti produk fish jelly rata-rata 20-30% di atas harga produk tradisional, serta merupakan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Di Indonesia baru terdapat empat industri surimi dengan kapasitas produksi 3-5 ton per hari, dimana produksinya 90% untuk ekspor dan 10% untuk domestik. Industri pengolahan produk-produk fish jelly seperti di Jakarta, pada umumnya merupakan industri sampingan pengolahan ikan dengan produksi 5 ton per bulan dan beberapa industri skala rumah tangga dengan produksi sebesar 1-2 ton per bulan yang seluruhnya untuk pasar lokal (BPPMHP 2001a). Budiyanto (2002) melaporkan bahwa produk fish jelly yang ada di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Pengolahan surimi di Indonesia yang berasal dari ikan non-ekonomis seperti ikan layang memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan mutu dan pengembangan produk bernilai tambah, serta memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi surimi di Indonesia. Permasalahannya adalah ikan layang memiliki karakteristik daging merah yang lebih besar, maka akan menghasilkan surimi dengan kemampuan pembentukan gel yang
rendah dan warna yang gelap. Untuk mendapatkan surimi dengan kualitas pembentukan gel yang baik seperti gel surimi ikan berdaging putih, maka produksi surimi yang berasal dari ikan layang atau ikan-ikan berdaging merah dilakukan melalui teknik pencucian dengan alkali (Shimizu et al. 1992), yaitu dengan menambahkan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,5% untuk menaikkan pH mencapai pH optimum (6,8-7,0), sehigga dapat meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi ikan layang (BPPMHP 2003).
Heng dan Eong (2005) melaporkan bahwa Marine Fisheries
Research Development (MFRD) dan Southeast Asean Fisheries Development Center (SEAFDEC) telah memanfaatkan ikan-ikan pelagis kecil seperti Rastrelliger sp dan Decapterus spp sebagai surimi untuk bahan baku sosis, nugget dan tofu ikan. Untuk meningkatkan warna dan kemampuan pembentukan gel dari produk-produk tersebut dilakukan melalui teknik pencucian dengan alkali. Karena surimi ikan layang memiliki warna yang gelap, maka perlu dilakukan pencampuran dengan surimi ikan kakap merah yang berdaging putih dengan memanfaatkan daging tetelannya. Pencampuran surimi dari kedua jenis ikan tersebut, selain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel dan warna surimi yang cerah, juga untuk meningkatkan aroma dan rasa (flavor) dari produk bakso ikan yang dihasilkan. Untuk meningkatkan kekenyalan bakso ikan, karagenan sebagai bahan alami pembentuk gel dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso. Penggunaan karagenan 1% dalam 1 kg adonan bakso sudah dapat meningkatkan kekenyalan bakso (Hardjito 2006). Berdasarkan karakteristiknya, bakso ikan tergolong bahan pangan yang mudah rusak akibat aktivitas mikroba, karena memiliki pH yang relatif tinggi (di atas 5,2) dan aktivitas air yang tinggi (aw di atas 0,91) (Troller dan Christian 1978).
Untuk
memperpanjang umur simpan bakso ikan selain perlakuan penyimpanan pada suhu rendah (dingin/beku), maka penggunaan bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengawet juga banyak dilakukan.
Bahkan penggunaan bahan pengawet berbahaya
seperti formalin masih dilakukan oleh pedagang untuk mengawetkan berbagai produk pangan seperti tahu, bakso, mi, ikan asin dan ikan kering. Oleh karena itu perlu
dilakukan usaha untuk mencari alternatif pengganti formalin yang berbahaya dengan bahan pengawet yang alami, seperti kitosan. Penelitian Maulana (2007) menunjukkan bahwa kitosan pada konsentrasi 0,1% memiliki
aktivitas
antibakteri
yang
bersifat
bakteriostatik
terhadap
bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Untuk itu, aplikasi dan efektivitas kitosan 0,1% sebagai pengawet alami dan memperpanjang umur simpan bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin (0-4 oC), serta pengaruhnya terhadap karakteristik fisik dan kimia bakso ikan perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
1.2 Perumusan Masalah Produksi ikan layang (Decapterus sp) per tahunnya cukup besar, namun pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Untuk meningkatkan pemanfaatan dan nilai tambahnya, ikan layang sebenarnya dapat diolah menjadi surimi untuk bahan baku produk fish jelly, seperti bakso ikan yang banyak digemari semua kalangan usia. Permasalahannya adalah ikan layang memiliki karakteristik daging merah yang lebih besar, sehingga akan menghasilkan surimi dengan kemampuan pembentukan gel yang rendah dan warna yang gelap. Oleh karena itu perlu dilakukan teknik pencucian alkali pada proses pengolahannya, serta dilakukan pencampuran surimi ikan layang dengan surimi ikan berdaging putih seperti ikan kakap merah.
Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kemampuan pembentukan gel dan warna surimi yang cerah, serta cita rasa yang enak dari bakso ikan yang dihasilkan. Ikan kakap merah sangat cocok digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan surimi, karena memiliki kemampuan pembentukan gel yang tinggi dan warna yang putih. Tetapi karena harganya cukup tinggi, maka daging tetelannya yang berasal dari hasil samping pengolahan filet kakap merah dapat dimanfaatkan menjadi surimi. Selain efisiensi biaya bahan baku, juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan daging tetelan kakap merah dan meningkatkan nilai tambahnya. Penggunaan boraks sebagai pengenyal dan formalin sebagai pengawet bakso masih ditemukan di masyarakat, sehingga perlu dicarikan alternatif penggantinya yang
lebih aman dan sehat. Karagenan sebagai pengenyal dan kitosan sebagai pengawet alami merupakan salah satu alternatifnya.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membuat surimi ikan layang dengan teknik pencucian alkali dan membuat surimi tetelan ikan kakap merah dengan teknik pencucian biasa, serta menganalisis karakteristik fisik dan kimianya. 2. Mempelajari pengaruh pencampuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dengan penambahan tepung tapioka terhadap karakteristik fisik dan organoleptik bakso ikan. 3. Mempelajari karakteristik fisik, kimia dan organoleptik surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dalam bentuk beku dan segar. 4. Mengetahui pengaruh penambahan kitosan 0,1% terhadap karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin (suhu 04 oC). Manfaat penelitian ini adalah dapat mengoptimalkan pemanfaatan ikan layang dan daging tetelan ikan kakap merah menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi pengolahan surimi untuk bahan baku bakso ikan. Sebagai sumber informasi bahwa kitosan dapat mengawetkan dan memperpanjang umur simpan bakso ikan pada suhu dingin (0-4 oC). 1.4 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah : 1. Ikan layang (Decapterus sp) dapat menghasilkan surimi dengan kualitas yang sama dengan surimi ikan berdaging putih melalui proses pencucian dengan alkali.
2. Pencampuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dengan penambahan konsentrasi tepung tapioka yang optimal dapat menghasilkan bakso ikan yang bermutu dan diterima oleh konsumen. 3. Penambahan kitosan 0,1% dapat mengawetkan dan memperpanjang umur simpan bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin (suhu 0-4 oC).
1.5. Kerangka Pemikiran Ikan layang memiliki produksi per tahun yang cukup besar, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi surimi, yaitu bahan baku untuk produk fish jelly seperti bakso ikan. Daging tetelan ikan kakap merah yang berasal dari hasil samping pengolahan filet ikan kakap merah juga dapat ditingkatkan pemanfaatannya menjadi surimi. Teknologi pengolahan surimi kedua jenis ikan tersebut dilakukan dengan teknik pencucian yang berbeda. Karena ikan layang memiliki proporsi daging merah yang lebih besar dan pH daging kurang dari 6, dalam proses pengolahannya harus menggunakan teknik pencucian dengan alkali, yaitu dengan menambahkan natrium bikarbonat 0,5%, selain dengan penambahan garam 0,3%. Pengolahan surimi dari daging tetelan ikan kakap merah yang proporsi daging putihnya lebih besar dilakukan dengan teknik pencucian biasa, yaitu dengan penambahan garam 0,3 %. Karena surimi ikan layang memiliki warna yang gelap, maka perlu dilakukan pencampuran dengan surimi tetelan kakap merah yang berwarna putih. Selain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel dan warna surimi, juga untuk meningkatkan aroma dan rasa (flavor) dari produk bakso ikan yang dihasilkan. Agar dihasilkan bakso ikan yang kenyal maka digunakan karagenan 1%, dan untuk mengawetkan pada penyimpanan suhu dingin digunakan kitosan 0,1% dalam adonan bakso. Dengan pemanfaatan ikan layang dan daging tetelan ikan kakap merah menjadi surimi dan bakso ikan, maka dapat meningkatkan nilai tambahnya; menghasilkan bakso ikan yang bermutu tinggi (kenyal, bergizi, sehat, dan bebas bahan kimia berbahaya);
meningkatkan konsumsi ikan bagi masyarakat dan pendapatan nelayan. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi surimi di Indonesia. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Daging tetelan ikan kakap merah
Ikan layang
Produksi per tahunnya tinggi
Hasil samping pengolahan filet ikan kakap merah
Surimi Metode pencucian alkali : (Surimi ikan layang)
Metode pencucian biasa : (Surimi tetelan ikan kakap merah )
Pencampuran surimi ikan layang dan tetelan ikan kakap
Bakso ikan + karagenan 1%; kitosan 0,1%
-
Bakso ikan yang kenyal dan awet pada suhu dingin (0-4 oC)
Meningkatkan nilai tambah ikan layang dan daging tetelan ikan kakap merah Menghasilkan bakso ikan yang kenyal, bergizi, sehat dan bebas bahan kimia berbahaya Meningkatkan konsumsi ikan dan pendapatan nelayan Memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi surimi di Indonesia Gambar 1
Kerangka pemikiran penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Layang Klasifikasi ikan layang (Decapterus spp.) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Percoidea
Famili
: Carangidae
Genus
: Decapterus
Spesies
: Decapterus spp Warna tubuh ikan layang pada bagian punggungnya biru kehijauan dan putih
perak pada bagian perutnya. Bentuk tubuh memanjang dapat mencapai 30 cm, rata-rata panjang badan ikan layang pada umumnya adalah 20-25 cm dan warna sirip-siripnya kuning kemerahan. Ikan layang memiliki dua sirip punggung, selain sirip-sirip yang ada pada umumnya, ikan layang memiliki sirip tambahan dua buah di belakang sirip punggung kedua dan satu buah di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang (Decapterus spp) disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Ikan layang (Decapterus spp)
Ikan layang termasuk ikan pelagis, dan berdasarkan ukurannya dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil. Di perairan Indonesia terdapat lima jenis (spesies) ikan layang yaitu : Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus kurroides dan Decapterus tabl serta Decapterus macarellus (BPRL 2003). Daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia adalah Selat Bali, Makassar, Ambon dan Laut Jawa (Suyedi 2001). Ikan pelagis pada umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakan plankton dengan cara menyaring plankton yang masuk. Pada siang hari ikan pelagis kecil berada di dasar perairan membentuk gerombolan yang padat dan kompak, sedangkan pada malam hari naik ke permukaan membentuk gerombolan yang menyebar (Suyedi 2001). Selama musim timur berlangsung, air dengan salinitas tinggi mengalir ke Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan keluar melalui Selat Gasper, Selat Karimata dan Selat Sunda. Pada tahap permulaan ikan layang kecil berasal dari Laut Flores bermigrasi ke arah barat sampai ke Pulau Bawean. Pada musim timur bulan Juni sampai dengan bulan September banyak terdapat ikan layang di Laut Jawa (disebut populasi layang timur). Populasi ikan layang timur terdiri dari dua populasi yaitu berasal dari Selat Makassar dan Laut Flores (Suyedi 2001). Ikan pelagis memiliki proporsi daging merah yang tinggi yaitu berkisar antara 10-20%. Selain itu ikan pelagis juga memiliki kandungan glikogen yang tinggi di dalam daging. Pada saat ikan mengalami post-mortem akan cepat mengalami glikolisis membentuk dan mengakumulasi asam laktat yang menyebabkan pH daging ikan turun secara cepat hingga mencapai pH 5,6 (BPPMHP 2003;
Shimizu et al. 1992;
Matsumoto dan Noguchi 1992). Pada umumnya komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%, protein 1524%, lemak 0,1-22%, karbohidrat 1-3% dan bahan anorganik 0,8-2% (Suzuki 1981). Besarnya komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap. Komposisi kimia daging ikan layang (Decapterus spp) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Komposisi kimia daging ikan layang (Decapterus spp) dalam 100 g
Komposisi
Jumlah
Energi Protein Lemak Air Karbohidrat Kalsium Besi Vitamin B Vitamin A Fosfor
335 kkal 22,2% 1,7% 75,4% 0,33% 0,05 mg 0,02 mg 0,00005 mg 0,05 mg 0,115 mg
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1979) 2.2 Ikan Kakap Merah Klasifikasi ikan kakap merah (Lutjanus sp) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Subkelas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Percoidea
Famili
: Lutjanidae
Genus
: Lutjanus
Spesies
: Lutjanus sp
Ikan kakap merah mempunyai badan memanjang, mencapai panjang 200 cm, umumnya 25 sampai 100 cm, gepeng, batang sirip ekor lebar, mulut lebar, sedikit serong dan gigi-gigi halus.
Bagian bawah pra-penutup insang berduri-duri kuat.
Bagian atas penutup terdapat cuping bergerigi. Bagian punggung warnanya mendekati keabuan, bagian bawah berwarna putih perak. Sirip-siripnya berwarna abu-abu gelap. Ikan kakap merah termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan crustaceae.
Hidup di perairan pantai, muara-muara sungai, teluk-teluk dan air payau (Ditjen Perikanan 1990). Morfologi ikan kakap merah (Lutjanus sp) disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Ikan kakap merah (Lutjanus sp) Komposisi kimia ikan kakap merah dipengaruhi oleh faktor spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap. Komposisi kimia ikan kakap merah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2
Komposisi kimia daging ikan kakap merah (Lutjanus sp)
Komposisi Protein Lemak Air Abu Karbohidrat
% Berat 20,54 0,36 76,11 1,46 0
Sumber : Nasran dan Tambunan (1974) dalam Dewi (1995) Penyebaran kakap merah di Indonesia sangat luas, dapat menghuni hampir seluruh perairan Indonesia. Penyebaran kakap merah ke arah utara mencapai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan serta Filipina. Penyebaran ke arah selatan mencapai perairan tropis Australia, ke arah barat hingga ke Afrika Selatan dan perairan tropis Atlantik Amerika, sedangkan ke arah timur mencakup pulau-pulau di Samudera Pasifik. Kakap merah umumnya terdapat di lepas pantai hingga kedalaman 60 meter (Pardjoko 2001).
Kakap merah (Lutjanus sp) adalah ikan demersal yang banyak terdapat di perairan laut Indonesia. Pemanfaatan ikan kakap merah selain untuk memenuhi konsumsi dan kebutuhan protein masyarakat, juga menjadi salah satu komoditi ekspor jenis ikan berdaging putih yang sangat populer di beberapa negara seperti Eropa, Amerika, Jepang, dan Hongkong dalam bentuk filet, smoke fish, fish cake, fish sausage dan sebagai ikan kaleng (Pardjoko 2001). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan komunikasi pribadi dengan pengolah dan pengusaha filet ikan kakap merah di kawasan Muara Baru dan Muara Angke Jakarta Utara pada bulan April 2007, ikan kakap merah dimanfaatkan dalam bentuk filet dan bagian kepalanya. Filet kakap merah yang diekspor diperoleh dari ikan kakap merah yang berukuran 4-5 kg/ekor. Daging ikan kakap merah yang tidak memenuhi standar mutu ekspor, dimanfaatkan sebagai daging tetelan. Serpihan dan sisa-sisa daging ikan kakap merah yang masih menempel pada tulang dan kulit juga termasuk sebagai daging tetelan. Harga daging tetelan kakap merah Rp. 9.000 - 15.000/kg. Daging tetelan ikan kakap merah biasanya dimanfaatkan oleh industri rumah tangga yang ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagai bahan baku untuk nugget, otak-otak, empek-empek, bakso, siomay dan lain-lain.
Hal ini disebabkan karena citarasa dagingnya yang enak,
berwarna putih dan harganya lebih murah dibandingkan dengan ikan kakap merah utuh. Dengan demikian, pemanfaatan tetelan kakap merah perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Salah satunya adalah menjadikan tetelan kakap merah tersebut sebagai surimi. 2.3 Daging Ikan Berdasarkan warnanya daging ikan dapat dibedakan atas daging putih dan daging merah. Daging merah biasanya terdapat di sepanjang sisi tubuh ikan di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat hampir di seluruh bagian tubuh. Berdasarkan proporsi daging merah, terdapat tiga jenis ikan, yaitu cod dengan proporsi daging merah terkecil, mackerel dengan proporsi daging merah sedang dan frigate mackerel dengan proporsi daging merah terbanyak (Suzuki 1981; Shimizu et al. 1992).
Karakteristik dan sifat-sifat dari ikan berdaging merah dan berlemak antara lain adalah (Shimizu et al. 1992): 1. Mempunyai kandungan pigmen heme (mioglobin dan hemoglobin) yang tinggi dibandingkan ikan berdaging putih. 2. Proporsi daging merah lebih besar dibandingkan daging putih, dan daging putihnya lebih gelap daripada kebanyakan ikan berdaging putih. 3. Mempunyai bau dan rasa amis yang kuat, terutama daging merahnya. 4. Mempunyai kandungan lemak yang tinggi tergantung musim. 5. Daging putihnya mempunyai tekstur yang lunak pada kondisi mentah, dan tekstur yang keras pada kondisi masak. 6. pH daging turun dengan cepat pada saat post-mortem. 7. Ototnya mempunyai kandungan endogenous heat-stable protease yang tinggi. Menurut Love (1970), proporsi daging merah dan daging putih bervariasi tergantung dari aktivitas ikan. Pada ikan-ikan pelagis seperti herring dan mackerel yang gerakannya terus menerus, sebanyak 48% berat badannya terdiri dari daging merah. Sementara ikan demersal yaitu ikan yang berada di dasar dan gerakannya terbatas, proporsi daging merahnya sangat kecil. Dari sudut pandang ilmu dan teknologi pangan, daging merah merupakan masalah besar, karena mudah terjadi ketengikan yang menghasilkan flavor yang tajam. Hal ini disebabkan oleh kandungan lemak yang tinggi dan adanya chromoprotein dalam bentuk mioglobin dan hemoglobin pada daging merah yang berperan sebagai pro-oksidan bagi lemak (Okada 1990). 2.4 Surimi Surimi adalah istilah dari Jepang. Surimi didefinisikan sebagai lumatan daging ikan yang telah mengalami proses penghilangan tulang, dan penghilangan sebagian komponen larut air dan lemak melalui pencucian dengan air, sehingga disebut sebagai konsentrat basah protein miofibril dari daging ikan (Okada 1992).
Menurut BPPMHP (2001b), beberapa keuntungan dari penggunaan surimi adalah sebagai berikut : 1. Memungkinkan tersedianya bahan baku untuk pengolahan produk-produk fish jelly, terutama pada saat tidak musim ikan. 2. Pengolah tidak perlu menyiapkan daging ikan setiap hari sehingga menghemat waktu dan biaya. 3. Meningkatkan efisiensi produksi karena pengolah dapat mengkhususkan diri pada produksi surimi atau produk-produk fish jelly. 4. Lebih efektif menyimpan ikan dalam bentuk surimi beku daripada ikan utuh jika dilihat dari ruangan penyimpanan, distribusi dan transportasi. 5. Pada musim produksi ikan melimpah, pengolahan surimi merupakan alternatif yang menguntungkan karena memungkinkan dilakukannya persediaan (stock) bahan baku. Ada dua tipe surimi berdasarkan kandungan garamnya, yaitu muen surimi dan kaen surimi. Muen surimi atau surimi tanpa garam dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan polifosfat tanpa penambahan garam dan telah mengalami proses pembekuan. Kaen surimi atau surimi dengan garam dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam tanpa penambahan polifosfat serta telah mengalami proses pembekuan. Selain surimi beku terdapat tipe surimi lain yaitu, raw surimi atau nama surimi, yaitu surimi yang tidak dibekukan dan dibuat dari daging ikan basah segar.
Surimi jenis ini digunakan langsung sebagai bahan baku pada
pengolahan produk lanjutannya segera setelah dibuat, dan memiliki kelebihan dari surimi beku yaitu kemampuan mengikat air yang lebih besar sehingga meningkatkan rendemen (Suzuki 1981).
2.4.1 Proses pengolahan surimi Proses pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu (Tan et al. 1987; Shimizu et al. 1992 ; BPPMHP 2001b): 1. Persiapan bahan baku yang terdiri dari penyiangan dan pencucian ikan dengan air mengalir yang dingin. 2. Penghilangan tulang dan pelumatan daging dengan menggunakan meat bone separator. 3. Pencucian (leaching) daging lumat menggunakan air dingin bersuhu 5-10 oC dengan perbandingan daging ikan dan air 1 : 4 ditambah garam 0,2 - 0,3% dari volume air. Pencucian dilakukan sebanyak 2-3 kali selama 15 menit. Untuk jenis ikan berdaging merah seperti sardine dan mackerel yang mempunyai pH 5,6 - 5,8 setelah mati perlu diatur pHnya dengan melakukan pencucian dengan alkali. 4. Penyaringan daging lumat dengan kasa nilon. 5. Pengepresan daging lumat dengan menggunakan alat pengepres hidrolik yang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam surimi, agar diperoleh kadar air optimal dalam surimi antara 80 – 82%. 6. Penapisan (straining) yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat, membran dan duri-duri halus yang tertinggal agar diperoleh surimi bermutu baik. 7. Penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan. Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel akan mempengaruhi elastisitas produk. Untuk mendapatkan surimi yang baik harus menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (BBPMHP 1987).
2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam inorganik (Ca2+dan Mg2+), dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida (TMAO). Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama proses pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian selain dapat meningkatkan kekuatan gel surimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki, 1981). Kemampuan pembentukan gel surimi dan aktivitas ATP-ase selama penyimpanan beku dipengaruhi oleh tingkat leaching atau pencucian. Kekuatan gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian. Dengan pencucian berulang (maksimal tiga kali) akan meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi dan mencegah denaturasi protein miofibril surimi selama penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992). Toyoda et al. (1992) melaporkan bahwa efisiensi proses pencucian dipengaruhi oleh faktor banyaknya pencucian dan waktu pencucian. Menurut Lee (1986) dalam Toyoda et al. (1992), pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging ikan 3 : 1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12 menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1; dan 6:1), karena jika terlalu lama daging ikan akan menyerap air dalam jumlah yang besar dan akan menyulitkan pada saat pembuangan air/pengepresan. Menurut Suzuki (1981) kisaran suhu air yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10 oC. Santoso et al. (1997) menambahkan bahwa pencucian dengan menggunakan suhu dingin bertujuan untuk mempertahankan protein miofibril agar tidak mengalami denaturasi.
2.4.3 Pengaruh pH terhadap mutu surimi Protein miofibril untuk berbagai jenis hewan lebih stabil pada pH netral. Pengaruh pH yang menyebabkan terjadinya denaturasi protein miofibril tidak hanya terjadi pada suhu tinggi tetapi juga selama penyimpanan beku. Protein miofibril pada pH 6,5 bersifat tidak stabil dan aktivitas ATP-asenya hilang secara cepat, dan ini dapat dijadikan sebagai indikator terhadap kemampuan pembentukan gel. Pada pH yang rendah dibawah pH netral akan menurunkan aktivitas ATP-ase dan protein miofibril menjadi tidak stabil, sehingga kemampuan pembentukan gel surimi akan berkurang (Matsumoto dan Noguchi 1992). Untuk ikan-ikan berdaging putih, pHnya tidak mengalami perubahan yang cepat setelah post-mortem, dan lebih mudah dipertahankan pada pH netral selama pengolahan dan penyimpanan beku. Sebaliknya ikan-ikan berdaging gelap akan cepat mengalami glikolisis setelah post-mortem sehingga membentuk dan mengakumulasi asam laktat dan menyebabkan pH daging ikan akan turun secara cepat mencapai pH 5,6. Kemampuan pembentukan gel yang optimal ada pada daging ikan segar dengan pH netral dan akan menurun sejalan dengan menurunnya pH.
Oleh karena itu perlu
pengendalian pH selama pengolahan surimi untuk menjaga kemampuan pembentukan gel surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992). 2.4.4
Bahan tambahan dalam pembuatan surimi Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan
maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa. Bahan tambahan meliputi pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, pemucat, dan pengental (Winarno 1997). Bahan tambahan yang digunakan dalam pengolahan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi, diantaranya garam dan cryoprotectant (bahan antidenaturan). Pada pembuatan surimi, garam biasanya ditambahkan saat proses pencucian dengan air dingin yaitu antara 0,2 - 0,3%. Penambahan garam bertujuan untuk memudahkan penghilangan protein larut air (protein sarkoplasma) dari daging
yang telah dilumatkan, serta untuk penghilangan lendir, darah dan kotoran lain dari daging lumat (Peranginangin et al. 1999). Selama penyimpanan beku, protein miofibril akan mengalami denaturasi sehingga menurunkan sifat-sifat fungsional dari surimi (Shenaoda 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998). Oleh karena itu, dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, tetapi disimpan terlebih dahulu pada suhu beku (surimi beku) dalam waktu yang lama perlu ditambahkan cryoprotectant. Cryoprotectant berfungsi sebagai antidenaturan yaitu mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan. Sukrosa 4%, sorbitol 4% dan polyphosphates 0,2% sering digunakan bersamaan sebagai cryoprotectant pada pengolahan surimi beku (Lee 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998) 2.5 Surimi dari Ikan Berdaging Merah Ikan berdaging putih dan ikan demersal secara umum baik untuk dibuat surimi, karena mempunyai kemampuan pembentukan gel yang tinggi dan berwarna lebih cerah dan putih. Menurut Shimizu et al. (1992) ikan berdaging merah dan berlemak tinggi mempunyai karakteristik dan sifat-sifat yang berpengaruh penting dalam pengolahan surimi, terutama terhadap warna surimi yang lebih gelap, flavor/odor (aroma) yang amis, serta kemampuan pembentukan gel yang rendah. Aroma yang amis dan tidak menyenangkan pada ikan berdaging merah disebabkan karena proporsi daging merah dan lemaknya yang tinggi. Adanya pigmen heme yang tinggi pada daging merah berperan sebagai pro-oksidan bagi lemak sehingga mudah teroksidasi dan adanya komponen karbonil yang berasal dari asam lemak tak jenuh yang teroksidasi akan menghasilkan bau tengik dan tidak menyenangkan (Shimizu et al. 1992). Kemampuan pembentukan gel yang rendah pada ikan daging merah disebabkan karena : (1) pH dagingnya lebih rendah pada saat post-mortem yaitu pH 5,6-5,8 dibandingkan ikan daging putih antara 6,1-6,5; (2) tingginya kandungan protein sarkoplasma pada ikan daging merah, yang jika tidak dihilangkan akan mengganggu protein miofibril dalam membentuk gel; (3) fraksi protein sarkoplasma ikan daging
merah mengandung komponen dengan BM tinggi dalam jumlah yang lebih besar daripada ikan daging putih, sehingga sulit diekstrak dengan air; (4) keberadaan enzim heat-stable protease, enzim ini aktif mendegradasi miosin selama pemanasan daging (sol menjadi gel) utamanya pada kisaran suhu 50-70 oC (Shimizu et al. 1992). Sejak sumber Alaska pollack dibatasi penggunaannya di Jepang sebagai bahan baku surimi, maka pembuatan surimi dari ikan-ikan berdaging merah dan berlemak seperti Sardine dan Pacifik mackerel mulai diterima (Shimizu et al. 1992). Ikan berdaging merah dan berlemak tinggi seperti ikan-ikan pelagis kecil dapat dibuat menjadi surimi dengan teknik pencucian alkali. Pencucian alkali lebih efektif menghilangkan lemak dan menghasilkan gel ashi yang lebih kuat. Melalui teknik pencucian alkali dapat meningkatkan pH dan kemampuan pembentukan gel, serta akan menghasilkan warna dan aroma yang lebih baik (Suzuki 1981; Shimizu et al. 1992; BPPMHP 2003). Shimizu et al. (1992) melaporkan bahwa dengan teknik pencucian alkali pada pengolahan surimi yang berasal dari ikan berdaging merah seperti ikan Pacific mackerel, kemampuan pembentukan gelnya mencapai 10 kali, sedangkan pencucian biasa hanya 2-3 kali.
Kemampuan pembentukan gel yang lebih tinggi tersebut
disebabkan karena beberapa hal, yaitu : (1) pH daging menjadi meningkat sehingga kecepatan denaturasi menurun; (2) larutnya protein sarkoplasma sehingga warna lebih cerah dan juga karena hilangnya pigmen heme; (3) flavor juga meningkat karena hilangnya komponen karbonil. 2.6 Mekanisme Pembentukan Gel Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak.
Menurut Baier dan Mc Clements (2005),
kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Menurut Niwa (1992) ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap
pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu: ikatan silang garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik. Niwa (1992) menjelaskan terjadinya ikatan silang garam intermolekul sebagai berikut : lebih dari separuh asam amino yang menyusun miosin bersifat hidrofilik dan sekitar 80% bersifat asam dan basa. Sebagian besar residu terekspos pada permukaan molekul, yang dapat berkontak dengan air. Pada surimi, gugus karboksil dari residu asam glutamat dan aspartat bermuatan negatif, sedangkan gugus amino lisin dan arginin bermuatan positif. Oleh karena itu akan terjadi ikatan silang garam diantara gugus tersebut, dan protein miofibril saling bergabung sesamanya menjadi agregat yang tidak larut dalam air. Saat ditambahkan garam, ion-ion garam secara terpisah terhidrasi dengan air, dan akan berikatan pada gugus yang berlawanan muatannya dengan gugusgugus pada permukaan protein. Ikatan silang garam intermolekul diantara protein miofibril akan melemah dan protein akan terlarut di dalam air karena peningkatan afinitasnya terhadap air. Secara simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan aktin membentuk makromolekul aktomiosin, dan terbentuk pasta yang lengket. Masa ini disebut sol yang mempunyai sifat lengket dan adhesif. Apabila sol ini dipanaskan maka akan terbentuk gel yang kuat dan elastis. Hudson (1992) membagi proses gelasi dari protein menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi dari protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992) ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 oC. Jaczynski dan Park (2004) menyatakan bahwa interaksi hidrofobik dapat menstabilisasikan sistem protein. Tahap kedua adalah oksidasi sulfhidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 oC).
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992). Suzuki (1981) menambahkan bahwa ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 oC. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas suhu 50 oC, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori.
Modori akan terjadi apabila pasta surimi
o
dipanaskan pada suhu 50-60 C selama 20 menit. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif.
Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur
jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Gel kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati suhu modori. Dengan cara ini, akan terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi. 2.7 Mutu Surimi Syarat mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu : bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik karakteristik kesegaran bahan baku surimi sekurang-kurangnya sebagai berikut (BSN 1992b): a)
Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik ikan
b)
Bau
: segar spesifik jenis
c)
Daging
: elastis, padat, dan kompak
d)
Rasa
: netral agak amis
Bahan baku harus secepatnya diolah menjadi surimi untuk mempertahankan mutunya, apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka bahan baku harus
disimpan dengan es atau air dingin (suhu 0-5 oC), pada kondisi yang saniter dan higienis (BSN 1992b). Persyaratan mutu surimi beku disajikan pada Tabel 3. Tabel 3
Persyaratan mutu surimi beku
Jenis uji Satuan a. Organoleptik nilai minimum b. Cemaran mikroba : - ALT, maksimum koloni/g - E. coli, maksimum per 25 g - Coliform, maksimum per 25 g - Salmonella* - Vibrio cholerae* c. Uji kimia :* - Abu total, maksimum % b/b - Lemak, maksimum % b/b - Protein, minimum % b/b d. Fisika : o C - Suhu pusat, maksimum - Uji lipat, minimum huruf(AA-D) - Elastisitas, minimum g/cm Catatan * Jika diminta oleh importir
Persyaratan mutu 7 5x105 <3 3 negatif negatif 1 0,5 15 -18 grade A 300
Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total
Sumber : BSN (1992a) 2.8 Bakso Ikan Bakso merupakan produk olahan daging atau ikan yang sudah sangat populer dan tidak asing lagi di masyarakat. Hampir semua orang dari berbagai kelompok umur mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa sampai manula menyukai bakso, karena rasanya yang gurih, lezat, dan kenyal serta bergizi tinggi. Berdasarkan jenis daging yang digunakan sebagai bahan baku untuk membuat bakso, maka dikenal berbagai jenis bakso seperti bakso ikan dan bakso sapi (Wibowo 2002). Bakso ikan adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan utuh dan lumatan daging ikan (minced) atau surimi, ditambah bahan pengisi berpati atau tepung tapioka dan bumbu-bumbu, yang dibentuk bulat-bulat dan direbus dalam air panas. Daging ikan yang akan dibuat bakso harus sesegar mungkin, karena protein
miofibril terutama aktin dan miosin sebagai pembentuk tekstur bakso belum terdenaturasi. Selain itu daya ikat air pada ikan yang segar masih tinggi. Daging ikan yang kurang segar menyebabkan tekstur bakso yang dihasilkan agak lembek dan warnanya tidak lagi putih bersih. Mutu bakso ikan yang baik adalah warnanya putih bersih, tekstur kompak dan kenyal, tidak rapuh atau lembek (Wibowo 2002 ). Komponen daging yang berperan dalam produk bakso adalah protein khususnya protein miofibril, terutama aktin dan miosin.
Fungsi protein dalam bakso adalah
sebagai pengikat hancuran daging dan sebagai emulsifier (Kramlich 1971;
Winarno
dan Rahayu 1994 ). 2.8.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan Bahan baku yang digunakan untuk membuat bakso ikan dapat berasal dari daging ikan segar ataupun dalam bentuk surimi. Bahan-bahan tambahan yang digunakan diantaranya adalah bahan pengisi seperti tepung tapioka, es atau air es dan bumbu-bumbu seperti bawang putih, bawang merah, lada, garam dan gula (Wibowo 2002). Selain itu juga dapat ditambahkan bahan-bahan tambahan alami lainnya seperti karagenan
sebagai
bahan
pengenyal
bakso
dan
kitosan
untuk
mengawetkan/memperpanjang daya simpan bakso. (1) Daging ikan atau surimi Pada prinsipnya hampir semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku bakso. Untuk mendapatkan kualitas dan mutu bakso ikan yang baik, maka daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso harus memiliki tingkat kesegaran yang tinggi agar dihasilkan tekstur bakso yang kompak dan kenyal, tidak rapuh atau lembek (Wibowo 2002). Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa surimi, karena menghasilkan tekstur bakso yang lebih kenyal dan warna yang lebih putih. Kriteria mutu utama dari bakso sebagai produk fish jelly adalah kelenturan dan kekenyalannya (BBPMHP 1987).
(2) Bahan pengisi Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Penambahan bahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan citarasa, dan memperkecil penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich et al. 1971). Dalam proses gelatinisasi bahan pengisi dapat mengikat lebih banyak air, sedangkan air dapat membantu melarutkan garam dan meningkatkan jumlah protein yang terekstrak. Dengan demikian, produk yang dihasilkan akan menjadi tampak berisi, bertekstur baik dan menarik perhatian konsumen (Soeparno 1994). Bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembuatan bakso bukan tepung yang berprotein melainkan tepung berpati misalnya tepung tapioka, tepung sagu dan tepung pati aren. Bahan-bahan tersebut mempunyai kadar karbohidrat yang tinggi dan kadar protein yang rendah. Agar rasa bakso lezat, tekstur bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya antara 10-15% dari berat daging (Torwotjo et al. 1971 dalam Nurfianti 2007; Wibowo 2002). Pada penelitian ini digunakan pati tapioka sebagai bahan pengisi bakso ikan, karena memiliki sifat-sifat yang mendekati pati kentang, mudah diperoleh dan harganya cukup murah.
Pati kentang mengandung amilopektin 79% dan amilosanya 21%,
sedangkan pati tapioka mengandung amilopektin 83% dan amilosa 17%. Kedua pati tersebut memiliki pengaruh yang baik untuk menguatkan gel karena mempunyai kemampuan mengikat sejumlah air dan mengembang dengan diameter yang besar. Diameter granula pati kentang sekitar 33 µm dan pati tapioka sekitar 20 µm (Swinkels 1985; Wu et al. 1985 dalam Fitrial 2000). Pengaruh fraksi yang terdapat pada pati terhadap ashi gel telah dilaporkan oleh Suzuki (1981).
Fraksi amilopektin lebih
berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa.
(3) Bumbu-bumbu Bumbu-bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah bawang putih, bawang merah, lada, garam dan gula. Tujuan dari penambahan bumbu-bumbu adalah untuk meningkatkan cita rasa dari produk bakso yang dihasilkan.
Garam
berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein, dan sebagai pengawet; sedangkan gula berfungsi sebagai pemberi rasa sehingga bakso menjadi lebih gurih (Wibowo 2002). (4) Es atau air es Bahan tambahan lain yang digunakan adalah es atau air es. Bahan ini berfungsi untuk membantu pembentukan adonan dan memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es juga berfungsi untuk menambahkan air ke dalam adonan bakso agar tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan.
Dengan adanya es, suhu
dapat dipertahankan tetap rendah, sehingga dapat mencegah terjadinya denaturasi protein daging akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Untuk itu dapat digunakan es sebanyak 30% dari berat daging (Wibowo 2002). 2.8.2 Pengolahan Bakso Ikan Bakso ikan adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan utuh atau lumatan daging ikan (minced) atau surimi.
Proses pengolahan bakso ikan yang
berasal dari bahan baku surimi terdiri dari penerimaan, pencampuran, pembentukan, perebusan, pendinginan, sortasi, penimbangan dan pengemasan, serta penyimpanan (BSN 2006b). Bahan baku yang digunakan atau diterima diuji secara sensori untuk mengetahui mutunya. Pada tahap pencampuran lumatan daging ikan atau surimi dimasukkan ke dalam alat pencampur untuk digiling hingga hancur. Ditambahkan garam dan dicampur kembali hingga didapatkan adonan yang lengket. Selanjutnya dilakukan penambahan tepung dan bumbu-bumbu lainnya, dicampur sampai homogen. Kemudian adonan dicetak secara manual atau dengan mesin pencetak bakso dengan ukuran yang sudah ditentukan. Tahap selanjutnya adalah perebusan bakso pada suhu 40 0C selama 20 menit dan dilanjutkan perebusan pada suhu 90 0C selama 20 menit. Tujuan perebusan adalah untuk mendapatkan tekstur bakso ikan yang baik.
Selanjutnya bakso ikan
didinginkan dengan cara dibiarkan pada suhu ruang. Setelah bakso ikan dingin, tahap selanjutnya adalah melakukan sortasi untuk mendapatkan bakso ikan dengan bentuk yang seragam. Kemudian bakso ikan dimasukkan ke dalam bahan pengemas, dan
ditimbang sesuai dengan berat yang ditentukan dengan menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi.
Kemasan ditutup menggunakan alat penutup (sealer).
Tahap
selanjutnya adalah penyimpanan bakso ikan pada suhu rendah (BSN 2006b). Penyimpanan bakso ikan pada suhu rendah dapat dilakukan dengan menggunakan suhu dingin maupun suhu beku. Penyimpanan bakso ikan pada suhu dingin dapat dilakukan dalam ruang pendingin (refrigerator) pada suhu 0 - 5 oC. Penyimpanan produk pada suhu rendah dimaksudkan untuk menghambat aktivitas mikroba yang menyebabkan kebusukan, sehingga dapat mencegah kemunduran mutu atau memperlambat proses pembusukan (Ilyas 1983). 2.9 Karagenan Karagenan adalah getah rumput laut yang diekstrak dari spesies tertentu Rhodophyceae (alga merah). Karagenan dapat dibagi atas tiga fraksi utama yaitu, kappa, iota dan lamda karagenan.
Sumber karagenan untuk daerah tropis adalah
Eucheuma cottonii yang menghasilkan kappa karagenan dan Eucheuma
spinosum
yang menghasilkan iota karagenan (Winarno 1990). Karagenan adalah bahan alami pembentuk gel yang dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso sebagai bahan alternatif yang aman pengganti borax. Penggunaan karagenan 1% dalam 1 kg adonan bakso dapat meningkatkan kekenyalan bakso (Hardjito 2006). Menurut
Keeton
(2001),
penggunaan
karagenan
dimaksudkan
untuk
memperbaiki tekstur dan kekenyalan produk. Karagenan dapat meningkatkan daya ikat air, memperbaiki daya iris produk akhir, meningkatkan juiceness serta melindungi produk dari efek pembekuan dan thawing. Karagenan dapat dicampurkan bersama daging, larutan garam, tepung dan bahan tambahan pangan lainnya ke dalam alat pencampur mixer atau blender. Umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1%. Karagenan mampu melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan misalnya protein, sehingga mampu mempengaruhi peningkatan viskositas, pembentuk gel, pengendapan dan stabilisasi. Karagenan mempunyai peranan yang sangat penting dan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel, bahan pengental,
pengikat, pengemulsi dan lain-lain. Karagenan telah banyak diaplikasikan untuk industri kosmetik, obat-obatan dan pada industri pangan. Produk-produk karagenan umumnya cocok bereaksi dan berfungsi baik dengan pati, gula dan gum, sehingga banyak diaplikasikan untuk produk pangan seperti digunakan sebagai penstabil pada berbagai produk olahan susu dan daging (Winarno 1990; Imeson 2000). 2.10 Kitosan Kitosan (C6H11NO4)n adalah produk deasetilasi dari kitin, yang telah mengalami penghilangan gugus asetil (-COCH3).
Kitosan merupakan polimer alami, dengan
struktur molekul mirip dengan selulosa (serat pada sayuran dan buah-buahan). Perbedaan struktur molekul kitosan dan selulosa terletak pada gugus hidroksil (OH) C-2 selulosa yang digantikan gugus amina (NH2) kitosan (Sandford dan Hutching 1987). Struktur molekul kitosan dapat dilihat pada Gambar 4. Kitosan merupakan turunan kitin dengan rumus N-asetil D-glukosamin, yang tidak larut dalam air dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain (Bastaman 1989).
Pelarut kitosan yang baik adalah asam format dengan konsentrasi 0,2-1%.
Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2% (Knorr 1982).
Gambar 4 Struktur molekul kitosan (Sandford dan Hutching 1987)
Kitosan mengandung gugus amina dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berbeda dengan polisakarida lainnya. Bubuk kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat berfungsi sebagai antibakteri yang bersifat bakteriostatik. Efek hambatan pertumbuhan bakteri karena adanya proses deasetilasi yang baik. Makin banyak gugus asetil (-CHCO3) yang hilang dari polimer kitin pada saat ekstraksi, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan dan semakin kuat juga ikatan gugus aminanya (Ornum 1992). Menurut Sandford dan Hutching (1987), gugus amina (NH2) yang dimiliki oleh kitosan inilah yang memberikan banyak kegunaan. Hal ini disebabkan karena pada kondisi asam, gugus amina bebas dari kitosan akan terprotonasi membentuk gugus amina kationik (NH3+).
Kation akan bereaksi dengan anion polimer
membentuk kompleks elektrolit. Gugus amina yang bersifat kationik dan bermuatan positif dari kitosan ini akan mampu mengikat membran sel bakteri yang bermuatan negatif, sehingga metabolisme bakteri terhambat dan bakteri tidak tumbuh lagi (Pelczar dan Chan 1988). Mekanisme aksi antibakterial kitosan melibatkan cross-lingkage antara polikationik kitosan dan anion pada permukaan bakteri, yaitu mengubah permeabilitas membran. Pada bakteri Staphylococcus aureus dan Enterobacteri aerogenosa, kitosan dapat berikatan dengan protein membran sel diantaranya glutamat yang merupakan komponen membran sel bakteri dan juga dapat berikatan dengan fosfolipida membran terutama fosfatidil kolin, sehingga menyebabkan permeabilitas membran sel meningkat, dan akan memberikan jalan bagi cairan sel untuk keluar dan berpotensi menyebabkan lisis (Simpson 1997 dalam Suptijah 2006). Berbagai hipotesis yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesis protein (Hadwiger dan Adams 1978; Hadwiger dan Loschke 1981 dalam Hardjito 2006).
Adanya aktivitas antibakteri pada kitosan maka berpotensi digunakan sebagai bahan pengawet alami yang aman. Berdasarkan hasil penelitian Maulana (2007), kitosan pada konsentrasi 0,1% menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang cukup baik, yang bersifat bakteriostatik terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2007. Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan pada Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BPP2HP) Jakarta untuk kegiatan preparasi bahan baku dan pembuatan surimi, Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan dan Unit Produksi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk kegiatan pembuatan bakso ikan, Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk analisis Total Volatile Base (TVB) dan Total Plate Count (TPC), Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk analisis proksimat, Protein Larut Garam (PLG), Water Holding Capacity (WHC), derajat putih, kekuatan gel dan pH. Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan pada Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan Jakarta untuk analisis histamin, dan Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk uji lipat, uji gigit serta uji organoleptik bakso ikan. 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta bahan-bahan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah ikan layang segar, tetelan daging kakap merah segar dan beku, garam “Refina”, es curai dan natrium bikarbonat. Bahan-bahan untuk pembuatan bakso ikan adalah tepung tapioka “Gunung Agung”, garam “Refina”, gula, bawang merah, bawang putih, merica bubuk, karagenan dan larutan kitosan.
Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis
karakteristik surimi dan bakso ikan meliputi bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat, TVB, pH, protein larut garam, TPC dan histamin.
3.2.2 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi: peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta peralatan yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan.
Peralatan yang
digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan meliputi: cool box, wadah air bersih (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder) elektrik, alat pengepres hidrolik, kain kasa saring, food processor, plastik polyethylene (PE), kompor gas, panci perebusan, refrigerator (suhu 0-4 oC) dan timbangan digital. Peralatan yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan meliputi
kjeltec system, oven, tanur,
desikator, pH meter digital, cawan conway, sentrifus dingin, Rheoner RE 3305, coloring measuring and difference calculating digital display system, kertas saring, tabung reaksi, cawan petri, pipet steril, autoklaf, inkubator, spectrofluorometer, pisau dan wadah. 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap, yang meliputi : 1.
Analisis kadar proksimat, TVB dan nilai pH dari kedua daging ikan layang dan daging tetelan ikan kakap merah, serta penentuan frekuensi pencucian terbaik dari surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah berdasarkan peningkatan nilai PLG, pH, derajat putih, dan kekuatan gelnya.
2.
Penentuan formula bakso ikan terbaik dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang dengan tepung tapioka berdasarkan nilai kekuatan gel, uji lipat, uji gigit serta uji organolepiknya.
3.
Analisis karakteristik surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dalam bentuk beku dan segar berdasarkan nilai TVB, pH, derajat putih, kekuatan gel, uji lipat, uji gigit.
4.
Pembuatan bakso ikan (formula terbaik) dengan penambahan kitosan pada konsentrasi 0 dan 0,1% dalam adonan bakso serta disimpan pada suhu dingin (0-4 oC). Pada setiap 0, 1, 2 dan 3 minggu umur penyimpanan dilakukan analisis
fisik (kekuatan gel), kimia (kadar air, pH, WHC), dan mikrobiologi (TPC). Analisis kimia yang meliputi kadar histamin, abu, protein dan lemak dilakukan pada awal dan akhir penyimpanan. Selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan antara bakso ikan yang dihasilkan dengan bakso ikan komersial merek “Bumifood” (bakso C) berdasarkan karakteristik penampakan, aroma, rasa dan tekstur. Penelitian tahap pertama diawali dengan pembuatan daging lumat dengan menggunakan alat meat-bone separator.
Masing-masing daging lumat sebelum
diproses lebih lanjut menjadi surimi dianalisis karakteristik kimianya, yaitu komposisi proksimat, nilai pH dan TVB. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan surimi dari masing-masing daging lumat ikan layang dan tetelan ikan kakap merah dengan teknik pencucian yang berbeda, terdiri dari 2 dan 3 kali frekuensi pencucian.
Tujuan
penelitian tahap pertama adalah untuk menentukan frekuensi pencucian terbaik dari masing-masing surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah. Proses pengolahan surimi ikan layang pada awal frekuensi pencucian dilakukan melalui pencucian alkali, yaitu dengan penambahan natrium bikarbonat 0,5%, sedangkan untuk pengolahan surimi ikan kakap merah dengan pencucian biasa (tanpa penambahan alkali). Surimi dari masing-masing ikan yang dihasilkan dari 2 dan 3 kali frekuensi pencucian, selanjutnya dianalisis karakteristik fisik dan kimianya berdasarkan nilai protein larut garam, nilai pH, derajat putih dan kekuatan gelnya, sehingga diketahui mutu surimi yang dihasilkan. Diagram alir penelitian tahap pertama disajikan pada Gambar 5. Setelah didapatkan frekuensi pencucian terbaik dari masing-masing ikan, selanjutnya dilakukan penelitian pendahuluan tahap kedua, yaitu pembuatan bakso ikan dengan formula campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang dengan perbandingan 1 : 1; 1 : 2 dan 1 : 3 ; dan formula penambahan tepung tapioka pada konsentrasi 15%, 20% dan 25%.
Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan
tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan Jenis bahan baku dan bahan tambahan Surimi kakap dan layang Tepung tapioka Es atau air dingin Karagenan Kitosan Bawang merah Bawang putih Lada bubuk Garam Gula
Komposisi (%) 100 x 20-30 1 0,1 2 4 0,5 3 2
Tujuan penelitian tahap kedua adalah untuk menentukan formula bakso ikan terbaik dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang dengan tepung tapioka. Untuk menentukan karakteristik bakso yang diinginkan, maka pada setiap perlakuan bakso dianalisis karakteristik fisik dan organoleptiknya, dengan menganalisis kekuatan gel, uji lipat, uji gigit dan uji skoring organoleptik. Diagram alir penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 6. Setelah didapatkan formula bakso ikan yang terbaik, maka dilanjutkan penelitian tahap ketiga yaitu pembuatan surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang. Bahan baku daging tetelan ikan kakap merah yang digunakan adalah dalam bentuk beku dan segar. Dari kedua surimi tersebut yaitu surimi A (hasil pencampuran surimi daging tetelan kakap merah beku dan surimi layang segar) dan surimi B (hasil pencampuran surimi daging tetelan kakap merah segar dan surimi layang segar), selanjutnya dianalisis karakteristik kimia, fisik dan organoleptiknya dengan menganalisis nilai TVB, pH, derajat putih, kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bakso terhadap kedua bahan baku surimi A dan surimi B dengan konsentrasi tepung tapioka terpilih. Dari kedua bakso yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi dengan menguji nilai pH, derajat putih, kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit.
Tujuan penelitian tahap ketiga adalah untuk mempelajari karakteristik surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dalam bentuk beku dan segar berdasarkan nilai TVB, pH, derajat putih, kekuatan gel, uji lipat, uji gigitnya. Diagram alir penelitian tahap ketiga disajikan pada Gambar 7. Pada penelitian tahap keempat dilakukan pembuatan bakso ikan berdasarkan formula terbaik dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang dengan tepung tapioka hasil penelitian sebelumnya.
Dalam adonan bakso ikan
ditambahkan kitosan sebanyak 0,1% (bakso B) dan tanpa kitosan (bakso A) sebagai kontrol dan disimpan pada suhu dingin (0-4 oC). Pada setiap 0, 1, 2 dan 3 minggu umur penyimpanan dilakukan analisis fisik (kekuatan gel), kimia (kadar air, pH, WHC), dan mikrobiologi (TPC). Analisis kimia yaitu kadar histamin, abu, protein dan lemak dilakukan pada awal dan akhir penyimpanan. Tujuan penelitian tahap keempat adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan kitosan 0,1% terhadap karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin (suhu 0-4 oC). Selanjutnya pada tahap penelitian ini dilakukan uji organoleptik perbandingan pasangan antara bakso ikan yang dihasilkan dengan bakso ikan komersial merek “Bumifood”, untuk dibandingkan karakteristiknya berdasarkan penampakan, aroma, rasa dan tekstur.
Uji organoleptik dilakukan oleh 30 orang penelis semi terlatih.
Diagram alir penelitian tahap keempat disajikan pada pada Gambar 8.
Tetelan ikan kakap merah
Ikan layang
Penimbangan
Penyiangan
Pencucian
Pemisahan daging dari tulang dan kulit dengan meat-bone separator
Daging lumat ikan kakap
Daging lumat ikan layang Analisis proksimat, pH, dan TVB
Pencucian 2 kali I. Ikan : air = 1 : 4 II. Ikan : air = 1 : 4 + NaCl 0,3%
Pencucian 2 kali I. Ikan : air = 1 : 4 + NaHCO3 0,5% II. Ikan : air = 1 : 4 + NaCl 0,3%
Pencucian 3 kali I. Ikan : air = 1 : 4 II. Ikan : air = 1 : 4 III. Ikan : air = 1 : 4 + NaCl 0,3%
Pencucian 3 kali I. Ikan : air = 1 : 4 + NaHCO3 0,5% II. Ikan : air = 1 : 4 III. Ikan : air = 1 : 4 + NaCl 0,3%
Surimi kakap
Surimi layang Analisis PLG, pH, derajat putih dan kekuatan gel
Gambar 5 Diagram alir penelitian tahap pertama
Surimi layang
Surimi tetelan kakap merah
Pencampuran surimi tetelan kakap merah dan surimi layang
1:1
1:2
1:3
Penambahan tepung tapioka
15%
20%
Bakso A1, A2, A3
Bakso B1, B2, B3
25%
Bakso C1, C2, C3
• Analisis fisik (uji kekuatan gel) • Uji organoleptik (uji lipat, uji gigit dan uji skor mutu) Keterangan : A1 = tepung tapioka 15% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 1 A2 = tepung tapioka 15% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 2 A3 = tepung tapioka 15% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 3 B1 = tepung tapioka 20% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 1 B2 = tepung tapioka 20% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 2 B3 = tepung tapioka 20% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 3 C1 = tepung tapioka 25% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 1 C2 = tepung tapioka 25% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 2 C3 = tepung tapioka 25% , komposisi surimi kakap dan layang 1 : 3
Gambar 6 Diagram alir penelitian tahap kedua
.
Daging tetelan kakap segar
Daging tetelan kakap beku
Surimi daging tetelan kakap segar
Surimi daging tetelan kakap beku
Pengkomposisian surimi daging tetelan kakap beku dan surimi layang (x : y)
Surimi layang
Pengkomposisian surimi daging tetelan kakap segar dan surimi layang (x : y)
Surimi A
Bakso A
Ikan layang segar
Surimi B
Analisis kekuatan gel, derajat putih, uji lipat, uji gigit, pH, dan TVB
Bakso B
Analisis kekuatan gel, derajat putih, uji lipat, uji gigit dan pH
Gambar 7
Diagram alir penelitian tahap ketiga
Surimi tetelan kakap dan layang (komposisi terpilih)
Penghancuran /penggilingan dengan food processor
Pengadonan/pencampuran
• • • •
Tepung tapioka (konsentrasi terpilih) Es atau air dingin 20-30% Karagenan 1% Bumbu-bumbu : bawang merah 2%, bawang putih 4%, lada bubuk 0,5%, garam 3% dan gula%
Pengadukan Pencetakan Perebusan I : suhu 40 oC ; 20 menit Perebusan II : suhu 90 oC ; 20 menit
Bakso A dan bakso B
Uji organoleptik perbandingan pasangan dengan bakso komersial
Pengemasan
Penyimpanan suhu dingin (0-4 oC), selama 0, 1, 2 dan 3 minggu Analisis proksimat, pH, WHC, kekuatan gel, histamin dan TPC Keterangan : A = Bakso tanpa penambahan kitosan atau 0%; B = Bakso dengan penambahan kitosan 0,1%
Gambar 8 Diagram alir penelitian tahap keempat
3.4 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian meliputi karakteristik fisik, kimia, mikrobiologi, dan sensori/organoleptik. Analisis karakteristik fisik terdiri dari kekuatan gel dan derajat putih untuk surimi dan bakso. Analisis karakteristik kimia daging ikan terdiri dari kadar proksimat dan nilai pH, untuk surimi terdiri dari kadar protein larut garam, TVB, dan pH, sedangkan untuk bakso ikan terdiri dari kadar proksimat, pH, WHC dan histamin. Analisis karakteristik sensori/organoleptik untuk surimi terdiri dari uji lipat dan uji gigit, sedangkan untuk bakso ikan terdiri dari uji gigit, uji lipat, uji skoring (skor mutu) dan perbandingan pasangan. Untuk analisis karakteristik mikrobiologi bakso ikan selama penyimpanan pada suhu dingin dilakukan analisis Total Plate Count (TPC). 3.4.1 Uji fisik Uji fisik yang dilakukan terhadap surimi dan bakso ikan meliputi uji kekuatan gel dan derajat putih. (1) Uji kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) Kekuatan gel diukur dengan menggunakan Rheoner jenis RE 3305.
Prinsip
pengukurannya adalah dengan memberikan gaya terhadap sampel yang dianalisis. Alat diseting dengan jarak 400 x 0,01 mm, sensitivitas 0,5 V. Sebelum dilakukan pengujian sampel didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar dengan maksud untuk mendapatkan suhu yang sama dengan suhu kamar karena pengujian dilakukan pada suhu kamar. Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm, diukur dengan probe berdiameter 5 mm yang terbuat dari bahan plastik dengan kecepatan pengukuran 0,5 mm/s. Nilai kekuatan gel dihitung dengan rumus : Kekuatan gel (g cm) = {Jumlah kotak (grafik) x 25}g x jarak cm
(2)
Derajat putih (Whiteness) (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004) Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu alat analisis
warna secara obyektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60).
Nilai derajat putih atau whiteness
dihitung dengan rumus : Derajat putih atau whiteness (%) = 100-[(100-L*)2 + a*2 + b*2]1/2 3.4.2 Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein) daging lumat dan bakso ikan; kadar protein larut garam dan TVB surimi; nilai pH surimi dan bakso ikan; kadar WHC dan histamin bakso ikan. (1)
Kadar air (AOAC 1995). Kadar air diukur menggunakan metode gravimetri. Cawan porselen dikeringkan,
lalu dimasukkan ke dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 oC. Cawan diangkat dan dikeringkan dalam desikator selama 25 menit, lalu ditimbang. Sampel ditimbang kurang lebih 3 g, lalu dimasukkan ke dalam cawan dan dioven selama 12 jam dengan suhu 105 oC. Setelah selesai, cawan dan sampel yang dikeringkan dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang.
Penimbangan dilakukan berulang-ulang hingga
diperoleh berat konstan. Perhitungan nilai kadar air sebagai berikut : Kadar air (%) = ( A – B ) x 100% A Keterangan : A = berat sampel awal (g) B = berat sampel setelah dikeringkan (g)
(2) Kadar abu (AOAC 1995) Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 650 oC. Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan dalam cawan lalu dibakar diatas api bunsen sampai tidak berasap, lalu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan. Secara bertahap suhu tanur dinaikkan hingga mencapai suhu 650 oC dan diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan. Setelah proses pengabuan selesai, cawan didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang.
Perhitungan nilai kadar abu
sebagai berikut : Kadar abu (%) = berat abu (g) x 100% berat sampel (g) (3)
Kadar protein (Apriyantono et al. 1989) Sampel ditimbang sebanyak 2 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal.
Sebanyak 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam labu Kjeldhal dan kemudian dimasukkan batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah jernih, sampel didinginkan. Air sebanyak 510 ml ditambahkan secara perlahan-lahan melalui dinding labu Kjeldhal dan didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam destilasi, kemudian dicuci dan dibilas sebanyak 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol dan metil biru 0,2% dalam alkohol 2 : 1) diletakkan di bawah kondensor.
Ujung tabung kondensor direndam dalam larutan H3BO3 dan
ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH- Na2S2O3. Kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kurang lebih 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan air bilasan ditampung dalam labu yang sama. Isi labu erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml.
Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi
perubahan warna menjadi abu-abu. Kadar protein dihitung dengan rumus: Kadar protein (%) = (ml HCl - ml blanko ) x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100% mg sampel
(4)
Kadar lemak (Apriyantono et al. 1989) Sampel ditimbang sebanyak 3 g (W1), lalu dibungkus dengan kertas saring
dengan bagian atas dan bawah diberi kapas bebas lemak lalu disiapkan labu lemak yang sudah diketahui beratnya (W2) dan disambung dengan tabung soxhlet. Selongsong dimasukkan dalam ekstraktor tabung soxhlet, lalu ditambahkan pelarut lemak (petroleum benzena). Setelah itu dilakukan ekstraksi selama 6 jam pada suhu sekitar 40 o
C. Setelah ekstraksi selesai, dikeluarkan selongsong yang berisi sampel. Pelarut yang
ada dalam labu lemak didestilasi sehingga semua pelarut lemak menguap, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 3 jam. Labu lemak yang sudah didinginkan ditimbang dalam desikator sampai berat konstan (W3). Kadar lemak dihitung dengan rumus : Lemak (%) = W3 - W2 x 100% W1
(5)
Kadar protein larut garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 dalam Wahyuni 1992) Sampel sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml larutan NaCI 5% kemudian
dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 oC. selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No.1. Filtrat ditampung dalam erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 oC. Sebanyak 25 ml filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah: Kadar PLG (%) = (A-B) x N HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100% mg sampel
Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel B = ml titrasi HCl blanko fp = faktor pengenceran
(6)
Nilai pH (Suzuki 1981) Sebelum melakukan pengukuran, pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu,
dengan cara mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7. Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 5 g sampel kemudian dihomogenkan dalam 45 ml akuades dingin. Setelah dihomogenkan diukur pH-nya dengan pH-meter. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali pengulangan. (7) Total volatile base (TVB) (AOAC 1995) Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amonia, mono-, di-, trimetlamin) yang terdapat dalam ekstrak daging ikan yang bersifat basa pada suhu kamar selama semalam. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat kemudian dititrasi dengan HCl. Sebanyak 25 g sampel ikan yang sudah digiling dan 75 ml larutan TCA 7% (w/v) dicampur dan dihomogenkan dengan blender selama 1 menit. Larutan tersebut disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh filtrat yang jernih.
Larutan asam borat
sebanyak 1 ml dituangkan ke dalam inner chamber cawan conway. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml dari arah yang berlawanan sehingga ke dua macam larutan belum tercampur. Tutup cawan diletakkan di atas cawan dengan posisi hampir tertutup, kemudian 1 ml K2CO3 jenuh dituangkan ke dalam outer chamber. Setelah itu cawan langsung diolesi dengan vaselin. Pada cawan blanko, filtrat sampel diganti dengan larutan TCA 5% dan dikerjakan seperti prosedur di atas. Untuk setiap sampel dan blanko dikerjakan secara duplo. Cawan conway disusun pada rak inkubator secara hati-hati, kemudian digoyang perlahan-lahan selama 1 menit. Selanjutnya diinkubasi selama 2 jam pada suhu 35 oC. Larutan asam borat dalam inner chamber dititrasi dengan larutan HCl dengan menggunakan magnetic stirer sehingga larutan asam borat berubah menjadi merah muda. Perhitungan TVB menggunakan rumus :
Kadar TVB (mgN/100g) = (A-B) x N HClx 14,007 x fp x 100 berat sampel (g) Keterangan : A = ml titrasi sampel B = ml titrasi blanko fp = faktor pengenceran
(8)
Water holding capacity (WHC) (Hermanianto et al. 1999) Contoh produk sekitar 0,3 g diambil dengan pinset ditaruh di atas kertas filter, dan
ditimbang kemudian ditutup dengan penutupnya. Selanjutnya bahan ditaruh pada alat pengepres hidrolik dan ditekan sampai 100 bar atau 200 kg/cm2 selama 5 menit. Luasan lingkaran dari sampel diukur, begitu pula luasan lingkaran luar yang terbentuk oleh air. Dengan demikian luasan lingkaran yang terbentuk oleh air bebas merupakan pengurangan dari luasan lingkaran luar dengan luas lingkaran dalam. Luas lingkaran yang terbentuk oleh air bebas proposional dengan banyaknya air bebas yang tidak dapat diserap oleh bahan atau proposional terbalik dengan daya ikat air bahan. Berdasarkan luas lingkaran bebas ini, maka dapat dibuat suatu kriteria umum sebagai berikut, jika luasan lebih kecil dari 6 cm2, maka hanya sekitar 25% air bebas yang dilepaskan waktu pengepresan yang berarti daya ikat airnya tinggi, jika luasannya 6-8 cm2, maka daya ikat airnya sedang dan jika luasan air bebasnya lebih dari 8 cm2, maka daya ikat airnya rendah. Perhitungan jumlah air yang terbebaskan adalah sebagai berikut : Jumlah air bebas (mg) = Luas lingkaran air bebas (cm2) – 8 0,0948 Jumlah air sampel = Kadar air (%) x berat sampel (mg)
WHC (%) = Jumlah air sampel-jumlah air bebas x 100% Jumlah air sampel
(9)
Kadar histamin (BBP2HP 2006) Nilai histamin dianalisis dengan menggunakan alat spectrofluorometer.
Prinsipnya adalah histamin diekstrak dari sampel bakso menggunakan metanol dan sekaligus mengkonversi histamin ke dalam bentuk OH.
Histamin selanjutnya
dimurnikan melalui resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya dengan senyawa OPT (Orto-ptalatdikarboksildehida). Besarnya histamin diukur secara fluorometri pada panjang gelombang eksitasi 350 nm dan emisi 444 nm. Pengukuran kadar histamin secara fluorometri terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut : 1. Preparasi sampel Sampel sebanyak 10 g ditambah 50 ml metanol dan diblender hingga homogen. Lalu dipanaskan di atas waterbath selama 15 menit pada suhu 60 oC, dan didinginkan hingga suhu kamar. Kemudian contoh dituangkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga volume labu dengan metanol, lalu disaring dengan kertas saring dan filtratnya ditampung dalam botol contoh. Pada tahap ini filtrat contoh disimpan dalam refrigerator. 2. Persiapan resin Resin 3 g ditimbang untuk setiap kolom dalam beaker glass 250 ml. Kemudian ditambahkan 15 ml NaOH 2 N/g resin dan diaduk dengan magnetic stirer plate selama 30 menit. Cairan pada bagian atas dituangkan dan diulangi penambahan NaOH (basa) dengan jumlah yang sama. Selanjutnya resin dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali dan disaring melalui kertas saring Whatman No. 588 dan dicuci kembali dengan aquades. Resin harus disiapkan dalam kondisi segar setiap minggu dan disimpan dalam aquades. 3. Persiapan kolom resin Glasswool dimasukkan dalam kolom resin setinggi kurang lebih 1,5 cm. Resin dimasukkan dalam kolom resin setinggi kurang lebih 8 cm, dan volume air yang berada di atas resin dipertahankan kurang lebih 1 cm, jangan dibiarkan kering. Kemudian labu takar 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin guna menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin.
4. Pemurnian contoh Filtrat sebanyak 1 ml dipipet dan dimasukkan dalam kolom resin dan kran kolom resin dalam posisi terbuka dan dibiarkan aliran menetes, hasil elusi ditampung dalam labu takar 50 ml. Aquades ditambahkan pada saat tinggi cairan kurang lebih 1 cm di atas resin, dan cairan dibiarkan berelusi dan dilakukan hingga labu takar tepat 50 ml. Hasil elusi (contoh) dapat disimpan dalam refrigerator. 5. Persiapan pembacaan contoh, standar dan blanko Tabung reaksi 50 ml masing-masing untuk contoh, standar dan blanko disiapkan. Kemudian masing-masing 5 ml contoh, standar dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet. Kemudian ditambahkan berturut-turut 10 ml HCl 0,1 N, dikocok, dan ditambahkan 3 ml NaOH 1 N dikocok, dan dalam 5 menit harus sudah ditambah 1 ml OPT 0,1%, lalu dikocok dan biarkan selama 4 menit. Selanjutnya ditambahkan 3 ml H3PO4 3 N, dan dikocok. Sampel sesegera mungkin dibaca dengan alat spectrofluorometer. Dalam waktu 90 menit standar dan sampel harus sudah dibaca flouresensinya pada instrumen fluorometer. Kemudian nilai konsentrasi dan fluorosensi dari larutan standar dimasukkan dalam program regresi linier.
Nilai
flurosensi
contoh
dimasukkan ke persamaan regresi standar y = a + bx, dimana y = fluorosensi contoh, a = intercep, b = slope dan x = konsentrasi contoh yang akan dihitung. Konsentrasi histamin dihitung dengan rumus : Konsentrasi histamin (mg/kg) = A x B x fp g sampel
Keterangan : A = konsentrasi (x) yang didapat dalam perhitungan (µg/ ml) B = volume akhir (ml) fp = faktor pengenceran 3.4.3 Analisis mikrobiologi : Total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) Prosedur kerja perhitungan jumlah mikroba adalah sebagai berikut : media agar dibuat dengan mencampurkan 23,5 g plate count agar ke dalam 1 liter aquades dalam gelas piala.
Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk hingga mendidih
sehingga semua agar terlarut.
Sterilisasi dilakukan terhadap larutan agar beserta
peralatan lain yang akan digunakan seperti pipet, cawan petri, dan larutan pengencer
dalam autoklaf selama 1 jam. Larutan agar disimpan dalam penangas air bersuhu 45 0
C. Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan cara mencampurkan 1 g bacto
pepton ke dalam 1 liter aquades. Pengadukan dilakukan sampai bacto pepton terlarut dalam aquades.
Larutan pengencer tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi
sebanyak 9 ml tiap tabung reaksi untuk pengenceran. Larutan pengencer disterilisasi bersama peralatan lain dalam autoklaf. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 25 g sampel yang dihomogenkan dengan blender bersama larutan pengencer sebanyak 225 ml sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan contoh yang sudah homogen dengan pipet steril, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga terbentuk pengenceran 10-1, kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Masing-masing tabung pengenceran dipipet sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai merata (metode tuang).
Cawan petri (agar sudah beku) diinkubasi dengan posisi terbalik dalam
inkubator bersuhu 35 0C selama 48 jam. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik dan pengamatan dilakukan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni mikroba dalam cawan dihitung dengan pemilihan cawan petri yang mempunyai koloni antara 30-300 koloni. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yaitu angka pertama dan angka kedua, kemudian dikalikan dengan satu per faktor pengencerannya. Jika angka yang ketiga sama atau lebih besar dari 5, maka dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua.
3.4.4 Uji sensori atau uji organoleptik Uji sensori atau uji organoleptik mempunyai peranan yang penting dalam penerapan mutu karena masih banyak faktor-faktor yang ada dalam makanan, tetapi tidak dapat diukur dengan uji kimia dan mikrobiologi saja. Uji organoleptik bersifat
sangat subyektif maka diperlukan standar dalam persyaratan pelaksanaannya sehingga diperoleh metode yang seragam dalam pengujian organoleptik.
Metode ini harus
dipakai dan diterapkan dalam berbagai bidang usaha perikanan, terutama yang menyangkut penilaian terhadap suatu produk (BSN 2006c). Uji sensori atau uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari uji organoleptik metode skoring dan perbandingan pasangan serta uji lipat dan uji gigit. (1) Uji skoring dan uji perbandingan pasangan (Rahayu 1998) Uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji ini adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu, yaitu penilaian terhadap penampakan, aroma, rasa dan tekstur dari suatu produk, dalam hal ini adalah bakso ikan.
Skala angka dan spesifikasi dari setiap karakteristik mutu produk sudah
dicantumkan dalam score sheet organoleptik. Lembar penilaian (score sheet) bakso ikan (BSN 2006c) dapat dilihat pada Lampiran 1. Metode ini menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah 5 (lima) artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama atau lebih kecil dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar dan tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala angka ini ditujukan dengan spesifikasi masing-masing produk yang dapat memberikan pengertian pada panelis. Panelis pada uji organoleptik ini berjumlah 15 orang panelis semi terlatih (dengan dua kali ulangan sampel). Selain uji skoring, juga dilakukan uji perbandingan pasangan terhadap bakso dengan penambahan kitosan 0% dan bakso kitosan 0,1% yang dibandingkan dengan bakso komersial. Uji perbandingan pasangan ini bertujuan untuk mengetahui kelebihan dari bakso yang satu dengan bakso lainnya. Pada uji perbandingan pasangan ini, jumlah panelisnya adalah 30 orang (semi terlatih). Panelis melakukan penilaian melalui lembar penilaian dengan memberikan nilai berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik
atau lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan yaitu berupa angka dengan skala -3 sampai dengan +3, dimana -3 (sangat kurang), -2 (kurang), -1 (agak kurang), 0 (tidak berbeda), +1 (agak lebih), +2 (lebih) dan +3 (sangat lebih). Lembar isian uji organoleptik perbandingan pasangan antara bakso ikan A dan B dengan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Lampiran 2. (2)
Uji gigit (teeth cutting test) (BSN 2006c) Sebelum melakukan uji gigit, maka perlu dilakukan persiapan sampel. Sampel
dipotong dengan ketebalan 1-2 cm. Pengujian dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Panelis pada uji gigit ini berjumlah 15 orang (semi terlatih), dengan dua kali ulangan sampel. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut : 10 : amat sangat kuat kekenyalannya 9 : sangat kuat kekenyalannya 8 : kuat kekenyalannya 7 : agak kuat kekenyalannya 6 : kekenyalannya masih dapat diterima 5 : agak lunak 4 : lunak 3 : sangat lunak 1 : hancur (3)
Uji lipat (folding test) (BSN 2006c) Persiapan sampel sama seperti pada uji gigit, hanya ukuran ketebalan 4-5
mm. Pengujian dilakukan dengan cara melipat sampel menjadi setengah lingkaran. Jika tidak putus atau retak maka dilipat lagi menjadi seperempat lingkaran. Jumlah panelis pada uji lipat ini adalah 15 orang (semi terlatih), dengan dua kali ulangan sampel. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut :
9 : tidak retak jika dilipat 4, grade AA 7 : sedikit retak jika dilipat 4, grade A 5 : sedikit retak bila dilipat 2, grade B 3 : retak tetapi masih menyatu bila dilipat 2, grade C 1 : patah seluruhnya bila dilipat 2, grade D 3.5
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk menghitung data penelitian ini
adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor, yaitu faktor lama penyimpananan pada suhu dingin (suhu 0-4
o
C) sebagai faktor A dan faktor
penambahan kitosan sebagai faktor B. Faktor A terdiri atas 4 taraf perlakuan yaitu : A0 = lama penyimpanan 0 minggu; A1 = lama penyimpanan 1 minggu; A2 = lama penyimpanan 2 minggu; A3 = lama penyimpanan 3 minggu. Faktor B terdiri atas 2 taraf perlakuan yaitu : B0 = penambahan kitosan 0%; B1 = penambahan kitosan 0,1%. Masing-masing taraf dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Model matematiknya sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993) : Yijk =µ + Ai + Bj + (AB)ij + ε ijk Keterangan : Yijk
=
nilai pengamatan
µ
=
rata-rata umum
Ai
=
pengaruh faktor penyimpanan suhu dingin taraf ke-i (i = 1, 2 , 3, 4)
Bj
=
pengaruh faktor penambahan kitosan taraf ke-j (j = 1, 2)
(AB)ij = pengaruh faktor interaksi penyimpanan suhu dingin taraf ke-i dan faktor penambahan kitosan taraf ke-j εijk
= galat faktor penyimpanan suhu dingin taraf ke-i dan faktor penambahan kitosan taraf ke-j pola ulangan ke-k (k = 1, 2) Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (anova). Perbedaan nyata
akan diuji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Tukey. Hasil data uji organoleptik diolah dengan uji statistik nonparametrik Kruskal-Wallis yang bertujuan untuk
mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata dalam ranking (Steel dan Torrie 1993). Model matematika uji Kruskal-Wallis sebagai berikut: H =
12 Σ Ri2 n(n+1) ni
H’ =
- 3(n +1)
H Pembagi
Pembagi = 1 -
ΣT
, dengan T = (t-1)(t+1)
(n-1)(n+1)n Keterangan : n ni Ri
2
=
jumlah data
=
banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i
= jumlah ranking dalam perlakuan ke i
T
=
banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
H’
= H terkoreksi
H
=
simpangan baku
t
=
banyaknya pengamatan yang seri Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya
dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus:
Ri - Rj
>< Zα/2p
Keterangan : Ri = rata-rata ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan n = jumlah total data
k(n + 1) 6
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Kimia Daging Ikan Layang dan Tetelan Ikan Kakap Merah Analisis kimia terhadap daging ikan layang dan tetelan ikan kakap merah meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein), TVB dan nilai pH. Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui tingkat kesegaran dan kandungan kimia awal daging ikan sebelum dilakukan pengolahan. Hal ini mengingat bahwa tingkat kesegaran dan komposisi kimia ikan sangat berpengaruh terhadap karakteristik surimi sebagai bahan baku bakso ikan. Komposisi kimia daging ikan layang dan tetelan ikan kakap merah disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi kimia daging ikan layang dan tetelan ikan kakap merah Parameter Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein kasar (%) TVB (mg N/100 g) pH
Ikan layang 78,58 ± 3,54 1,03 ± 0,00 1,90 ± 1,80 18,13 ± 1,06 9,79 ± 1,26 5,98 ± 0,07
Tetelan ikan kakap merah 82,23 ± 0,01 0,83 ± 0,01 1,01 ± 0,01 15,01 ± 0,41 9,59 ± 0,70 6,80 ± 0,09
Menurut Stansby (1963), ikan yang tergolong berlemak rendah dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20% dan kandungan lemak lebih kecil dari 5%. Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan berprotein tinggi dan berlemak rendah. Tingginya kadar protein (18,13%) dan rendahnya kadar lemak (1,90%) pada ikan layang sebenarnya dapat diolah menjadi surimi.
Tetapi
karena ikan layang memiliki nilai pH daging yang rendah yaitu 5,98 dan memiliki proporsi daging merah yang lebih tinggi daripada daging putihnya, maka akan menghasilkan surimi dengan pembentukan gel yang rendah dan warna yang gelap. Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992), kemampuan pembentukan gel yang optimal ada pada daging ikan segar dengan pH netral dan akan menurun kemampuan pembentukan gelnya dengan menurunnya pH. Pada pH yang rendah di
bawah pH
netral akan menurunkan aktivitas ATP-asenya dan protein miofibril menjadi tidak stabil dan mudah terdenaturasi, sehingga kemampuan pembentukan gel surimi akan berkurang.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap nilai pH daging lumat ikan layang selama proses pengolahan surimi mencapai pH optimum (6,8-7,0). Teknik pencucian alkali, yaitu dengan menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,5% pada air yang digunakan untuk pencucian dapat meningkatkan nilai pH mencapai kondisi optimum, sehingga akan menghasilkan surimi dengan kemampuan pembentukan gel yang optimal (BPPMHP 2003). Berdasarkan tingkat kesegarannya, kedua jenis ikan yang digunakan tergolong segar, karena kadar TVB-nya di bawah 10 mg N/100 g (Nogueras et al. 2001). Nilai TVB ikan layang dan tetelan ikan kakap merah berturut-turut adalah 9,79 dan 9,59 mg N/100 g. Ikan layang memiliki pH daging yang lebih rendah (5,98) dibandingkan tetelan ikan kakap merah (6,80). Namun nilai pH kedua jenis ikan berada pada kisaran pH ikan segar. Ikan yang baru saja mati memiliki pH netral mendekati basa dan mencapai nilai pH terendah sekitar 5,8-6,2 pada saat terjadinya fase rigor mortis (Rahayu et al. 1992). Nilai pH yang rendah pada ikan layang dan ikan berdaging merah disebabkan karena kandungan glikogen yang tinggi digunakan untuk berenang dan bermigrasi dalam waktu yang lama (Shimizu et al. 1992), sehingga setelah post-mortem akan cepat mengalami glikolisis dan mengakumulasi asam laktat, yang menyebabkan pH daging ikan turun secara cepat hingga mencapai pH 5,6 (Matsumoto dan Noguchi 1992). Shimizu et al. (1992) menyebutkan bahwa ikan berdaging merah pada umumnya memiliki pH yang rendah hingga mencapai pH 5,6 - 5,8, sedangkan ikan berdaging putih memiliki pH yang lebih tinggi antara 6,1 - 6,5. 4.2 Penentuan Frekuensi Pencucian Terbaik Pencucian daging ikan dengan air merupakan tahap penting dalam proses pengolahan surimi. Suhu air yang digunakan untuk pencucian surimi berkisar antara 510 oC. Pencucian dalam pembuatan surimi selain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel juga untuk meningkatkan kualitas warna dan aroma. Dengan pencucian akan menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel dan akan meningkatkan kandungan protein miofibril (Suzuki 1981).
Santoso et al. (1997) menambahkan bahwa pencucian surimi dengan suhu dingin bertujuan untuk mempertahankan agar protein miofibril tidak terdenaturasi. Hasil analisis terhadap nilai pH, PLG, kekuatan gel dan derajat putih ikan layang dan tetelan ikan kakap merah pada penentuan frekuensi pencucian terbaik disajikan pada Tabel 6. Tabel 6
Parameter pH PLG (%) Kekuatan gel (g.cm) Derajat putih (%)
Nilai pH, PLG, kekuatan gel dan derajat putih surimi ikan layang dan tetelan ikan kakap merah pada setiap frekuensi pencucian Ikan Layang Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali a 6,97 ± 0,12 7,06 ± 0,00a a 5,85 ± 1,80 4,61 ± 0,83a a 305,94 ± 22,54 186,06 ± 24,13a 25,29 ± 4,03a
25,37 ± 8,91a
Tetelan Ikan Kakap Merah Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali a 6,84 ± 0,24 6,93 ± 0,22a a 3,94 ± 1,74 3,84 ± 1,70a a 181,15 ± 92,6 155,83 ± 43,61a 55,65 ± 2,28b
57,59 ± 1,66b
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) untuk masing-masing jenis ikan menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai pH ikan layang dan tetelan ikan kakap merah sebelum pencucian berturutturut adalah 5,98 dan 6,80 (Tabel 5). Setelah pencucian, surimi ikan layang mempunyai nilai pH berkisar antara 6,97 - 7,06 dan ikan kakap merah berkisar antara 6,84 - 6,93 (Tabel 6). Dari hasil analisis pH, terlihat bahwa dengan pencucian dapat meningkatkan nilai pH dari kedua jenis ikan, walaupun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian dan jenis ikan tidak pengaruh nyata terhadap pH surimi (Lampiran 3). Adanya kenaikan nilai pH daging lumat ikan layang dan tetelan ikan kakap merah setelah proses pencucian disebabkan karena adanya penambahan natrium bikarbonat 0,5% dan NaCl 0,2% yang bersifat basa dalam air pencucian.
Pencucian juga
melarutkan protein sarkoplasma, lemak, darah dan pigmen heme (mioglobin dan hemoglobin) (Shimizu et al.1992; Hall dan Ahmad 1992). Honikel (1987) dalam Jin et al. (2007) melaporkan bahwa nilai pH mempunyai efek yang besar pada sifat fisika seperti WHC, tenderness (keempukan) dan warna daging. Hard dan Warren (1985) dalam Sedayu (2004) menyatakan bahwa nilai pH perlu diatur selama proses pencucian. Bila pH kurang dari 6 mengakibatkan sifat hidrofilik ikan meningkat, sehingga terjadi pengembangan dan gel ikan tidak terbentuk. Pada pH yang lebih tinggi dari 7 menyebabkan penyerapan air akan meningkat,
sehingga akan kesulitan dalam pembuangan air dan menghambat pembentukan gel. Suzuki (1981) menyatakan bahwa pH berpengaruh terhadap kelarutan protein miofibril. Kisaran pH 6 - 7 merupakan kisaran pH yang optimal bagi kelarutan protein miofibril dan meningkatkan kemampuan pembentukan gel ikan. Pada pH yang rendah yaitu 5,5 atau pada kondisi asam protein miofibril menjadi tidak stabil dan terdenaturasi. Peningkatan nilai pH daging lumat ikan layang dan ikan kakap merah mencapai optimum setelah proses pencucian, yang selanjutnya menghasilkan kekuatan gel surimi yang optimal dan warna yang lebih cerah. Shimizu et al. (1992) melaporkan bahwa dengan teknik pencucian alkali pada pengolahan surimi yang berasal dari ikan berdaging merah seperti ikan Pacific mackerel, kemampuan pembentukan mencapai 10
kali,
sedangkan
pencucian
biasa hanya 2-3 kali.
gelnya
Kemampuan
pembentukan gel yang lebih tinggi tersebut disebabkan karena pH daging meningkat sehingga kecepatan denaturasi menurun, protein sarkoplasma terlarut dan pigmen heme hilang sehingga warna lebih cerah. Flavor juga meningkat karena hilangnya komponen karbonil. Protein larut garam (PLG) merupakan protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel. Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam protein daging ikan yaitu 65 - 80% dari total protein (Hall dan Ahmad 1992). Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin, tropomiosin, troponin dan aktinin yang bersifat larut dalam larutan garam. Pada saat protein miofibril diekstrak dengan larutan garam, maka aktin dan miosin akan membentuk aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel (Suzuki 1981). Nilai PLG tertinggi dari kedua jenis ikan diperoleh setelah pencucian kedua yaitu 5,85% untuk surimi ikan layang dan 3,94% untuk surimi ikan kakap merah. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian dan jenis ikan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai PLG surimi (Lampiran 4). Peningkatan kadar PLG berbanding lurus dengan peningkatan nilai kekuatan gel. Semakin tinggi nilai PLG akan menghasilkan nilai kekuatan gel surimi yang tinggi pula. Nilai kekuatan gel tertinggi dari surimi ikan layang dan tetelan kakap merah diperoleh setelah pencucian kedua, berturut-turut 305,94 dan 181,15 g.cm. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa frekuensi pencucian dan jenis ikan tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel surimi (Lampiran 5). Meningkatnya nilai PLG daging lumat dari kedua jenis ikan pada frekuensi pencucian dua kali disebabkan karena protein sarkoplasma larut dengan mudah dan terbuang pada air pencucian. Hal ini diikuti dengan meningkatnya jumlah kelarutan protein miofibril (PLG) hingga frekuensi pencucian sebanyak dua kali. Lin dan Park (1996) dalam Yasin (2005) melaporkan bahwa protein sarkoplasma mudah larut dalam air (0% NaCl) dan terbuang pada saat pencucian pertama. Pada pencucian pertama komponen utama yang larut dalam air seperti darah, protein sarkoplasma, enzim protease dan lemak akan lebih mudah dan banyak terbuang (Hall dan Ahmad 1992). Sehingga pada saat pencucian kedua dengan larutan garam 0,3% pada penelitian ini akan menghasilkan kelarutan protein miofibril yang lebih banyak dan menghasilkan kekuatan gel yang lebih tinggi. Sementara menurunnya nilai kelarutan PLG pada frekuensi pencucian ketiga diduga karena protein miofibril menjadi terlarut dan terbuang dalam air pencuci pada saat proses pencucian, sehingga menghasilkan nilai PLG dan kekuatan gel yang lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi pencucian kedua. Hal serupa dilaporkan oleh Yasin (2005) bahwa penurunan kadar PLG daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa pada frekuensi pencucian ketiga dan keempat disebabkan karena PLG tersebut terlarut dalam air pencuci karena pengaruh pencucian yang berulang-ulang. Bertambahnya frekuensi pencucian dapat meningkatkan nilai derajat putih surimi yang dihasilkan yaitu 25,29-25,37% untuk surimi ikan layang dan 55,65-57,59% untuk surimi tetelan ikan kakap merah. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap warna surimi, sedangkan jenis ikan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna surimi (Lampiran 6). Hal ini disebabkan karena ikan kakap merah termasuk ikan berdaging putih yang memiliki proporsi daging putih yang lebih banyak daripada ikan layang, sehingga menghasilkan derajat putih surimi yang lebih tinggi dibandingkan ikan layang. Ikan layang memiliki proporsi daging merah yang lebih besar dan kandungan pigmen
heme (mioglobin dan hemoglobin) yang lebih tinggi dibandingkan ikan kakap merah, sehingga menghasilkan derajat putih surimi yang lebih rendah. Kim et al. (1996) dan Chen et al. (1997) dalam Bentis et al. (2005) melaporkan bahwa warna surimi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan siklus pencucian, waktu pencucian dan kuantitas air. Lebih lanjut Chen et al. (1997) dalam Bentis et al. (2005) menyatakan bahwa waktu pencucian yang lama akan menghasilkan daging lumat dengan hidrasi yang tinggi dan degradasi protein miofibril, sehingga membuat proses dehidrasi berikutnya menjadi lebih sulit dan dapat menghambat kemampuan pembentukan gel. Jin et al. (2007) melaporkan bahwa pencucian dua kali lebih baik daripada pencucian empat kali, karena warna surimi yang dihasilkan tidak begitu dipengaruhi oleh waktu pencucian, meskipun pigmen mioglobin terendah dalam sampel surimi yang dibuat terdapat pada pencucian empat kali. Hal ini merupakan poin yang berguna dari prosedur pembuatan surimi atau mereduksi air buangan. Chaijan et al. (2004) menambahkan bahwa pada siklus pertama pencucian dengan konsentrasi NaCl 0,2% untuk daging lumat sardine dan 0,5% NaCl untuk daging lumat mackerel, jumlah mioglobin yang hilang lebih banyak dan hanya sejumlah kecil mioglobin yang hilang pada siklus pencucian kedua. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh maka frekuensi pencucian dua kali merupakan pencucian terbaik dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena nilai PLG dan kekuatan gel tertinggi diperoleh setelah frekuensi pencucian dua kali.
4.3
Penentuan Formula Bakso Ikan Terbaik dari Campuran Surimi Tetelan Ikan Kakap Merah dan Surimi Ikan Layang dengan Tepung Tapioka Mengacu pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yasin (2005)
yang melaporkan bahwa pengkomposisian surimi dari dua jenis ikan yaitu 25% surimi ikan cucut dan 75% surimi ikan pari kelapa ternyata mampu meningkatkan kekuatan gel. Hal tersebut diduga seperti yang dilaporkan oleh Yasin (2005) karena kekuatan gel yang dihasilkan dipengaruhi oleh nilai pH dari kedua jenis ikan. Nilai pH ikan pari kelapa mendekati pH netral, sedangkan nilai pH dari cucut pisang cenderung bersifat asam. Sehingga untuk menghasilkan nilai pH yang optimum dengan nilai kekuatan gel yang tertinggi dilakukan pengkomposisian atau pencampuran surimi ikan cucut yang jumlahnya lebih sedikit daripada surimi ikan pari kelapa. Penelitian tahap ini bertujuan untuk mendapatkan formula bakso ikan terbaik dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan ikan layang dengan tepung tapioka berdasarkan analisis kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit serta uji skoring organolepik terhadap bakso ikan.
Untuk mengontrol kadar air yang terdapat dalam surimi, maka
dilakukan analisis kadar air surimi dari masing-masing ikan. Hasil analisis kadar air surimi ikan layang 81,66%, sedangkan kadar air surimi tetelan ikan kakap merah adalah 83,80%. Kadar air yang terdapat dalam surimi ikan layang masih berada pada kisaran kadar air yang yang disarankan dalam pengolahan surimi yaitu 80 - 82% (Tan et al. 1987), sedangkan kadar air yang terdapat pada surimi tetelan ikan kakap merah sedikit lebih tinggi. 4.3.1 Analisis kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit Pengukuran nilai kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit terhadap bakso ikan merupakan analisis fisik yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kekenyalannya. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan sebaiknya berasal dari surimi dengan tingkat kesegaran daging ikan yang tinggi, agar dihasilkan tekstur bakso yang kenyal dan tidak lembek serta warna yang lebih putih. Konsentrasi tepung tapioka yang digunakan antara 10-15% dari berat daging sehingga menghasilkan rasa bakso yang lezat, tekstur yang bagus dan bermutu tinggi (BBPMHP 1987; Wibowo 2002). Nilai
kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit dari setiap formula bakso ikan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit dari setiap formula bakso ikan Bakso ikan (formula) A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 • •
Kekuatan gel (g.cm) 417,50 ± 176,78 a 486,88 ± 227,16 a 519,17 ± 284,02 a 381,88 ± 287,26 a 404,58 ± 131,40 a 462,50 ± 190,92 a 510,00 ± 162,63 a 541,25 ± 206,83 a 519,38 ± 234,23 a
Uji lipat 7,5 ± 1,55bc 7,5 ± 1,66bc 7,5 ± 1,80bc 5,9 ± 2,39a 7,1 ± 1,93ab 7,9 ± 1,55bc 8,6 ± 1,10c 8,3 ± 1,34c 8,2 ± 1,45bc
Uji gigit 7,4 ± 1,07b 7,4 ± 1,17b 7,5 ± 1,07bc 6,4 ± 1,59 a 7,8 ± 1,14bcd 7,7 ± 0,92bcd 8,5 ± 0,97d 8,3 ± 1,06cd 8,2 ± 1,07bcd
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Simbol A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2 dan C3 merujuk keterangan pada Gambar 6.
Nilai rata-rata kekuatan gel bakso ikan berkisar antara 381,88-541,25 g.cm (Tabel 7). Nilai rata-rata kekuatan gel tertinggi terdapat pada bakso ikan C2 (541,25 g.cm), sedangkan terendah terdapat pada bakso ikan B1 (381,88 g.cm). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formula bakso ikan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekuatan gel bakso ikan (Lampiran 7). Dari Tabel 7 terlihat bahwa konsentrasi tepung tapioka 25% (kode C) dapat menghasilkan nilai kekuatan gel bakso yang lebih tinggi daripada bakso dengan konsentrasi tepung tapioka 15% (kode A) dan 20% (kode B). Hal ini diduga karena kadar air dalam surimi antara 81,66 - 83,8%, serta pH surimi yang optimum antara 6,84 - 6,97 (Tabel 6). Dengan penambahan tepung tapioka pada konsentrasi 25% dari berat surimi mampu meningkatkan kelarutan protein miofibril dalam surimi, sehingga dapat menghasilkan pembentukan gel bakso yang tinggi. Karena jumlah air yang ditambahkan pada adonan bakso dalam penelitian ini adalah relatif tetap sekitar 2030%, maka ketersedian air dalam adonan bakso terutama kandungan air dari surimi sangat berpengaruh terhadap pembentukan gel bakso ikan yang dihasilkan. Tanikawa (1971) dalam Pusparani (2003) menyatakan bahwa penambahan tepung sangat tergantung pada kadar air yang ditambahkan, misalnya pada pembuatan produk gel, jika air tidak digunakan maka konsentrasi tepung yang digunakan adalah 10% dan
produk gel yang dihasilkan menjadi sangat kuat dan mudah pecah, tetapi jika ditambahkan air 5% maka konsentrasi tepung meningkat menjadi 20%. Pembentukan gel pada produk gel seperti halnya bakso, terjadi karena adanya ikatan yang kuat antara granula pati dengan protein miofibril pada surimi (Hamadi 1984 dalam Astuti 1995). Peningkatan dan penurunan kekenyalan suatu produk sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dan jumlah pati yang ditambahkan. Ketersediaan air yang sedikit dan penambahan jumlah pati yang tinggi akan berakibat kompetisi yang tinggi pada pati sehingga akan mengurangi pembentukan gel dan melemahkan ikatan antara granula pati dan protein miofibril yang menghasilkan tekstur produk yang keras (Astuti 1995). Oleh karena itu jika ketersediaan air banyak sementara jumlah pati yang ditambahkan sedikit maka akan melemahkan ikatan antara granula pati dengan protein miofibril, sehingga menghasilkan gel yang rendah. Pengukuran nilai kekuatan gel lebih bersifat obyektif, tetapi data yang digunakan harus bersama-sama dengan hasil penilaian secara subyektif atau sensoris seperti uji lipat dan uji gigit dalam menilai kekenyalan dan elastisitas suatu produk (Tan et al. 1987). Pengukuran terhadap uji lipat dan uji gigit dari suatu produk dilakukan secara subyektif atau sensoris dengan menggunakan manusia sebagai alat pengukurnya dan berdasarkan pada spesifikasi penilaian yang sudah ditentukan.
Lembar penilaian
(score sheet) untuk uji lipat dan uji gigit bakso ikan dapat dilihat pada Lampiran 8. Pada Tabel 7, nilai rata-rata uji lipat bakso ikan berkisar antara 5,9 - 8,6. Nilai rata-rata uji lipat tertinggi terdapat pada bakso C1 (8,6), sedangkan terendah ada pada bakso B1 (5,9). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa formula bakso ikan berpengaruh nyata terhadap uji lipat bakso ikan (Lampiran 9). Dari hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa nilai uji lipat bakso C3, hanya berbeda nyata dengan bakso B1, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso ikan lainnya. Nilai uji lipat bakso ikan pada konsentrasi tepung tapioka 25% tidak berpengaruh terhadap jumlah komposisi surimi tetelan ikan kakap dan surimi ikan layang yang digunakan dalam formula bakso ikan. Penggunaan tepung tapioka pada konsentrasi 25% (kode C) menghasilkan nilai uji lipat bakso ikan lebih tinggi daripada konsentrasi 15% (kode A) dan 20% (kode B)
(Tabel 7). Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai uji lipat yang diukur secara subyektif berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel bakso ikan yang diukur secara obyektif, sehingga kedua data dapat digunakan secara bersama dalam menilai kekenyalan bakso ikan. Nilai rata-rata uji gigit dari setiap formula bakso ikan berkisar antara 6,4 - 8,5 (Tabel 7). Nilai rata-rata uji gigit tertinggi terdapat pada bakso C1 (8,5), sedangkan terendah ada pada bakso B1 (6,4).
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa
formula bakso ikan berpengaruh nyata terhadap uji gigit bakso ikan (Lampiran 10). Dari hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa nilai uji gigit bakso C3 hanya berbeda nyata dengan bakso B1, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso ikan lainnya. Jumlah komposisi surimi tetelan ikan kakap dan surimi ikan layang dalam formula bakso pada konsentrasi tepung tapioka 25% tidak mempengaruhi nilai uji gigit bakso ikan. Penggunaan tepung tapioka pada konsentrasi 25% (kode C) juga menghasilkan nilai uji gigit lebih tinggi daripada bakso ikan dengan konsentrasi 15% (kode A) dan 20% (kode B) (Tabel 7). Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai uji gigit berbanding lurus dengan nilai uji lipat dan kekuatan gel bakso ikan, sehingga ketiga data ini dapat digunakan secara bersama dalam menentukan kekenyalan bakso ikan. Semakin tinggi nilai uji gigit bakso maka akan semakin tinggi pula nilai uji lipat dan kekuatan gelnya. Produk gel ikan yang memiliki kekuatan gel yang tinggi akan menghasilkan nilai uji lipat dan uji gigit yang tinggi pula, dengan kisaran nilai uji lipat pada kisaran nilai 7 - 9 (grade A-AA) dan kisaran nilai uji gigit pada kisaran nilai 7 - 10 (BSN 2006). Tan et al. (1987) melaporkan bahwa nilai kisaran yang dapat diterima terhadap uji gigit produk-produk komersial ada pada kisaran nilai 5 - 6. Walaupun bakso C2 menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi (541,25 g.cm), dan bakso C1 menghasilkan nilai uji lipat (8,6) dan uji gigit (8,5) yang tertinggi, tetapi dari hasil uji lanjut Multiple Comparison nilai uji lipat dan uji gigit bakso C1 dan C2 tidak berbeda nyata dengan bakso C3. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka pada konsentrasi 25% tidak berpengaruh terhadap jumlah komposisi surimi
tetelan ikan kakap dan surimi ikan layang yang digunakan dalam formula bakso ikan pada penelitian ini. Jika dinilai dari segi ekonomi maka biaya produksi untuk pembuatan bakso C3 (komposisi surimi ikan kakap dan surimi ikan layang 1:3) lebih ekonomis dibandingkan dengan bakso C2 (komposisi surimi ikan kakap dan surimi ikan layang 1 : 2) dan C1 (komposisi
surimi
ikan kakap dan surimi ikan layang sebesar 1 : 1).
Hal ini
disebabkan karena harga bahan baku ikan kakap merah lebih mahal daripada ikan layang, sehingga semakin sedikit jumlah surimi tetelan ikan kakap dan semakin banyak surimi ikan layang yang digunakan akan dapat menekan biaya produksi dalam pembuatan bakso ikan. Oleh karena itu, bakso C3 dari campuran surimi tetelan ikan kakap dan ikan layang 1:3 dengan konsentrasi tepung tapioka 25%, dinilai sudah dapat menghasilkan tekstur bakso yang kenyal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kekuatan gel (519,38 g.cm), uji lipat (8,2), dan uji gigit (8,2) yang tinggi, sehingga bakso ikan C3 dipilih sebagai formula terbaik dan optimal untuk dapat digunakan pada penelitian selanjutnya. 4.3.2 Penilaian organoleptik dengan metode skoring Soekarto (1985) menyebutkan bahwa uji organoleptik adalah menilai suatu produk dengan menggunakan alat indera penglihatan, pencicip, pembau dan indera pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui penerimaan panelis/konsumen terhadap suatu produk. Penilaian organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu dari suatu produk bertujuan untuk memberikan suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik atau mutu dari suatu produk, yaitu penilaian terhadap kenampakan, aroma, rasa dan tekstur (dalam hal ini bakso ikan). Pada uji ini diberikan penilaian terhadap mutu organoleptik dalam suatu jenjang mutu (Rahayu 1998).
Skala angka dan
spesifikasi setiap karakteristik produk dicantumkan dalam lembar penilaian (score sheet) organoleptik. Lembar penilaian (score sheet) bakso ikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil uji organoleptik dari setiap formula bakso ikan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Bakso ikan (formula) A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 • •
(1)
Hasil uji organoleptik dari setiap formula bakso ikan
Kenampakan 6,2±1,32abc 5,9±1,32abc 6,3±1,40bc 5,3±1,32a 6,1±1,36abc 5,8±1,42ab 6,8±0,79c 6,5±1,11bc 6,5±0,78bc
Parameter penilaian organoleptik Aroma Rasa 7,7±1,24 a 6,8±1,06 a 7,2±1,35 a 6,6±1,47 a a 7,3±1,24 6,8±1,22 a a 7,4±1,16 6,1±1,33 a a 7,4±1,33 6,8±1,32 a 7,3±1,31 a 6,8±1,15 a a 7,6±1,22 6,7±1,08 a a 7,5±1,28 6,8±1,19 a a 7,6±1,22 6,9±1,32 a
Tekstur 7,3±1,21ab 7,6±1,38b 7,4±1,43ab 6,4±1,61a 7,4±1,13ab 7,4±1,22ab 8,1±1,01b 8,1±1,06b 8,1±1,01b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Simbol A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2 dan C3 merujuk keterangan pada Gambar 6
Kenampakan Kenampakan merupakan parameter organoleptik yang penting, karena merupakan
sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Bila kesan kenampakan produk baik atau disukai, maka konsumen baru akan melihat sifat sensoris yang lainnya (aroma, rasa, tekstur dan seterusnya). Meskipun kenampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi kenampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen. Pada umumnya konsumen memilih dan menerima makanan yang memiliki kenampakan yang menarik (Soekarto 1985). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap kenampakan bakso ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,3 sampai 6,8 (Tabel 8). Nilai kenampakan tertinggi dari bakso ikan yang diuji dicapai oleh bakso C1 (6,8), sedangkan terendah dicapai oleh bakso B1 (5,3). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa dari setiap formula bakso ikan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan bakso ikan (Lampiran 11).
Dari hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa
kenampakan bakso C3 hanya berbeda nyata dengan bakso B1, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso ikan lainnya. Hal ini disebabkan bakso C3 mempunyai warna lebih menarik, bentuk bulat beraturan, seragam dan sedikit berongga; sedangkan bakso B1 mempunyai warna kurang menarik, agak kusam, bentuk bulat kurang beraturan, kurang seragam dan berongga.
Sehingga bakso C3 lebih disukai dan
diterima oleh panelis daripada bakso B1. Kenampakan bakso C3 yang lebih cerah dan menarik diduga karena adanya penambahan tepung tapioka yang lebih banyak yaitu pada konsentrasi 25% dari berat surimi yang digunakan dalam pengolahan bakso, sehingga menghasilkan warna bakso yang lebih cerah dibandingkan bakso B1. (2)
Aroma Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidaknya makanan,
bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks daripada cicip atau rasa, dan kepekaan indera pembauan lebih tinggi daripada indera pencicipan, bahkan industri pangan menganggap sangat penting terhadap uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian apakah produk disukai atau tidak (Soekarto 1985). Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat macam bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 1997). Dalam memilih bakso ikan pada umumnya konsumen akan memilih bakso ikan yang segar atau tidak amis dan beraroma khas ikan, karena aroma bakso ikan yang amis, asam dan berbau tengik menunjukkan bahwa bakso ikan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap aroma bakso ikan yang dihasilkan berkisar antara 7,2 sampai 7,7 (Tabel 8). Nilai aroma tertinggi dari bakso ikan yang diuji dicapai oleh bakso A1 (7,7), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso A2 (7,2). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa dari setiap formula bakso ikan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bakso
ikan
(Lampiran 12). Hal ini disebabkan karena penambahan konsentrasi tepung tapioka dan komposisi surimi tetelan ikan kakap dan ikan layang pada jumlah yang berbeda menghasilkan aroma bakso ikan yang sama yaitu beraroma spesifik ikan, enak dan tidak amis. Hal ini diduga karena adanya penambahan bumbu-bumbu dalam adonan bakso yang meningkatkan aroma bakso ikan, sehingga seluruh bakso ikan yang dihasilkan diterima dan disukai oleh panelis.
(3) Rasa Menurut Winarno (1997) rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap diterimanya suatu produk. Apabila sebuah produk mempunyai rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan diterima oleh konsumen walaupun warna dan aromanya baik. Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap rasa bakso ikan berkisar antara 6,1 sampai 6,9 (Tabel 8). Nilai tertinggi untuk rasa dari bakso ikan yang diuji dicapai oleh bakso C3 (6,9), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso B1 (6,1).
Hasil uji
Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan tidak berpengaruh nyata terhadap rasa bakso ikan yang dihasilkan (Lampiran 13). Hal ini diduga karena adanya penambahan bumbu-bumbu dalam adonan bakso yang dapat meningkatkan cita rasa bakso ikan yang dihasilkan. Meskipun konsentrasi tepung tapioka dan komposisi surimi tetelan ikan kakap merah dan ikan layang yang ditambahkan dalam adonan bakso berbeda jumlahnya, tetapi panelis memberikan penilaian rasa yang sama terhadap seluruh bakso ikan yang dihasilkan, yaitu enak dan spesifik rasa ikannya. Seluruh bakso ikan yang dihasilkan diterima dan disukai oleh panelis. (4)
Tekstur Tekstur merupakan parameter yang penting bagi produk gel ikan.
Penilaian
terhadap tekstur bakso ikan sangat dipengaruhi oleh kekuatan gel yang dihasilkannya. Penilaian tekstur bakso ikan atau produk-produk gel ikan lainnya bertujuan untuk mengetahui tingkat kekenyalannya.
Hal ini perlu dilakukan karena bakso ikan
merupakan salah satu dari produk fish jelly yang kriteria mutu utamanya menuntut adanya kelenturan dan kekenyalan tertentu (BBPMHP 1987). Nilai rata-rata panelis terhadap tekstur bakso ikan yang dihasilkan berkisar antara 6,4 sampai 8,1 (Tabel 8). Nilai tertinggi untuk tekstur dari bakso ikan yang diuji dicapai oleh bakso C2 (8,1), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso B1 dengan nilai rata-rata (6,4). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa dari setiap formula bakso ikan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso ikan
(Lampiran 14). Dari hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa tekstur bakso C3 hanya berbeda nyata dengan bakso B1, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso ikan lainnya. Hal ini disebabkan bakso C3 mempunyai tekstur yang kenyal, padat dan kompak, sedangkan bakso B1 mempunyai tekstur yang kurang kenyal, kurang kompak dan kurang padat.
Sehingga bakso C3 lebih disukai dan
diterima oleh panelis daripada bakso B1. Hal ini diduga karena ketersediaan air dalam surimi sudah sesuai dengan jumlah
tepung tapioka yang ditambahkan yaitu pada
konsentrasi 25% dari berat surimi, sehingga mampu meningkatkan kelarutan protein miofibril dalam surimi dan menghasilkan tekstur bakso yang kenyal. Peningkatan dan penurunan kekenyalan suatu produk sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dan jumlah pati yang ditambahkan. Ketersediaan air yang sedikit dan penambahan jumlah pati yang tinggi akan berakibat kompetisi yang tinggi pada pati sehingga akan mengurangi pembentukan gel dan melemahkan ikatan antara granula pati dan protein miofibril, sehingga menghasilkan tekstur produk yang keras (Astuti 1995). Oleh karena itu jika ketersediaan air banyak sementara jumlah pati yang ditambahkan sedikit maka akan melemahkan ikatan antara granula pati dengan protein miofibril, sehingga menghasilkan gel yang rendah. Berdasarkan hasil penilaian terhadap sifat-sifat organoleptik bakso ikan yang dihasilkan, maka formula C3 dapat menghasilkan bakso yang bermutu tinggi, yaitu rasa enak dan lezat, tekstur yang kenyal, padat dan kompak, beraroma spesifik ikan, serta kenampakan yang menarik. Bakso C3 juga diterima dan disukai oleh panelis atau konsumen. Oleh karena itu bakso C3 merupakan formula terbaik dan terpilih dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang dengan tepung tapioka.
4.4 Karakteristik Campuran Surimi Ikan Layang dan Surimi Ikan Kakap Merah (Beku dan Segar) serta Karakteristik Bakso Ikan yang Dihasilkan Penelitian ini dilakukan karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya, yaitu ketersediaan bahan baku ikan kakap merah yang terbatas jumlahnya di pasaran lokal dan faktor harga yang terlalu tinggi mencapai Rp. 25.000,- sampai Rp. 27.000,- per kg. Sehingga penggunaan daging tetelan kakap merah beku maupun segar yang berasal dari hasil samping industri pengolahan filet ikan kakap merah adalah alternatif untuk bahan baku dalam pengolahan surimi. Selain harganya yang lebih murah, pemanfaatan daging tetelan kakap merah baik yang beku maupun segar untuk diolah menjadi surimi dan produk-produk fish jelly seperti bakso ikan, nugget, dan sosis ikan dapat meningkatkan nilai tambahnya. Hasil analisis karaktristik surimi A, surimi B dan bakso ikan yang dihasilkannya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik surimi A, surimi B dan bakso ikan yang dihasilkan Parameter pH TVB (mg N/100 g) Derajat putih (%) Kekuatan gel (g.cm) Uji lipat Uji gigit
Surimi A B 6,73 ± 0,07a 6,75 ± 0,04a 7,32 ± 0,38b 5,15 ± 0,33a a 30,80 ± 1,49a 34,52 ± 0,60 a 121,88 ± 13,26 126,25 ± 15,91a 1,1 ± 0,00a 1,4 ± 0,00a 3,6 ± 0,52a 3,9 ± 0,24a
Bakso ikan A 6,69 ± 0,08a
B 6,60 ± 0,02a
26,19 ± 0,13a 190,63 ± 22,10a 6,3 ± 0,42 a 6,7 ± 0,19 a
25,46 ± 0,62a 318,75 ± 37,12 7,8 ± 0,00b 6,7 ± 0,05a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) untuk surimi dan bakso ikan menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) A = campuran surimi daging tetelan kakap merah beku dan surimi layang segar B = campuran surimi daging tetelan kakap merah segar dan surimi layang segar
4.4.1 Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan gel dari surimi. Gel yang elastis tidak dapat dibentuk jika daging ikan berada pada kisaran di luar pH 6–8 (Shimizu et al. 1992). Kelarutan protein miofibril dalam pembentukan gel sangat dipengaruhi oleh pH. Protein miofibril menjadi tidak stabil pada kondisi asam (pH<6).
Aktomiosin lebih stabil pada pH 7, dan kestabilan
aktmomiosin akan membantu proses pembentukan gel (Suzuki 1981). Nilai pH dari
8
6,73
7
a
6,75
6 5 4 3 2 1 0 A
B
Perlakuan
(Surimi)
a
Derajat keasaman (pH) bakso
Derajat keasaman (pH) surimi
surimi dan bakso ikan dapat dilihat pada Gambar 9. 8 7
6,69
a
6,60
a
6 5 4 3 2 1 0 A
B
Perlakuan
(Bakso)
• Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf superscript yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) • Simbol A dan B merujuk keterangan pada Tabel 9
Gambar 9 Histogram nilai derajat keasaman (pH) surimi dan bakso Nilai pH surimi A dan B berturut-turut adalah 6,73 dan 6,75 (Gambar 9). Nilai pH dari kedua surimi tersebut masih berada pada kisaran pH yang optimal untuk menghasilkan gel yang elastis. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku maupun segar) dan surimi layang segar tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH surimi (Lampiran 15). Nilai pH bakso A dan B berturut-turut adalah 6,69 dan 6,60 (Gambar 9). Dari kedua bakso yang dihasilkan masih berada pada kisaran pH yang optimal untuk menghasilkan gel bakso yang elastis. Suzuki (1981) menyatakan bahwa pH 6,0–7,0 merupakan kisaran pH yang optimal bagi kelarutan protein miofibril, dan menghasilkan kekuatan gel yang maksimal. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku maupun segar) dan surimi layang segar sebagai bahan baku bakso tidak berpengaruh nyata terhadap pH bakso ikan (Lampiran 16).
4.4.2 Total volatile base (TVB) Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan dengan pengukuran nilai Total Volatile Base (TVB). Prinsipnya adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil seperti amonia, dimetilamin, trimetilamin yang terdapat dalam sampel. Senyawa-senyawa basa volatil tersebut terbentuk karena adanya degradasi/deaminasi protein, peptida dan asamasam amino oleh aktivitas bakteri (FAO 1995). Nilai TVB dari surimi yang dihasilkan
Nilai TVB (mg N/100 g) surimi
dapat dilihat pada Gambar 10. 10 9 8
7,32
b
7
5,15
6
a
5 4 3 2 1 0 A
B
Perlakuan
• Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p>0,05) • Simbol A dan B merujuk keterangan pada Tabel 9
Gambar 10 Histogram nilai TVB surimi Nilai TVB surimi A dan B berturut-turut adalah 7,32 dan 5,15 mg N/100 g (Gambar 10). Berdasarkan hasil pengukuran nilai TVB menunjukkan bahwa kedua surimi yang dihasilkan masih segar, karena nilai TVB-nya di bawah 10 mg N /100 g (Nogueras et al. 2001). Kesegaran ikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan gel ikan.
Kesegaran ikan yang tinggi akan
menghasilkan surimi dengan kekuatan gel yang tinggi pula (BBPMHP 1987). Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar berpengaruh nyata terhadap nilai TVB surimi (Lampiran 17). Surimi B mempunyai nilai TVB lebih rendah (5,15 mg N/100 g) daripada surimi A (7,32 mg N/100 g). Hal ini disebabkan karena surimi B berasal dari bahan baku daging tetelan kakap merah yang masih segar,
sedangkan surimi A berasal dari bahan baku daging tetelan kakap merah yang sudah dibekukan, sehingga diduga daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan.
Suzuki (1981) dan FAO (1995)
menyatakan bahwa proses pembekuan ikan akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga terjadi degradasi/deaminasi protein, peptida dan asam-asam amino yang menghasilkan senyawa-senyawa basa volatil seperti amonia, dimetilamin, dan trimetilamin. 4.4.3 Derajat putih Surimi yang bermutu paling baik adalah berwarna putih bersih (spesifik jenis ikan), berbau segar (spesifik jenis ikan), daging elastis, padat dan kompak (BSN 1992a). Nilai derajat putih surimi dan bakso dapat dilihat pada Gambar 11.
30
40 a
30,80 30 25 20 15 10 5
a
Nilai derajat putih bakso (%)
Nilai derajat putih surimi (%)
35
34,52
26,19
a
25,46
a
25
20
15
10
5
0
0 A
B
A
B
Perlakuan
(Surimi)
Perlakuan
(Bakso)
• Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf superscript yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) • Simbol A dan B merujuk keterangan pada Tabel 9
Gambar 11
Histogram nilai derajat putih surimi dan bakso
Nilai derajat putih surimi A dan B berturut-turut adalah 34,52% dan 30,80% (Gambar 11). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar tidak berbeda nyata terhadap nilai derajat putih surimi (Lampiran 18).
Dari Gambar 11 terlihat bahwa surimi A mempunyai derajat putih yang lebih tinggi (34,52%) daripada surimi B (30,80%). Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein, sehingga menurunkan kemampuan WHC atau daya ikat air dalam daging ikan. Pada saat proses pencucian, miogen yang merupakan protein sarkoplasma dalam daging ikan dan mengandung berbagai protein larut air, pigmen heme (mioglobin dan hemoglobin pemberi warna merah), dan hemosianin, akan semakin banyak hilang dan larut dalam air cucian (Suzuki 1981; Shimizu et al. 19092; Haard et al. 1994). Oleh karena itu surimi yang dihasilkan dari daging tetelan kakap beku (surimi B) memiliki derajat putih yang lebih tinggi. Nilai derajat putih bakso A dan B berturut-turut adalah 26,19% dan 25,46% (Gambar 11). Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar tidak berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih bakso ikan (Lampiran 19). Nilai derajat putih bakso A (26,19%) dan B (25,46%) lebih rendah daripada nilai derajat putih surimi A (34,52%) dan surimi B (30,80%). Adanya penurunan nilai derajat putih setelah surimi diolah menjadi bakso dikarenakan adanya penambahan gula, karagenan dan pati (tepung tapioka) dalam adonan bakso, sehingga pada saat perebusan bakso pada suhu 90 oC akan terbentuk reaksi pencoklatan non-enzimatis atau reaksi Maillard. Pada reaksi ini, gugus amina (-NH2) dari protein berikatan dengan gugus OH- dari gula pereduksi, sehingga warna produk menjadi coklat (Winarno 1997). Menurut deMan (1997) reaksi Maillard didefinisikan sebagai reaksi antara gugus amino pada asam amino, peptida atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula sehingga terbentuk polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin. 4.4.4
Kekuatan gel Pengukuran nilai kekuatan gel merupakan analisis fisik yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat kekenyalan dari suatu produk gel ikan.
Kualitas surimi yang
bermutu baik secara umum ditentukan oleh kemampuannya untuk dapat membentuk
gel, sementara kriteria mutu utama dari bakso ikan sebagai salah satu dari produk fish jelly adalah adanya kelenturan dan kekenyalan (BBPMHP 1987). Menurut Wibowo (2002) mutu bakso ikan yang baik salah satunya adalah memiliki tekstur kompak dan kenyal, tidak rapuh atau lembek. Nilai kekuatan gel dari surimi dan bakso dapat dilihat
160 140
121,88
126,25
a
120 100 80 60 40 20 0 A
B
Perlakuan
(Surimi)
a
N ilai keku atan g el b akso (g .cm )
N ilai keku atan g el su rim i (g .cm )
pada Gambar 12. 400
318,75
350
a
300 250 200
190,63
a
150 100 50 0 A
B
Perlakuan
(Bakso)
• Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf superscript yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) • Simbol A dan B merujuk keterangan pada Tabel 9
Gambar 12
Histogram nilai rata-rata kekuatan gel surimi dan bakso
Nilai kekuatan gel surimi A dan B berturut-turut adalah 121,88 dan 126,25 g.cm (Gambar 12). Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekuatan gel surimi (Lampiran 20). Dari Gambar 12 terlihat bahwa surimi A mempunyai kekuatan gel yang lebih rendah (121,88 g.cm) daripada surimi B (126,25 g.cm). Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan, sehingga menghasilkan pembentukan gel yang lebih rendah. Menurut Suzuki (1981), daging ikan yang telah disimpan dengan pembekuan, maka sifat-sifat fungsional protein seperti kemampuan pengemulsi, lipid-biding capacity, water-holding capacity dan kemampuan pembentukan gel menjadi lebih
rendah daripada ikan dalam kondisi segar.
Hal ini disebabkan karena terjadinya
denaturasi protein khususnya protein miofibril. Nilai kekuatan gel bakso A dan B berturut-turut adalah 190,63 dan 318,75 g.cm (Gambar 12).
Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran
surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar tidak dipengaruhi secara nyata oleh nilai kekuatan gel bakso ikan (Lampiran 21). Dari Gambar 12 menunjukkan bahwa bakso A mempunyai nilai kekuatan gel yang lebih rendah (190,63 g.cm) daripada bakso B (318,75 g.cm) meskipun sudah ada penambahan pati (tepung tapioka) dan karagenan. Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan terutama denaturasi protein miofibril, sehingga pada saat proses pembuatan bakso tidak dapat membentuk ikatan yang kuat antara granula pati dengan protein miofibril dan menghasilkan gel yang rendah (Suzuki 1981; Hamadi 1984 dalam Astuti 1995). 4.4.5 Uji lipat Pengukuran uji lipat dari suatu produk dilakukan secara subyektif atau sensoris dengan menggunakan panelis sebagai alat pengukurnya dan berdasarkan pada spesifikasi penilaian yang sudah ditentukan. Uji lipat ini berhubungan dengan uji kekuatan gel yang diukur menggunakan alat secara kuantitatif. Menurut Lanier (1992), metode uji lipat digunakan untuk membedakan gel bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa untuk membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik. Nilai rata-rata uji lipat dari gel surimi (A dan B) dan bakso (A dan B) dapat dillihat pada Tabel 9. Nilai rata-rata uji lipat gel surimi A dan B berturut-turut adalah 1,1 dan 1,4. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar tidak berpengaruh nyata terhadap nilai uji lipat surimi (Lampiran 22). Surimi A mempunyai nilai rata-rata uji lipat gel yang lebih rendah (1,1) daripada surimi B (1,4) (Tabel 9). Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging
tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan, sehingga menghasilkan gel yang lebih rendah. Menurut Suzuki (1981), daging ikan yang telah disimpan dengan pembekuan, maka sifat-sifat fungsional seperti kemampuan pembentukan gel menjadi lebih rendah daripada ikan dalam kondisi segar. Hal ini disebabkan karena terjadinya denaturasi protein khususnya protein miofibril. Nilai rata-rata uji lipat bakso A dan B berturut-turut 6,3 dan 7,8 (Tabel 9). Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar berpengaruh secara nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat bakso ikan (Lampiran 23). Bakso A mempunyai nilai rata-rata uji lipat yang lebih rendah (6,3) daripada bakso B (7,8), meskipun sudah ada penambahan pati (tepung tapioka) dan karagenan. Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan terutama denaturasi protein miofibril, sehingga pada saat proses pembuatan bakso tidak dapat membentuk ikatan yang kuat antara granula pati dengan protein miofibril, sehingga menghasilkan gel yang rendah (Suzuki 1981; Hamadi 1984 dalam Astuti 1995).
Dari hasil
pengukuran menunjukkan bahwa nilai rata-rata uji lipat surimi dan bakso berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel surimi dan bakso ikan yang dihasilkan. 4.4.6
Uji gigit Salah satu cara subyektif untuk mengukur kekuatan gel adalah dengan uji gigit.
Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Nilai rata-rata uji gigit gel surimi (A dan B) dan bakso (A dan B) dapat dillihat pada Tabel 9. Nilai rata-rata uji gigit gel surimi A dan B berturut-turut adalah 3,6 dan 3,9 (Tabel 9). Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah (beku ataupun segar) dan surimi layang segar tidak berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit gel surimi (Lampiran 24). Nilai rata-rata uji gigit bakso A dan B adalah 6,7 (Tabel 9). Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah
(beku ataupun segar) dan surimi layang segar tidak berbeda nyata terhadap nilai ratarata uji gigit bakso ikan (Lampiran 25). Dari Tabel 9 menunjukkan bahwa surimi A mempunyai nilai rata-rata uji gigit yang lebih rendah 3,6 daripada surimi B 3,9. Hal ini berkaitan dengan bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan terutama denaturasi protein miofibril, sehingga mempunyai kemampuan pembentukan gel yang rendah. Berdasarkan hasil analisis karakteristik surimi dan bakso ikan yang terdiri dari analisis fisik, kimia dan organoleptik, maka campuran surimi daging tetelan kakap merah segar dan surimi layang segar (B) mempunyai karakteristik atau mutu yang lebih baik dibandingkan dengan surimi dan bakso dari campuran surimi daging tetelan kakap merah beku dan surimi layang segar (A). Oleh karena itu, pada penelitian tahap keempat, bahan baku daging tetelan kakap merah yang digunakan adalah daging tetelan kakap merah dalam bentuk segar. 4.5 Karakteristik Kimia Pada penelitian tahap keempat dilakukan analisis karakteristik kimia bakso ikan dengan penambahan kitosan selama penyimpanan suhu dingin (0-4 oC) yang meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), kadar histamin, derajat keasaman (pH) dan Water Holding Capacity (WHC). (1) Kadar air Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan. Kandungan air dalam bahan makanan sangat menentukan kesegaran bahan makanan tersebut, karena kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno 1997). Semakin tinggi aw suatu bahan pangan semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut (Syarief dan Halid 1992).
Selama penyimpanan, kandungan air dalam bahan pangan dapat berubah akibat perbedaan kelembaban dengan lingkungan.
Apabila bahan pangan disimpan pada
tempat yang lebih lembab, maka bahan pangan tersebut akan menyerap air. Sebaliknya, bila disimpan pada ruang yang lebih kering, maka akan menguapkan sebagian airnya (Syarief dan Halid 1992). Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Gambar 13.
Nilai kadar air (%)
100,00 80,00
73,18
68,26 68,67 69,27
69,61 70,11 70,49 70,98
60,00 40,00 20,00 0,00 0
1
2
3
Lama penyimpanan (minggu) Kitosan 0 %
Kitosan 0,1 %
Gambar 13 Histogram nilai kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin Pada awal penyimpanan nilai kadar air bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 73,18% dan 68,26%, sedangkan
pada
akhir
penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 70,49% dan 70,98%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hubungan pengaruh penambahan kitosan dan lama penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai kadar air bakso ikan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 26). Kadar air bakso ikan dengan penambahan kitosan 0,1% tidak berbeda dengan kadar air bakso ikan yang tidak ditambahkan kitosan. Dengan demikian, penambahan kitosan 0,1% pada bakso ikan tidak mempengaruhi kadar air bakso ikan yang dihasilkan. Kadar air bakso ikan (dengan penambahan kitosan 0% maupun 0,1%) tidak berubah secara nyata selama penyimpanan, hal ini diduga karena bakso ikan dikemas menggunakan plastik polyethylene yang relatif bersifat kedap air dan uap air (Syarief et
al. 1988), sehingga tidak terjadi dehidrasi air bebas dari permukaan bakso ikan ke udara. Menurut Syarief dan Halid (1992) kadar air dalam bahan pangan sangat berhubungan dengan tingkat ketahanan produk terhadap kerusakan akibat aktivitas enzim, aktivitas mikroba, aktivitas kimiawi yaitu terjadinya ketengikan, dan reaksireaksi non-enzimatis yang dapat menimbulkan perubahan organoleptik, penampakan, tekstur, cita rasa serta nilai gizinya. (2)
Kadar abu Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan
air. Sisanya dari unsur-unsur mineral yang dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Unsur mineral atau zat anorganik yang terdapat dalam bahan pangan berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur di dalam tubuh. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik yang terdapat dalam bahan pangan akan terbakar tetapi zat anorganik lainnya tidak terbakar, karena itulah disebut abu (Winarno 1997). Nilai kadar abu bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai kadar abu (%)
2,5 2 1,5
1,77
1,67 1,45
1,36
1 0,5 0 0
3
Lama penyimpanan (minggu) Kitosan 0 %
Kitosan 0,1 %
Gambar 14
Histogram nilai kadar abu bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin Pada awal penyimpanan nilai kadar abu bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 1,36% dan 1,45%, sedangkan pada akhir penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 1,67% dan 1,77%.
Secara umum
penambahan kitosan dan lama penyimpanan suhu dingin cenderung meningkatkan nilai kadar abu bakso ikan. Hal ini diduga karena sifat kitosan yang memiliki kemampuan untuk menarik ion-ion logam yang tergolong mineral. Selain itu diduga akibat adanya kandungan mineral pada kitosan yang berupa CaCO3 dan Ca3(PO4)2 yang tidak larut dalam air (Knorr 1982; Suptijah et al. 1992). (3)
Kadar protein Kadar protein dalam bahan pangan menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagi
konsumen dalam memilih suatu produk.
Tujuan memproduksi bakso ikan salah
satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, khususnya dari hasil perikanan. Salah satu kriteria mutu bakso ikan adalah kandungan proteinnya. Bakso ikan yang bermutu baik memiliki kandungan protein yang tinggi, karena protein merupakan zat makanan yang amat penting bagi tubuh, selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur tubuh (Winarno 1997). Nilai kadar protein bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin
Nilai kadar protein (%)
dapat dilihat pada Gambar 15. 14 12 10 8
11,37 11,76
11,36 11,96
0
3
6 4 2 0 Lama penyimpanan (minggu)
Kitosan 0 %
Kitosan 0,1 %
Gambar 15
Histogram nilai kadar protein bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin Pada awal penyimpanan nilai kadar protein bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 11,37% dan 11,76%, sedangkan pada akhir penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 11,36% dan 11,76%. Penambahan
kitosan 0,1% pada bakso ikan cenderung meningkatkan kadar proteinnya. Hal ini diduga oleh adanya unsur nitrogen (N) dalam gugus amina kitosan yang ikut terhitung sebagai kadar N total yang digunakan untuk menentukan kadar protein produk bakso ikan tersebut. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Ornum (1992) bahwa kitosan mengandung gugus amina (NH2) dalam rantai karbonnya. Secara keseluruhan kadar protein produk setiap perlakuan cenderung tidak mengalami perubahan setelah penyimpanan suhu dingin, diduga karena tidak terjadinya perubahan kadar air yang signifikan selama penyimpanan suhu dingin sampai 3 minggu. Hal ini berkaitan dengan adanya karagenan sebesar 1% pada setiap perlakuan bakso ikan, sehingga mampu untuk menahan air yang lepas dari struktur tiga dimensi protein bakso ikan. Karagenan mempunyai gugus sulfat bermuatan negatif dan bersifat hidrofilik, sehingga dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moirano 1977). (4) Kadar lemak Lemak merupakan salah satu unsur yang penting dalam bahan pangan, karena lemak berfungsi untuk memperbaiki bentuk dan struktur fisik bahan pangan, menambah nilai gizi dan kalori, serta memberikan cita rasa yang gurih pada bahan pangan. Selain itu lemak berperan sangat penting bagi gizi dan kesehatan tubuh, terutama karena merupakan sumber energi dan sumber vitamin A, D, E dan K (Winarno 1997). Kerusakan lemak pada bahan pangan dapat mengakibatkan bau yang tengik, dan rasa yang tidak enak, sehingga mutu dan nilai gizinya turun (Ketaren 1986). Nilai kadar lemak bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 16.
Nilai kadar lemak (%)
0,37
0,40
0,26
0,30
0,19
0,20
0,18
0,10 0,00 0
3
Lama penyimpanan (minggu) Kitosan 0 %
Gambar 16
Kitosan 0,1 %
Histogram nilai kadar lemak bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin
Pada awal penyimpanan nilai kadar lemak bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 0,37% dan 0,26%, sedangkan
pada
akhir
penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 0,19% dan 0,18%. Secara umum penambahan kitosan dan penyimpanan suhu dingin cenderung menurunkan nilai kadar lemak bakso ikan. Kadar lemak bakso ikan menurun dengan penambahan kitosan 0,1%. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Apriadi (2004) yang menyebutkan bahwa nilai kadar lemak menurun seiring dengan penambahan konsentrasi kitosan pada produk gel surimi ikan nila. Hal ini disebabkan karena adanya gugus amina pada kitosan yang dapat mengurangi dan mengikat molekul asam lemak (Brady dan Holum 1993 dalam Apriadi 2004). Secara keseluruhan nilai kadar lemak bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% cenderung mengalami penurunan setelah penyimpanan suhu dingin sampai 3 minggu. Hal ini diduga karena adanya aktivitas bakteri yang memproduksi enzim lipolitik yang mampu menguraikan lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu asam lemak dan gliserol (Ketaren 1986). (5)
Kadar histamin Histamin adalah senyawa yang terdapat didalam daging ikan yang dapat
menyebabkan keracunan. Histamin dihasilkan dari perombakan histidin oleh enzim
histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri dekarboksilase.
Pembentukan
histamin dipengaruhi faktor waktu, suhu, jenis dan banyaknya bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan (Sims 1992). Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 oC) daripada temperatur rendah (7,2 oC). Batas suhu pertumbuhan bakteri pembentuk histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 oC, sedangkan pada suhu penyimpanan 0 oC hanya sedikit pembentukan histamin (FDA 2001). Kimata (1961) menyebutkan bahwa histamin yang terbentuk melalui aktivitas mikroba lebih banyak dibandingkan melalui autolisis. Menurut Taylor dan Alasalvar (2002) histamin yang telah dihasilkan bersifat tahan panas, walaupun ikan telah dimasak, dikalengkan atau dipanaskan sebelum dikonsumsi, histamin yang ada tidak dapat dihancurkan atau dihilangkan. Nilai kadar histamin bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 17.
Nilai histamin (mg/kg)
12
10,45
10 8 6
4,28
4 2
1,76
1,35
0 0
3 Lam a penyim panan (m inggu)
Kitosan 0 %
Gambar 17
Kitosan 0,1 %
Histogram nilai histamin bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin
Pada awal penyimpanan nilai kadar histamin bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 1,35 dan 1,76 mg/kg, sedangkan pada akhir penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 10,45 dan 4,28 mg/kg. Secara umum kadar histamin pada bakso ikan dengan penambahan kitosan 0 dan 0,1 % pada awal atau sebelum penyimpanan suhu dingin cenderung tetap dan relatif sangat kecil sekali yaitu 1,35 dan 1,76 mg/kg. Adanya kandungan histamin dari kedua perlakuan
bakso pada awal penyimpanan suhu dingin, diduga sudah terbentuk pada saat penanganan bahan baku ikan dan proses pengolahan surimi sampai menjadi produk bakso. Namun kadarnya masih sangat kecil yaitu 1,35 dan 1,76 mg/kg. Secara keseluruhan nilai kadar histamin bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% cenderung mengalami peningkatan setelah penyimpanan suhu dingin, berturut turut 10,45 dan 4,28 mg/kg. Bakso ikan tanpa penambahan kitosan mengalami peningkatan kadar histamin yang lebih tinggi daripada bakso ikan dengan kitosan 0,1% setelah 3 minggu penyimpanan pada suhu dingin.
Hal ini diduga karena kitosan
memiliki aktivitas antibakteri dengan melakukan penghambatan kerja enzim, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme dan matinya sel (Pelczar dan Chan 1988).
Dalam hal ini adalah menghambat aktivitas enzim dekarboksilase yang
dihasilkan oleh bakteri dekarboksilase pembentuk histamin seperti Morgonellla morganii, Klebsiella pneumaniae dan Hafnia alvei (Gingerich et al. 2005). Dengan terhambatnya aktivitas enzim dekarboksilase tersebut, maka laju pembentukan histidin bebas menjadi histamin pada bakso ikan dapat ditekan pembentukannya selama penyimpanan suhu dingin. Secara keseluruhan kadar histamin yang terdapat dalam bakso ikan setelah penyimpanan 3 minggu pada suhu dingin masih berada dalam batas yang aman dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Batas kandungan histamin yang ditetapkan oleh Food and Drug Administration adalah 50 mg/kg sebagai kadar yang berbahaya bagi kesehatan manusia (FDA 2001). (6) Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan gel bakso ikan. Menurut Suzuki (1981) pH berpengaruh terhadap kelarutan dari protein miofibril. Pada kisaran pH 6,0 sampai 7,0 merupakan kisaran pH yang optimal bagi kelarutan protein miofibril, dan aktomiosin yang berperan dalam pembentukkan gel lebih stabil pada pH 7,0. Pada pH yang yang rendah yaitu 5,5 akan menyebabkan terjadinya denaturasi protein miofibril, sehingga kekuatan gel produk gel ikan menjadi lebih rendah atau turun.
Honikel (1987) dalam Jin et al. (2007)
melaporkan bahwa nilai pH mempunyai efek yang besar pada sifat fisika seperti Water Holding Capacity (WHC), tenderness (keempukan) dan warna daging. Nilai derajat keasaman (pH) bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 18. Nilai derajat keasaman (pH)
10 9 8 7
(c) 6,85 6,75
(bc) 6,74 6,72
(b) 6,66 6,61
(a) 6,43 6,54
0
1
2
3
6 5 4 3 2 1 0 Lama penyimpanan (minggu) Kitosan 0 %
Kitosan 0,1%
Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf superscript yang berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk faktor lama penyimpanan
Gambar 18
Histogram nilai derajat keasaman (pH) bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin
Pada awal penyimpanan nilai pH bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 6,85 dan 6,75, sedangkan pada akhir penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 6,43 dan 6,54. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan pada suhu dingin berpengaruh nyata terhadap pH bakso ikan, sedangkan penambahan kitosan serta interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 27). Penambahan kitosan 0,1% pada bakso ikan tidak berbeda terhadap nilai pH bakso ikan yang tidak ditambahkan kitosan, sehingga penambahan kitosan 0,1% pada bakso ikan tidak mempengaruhi nilai pH bakso ikan yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa nilai pH seluruh perlakuan bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin 0 minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 2 dan 3 minggu. Lama penyimpanan suhu dingin selama 1 minggu berbeda nyata dengan 3 minggu.
Lama penyimpanan suhu dingin 2 minggu
berbeda nyata dengan 0 dan 3 minggu, sedangkan lama penyimpanan suhu dingin 3
minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 0, 1 dan 2 minggu (Lampiran 27). Nilai pH bakso ikan selama 3 minggu penyimpanan pada suhu dingin masih berada pada kisaran pH 6,0 sampai 7,0. Pada kisaran pH tersebut, aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel relatif stabil dan tidak terdenaturasi, sehingga dapat menghasilkan bakso ikan yang memiliki kekuatan gel yang tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan Suzuki (1981) yang menyatakan bahwa kisaran pH 6,0 sampai 7,0 merupakan kisaran pH yang optimal bagi kelarutan protein miofibril, dan aktomiosin yang berperan dalam pembentukkan gel akan relatif lebih stabil. Secara umum nilai pH untuk semua perlakuan bakso selama penyimpanan suhu dingin mengalami penurunan, diduga karena adanya hemoglobin dan mioglobin yang masih tersisa dalam surimi. Hemoglobin dan mioglobin ini akan berperan sebagai prooksidan lemak (Okada 1990), dan akan mengakibatkan terjadinya oksidasi lemak tak jenuh pada bakso selama penyimpanan suhu dingin sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai pH pada bakso ikan (Ketaren 1986). (7) Water holding capacity (WHC) Water Holding Capacity (WHC) atau daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap mutu bakso ikan, seperti tekstur, warna dan sifat sensoris. Menurut Zayas (1997) daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan struktur bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi protein. Nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Gambar 19.
Nilai WHC (%)
160 140 120 100 80 60 40 20 0
(b) 77,89 84,96
(b) 83,91 79,98
0
1
(ab) 72,03 71,51
(a) 59,44 69,97
2
3
Lama penyimpanan (minggu)
Kitosan 0 %
Kitosan 0,1 %
Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk faktor lama penyimpanan
Gambar 19
Histogram nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin
Nilai WHC bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% pada awal penyimpanan berturut-turut sebesar 77,89% dan 84,96%, sedangkan pada akhir penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 59,44% dan 69,97%. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai WHC bakso ikan dipengaruhi secara nyata oleh lamanya penyimpanan pada suhu dingin, sedangkan penambahan kitosan serta interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 28). Penambahan kitosan 0,1% pada bakso ikan tidak berbeda terhadap nilai WHC bakso ikan yang tidak ditambahkan kitosan, atau penambahan kitosan 0,1% pada bakso ikan tidak mempengaruhi nilai WHC bakso ikan yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa nilai WHC seluruh perlakuan bakso ikan pada lama penyimpanan suhu dingin 0 minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 3 minggu. Penyimpanan suhu dingin 1 minggu berbeda nyata dengan 3 minggu. Penyimpanan suhu dingin 3 minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 0 dan 1 minggu (Lampiran 28). Secara keseluruhan nilai WHC untuk semua perlakuan bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin 0 sampai 2 minggu tidak terjadi perubahan yang signifikan. Tetapi setelah 3 minggu penyimpanan pada suhu dingin, nilai WHC bakso ikan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan air yang terikat dalam protein bahan masih
terikat kuat sampai 2 minggu penyimpanan suhu dingin dan jumlah air bebas yang dikeluarkan dari bahan sangat kecil sehingga daya mengikat air atau WHC yang terdapat dalam bakso ikan relatif tidak berubah. Hal ini berkaitan dengan adanya karagenan dalam adonan bakso, yang mempunyai gugus sulfat bermuatan negatif dan bersifat hidrofilik, sehingga dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya, dan dapat menahan keluarnya air bebas dari dalam bahan (Moirano 1977). Pada lama penyimpanan 3 minggu pada suhu dingin, nilai WHC bakso sudah mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena nilai pH bakso juga menurun setelah lama penyimpanan 3 minggu (Gambar 18). Honikel (1987) dalam Jin et al. (2007) melaporkan bahwa nilai pH mempunyai efek yang besar pada Water Holding Capacity (WHC). Penurunan nilai pH dan WHC bakso ikan setelah lama penyimpanan 3 minggu akan berpengaruh terhadap penurunan nilai kekuatan gel bakso (Gambar 20). Wahyuni (1992) menyatakan bahwa daya mengikat air atau WHC sangat berpengaruh pada kemampuan protein untuk membentuk gel.
Menurut Zayas (1997) jaringan tiga
dimensi pada protein miofibril menyediakan sebuah tempat terbuka bagi air yang terikat. Penurunan terhadap jumlah air terikat akan menghasilkan penyusutan tempat antara jaringan miofibril, sehingga kemampuan pembentukan gel menjadi menurun. Adanya penurunan nilai WHC dalam bahan pangan berarti terjadi peningkatan jumlah air yang terbebaskan atau jumlah air bebas (Hermanianto et al. 1999). Dengan meningkatnya jumlah air bebas dalam bahan pangan, merupakan media bagi pertumbuhan mikroba, sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhannya (Syarief dan Halid 1992). Hal ini dibuktikan bahwa bakso ikan pada lama penyimpanan suhu dingin 3 minggu, jumlah koloni bakterinya sudah melebihi SNI bakso ikan yaitu di atas 5 x 104 (BSN 2006a). 4.6 Karakteristik Fisik : Kekuatan Gel Analisis karakteristik fisik bakso ikan selama penyimpanan pada suhu dingin (0-4 o
C) adalah kekuatan gel. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui mutu gel bakso ikan
selama penyimpanan suhu dingin. Hal ini perlu diketahui karena bakso ikan merupakan
salah satu dari produk fish jelly yang kriteria mutu utamanya menuntut adanya kekenyalan tertentu. Tingkat kekenyalan bakso berhubungan dengan nilai kekuatan gel bakso ikan. Oleh karena itu bahan baku yang digunakan untuk pembuatan bakso sebaiknya berasal dari surimi dengan tingkat kesegaran daging ikan yang tinggi, agar dihasilkan kekuatan gel yang tinggi. Menurut Wibowo (2002) mutu bakso ikan yang baik salah satunya adalah memiliki tekstur yang kenyal, kompak dan padat, tidak rapuh atau lembek. Nilai kekuatan gel dari bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 20. 1200 (b)
Nilai kekuatan gel (g.cm)
1000
(ab) 729,17
800
812,50
916,67
812,42 (ab) 677,08
(a) 600
539,58
474,92 508,33
400
200
0 0
1
2
3
Lama penyimpanan (minggu) Kitosan 0 %
Kitosan 0,1 %
Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf superscript yang berbeda (a,b,) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk faktor lama penyimpanan
Gambar 20
Histogram nilai kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin
Nilai kekuatan gel bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% pada awal penyimpanan berturut-turut sebesar 474,92 g.cm dan 508,33 g.cm, sedangkan pada akhir penyimpanan 3 minggu berturut-turut sebesar 539,58 g.cm dan 677,08 g.cm. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai kekuatan bakso ikan dipengaruhi secara nyata oleh lamanya penyimpanan pada suhu dingin, sedangkan penambahan kitosan serta interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang
nyata (Lampiran 29).
Penambahan kitosan 0,1% pada bakso ikan tidak berbeda terhadap nilai kekuatan gel bakso ikan yang tidak ditambahkan kitosan. Dengan demikian, penambahan kitosan
0,1% pada bakso ikan tidak mempengaruhi nilai kekuatan gel bakso ikan yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa nilai kekuatan gel seluruh perlakuan bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin 0 minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 2 minggu (Lampiran 29).
Secara umum nilai
kekuatan gel untuk semua perlakuan bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin 0 sampai 2 minggu mengalami peningkatan. Tetapi setelah 3 minggu penyimpanan suhu dingin, nilai kekuatan gel bakso ikan mengalami penurunan. Hal ini diduga karena adanya karagenan pada adonan bakso yang mempunyai kemampuan mengikat air yang tinggi atau mampu menahan keluarnya air dari struktur tiga dimensi protein, sehingga dapat menjaga kestabilan protein miofibril dalam membentuk struktur gel dan meningkatkan kekuatan gel bakso ikan. Sejumlah besar air dalam otot terdapat pada protein miofibril, pada ruang antara filamen tebal dari miosin dan filamen tipis dari aktin/tropomiosin (Lawrie 1991). Daya mengikat air atau WHC sangat berpengaruh pada kemampuan protein untuk membentuk gel (Wahyuni 1992).
Selama proses
pembentukan gel, air diikat oleh matriks protein, yang akan diikat bersamaan dengan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik (Venugopal 1992). Pada 3 minggu penyimpanan pada suhu dingin, nilai kekuatan gel bakso ikan mengalami penurunan.
Hal ini berkaitan dengan menurunnya nilai WHC bakso ikan
setelah 3 minggu penyimpanan suhu dingin karena meningkatnya aktivitas bakteri yang merusak struktur gel protein, sehingga air yang terikat dalam struktur gel protein akan keluar sebagai air bebas. Oleh karena itu reaksi antar protein-air akan semakin berkurang dan menyebabkan kekuatan gel bakso ikan menjadi menurun. Menurut Zayas (1997) pembentukan gel disebabkan karena reaksi antara protein-protein dan protein-air. Apabila reaksi antara protein-protein lebih banyak dibandingkan dengan protein-air, maka akan menghasilkan gel yang rapuh. Suzuki (1981) menyebutkan bahwa gel suwari terbentuk dengan cara protein mengikat air di dalam ikatan molekul yang membentuk ikatan hidrofobik dan interaksi hidrogen. Rendahnya kandungan air yang terikat pada protein akan mempengaruhi reaksi antara protein-air dalam proses pembuatan gel kamaboko.
4.7 Karakteristik Mikrobiologi : Total Plate Count (TPC) Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan enzim dan perubahan kimia. Mikroba merupakan penyebab utama kerusakan bahan pangan (Harris dan Karmas 1989). Adanya pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan akan menyebabkan kerusakan dan kemunduran mutu yang ditandai adanya perubahanperubahan penampakan, tekstur, aroma, cita rasa, serta terbentuknya komponenkomponen yang bersifat racun. Kerusakan bahan pangan oleh mikroba menyebabkan bahan pangan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi dan berbahaya bagi kesehatan. Hasil uji TPC terhadap jumlah koloni rata-rata bakteri selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah koloni rata-rata bakteri bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Perlakuan Bakso Bakso A (koloni/g) Bakso B (koloni/g)
0 -
Lama Penyimpanan (Minggu) 1 2 2,70x102 1,42x105 2,80x102 1,76x103
3 7,95x105 2,62x105
A = Bakso ikan kitosan 0%; B = Bakso ikan kitosan 0,1%
Pada awal penyimpanan, semua perlakuan bakso ikan belum terbentuk atau tidak ada jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung. Hal ini disebabkan produk bakso ikan telah mengalami perebusan pada suhu tinggi dan belum dilakukan penyimpanan suhu dingin sehingga belum ada pertumbuhan mikroba. Pada akhir penyimpanan 3 minggu pada suhu dingin, jumlah koloni bakteri bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 7,95x105 dan 2,62x105 koloni/g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan kitosan dan lama penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah koloni bakteri bakso ikan (Lampiran 30). Dari hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa jumlah koloni bakteri seluruh perlakuan bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin 0 minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 1, 2 dan 3 minggu. Penyimpanan suhu dingin 1 minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 0, 2 dan 3 minggu.
Penyimpanan suhu dingin 2 minggu berbeda nyata dengan penyimpanan suhu dingin 0, 1 dan 3 minggu.
Penyimpanan suhu dingin 3 minggu berbeda nyata dengan
penyimpanan suhu dingin 0, 1 dan 2 minggu (Lampiran 30). Penambahan kitosan 0,1% pada bakso ikan berpengaruh terhadap penurunan jumlah mikroba selama penyimpanan pada suhu dingin. Secara keseluruhan pada lama penyimpanan 1 minggu, jumlah koloni bakteri pada bakso ikan dengan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 2,70x102 dan 2,80 x 102 koloni/g. Jumlah koloni bakteri yang terbentuk dari semua perlakuan masih sedikit, hal ini diakibatkan oleh penyimpanan bakso ikan pada suhu dingin. Menurut Ilyas (1983), penyimpanan bahan pangan atau ikan pada suhu rendah (dingin) dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan menghambat kerusakan bahan pangan. Pada lama penyimpanan 2 minggu, jumlah koloni bakteri bakso ikan dengan perlakuan kitosan 0% dan 0,1% berturut turut sebesar 1,42x105 dan 1,76x103 koloni/g. Jumlah koloni bakteri sebesar 1,76x103 koloni/g untuk bakso ikan dengan kitosan 0,1% pada lama penyimpanan 2 minggu, masih berada di bawah SNI bakso ikan yang distandarkan, yaitu 5 x 104 koloni/g (BSN 2006a).
Hal ini diduga karena adanya
pengaruh kitosan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba selama penyimpanan suhu dingin. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet dan memperpanjang umur simpan bakso ikan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Nurfianti (2007) yang melaporkan bahwa bakso ikan kurisi yang dicoating dengan kitosan 0,1% dan disimpan selama 10 hari pada suhu dingin, mempunyai jumlah koloni yang lebih sedikit (2,65x104 koloni/g) daripada bakso ikan kurisi tanpa kitosan (1,57x105 koloni/g). Kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesis yang masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai bahan pengawet adalah, kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesis
protein (Hadwiger dan Adams (1978); Hadwiger dan Loschke (1981) dalam Hardjito 2006). Simpson (1997) dalam Suptijah (2006) juga menyebutkan bahwa aktivitas antimikroba pada kitosan disebabkan adanya gugus hidroksida pada kitosan, yang menyebabkan kitosan dapat berikatan dengan komponen-komponen fosfolipida yang terkandung pada membran sel mikroba. Pengikatan komponen fosfolipida oleh kitosan menyebabkan permeabilitas membran meningkat sehingga tekanan osmotik cairan di dalam sel mikroba akan meningkat. Akibatnya akan terjadi pergerakan cairan dari dalam sel ke luar sel dan hal ini akan menyebabkan sel mengalami lisis. Seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan maka jumlah koloni bakteri yang terdapat pada seluruh bakso ikan semakin meningkat. Pada penyimpanan suhu dingin selama 3 minggu, jumlah koloni bakteri bakso ikan dengan kitosan 0% dan 0,1% berturut-turut sebesar 7,95x105 dan 2,62x105 koloni/g, yaitu di atas nilai SNI bakso (5 x 104 koloni/g). Berdasarkan fenomena yang ada, setelah 3 minggu penyimpanan pada suhu dingin, kitosan 0,1% dalam bakso ikan sudah tidak efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Tetapi aktivitas kitosan 0,1% pada bakso ikan dalam menekan laju pembentukan histidin menjadi histamin, yaitu dengan menghambat kerja enzim dekarboksilase, masih memiliki aktivitas yang kuat. Oleh karena itu dalam penelitian ini, kitosan lebih efektif dalam menekan pembentukan histamin pada bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin daripada menekan laju pertumbuhan mikroba.
4.8 Uji Organoleptik Perbandingan Pasangan Uji organoleptik perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan produk baru dibandingkan dengan produk komersial (Rahayu 1998). Diharapkan produk baru yang dihasilkan dapat lebih unggul atau sama karakteristik mutunya dengan produk komersial yang ada di pasaran, sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima dan disukai oleh konsumen. Uji perbandingan pasangan yang dilakukan adalah bakso ikan dengan penambahan kitosan 0% dan bakso kitosan 0,1% dibandingkan dengan bakso ikan komersial. Bakso komersial yang dijadikan sebagai pembanding adalah bakso ikan yang diproduksi oleh PT. Bumifood. Nilai rata-rata uji
perbandingan pasangan dari kedua perlakuan bakso ikan yaitu antara bakso ikan kitosan 0% dan kitosan 0,1% dibandingkan dengan bakso ikan komersial dapat dilihat pada
Nilai rata-rata uji perbandingan pasangan
Gambar 26 dan Lampiran 31.
2 1,5
1,3
1,3 1,1 1,0
1 0,5
0
0 Kenampakan
Aroma
Rasa
-0,1
Tekstur
-0,5 -1
-0,9
-0,9
-1,5 Kitosan 0 %
Kitosan 0,1 %
Gambar 26 Histogram nilai rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan Dari hasil uji perbandingan pasangan, mutu bakso ikan kitosan 0% dan 0,1% lebih baik dibandingkan dengan bakso ikan komersial dari segi aroma dan rasa, sedangkan dari segi tekstur adalah sama. Sementara dari segi kenampakan lebih rendah. Nilai ratarata uji perbandingan pasangan yang diperoleh bakso ikan kitosan 0%, dari segi aroma sebesar 1,3 (agak lebih spesifik ikan), rasa 1,1 (agak lebih enak), tekstur 0,0 (tidak berbeda kenyalnya) dan kenampakan -0,9 (agak kurang rapih).
Nilai rata-rata uji
perbandingan pasangan bakso ikan kitosan 0,1% dari segi aroma sebesar 1,3 (agak lebih spesifik ikan), rasa 1,0 (lebih enak), tekstur -0,1 (hampir sama kenyalnya) dan kenampakan -0,9 (agak kurang rapih).
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Ikan layang menghasilkan surimi dengan kualitas yang sama dengan surimi ikan berdaging putih dari segi kekuatan gelnya, melalui proses pencucian alkali (natrium bikarbonat 0,5%) dengan dua kali frekuensi pencucian. Bakso ikan C3 dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang 1:3 dengan penambahan tepung tapioka 25% merupakan formula terbaik, karena menghasilkan karakteristik fisik dan organoleptik bakso ikan yang tinggi dan diterima oleh konsumen. Berdasarkan karakteristik fisik, kimia dan organoleptiknya, surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan kakap merah dalam bentuk segar bermutu lebih baik daripada surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan kakap merah dalam bentuk beku. Penambahan kitosan 0,1% dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan selama 2 minggu penyimpanan pada suhu dingin (suhu 0-4 0C), dengan jumlah koloni bakteri 1,76x103 koloni/g di bawah SNI bakso ikan yang distandarkan (5x104 koloni/g), serta tanpa merubah karakteristik fisik (kekuatan gel) dan kimianya (kadar proksimat, WHC, pH). Setelah penyimpanan 3 minggu, mulai terjadi penurunan nilai pH dan WHC yang berpengaruh terhadap penurunan nilai kekuatan gel bakso ikan, serta penurunan efektivitas kitosan 0,1% dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Dalam penelitian ini kitosan lebih efektif dalam menekan pembentukan histamin pada bakso ikan, daripada menekan laju pertumbuhan mikroba. Bakso ikan dengan kitosan 0% (bakso A) dan 0,1% (bakso B) lebih baik dari segi aroma dan rasa, serta tekstur yang sama dengan bakso ikan komersial. 5.2 Saran Perlu dilakukan pencampuran surimi ikan layang dengan surimi dari ikan-ikan berdaging putih lainnya, seperti ikan kurisi, manyung, cucut, pari, cunang-cunang, patin dan ikan nila.
Serta melakukan diversifikasi produk-produk fish jelly lainnya, seperti
sosis, nugget, chikuwa, empek-empek dan fishburger, sehingga akan meningkatkan nilai tambah dan pemanfaatan ikan layang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Virginia USA : Association of Official Analytical Chemists. Apriyadi AP. 2004. Pengaruh penambahan larutan khitosan terhadap mutu produk gel surimi ikan nila (Oreochromis sp.) [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Astuti. 1995. Pengaruh penambahan tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena terhadap karakteristik rajungan imitasi dari ikan nila merah (Orechoromis sp.) [skripsi]. Bogor : Program Studi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, IPB. Baier KS, Mc Clements DJ. 2005. Influence of covalent systems on the gelation mechanism of globular protein : thermodynamic, kinetic and structural aspects of globular protein gelation. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 4 : 43-54. Bastaman S. 1989. Studies on degradation and extraction of chitin and chitosan from prawn shells [thesis]. Belfast : The Department of Mechanical Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering, The Queen’s University. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992a. Surimi Beku. SNI 01-2694-1992. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. ______. 1992b. Persyarat Bahan Baku Surimi Beku. SNI 01-2694.1-1992. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. _______. 2006a. Bakso Ikan Beku-Bagian 1: Spesifikasi. SNI 01-7265.1-2006. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. _______. 2006b. Bakso Ikan Beku-Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. SNI 017265.3-2006. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. _______. 2006c Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. SNI 01-23462006. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional
Bentis CA, Zotos A, Petridis D. 2005. Production of fish-protein product (surimi) from small pelagic fish (Sardinops pilchardusts), underutilized by the industry. Journal of Food Engineering. 68 : 303-308. [BBPMHP] Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 1987. Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. [BPPMHP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2001a. Ikan non-ekonomis [laporan perekayasaan]. Jakarta : Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. [BPPMHP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2001b. Teknologi Pengolahan Surimi dan Produk Fish Jelly. Jakarta : Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. ________. 2003. Kerjasama teknologi pengolahan produk bernilai tambah [laporan perekayasaan]. Jakarta : Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. [BPRL] Balai Riset Perikanan Laut. 2003. Malalugis, Ikan Layang Biru Berpotensi Ekspor. http://www.dkp.go.id/content.php?c=2919 .[28 Juli 2007]. Brady JE, Holum JR. 1993. Chemistry : The Study of Matter and Its Change. New York : John Wiley and Sons. Budiyanto D. 2002. Perekayasaan teknologi pengolahan produk bernilai tambah. Makalah Apresiasi Teknologi Pengolahan Produk Bernilai Tambah: Cisarua, 30 Juli 2002. Jakarta : Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Chaijan M, Benjakul S, Visessanguan, Faustman C. 2004. Characteristic and gel properties of muscles from sardine (Sardinella gibbosa) and mackerel (Rastrelliger kanagurta) caught in Thailand. Food Research International. 37:1021-1030. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Padmawinata K, penerjemah. Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari : Food Chemistry. Dewi MK. 1995. Proses pembuatan dan penanganan fillet kakap beku di CV Dharma Mulia, Jakarta [laporan praktek lapangan]. Bogor : Program Studi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, IPB. Direktorat Gizi. 1979. Daftar Makanan. Jakarta : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI.
Ditjen Perikanan. 1990. Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2005. Jakarta : Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Laporan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Tahun 2002. http://www.dkp.go.id/content.php?c=482. [8 Agustus 2007]. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish . Rome : FAO Fisheries Technical. [FDA] Food and Drug Administration. 2001. Scombrotoxin (histamine) formation. Di dalam : Fish and Fishery Products Hazards and Control Guide. Washington : Department of Health and Human Services, Center for Food Safety and Applied Nutrition. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor : LSI-IPB. Fitrial Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suhu dan lama perebusan terhadap mutu gel daging ikan cucut lanyam (Carcharhinus limbatus) [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, IPB. Gingerich T, Flick G, McNair H, Jahneke M. 2005. Biogenic Amine Analysis of Fresh Stored Bluefish and Survey of Histamine-Forming Bacteria. Blacksburg: Virginia Technology University Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish mince products. Di dalam : Fish Processing Technology. Hall GM, editor. New York : VCH Publishers, Inc. Harris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pagan. Edisi ke-2. Achmadi S, penerjemah. Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari : Nutritional Evalution of Food Processing. Hermanianto J, Syamsir E, Taqi FM, Tresnakusumah D, Tirtasujana DR, Dewi S. 1999. Penuntun Pratikum Teknologi Pengolahan Pangan. Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Hardjito L. 2006. Aplikasi kitosan sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan. Santoso J, Trilaksani W, Nurhayati T, Suseno SH, editors. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Heng GK, Eong YS. 2005. Maximizing utilization of fish catch for human consumption. Paper Presented Regional Workshop on Low Value and “Trash Fish” in the Asia-Pasific Region; Hanoi-Vietnam, 7-9 June 2005. Singapore: Marine Fisheries Research Department, Southeast Asian Fisheries Development Center. Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London : Elsevier Applied Sci. Ilyas. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid 1. Jakarta : CV. Paripurna. Imeson A. 2000. Carrageenan. Di dalam : Handbook of Hydrocolloids. Philip GO, Williams PA, editors. Boca Raton : CRC Press. Jin SA, Kim IS, Kim SJ, Jeong KJ, Choi YJ, Hur SJ. 2007. Effect of muscle type and washing times on physico-chemical characteristict and qualities of surimi. Journal of Food Engineering. 81 : 618-623. Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical change in Alaska pollack surimi and surimi gel as affected by electron beam. Journal of Food Science. 69 (1) : C53C57. Keeton JT. 2001. Formed and emulsion product. Di Dalam : Poultry Meat Processing. Sam AR, editor. Boca Raton : CRC Press. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press. Kimata M. 1961. The histamine problem. Di dalam : Fish as Food. Vol. 1. Borgstrom G, editor. New York and London : Academic Press. Knorr D. 1982. Fuction properties of chitin and chitosan. Journal of Food Science. 47: 593-595. Kramlich AM, Harson, Tauber FW. 1971. Processed Meats. Conecticut : The AVI Publishing Co Inc. Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties. Di dalam : Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel Dekker. Lawrie RA. Meat Science. Edisi ke-5. Oxford : Pergamon Press. Love RM. 1970. The Chemical Biology of Fishes. London : Academic Press.
Matsumoto JJ, Noguchi SF.1992. Cryostabilization of protein in surimi. Di dalam : Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel Dekker. Maulana DH. 2007. Stabilisasi larutan kitosan 1,5 % sebagai antibakteri pada penyimpanan suhu ruang [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Moirano TW. 1977. Sulphated seaweed polyshaccaharides. Di dalam : Food Colloid. Connecticut AS : The AVI Publishing Co Inc. Niwa E.1992. The chemistry of surimi gelation. Di dalam : Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel Dekker. Nogueras SB, Cid SB, Carou MCV, Nogues MTV, Font AM. 2001. Trimethylamine and total volatile basic nitrogen determination by flow injection/gas diffusion in Mediterranean hake (Merluccius merluccius). Journal Agriculture Food Chemistry. 49 : 1681-1686. Nurfianti D. 2007. Penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan pengawet bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) pada penyimpanan suhu chilling [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Okada M. 1992. History of surimi technology in Japan. Di dalam : Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel Dekker. Okada M. 1990. Fish as raw food material Di Dalam : Science of Processing Marine Food Product. Vol.1. Motohiro T, Kadota H, Hashimoto K, Kayama M, Tokunaga T, editors. Japan : JICA and Hyogo International Centre. Ornum JV. 1992. Shrimp waste must it be wasted?. Info Fish 6 (92): 48-52. Pardjoko. 2001. Ikan kakap merah : sumber daya hayati laut yang diekspor. Di dalam : Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://tumoutou.net/3-seml-012/pardjoko.htm. [28 Juli 2007]. Pelczar WJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Terjemahan dari : Element of Microbiology. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta : UI Press. Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi.
Pusparani R. 2003. Pemanfaatan tepung sukun (Altocarpus altilis) sebagai bahan pengikat pada pembuatan kamaboko daging merah ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) [skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Rahayu WP. 1998. Penuntun Pratikum Pengenalan Organoleptik. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Ramirez JA, Velazquez G, Echevarria GL, Torres AA. 2007. Effect of adding insoluble solids from surimi wash water on the functional and mechanical properties of pacific whiting grade A surimi. Bioresource Technology. 98 : 21482153. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta : Bina Cipta. Sandford PA, Hutching GP. 1987. Industrial Polysaccharides. New York : Elsevier Science. Santoso J, Trilaksani W, Nurjanah, Nurhayati T. 1997. Perbaikan mutu gel ikan mas (Cyprinus carpio) melalui modifikasi proses [laporan penelitian]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Schawrz MD, Lee CM 1988. Comparison of the thermostability of red hake and alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science. 53 (5): 13471351. Sedayu BB. 2004. Pengaruh lama waktu penyimpanan beku daging lumat ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) terhadap mutu fisio-kimia surimi [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Shie JS dan Park JW. 1999. Physical characteristics of surimi seafood as affected by thermal processing conditions. Journal of Food Science. 64 (2): 287-290. Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. 1992. Surimi production from fatty and darkfleshed fish spesies. Di dalam : Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel Dekker. Sims GG. 1992. Quality indices for canned skipjack tuna: correlation of sensory attributes with chemical indices. Journal of Food Science. 57 (5) : 1112-1115.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta : Bhratara Karya Aksara. Soeparno 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Stansby ME.1963. Industrial Fishery Technology. London : Reinhold Publishing Co. Chapman and Hall, Ltd. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Principles and Procedures of Statistics Indeks. Sultanbawa Y, Chan LECY. 1998. Cryoprotective effects of sugar and polyol blends in Ling cod surimi during frozen storage. Food Reseach International. 31 (2): 87-98. Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J. 1992. Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya [laporan penelitian]. Bogor : Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Suptijah P. 2006. Deskripsi dan karakteristik fungsional kitin dan kitosan. Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan. Santoso J, Triklaksani W, Nurhayati T, Suseno SH, editors. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Suyedi R. 2001. Sumber daya ikan pelagis. Di dalam : Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://tumoutou.net/3seml-012/risfan-s.htm. [28 Juli 2007]. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London : Applied Science Publishing. Ltd. Syarief R, Santausa S, Isyana. 1988. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Syarief R, Halid H. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta : Penerbit Arcan. Tan SM, Chng NM, Fujiwara T, Kuang HK, Hasegawa H. 1987. Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Product in Southeast Asia. Singapore : Marine Fisheries Research Departement, Southeast Asian Fisheries Development Center
Taylor T, Alasalvar C. 2002. Seafood : Quality, Technology and Neutraceutical Applications. New York : Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Toyoda K, Kimura I, Fujita T, Noguchi SF, Lee CM. 1992. The surimi manufacturing process. Di dalam : Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York: Marcel Dekker. Troller JA, Christian JHB. 1978. Water Activity and Food. New York. Academic Press. Venugopal V. 1992. Mince from low-cost fish spesies. Technology. (3) : 2-5.
Trend in Food Science
Wahyuni M. 1992. Sifat kimia dan fungsional ikan hiu lanyam (Carcharhinus limbatus) serta penggunaannya dalam pembuatan sosis [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, IPB. Wibowo S. 2002. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta : PT. Penebar Swadaya. Yasin AWN. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Trygon sephen) terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Winarno FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Zayas JF. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin : Springer Verlag.
Lampiran 1 Lembar penilaian (score sheet) organoleptik bakso ikan Nama panelis : …………………………….. Tanggal ………………………… • •
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi
1. Kenampakan • • • • • •
Bentuk bulat beraturan, seragam, tidak berongga, warna putih susu Bentuk bulat beraturan, seragam, sedikit berongga, warna putih krem Bentuk bulat kurang beraturan, agak seragam, agak berongga, warna putih krem Bentuk bulat kurang beraturan, kurang seragam, berongga, warna krem agak kusam Bentuk bulat tidak beraturan, tidak seragam, berongga agak banyak, warna krem kusam Bentuk bulat tidak beraturan, tidak seragam, banyak rongga, warna krem sangat kusam
2. Aroma • • • • • •
Tidak amis, spesifik baso ikan Tidak amis, spesifik baso ikan sedikit berkurang Tidak amis, spesifik baso ikan berkurang Agak amis, agak tengik Amis, agak busuk, tengik Sangat amis, busuk dan sangat tengik
Nilai 9 7 6 5 3 1
9 7 6 5 3 1
3. Rasa • • • • • •
Enak, rasa ikan dominant Enak, rasa ikan sedikit berkurang Agak enak, rasa ikan berkurang Kurang enak, rasa ikan kurang, penyedap rasa dominan Tidak enak, rasa ikan tidak ada, penyedap rasa sangat dominan Sangat tidak enak, rasa ikan tidak ada, penyedap rasa sangat dominan
4. Tekstur • • • • • •
Padat, kompak, kenyal Padat, kompak, agak kenyal Agak padat, agak kompak, agak kenyal Kurang padat, kurang kompak,kurang kenyal Agak lembek,tidak kenyal Lembek
9 7 6 5 3 1 9 7 6 5 3 1
Kode contoh
Lampiran 2 Lembar isian uji organoleptik perbandingan pasangan antara bakso ikan (A dan B) dan bakso ikan komersial Nama Panelis Hari/tanggal Produk Instruksi
Kode produk Kode pembanding Kenampakan Sangat lebih rapih
: : : : Bandingkan Kenampakan, Aroma, Rasa dan Tekstur produkproduk yang disajikan (A dan B) terhadap produk pembanding C, berilah tanda √ pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara : : Kode Produk Rasa Kode Produk A B A B Sangat lebih enak
Lebih rapih
Lebih enak
Agak lebih rapih
Agak lebih enak
Tidak berbeda
Tidak berbeda
Agak kurang rapih
Agak kurang enak
Kurang rapih
Kurang enak
Sangat kurang rapih
Sangat kurang enak
Aroma
Kode Produk A B
Tekstur
Sangat lebih spesik ikan
Sangat lebih kenyal
Lebih spesifik ikan
Lebih kenyal
Agak lebih spesifik ikan
Agak lebih kenyal
Tidak berbeda
Tidak berbeda
Agak kurang spesifik ikan
Agak kurang kenyal
Kurang spesifik ikan
Kurang kenyal
Sangat kurang spesifik ikan
Sangat kurang kenyal
Kode Produk A B
Lampiran 3
Nilai pH dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai pH
Lampiran 3a Nilai pH surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian Kakap Pencucian Nilai pH Rata-rata Lampiran 3b
2x 6,67 7,01 6,84
Layang 3x 6,78 7,08 6,93
2x 7,05 6,89 6,97
3x 7,06 7,06 7,06
Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai pH Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH Type III Sum of Mean Source Squares Df Square Corrected Model ,049(a) 3 ,016 Intercept 386,073 1 386,073 Ikan ,033 1 ,033 Pencucian ,016 1 ,016 ikan * pencucian 3,13E-006 1 3,13E-006 Error ,116 4 ,029 Total 386,238 8 Corrected Total ,165 7 a R Squared = ,296 (Adjusted R Squared = -,232)
F ,561 13285,646 1,141 ,542 ,000
Sig. ,669 ,000 ,346 ,502 ,992
Lampiran 4
Nilai PLG dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai PLG
Lampiran 4a Nilai PLG surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian Kakap Pencucian PLG (%) rata-rata Lampiran 4b
2x 5,18 2,71 3,94
Layang 3x 5,05 2,64 3,84
2x 4,58 7,13 5,85
3x 4,03 5,20 4,61
Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai PLG Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: PLG Type III Sum of Source Squares Df Mean Square Corrected Model 5,126(a) 3 1,709 Intercept 166,486 1 166,486 Ikan 3,585 1 3,585 Pencucian ,894 1 ,894 ikan * pencucian ,647 1 ,647 Error 9,872 4 2,468 Total 181,483 8 Corrected Total 14,998 7 a R Squared = ,342 (Adjusted R Squared = -,152)
F ,692 67,460 1,452 ,362 ,262
Sig. ,603 ,001 ,295 ,580 ,636
Lampiran 5
Nilai kekuatan gel dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel
Lampiran 5a Nilai kekuatan gel surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian
Pencucian Kekuatan gel (g.cm) Rata-rata
Kakap 2x 3x 246,67 186,67 115,63 125,00 181,15 155,83
Layang 2x 3x 290,00 169,00 321,88 203,13 305,94 186,06
Lampiran 5b Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekuatan Gel Type III Sum Source of Squares Df Mean Square Corrected Model 27026,416(a) 3 9008,805 Intercept 343603,506 1 343603,506 Ikan 12015,678 1 12015,678 Pencucian 10539,705 1 10539,705 ikan * pencucian 4471,033 1 4471,033 Error 11577,678 4 2894,419 Total 382207,600 8 Corrected Total 38604,094 7 a R Squared = ,700 (Adjusted R Squared = ,475)
F 3,112 118,712 4,151 3,641 1,545
Sig. ,151 ,000 ,111 ,129 ,282
Lampiran 6
Nilai derajat putih dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai derajat putih
Lampiran 6a
Nilai derajat putih surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian Kakap 2x 3x 54,04 56,41 57,26 58,76 55,65 57,59
Pencucian Derajat putih Rata-rata Lampiran 6b
Layang 2x 28,14 22,44 25,29
3x 31,67 19,07 25,37
Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai derajat putih Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: derajat_putih Source Corrected Model Intercept ikan pencucian ikan * pencucian Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 1961,566a 13430,786 1957,815 2,030 1,721 103,570 15495,922 2065,136
df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square 653,855 13430,786 1957,815 2,030 1,721 25,893
a. R Squared = ,950 (Adjusted R Squared = ,912)
F 25,253 518,711 75,613 ,078 ,066
Sig. ,005 ,000 ,001 ,793 ,809
Lampiran 7
Nilai kekuatan gel dan analisis ragam dari setiap formula bakso ikan terhadap nilai kekuatan gel
Lampiran 7a Nilai kekuatan gel dari setiap formula bakso ikan
Kekuatan gel (g.cm) Rata-rata
Lampiran 7b
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
292,50
326,25
318,33
178,75
311,67
327,50
395,00
395,00
353,75
542,50
647,50
720,00
585,00
497,50
597,50
625,00
687,50
685,00
417,50
486,88
519,17
381,88
404,58
462,50
510,00
541,25
519,38
Analisis ragam dari setiap formula bakso ikan terhadap nilai kekuatan gel Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kekuatan gel Source Corrected Model Intercept tepung komposisi tepung * komposisi Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 53309,826a 4000913,281 34573,455 12581,330 6155,042 423847,508 4478070,615 477157,334
df 8 1 2 2 4 9 18 17
Mean Square 6663,728 4000913,281 17286,727 6290,665 1538,761 47094,168
a. R Squared = ,112 (Adjusted R Squared = -,678)
F ,141 84,956 ,367 ,134 ,033
Sig. ,994 ,000 ,703 ,877 ,998
Lampiran 8 Lembar penilaian (score sheet) uji gigit dan uji lipat surimi dan bakso ikan Nama panelis : …………………………….. Tanggal ………………………… • •
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi
Nilai
1. Uji gigit •
amat sangat kuat kekenyalannya
10
•
sangat kuat kekenyalannya
9
•
kuat kekenyalannya
8
•
agak kuat kekenyalannya
7
•
kekenyalannya masih dapat diterima
•
agak lunak
•
lunak
•
sangat lunak
•
hancur
6 5 4 3 1
2. Uji lipat •
tidak retak jika dilipat 4, grade AA
9
•
sedikit retak jika dilipat 4, grade A
7
•
sedikit retak bila dilipat 2, grade B
5
•
retak tetapi masih menyatu bila dilipat 2, grade C
3
•
patah seluruhnya bila dilipat 2, grade D
1
Kode contoh
Lampiran 9
Nilai uji lipat, uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan
Lampiran 9a Nilai uji lipat dari setiap formula bakso ikan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata
A1 7 7 5 9 9 9 9 7 5 9 5 7 5 7 9 7 5 9 5 9 9 7 9 9 7 9 7 9 7 7 7,47
A2 5 9 9 7 5 9 7 7 5 9 9 7 5 7 5 9 7 9 5 9 5 7 9 9 9 7 9 9 9 9 7,53
A3 5 9 5 7 9 9 5 7 5 9 5 9 5 7 9 9 7 9 9 7 5 5 9 9 9 5 9 9 9 9 7,47
Perlakuan B1 B2 3 3 9 9 5 9 9 7 3 5 9 5 5 7 7 7 3 5 9 9 3 5 7 7 1 5 7 7 5 7 9 9 7 7 9 9 5 5 9 9 5 5 7 9 5 7 7 9 3 9 3 3 5 9 9 9 5 9 5 7 5,93 7,07
B3 5 7 9 7 9 9 5 9 7 9 7 9 9 9 7 7 5 9 9 9 9 5 7 9 9 5 9 9 9 9 7,87
C1 9 9 9 9 9 7 5 9 5 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 7 8,60
C2 7 9 9 9 9 9 7 9 7 7 9 9 5 9 9 9 7 9 5 9 5 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8,27
C3 9 7 9 9 9 9 9 9 5 9 5 9 9 9 9 9 5 9 5 9 9 9 9 9 7 9 7 9 7 9 8,20
Lampiran 9b Uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan Ranks Uji Lipat
Perlakuan A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
Test Statistics(a,b) Chi-Square Df Asymp. Sig.
Uji Lipat 44,026 8 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 135
Mean Rank 61,10 63,50 63,77 23,97 49,97 74,80 100,30 88,50 86,10
Lampiran 9c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji lipat dari setiap formula bakso Multiple Comparisons Dependent Variable: Uji Lipat Tukey HSD
(I) Perlakuan A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
*.
(J) Perlakuan A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2
The mean difference is significant at the .05 level.
Mean Difference (I-J) -,06667 ,00000 1,53333* ,40000 -,40000 -1,13333 -,80000 -,73333 ,06667 ,06667 1,60000* ,46667 -,33333 -1,06667 -,73333 -,66667 ,00000 -,06667 1,53333* ,40000 -,40000 -1,13333 -,80000 -,73333 -1,53333* -1,60000* -1,53333* -1,13333 -1,93333* -2,66667* -2,33333* -2,26667* -,40000 -,46667 -,40000 1,13333 -,80000 -1,53333* -1,20000* -1,13333 ,40000 ,33333 ,40000 1,93333* ,80000 -,73333 -,40000 -,33333 1,13333 1,06667 1,13333 2,66667* 1,53333* ,73333 ,33333 ,40000 ,80000 ,73333 ,80000 2,33333* 1,20000* ,40000 -,33333 ,06667 ,73333 ,66667 ,73333 2,26667* 1,13333 ,33333 -,40000 -,06667
Std. Error ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619 ,37619
Sig. 1,000 1,000 ,003 ,978 ,978 ,074 ,460 ,581 1,000 1,000 ,001 ,946 ,993 ,116 ,581 ,700 1,000 1,000 ,003 ,978 ,978 ,074 ,460 ,581 ,003 ,001 ,003 ,074 ,000 ,000 ,000 ,000 ,978 ,946 ,978 ,074 ,460 ,003 ,046 ,074 ,978 ,993 ,978 ,000 ,460 ,581 ,978 ,993 ,074 ,116 ,074 ,000 ,003 ,581 ,993 ,978 ,460 ,581 ,460 ,000 ,046 ,978 ,993 1,000 ,581 ,700 ,581 ,000 ,074 ,993 ,978 1,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1,2541 1,1207 -1,1874 1,1874 ,3459 2,7207 -,7874 1,5874 -1,5874 ,7874 -2,3207 ,0541 -1,9874 ,3874 -1,9207 ,4541 -1,1207 1,2541 -1,1207 1,2541 ,4126 2,7874 -,7207 1,6541 -1,5207 ,8541 -2,2541 ,1207 -1,9207 ,4541 -1,8541 ,5207 -1,1874 1,1874 -1,2541 1,1207 ,3459 2,7207 -,7874 1,5874 -1,5874 ,7874 -2,3207 ,0541 -1,9874 ,3874 -1,9207 ,4541 -2,7207 -,3459 -2,7874 -,4126 -2,7207 -,3459 -2,3207 ,0541 -3,1207 -,7459 -3,8541 -1,4793 -3,5207 -1,1459 -3,4541 -1,0793 -1,5874 ,7874 -1,6541 ,7207 -1,5874 ,7874 -,0541 2,3207 -1,9874 ,3874 -2,7207 -,3459 -2,3874 -,0126 -2,3207 ,0541 -,7874 1,5874 -,8541 1,5207 -,7874 1,5874 ,7459 3,1207 -,3874 1,9874 -1,9207 ,4541 -1,5874 ,7874 -1,5207 ,8541 -,0541 2,3207 -,1207 2,2541 -,0541 2,3207 1,4793 3,8541 ,3459 2,7207 -,4541 1,9207 -,8541 1,5207 -,7874 1,5874 -,3874 1,9874 -,4541 1,9207 -,3874 1,9874 1,1459 3,5207 ,0126 2,3874 -,7874 1,5874 -1,5207 ,8541 -1,1207 1,2541 -,4541 1,9207 -,5207 1,8541 -,4541 1,9207 1,0793 3,4541 -,0541 2,3207 -,8541 1,5207 -1,5874 ,7874 -1,2541 1,1207
Lampiran 10 Nilai uji gigit, uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan Lampiran 10a Nilai uji gigit dari setiap formula bakso ikan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata
A1 6 8 6 8 7 8 9 6 6 9 7 9 6 6 7 7 6 8 6 7 8 9 8 8 8 7 8 9 8 7 7,40
A2 7 7 9 7 6 9 9 8 6 8 8 8 7 6 7 7 5 8 6 8 8 9 8 8 8 6 8 9 8 5 7,43
A3 7 10 7 7 6 8 9 6 7 8 8 7 7 6 7 6 6 8 6 8 7 9 9 8 8 7 8 9 8 7 7,47
B1 5 8 6 7 4 8 8 8 4 8 5 8 4 6 5 7 4 8 5 8 5 8 7 8 5 7 5 9 5 7 6,40
Perlakuan B2 7 9 8 7 6 7 9 7 8 9 8 8 6 6 7 7 7 8 6 8 7 8 9 8 9 8 10 9 10 7 7,77
B3 7 8 9 7 7 7 9 8 7 8 8 7 7 6 8 7 6 9 6 7 8 8 9 8 8 8 9 9 8 7 7,67
C1 9 7 9 8 8 9 8 10 7 10 8 9 8 7 9 8 9 9 7 7 10 8 10 9 9 9 9 9 9 7 8,50
C2 8 8 10 8 7 7 9 9 8 8 10 9 8 7 9 8 8 9 6 7 9 8 10 9 9 9 9 9 9 6 8,33
C3 9 9 10 8 7 9 9 10 7 9 8 9 7 7 9 8 7 9 6 7 9 8 10 9 7 8 8 9 7 8 8,23
Lampiran 10b Uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan
Ranks Uji Gigit
Perlakuan A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
Test Statistics(a,b)
Chi-Square Df Asymp. Sig.
Uji Gigit 50,384 8 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 135
Mean Rank 55,30 56,43 57,63 19,80 70,97 66,57 101,97 93,70 89,63
Lampiran 10c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji gigit setiap formula bakso Multiple Comparisons Dependent Variable: Uji Gigit Tukey HSD
(I) Perlakuan A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
*.
(J) Perlakuan A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2
The mean difference is significant at the .05 level.
Mean Difference (I-J) -,03333 -,06667 1,00000* -,36667 -,26667 -1,10000* -,93333* -,83333 ,03333 -,03333 1,03333* -,33333 -,23333 -1,06667* -,90000* -,80000 ,06667 ,03333 1,06667* -,30000 -,20000 -1,03333* -,86667 -,76667 -1,00000* -1,03333* -1,06667* -1,36667* -1,26667* -2,10000* -1,93333* -1,83333* ,36667 ,33333 ,30000 1,36667* ,10000 -,73333 -,56667 -,46667 ,26667 ,23333 ,20000 1,26667* -,10000 -,83333 -,66667 -,56667 1,10000* 1,06667* 1,03333* 2,10000* ,73333 ,83333 ,16667 ,26667 ,93333* ,90000* ,86667 1,93333* ,56667 ,66667 -,16667 ,10000 ,83333 ,80000 ,76667 1,83333* ,46667 ,56667 -,26667 -,10000
Std. Error ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964 ,27964
Sig. 1,000 1,000 ,014 ,926 ,989 ,004 ,030 ,080 1,000 1,000 ,010 ,957 ,996 ,006 ,042 ,109 1,000 1,000 ,006 ,977 ,999 ,010 ,059 ,144 ,014 ,010 ,006 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,926 ,957 ,977 ,000 1,000 ,188 ,528 ,764 ,989 ,996 ,999 ,000 1,000 ,080 ,302 ,528 ,004 ,006 ,010 ,000 ,188 ,080 1,000 ,989 ,030 ,042 ,059 ,000 ,528 ,302 1,000 1,000 ,080 ,109 ,144 ,000 ,764 ,528 ,989 1,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -,9160 ,8493 -,9493 ,8160 ,1173 1,8827 -1,2493 ,5160 -1,1493 ,6160 -1,9827 -,2173 -1,8160 -,0507 -1,7160 ,0493 -,8493 ,9160 -,9160 ,8493 ,1507 1,9160 -1,2160 ,5493 -1,1160 ,6493 -1,9493 -,1840 -1,7827 -,0173 -1,6827 ,0827 -,8160 ,9493 -,8493 ,9160 ,1840 1,9493 -1,1827 ,5827 -1,0827 ,6827 -1,9160 -,1507 -1,7493 ,0160 -1,6493 ,1160 -1,8827 -,1173 -1,9160 -,1507 -1,9493 -,1840 -2,2493 -,4840 -2,1493 -,3840 -2,9827 -1,2173 -2,8160 -1,0507 -2,7160 -,9507 -,5160 1,2493 -,5493 1,2160 -,5827 1,1827 ,4840 2,2493 -,7827 ,9827 -1,6160 ,1493 -1,4493 ,3160 -1,3493 ,4160 -,6160 1,1493 -,6493 1,1160 -,6827 1,0827 ,3840 2,1493 -,9827 ,7827 -1,7160 ,0493 -1,5493 ,2160 -1,4493 ,3160 ,2173 1,9827 ,1840 1,9493 ,1507 1,9160 1,2173 2,9827 -,1493 1,6160 -,0493 1,7160 -,7160 1,0493 -,6160 1,1493 ,0507 1,8160 ,0173 1,7827 -,0160 1,7493 1,0507 2,8160 -,3160 1,4493 -,2160 1,5493 -1,0493 ,7160 -,7827 ,9827 -,0493 1,7160 -,0827 1,6827 -,1160 1,6493 ,9507 2,7160 -,4160 1,3493 -,3160 1,4493 -1,1493 ,6160 -,9827 ,7827
Lampiran 11 Nilai rata-rata kenampakan, uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kenampakan dari setiap formula bakso ikan Lampiran 11a Nilai rata-rata kenampakan dari setiap formula bakso ikan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata
A1 7 6 6 5 7 6 7 5 7 9 6 5 6 6 7 6 7 3 6 5 7 6 7 7 9 5 7 6 7 3 6,20
A2 6 5 6 3 6 6 7 5 6 7 7 3 5 6 7 6 6 6 6 5 6 5 7 5 7 7 9 7 7 3 5,90
A3 6 3 7 6 7 6 7 5 7 9 9 5 5 6 7 6 6 7 6 5 7 6 7 6 9 6 7 7 7 3 6,33
Perlakuan B1 B2 5 6 3 5 6 7 5 5 6 6 5 6 6 7 3 5 6 5 7 7 6 7 3 5 6 5 6 6 5 7 6 6 5 6 4 5 5 5 5 5 5 6 5 6 7 9 5 7 9 9 5 3 6 9 5 5 7 7 3 5 5,33 6,07
B3 5 3 6 6 5 6 6 3 5 7 7 5 5 7 6 6 5 6 5 6 6 6 7 7 9 5 9 5 7 3 5,80
C1 7 5 7 6 7 7 7 6 7 7 7 7 7 7 7 6 7 7 7 6 7 6 7 6 9 7 9 7 7 6 6,84
C2 6 7 7 6 6 7 5 6 7 9 7 6 5 7 7 6 6 6 6 6 5 6 7 5 7 9 9 7 7 5 6,50
C3 6 6 7 6 6 7 6 6 6 9 7 7 5 7 7 6 6 6 7 6 5 6 7 7 7 6 7 7 7 6 6,47
Lampiran 11b Uji Kruskal-Wallis terhadap kenampakan dari setiap formula bakso ikan Ranks Penampakan
Perlakuan A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
Test Statistics(a,b)
Chi-Square Df Asymp. Sig.
Penampakan 33,581 8 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 135
Mean Rank 69,53 53,73 77,67 33,10 59,70 53,27 100,97 79,23 84,80
Lampiran 11c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap kenampakan setiap formula bakso Multiple Comparisons Dependent Variable: Penampakan Tukey HSD
(I) Perlakuan A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
*.
(J) Perlakuan A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2
The mean difference is significant at the .05 level.
Mean Difference (I-J) ,30000 -,13333 ,86667 ,13333 ,40000 -,56667 -,30000 -,26667 -,30000 -,43333 ,56667 -,16667 ,10000 -,86667 -,60000 -,56667 ,13333 ,43333 1,00000* ,26667 ,53333 -,43333 -,16667 -,13333 -,86667 -,56667 -1,00000* -,73333 -,46667 -1,43333* -1,16667* -1,13333* -,13333 ,16667 -,26667 ,73333 ,26667 -,70000 -,43333 -,40000 -,40000 -,10000 -,53333 ,46667 -,26667 -,96667* -,70000 -,66667 ,56667 ,86667 ,43333 1,43333* ,70000 ,96667* ,26667 ,30000 ,30000 ,60000 ,16667 1,16667* ,43333 ,70000 -,26667 ,03333 ,26667 ,56667 ,13333 1,13333* ,40000 ,66667 -,30000 -,03333
Std. Error ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203 ,28203
Sig. ,978 1,000 ,063 1,000 ,889 ,540 ,978 ,990 ,978 ,836 ,540 1,000 1,000 ,063 ,460 ,540 1,000 ,836 ,016 ,990 ,621 ,836 1,000 1,000 ,063 ,540 ,016 ,197 ,772 ,000 ,002 ,003 1,000 1,000 ,990 ,197 ,990 ,251 ,836 ,889 ,889 1,000 ,621 ,772 ,990 ,023 ,251 ,313 ,540 ,063 ,836 ,000 ,251 ,023 ,990 ,978 ,978 ,460 1,000 ,002 ,836 ,251 ,990 1,000 ,990 ,540 1,000 ,003 ,889 ,313 ,978 1,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -,5902 1,1902 -1,0235 ,7569 -,0235 1,7569 -,7569 1,0235 -,4902 1,2902 -1,4569 ,3235 -1,1902 ,5902 -1,1569 ,6235 -1,1902 ,5902 -1,3235 ,4569 -,3235 1,4569 -1,0569 ,7235 -,7902 ,9902 -1,7569 ,0235 -1,4902 ,2902 -1,4569 ,3235 -,7569 1,0235 -,4569 1,3235 ,1098 1,8902 -,6235 1,1569 -,3569 1,4235 -1,3235 ,4569 -1,0569 ,7235 -1,0235 ,7569 -1,7569 ,0235 -1,4569 ,3235 -1,8902 -,1098 -1,6235 ,1569 -1,3569 ,4235 -2,3235 -,5431 -2,0569 -,2765 -2,0235 -,2431 -1,0235 ,7569 -,7235 1,0569 -1,1569 ,6235 -,1569 1,6235 -,6235 1,1569 -1,5902 ,1902 -1,3235 ,4569 -1,2902 ,4902 -1,2902 ,4902 -,9902 ,7902 -1,4235 ,3569 -,4235 1,3569 -1,1569 ,6235 -1,8569 -,0765 -1,5902 ,1902 -1,5569 ,2235 -,3235 1,4569 -,0235 1,7569 -,4569 1,3235 ,5431 2,3235 -,1902 1,5902 ,0765 1,8569 -,6235 1,1569 -,5902 1,1902 -,5902 1,1902 -,2902 1,4902 -,7235 1,0569 ,2765 2,0569 -,4569 1,3235 -,1902 1,5902 -1,1569 ,6235 -,8569 ,9235 -,6235 1,1569 -,3235 1,4569 -,7569 1,0235 ,2431 2,0235 -,4902 1,2902 -,2235 1,5569 -1,1902 ,5902 -,9235 ,8569
Lampiran 12 Nilai rata-rata aroma dan uji Kruskal-Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan Lampiran 12 Nilai rata-rata aroma dari setiap formula bakso ikan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata
A1 9 6 9 9 9 7 7 7 7 6 9 9 7 7 7 6 6 9 6 6 7 7 9 7 9 9 9 7 9 9 7,67
A2 7 5 7 5 7 6 9 7 6 9 9 9 7 7 7 6 6 9 6 7 9 7 7 6 7 7 9 9 9 5 7,20
A3 7 6 9 6 7 7 7 6 6 9 9 7 7 6 7 6 6 9 9 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 5 7,30
B1 7 6 7 7 9 7 7 9 6 7 9 9 7 7 6 6 6 9 6 7 7 7 7 6 9 9 7 7 9 9 7,37
Perlakuan B2 7 7 9 7 9 9 7 7 7 5 9 9 7 6 6 5 6 9 9 6 7 7 9 6 9 7 9 7 9 7 7,43
B3 6 6 9 6 9 9 7 9 7 7 9 7 7 6 6 6 6 7 6 6 9 7 9 6 9 6 9 7 9 6 7,27
C1 7 7 9 9 9 9 7 6 7 9 9 9 7 7 6 6 6 7 7 6 9 7 7 6 9 9 9 7 9 7 7,60
C2 7 7 9 6 7 6 7 6 9 9 9 9 7 7 7 6 7 7 7 5 7 7 9 6 9 9 9 9 9 6 7,47
C3 6 7 7 7 9 9 7 9 9 7 9 9 7 9 6 6 7 7 7 6 9 7 9 6 9 7 9 7 9 6 7,60
Lampiran 12b Uji Kruskal-Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan
Ranks Aroma
Perlakuan A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
Test Statistics(a,b)
Chi-Square Df Asymp. Sig.
Aroma 3,668 8 ,886
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 135
Mean Rank 76,87 57,63 63,40 63,90 70,23 62,63 73,47 67,27 76,60
Lampiran 13 Nilai rata-rata rasa dan uji Kruskal-Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan Lampiran 13a Nilai rata-rata rasa dari setiap formula bakso ikan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata
A1 6 6 9 9 6 6 7 7 6 7 7 6 6 6 6 7 5 7 5 7 7 7 6 7 9 7 9 7 7 7 6,80
A2 6 5 9 7 6 6 7 9 6 9 7 6 5 6 6 6 3 7 5 7 5 7 7 6 9 6 9 7 9 6 6,63
A3 7 5 9 9 7 6 7 6 6 9 5 5 5 6 6 7 6 7 7 6 7 7 7 6 9 6 7 9 7 7 6,77
B1 6 5 7 7 6 6 6 9 5 7 5 6 3 6 5 7 3 7 5 7 5 7 7 6 9 6 6 7 7 6 6,13
Perlakuan B2 B3 6 7 7 6 9 7 7 7 7 6 7 7 7 7 6 9 7 7 5 7 5 7 6 5 5 9 5 6 6 6 6 7 5 6 9 6 6 6 7 6 7 5 6 7 9 9 6 6 9 9 7 6 9 9 7 7 9 7 7 6 6,80 6,83
C1 7 6 9 7 6 6 7 7 7 6 5 6 6 7 6 7 6 6 6 7 7 7 6 5 9 7 9 6 7 9 6,73
C2 7 7 7 7 6 6 7 7 9 5 7 5 6 7 6 7 6 6 6 6 6 7 9 5 9 7 9 6 9 7 6,80
C3 7 6 7 9 9 6 7 7 9 6 5 5 5 7 6 7 6 6 6 6 6 7 9 6 9 6 9 7 9 7 6,90
Lampiran 13b. Uji Kruskal-Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan Ranks Rasa
Perlakuan A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 135
Test Statistics(a,b)
Chi-Square Df Asymp. Sig.
Rasa 7,893 8 ,444
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
Mean Rank 69,17 63,43 70,40 43,70 72,90 73,40 69,20 72,80 77,00
Lampiran 14 Nilai rata-rata tekstur, uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan Lampiran 14a Nilai rata-rata tekstur dari setiap formula bakso ikan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rata-rata
A1 6 7 5 7 6 7 7 9 7 7 7 9 6 6 7 7 6 7 6 7 9 7 9 9 9 9 7 9 9 7 7,33
A2 6 7 7 9 6 9 9 9 5 7 9 7 6 7 9 7 5 7 6 7 6 9 9 9 9 7 9 9 9 7 7,57
A3 6 6 6 7 7 9 9 6 5 9 9 7 6 6 7 7 6 7 6 9 5 9 9 9 9 9 9 9 7 7 7,40
Perlakuan B1 B2 B3 5 7 7 6 7 6 5 7 7 9 7 7 5 7 9 7 9 9 5 7 6 9 9 7 5 7 7 7 6 7 3 7 9 9 7 6 5 6 7 6 6 6 6 7 9 6 6 7 3 7 5 7 9 7 7 6 7 7 7 7 5 6 6 7 7 7 7 9 9 9 9 9 7 9 9 7 7 7 6 9 9 7 9 9 6 7 7 9 9 9 6,40 7,40 7,43
C1 7 7 9 7 9 9 7 9 7 9 9 9 9 7 9 7 7 7 7 7 9 7 9 7 9 9 9 9 9 7 8,07
C2 7 7 9 9 9 7 9 9 9 7 9 9 9 7 9 7 7 7 6 7 9 7 9 9 9 7 9 9 9 7 8,10
C3 7 7 9 9 7 9 9 9 7 9 7 9 7 7 9 7 7 7 7 7 9 7 9 9 9 7 9 9 9 9 8,07
Lampiran 14b. Uji Kruskal-Wallis terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan Ranks Tekstur
Perlakuan A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Total
Test Statistics(a,b)
Chi-Square Df Asymp. Sig.
Tekstur 31,320 8 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
N 15 15 15 15 15 15 15 15 15 135
Mean Rank 60,10 68,57 62,13 28,33 62,63 63,33 88,80 89,63 88,47
Lampiran 14c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap tekstur dari setiap formula bakso Multiple Comparisons Dependent Variable: Tekstur Tukey HSD
(I) Perlakuan A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
*.
(J) Perlakuan A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 B1 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B2 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B3 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 C1 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C2 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2
The mean difference is significant at the .05 level.
Mean Difference (I-J) -,23333 -,06667 ,93333 -,06667 -,10000 -,73333 -,76667 -,73333 ,23333 ,16667 1,16667* ,16667 ,13333 -,50000 -,53333 -,50000 ,06667 -,16667 1,00000 ,00000 -,03333 -,66667 -,70000 -,66667 -,93333 -1,16667* -1,00000 -1,00000 -1,03333 -1,66667* -1,70000* -1,66667* ,06667 -,16667 ,00000 1,00000 -,03333 -,66667 -,70000 -,66667 ,10000 -,13333 ,03333 1,03333 ,03333 -,63333 -,66667 -,63333 ,73333 ,50000 ,66667 1,66667* ,66667 ,63333 -,03333 ,00000 ,76667 ,53333 ,70000 1,70000* ,70000 ,66667 ,03333 ,03333 ,73333 ,50000 ,66667 1,66667* ,66667 ,63333 ,00000 -,03333
Std. Error ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486 ,33486
Sig. ,999 1,000 ,130 1,000 1,000 ,419 ,356 ,419 ,999 1,000 ,019 1,000 1,000 ,857 ,807 ,857 1,000 1,000 ,079 1,000 1,000 ,553 ,485 ,553 ,130 ,019 ,079 ,079 ,061 ,000 ,000 ,000 1,000 1,000 1,000 ,079 1,000 ,553 ,485 ,553 1,000 1,000 1,000 ,061 1,000 ,621 ,553 ,621 ,419 ,857 ,553 ,000 ,553 ,621 1,000 1,000 ,356 ,807 ,485 ,000 ,485 ,553 1,000 1,000 ,419 ,857 ,553 ,000 ,553 ,621 1,000 1,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1,2903 ,8236 -1,1236 ,9903 -,1236 1,9903 -1,1236 ,9903 -1,1570 ,9570 -1,7903 ,3236 -1,8236 ,2903 -1,7903 ,3236 -,8236 1,2903 -,8903 1,2236 ,1097 2,2236 -,8903 1,2236 -,9236 1,1903 -1,5570 ,5570 -1,5903 ,5236 -1,5570 ,5570 -,9903 1,1236 -1,2236 ,8903 -,0570 2,0570 -1,0570 1,0570 -1,0903 1,0236 -1,7236 ,3903 -1,7570 ,3570 -1,7236 ,3903 -1,9903 ,1236 -2,2236 -,1097 -2,0570 ,0570 -2,0570 ,0570 -2,0903 ,0236 -2,7236 -,6097 -2,7570 -,6430 -2,7236 -,6097 -,9903 1,1236 -1,2236 ,8903 -1,0570 1,0570 -,0570 2,0570 -1,0903 1,0236 -1,7236 ,3903 -1,7570 ,3570 -1,7236 ,3903 -,9570 1,1570 -1,1903 ,9236 -1,0236 1,0903 -,0236 2,0903 -1,0236 1,0903 -1,6903 ,4236 -1,7236 ,3903 -1,6903 ,4236 -,3236 1,7903 -,5570 1,5570 -,3903 1,7236 ,6097 2,7236 -,3903 1,7236 -,4236 1,6903 -1,0903 1,0236 -1,0570 1,0570 -,2903 1,8236 -,5236 1,5903 -,3570 1,7570 ,6430 2,7570 -,3570 1,7570 -,3903 1,7236 -1,0236 1,0903 -1,0236 1,0903 -,3236 1,7903 -,5570 1,5570 -,3903 1,7236 ,6097 2,7236 -,3903 1,7236 -,4236 1,6903 -1,0570 1,0570 -1,0903 1,0236
Lampiran 15 Nilai pH dan analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B Lampiran 15a Nilai pH surimi A dan B Surimi A 6,68 6,78 6,73
pH Rata-rata
B 6,78 6,72 6,75
Lampiran 15b Analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,000506 0,007313
Total
0,007819
df
1 2
MS 0,000506 0,003656
F 0,138462
P-value 0,745543
F crit 18,51282
3
Lampiran 16 Nilai pH dan analisis ragam terhadap nilai pH bakso ikan A dan B Lampiran 16a Nilai pH bakso ikan A dan B Bakso A 6,63 6,75 6,69
pH Rata-rata
B 6,62 6,58 6,60
Lampiran 16b Analisis ragam terhadap nilai pH bakso ikan A dan B ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,007656 0,007813
Total
0,015469
df
1 2 3
MS 0,007656 0,003906
F 1,96
P-value 0,296474
F crit 18,51282
Lampiran 17 Nilai TVB dan analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B Lampiran 17a Nilai TVB surimi A dan B Surimi A 7,59 7,05 7,32
TVB (mg N/100 g) Rata-rata
B 5,38 4,92 5,15
Lampiran 17b Analisis ragam terhadap nilai TVB surimi A dan B ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
Total
SS 5 0
df
5
1 2
MS 4,717584 0,126261
F 37,36375
P-value 0,025735
F crit 18,51282
3
Lampiran 18 Nilai derajat putih dan analisis ragam terhadap nilai derajat putih surimi A dan B Lampiran 18a Nilai derajat putih surimi A dan B Surimi Derajat putih (%) Rata-rata
A 34,95 34,10 34,52
B 29,75 31,86 30,80
Lampiran 18b Analisis ragam terhadap derajat putih surimi A dan B ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 13,8384 2,5873
Total
16,4257
df
1 2 3
MS 13,8384 1,29365
F 10,69717
P-value 0,08213
F crit 18,51282
Lampiran 19 Nilai derajat putih dan analisis ragam terhadap nilai derajat putih bakso ikan A dan B Lampiran 19a Nilai derajat putih bakso ikan A dan B Bakso A 26,28 26,10 26,19
Derajat putih (%) Rata-rata
B 25,02 25,89 25,46
Lampiran 19b Analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan A dan B ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,540225 0,39465
Total
0,934875
df
1 2
MS 0,540225 0,197325
F 2,737742
P-value 0,23983
F crit 18,51282
3
Lampiran 20 Nilai kekuatan gel dan analisis ragam terhadap kekuatan gel surimi A dan B Lampiran 20a Nilai kekuatan gel surimi A dan B Surimi Kekuatan gel (g.cm) Rata-rata
A
B
131,25 112,50 121,88
137,50 115,00 126,25
Lampiran 20b Analisis ragam terhadap kekuatan gel surimi A dan B ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 19,14063 428,9063
Total
448,0469
df
1 2 3
MS 19,14063 214,4531
Fhitung 0,089253
P-value 0,793311
F table 18,51282
Lampiran 21 Nilai kekuatan gel dan analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B Lampiran 21a Nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B Bakso A 206,30 175,00 190,63
Kekuatan gel (g.cm) Rata-rata
B 292,50 345,00 318,75
Lampiran 21b Analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan A dan B ANOVA Source of Variation Between Groups
Within Groups Total
SS 16384
df
1
MS 16384
1874,25
2
937,125
18258,25
3
F 17,48326
P-value 0,052716
F crit 18,51282
Lampiran 22 Nilai rata-rata uji lipat dan uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat gel surimi A dan B Lampiran 22a Nilai rata-rata uji lipat gel surimi A dan B dari 15 orang panelis Surimi A 1,13 1,13 1,13
Uji lipat Rata-rata
B 1,40 1,40 1,40
Lampiran 22b Uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat gel surimi A dan B
Ranks Perlakuan Uji lipat Surimi A Surimi B
N 15 15 30
Mean Rank 14,37 16,63
Test Statistict (a,b)
Chi-Square df Asymp.sig a. b.
Uji lipat 1,023 1 ,312
Kruskal Wallis Test Grouping Variable : Perlakuan
Lampiran 23 Nilai rata-rata uji lipat dan uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat bakso ikan A dan B Lampiran 23a Nilai rata-rata uji lipat bakso ikan A dan B dari 15 orang panelis Bakso Uji lipat Rata-rata
A 6,60 6,00 6,30
B 7,80 7,80 7,80
Lampiran 23b Uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat bakso ikan A dan B
Ranks Perlakuan Uji lipat Bakso A Bakso B
N 15 15 30
Mean Rank 12,00 19,00
Test Statistict (a,b)
Chi-Square df Asymp.sig a. b.
Uji lipat 4,923 1 ,027
Kruskal Wallis Test Grouping Variable : Perlakuan
Lampiran 24 Nilai rata-rata uji gigit dan uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit gel surimi A dan B Lampiran 24a Nilai rata-rata uji gigit gel surimi A dan B dari 15 orang panelis Surimi A 3,93 3,20 3,57
Uji gigit Rata-rata
B 4,07 3,73 3,90
Lampiran 24b Uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit gel surimi A dan B
Ranks Perlakuan Uji gigit Surimi A Surimi B Test Statistict (a,b)
Chi-Square df Asymp.sig
Uji lipat ,515 1 ,473
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan
N 15 15 30
Mean Rank 14,37 16,63
Lampiran 25 Nilai rata-rata uji gigit dan uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit bakso ikan A dan B Lampiran 25a Nilai rata-rata uji gigit bakso ikan A dan B dari 15 orang panelis Bakso A 6,53 6,80 6,67
Uji gigit Rata-rata
B 6,73 6,67 6,70
Lampiran 25b Uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit bakso ikan A dan B
Ranks Perlakuan Uji gigit Bakso A Bakso B Test Statistict (a,b)
Chi-Square df Asymp.sig a. b.
Uji lipat ,357 1 ,550
Kruskal Wallis Test Grouping Variable : Perlakuan
N 15 15 30
Mean Rank 14,57 16,43
Lampiran 26 Nilai kadar air, abu, protein, lemak dan histamin dan analisis ragam kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin Lampiran 26a Nilai kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin Lama Penyimpanan (Minggu) 1 2
0 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
3
Ulangan
2
1
2
Ratarata (%)
1
2
Ratarata (%)
1
2
Ratarata (%)
A
76,27
70,09
73,18
69,57
67,77
68,67
69,72
69,50
69,61
72,05
68,93
70,49
B
68,87
67,65
68,26
68,98
69,56
69,27
69,81
70,41
70,11
70,53
71,43
70,98
1
Ratarata (%)
Ulangan
Keterangan : A : Bakso kitosan 0% B : Bakso kitosan 0,1%
Lampiran 26b Analisis ragam kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Air Type III Sum Source of Squares Corrected Model 33.561a Intercept 78556.878 waktu 8.510 perlakuan 2.781 waktu * perlakua 22.270 Error 27.117 Total 78617.557 Corrected Total 60.679
df 7 1 3 1 3 8 16 15
Mean Square F 4.794 1.414 78556.878 23175.663 2.837 .837 2.781 .820 7.423 2.190 3.390
a. R Squared = .553 (Adjusted R Squared = .162)
Lampiran 26c Nilai kadar abu bakso selama penyimpanan suhu dingin Lama Penyimpanan (Minggu) 0 3 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
1
2
1
2
A
1,62
1,11
1,36
1,60
1,74
1,67
B
1,63
1,27
1,45
1,78
1,77
1,77
Keterangan :
Rata-rata (%)
A : Bakso kitosan 0% B : Bakso kitosan 0,1%
Rata-rata (%)
Sig. .317 .000 .511 .392 .167
Lampiran 26d Nilai kadar protein bakso selama penyimpanan suhu dingin
Lama Penyimpanan (Minggu) 0 3 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
1
2
A
11,36
11,38
B
12,12
11,40
Keterangan :
Rata-rata (%)
1
2
Rata-rata (%)
11,37
11,58
11,15
11,36
11,76
11,86
12,06
11,96
A : Bakso kitosan 0% B : Bakso kitosan 0,1%
Lampiran 26e Nilai kadar lemak bakso selama penyimpanan suhu dingin
Lama Penyimpanan (Minggu) 0 3 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
1
2
A
0,38
0,36
B
0,26
0,27
Keterangan :
Rata-rata (%)
1
2
Rata-rata (%)
0,37
0,20
0,19
0,19
0,26
0,16
0,20
0,18
A : Bakso kitosan 0% B : Bakso kitosan 0,1%
Lampiran 26f Nilai kadar histamin bakso selama penyimpanan suhu dingin
Lama Penyimpanan (Minggu) 0 3 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
1
2
A
1,30
1,40
B
1,31
2,20
Keterangan :
Rata-rata (mg/kg)
1
2
1,35
13,01
7,88
10,45
1,76
4,31
4,25
4,28
A : Bakso kitosan 0% B : Bakso kitosan 0,1%
Rata-rata (mg/kg)
Lampiran 27 Nilai pH, analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Lampiran 27a Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Lama Penyimpanan (Minggu) 1 2
0 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
1
2
1
2
1
2
1
2
6,86
6,85
6,85
6,66
6,82
6,74
6,69
6,63
6,66
6,38
6,48
6,43
B
6,75
6,75
6,75
6,71
6,72
6,72
6,60
6,62
6,61
6,52
6,56
6,54
Lampiran 27b
Rata-rata
Ulangan
A
A : Bakso kitosan 0%;
Rata-rata
3
Rata-rata
Rata-rata
B : Bakso kitosan 0,1%
Analisis ragam terhadap derajat keasaman (pH) bakso selama penyimpanan suhu dingin Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH Source Corrected Model Intercept waktu perlakuan waktu * perlakuan Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .251a 710.223 .224 .001 .025 .021 710.494 .271
df 7 1 3 1 3 8 16 15
Mean Square .036 710.223 .075 .001 .008 .003
F 13.836 274482.1 28.902 .473 3.224
Sig. .001 .000 .000 .511 .082
a. R Squared = .924 (Adjusted R Squared = .857)
Lampiran 27c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Multiple Comparisons Dependent Variable: pH Tukey HSD
(I) Penyimpanan Minggu ke-0
Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
(J) Penyimpanan Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2
Mean Difference (I-J) .0750 .1675* .3175* -.0750 .0925 .2425* -.1675* -.0925 .1500* -.3175* -.2425* -.1500*
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Std. Error .03597 .03597 .03597 .03597 .03597 .03597 .03597 .03597 .03597 .03597 .03597 .03597
Sig. .236 .007 .000 .236 .122 .001 .007 .122 .013 .000 .001 .013
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.0402 .1902 .0523 .2827 .2023 .4327 -.1902 .0402 -.0227 .2077 .1273 .3577 -.2827 -.0523 -.2077 .0227 .0348 .2652 -.4327 -.2023 -.3577 -.1273 -.2652 -.0348
Lampiran 28
Nilai WHC, analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin
Lampiran 28a Nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Lama Penyimpanan (Minggu) 1 2
0 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
3
Ulangan
Ulangan
1
2
Ratarata (%)
1
2
1
2
Ratarata (%)
1
2
Ratarata (%)
A
80,12
75,66
77,89
86,53
81,29
83,91
79,62
64,43
72,03
59,14
59,73
59,44
B
82,34
87,57
84,96
81,46
78,50
79,98
67,54
75,48
71,51
70,75
69,18
69,97
Ratarata (%)
A : Bakso kitosan 0 %; B : Bakso kitosan 0,1 %
Lampiran 28b Analisis ragam terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: WHC Source Corrected Model Intercept perlakuan penyimpanan perlakuan * penyimpanan Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 1000,560a 89901,027 43,231 824,055 133,275 190,028 91091,616 1190,589
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 142,937 89901,027 43,231 274,685 44,425 23,754
F 6,018 3784,745 1,820 11,564 1,870
Sig. ,011 ,000 ,214 ,003 ,213
a. R Squared = ,840 (Adjusted R Squared = ,701)
Lampiran 28c
Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin Multiple Comparisons
Dependent Variable: WHC Tukey HSD
(I) lama penyimpanan minggu 0
minggu 1
minggu 2
minggu 3
(J) lama penyimpanan minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 0 minggu 2 minggu 3 minggu 0 minggu 1 minggu 3 minggu 0 minggu 1 minggu 2
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
Mean Difference (I-J) -,5225 9,6550 16,7225* ,5225 10,1775 17,2450* -9,6550 -10,1775 7,0675 -16,7225* -17,2450* -7,0675
Std. Error 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627 3,44627
Sig. ,999 ,088 ,006 ,999 ,071 ,005 ,088 ,071 ,247 ,006 ,005 ,247
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -11,5587 10,5137 -1,3812 20,6912 5,6863 27,7587 -10,5137 11,5587 -,8587 21,2137 6,2088 28,2812 -20,6912 1,3812 -21,2137 ,8587 -3,9687 18,1037 -27,7587 -5,6863 -28,2812 -6,2088 -18,1037 3,9687
Lampiran 29
Nilai kekuatan gel, analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin
Lampiran 29a Nilai kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Lama Penyimpanan (Minggu) 1 2
0 Perlakuan
Ulangan
Ulangan
1
2
A
445,67
504,17
B
454,17
562,50
Ratarata (g.cm)
3
Ulangan
Ulangan
1
2
Ratarata (g.cm)
474,92
695,83
762,50
729,17
700,00
1133,33
916,67
562,50
516,67
539,58
508,33
983,33
641,67
812,50
804,17
820,67
812,42
683,33
670,83
677,08
1
2
Ratarata (g.cm)
1
2
Ratarata (g.cm)
A : Bakso kitosan 0 %; B : Bakso kitosan 0,1 %
Lampiran 29b Analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekuatan gel Source Corrected Model Intercept waktu perlakuan waktu * perlakuan Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 369305.956a 7482048.445 331473.166 5624.750 32208.040 163320.431 8014674.831 532626.387
df 7 1 3 1 3 8 16 15
Mean Square 52757.994 7482048.445 110491.055 5624.750 10736.013 20415.054
F 2.584 366.497 5.412 .276 .526
Sig. .103 .000 .025 .614 .677
a. R Squared = .693 (Adjusted R Squared = .425)
Lampiran 29c
Uji lanjut Multiple Comparison terhadap kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Multiple Comparisons
Dependent Variable: Kekuatan gel Tukey HSD
(I) Penyimpanan Minggu ke-0
Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
(J) Penyimpanan Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2
Mean Difference (I-J) -279.2050 -372.9158* -116.7058 279.2050 -93.7108 162.4992 372.9158* 93.7108 256.2100 116.7058 -162.4992 -256.2100
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Std. Error 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231 101.03231
Sig. .093 .025 .669 .093 .792 .426 .025 .792 .128 .669 .426 .128
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -602.7460 44.3360 -696.4568 -49.3748 -440.2468 206.8352 -44.3360 602.7460 -417.2518 229.8302 -161.0418 486.0402 49.3748 696.4568 -229.8302 417.2518 -67.3310 579.7510 -206.8352 440.2468 -486.0402 161.0418 -579.7510 67.3310
Lampiran 30
Nilai TPC, analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai TPC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin
Lampiran 30a Nilai TPC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Lama Penyimpanan (Minggu)
Perlakuan Bakso
0
1
2
3
Bakso A (koloni/g)
-
2,70x102
1,42x105
7,95x105
Bakso B (koloni/g)
-
2,80x102
1,76x103
2,62x105
Lampiran 30b Analisis ragam terhadap nilai TPC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TPC Source Corrected Model Intercept waktu perlakuan waktu * perlakuan Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 74.570a 150.175 70.892 1.343 2.335 .155 224.900 74.725
df 7 1 3 1 3 8 16 15
Mean Square 10.653 150.175 23.631 1.343 .778 .019
F 548.117 7726.926 1215.865 69.080 40.048
Sig. .000 .000 .000 .000 .000
a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)
Lampiran 30c
Uji Multiple Comparison terhadap nilai TPC bakso selama penyimpanan suhu dingin Multiple Comparisons
Dependent Variable: TPC Tukey HSD
(I) Penyimpanan Minggu ke-0
Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
(J) Penyimpanan Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Mean Difference (I-J) -2.4326* -4.1648* -5.6572* 2.4326* -1.7322* -3.2245* 4.1648* 1.7322* -1.4924* 5.6572* 3.2245* 1.4924*
Std. Error .09858 .09858 .09858 .09858 .09858 .09858 .09858 .09858 .09858 .09858 .09858 .09858
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2.7483 -2.1169 -4.4805 -3.8491 -5.9729 -5.3415 2.1169 2.7483 -2.0478 -1.4165 -3.5402 -2.9089 3.8491 4.4805 1.4165 2.0478 -1.8081 -1.1767 5.3415 5.9729 2.9089 3.5402 1.1767 1.8081
Lampiran 31 Nilai rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Kenampakan A B -2 -2 -1 -1 1 2 -2 -1 2 2 -1 -2 -2 -1 2 0 -3 -3 -3 -2 -3 -3 0 -1 3 3 -2 -1 -1 -2 0 0 -2 -1 -3 -3 -2 -2 -2 -2 -2 -2 3 2 -1 0 -2 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 1 1 -0,93 -0,87
Parameter Penilaian Aroma Rasa A B A B 1 1 1 0 -1 -1 1 1 1 2 2 2 1 2 -1 -1 3 3 -1 -1 1 2 -1 -1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 3 3 3 1 1 1 1 2 2 3 2 0 1 -1 -1 1 1 2 3 2 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 0 0 1 1 2 1 0 -1 -1 0 0 -2 -2 1 1 0 1 2 1 2 1 3 2 3 2 2 2 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 -1 2 1 1 1 2 1 2 2 2 2 2 3 2 3 1 1 2 -1 1,30 1,27 1,07 0,80
A : Bakso kitosan 0 %; B : Bakso kitosan 0,1 %
Tekstur A 1 1 0 -2 -1 -1 -1 2 3 -2 -2 -2 2 1 1 0 0 -1 -2 0 1 3 2 2 1 -2 -2 -1 0 -1 0,00
B 1 1 0 -2 -1 -2 -1 1 2 -1 -2 -1 1 2 -1 0 1 -1 -2 1 1 1 2 2 0 -1 -1 -1 0 -1 -0,07