PEMBERIAN AUDIO VISUAL RECORDEDGUIDED IMAGERY THERAPY TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN An. L DENGAN DENGUEHAEMORRAGIC FEVER DI RUANG MELATI 2 RS Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
SAWITRI NIM.P.11050
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
PEMBERIAN AUDIO VISUAL RECORDEDGUIDED IMAGERY THERAPY TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN An. L DENGAN DENGUEHAEMORRAGIC FEVER DI RUANG MELATI 2 RS Dr. MOEWARDI SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH:
SAWITRI NIM.P.11050
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah
dengan
judul
“PEMBERIAN
AUDIO
VISUAL
RECORDEDGUIDED IMAGERY THERAPY TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN An. L DENGAN DENGUE HAEMORRAGIC FEVER DI RUANG MELATI 2 RS Dr. MOEWARDI SURAKARTA.” Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada yang terhormat: 1.
Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2.
Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi DIII Keperawatan dan selaku penguji 1 yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta, membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan serta inspirasi demi sempurnanya Karya Tulis Ilmiah ini.
3.
Noor Fitriyani,S.Kep., Ns, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
v
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya Karya Tulis Ilmiah ini. 4.
Siti
Mardiyah
S.Kep.,
Ns,
selaku
telahmembimbingdengancermat,
dosen
penguji
2
yang
memberikanmasukan-masukan,
inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya Karya Tulis Ilmiah ini. 5.
Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya, serta ilmu yang bermanfaat.
6.
Kedua orang tua saya, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
7.
Kakak, adik, dan saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat dan dukungan untuk menyelesaikan tugas akhir Karya Tulis Ilmiah.
8.
Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan
ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin. Surakarta, Mei 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.....................................................................................
i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ..................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................
v
DAFTAR ISI ................................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………....
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Tujuan Penulisan .........................................................................
3
C. Manfaat Penulisan .......................................................................
4
BAB II LANDASAN TEORI A. Dengue Haemorragic Fever (DHF) ............................................
6
B. TerapiGuided Imagery ................................................................
27
C. Nyeri ............................................................................................
30
BAB III LAPORAN KASUS A. Pengkajian ...................................................................................
34
B. Analisa Data danPerumusan Masalah .........................................
41
C. PrioritasDiagnosaKeperawatan ...................................................
42
D. Intervensi .....................................................................................
43
E. Implementasi ...............................................................................
45
F. Evaluasi .......................................................................................
48
BAB IV PEMBAHASAN A. Pengkajian ...................................................................................
52
B. Diagnosa Keperawatan................................................................
58
C. Intervensi .....................................................................................
63
D. Implementasi ...............................................................................
67
vii
E. Evaluasi .......................................................................................
72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …………………………………………………….
75
B. Saran.......................................................................................... ..
78
Daftar Pustaka Lampiran Daftar Riwayat Hidup
viii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 : Log Book Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah Lampiarn 4 : Pendelegasian Lampiran 5 : Jurnal Lampiran 6: Asuhan Keperawatan
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar 2.1 Skala Deskripsi Intensitas Nyeri Sederhan …………….. 31 2. Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik …………………………. 31 3. Gambar 2.3 Skala Analog Visual ……………………………………... 32 4. Gambar 2.4 Skala Nyeri Muka (Wong Baker Facial Gremace) ………. 32 5. Gambar 3.1 Genogram An. L …………………………………………... 36 6. Gambar 4.1 Skala Nyeri Muka (Wong Baker Facial Gremace) ………. 56
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit dengue hemorrhagic fever (DHF) atau yang biasa disebut dengan demam berdarah dengue (DBD) menjadi suatu penyakit endemik yang saat ini masih menjadi masalah utama yang belum teratasi di negara – negara tropis, seperti di Asia Tenggara (Widoyono, 2008: 59). Penyakit tersebut menjadi penyebab kematian utama yang terjadi pada anak-anak (Novel, 2011: 6). Menurut data dari Departemen Kesehatan RI (2004) dalam Widiyanto (2007: 13), selama bulan Januari dan Februari, pada 25% provinsi di Indonesia tercatat 17.707 orang terkena DBD dengan angka kematian 322 penderita dan telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) (Widoyono, 2008: 60). Kasus DBD di Jawa Tengah dari tahun 2002 sampai tahun 2006 sebanyak 6.483 menjadi 9670 penderita dengan angka kematian 1,5 % menjadi 2,28. Dengue Hemorragic Fever (DHF) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue,ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Adanya infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang muncul pada penderita DHF seperti demam tinggi yang mendadak dengan suhu mencapai 40 C atau lebih, terkadang disertai kejang,sakit kepala, anoreksia, muntah – muntah (vomitting), discomfort, perdarahan, serta nyeri perut dikanan atas atau seluruh bagian perut. Nyeri yang dirasakan penderita
1
2
DBD disebabkan karena adanya viremia,sehingga tubuh mengeluarkan zat anafilaktoksin sebagai reaksi terhadap infeksi (Nursalam et al., 2005: 159). Nyeri yang dirasakan cukup bervariasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat. Nyeri merupakan suatu bentuk ketidaknyamanan yang dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti efek dari penyakit atau akibat dari suatu cidera. Nyeri yang dirasakan pasien dapat mempengaruhi berbagai komponen dalam tubuh seperti fisik, perilaku, dan aktivitas, sehingga perlu penanganan yang tepat baik manajemen nyeri secara farmakologis dengan obat - obatan maupun
nonfarmakologis.
Manajemen
nyeri
nonfarmakologis
sangat
beranekaragam antara lain, terapi es dan panas atau kompres panas dingin, stimulasi saraf elektris transkutan(TENS), distraksi, akupuntur, umpan balik biologis, masase, hipnosis, relaksasi, dan imajinasi terbimbing atau guided imagery (Andarmoyo, 2013: 84). Menurut Hart (2008) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 229),Guided imageryadalah suatu teknik yang memanfaatkan cerita atau narasi untuk mempengaruhi pikiran, sering dikombinasi dengan latar belakang musik. Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan psikoneuroimmunologiyang mempengaruhi respon stres, melepaskan endorphin yang melemahkan respon rasa sakit,dan mengurangi rasa sakit atau meningkatkan ambang nyeri.Hasil penelitian tentang penggunaan audio recordedguided imagery therapyefektif dalam mengurangi nyeri abdominal fungsional pada anak (Anggraini, 2012). Hasil pengelolaan asuhan keperawatan pada An. L dengan DHF Grade II yang sudah dilakukan penulisdi bangsal Melati 2, Rumah Sakit Dr. Moewardi
3
Surakarta pada An.L mengalami nyeri pada perut, nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri di ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul, ekspresi wajah tampak nyengir dan menunjukkan lokasi yang sakit.Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis ilmiah dengan aplikasi riset yang berjudul “ Pemberian Audio Visual RecordedGuided Imagery Therapyterhadap Penurunan IntensitasNyeri pada Asuhan Keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever di Ruang Melati 2 Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta.”
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Melaporkanpengaruh
pemberianaudio
visual
recordedguided
imagery therapyterhadap penurunanintensitas nyeri pada An. L dengan Dengue Haemorragic Feverdi Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada An. L dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF). b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada An. L dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF). c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada An. L Dengue Haemorragic Fever (DHF). d. Penulis mampu melakukan implementasi pada An. L dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF).
4
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada An. L dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF). f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberianpemberian audio visual recorded guided imagery therapy terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF).
C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Penulis Sebagai tambahan informasi, ilmu pengetahuan dan pengalaman tentang efektifitas pemberian
guided imagery therapy terhadap nyeri
pasien dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF). 2. Bagi Perawat Sebagai tambahan referensi untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatann secara mandiri pada pasien dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF) dengan terapi nonfarmakologi guided imagery therapy. 3. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai salah satu wacana dan tambahan informasi tentang salah satu tindakan mandiri perawat dalam pemberian terapi nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri dengan guided imagery therapy diaplikasikan di rumah sakit.
yang bisa
5
4. Bagi Masyarakat Sebagai tambahan informasi pada masyarakat luas tentang cara mengurangi nyeri pada anak dengan manajemen nyeri nonfarmakologi guided imagery therapy yang bisadiaplikasikan secara mandiri, efektif dan efisien.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Dengue Haemorragic Fever (DHF) 1. Konsep Penyakit a. Definisi Dengue Haemorragic Fever (DHF) atau demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Nursalam et al., 2005: 159). Demam
berdarah dengue (DBD) didefinisikan sebagai penyakit
demam akut yang disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus dikenal dengan nama virus dengue (Novel, 2011: 6). Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Suriadi dan Yuliani, 2010: 57). b. Klasifikasi DHF Menurut Firdaus (2011: 47), DHF dapat diklasifikasikan menjadi empat tingkatan, yaitu : a. Derajat I Pada derajat I terjadi demam diikuti gejala yang spesifik. Satusatunya cara untuk mengetahui manifestasi pendarahan adalah melalui
6
7
tes tourniquet yang menunjukkan hasil positif atau kulit mudah memar. b. Derajat II Setelah yang ada pada tingkat I, kemudian berlanjut pada peristiwa perdarahan spontan yang timbul pada kulit atau tempat lain. c. Derajat III Pada derajat ini terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit yang lembab, dan penderita gelisah. d. Derajat IV Pada derajat IV penderita akan mengalami syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa. Fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. Setelah penderita DHF mengalami demam selama 2 – 7 hari, penurunan suhu biasanya disertai tanda-tanda gangguan sirkulasi darah, seperti berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin, serta mengalami perubahan tekanan darah ataupun denyut nadi. c. Etiologi Dengue haemorragic fever (DHF) disebabkan oleh virus dengue (Firdaus, 2011). Virus dengue terbagi menjadi 4 serotipe yang termasuk dalam grup B dari artropedi borne viruses(arboviruses) yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang menjadi penyebab terbanyak (Nursalam et al., 2005: 160).
8
d. Manifestasi Klinis Menurut Firdaus (2011: 46),manifestasi klinis dari penyakit demam berdarah dengue antara lain : 1) Perdarahan pada hidung, mulut, gusi, atau memar pada kulit. 2) Muntah secara terus-menerus, terkadang disertai dengan darah. 3) Kotoran feces yang berwarna kehitaman, akibat terjadinya pendarahan pada organ dalam. 4) Rasa haus yang berlebihan. 5) Kulit pucat dan dingin. 6) Penurunan kesadaran ataupun mengantuk. 7) Demam tinggi mendadak, disertai nyeri kepala, nyeri pada bagian kepala belakang bola mata, terkadang juga nyeri perut. 8) Tidak disertai dengan batuk atau sakit pada tenggorokan. 9) Trombositdan leukosit turun (kurang dari 100.000). 10) Terjadi peningkatan hematokrit (naik 20 % dari jumlah normal). 11) Terjadi perembesan plasma, sehingga jika semakin bocor dapat menyebabkan syok. 12) Terkadang demam bisa mencapai 40 C - 41 C dan terjadi kejang demam pada bayi. e. Patofisiologi Infeksi oleh salah satu serotipe dari virus dengue menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan, tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Mekanisme mengenai patofisiologi,
9
hemodinamika, dan biokimia DHF hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Patofisiologi utama yang menentukakan beratnya penyakit adalah meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma serta terjadinya hipotensi trombositopeni, dan diastesis haemorragic. Pada kasus berat, renjatan terjadi secara akut dan nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Renjatan terjadi sebagai akibat dari kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak, sehingga mengakibatkan menurunya volume plasma dan meningkatnya nilai hematokrit(Nursalam et al., 2005: 159).Hilangnya plasma dapat mengakibatkan hipovolemik(Suriadi dan Yuliani, 2010: 57). Trombositopenia yang hebat, gangguan fungsi trombosit, dan kelainan fungsi koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen) merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal (Suriadi dan Yuliani, 2010: 57). Perdarahan kulit umumnya disebabkan oleh faktor
kapiler dan
trombositopeni, sedangkan perdarahan masif disebabkan oleh kelainan yang lebih kompleks, yaitu trombositopeni, gangguan faktor pembekuan, dll. Menurut Sugianto D (1994) dalam Soegijanto (2012: 81), trombositopenia pada penderita DHF diduga terjadi akibat peningkatan destruksi terombosit oleh sistem retikuloendothelial, agregasi trombosit, akibat endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit
10
oleh sumsum tulang. Patogenesis DHF berkaitan dengan sistem komplemen, yaitu sistem dalam sirkulasi darah yang terdiri dari 11 komponen protein dengan bentuk tidak aktif dan labil terhadap panas. Sebagai reaksi terhadap infeksi, terjadi aktivasi komplemen sehingga dilepaskan anafilaktoksin C3 dan C5a yang mampu membebaskan histamin sebagai mediator kuat dalam peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan berperan dalam renjatan (Nursalam et al., 2005: 159). f. Penatalaksanaan Menurut Nugroho (2011: 63), terapi pada penderita DHF antara lain : 1) Tanpa Renjatan a) Minum banyak 1,2 – 2 liter per hari. b) Bila muntah terus dipasang IVFD. c) Antipiretik d) Antikonvulsi untuk kejang demam 2) Dengan Renjatan a) IVFD b) Plasma ekspander c) Pemberian komponen darah d) Oksigen e) Koresi basa bila asidosis f) Evaluasi keadaan umum, tanda vital, perdarahan, deurisis, hemoglobin, hematokrit, trombosit.
11
Menurut Firdaus (2011: 54), tahap penanganan pasien dengan demam dengue dan demam berdarah dengue difasilitas kesehatan antara lain : a. Jika penderita mengalami dehidrasi yang signifikan (> 10 % berat badan normal), maka diperlukan segera diberikan penggantian cairan secara intravena. Contoh cairan pengganti yang bisa diberikan adalah ringer laktat atau ringer asetat, larutan garam fisiologis dan glukosa 5 %, serta plasma dan plasma substitute. b. Pemberian cairan pengganti harus diawasi selama 24-48 jam dan dihentikan setelah penderita terrehidrasi, yang ditandai dengan jumlah urin yang cukup, denyut nadi yang kuat, dan perbaikan tekanan darah. Infus juga harus diberikan bila kadar hematokrit turun sampai 40%. c. Bila pemberian cairan intravena diteruskan setelah tanda-tanda tersebut tercapai, maka akan terjadi overhidrasi, sehingga jumlah cairan
dalam
pembuluh
darah menjadi
berlebih dan dapat
mengakibatkan edema paru-paru ataupun gagal jantung. d. Oksigen diberikan pada penderita dalam keadaan syok. e. Transfusi darah hanya diberikan pada penderita dengan tanda-tanda perdarahan yang signifikan (Firdaus, 2011: 54). g. Pemeriksaan Laboratorium Menurut Nursalam et al.(2005:163),pada pemeriksaan darah pasien DHF akan ditemukan : 1) Hemoglobin dan PCV meningkat (≥ 20 %).
12
2) Trombositopenia (≤ 100.000/ml). 3) Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis). 4) Ig. D dengue positif. 5) Hasil pemeriksaaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hipokloremia, dan hiponatremia. 6) Ureum dan pH darah mungkin meningkat. 7) Asidosis metabolik : pCO < 35 – 45 mmHg, dan HCO rendah. 8) SGOT atau SGPT mungkin meningkat. h. Komplikasi Menurut Soedarto (2012: 94), komplikasi yang terjadi pada penderita demam berdarah dengue antara lain: 1) Komplikasi susunan saraf pusat Komplikasi pada SSP dapat berbentuk konvulsi, kaku kuduk, perubahan kesadaran dan paresis. Kejang-kejang kadang terlihat waktu fase demam pada bayi. Keadaan ini mungkin akibat tingginya demam, karena pada pemeriksaan cairan cerebrospinal tidak terjadi kelainan. 2) Ensefalopati Komplikasi neurologik ini terjadi akibat pemberian cairan hipotonik yang berlebihan pada waktu dilakukan pengobatan, penderita mengalami hiponatremia. Selain itu ensefalopati juga dapat disebabkan oleh terjadinya koagulasi intravskuler.
13
3) Infeksi Pneumonia, sepsis atau flebitis akibat pencemaran bakteri Gramnegatif pada alat-alat yang digunakan pada waktu pengobatan, misalnya pada waktu tranfusi atau pemberian cairan infus. 4) Overhidrasi Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gagal pernapasan maupun gagal jantung. 5) Gagal hati Komplikasi gagal hati biasanya dijumpai bersama terjadinya ensefalopati.
2. Konsep Asuhan Keperawatan Menurut Yura (1983) dalam Setiadi (2012: 1), proses keperawatan adalah tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistemik untuk menentukan
masalah
klien
dengan
membuat
perencanaan
untuk
mengatasinya, melaksanakan rencana itu atau menugaskan orang lain untuk melaksanakannya dan mengevaluasi keberhasilan secara efektif terhadap masalah yang diatasinya tersebut. Proses keperawatan profesional di Indonesia menurut PPNI (2000) dalam Setiadi (2012: 4), terdiri dari 5 standart yaitu pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
14
a. Pengkajian Menurut Lyer et al. (1996) dalam Setiadi (2012: 10), pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Menurut Nursalam et al. (2005:163), fokus pengkajian pada pasien DHF antara lain : 1) Identitas pasien Nama, umur (pada DHF sering menyerang anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua. 2) Keluhan utama Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke Rumah Sakit adalah panas tinggi dan anak lemah. 3) Riwayat peyakit sekarang Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan saat demam kesadaran composmentis. Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 dan ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai dengan keluhan batuk, pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena, atau hematemesis.
15
4) Riwayat penyakit yang pernah diderita Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF, anak biasanya mengalami serangan ulang DHF dengan tipe virus yang lain. 5) Riwayat imunisasi Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan timbulnya komplikasi dapat dihindarkan. 6) Riwayat gizi Status gizi anak yang menderita DHF dapat bervariasi. Semua anak dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat faktor presdiposisinya. Anak yang menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak
disertai dengan pemenuhan nutrisi yang
mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang. 7) Kondisi lingkungan Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang kurang bersih (seperti air yang menggenang, dan gantungan baju di kamar). 8) Pola Kebiasaan a) Nutrisi dan metabolisme: frekuensi, jenis, pantangan, nafsu makan berkurang, dan nafsu makan menurun.
16
b) Eliminasi alvi (buang air besar): kadang-kadang anak mengalami diare maupun konstipasi. Sementara DHF grade III-IV bisa terjadi melena. c) Eliminasi urin ( buang air kecil): perlu dikaji apakah sering kencing, sedikit atau banyak, sakit atau tidak. Pada DHF grade IV sering terjadi hematuria. d) Tidur dan istirahat : anak sering mengalami kurang tidur karena mengalami sakit atau nyeri otot dan persendian, sehingga kuantitas dan kualitas tidur kurang. e) Kebersihan : upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan cenderung kurang, terutama untuk membersihkan tempat sarang nyamuk Aedes Aegypti. f) Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya untuk menjaga kesehatan. 9) Pemeriksaaan fisik Pemeriksaaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan (grade) DHF, keadaan fisik anak adalah sebagai berikut : a) Grade I : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, tandatanda vital dan nadi lemah. b) Grade II : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, ada perdarahan spontan ptekie, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi lemah, kecil dan tidak teratur.
17
c) Grade III : kesadaran apatis,somnolen, keadaan umum lemah, nadi lemah kecil, dan tidak teratur, serta tensi menurun. d) Grade IV : kesadaran koma, tanda-tanda vital : nadi tidak teraba, tensi tidak terukur, pernapasan tidak teratur, ekstremitas dingin, berkeringat, dan kulit tampak biru. 10) Sistem integumen a) Adanya ptekie pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncul keringat dingin, serta lembab. b) Kuku sianosis atau tidak. c) Kepala dan leher Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena demam (flusy), mata anemis, hidung kadang mengalami perdarahan (epistaksis), pada grade II, III, IV. Pada mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering, terjadi perdarahan gusi dan nyeri telan. Tenggorokan
mengalami
hyperemia
pharing
dan
terjadi
perdarahan telinga (pada grade II, III, IV). d) Dada Bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak. Pada foto thoraxterdapat adanya cairan yang tertimbun pada paru sebelah kanan (efusi pleura), rales positif, ronchi positif yang biasanya terdapat pada grade III dan IV.
18
e) Abdomen Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali), dan ascites. f) Ekstremitas Akral dingin, serta nyeri otot, sendi, dan tulang. 11) Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan ditemukan : a) Hemoglobin dan PCV meningkat (≥ 20 %). b) Trombositopenia (≤ 100.000/ml). c) Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis). d) Ig. D dengue positif. e) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hipokloremia, dan hiponatremia. f) Ureum dan pH darah mungkin meningkat. g) Asidosis metabolik : pCO < 35 – 45 mmHg, dan HCO rendah. h) SGOT atau SGPT mungkin meningkat. b. Diagnosa Keperawatan Menurut Herdman et al. (2011) dalam Setiadi (2012: 33), diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga, dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat. Diagnosa keperawatan biasanya terdiri dari
19
tiga komponen yaitu respon manusia (masalah), faktor yang berhubungan, tanda dan gejala. Langkah-langkah
menentukan
diagnosa
keperawatan
dapat
dibedakan menjadi empat, yaitu klasifikasi dan analisis data, interpretasi data, validasi data, dan perumusan diagnosa keperawatan (Setiadi, 2012: 37). Menurut Nurarif dan Hardi (2013), diagnosa yang muncul pada pasien DHF antara lain : a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia). b. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (proses infeksi virus dengue). c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler). d. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemia. e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun. f. Resiko
perdarahan
berhubungan
dengan
koagulopati
inheren
(trombositopeni). c. Intervensi Perencanaan
adalah
suatu proses didalam pemecahan masalah
yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu, apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012: 84).
20
Proses perencanaan antara lain, membuat tujuan dan penetapan kriteria hasil, memilih intervensi, dan membuat rasionalisasi dari intervensi yang dipilih. Penetapan tujuan dan kriteria hasil berdasarkan pada SMART (spesifik, measurable, achievable, rasional, time) (Dermawan, 2012: 84). Perencanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan DHF antara lain : 1) Nyeri akut berhubungan dengan age cidera biologis (viremia). a) NOC : (1) Pain Level, (2) Pain control, (3) Comfort level b) Kriteria hasil : (1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan). (2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri. (3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri). (4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
21
c) NIC : (1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi. (2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan. (3) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi. (4) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan. (5) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan . (6) Kurangi faktor presipitasi nyeri. (7) Tingkatkan istirahat. (8) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmokologi dan inter personal). (9) Ajarkan tentang teknik non farmokologi. (10) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri (11) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil. 2) Hipertermia berhubungan dengan penyakit (proses infeksi virus dengue). a) NOC: Termoregulation b) Kriteria hasil : (1) Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5 – 37,5 C).
22
(2) Nadi dan Respiratory Rate dalam rentang normal (nadi 70-120 x/menit, RR : 18-30 x/menit). (3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing. c) NIC : (1) Monitor suhu sesering mungkin. (2) Monitor warna dan suhu kulit. (3) Monitor tekanan darah, nadi, dan respiratory rate. (4) Berikan antipiretik. (5) Lakukan tapid sponge. (6) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila. (7) Diskusikan
tentang
pentingnya
pengaturan
suhu
dan
keletihan
dan
kemungkinan efek negative dari kedinginan. (8) Beritahukan
tentang
indikasi
terjadinya
penanganan emergency yang dilakukan. 3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler). a) NOC : (1) Fluid balance (2) Hydration b) Kriteria hasil : (1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia, berat badan, berat jenis urin, hematokrit normal (35-45%).
23
(2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal (Tekanan darah: 110/82 mmHg, nadi: 70-120 kali per menit, suhu (36,5 – 37,5 C)). (3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitasturgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan. c) NIC : (1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan. (2) Monitor vital sign. (3) Monitor masukan makanan atau cairan dan hitung intake kalori harian. (4) Dorong masukan oral. (5) Kolaborasi pemberian cairan intravena. 4) Resiko syok berhubungan dengan hipovolemia a) NOC : (1) Syok prevention (2) Syok managemen b) Kriteria hasil : (1) Nadi dalam batas yang diharapkan (70-120 x/menit). (2) Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan (18-30 x/menit). (3) Tekanan darah dalam batas normal (systolik : 80-110 mmHg, diastolik : 55-82 mmHg).
24
(4) Hematokrit dalam batas normal (35-45%). c) NIC : (1) Monitor suhu dan pernafasan. (2) Monitor tanda awal syok. (3) Berikan cairan intravena atau oral yang tepat. (4) Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala datangnya syok. 5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun. a) NOC : (1) Nutritional status (2) Nutrional Status food and Fluid Intake (3) Nutrional Status nutrient Intake (4) Weigh control b) Kriteria Hasil : (1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan. (2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan. (3) Mempumengidentifikasi kebutuhan nutrisi. (4) Tidak ada tanda tanda malnutrisi. (5) Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan. (6) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
25
c) NIC : (1) Kaji adanya alergi makanan. (2) Monitor kalori dan intake nutrisi. (3) Monitor adanya penurunan berat badan. (4) Monitor mual dan muntah. (5) Monitor kadar albumin; total protein, Hemoglobin, dan kadar Hematokrit. (6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C (7) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi) (8) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi (9) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang di butuhkan pasien 6) Resiko perdarahan berhubungan dengan Koagulopati
inheren
(trombositopenia). a) NOC : (1) Blood lose severity (2) Blood coagulation b) Kriteria hasil : (1) Tidak ada hematuria dan hematemesis. (2) Kehilangan darah yang terlihat. (3) Tekanan darah dalam batas normal (sistolik : 80-110 mmHg, diastolik : 55-82 mmHg)
26
(4) Tidak ada perdarahan pervagiana. (5) Hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal (Hemoglobin: 10-16 gr/dl, Hematokrit: 53-45 %). c) NIC : (1) Monitor ketat tanda-tanda pendarahan. (2) Monitor nilai laboratorium atau koagulasi yang meliputi: PT, PTT, trombosit. (3) Pertahankan bedrest selama perdarahan aktif. (4) Lindungi pasien dari trauma yang dapat mengakibatkan perdarahan. (5) Kolaborasi pemberian cairan intravena. d. Implementasi Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Ada tiga tahap dalam tindakan keperawatan, yaitu tahap persiapan, tahap intervensi dan tahap dokumentasi (Setiadi, 2012: 54). Implementasi perencanaan berupa penyelesaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi, kriteria hasil seperti yang digambarkan dalam rencana tindakan. Tindakan dapat dilaksanakan oleh perawat, klien, anggota keluarga, anggota tim kesehatan lain, atau kombinasi dari yang disebutkan diatas (Dermawan, 2012: 118).
27
e. Evaluasi Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana, tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012: 57) Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu : evaluasi berjalan (formatif) dan evaluasi akhir (sumatif). Evaluasi berjalan (formatif), adalah evaluasi yang dikerjakan dalam bentuk pengisisan format catatan perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami oleh klien. Format yang dipakai adalah SOAP (data subyektif, data obyektif, analisis, dan perencanaan). Evaluasi akhir (sumatif) merupakan evaluasi yang dikerjakan dengan cara membandingkan antara tujuan yang akan dicapai. Format yang dipakai adalah format SOAPIER (data subyektif, data
obyektif,
analisis,
perencanaan,
implementasi,
evaluasi,
reassessment) (Setiadi, 2012: 60).
B. Terapi Guided Imagery 1. Definisi Menurut Hart (2008) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 229), Guided imagery adalah suatu teknik yang memanfaatkan cerita atau narasi
28
untuk mempengaruhi pikiran, sering dikombinasi dengan latar belakang musik. Smeltzer dan Bare (2002) dalam Andarmoyo (2013: 90), Imajinasi terbimbing atau guided imagery merupakan manajemen nyeri non farmakologi yang menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. 2. Jenis Menurut Andarmoyo (2013: 87) distraksi ada dua jenis,yaitu : a. Distraksi visual atau penglihatan Distraksi visual atau penglihatan adalah pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan kedalam tindakan-tindakan visual atau melalui pengamatan. Misalnya melihat pertandingan olahraga, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan/gambar yang indah. b. Distraksi Audio atau Pendengaran Pengalihan perhatian selama nyeri yang diarahkan ke dalam tindakan-tindakan melalui organ pendengaran. Misalnya, mendengarkan kicauan burung, gemercik air, musik yang disukai. 3. Mekanisme Guided Imagery Menurut Jacobson (2006) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 233), mekanisme guided imagery dapat melemahkan psikoneuroimunologi yang mempengaruhi respon stres, dan berkaitan dengan teori Gate Control yang menyatakan bahwa hanya satu impuls saja yang dapat berjalan sampai sumsum tulang ke otak pada satu waktu, dan jika impuls ini diisi dengan
29
pikiran lain maka sensasi rasa sakit tidak dapat dikirim ke otak oleh karena itu rasa sakit berkurang. 4. Standart Operasional Prosedur Guided Imagery Menurut Kusayati (2006: 197), standart operasional prosedur guided imagery atau imajinasi terbimbing sebagai berikut: 1. Bina hubungan saling percaya 2. Jelaskan prosedur: tujuan, posisi, waktu, dan peran perawat sebagai pembimbing. 3. Anjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien. 4. Duduk dengan klien tetapi tidak mengganggu. 5. Lakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien. 6. Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengn suara yang lembut. a. Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangannya dan saat itu perawat tidak perlu bicara lagi. b. Jika klien menunjukkan gejala agitasi atau tidak nyaman, perawat harus menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien telah siap. c. Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit, klien harus memperhatikan tubuhnya, lalu catat daerah yng tegang dan daerah ini akan digantikan dengan relaksasi. Biasanya klien rileks setelah
30
menutup mata atau mendengarkan musik yang lembut sebagai background yang membantu. d. Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk digunakan pada latihan selanjutnya dengan menggunakan informasi spesifik yang diberikan klien dan tidak membuat perubahan pernyataan klien.
C. Nyeri 1. Definisi Nyeri merupakan suatu bentuk ketidaknyamanan yang dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti efek dari penyakit atau akibat dari suatu cidera (Andarmoyo, 2013: 7). Menurut Smeltzer and Bare (2002) dalam Judha et al. (2012: 1), nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. 2. Klasifikasi Menurut Andarmoyo (2013: 36), nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya menjadi dua ,yaitu : a. Nyeri Akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat ( Minhart dan Mc Cattery, 1983: NIH, 1986 dalam Smeltzer, 2002 dalam Andarmoyo, 2013).
31
b. Nyeri Kronik Menurut McCaffery (1986) dalam Potter dan Pery (2005) dalam Andarmoyo
(2013: 37), nyeri kronik adalah nyeri konstan atau
intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. 3. Skala atau Pengukuran Nyeri Menurut Judha et al. (2012: 35), skala nyeri dapat diukur dengan menggunakan beberapa skala, antara lain : a. Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana
Tidak Nyeri
Nyeri Ringan
Nyeri Sedang
Nyeri Hebat
Nyeri Sangat
Nyeri Tidak Terkontrol
Gambar 2.1 Skala Deskripsi Intensitas Nyeri Sederhana
b. Skala peringkat nyeri secara verbal 0 = no pain
0
= no pain
10 = worst possible pain
100 = worst possible pain
c. Skala intensitas nyeri numerik
0 1 No Pain
2
3
4 5 6 Moderate pain
7
8
Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik
9
10 Worst Possible pain
32
d. Skala Analog Visual (VAS)
No Pain
Pain as bed as it could possibly be Gambar 2.3 Skala Analog Visual
e. Skala nyeri muka (Wong Baker Facial Gremace) 0
No Pain
1
2
mild pain
3
4
5
6
7
8 9
10
moderate moderate severe worst pain pain pain pain possible
Gambar 2.4 Skala Nyeri Muka(Wong Baker Facial Gremace)
4. Strategi penatalaksanaan nyeri Menurut Andarmoyo (2013: 84), strategi penatalaksanaan nyeri adalah suatu tindakan untuk mengurangi nyeri yang terbagi menjadi dua yaitu : a. Strategi penatalaksanaan nyeri non farmakologis 1) Bimbingan antisipasi 2) Terapi es dan panas atau kompres panas dingin 3) Stimulasi saraf elektris transkutan atau TENS (trancutaneous electrical nerve stimulation) 4) Distraksi 5) Relaksasi
33
6) Imajinasi terbimbing atau guided imagery 7) Hipnosis 8) Akupuntur 9) Umpan balik biologis 10) Masase b. Strategi penatalaksanaan nyeri farmakologis Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgesik yaitu non narkotik dan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, dan obat tambahan.
BAB III LAPORAN KASUS
Pada bab ini berisi tentang laporan asuhan keperawatan yang dilakukan pada An. L dengan demam berdarah dengue grade II selama 2 hari mulai tanggal 10 – 11 April 2014 di bangsal Melati 2 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Adapun laporan kasus yang akan dikemukakan pada bab ini adalah proses keperawatan yang meliputi, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan. A. Pengkajian 1. Identitas klien Klien bernama An. L, tanggal lahir 6 September 2005, An. L berumur 8 tahun 7 bulan, orang tua An. L bernama Tn. M berusia 37 tahun, pendidikan terakhir SD memiliki pekerjaan swasta yang bertempat tinggal di Kalijambe Boyolali. Hubungan dengan klien adalah seorang ayah. An. L masuk rumah sakit Dr. Moewardi pada tanggal 9 April 2014 jam 00.31 dengan diagnosa medis DHF grade II. Pengkajian pada An.L dilakukan pada tanggal 10 April 2014 pukul 13.00 WIB dengan menggunakan metode alloanamnesa dan autoanamnesa. 2. Riwayat kesehatan klien An . L masuk kerumah sakit dengan keluhan utama lemas. Pada tanggal 3 April 2014 An. L mengeluh badannya panas, kemudian oleh orang tuanya diperiksakan ke Puskesmas Kalijambe, oleh dokter yang
34
35
memeriksa An. L didiagnosa demam typoid. An. L diberi obat 2 macam oleh dokter (orang tua tidak tahu nama obatnya apa) dan yang satu lagi diberi obat penurun panas. Demamnya bisa turun kalau diberi obat penurun panas saja. Pada tanggal 5 April 2014, An. L mengatakan badanya lemas, tidak demam, kemudian oleh orang tuanya diperiksakan lagi ke RSUD Gemolong, di rumah sakit pasien dirawat inap dan dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil trombositnya menurun, kemudian An. L dirujuk ke rumah sakit swasta, karena rumah sakit swasta penuh kemudian An. L dirujuk ke rumah sakit Dr. Moewardi. Saat di IGD RSDM An. L mimisan kurang lebih ½ cc, kemudian dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan nadi 72 kali per menit, suhu 36,5 C, tekanan darah 100/70 mmHg, respirtoryi rate 24 kali per menit. Oleh dokter dianjurkan untuk rawat inap dan diberi terapi infus RL 140 cc per jam, diit tinggi kalori tinggi protein 200 kilo kalori per hari, paracetamol 500 mg, kemudian An. L dipindah ke bangsal Melati 2. Pada riwayat penyakit sebelumya, saat An. L berumur 2 tahun pernah di opname di RSUD Gemolong kurang lebih 1 minggu karena diare. An. L tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan. Keluarga An. L juga mengatakan imunisasi dasar pada An. L lengkap sesuai jadwal imunisasi.
36
An. L
Gambar 3.1 Genogram An. L
Keterangan : : laki-laki
: tinggal serumah
: perempuan
: garis keturunan
: meninggal
: garis perkawinan
: pasien
Dikeluarga An. L tidak ada riwayat penyakit menurun dianggota keluarganya seperti darah tinggi (hipertensi), penyakit gula (diabetes melitus), serta penyakit yang menular lainnya seperti penyakit kulit. Pada waktu lahir An. L memiliki berat lahir 2800 gram, berat badan sekarang 16 kilogram, sebelum sakit 18 kilogram, dengan tinggi badan 122 centimeter, lingkar kepala 51 centimeter, lingkar dada 54 centimeter, dan lingkar lengan atas 16 centimeter. Hasil pengukuran z-score WAZ didapatkan hasil -2,73 yang termasuk kategori status gizi kurang, pada intepretasi NCHS HAZ hasilnya -1,23 dalam kategori normal, sedangkan
37
pada perhitungan IMT didapatkan hasil 10,73 dengan kategori berat badan kurang. Sebelum sakit pasien mengatakan makan 3 kali per hari, makan teratur, dengan porsi cukup, habis satu porsi makan, makan dengan nasi, lauk sayur, tidak ada keluhan mual muntah, minum kurang lebih 6-7 gelas kecil sehari, minum air putih dan teh. Selama sakit pasien dan keluarga mengatakan makan 3 kali sehari menghabiskan 1/3 porsi makan yang disediakan rumah sakit, makan dengan nasi, lauk, sayur, tidak mual muntah, minum 5-6 kali sehari masing-masing 1/3 gelas kecil, minum air putih dan teh hangat. Sebelum sakit pasien mengatakan buang air besar kurang lebih 1-2 kali sehari, feces lunak, tidak ada darah, bau khas tinja, warna kuning, buang air kecil kurang lebih 4-5 kali sehari, warna kuning, jernih, bau khas, tidak sakit saat buang air kecil. Selama sakit pasien mengatakan 2 hari belum bisa buang air besar dengan lancar, hanya sedikit (untuk pemeriksaan laboratorium), warna kuning bau khas tinja, tidak ada darah, feces lembek, buang air kecil 5-6 kali sehari, warna kuning jernih, bau khas, tidak sakit saat buang air kecil, tidak ada darah, perasaan lega setelah berkemih. Kebutuhan cairan perhari pada An. L yaitu 1800 cc dalam satu hari. Pada pengkajian balance cairan pada tanggal 10 April 2014 jam 13.00 sampai tanggal 11 April 2013 jam 13.00 WIB, didapatkan data minum pasien 500 cc, infus 650 cc, makan 150 cc dengan total input 1300 cc, urin
38
348 cc, feces 200 cc, IWL 336 cc, muntah 200 cc dengan total output 1120 cc, sehingga dianalisa balance cairan pada An. L 1300 cc – 1120 = + 180 cc. Saat dilakukan pengkajian pasien dapat berbicara dengan lancar, tidak ada gangguan pendengaran. Pada pengkajian kognitif dan perceptual, pada nyeri pasien didapatkan hasil, nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul, dengan durasi waktu kurang lebih 10 detik. Ekspresi wajah tampak nyengir saat dilakukan palpasi diperut, pasien juga melaporkan adanya nyeri diperut, dan menunjukkan daerah yang sakit. 3. Hasil Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pasien, keadaan umum pasien baik, kesadaran composmentis, suhu 37 C, pernafasan teratur 24 kali per menit, denyut nadi 80x/menit, nadi lemah dengan irama regular, tekanan darah 100/70 mmHg. Pada pemeriksaan head to toe didapatkan hasil bentuk kepala mesochepal, sutura dan fontanel paten, rambut hitam panjang, bersih tidak ada ketombe dan kutu kepala. Sklera tidak ikterik, pupil isokor 2mm, reflek pupil positif (mengecil saat diberi rangsang cahaya), konjungtiva tidak anemis, palpebra tidak oedema, tidak ada kantung mata. Pemeriksaan pada telinga bersih, kanan kiri simetris, pendengaran tajam, ada sedikit serumen. Hidung simetris, tidak ada polip, septum terletak ditengah, tidak ada gangguan penciuman. Pemeriksaan mulut, warna bibir tampak merah, kurang lembab (sedikit kering), gigi lengkap,
39
lidah bersih, tidak ada stomatitis. Leher pasien tidak mengalami kaku kuduk, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi vena jugularis. Pemeriksaan fisik paru saat diinspeksi tidak ada jejas, kanan kiri simetris, perkusi sonor, palpasivocal fremitus kanan kiri sama, auskultasi vesikuler diseluruh lapang paru. Pemeriksaan fisik jantung hasil inspeksi ictus cordis tidak tampak, palpasiictus cordis teraba di SIC V, perkusi pekak, auskultasi regular BJ I - BJ II, “lup dup”, tidak ada suara bising atau suara tambahan. Pemeriksaan abdomen hasil inspeksi tidak ada jejas, perut tampak cekung, auskultasi bising usus 8 kali per menit, perkusi timpani, palpasi nyeri tekan di ulu hati, cubitan di perut kembali kurang dari 2 detik. Genitalia pasien tampak bersih, tidak ada kelainan. Di anus tidak ada hemoroid, anus paten, tidak ada kelainan. Di ekstremitas kekuatan otot pasien 5, dengan pergerakan bebas, tangan kiri terpasang infus. 4. Pemeriksaan Penunjang Hasil pemeriksaan laboratorium pada An. L pada tanggal 10 April 2014 pukul 5.38 didapatkan hasil hemoglobin 13,0 gr/dl (N: 11,5 – 15,5), hematokrit 41 % (N: 35 - 45), leukosit 5,6 ribu/ul (N: 4,5 – 14,5), trombosit 55 ribu/ul (N: 150 – 450), eritrosit 5,00 juta/ul (N: 4,00 – 5,00), MCV 80,0 um (N: 80 – 96,0), MCH 28 pg (N: 28,0 – 33), MCHC 33,0 g/dl (N: 33,0 – 36), RDW 11,9 % (N: 11,6 – 14,6), MPV 7,2 fl (N: 7,2 – 11,1), PDW 26 % (N: 25 – 65), eosinofil 2,260 % (N: 0,00 – 4,00), basofil
40
0,50 % (N: 0,00 – 1,00), netrofil 50,80 (N: 29,00 – 72,00), limfosit 37,10 % (N: 30,00 – 48,00), monosit 9,00 % (N: 0,00 – 5,00), golongan darah B. Pemeriksaan laboratorium, sekresi pukul 10.00 warna urin yellow, kejernihan jernih, berat jenis 1,007, pH 8,0 (N: 4,5 – 8,0), leukosit negatif, nitrit negatif, protein urin negatif, glukosa negatif, keton negatif, urobilinogen normal, bilirubun negatif, eritrosit negatif, mikroskopis eritrosit 4,1/uL (N: 0 – 8,0), leukosit 0,2/LPB (N: 0 – 12), epitel squamosa negatif, epitel transisional negatif, epitel bulat negatif, silinder 0,00/Ul (N: 0,00 – 0,47), hyline 0/LPK (N: 0 – 3), granulatet negatif, leukosit negatif. Pemeriksaan pukul 11.00 WIB, dengue blot Ig M positif, dengue blot Ig G positif. Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 April 2014 jm 5.07 WIB didapatkan hasil Hemoglobin 13 g/dl (N: 11,5 – 15,5), trombosit 85 ribu/ul (N: 150 – 450) , hematokrit 40% (N: 35 - 45), eritrosit 5,01 juta/ul (N: 4,00 – 5,00), MCV 80,1 um (N: 80 – 96,0), MCH 28,1 pg (N: 28,0 – 33), MCHC 33,3 g/dl (N: 33,0 – 36), RDW 11,9 % (N: 11,6 – 14,6), MPV 8,3 fl (N: 7,2 – 11,1), PDW 26 % (N: 25 – 65), hitung jenis eosinofil 3,60 % (N: 0,00 – 4,00), basofil 0,40 % (N: 0,00 – 1,00), netrofil 50,10 % (N: 29,00 – 72,00), limfosit 38,90% (N: 30,00 – 48,00), monosit 7,00 % (N: 0,00 – 5,00). 5. Terapi Tanggal 10 April 2014 An. L mendapatkan terapi dari dokter infus RL 15 tetes per menit, paracetamol tablet 500mg jika suhu di atas 37,5 ,
41
diit tinggi kalori tinggi protein 200 kilo kalori. Tanggal 11 April 2014 An. L mendapat terapi infus RL 15 tetes per menit dan diit tinggi kalori tinggi protein 200 kilo kalori. Infus RL termasuk golongan elektrolit nutrisi parenteral, yang berfungsi untuk pengobatan kekurangan cairan dimana rehidrasi secara oral tidak mungkin dilakukan. Parasetamol merupakan golongan analgesik non narkotik, yang berfungsi meringankan rasa sakit pada sakit kepala, sakit ggi, serta menurunkan demam.
B. Analisa Data dan Perumusan Masalah Dari hasil pengkajian yang penulis lakukan tanggal 10 April 2014 pukul 13.05 WIB, didapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri perut, nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri di ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul, data obyektif saat dilakukan palpasi daerah abdomen ada nyeri tekan diulu hati, pasien tampak nyengir saat dilakukan palpasi di perut, pasien menunjukkan daerah yang sakit, sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia). Pukul 13.10 WIB didapatkan data subyektif pasien mengatakan badannya vlemas, data obyektif pasien minum 5-6 kali sehari masing – masing 1/3 gelas kecil, minum air putih dan teh hangat, pasien tampak lemas, mukosa bibir kurang lembab (sedikit kering), cubitan di perut kembali kurang dari 2 detik, balance cairan tanggal 11 April 2014 jam 13.00, +180 cc sehingga
42
dapat ditegakkan masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (kebocoran plasma). Pukul 13.15 WIB, data subyektif pasien mengatakan tidak nafsu makan, data obyektif pasien makan 3 kali sehari, habis 1/3 porsi makan yang disediakan rumah sakit, berat badan 16 kilogram, WAZ -2,73 status gizi kurang, IMT 10,73 berat badan kurang, sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Pukul 13.20 data subyektif pasien mengatakan lemes, data obyektif pasien tampak lemah, trombosit 55 ribu/ul, sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati inheren (trombositopenia).
C. Prioritas Diagnosa Keperawatan Dari analisa data yang sudah dirumuskan, penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan yang pertama, nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia), yang kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, yang ketiga resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (kebocoran plasma), yang keempat resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati inheren (trombositopenia).
43
D. Intervensi Setelah penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan, penulis menentukan intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan yang pertama, tujuan yang dibuat penulis setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mampu mengntrol nyeri (mengetahui penyebab, mampu menggunakan teknik non farmakologi), melaporkan nyeri berkurang skala 1-2, menyatakan nyaman setelah nyeri berkurang, ekspresi wajah rileks, TD sistolik (80-110 mmHg), diastolik (55-82), nadi (70-120 kali per menit). Intervensi atau tindakan keperawatan yang akan dilakukan observasi reaksi verbal dan nonverbal, lakukan pengkajian nyeri provocate, kualitas, lokasi, skala, dan waktu nyeri, monitor tanda-tanda vital, tingkatkan istirahat, gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien, ajarkan teknik non farmakologi (guided imagery), kolaborasi pemberian analgetik (parasetamol). Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa keperawatan kedua, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tujuan yang akan dicapai penulis berat badan pasien terkontrol, dengan kriteria hasil mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, berat badan stabil 16 kg, menghabiskan 1 porsi makan yang disediakan. Intervensi yang akan dilakukan perawat, monitor intake nutrisi, monitor mual muntah, monitor adanya penurunan berat badan, monitor kadar hemoglobin, albumin, hematokrit,
44
anjurkan makan selagi masih hangat, anjurkan pasien meningkatkan makanan protein, berikan informasi tentang kebutuhan (pentingnya) nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori dan nutrisi. Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa keperawatan yang ketiga, tujuan yang hendak dicapai penulis setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan balance cairan seimbang ± 200 cc, dengan kriteria hasil pasien mampu mempertahankan urin output sesuai dengan usia dan berat badan, berat jenis urin normal (4,5 – 8,0), hematokrit normal (35-45 %), tekanan darah normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 5582 mmHg), suhu normal (36,5 - 37,5 ), nadi normal (70-120 kali per menit), tidak ada tanda-tanda dehidrasi (membran mukosa lembab, elastisitas turgor kulit baik). Intervensi yang akan dilakukan monitor tanda-tanda vital, monitor status cairan, monitor intake cairan, monitor hemoglobin dan hematokrit, monitor status hidrasi, pertahankan catatan intake dan output yang adekuat, dorong masukan oral (minum) yang adekuat, jelaskan pentingnya minum, kolaborasi pemberian cairan intravena. Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa keperawatan yang keempat, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tujuan yang ingin dicapai tidak terjadi perdarahan, dengan kriteria hasil tekanan darah normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 55-82 mmHg), tidak ada perdarahan, trombosit (150-450 ribu/ul), hematokrit normal (35 - 45 %), tidak ada hematuria, tidak ada perdarahan pervaginam.
45
Intervensi yang akan dilakukan penulis monitor adanya tanda-tanda perdarahan, monitor nilai laboratorium (trombosit), monitor statuscairan, lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan, pertahankan bedrest total dan pasang pengaman tempat tidur, anjurkan pasien meningkatkan makanan yang mengandung vitamin K, kolaborasi pemberian cairan intra vena, kolaborasi pemeriksaan laboraturium (trombombosit) secara rutin.
E. Implementasi Penyusunan rencana keperawatan yang telah dilakukan, penulis kemudian melakukan tindakan keperawatan pada An. L, yang dilakukan tanggal 10 April 2014 pada jam 13.05 pada diagnosa keperawatan yang pertama, memonitor tanda-tanda vital, respon subyektif pasien, pasien mengatakan bersedia, respon obyektif tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 74 kali per menit, respiratory rate 24 kali per menit, suhu 37 C. Pada pukul 13.08 WIB, penulis melakukan pengkajian nyeri pasien secara komprehensif dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, pasien mengatakan nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri di ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi kurang lebih 10 detik, respon obyektif pasien tampak nyengir, menunjukkan daerah yang sakit atau yang nyeri.
46
Pada pukul 13.45 WIB, penulis mengajarkan teknik non farmakologi (guided imagery), dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan respon obyektif pasien tampak nyengir dan melaporkan skala nyeri 3. Penulis melakukan implementasi pada diagnosa keperawatan yang ketiga, pukul 13.10 penulis mengkaji intake cairan pasien dengan respon subyektif, pasien mengatakan bersedia, respon obyektif pasien terpasang infus RL 15 tetes per menit, pasien minum 1/3 gelas kecil. Pada pukul 13.30 WIB, penulis menganjurkan untuk minum yang adekuat, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, sedangkan respon obyektif pasien minum kurang dari 1/3 gelas kecil. Penulis
mengobservasi
tanda-tanda
perdarahan
pada
diagnosa
keperawatan yang keempat pada pukul 13.25 WIB, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan respon obyetif tidak ada tanda-tanda perdarahan seperti mimisan, ptekie. Pada pukul 13.35 WIB, penulis mengnjurkan untuk bedrest dan memasang pengaman tempat tidur, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan respon obyektif pasien tampak tiduran di tempat tidur. Pada diagnosa keperawatan yang kedua, penulis mengkaji intake nutrisi dan berat badan pasien pada pukul 13.15 WIB dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dengan respon obyektif pasien makan 1/3 porsi yang disediakan rumah sakit, berat badan mengalami penurunan sebelum sakit 18 kg selama
sakit menjadi 16 kg.Pada pukul 13.55 WIB, penulis
47
menginformasikan pentingnya nutrisi, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obyektif pasien dan keluarga tampak mengerti. Pada hari Jumat, tanggal 11 April 2014, pukul 09.00 WIB penulis melakukan tindakan keperawatan pada diagnosa keperawatan yang pertama dengan memonitor tanda-tanda vital, respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan respon obyektif tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 78 kali per menit, respiratory rate 26 kali per menit, suhu 36,8C. Pada pukul 09.15 penulis melakukan pengkajian skala nyeri pada pasien dengan respon subyektif, pasien mengatakan bersedia , respon obyektif pasien menunjukkan skala nyeri diangka 3. Pada pukul 09.20 penulis mengajarkan teknik non farmakologis guided imagery, dengan respon pasien mengatakan bersedia, respon obyektif menunjukkan skala nyeri 2, tampak rileks, dan tersenyum. Implementasi diagnosa keperawatan yang ketiga, pada pukul 09.25 WIB, penulis menganjurkan banyak minum, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dengan respon obyektif pasien minum air putih 1/3 gelas. Pada pukul 13.00 WIB, penulis memonitor balance cairan, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obektif balance cairan + 180 cc. Pukul 13.10 WIB, penulis menjelaskan pentingnya minum, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan respon obyektif keluarga dan pasien tampak memperhatikan dan mengungkapkan pentingnya minum.
48
Penulis melakukan implementasi pada diagnosa keperawatan yang keempat pada pukul 09.10 WIB dengan memonitor jumlah trombosit, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obyektif trombosit pasien 85 ribu/ul. Pada diagnosa keperawatan kedua, penulis mengajurkan pasien untuk meningkatkan protein pada pukul 09.05 WIB, dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obyektif pasien tampak makan dengan lauk daging ayam dan menghabiskan kurang lebih 1/3 porsi makan yang disediakan. Pada pukul 11.30 WIB, penulis menganjurkan makan selagi masih hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obyektif pasien tampak makan makanan yang disediakan rumah sakit dalam keadaan hangat.
F. Evaluasi Evaluasi dilakukan pada hari Kamis, 10 April 2014 diperoleh hasil data subyektif An. L mengatakan nyeri, nyeri dirasakan setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 3, nyeri hilang timbul dengan durasi 5-10 detik. Berdasarkan pengamatan secara obyektif pasien tampak menunjukkan area yang nyeri, tampak nyengir saat dipalpasi. Analisa masalah keperawatan nyeri akut pada An. L belum teratasi, intervensi dilanjutkan, kaji nyeri secara komperhensif (P, Q, R, S, T), ajarkan teknik non farmakologi (guided imagery), tingkatkan istirahat, berikan informasi tentang nyeri, kolaborasi pemberian analgetik (parasetamol).
49
Adapun evaluasi pada masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan yang dilakukan penulis pada pukul 14.10 WIB, diperoleh hasil An.L mengatakan lemas, berdasarkan hasil pengamatan An. L tampak lesu, lemah, membran mukosa sedikit kering, cubitan di perut kembali kurang dari 2 detik. Analisa masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan pada An. L belum teratasi, intrervensi dilanjutkan monitor intake output, kaji balance cairan, anjurkan banyak minum, jelaskan pentingnya minum, pertahankan kolaborasi pemberian cairan intravena. Adapun hasil evaluasi pada masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang dilakukan penulis pada pukul 14.20 WIB pasien mengatakan tidak nafsu makan, dari hasil pengamatan penulis An. L tampak menghabiskan 1/3 porsi makan yang disediakan rumah sakit. Masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi, intervensi dilanjutkan kaji intake nutrisi, monitor status nutrisi, anjurkan makan selagi masih hangat, jelaskan pentingnya nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diit tinggi kalori tinggi protein. Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan resiko perdarahan yang dilakukan penulis pada pukul 14.15 WIB, diperoleh hasil pasien mengatakan tidak mimisan, tidak ada darah yang keluar. Dari hasil pengamatan penulis, tidak ada tanda-tanda perdarahan (ptekie, mimisan, perdarahan pervagina), trombosit 55 ribu/ul, tampak lemas. Masalah keperawatan resiko perdarahan belum teratasi, intervensi dilanjutkan kaji atau monitor tanda perdarahan dan kadar trombosit, anjurkan banyak istirahat,
50
jelaskan pengaruh trombositopenia pada pasien, kolaborasi pemerikasaan laboratorium (trombosit) secara rutin. Evaluasi pada hari Jumat, 11 April 2014 pukul 14.30 dengan masalah keperawatan nyeri akut, An. L mengatakan nyeri perut berkurang nyeri dirasakan setelah makan, nyeri diiris-iris, nyeri di ulu hati, nyeri kadangkadang. Berdasarkan pengamatan pasien tampak rileks, melaporkan skala nyeri 2, TD 100/80 mmHg, nadi 80 kali per menit, respiratory rate 26 kali per menit. Masalah keperawatan nyeri akut teratasi, intervensi dihentikan. Adapun hasil evaluasi pada masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang dilakukan penulis pada pukul 14.45 WIB, An. L mengatakan tidak nafsu makan. Berdasarkan hasil pengamatan berat badan An. L 16 kilogram, hemoglobin 13 g/dl, tampak menghabiskan 1/3 porsi makan dari rumah sakit. Masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi, intervensi dilanjutkan kaji status nutrisi, anjurkan makan sedikit tapi sering, jelaskan pentingnya nutrisi, kolaborasi pemberian obat nafsu makan (apialys). Evaluasi pada masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan yang dilakukan penulis pada pukul 14.35 WIB, pasien mengatakan tidak lemas lagi, dengan hasil pengamatandidapatkan balance cairan + 180 cc, TD 100/80 mmHg, hematokrit 40%, pH urin 8,0, membran mukosa lembab, cubitan diperut kurang dari 2 detik. Masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan teratasi, sehingga intrervensi dihentikan.
51
Evaluasi yang dilakukan pada 14.40 WIB, dengan masalah keperawatan resiko perdarahan, didapatkan hasil An. L mengatakan tidak ada darah yang keluar dari tubuhnya. Berdasarkan hasil pengamatan penulis tidak ada tandatanda perdarahan, trombosit 85 ribu/ul, tidak pucat. Masalah keperawatan resiko perdarahan belum teratasi, intervensi dilanjutkan monitor tanda perdarahan, anjurkan banyak minum, anjurkan banyak istirahat, jelaskan pengaruh trombositopenia pada pasien, kolaborasi pemeriksaaan laboratorium (trombosit) secara rutin.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang tindakan aplikasi riset pemberian audio visual recorded guided imagery therapypada asuhan keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF) yang sudah dilakukan penulis di bangsal Melati 2, Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 10 – 11 April 2014. A. Pengkajian Penulis melakukan pengkajian pada tanggal 10 April 2014 dengan alloanamnesa dan autoanamnesa. Keluhan utama yang dirasakan klien mengatakan lemas. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya
volume
plasma,
terjadinya
hipotensi,
hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi dan renjatan (syok) (Wijayaningsih, 2013: 235). Renjatan terjadi sebagai akibat dari kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler
melalui kapiler yang rusak,
sehingga
mengakibatkan
menurunnya volume plasma dan meningkatnya nilai hematokrit (Nursalam et al. 2005: 159). Hilangnya plasma dapat mengakibatkan hipovolemik (Suriadi dan yuliani, 2010: 57). Pada tanggal 3 April 2014 An. L mengeluh badannya panas, lemas. Pada tanggal 5 April 2014, An. L mengatakan badanya lemas, tidak demam, pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositnya menurun. Tanggal 9 April 2014, An. L mimisan kurang lebih ½ cc. Manifestasi klinis pada kasus DHF
52
53
ditandai dengan demam tinggi yang mendadak, yang dapat mencapai 40 C atau lebih, terkadang disertai kejang, sakit kepala, anoreksia, muntah-muntah (vomiting), nyeri perut kanan atas atau seluruh bagian perut dan perdarahan, terutama perdarahan kulit, walaupun hanya berupa uji tourniquet positif (Nursalam et al. 2005: 163). Virus dengue yang masuk ke tubuh penderita akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam, dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendothelial seperti pembesaran kelenjarkelenjar getah bening, hati, dan limpa (Wijayaningsih, 2013: 235). Menurut Sutaryo (1997) dalam Soegijanto (2012: 54), pada infeksi virus dengue, setelah masa inkubasi akan terjadi viremia, yaitu adanya virus di dalam darah. Viremia ini akan berjalan singkat mulai 2 hari sebelum panas, dan mencapai puncaknya pada 1 atau 2 hari pertama panas, dan menghilang setelah 6 atau 7 hari bersamaan dengan timbulnya antibodi. Menurut Wang et al. (1995) dalam Soegijanto dan Nasiruddin (2012) dalam Soegijanto (2012: 81), penurunan trombosit atau trombositopeni disebabkan karena terjadinya ikatan antara virus dengue tipe 2 dengan trombosit
manusia,
trombositopenia
juga
dikarenakan
terjadinya
immunemediated clearance of platelet. Menurut Sugianto (1994) dalam Soegijanto
dan
Nasiruddin
(2012)
dalam
Soegijanto
(2012:
81),
trombositopenia pada penderita DBD diduga terjadi akibat peningkatan destruksi trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregasi trombosit akibat
54
endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang. Trombositopenia yang hebat, gangguan fungsi trombosit, dan kelainan fungsi koagulasi merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan (Nursalam et al. 2005: 160). Terapi yang diberikan pada An. L saat di IGD, infus RL 140 cc/jam, diit tinggi kalori tinggi protein (TKTP) 200 kilo kalori per hari, paracetamol 500 mg. Jika penderita mengalami dehidrasi yang signifikan (> 10 % berat badan normal), maka diperlukan segera untuk diberikan penggantian cairan secara intravena. Contoh cairan pengganti yang bisa diberikan adalah ringer laktat atau ringer asetat, larutan garam fisiologis dan glukosa 5 %, serta plasma dan plasma substitute (Firdaus, 2011: 54). Infus ringer laktat berfungsi mengembalikan keseimbangan elektrolit (ISO, 2011: 401). Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis, karena mempunyai kebutuhan kalori dan protein yang sangat tinggi (Soegijanto, 2012: 144). Pada tahap gejala awal DBD, diit ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Menu yang diberikan berupa makanan yang berkalori dan berprotein tinggi. Pada tingkat lanjut, pemberian nutrisi ditujukan untuk meningkatkan sistem kekebalan dan mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk (Satari, 2004: 60). Terapi antipiretik diberikan pada penderita DHF tanpa adanya renjatan (Nugroho, 2011: 63). Parasetamol berfungsi menghilangkan demam dan nyeri (Ikatan Apoteker Indonesia, 2011: 38).
55
Pada pertumbuhan dan perkembangan An. L mengalami perubahan berat badan sebelum sakit 18 kg, selama sakit menjadi 16 kg. Perhitungan Zscore WAZ dengan hasil -2,73 ( status gizi kurang), dan IMT 10,73 (berat badan kurang). Pertumbuhan An. L tidak mengalami gangguan hal tersebut dapat diketahui dari hasil HAZ -1,23 (normal). Status nutrisi dan cairan An. L mengalami gangguan selama sakit, berdasarkan data pengkajian yang diperoleh pada An. L sebelum sakit dapat menghabiskan 1 porsi makan dan minum habis kurang lebih 6 – 7 gelas kecil per hari, tetapi selama sakit An. L hanya menghabiskan 1/3 porsi makan yang disediakan dan minum 5-6 gelas per hari masing-masing 1/3 gelas kecil. Semua anak dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat faktor predisposisinya. Anak yang menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah dan nafsu makan menurun.Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang (Nursalam et al. 2005: 163). Pola eliminasi saat dikaji pasien belum bisa buang air besar (BAB) dengan lancar. Eliminasi alvi (buang air besar) pada anak yang menderita DHF kadang-kadang mengalami diare maupun konstipasi, sementara pada DHF grade III-IV bisa terjadi melena (Nursalam et al. 2005: 164). Pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan hasil tekanan darah 100/70 mmHg, suhu 37 C, respiratory rate 24 kali per menit, nadi 80 kali per menit.
56
Pada pemeriksaan palpasi abdomen pada An. L mengalami nyeri tekan di ulu hati. Nyeri tekan sering kali ditemukan tanpa ikterus maupun kegagalan peredaran darah (circulatory failure) (Nursalam et al. 2005: 161). Pola kognitif dan perceptual pada An. L mengalami nyeri perut, nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi 10 detik. Ekspresi wajah tampak nyengir saat dilakukan palpasi di perut, pasien juga melaporkan adanya nyeri diperut dan menunjukkan area yang sakit. Penulis menggunakan alat ukur nyeri Wong dan Beker untuk mengetahui skala nyeri pada An. L. Menurut Wong dan Beker (1988) dalam Potter dan Perry (2006) dalam Andarmoyo (2013: 78), telah mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anak-anak.Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum (“tidak merasa nyeri”), kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah wajah yang sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan (“nyeri yang sangat”). Menurut Hockenberry dan Wilson (2009) dalam Mariyam dan Sri Widodo (2012), kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri rasa nyeri yang baru saja dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan skala wajah ini direkomendasikan untuk anak-anak.
57
0
1
No Pain
2
3
mild pain
4
5
moderate pain
6
7
moderate pain
8
9
severe pain possible
10
worst pain
Gambar 4.1 Skala Nyeri Muka (Wong Baker Facial Gremace)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 April 2013, didapatkan hasil adanya penurunan kadar trombosit (55 ribu/ul) dan monosit 9,00 %. Menurut Ariyati dalam Soegijanto (2012), penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) pada umumnya terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Dikatakan trombositopenia apabila jumlah trombosit dibawah 100.000/UI, biasanya dapat dijumpai antara hari sakit ketiga dan ketujuh. Peningkatan kadar monosit disebabkan karena penyakit yang disebabkan karena viral. Virus dengue menginfeksi sel monosit atau makrofag dan sel dendrite untuk membentuk respon imun yang sesuai terhadap infeksi. Monosit akan terjadi penigkatan apabila terinfeksi oleh virus DENV-2 (Garna, 2012: 343). Pemeriksaan serologi pada pukul 11.00 WIB, didapatkan dengue blot Ig M dan dengue blot Ig G positif. Menurut Gubler et al. (1994) dalam Soegijanto (2012: 66), setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkemabang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antar lain antinetralisasi,
58
antihemaglutinin, antikomplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah Ig G dan Ig M. Pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbetuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect). Menurut Gubler et al. (1994) dalam Soegijanto (2012: 66), antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60 – 90 hari. Kinetik kadar Ig G berbeda dengan kinetik kadar antibodi Ig M, oleh karena itu kinetik kadar antibodi Ig G harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi Ig G meningkat sekitar demam hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder antibodi Ig G meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi Ig M setelah hari sakit ke lima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi Ig G dan Ig M yang cepat. Terapi yang diberikan saat di bangsal, melanjutkan terapi yang diberikan di IGD, tetapi pemberian terapi parasetamol diberikan jika suhu pasien di atas 37,5 C.
B. Diagnosa Keperawatan Penulis melakukan perumusan diagnosa keperawatan yang pertama, nyeri akut berhubungan agen cidera biologis (viremia). Berdasarkan data yang penulis dapat dari hasil pengkajian didapatkan data subyektif An. L
59
mengatakan nyeri perut, nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diirisiris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi 10 detik. Ekspresi wajah tampak nyengir saat dilakukan palpasi di perut, pasien juga melaporkan adanya nyeri diperut dan menunjukkkan area yang sakit. Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan, yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
digambarkan
dalam
hal kerusakan
sedemikian rupa
(International Association for the study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan. Batasan karakteristik pada nyeri akut antara lain: masker wajah tampak meringis, nyengir, melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal, sikap melindungi area nyeri (Nurarif dan Hardi , 2013). Penulis juga merumuskan diagnosa keperawatan yang kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Penulis mencantumkan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh mengacu pada data pengkajian yaitu data subyektif klien mengatakan tidak nafsu makan. Data obyektif pasien makan 3 kali sehari, habis 13 porsi makan yang disediakan rumah sakit, berat badan 16 kilogram, Z-skore -2,73 kategori status gizi kurang, IMT 10,73 kategori berat badan kurang.
60
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan karakteristik antara lain: kurang makan, mengeluh asupan makan kurang, kurang minat pada makan, berat badan 20 % atau lebih dibawah berat badan ideal (Nurarif dan Hardi , 2013). Penulis merumuskan diagnosa keperawatan yang ketiga, resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif. Penulis mencantumkan masalah resiko kekurangan volume cairan dengan alasan mengacu pada data pengkajian yaitu data subyektif antara lain klien mengatakan lemas. Data obyektif diperoleh klien tampak lemas , membran mukosa sedikit kering (kurang lembab), cubitan diperut kurang dari 2 detik. Resiko kekurangan volume cairan adalah beresiko mengalami dehidrasi vaskuler, selular, atau intraselular. Faktor resiko antara lain: kehilangan volume cairan aktif, penyimpangan yang mempengaruhi absorbs cairan, kehilangan berlebih melalui rute abnormal (Nurarif dan Hardi , 2013). Diagnosa keperawatan yang keempat yang ditegakkan penulis, resiko perdarahan berhubungan dengan trombositopenia. Perumusan masalah keperawatan yang diambil penulis telah disesuaikan dengan diagnosa keperawatan. Penulis mencantumkan masalah resiko perdarahandengan alasan mengacu pada data pengkajian yaitu data subjektif klien mengatakan lemas. Data obyektif yang diperoleh trombosit 55 ribu/ul.
61
Resiko perdarahan adalah beresiko mengalami penurunan volume darah yang dapat menggangu kesehatan. Faktor resiko: Koagulopati inheren: trombositopenia (Nurarif dan Hardi , 2013). Penulis menegakkan diagnosa keperawatan resiko karena masalah tersebut dapat timbul pada seseorang atau kelompok yang rentan dan ditunjang dengan faktor resiko yang memberi kontribusi pada peningkatan kerentanan. Diagnosa keperawatan resiko adalah keputusan klinis tentang individu, keluarga atau komunitas, yang sangat rentan untuk mengalami masalah dibanding individu atau kelompok lain pada situasi yang sama atau hampir sama (Setiadi, 2012: 41). Penulis merumuskan diagnosa keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien. Penentuan prioritas tergantung dari status kesehatan dan masalah klien saat itu. Prioritas diagnosa adalah diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif dimana sumber keperawatan akan diarahkan untuk pencapaian tujuan. Pada situasi perawatan akut, diagnosa prioritas adalah diagnosa keperawatan dengan masalah kolaboratif yang berkaitan dengan kondisi medis. Bila tidak diatasi sekarang akan mengganggu kemajuan atau mempengaruhi status fungsional secara negatif (Setiadi, 2012: 39). Perumusan prioritas diagnosa keperawatan bisa juga sesuai dengan Hirarki Maslow yaitu dengan membagi kebutuhan manusia dalam lima tahap yaitu: fisiologis, rasa aman dan nyaman, sosial, harga diri, aktualisasi diri (Setiadi, 2012: 40). Penulis
memprioritaskan
diagnosa
keperawatan
nyeri
akut
berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia) dan ketidakseimbangan
62
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, sebagai diagnosa keperawatan yang aktual. Diagnosa keperawatan yang aktual menyajikan keadaan yang secara klinis telah tervalidasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi. Berdasarkan Hirarki Maslow prioritas diagnosa keperawatan yang pertama dan kedua yang dibuat penulis yaitu berdasarkan kebutuhan fisiologis yang didalamnya terdapat nyeri dan nutrisi (Setiadi, 2012: 40). Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif sebagai diagnosa yang ketiga, sesuai dengan hasil pengkajian yang didapatkan penulis balance cairan + 180 cc, pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda dehirasi. Pada penderita DHF bisa terjadi syok atau renjatan sebagai akibat dari kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak (Nursalam et al, 2005: 159). Hilangnya plasma dapat mengakibatkan hipovolemik (Suriadi dan Yuliani, 2010: 57).Masalah tersebut dapat timbul pada seseorang atau kelompok yang rentan dan ditunjang dengan faktor resiko yang member kontribusi pada peningkatan kerentanan (Setiadi, 2012: 41). Penulis menegakkan diagnosa keperawatan yang ketempat resiko perdarahan berhubungan dengan trombositopenia, karena masalah tersebut akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi (Setiadi, 2012: 41). Menurut Menurut Nurarif dan Hardi (2013), diagnosa yang muncul pada pasien DHF antara lain : nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia), hipertermia berhubungan dengan penyakit (proses infeksi
63
virus dengue), kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler), resiko syok berhubungan dengan hipovolemia, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun, resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati inheren (trombositopeni). Penulis
tidak
merumuskan
diagnosa
keperawatan
hipertermia
berhubungan dengan penyakit (proses infeksi virus dengue) dan resiko syok berhubungan dengan hipovolemia, karena pada saat dilakukan pengkajian tidak didapatkan data yang sesuai dengan batasan karakteristik yang mengacu diagnosa keperawatan tersebut.
C. Intervensi Intervensi atau rencana keperawatan adalah fase ketiga dalam proses keperawatan, yang berarti merancang dasar bagaiman sesuatu dapat dicapai dan diselesaikan dengan cara tertentu, waktu tertentu dan menggunakan alat tertentu (Slevin, 2006). Penentuan tujuan rencana tindakan seharusnya didasarkan pada prinsip SMART yaitu S : Spesific atau tidak menimbulkan arti ganda, M : Measurable atau dapat diukur, A : Achievable atau dapat dicapai, R : Rational atau sesuai akaal sehat, T : Time atau ada kriteria waktu pencapaian (Nursalam, 2008). Intervensi atau rencana yang akan dilakukan oleh penulis pada diagnosa keperawatan yang pertama pada kasus An. L dengan tujuan dan kriteria hasil
64
yang sudah ditetapkan. Tujuan yang dibuat penulis diharapkan nyeri pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mampu mengontrol nyeri (mengetahui penyebab, mampu menggunakan teknik non farmakologi), melaporkan nyeri berkurang skala 1-2, menyatakan nyaman setelah nyeri berkurang, ekspresi wajah rileks, TD sistolik (80-110 mmHg), diastolik (5582), nadi (70-120 kali per menit). Intervensi yang akan dilakukan observasi reaksi nonverbal karena untuk mengetahui perilaku yang menunjukkan adanya ketidaknyamanan; lakukan pengkajian nyeri provocate, kualitas, lokasi, skala, dan waktu nyeri karena dengan mengetahui penyebab, kualitas, lokasi skala dan waktu nyeri dapat membantu klien untuk memilih cara yang nyaman untuk mengurangi nyeri; monitor tanda-tanda vital dengan pemeriksaan tanda-tanda vital dapat digunakan sebagai salah satu indikator adanya ketidaknyamanan pada klien; tingkatkan istirahat, dengan istirahat dapat mengurangi keteganagan sehingga nyeri bisa berkurang; gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien, dengan komunikasi terapeutik dapat memberikan ketenangan
dan kenyamanan pada
pasien sehingga
pasien mampu
mengungkapakan perasaan nyeri yang dialami; ajarkan teknik non farmakologi (guided imagery) untuk mengalihkan perhatian selama nyeri, kolaborasi pemberian analgetik, dengan analgetik dapat menurunkan nyeri secara optimal (Wijayaningsih, 2012: 237). Intervensi pada diagnosa keperawatan yang kedua yang akan dilakukan penulis, dengan tujuan yang akan dicapai penulis berat badan pasien
65
terkontrol, dan kriteria hasil mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, berat badan stabil 16 kg, menghabiskan 1 porsi makan yang disediakan yang monitor intake nutrisi untuk mengetahui kecukuan nutrisi, monitor mual muntah untuk mengetahui penyebab mual muntah. Intervensi yang akan dilakukan monitor adanya penurunan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pada klien. Monitor kadar hemoglobin, albumin, dengan mengetahui kadar hemoglobin, albumin, dapat digunakan untuk mengetahui status nutrisi. Anjurkan makan selagi masih hangat, makanan yang masih hangat dapat meningkatkan nafsu makan. Anjurkan pasien meningkatkan makanan protein dengan makan makanan tinggi protein bisa mempercepat penyembuhan luka. Berikan informasi tentang kebutuhan (pentingnya) nutrisi menambah pengetahuan tentang pentingnya nutrisi. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori dan nutrisi untuk menentukan diit yang tepat (Wijayaningsih, 2012: 239). Intervensi pada diagnosa keperawatan yang ketiga, sesuai tujuan yang diharapkan balance cairan seimbang ± 200 cc, dengan kriteria hasil pasien mampu mempertahankan urin output sesuai dengan usia dan berat badan, berat jenis urin normal (4,5 – 8,0), hematokrit normal (35-45 %), tekanan darah normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 55-82 mmHg), suhu normal (36,5 -
37,5 ), nadi normal (70-120 kali per menit), tidak ada tanda-tanda dehidrasi (membran mukosa lembab, elastisitas turgor kulit baik).
66
Intervensi yang akan dilakukan,
monitor tanda-tanda vital dengan
memonitor tanda-tanda vital dapat digunakan untuk menetapkan data dasar klien untuk mengetahui dengan cepat penyimpangan dari keadaan normal. Monitor status cairan untuk mengetahui status cairan pada pasien, monitor intake cairan. Monitor hemoglobin dan hematokrit karena untuk mengetahui status cairan yang ada pada tubuh klien. Monitor status hidrasi yang berguna untuk mengetahui status hidrasi pada pasien. Pertahankan catatan intake dan output yang adekuat, dorong masukan oral (minum) yang adekuat karena asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh. Jelaskan pentingnya minum yang berguna untuk memotivasi klien meningkatkan intake cairan agar tidak terjadi dehidrasi. Kolaborasi pemberian cairan intra vena dengan pemberian cairan intravena sangat penting karena langsung masuk ke pembuluh darah (vaskuler) (Wijayaningsih, 2013: 239). Intervensi diagnosa keperawatan yang keempat yang akan dilakukan penulis, sesuai tujuan yang diharapkan tidak terjadi perdarahan, dengan kriteria hasil tekanan darah normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 55-82 mmHg), tidak ada perdarahan, trombosit (150-450 ribu/ul), hematokrit normal (35 - 45 %), tidak ada hematuria, tidak ada perdarahan pervaginam. Intervensi
yang
akan
dilakukan
monitor
adanya
tanda-tanda
perdarahan untuk mengetahui adanya tanda-tanda perdarahan. Monitor nilai laboratorium (trombosit), adanya penurunan trombosit meningkatkan resiko terjadinya perdarahan, untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan sebagai dasar untuk menentukan tindakan lebih lanjut. Monitor status
67
cairan, untuk mengetahui status cairan pada tubuh pasien. Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan untuk meminimalisir terjadinya trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan. Pertahankan bedrest total dengan tirah baring dapat mengurangi resiko terjadinya cidera sehingga perdarahan resiko perdarahan dapat terkontrol. Anjurkan pasien meningkatkan makanan yang mengndung vitamin K, dengan mengkonsumsi vitamin K dapat membantu meningkatkan faktor pembekuan darah. Kolaborasi pemberian cairan intravena, kolaborasi pemeriksaan laboratorium (trombosit) secara rutin, yang berfungsi mengganti cairan yang hilang akibat perdarahan dan mengetahui jumlah trombosit (Wijayaningsih, 2012: 239).
D. Implementasi Penulis
melakukan
tindakan
keperawatan
berdasarkan
diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien sesuai dengan tujuan, kriteria hasil dan rencana yang ditetapkan. Pada hari pertama penulis melakukan tindakan keperawatan pada masalah nyeri akut, memonitor tanda-tanda vital hasil tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 74 kali per menit, respiratory rate 24 kali per menit, suhu 37 C. Melakukan pengkajian nyeri pasien secara komperhensif, mengajarkan teknik non farmakologi (guided imagery), pasien mengatakan nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri di ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi kurang lebih 10
68
detik, pasien tampak nyengir, menunjukkan daerah yang sakit atau yang nyeri. Setelah diajarkan teknik guided imagery An. L melaporkan skala nyeri 3. Pada hari kedua penulis memonitor tanda-tanda vital pada An. L, melakukan pengkajian skala nyeri, mengajarkan teknik non farmakologis guided imagery, hasil tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 78 kali per menit, respiratory rate 26 kali per menit, suhu 36,8 C, setelah diajarkan teknik guided imagery terjadi penurunan skala nyeri dari 3 menjadi 2, tampak rileks, dan tersenyum. Menurut Potter (1996) dalam Setiadi (2012: 116) pengukuran tanda vital dilakukan untuk menentukan status kesehatan pasien sebagai data dasar untuk menguji respon klien terhadap stress fisiologis atau psikologis terhadap terapi medik atau keperawatan.Pengkajian nyeri dengan PQRST, meliputi kejadian, awitan, durasi nyeri, kualitas dan memberikan metode untuk mengatasi nyeri yang digunakan oleh perawat dan klien (Andarmoyo, 2013 : 85). Nyeri
merupakan
kejadian
ketidaknyamanan
yang
dalam
perkembangannya akan mempengaruhi berbagai komponen dalam tubuh. Efek nyeri dapat berpengaruh terhadap fisik, perilaku, dan pengaruhnya pada aktifitas sehari-hari (Andarmoyo, 2013: 42). Manajemen nyeri non farmakolagis merupakan tindakan menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakologis. Dalam melakukan intervensi keperawatan, manajemen nyeri non farmakologis merupakan tindakan independen dari seorang perawat dalam menguasai respons nyeri klien (Andarmoyo, 2013: 84).
69
Pemberian terapi non farmakologis relatif praktis selain tindakan mandiri dari perawat, terapi non farmakologis juga sangat efektif untuk mengurangi respon nyeri salah satunya adalah degan teknik guided imageryatauimajinasi terbimbing. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dalam Andarmoyo (2013: 90), imajinasi terbimbing adalah penggunaan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Menurut Hart (2008) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 230), mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon stress, selain itu juga dapat melepaskan endorphin yang melemahkan respon rasa sakit dan dapat mengurangi rasa sakit atau meningkatkan ambang nyeri. Menurut Potter dan Perry (2009) dalam Novarenta (2013: 181), tujuan dari guided imagery yaitu menimbulkan respon psikofisiologis yang kuat seperti perubahan dalam fungsi imun. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dalam Novareta (2013: 181), imajinasi terbimbing dapat mengurangi tekanan dan berpengaruh pada respon fisiologis seperti menurunkan tekanan darah, nadi, dan respirasi, hal itu karena teknik imajinasi terbimbing dapat mengaktivasi sistem saraf parasimpatis. Pelaksanaan imajinasi terbimbing yang dilakukan penulis, membina hubungan saling percaya dengan An. L, menjelaskan prosedur: tujuan, posisi, waktu, dan peran perawat sebagai pembimbing, menganjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien, duduk dengan klien tetapi tidak
70
mengganggu, melakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien, meminta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengan suara yang lembut dan meberikan rekaman video tentang hal yang menyenangkan. Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangannya dan saat itu perawat tidak perlu bicara lagi. Pelaksanaan imajinasi terbimbing atau guided imagery membutuhkan lingkungan yang tenang dan konsentrasi penuh. Penulis merumuskan intervensi kolaborasi pemberian analgetik (parasetamol) namun tidak diberikan, karena tidak adanya advis dari dokter. Pemberian obat-obatan sesuai dengan intruksi dokter, sehingga jenis, dosis, dan efek samping menjadi tanggung jawab dokter (Setiadi, 2012: 560. Nyeri yang dialami pada pasien merupakan nyeri sedang yang dapat dikontrol dengan terapi non farmakologis. Implementasi pada diagnosa kedua yang penulis lakukan, mengkaji intake nutrisi dan berat badan, menginformasikan pentingnya nutrisi, menganjurkan pasien untuk
meningkatkan protein, menganjurkan makan
selagi masih hangat, didapatkan hasil terjadi penurunan berat badan, sebelum sakit 18 kg selama sakit menjadi 16 kg, tampak makan dengan lauk daging ayam dan menghabiskan kurang lebih 1/3 porsi. Untuk mendukung perawatan medis yang dilakukan dokter, penderita DBD juga membutuhkan diit yang dapat mempercepat kesembuhannya. Penanganan diit penderita DBD harus mengikuti manifestasi yang muncul. Menu yang diberikan berupa makanan yang berkalori dan berprotein tinggi (Satari, 2004: 60).
71
Implementasi yang dilakukan penulis selama dua hari, pada diagnosa keperawatan yang ketiga, mengkaji intake cairan, menganjurkan banyak minum, memonitor balance cairan, menjelaskan pentingnya minum, dengan hasil terpasang infus RL 15 tetes per menit, pasien minum air putih 1/3 gelas, balance cairan + 180 cc. Pengukuran akurat terhadap masukan dan pengeluaran cairan merupakan hal vital dalam pengkajian dehidrasi. Hal ini meliputi masukan oral dan parenteral dan kehilangan cairan melalui urine, feses, muntah, dan keringat (Wong, 2004: 382). Pada penderita DBD tingkat lanjut, terjadi mual, nyeri perut, muntah, sakit kepala hebat, dan terjadi kebocoran plasma yang terdeteksi melalui hasil laboratorium. Keadaan ini diantisipasi dengan pemberian cairan yang cukup melalui oral (minum) dan infus, utamanya ringer laktat atau ringer asetat (Satari, 2004: 60). Pemberian cairan intravena dengan ringer laktat segera dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan kebutuhan cairan yang adekuat (Widagdo, 2012: 125). Implementasi pada diagnosa keperawatan yang keempat, mengobservasi tanda-tanda perdarahan, menganjurkan untuk bedrest dan memasang pengaman tempat tidur, memonitor jumlah trombosit dan hematokrit, didapatkan hasil trombosit pasien 85 ribu/ul, hematokrit 41 %, tidak ada tanda-tanda perdarahan, tampak tiduran di tempat tidur. Hematokrit perlu terus menerus dimonitor untuk mengetahui bila saatnya syok mulai mengancam. Terjadinya syok memunculkan perdarahan juga (Hendrawan, 2007: 7). Perdarahan perlu dimonitor dengan ketat. Perdarahan dapat timbul pada beberapa tempat, selain kulit juga dapat timbul pada mukosa eksternal maupun
72
internal. Perdarahan umumnya terjadi pada hari kelima sampai kedelapan. Perdarahan masif dapat menyebabkan syok yang memanjang dan asidosis metabolik, hal ini yang menjadi penyebab langsung kematian (Garna, 2012: 351).
E. Evaluasi Evaluasi yang dilakukan penulis pada hari pertama pada diagnosa pertama, masalah keperawatan nyeri akut pada An. L belum teratasi karena belum sesuai tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan, skala nyeri 3, menunjukkan area yang nyeri, tampak nyengir saat dipalpasi.Adapun hasil evaluasi pada masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang dilakukan penulis, belum teratasi karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil, pasien tidak nafsu makan, menghabiskan 1/3 porsi makan yang disediakan rumah sakit. Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan yang dilakukan penulis belum teratasi karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan, pasien mengatakan lemas, lesu, membran mukosa sedikit kering. Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan resiko perdarahan yang dilakukan penulis didapatkan masalah belum teratasi, karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil, tidak ada tanda-tanda perdarahan (ptekie, mimisan, perdarahan pervagina), trombosit 55 ribu/ul, tampak lemas.
73
Evaluasi pada hari kedua, tanggal 11 April 2014 pukul 14.30 pada masalah keperawatan nyeri akutteratasi dan sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil
yang
diharapkan.
Hasil
evaluasi
pada
masalah
keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang dilakukan penulis belum teratasi, karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil, berat badan 16 kg, Hb 13 gr/dl, menghabiskan 1/3 porsi makan yang disediakan. Evaluasi pada masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan teratasi, karena sudah sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan. Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan resiko perdarahan, didapatkan hasil belum teratasi karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan, trombosit 85 ribu/ul, tidak pucat, tidak ada tanda perdarahan. Belum teratasinya masalah keperawatan resiko perdarahan dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada An. L dikarenakan, keterbatasanwaktu pengelolaan. Waktu pemberian terapi guided imagery yang diberilkan penulis pada An. L sesuai dengan jurnal. Dalam penelitian Maryam dan Widodo pemberian Guided imagery menggunakan audio (MP4) yang diberikan selama prosedur pemasangan infus sampai selesai. Rekaman yang diberikan berdurasi 10 menit. Dalam penelitian Anggraini (2012), pemberian terapi guided imagery yang digunakan untuk mengurangi nyeri abdominal fungsional pada anak.
74
Berdasarkan laporan dari orang tua 63,1 % anak-anak dikelompok standart medical care + guided imagery merasakan adanya penurunan nyeri dan dikelompok yang hanya mendapat standart medical care sebesar 26.7 % merasakan adanya penurunan nyeri. Berdasarkan laporan dari anak 52,6 %, anak-anak dikelompok standar medical care + guided imagery merasakan adanya penurunan nyeri dan dikelompok standart medical care 33,3 %. Pemberian guided imagery pada An. L dilakukan selama 2 hari, waktu yang diperlukan kurang lebih 10 menit, karena durasi vidio yang diberikan selama 6 menit, dan penjelasan prosedur membutuhkan waktu kurang lebih 4 menit.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan dan Saran 1. Kesimpulan Setelah penulis melakukan pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi tentang pemberian audio visual recordedguided imagery therapy terhadap penurunannyeri pada asuhan keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever di ruang Melati 2 rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta maka dapat ditarik kesimpulan : a. Pengkajian Pasien mengatakan nyeri, nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul, dengan durasi waktu kurang lebih 10 detik, ekspresi wajah tampak nyengir saat dilakukan palpasi diperut, pasien juga melaporkan adanya nyeri diperut, dan menunjukkan daerah yang sakit. Pasien mengatakan badannya lemas, minum 5-6 kali sehari masing-masing 1/3 gelas kecil, minum air putih dan teh hangat, pasien tampak lemas, mukosa bibir kurang lembab (sedikit kering), cubitan di perut kembali kurang dari 2 detik, balance cairan tanggal 11 April 2014 jam 13.00, +180 cc. Pasien mengatakan tidak nafsu makan, makan 3 kali sehari, habis 1/3 porsi makan yang disediakan rumah sakit, berat badan 16
75
76
kilogram, WAZ -2,73 status gizi kurang, IMT 10,73 berat badan kurang. Pasien mengatakan lemes, data obyektif pasien tampak lemah, trombosit 55 ribu/ul. b. Diagnosa Keperawatan Dari data pengkajian, penulis merumuskan diagnosa dan membuat pioritas diagnosa keperawatan yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia). Diagnosa keperawatan yang kedua, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Diagnosa keperawatan yang ketiga resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (kebocoran plasma). Diagnosa keperawatan yang keempat resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati inheren (trombositopenia) c. Intervensi Intervensi yang dibuat oleh penulis pada diagnosa yang pertama, observasi reaksi nonverbal; lakukan pengkajian nyeri provocate, kualitas, lokasi, skala, dan waktu nyeri; monitor tanda-tanda vital; tingkatkan istirahat; gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien, ajarkan teknik non farmakologi (guided imagery); kolaborasi pemberian analgetik. Intervensi
yang
akan
dilakukan
penulis
pada
diagnosa
keperawatan yang kedua, monitor intake nutrisi, monitor mual muntah, monitor adanya penurunan berat badan, monitor kadar hemoglobin,
77
albumin, hematokrit, anjurkan makan selagi masih hangat, anjurkan pasien meningkatkan makanan protein, berikan informasi tentang kebutuhan (pentingnya) nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori dan nutrisi. Intervensi
yang
akan
dilakukan
penulis
pada
diagnosa
keperawatan yang ketiga, Intervensi yang akan dilakukan monitor tanda-tanda vital, monitor status cairan, monitor intake cairan, monitor hemoglobin dan hematokrit, monitor status hidrasi, pertahankan catatan intake dan output yang adekuat, dorong masukan oral (minum) yang adekuat, jelaskan pentingnya minum, kolaborasi pemberian cairan intravena. Intervensi
yang
akan
dilakukan
penulis
pada
diagnosa
keperawatan yang ke empat, monitor adanya tanda-tanda perdarahan, monitor nilai laboratorium (trombosit), monitor statuscairan, lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan, pertahankan bedrest total, anjurkan pasien meningkatkan
makanan yang
mengndung vitamin K, kolaborasi pemberian cairan intra vena, kolaborasi pemeriksaan laboratorium (trombosit) secara rutin. d. Implementasi Penulis melakukan implementasi berdasarkan perencanaan yang penulis tetapkan sebelumnya. Namun pada masalah nyeri akut, penulis tidak
melakukan
intervensi
kolaborasi
pemberian
(parasetamol), karena tidak diadanya advis dari dokter.
analgetik
78
e. Evaluasi Setelah penulis melakukan implementasi, penulis melakukan evaluasi selama 2 kali 24 jam didapatkan hasil, masalah keperwatan nyeri akut teratasi, masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan
teratasi,
masalah
keperawatan
resiko
perdarahan
dan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi. f. Analisa Pemberian
tindakan
keperawatan
terapi
audio
visual
recordedguided imageryyang diberikan selama dua hari, mampu menurunkan intensitas nyeri pada An. L, dengan skala nyeri 4 menjadi 2.
2. Saran Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan DHF penulis akan memberikan usulan dam masukan yang positif khususnya dibidang kesehatan antara lain : a. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit) Rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun dengan klien, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan khususnya bagi klien yang memngalami nyeri dengan DHF.
79
b. Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat Hendaknya para perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan yang baik dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan yang lain dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien DHF, keluarga, perawat dan tim kesehatan lain mampu membantu dalam kesembuhan klien serta memenuhi kebutuhan dasarnya. c. Bagi Institusi Pendidikan Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas sehingga dapat mengasilkan perawat yang profesional, terampil, inovatif dan bermutu dalam memberika asuhan keperawatan secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.
80
Daftar Pustaka
Andarmoyo, S. (2013). Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta: ARRuzz Media. Anggraini, Temmy L. (2012). Penggunaan Audio Recorded Guided Imagery Therapy Untuk Mengurangi Nyeri Abdominal Fungsional Pada Anak. Tesis. Program Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Anak Universitas Indonesia.Jakarta.http://pkko.fik.ui.ac.id/files/Penggunaan%20audio%20re corded%20guided%20imagery%20untuk%20mengurangi%20nyeri%20ab domen%20fungsional%20pada%20anak.pdf . Diakses tanggal 9 April 2014 jam 20.00 WIB. Anies. (2006). Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Firdaus, A. (2011). Piawai Jadi Dokter Anak Untuk Keluarga. Jogjakarta: DIVA Pres. Grana, H. (2012). Buku Ajar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta: CV Sagung Seto. Handarwan, Nadesul. (2007). Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Ikatan Apoteker Indonesia. (2010). Informasi Spesialis Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI. Judha, M., Sudarti, dan A. Fauziah. 2012. Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan. Yokyakarta: Nuha Medika. Kusyati, Eni. (2006). Ketrampilan Dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC. Mariyam dan S. Widodo. (2012). Pengaruh Guided Imagery Terhadap Tigkat Nyeri Anak Usia 7-13 Tahun Saat Dilakukan Pemasangan Infus di RSUD Kota Semarang. Seminar Hasil-Hasil Penelitian. LPPM UNIMUS Semarang.
81
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/515/564.Di akses tanggal 09 April 2014 jam 19.00 WIB. Novarenta, A. (2013). Guided Imagery untuk Mengurangi Rasa Nyeri Saat Menstruasi.
Vol.
01.
Jurnal.
Fakultas
Psikologi
Universitas
MuhammadiyahMalang. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1575/1671. Diakses pada tanggal 20 April 2014, jam 13.10 WIB. Novel, Sinta S. (2011). Ensiklopedi Penyakit Menular dan Infeksi. Yogyakarta: Familia. Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas Anak Bedah Penykit Dalam. Yogyakarta: Nuha Media. Nurarif, Amin dan Hardi, K. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA ( North American Nursing Diagnosis) NIC NOC. Jilid 1. Jakarta: Media Action Publishing . Nursalam, R. Susilaningrum, dan S. Utami. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Jakarta: Salemba Medika. Rahayu, M., T. Baskoro, dan B. Wahyudi. (2010). Studi Kohort Kejadian Demam Berdarah Dengue. Volume 26, No 4. Jurnal. Berita Kedokteran Masyarakat.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1575/ 1671. Diakses tanggal 20 April 2014, jam 13.00. Ricwanto, F., R. Hestiningsih dan L D. Saraswati. (2013). Hubungan Kejadian Keberadaan Tempat Perindukan Nyamuk Aedes Aegypti dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Tiga Kelurahan Endemis Kota Palangkaraya Tahun 2012. Volume 2, Nomor 2. Jurnal kesehatan Masyarakat.FKM UNDIP. http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm. Diakses tanggal 13 April 2013 jam 10.00 WIB. Sayono, D. Syafrudin, dan D. Sumanto. (2012). Distribusi Resistensi Nyamuk Aedes Aegypti terhadap Insektisida Sipermetrin di Semarang. Seminar Hasil-hasil
Penelitian.
LPPM
UNIMUS
Semarang.
http://jurnal.unimus.ac.id. Diakses tanggal 12 April 2014 jam 10.20 WIB.
82
Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan KeperawatanTeori dan Praktek. Edisi Pertama. Yogyakarta: Cetakan Pertama. Graha Ilmu. Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue Dengue Haemorrhagic Fever. Jakarta: CV Sagung Seto. Soegijanto, S. (2012). Demam Berdarah Dengue. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Suriadi dan R. Yuliani. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto. Widagdo. (2012). Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam. Jakarta: CV Sagung Seto. Widiyanto, T. (2007). Kajian Manajemen Ligkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa Tengah. Tesis. Magister Kesehatan Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. http://eprints.undip.ac.id/17910/1/TEGUH_WIDIYANTO.pdf.
Diakses
tanggal 20 April 2014, jam 13.00 WIB. Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Semarang: Erlangga. Wijayaningsih, Kartika S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: CV Trans Info Media. Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.