PEMBUATAN FISH FLAKE DARI IKAN LELE (Clarias sp.) SEBAGAI MAKANAN SIAP SAJI
FAUZI IRIAWAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
FAUZI IRIAWAN. C34062724. Pembuatan Fish Flake dari Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji. Dibawah Bimbingan. WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN. Salah satu komoditi perikanan yang potensial untuk dikembangkan menjadi produk olahan yaitu ikan lele. Produksi ikan lele (Clarias sp.) terus meningkat tetapi tidak diimbangi dengan diversifikasi produknya. Tepung ikan lele dapat diintroduksi ke dalam formula pembuatan fish flake dan mampu meningkatkan nilai gizi dari flake tersebut sehingga dapat memenuhi kebutuhan protein dan diharapkan mampu meningkatkan konsumsi protein nasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan formula sereal siap saji dengan penambahan tepung ikan lele dan mempelajari karakteristik fisik serta kimia dari produk fish flake dengan penambahan tepung ikan lele. Penelitian ini terdiri dari penentuan formulasi yang menghasilkan fish flake terbaik dan analisis atau karakterisasi produk. Pada tahap penentuan formulasi dilakukan pembuatan tepung ikan lele, yang kemudian difortifikasi ke dalam formula fish flake dengan berbagai konsentrasi yaitu 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Flake dengan penambahan tepung ikan lele kemudian di uji secara organoleptik dan Bayes dengan pembobotan setiap parameter pada uji organoleptik berdasarkan tingkat kepentingan. Produk terpilih kemudian dibuat selang konsentrasi penggunaan tepung ikan yang lebih kecil untuk pembuatan fish flake selanjutnya dan dibandingkan dengan flake komersial (cornflake). Analisis kimia meliputi uji kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Analisis fisik meliputi uji kekerasan, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji organoleptik saja belum cukup untuk menentukan formula terbaik karena terdapat perbedaan hasil pada setiap parameter, oleh sebab itu dilakukan Uji Bayes. Uji Bayes menunjukkan fish flake dengan penambahan tepung ikan 30% menghasilkan nilai terbaik yaitu 3,71. Pada analisis atau karakterisasi produk dibuat fish flake dengan penambahan tepung ikan 25%, 30% dan 35% dan dibandingkan dengan flake komersial. Hasil uji proksimat fish flake dengan penambahan tepung ikan 30% diantaranya kadar protein 22,325%, abu 3,60 %, lemak 4,34%, air 4,71% dan karbohidrat 65,03%. Hasil analisis fisik menunjukkan bahwa nilai Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA) menurun dengan peningkatan konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan. Nilai IPA flake dengan penambahan tepung ikan 25%, 30%, 35% dan komersial masing-masing 1,92 ml/g, 1,82 ml/g, 1,75 ml/g. Nilai IKA pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 25%, 30%, 35% dan komersial masing-masing 0,0286 g/ml, 0,0280 g/ml, 0,0264 g/ml dan 0,0253 g/ml. Peningkatan tepung ikan akan meningkatkan kekerasan pada fish flake. Nilai kekerasan pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 25%, 30%, 35% dan flake komersial adalah 253,34 gf, 264,88 gf, 325,60 gf dan 178,12 gf.
Judul Penelitian
: PEMBUATAN FISH FLAKE DARI IKAN LELE (Clarias sp.) SEBAGAI MAKANAN SIAP SAJI
Nama Mahasiswa
: Fauzi Iriawan
NIM
: C34062724
Menyetujui : Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.Ir. Wini Trilaksani, M.Sc NIP. 196101281986012001
Ir. Winarti Zahiruddin, MS NIP. 194604141974022001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil. NIP. 195805111985031002
Tanggal Lulus :
PEMBUATAN FISH FLAKE DARI IKAN LELE (Clarias sp.) SEBAGAI MAKANAN SIAP SAJI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan Pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pembuatan Fish Flake Dari Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Fauzi Iriawan C34062724
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, anugerah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pembuatan Fish Flake Dari Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada : 1.
Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ir. Winarti Zahiruddin, MS sebagai dosen pembimbing
2.
Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc sebagai dosen penguji.
3.
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan dan Dr. Tati Nurhayati S.Pi M.Si sebagai dosen pembimbing akademik
4.
Ayah dan Ibu atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan. Adik-adikku Fatia Ajeng Lestari dan Fadli Zulhazmi yang saya sayangi.
5.
Rianah Sary atas dukungan dan semangatnya.
6.
Teman-teman satu PS (Anggi, Minal, Patma, Ijal, Ibnu, Wahyu)
7.
Teman-teman Wisma Pajar (Boby, Ijal, Wahyu, Afif, Kiki, Joha, Qory, Ase, Anjar) Memey, Danu, Vikar, Hendra, Rudi, Rio, Baby, Mprit, Aga,
8.
Keluarga besar Departemen Tekenologi Hasil Perairan, staf dosen dan tata usaha, laboran serta taman-taman THP 41, 42, 43, 44 dan 45 Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Terima kasih. Bogor, Februari 2012 Fauzi Iriawan C34062724 iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Rochmat Tusjaedi dan Maryana. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Nusantara (tahun 1993-1994) dilanjutkan di SD Negeri Rawa Bebek IV (tahun 1994-2000). Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SLTP Negeri 13 Bekasi pada tahun 2000, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanah Grogot, Kalimantan Timur (tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Tanah Grogot, Kalimantan Timur pada tahun 2003, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 10 Bekasi (2004-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertaian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimanaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan seperti Fisheries Processing Club periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan diantaranya OMBAK, SANITASI, PORIKAN, Pelatihan ISO 22000, dan sebagai Ketua pelatihan eksternal FPC. Penulis pernah menjadi asisten m.k. Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan (2009/2010), asisten m.k. Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping dan Limbah Hasil Perairan (2009/2010) dan mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan ISO 22000 yang diadakan di Institut Pertanian Bogor. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Pembuatan Fish Flake Dari Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji, dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ir. Winarti Zahiruddin MS.
v
DAFTAR ISI Hal DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
1 PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2 Tujuan ............................................................................................
3
2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
2. 1 Sereal ..........................................................................................
4
2. 2 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.) .......................
6
2. 3 Komposisi Kimia Ikan Lele .........................................................
7
2. 4 Tepung ikan .................................................................................
8
2. 5 Ubi Jalar (Ipomea batatas L) .......................................................
9
2. 6 Kedelai (Glicine max) .................................................................. 10 2. 7 Tepung Tapioka ........................................................................... 11 2. 8 Flaking Roll ................................................................................. 11 2. 9 Proses Pembuatan Flake .............................................................. 12 2.10 Kemasan ...................................................................................... 14 3 METODE PENELITIAN ........................................................................ 16 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 16 3.2 Bahan dan Alat .............................................................................. 16 3.3 Metode ........................................................................................... 16 3.4 Pembuatan flake ............................................................................ 17 3.5 Analisis Produk .............................................................................. 19 3.5.1 Analisis kimia ...................................................................... 20 (1) Kadar air ........................................................................... (2) Kadar abu ......................................................................... (3) Kadar lemak ..................................................................... (4) Kadar protein ................................................................... (5) Kadar karbohidrat ............................................................
20 20 20 21 22
3.5.2 Analisis fisik ........................................................................ 22 (1) Kekerasan ......................................................................... 22
vi
(2) Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air ............... 22 3.6 Uji organoleptik ............................................................................. 23 3.7 Uji Bayes ....................................................................................... 23 3.8 Analisis Data .................................................................................. 24 3.9 Angka Kecukupan Gizi ................................................................. 25 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 26 4.1 Pembuatan Flake ............................................................................ 26 4.1.1 Formulasi flake dengan penambahan tepung ikan lele ........ 26 4.1.2 Uji hedonik .......................................................................... 26 (1) Penampakan ..................................................................... (2) Warna ............................................................................... (3) Aroma .............................................................................. (4) Tekstur ............................................................................. (5) Rasa ..................................................................................
27 28 29 31 32
4.1.3 Penentuan formulasi menggunakan metode Bayes ............. 33 4.2 Karakterisasi Produk ...................................................................... 34 4.2.1 Analisis proksimat produk ................................................... 35 (1) Kadar air .......................................................................... (2) Kadar protein ................................................................... (3) Kadar lemak ..................................................................... (4) Kadar abu ......................................................................... (5) Kadar karbohidrat ...........................................................
35 36 38 39 40
4.2.2 Analisis fisik produk ............................................................ 41 (1) Indek penyerapan air dan indeks kelarutan air ................ 41 (2) Analisis kekerasan ........................................................... 44 4.3 Nilai Gizi Produk Flake ................................................................. 46 5 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 47 5.1 Simpulan ........................................................................................ 47 5.2 Saran .............................................................................................. 47 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48 LAMPIRAN ................................................................................................ 53
vii
DAFTAR GAMBAR
No
Hal
1 Ikan lele ..................................................................................................
7
2 Pembuatan tepung ikan ......................................................................... 17 3 Pembuatan sereal dengan modifikasi ..................................................... 19 4 Nilai organoleptik pada fish flake dengan penambahan tepung ikan ..... 26 5 Nilai uji penampakan pada fish flake ..................................................... 27 6 Nilai uji warna pada fish flake ................................................................ 29 7 Nilai uji aroma pada fish flake ............................................................... 30 8 Nilai uji tekstur pada fish flake .............................................................. 31 9 Nilai uji rasa pada fish flake ................................................................... 33 10 Kadar air pada fish flake dengan penambahan tepung ikan ................... 35 11 Kadar protein fish flake dengan penambahan tepung ikan .................... 37 12 Kadar lemak fish flake dengan penambahan tepung ikan ...................... 38 13 Kadar abu fish flake dengan penambahan tepung ikan .......................... 40 14 Kadar karbohidrat fish flake dengan penambahan tepung ikan ............. 41 15 Nilai indeks penyerapan air pada fish flake ............................................ 42 16 Nilai indeks kelarutan air pada fish flake ............................................... 43 17 Nilai analisis kekerasan pada fish flake .................................................. 44
viii
DAFTAR TABEL
No
Hal
1 Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake .......................................
5
2 Komposisi gizi corn flake ........................................................................
6
3 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepnus) ...........................
8
4 Komposisi gizi ubi jalar ...........................................................................
9
5 Komposisi gizi kedelai ............................................................................. 10 6 Komposisi kimia tapioka ......................................................................... 11 7 Formula flake ........................................................................................... 18 8 Hasil analisis dengan menggunakan metode Bayes ................................. 34 9 Komposisi gizi fish flake dengan penambahan tepung ikan .................... 35 10 Hasil analisis fisik pada fish flake ............................................................ 42 11 Angka kecukupan gizi pada fish flake ...................................................... 45
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No
Hal
1 Score sheet uji kesukaan (uji hedonik) flake ........................................... 54 2 Produk flake dengan penambahan tepung ikan ....................................... 55 3 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap penampakan flake ..................................................................... 56 4 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap warna flake ............................................................................... 57 5 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap aroma flake ............................................................................... 58 6 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap tekstur flake .............................................................................. 59 7 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap penampakan flake ..................................................................... 60 8 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur pada flake ..................................................................................... 61 9 Uji Bayes ................................................................................................. 63 10 Uji prksimat flake .................................................................................... 65 11 Analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap komposisi kimia flake ............................................................................ 66 12 Perhitungan AKG .................................................................................... 68 13 Dokumentasi penelitian ........................................................................... 69
x
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Konsumsi ikan nasional saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Pada tahun 2010 tingkat konsumsi ikan nasional baru mencapai 30,47 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ikan di Thailand, Malaysia, Singapura dan Jepang berturut-turut telah mencapai 35 kg/kapita/tahun, 45 kg/kapita/tahun, 80 kg/kapita/tahun dan 110 kg/kapita/tahun (Kementrian Kelautan dan Perikanan 2010). Konsumsi ikan saat ini belum memberikan kontribusi yang berarti terhadap pemenuhan kebutuhan protein menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) yaitu 52-57 gr/hari (Widyakarya Nasinoal Pangan dan Gizi 2004). Produksi ikan nasional saat ini mencapai 7.491.120 ton, perikanan tangkap menyumbangkan 5.285.020 ton dan perikanan budidaya menyumbangkan 2.206.100 ton (KKP 2010). Produksi nasional sebesar 7.491.120 ton baru dapat memenuhi konsumsi protein sebesar 7,36 gram. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha meningkatkan konsumsi ikan nasional dengan meningkatkan produksi ikan melalui sektor budidaya. Pada tahun tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempunyai target menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia. Produksi perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16,89 juta ton pada tahun 2014 atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 sebesar 2,2 juta ton (KKP 2010). Salah satu komoditas perikanan budidaya yang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah adalah ikan lele. KKP menargetkan peningkatan produksi ikan lele sebesar 900.000 ton pada tahun 2014 atau meningkat 35,10% setiap tahunnya. Produksi ikan lele sendiri mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2007 produksi ikan lele 132.000 ton, 180.00 ton pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 250.000 ton pada tahun 2009. Harga ikan lele yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata. Permasalahan yang dihadapi dalam pemasaran ikan lele yaitu bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize). Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam tiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tak laku dijual. Ikan
2
lele oversize tersebut sejauh ini pemanfaatannya masih kurang optimal. Hal ini disebabkan masih banyak masyarakat yang kurang menyukai bentuknya yang besar serta baunya yang khas. Untuk itu diperlukan suatu upaya diversifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele yang berukuran besar, misalnya digunakan dalam pembuatan tepung ikan dalam pembuatan fish flake. Penambahan tepung ikan lele dalam pembuatan fish flake akan meningkatkan kandungan proteinnya. Sereal sarapan adalah makanan yang terbuat dari olahan biji-bijian yang sering, namun tidak selalu, dimakan pada pagi hari. Sereal sering dimakan dingin, biasanya dicampur dengan susu (susu sapi, susu kedelai, susu beras atau susu almond), air atau yoghurt dan buah. Beberapa sereal seperti oatmeal dapat disajikan panas seperti bubur (Albertson et al. 2008) . Konsumsi sereal siap saji di seluruh dunia mengalami peningkatan. Di Inggris, Italia, Eropa timur, Amerika latin dan Asia pasifik konsumsi sereal meningkat masing-masing 4%, 15%, 25%, 20% dan 10%. Saat ini diperkirakan konsumsi sereal di seluruh dunia mencapai 3 juta ton (Guy 2001). Konsumsi sereal mengalami peningkatan karena sereal dapat dengan mudah dan cepat disajikan. Sereal disajikan dengan cara mencampur flakes sereal dengan susu hangat. Hal ini sesuai dengan kebutuhan karena manusia saat ini dituntut untuk dapat mengerjakan segala sesuatu dengan cepat. Tingkat mobilitas yang tinggi menyebabkan kebanyakan orang melewatkan waktu sarapan (Olsen et.al 2010). Padahal sarapan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya memenuhi kebutuhan energi dasar bagi aktivitas tubuh. Asupan gizi pada sarapan merupakan hal yang paling penting diantara waktu makan lainnya. Melewatkan waktu sarapan dapat mengakibatkan efek negatif bagi tubuh. Jika tubuh dipaksa bekerja tanpa adanya energi maka tubuh akan mendapatkan efek negatif (Tribelhorn 1991). Selain cepat dan mudah disajikan, sereal untuk sarapan mengandung energi 350-400 kkal/100gram, vitamin, mineral, dan serat (Guy 2010). Akan tetapi sereal siap saji memiliki kandungan protein yang rendah yaitu 6 gr/100 gram takaran saji sedangkan sarapan setidaknya memenuhi sepertiga dari kebutuhan protein harian 52-57 gr/hari. Oleh sebab itu, introduksi ikan lele pada pembuatan fish flake diharapkan mampu meningkatkan nilai gizi
3
dari fish flake sehingga dapat memenuhi kebutuhan protein dan pada akhirnya meningkatkan konsumsi protein nasional. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menentukan penambahan konsentrasi tepung ikan lele yang dapat menghasilkan fish flake yang paling disukai konsumen. 2) Mempelajari karakteristik fisik dan kimia produk fish flake dengan penambahan tepung ikan lele.
4
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sereal Sereal sarapan adalah makanan yang terbuat dari olahan biji-bijian yang sering, namun tidak selalu, dimakan pada pagi hari. Sereal sering dimakan dingin, biasanya dicampur dengan susu (susu sapi, susu kedelai, susu beras atau susu almond), air atau yoghurt dan buah. Beberapa sereal seperti oatmeal dapat disajikan panas seperti bubur (Albertson et al. 2008). Makanan untuk sarapan sebaiknya merupakan makanan yang lengkap, yakni mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Selain
itu
sarapan
juga
dapat
mencegah
penurunan
daya
ingat
(Wesnes et al. 2003). Sereal sarapan umumnya memiliki kandungan vitamin B yaitu thiamin, riboflavin, niasin, vitamin B6, asam pantotenat, dan asam folat. Selain itu juga mengandung kalsium, zat besi, serat dan asam amino lainnya, misalnya lisin, terdapat pada kacang-kacangan dan susu (Johnson 1991). Menurut Tribelhorn (1991), sereal sarapan yang ada di pasaran saat ini dikategorikan menjadi lima jenis yaitu: 1) Sereal tradisional yang memerlukan pemasakan, adalah sereal yang dijual di pasaran dalam bentuk bahan mentah yang telah diproses. Biasanya dalam bentuk sereal yang dikonsumsi panas. 2) Sereal panas instan tradisional, yaitu sereal yang dijual dalam bentuk bijibijian atau serbuk yang telah dimasak dan hanya memerlukan air mendidih dalam penyajiannya. 3) Sereal siap santap, yaitu produk yang telah diolah dan direkayasa menurut jenis atau bentuk diantaranya flaked, puffed, dan shredded. 4) Ready-to-eat cereals mixes, yaitu produk sereal yang telah diolah bersama biji-bijian, kacang-kacangan dan buah kering. 5) Bermacam produk sereal sarapan yang tidak dapat dikategorikan dalam keempat jenis produk tersebut karena proses khusus dan atau kegunaan akhirnya. Contoh dari jenis ini adalah cereal nuggets dan makanan bayi.
5
Sereal untuk makanan pagi yang umum di pasaran dapat berupa flakes, butiran maupun produk yang mengembang dan biasanya terbuat dari satu jenis sereal atau campuran sereal yang dibalut dengan bumbu seperti minyak, garam, dan atau gula. Sereal mengalami proses utama yaitu pembentukan flake, butiran atau pengembangan, pemanggangan dan pelapisan dengan senyawa penambah aroma (Vail et.al 1978). Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1 Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake No 1 2 3 4 5 6
Bahan Tepung ubi jalar Tepung kedelai Tapioka Gula (dari total tepung) Garam (dari total tepung) Air (dari total tepung)
Komposisi (%) 55 25 20 10 0.5 30
Sumber : Koswara (2003)
Flakes merupakan salah satu bentuk dari produk pangan yang menggunakan bahan pangan serealia seperti beras, gandum atau jagung dan umbi-umbian seperti kentang. Flakes digolongkan ke dalam jenis makanan sereal siap santap yang telah diolah dan direkayasa menurut jenis dan bentuknya. Berbagai macam jenis makanan sarapan antara lain adalah corn flakes, oat flakes, rolled flakes, dan makanan sarapan lain berbentuk puffed yang dibuat dengan bantuan alat ekstruder (Tressler dan Sultan 1975). Pembuatan flakes agak berbeda dengan pembuatan sereal sarapan lain yang berbentuk puffed. Flakes dibuat dengan cara pengepresan sekaligus pengeringan. Produk ini dibuat dengan menggunakan flaking roll hingga terbentuk lapisan tipis atau serpihan dengan kadar air 3% dan total padatan sebesar 97%. Sereal berbentuk puffed atau menggelembung bisa dibuat menggunakan beras, gandum atau jagung. Puffed dibuat dengan teknik udara bertekanan tinggi. Setelah diproses dalam ekstruder dengan suhu dan tekananan tinggi bahan akan ditembakkan keluar alat ekstruder. Perbedaan tekanan dalam ekstruder dan lingkungan membuat bahan menyerap udara sehingga bahan akan mengembang (puffed) (Guy 2001).
6
Standar corn flake dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2 Standar mutu corn flake (g/100gr) Flake
Komposisi
a 4,27 4,33 0,67 1,48 89,26
Air Protein Lemak Abu Karbohidrat (by difference)
b 3,53 6,25 0,75 1,90 87,56
Sumber : a USDA (2010) b Padovani, et al. (2007)
Kemunduran mutu dari sereal sarapan disebabkan oleh lemak yang terkandung di dalamnya. Lemak yang terkandung dalam sereal tidak banyak tetapi lemak merupakan penyebab utama hilangnya nutrisi dan berkurangnya nilai oganoleptik.
Oksidasi
pada
lemak
akan
menyebabkan
pembantukan
hidroperoksida. Hidroperoksida bertanggung jawab atas bau tengik yang terbentuk. Hal ini lah yang menyebabkan berkurangnya nilai organoleptik (Paradiso et al. 2008). 2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.) Lele memiliki bentuk memanjang agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan dalam, masing-masing terdapat kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakan untuk meraba makanannya. Kulit ikan lele berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada punggung dan bagian samping. Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil (Suyanto 2007). Ikan lele merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar tinggi dalam lahan terbatas (hemat lahan) di kawasan marginal dan hemat air (Mahyudin 2008). Adapun sistematika dan klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Telestoi
7
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp.
Gambar 1 Ikan lele (Dokumentasi pribadi). Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan menyukai makanan yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nocturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempat-tempat yang terlindungi (Suyanto 2007). Ikan lele banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang kandungan oksigennya rendah. 2.3 Komposisi Kimia Ikan Lele Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa ikan lele termasuk ke dalam bahan pangan berprotein sedang-lemak rendah. Ikan digolongkan sebagai ikan dengan lemak rendah dan protein sedang apabila memiliki kadar lemak <5% dan protein 15-20% (Stansby 1963). Komposisi kimia ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 3
8
Tabel 3 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Jumlah (%) Komponen a Air Abu Lemak Protein Karbohidrat (by different)
79,73 1,47 0,95 17,71 0,14
b 76,71 1,23 1,15 19,68 1,23
Sumber : a Nurilmala et al. (2009) b Osibona et al. (2006)
2.4 Tepung Ikan Tepung ikan merupakan komoditas olahan hasil perikanan yang diperoleh dari suatu proses reduksi komoditas bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar terdiri dari komponen ikan. Tinggi rendahnya kandungan protein pada tepung ikan dipengaruhi oleh cara pengolahan dan bahan mentah yang digunakan. Proses pengolahan tepung ikan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pengolahan sistem basah yang digunakan untuk memproduksi tepung ikan dari bahan mentah ikan yang berlemak tinggi (>5%) dan pengolahan sistem kering yang sering digunakan untuk memproduki tepung ikan dari bahan mentah ikan yang berlemak rendah (<5%) (Irianto 2002). Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air dari daging ikan. Kadar air dalam daging ikan sangat berpengaruh terhadap proses pembusukan. Tahapan pengolahan tepung ikan terdiri atas pencincangan, pemasakan, pengepresan, pengeringan, dan penggilingan. Tepung ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Warna tepung ikan akan berubah menjadi cokelat kekuningan setelah mengalami penyimpanan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982). Komposisi kimia tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, mineral, lemak, dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air, dan kerusakan senyawa kimia tertentu
9
akibat proses pemanasan. Komposisi kima tepung ikan juga ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya. 2.5 Ubi Jalar (Ipomea batatas L) Ubi jalar merupakan tanaman pangan yang menduduki peringkat kesembilan di dunia sebagai tanaman pangan penting. Pemanfaatannya terutama sebagai bahan pangan sumber kalori (Sarwono 2007). Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A, C, dan mineral (Burlingame et al 2009). Ubi jalar yang daging umbinya berwarna ungu banyak mengadung anthocyanin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena berfungsi sebagai antioksidan yang dapat mencegah penyakit kanker. Ubi jalar yang daging umbinya berwarna kuning banyak mengandung beta-karoten yang merupakan sumber vitamin A (Sarwono 2007). Keunggulan ubi jalar sebagai tanaman pangan antara lain sesuai dengan kondisi agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga menguntungkan untuk diusahakan. Ubi jalar mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (prebiotik, serat, dan antioksidan), serta potensi penggunaanya cukup luas dan cocok untuk program diversifikasi pangan (Sentra IPTEK 2007). Komposisi gizi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 4 Komposisi gizi ubi jalar (100gr) Komposisi Kalori (kal)
Ubi Jalar 113
Protein (g)
2,3
Serat (g)
0,3
Kalsium (mg)
46
Besi (mg)
1
Vitamin A (SI)
7,1
Vitamin B (mg)
0,13
Vitamin C (mg)
2
Air (g) Sumber : Sarwono (2007)
70
10
Produktivitas ubi jalar di Indonesia cukup tinggi sehingga banyak dimanfaatkan menjadi berbagai produk pangan. Produk pangan olahan ubi jalar diantaranya gaplek ubi jalar, tepung ubi jalar, keripik ubi jalar, kue ubi jalar, serta manisan kering. Kini selain produk olahan tersebut, melalui riset Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok, ubi jalar dapat diolah menjadi sereal yang berkualitas yaitu Sweet Potato Flakes. 2.6 Kedelai (Glicine max) Tepung kedelai merupakan bahan baku kedua terbanyak dalam pembuatan Flakes. Jika dibuat dengan cara yang kurang baik, tepung kedelai diduga masih mengandung senyawa antigizi dan senyawa off-flavor. Senyawa tersebut berasal dari bahan baku kedelai itu sendiri. Senyawa-senyawa antigizi itu antara lain antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatuensi (timbulnya gas dalam perut sehingga menyebabkan kembung). Senyawa penyebab off-flavor pada kedelai misalnya glukosida, saponin, estrogen, dan senyawasenyawa penyebab alergi (Koswara 2003). Komposisi gizi kedelai dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 5 Komposisi gizi kedelai (g/100gr) Komposisi Kadar air Protein Lemak Serat Karbohidrat Abu
Kedelai 9,82 40,4 18,56 16,5 9,94 4,81
Sumber : Redondo-Cuenca et.al (2006)
Tepung kedelai yang dibuat dari kedelai mentah memiliki sifat yang khas yakni mempunyai bau langu. Langu tersebut merupakan bau dan rasa yang khas dari kedelai dan kacang-kacangan mentah lainnya dan umumnya kurang disukai konsumen. Rasa dan bau langu itu ditimbulkan oleh kerja enzim lipoksigenase yang terdapat dalam biji kedelai. Enzim itu bereaksi dengan lemak pada waktu proses penggilingan kedelai, terutama jika digunakan air dingin. Hasil reaksinya paling sedikit berupa delapan senyawa volatil terutama etil-fenil-keton (Koswara 2003). Kedelai mengandung minyak dan protein yang dibutuhkan oleh
11
tubuh, selain itu kedelai juga mengandung daidzein dan genistein yang berguna bagi kesehatan sebagi antiasstrosklirosis (Couto et al. 2011) 2.7 Tepung Tapioka Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissma) yang telah dicuci dan dikeringkan. Tapioka hampir seluruhnya berupa pati yang merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan bau, sehingga modifikasi cita rasa pada tepung tapioka mudah dilakukan. Tapioka adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu segar setelah melalui cara pengolahan tertentu yaitu dibersihkan kemudian dikeringkan (SNI-01-3451-1992). Tapioka dapat diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin yang diperlukan untuk berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan buahbuahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, pewarna putih, bahan pengisi, dan bahan pengikat dalam industri makanan (Sentra IPTEK 2007). Komposisi kimia tapioka dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6 Komposisi kimia tapioka (g/100gr) Komposisi Kalori (kal)
Tepung Tapioka 146
Air (g)
62,5
Karbohidrat (g)
34
Protein (g)
1,2
Lemak (g)
0,3
Sumber : Radiyati dan Agusto (2000)
Tepung tapioka akan memiliki perlakuan berbeda untuk setiap jenis produk karena sifat yang dimiliki tepung tersebut. Rasio amilosa dan amilopektin dari tapioka yaitu 17% amilosan dan 83% amilopektin, bentuk granula semi bulat dengan salah satu bagian ujungnya mengerucut, ukuran 5-35µm, suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64oC, kristalisasi 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42µm, kelarutan 31% (Hoover 2001). 2.8 Flaking Roll Flaking roll merupakan alat yang biasa digunakan dalam industri cereal. Flaking roll terdiri dari dua buah gulungan besi yang berfungsi untuk memipihkan
12
pellet menjadi flakes. Dua buah gulungan besi yang ada dapat diatur jaraknya sehingga dapat menghasilkan ukuran flakes yang sesuai dengan
kebutuhan.
Proses pembuatan flake dilakukan dengan cara memasukkan pellet ke dalam roll yang berputar dalam kecepatan sedang tanpa menggunakan panas. Saat jatuh dari roll, pelet-pelet tersebut berubah menjadi bentuk flake. Flakes tersebut kemudian ditampung dalam loyang. Flakes yang telah ditampung dalam loyang kemudian dipanggang dengan oven selama 15 menit (Sentra IPTEK 2007). 2.9 Proses Pembuatan Flake Bahan yang digunakan dalam formula fish flake berupa tepung ikan lele, tepung ubi, tepung kedelai, tepung tapioka, gula, garam dan air. Pada proses pencampuran gula, garam dan air dicampur terlebih dahulu hingga tercampur sempurna baru kemudian dituangkan sedikit demi sedikit hingga tepung dan air bercampur secara merata. Penambahan tepung ikan lele dalam pembuatan fish flake bertujuan untuk meningkatkan kadar protein dalam flake. Kecukupan energi dan protein menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) adalah 2000 kkal dan 57 gram protein. Protein terdiri dari asam-asam amino esensial, selain itu protein juga menyuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein berfungsi sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur ekspresi genetik, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan. Pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan dengan pangan nabati. Di Indonesia kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi relatif rendah yaitu 4% (Hardiansyah dkk. 2001), yang menurut FAO RAPA (1985) sebaiknya sekitar 15% dari total energi. Bahan utama lain yang digunakan adalah tepung ubi. Penggunaan tepung ubi dalam pembuatan fish flake bertujuan sebagai sumber karbohidrat. Menurut Muchtadi (1989) tepung ubi jalar memilik kandungan karbohidrat yang tinggi, mempunyai potensi yang besar mengandung serat makanan dan seyawa oligosakarida. Refinosa, saktiosa dan verbakosa adalah oligosakarida yang terdiri dari unit-unit glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Ketiga jenis oligosakarida tersebut banyak terdapat dalam ubi.
13
Tepung kedelai merupakan bahan utama selanjutnya yang digunakan. Penggunaan tepung kedelai bertujuan untuk memenuhi kebutuhan protein nabati. Matthews (1989) menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya tinggi, yaitu 49% dan 21%. Bahan lainnya yaitu tepung tapioka. Tepung tapioka berfungsi sebagai pengikat dalam formulasi pembuatan fish flake. Radley (1976) menyebutkan bahwa penggunaan tepung tapioka dalam industri makanan dimungkinkan karena daya penahan air yang tinggi serta pengaruhnya yang kecil terhadap cita rasa. Bahan pendukung yang digunakan adalah gula, garam dan air. Gula digunakan untuk memberi cita rasa manis dan tekstur. Jumlah gula yang ditambahkan tidak terlalu banyak karena tepung ubi sendiri memiliki karakteristik rasa manis. Garam berfungsi untuk memperkuat rasa gurih karena digunakan bersama-sama dengan gula. Selain itu garam juga berfungsi sebagai bahan pengeras. Air yang digunakan tidak terlalu banyak karena adonan akan menjadi basah dan lengket, sedangkan bila kurang maka adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit untuk dibentuk menjadi flake. Pembuatan fish flake dilakukan dengan mencampurkan tepung ubi, tepung kacang kedelai dan tepung tapioka. Selanjutnya dilakukan pencampuran gula, garam dan air. Setelah itu kedua campuran di mixing sehingga adonan tercampur secara merata. Adonan yang telah tercampur kemudian digiling sehingga menjadi pelet. Pelet-pelet tersebut kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil + 1 cm. Pelet yang sudah dipotong kemudian dipipihkan dengan menggunakan flaking roll kemudian ditampung dalam loyang. Pelet-pelet yang sudah dipipihkan disebut flake. Flake disusun dalam loyang satu persatu sehingga tidak ada yang menempel satu sama lain, Selanjutnya flakes dipanggang menggunakan oven dengan suhu 150 0C selama 15 menit. Proses pemanasan flake dilakukan dengan menggunakan oven jenis tray/rak. Proses pengeringan merupakan tahap akhir dalam proses pembuatan flake. Proses pengeringan di dalam oven menggunakan udara
panas
(proses
pemanggangan).
Proses
pemanggangan
bertujuan
menurunkan kadar air sehingga diperoleh kadar air produk akhir sekitar 1-3%.
14
Kadar air flake lebih dari 3% akan menurunkan kerenyahan produk, sementara kadar air kurang dari 1% menyebabkan produk menjadi rapuh dan mudah hancur. Kedua kondisi ini akan memperpendek umur simpan produk (Burrington 2001). 2.11 Kemasan Pengemasan adalah suatu sistem terpadu untuk menyiapkan, menyimpan, dan mengawetkan produk untuk dikirim kepada konsumen melalui sistem distribusi yang aman dan murah (Jaswin 2008). Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri yang memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk, karena perlindungan produk dapat dilakukan dengan mengemas produk yang bersangkutan. Pengemasan dilakukan terhadap produk pangan maupun bukan pangan. Pengemasan harus dilakukan dengan benar karena pengemasan yang salah dapat mengakibatkan produk tidak memenuhi syarat mutu seperti yang diharapkan (Restuccia, et al 2010). Berdasarkan letak atau kedudukan bahan yang dikemas, di dalam sistem
kemasan keseluruhan dapat dibedakan atas kemasan primer, kemasan sekunder, dan kemasan tersier. Kemasan primer langsung mewadahi atau membungkus bahan/produk yang dikemas. Kemasan sekunder berfungsi melindungi kelompok kemasan
primer.
Kemasan
tersier
umumnya
untuk
pelindung
selama
pengangkutan, yang dikenal sebagai kemasan distribusi (Herawati 2008). Kemasan untuk breakfast cereal pada umumnya terdiri dari kemasan primer, yang bersentuhan langsung dengan makanan dan berfungsi sebagai wadah dan pelindung untuk makanan tersebut. Kemasan sekunder berfungsi sebagai sarana promosi dan informasi serta wadah untuk hadiah beserta kemasan primernya. Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi breakfast cereal adalah jagung, gandum, ekstrak malt, beras, gula buah, dan garam. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan-bahan yang bersifat higroskopis (mudah menyerap uap air) sehingga untuk kemasan primer harus digunakan bahan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah. Cereal mengandung lemak tumbuh-tumbuhan sehingga sebaiknya kemasan primer juga harus mempunyai permeabilitas oksigen yang rendah. Kemasan sekunder biasanya merupakan kotak karton berbahan dupleks dengan ketebalan 160 gsm (gram per square meter) - 230 gsm, tergantung dari besarnya kotak tersebut. Besarnya kotak ditentukan oleh berat isi sereal. Oleh
15
karena itu pada umumnya ukuran kotak cukup besar sehingga tidak ada masalah dalam teknis proses cetaknya. Untuk kemasan dengan ukuran cukup besar seperti ini, para desainer grafis kemasan sangat leluasa untuk menentukan tata letak komponen-komponen desainnya (Sampurno 2008).
16
3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Maret 2011, bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perairan, Pogram Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pilot Plant Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu ikan lele, tepung ubi, tepung kedelai, tepung tapioka, gula, garam, dan air. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia (protein, lemak, kadar air, kadar abu, dan karbohidrat) antara lain K2SO4, HgO, H2SO4, aquades, NaOH 40%, H3BO3, alkohol, heksana, metal merah, metil biru dan HCl . Alat yang digunakan yaitu flaking roll, autokalf, pisau, baskom, timbangan, grinder dan kain kasa. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu tabung reaksi, cawan porselen, kjeldahl, erlenmeyer, desikator, dan soxhlet. 3.3 Metode Penelitian ini terdiri dari penentuan formula yang menghasilkan fish flake terbaik dan analisis atau karakterisasi produk. Pada tahap penentuan formulasi dilakukan pembuatan tepung ikan menggunakan ikan lele. Tepung ikan lele tersebut kemudian difortifikasi ke dalam formula fish flake dengan berbagai konsentrasi. Konsentrasi tepung ikan lele yang digunakan yaitu 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Flake dengan penambahan tepung ikan lele kemudian di uji secara organoleptik. Selanjutnya fish flake di uji Bayes dengan pembobotan setiap parameter pada uji organoleptik berdasarkan tingkat kepentingan. Berdasarkan analisis atau karakterisasi produk terpilih kemudian dibuat selang konsentrasi penggunaan tepung ikan yang lebih kecil untuk pembuatan fish flake selanjutnya. Kemudian karakteristik fish flake tersebut dibandingkan dengan flake komersial (cornflake). Analisis kima yang dilakukakan yaitu uji kadar air, abu, protein,
17
lemak dan karbohidrat. Analisis fisik yang dilakukan meliputi uji kekerasan, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air. 3.4 Pembuatan Fish Flake Formulasi fish flake diawali dengan pembuatan tepung ikan lele dan dilanjutkan dengan penentuan formula yang menghasilkan flake terbaik. Konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan pada formula pembuatan fish flake yaitu 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan Penyiangan
Bagian yang dibuang: kepala dan isi perut
Pencucian Pengukusan Pemisahan daging dan tulang
Bagian yang dibuang: kulit, duri, sisik, dan sirip
Daging ikan Perendaman daging ikan dengan air jeruk nipis 1:5 (jeruk nipis:air) selama 30 menit Pengecilan ukuran menggunakan grinder Pengeringan menggunakan oven selama 15 jam 40-50 0C Pengayakan (60 mesh)
Tepung ikan Gambar 2 Pembuatan tepung ikan (Apriliani 2010)
18
Pembuatan tepung ikan dilakukan dengan cara sebagai berikut: menyiapkan ikan lele, dimatikan kemudian dibersihkan. Ikan lele tersebut kemudian
direndam
dalam
air
jeruk
nipis
dengan
perbandingan
1:5
(jeruk nipis:air) selama 30 menit dengan tujuan untuk menghilangkan bau amis. Selanjutnya daging ikan lele dipres menggunakan alat pengepres selama 10-15 menit dan digiling untuk mengecilkan ukuran. Selanjutnya daging ikan dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 40-50 oC selama ±15 jam. Daging ikan yang telah kering dihaluskan menggunakan blender, kemudian diayak dengan menggunakan saringan 60 mesh sehingga diperoleh tepung ikan lele. Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan fish flake dengan penambahan berbagai konsentrasi tepung ikan lele sebagai perlakuan. Konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan yaitu 0%, 10%, 20%, 30%, dan 40% dari total tepung. Bahan baku yang digunakan dalam produksi fish flake adalah tepung ubi jalar, tepung kedelai dan tepung tapioka masing-masing dengan persentasi 55%, 25%,dan 20% dari total tepung. Bahan pendukung yang digunakan dalam pembuatan fish flake adalah gula, garam, dan air dengan persentasi bahan masing-masing 10%, 0,5% dan 30% dari total tepung yang digunakan (Koswara 2003). Komposisi bahan pembuatan sereal dapat dilihat pada Tabel 7 Tabel 7 Formula flakes. Bahan Bahan baku tepung Tepung ubi jalar Tepung kedelai Tapioka Bahan pendukung Gula pasir Garam air
Komposisi Formula Persentasi (%) Gram 100 500 55 275 25 125 20 100 Dihitung dari total tepung 10 50 0,5 25 30 150
Sumber : Koswara (2003)
Pembuatan fish flake dilakukan dengan mencampurkan tepung ikan, tepung ubi, tepung kacang kedelai dan tepung tapioka. Selanjutnya dilakukan pencampuran antara gula, garam dan air. Setelah itu kedua campuran tersebut diaduk sehingga adonan tercampur secara merata. Adonan yang telah tercampur kemudian dibentuk pelet dengan menggunakan grinder. Pelet-pelet tersebut
19
kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil + 1 cm. Pelet yang sudah dipotong kemudian dipipihkan dengan menggunakan flaking roll kemudian ditampung dalam loyang. Pelet-pelet yang sudah dipipihkan disebut flake. Flake tersebut kemudian disusun dalam loyang satu persatu sehingga tidak ada yang menempel satu sama lain. Setelah itu flakes dipanggang menggunakan oven dengan suhu 150 0C selama 15 menit hingga warnanya sedikit kecoklatan. Diagram alir pembuatan fish flake dapat dilihat pada Gambar 3
Tepung ubi Tepung kedelai Tepung tapioka Tepung ikan*
Gula Garam Air
Pencampuran Pengecilan ukuran dengan grinder Pemipihan dengan flaking roll Pemasakan dengan oven 150 0C (15 menit)
Flake Gambar 3. Pembuatan fish flake (Koswara 2003) dengan modifikasi. 3.5 Analisis Produk Analisis yang dilakukan pada fish flake terpilih meliputi analisis kima dan analisis fisik 1) Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi uji proksimat yaitu kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan karbohidrat.
20
2) Analisis Fisik Analisa fisik yang dilakukan meliputi uji kekerasan, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air pada fish flake. 3.5.1 Analisis kimia (1) Kadar air (AOAC 2007) Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven selama 15 menit atau sampai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105-110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar air =
B2 - B1 x100 % B
Keterangan: B
= Berat sampel (gram)
B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan
(2) Kadar abu (AOAC 2007) Sampel basah sebanyak 4 gram ditempatkan dalam wadah porselin kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 60-105 oC selama 8 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 oC selama 3 jam lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut: Kadar abu =
Berat abu x100 % Berat Sampel
(3) Kadar lemak (AOAC 2007) Sampel sebanyak 0,5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta labu lemak di bawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak
21
secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:
Lemak =
Berat lemak ( g ) x100% Berat sampel (g)
Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu (4) Kadar protein (AOAC 2007) Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 gram), HgO (40 mg), H2SO4 (2,5 ml) serta beberapa tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih (sekitar 1-1,5 jam); didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20 ml). Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol dan metil biru 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
(ml HCL - ml blanko) x14.007 x fp mg sampel % Nitrogen = x100% Bobot sampel % Protein = % N x Faktor konversi Faktor konversi = 6,25
22
(5) Kadar karbohidrat (AOAC 2007) Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)
3.5.2
Analisa fisik (1) Kekerasan Pengukuran kekerasan ditentukan secara objektif terhadap produk yang
berbentuk flakes dengan menggunakan rheoner. Tingkat kekerasan dinyatakan dengan gf, yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecahkan flakes. (2) Indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA) metode sentrifugasi (Muchtadi 1989). Flakes digiling dan disaring dengan saringan 60 mesh. Flakes harus lolos pada saringan 60 mesh. Sebanyak satu gram tepung flakes dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 10 ml aquades, diaduk dengan menggunakan vibrator sampai semua bahan terdispersi secara merata, selanjutnya larutan dalam tabung disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam wadah lain, sedangkan tabung sentrifus beserta residunya dipanasakan dalam oven. Tabung diletakkan dengan posisi miring (250) dan oven diatur pada suhu 500C selama 25 menit. Akhirnya tabung residu ditimbang untuk menentukan berat air yang diserap. Dari supernatan hasil senrifugasi yang diperoleh, diambil contoh sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam cawan. Cawan yang digunakan ditimbang, sehingga telah diketahui beratnya. Cawan dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 1100C sampai semua air dalam cawan menguap. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang untuk mengetahui berat
23
bahan kering yang terdapat dalam supernatan. Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air dapat ditentukan dengan persamaan berikut : IPA =
berat air yang terserap Berat awal - berat bahan terl arut
IKA =
berat bahan terlarut dalam 2 ml suspensi . 2ml suspensi
3.6 Uji Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan atau kesukaan panelis terhadap produk fish flake yang dihasilkan. Skala yang digunakan adalah 1(sangat tidak suka) sampai 9 (sangat suka) dengan nilai 5 sebagai rasa antara (netral). Parameter yang diuji adalah penerimaan umum (over all). 3.7 Uji Bayes Pengambilan keputusan untuk memilih konsentrasi yang terbaik pada tahap penentuan formulasi menggunakan metode Bayes. Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Untuk menghasilkan keputusan yang optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria (Marimin 2004). Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangan dalam pemilihan fish flake dengan penambahan tepung ikan lele yang menghasilkan produk paling disukai pada penelitian pendahuluan. Pemilihan fish flake paling disukai dilakukan dengan uji indeks kinerja didasarkan pada total nilai yang paling tinggi dari setiap perlakuan. Parameter yang dibobot meliputi karakteristik sensori aroma, rasa, aroma, penampakan dan tekstur. Nilai kepentingan masingmasing parameter sensori yang digunakan terdiri dari 5 nilai numerik, yaitu 1 mewakili tidak penting, 2 mewakili kurang penting, 3 mewakili biasa, 4 mewakili penting dan 5 mewakili sangat penting. Nilai kepentingan bisa diperoleh dari hasil kuisioner panelis atau menurut pendapat ahli.
24
3.8 Analisis Data Analisis
data
penelitian
pendahuluan
berupa
uji
skala
hedonik
menggunakan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison untuk melihat pengaruh penambahan tepung ikan yang digunakan terhadap parameter aroma, rasa, aroma, penampakan dan tekstur. Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi tepung ikan terhadap parameter subjektif dan objektif yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan dua kali ulangan. Konsentrasi tepung ikan yang digunakan sebagai perlakuan sebesar 25%, 30%, dan 35% serta cornflakes komersial sebagai pembanding. Model rancangan yang digunakan adalah :
Keterangan: Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j µ
= nilai rata-rata
τi
= pengaruh perlakuan ke-i
εij
= galat pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
i
= perlakuan ke i
j
= ulangan ke j Hipoteisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : H0 : Penambahan tepung ikan lele dengan berbagai konsentrasi tidak memberikan pengaruh terhadap mutu fish flake H1 : Penambahan tepung ikan lele dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh terhadap mutu fish flake
Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% untuk menyatakan perbedaan nyata. Selanjutnya data dianalisis dengan analisis ragam. Jika dari hasil analisis ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan memakai uji Tukey, sedangkan uji organoleptik, data dianalisis dengan metode Kruskal Wallis. Jika hasil uji Kruskal Wallis berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey (Steel dan Torrie 1991).
25
3.9 Angka Kecukupan Gizi Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Kekurangan asupan zat gizi akan menyebabkan terjadinya efek samping (IOM 2002). Berdasarkan total kebutuhan kalori total 2000kkal/hari, berikut adalah rinciannnya : Karbohidrat
: 50-60% dari total kalori
Protein
: 10-20% dari total kalori
Lemak
: kurang dari sama dengan 30% dari total kalori
Kebutuhan kalori karbohidrat =
X 2000kkal = 1000 kkal
Kebutuhan karbohidrat perhari = Kebutuhan kalori protein = Kebutuhan protein perhari = Kebutuhan kalori lemak =
1000 kkal 4
= 250 gram/hari
X 2000kkal = 400kkal 400 kkal 4
= 100 gram/hari
X 2000kkal = 600 kkal
Kebutuhan karbohidrat perhari =
600 kkal 9
= 66,67 gram/hari
Log per ss = % ing x ss x Keterangan :
ing = ingridient Ss = serving size Jumlah energi = ∑ protein +∑ lemak + ∑ karbohidrat
26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Flake Pembuatan fish flake bertujuan untuk mencari formula terbaik yang menghasilkan produk yang dapat diterima oleh panelis berdasarkan uji hedonik dan dilanjutkan dengan analisis pengambilan keputusan menggunakan metode Bayes. 4.1.1 Formulasi flake dengan penambahan tepung ikan lele Formulasi fish flake diawali dengan pembuatan tepung ikan lele dan dilanjutkan dengan penentuan formula yang menghasilkan fish flake terbaik bedasarkan uji organoleptik dan uji Bayes. 4.1.2 Uji hedonik Flake yang telah dimasak dengan proses pemangganggan selanjutnya dilakukan uji organoleptik. Dalam penelitian pendahuluan ada lima parameter yang diukur yaitu penampakan, bau, rasa, warna dan tekstur. Hasil uji organoleptik dari fish flake dengan penambahan tepung ikan lele dapat dilihat pada Gambar 4
9 Nilai uji organoleptik
8 7 6 5 4 3 2 1 0 penampakan
warna aroma tekstur Parameter uji organoleptik
rasa
Gambar 4 Nilai organoleptik flake dengan penambahan tepung ikan (Flake dengan penambahan konsentrasi : 0% , 10%, 20%, 30%, 40%).
27
Gambar 4 menunjukkan rata-rata penerimaan panelis terhadap uji sensori dengan skala hedonik 1 sampai 9. Nilai hedonik penampakan dan warna tertinggi terdapat pada fish flake dengan perlakuan tepung ikan 30% dengan rata-rata nilai 6,77 dan 7,33. Nilai hedonik aroma dan rasa tertinggi pada fish flake dengan perlakuan tepung ikan 10% dengan rata-rata nilai 5,90 dan 6,63. Sedangkan nilai hedonik tekstur tertinggi pada flake perlakuan tepung ikan 40% dengan rata-rata nilai 7,03. (1) Penampakan Penerimaan konsumen terhadap suatu makanan diantaranya dipengaruhi oleh status sosial dan mutu makanan menurut keyakinannya. Penampakan pangan merupakan faktor terpenting yang berpengaruh, karena faktor inilah yang pertama kali dilihat. Faktor-faktor selanjutnya adalah warna, kemudian aroma, rasa dan tekstur makanan tersebut (Muchtadi 1898). Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, penampakan flakes dengan penambahan tepung ikan yang diujikan mempunyai kisaran nilai 5,80 sampai 6,77 dengan skala hedonik 1-9. Penampakan flakes yang paling disukai panelis yaitu dengan penambahan tepung ikan 30% dengan nilai 6,77. Flake tersebut mempunyai penampakan yang
Nilai organoleptik
menarik dengan warna yang kuning cemerlang dan permukaan flake yang halus.
9 8 7 6 5 4 3 2 1
6.10abc
0%
6.77c 5.83ab
6.63bc
5.80a
10% 20% 30% Konsentrasi tepung ikan
40%
Gambar 5 Nilai uji penampakan pada fish flake. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan tepung ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap penampakan fish flake. Hal ini diperkuat dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara fish flake dengan penambahan 20% tepung ikan dibandingkan formula 30% tepung
28
ikan. Flake dengan penambahan 20% tepung ikan paling tidak disukai oleh panelis karena flake tersebut memiliki warna yang pucat dan pinggiran flake yang kurang seragam. Flake dengan penambahan tepung ikan 30% paling disukai panelis karena fish flake memiliki warna kuning yang tidak terlalu gelap. Selain itu fish flake tersebut memiliki tekstur yang kompak dan padat dan tidak mudah patah. Hal ini diduga karena rasio antara ikan dan tepung mempengaruhi daya mengembang produk. Peningkatan kandungan protein ikan dalam adonan akan menurunkan daya kembang produk. Perbandingan yang tepat dari bahan adonan akan mempengaruhi penampakan produk. Pengaturan suhu dan lamanya proses pengolahan juga dapat mempengaruhi penampakan dari flake (Lavlinesa 1995). (2) Warna Warna memegang peranan penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen karena merupakan kesan pertama yang akan dinilai konsumen. Menurut Meilgaard (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk secara keseluruhan. Warna fish flake dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan fish flakes.
Berdasarkan uji kesukaan yang
dilakukan oleh panelis, fish flakes dengan penambahan tepung ikan yang diujikan mempunyai kisaran nilai 5,63 sampai 7,33 dari skala hedonik 1-9. Berdasarkan uji kesukaan, fish flake dengan penambahan tepung ikan 20% mempunyai nilai ratarata warna terendah sedangkan nilai tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 30%. Flake dengan penambahan tepung ikan 20%, memiliki warna coklat yang sedikit pucat, sedangkan fish flake dengan penambahan tepung ikan 30% memiliki warna coklat kekuningan yang cemerlang. Nilai hedonik warna fish flake dengan berbagai konsentrasi tepung ikan dapat dilihat pada Gambar 6 Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan tepung ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna fish flake. Hal ini diperkuat dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara fish flake dengan penambahan 20% tepung ikan dengan 30% tepung ikan. Warna fish flake dipengaruhi oleh penambahan tepung ikan. Penambahan tepung ikan lele yang semakin banyak dapat membuat produk menjadi semakin gelap. Hal ini diduga karena adanya reaksi maillard pada proses pemanggangan. Reaksi maillard terjadi
29
karena adanya reaksi gugus asam amino, peptida atau protein yang berasal dari tepung ikan lele dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, kemudian diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna cokelat atau melanoidin sehingga fish flake berwarna cokelat (Mendoza et al. 2004).
9 Nilai organoleptik
8 7
6.10abc
6
6.77c 5.83ab
6.63bc
5.80a
5 4 3 2 1 0%
10% 20% 30% Konsentrasi tepung ikan
40%
Gambar 6 Nilai uji warna pada fish flake. Reaksi maillard atau pencoklatan dikehendaki pada pembuatan fish flake untuk mendapatkan warna cokelat yang menarik. Pada formula penambahan tepung ikan 30% kesukaan panelis meningkat karena fish flake tersebut mempunyai warna cokelat yang sedang tidak terlalu gelap. Akan tetapi perubahan warna yang semakin gelap tidak disukai. Hal ini terlihat pada fish flake penambahan 40% tepung ikan yang menyebabkan warna menjadi semakin gelap sehingga kesukaan panelis menurun. (3) Aroma Menurut Winarno (2008) aroma atau bau yang menguap merupakan atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik. Aroma juga ikut menentukan penerimaan produk. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut. Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, fish flakes dengan penambahan tepung ikan mempunyai kisaran nilai aroma antara 5,43 sampai 5,90 dari skala hedonik 1-9. Berdasarkan uji kesukaan, fish flake dengan penambahan
30
tepung ikan 40% mempunyai nilai rata-rata aroma terendah sedangkan nilai tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 10%. Makin tinggi konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan maka aroma ikan pada fish flake semakin nyata. Flake dengan penambahan tepung ikan 40% memiliki aroma ikan yang lebih tajam jika dibandingkan fish flake dengan penambahan tepung ikan 10%. Gambar 7 menunjukkan bahwa panelis dapat menerima aroma dari fish flake dengan penambahan tepung ikan, karena pada semua perlakuan yang diberikan memiliki nilai di atas lima atau netral sampai suka. Parameter aroma pada fish flake dengan penambahan tepung ikan dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan fish flake. Hasil uji hedonik pada parameter aroma dapat dilihat pada Gambar 7. 9 Nilai organoleptik
8 7
6.10abc
6
6.77c 5.83ab
6.63bc
5.80a
5 4 3 2 1 0%
10% 20% 30% Konsentrasi tepung ikan
40%
Gambar 7 Nilai uji aroma pada fish flake. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan tepung ikan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma fish flake. Hal ini karena pada pembuatan tepung ikan dilakukan perendaman dengan jeruk nipis sehingga bau amis dari ikan dapat dihilangkan. Ikan merupakan bahan makanan yang cepat mengalami kemunduran mutu selama proses pengolahan. Faktor utama yang berperan dalam kemunduran adalah proses degradasi protein yang membentuk berbagai produk seperti hipoksantin, trimetilamin, terjadinya proses ketengikan oksidatif dan pertumbuhan mikroorganisme (Junianto 2003). Trimetilamin tersebut cukup berperan dalam pembentukan bau yang ditimbulkan oleh ikan. Sarwono (1986) menyatakan bahwa jeruk nipis cukup efektif mengurangi bau
31
amis dari ikan karena jeruk nipis mengandung asam askorbat yang dapat bereaksi dengan trimethylamine (TMA) dan membentuk trimethyl amonium. Perubahan trimethylamine (TMA) menjadi trimethyl amonium inilah yang dapat mengurangi bau amis dari ikan. (4) Tekstur Tekstur makanan dapat didefinisikan sebagai cara bagaimana berbagai unsur komponen dan unsur struktur ditata dan digabung menjadi mikro dan makrostruktur. Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan, terkadang lebih penting daripada aroma dan warna (deMan 1997). Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, fish flakes dengan penambahan tepung ikan yang diujikan mempunyai kisaran nilai 4,80 sampai 7,03 dengan skala hedonik 1-9. Berdasarkan uji kesukaan, fish flake dengan penambahan tepung ikan 0% mempunyai nilai rata-rata tekstur terendah sedangkan nilai tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 40%. Semakin banyak tepung ikan yang ditambahkan kesukaan panelis semakin tinggi. Hasil uji hedonik pada parameter tekstur dapat dilihat pada Gambar 8 9 Nilai organoleptik
8 7
6.77c 6.10abc
6
5.83ab
6.63bc
5.80a
5 4 3 2 1 0%
10% 20% 30% Konsentrasi tepung ikan
40%
Gambar 8 Nilai uji tekstur pada fish flake. Flake dengan penambahan tepung ikan 0% memiliki tekstur yang kurang renyah dan sedikit basah, sedangkan fish flake dengan penambahan tepung ikan 40% memiliki tekstur yang lebih kompak dan lebih renyah. Penambahan tepung ikan yang semakin tinggi menyebabkan fish flake menyerap air lebih sedikit. Hal
32
ini menyebabkan pada saat pemanggangan fish flake dengan penambahan tepung ikan 40% lebih cepat kehilangan air jika dibandingkan dengan fish flake tanpa penambahan tepung ikan. Kerenyahan juga erat kaitannya dengan perbedaan komposisi dari bahan dasarnya terutama komponen amilosa dan amilopektinnya. Kadar amilosa yang tinggi dalam bahan akan mampu meningkatkan kerenyahan fish flake yang dihasilkan.
Amilosa dalam bahan akan
membentuk ikatan
hidrogen dengan air dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga pada saat pemanggangan air akan menguap dan meningkatkan ruang kosong dalam bahan sehingga fish flake menjadi renyah (Rahmanto 1994). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan tepung ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur fish flake. Hal ini diperkuat dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara fish flake dengan penambahan tepung ikan 0% dengan fish flake dengan penambahan 30% tepung ikan. Kadar protein dan lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya absorpsi air, karena protein dan lemak akan menutupi partikel pati/tepung sehingga penyerapan air dapat terhambat (Permatasari 2007). Hal ini didukung pula dengan hasil uji fisik yaitu semakin banyak tepung ikan yang ditambahkan maka penyerapan dan kelarutan air semakin kecil. (5) Rasa Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup cecap yang terletak pada papila. Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, fish flakes dengan penambahan tepung ikan yang diujikan mempunyai kisaran nilai 4,83 sampai 6,63 dari skala hedonik 1-9. Berdasarkan uji kesukaan, fish flake dengan penambahan tepung ikan 30% mempunyai nilai rata-rata tekstur terendah sedangkan nilai tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 10%. Hal ini diduga karena fish flake dengan penambahan tepung ikan lele 30% mempunyai rasa khas ikan yang lebih nyata. Hasil uji hedonik pada parameter rasa dapat dilihat pada Gambar 9 Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan tepung ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa fish flake. Hal ini diperkuat dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara rasa fish flake
33
dengan penambahan 10% tepung ikan dengan 30% tepung ikan. Penambahan konsentrasi ikan yang semakin tinggi mengakibatkan fish flake tersebut semakin tidak disukai oleh para panelis. Hal ini diduga karena penambahan tepung ikan akan menimbulkan rasa khas ikan pada fish flake, sehingga panelis tidak menyukainya.
9 Nilai organoleptik
8 7
6.10abc
6
6.77c 5.83ab
6.63bc
5.80a
5 4 3 2 1 0%
10% 20% 30% Konsentrasi tepung ikan
40%
Gambar 9 Nilai uji rasa pada fish flake. Reaksi maillard juga diduga berperan dalam pembentukan rasa pada fish flake. Tepung ikan memiliki kandungan protein dan asam amino. Di dalam bahan pangan reaksi maillard terjadi antara gula pereduksi dan asam amino terikat pada peptida dan protein sehingga akan menyebabkan reaksi karena gugus ini sangat reaktif. Reaksi maillard membentuk senyawa-senyawa yang bertanggung jawab terhadap flavor dan warna bahan makanan (Borelli et al. 2003). 4.1.3 Penentuan formulasi menggunakan metode Bayes berdasarkan hasil uji hedonik Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Untuk menghasilkan keputusan yang optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria (Marimin, 2006). Sebelum dilakukan analisis menggunakan metode Bayes, dilakukan perangkingan terhadap beberapa parameter yang diamati berdasarkan indeks kepentingan menurut pendapat ahli. Parameter dengan nilai tertinggi pada
34
metode Bayes mendapat skor lima sedangkan parameter dengan nilai terendah mendapat skor satu. Parameter yang dianggap paling penting dari produk fish flake dengan penambahan tepung ikan secara berturut-turut yaitu penampakan, tekstur, rasa, warna, dan aroma. Hasil analisis dengan menggunakan metode Bayes menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan 30% menghasilkan fish flake terbaik. Hasil uji hedonik maupun uji Bayes dari fish flake dengan penambahan konsentrasi ikan 30% mempunyai korelasi yang positif. Hasil uji hedonik dari fish flake dengan penambahan konsentrasi tepung ikan 30% mempunyai skor tertinggi untuk parameter penampakan dan warna, sedangkan pada parameter tekstur menempati urutan kedua (Tabel 8). Tabel 8 Hasil analisis dengan metode Bayes Parameter penampakan tekstur rasa warna aroma total
0% 3 1 2 3 4 2,47 4
10% 2 2 5 2 5 3,00 3
20% 1 3 4 1 2 2,19 5
Perlakuan 30% 5 4 1 5 3 3,71 1
40% 4 5 3 4 1 3,61 2
nilai bobot 0,24 0,24 0,19 0,19 0,14
4.2 Karakterisasi Produk Karakterisasi produk bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung ikan terhadap mutu fish flake berdasarkan parameter fisik (indeks kelarutan air, indeks penyerapan air dan kelarutan) dan kimia (kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat). 4.2.1 Analisis proksimat produk Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari tiga jenis flake dengan penambahan tepung ikan dan sebagai pembanding yaitu flake komersil. Analisis yang dilakukan meliputi kadar abu, protein, lemak, air dan karbohidrat (by difference). Hasil uji proksimat fish flake dengan penambahan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 9.
35
Tabel 9 Komposisi gizi fish flake dengan penambahan tepung ikan (dalam %) Flake komersial Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar air Kadar karbohidrat (by difference)
3,87 5,59 0,38 1,72 88,45
Flake dengan penambahan tepung ikan 25% 30% 35% 2,91 3,60 3,51 20,55 22,32 24,81 3,95 4,34 4,19 5,39 4,71 5,48 67,21
65,03
literatur a 1,48 4,33 0,67 4,27
62
89,26
b 1,90 6,25 0,75 3,53 87,56
Sumber : a USDA (2010) b Padovani, et al. (2007)
(1) Kadar air Kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Hal ini berkaitan dengan sifat air yang dapat mempengaruhi sifat fisik, perubahan kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi tekstur, penampakan, aroma dan cita rasa makanan (Buckle et al.1987). Hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa flake komersial mempunyai kadar air terendah yaitu 1,72%, sedangkan kadar air tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 35% dengan nilai 5,48%. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air flake pada formula 25%, 30% dan 35%. Sedangkan kadar air flake komersial berbeda nyata dengan formula 25%, 30%, dan 35%.
6.00
5.39b
5.25b
5.44b
Kadar Air(%)
5.00 4.00 3.00 1.72a
2.00 1.00 0.00 25%
30% 35% Konsentrasi Tepung Ikan
komersil
Gambar 10 Kadar air fish flake dengan penambahan tepung ikan.
36
Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa kadar air f fish lake dengan penambahan tepung ikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan flake komersial. Hal ini diduga karena perbedaan bahan yang digunakan dan perbedaan metode produksi yang digunakan. Kandungan protein pada tepung ikan yang mempunyai sifat fungsional mengikat air dan menahan air. Menurut Manullang (1995) makin tinggi konsentrasi tepung yang ditambahkan maka kadar air semakin menurun. Kadar air pada fish flake dengan penambahan tepung ikan lebih tinggi dari flake komersial juga diduga karena kandungan pati yang lebih tinggi. Pati yang terkandung dalam tepung bersifat mengikat air. Bagian yang paling berperan dalam penyerapan air dari biomassa adalah kandungan amilosa dan amilopektin, yang keduanya merupakan komponen pati. Selain itu kadar air juga dapat dipengaruhi oleh proses pemasakan. Penetrasi panas ke dalam produk menyebabkan protein terdenaturasi sehingga molekul-molekul air keluar akibat kemampuan mengikat air berkurang (Nurhayati 1996). (2) Kadar protein Winarno (2008) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan Hasil pengukuran kadar protein menunjukkan bahwa flake komersial mempunyai kadar protein terendah yaitu 5,67%, sedangkan kadar protein tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 35% dengan nilai 24,8%. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein pada formula 30% dan 35%. Sedangkan kadar protein flake komersial berbeda nyata dengan formula 25%, 30%, dan 35%. Histogram pengujian kadar protein dapat dilihat pada Gambar 11.
37
Kadar Protein(%)
30.0 25.0
20.6b
23.6c
24.8c
20.0 15.0 10.0
5.6a
5.0 0.0 25%
30% 35% Konsentrasi Tepung Ikan
komersil
Gambar 11 Kadar protein fish flake dengan penambahan tepung ikan. Hasil analisis kadar protein menunjukkan bahwa kadar protein fish flake dengan penambahan tepung ikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein flake komersial. Hal ini diduga karena adanya penambahan tepung ikan dan penggunaan tepung kedelai dalam formulasi pembuatan fish flake. Kadar protein pada fish flake meningkat seiring dengan penambahan tepung ikan yang diberikan. Hal ini diduga karena kadar protein yang terkandung dalam tepung ikan tinggi. Menurut Mervina (2009) kadar protein tepung badan ikan cukup tinggi yaitu 63.83 %. Daging ikan sebagian besar tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin), protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam jumlah minor. Kadar protein yang tinggi juga diduga karena adanya penggunaan tepung kedelai dalam formulasi pembuatan fish flake. Matthews (1989) menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya tinggi, yaitu 49% dan 21%. Berdasarkan perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) flake dengan penambahan
tepung
ikan
25%,
30%
dan
35%
masing-masing
dapat
menyumbangkan kalori protein sebesar 20,55%, 22,32% dan 24,81% dari kebutuhan kalori protein sebesar 400 kkal. Berdasarkan data tersebut fish flake dengan penambahan tepung ikan dapat disebut dengan flake berprotein tinggi. Hal ini sesuai dengan peraturan FDA (U.S Food and Drug Administration) pada tahun
38
2008 yang menyatakan bahwa suatu produk atau makanan dapat mengklaim ”kaya akan,” ”tinggi akan,” ”merupakan sumber”, jika memilik kandungan protein 20% atau lebih dari kebutuhan harian. (3) Kadar lemak Struktur
kimia
lemak
dalam
makanan
pada
umumnya
berbentuk trigliserida, yakni perpaduan antara satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak. Perbedaan asam lemak inilah yang membedakan jenis dan sifat lemak. Lemak makanan merupakan bagian terpenting dalam nutrisi yaitu menambah kalori dan asam lemak penting, bertindak sebagai pembawa vitamin dan meningkatkan flavor makanan. Hasil pengukuran kadar lemak menunjukkan bahwa flake komersial mempunyai kadar lemak terendah yaitu 0,38%, sedangkan kadar lemak tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 30% dengan nilai 4,25%. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak pada formula 30% dan 35%. Sedangkan kadar lemak flake komersial berbeda nyata dengan formula 25%, 30%, dan 35%. Hasil analisis kadar lemak menunjukkan bahwa kadar lemak fish flake dengan penambahan tepung ikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar lemak flake komersial maupun literatur yang diperoleh. Hal ini diduga karena perbedaan bahan dasar yang digunakan dan penambahan tepung ikan lele pada
Kadar Lemak (%)
fish flake. Histogram pengujian kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 12.
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
3.95b
4.25c
4.21c
0.38a 25%
30% 35% Konsentrasi Tepung Ikan
komersil
Gambar 12 Kadar lemak fish flake dengan penambahan tepung ikan
39
Kadar lemak pada fish flake dengan penambahan tepung ikan memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi tepung ikan yang digunakan. Menurut Mervina (2009) kadar lemak pada tepung ikan termasuk tinggi yaitu sebesar 10,83%. Tepung ikan yang terbuat dari badan ikan mengandung lemak yang lebih tinggi dari pada tepung yang terbuat dari tulang atau kepala ikan. Hal ini disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibanding bagian kepala ikan. Mendez dan Albuin (2006) menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang dihasilkan dari daging ikan akan mempunyai kadar lemak yang lebih tinggi dari tepung yang terbuat dari kepala ikan. (4) Kadar abu Abu merupakan unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Bahan makanan sebagian besar yaitu 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Hasil pengukuran kadar abu menunjukkan bahwa fish flake dengan penambahan tepung ikan 25% mempunyai kadar abu terendah yaitu 2,91%, sedangkan kadar abu tertinggi pada flake komersial dengan nilai 3,87%. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu pada formula 30% dan 35%. Sedangkan kadar abu flake komersial berbeda nyata dengan formula 25%, 30%, dan 35%. Histogram pengujian kadar abu dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa kadar abu fish flake dengan penambahan tepung ikan lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar abu flake komersial. Hal ini diduga karena perbedaan bahan dasar yang digunakan dan penambahan tepung ikan lele pada flake. Kadar abu pada fish flake memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan bahan penyusun adonan fish flake yaitu tepung ikan dan
40
tapioka yang akan meningkatkan jumlah kadar abu yang terkandung pada produk akhir. 5.00 4.50 Kadar Abu
4.00 3.50 3.00
3.46b
3.58b
3.87c
2.91a
2.50 2.00 1.50 1.00 25%
30% 35% Konsentrasi Tepung Ikan
komersil
Gambar 13 Kadar abu fish flake dengan penambahan tepung ikan . Bahan baku ikan yang ditambahkan merupakan bahan pangan hewani yang cukup tinggi kadar abunya. Makanan yang berasal dari sumber hewani tinggi kadar abunya, hal ini disebabkan karena kandungan beberapa mineral yang terkandung didalamnya seperti kalsium, besi dan phospat. Penurunan kadar air pada bahan pangan akan menyebabkan peningkatan konsentrasi kadar abu (Winarno 2008).
(5) Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat luas dan murah. Hasil pengukuran kadar karbohidrat menunjukkan bahwa fish flake dengan penambahan tepung ikan 30% mempunyai kadar karbohidrat terendah yaitu 62%, sedangkan kadar karbohidrat tertinggi pada flake komersial dengan nilai 88,5%. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu pada formula 30% dan 35%. Sedangkan kadar abu flake komersial berbeda nyata dengan fish flake pada formula 25%, 30%, dan 35%. Kadar karbohidrat diperoleh berdasarkan perhitungan by difference. Histogram pengujian kadar karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 14.
41
Kadar Kabohidrat
100.0 80.0
88.5c 67.2b
62.0a
63.5a
60.0 40.0 20.0 0.0 25%
30% 35% Konsentrasi Tepung Ikan
komersil
Gambar 14 Kadar karbohidrat fish flake dengan penambahan tepung ikan Kadar karbohidrat pada flake dengan penambahan tepung ikan memiliki kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung ikan yang digunakan. Persentasi nilai karbohidrat dengan persentasi kadar protein berbanding terbalik. Semakin tinggi kadar proteinnya maka nilai karbohidratnya semakin rendah. 4.2.2 Analisis fisik produk Analisis fisik dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dari tiga jenis fish flake dengan penambahan tepung ikan dan sebagai pembanding yaitu flake komersil. Analisis yang dilakukan meliputi indeks penyerapan air, indeks kelarutan air dan kekerasan. Hasil uji fisik fish flake dengan penambahan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil analisi fisik pada fish flake Flake komersial IPA (ml/g) IKA (g/ml) Kekerasan (gf)
4,37 0,0253 178,12
Flake dengan penambahan tepung ikan 25% 30% 35% 1,92 1,82 1,75 0,0286 0,0280 0,0264 253,34 264,88 325,60
literatur a 2,88 0,48
b
119
Sumber : a Carrasco-valencia et al.(2009) b Holguin-acuna et al. (2008)
(1) Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA) Indeks Penyerapan Air (IPA) menunjukkan jumlah air maksimum yang dapat diserap oleh suatu tepung. Fennema (1996) menyatakan bahwa daya serap air adalah istilah untuk mendeskripsikan kemampuan dari molekul matriks untuk
42
secara fisik menjebak air dalam jumlah besar tetapi tidak sampai menetes. Hasil
Indeks Penyerapan Air(ml/g)
pengukuran indeks penyerapan air dapat dilihat pada Gambar 15
5.00
4.37c
4.00 3.00 2.00
1.92b
1.82a
1.75a
1.00 0.00 25%
30% 35% Konsentrasi Tepung Ikan
komersial
Gambar 15 Nilai indeks penyerapan air pada fish flake Hasil uji indeks penyerapan air menunjukkan bahwa fish flake dengan penambahan tepung ikan 35% mempunyai nilai IPA terendah yaitu 1,75ml/g, sedangkan IPA tertinggi pada flake komersial dengan nilai 4,37ml/g. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai IPA pada formula 30% dan 35%. Sedangkan IPA flake komersial berbeda nyata dengan formula 25%, 30%, dan 35%. Hasil uji indeks penyerapan air menunjukkan bahwa nilai IPA fish flake dengan penambahan tepung ikan lebih rendah jika dibandingkan dengan flake komersial. Hal ini diduga karena perbedaan bahan dasar yang digunakan dan penambahan tepung ikan lele pada fish flake. Indeks penyerapan air pada fish flake dengan penambahan tepung ikan memiliki kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung ikan yang diberikan. Hal ini diduga karena adanya interaksi antara protein dan bahan lainnya dalam formula pembuatan fish flake. Menurut Zayas (1997) daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang dilakukan terhadap pangan tersebut. Zayas (1997) menambahkan protein mempengaruhi daya serap air. Interaksi antara protein dan air terjadi pada gugus asam amino polar seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril.
43
Protein lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya absorpsi air, karena protein dan lemak akan menutupi partikel pati/tepung sehingga penyerapan air dapat terhambat (Permatasari 2007). Indeks Kelarutan Air (IKA) menunjukkan seberapa banyak tepung yang dapat terlarut di dalam air. Hasil pengukuran indeks kelarutan air dapat dilihat
Indeks Kelarutan Air (g/ml)
pada Gambar 16
0.0290
0.0286 0.0280
0.0280 0.0270
0.0264
0.0260
0.0253
0.0250 0.0240 0.0230 25%
30% 35% Konsentrai Tepung Ikan
komersial
Gambar 16 Nilai indeks kelarutan air pada fish flake Hasil uji indeks kelarutan air menunjukkan bahwa flake komersial mempunyai nilai IKA terendah yaitu 0,0253 g/ml, sedangkan IKA tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 25% yaitu 0,0286. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai IKA pada formula 25%, 30%, 35% maupun flake komersial. Hasil uji indeks kelarutan air menunjukkan bahwa nilai IKA fish flake dengan penambahan tepung ikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan flake komersial. Hal ini diduga karena perbedaan bahan dasar yang digunakan dan penambahan tepung ikan lele pada fish flake. Indeks kelarutan pada fish flake dengan penambahan tepung ikan memiliki kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung ikan yang diberikan. Winarno (2008) menyatakan bahwa protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Lapisan molekul protein bagian dalam berbalik keluar sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil terlipat kedalam. Peristiwa inilah
44
yang menyebabkan penurunan kelarutan fish flake dalam air pada konsentrasi tepung ikan yang semakin tinggi. (2) Analisis kekerasan Kekerasan merupakan ketahanan terhadap deformasi. Kekokohan pada dasarnya sama dengan kekerasan tetapi kadang-kadang istilah ini dipakai untuk menyatakan sifat bahan yang dapat bertahan melawan deformasi karena bobotnya sendiri (deMan 1997). Pengukuran kekerasan ditentukan secara objektif terhadap produk yang berbentuk flakes dengan menggunakan Texture Analizer. Tingkat kekerasan dinyatakan dengan gf, yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecahkan fish flakes. Prinsip pengukuran tekstur bahan pangan dengan teksturmeter adalah dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Hasil pengukuran pada analisis kekerasan dari flake dengan penambahan tepung ikan dan komersial dapat dilihat pada Gambar 17
325.60c
350 Kekerasan (gf)
300 250
253.34b
264.88b 178.12a
200 150 100 50 0 25%
30% 35% Konsentrasi Tepung Ikan
komersial
Gambar 17 Nilai analisis kekerasan pada fish flake Hasil uji kekerasan menunjukkan bahwa fish flake dengan penambahan tepung ikan 35% mempunyai nilai IKA tertinggi yaitu 325,60 gf, sedangkan nilai kekerasan terendah pada flake komersial dengan nilai 178,12 gf. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai IPA pada formula 25% dan 30%. Sedangkan nilai flake komersial berbeda nyata dengan formula 25%, 30%, dan 35%.
45
Kekerasan pada fish flake dengan penambahan tepung ikan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi yang diberikan. Hal ini terjadi karena daya serap air yang menurun dengan peningkatan tepung ikan yang ditambahkan. Daya mengikat air yang tinggi mengakibatkan sedikit saja air yang hilang selama proses pemasakan, menyebabkan nilai kekerasan fish flake pada konsentrasi 25% lebih rendah jika dibandingkan dengan penambahan tepung ikan 30% dan 35%. Daya mengikat air disebabkan karena protein saling tolak menolak akibatnya ruang antar miofilamen menjadi luas dan air dapat ditarik masuk ke dalam daging yang menyebabkan kekerasan menjadi lebih kecil (Nurhayati 1996). Proses pemanggangan juga mempengaruhi kekerasan fish flake. Ketika air mencapai titik didihnya, air akan menguap meninggalkan permukaan fish flake, penguapan air ini menyebabkan fish flake kering dan mengeras. Gelembunggelembung udara yang terbentuk pecah dan meninggalkan ruangan kosong (poripori). Pori-pori ini mempunyai besar yang berbeda-beda tergantung adonan dan akan memberikan pengaruh terhadap nilai kerenyahan (Whiteley 1971). 4.3 Nilai Gizi Produk Flake
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Kekurangan asupan zat gizi akan menyebabkan terjadinya efek samping (IOM 2002). Berikut ini merupakan tabel AKG flake dengan penambahan tepung ikan lele. Tabel 11 Angka kecukupan gizi pada fish flake Takaran saji Jumlah persajian kemasan Energi total Lemak Karbohidrat Protein
30 gr 75,32 kkal 2% 8% 7%
Sarapan menyumbangkan 20-25% total kebutuhan karbohidrat, protein, vitamin dan mineral per hari. Sarapan minimal seperempat porsi makan sehari yang diperlukan untuk kebutuhan tubuh selama 4-6 jam sebelum makan siang. Menurut Ariati dan Puryana (2009) rataan kalori yang dikonsumsi pada pagi hari yaitu 400 kkal. Flake dengan penambahan tepung ikan lele belum memenuhi
46
kebutuhan pada saat sarapan karena pada saat perhitungan belum dicampur dengan susu. Oleh karena itu disarankan untuk mengkonsumsi fish flake bersama dengan susu.
47
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Formula terpilih yang paling disukai adalah fish flake dengan penambahan tepung ikan 30%. Hasil uji proksimat fish flake dengan penambahan tepung ikan 30% meliputi kadar abu 3,60%, protein 22,32%, lemak 4,34%, air 4,71% dan karbohidrat 65,03%. Hasil analisis fisik menunjukkan bahwa nilai Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air dari fish flake akan menurun dengan peningkatan konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan. Nilai IPA dari flake dengan penambahan tepung ikan 30% yaitu 1,82 ml/g dan nilai IKA 0,0280 g/ml. Nilai kekerasan flake dengan penambahan tepung ikan 30% sebesar 264,88 gf. 5.2 Saran Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan : 1) penambahan cita rasa atau flavor untuk mengurangi rasa khas dari ikan 2) penelitian mengenai daya awet fish flake mengingat kadar protein dan kadar lemaknya yang tinggi 3) penelitian mengenai kemasan yang sesuai untuk produk fish flake
48
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Bumi Aksara Albertson AM, Thompson D, Franko DL, Kleinman RE, Barton A, Crockett SJ. 2008. Consumtion of breakfat cereal is associated with positive health outcomes : evidence from the National Heat, Lung and Blood Institute Growth and Health Study. J.Nutr Res. (28)744-752 [AOAC] Association of Official Analytical and Chemistry. 2007. Official Methods of Analysis. 18th ed. Maryland: Association of Official Analytical Chemists Inc. Ariati NN, Puryana IGP. 2009. Komposisi karbohidrat sarapan yang adekuat meningkatkan konsentrasi belajar mahasiswa jurusan gizi Poltekkes Depkes Denpasar. Jurnal Skala Husada. (6)1-8 Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Hari Purnomo, Adiono, penerjemah. Jakarta : UI Press. Terjemahan dari: Food Science. Burlingame B, Charrondiere R, Moulle B. 2009. Food composition is fundamental to the cross-cutting initiative on biodiversity for food and nutrition. J. Food Composition and Analysis. (22)361-365 Burrington KJ. 2001. Keeping the Chrunch in Breakfast http://www.foodproductiondesign.go.id [26 Maret 2011]
Cereal.
Borelli RC, Manella C, Barba F, Russo M, Russo GL, Krome K. 2003. Characterization of coloured compound obtained by enzymatic extraction of bakery products. J. Food and Chem Toxicology. (21)1367-1374 Carrasco-Valencia RR, de La Cruz AA, Alvarez JCI, Kallio H. 2009. Chemical and functional characterization of Kaniwa (Chenopodium pellidicaule) grain, extrude and bran. Plant Food Hum Nutr. (64)94-101 Couto C, Silva L,. Valentão P, Velázquez E, Peix A, Andrade PB. 2011. Effects induced by the nodulation with Bradyrhizobium japonicum on Glycine max (soybean) metabolism and antioxidant potential. J. Food Chems. (127)1487-1495 deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung : Penerbit ITB. [FDA] Food and Drug Administration. 2008. Appendix B Additional Requirements for Nutrient Content Claims. http://www.fda.gov/Food/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/G uidanceDocuments/default.htm [8 Mei 2011]
49
Fennema. 1996. Food Chemisty..3th Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Food And Agricultural Organization and World Health Organization. 1985. Energi and Protein Requirement. Rome : FAO/WHO. Guy R. 2001. Extrusion Cooking Technologies and Applications. Cambridge : Woodhead Publishing Limited Hardiansyah, Baliwati YF,Martianto D, Rachman HS, Widodo A, Subiyakto. 2001. Pengembangan Konsumsi dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Bogor : Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi IPB, dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan BBKP Deptan. Hathor CS, Biswas MA, Gichuci PN, Bovell-Benjamin AC. 2008. Comparison of chemical, physical, micro-structural and microbial properties of bread supplemented with sweetpotato flour and hogh-gluten dough enhancers. J. Food Sci and Technology. (41)803-815 Herawati H. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan. Jurnal Litbang Pertanian. 27(4)124-130 Holguin-acuna AL, Carvajal-millan E, Santana-Rodriguez V, Rascon-chu A, Marquz-Escalante J, Ponce NE, Franco GG. 2008. Maize bran/oat flour extruded breakfast cereal : A novel source of complex polysaccahrides and an antioxidant. Food Chem. (111)654-657 Hoover R. 2001. Composition, molecular structure, and physicochemical tuber and root straches: a review. Carbohydrat Polymer. (45)253-267 [IOM] Institute of Medicine. 2002. Dietary reference intakes fo energy, carbohidydrate, fiber, fat, fatty acids, cholesterol, protein and amino acids. IOM. Wahsington DC Irianto H. E. 2002. Diversifikasi Pengolahan Produk Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Jaswin M. 2008. Packaging Materials and its Applications. Jakarta: Indonesian Packaging Federation. Johnson LA. 1991. Corn Production, Processing, and Utilitation. Di dalam Kalus J.lorenz and Karel Kulp. (Eds). Handbook of Cereals Science and Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikananan. 2010. Tantangan Dalam Mengelola secara berkesinambungan Perikanan Indonesia. www.dkp.go.id [6 Mei 2010] _______. 2010. Tingkat Konsumsi Ikan : Peluang, Hambatan dan Strategi. www.dkp.go.id [12 Juni 2011]
50
Koswara S. 2003. Optimasi Teknologi Pengolahan Sweet Potato Flake. Laporan Akhir Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok. Bogor : Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor Lavlinesa. 1995. Kajian Beberapa Faktor Pengembangan Volumetrik dan Kerenyahan kerupuk ikan. [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Mahyudin K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya Manley D. 1998. Technology of Biscuit, Cracker, and Cookies Third Edition. Washington: CRC Press Mannulang M, M Theresia, Irianto HE. 1995. Pengaruh Konsentrasi Tepung Tapioka dan Sodium Trifosfat Terhadap Mutu dan Daya Awet Kamaboko Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen). Bul. Tek dan Industri Pangan. IV (2)21-26
Matthews RH. 1989. Legumes (Chemistry, Technology and Human Nutrition). New York: Marcel Dekker Inc. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques New York: CRC Press. Mendez IM & Abuin JMG. 2006. Thermal Processing of Fishery Product. Dalam Sun DW (ed.) Thermal Food Processing: New Technologies and Quality Issues. New York: CRC Press. Mendoza MR, Garcia-Banos JL, Villamiel M, Olano A. 2004. Study on nonenzymatic browning in cookies, cracker and breakfast cereal by maltose and furosine determination. J. Cereal Sci. (39)167-173 Mervina. 2009. Formulasi Biskuit dengan Penambahan Tepung Ikan Lele (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) Sebagai Makanan Potensial Untuk Anak Balita Gizi Kurang. [skripsi]. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Marimin. 2006. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo Moeljanto. 1982. Pengolahan Hasil-Hasil Samping Ikan. Jakarta : PT Penebar Swadaya Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Olsen NV, Sijtsema JS, Gunnar Hall. 2010 Predicting consumers’ intention to consume ready-to-eat meals. The role of moral attitude. J. Appetite. (55)534-539 Osibona AO, Kusemiju K, Akande GR. 2006. Proximate composition and fatty acids profile of the African Catfish (Clarias gariepinus). J. life & phys Sci.
51
Nurhayati. 1996. Mempelajari Pembuatan Sosis Campuran Ikan Cunang (Congresex talabor) dengan Tepung Kedelai Rendah Lemak serta Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan Dingin. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Nurilmala M, Nurjanah, Utama RH. 2009. Kemunduran mutu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara mati. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol XII Nomor 1 Tahun 2009 Padovani R, Lima D, Fernando AB, Colugnati, Rodriguez-Amaya DB. 2007. Comparison of proximate, mineral and vitamin composition of common Brazilian and US food. J. Food Composition and Analysis. (20)733-738 Paradiso VM, Summo C, Trani A, Caponio F. 2008. An effort to improve the shelf life of breakfast cereal using natural mixes tocopherols. J. Cereal Sci. (47)322-330 Permatasari NA. 2007. Karakterisasi pati jagung varietas unggul nasional. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Radiyati T, Agusto WM. 2000. Tepung Tapioka. BPTT Puslitbang Fisika Terapan. Subang: LIPI. Radley JA. 1976. Starch Production Technology. London: Applied Science. Rahayu WP, Nababan H, Budijanto S, Syah D. 2003. Pengemasan, Penyimpanan dan Pelabelan. Jakarta : Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Rahmanto F. 1994. Teknologi pembuatan kripik simulasi dari talas bogor (Colocasia osculenta (L) shoott). [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor Redondo-Cuenca A, Villanueva-Suarez MJ, Rodriguez-Sevilla MD, MateosAparicio I. 2006. Chemical composition and dietary fibre of yellow and green commercial soybeans (Glycine max). J. Food Chem. (101)12161222. Restuccia D, Spizzirri G, Parisi O, Cirillo G, Curcio M, Lemma F, Puoci F, Vinci G, Picci N. 2010. New EU regulation aspects and global market of active and intelligent packaging for food industry application. Food Control. (21)1425-1435. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta : Bina Cipta. Sampurno B. 2009. Kemasan untuk breakfast cereal. Food Review Indonesia Vol.IV No.3 Sarwono B.1986. Jeruk Nipis dan Pemanfaatannya. Jakarta : Penebar Swadaya. _________.2007. Bertanam Ubi Jalar. Jakarta : Penebar Swadaya
52
Sentra IPTEK. 2007. Teknologi Tepat Guna Tanaman Penghasil Pati. Menteri Negara Riset dan Teknologi. http://www.iptek.net.id [29 Januari 2011] Stansby ME, Olcott HS. 1963. Compotition of fish. Di dalam : Industry Fishery Technology. New York : Reinhold Publishing Corp. Steel PGD. Torrie J H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Geometrik. Diterjemahkan oleh B. Sumantri. Jakarta: PT Gramediaa.
Suyanto SR. 2007. Budidaya Ikan Lele. Jakarta : Penerbit Swadaya. Tressler DK, Sultan WJ. 1975. Food Products Formulary. Publishing Company, Inc Tribelhorn R.E. 1991. Breakfast cereals. In : Handbook of Cereal Science and Technology. New York : Marcel Dekker inc. [USDA] United States Department of Agriculture. 2010. USDA National Nutrient Database for Standard Reference. http://www.ars.usda.gov/ba/bhnrc/ndl. [4 Agustus 2011] Vail EG, Philip JA, Rust LO, Griswold RM, Justin MM. 1978. Foods. Boston: Houghton Mifflin Company Wesnes KA, Pincock C, Richardson D, Helm G, Hails S. 2003. Breakfast reduces decline in attention and memory over the moring in the schoolchildren. J. Appetite. 329-221 Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah Dan Globalisasi : Jakarta 18-20 Mei 2004 Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor : M-Brio Press. Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of in-live Production. London : Applied Science Publisher Zayas JF. 1997. Functionality of proteins in Food. New York: Springer Link
53
54
Lampiran 1. Score sheet uji kesukaan (uji hedonik) flake
Uji Kesukaan Nama panelis
:
Tanggal pengujian
:
Jenis produk
: Flake dengan penambahan tepung ikan
Kode
Parameter penampakan warna
FZI IRI AWN OZY BLZ
Kriteria : 1
= amat sangat tidak suka
2
= sangat tidak suka
3
= tidak suka
4
= agak tidak suka
5
= biasa/netral
6
= agak suka
7
= suka
8
= sangat suka
9
= amat sangat suka
aroma
tekstur
rasa
55
Lampiran 2. Produk flake dengan penambahan tepung ikan
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 30%
Konsentrasi 10%
Konsentrasi 20%
Konsentrasi 40%
56
Lampiran 3. Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap penampakan flake
Ranks penampakan
kode FZI IRI AWN OZY BLZ Total
Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig.
a,b
penampakan 16.678 4 .002
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: kode
N 30 30 30 30 30 150
Mean Rank 71.05 60.18 62.40 94.33 89.53
57
Lampiran 4. Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap warna flake
Ranks warna
kode FZI IRI AWN OZY BLZ Total
N 30 30 30 30 30 150
Test Statistics a,b Chi-Square df Asymp. Sig.
warna 31.087 4 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: kode
Mean Rank 62.55 61.65 59.28 109.25 84.77
58
Lampiran 5. Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap aroma flake
Ranks aroma
kode FZI IRI AWN OZY BLZ Total
N 30 30 30 30 30 150
Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig.
a,b
aroma 2.268 4 .687
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: kode
Mean Rank 80.62 82.62 71.10 73.42 69.75
59
Lampiran 6. Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap tekstur flake
Ranks kode FZI IRI AWN OZY BLZ Total
tekstur
N 30 30 30 30 30 150
Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig.
a,b
tekstur 40.629 4 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: kode
Mean Rank 44.42 56.08 80.23 93.58 103.18
60
Lampiran 7. Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap rasa flake
Ranks rasa
kode FZI IRI AWN OZY BLZ Total
N 30 30 30 30 30 150
Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig.
a,b
rasa 31.959 4 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: kode
Mean Rank 54.13 105.35 85.75 78.10 54.17
61
Lampiran 8.
Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap penampakan, warna, aroma, rasa dan tektur pada flake Penampakan Tukey HSD
Subset for alpha = .05 kode N 1 2 3 AWN 30 5.80 IRI 30 5.83 5.83 FZI 30 6.10 6.10 6.10 BLZ 30 6.63 6.63 OZY 30 6.77 Sig. .851 .060 .170 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. Warna Tukey HSD Subset for alpha = .05 kode N 1 2 3 AWN 30 5.63 IRI 30 5.97 5.97 FZI 30 6.07 6.07 BLZ 30 6.67 6.67 OZY 30 7.33 Sig. .670 .202 .246 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. Rasa Tukey HSD Subset for alpha = .05 kode N 1 2 3 BLZ 30 4.83 FZI 30 5.03 5.03 OZY 30 5.77 5.77 5.77 AWN 30 5.97 5.97 IRI 30 6.63 Sig. .067 .067 .106 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
62
Aroma Tukey HSD Subset for alpha = .05 kode N 1 BLZ 30 5.43 AWN 30 5.50 OZY 30 5.57 FZI 30 5.80 IRI 30 5.90 Sig. .647 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
Tekstur Tukey HSD Subset for alpha = .05 kode N 1 2 3 FZI 30 4.80 IRI 30 5.30 5.30 AWN 30 6.13 6.13 OZY 30 6.56 BLZ 30 7.03 Sig. .582 .107 .067 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
63
Lampiran 9. Uji Bayes parameter analis Penampakan Tekstur Rasa Warna Aroma
x/y aroma tekstur warna penampakan Rasa
aroma 1 1 0,8 0,8 0,6
nilai kepentingan 5 5 4 4 3
tekstur warna penampakan rasa 1 1,25 1,25 1,67 1 1,25 1,25 1,67 0,8 1 1 1,33 0,8 1 1 1,33 0,6 0,75 0,75 1
Perkalian Matriks yang sama (matrik A x matrik A) 1 1 0,8 0,8 0,6
1 1 0,8 0,8 0,6
1,25 1,25 1 1 0,75
1,25 1,25 1 1 0,75
1,67 1,67 1,33 1,33 1
1 1 0,8 0,8 0,6
X
1 1,25 1 1,25 0,8 1 0,8 1 0,6 0,75
1,25 1,25 1 1 0,75
1,67 1,67 1,33 1,33 1
Hasil perkalian matriks A 5 5 4 4 3
5 5 4 4 3
6,25 6,25 5 5 3,75
6,25 6,25 5 5 3,75
8,33 8,33 6,67 6,67 5
Perkalian Matriks yang sama (matrik B x matrik B) 5 5 4 4
5 5 4 4
6,25 6,25 5 5
6,25 6,25 5 5
8,33 8,33 6,67 6,67
3
3
3,75
3,75
5
X
5 5 4 4
5 6,25 6,25 5 6,25 6,25 4 5 5 4 5 5
8,33 8,33 6,67 6,67
3
3 3,75 3,75
5
64
Hasil perkalian mariks B 125 125 100 100 75
125 125 100 100 75
156,25 156,25 125 125 93,75
156,25 156,25 125 125 93,75
208,33 208,33 166,67 166,67 125
Hasil penjumlahan Matrik C dan nilai bobot
125 125 100 100 75 Total
125 125 100 100 75
156,25 156,25 125 125 93,75
156,25 156,25 125 125 93,75
208,33 208,33 166,67 166,67 125
Hasil penjumlahan nilai bobot 770,83 0,23 770,83 0,23 616,67 0,19 616,67 0,19 462,5 0,14 3237
Hasil perangkingan berdasarkan uji Bayes
Bau tekstur warna penampakan Rasa Total nilai Rangking
0% 3 1 2 3 4 2,47 4
10% 2 2 5 2 5 3 3
20% 1 3 4 1 2 2,19 5
30% 5 4 1 5 3 3,71 1
40% 4 5 3 4 1 3,61 2
Nilai bobot 0,24 0,24 0,19 0,19 0,14
65
Lampiran 10. Uji Proksimat Flake
Bahan yang dujikan perlakuan 25% Rata-rata Stdev perlakuan 30% Rata-rata stdeV perlakuan 35% Rata-rata Stdev flake komersil Rata-rata Stdev
kadar abu 2.93 2.88 2.91 0.04 3.55 3.65 3.60 0.07 3.37 3.65 3.51 0.20 3.93 3.8 3.87 0.09
Data proksimat kadar kadar protein lemak 20.7 3.94 20.4 3.96 20.55 3.95 0.21 0.01 22.35 4.35 22.28 4.32 22.32 4.34 0.05 0.02 24.79 4.15 24.82 4.23 24.81 4.19 0.02 0.06 5.51 0.38 5.67 0.37 5.59 0.38 0.11 0.01
kadar air 5.47 5.3 5.39 0.12 4.94 4.5 4.72 0.31 5.55 5.4 5.48 0.11 1.77 1.67 1.72 0.07
kadar karbohidrat 66.96 67.46 67.21 0.35 64.81 65.25 65.03 0.31 62.14 61.9 62.02 0.17 88.41 88.49 88.45 0.06
66
Lampiran 11. Analisis Ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap komposisi kimia flake Analisis Ragam
abu
protein
lemak
air
karbohidrat
Ragam Sisa Total Ragam Sisa Total Ragam Sisa Total Ragam Sisa Total Ragam Sisa Total
Jumlah kuadrat .972 .036 1.008 472.772 3.035 475.806 21.331 .021 21.352 19.878 .209 20.087 910.541 3.698 914.238
db 3 4 7 3 4 7 3 4 7 3 4 7 3 4 7
Kuadrat tengah .324 .009
Fhit
F
36.319
.002
157.591 .759
207.722
.000
7.110 .005
1351.154
.000
6.626 .052
126.999
.000
303.514 .924
328.331
.000
abu Duncan Subset for alpha = .05 1 2 3 25% 2 2.9050 30% 2 3.4600 35% 2 3.5800 komersil 2 3.8650 Sig. 1.000 .273 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. kode
N
protein Duncan Subset for alpha = .05 1 2 3 komersil 2 5.5900 25% 2 20.5500 30% 2 23.5700 35% 2 24.8150 Sig. 1.000 1.000 .226 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. kode
N
67
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. lemak Duncan Subset for alpha = .05 1 2 3 komersil 2 .3750 25% 2 3.9500 35% 2 4.2100 30% 2 4.2500 Sig. 1.000 1.000 .611 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. kode
N
air Duncan Subset for alpha = .05 1 2 komersil 2 1.7200 30% 2 5.2450 25% 2 5.3850 35% 2 5.4400 Sig. 1.000 .447 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. kode
N
karbohidrat Duncan Subset for alpha = .05 1 2 3 35% 2 61.9500 30% 2 63.4750 25% 2 67.2100 komersil 2 88.4500 Sig. .188 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. kode
N
68
Lampiran 12. Perhitungan AKG Data Proksimat flake dengan penambahan tepung ikan lele kadar protein
Bahan Tepung ikan 25% Tepung Ikan 30% Tepung ikan 35% Flakel komersil % per 100 gram
kadar lemak
20,35 22.32 24,82 5,59
kadar karbohidrat
3,95 4,72 5,48 1,72
67,21 65,03 62,02 88,45
Berdasarkan total kebutuhan kalori total 2000kkal/hari, berikut adalah rinciannnya : Karbohidrat
: 50-60% dari total kalori
Protein
: 10-20% dari total kalori
Lemak
: kurang dari sama dengan 30% dari total kalori
Kebutuhan kalori karbohidrat =
X 2000kkal = 1000 kkal
Kebutuhan karbohidrat perhari = Kebutuhan kalori protein = Kebutuhan protein perhari = Kebutuhan kalori lemak =
1000 kkal 4
= 250 gram/hari
X 2000kkal = 400kkal 400 kkal 4
= 100 gram/hari
X 2000kkal = 600 kkal
Kebutuhan karbohidrat perhari =
600 kkal 9
= 66,67 gram/hari
Berat flake per takaran saji 30 dari 100 gram total analisis proksimat sehingga nilai proksimat diatas merupakan 3,33 bagian dari flake % AKG karbohidrat =65,03/3,33/250 x 100% = 7,81% = 8% % AKG protein =22,32/3,33/100 x 100% = 6,7 % = 7% % AKG lemak = 4,34/3,33/66,67 x 100% = 1,95% = 2 % Total energy yang dihasilkan = (4 kkal x 7,81) + (4 kkal x 6,7) + (9 kkal x 1,92) = 75,32 kkal
69
Lampiran 13. Dokumentasi penelitian