DESKRIPSI MORFOLOGI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) DAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus spp.)

DESKRIPSI MORFOLOGI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) DAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus spp.)

RINALDA JOSI BATARA B04104142

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

DESKRIPSI MORFOLOGI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) DAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus spp.)

RINALDA JOSI BATARA B04104142

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

ABSTRAK RINALDA JOSI BATARA. Deskripsi morfologi cacing Nematoda pada saluran pencernaan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus spp.). Dibimbing oleh RISA TIURIA PRIOSOERYANTO dan ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, jumlah dan mutu kehidupan penduduk, maka kebutuhan makanan bergizi yang mengandung protein tinggi seperti ikan akan semakin meningkat. Untuk mencukupi kebutuhan protein hewani dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi ikan segar atau dalam bentuk olahan. Beberapa jenis ikan yang sering dikonsumsi adalah ikan gurami (Osphronemus gouramy) dan ikan kakap merah (Lutjanus spp.) dengan kualitas yang baik dan sehat. Kualitas dan nilai ekonomis ikan akan menurun apabila terinfeksi parasit dalam jumlah yang besar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi morfologi dan prevalensi infestasi cacing parasitik Nematoda pada ikan gurami dan ikan kakap merah. Penelitian ini menggunakan ikan gurami berjumlah 15 ekor yang diambil dari Desa Carangpulang dan 10 ekor ikan kakap merah yang dibeli dari pasar ikan daerah Muara Angke. Cacing parasitik Nematoda diisolasi dari saluran pencernaan ikan setelah dilakukan pembedahan. Hasil identifikasi menunjukan bahwa pada ikan gurami terdapat infestasi parasit Nematoda dari ordo Spirurida dan pada ikan kakap merah dari ordo Ascaridida. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa terdapat keragaman spesies parasit pada dua jenis ikan. Parasit yang menyerang ikan gurami terdiri dari genus Camallanus dan Procamallanus dan yang menyerang ikan kakap merah berasal dari genus Anisakis yang dapat bersifat zoonosis. Kata kunci: Ikan Gurami, Ikan Kakap Merah, Nematoda

DESKRIPSI MORFOLOGI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) DAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus spp.)

RINALDA JOSI BATARA B04104142

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

LEMBAR PENGESAHAN Judul

: Deskripsi Morfologi Cacing Nematoda Pada Saluran Pencernaan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus spp.)

Nama Mahasiswa

: Rinalda Josi Batara

Nomor Pokok

: B04104142

Program Studi

: Kedokteran Hewan

Disetujui Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. drh. Risa Tiuria Priosoeryanto, MS

Adhi Rachmat S Hariyadi, BSc, MS

NIP.131 690 352

Diketahui Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP.131 669 942

Tanggal lulus :

PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih, anugerah, perlindungan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Deskripsi morfologi cacing Nematoda pada saluran pencernaan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus spp.)”. Penulis juga mengucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada: ♦ Dr. drh. Risa Tiuria, MS selaku pembimbing pertama yang telah sabar membimbing, memberikan banyak nasehat dan kritikan dalam penulisan ini. ♦ Adhi Rachmat Hariyadi, BSc, Msi selaku pembimbing kedua yang telah sabar dalam

membimbing, mengarahkan dan memberikan nasehat

dalam

penulisan. ♦ Dr. drh. Sri Utami Handajani, MS selaku dosen penilai atas saran yang diberikan kepada penulis. ♦ Drh.Yusuf Ridwan Msi selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran kepada penulis. ♦ Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi selaku dosen pembimbing akademik. ♦ Papa dan Mama, Kakak - kakakku Lia, Lius, Tin, Laurens dan Anto atas segala doa, kasih sayang, perhatian dan dukungan yang diberikan kepada penulis tiada hentinya serta ponakanku Rara dan Kara. ♦ Pemerintah Daerah Kab. Tana Toraja yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis. ♦ Teman-teman seperjuangan penelitian Nope, Sio, Vonti, Uya, Asri, Linong, Arie, Arios, Ivan, Debi, Reni, Dwi, dan Ronal atas kerjasama dan kekompakannya selama ini. ♦

Pak Eman, Ibu Irawati dan staf helmintologi yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan seminar penulis.

♦ Sahabat-sahabatku Ai, Nope, Herlina,Vonti, Shio, Asri, Rita, Uya dan Linong yang mengajarkan banyak hal dan telah berbagi kebahagiaan, perhatian, dukungan dan bantuannya selama ini.

♦ Keluargaku di Bogor : Yohana Pengemanan, Ike, Om Jim, Mama Vera, Om Yopi, Om Ipo, Om Herlan, Mantong, Slamet, Rama, Lala dan Raden atas segala bantuan dan dukungannya, ♦ Teman-teman di Pondok Agathis : Ni2ng, Dian, Manda, Pa’Uki sekeluarga, Apit, Brian, Frenko, Opep, Angga, B’ Alex dan Ibu atas segala yang diberikan. ♦ Teman-teman IPTOR (Ni2ng, Anni, Dian, Manda, K’Asman, K’Evi, Tian, Eva, Obed, Mastil, Sri, Fani, Amer dan SB crew) atas segala kebersamaan dan kepeduliannya. ♦ Keluarga besar KOPELKHU, Khukers 41 dan PF FKH atas kebersamaan dan kerjasamanya. ♦ Pdt. Nugroho dan K’ Lady atas segala dukungan dan doa kepada penulis. ♦ Asteroidea 41 atas segala kebersamaan dan kenangannya. ♦ My Kekok yang selalu setia membantu dan menemani dalam penulisan ini. ♦ Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut membantu penulisan ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Tuhan Memberkati.

Bogor, Agustus 2008 Rinalda Josi Batara

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makale Tana Toraja pada tanggal 23 Juli 1986 dari Bapak Simon Batara dan Ibu Yohana Pidun. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara (Natalia J Batara, Istianty J Batara dan Kurniawanto J Batara). Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN Kandora No147 pada tahun 1998, pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SLTP Negeri I Makale dan selesai pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan ke SMU Negeri I Makale dan selesai pada tahun 2004. Pada bulan Agustus 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah dari Kabupaten Tana Toraja dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis mengikuti berbagai kegiatan dan aktif dalam organisasi. Organisasi yang pernah diikuti oleh penulis antara lain adalah Komisi Pelayanan Khusus Persatuan Mahasiswa Kristen PMK IPB, Ikatan Pemuda Toraja Bogor, anggota Himpunan Minat Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik , anggota Himpunan Minat Profesi Satwa Liar dan Divisi Humas Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB Tahun 2005-2006.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ............................................................................... 3 Manfaat Penelitian ............................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Gurami ...................................................................................... 4 Ikan Kakap Merah ............................................................................. 10 Cacing Parasitik Nematoda ............................................................... 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 20 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................. 20 Pengambilan Sampel ........................................................................ 20 Teknik Pewarnaan Semi Permanen.................................................... 21 Pengamatan dan Pengukuran ........................................................... 21 Identifikasi Parasit ............................................................................. 21 Analisis Data ..................................................................................... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Cacing Parasitik Nematoda ............................................. 23 Jenis Parasit Pada Ikan Gurami dan Ikan Kakap Merah.................... 24 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ....................................................................................... 37 Saran ................................................................................................ 37 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 38

DAFTAR TABEL No

Halaman

1 Deskripsi cacing parasitik Nematoda pada Ikan Gurami dan Ikan Kakap Merah ........................................................................................................ 22 2 Daftar Ikan Gurami yang terinfeksi cacing parasitik.................................... 25 3 Hasil pengukuran struktur badan cacing Nematoda pada Ikan Gurami...... 25 4 Kondisi untuk membunuh atau inaktivasi Nematoda pada ikan.................. 35

DAFTAR GAMBAR No

Halaman

1 Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) ..................................................... 5 2 Alat pernapasan tambahan / labirin Ikan Gurami ..................................... 7 3 Ikan Kakap Merah (Lutjanus spp.) ........................................................... 12 4 Etelis carbunculus dari sub famili Etelinae ............................................... 12 5 Apsilus dentatus dari sub famili Apsilinae ................................................ 13 6 Symphorus nematophorus dari sub famili Paradichthyinae ...................... 13 7 Potongan melintang dari Nematoda betina (Ascaris) ............................... 16 8 Struktur morfologi umum Nematoda jantan .............................................. 17 9 Siklus hidup Nematoda ............................................................................ 19 10 Struktur Camallanus maculatus jantan bagian anterior ............................ 26 11 Camallanus sp. hasil penelitian ............................................................... 27 12 Camallanus sp. hasil penelitian ............................................................... 28 13 Struktur Procamallanus laevionchus ........................................................ 30 14 Struktur Procamallanus sp. hasil penelitian .............................................. 31 15 Struktur Anisakis sp. stadium larva 2 dan stadium larva 3........................ 32 16 Struktur Anisakis sp. dari penelitian ......................................................... 33

PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk di Indonesia dan negara-negara maju dalam 50 tahun terakhir sangat pesat. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah kebutuhan, termasuk kebutuhan pangan. Kebutuhan bahan pangan sumber protein hewani seperti ikan juga ikut meningkat. Laju peningkatan kebutuhan ikan juga dipacu oleh peningkatan tingkat hidup dan pengetahuan tentang keunggulan ikan dibandingkan dengan bahan pangan lain. Dipandang dari aspek kesehatan, kebutuhan minimal rakyat Indonesia terhadap ikan lebih dari 20 kg / jiwa / tahun (Jangkaru 2002). Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, jumlah dan mutu kehidupan penduduk, maka kebutuhan makanan bergizi yang mengandung protein tinggi seperti ikan akan semakin meningkat. Untuk mencukupi kebutuhan protein hewani tiap hari, dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi ikan segar maupun olahan. Ikan sebagai bahan pangan mempunyai nilai gizi tinggi dengan kandungan mineral, vitamin, lemak tak jenuh dan protein yang tersusun dalam asam amino essensial yang sangat diperlukan tubuh. Ikan sebagai sumber protein tinggi pada umumnya mengandung 16-33% protein. Ikan yang dikonsumsi baik ikan segar maupun dalam bentuk olahan perlu didukung dengan kualitas yang baik dan sehat (Lubis 1987). Usaha perikanan budidaya di Indonesia khususnya budidaya ikan konsumsi telah berkembang dan dilakukan secara intensif. Salah satu ikan yang dapat dibudidayakan adalah ikan gurami karena merupakan komoditas perikanan yang digemari oleh masyarakat karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Ikan gurami memiliki daging yang lezat, gurih dan kandungan air rendah. Ikan gurami adaptif terhadap perubahan lingkungan termasuk suhu, pH dan oksigen terlarut (Anonimous 2003). Ikan gurami adalah ikan kultur (budidaya) air tawar yang dapat berkembang biak secara alami, bersifat omnivora dan hidup di perairan yang tenang dan tergenang (Sitanggang & Sarwono 2002). Ikan gurami memiliki harga yang relatif murah dan mudah diperoleh sehingga di konsumsi oleh masyarakat dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat ekonomi lemah sampai masyarakat ekonomi kuat.

Lain halnya dengan ikan kakap merah yang merupakan ikan perairan laut. Ikan kakap merah memiliki harga yang relatif mahal, sukar diperoleh dan lebih cenderung di konsumsi dari kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Ikan kakap merah merupakan salah satu jenis ikan perairan karang yang bernilai ekonomis tinggi dan memiliki nilai gizi yang lengkap (Deptan 1998). Ikan kakap merah adalah salah satu jenis ikan yang dikonsumsi mentah seperti Sashimi dan sushi tanpa proses pemasakan. Kualitas dan nilai ekonomis ikan akan menurun apabila ikan terserang penyakit yang timbul karena tidak ada interaksi yang sesuai antara kondisi lingkungan, inang definitif dan agen. Akibat yang dapat ditimbulkan adalah gangguan fungsi dan struktur tubuh ikan serta menyebabkan masalah kesehatan terhadap konsumen yang mengkonsumsi. Parasit adalah mikroorganisme yang hidup di dalam organisme lain yang dikenal sebagai inang definitif. Beberapa parasit merugikan inang definitif dan dapat membahayakan jika jumlahnya cukup banyak yang menginfeksi. Infeksi parasit dapat mendatangkan kerugian kepada inang definitif seperti menghambat pertumbuhan inang definitif karena adanya persaingan makanan antara parasit dan inang definitif yang mengakibatkan penurunan produksi, menyebabkan terjadinya alergi, memproduksi bermacam-macam substansi beracun dan menurunkan ketahanan induk semang terhadap penyakit-penyakit lain (Levine 1990). Infestasi parasit dalam ikan yang menyebabkan kerugian dapat dikurangi dengan penggunaan obat anti cacing (anthelmintik). Beberapa obat anthelmintik hanya efektif terhadap jenis cacing tertentu sehingga diperlukan diagnosis yang tepat yaitu dengan mengidentifikasi jenis cacing yang menginfeksi (Sukarban 1995). Identifikasi cacing dibutuhkan untuk memberikan informasi parasit pada ikan yang dapat menularkan penyakit kepada manusia yang mengkonsumsi ikan, pengaruh parasit terhadap tubuh ikan dan derajat infeksi parasit yang ditemukan pada ikan. Salah satu jenis parasit yang sering menginfeksi ikan adalah cacing dari kelas Nematoda. Nematoda merupakan anggota dari filum Nemathelmintes yang hidup di dalam segala jenis habitat mulai dari air tawar, air asin, tanah sampai tanaman dan hewan (Levine 1990).

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi morfologi dari infestasi cacing Nematoda pada saluran pencernaan Ikan gurami (Osphronemus gouramy) dan Ikan kakap merah (Lutjanus spp.). Manfaat Penelitian Mengetahui jenis parasit yang zoonotik dan non-zoonotik pada ikan gurami (Osphronemus gouramy) dan ikan kakap merah (Lutjanus spp.).

TINJAUAN PUSTAKA Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Asal dan Penyebaran Ikan Gurami seperti terlihat pada gambar 1 merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk badan pipih lebar, bagian punggung berwarna merah kecokelatan dan bagian perut berwarna kekuning-kuningan /keperak-perakan. Ikan gurami berasal dari Kepulauan Sunda Besar (Jawa Barat) dan menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa, Sumatera, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Cina, India dan Australia (Sitanggang & Sarwono 2002). Di setiap daerah ikan gurami dikenal dengan nama tersendiri seperti di Jawa disebut Gurami, Gurameh, Grameh dan Brami. Di Sumatra disebut ikan Kalua, Kala, Kalui sedangkan di Kalimantan disebut Kalui, Kali dan Sialui. Di Inggris disebut “Giant Gouramy”, karena ukurannya yang besar sampai mencapai berat 5 kg (Muda 2008). Klasifikasi Menurut Saanin (1984), ikan gurami dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Pisces, Sub Kelas: Teleostei, Ordo: Labyrinthici, Sub Ordo: Anabantoidei, Famili: Anabantidae, Genus: Osphronemus dan Spesies: Osphronemus guoramy. Morfologi Ikan gurami adalah ikan budidaya yang mendiami perairan rawa yang tenang dan tergenang. Di perairan berarus deras jarang di temukan ikan gurami dan lebih menyukai tempat yang tidak banyak mengalami pergantian air. Ikan gurami dapat hidup di sungai, rawa, telaga dan kolam air tawar. Ikan gurami memiliki badan pipih ke samping (compressed), panjang dan tertutup sisik yang kuat dengan tepi agak kasar. Sisik-sisiknya berukuran relatif besar dengan tipe ctenoid serta mempunyai bentuk mulut yang kecil dan letaknya miring tidak tepat berada di ujung moncong. Bibir bawah terlihat lebih menonjol dibandingkan bibir atas dengan kedua rahang (atas dan bawah) tidak rata. Pada rahang ini ditemukan gigi-gigi kecil berbentuk kerucut dengan deretan gigi sebelah luar berukuran lebih besar (Susanto 1989).

Bentuk ikan gurami dewasa berbeda dengan ikan gurami yang masih muda. Perbedaan terlihat dari ukuran tubuh, warna, bentuk kepala dan dahi. Ikan gurami yang sudah dewasa memiliki lebar badan hampir dua kali panjang kepala atau tiga perempat kali panjang tubuh. Bentuk kepala tumpul, dahi agak menonjol dan punggung yang tinggi. Di atas punggung terdapat sirip punggung yang keras dan tajam dengan panjang sirip punggung dan sirip dubur dapat mencapai pangkal ekor dengan sirip ekor yang berbentuk bulat (Gambar 1). Ikan gurami muda memiliki bentuk kepala yang lancip ke depan, berdahi normal dan rata. Pada sirip dubur terdapat bintik gelap yang dilingkari warna kuning atau keperakan dan juga pada sirip dada terdapat bintik hitam. Pada bagian perut terdapat sirip perut dimana jarijari sirip perut akan mengalami perubahan menjadi benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba setelah ikan gurami dewasa (Sitanggang & Sarwono 2002).

Sisik Ctenoid

Sirip Punggung

Dahi Menonjol Batang Ekor

Sirip Ekor

Sirip Dada

Sirip Anal

Gambar 1 Ikan gurami (Osphronemus gouramy) (Anonimous 2005) Badan ikan gurami pada umumnya berwarna biru kehitaman dan bagian perut berwarna putih. Warna tersebut akan berubah menjelang dewasa, yaitu pada bagian punggung berwarna kecokelatan dan bagian perut berwarna keperakan atau kekuningan. Pada badan gurami muda terdapat garis tegak berwarna hitam berjumlah 7-8 buah dan garis-garis ini akan hilang pada saat gurami dewasa (Jangkaru 2002).

Pada

masa

awal

pertumbuhan,

ikan

gurami

jantan

lebih

lambat

pertumbuhannya. Pertumbuhan ikan gurami jantan cenderung memanjang dan melebar sehingga bentuk tubuhnya tampak lebih pipih dibandingkan dengan gurami betina yang tumbuh menebal sehingga kelihatan lebih gemuk. Perbedaan antara gurami jantan dan gurami betina terlihat dari dahi yang menonjol serta dasar sirip dada terang keputihan. Selain itu, jika diletakkan pada tempat yang datar ekor akan kelihatan naik ke atas dan bila ditekan perlahan pada alat kelamin akan mengeluarkan cairan sperma berwarna putih. Pada ikan gurami betina terlihat dengan dahi yang lebih rata, dasar sirip dada gelap kehitaman, jika diletakkan pada tempat datar ekornya digerak-gerakkan dan bila alat kelamin perlahan ditekan tidak mengeluarkan cairan (Puspowardoyo & Djarijah 1992). Makanan Ikan gurami tergolong ikan omnivora yang biasa memakan fitoplankton, zooplankton dan benthos. Fitoplankton adalah sejenis tumbuhan kecil yang hidup melayang-layang di perairan, merupakan pakan alami ikan dan hewan lainnya di dalam air serta dapat meningkatkan kadar oksigen pada siang hari. Zooplankton adalah hewan kecil yang melayang-layang di perairan, merupakan pakan alam ikan dan dapat menjadi parasit ikan. Hewan kecil yang hidup di dasar kolam disebut benthos (Sitanggang & Sarwono 2002). Selain itu, ikan gurami juga memakan larva insekta, telur semut, rayap, krustacea dan sering diberi pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti daun keladi, ketela pohon, pepaya, ketimun dan kangkung. Kebiasaan ikan gurami hanya memakan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan menyebabkan pertumbuhan ikan gurami menjadi lambat (Susanto 1989). Pertumbuhan ikan gurami sangat lambat dibandingkan jenis ikan budidaya lain seperti Ikan Mas, Ikan Lele dan Ikan Nila. Pertumbuhan ikan gurami sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan (galur), kesehatan, pakan, umur dan lingkungan. Untuk mendapatkan ikan gurami ukuran berat 1 kg/ekor dari benih 1 cm membutuhkan waktu sekitar 4-5 tahun di kolam pekarangan dengan pemeliharaan tradisional. Pertumbuhan ikan gurami per hari-rata-rata hanya mencapai 2 gram (Sitanggang & Sarwono 2002).

Alat Pernapasan Ikan gurami termasuk golongan labirintis, yaitu ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan berupa labirin (insang tambahan) berbentuk lipatan-lipatan epitelium yang terletak pada suatu rongga di belakang atau di atas insang seperti terlihat pada gambar 2. Alat tambahan ini merupakan turunan dari lembar insang yang pertama. Dengan adanya alat pernafasan tambahan ini, ikan gurami mampu hidup diperairan yang kadar oksigen terlarut rendah dengan permukaan perairan terdapat udara bebas. Ikan gurami sering menyembulkan mulutnya di permukaan air untuk mengambil oksigen dari udara bebas kemudian oksigen yang terisap akan diikat oleh labirin. Labirin memiliki pembuluh darah kapiler yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara. Udara ditampung di rongga labirin saat akan muncul di permukaan air (Sitanggang & Sarwono 2002).

Gambar 2 Alat pernapasan tambahan / labirin Ikan gurami (Osphronemus gouramy) Sumber ( Anonimousb 2008) Galur Gurami Berdasarkan varietas atau strain atas daya produksi telur, kecepatan tumbuh dan ukuran /bobot maksimal ikan gurami dewasa dikenal ikan gurami angsa atau soang, gurami jepun atau japonica, gurami blausafir, gurami paris, gurami bastar dan gurami porselen. Berdasarkan warna terdapat gurami hitam, gurami albino dan gurami belang (Prihartono 2004). a. Gurami Angsa atau Soang (geese gouramy) Tubuh berwarna putih abu-abu dan bersisik besar dengan ukuran tubuh lebih besar dan panjang dibanding jenis lain. Panjang tubuh maksimal 65 cm dengan

bobot badan 8-12 kg per ekor bila dipelihara dengan baik, karena pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya pesat. b. Gurami Jepun (japonica gouramy) Tubuh berwarna putih abu-abu atau kemerah-merahan dengan bentuk lebih agak pendek dan sisik yang tidak terlalu besar. Ikan gurami jepun mencapai panjang maksimal ikan dewasa 45 cm dan berat maksimal 3,5 kg. c. Gurami Blausafir Tubuh berwarna merah muda cerah dengan ukuran relatif besar yang memiliki panjang mencapai 35 cm dan berat 4 kg. Jenis blausafir mampu menghasilkan telur yang banyak dengan jumlah mencapai 5000 butir per induk. d. Gurami Paris Tubuh berwarna merah muda cerah dengan sisik agak halus, kepala putih dan terdapat bintik-bintik hitam. Ukuran tubuh gurami paris lebih kecil dibanding yang lain dengan bobot badan 1,5 kg dan menghasilkan telur lebih banyak sekitar 5000-7000 butir per induk. e. Gurami Bastar Tubuh berwarna agak kehitaman, kepala putih polos, bersisik besar dengan pertumbuhan lebih cepat dari varietas lainnya. Kemampuan menghasilkan telur lebih kecil, hanya mampu menghasilkan 2000-3000 butir per induk. Gurami bastar lebih dikenal sebagai gurami pedaging. f.

Gurami Porselen

Tubuh berwarna keperakan dan merah muda cerah dengan ukuran kepala relatif kecil. Gurami porselen mempunyai kemampuan menghasilkan telur yang banyak sehingga baik untuk kegiatan pembenihan. Telur yang dihasilkan dapat mencapai 10000 butir per ekor dengan bobot badan 1,5 -2 kg. Perkembangbiakan Ikan gurami memijah membutuhkan waktu yang relatif lama untuk melakukan pemijahan kurang lebih tiga hari. Induk betina yang telah dewasa kelamin terlihat dengan bagian perut belakang sirip dada lebih mengembung, susunan sisik agak membuka dan gerakan lebih lamban. Pada induk jantan pematangan gonad terlihat dengan bagian perut lebih meruncing, susunan sisik normal dan gerakan lebih lincah serta agresif. Induk gurami jantan akan memilih daerah untuk membuat sarang

kemudian menggiring induk betina untuk mengeluarkan telur-telur ke sarang yang telah dibuat. Induk jantan akan segera mengeluarkan spermanya dan membuahi telur-telur dari induk betina (Sendjaja & Riski 2002). Kondisi Habitat Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi genetik, jenis kelamin, spesies ikan, ketahanan tubuh terhadap penyakit dan kemampuan mencerna makanan. Faktor eksternal meliputi suhu, kandungan zat-zat terlarut dalam perairan dan ketersediaan serta kualitas air. Pertumbuhan ikan gurami tumbuh pada kondisi lingkungan optimal yang dipengaruhi oleh :
Ketinggian tempat Perairan yang paling optimal untuk pertumbuhan gurami terletak pada ketinggian 50-400 meter di atas permukaan laut. Ikan gurami mampu hidup di dataran rendah dekat pantai sebaliknya lokasi yang berketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut akan menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat (Sitanggang & Sarwono 2002).
Suhu Menurut Prihartono (2004) ikan gurami tumbuh baik pada kondisi suhu 250-280C. Perubahan suhu yang mencolok akan mempengaruhi kandungan oksigen dalam air dan berpengaruh terhadap laju metabolisme. Suhu yang terlalu rendah menyebabkan bakteri tertentu akan lebih mudah berkembang biak. Perubahan suhu yang cukup tinggi pada siang hari dan rendah pada malam hari kurang baik untuk gurami. Daerah dengan suhu yang sering berubah-ubah dapat menyebabkan ikan gurami menjadi stres dan berakibat mudah terserang penyakit.
Kandungan oksigen terlarut Oksigen sangat penting bagi pernapasan dan merupakan komponen utama bagi metabolisme yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan. Kandungan oksigen terlarut sebesar 7,8 ppm merupakan kandungan ideal untuk pertumbuhan gurami (Prihartono 2004). Menurut Boyd (1982) laju konsumsi oksigen oleh ikan tergantung dari jenis, ukuran ikan, suhu dan kualitas pakan. Ketersediaan oksigen di perairan sangat diperlukan, sebab kekurangan oksigen

akan mengakibatkan stress, anoreksia, hypoxia pada jaringan, mudah diserang penyakit dan parasit.
Nilai pH Derajat keasaman menunjukkan kondisi asam atau basa suatu perairan yang berpengaruh terhadap unsur-unsur mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan. Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, dimana dengan meningkatnya suhu maka pH semakin menurun. Kondisi pH perairan yang ideal untuk pertumbuhan gurami berkisar

antara

6-8.

Penurunan

pH

secara

terus-menerus

menyebabkan

pengeluaran lendir yang berlebihan dan iritasi kulit sehingga ikan lebih mudah terserang penyakit (Prihartono 2004).
Osmoregulasi Ikan gurami memiliki konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi lingkungannya, sehingga air bergerak masuk ke dalam tubuh dan ionion ke luar ke lingkungan dengan cara difusi. Untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh, ikan gurami minum sedikit atau bahkan tidak minum sama sekali. Untuk mengurangi kelebihan air dalam tubuh, ikan gurami memproduksi sejumlah besar urin meskipun ginjal mengabsorbsi kembali beberapa garam dari urinnya untuk tetap mempertahankan sejumlah ion-ion dalam tubuh (Eujaya 2004). Ikan Kakap Merah (Lutjanus spp.) Asal dan Penyebaran Ikan kakap termasuk golongan ikan demersal (dasar) yang dapat hidup pada daerah perairan dangkal sampai laut dalam (Sunyoto & Mustahal 2002). Ikan kakap merah cukup banyak terdapat di perairan pantai seluruh Indonesia dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Ikan kakap dapat dipasarkan dalam keadaan hidup dan keadaan mati atau olahan berupa fillet (Deptan 1998). Daerah penyebaran ikan kakap merah adalah sekitar pantai seluruh indonesia, meluas ke utara sampai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, ke selatan sampai perairan tropis Australia (Gunarso 1995). Di setiap daerah, ikan kakap merah dikenal dengan nama tersendiri seperti di Jawa disebut Kellet, Darongan, Bambangan dan di Madura disebut Posepa. Di Bangka ikan kakap merah disebut Bran atau Bambang sedangkan di Sulawesi

disebut Bacan, Delise, Langgaria, Lolise serta di Maluku disebut Delis, Sengaru, Rae dan Popika. Di pasaran internasional ikan kakap merah disebut red snappers (Sunyoto & Mustahal 2002). Klasifikasi Menurut Saanin (1984), ikan kakap merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Pisces, Sub Kelas: Teleostei, Ordo: Percomorphi, Sub Ordo: Percoidea, Famili: Lutjanidae, Genus: Lutjanus dan Spesies: Lutjanus spp. Morfologi Jenis ikan kakap merah baik punggung dan sisi tubuhnya berwarna merah terang atau merah jingga seperti terlihat pada gambar 3. Warna akan semakin menipis atau memudar ke arah bagian bawah tubuhnya dengan sirip-sirip yang semua berwarna kemerahan. Bagian kepala, mulai dari rahang atas hingga letak bagian awal sirip punggungnya dijumpai noktah besar yang letaknya miring dan berwarna cokelat tua ataupun hitam. Pada batang tulang ekor ikan kakap merah terdapat ban (baris) hitam besar yang diapit oleh dua ban lain berwarna putih mutiara (Gunarso 1985). Bentuk badan ikan kakap merah agak pipih, memanjang dengan sirip di bagian punggung berjari-jari keras 9-12 dan berjari-jari lemah 9-17. Terdapat sirip di bagian perut dan sirip dubur yang berjari-jari keras 3 dan berjari-jari lemah 7-14. Ikan kakap merah memiliki mulut lebar, sedikit serong, terletak di bagian ujung kepala serta terdapat beberapa gigi taring untuk menyergap dan mengoyak mangsa. Bagian depan dari kepala ikan kakap merah tidak bersisik dan hanya terdapat beberapa baris sisik pada bagian depan tutup insang dengan bentuk sisik ctenoid (Sumiono & Rahmat 2003). Ikan kakap merah mempunyai bagian bawah prapenutup insang berduri kuat dan bagian atas penutup insang terdapat cuping bergerigi (Ditjen Perikanan 1990). Makanan Ikan kakap merah termasuk golongan karnivora yang biasa memakan ikan kembung, cumi-cumi dan ikan-ikan berukuran lebih kecil. Cara makan ikan kakap merah dengan menyergap mangsa dari balik karang tempat persembunyiannya

(Anonimous 2007). Menurut Gunarso (1995) makanan dari ikan kakap merah adalah jenis kepiting, udang dan jenis-jenis krustacea.

Gambar 3 Ikan kakap merah (Lutjanus spp.) (Anonimous 2007) Galur Ikan Kakap Merah Menurut Pardjoko (2001), Famili Lutjanidae ini terdiri dari empat sub-famili yang masing-masing adalah : Sub famili Etelinae ini terdiri dari lima genus masing-masing adalah Aphareus, Aprion, Etelis seperti terlihat pada gambar 4, Pristipomoides dan Randallichtyes. Bentuk fisik umumnya berlekuk seperti bulan hingga jenis yang berlekuk cukup dalam dengan sirip punggung maupun sirip duburnya memanjang dan meruncing pada bagian ujung akhir.

Gambar 4 Etelis carbunculus dari sub famili Etelinae (Anonimousa 2001) Sub famili Apsilinae terdiri dari empat genus masing-masing adalah Apsilus seperti terlihat pada gambar 5, Lipocheilus, Paracaecio dan Parapristipomoides. Memiliki bentuk tubuh bervariasi, ada yang tampak memanjang dan ada yang bertubuh tinggi memipih. Sirip ekor bervariasi mulai dari berlekuk seperti bulan sabit

hingga jenis yang memiliki lekuk sirip ekor jauh menjorok ke dalam. Bagian dasar sirip punggung dan sirip duburnya tidak bersisik dengan bagian akhir sirip punggung dan sirip duburnya tidak bermodifikasi menjadi panjang dan runcing.

Gambar 5 Apsilus dentatus dari sub famili Apsilinae (Anonimousb 2001) Sub famili Paradichthyinae terdiri dari genus Symphorus seperti terlihat pada gambar 6 dan Symphoriehthys. Memiliki tubuh yang tinggi memipih dengan sirip ekor bervariasi mulai dari yang berlekuk ringan (emarginated) hingga yang jenis sirip ekor bercabang. Dasar sirip punggung dan sirip duburnya bersisik dan rahang bagian depan pada mulut tidak bergigi halus.

Gambar 6 Symphorus nematophorus dari sub famili Paradichthyinae (Anonimous 2002) Sub-famili Lutjaninae tediri dari enam genus yang sifatnya monotipe, masingmasing adalah Lutjanus, Hoplopagrus, Macolor, Ocyurus, Pinjalo dan Rhomboplites. Salah satu diantaranya dari genus Lutjanus yang terdiri dari 65 spesies dan memiliki bentuk tubuh yang beragam. Terdapat beberapa jenis bertubuh langsing memanjang hingga berbentuk tubuh tinggi memipih dengan bentuk sirip ekor bervariasi mulai dari berujung sirip ekor rata hingga berlekuk dalam. Dasar sirip punggung dan sirip dubur terbungkus sisik serta pada mulut terdapat gigi-gigi halus untuk menahan mangsa agar tidak terlepas. Beberapa spesies dari genus Lutjanus adalah Lutjanus

malabaricus, Lutjanus argentimaculatus, Lutjanus bohar, Lutjanus gibbus, Lutjanus kasmira, Lutjanus monostigma dan Lutjanus rivulatus yang banyak ditemukan di perairan Indonesia. Perkembangbiakan Ikan kakap merah dapat mengalami perubahan kelamin dari fase betina ke fase jantan yang biasa disebut “hermaprodit protoginynous”. Ikan kakap merah memulai siklus reproduksinya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan, dimana jaringan ovarium mengkerut dan jaringan testis mulai berkembang. Daur hidup kakap merah dari telur menetas menjadi larva, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi juvenil yang hermaprodit, gelondongan, ikan muda yang berada pada masa transisi (intersex) dan ikan dewasa (Mahyunar & Genisan 2002, Nature 2003, Wahyuningsih & Barus 2006). Kondisi Habitat Pertumbuhan ikan kakap merah tumbuh pada kondisi lingkungan optimal yang dipengaruhi oleh :
Osmoregulasi Tekanan osmosis air laut lebih tinggi daripada cairan tubuh, sehingga secara alami air akan mengalir dari dalam tubuh ikan kakap merah ke lingkungan secara osmosis melewati ginjal, insang dan kulit. Sebaliknya, garam-garam akan masuk ke dalam tubuh melalui proses difusi dan untuk mempertahankan konsentrasi garam dan air dalam tubuh, ikan kakap merah memperbanyak minum air laut. Akibat dari memperbanyak minum air laut maka kehilangan air dalam tubuh ikan dapat diganti, bersamaan dengan itu sejumlah besar garam akan ikut masuk ke dalam tubuh dan garam tersebut harus segera dikeluarkan kembali (Eujaya 2004) .
Air laut Ikan kakap merah hidup pada kondisi air laut dengan kadar salinitas 27 - 32 ppt, kadar pH 8 - 8,5 dengan temperatur 270C - 300C dan kadar oksigen terlarut 5 - 8 ppm. Kondisi perairan yang bersih, jernih serta bebas dari buangan sampah pertanian dan industri akan meningkatkan pertumbuhan ikan di perairan tersebut. Ikan kakap merah merupakan ikan yang hidup berkelompok, menyukai perairan

yang terlindung dari gelombang/ arus kuat dan lingkungan perairan yang berkarang (Mayunar & Genisan 2002). Cacing Parasitik Nematoda Nematoda merupakan anggota dari filum Nemathelmintes yang mempunyai saluran pencernaan yang lengkap dan rongga badan. Rongga badan dilapisi dengan selaput seluler yang disebut pseudosel atau pseudoseloma. Nematoda sering disebut cacing ‘gilig’. Morfologi Nematoda adalah cacing yang hidup bebas di air dan tanah serta sejumlah besar spesies yang hidup sebagai parasit pada hewan dan tumbuhan. Nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang (gambar 7) dan tidak bersegmen. Memiliki morfologi berbentuk silindris, memanjang dan meruncing pada kedua ujungnya seperti terlihat pada gambar 8. Nematoda ditutupi dengan kutikula yang hanya terlihat secara mikroskopis dan memiliki struktur yang bervariasi pada tiap spesies. Kutikula pada nematoda relatif tebal dan menyelubungi permukaan luar serta melapisi rongga bukal, esofagus, vagina, lubang ekskretori, kloaka dan rektum. Kutikula berfungsi untuk pengambilan oksigen, sebagai selubung pelindung yang lentur dan kenyal serta resisten terhadap enzim pencernaan inang terutama untuk cacing dewasa. Kutikula terdiri dari sejumlah lapisan dan sedikitnya lima protein yang berbeda. Terdapat tiga lapisan dibawah kutikula yaitu lapisan korteks di permukaan, lapisan matriks di tengah dan lapisan basal (Cheng 1974). Kutikula dapat membentuk struktur khusus seperti kait, melebar ke lateral berbentuk pipih yang disebut alae dan pelebaran ke posterior disebut bursa kopulatrik. Dibawah lapisan basal terdapat hipodermis yang berfungsi mengatur permeabilitas dinding tubuh cacing dan bersama dengan kutikula sebagai alat lokomosi. Lapisan setelah hipodermis terdapat lapisan otot berbentuk kumparan yang terletak di sepanjang dinding tubuh cacing dan membantu dalam melakukan gerakan. Terdapat otot khusus yang melekat pada esofagus dan alat kopulasi seperti otot spikuler yang berguna mengeluarkan spikulum pada cacing jantan. (Levine1990).

Gambar 7 Potongan melintang dari Nematoda betina (Ascaris) (Anonimousa 2008) Sistem Pencernaan Saluran pencernaan nematoda berupa tabung lurus panjang, terdiri dari selsel yang tersusun dalam lapisan tunggal. Terdapat sebuah mulut pada ujung anterior nematoda dengan posisi subdorsal atau subventral yang dikelilingi oleh bibir. Bentuk bibir pada tiap spesies nematoda beragam, dengan jumlah bibir primitif ada 6 yang masing-masing terletak dua subdorsal, dua subventral dan dua lateral. Pada beberapa nematoda terjadi fusi sehingga ada yang hanya memiliki 2 bibir, tanpa bibir dan 3 buah bibir yang letaknya 1 buah di dorsal dan dua buah di latero-ventral. Pada nematoda lain, bibir diganti oleh papila yang membentuk korona radiata atau mahkota daun (Cheng 1973). Setelah lubang mulut pada ujung anterior, menuju ke rongga bukal atau stroma yang tidak selalu ada pada tiap species nematoda kemudian ke esofagus yang selanjutnya ke usus (Levine 1990). Menurut Soulsby (1982), terdapat 2 tipe esofagus yaitu esofagus rhabditiform yang mempunyai bagian anterior berbentuk batang yang dihubungkan dengan leher sempit dengan pentolan posterior berbentuk buah pir dan esofagus filariform yang berbentuk silindris tetapi tidak mempunyai pentolan posterior. Pentolan posterior adalah suatu bagian yang terdapat di bagian posterior esofagus yang terlihat membesar seperti gada.

Usus nematoda berbentuk suatu tabung sederhana dengan dinding nonmuskuler yang tersusun dari lapisan tunggal sel kolumner yang terletak pada membran basal usus. Di posterior dari usus cacing betina terdapat rektum dan pada cacing jantan terdapat kloaka. Rektum atau kloaka dilapisi oleh kutikula dan terbuka keluar melalui anus. Bagian tubuh di sebelah posterior anus atau kloaka disebut ekor (Levine 1990). Sistem Syaraf Sistem syaraf terdiri dari cincin syaraf yang mengelilingi esofagus dan cincin syaraf lain yang mengelilingi bagian posterior usus. Sistem syaraf tersusun dari sejumlah ganglia dan serabut syaraf membentuk cincin syaraf dengan syaraf utama terdapat di garis dorsal dan ventral tubuh. Dari cincin syaraf terdapat enam batang syaraf berjalan ke anterior, empat ke posterior dan syaraf-syaraf khusus yang menuju ke organ-organ sensoris seperti papila, seta, fasmida dan amfida (Levine 1990). Alat indera yang terletak disekitar mulut disebut amfid atau biasa disebut kemoreseptor anterior. Amfid berbentuk seperti kantung, memiliki silia yang telah mengalami modifikasi dan ujung-ujung syaraf berhubungan langsung dengan lingkungan eksternal. Alat indera yang lain terletak di ujung posterior anus disebut fasmida atau kemoreseptor posterior. Fasmida berbentuk kantung, mempunyai saluran kecil menuju ke luar dan biasa memiliki satu silia (Noble & Noble 1989).

Gambar 8 Struktur morfologi umum Nematoda jantan (Anonimousc 2008)

Sistem Reproduksi Menurut Noble & Noble (1989) jenis kelamin pada kebanyakan nematoda terpisah antara jantan dan betina dimana keadaan ini ditunjukkan juga adanya perbedaan ukuran dan bentuk alat kelaminnya. Organ reproduksi cacing jantan merupakan modifikasi dari gulungan tubulus yang panjang. Organ reproduksi nematoda jantan terdiri atas satu atau dua testis yang berada di ujung distal tubulus, melanjutkan sebagai vas deferens dan bersatu dengan ujung bawah usus pada kloaka. Sebelum persatuan, vas deferens melebar membentuk vesikula seminalis sebagai kantung penyimpan sperma dan di ujung akhir organ jantan terdapat saluran ejakulator yang bermuara ke kloaka. Di sebelah dorsal kloaka terdapat kantung spikulum yang tersusun dari sebagian besar protein dan sebagai reseptor bagi feromon yang dipancarkan oleh cacing betina. Pada tiap spesies nematoda, kantung spikulum dapat berisi satu, dua atau tidak sama sekali spikulum Spikulum memiliki bentuk dan besar yang berbeda pada tiap spesies sehingga dapat digunakan untuk membedakan jenis nematoda. Spikulum berfungsi sebagai penempel dan penguak vulva saat kopulasi untuk mengalirkan sperma. Penebalan kutikula yang mengeras dan terletak di sisi dorsal kloaka disebut gubernakulum dan pada ventral kloaka disebut telamon yang berfungsi sebagai pengarah spikulum. Nematoda jantan umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan nematoda betina (Noble & Noble 1989). Sistem reproduksi cacing betina terdiri dari satu atau dua gulungan tubulus yang menyatu membentuk suatu vagina. Ujung distal tubulus membentuk dua atau satu ovarium, masing-masing disertai oviduk yang menuju uterus. Bagian uterus meluas membentuk reseptakulum seminal untuk menyimpan sperma. Dari uterus melanjutkan sebagai vagina yang membuka keluar melalui vulva (Levine 1990). Sistem Ekskresi Sistem ekskresi memiliki variasi morfologi yang berbeda pada tiap spesies nematoda. Sistem ekskresi terdiri dari saluran longitudinal yang bermuara keluar melalui lubang ditengah vental, satu atau dua kelenjar ekskresi yang biasa disebut renet dan satu saluran ekskresi ventral. Pada beberapa nematoda lain tidak memiliki saluran longitudinal, hanya terdapat satu kelenjar ekskresi dan satu saluran eksresi yang terletak di ventral (Noble & Noble 1989).

Siklus Hidup Nematoda dapat hidup pada tubuh induk semang secara langsung atau dengan inang antara (gambar 9). Siklus hidup terdiri dari telur, empat stadium larva dan satu stadium dewasa yang berkembang di inang definitif dan membutuhkan inang antara sebagai perantara. Siklus hidup nematoda dengan inang antara seperti terlihat pada gambar 6 adalah stadium dewasa pada inang definitif mengeluarkan larva atau telur yang kemudian menetas dan berkembang menjadi larva yang hidup bebas di perairan. Larva yang berenang bebas di makan oleh inang antara invertebrata seperti kopepoda dan krustacea atau langsung dimakan oleh inang definitif. Inang antara invertebrata kemudian termakan oleh inang antara sekunder dan larva mengkista di dalam inang antara tersebut. Stadium larva yang infektif dapat ditemukan banyak dalam satu inang antara sedangkan inang definitifnya dapat mengandung banyak cacing dewasa. Ikan dan cumi-cumi dapat bertindak sebagai inang antara pertama atau inang antara sekunder (Noga 1996). Nematoda dapat memanfaatkan ikan sebagai inang definitif untuk mencapai dewasa dan sebagian lagi memanfaatkan ikan sebagai inang antara. Menurut (Grabda 1991) famili Anisakidae memiliki inang definitif pada burung atau mamalia laut .

Gambar 9 Siklus Hidup Nematoda (Noga 1996)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel dilakukan mulai bulan Juli sampai Agustus 2007 dari saluran pencernaan ikan gurami dan ikan kakap merah. Identifikasi cacing dilakukan mulai dari bulan September 2007 sampai Juni 2008 bertempat di laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: gunting, scapel, cawan petri, timbangan, pinset, kait, kulkas, gelas objek, botol plastik, papan alas, cover glass, mikroskop stereo, mikroskop cahaya dan video mikro meter. Bahan yang digunakan adalah : Ikan gurami, Ikan kakap merah, Minyak Cengkeh, Canada balsam, NaCl fisiologis 0,85%, Alkohol 70%, Alkohol 85%, Alkohol 95%, Alkohol absolut dan Kalium Hidroksida 10% yang diperoleh dari serbuk Kalium Hidroksida ditambahkan Aquades. Pengambilan Sampel a. Pengambilan Ikan Ikan gurami diambil di Desa Carangpulang, Kelurahan Cikarawang, Dramaga Bogor dengan jumlah sampel 15 ekor dan berat badan berkisar antara 200-400 gram. Ikan kakap merah diambil dari pasar ikan daerah Muara Angke, Jakarta Utara sebanyak 10 ekor dan berat badan berkisar antara 70-175 gram. b. Teknik Parasitologi Ikan dimatikan dengan memukul bagian kepala, tepatnya pada bagian frontal. Bagian abdomen ikan dibuka dengan menggunting bagian bawah abdomen ikan, mulai dari anus hingga ke bawah sirip dada. Usus dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi NaCl fisiologis 0,85%. Bagian usus dibuka dengan menggunting secara memanjang dan isi usus dikeluarkan secara perlahan. Dilakukan pengamatan terhadap adanya cacing yang terdapat dalam saluran pencernaan.

Teknik Pewarnaan Semi Permanen Menurut penelitian Khairunnisa (2007) pewarnaan untuk nematoda adalah dengan pewarnaan semi permanen menggunakan minyak cengkeh dan KOH 10%. Sifat kimia minyak cengkeh dan KOH 10% mendukung proses pewarnaan preparat cacing. KOH membantu dalam melisiskan dinding kutikula nematoda dan minyak cengkeh dengan proses oksidasi mewarnai morfologi melalui sifat permeabilitas dinding tubuh cacing. Teknik pewarnaan minyak cengkeh dan KOH 10% adalah: -

Cacing direndam dalam KOH 10 % selama 1-3 menit untuk menipiskan lapisan kutikula agar cacing nematoda terlihat agak melunak dan transparan.

-

Sampel cacing kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi minyak cengkeh selama kurang lebih 30 detik -1 menit sampai organ-organ tubuh terlihat lebih jelas.

-

Cacing yang terwarnai dimasukkan ke dalam Alkohol bertingkat 70%, 85% 95 % dan Alkohol absolut secara berurut masing-masing selama 15-30 detik.

-

Kemudian di-mounting dengan Entellan atau Canada balsam.

Pengamatan dan Pengukuran Pengamatan struktur morfologi cacing dilakukan dibawah pemeriksaan mikroskop. Dilakukan pengambilan gambar preparat untuk dokumentasi dan mempermudah pengamatan. Pengukuran menggunakan video mikrometer untuk mengukur panjang dan lebar badan cacing agar membantu dalam mengidentifikasi jenis cacing. Identifikasi Parasit Identifikasi cacing parasitik mengacu pada Soulsby (1982), Noble & Noble (1989), Hoffman (1967), Grabda (1991), Kabata (1985), Noga (1996), Chitwood & Chitwood (1977) dan Cheng (1973). Analisis Data Dari hasil pemeriksaan dicatat dan prevalensi dianalisis secara deskriptif. Prevalensi (%) = Jumlah ikan yang terserang parasit A X 100% Jumlah ikan yang diperiksa

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yang dilakukan pada ikan gurami dan ikan kakap merah dapat diketahui bahwa terdapat keragaman spesies parasit dari tiap jenis ikan. Hasil identifikasi parasit yang ditemukan pada penelitian ini dapat di kelompokkan dalam kelas Nematoda dari filum Nemathelminthes. Tabel 1 Deskripsi Cacing Parasitik Nematoda Pada Ikan Gurami Dan Ikan Kakap Merah Pembeda

Cacing Parasitik Ikan Gurami

Lingkungan

Air tawar (Suhu 25 C-28 C, Kadar oksigen terlarut 7,8 ppm, pH 6-8)

Jumlah Ikan

15 ekor Memiliki buccal capsule, Tanpa bibir, Esofagus terdiri dari 2 bagian yaitu esofagus yang berotot dan glandula esofagus. Bentuk posterior kerucut atau sedikit melingkar.

Morfologi

Ukuran Cacing Gambar

Klasifikasi

Prevalensi Sifat

0

0

Panjang 14,19 mm dan Lebar 0,62 mm Panjang 22,53 mm dan Lebar 0,51 mm Panjang 6,93 mm dan Lebar 0,15 mm

Ordo: Spirurida, Famili: Camallanidae Genus: Camallanus Genus: Procamallanus 26,67 % Inang tidak spesifik

Cacing Parasitik Ikan Kakap Merah 0 0 Air asin (Suhu 27 C-30 C, Kadar oksigen terlarut 5-8 ppm, pH 8-8,5 & Salinitas 27-32 ppt) 10 ekor Stadium larva Memiliki larva tooth, Memiliki ventriculus, Bentuk posterior runcing dengan mucron terletak pada ujung ekor, Excretory pore pada ujung anterior. Stadium Dewasa Memiliki 3 bibir, Tidak memiliki sekum. Panjang 5,63 mm dan Lebar 0,16 mm

Ordo : Ascaridida Famili : Anisakidae Genus: Anisakis 10% Inang tidak spesifik

Prevalensi Cacing Nematoda Dewasa Pada Ikan Gurami Dan Ikan Kakap Merah Dari dua jenis ikan yang diperiksa, jumlah ikan yang terserang parasit paling banyak ditemukan di ikan gurami kemudian ikan kakap merah seperti terlihat pada tabel 1. Faktor yang mempengaruhi perbedaan ini antara lain pola makan ikan, daya tahan ikan dan kondisi lingkungan ikan. Parasit banyak di temukan pada ikan gurami dapat disebabkan kebiasaan makan dan lingkungan yang tidak mendukung. Ikan gurami adalah ikan budidaya yang bersifat omnivora, dimana sebagian besar diberikan pakan alami secara langsung sehingga peluang untuk terkena parasit lebih besar. Pakan alami apabila kualitas tidak di perhatikan dapat menjadi pembawa parasit ke lingkungan budidaya dan dapat menjadi inang antara parasit. Kondisi lingkungan budidaya ikan gurami seperti suhu, cuaca dan kualitas air berpengaruh terhadap keseimbangan fisiologis dan alat-alat tubuh ikan yang akan mempengaruhi daya tahan ikan terhadap parasit. Hal ini berbeda pada ikan kakap merah yang hidup bebas di perairan laut, bersifat karnivora dan kakap merah mencari sendiri makanannya. Rendahnya jumlah ikan yang terserang cacing parasitik pada ikan kakap merah dapat disebabkan karena kondisi pertahanan ikan yang baik. Menurut Noble & Noble (1989) Jumlah, ukuran, perilaku setiap parasit terhadap inang ditentukan oleh umur, ukuran tubuh inang, daya tahan inang, iklim, musim dan lokasi geografik. Semakin tua umur ikan, semakin banyak waktu yang digunakan untuk berpencar ke daerah yang lebih luas dan berakibat akumulasi parasit dalam jumlah besar. Dalam Grabda (1991) lingkungan perairan mengatur dinamika populasi, perkembangan dan penyebaran parasit. Variasi geografik dan suhu air akan menyebabkan perbedaan parasit dari zona iklim yang berbeda. Faktor lain seperti salinitas membagi parasit menjadi parasit perairan laut, parasit estuaria dan parasit perairan tawar. Tingginya prevalensi cacing parasitik pada ikan gurami dapat juga disebabkan karena padat penebaran yang tinggi sehingga akan memudahkan penyebaran cacing parasit dari satu ikan ke ikan lainnya, menurunkan pertumbuhan dan kerentanan inang terhadap parasit akan semakin tinggi. Menurut Grabda (1991) parasit dapat berpindah dari satu inang ke inang lainnya dan menginfeksi seluruh populasi ikan. Cara penularan berbeda-beda pada tiap ikan tergantung jenis parasitnya. Penularan dapat terjadi dengan kontak langsung antara ikan yang sehat

dengan ikan yang terinfeksi. Penyebaran ini umumnya terjadi pada fase larva dan jarang terjadi pada parasit dewasa. Infeksi juga dapat terjadi melalui inang antara yang termakan oleh inang definitif. Dari hasil penelitian, masing-masing cacing nematoda yang ditemukan hanya berjumlah satu dalam satu ikan dapat disebabkan kondisi daya tahan tubuh ikan yang cukup baik. Menurut Noble & Noble (1989) apabila hanya satu parasit dalam tubuh inangnya, maka parasit tersebut akan mencapai ukuran maksimum. Ukuran tersebut semakin kecil apabila semakin banyak jumlah parasit pada inang yang sama. Keberadaan suatu parasit dalam tubuh ikan baru dapat mencapai status patogen pada prevalensi dan intensitas yang tinggi. Kategori infeksi berdasarkan prevalensi yang mengacu pada Williams & Bunkley-Williams (1996) dalam Hariyadi (2006) prevalensi pada ikan gurami masuk kategori “sering” (Often 10% - 29%) dan prevalensi pada ikan kakap masuk kategori “kadang-kadang” (Occasionally 1% 9%) seperti terlihat pada tabel 2. Kategori infeksi berdasarkan prevalensi (Williams & Bunkley- Williams 1996) dalam Hariyadi (2006) Frevalence of Infection always = 100-99% almost always = 98-90% usually = 89-70% frequently = 69-50% commonly = 49-30% often = 29-10% occasionally = 9-1% rarely = < 1-0,1% very rarely = < 0,1-0,01% almost never = <0,01% Jenis Parasit Pada Ikan Gurami Dan Ikan Kakap Merah Hasil identifikasi cacing dari saluran pencernaan (usus) ikan gurami ditemukan empat cacing parasitik Nematoda yang berasal dari ordo Spirurida dan pada ikan kakap merah di temukan satu cacing dari ordo Ascaridida. a. Famili Camallanidae Identifikasi cacing Nematoda dari saluran pencernaan ikan gurami ditemukan empat cacing dari famili Camallanidae yang dapat teridentifikasi. Terdiri dari dua

genus Camallanus, satu genus Procamallanus dan satu cacing tidak dapat diidentifikasi sampai tingkat genus disebabkan struktur tubuh yang tidak lengkap yaitu tidak memiliki bagian posterior dari tubuh. Tabel 2 Daftar Ikan Gurami Yang Terinfeksi Cacing Parasitik Berat Kode Ikan

Badan

Terinfeksi

Klasifikasi

Gurame 1

410 g

+ (1)

Nematoda

Camallanidae Procamallanus

Gurame 2

290 g

Gurame 3

280 g

Gurame 4

250 g

Gurame 5

260 g

+ (1)

Nematoda

Camallanidae

Gurame 6

320 g

Gurame 7

260 g

+ (1)

Nematoda

Camallanidae

Camallanus

Gurame 8

270 g

Gurame 9

220 g

Gurame 10

370 g

Gurame 11

200 g

+ (1)

Nematoda

Camallanidae

Camallanus

Gurame 12

300 g

Gurame 13

290 g

Gurame 14

300 g

Gurame 15

300 g

Famili

Genus

Identifikasi dilakukan berdasar atas struktur anterior dan posterior dari tubuh cacing. Hasil pengukuran panjang dan lebar tubuh cacing dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 3 Hasil Pengukuran Struktur Badan Cacing Nematoda Pada Ikan Gurami Panjang

Panjang

Lebar

Kode Ikan

Esofagus

Badan

Badan

Gurame 1

0,807 mm

14,198 mm

0,624 mm

Gurame 7

0,375 mm

22,532 mm

0,513 mm

Gurame 11

0,883 mm

6,935 mm

0,151 mm

Genus Camallanus Menurut Hoffman (1967), Kabata (1985) dan Chitwood & Chitwood (1977) karakteristik dari famili Camallanidae adalah mulut memanjang secara dorsoventral, tanpa bibir dan memiliki buccal capsule yang dilapisi dengan kutikula tebal. Genus Camallanus memiliki buccal capsule yang terdiri dari dua katup masing-masing pada sisi lateral dan dibagian dalam terdapat seperti batangan atau palang yang letaknya membujur dan dalam Kabata (1985) disebut Moniliform bars. Moniliform bars terbentuk dari kutikula dan memiliki jumlah yang berbeda pada tiap spesies Camallanus sp.. Menurut Martins et al. (2007) bagian anterior dari Camallanus sp. yaitu pada buccal capsule memberikan warna oranye kecokelatan. Terdapat kutikula berbentuk cincin yang menghubungkan antara buccal capsule dengan esofagus. Esofagus terdiri dari dua bagian yaitu pada anterior dengan esofagus yang berotot dan di posterior terdapat glandula yang relatif besar dan biasa disebut glandula esofagus (gambar 10D).

1

1 2 3

3

4

A

6 5 1

B

C

D

E

Ket : 1= Buccal capsule, 2= Esofagus yang berotot, 3= Cincin syaraf, 4= Glandula esofagus, 5= Usus, 6= Spikulum Gambar 10 Struktur Camallanus maculatus jantan bagian anterior =A, B= Buccal capsule dari Camallanus maculatus, C= Bagian anterior Camallanus maculatus, D= Bagian anterior Camallanus anabantis betina, E= Bagian posterior Camallanus anabantis. (Sumber: Martins et al. 2007 & Yooyen et al. 2005)

Camallanus sp. jantan dan betina di bedakan dengan adanya spikulum yang terdapat pada jantan seperti terlihat pada gambar 10E. Camallanus sp. jantan tidak memiliki gubernakulum dan jumlah spikulum biasanya dua dengan panjang yang tidak sama. Ujung posterior sedikit melingkar dengan alae yang meruncing pada ujung ekor dan terdapat sejumlah papila. Berdasarkan beberapa karakteristik diatas, dua cacing yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan gurami dikategorikan berasal dari genus Camallanus seperti terlihat pada gambar 11 dan Gambar 12. Menurut (Kabata 1985) Camallanus sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas: Nematoda, Ordo: Spirurida, Sub Ordo: Camallanina, Famili: Camallanidae, Genus: Camallanus, Spesies: Camallanus sp.

A

B

C

Gambar 11 Camallanus sp. hasil penelitian (Perbesaran objective 4x) (A). (B) Anterior dengan buccal capsule (Perbesaran objective 40x). (C) Posterior dengan spikulum (Perbesaran objective 10x). Dari hasil pengamatan struktur Camallanus sp. yang ditemukan terlihat adanya mulut yang dilengkapi buccal capsule (Gambar 11B, 12C), esofagus (Gambar 11B, 12A C), usus (Gambar 11C) dan adanya spikulum pada salah satu Camallanus sp. (Gambar 11C). Struktur lain seperti organ saluran reproduksi dan organ saluran ekskresi tidak terlihat, hal ini dapat disebabkan dari proses pewarnaan yang kurang sempurna.

A

B

C

D

Gambar 12 Camallanus sp. hasil penelitian (A) Anterior dengan esofagus & usu (Perbesaran objective 4x). (B) Camallanus cotti www.rhusmann.com (C) Anterior dengan buccal capsule (Perbesaran objective 40x). (D) Posterior (Perbesaran objective 10x) Camallanus sp. memiliki siklus hidup yang tidak langsung atau melalui inang antara dan Camallanus sp. betina memiliki vulva yang terletak ditengah tubuh. Camallanus sp. dewasa akan melakukan kopulasi dan Camallanus sp. betina akan mengeluarkan larva (viviparus) ke lumen usus ikan. Larva kemudian dikeluarkan oleh ikan langsung ke perairan yang nantinya akan dimakan oleh inang antara seperti kopepoda (Buchmann & Bresciani 2001). Menurut Nimai (1999) di dalam tubuh kopepoda larva migrasi dari saluran pencernaan ke haemocoel pada cephalothorax dan menjadi infektif di haemocoel. Larva stadium tiga dapat ditemukan dalam inang antara seperti kopepoda atau inang definitf. Ikan sebagai inang definitif memakan kopepoda yang mengandung larva kemudian larva berkembang menjadi dewasa dan melakukan penetrasi dalam usus. Camallanus sp. dapat hidup di usus dan pylorus sekum pada inang definitifnya dan penyakit yang disebabkan oleh Camallanus sp. disebut Camallanosis. Buccal capsule dari Camallanus sp. dapat mengakibatkan erosi pada mukosa usus (Buchmann & Bresciani 2001). Buccal capsule dilekatkan pada dinding usus dengan sangat kuat dan menyebabkan jaringan dinding usus menjadi robek.

Jaringan menjadi rusak karena mengalami iskemia dan dalam waktu yang lama jaringan menjadi nekrosa. Disaat yang sama Camallanus sp. melakukan migrasi ke jaringan usus yang lain dan kerusakan jaringan dapat ditemukan sepanjang usus. Kerusakan yang parah dapat menyebabkan infeksi dari parasit lain dan pertahanan tubuh ikan menurun sehingga dapat menyebabkan ikan mati. Camallanus sp. tidak bersifat inang spesifik sebab ditemukan dalam berbagai jenis ikan dengan kondisi perairan yang berbeda seperti ikan air laut dan ikan air tawar. Menurut Molnar et al. (2006) Camallanus sp. lebih sering ditemukan pada ikan air tawar dan hal yang sama dikemukakan oleh Grabda (1991) bahwa Camallanus lacustris merupakan parasit air tawar yang bersifat kosmopolit dan memiliki inang yang luas. Martins et al. (2007) menemukan Camallanus maculatus dari ikan budidaya di Brazil yaitu Xiphophorus maculatus (ikan platy) dan Yooyen et al. (2006) mengidentifikasi Camallanus anabantis dari ikan air tawar di Thailand serta Nimai (1999) mengidentifikasi Camallanus anabantis dari ikan air tawar Anabas testudineus (ikan betok) di India. Genus Procamallanus Menurut Kabata (1985) genus Procamallanus memiliki buccal capsule berbentuk seperti barrel dan tidak terbagi menjadi dua katup. Pada dinding bagian dalam dari buccal capsule tidak terlihat adanya seperti batangan atau palang yang pada Camallanus sp. disebut moniliform bars. Mulut biasanya hexagonal dengan enam papila belum terbentuk sempurna pada pinggiran mulut dan terdapat empat papila besar yang letaknya dipertengahan anterior. Esofagus terdiri dari dua bagian yaitu pada anterior dengan esofagus yang berotot dan relatif pendek serta bagian posterior terdapat kelenjar yang biasa disebut glandula esofagus. Berdasarkan beberapa karakteristik diatas, cacing yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan gurami masuk ke dalam genus Procamallanus (Gambar 14). Genus Procamallanus betina memiliki vulva yang terletak ditengah tubuh dan beberapa spesies dekat posterior. Genus Procamallanus jantan memiliki ekor berbentuk kerucut dengan atau tanpa alae serta beberapa pasang papila. Hasil pengukuran panjang dan lebar tubuh Procamallanus sp. yang ditemukan dapat dilihat pada tabel 4.

1 2

3 4 A

B

C

D

Ket : 1= Buccal capsule seperti barrel, 2= Cincin syaraf, 3= Esofagus, 4= Usus Gambar 13 Struktur Procamallanus laevionchus (A)= Anterior, (B)= Anterior Procamallanus mathurai, (C)= Posterior Procamallanus laevionchus jantan , (D)= Posterior Procamalanus laevionchus betina. Sumber : www.fao.org/docrep/008/v9551e/V9551E16.htm www.scielo.cl/fbpe/img/bcpar/v54n3-4/fig58.gif Menurut (Kabata 1985) Procamallanus sp dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas : Nematoda, Ordo: Spirurida, Sub Ordo: Camallanina, Famili: Camallanidae, Genus: Procamallanus, Spesies: Procamallanus sp. Procamallanus sp. tidak hanya hidup pada ikan perairan air tawar tetapi menurut McClelland (2005) Procamallanus sp. juga ditemukan pada ikan perairan laut dan biasa hidup pada lambung, usus dan pylorus sekum. Hariyadi (2006) mengidentifikasi Procamallanus sp. dari beberapa ikan laut seperti ikan tongkol, ikan kerapu dan ikan ekor kuning. Procamallanus sp. bersifat viviparus yaitu melepaskan larva dari inang definitf melalui feses (Kabata 1985). Siklus hidup dari Procamallanus sp. tidak langsung atau melalui inang antara seperti kopepoda atau krustacea. Dari hasil pengamatan struktur Procamallanus sp. yang ditemukan terlihat adanya mulut yang dilengkapi buccal capsule (Gambar 14A), esofagus (Gambar 14A B) dan usus (Gambar 14B). Struktur lain seperti organ saluran reproduksi dan organ saluran ekskresi tidak terlihat, hal ini dapat disebabkan dari proses pewarnaan yang kurang sempurna.

A

B

C

Gambar 14 Struktur Procamallanus sp. hasil penelitian: (A) Anterior (Perbesaran objective 40X). (B) Anterior (Perbesaran objective 10X). (C) Posterior (Perbesaran objective 10x) Menurut Moravec (1975) dalam Molnar et al. (2006) infestasi Camallanus sp. dan Procamallanus sp. dalam jumlah banyak dapat menyebabkan perforasi pada dinding usus. Procamallanus sp. dan Camallanus sp. menggunakan buccal capsule untuk menyerap makanan yang dibutuhkan inang, merusak lapisan sel-sel pada dinding usus dan mengisap darah inang. Biasanya ditempat infestasi menyebabkan peradangan lokal. Thatcher (1991) dalam Molnar et al. (2006) melaporkan bahwa Nematoda dapat menyebabkan anemia karena mengisap darah. Infestasi berat khususnya untuk ikan kecil dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan badan dan penyumbatan pada usus b. Famili Anisakidae, Genus Anisakis Identifikasi berdasarkan struktur anterior dan struktur daerah peralihan antara esofagus dan usus. Menurut Grabda (1991), Cheng (1973), Soulsby (1982) genus Anisakis sp. stadium larva terlihat memiliki larva tooth, tanpa bibir dan adanya ventriculus yang terletak antara esofagus dan usus yang belum terbentuk sempurna seperti terlihat pada gambar 15. Bagian ekor panjang dan runcing serta pada ujung posterior dari ekor terdapat mucron. Berdasarkan beberapa ciri diatas, cacing

parasitik yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan kakap merah di kategorikan berasal dari genus Anisakis (Gambar 16). Karakteristik dari genus Anisakis dewasa adalah memiliki mulut yang dikelilingi oleh tiga bibir terletak satu di dorsal dan dua di ventro-lateral yang dilengkapi beberapa papila. Genus Anisakis memiliki saluran ekskresi (excretory duct) yang membuka ke arah anterior dan berlokasi diantara kepala dan bibir-bibir ventro-lateral serta tidak memiliki sekum intestinal. Bagian posterior pada jantan terdapat spikulum yang memiliki panjang tidak rata dan terdiri dari 3 atau 4 pasang papila kaudal (Grabda 1991).

Gambar 15 Struktur Anisakis sp. stadium larva 2 dan staduim larva 3 : A= Anterior, C= Posterior, i= Intestine, ep= Excretory pore, ed= Excretory duct; oe= Esofagus, It= Larva tooth, v= Ventriculus, o= Excretory pore. (Grabda 1991) Menurut Soulsby (1982), Anisakis sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas: Nematoda, Sub Kelas: Secernentea, Ordo: Ascaridida, Sub Ordo: Ascaridina, Famili: Anisakidae, Genus: Anisakis dan Spesies: Anisakis sp. Genus Anisakis yang ditemukan dari ikan kakap merah masih dalam stadium larva ketiga seperti terlihat dalam gambar 16. Dalam Noga (1996) dan Grabda (1991) Anisakis sp. melibatkan beberapa mamalia laut dan burung pemakan ikan sebagai inang definitifnya. Menurut Buchmann & Bresciani (2001) stadium larva 3 yang infektif biasa terdapat pada ikan-ikan laut dan manusia dapat menjadi inang accidental apabila memakan ikan-ikan yang mengandung larva Anisakis sp.. Arthur

& Lumanlan-Mayo (1997) mencatat sebaran cacing parasitik di Filipina dan Pasifik pada jenis ikan kakap (Lutjanidae) terinfeksi cacing parasitik Nematoda dari genus Anisakis stadium larva.

B

C

Gambar 16 Anisakis sp. dari penelitian (Perbesaran objective 4x) (A). (B) Anterior Anisakis sp. dari penelitian (Perbesaran objective 40x). (C) Anterior Anisakis sp. dengan Esofagus, Ventriculus & Usus. (D) Anisakis simplex dari www.atlasmedicalparasitology.com Panjang larva Anisakis sp. yang ditemukan 5,63 mm dan lebar 0,16 mm hal ini sesuai dengan Smith (1983) yang menyatakan larva Anisakis sp. mempunyai panjang 4,2-23 mm. Dari hasil pengamatan struktur Anisakis sp. yang ditemukan terlihat adanya mulut, esofagus dan usus (Gambar 16C). Struktur lain seperti alat reproduksi (spikulum, uterus, testis) dan bagian posterior dari tubuh tidak terlihat disebabkan struktur yang telah rusak akibat dari proses pewarnaan yang kurang sempurna. Menurut Grabda (1991) larva Anisakis sp. dapat ditemukan pada ikan budidaya yang di hidup perairan air tawar ketika diberi makan ikan yang berasal dari perairan laut dan beberapa jenis ikan seperti Salmon yang sebagian hidupnya di perairan air tawar dan perairan air laut. Biasanya larva Anisakis sp. ditemukan dalam keadaan menggulung di sepanjang usus, di bawah membran hati, otot, limpa, rongga badan, pylorus sekum dan diantara gonad (Buchmann & Bresciani 2001). Siklus hidup Anisakis sp. tidak langsung atau melibatkan inang antara. Inang definitif seperti Singa laut, Lumba-lumba, Paus dan Anjing laut mengeluarkan telur

bersama feses dan menetas di perairan. Larva stadium pertama terbentuk dalam telur kemudian menetas menjadi stadium larva kedua dan berenang bebas di perairan atau setelah menetas langsung dimakan oleh krustacea (Anonimousb 2002). Menurut Grabda (1991) Anisakis sp. memiliki inang antara pertama dari krustacea famili Euphausiidae dan udang dari genus Pendulus sedangkan inang antara keduanya adalah ikan seperti Hering, Mackerel dan Red fish. Di dalam tubuh inang antara kedua, larva berkembang menjadi stadium larva tiga dan menginfeksi ikan. Larva kemudian melakukan migrasi dari usus ke jaringan dalam rongga tubuh dan dapat tumbuh mencapai panjang 3 cm. Ketika jaringan inang telah mati maka larva migrasi ke jaringan otot dan apabila ikan tersebut dimakan oleh ikan lain terjadi perpindahan dari satu ikan ke ikan yang lain (Anonimousb 2002). Pada penelitian ini, Anisakis sp. ditemukan pada ikan kakap merah dapat disebabkan akibat memakan kopepoda atau krustacea yang mengandung larva Anisakis sp.. Menurut McClelland (2005) infestasi Anisakis sp. dapat menyebabkan lesio atau hemoragi pada lambung dan mukosa usus. Anisakis sp. apabila terakumulasi dapat menyebabkan gastritis dan ulkus pada usus. Anisakis sp. merupakan parasit kosmopolit yang bersifat zoonosis dan menginfeksi manusia yang dikenal dengan Anisakiasis atau Anisakiosis bila mengkonsumsi ikan yang mengandung larva parasit Anisakis sp. stadium tiga. Anisakiasis

atau

Anisakiosis

dapat

disebabkan

oleh

spesies

lain

seperti

Pseudoterranova decipiens dan Contracaecum spp. Menurut Noble & Noble (1989) larva hidup yang berada di dalam usus atau organ-organ dalam lainnya dapat bermigrasi ke dalam daging ikan setelah ikan mati. Menurut Moller & Anders (1986) ketika ikan mati dan terjadi proses autolisis dalam tubuh inang, maka Anisakis sp. dapat bertahan atau cenderung menyelamatkan diri dan keluar dari kapsul selubungnya untuk berpenetrasi ke dalam urat daging. Larva Anisakis sp. yang menyerang urat daging bersifat zoonosis jika dimakan dalam keadaan mentah atau setengah matang sehingga dibutuhkan pencegahan infeksi untuk membunuh larva Anisakis sp. seperti dalam Tabel 3. Koie (2001) dalam Hariyadi (2006) melaporkan bahwa setelah masuk ke dalam tubuh inang, larva Anisakis sp. stadium tiga malakukan enkapsulasi di jaringan otot ikan Gasterosteus aculeatus (stickleback) dan Plathichthys flesus (ikan sebelah) dimana larva tersebut dapat bertahan hidup sampai 2 tahun.

Tabel 4 Kondisi Untuk Membunuh Atau Inaktivasi Nematoda Pada Ikan Kondisi

Nilai

Waktu untuk Inaktivasi

Suhu

-20°C

24 Jam

55°C

1 Menit

4-5

>17 Minggu

6-7

10-12 Minggu

NaCl, % WPS

8-9 5-6 Minggu Sumber Huss & Embarek (2008) Anisakiosis diperoleh karena mengkonsumsi ikan seperti Herring, Haddock, Cod, Mackerel, Salem dan Pike yang masih mentah, dibuat acar, diasap atau digarami (Noble & Noble 1989). Kebiasaan pola makan seperti sushi dan sashimi di Jepang dan acar herring di Scandinavia dapat menyebabkan Anisakiosis (Cheng 1973). Anisakis sp. tipe larva 3 pertama kali ditemukan menginfeksi manusia pada tahun 1955 di Belanda dan lebih dari 13000 kasus dilaporkan hampir dari 20 negara diatas tahun 1990an. Sebagian besar kasus berasal dari Jepang dan kemudian negara-negara Eropa (sebagian besar Belanda, Perancis, Jerman) dan Amerika Serikat. Anisakiosis di Jepang paling sering menyerang lambung (95%) kemudian usus (4,6%) dan organ lain (0,4%). Anisakiosis pada lambung dalam bentuk akut tanpa nyeri abdomen dapat menyebabkan larva bertahan sampai 2 tahun tanpa berpindah menurut Ishikura et al. (1992) dalam Nagasawa (2005). Menurut Kagei et al. (1978) dalam Grabda (1991) Anisakis sp. tipe larva II pernah dilaporkan menginvasi manusia di Jepang. Anisakiosis dapat menyebabkan eosinophilik granuloma yang disebabkan karena larva Anisakis sp. dapat menembus dinding usus dan apabila menyerang dinding lambung dapat menyebabkan pembentukan gastrik granuloma (Cheng 1973). Menurut Grabda (1991) larva Anisakis sp. ketika berada dalam usus manusia akan menembus mukosa dan submukosa usus dan menimbulkan luka yang luas. Gejala klinis tidak spesifik, dapat timbul 4 jam setelah mengkonsumsi ikan dan pada umumnya terlihat dalam waktu 24 jam seperti sakit perut, diare, demam dan muntah. Pada kasus akut dapat terjadi gastritis dan perforasi pada saluran pencernaan. Menurut Anonimousb (2003) perubahan patologi yang dapat terjadi pada lambung dan dinding usus adalah peradangan, udema, hemoragi dan ulkus yang kadang-

kadang terlihat. Hal ini dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap sekresi dan ekskresi yang diproduksi oleh larva Anisakis sp.. Menurut Grabda (1991) hasil metabolisme Nematoda bersifat toksik dan menyebabkan reaksi alergi pada inang yang diinfeksi seperti larva Anisakis sp. pernah dilaporkan menyebabkan penyakit asma. Pada saluran pencernaan manusia tidak semua larva Anisakis sp. dapat bertahan, beberapa ada yang langsung mati dan dikeluarkan bersama feses. Larva Anisakis sp. beberapa ada yang bertahan sampai tiga minggu kemudian difagositosis dan terjadi pengapuran serta beberapa dapat menimbulkan kasus kronis seperti gastritis kronis dan ulkus. Keragaman dan penyebaran parasit pada tiap jenis ikan dipengaruhi oleh lingkungan perairan. Menurut Grabda (1991) perbedaan geografik dan suhu akan menyebabkan timbulnya perbedaan ciri-ciri dari berbagai macam parasit dari daerah dengan iklim yang berbeda. Menurut Noble & Noble (1989) suhu, hambatan mekanis, sifat kimiawi media di sekeliling parasit dan persediaan makanan akan mempengaruhi penyebaran parasit. Keberadaan parasit dalam tubuh ikan dapat berdampak kerugian ekonomi bagi masyarakat seperti dengan pengurangan populasi ikan sebagai ikan konsumsi atau dalam ikan budidaya, penurunan bobot ikan, kerusakan morfologi ikan, penolakan dan hilangnya minat konsumen karena adanya perubahan struktur tubuh ikan serta menyebabkan penyakit pada manusia apabila parasit bersifat zoonosis.

KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan terdapat keragaman spesies cacing parasitik pada dua jenis ikan. Prevalensi cacing Nematoda paling banyak ditemukan pada ikan gurami dibandingkan ikan kakap merah. Hal ini dapat disebabkan dari pengelolaan lingkungan perairan seperti kualitas air tidak mendukung, pola makan, padat penebaran dan daya tahan ikan dibandingkan dengan ikan kakap merah yang hidup bebas di laut. Hasil penelitian pada ikan gurami yang berasal dari perairan air tawar ditemukan adanya infestasi cacing parasitik dari kelas Nematoda, genus Camallanus dan Procamallanus. Pada ikan kakap merah yang berasal dari perairan air laut ditemukan cacing parasitik dari kelas Nematoda genus Anisakis. Genus Anisakis yang ditemukan bersifat zoonosis dan pada manusia dikenal dengan Anisakiosis.

SARAN Adanya cacing parasit bersifat zoonosis yang ditemukan pada ikan konsumsi, maka memerlukan pengelolahan ikan yang baik seperti pemasakan ikan dengan matang sebelum dikonsumsi. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel ikan yang lebih banyak dan pada beragam jenis ikan serta lokasi pengambilan sampel yang beragam untuk mengetahui status kecacingan. Menjaga kondisi lingkungan baik perairan air tawar dan air laut agar tetap kondusif dalam mendukung pertumbuhan ikan. Adanya parasit yang ditemukan dari ikan budidaya, menunjukkan perlunya pengolaan habitat dan pakan yang lebih baik agar parasit tidak berkembang dan merusak kualitas ikan budidaya.

DAFTAR PUSTAKA Anonimousa. 2001. Etelis carbunculus Ruby Snapper http://filaman.ifmgeomar.de /Summary /SpeciesSummary.cfm? [11 Juni 2008]. Anonimousb.2001.Apsilus dentatus Black snapper. http://www. ishbase.org/Summary /species Summary.php?I [11 Juni 2008]. Anonimous.2002.Lutjanidae. http://www.digital-museum.hiroshima-u.ac.jp/texts/Lutja nidae. html. [11 Juni 2008]. Anonimousb. 2002. Anisakiasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx [ 24 Mei 2008] Anonimous. 2003. Petunjuk Teknik Budidaya Ikan Nila Merah. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Anonimousb. 2003. Anisakis species. http://www.atlasmedicalparasitology.com [ 24 Mei 2008] Anonimous. 2005. Pembenihan Ikan Gurami. www.iptek.net.id/ ind/warintek/?mnu=6 &ttg=3&doc=3a2.htm [20 Mei 2008]. Anonimous. 2007. Kakap Merah. www.ikanmania.wordpress.com/2007/12/29/kakapmerah/.htm [24 Mei 2008]. Anonimousa. 2008. Nematode. www.bumblebee.org/invertebrates/NEMATODA.htm27k [10 Juni 2008]. Anonimousb. 2008. Betta Anatomy. www.watershed3.tripod.com/anatomy.html - 9k [10 Juli 2008]. Anonimousc. 2008. Structure Nematode. www.web.pml.ac.uk/nematode/ nematodes/ index.htm – 30k.[10 Juni 2008] Arthur JR dan Lumanlan-Mayo S. 1997. Checklist of the parasites of fishes of the Phillipines. FAO Fisheries Technical Papers. No.369. Rome: FAO. Boyd CE.1982. Water Quality In Warmwater Fish Pond. Alabama: Auburn University Press. Buchmann K dan Bresciani J. 2001. An Introduction To Parasitic Disease Of Freshwater Trout. Denmark: DSR Publisher. Cheng TC. 1973. General Parasitology. London: Academic Press Inc. Chitwood BG dan MB Chitwood. 1977. Introduction to Nematology. United States: University Park Press

Departemen Pertanian. 1998. Investasi Agribisnis Komoditas Unggulan Perikanan Jakarta: Penerbit Kanisus. Ditjen Perikanan. 1990. Perikanan Tangkap Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Eujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hariyadi AR. 2006. Pemetaan Infestasi Cacing Parasitik dan Resiko Zoonosis pada Ikan Laut di Perairan Indonesia Bagian Selatan. [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor Hoffman GL. 1967. Parasites of North American Freshwater Fishes. Los Angels: Universitas California Press. Huss HH dan Embarek PKB. 2008. Parasites .www.fao.org/docrep /006/y4743e /y4743e0c.htm. [11 Juli 2008]. Ishikura et al. 1992. Anisakidae and Anisakidosis In Progress in Clinical Parasitology Volume III. Edit by Tsun pp. 43-102. New York: Springer Verlag Grabda J. 1991. Marine Fish Parasitology. New York: An outline. Polish Scientifitic Publisher. Gunarso W. 1995. Mengenal Kakap Merah Komoditi Ekspor Baru Indonesia. Bogor: Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Jangkaru Z. 2002. Memacu Pertumbuhan Gurami. Jakarta: Penebar Swadaya. Kabata Z. 1985. Parasites and disease of Fish Cultured in the Tropics. London: Taylor & Francis. Kagei N . 1978. A Case of Acute Abdominal Syndrome Caused by Anisakis Type Larva II. Japan: Jurnal Parasitol. Vol 27, No.5 Khairunnisa. 2007. Minyak Cengkeh (Eugenia aromatica) dan Kalium Hidroksida 10% Sebagai Bahan Pewarna Semi Permanen Pada Cacing Nematoda dan Acanthocephala Ikan Air Laut. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Koie M. 2001. Experimental infections of copepods and sticklebacks Gasterosteus aculeatus with small ensheated larvae of Anisakis simplex (Nematoda, Ascaridoide, Anisakidae). Parasitol Res 2000; 87:32-36 Martins ML et al. 2007. Camallanus maculatus n.sp. ( Nematoda: Camallanidae) in an Ornamental fish Xiphophorus maculatus (Osteichthyes: Poeciliidae) Cultivated In Sao Paolo State, Brazil.

www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S010209352007000500019 &nrm=iso&tlng=pt - 43k [ 24 Mei 2008} McClelland G. 2005. Nematoda In Marine Parasitology. Edit by K Rohde. United Kingdom: CABI Publishing. Mayunar dan Genisan AS. 2002. Budidaya Ikan Kakap Putih. Jakarta: Grasindo Moller H dan Anders K. 1986. Disease and Parasites of Marine Fishes. Germany: Kiel Moller. Molnar et al. 2006. Pylum Nematoda In Fish Disease and Disorders, Volume 1: Protozoan and Metazoan Infections Second Edition. Edit by PTK Woo. Canada: CABI Publishing Moravec F. 1975. Reconstruction of The Nematoda Genus Rhabdochona Railliet, 1916 with a Review of the Species Parasitic in Fishes of Europe and Asia. Studie CSAV, No 8, 104 pp. Muda S. 2007. Budidaya Ikan Gurami. www.sutanmuda.wordpress. com/2007/10/22/ budidaya-ikan-gurame [20 Mei 2008]. Nagasawa K. 2005. Anisakiasis In Marine Parasitology. Edit by K Rohde. United Kingdom: CABI Publishing. Nature

CT. 2003. Report on the Komodo Fish Culture Project. www.komodonationalpark.org/downloads/mariculture.pdf . [24 Mei 2008].

Nimai C. 1999. On the Development and Life Cycle of Camallanus anabantis (Nematoda: Camallanidae), a Parasite of the Climbing Perch Anabas testitudenus. Folia Parasitologyca 46, 205-215 Noga EJ. 1996. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Boston: Mosby Year Book. Noble ER dan Noble GA. 1989. Parasitology : The Biology Of Animal Parasites. Edisi ke-5. Alih Bahasa; Wardiarto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Prof. Dr. Gatut Ashadi, Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lubis B. 1987. Pengolahan dan Pemasaran Ikan Untuk Pemerataan Konsumsi. Jakarta: Depkes RI. Pardjoko. 2001. Ikan Kakap Merah Sumber Daya Hayati Laut Yang Di Ekspor. www.tumoutou.net/3_sem1_012/pardjoko.htm – 49 [24 Mei 2008] Prihartono RE. 2004. Permasalahan Gurami dan Solusinya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Puspowardoyo H dan Djarijah AS. 1992. Membudidayakan Gurami Secara Intensif. Yogyakarta: Penerbit Kanisus. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Volume I dan II. Jakarta: Bina Cipta. Sendjaja JT dan Riski MH. 2002. Usaha Pembenihan Gurami. Jakarta: Penebar Swadaya. Sitanggang M dan Sarwono B. 2002. Budi Daya Gurami. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Smith JW. 1983. Anisakis simpleks (Rudolph 1809, def. Krabe, 1878) (Nematode: Ascaridoidea): Morphology and Morphometry of Larva From Euphausiide and Fish, a Review of the Life Cycle, History and Ecology. Journal of Helminthology, 57, 205-224 Soulsby EJL. 1982. Helminths, Anthropodhs and Protozoa of Domesticated Animals. Edisi ke-7. London: Baillire Tindall. Sukarban S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi-4 Jakarta: University Press Sunyoto P dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu. Kakap, Baronang. Jakarta: Penebar Swadaya. Sumantidinata K. 1981. Pengembangan Ikan-ikan Peliharaan di Indonesia. Bogor: PT. Sastra Hudaya . Susanto H. 1989. Budidaya Ikan Gurame. Cetakan ke-3.Yogyakarta: Penerbit Kanisus. Thatcher VE. 1991. Amazon Fish Parasites. Amazoniana 11, 263-572. Wahyuningsih H dan Barus TA. 2006. Buku Ajar Iktiologi. Medan: FMIPA Universitas Sumatera Utara Williams EH Jr dan Bunkley-Williams L. 1996. Parasites Of Offshore Big Game Fishes in Puerto Rico and Western Atlantic. Puerto Rico: Departement of Natural and Environmental Resources and The University of Puerto Rico. Yooyen T et al. 2006. A New Record of Clinostomum philippinensis (Valasques 1959) in Trichogaster microlepis (Gunther 1967) from Bung Borapet, Nakhon Sawan,Thailand.www.tm.mahidol.ac.th/seameo/2006/37_spp3/37sup3_99.pd f [24 Mei 2008]