KAJIAN PENYARINGAN DAN LAMA PENYIMPANAN DALAM PEMBUATAN FISH PEPTONE DARI IKAN SELAR KUNING (Caranx leptolepis)
Oleh :
Amelia Tri Wijayanti C34104064
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN AMELIA TRI WIJAYANTI. C34104064. Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuatan Fish Peptone dari Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis). Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan PIPIH SUPTIJAH. Pepton adalah protein dari jaringan hewan atau tumbuhan yang telah mengalami proses hidrolisis dan atau telah mengalami pemutusan ikatan menjadi asam amino dan peptida sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pepton yang dihasilkan dengan memberi perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan serta membandingkannya dengan pepton komersial, pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Penelitian dibagi menjadi tiga tahap, penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengetahui waktu hidrolisis yang paling optimum dalam pembuatan pepton ikan selar kuning. Tahap kedua bertujuan untuk menentukan pepton terbaik dengan perlakuan penyaringan dengan nilon mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama penyimpanan pada suhu 4 oC (1, 2, dan 3 hari). Tahap ketiga bertujuan untuk membandingkan kualitas pepton hasil penelitian terbaik dengan pepton komersial, pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa komposisi kimia ikan selar dalam penelitian memiliki kadar air sebesar 75,71 %; abu 2,31 %; protein 15,47 % dan lemak 2,49 %. Penentuan waktu hidrolisis yang paling optimum adalah hidrolisis selama 4 jam. Hasil Penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa pepton dengan perlakuan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari merupakan pepton terbaik, diketahui bahwa pepton terbaik, memiliki karakteristik berupa nilai NTT/NTB sebesar 0,33 %; kadar lemak sebesar 0,49 %; rendemen 1,5 %; derajat putih 85,9 %; hasil uji sensori berupa warna yang lebih putih dengan nilai rata-rata 1,63, bau yang agak lebih menyengat dengan nilai rata-rata 0,7, tekstur yang sama dengan pepton komersial, dan penampakan yang lebih baik dari pepton komersial dengan nilai rata-rata 0,27. Pada uji mikrobiologi diketahui bahwa pepton dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari memiliki kemampuan daya dukung yang hampir sama dengan pepton komersial baik pada bakteri Escherichia coli maupun Staphylococcus aureus. Penelitian tahap ketiga diperoleh hasil bahwa pada uji asam amino terdeteksi 18 macam asam amino, asam glutamat adalah asam amino tertinggi sebesar 9,31 dan arginin yang terendah sebesar 0,78. Pepton dengan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari memiliki nilai kelarutan dalam air sebesar 99,59 %- 99,63 % sedangkan pepton komersial 100 %; nilai total nitrogen sebesar 10,43 %; nilai α-amino nitrogen sebesar 0,78 %, AN/TN sebesar 7,48 %, kadar lemak 0,49 % dan kadar garam sebesar 3,25 %. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai total nitrogen dan α-amino nitrogen memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan pepton pembanding, walaupun demikian, pepton ikan selar hasil penelitian ini masih layak digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri.
KAJIAN PENYARINGAN DAN LAMA PENYIMPANAN DALAM PEMBUATAN FISH PEPTONE DARI IKAN SELAR KUNING (Caranx leptolepis)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: Amelia Tri Wijayanti C34104064
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Penelitian
: Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuatan Fish Peptone dari Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis)
Nama Mahasiswa
: Amelia Tri Wijayanti
NRP
: C34104064
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si NIP 131 878 935
Dra. Pipih Suptijah, M.BA NIP 131 476 638
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuatan Fish-Peptone dari Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2009
Amelia Tri Wijayanti C34104064
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, tanggal 17 Juni 1986 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Muchtar, SH (Alm.) dan Siti Aminah.
Penulis memulai
pendidikan di TK Dirgahayu Bogor (1990-1992) dan melanjutkan Sekolah Dasar di SD Sawunggaling IV Surabaya (1992-1994).
Kelas
3
SD
penulis
pindah
kembali
ke kota Bogor dan masuk ke SD Lawanggintung I Bogor (1994-1998). Setelah lulus SD, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 3 Bogor (1998-2001) kemudian SMU Negeri I Bogor (2001-2004). Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama
menjadi
mahasiswa,
penulis
aktif
menjadi
pengurus
HIMASILKAN divisi KMPM (2004-2005) dan divisi PSDM (2005-2006), selain itu penulis juga aktif sebagai pengurus Fisheries Processing Club (FPC) dibawah naungan HIMASILKAN (2006-2008). Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan antara lain SANITASI, Gemar Makan Ikan (GMI), dan Seminar ISO 22000 in Fisheries Industries.
Pada tahun 2007-2008, penulis menjadi
asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan. Prestasi yang pernah diraih yaitu juara 1 lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan Nasional (PIMPIKNAS) tahun 2007. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuatan Fish Peptone dari Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si dan Dra. Pipih Suptijah, MBA.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuatan Fish Peptone dari Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis)” ini dengan baik. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu berjalannya proses penelitian sampai penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, terutama kepada: 1) Orang tua, Muchtar, SH (Alm.) dan Siti Aminah atas semua doa yang telah dipanjatkan, kasih sayang berlimpah, dukungan materil, kesabaran dan ajaran tentang hidup yang sangat berarti. 2) Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si dan Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku komisi pembimbing atas segala kritik, saran, pengertian dan perhatian yang ibu berikan kepada penulis. 3) Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Uju S.Pi. M.Si selaku penguji tamu atas masukan dan bantuan dalam menyempurnakan skripsi ini. 4) Ibu Desniar S.Pi, M.Si selaku pembimbing akademik. 5) Kakak (Eko Setiawan, Dwi Agus Maulana), kakak iparku (Intan Yuliana Putri) dan keponakanku tersayang (Dimas Rafi Surendra). 6) Keluarga Besar WAHABers (Lik Vivi, Lik Gito, Lik Kom, Lik Iyas, Lik Aal, Lik Yuni, Mbak Iva, Ari, Mbak Bulan, Nita, Dita, serta sepupu-sepupuku) atas bantuan baik secara moril maupun materil. 7) Mbah Jawa, Lik Khot, Lik Edi, Lik Imam, Lik Nono, Lik Nurul, Lik Tatat, Sasa, Arya, dan Irham atas semangat dan doa yang selalu diberikan kepada penulis.
8) Intan, Isnani, Estrid, Eka, Ranti, Didie, Enif, Masikah, Didie, Ulfah, Jilly, Glory, Anang atas semua bantuan, semangat, pengertian, dan kasih sayang yang telah diberikan. 9) THP’41: Dede, Yudha, Fahmi, Gilang, Nicholas, Andi, Sereli, Ari, Ika, Yanti Anim, Alif, Alim, Windi, Deri, Opik, Dika, Nuzul, Laler, Haris, Hangga, Dila, Nia, Vera, Ima, Syeni, Anez, Indah, Barlian, Santi, Blacky, Tias, Tetha, Yayan, Tri, Fuji, Deslina, Wahyu, Rijal, Rijan, Dani, Afid, Yugha, Tomi, Ubit, Wisnu, Yogi, Juan. Bersama kalian 4 tahun ini menjadi menyenangkan, semoga sukses akan kita raih bersama. 10) Mas Zaki, Mas Ipul, Mas Mail, dan staf TU THP. 11) Pak Nurwanto, Bu Ema, mbak Icha, Bu Rubiyah, dan Pak Danuarsa. 12) Mbak Etik, Devi, Dini, Bi Koya. 13) Semua orang yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang selalu memberikan doa, dan perhatian kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor,
Mei 2009
Amelia Tri Wijayanti
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI...............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xi
1. PENDAHULUAN...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang...............................................................................
1
1.2. Tujuan...........................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
3
2.1. Deskripsi Ikan Selar kuning (Caranx leptolepis)..........................
3
2.2. Protein ...........................................................................................
5
2.3. Pepton............................................................................................
7
2.4. Enzim papain.................................................................................
8
2.5. Hidrolisis Protein...........................................................................
10
3. METODOLOGI ..................................................................................
12
3.1. Waktu dan Tempat ........................................................................
12
3.2. Alat dan Bahan..............................................................................
12
3.3. Metode Penelitian .........................................................................
13
3.3.1. Penelitian tahap pertama ..................................................... 3.3.2. Penelitian tahap kedua ........................................................ 3.3.3. Penelitian tahap ketiga..........................................................
13 16 18
3.4. Prosedur Analisis .........................................................................
18
3.4.1. Analisis proksimat .............................................................. a. Kadar air (AOAC 1995) .................................................. b. Kadar abu (AOAC 1995) ................................................ c. Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995).............. d. Kadar lemak (AOAC 1995) ............................................ 3.4.2. Rendemen pepton ikan selar ............................................... 3.4.3. Derajat Putih (Kett Whiteness Elektric Laboratory 1981 di acu dalam Tababaka 2004) ............................................. 20 3.4.4. Uji sensori (Rahayu 2001) .................................................. 3.4.5. Kadar asam amino (AOAC 1995).......................................
18 18 19 19 20 20
21 21
3.4.6. Analisis α-amino nitrogen bebas (Lembaga penelitian Teknologi Perikanan 1974) ................................................. 22 3.4.7. Uji Pertumbuhan Mikroorganisme (Modifikasi Poernomo 1997) ................................................................................... 23 3.4.8. Kelarutan dalam air ............................................................. 3.4.9. Kadar NaCl .........................................................................
24 24
3.5. Analisis Statistik (Steel dan Torrie 1980) .....................................
25
3.5.1. Penelitian pendahuluan ....................................................... 3.5.2. Penelitian utama .................................................................. 3.5.3. Uji sensori ...........................................................................
25 25 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
28
4.1. Penelitian Pendahuluan ..................................................................
28
4.1.1. Komposisi kimia daging ikan selar (Caranx leptolepis)..... 4.1.2. Penentuan waktu hidrolisis optimum ..................................
28 28
4.2. Penelitian Utama ............................................................................
30
4.2.1. Kadar NTT/NTB ................................................................. 4.2.2. Kadar Lemak....................................................................... 4.2.3. Rendemen............................................................................ 4.2.4. Derajat Putih ....................................................................... 4.2.5. Uji sensori ........................................................................... a. Warna .............................................................................. b. Bau .................................................................................. c. Tekstur............................................................................. d. Penampakan .................................................................... 4.2.6. Pertumbuhan Mikroorganisme............................................ a. Escherichia coli............................................................... b. Staphylococcus aureus ....................................................
31 33 34 35 37 37 39 40 41 43 44 47
4.3. Penelitian Tahap Ketiga .................................................................
49
4.3.1. Analisis Asam Amino ......................................................... 4.3.2. Perbandingan karakteristik pepton......................................
50 56
5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
59
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
61
LAMPIRAN...............................................................................................
66
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
1. Komposisi kimia daging ikan selar dalam setiap 100 gram bahan....................................................... ............................................
4
2. Asam amino dan singkatan bakunya...................................................
5
3. Komposisi kimia ikan selar kuning (Caranx leptolepis) ....................
28
4. Kandungan asam-asam amino produk tepung pepton ........................
51
5. Perbandingan karakteristik bubuk pepton...........................................
56
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1. Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis) ...................................................
4
2. Proses hidrolisis protein dengan menggunakan enzim ...........................
11
3. Diagram alir proses pembuatan pepton (penentuan waktu hidrolisis) ....
15
4. Diagram alir proses pembuatan pepton...................................................
17
5. Pengaruh waktu hidrolisis terhadap nilai NTT/NTB ..............................
29
6. Nilai rata-rata NTT/NTB terhadap pengaruh penyaringan dan lama penyimpanan ...........................................................................................
31
7. Nilai rata-rata kadar lemak terhadap pengaruh penyaringan dan lama penyimpanan ...........................................................................................
33
8. Rendemen bubuk pepton ikan selar ........................................................
34
9. Nilai rata-rata derajat putih pada pepton ikan selar dan pepton komersial ................................................................................................
35
10. Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter warna .......................................................................................................
38
11. Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter bau ..
39
12. Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter tekstur .....................................................................................................
40
13. Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter penampakan ............................................................................................
42
14. Kurva pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung pepton.............................................................
45
15. Kurva pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung pepton ..................................................
48
16. Kandungan asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian dibandingkan dengan pepton komersial .................................
53
17. Kandungan asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian dibandingkan dengan pepton ikan gulamah ...........................
54
18. Kandungan asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian dibandingkan pepton ikan selar (post rigor dan busuk) .........
55
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Score sheet uji sensori perbandingan berpasangan terhadap pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial (Rahayu 2001)..................................................
67
2. Data mentah pengukuran nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum ....................................................................................
68
3. Normalitas data nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum ....................................................................................................
68
4. Analisis ragam nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum ....................................................................................................
68
5. Hasil uji lanjut Duncan nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum ....................................................................................
68
6. Data mentah pengukuran nilai NTT/NTB dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan..................................................................
69
7. Normalitas data nilai NTT/NTB dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan .............................................................................................
69
8. Analisis ragam nilai NTT/NTB dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan .............................................................................................
70
9. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh ukuran mesh terhadap nilai NTT/NTB
70
10. Hasil uji lanjut Duncan interaksi pengaruh ukuran mesh dan lama penyimpanan terhadap nilai NTT/NTB ....................................................
70
11. Data mentah pengukuran nilai kadar lemak dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan..................................................................
71
12. Normalitas data nilai kadar lemak dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan .............................................................................................
71
13. Analisis ragam nilai kadar lemak dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan .............................................................................................
71
14. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai kadar lemak ...............................................................................................
72
15. Rendemen pepton ikan selar .....................................................................
72
16. Normalitas data nilai rendemen pepton ikan selar ....................................
73
17. Analisis ragam rendemen pepton ikan selar .............................................
73
18. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh ukuran mesh terhadap nilai rendemen pepton ikan selar.......................................................................
74
19. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai rendemen pepton ikan selar.......................................................................
74
20. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh interaksi penyaringan dan lama penyimpanan terhadap nilai rendemen pepton ikan selar .........................
74
21. Data mentah pengukuran nilai derajat putih pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan serta pepton komersial............
75
22. Normalitas data nilai derajat putih pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan serta pepton komersial ............................
75
23. Analisis ragam nilai derajat putih pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan serta pepton komersial ............................
76
24. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai derajat putih...............................................................................................
76
25. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh ukuran mesh terhadap nilai derajat putih ..........................................................................................................
76
26. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh penyimpanan dan ukuran mesh terhadap nilai derajat putih........................................................................
77
27. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter warna antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial .............................
78
28. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter bau antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial .............................
79
29. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter tekstur antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial .............................
80
30. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter penampakan antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial .............................
81
31. Uji Kruskal Wallis nilai sensori perbandingan berpasangan parameter warna, bau, tekstur, dan penampakan .......................................................
82
32. Hasil uji Duncan pengaruh interaksi penyimpanan dan ukuran mesh terhadap nilai sensori parameter penampakan ..........................................
82
33. Data absorbansi pertumbuhan bakteri Escherichia coli............................
83
34. Data absorbansi pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus .................
84
35. Uji Asam amino pepton ikan selar kuning (Caranx leptolepis)................
85
36. Kromatogram asam amino standar............................................................
86
37. Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar...............................
87
38. Uji kelarutan dalam air..............................................................................
88
39. Uji Kadar NaCl .........................................................................................
88
40. Uji α-amino nitrogen bebas.......................................................................
88
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sumberdaya ikan di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya perikanan
yang cukup melimpah. Potensi ikan yang begitu berlimpah oleh masyarakat seringkali hanya dimanfaatkan sebagai sumber pangan saja, hal ini mengakibatkan meningkatnya limbah khususnya dari perikanan karena potensi yang ada kurang dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu bentuk pemanfaatan hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi antara lain berupa hidrolisat protein, tepung ikan, minyak ikan, penyamakan, fish silage, fish meal, dan masih banyak lagi. Hasil hidrolisat protein yang sedang dikembangkan sekarang adalah pepton. Produk pepton banyak digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme dan yang dibutuhkan dalam perkembangan bioteknologi. Pepton adalah protein dari jaringan hewan atau tumbuhan yang telah mengalami proses hidrolisis atau telah mengalami pemutusan ikatan menjadi asam amino dan peptida sebagai sumber
nitrogen
bagi
mikroorganisme
(Peterson
dan
Johnson
1978).
Sumber nitrogen merupakan bahan utama yang cukup mahal dalam mikrobiologi (Kurbanoglu dan Algur 2001). Ikan selar kuning memiliki kandungan protein yang tergolong tinggi yaitu antara 15 %-20 % (Stansby 1982), hal ini merupakan faktor pendukung bagi pembuatan produk hasil hidrolisat protein seperti pepton. Menurut BPS 2005, produksi ikan selar kuning di Jakarta pada tahun 2004 sebesar 1.674 ton/tahun dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 1.909 ton/tahun.
Hal ini menunjukkan
bahwa produksi ikan selar kuning di Jakarta memiliki jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga ikan selar kuning memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan bahan baku pembuatan pepton. Harga pepton komersial dan sumber nitrogen organik lainnya masih mahal di Indonesia karena masih harus mengimpor dari luar negeri.
Harga Pepton
komersial produksi difco dengan merk dagang Bactopeptone per 500 gramnya sebesar US $ 88,20 (sekitar Rp. 882.000) dan per 2 kilonya sebesar US $ 346,40 (sekitar Rp. 3.464.000) (Anonimous 2008a). Tahun 2007, impor pepton mencapai
nilai sebesar US $ 13.202.780 dimana nilai impor pepton pada bulan Januari sampai Februari 2007 saja sudah mencapai US $ 1.760.554, dan pada bulan Januari sampai Februari 2008 impor pepton terus mengalami peningkatan dengan nilai sebesar US $ 2.249.606 (BPS 2008). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan pepton di Indonesia sangat tinggi, sehingga dibutuhkan produksi pepton di dalam negeri agar kegiatan impor dari luar negeri dapat dikurangi dan mulai menggunakan produksi dalam negeri. Pada perkembangannya, biaya produksi pepton di Indonesia tidaklah dapat menyaingi harga pepton yang telah beredar dipasaran dunia, sehingga proses pembuatan pepton masih perlu dicarikan solusi dari tingkat produksinya. Salah satu solusi yang efektif adalah dengan mencoba mengganti proses sentrifugasi yang terdapat pada proses pembuatan pepton dengan melakukan penyaringan dengan nilon mesh untuk memisahkan substrat dan filtrat, serta melakukan proses penyimpanan dalam kondisi dingin untuk memisahkan lemak yang masih terlarut dalam proses hidrolisis. 1.2. Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas dari pepton yang dihasilkan dan membandingkan pepton yang dihasilkan dengan pepton komersial, pepton ikan gulamah, pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: - Mengetahui waktu hidrolisis yang paling optimum dalam proses pembuatan pepton ikan selar kuning; - Menentukan pepton terbaik dengan perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan melalui uji fisika, kimia, sensori, dan mikrobiologi; - Membandingkan kualitas pepton yang dihasilkan dengan pepton komersial, pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk).
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis) Ikan selar kuning termasuk ke dalam golongan ikan pelagis kecil. Nama Internasional dari ikan selar kuning adalah Yellowstripe scad.
Klasifikasi
ikan selar kuning (Caranx leptolepis) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Perciformes
Famili
: Carangidae
Genus
: Caranx
Spesies
: Caranx leptolepis
Bentuk tubuh ikan selar kuning (Caranx leptolepis) lebih kecil daripada ikan selar yang lain. Panjang tubuh ikan ini sampai dengan 16 cm. Jenis ikan ini ditandai dengan garis lebar berwarna kuning dari mata sampai ekor. Sirip punggung ikan selar kuning terpisah dengan jelas, bagian depan disokong oleh jari-jari keras dan banyak jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dua dengan lekukan yang dalam. Sirip perut terletak di bawah sirip dada. Ikan selar termasuk ikan laut perenang cepat dan kuat.
Penyebaran ikan ini adalah semua laut
di daerah tropis dan semua lautan Indopasifik.
Ikan ini banyak tertangkap
di perairan pantai serta hidup berkelompok sampai kedalaman 80 m (Djuhanda 1981). Daerah distribusi ikan selar meliputi Sumatera (Teluk Betung, Tarusan dan Sibolga), Palu, Nias, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi (Makasar, Bulukumba dan Manado), Laut Banda, Gisser, Kei Island-Red Sea, Zanzibar, Natal Coust, Madagaskar, Bourhan, South Arabia, India, Solomon Island, San Wich Island, Admirality Island – Circumtropical (Weber dan Beaufort 1965).
Warna tubuh ikan memiliki daya tarik tersendiri, bagian atas berwarna biru metalik, sedangkan bagian bawah berwarna putih keperakan.
Terdapat
garis kuning yang memanjang dari belakang mata sampai caudal peducle dengan titik hitam yang mencolok pada belakang operculum. Sirip dorsal, anal, dan kaudal berwarna pucat sampai kekuningan, serta sirip pelvic berwarna putih (Anonimous 2008b).
Secara morfologi, bentuk ikan selar dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Ikan selar kuning (Caranx leptolepis) Sumber: Anonimous 2008b
Ikan selar kuning termasuk kategori ikan yang berkadar lemak rendah karena kurang dari 5 % dan memiliki protein yang tergolong tinggi yaitu antara 15 %-20 % (Stansby 1982). Komposisi kimia daging ikan selar dapat dilihat melalui Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia daging ikan selar dalam setiap 100 gram bahan Jenis kandungan
Jumlah (gram)
Air
75,4
Abu
1,36
Protein
18,8
Lemak
2,2
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008)
2.2.
Protein Protein berasal dari bahasa Yunani yaitu proteos, yang berarti ”yang utama”
atau ”yang didahulukan”. Kata ini diperkenalkan oleh seorang ahli kimia dari Belanda, Gerardus Mulder (1802-1880) karena ia berpendapat bahwa protein adalah zat yang paling penting dalam setiap organisme (Almatsier 2004). Protein adalah makromolekul yang paling berlimpah di dalam sel hidup dan merupakan 50 % atau lebih berat kering sel (Lehninger 1990). Protein tersusun atas unsur C, H, O, dan N. Molekul protein juga mengandung unsur fosfor, belerang, dan ada dua jenis protein tertentu yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 1997). Semua asam amino yang ditemukan pada protein mempunyai ciri sama, yaitu gugus karboksil dan gugus amino diikat pada atom karbon yang sama. Masing-masing berbeda satu sama lain pada rantai sampingnya, atau gugus R, yang bervariasi dalam struktur, ukuran, muatan listrik, dan kelarutan dalam air (Lehninger 1990). Asam amino baku dapat dinyatakan dengan singkatan tiga huruf atau lambang satu huruf yang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Asam amino dan singkatan bakunya Asam Amino Alanin Arginin Aspargin Asam aspartat Sistein Glutamin Asam Glutamat Glisin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Prolin Serin Treonin Triptofan Tirosin Valin
Singkatan dalam tiga huruf Ala Arg Asn Asp Cys Gln Glu Gly His Ile Leu Lys Met Phe Pro Ser Thr Trp Tyr Val
Sumber: Lehninger 1990
Lambang satu huruf A R N D C Q E G H I L K M F P S T W Y V
Struktur ke-20 asam amino baku dibedakan menjadi beberapa golongan berdasarkan sifat-sifat kandungan gugus R, terutama sifat polaritasnya. Terdapat empat golongan asam amino, yaitu golongan dengan gugus R nonpolar yang bersifat hidrofobik, golongan dengan gugus R polar tetapi tidak bermuatan, golongan dengan gugus R bermuatan negatif, dan golongan dengan gugus R bermuatan positif (Lehninger 1990). Kandungan protein pada ikan pada umumnya sebesar 11-27 % (berat basah). Protein tersebut terdiri dari sarkoplasma, miofibril, dan stroma, dimana protein sarkoplasma, terutama albumin, terdapat sebanyak 30 % dari total protein, protein miofibril seperti miosin, aktin, aktomiosin, dan troponin terdapat sebesar 40-60% dari total protein dan sisanya merupakan protein stroma yang kebanyakan merupakan kolagen (Shahidi 1994). Kandungan protein sarkoplasma biasanya lebih banyak pada ikan pelagis daripada ikan demersal. Bagian daging gelap pada beberapa spesies lebih sedikit mengandung protein sarkoplasma daripada daging putihnya (Suzuki 1981). Protein miofibril terdapat di dalam otot ikan dengan kadar yang tinggi dari protein mioplastik, yaitu antara 75-85 % dari total protein otot ikan. Protein miofibril larutan di dalam larutan berkekuatan ion yang tinggi tetapi tidak larut dalam air (Govinda 1985). Protein sarkoplasma dalam jumlah besar akan membentuk haemoprotein. Kandungan protein sarkoplasma lebih banyak pada ikan pelagis dibanding ikan demersal.
Bagian otot gelap spesies ikan tertentu mengandung sedikit
protein sarkoplasma daripada otot putihnya (Suzuki 1981). Struktur protein pada umumnya labil, sehingga dalam larutan mudah berubah bila mengalami perubahan pH, radiasi, cahaya, suhu tinggi, dan sebagainya.
Protein yang
berubah ini dinamakan protein terdenaturasi,
yang mempunyai sifat-sifat fisik dan faali yang berbeda dengan protein semula (Almatsier 2004). Protein dapat diklasifikasikan dalam dua grup, yaitu homoprotein yang terdiri dari asam amino saja dan heteroprotein yang terdiri dari asam amino dan bahan nonprotein yang disebut prosthetic group. Beberapa macam bahan yang termasuk dari prosthetic group antara lain nucleoprotein (ribosom dan virus);
lipoprotein
(plasmatic
phosphoprotein
dan
(casein);
β-lipoprotein);
hemoprotein
glycoprotein
(hemoglobin,
(γ-globulin);
myoglobin);
dan
metalloprotein (alkohol dehydrogenase) (Cheftel et al. 1979). Protein merupakan sumber makanan yang sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh sekaligus sebagai zat pembangun dan pengatur.
Protein dapat juga digunakan sebagai bahan bakar apabila
keperluan energi tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak.
Protein juga
digunakan sebagai sumber nutrien dalam pertumbuhan bakteri (Todar 2008). 2.3.
Pepton Pepton dan proteosa merupakan bahan antara peptida dan protein. Proteosa
sendiri didefinisikan sebagai kelompok turunan protein, sedangkan pepton adalah protein dari jaringan hewan atau tumbuhan yang telah mengalami proses hidrolisis atau telah mengalami pemutusan ikatan menjadi asam amino dan peptida sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme.
Sifat pepton antara lain adalah
larut dalam air, tidak terkoagulasi atau tahan terhadap panas, tetapi dapat diendapkan dengan amonium sulfat dan seng sulfat, karenanya pepton digunakan sebagai nutrisi media dalam bakteriologi (Peterson dan Johnson 1978). Pepton didefinisikan sebagai hidrolisat protein yang larut air dan tidak terkoagulasi dalam panas, serta memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan fish silage dan fish meal. bagian
penting
dalam
industri fermentasi.
produksi
Media pertumbuhan ini merupakan
mikrobial
sel
dan
bioproduk
dari
Pepton dihasilkan dari proses hidolisis asam ataupun
enzimatis (Kurbanoglu dan Algur 2001). Sumber nitrogen sangat diperlukan dalam media pertumbuhan bagi mikroorganisme skala laboratorium. Pepton merupakan produk dari bahan-bahan yang mengandung protein, seperti daging, kasein, dan gelatin, selain itu mengandung vitamin dan karbohidrat. Penguraian bahan-bahan protein tersebut dapat dilakukan dengan suatu senyawa asam atau berupa enzim.
Pepton
mempunyai kemampuan berbeda dalam menunjang pertumbuhan bakteri tergantung
jenis
protein
(Pelzcar dan Chan 1986).
yang
digunakan
dan
proses
ekstraksinya
Uzeh et al. (2006) menyatakan bahwa kata “pepton” pertama dikemukakan oleh Naegeli pada tahun 1880 dari penemuannya pada albumin telur dan kemudian terus dikembangkan dengan menggunakan daging ikan, kacang kedelai, dan lain-lain. Snieszko et al. (1950) menunjukkan bahwa fish peptone memiliki bahan pengkayaan yang ideal untuk bakteri patogen pada ikan. Pepton bersifat larut dalam air, tidak terkoagulasikan oleh panas, dan tidak mengalami salting out dengan amonium sulfat, tetapi mengendap oleh pereaksi alkaloid seperti asam fosfotungstat (Winarno 1997). 2.4.
Enzim Papain Papain merupakan enzim protease yang dapat diperoleh dari getah tanaman
pepaya (Carica papaya L).
Setiap satu kilogram getah pepaya dapat
menghasilkan 200 gram enzim papain kasar (Muhidin 2000). Papain kasar dapat diisolasi dari buah pepaya dengan mengiris permukaan buah, mengumpulkan getahnya, dan melanjutkan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari atau alat pengering. Kualitas papain bervariasi tergantung pada proses pengeringan (Suhartono 1991). Enzim papain merupakan salah satu enzim yang dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis substrat protein. Aktifitas papain dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: suhu, pH, dan kekuatan ion. Papain dapat menghidrolisis amida pada residu asam amino seperti arginin, lisin, glutamin, histidin, glisin, dan tirosin. Papain merupakan protein yang terdiri dari 212 residu asam amino dengan berat molekul 21.000 Dalton yang tersusun dalam suatu rantai polipeptida tunggal (Muchtadi et al. 1992). Molekul papain mengandung sulfihidril bebas, sehingga papain dapat digolongkan dalam protease sulfihidril. Aktifitas katalis papain dilakukan melalui hidrolisis yang berlangsung pada sisi-sisi aktif papain (Wong 1989). Proses tersebut berlangsung pemisahan gugus-gugus amida yang terdapat di dalam protein melalui pemutusan ikatan peptida. Enzim papain memiliki berat molekul 23.000 Dalton, tidak aktif pada pH rendah (pH 2), memiliki pH optimal yang relatif besar dengan aktifitas maksimum pada pH 6-8 dan memiliki titik isoelektrik pada pH 8,75,
serta dapat diinaktifkan pada suhu antara 60-70 oC.
Enzim papain relatif
tidak larut dan mudah terpresipitasi oleh penambahan NaCl encer, serta dapat melakukan banyak aktifitas dalam mendegradasi protein dan menghidrolisis peptida, ikatan amida dan ester (Peterson dan Johnson 1978). Bagian penting dalam rantai polipeptida papain adalah asam amino sistein-25 dan histidin-159 yang merupakan bagian utama dalam proses katalisis. Aktifitas papain ditentukan oleh 2 gugus sulfihidril bebas dari total 6 gugus sulfihidril yang dimiliki. Protease sulfihidril ini mengandung sulfur sekitar 1,2 % (Suhartono 1991). Proteolitik termasuk dalam kelas utama enzim golongan hidrolase. Enzim hidrolase mengkatalisis reaksi-reaksi hidrolisis, yaitu reaksi yang melibatkan unsur air pada ikatan spesifik dari substrat atau bahan (Winarno 1997). Secara umum protease dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu proteinase dan peptidase.
Proteinase mengkatalisis hidrolisa molekul protein menjadi
fragmen-fragmen besar, sedangkan peptidase mengkatalisis fragmen polipeptida menjadi asam amino (Suhartono 1991). Aktifitas papain dipengaruhi banyak faktor seperti suhu, pH, kekuatan ion dan
tekanan
juga
dipengaruhi
oleh
sisi
aktifnya
yang
mengandung
gugus sulfihidril. Gugus sulfihidril ini berperan dalam reaksi hidrolisis substrat, yaitu mengangkut pembentukan ikatan kovalen tiol ester antara gugus karboksil dan sulfihidril protein papain. Papain dapat menghidrolisis amida pada residu asam amino seperti arginin, lisin, glutamin, histidin, glisin, dan tirosin (Muchtadi et al. 1992). Papain merupakan salah satu enzim proteolitik yang paling banyak digunakan dalam industri. Aplikasinya cukup luas, mulai dari bahan pelunak daging hingga berbagai industri pangan, minuman, farmasi, detergen, kulit, wool, kosmetika, dan industri biologi lainnya. Penggunaannya sebagai bahan aditif dalam
berbagai
industri
pangan
dan
minuman
tetap
tinggi
karena
aktifitas enzimatiknya yang relatif tinggi dan statusnya sebagai produk alam yang ramah atau aman untuk dikonsumsi. Dalam industri pengolahan daging, papain banyak dimanfaatkan sebagai bahan pelunak. Papain merupakan protease sulfhidril dan akan mendegradasi
protein-protein jaringan konektif dan miofibril. Proses pelunakan daging terjadi melalui mekanisme pemutusan ikatan (Chaplin and Bucke 1990). Papain juga banyak dipakai pada proses hidrolisis protein menggantikan proses-proses kimiawi. Industri pepton dan asam amino banyak memanfaatkan enzim ini. Papain juga digunakan sebagai bahan penghancur sisa limbah industri pengalengan ikan menjadi bubur ikan atau konsentrat protein hewani. Bubur ikan atau konsentrat protein ini digunakan sebagai bahan pakan ternak, ikan, atau diolah menjadi kecap. Papain juga dapat digunakan pada proses pengolahan bungkil kacang-kacangan menjadi konsentrat protein nabati (Muhidin 2000). 2.5.
Hidrolisis Protein Hidrolisis protein merupakan pemecahan ikatan antara dua atom yang
mengandung
air
(H2O).
Ikatan
peptida
protein
akan
terurai
menjadi
peptida-peptida sederhana dan asam-asam amino selama reaksi hidrolisis berlangsung (Somaatmadja 1975). Hidrolisis protein dan peptida sederhana dengan asam dan basa akan menghasilkan suatu campuran asam amino bebas. Turunan protein primer adalah protean,
metaprotean
dan
protein
terkoagulasi,
sedangkan
turunan
protein sekunder yaitu proteosa, pepton, dan peptida (Winarno 1997). Hidrolisis protein menghasilkan campuran-campuran asam amino bebas, tiap jenis protein menghasilkan proporsi asam aminonya sendiri.
Jenis-jenis
asam amino yang khas setelah hidrolisis protein tergantung pada unit penyusun pada masing-masing protein (Lehninger 1990). Proses hidrolisis protein dapat dilakukan dengan menggunakan asam, alkali (basa), atau enzim untuk menghasilkan asam amino penyusunnya. Penguraian protein dengan metode hidrolisis asam paling sering digunakan dalam menganalisis komposisi asam amino dari hidrolisat protein. Pada pembuatan hidrolisat tersebut, protein dicampur dengan 6 N HCl dan dipanaskan selama 9-12 jam (Peterson dan Johnson 1978). Hidrolisis enzimatis, tidak seperti hidrolisis asam atau basa, dapat menghindarkan modifikasi nonhidrolitik atau kerusakan produk.
Hidrolisis
protein secara sempurna dapat dilakukan dengan menggunakan enzim proteolitik.
Laju hidrolisis protein menggunakan enzim dapat dipercepat dengan perlakuan hidrolisis awal menggunakan asam pada suhu 60 oC (Peterson dan Johnson 1978). Hidrolisat didefinisikan sebagai protein yang mengalami pemutusan ikatan melalui proses hidrolisis baik secara enzimatik atau kimiawi, menjadi peptida dengan berbagai macam ukuran (Kristinsson dan Rasco 2000). Ada tiga perubahan pada ikatan peptida selama proses hidrolisis berlangsung, yaitu kenaikan jumlah gugus terionisasi (NH4+, COO-) sehingga produk bersifat hidrofilik, penurunan ukuran molekul rantai polipeptida sehingga sifat
antigenisitas
membentuk
menurun
struktur
tajam
hidrofobik
dan
yang
perubahan terbuka
struktur
terhadap
molekul lingkungan
(Kristinsson dan Rasco 2000). Hidrolisis ikatan peptida dalam protein meningkatkan jumlah gugus bermuatan dan sisi hidrofilik karena membukanya molekul protein, pada umumnya meningkatkan kelarutan dan derajat hidrolisis namun menurunkan viskositas (Zayas 1997).
Prinsip dasar proses hidrolisis
diuraikan dengan Gambar 2. a) Enzim membuka ikatan peptida: -CHR’-CO-NH-CHR”+ H2O ⎯Enzim ⎯⎯→ CHR’-COOH + NH2-CHR” b) Proton mengalami pertukaran: -CHR’-COOH + NH2-CHR”
-CHR’-COO- + NH3- CHR”
Gambar 2. Proses hidrolisis protein dengan menggunakan enzim (Peterson 1981) Asam amino sebanyak 20 macam, memiliki 380 ikatan peptida yang bermacam-macam merupakan target dari aksi enzim.
Enzim tertentu hanya
mampu memecah tipe tertentu juga, dan pada beberapa kasus reaksi suatu enzim dapat membuat peptida terpecah menjadi ikatan yang mampu dipecah kembali oleh enzim lain. Protein murni biasanya tertanam di dalam struktur tiga dimensi rantai protein dan protein murni ini sangat rentan terhadap proses hidrolisis (Peterson 1981).
3. METODOLOGI 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan September sampai bulan Desember 2008,
bertempat
di
Laboratorium
Laboratorium Mikrobiologi
Karakteristik Hasil
Bahan
Perairan,
Baku
Hasil
Laboratorium
Perairan, Biokimia
Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Pengolahan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian; Laboratorium Balai Penelitian dan
Pengembangan
Sumberdaya
Hayati
dan
Bioteknologi
(BPPSHB),
Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Kimia Pangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Departemen Pertanian, Cimanggu Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam pengolahan pepton ini adalah ikan selar kuning (Caranx leptolepis) dan enzim papain yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bahan untuk uji pertumbuhan bakteri adalah yeast extract, NaCl, Nutrient broth, Nutrient agar, alkohol dan biakan bakteri (Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus).
Bahan untuk
analisis lain yaitu kjeltab, H2SO4 pekat, Akuades, NaOH 40 %, H3BO4 4 % yang mengandung
indikator
(BCgMM),
HCl
(total
nitrogen,
protein,
dan
nilai NTT/NTB); heksana (kadar lemak); Ba2SO4 (derajat putih); Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan pepton antara lain pisau, talenan, baskom, timbangan, oven, bejana (untuk menghidrolisis), nilon berukuran 200, 300, 375 mesh, shaker bath, pengaduk, termometer, erlenmeyer, toples kaca, hot plate (untuk inaktivasi enzim), lemari es (untuk penyimpanan dingin), spray dryer. Alat untuk uji pertumbuhan bakteri antara lain inkubator, bunsen, spektrofotometer, pipet volumetrik, erlenmeyer, jarum ose, tabung reaksi, dan autoklaf. Alat untuk uji asam amino antara lain High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Alat lain yang digunakan adalah destilator, labu ukur, destruktor, labu kjedhal (uji total nitrogen, protein, dan nilai NTT/NTB); soxhlet,
kertas saring bebas lemak, kapas, tanur (uji kadar lemak); alat Kett Whiteness (uji derajat putih); kertas whatman no.42 (uji kelarutan dalam air). 3.3.
Metode Penelitian Analisis proksimat ikan selar dilakukan di awal penelitian untuk
mengetahui komposisi kimia ikan selar. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, tahap pertama merupakan penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui waktu hidrolisis optimum bagi pepton ikan selar kuning dengan menggunakan perlakuan waktu hidrolisis (4, 6, 8, dan 10 jam).
Tahap kedua merupakan
penelitian utama bertujuan untuk menentukan pepton terbaik dengan memberi perlakuan penyaringan menggunakan nilon mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama penyimpanan dingin (1, 2, dan 3 hari) dengan melakukan uji kimia, fisika, sensori, dan mikrobiologi.
Tahap ketiga bertujuan membandingkan kualitas
pepton ikan selar terbaik yang dihasilkan dengan pepton komersial produksi difco, pepton ikan gulamah, serta pepton ikan selar (post rigor dan busuk). 3.3.1. Penelitian Tahap pertama Kemampuan enzim papain dalam menghidrolisis daging ikan dapat diketahui dengan melakukan uji kandungan total nitrogen terlarut (NTT), kemudian dibandingkan dengan kandungan nitrogen total bahan (NTB), sehingga diperoleh nilai nitrogen total terlarut/nitrogen total bahan (NTT/NTB). Nilai kecepatan hidrolisis dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu, dan waktu hidrolisis. Penelitian
Saputra
(2008)
yang
menggunakan
bahan
baku
ikan
selar kuning diperoleh hasil bahwa konsentrasi enzim optimum adalah 0,2 %, suhu hidrolisis optimum adalah 60 oC, sedangkan pada penentuan waktu hidrolisis diketahui bahwa nilai NTT/NTB yang dihasilkan terus meningkat dengan semakin lamanya waktu hidrolisis, sehingga pada penelitian tahap pertama ini dilakukan penentuan waktu hidrolisis dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui waktu hidrolisis yang paling optimum. Penelitian tahap pertama bertujuan menentukan waktu hidrolisis optimum pada pembuatan pepton, diberikan perlakuan waktu hidrolisis selama 4, 6, 8, dan 10 jam. Proses pembuatan pepton diawali dengan pencucian dan penyiangan ikan
dengan memisahkan bagian kepala dan jeroan, kemudian badan ikan yang terdiri dari daging dan tulang melalui proses pengecilan ukuran menggunakan pisau. Ikan yang telah dicacah ditambahkan akuades dengan perbandingan 2:1 (2 bagian air dicampur dengan 1 bagian ikan). Campuran ikan dan akuades dimasukkan ke dalam bejana kemudian diaduk sampai tercampur rata (homogen). Campuran ikan dan akuades kemudian ditambahkan enzim papain sebanyak 0,2 % dari volume keseluruhan ikan dan akuades. Larutan kemudian diaduk selama 15 menit, lalu erlenmeyer dimasukkan dalam shaker bath dengan suhu 60 oC selama 4, 6, 8, dan 10 jam. Inaktivasi enzim perlu dilakukan setelah proses hidrolisis selesai, hal ini bertujuan untuk menghentikan aktivitas enzim pada saat proses hidrolisis.
Inaktivasi enzim dilakukan dengan memberikan
perlakuan panas, yaitu mengatur suhunya sampai 85 oC selama 15 menit. Sampel yang dihasilkan kemudian disaring dengan nilon mesh berukuran 200 mesh.
Hasil penyaringan selanjutnya disimpan pada suhu 4 oC selama
24 jam. Hal ini bertujuan untuk memisahkan lemak dengan air agar pepton yang dihasilkan bermutu baik dan memiliki daya simpan yang lama. Pemisahan lemak dilakukan dengan cara mengambil lemak yang mengapung di atas cairan secara hati-hati. Setiap sampel yang telah dilakukan proses pembuangan lemak, untuk selanjutnya dilakukan uji total nitrogen terlarut. Kandungan nitrogen terlarut kemudian dibandingkan dengan kandungan total nitrogen bahan sehingga dihasilkan perbandingan nitrogen total terlarut dan nitrogen total bahan (NTT/NTB). Diagram alir proses pembuatan pepton pada tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 3.
Ikan selar kuning Penyiangan dan pemotongan dibuang bagian jeroan, insang dan kepala Pencacahan
Homogenisasi dengan akuades (1:2)
Penambahan enzim papain 0,2 % (b/v)
Hidrolisis pada shaker bath (selama 4, 6, 8, dan 10 jam)*
Inaktivasi enzim pada suhu 85oC; 15 menit
Penyaringan dengan nilon mesh (200 mesh)
Padatan
Filtrat Penyimpanan pada suhu 4oC selama 24 jam
Pemisahan lemak
Cairan pepton p
Analisis NTT/NTB
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan pepton (Balitkan 1999 diacu dalam Praptono 2006) (penentuan waktu hidrolisis) Keterangan:
: Mulai dan akhir proses : Persiapan proses : Proses *Perlakuan
3.3.2. Penelitian tahap kedua Penelitian tahap kedua merupakan penelitian utama yang bertujuan untuk menentukan pepton terbaik dengan perlakuan penyaringan menggunakan nilon mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama penyimpanan dingin (1, 2, dan 3 hari).
Perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan digunakan sebagai
pengganti proses sentrifugasi dalam pembuatan pepton, tujuan sentrifugasi adalah untuk memisahkan filtrat dan padatan (dalam penelitian digantikan dengan perlakuan penyaringan), selain itu sentrifugasi juga bertujuan untuk memisahkan partikel-partikel yang memiliki berat molekul yang berbeda sehingga lemak dan peptida yang tercampur di dalam filtrat dapat dipisahkan (digantikan dengan perlakuan lama penyimpanan). Proses penyaringan dilakukan setelah proses inaktivasi enzim selesai. Hasil hidrolisis disaring menggunakan nilon mesh dan ditampung dalam bejana sehingga padatan berupa tulang dan daging tidak ikut tercampur dengan filtrat. Filtrat hasil penyaringan diberi perlakuan penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1 hari kemudian endapan lemak pada permukaan filtrat dipisahkan dengan menggunakan sendok, selanjutnya penyimpanan dilakukan kembali selama 24 jam dan dilakukan pemisahan lemak kembali. Filtrat yang telah disimpan selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari kemudian dikeringkan menggunakan pengering semprot (spray dryer) sehingga produk akhir pepton berbentuk bubuk. Pengujian kualitas pepton dilakukan dengan melakukan uji kimia (NTT/NTB dan kadar lemak), fisika (derajat putih, rendemen), sensori (uji perbandingan pasangan), dan mikrobiologi (Optical Density). Analisis ragam dilakukan untuk menentukan pepton terbaik dari semua perlakuan. Diagram alir proses pembuatan pepton pada tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 4.
Ikan selar kuning
Penyiangan dan pemotongan dibuang bagian jeroan, insang dan kepala
Pencacahan Homogenisasi dengan akuades (1:2)
Penambahan enzim papain 0,2 % (b/v)
Hidrolisis pada shaker bath (suhu 60 oC selama waktu hidrolisis optimum)
Inaktivasi enzim pada suhu 85 oC; 15 menit
Penyaringan dengan nilon mesh (200, 300, 375 mesh)*
Padatan
Filtrat Penyimpanan pada suhu 4 oC (1 hari 2 hari, dan 3 hari)* Analisis NTT/NTB Pemisahan lemak Pengeringan spray dryer
Pepton
Kadar lemak, Derajat putih, Uji sensori, Uji karakteristik
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan pepton (Balitkan 1999 diacu dalam Praptono 2006) (modifikasi) Keterangan:
: Mulai dan akhir proses : Persiapan proses : Proses *Modifikasi
3.3.3. Penelitian tahap ketiga Penelitian
tahap
ketiga
merupakan
tahap
pembandingan
antara
pepton terbaik dari penelitian tahap kedua dengan pepton komersial (Bactopeptone produksi difco), pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Perbandingan pepton ini berdasarkan karakteristik pepton dan kemampuan daya dukung pepton terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Karakteristik pepton meliputi asam amino, total nitrogen, α-amino nitrogen bebas, kelarutan dalam air, kadar NaCl, perbandingan antara α-amino nitrogen bebas dan
total
nitrogen (AN/TN) dan kadar lemak. 3.4.
Prosedur Analisis Analisis dilakukan untuk mengetahui mutu karateristik pepton yang
dihasilkan.
Berikut ini adalah beberapa analisis yang dilakukan dalam
proses pembuatan pepton ikan selar kuning. 3.4.1. Analisis proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari
ikan
selar kuning (Caranx leptolepis). a. Kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 15 menit, dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dikeringkan selama 5 jam dan ditimbang kembali. ditentukan dengan rumus:
Kadar air =
W1 − W2 x100% W1
Keterangan: W1 = berat sampel awal (g) W2 = berat sampel setelah dikeringkan (g)
Kadar air
b. Kadar abu (AOAC 1995) Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC, lalu didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel 5 g sampel ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu, diletakkan dalam tanur pengabuan dengan suhu 400 oC sekitar 1 jam dibakar hingga diperoleh abu berwarna putih. Cawan lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Berat abu (g) = berat cawan akhir (g) – berat cawan kosong (g) Kadar abu =
berat abu (g) x 100% berat contoh (g)
c. Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Kjedahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 50 ml, lalu ditambahkan kjeltab dan 25 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi sampai cairan berwarna hijau bening lalu dibiarkan sampai dingin. Sampel yang telah dingin lalu dipindahkan ke labu ukur dan dilakukan pengenceran dengan akuades. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat hingga berwarna coklat kehitaman, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer berisi 125 ml H3BO3 dan indikator (BCgMM), lalu dititrasi dengan HCl 0,02 N. Larutan blanko dianalisis seperti sampel. Perhitungan kadar protein dan total nitogen dengan rumus: % Protein (%)
=
(a − b) × fp × N HCl × 14,007 × 100% × 6,25 mg sampel
N total (%)
=
(a − b) × N HCl × 14,007 × 100% mg sampel
Keterangan : a = ml titrasi sampel N = Normalitas HCl b = ml titrasi blanko fp = faktor pengenceran kadar protein = 10 faktor pengenceran total nitrogen = 5
d. Kadar lemak (AOAC 1995) Kadar
Lemak
ditentukan
dengan
menggunakan
metode
ekstraksi soxhlet. Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Sampel sebanyak 5 gr dibungkus dalam
kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak. Sampel yang telah dibungkus kemudian diletakkan di dalam alat ekstraksi soxhlet. Larutan heksana ditambahkan ke dalam labu lemak, kemudian dilakukan refluks selama minimum 5 jam hingga pelarut turun kembali ke labu lemak menjadi jernih.
Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi sampai habis,
kemudian pelarutnya ditampung. Labu lemak setelah destilasi dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 oC sampai berat labu tetap dan didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemaknya ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan rumus: % Lemak =
Berat lemak (g ) x100 Berat sampel (g)
3.4.2. Rendemen pepton ikan selar Rendemen pepton ikan selar dihitung dari ikan selar basah yang melalui proses penyaringan dan lama penyimpanan kemudian dikeringkan sehingga menjadi bubuk. Rendemen (%) = Keterangan :
Α × 100 % Β
A = berat pepton setelah dikeringkan (g) B = berat ikan utuh (g)
3.4.3. Derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu dalam Tababaka 2004) Sampel berupa tepung dimasukkan ke dalam cawan whiteness meter hingga padat dan penuh. Kemudian cawan berisi sampel beserta cawan berisi standar (dapat berupa white plate atau serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam sistem Kett Whiteness Meter. Derajat putih diukur dengan membandingkan
warna sampel
dengan warna kontrol. Nilai ini ditunjukkan oleh jarum penunjuk pada monitor.
3.4.4. Uji sensori (Rahayu 2001) Uji perbandingan pasangan adalah suatu uji skalar dengan menyajikan dua sampel secara bersamaan atau berurutan. Pada uji perbandingan pasangan ditanyakan kelebihan sampel yang satu dengan yang lainnya, kelebihan yang dimaksud dapat berarti sampel yang diujikan lebih baik atau lebih buruk dan seberapa jauh tingkat kelebihan tersebut, dalam hal ini pepton yang dihasilkan pada penelitian dibandingkan dengan pepton komersial produksi difco. 3.4.5. Kadar asam amino (AOAC 1995) Komposisi asam amino ditentukan dengan HPLC. Sebelum dipakai, perangkat HPLC harus dibilas terlebih dahulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan harus dibilas dengan akuades. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) pembuatan hidrolisat protein; (2) pengeringan; (3) derivatisasi; (4) injeksi, serta analisis asam amino. (1) Pembuatan hidrolisat protein Preparasi
sampel
yaitu
dilakukan
dengan
membuat
hidrolisat protein. Sampel ditimbang sebanyak 0,1 g dan dihancurkan dan sampel yang telah hancur ditambah dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 ml larutan tersebut dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak menganggu kromatogram yang dihasilkan.
Setelah
pemanasan selesai, hidrolisat protein disaring menggunakan milipore berukuran 45 mikron. (2) Pengeringan Hasil saringan diambil sebanyak 10 µl dan ditambahkan 30 µl larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat, dan trimetilamin dengan perbandingan 2:2:1.
Sampel
dikeringkan dengan pompa vakum untuk mempercepat proses dan mencegah oksidasi. (3) Derivatisasi Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan.
Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara
larutan metanol, pikoiodotiosianat, dan trimetilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah mendeteksi senyawa yang ada pada sampel.
Selanjutnya dilakukan pengenceran
dengan cara menambahkan 10 ml asetonitril 60 % dan natriun asetat 1 M lalu dibiarkan selama 20 menit.
Hasil pengenceran disaring kembali
dengan menggunakan milipore berukuran 45 mikron. (4) Injeksi ke HPLC Hasil saringan diambil sebanyak 20 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.
Perhitungan konsentrasi asam amino pada bahan dilakukan
dengan pembuatan kromatogram standar menggunakan asam amino standar yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino: Temperatur kolom
: 38 oC
Jenis kolom
: Pico tag 3,9 x 150 nm columm
Kecepatan alir eluen : 1 ml / menit Program
: Gradien
Tekanan
: 3000 psi
Fase gerak
: Asetonitril 60 % dan Natrium asetat 1 M 40 %
Detektor
: UV / 254 nm
Merk
: Waters
Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus yaitu persentase asam amino dalam 100 g sampel : luas puncak sampel × 0,05 mmol/ml × 5 ml × BMA × 100 luas puncak standar % asam amino = mg sampel Keterangan : BMA = Berat Molekul Asam amino
3.4.6. Analisis α-amino Perikanan 1974)
nitrogen
bebas
(Lembaga
Penelitian
Teknologi
Prinsip analisis kadar α–amino nitrogen bebas adalah pada penambahan suspensi kupriposfat ke dalam filtrat yang dibuat dari ekstrak sampel dalam larutan asam tricloroasetat (TCA 7 %), maka tembaga (Cu++) akan membentuk
senyawa kompleks dengan gugus asam amino yang berbanding langsung dengan grup amino yang ada. Prosedur analisis kadar α-amino nitrogen bebas adalah sebagai berikut: Sampel ditimbang sebanyak 25 g, ditimbang larutan 75 ml TCA 7 %, diaduk hingga homogen dan disaring. Filtrat dipipet sebanyak 10 ml ke dalam labu takar 50 ml, ditambah 2 tetes indikator fenolftalein lalu dinetralkan dengan NaOH 1 N sampai merah, kemudian ditambahkan 30 ml kupriposfat dan ditambahkan akuades hingga 50 ml. Kemudian dikocok agar campuran homogen dan disaring, filtrat dipipet sebanyak 10 ml ke dalam labu erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 0,50 ml asam asetat, glasin dan KI 20 % sebanyak 5 ml. Titrat
dengan
larutan
standar
natrium
tiosulfat
0,01
N
ditambahkan
4 tetes indikator kanji 1 % dan dititrasi hingga warna biru menghilang. Perhitungan α-amino nitrogen bebas dengan rumus: % α-amino nitrogen =
(a − b) × N × 0,014 × P × 100 berat sampel (g )
Keterangan : a = ml titrasi sampel b = ml titrasi blanko
N = Normalitas titer P = pengenceran
3.4.7. Uji pertumbuhan mikroorganisme (modifikasi Poernomo 1997) Pengujian
kemampuan
pepton
sebagai
sumber
nitrogen
dalam
medium pertumbuhan mikroorganisme dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis mikroorganisme dengan karakteristik yang berbeda. Mikroorganisme yang digunakan berasal dari isolat murni yang mewakili bakteri Gram postif dan Gram negatif yaitu Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Bakteri sebelum digunakan dilakukan penyegaran dulu pada media nutrient agar selama 24 jam, kemudian dipindahkan ke nutrient broth selama 24 jam,
sebelum bakteri dipindahkan ke media pepton, nutrient broth diukur nilai absorbansinya sampai 0,6, apabila nilai absorbansinya telah mencapai lebih dari 0,6 maka bakteri telah siap dipindahkan pada media pepton (Chateris et al. 2001). Medium pertumbuhan dibuat dengan melarutkan ekstrak pepton sebanyak 1 g ditambahkan air hingga 100 ml sehingga konsentrasi protein dalam media diasumsikan sebanyak 1 % (b/v). Bubuk pepton komersial digunakan sebagai media pembanding dalam menguji kemampuan daya dukung pepton ikan selar.
Masing-masing media ditambahkan yeast extract sebanyak 0,50% dan NaCl 1%. Setelah itu medium yang telah diatur pH-nya dengan menggunakan HCl atau NaOH terlebih dahulu kemudian disterilisasi (untuk bakteri pH 7,00 ± 0,01). Inokulasi kultur mikroba murni dilakukan dengan mengambil 1 ml kultur murni dan dimasukkan ke dalam 9 ml media yang telah diberi pepton, kemudian kultur yang telah dimasukkan ke dalam media di inkubasi dalam suhu 37
o
C selama 24 jam. Pengamatan OD (Optical Density) dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan bakteri setiap 2 jam sekali. 3.4.8. Kelarutan dalam air Uji kelarutan air menggunakan metode gravimetri. Kertas saring Whatman no.42 dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 oC selama 3 jam, lalu ditimbang. Sampel sebanyak 1 g ditambah 150 mL akuades kemudian disaring dengan kertas whatman no.42 dengan bantuan pompa vakum.
Kelarutan dalam air =
100 − (a − b) × 100% (100 − % KA)/100) × c
Keterangan : a = Kertas saring ditambah residu b = Kertas saring awal c = berat sampel KA = Kadar air
3.4.9. Kadar NaCl Abu bekas penetapan kadar abu dibilas ke dalam labu ukur 100 mL, lalu ditepatkan sampai tanda garis (titik) akhir. Ion Cl- ditentukan menggunakan titrasi argentometri dan AgNO3 sebagai larutan standar. Larutan sampel diambil sebanyak 10 mL untuk dititrasi menggunakan indikator kalium kromat (K2CrO4) hingga terbentuk endapan putih berwarna merah bata. Kadar NaCl =
fp × ml AgNO 3 × N AgNO 3 × Mr NaCl × 100% mg sampel
Keterangan: fp = faktor pengenceran = 10
3.5. Analisis Statistik (Steel dan Torrie 1980)
3.5.1. Penelitian pendahuluan Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan software SPSS 12 dan Microsoft Excel 2003.
Rancangan percobaan yang
digunakan pada penelitian pendahuluan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 taraf dan 2 ulangan. Faktor yang diamati adalah waktu hidrolisis dengan 4 taraf, yaitu 4 jam, 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + Ai + εij Keterangan: Yij
= Respon pengaruh faktor waktu hidrolisis pada taraf ke-i, ulangan ke-j
µ
= Nilai rata-rata umum populasi
Ai
= Pengaruh perlakuan waktu hidrolisis pada taraf ke-i
ε
= Pengaruh acak perlakuan suhu penyimpanan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j
Hipotesis: Ho
: Waktu hidrolisis tidak berpengaruh nyata terhadap nilai NTT/NTB
Hi
: Waktu hidrolisis berpengaruh nyata terhadap nilai NTT/NTB
Data peubah yang diamati dianalisis secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA).
Apabila
analisisnya
berpengaruh
nyata,
dilanjutkan
dengan
uji lanjut Duncan. Jika analisisnya berbeda nyata pada selang 95% (α=0,05) maka dilakukan uji lanjut Duncan. Rumus uji Duncan adalah: Rр = q (Σ p;dbs;α)
kts r
3.5.2. Penelitian utama Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian utama adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Data hasil yang diperoleh dianalisis menggunakan Software SPSS 12 dan Microsoft Excel 2003. Perlakuan yang
diamati terdiri dari dua faktor, yaitu faktor A sebagai ukuran mesh dan faktor B sebagai lama penyimpanan dingin. Model rancangan yang digunakan adalah :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor α dan taraf ke-j dari faktor β.
µ
= Nilai tengah populasi.
αi
= Pengaruh perlakuan ukuran mesh ke-i (i = 200, 300, 375).
βj
= Pengaruh lama penyimpanan dingin hari ke-j (j = 1, 2, 3).
(αβ)ij
= Pengaruh interaksi perlakuan ukuran mesh ke-i, dengan lama penyimpanan dingin ke-j.
εijk
= Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k (k =1, 2) yang memperoleh kombinasi perlakuan ukuran mesh ke-i dengan perlakuan penyimpanan dingin hari ke-j.
Hipotesis : Besar ukuran mesh Ho : Perlakuan ukuran mesh tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas pepton Hi : Perlakuan ukuran mesh berpengaruh nyata terhadap kualitas pepton. Lama Penyimpanan dingin Ho' : Perlakuan lama penyimpanan dingin tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas pepton Hi' : Perbedaan perlakuan lama penyimpanan dingin berpengaruh nyata terhadap kualitas pepton Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika analisisnya berbeda nyata pada selang 95% (α=0,05) maka dilakukan uji lanjut Duncan. Rumus uji Duncan adalah: Rр = q (Σ p;dbs;α)
kts r
3.5.3. Uji sensori Analisis non parametrik yang dilakukan dalam pengujian adalah metode uji Kruskal Wallis (Steel dan Torrie 1980), yaitu: a) Merangking data dari yang terkecil ke yang terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter. b) Kemudian menghitung total ranking dan rataan untuk setiap perlakuan dengan formula:
H=
12 n (n + 1)
H' =
H Pembagi
∑
Ri − 3 (n + 1) n
Pembagi = 1 − ∑
T , dimana T = (t − 1) t (t + 1) (n − 1) n (n + 1)
Keterangan: N = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan Ri = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i T = Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’= H terkoreksi Jika hasil yang diperoleh berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison yang dihitung dengan rumus berikut: R i − R j >< Z α
2
Keterangan:
Ri
= Rataan nilai ranking perlakuan ke-i
Rj
= Rataan nilai ranking perlakuan ke-j
k
= Banyaknya perlakuan
N
= Jumlah data
α
= Taraf nyata
(N + 1) k 6
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia ikan selar kuning dan mengetahui waktu hidrolisis optimum pada pembuatan pepton ikan selar kuning. 4.1.1. Komposisi kimia daging ikan selar (Caranx leptolepis) Penentuan komposisi kimia ikan selar (Caranx leptolepis) dilakukan dengan pengujian analisis proksimat. Hasil analisis komposisi kimia ikan selar disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia ikan selar kuning (Caranx leptolepis) No
Parameter
Komposisi (%)
1
Kadar Air
75,71
2
Kadar Abu
2,31
3
Kadar Protein
15,47
4
Kadar Lemak
2,49
Tabel 3 menunjukkan bahwa ikan selar kuning memiliki kadar air 75,71 %, kadar abu 2,31 %, kadar protein 15,47 %, dan kadar lemak 2,49 %. Berdasarkan hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa ikan selar kuning memiliki kadar protein tinggi dan kadar lemak rendah. Ikan berdasarkan kandungan lemaknya digolongkan menjadi tiga, yaitu ikan berkadar lemak tinggi (> 8 %), berkadar lemak sedang (2,5-8,0 %), dan kadar lemak rendah (0,5-2,5 %). Kandungan protein erat kaitannya dengan kandungan lemak dan air, pada ikan yang kandungan lemaknya rendah rata-rata mengandung protein dalam jumlah yang besar (Hadiwiyoto 1993). 4.1.2. Penentuan waktu hidrolisis optimum Kondisi yang diperhatikan selama hidrolisis berlangsung antara lain suhu, konsentrasi enzim, dan waktu hidrolisis.
Proses hidrolisis akan menguraikan
protein menjadi peptida-peptida sederhana dan asam-asam amino, sedangkan
tulang-tulangnya masih tertinggal karena tidak dapat dihidrolisis oleh enzim (Peterson dan Johnson 1978). Penelitian Saputra (2008) diketahui bahwa konsentrasi enzim yang optimum dalam pembuatan pepton ikan selar kuning adalah sebesar 0,2 %, dan suhu optimum adalah 60 oC. Waktu hidrolisis yang digunakan sebesar 2, 4, dan 6 jam menghasilkan nilai NTT/NTB yang semakin tinggi dengan semakin lamanya waktu hidrolisis, sehingga pada penelitian tahap ini dilakukan penentuan waktu hidrolisis dengan memberi perlakuan selama 4 jam, 6 jam, 8 jam, dan 10 jam untuk mengetahui waktu hidrolisis yang lebih optimum. Penentuan waktu hidrolisis optimum dapat diketahui dengan melakukan uji kandungan total nitrogen terlarut (NTT) dibandingkan dengan total nitrogen bahan (NTB) sehingga diperoleh nilai total terlarut/nilai total bahan (NTT/NTB). Semakin tinggi nilai NTT/NTB maka semakin optimal kondisi hidrolisis yang dilakukan. Pengaruh waktu hidrolisis terhadap nilai rata-rata NTT/NTB disajikan pada Gambar 5. 0.5000 0.4500
0.41b 0.36a
Nilai NTT/NTB
0.4000
0.35a
0.36a
8 Jam
10 Jam
0.3500 0.3000 0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 4 Jam
6 Jam
Waktu hidrolisis
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 5. Pengaruh waktu hidrolisis terhadap nilai rata-rata NTT/NTB Gambar 5 memperlihatkan pengaruh waktu hidrolisis terhadap nilai NTT/NTB dari cairan pepton. Pada jam ke-4, nilai NTT/NTB sebesar 0,41 %, pada jam ke-6 nilai NTT/NTB menurun menjadi 0,36 %. Jam ke-8 dan ke-10, nilai NTT/NTB terus mengalami penurunan yaitu 0,35 % dan 0,36 %. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa waktu hidrolisis berpengaruh nyata terhadap nilai NTT/NTB.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5)
menunjukkan bahwa waktu hidrolisis jam ke-4 berbeda nyata dengan
waktu hidrolisis jam ke-6, ke-8, dan ke-10 sehingga ditetapkan bahwa perlakuan waktu hidrolisis jam ke-4 adalah waktu yang paling optimum dalam proses hidrolisis karena menghasilkan NTT/NTB paling tinggi dan berbeda nyata terhadap nilai NTT/NTB hasil hidrolisis selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam pada selang kepercayaan 95 %. Waktu merupakan salah satu faktor yang penting bagi kinerja enzim. Faktor waktu mempengaruhi kestabilan kinerja enzim, dimana kestabilan kerja
enzim
semakin
menurun
sejalan
dengan
bertambahnya
waktu
proses hidrolisis (Rose 1980). Perbedaan waktu hidrolisis yang diperoleh pada penelitian tahap ini dengan penelitian Saputra (2008) dapat disebabkan oleh perbedaan banyaknya putaran pada shaker bath, kondisi bahan baku yang tidak sama, atau kemampuan enzim menghidrolisis yang tidak sama. Shahidi et al. (1994) menyatakan bahwa pada proses hidrolisis protein ikan Capelin (Mallotus villosus), protein yang terlarut tidak mengalami peningkatan sejak awal proses hidrolisis, sehingga dengan penambahan sebanyak apapun enzim dan selama apapun penerapan waktu hidrolisis tidak akan meningkatkan jumlah protein terlarut atau dengan kata lain hidrolisat sudah mencapai fase stasioner dalam proses hidrolisis. 4.2. Penelitian Utama
Berdasarkan penelitian tahap pertama, diketahui bahwa proses hidrolisis yang paling optimum adalah selama 4 jam.
Penelitian utama bertujuan
menentukan pepton terbaik dari perlakuan penyaringan dengan tiga ukuran mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan waktu penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1, 2, dan 3 hari. Pemisahan padatan dan cairan hasil proses hidrolisis dilakukan dengan perlakuan penyaringan menggunakan nilon mesh setelah proses inaktivasi enzim selesai dan disimpan pada suhu 4 oC. Penyimpanan dilakukan untuk memisahkan lemak yang masih terlarut dalam cairan, pemisahan lemak dilakukan dengan mengambil lemak yang terapung di atas permukaan filtrat secara manual. Kemudian
cairan
(spray dryer).
pepton
dikeringkan
menggunakan
pengering
semprot
Pepton kemudian dianalisis untuk mengetahui pengaruh perlakuan penyaringan dengan nilon mesh dan lama penyimpanan dingin. Analisis produk meliputi uji kimia (kadar NTT/NTB, kadar lemak), uji fisika (rendemen dan derajat putih), uji sensori (uji perbandingan pasangan), dan uji mikrobiologi (Optical Density). Hasil uji dilakukan analisis ragam untuk mengetahui perlakuan terbaik dari pepton ikan selar, yang kemudian akan dibandingkan dengan pepton komersial dari difco, pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk). 4.2.1. Kadar NTT/NTB Pepton berperan sebagai sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan bakteri sehingga pepton yang bermutu tinggi memiliki kandungan nitrogen yang cukup tinggi terutama nitrogen yang terdapat dalam ikatan protein. Uji total nitrogen merupakan salah satu analisis yang sangat diperlukan dalam mengetahui kemampuan pepton untuk memenuhi kebutuhan nitrogen bagi mikroorganisme. Total nitrogen yang terlarut di dalam pepton ikan selar diukur menggunakan metode Kjedhal, kemudian nilai total nitrogen yang terlarut (NTT) di dalam pepton dibandingkan dengan total nitrogen bahan (NTB) sehingga didapatkan Pengaruh penyaringan dengan nilon mesh dan lama
nilai NTT/NTB.
penyimpanan cairan pepton terhadap nilai rata-rata NTT/NTB disajikan pada Gambar 6. 0.40 0.35
0.32b,c,d 0.31b,c,d 0.30b,c
Nilai NTT/NTB (%)
a,b,c
0.30
0.29 0.27a,b
0.25
0.35d 0.34c,d 0.33c,d
0.24a
1 hari 2 hari
0.20
3 hari
0.15 0.10 0.05 0.00 200 mesh
300 mesh
375 mesh
Ukuran M esh
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 6.
Nilai rata-rata NTT/NTB terhadap penyaringan dan lama penyimpanan
pengaruh
Gambar 6 menunjukkan nilai NTT/NTB mengalami perubahan pada masing-masing perlakuan.
Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan
bahwa perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai NTT/NTB, sedangkan perlakuan penyaringan berpengaruh nyata terhadap nilai NTT/NTB.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9) menunjukkan bahwa
perlakuan penyaringan 375 mesh berbeda nyata dengan penyaringan 200 dan 300 mesh. Nilai NTT/NTB tertinggi terdapat pada perlakuan penyaringan 375 mesh dengan lama penyimpanan 1 hari sebesar 0,35 %, sedangkan nilai NTT/NTB terendah
terdapat
pada
perlakuan
penyaringan
200
mesh
dengan
lama penyimpanan 3 hari sebesar 0,24 %. Penyaringan dengan nilon mesh mengakibatkan padatan yang berupa tulang dan daging terpisah dengan filtratnya, pada penyaringan 200 mesh filtrat yang dihasilkan lebih keruh dibandingkan dengan hasil penyaringan 300 dan 375 mesh karena komponen daging yang terhidrolisis masih dapat dilewatkan. Komponen yang dapat dilewatkan oleh nilon mesh tidak seluruhnya memiliki kandungan nitrogen. Hal ini disebabkan kerja enzim papain yang spesifik sehingga hanya dapat memotong rantai protein menjadi lebih kecil. Enzim papain merupakan salah satu enzim protease, secara umum protease dibagi menjadi dua yaitu proteinase dan peptidase.
Proteinase mengkatalisis
hidrolisa molekul protein menjadi fragmen-fragmen besar, sedangkan peptidase mengkatalisis fragmen polipeptida menjadi asam amino (Suhartono 1991). Proses hidrolisis dapat menguraikan protein menjadi peptida-peptida sederhana dan asam-asam amino sedangkan tulang-tulangnya masih tertinggal karena tidak dapat dihidrolisis oleh enzim (Peterson dan Johnson 1978). Mesh adalah banyaknya lubang per satuan inch (McNichols 2008). Ukuran
dengan besar 200 mesh berarti ada 200 lubang dalam satu inch persegi, begitu pula pada nilon mesh ukuran 300 dan 375. Menurut Anonimous 2008c, Nilon mesh dengan ukuran 200, memiliki diameter lubang sebesar 68 mikron, sedangkan nilon mesh dengan ukuran 300 memiliki lubang sebesar 48 mikron dan ukuran 375 memiliki ukuran 40 mikron.
Penyaringan dengan menggunakan nilon mesh berukuran 375 menyebabkan ukuran partikel yang dapat lewat hanya yang berukuran kecil saja, sehingga partikel yang terdapat pada filtrat hanya peptida dan asam amino yang telah terpotong oleh enzim papain.
Pengukuran total nitrogen dilakukan dengan
menggunakan contoh sampel sebanyak 2 g dari masing-masing pepton yang telah diberikan perlakuan, akibat ukuran partikel di dalam filtrat berbeda-beda maka perbandingan nilai total nitrogen terlarutnya menjadi berbeda pula. Filtrat dengan penyaringan 375 mesh memiliki lebih banyak nitrogen total terlarut karena dalam 2 g sampel yang diujikan memiliki nitrogen yang lebih banyak dibandingkan filtrat lainnya yang masih banyak terdapat unsur lain selain nitrogen. Jaringan tubuh ikan terdiri dari beberapa komponen yang penting antara lain protein, lemak, nitrogen non-protein, dan mineral (Govinda 1985). Pada penyaringan dengan 200 mesh dan 300 mesh komponen lain seperti lemak, mineral, pigmen, dan komponen lain yang tidak memiliki atom nitrogen dapat lolos dan masuk ke dalam filtrat, sehingga pada saat pengukuran, total nitrogen terlarutnya lebih kecil dibandingkan filtrat yang disaring menggunakan 375 mesh. 4.2.2. Kadar Lemak Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen yang mempunyai sifat dapat larut dalam pelarut tertentu seperti etanol, eter, kloroform, dan benzena (Winarno 1997). Nilai ratarata kadar lemak pepton hasil penelitian disajikan pada Gambar 7. 0.90
Kadar lemak (%)
0.80
0.82a
0.82a
0.82a
0.82a
0.82a
0.74a 0.65a
0.70 0.60
0.50a
0.50
0.49a
200 mesh 300 mesh
0.40
375 mesh
0.30 0.20 0.10 0.00 1 hari
2 hari
3 hari
Waktu penyim panan
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 7. Nilai rata-rata kadar lemak terhadap pengaruh penyaringan dan lama penyimpanan
Gambar 7 menunjukkan nilai rata-rata kadar lemak pada masing-masing perlakuan mengalami perubahan. Melalui analisis ragam (Lampiran 13) diketahui bahwa perlakuan penyaringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak, sedangkan perlakuan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai kadar lemak. Uji lanjut Duncan (Lampiran 14) menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan hari ketiga berbeda nyata dengan hari pertama dan kedua. Kadar lemak terendah terdapat dalam perlakuan penyaringan 375 mesh dan penyimpanan selama 3 hari sebesar 0,49 %. Hal ini terjadi karena semakin lama cairan pepton disimpan dalam suhu dingin maka lemak yang terlarut saat hidrolisis akan semakin banyak mengendap di permukaan cairan, yang kemudian akan dipisahkan secara manual.
Menurut Susetyo (2000), kadar lemak pada
pepton komersial produksi difco sebesar 0,40 %. Nilai rata-rata kadar lemak pada pepton ikan selar berkisar antara 0,49 %0,82 %, semakin lama penyimpanan maka nilai kadar lemak semakin rendah, namun masih sedikit lebih tinggi dibandingkan pepton komersial. Shahidi et al. 1994 menyatakan bahwa saat proses hidrolisis berlangsung, kadar lemak menurun dibandingkan dengan kadar lemak sebelum proses hidrolisis, hal ini akan meningkatkan stabilitas penyimpanan produk. 4.2.3. Rendemen Proses pembuatan pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan mempunyai nilai rendemen yang berbeda-beda.
Larutan
pepton yang telah diberi perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan kemudian dikeringkan menggunakan pengering semprot (spray dryer) sehingga akan berubah menjadi bubuk halus. Nilai rendemen bubuk pepton ikan selar disajikan pada Gambar 8.
4.00
Rendemen (%)
3.50
3.54i
3.41h 3.05g
2. 91f
3.00
2.68e
2.53d
2.50
2.12c
2.00
200 mesh
1.94b a
1.5
1.50
300 mesh 375 mesh
1.00 0.50 0.00 1 hari
2 hari
3 hari
Waktu penyimpanan
Gambar 8. Rendemen bubuk pepton ikan selar Gambar 8 menunjukkan nilai rendemen bubuk pepton ikan selar yang dihasilkan berbeda-beda. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17) diketahui bahwa perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap rendemen pepton ikan selar. Uji Lanjut Duncan (Lampiran 20) menunjukkan bahwa perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan berbeda nyata pada masing-masing pepton ikan selar.
Nilai rendemen tertinggi terdapat pada pepton dengan
perlakuan penyaringan 200 mesh dan lama penyimpanan 1 hari sebesar 3,54 %, nilai rendemen terendah terdapat pada pepton dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari sebesar 1,5 %. Semakin besar ukuran mesh maka semakin sedikit bahan yang dapat dilewatkan. sehingga cairan yang dihasilkan memiliki jumlah padatan yang lebih sedikit. Begitupula dengan perlakuan penyimpanan, semakin lama cairan pepton disimpan dalam suhu dingin maka lemak yang terapung di atas permukaan cairan pepton semakin banyak, hal ini mengakibatkan banyaknya cairan yang terbuang bersama dengan lemak, karena proses pemisahan lemak masih dilakukan secara manual. 4.2.4. Derajat Putih Derajat putih merupakan parameter yang menentukan tingkat warna putih dari suatu produk. Nilai derajat putih semakin tinggi maka warna produk, dalam hal ini pepton, akan semakin putih. Nilai rata-rata derajat putih pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan, serta pepton komersial (difco) disajikan pada Gambar 9.
c
b
69.1b
di fc o
H3 m es h
H3 37 5
m es h 30 0
m es h
H3
H2 20 0
m es h 37 5
m es h
H2
H2 30 0
m es h 20 0
37 5
m es h
H1
H1 m es h
30 0
85.9e
67.7a
69.45
m es h 20 0
82.2
91.6h
89.95g
88.95f
d
81.55
H1
Nilai derajat putih (%)
93.05i
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
perlakuan
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 9. Nilai rata-rata derajat putih pada pepton ikan selar dan pepton komersial. Gambar 9 menunjukkan nilai rata-rata derajat putih pepton komersial sebesar 69,1 %, sedangkan nilai derajat putih pada pepton ikan selar diperoleh hasil yang lebih tinggi dibandingkan pepton komersial, hal ini menunjukkan bahwa pepton ikan selar hasil penelitian memiliki warna yang lebih putih daripada pepton komersial. Pepton dengan perlakuan penyaringan 200 mesh dan lama penyimpanan 3 hari memiliki nilai derajat putih yang lebih kecil dibandingkan pepton komersial yaitu sebesar 67,7 %. Hasil analisis ragam (Lampiran 23) menunjukkan bahwa perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih. Uji lanjut Duncan (Lampiran 26) yang dilakukan menunjukkan bahwa pepton komersial (difco) tidak berbeda nyata dengan pepton perlakuan 200 mesh (H-1), namun berbeda nyata dengan pepton ikan selar lainnya. Lampiran 26 juga menunjukkan bahwa pepton ikan selar hasil penelitian berbeda nyata satu sama lain. Penggunaan alat pengering semprot dalam pengeringan pepton dilakukan menggunakan suhu tinggi dalam waktu yang cepat.
Setelah bahan masuk
ke dalam ruang pengeringan (drying chamber), dengan cepat kandungan air yang terdapat dalam bahan diuapkan oleh udara pengering yang terdapat di dalam ruang pengering, selanjutnya produk dikeluarkan dan masuk ke tempat penampungan produk. Kecepatan penguapan berpengaruh terhadap suhu produk akhir dimana
bila kecepatan penguapan semakin cepat maka produk yang dihasilkan akan semakin rendah suhunya (Pilosof dan Terebiznik 2000). Pada kenyataannya udara panas yang digunakan pada drying chamber akan mengalir ke seluruh bagian dari alat pengering semprot tersebut, sehingga produk akan terkena panas cukup lama pada tempat penampungan sampai proses pengeringan seluruh bahan selesai dilakukan. Hal ini menyebabkan protein yang terkandung dalam produk pepton sebagian kecil terdenaturasi, sehingga terjadi discoloration pigmen-pigmen seperti myoglobin, karotenoid, hemocyanin, dan
lain-lain.
Haard (1992) menyatakan hemocyanin atau oxyhemocyanin akan
terdenaturasi dan berubah menjadi putih saat dipanaskan. Pepton komersial memiliki warna yang agak gelap dibandingkan dengan pepton ikan selar hasil penelitian, hal ini disebabkan myoglobin pada daging
mamalia
lebih
banyak
dibandingkan
myoglobin
daging
ikan.
Kadar myoglobin mamalia sebesar 400-1000 mg % dan myoglobin ikan sebesar 37-128 mg %. Myoglobin bersifat cepat teroksidasi menjadi metmyoglobin yang menyebabkan warna daging menjadi coklat (Haard 1992). Pigmen-pigmen dalam daging seperti myoglobin, sangat mudah berubah apabila terkena oksigen maupun panas. Daging apabila dipotong maka akan dengan mudah berubah menjadi merah terang akibat terjadinya proses oksidasi myoglobin menjadi oxymyoglobin. Oxymyoglobin apabila diberi perlakuan
pemanasan maka akan berubah warna lagi menjadi coklat akibat terdenaturasinya oxymyoglobin menjadi metmyoglobin (Ledward 1992).
4.2.5. Uji sensori Pengujian
sensori
merupakan
cara
pengujian
menggunakan
indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Penilaian menggunakan alat indera ini meliputi spesifikasi mutu penampakan, bau, rasa dan tekstur serta beberapa faktor lain yang diperlukan untuk menilai produk tersebut (BSN 2006). Uji perbandingan pasangan adalah suatu uji skalar yang hampir menyerupai uji pasangan, karena dua contoh disajikan secara bersamaan atau berurutan. Perbedaan uji perbandingan pasangan dengan uji pasangan adalah pertanyaan yang diajukan terhadap panelis berbeda, dimana pada uji perbandingan pasangan ditanyakan kelebihan contoh (lebih baik atau lebih buruk) satu dengan
yang lain (Rahayu 2001).
Pepton ikan selar dibandingkan dengan pepton
komersial yaitu bactopeptone produksi difco. Parameter yang diamati antara lain adalah warna, bau, tekstur, dan penampakan. a. Warna Warna merupakan sifat sensori pertama yang langsung bisa dilihat oleh panelis (Soekarto 1985). Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap parameter warna dengan membandingkan pepton ikan selar hasil penelitian dengan pepton komersial (difco) disajikan pada Gambar 10. 2.50
2.3a 2.1a
Nilai rata-ratasensori
2.00
1.8a 1.63a 1.5a
1.47a
1.50 1.07a 1.00
0.83a 0.6a
0.50
H -3 37 5
m es h
m es h
H -3
H -3 30 0
20 0
m es h
H -2 m es h
H -2 37 5
20 0
30 0
m es h
H -2 m es h
H -1 37 5
m es h
H -1 m es h 30 0
20 0
m es h
H -1
0.00
Pe rlak uan
Keteranga : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 10. Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter warna Gambar 10 menunjukkan pepton ikan selar hasil penelitian memiliki warna yang lebih putih dibandingkan pepton komersial. Kruskal
Wallis
(Lampiran
31)
diketahui
Berdasarkan pengujian
perlakuan
penyaringan
dan
lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap warna pepton. Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa nilai rata-rata hasil uji sensori pada parameter warna yang tertinggi adalah pepton dengan perlakuan penyaringan 200 mesh dan lama penyimpanan 2 hari sebesar 2,3, sedangkan nilai rata-rata terendah adalah pepton dengan perlakuan penyaringan 200 mesh dan penyimpanan 3 hari sebesar 0,6. Nilai rata-rata pada perlakuan penyaringan 200 mesh sebesar 0,83 (H-1), 2,3 (H-2), dan turun menjadi 0,6 (H-3). Perlakuan penyaringan 300 mesh memiliki
nilai rata-rata sebesar 1,07 (H-1), 1,8 (H-2), dan meningkat sampai 2,1 (H-3). Perlakuan penyaringan 375 mesh memiliki nilai rata-rata sebesar 1,5 (H-1), 1,47 (H-2), dan meningkat menjadi 1,63 (H-3). Stephens et al. (1975) menyatakan bahwa pepton komersial merupakan pepton yang berasal dari daging hewan ternak yang dihidrolisis menggunakan enzim, dimana warna pepton komersial dari difco berwarna agak gelap (krem gelap). Warna dari pepton dipengaruhi oleh warna bahan baku itu sendiri. Tingkat kecerahan warna ditentukan oleh tebalnya lapisan oxymyoglobin di permukaan atau daerah oksigen. Myoglobin dan oxymyoglobin cepat mengalami oksidasi sehingga dengan cepat menjadi berwarna coklat abu-abu dan menghasilkan metmyoglobin akibat kerusakan globin yang terjadi pada waktu memasak daging (Buckle et al. 1987). Proses pemanasan menyebabkan myoglobin terdenaturasi menjadi metmyoglobin yang menjadi berwarna coklat
(Boles dan Pegg 2008). Dalam pembuatan pepton, pengeringan menjadi bubuk dilakukan dengan menggunakan pengering semprot (spray dryer) yang memberikan panas tinggi dalam waktu singkat sehingga penguapan terjadi cepat, namun dalam kenyataannya pengeringan yang dilakukan masih mengakibatkan myoglobin terdenaturasi sehingga mengakibatkan warna bubuk pepton menjadi coklat. b. Bau Penerimaan terhadap parameter bau cenderung lebih ditentukan oleh indera penciuman, karena pada indera tersebut (hidung) memiliki sensor yang sangat sensitif terhadap bau. Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak merupakan campuran empat bau yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 1997).
Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan
parameter bau pada pepton ikan selar yang diberi perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial disajikan pada Gambar 11.
1.8 1.6
a
1.6 1.4
a
1.37
Nilai rata-rata sensori
1.4
a
1.27
a
1.23
a
1.2 1
a
1
1
0.9
a
a
0.8
0.7
a
0.6 0.4 0.2
H -3 37 5
m es h
H -3 30 0
m es h
H -3 20 0
37 5
m es h
m es h
H -2
H -2 30 0
m es h
H -2 20 0
37 5
m es h
m es h
H -1
H -1 30 0
20 0
m es h
m es h
H -1
0
perlakuan
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 11.
Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter bau
Gambar 11 menunjukkan pepton ikan selar hasil penelitian memiliki bau yang lebih menyengat daripada pepton komersial.
Berdasarkan Gambar 11,
diketahui bahwa nilai rata-rata hasil uji sensori tertinggi adalah pepton dengan perlakuan penyaringan 200 mesh dan lama penyimpanan 1 hari, sedangkan nilai rata-rata terendah adalah pepton dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari. Hasil pengujian Kruskal Wallis pada parameter bau (Lampiran 31) menunjukkan
bahwa
perlakuan
penyaringan
dan
lama
penyimpanan
tidak berpengaruh nyata terhadap bau pepton. Perbedaan bau pada pepton ikan selar dan pepton komersial disebabkan oleh perbedaan bahan baku yang digunakan. Pepton komersial produksi Difco merupakan pepton yang terbuat dari daging hewan terestrial sehingga bau yang dihasilkan tidak amis. Herlina dan Ginting (2002) menyatakan bahwa bau amis (fish flavor) dikarenakan terbentuknya trimetil-amin dari lesitin. Pemecahan protein juga melepaskan senyawa-senyawa berbau busuk seperti hidrogen sulfida, merkaptan, indol, skatol, putresin, dan kadaverin (Fardiaz 1992). c. Tekstur Pepton pada umumnya dipasarkan dalam bentuk bubuk, karena itu larutan pepton hasil hidrolisis kemudian dikeringkan menggunakan pengering semprot (spray dryer). Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter
tekstur yang membandingkan pepton ikan selar hasil penelitian dengan pepton komersial disajikan pada Gambar 12.
Nilai rata-rata sensori
200 mesh 300 mesh 375 mesh 200 mesh 300 m esh 375 mesh 200 mesh 300 mesh 375 mesh H-1 H-1 H-1 H-2 H-2 H-2 H-3 H-3 H-3
0.00 -0.20 -0.40 -0.60 -0.80 -1.00 -1.20 -1.40 -1.60 -1.80
-0.37 -0.67 -0.97
-1.7
a
-1.57
a
-0.77
a
-0.67
a
-0.13
a
0
a
a
a
a
Perlakuan
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 12.
Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter tekstur
Gambar 12 menunjukkan bahwa pepton dengan perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan pepton komersial, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pada tekstur berkisar antara -1,7 sampai 0. Hasil pengujian Kruskal Wallis pada parameter tekstur (Lampiran 31) menunjukkan perlakuan penyaringan dan lama penyaringan tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur pepton. Nilai rata-rata hasil uji sensori pada parameter tekstur menunjukkan bahwa semakin rendah nilai rata-ratanya maka semakin kasar tekstur pepton tersebut. Gambar 12 menunjukkan pepton dengan nilai tekstur yang terendah adalah pepton dengan perlakuan penyaringan 200 mesh dan lama penyimpanan 1 hari, sedangkan pepton dengan tekstur terbaik adalah pepton dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari. Tekstur pepton yang diharapkan adalah bubuk dengan butiran yang lembut dan tidak menggumpal. Perlakuan penyaringan 375 mesh dengan lama penyimpanan 3 hari memiliki tekstur yang sama dengan pepton komersial. Pepton bersifat higroskopis, hal ini yang mungkin berpengaruh pada tekstur dari pepton itu sendiri dimana bubuk pepton memiliki kemampuan menyerap air yang
tinggi sehingga banyak terjadi gumpalan-gumpalan yang menyebabkan tekstur pepton ikan selar menjadi lebih kasar dibandingkan pepton komersial. Huda et al. (2008) menyatakan peningkatan kemampuan menyerap air pada bubuk protein merupakan akibat dari bertambahnya gugus hidrofilik dan berkurangnya gugus hidrofobik protein. Menurut Kristinsson dan Rasco (2000), terdapat tiga perubahan pada ikatan peptida selama proses hidrolisis berlangsung yaitu kenaikan jumlah gugus terionisasi (NH4+, COO-) sehingga produk bersifat hidrofilik,
penurunan
ukuran
molekul
rantai
polipeptida
sehingga
sifat antigenisitas menurun tajam, dan perubahan struktur molekul membentuk struktur hidrofobik yang terbuka terhadap lingkungan berair. d. Penampakan Uji sensori terhadap penampakan merupakan penilaian produk secara keseluruhan dengan meminta panelis memberikan penilaian secara visual (Rahayu
2001).
Penilaian
panelis
dilakukan
terhadap
penampakan
pepton ikan selar yang dibandingkan dengan pepton komersial. Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter penampakan pada pepton ikan selar hasil penelitian dengan pepton komersial disajikan pada Gambar 13. Gambar 13 menunjukkan bahwa penampakan pepton ikan selar dibandingkan pepton komersial memiliki nilai yang berbeda-beda.
Hasil
pengujian Kruskal Wallis (Lampiran 31) menyatakan bahwa perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap parameter penampakan. Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 32) diketahui bahwa pepton dengan perlakuan penyaringan 300 mesh (H-2 dan H-3) berbeda nyata dengan 200 mesh (H-1), 375 mesh (H-1 dan H-3).
200 mesh H-1
300 mesh H-1
375 mesh H-1
200 mesh H-2
300 mesh H-2
375 mesh H-2
200 mesh H-3
300 mesh H-3
375 mesh H-3
0.4
b
0.27 a
0.2
a,b
0.07
0.13
0
Nilai rata-rata sensori
-0.2 -0.4
a,b
-0.33
a
-0.37
-0.6
a,b
-0.57
-0.8 -1 -1.2 a,b
-1.4
-1.23 b
-1.4 -1.6
b
-1.53
-1.8 Perlakuan
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 13.
Nilai rata-rata hasil uji sensori perbandingan pasangan parameter penampakan
Pepton ikan selar pada penyimpanan hari pertama dan kedua memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan pepton komersial, sedangkan penampakan pada pepton ikan selar pada penyimpanan hari ketiga memiliki nilai yang lebih baik dari pepton komersial.
Nilai rata-rata terendah terdapat pada pepton dengan
perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 1 hari sebesar -1,53, sedangkan nilai rata-rata tertinggi terdapat pada pepton dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari sebesar 0,27. Penampakan dipengaruhi oleh penilaian pepton secara keseluruhan, tinggi rendahnya penilaian panelis dipengaruhi oleh penampakan bubuk pepton yang lebih baik atau lebih tidak baik dibandingkan pepton komersial. Produk pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari merupakan pepton yang lebih baik penampakannya dibandingkan
pepton
komersial.
Kadar
lemak
yang
semakin
rendah
mengakibatkan hasil pengeringan atau bubuk pepton menjadi lebih baik penampakannya. 4.2.6. Pertumbuhan Mikroorganisme Kemampuan pepton sebagai media pertumbuhan bakteri akan diketahui melalui pengujian pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan pepton komersial. Pengujian ini menggunakan dua jenis bakteri, yaitu bakteri Escherichia coli
(E. coli) dan Staphylococcus aureus (S. aureus) yang mewakili bakteri Gram negatif dan Gram positif. Analisis pertumbuhan bakteri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu membandingkan jumlah sel, berat kering, konsentrasi protein atau nitrogen, dan kekeruhan (Optical Density).
Optical Density (OD) adalah perbandingan
kekuatan cahaya yang dilalukan dari media biakan yang berisi bakteri dibandingkan dengan media biakan tanpa bakteri.
Kekeruhan dapat diukur
dengan kalorimeter, spektrofotometer, dan nefelometer (Lay dan Sugoyo 1992). Jumlah cahaya yang hilang (oleh absorpsi atau “scattering”) melalui sampel kemudian diukur menggunakan spektrofotometer.
Pengukuran absorban
dilakukan selama 20 jam dengan pengamatan setiap 2 jam sekali dan panjang gelombang 600 nm.
Masing-masing media mengandung 1 % (b/v) pepton
(pepton hasil penelitian dan pepton komersial) yang kemudian diinokulasi dengan bakteri E. coli dan S. aureus. Sel mikroorganisme jika diinokulasikan pada media, maka akan terjadi pembesaran ukuran, volume, dan berat sel. Apabila ukurannya telah mencapai dua kali dari besar sel normal, sel tersebut membelah menjadi dua sel. Umumnya, pada beberapa spesies, populasi (panen sel terbanyak yang dapat diperoleh) tercapai dalam waktu 24 jam, populasinya dapat mencapai 10 sampai 15 milyar sel bakteri per mililiter. Perbanyakan seperti ini disebabkan oleh pembelahan sel secara aseksual (Pelzcar dan Chan 1986). Tipe pertumbuhan yang cepat disebut pertumbuhan logaritmis atau eksponensial karena log jumlah sel yang digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan menunjukkan garis lurus.
Kenyataannya, tipe pertumbuhan
eksponensial ini tidak akan langsung terjadi pada saat sel dipindahkan (diinokulasikan) ke media nutrien segar dan tidak terjadi secara terus menerus dan biasanya hanya terjadi dalam satu fase yang singkat selama pertumbuhan populasi mikroorganisme (Buckle et al. 1987). a. Escherichia coli Escherichia coli (E. coli) termasuk ke dalam kelompok enterobacteriaceae,
bersifat Gram-negatif, patogen, tidak membentuk spora, memfermentasi laktosa,
motil, umumnya katalase-positif, anaerobik-fakultatif, dan oksidase-negatif (Lay dan Sugoyo 1992). E. coli mempunyai struktur utama berupa flagella di sekitar sel
(flagella peritrikus). Flagella adalah rambut-rambut yang teramat tipis mencuat menembus dinding sel dan bermula dari tubuh dasar, suatu struktur granular tepat di bawah sel di dalam sitoplasma. E. coli merupakan salah satu spesies bakteri yang diteliti secara luas, karena bakteri ini merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran (Pelzcar dan Chan 1987). Analisis pertumbuhan bakteri E. coli dilakukan dengan mengukur nilai absorbansi pada masing-masing media pertumbuhan yang mengandung 1% (b/v) pepton hasil penelitian (A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3) dan pepton komersial (difco) setiap 2 jam sekali selama 20 jam. Kurva pertumbuhan bakteri E. coli dapat dilihat pada Gambar 14. 0.600
0.500
A1 B1 C1
Nilai OD
0.400 DIFCO C3
0.300
A2 B2 C2 A3
0.200
0.100
A3 A1
B3
B3 C1 A2 B1 B2 C2
DIFCO
C3
0.000 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Waktu pengamatan
Keterangan: A1= 200 mesh H-1 B1 – 300 mesh H-1 C1= 375 mesh H-1 Gambar 14.
A2 = 200 mesh H-2 B2 = 300 mesh H-2 C2 = 375 mesh H-2
A3 = 200 mesh H-3 B3 = 300 mesh H-3 C3 = 375 mesh H-3 DIFCO = pepton komersial
Kurva pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung pepton
Bakteri E. coli yang ditumbuhkan dalam media pepton yang terdiri dari pepton dengan perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan (A1, B1, C1, A2,
B2, C2, A3, B3, dan C3) serta pepton komersial (Difco) menyebabkan kurva pertumbuhan bakteri yang berbeda-beda. Suatu bakteri diinokulasikan pada suatu medium dan memperbanyak diri dengan laju yang konstan. Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbedabeda tergantung dari jenis dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu pembelahan selnya berkisar antara 10-60 menit. Terdapat empat fase pertumbuhan selama pertumbuhan populasi mikroorganisme atau kultur yaitu fase
lambat
(stationary
(lag
phase),
phase),
dan
fase fase
eksponensial menurun
(log
(decline
phase), or
fase
death
tetap phase)
(Buckle et al. 1987). Berdasarkan Gambar 14, diketahui bahwa nilai absorbansi pada awal pengukuran (jam ke-0) berkisar antara 0,030 - 0,120, media B2 memiliki nilai absorpsi tertinggi dan media B1 memiliki nilai absorpsi terendah. Perbedaan nilai absorbansi pada awal pengukuran disebabkan oleh banyaknya bakteri yang diberikan pada masing-masing media tidak sama. Jumlah bakteri yang diberikan merupakan bakteri yang terlarut dalam 1 ml larutan broth sehingga banyaknya bakteri tidak dapat ditentukan. Lag phase merupakan fase penyesuaian diri oleh bakteri, pada fase ini
tidak ada kenaikan jumlah sel, melainkan ukuran dan besar sel. Peningkatan juga terlihat pada protein sel, DNA, dan metabolisme (Lay dan Sugoyo 1992). Kurva pertumbuhan pada Gambar 14 menunjukkan bahwa lag phase terjadi hanya pada media C1 selama 4 jam dan B2 selama 2 jam, sedangkan pada media lain bakteri E. coli tidak mengalami lag phase. Bakteri akan terus menyesuaikan diri sampai kondisi sel sesuai dengan lingkungannya, kemudian bakteri akan meningkatkan jumlah selnya dengan membelah diri, hal inilah yang dinamakan fase eksponensial (log phase). Log phase pada kurva pertumbuhan bakteri E. coli (Gambar 14) pada media pada
media C2 berlangsung selama 4 jam, pada media A1, A3, dan B3 berlangsung selama 6 jam, pada media B1, A2 berlangsung selama 8 jam, pada media, C3 dan Difco berlangsung selama 10 jam. Pada media C1, log phase berlangsung dari jam ke-6 sampai jam ke-10 dan pada media B2, log phase berlangsung dari jam ke-4 sampai jam ke-6.
Perbedaan ini disebabkan jumlah unsur hara yang
terkandung dalam media seperti nitrogen lebih banyak daripada media lain sehingga kecepatan tumbuh bakteri masih dapat dilanjutkan karena bakteri masih dapat mencerna makanan.
Rentang waktu pada fase ini disebut juga
waktu generasi (g). Jumlah sel dibandingkan waktu yang diperlukan untuk pembelahan sel dalam skala log akan membentuk garis lurus, sehingga dapat dihitung waktu yang dibutuhkan bagi pembelahan sel yaitu waktu generasi (g). Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali lipat (Lay dan Sugoyo 1992). Stationary phase merupakan fase dimana kecepatan tumbuh sama dengan
kecepatan mati sehingga jumlah sel akan konstan. Hasil pengukuran absorbansi (Gambar 14) menunjukkan bahwa bakteri mengalami fase stasioner pada waktu yang berbeda-beda. Fase stasioner pada kurva pertumbuhan bakteri E. coli pada media A1, B2, dan B3 berlangsung dari jam ke-8 sampai jam ke-10, pada media B1, A2, dan A3 berlangsung dari jam ke-10 sampai jam ke-12, media C2 berlangsung pada jam ke-6 sampai jam ke-8, pada media C1, C3, dan Difco berlangsung dari jam ke-12 sampai jam ke-14. Unsur hara seperti nitrogen, vitamin, dan karbohidrat telah habis dipakai oleh bakteri sehingga kemampuan bakteri membelah diri mulai menurun, selain itu bahan toksik juga mulai terbentuk (Lay dan Sugoyo 1992). Akumulasi bahan toksik dan menurunnya unsur hara dalam media menyebabkan bakteri mulai mengalami fase kematian (decline or death phase). Fase ini merupakan kebalikan dari log phase, jumlah sel akan terus menurun sampai diperoleh jumlah sel yang konstan untuk beberapa waktu. Death fase pada kurva pertumbuhan bakteri pada media A1, B2, dan B3
berlangsung pada jam ke-12 sampai jam ke-20, pada media B1, A2, dan A3 berlangsung pada jam ke-14 sampai jam ke-20, pada media C1, C3, dan Difco berlangsung pada jam ke-16-20, pada media C2 berlangsung pada jam ke-10 sampai jam ke-20. Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai absorbansi pada media C3 dan Difco merupakan media pertumbuhan bakteri yang lebih baik, hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai absorbansi selama pertumbuhan bakteri yang diukur selama
20 jam dibandingkan media lain.
Nilai absorbansi pada kedua media jauh
melampaui media lain karena kadar nitrogen yang terkandung pada kedua media lebih tinggi. Selain itu, kadar lemak pada media C3 merupakan kadar lemak terendah dibandingkan media A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1,dan C2. Perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari memiliki kurva pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pepton hasil penelitian lain, hal ini disebabkan nilai NTT/NTB pada pepton C3 lebih besar dibandingkan pepton lain, selain itu, kadar lemaknya juga yang paling kecil, sehingga bakteri lebih mudah mencerna nitrogen yang ada di dalam pepton. b. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus yang termasuk dalam kelompok Micrococcaceae
merupakan bakteri Gram-positif, bentuk kokus dengan penataan berpasangan dan bergerombol. Mikroba ini bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif, patogen, katalase-positif, oksidase-negatif, nonmotil, tidak berspora dan fermentatif. Bakteri ini bervariasi dalam pembentukan pigmennya. Pigmen dapat berwarna putih, kuning, atau kuning-oranye (Lay dan Sugoyo 1992). Kurva pertumbuhan bakteri S.aureus dilakukan dengan mengukur nilai absorbansi pada masing-masing media pertumbuhan yang mengandung 1% (b/v) pepton hasil penelitian (A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3) dan pepton komersial (Difco) setiap 2 jam sekali selama 20 jam. Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus dapat dilihat pada Gambar 15.
1.000 0.900 0.800 0.700 0.600
B1
C3 B3
A2
A2 DIFCO C2 B1
0.500 0.400 0.300
A1
A3 B2
A1
C1 B2 C2 A3 B3
0.200
C3
0.100
DIFCO
0.000 0
2
4
6
Keterangan: A1= 200 mesh H-1 B1 – 300 mesh H-1 C1= 375 mesh H-1
8
10
12
14
A2 = 200 mesh H-2 B2 = 300 mesh H-2 C2 = 375 mesh H-2
16
18
20
A3 = 200 mesh H-3 B3 = 300 mesh H-3 C3 = 375 mesh H-3 DIFCO = pepton komersial
Gambar 15. Kurva pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung pepton. Empat fase pertumbuhan selama pertumbuhan populasi mikroorganisme atau kultur yaitu fase lambat (lag phase), fase eksponensial (log phase), fase tetap (stationary phase), dan fase menurun (decline or death phase) juga terjadi pada kurva pertumbuhan bakteri S. aureus. Nilai absorbansi pertumbuhan bakteri S. aureus pada awal pengukuran memiliki nilai yang tidak sama, berkisar antara 0, 060 – 0,155. Nilai aborbansi tertinggi terdapat pada media B3 dan yang terendah terdapat pada media B2. Perbedaan nilai absorbansi pada awal pengukuran masing-masing media disebabkan oleh jumlah sel bakteri yang dimasukkan dalam masing-masing media tidak sama sehingga kepadatannya berbeda. Nilai absorbansi pada jam ke-2 telah mengalami peningkatan sekitar dua kali lipat dibandingkan nilai absorbansi pada jam ke-0, hal ini menunjukkan bahwa bakteri tidak melalui tahap lag phase. Melalui Gambar 15 diketahui bahwa log phase yang ditunjukkan dengan garis lurus yang terus naik berlangsung dalam
waktu yang cukup lama. Peningkatan terus terjadi sejak jam ke-2 sampai jam ke14 (media B1), jam ke- 16 (media A1, A2, B3, C1, C2, C3, dan Difco), jam ke-18 (media B2 dan A3).
Perbedaan waktu generasi ini terjadi karena adanya
perbedaan kadar unsur hara yang terkandung di dalam media sehingga nutrisi yang diterima oleh bakteri berbeda-beda. Lamanya fase eksponensial tergantung beberapa faktor, antara lain keadaan faali sel waktu dipindahkan, keadaan lingkungan sebelumnya, jumlah awal bakteri yang hidup di dalam inokulum. Bahan-bahan yang mudah masuk bukan saja zat hara, melainkan juga bahan toksik dan panas (Lay dan Sugoyo 1992). Sel bakteri yang telah mengalami peningkatan tersebut kemudian mulai mengalami fase stasioner dimana kecepatan tumbuh bakteri sama dengan kecepatan mati sehingga jumlah sel akan konstan. Fase stasioner berlangsung pada jam ke-12 (media B1), jam ke-16 (media A1, C1, B3, C3, dan Difco), dan jam ke-18 (B2, C2, dan A3).
Unsur hara seperti nitrogen, vitamin, dan
karbohidrat telah habis dipakai oleh bakteri sehingga kemampuan bakteri membelah diri telah mulai menurun, selain itu bahan toksik juga mulai terbentuk. Akumulasi bahan toksik dan menurunnya unsur hara dalam media menyebabkan bakteri mulai mengalami fase kematian (decline or death phase). Fase ini merupakan kebalikan dari log phase, dimana jumlah sel akan terus menurun sampai didapatkan jumlah sel yang konstan untuk beberapa waktu. Gambar 15 menunjukkan penurunan nilai absorbansi mulai jam ke-18 sampai jam ke-20, namun nilai tersebut tidak akan mencapai nilai 0 (nol). Nilai absorbansi pada jam ke-20 berkisar antara 0,300 sampai 0,879. Nilai tertinggi terdapat pada media A3 serta nilai terendah pada media A1. Absorbansi pada jam ke-20 memiliki nilai absorbansi yang masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena death phase yang terjadi pada bakteri S. aureus mungkin masih terus berlangsung hingga lebih dari 20 jam. 4.3. Penelitian Tahap Ketiga
Penelitian tahap ketiga bertujuan membandingkan pepton ikan selar perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan, dibandingkan dengan pepton komersial produksi difco, pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk).
Berdasarkan beberapa analisis yang dilakukan pada tahap dua,
diperoleh hasil bahwa pepton ikan selar yang paling baik sebagai media pertumbuhan bakteri adalah pepton dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan
lama penyimpanan 3 hari. Pembandingan mutu pepton antara lain dilihat dari komposisi asam amino, kelarutan dalam air, total nitrogen (TN), α-amino nitrogen (AN), AN/TN, dan kadar garam (NaCl). 4.3.1. Analisis asam amino Asam amino dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, muatan dan reaktivitasnya (Winarno 1997). Bila suatu protein di hidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan dihasilkan campuran asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada atom yang dikenal sebagai karbon α (alpha), serta gugus R yang merupakan rantai cabang (Winarno 1992). Gugus R merupakan rantai
samping,
dapat
berupa
gugus
hidrokarbon,
gugus
hidroksil,
gugus karboksil, gugus dan lain-lain (Lehninger 1990). Masing-masing asam amino mempunyai rantai samping yang khusus, yang memberikan sifat kimia masing-masing individu. Kelompok 20 molekul unit pembangun ini dapat dianggap sebagai abjad struktur protein (Lehninger 1990). Analisis asam amino bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah asam amino esensial yang terkandung dalam suatu protein bahan pangan (Muchtadi 1989). Asam amino dibagi menjadi dua macam yaitu asam amino esensial dan non esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh organisme namun sangat dibutuhkan bagi tubuh sehingga organisme sering kekurangan, sedangkan asam amino non esensial merupakan asam amino yang dapat diproduksi sendiri oleh organisme (Winarno 1992). Hidrolisat protein dapat dipisahkan dalam tiga sampai empat sistem buffer sodium. Biasanya asam amino yang ditemukan dalam hidrolisat protein yang dihidrolisis menggunakan asam, antara lain asam aspartat, treonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, sistein, valin, metionin, isoleusin, leusin, tirosin, fenilalanin, lisin, histidin, dan arginin.
Asam amino ini dibagi menjadi
tiga berdasarkan rantai sampingnya, yaitu asam amino hidroksil asid (asam aspartat dan glutamin), asam amino netral dengan rantai alifatik dan aromatik (prolin sampai fenilalanin), dan asam amino dasar (lisin sampai arginin) (White dan Hart 1992).
Mutu pepton dapat diketahui dengan membandingkan pepton ikan selar hasil penelitian (penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari) dengan pepton komersial (Bactopeptone produksi Difco), pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk).
Tabel 4 menunjukkan kandungan
asam-asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian (perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari) dibandingkan dengan pepton komersial (difco), pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Tabel 4. Kandungan asam-asam amino produk tepung pepton Pepton ikan selar Asam Pepton Pepton Amino (375 mesh; 3hari) Difco1) gulamah2) post rigor3) busuk3) Alanin 3.48 9,20 1,32 0.74 0.55 Arginin 0.78 5,80 2,89 3.27 2.85 Asam aspartat 4.29 5,00 3,55 6.5 5.92 Asam glutamat 9.31 8,10 5,41 10.18 10.43 Glisin 4.25 15,90 4,23 1.04 0.96 Histidin 1.32 0,80 4,95 4.7 4.12 Isoleusin 2.50 2,10 2,68 1.33 0.96 Leusin 3.96 3,80 2,61 4.76 2.42 Lisin 2.41 3,40 1,08 2.76 2.25 Metionin 1.70 0,70 1,50 4.01 3.07 Fenilalanin 1.98 2,80 1,27 2.17 1.68 Prolin 1.69 8,80 3,33 1.8 1.49 Serin 3.02 1,50 1,77 2.88 2.93 Sistein 0.97 1,34 1.06 0.65 Tirosin 1.32 0,60 1,28 1.45 1.32 Treonin 2.27 1,10 1,42 1.25 1.06 Valin 3.83 2,80 3,33 3.82 2.61 Sumber : 1Anonymous (2005); 2Praptono (2006) ; 3Saputra (2008) Tabel 4 menunjukkan bahwa asam amino yang dihasilkan dari proses hidrolisis menghasilkan asam amino sejumlah 17 macam dari total 20 macam asam amino yang ada sehingga dapat dikatakan proses hidrolisis pembuatan pepton dalam penelitian ini mendekati sempurna. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa asam amino yang terkandung di dalam pepton yang terbuat dari ikan selar dan ikan gulamah memiliki jumlah
asam amino yang lebih banyak dibandingkan pepton komersial, dimana pepton komersial tidak memiliki asam amino sistein. Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa kadar alanin (Ala, A), arginin (Arg, R), glisin (Gly, G), lisin (lys, K), fenilalanin (Phe, F), dan prolin (Pro, P) pada pepton komersial paling tinggi dibandingkan dengan pepton lain. Kadar histidin (His, H), isoleusin (Ile, I), dan sistein (Cys, C) pada ikan gulamah memiliki kadar yang paling tinggi. Pepton ikan selar
pepton (post
rigor) memiliki kadar asam aspartat (Asp, D), leusin (Leu, L), metonin (Met, M),
dan tirosin (Tyr, Y) paling tinggi dibandingkan pepton lainnya.
Kadar
asam glutamat (Glu, E) paling tinggi dimiliki oleh pepton ikan selar (busuk). Pepton ikan selar hasil C3 memiliki kadar serin (Ser, S), treonin
(Thr, T), dan
valin (Val, V) yang paling tinggi. Pengukuran asam amino menggunakan HPLC memiliki beberapa aturan, misalnya, seberapa besar ikatan hidrofobik berpengaruh terhadap volume dari asam amino. Sebagai contoh, asam amino yang memiliki rantai lebih pendek akan terukur lebih dulu dibandingkan asam amino yang memiliki rantai panjang, oleh karena itu, valin akan muncul sebelum leusin dan glisin akan muncul sebelum alanin (White dan Hart 1992). Treonin dan serin merupakan asam amino yang mudah terdestruksi saat proses hidrolisis, sedangkan valin dan isoleusin merupakan asam amino yang paling sulit terhidrolisis. Fenilalanin, histidin, dan arginin merupakan asam amino yang labil, namun asam aspartat, alanin, dan leusin merupakan asam amino yang stabil dan mudah terhidrolisis. Kadar metionin tinggi apabila kandungan karbohidrat pada bahan rendah (White dan Hart 1992). Kandungan asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian (perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari) dibandingkan dengan pepton komersial disajikan pada Gambar 16.
18.00 pepton ikan selar
nilai asam amino
16.00
Komersial
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 at in in rt at in m an rg spa uta Al A A gl am am s s A A
in in in in id lis us us G ist le Le o H Is
n in n ni si on la Li hi la i et n M Fe
in ol Pr
n in rin sin oni te ro is Se e Ti S Tr
lin Va
je nis asam amino
Gambar 16. Kandungan asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian dibandingkan dengan pepton komersial Berdasarkan Gambar 16 diketahui bahwa pepton komersial memiliki nilai yang lebih tinggi pada jenis asam amino glisin sebesar 15,90 %, sedangkan nilai tertinggi ada pepton ikan selar adalah asam glutamat sebesar 9,31 %. Pepton komersial tidak memiliki kandungan sistein dan jauh lebih unggul pada asam amino alanin, arginin, glisin, dan prolin. Perbedaan kandungan asam amino ini dapat disebabkan bahan baku berasal dari hewan berbeda. Pepton komersial berasal dari daging hewan ternak seperti sapi, babi, dan sebagainya sehingga kandungan glisinnya lebih tinggi. Glisin terkandung dalam kolagen sebesar hampir 35 %, dan kolagen merupakan protein paling melimpah di dalam tubuh (Lehninger 1990), selain itu atom α-karbon dan nitrogen dari glisin digunakan untuk mensintesis porfirin dari hemoglobin (Rodwell 1985). Kandungan asam amino pada produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian (perlakuan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari) dibandingkan dengan pepton ikan gulamah disajikan pada Gambar 17.
pepton ikan selar
V al in
S er in S is te in Ti ro si n Tr eo ni n
P ro lin
Li M sin et hi Fe oni n ni la la ni n
Pepton Gulamah
G lis in H is tid in Is ol eu si n Le us in
A la ni n A A sa rg in m in A A sa spa rt m at gl ut am at
nilai asam amino
10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Jenis asam amino
Gambar 17. Kandungan asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian dibandingkan pepton ikan gulamah Berdasarkan Gambar 17, diketahui bahwa kandungan asam amino tertinggi pada masing-masing pepton adalah asam glutamat sebesar 5,41 % (pepton ikan gulamah) dan 9,31 % (pepton ikan selar).
Masing-masing pepton memiliki
kandungan asam amino yang berbeda-beda Pepton ikan gulamah memiliki nilai yang lebih tinggi pada asam amino arginin, histidin, dan prolin, sedangkan pepton ikan selar hasil penelitian memiliki kandungan asam amino lebih tinggi pada alanin, asam aspartat, asam glutamat, leusin, lisin, fenilalanin, dan serin. Kandungan asam amino glisin, valin, tirosin, isoleusin, metionin hampir sama pada kedua pepton.
Perbedaan ini dapat
disebabkan perbedaan jenis bahan baku ikan serta komposisi kimia pada masingmasing ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Histamin merupakan turunan dari histidin yang terbentuk akibat reaksi dekarboksilasi, reaksi katalisis yang terjadi dalam jaringan tubuh hewan oleh aromatic L-amino acid decarboxylase.
Histidin dalam tubuh dapat
ditemukan dalam sel darah dan liver (Rodwell 1985). Hidrolisat protein mengandung asam glutamat yang tinggi yang menimbulkan rasa gurih (West dan Todd 1964), hal inilah yang menyebabkan hidrolisat protein dapat digunakan sebagai bahan penyedap rasa (MSG). Kandungan asam amino pada produk tepung pepton ikan selar hasil penelitian (perlakuan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari) dibandingkan dengan pepton ikan selar (post rigor dan busuk) disajikan pada Gambar 18.
12.00 pepton ikan selar C3
10.00 Nilai asam amino
Pepton ikan selar post rigor 8.00
Pepton ikan selar busuk
6.00 4.00 2.00 0.00
Je nis as am am ino
Gambar 18. Kandungan asam amino produk tepung pepton ikan selar hasil penelititan dibandingkan pepton ikan selar (post rigor dan busuk) Gambar 18 menunjukkan bahwa kandungan asam amino tertinggi pada masing-masing pepton adalah asam glutamat sebesar 9,31 % (pepton C3), 10,18 % (pepton post rigor), dan 10,43 % (pepton busuk). Ketiga pepton berasal dari bahan baku yang sama yaitu ikan selar kuning (Caranx leptolepis), namun kandungan asam amino yang terdeteksi memiliki nilai yang berbeda-beda, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor kesegaran dari ikan. Kandungan
histidin,
arginin,
asam
aspartat,
dan
metionin
pada
pepton ikan selar (post rigor dan busuk) lebih tinggi dibandingkan pepton ikan selar C3, sedangkan kandungan glisin, alanin, isoleusin, prolin, dan treonin pada pepton ikan selar C3 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pepton ikan selar lainnya. Berdasarkan hasil analisis asam amino diatas (Tabel 4) dapat disimpulkan bahwa pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari dapat memenuhi syarat sebagai media pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat diketahui dari jumlah asam amino yang terdeteksi oleh HPLC serta nilai kandungan dari pepton tersebut yang dalam beberapa jenis asam amino dapat mengungguli pepton lain atau paling tidak dapat hampir menyamai.
4.3.2. Perbandingan karakteristik pepton Karakteristik pepton dapat memberikan informasi mengenai mutu dari pepton itu sendiri, dalam hal ini pepton ikan selar hasil penelitian dibandingkan dengan pepton komersial (Bactopeptone dari Difco) dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Tabel 5 menunjukkan perbedaan karakteristik dari pepton ikan selar hasil penelitian (perlakuan penyaringan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari) dibandingkan
dengan
pepton
komersial,
pepton
ikan
gulamah,
dan
pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Tabel 5. Perbandingan karakteristik bubuk pepton
N o 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Karakteristik Kelarutan (dalam air %) Total Nitrogen α-amino Nitrogen bebas AN/TN
Pepton (375 mesh; 3 hari)
Pepton ikan Bactopeptone 1) Gulamah2 )
Pepton ikan selar HTS3) Post Busuk rigor (%) (%) 96,74 97,08
99,59-99,63
100
99,51-100
10,43
12-13
13,81
11,86
12,39
0,78
1,2-2,5
2,12
1,07
1,03
7,48
11-21
15,34
9,02
8,31
Kadar Garam 3,25 ≤17 0,2 0,41 (NaCl) Kadar Lemak 0,49 0,40 0,09 Sumber : 1Anonymous (2005); 2Praptono (2006); 3Saputra (2008)
4,19 0,07
Tabel 5 menunjukkan nilai kelarutan pepton ikan selar sebesar 99,59 – 99,63 %, nilai ini hampir mendekati nilai kelarutan pepton komersial dan pepton ikan gulamah sedangkan pepton ikan selar (post rigor dan busuk) memiliki nilai kelarutan dalam air yang lebih rendah. Pepton merupakan turunan protein yang larut air, tidak terkoagulasi oleh panas, dan tidak mengalami salting out dengan amonium sulfat (Winarno 1997). Hidrolisis ikatan peptida dalam protein meningkatkan jumlah gugus bermuatan dan sisi hidrofilik karena membukanya molekul protein, pada umumnya meningkatkan kelarutan dan derajat hidrolisis namun menurunkan viskositas
(Zayas 1997). Asam amino kebanyakan akan larut dalam pelarut polar seperti air dan etanol dan tidak dapat larut dalam pelarut nonpolar seperti benzena, heksana, dan eter (Rodwell 1985). Pepton ikan selar hasil penelitian memiliki jumlah total nitrogen yang lebih rendah
daripada
pepton
komersial,
pepton
ikan
gulamah,
maupun
pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Jumlah total nitrogen pepton ikan selar hasil penelitian sebesar 10,43 %, sedangkan pepton komersial memiliki total nitrogen sebesar 12-13 %, ikan gulamah 13,81 %, pepton ikan selar post rigor sebesar 11,86 % dan pepton ikan selar busuk sebesar 12,39 %.
Demikian halnya dengan nilai α-amino nitrogen, pepton ikan selar hasil penelitian memiliki kadar α-amino nitrogen sebesar 0,78 %. Nilai ini lebih rendah daripada pepton komersial (1,2 %-2,5 %), ikan gulamah (2,12 %), ikan selar post rigor (1,07 %) dan pepton ikan selar busuk (1,03 %). Rahman (2003) menyatakan bahwa nilai α-amino nitrogen menunjukkan jumlah asam amino dalam produk, semakin banyak jumlah α-amino nitrogen maka jumlah asam amino akan semakin besar. Kadar garam (NaCl) pada pepton ikan selar hasil penelitian memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan kadar garam dari pepton lainnya, namun masih kurang dari 17 % (pepton komersial).
Biasanya, konsentrasi garam
berhubungan dengan kelarutan molekul protein, apabila konsentrasi garam tinggi maka kelarutan protein menjadi menurun, begitupula sebaliknya. Saat protein dilarutkan dalam cairan, protein yang bersifat hidrofobik akan membentuk perlindungan pada area hidrofobik sedangkan protein yang bersifat hidrofilik akan berinteraksi dengan pelarut, kemudian protein akan membentuk ikatan hidrogen yang meliputi molekul air, apabila konsentrasi garam meningkat maka molekul air akan berinteraksi dengan ion garam sehingga mengurangi banyaknya molekul air yang berinteraksi dengan protein, akibatnya interaksi antar protein meningkat dan akan membentuk koagulan atau endapan. Hal inilah yang disebut dengan salting out. Proses salting in merupakan proses kebalikan dari salting out terjadi karena konsentrasi garam yang rendah mengakibatkan
menurunnya energi elektrostatik bebas dari protein sehingga meningkatkan kelarutan protein (Wong 1989).
Kadar lemak yang dimiliki oleh pepton hasil penelitian memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pepton komersial maupun pepton ikan selar (post rigor dan busuk). Nilai kadar nitrogen dan nilai α-amino nitrogen pada ikan selar hasil penelitian yang lebih rendah menunjukkan bahwa mutu pepton ikan selar hasil penelitian sedikit lebih rendah, namun berdasarkan analisis asam amino pada Tabel 5, uji kelarutan, kadar garam, dan uji pertumbuhan mikroorganisme, pepton ikan selar hasil penelitian ini masih layak digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Penelitian tahap pertama didapatkan hasil komposisi kimia ikan selar dalam penelitian memiliki kadar air sebesar 75,71 %; abu 2,31 %; protein 15,47 % dan lemak 2,49 %. Penentuan waktu hidrolisis yang optimum adalah hidrolisis selama 4 jam. Penelitian tahap kedua untuk menentukan pepton terbaik dari perlakuan penyaringan dengan tiga ukuran mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1, 2, dan 3 hari. Hasil uji menunjukkan bahwa pepton dengan perlakuan 375 mesh dan lama penyimpanan 3 hari merupakan pepton terbaik. Berdasarkan hasil uji diketahui bahwa pepton terbaik menghasilkan nilai NTT/NTB sebesar 0,33 %; nilai kadar lemak sebesar 0,49 %; nilai rendemen sebesar 1,5 %; nilai derajat putih sebesar 85,9 %; hasil uji sensori berupa warna yang lebih putih, bau yang agak lebih menyengat, tekstur yang sama dengan pepton komersial, dan penampakan yang lebih baik dari pepton komersial. Pada uji mikrobiologi diketahui bahwa pepton terbaik memiliki daya dukung yang hampir sama dengan pepton komersial baik pada bakteri Escherichia coli maupun Staphylococcus aureus.
Penelitian tahap ketiga adalah membandingkan pepton ikan selar hasil penelitian terbaik dengan pepton komersial, pepton ikan gulamah, dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk) didapatkan hasil bahwa pada uji asam amino terdeteksi 18 macam asam amino, hal ini sama dengan pepton ikan gulamah dan pepton ikan selar (post rigor dan busuk), sedangkan pada pepton komersial hanya terdeteksi 17 macam asam amino.
Asam glutamat merupakan asam amino
tertinggi sebesar 9,31 % dan arginin merupakan asam amino terendah sebesar 0,78 %. Berdasarkan karakteristik pepton, diketahui bahwa nilai kelarutan dalam air pada pepton hasil penelitian memiliki nilai sebesar 99,59 %- 99,63 %; nilai total nitrogen sebesar 10,43%; nilai α-amino nitrogen sebesar 0,78 %, dan AN/TN sebesar 7,48 % dan kadar garam sebesar 3,25%. Hasil uji menunjukkan bahwa pepton ikan selar hasil penelitian ini masih layak digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan antara lain perlu diadakan perlakuan tambahan untuk mengurangi kadar lemak dari pepton, perlu dilakukan uji pertumbuhan pada bakteri lain agar diketahui dengan pasti kemampuan daya dukung pepton yang dihasilkan, selain itu perlu dicarikan metode untuk meningkatkan nilai rendemen pada pepto n yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA : Published by The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004. [Anonimous]. [4 April 2008].
Ikan
Selar
Kuning.
http//www.pipp.dkp.go.id.
[Anonimous]. 2005. Bionutrient Technical Manual. BD Biopharmacuetical Production. http://www.bd.com. [17 Juni 2008]. [Anonimousa]. 2008. Bactopeptone. http://www.vgdusa.com/Bacto-Peptone.htm. [25 Desember 2008]. [Anonimousb]. 2008. Selaroides leptolepis (Cuvier,1833). http://www.fao.org. [17 Agustus 2008]. [Anonimousc]. 2008. Square Mesh Wire Specification. www.filterwiremesh.com [17 Juni 2008]. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. SNI 01-2346-2006. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Data Produksi Berdasarkan Jenis Ikan. Jakarta: Biro Pusat Statistik. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2008. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Impor). Jakarta: Biro Pusat Staristik. Boles JA, Ronald Pegg. 2008. Meat Color. Montana State University and Food Product Innovation Program. Saskatchewan http://www.animalrange.montana.Educoursesmeatmeatcol.pdf [2 Januari 2008]. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo H Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science. Chaplin MF, Bucke C. 1990. Enzyme Technology. Cambridge: University Press. Chateris WP, Kelly PM, Morelli L, Collins JK. 2001. Gradient diffusion antibiotic susceptibility testing of potentioally probitotic lactobacilli. J of Food Protection. 64 (12). 2007-1014.
Cheftel JC, Cuq JL, Lorient D. 1979. Amino acids, Peptides, and Proteins. Di dalam Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York: Marcel Deker, Inc. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI . 2008. Ikan, Kerang, Udang, dan Hasil Olahannya. http://www.depkes.go.id [17 Juni 2008].
Djuhanda. 1981. Dunia Ikan. Bandung: Armico. Fardiaz D. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: IPB. Govinda TK. 1985. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. PVT. LTD. Haard NF. 1992. Biochemistry and chemistry of color and color change in seafood. Di dalam Flick GJ, Martin RE. Editor. Advances in Seafood Biochemistry (Composition and Quality). Lousiana: Technomic Publishing Co, Inc. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Jakarta : Penerbit Liberty. Herlina MT, Ginting MSH. 2002. Lemak dan Minyak. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara. Huda N, FR Zakaria, Deddy Muchtadi, Suparno. 1998. Sifat Fungsional Bubuk Ikan Selar Kuning (Selaroides leptoleptis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia IV (2): 46-54. Kurbanoglu, Basaran E, Omer Faruk Algur. 2001. Use of Ram Horn Hydrolysate as Peptone for Bacterial Growth. J Biol. Vol 26. 115-123. Kristinsson HG, BA Rascon. 2000. Fish Protein Hydrolysates: Production, Biochemical, and functional Properties. Critical of reviews in Food Science. Vol 40 (1). 43-81. Lay BW, Sugoyo H. 1992. Mikrobiologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor: IPB. Ledward DA. 1992. Colour Raw and Cooked Meat. Di dalam Johnson DE, Knight MK, Ledward DA, editor. The Chemistry of Muscle-based Food. UK: Royal Society of Chemistry. Lehninger AL. 1990. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid I. Thenawiwidjaya M, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari Principles of Biochemistry.
Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan. 1974. Metode Prosedur Pemeriksaan Mikrobiologis dan Kimiawi Hasil Perikanan. Jakarta: LPTP. McNichols. 2008. Wire Mesh – Square Product. http://www.mcnichols.com/ product/wiremesh/squaremesh [17 Juni 2008]. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzym dalam Industri Pangan. Bogor: PAU-IPB. Muhidin D. 2000. Agroindustri Papain dan Pektin. Jakarta: Penebar Swadaya. Pilosof AMR, MR. Terebiznik. 2000. Spray and freeze drying of enzymes. Di dalam Mujumdar AS. editor. Drying Technology in Agriculture and Food Sciences. USA: Science Publichers, Inc. Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi I. Ratna S.H., Teja Imas, S. Sutarmi T., Sri Lestari A. Penerjemah. Jakarta: UI-Press. Peterson BR. 1981. The Impact of the Enzymic Hydrolisis Process on Recovery and Use of Protein. Di Dalam G.G Birch; N. Blakebrougi, dan K.J Parker, editor. Enzyme and Food Processing. London: Applied Science. Peterson MS, Johnson AH. 1978. Encyclopedia of Food Science. Connecticut AVI. Poernomo A. 1997. The Utilization of Cowtail Ray Viscery. [PhD Thesis] Sidney: The University of New South Wales. Praptono B. 2006. Produksi pepton ikan gulamah (Agryrosomus sp.) sebagai sumber nitrogen media pertumbuhan mikroba [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rodwell VW. 1985. Amino Acids and Peptides. Didalam Martin DW, Mayes PA, Rodwell VW, editor. Harper’s: Review of Biochemistry. 18th edition. California: LANGE Medical Publications. Rose AH. 1980. Microbial Enzymes and Bioconversions. Economics Microbiology Vol. 5. New York: Academic Press. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta Bandung. Saputra D. 2008. Pembuatan pepton ikan selar (Caranx leptolepis) hasil tangkap sampingan (HTS) pada kondisi post rigor dan busuk [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Shahidi F. 1994. Seafood proteins and preparation of protein concentrate. Didalam Shahidi F dan Botta JR, editor. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. New York: Blackie Academic and Professional. Shahidi F, Xiao-Qing Han, Josef Synowiecki. 1994. Production and Characteristics of Protein Hydrolysates from Capelin (Mallotus villosus). J of Biochemistry. Canada: Departement of Biochemistry, Memorial University of Newfoundland St John’s. Newfounland. Snieszko
SF, FJ. Griffin, SB. Priddle. 1950. A New Bacterium (Hemophilus piscium n. sp.) From Ulcer Disease of Trout. J.Bacteriol. vol 59. 699-710.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Somaatmadja D. 1975. Kimia Pangan. Bogor: Biro Penataran IPB. Suhartono M. 1991. Protease. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Susetyo AR. 2000. Isolasi pepton secara ekstraksi enzimatis menggunakan limbah perikanan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Processing Technology. London: Applied Science Publishers. Stansby M. 1982. Properties of fish oils and their application to handling of fish and to nutritional and industrial use. Di dalam: RE Martin, editor. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Westport Conecticut: AVI Publishing Company. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Prinsip dan Prosedur: Statistika suatu pendekatan biometrik. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedur of Statistic. Stephens NL, WA. Bough, LR. Beuchat, EK. Heaton. 1975. Preparation and Evaluation of Two Microbiological Media from Shrimp Heads and Hulls. J of Micro. Georgia: Applied and Environment Microbiology. 1-6. Tababaka T. 2004. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai bahan tambahan kerupuk [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Todar K. 2008. Nutrition and Growth of Bacteria. http://textbook of bacterology. net//. [28 Desember 2008]. Uzeh RE, Akinola SO, Olatope, SOA. 2006, Production of Peptone from soya beans (Glycine max L merr) and African locust beans (Parkia biglobosa). African Journal of Biotechnology. Vol 5. 684-1686. Weber M, LF De Beaufort. 1962. The Fishes of the Indo-Australia archipelago Vol 2: Malacopterygii, Myctophoidea, Ostariophysis. Leiden: EJ Brill. West ES, Todd WC. 1964. Textbook of biochemistry. NY: The Mac Millan, Co. White JA, RJ Hart. 1992. HPLC analysis of amino acids. Didalam Nollet LML, editor. Food Analysis by HPLC. New York: Marcell Dekker, Inc. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. __________. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.. Wong DMS. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. New York. AVI Book-Van Norstrand Reinhold. Zayas JF. 1997. Funcionality of Protein in Food. Germany: Springer.
Lampiran 1. Score sheet uji sensori perbandingan berpasangan terhadap pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial (Rahayu 2001) Nama panelis Tanggal Kondisi Jenis Produk Intruksi
: : 12 Desember 2008 : : Fish peptone Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis) : Bandingkan warna, bau, tekstur, dan penampakan tekstur dari produk yang disajikan terhadap produk pembanding. Berilah penilaian menurut kriteria yang anda setujui, interval -3 sampai +3.
PARAMETER
A1Z Q3N B8K
R5P
C6T
S7G
D2L
T9V
Warna Bau Tekstur Penampakan Keterangan: Warna +3 = sangat lebih putih +2 = lebih putih +1 = agak lebih putih = tidak berbeda 0 -1 = agak kurang putih -2 = kurang putih -3 = sangat kurang putih
Tekstur +3 +2 +1 0 -1 -2 -3
Bau +3 +2 +1 0 -1 -2 -3
Penampakan = sangat lebih baik +3 +2 = lebih baik +1 = agak lebih baik 0 = tidak berbeda -1 = agak kurang baik -2 = kurang baik -3 = sangat kurang baik
= sangat lebih menyengat = lebih menyengat = agak lebih menyengat = tidak berbeda = agak kurang menyengat = kurang menyengat = sangat kurang menyengat
= sangat lebih halus = lebih halus = agak lebih halus = tidak berbeda = agak lebih kasar = lebih kasar = sangat lebih kasar
E4Y
Lampiran 2. Data mentah pengukuran Nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum Waktu IKAN 4 JAM 6 JAM 8 JAM 10 JAM
Berat contoh 1070 1070 1045 1045 1045 1045 1035 1035 1100 1100
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Vol HCl 0.1116 N 2.1 2 1.7 1.6 1.4 1.5 1.35 1.4 1.55 1.45
%N 3.068 2.922 1.271 1.197 1.047 1.122 1.019 1.057 1.101 1.030
NTT/NTB 1.271 1.197 1.047 1.122 1.019 1.057 1.101 1.03
Lampiran 3. Normalitas data nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum
Nilai NTT/NTB
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik Derajat bebas .208 8
Signifikan .200(*)
Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Lampiran 4. Analisis ragam nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
Jumlah Kuadrat .005 .001 .006
Derajat bebas 3 4 7
Kuadrat tengah F hitung Signifikan .002 6.989 .045 .000
Keterangan: signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Lampiran 5. Hasil uji lanjut Duncan nilai NTT/NTB untuk menentukan waktu hidrolisis optimum Waktu Hidrolisis
N
α = 0,05 a
8 jam 10 jam 6 jam 4 jam
2 2 2 2
b .346650 .355850 .362150 .412050
Lampiran 6. Data mentah pengukuran Nilai NTT/NTB dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan BAHAN IKAN A1 B1 C1 A2 B2 C2 A3 B3 C3
Berat contoh 1.07 1.07 1.005 1.005 1.015 1.015 1.04 1.04 1.13 1.3 1.01 1.01 1.065 1.065 1.35 1.35 1.035 1.035 1.015 1.015
Vol HCl 0,1116 N 2.1 2 1.1 1 1.2 1.2 1.5 1.3 1.35 1.35 1.15 1.15 1.4 1.4 1.2 1.3 1.2 1.3 1.4 1.2
%N 3.0679 2.9218 0.8555 0.7777 0.9240 0.9240 1.1273 0.9770 0.9338 0.8117 0.8899 0.8899 1.0274 1.0274 0.6947 0.7526 0.9062 0.9817 1.0781 0.9240
NTT/NTB 0 0 0.2856 0.2597 0.3085 0.3085 0.3764 0.3262 0.3118 0.2710 0.2972 0.2972 0.3431 0.3431 0.2320 0.2513 0.3026 0.3278 0.3600 0.3085
Rata-rata NTT/NTB 2.9949 0.2727 0.3085 0.3513 0.2914 0.2972 0.3431 0.2416 0.3152 0.3343
Keterangan: A1= penyaringan 200 mesh penyimpanan H-1 B1 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-1 C1 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-1 A2 = penyaringan 200 mesh penyimpanan H-2 B2 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-2 C2 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-2 A3 = penyaringan 200 mesh penyimpanan H-3 B3 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-3 C3 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-3 Lampiran 7. Normalitas data nilai NTT/NTB dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan Statistik NTT/NTB
Kolmogorov-Smirnov(a) Derajat bebas .128 18
Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Signifikan .200(*)
Lampiran 8. Analisis ragam nilai NTT/NTB dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan Jumlah Derajat Derajat bebas .020(a) 8 .001 2 .017 2
NTT/NTB Perlakuan Penyimpanan Mesh Penyimpanan dan Mesh Galat Total
Kuadrat tengah F hitung Signifikasi .002 5.211 .012 .000 .789 .483 .008 17.519 .001
.002
4
.001
.004
9
.000
.024
17
1.269
.351
Keterangan: signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh ukuran mesh terhadap nilai NTT/NTB Mesh 200 300 375
N 6 6 6
α = .05 b
a .268567
c
.306967 .342883
Lampiran 10. Hasil uji lanjut Duncan interaksi pengaruh ukuran mesh dan lama penyimpanan terhadap nilai NTT/NTB Perlakuan 300 mesh; H-2 200 mesh; H-1 200 mesh; H-3 300 mesh; H-3 300 mesh; H-1 200 mesh; H-2 375 mesh; H-2 375 mesh; H-3 375 mesh; H-1
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2
α = .05 a .241650 .272650 .291400
b .272650 .291400 .297200 .308500 .315200
c .291400 .297200 .308500 .315200 .334250 .343100
d
.308500 .315200 .334250 .343100 .351300
Lampiran 11. Data mentah pengukuran Nilai kadar lemak dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan Perlakuan 200 200 300 300 375 H-1 375 200 200 300 300 375 H-2 375 200 200 300 300 375 H-3 375
sampel 3.030 3.050 3.070 3.040 3.040 3.040 3.050 3.060 3.020 3.050 3.040 3.080 3.040 3.080 3.020 3.000 3.080 3.040
labu awal 68.3 77.66 80.33 70.6 70.69 70.58 73.94 76.42 77.64 80.25 92.23 76.83 70.54 77.05 76.3 69.79 77 77.085
labu akhir 68.32 77.685 80.36 70.62 70.72 70.6 73.97 76.44 77.67 80.27 92.25 76.86 70.56 77.07 76.31 69.81 77.015 77.1
selisih 0.02 0.025 0.03 0.02 0.03 0.02 0.03 0.02 0.03 0.02 0.02 0.03 0.02 0.02 0.01 0.02 0.015 0.015
kadar lemak 0.66007 0.81967 0.97720 0.65789 0.98684 0.65789 0.98361 0.65359 0.99338 0.65574 0.65789 0.97403 0.65789 0.64935 0.33113 0.66667 0.48701 0.49342
log -0.18041 -0.08636 -0.01002 -0.18184 -0.00575 -0.18184 -0.00718 -0.18469 -0.00289 -0.18327 -0.18184 -0.01143 -0.18184 -0.18752 -0.48001 -0.17609 -0.31246 -0.30678
Lampiran 12. Normalitas data nilai kadar lemak dengan perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan
Kadar Lemak
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik Derajat bebas .244 18
Signifikan .006
Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Lampiran 13. Analisis ragam nilai kadar lemak dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan Kadar Lemak Perlakuan Penyimpanan Mesh Penyimpanan dan Mesh Galat Total
Jumlah Kuadrat .146(a) .120 .004
Derajat bebas 8 2 2
Kuadrat tengah F hitung Signifikasi .018 1.289 .355 .060 4.227 .051 .002 .144 .868
.022
4
.006
.127 .273
9 17
.014
Keterangan: signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
.393
.809
Lampiran 14. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai kadar lemak Waktu Penyimpanan 3 hari 1 hari 2 hari
α = .05 N 6 6 6
a -.2741167
b -.1077033 -.0952167
Lampiran 15. Rendemen pepton ikan selar hari Ikan penyaringan ke- (gram) 200 1 1000 200 1 1000 300 1 1000 300 1 1000 375 1 1000 375 1 1000 200 2 1000 200 2 1000 300 2 1000 300 2 1000 375 2 1000 375 2 1000 200 3 1000 200 3 1000 300 3 1000 300 3 1000 375 3 1000 375 3 1000
ikan cacah 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700 700
volume larutan 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100 2100
setelah penyaringan 1680 1650 1575 1600 1575 1550 1680 1700 1575 1580 1575 1550 1680 1650 1575 1550 1575 1500
setelah penyimpanan 1300 1250 1200 1220 1150 1200 1200 1200 1060 1050 1040 1000 1000 990 980 950 800 780
Lampiran 15. Rendemen pepton ikan selar (lanjutan) setelah pengeringan 35.98 34.9 33.75 34.4 30.75 30.3 28.7 29.5 26.5 27 25.4 25.2 21.54 20.9 19.35 19.5 14.6 15.4
rendemen setelah pengeringan 3.60 3.49 3.38 3.44 3.08 3.03 2.87 2.95 2.65 2.70 2.54 2.52 2.15 2.09 1.94 1.95 1.46 1.54
rata-rata 3.544 3.4075 3.0525 2.91 2.675 2.53 2.122 1.9425 1.5
Lampiran 16. Normalitas data rendemen pepton ikan selar
nilai rendemen
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik Derajat bebas .100 18
Signifikasi .200(*)
Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Lampiran 17. Analisis ragam rendemen pepton ikan selar Nilai rendemen Perlakuan penyaringan penyimpanan penyaringan dan penyimpanan Galat Total
Jumlah Kuadrat 7.446(a) .758 6.634
Derajat bebas 8 2 2
Kuadrat tengah F hitung Signifikasi .931 445.555 .000 .379 181.391 .000 3.317 1587.85 .000
.054
4
.014
.019 7.465
9 17
.002
Keterangan: signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
6.489
.010
Lampiran 18. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh ukuran mesh terhadap nilai rendemen pepton ikan selar Ukuran mesh 375 mesh 300 mesh 200 mesh
N 6 6 6
α = .05 b
a 2.3617
c
2.6767 2.8583
Lampiran 19. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai rendemen pepton ikan selar Lama penyimpanan 3 hari 2 hari 1 hari
N 6 6 6
α = .05 b
a 1.8550
c
2.7050 3.3367
Lampiran 20. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh interaksi penyaringan dan lama penyimpanan terhadap nilai rendemen pepton ikan selar Perlakuan
N a
375 mesh; 3 hari 300 mesh; 3 hari 200 mesh; 3 hari 375 mesh; 2 hari 300 mesh; 2 hari 200 mesh; 2 hari 375 mesh; 1 hari 300 mesh; 1 hari 200 mesh; 1 hari
2 2 2 2 2 2 2 2 2
b
c
d
α = .05 e
f
g
h
i
1.5 1.95 2.12 2.53 2.68 2.91 3.06 3.41 3.55
Lampiran 21. Data mentah pengukuran nilai derajat putih pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan serta pepton komersial D.putih (skala 0-110) 200 mesh H-1 Rata-rata 300 mesh H-1 Rata-rata 375 mesh H-1 Rata-rata 200 mesh H-2 Rata-rata 300 mesh H-2 Rata-rata 375 mesh H-2 Rata-rata 200 mesh H-3 Rata-rata 300 mesh H-3 Rata-rata 375 mesh H-3 Rata-rata Difco Rata-rata
std BaSO4(%)
69.5 69.4 69.45 81.6 81.5 81.55 82.2 82.2 82.2 93 93.1 93.05 89.3 88.6 88.95 90.1 89.8 89.95 67.6 67.8 67.7 91.4 91.8 91.6 86 85.8 85.9 69.3 68.9 69.1
63.18 63.09 74.18 74.09 74.73 74.73 84.55 84.64 81.18 80.55 81.91 81.64 61.45 61.64 83.09 83.45 78.18 78 63 63.64
Lampiran 22. Normalitas data nilai derajat putih pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan serta pepton komersial
Derajat Putih
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistik Derajat bebas .203 20
Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Signifikan .030
Lampiran 23. Analisis ragam nilai derajat putih pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan serta pepton komersial Derajat Putih Perlakuan Penyimpanan Penyaringan Penyimpanan dan Mesh Galat Total
Jumlah Kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
1739.184(a)
9
193.243
524.694
2
262.347
402.141
2
201.071
445.696
4
111.424
.505 1739.689
10 19
.050
F hitung Signifikasi 3826.58 .000 9 5194.99 .000 4 3981.59 .000 5 2206.41 .000 4
Keterangan: signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Lampiran 24. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai derajat putih Penyimpanan Difco 1 hari 3 hari 2 hari
N 2 6 6 6
α = 0,05 a 69.100
b
c
d
77.733 81.733 90.650
Lampiran 25. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh ukuran mesh terhadap nilai derajat putih Mesh
N
Difco 200 mesh 375 mesh 300 mesh
2 6 6 6
a 69.100
α = 0,05 b
c
d
76.733 86.017 87.367
Lampiran 26. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh interaksi penyimpanan dan ukuran mesh terhadap nilai derajat putih Perlakuan Penyaringan dan Penyimpanan 200 mesh; 3 hari difco 200 mesh; 1 hari 300 mesh; 1 hari 375 mesh; 1 hari 375 mesh; 3 hari 300 mesh; 2 hari 375 mesh; 2 hari 300 mesh; 3 hari 200 mesh; 2 hari
α = 0,05
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
a 67.700
b
c
d
e
f
g
h
i
69.100 69.450 81.550 82.200 85.900 88.950 89.950 91.600 93.050
Lampiran 27. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter warna antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial
Panelis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 ratarata
200 mesh H-1
300 mesh H-1
375 mesh H-1
200 mesh H-2
300 mesh H-2
375 mesh H-2
1 1 -1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 -1 2 -1 1 1 1 1 -1 -1 2
1 1 -1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 -1 2 1 1 1 1 -1 2 2 2 2 1 1 1 1 1
1 3 -1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 2 2 1 3 3 -1 -1 2 3 2 -2 1 2 2 2 2
1 2 -1 2 2 3 3 3 2 3 3 2 3 2 2 3 3 3 3 1 1 2 3 3 3 3 2 2 2 3
1 1 -1 1 2 2 2 2 1 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 1 1 2 3 2 2 2 2 2 2 1
1 3 -1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 2 1 1 3 1 1 2 1 2 2 2
0.833
1.067
1.5
2.3
1.8
1.467
200 mesh H-3
2 0 2 1 1 -1 -1 1 1 1 2 1 1 1 0 0 2 2 2 1 -1 0 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 0.6
300 mesh H-3
375 mesh H-3
1 3 -1 2 2 1 1 1 2 3 2 2 3 1 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 1 2 3 3 2
1 3 -1 2 2 2 2 1 2 3 2 1 2 1 3 3 2 2 2 1 2 2 2 -2 -2 1 2 3 3 2
2.1
1.633
Lampiran 28. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter bau antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial 300 mesh H-1
375 mesh H-1
200 mesh H-2
300 mesh H-2
375 mesh H-2
Panelis
200 mesh H-1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
2 -1 2 1 0 3 3 1 1 3 2 1 2 2 2 1 2 2 3 1 1 2 2 2 2 1 0 2 2 1
1 1 2 0 1 2 2 1 0 0 2 1 2 1 -2 1 3 2 2 1 1 2 1 -1 -1 1 1 2 2 -1
1 1 1 -1 0 2 2 1 -1 0 2 1 3 1 1 0 3 2 2 2 2 -2 0 -1 -2 1 0 2 2 2
1 1 1 2 1 3 3 1 2 1 2 1 2 1 1 1 2 3 3 2 2 -2 -1 1 1 1 1 2 2 1
1 1 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 -2 1 1 1 0 3 3 2 2 -2 2 1 1 1 1 2 2 3
0 0 2 2 0 2 2 1 2 2 2 1 2 1 1 1 1 -1 1 1 1 1 1 -1 -1 1 0 2 2 1
1 1 1 -1 -1 2 2 2 -1 3 1 2 2 2 2 0 2 3 3 1 1 2 -1 1 1 2 -1 2 2 2
1 1 2 0 -1 2 2 1 0 1 2 1 3 1 -2 0 2 3 3 2 2 2 1 2 2 1 -1 2 2 0
0 0 1 2 0 1 1 0 1 1 2 1 2 1 -2 1 2 -1 -1 1 2 -1 0 1 1 0 0 2 2 1
1.6
1
0.9
1.4
1.37
1
1.27
1.23
0.7
ratarata
200 mesh H-3
300 mesh H-3
375 mesh H-3
Lampiran 29. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter tekstur antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 ratarata
300 375 200 300 375 mesh mesh mesh mesh mesh H-1 H-1 H-2 H-2 H-2 -1 1 -1 2 -2 -1 1 -1 2 2 1 2 2 1 2 -3 -2 -1 -2 -1 -3 -1 -1 -1 -1 -2 -2 2 1 -2 -2 -2 2 1 -2 -3 -2 -1 -2 -2 -3 -2 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -1 1 -1 -1 -2 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -3 0 -1 0 -1 -2 -1 -2 -1 -1 -2 -1 -2 -2 2 3 -2 2 -2 -1 3 -2 2 -2 -1 -2 -2 -1 -1 2 1 -1 -1 -1 2 -3 -2 -2 -2 -1 -2 -1 -2 -1 -1 -2 1 -2 1 -1 -2 1 -2 1 -1 -2 -2 -1 -2 1 -3 -1 -1 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -2 -1 -1 -1 -1 -3 -2 -1 -2 -2
200 mesh H-3 1 3 1 -1 0 1 1 -2 -1 0 -1 0 -1 -1 2 0 0 1 2 -1 -1 -1 -1 2 2 -2 0 -1 -1 -1
300 mesh H-3 2 2 1 -1 0 -1 -1 -1 -1 1 -1 0 -1 0 1 0 0 -1 2 -1 1 2 -1 -1 -1 -1 0 -1 -1 -1
375 mesh H-3 1 1 2 -2 -1 1 1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 2 2 -1 1 2 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1
-1.7 -1.567 -0.97 -0.67 -0.77 -0.67
-0.37
-0.13
0
200 mesh H-1 2 -1 2 -3 -2 -3 -2 -2 -3 -2 -1 -3 -2 -1 -2 -2 -2 2 -3 -1 -1 -2 -2 -2 -2 -2 -2 -3 -3 -3
Lampiran 30. Rekapitulasi data sensori uji perbandingan berpasangan parameter penampakan antara pepton ikan selar dengan perlakuan penyaringan dan penyimpanan dibandingkan dengan pepton komersial Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 ratarata
200 300 375 200 300 375 200 300 375 mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh mesh H-2 H-2 H-2 H-3 H-3 H-3 H-1 H-1 H-1 3 -2 -1 2 1 1 3 1 2 -1 -2 -1 2 1 1 3 3 2 3 1 1 1 2 2 1 1 2 -3 -1 -2 -2 -1 -2 -3 -3 -2 -2 -2 -2 -1 0 1 0 0 1 -3 -1 -3 -1 1 -1 1 2 1 -3 -1 -3 -1 1 -1 1 2 1 -3 -3 -3 -2 -1 -2 -1 -1 -1 -3 -3 -3 -2 -2 -2 -1 -1 -1 -2 -2 2 1 1 2 2 1 1 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -3 -2 -3 -1 -1 -1 0 0 -1 -2 -2 -3 -1 -2 -1 -1 -1 -1 -1 0 -2 -1 -1 -1 -2 -2 1 0 1 3 0 1 0 0 1 0 0 1 1 2 1 1 2 2 2 -2 -2 -2 -2 -2 -1 0 0 0 3 1 -1 1 -2 -2 -2 3 2 -2 -2 -2 1 2 -1 2 3 2 -2 -1 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -1 1 1 1 1 1 1 -1 1 -1 -2 -2 -2 -2 -2 2 -1 2 -2 -2 -3 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 1 -1 1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 1 -1 1 -1 -1 -1 -3 -2 -3 -2 -1 -2 -1 -1 -1 -2 -2 -2 -1 0 -1 0 0 1 -2 -1 -2 -1 -1 -2 0 0 -1 -2 -1 -2 -1 -1 -2 0 0 -1 -3 -2 -3 1 -1 -1 0 0 2 -1.4
-1.23
-1.53
-0.33
-0.37 -0.57
0.067
0.13
0.27
Lampiran 31. Uji Kruskal Wallis nilai sensori perbandingan berpasangan parameter warna, bau, tekstur, dan penampakan Chi-Square Df Asymp. Sig.
Warna 10.925 8 .206
Bau 6.227 8 .622
Tekstur 4.483 8 .811
Penampakan 15.862 8 .044
Keterangan: signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Lampiran 32. Hasil uji Duncan pengaruh interaksi penyimpanan dan ukuran mesh terhadap nilai sensori parameter penampakan Interaksi antara penyimpanan dan ukuran mesh 300 mesh H-3 300 mesh H-2 300 mesh H-1 375 mesh H-2 200 mesh H-3 200 mesh H-2 375 mesh H-1 375 mesh H-3 200 mesh H-1
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
α = .05 a -1.2333 -1.1000 -.8667 -.4667 -.4667 -.4000
b -.8667 -.4667 -.4667 -.4000 -.2000 -.1333 -.1000
Lampiran 33. Data absorbansi pertumbuhan bakteri Escherichia coli Jam ke0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
A1 0.080 0.130 0.160 0.230 0.290 0.300 0.270 0.230 0.220 0.200 0.180
B1 0.030 0.070 0.140 0.175 0.220 0.310 0.300 0.200 0.140 0.120 0.100
C1 0.100 0.110 0.110 0.200 0.240 0.270 0.230 0.225 0.200 0.180 0.140
Keterangan: A1= penyaringan 200 mesh penyimpanan H-1 B1 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-1 C1 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-1 A2 = penyaringan 200 mesh penyimpanan H-2 B2 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-2 C2 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-2 A3 = penyaringan 200 mesh penyimpanan H-3 B3 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-3 C3 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-3 DIFCO = pepton komersial
A2 0.072 0.150 0.270 0.280 0.290 0.320 0.325 0.210 0.180 0.150 0.120
B2 0.120 0.130 0.290 0.350 0.450 0.440 0.315 0.140 0.130 0.080 0.090
C2 0.095 0.145 0.290 0.300 0.310 0.340 0.270 0.120 0.120 0.120 0.100
A3 0.110 0.150 0.290 0.315 0.400 0.380 0.360 0.290 0.250 0.190 0.180
B3 0.090 0.120 0.300 0.370 0.410 0.420 0.320 0.225 0.180 0.160 0.150
C3 0.090 0.240 0.310 0.380 0.400 0.520 0.550 0.530 0.450 0.400 0.320
DIFCO 0.110 0.250 0.300 0.400 0.450 0.500 0.530 0.510 0.400 0.356 0.360
Lampiran 34. Data absorbansi pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus Jam ke0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
A1 0.080 0.190 0.390 0.445 0.450 0.470 0.550 0.600 0.633 0.634 0.300
B1 0.080 0.160 0.450 0.500 0.640 0.700 0.725 0.755 0.600 0.600 0.400
C1 0.090 0.130 0.480 0.490 0.505 0.530 0.750 0.850 0.865 0.863 0.500
Keterangan: A1= penyaringan 200 mesh penyimpanan H-1 B1 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-1 C1 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-1 A2 = penyaringan 200 mesh penyimpanan H-2 B2 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-2 C2 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-2 A3 = penyaringan 200 mesh penyimpanan H-3 B3 = penyaringan 300 mesh penyimpanan H-3 C3 = penyaringan 375 mesh penyimpanan H-3 DIFCO = pepton komersial
A2 0.105 0.220 0.300 0.580 0.620 0.640 0.665 0.675 0.860 0.685 0.505
B2 0.060 0.130 0.360 0.410 0.660 0.680 0.800 0.850 0.805 0.820 0.825
C2 0.140 0.240 0.360 0.350 0.520 0.570 0.580 0.750 0.760 0.765 0.450
A3 0.130 0.190 0.305 0.325 0.450 0.550 0.600 0.830 0.860 0.880 0.879
B3 0.155 0.230 0.385 0.480 0.500 0.705 0.835 0.900 0.935 0.933 0.650
C3 0.100 0.210 0.380 0.475 0.495 0.650 0.750 0.770 0.905 0.910 0.700
DIFCO 0.131 0.300 0.350 0.365 0.455 0.500 0.650 0.660 0.675 0.680 0.450
Lampiran 35. Uji Asam amino pepton ikan selar kuning (Caranx leptolepis) Hasil No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Asam amino Alanin Arginin Asam Aspartat Asam glutamat Glisin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Methionin Phenilalanin Prolin Serin Sistein Tirosin Treonin Valin
% hasil 0.227 0.051 0.28 0.607 0.277 0.086 0.163 0.258 0.157 0.111 0.129 0.11 0.197 0.063 0.086 0.148 0.25
A 3.48 0.78 4.29 9.31 4.25 1.32 2.50 3.96 2.41 1.70 1.98 1.69 3.02 0.97 1.32 2.27 3.83
BMA 89 174,2 133,1 147,2 75 155,1 131,1 131,1 146,1 147,2 165,1 115,1 105 120,1 181,1 119,1 117,1
Lampiran 36. Kromatogram asam amino standar Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Methionin Sistein Isoleusin leusin Phenilalanin Lisin Hiproksprolin
Lampiran 37. Kromatogram analisis asam amino pepton ikan selar
Lampiran 38. Uji kelarutan dalam air Berat contoh 1.0338 1.0277
B. kertas saring 0.534 0.5343
Bks dan residu 0.5378 0.5389
Kelarutan 99.63 99.59
rata-rata
stdev
99.61
0.028284
Lampiran 39. Uji Kadar NaCl Berat contoh 2.0727
Vol titrasi Ag NO3 0.083372 N 2.78 2.75
Kadar garam 3.27 3.23
Keterangan: Faktor pengenceran = 5
Lampiran 40. Uji α-amino nitrogen bebas berat contoh 5.2112
mL thio 0,1 N 1.22 1.22
persen 0.78 0.78
rata-rata 0.78
stdev 0