PIDATO KETUA UMUM
KEBIJAKAN UNTUK PETANI : Pemberdayaan untuk Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang Memberdayakan (Policy for Farmers: Empowerment for Growth, Growth to Empower)
Bayu Krisnamurthi (Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia 2011 – 2014)
Disampaikan pada Pembukaan Konferensi Nasional XVII dan Kongres Nasional XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Bogor, 28 Agustus 2014
KEBIJAKAN UNTUK PETANI: PEMBERDAYAAN UNTUK PERTUMBUHAN DAN PERTUMBUHAN YANG MEMBERDAYAKAN (Policy for Farmers: Empowerment for Growth, Growth to Empower)
oleh Bayu Krisnamurthi Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia 2011-2014
Disampaikan Pada Pembukaan KONFERENSI NASIONAL XVII DAN KONGRES XVI PERHIMPUNAN EKONOMI PERTANIAN INDONESIA (PERHEPI)
Bogor 28 Agustus 2014
1
KEBIJAKAN UNTUK PETANI: PEMBERDAYAAN UNTUK PERTUMBUHAN DAN PERTUMBUHAN YANG MEMBERDAYAKAN (Policy for Farmers: Empowerment for Growth, Growth to Empower)
Pembukaan: Pertanian Menjawab Tantangan Besar Konperensi Perhepi yang ke XVII ini diselenggarakan pada periode waktu yang penuh dengan perubahan. Kita baru saja menyaksikan dan terlibat dalam perubahan bangsa Indonesia menuju masyarakat dengan kematangan demokrasi yang membanggakan, mampu melaksanakan salah satu Pemilihan Umum terbesar didunia dengan lebih dari 130 juta pemilih dengan tertib, aman, dan damai melaksanakan hak demokrasinya baik untuk memilih perwakilannya di parlemen maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Kita juga akan melewati perubahan pemerintahan yang akan kita jaga untuk bisa berlangsung lancar, konsitusional, bermartabat, dan penuh kewibawaan. Sejalan dengan itu, kita juga melihat ekonomi Indonesia yang berkembang dan berubah menjadi lebih baik, meskipun tidak dipungkiri masih banyak masalah dan tantangan yang dihadapi. Dalam 10 tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5,6% per tahun. Pendapatan per kapita masyarakat Indonesia juga naik sekitar tiga setengah kali lipat atau 13% per tahun pada periode yang sama, yaitu dari
2 sekitar Rp 10,5 juta atau USD 1.161 per tahun ditahun 2004 menjadi Rp 37 juta atau USD 3.475 per tahun di tahun 2013; sesuai Indikator Ekonomi Bank Dunia. Sejalan dengan itu UNDP Human Development Report 2014 juga menjelaskan bahwa Human Development Index Indonesia (HDI) meningkat dari 0,640 pada tahun 2005 menjadi 0,684 tahun 2013. Perkembangan menggembirakan itu ditopang oleh peningkatan daya beli masyarakat, adanya bonus demografi, dan bertambahnya 8 juta konsumen kelas menengah Indonesia per tahun. Fakta-fakta ini telah disampaikan pada Pidato Kenegaraan Presiden RI 15 Agustus 2014 yang lalu. Namun demikian, ekonomi Indonesia juga tetap masih menghadapi tantangan-tantangan besar yang tidak ringan, yaitu tantangan untuk dapat terus menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi kemiskinan, mengatasi kesenjangan ekonomi, membangun infrastruktur, meningkatkan ketahanan pangan, membangun ketahanan energi, dan menjaga kelestarian lingkungan. Tantangan-tantangan itu terkait satu sama lain. Penyelesaian satu masalah membutuhkan penanganan masalah lain, tetapi apa bila satu masalah bisa diselesaikan maka akan memudahkan penyelesaian masalah lainnya. Kita bisa mulai dengan mendalami masalah kesempatan kerja dan kesenjangan ekonomi. Pengangguran terbuka di Indonesia telah menurun dari sekitar 11% tahun 2004 menjadi 6% tahun 2013. Jumlah absolut angkatan kerja yang menganggur juga menurun secara signifikan. Namun hal ini tidak boleh membuat kita menganggap bahwa masalah pengangguran telah selesai. Masalah ‘disguised unemployment’ dan ‘underemployment’ masih harus kita
3 perhatikan, terlebih karena data juga menunjukkan bahwa porsi pengangguran muda terdidik ternyata naik dari 41% tahun 2004 menjadi 47% tahun 2013. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan kesempatan kerja harus lebih berkualitas, dan mampu menampung pertambahan pencari kerja yang semakin terdidik. Disisi lain, kesenjangan ekonomi Indonesia menunjukkan situasi yang memburuk. Pada tahun 2005 indeks Gini Ratio Indonesia mencapai angka 0,36 tetapi tahun 2013 angkanya menjadi 0,41 yang berarti kesenjangan ekonomi yang melebar. Kesenjangan adalah masalah ekonomi yang serius karena dapat berimplikasi pada peningkatan tekanan kerawanan sosial. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dapat menjaga perkembangan yang bukan hanya memberi kesempatan sama bagi semua pelaku ekonomi tetapi justru memberi kesempatan lebih bagi pelaku ekonomi mikro dan kecil. Perkembangan ekonomi kedepan harus mampu menurunkan kesenjangan. Teori ekonomi dan pengalaman empiris berbagai negara menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan prasyarat; a necessary condition; bagi penciptaan kesempatan kerja. Bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah 6-7% per tahun secara berkesinambungan selama 5-10 tahun kedepan. Tetapi itu saja tidak cukup. Indonesia membutuhkan ‘sufficient condition’ yaitu perkembangan ekonomi yang mampu menekan kesenjangan ekonomi dengan target setidaknya indeks Gini Ratio kurang dari 3,0 serta penciptaan kesempatan kerja yang dapat menampung pertambahan
4 tenaga kerja muda terdidik. Jadi tantangan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun kedepan adalah untuk dapat mengupayakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5,2% saat ini menjadi 6-7%, diiringi upaya penurunan indeks Gini Ratio dari 4,1 saat ini menjadi paling tidak 3,0; serta upaya khusus untuk peningkatan kesempatan kerja sebesar-besarnya bagi angkatan kerja muda yang terdidik. Sejarah telah memberi pelajaran berharga bahwa pertanian memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia dengan menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi, memberi kontribusi dalam pertumbuhan, mengurangi kemiskinan dan memperkecil kesenjangan. Pertanian adalah sumber pangan, kebutuhan pokok masyarakat yang paling penting, yang juga berkontribusi besar dalam menjaga stabilitas dan mengendalikan inflasi. Pertanian adalah bagian penting dalam rantai pasokan berbagai produk industri, menciptakan kesempatan kerja yang tidak hanya dari pertanian sendiri; dan memberi kontribusi signifikan terhadap perolehan devisa dari ekspor non migas. Salah satu kesimpulan penting dalam pelajaran ekonomi pembangunan Indonesia dan juga menjadi pengalaman negara lain adalah apabila pertanian berkembang dengan baik, maka akan selalu berdampak positif bagi perkembangan ekonomi secara keseluruhan; dan sebaliknya, apabila pertanian terganggu perkembangannya maka ekonomi Indonesia secara keseluruhan juga dapat terpengaruh. Pertanian Indonesia memiliki karakteristik struktural yang memungkinkan untuk menggabungkan pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kesenjangan. Artinya, pembangunan pertanian dapat berdampak ganda:
5 pertumbuhan ekonomi meningkat, kesenjangan menurun. Hal ini dimungkinkan karena masing-masing subsektor pertanian memiliki struktur usaha yang berbeda. Tanaman bahan pangan – termasuk hortikultura didalamnya – diusahakan hampir seluruhnya oleh petani perorangan berskala kecil. Pengusahaan sawit terdiri dari skala besar dan kecil masingmasing sekitar 42%; berbeda dengan pengusahaan kakao, kopi, atau kelapa yang lebih dari 90% diusahakan oleh perkebunan rakyat skala kecil. Pada peternakan sapi sekitar 70% produksi dihasilkan oleh peternakan rakyat tetapi dengan pola usaha yang cenderung bukan sepenuhnya komersial. Sedangkan pada peternakan unggas, 80% produksi diusahakan bisnis skala menengah besar tetapi 70% penjualan ecerannya didominasi oleh pasar rakyat dan pengecer kecil. Perbedaan-perbedaan struktural antar subsektor pertanian itu jelas tidak dapat diabaikan, bahkan harus sangat diperhatikan karena dapat digunakan untuk mencapai tujuan berganda pembangunan ekonomi. Perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan dan IPB menggunakan data time series Indonesia dalam 40 tahun terakhir memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa tujuan pertumbuhan ekonomi nasional 6-7% dan penurunan kesenjangan dengan target indeks Gini Ratio dibawah 3,0 dapat dicapai dengan pertumbuhan pertanian yang memadai. Artinya, dengan mengasumsikan bahwa pertumbuhan industri dan ekspor setara dengan rata-rata 20 tahun terakhir yaitu masing-masing 8% per tahun dan 5% per tahun, maka pertumbuhan ekonomi nasional 6-7% per tahun dapat dicapai dengan pertumbuhan pertanian sekitar 4,5% per tahun. Saat ini pertumbuhan pertanian mencapai 3,5% per tahun dan
6 berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 55,5% per tahun. Apabila ditambahkan tujuan pembangunan ekonomi untuk mengurangi kesenjangan hingga Gini Ratio maksimal 3,0; maka tujuan itu dapat dicapai dengan memberikan penekanan yang berbeda pada peningkatan pertumbuhan masing-masing subsektor. Skenario terbaik yang dapat diusulkan adalah bahwa pertumbuhan bahan makanan harus ditingkatkan dari 3,5% per tahun saat ini menjadi setidaknya sekitar 4,5%, pertumbuhan perkebunan dari 4,9% saat ini menjadi sekitar 5,2% per tahun dan mempertahankan pertumbuhan peternakan saat ini sebesar 4,8% per tahun.
Basis Ketiga Pembangunan Pertanian: Respon Pasokan, Berselancar Dengan Gelombang Konsumsi Target pertumbuhan pertanian diatas tidak hanya terkait dengan perekonomian secara makro tetapi juga memiliki makna strategis bagi pertanian dan petani. Target pertumbuhan yang diletakkan dalam kepentingan ekonomi nasional jelas menunjukkan bahwa membangun pertanian itu tidak hanya untuk kepentingan pertanian sendiri, tetapi untuk kepentingan ekonomi yang lebih luas. Namun tentu saja, pertanian tidak dapat memberikan kontribusi secara makro jika pertanian tidak berkembang; dan lebih dari itu tidak ada artinya pertumbuhan ekonomi sektor pertanian terjadi tetapi pendapatan petani menurun atau stagnan. Bukan itu yang kita inginkan. Target pertumbuhan pertanian yang 4,5% itu harus dapat dicapai sejalan dengan pertambahan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan petani;
7 kelestarian sumberdaya pertanian yang terjaga; daya saing pertanian yang meningkat. Petani dan keluarga tani, serta wilayah pedesaan harus tetap menjadi fokus perhatian dalam setiap usaha pembangunan pertanian dan harus menjadi indikator terpenting dalam pertumbuhan sektor pertanian. Oleh sebab itu, strategi yang dipergunakan untuk membangun pertanian harus tepat, realistis dan berbasis pada pemahaman yang benar dan utuh terhadap pertanian dan petani. Apabila kita telaah sejarah pertanian Indonesia 45 tahun terakhir, maka ada dua basis strategi pembangunan pertanian yang secara fundamental telah merubah dan mengembangkan pertanian yaitu pendayagunaan teknologi dan peran pemerintah. Namun dari perjalanan sejarah itu pula kita belajar bahwa tidak dapat mengharapkan hasil yang berbeda dimasa depan jika kita saat ini masih tetap melakukan hal yang sama seperti masa lalu. Teknologi dan peran pemerintah masing-masing atau bersama-sama terbukti dapat menjadi perubah keadaan sedemikian sehingga proses pembangunan pertanian tidak hanya ‘business as usual’ semata. Tahun 1970an, Program Bimas adalah contoh nyata sebuah program raksasa yang menggabungkan teknologi dan rekayasa kelembagaan dengan peran pemerintah yang dominan merubah keadaan kekurangan pangan di Indonesia menjadi berswasembada bahkan surplus. Program PRPTE, UPP, PIR, Inti-Plasma sejak tahun 1980an dan Gernas tahun-tahun terakhir ini merupakan contoh aplikasi pengaturan kelembagaan oleh pemerintah yang dipadukan dengan teknologi terkini pada jamannya yang mampu meningkatkan produksi perkebunan. Contoh lain adalah program Bongkar Ratoon tanaman tebu
8 yang dilakukan awal dekade 2000an juga merupakan bentuk peran pemerintah didukung oleh aplikasi teknologi yang tepat. Atau program penggunaan bibit unggul bersertifikat ditahun 2007-2008 didukung subsidi benih oleh pemerintah telah mampu meningkatkan produksi padi pada tingkatan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Pendeknya, aplikasi teknologi yang sesuai dan peran pemerintah merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan pertanian masa lalu dan tetap merupakan basis pembangunan pertanian yang diharapkan untuk mencapai target-target pembangunan pertanian 5-10 tahun kedepan. Namun alternatif kebijakan dan ruang gerak penggunaan kedua basis pembangunan pertanian itu tidak lagi seleluasa dulu. Kita harus benar-benar cermat menelaah dan mendalami pilihan-pilihan teknologi yang tersedia, yang meskipun ada yang belum didaya-gunakan hingga saat ini tetapi telah semakin terbatas pilihannya. Bio-teknologi, teknologi pasca-panen dan teknologi yang meminimumkan jejak karbon pertanian kiranya merupakan pilihan yang dapat ditelaah lebih lanjut untuk digunakan. Pemerintah juga menghadapi banyak keterbatasan, baik dari sisi anggaran maupun institusi. Pemerintah tidak lagi seleluasa dulu, karena memang kehidupan politik dan pemerintahan telah berubah. Ada disiplin, proses dan jadwal yang harus diikuti – misalnya dalam penganggaran, yang kadang memang tidak seirama dengan jadwal tanam atau kegiatan pertanian lainnya; juga adanya peran yang harus dibagi sesuai tugas dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Diperlukan pemahaman yang mumpuni di-dua-sisi: manajemen pemerintahan dan kegiatan pertanian di
9 lapangan, untuk dapat menjembatani keduanya sehingga dapat diperoleh hasil yang seperti diharapkan. Oleh sebab itu, meskipun aplikasi teknologi dan peran gerak pemerintah akan tetap diperlukan dan tetap akan menjadi basis utama pembangunan pertanian kedepan, tetapi daya ungkitnya diperkirakan tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya. Kita memerlukan faktor penggerak lain, dan faktor itu harus cukup besar daya geraknya sehingga pertanian dapat ‘menaikinya’ untuk mendorong pertumbuhan yang diharapkan. Faktor ini adalah perkembangan konsumsi dan peningkatan permintaan masyarakat terhadap produk pertanian. Peningkatan permintaan adalah proses yang akan terus terjadi secara natural dan kian lama akan kian menentukan. Penggerak pertamanya adalah pertumbuhan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan konsumsi untuk produk pangan dan pertanian, tidak hanya secara kuantitas tetapi juga kualitas. Kualitas menjadi penting terkait dengan asupan gizi yang baik. Dalam 10 – 15 tahun ke depan, dimana Indonesia akan mengalami periode deviden demografis dengan dominasi penduduk muda dan energik akan semakin membutuhkan asupan gizi yang semakin beragam dan berkualitas. Kenaikan permintaan produk pangan dan pertanian baik dari sisi kuantitas maupun kualitas juga akan didorong oleh peningkatan kelas menengah (middle-income class), yaitu mereka yang berpendapatan lebih dari Rp 60 juta per tahun. Dalam 10 – 15 tahun ke depan middle-income class di Indonesia akan naik dua kali lipat dan pada tahun 2030 di Indonesia akan terjadi pertumbuhan kelas menengah yang juga akan menjadi
10 kelompok masyarakat berkonsumsi tinggi (consuming class) menjadi 135 juta jiwa dari 45 juta jiwa pada tahun 2012, sebagaimana dilaporkan McKinsey Global Institute tahun 2012 lalu. Jumlah itu sangat besar, kira2 sama dengan tiga puluh kali penduduk Singapura atau sepuluh kali penduduk Jabodetabek atau lima kali jumlah penduduk Malaysia saat ini. Pada tahun 2020 saja diperkirakan penduduk Indonesia sudah mencapai 270 juta orang, dengan 75 juta termasuk kelas menengah. Peningkatan permintaan tersebut sudah terjadi saat ini. Selain angka-angka pertumbuhan penduduk dan khususnya kelas menengah, peningkatan permintaan juga ditunjukkan oleh indikator-indikator lain. Pertumbuhan bisnis eceran (retail), baik dalam jumlah gerai maupun omset toko dan pusat belanja, tumbuh antar 7% hingga 19% dalam 10 tahun terakhir. Urbanisasi juga berkembang sangat pesat. Terdapat sekitar 20 kota menengah di Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata lebih dari 10% per tahun dalam 10 tahun terakhir. Urbanisasi juga mendorong berkembangnya bisnis distribusi dan logistik serta penopangnya yaitu bisnis otomotif, alat angkut, dan trasnportasi; yang juga mencapai pertumbuhan dua digit. Perkembangan ini juga sejalan dengan perkembangan penerapan sistem rantai pasokan pada hampir seluruh bisnis pangan dan pertanian. Timmer dan Reardon dalam beberapa studinya menyebutkan fenomena ini sebagai ‘supply chain and retail revolution’. Pendeknya, permintaan telah dan akan terus berubah, bertumbuh dan berkembang dengan laju yang tinggi.
11 Ternyata perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan permintaan itu tidak ditentukan oleh ada tidaknya pasokan dari dalam negeri. Jika permintaan itu tidak menemukan pemasoknya didalam negeri – dalam hal jumlah dan terutama kualitas – maka permintaan ini akan mencari pemasoknya dari luar negeri. Itulah yang terjadi dengan impor produk pangan pertanian. Perkembangan impor gula, kedelai, sapi dan jagung lebih ditentukan oleh peningkatan permintaan. “Demand create its own supply”. 6.000
Gula 2.500 2.000 ribu ton
ribu ton
4.000 3.000 2.000
1.500 1.000
1.000
500
-
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Konsumsi
2004
Impor
Daging Sapi dan Sapi Bakalan
16.000
650
14.000
600
12.000
550
10.000
500 450
2005
2006
2007
Konsumsi
ribu ton
ribu ton
700
Kedele
3.000
5.000
2008
2009
2010
2011
Impor
Jagung
8.000 6.000
400
4.000
350
2.000 -
300 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Konsumsi
Impor
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Konsumsi
Impor
Sumber: BPS dan Susenas, diolah
Gambar 1. Perkembangan Konsumsi dan Impor Beberapa Produk Pertanian
12 Jika permintaannya memang nyata dan impor dibatasi tanpa solusi maka seketika yang akan berakibat pada terjadinya peningkatan harga atau inflasi. Kita telah mengalami hal tersebut beberapa kali, termasuk pengalaman dengan bawang putih, daging sapi, dan kedele. Oleh sebab itu, pertanyaannya bukanlah untuk menghentikan peningkatan permintaan, juga bukan hanya sekedar menutup-nutup masuknya impor produk pangan dan pertanian, tetapi bagaimana menggunakan perkembangan permintaan itu sebagai sebuah kesempatan dengan membangun respon pasokan dari produk-produk pertanian dalam negeri, yang sekaligus juga akan menjadi kesempatan bagi pertanian untuk “mengendarai permintaan” atau “berselancar dengan gelombang konsumsi” dan menjadikannya sebagai basis bagi strategi pembangunan pertanian kedepan. Apabila hal ini dilakukan, maka tidak hanya kita dapat mengamankan ekonomi kita dari ketidak pastian ekonomi global, kita bahkan dapat menjadi pemasok juga untuk pertumbuhan permintaan yang terus terjadi dinegara lain. Menurut United State Department of Agriculture (USDA) dan Goldman Sachs Commodities Research tahun 2014, sejak tahun 2004 permintaan hasil pertanian untuk kebutuhan pangan, pakan, serat dan biofuel terus mengalami kenaikan yang tinggi. Dalam hal ini pertumbuhan kebutuhan biofuel laju pertumbuhannya lebih tinggi dibanding untuk pakan, pangan dan serat. Hal ini menimbulkan persaingan yang semakin tinggi pada penggunaan hasil pertanian untuk keperluankeperluan tersebut. Indikasi yang paling mudah terlihat adalah pada pergerakan harga hasil pertanian. OECD dan FAO (2014) menyimpulkan bahwa era harga pangan murah sudah berakhir. Saat ini, harga pangan dan hasil pertanian
13 lainnya berada pada tingkat keseimbangan baru dengan tingkat harga yang lebih tinggi. Dengan demikian respon dari sisi pasokan di dalam negeri adalah suatu keharusan.
Sumber: USDA dan Goldman Sachs Commodities Research (2014)
Gambar 2. Perkembangan Penggunaan Produk Pertanian Untuk Pangan, Pakan dan Bahan Bakar
Ketergantungan pangan dan pertanian dari negara lain benarbenar harus dikurangi, karena menggantungkan supply dari negara lain juga akan semakin sulit. Menurut OECD dan FAO (2014) pertumbuhan produksi pangan di dunia diproyeksikan mengalami perlambatan di semua negara (negara maju, negara berkembang dan negara kurang berkembang). Kondisi itu muncul karena adanya hambatan seperti peningkatan biaya produksi, berkurangnya investasi
14 penelitian dan pengembangan di bidang pangan serta keterbatasan lahan. Dalam hal ini perlu pula dikemukankan kemampuan pertanian Indonesia memasok pasar dunia. Tahun 2013 Indonesia mengimpor produk pangan senilai USD 9,5 milyar, dengan 76% diantaranya didominasi oleh gandum, gula, kedele, jagung, dan susu. Tapi pada tahun 2013 Indonesia juga mengekspor produk pangan senilai USD 11,6 milyar atau total perdagangan pangan surplus lebih dari USD 2 milyar. Hal ini mengindikasikan Indonesia juga berpeluang untuk mengembangkan kemampuan pasokannya merespon permintaan pasar dunia.
Memberdayakan Petani Untuk Pertumbuhan Diawal tulisan ini telah dikemukakan bahwa tujuan kita bukan hanya pertumbuhan tapi juga mengurangi kesenjangan. Lebih dari itu kita juga ingin memberi kesempatan kerja bagi tambahan kerja muda terdidik. Oleh sebab itu, fokus utama dari usaha pembangunan pertanian kedepan tetap harus bertumpu pada peran dan kegiatan petani. Tiga basis yang telah diajukan yaitu penerapan teknologi yang sesuai, dukungan dan peran pemerintah, serta memanfaatkan peningkatan permintaan; harus tetap menempatkan petani dan usahataninya sebagai subjek sentralnya. Sentralitas petani itu juga perlu diterapkan dalam memandang rantai pasokan yang memang diperlukan dalam menghubungkan produksi petani dengan permintaan konsumen.
15
Aplikasi teknologi yang
Rantai pasokan/
Petani
Peningkatan
permintaan
Dukungan dan kebijakan pemerintah
Gambar 3. Sentralitas Petani
Petanilah yang harus mampu untuk membangun respon pasokan menjawab peningkatan permintaan. Petani pulalah yang harus mendapat manfaat terbesar dari perkembangan tersebut. Dan jika petani belum mampu, atau saat ini belum menjadi pihak yang mendapat manfaat terbesar dari perkembang itu, maka dukungan dan kebijakan harus diarahkan untuk merubah keadaan tersebut. Untuk itu kita perlu memahami bagaimana kondisi sebenarnya petani Indonesia saat ini. Dan kita beruntung, BPS baru saja menyampaikan laporan pertama hasil Sensus Pertanian 2013, dan Perhepi juga telah terlibat sejak awal dari pelaksanaan Sensus Pertanian itu melalui penanda-tanganan MOU dengan BPS.
16 Beberapa informasi dasar yang dapat diperoleh dari Sensus Pertanian 2013 mengenai kondisi petani Indonesia adalah bahwa jumlah petani telah berkurang sekitar 5,1 juta petani dalam 10 tahun terakhir. Hal ini bisa berarti positif, karena dapat diduga bahwa petani yang tetap berusahatani adalah petani yang memang semakin profesional dibidang pertanian. Namun yang kurang menggembirakan adalah bahwa saat ini lebih dari 60% petani Indonesia telah berumur diatas 45 tahun, bahkan sepertiga petani Indonesia berumur diatas 55 tahun. Lahan pertanian juga berkurang sekitar 5 juta hektar. Sejalan dengan itu; jumlah petani yang menguasai lahan dibawah 1 hektar turun 22%, tetapi diikuti dengan peningkatan jumlah petani yang menguasai lahan diatas tiga hektar naik 23%. Artinya, struktur usahatani menjadi lebih rasional jika dilihat dari aspek luasan lahan. Memahami kondisi tersebut, dapat direkomendasikan beberapa langkah strategis untuk membangun kapasitas petani merespon perkembangan permintaan konsumen dan mampu mendayagunakan teknologi yang sesuai.
1)
Reformasi Kebijakan Dukungan Langsung Kepada Petani
Hingga saat ini dukungan langsung Pemerintah yang selama ini diberikan kepada petani masih terfokus pada subsidi pupuk dan subsidi benih, setidaknya hal ini terlihat dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Realisasi APBN untuk subsidi pupuk pada tahun 2010 mencapai Rp. 18,4 triliun dan pada tahun 2014 dianggarkan sebesar Rp. 21 triliun. Untuk subsidi bibit, jumlah yang dianggarkan Pemerintah pada tahun 2014 sebesar Rp.
17 1,6 triliun. Apabila digabungkan, jumlah subsidi pupuk dan benih tahun 2014 – hampir Rp. 23 triliun – melebihi jumlah belanja Kementerian Pertanian pada tahun yang sama sekitar Rp 15 triliun dan jauh melebihi anggaran belanja Kementerian Riset dan Teknologi yang hanya mencapai Rp. 0,6 triliun. Disisi lain, banyak studi sudah menunjukkan bahwa pupuk kimia adalah input yang praktis sudah tidak lagi berpengaruh pada produktivitas. Artinya, penambahan pupuk tidak akan menambah produksi. Bahkan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan (karena murah) sudah menyebabkan rusaknya kesuburan tanah. Bappenas mencatat bahwa produktivitas lahan pertanian khususnya di Jawa sudah cenderung menurun karena kandungan C-organiknya sudah kurang dari 2% padahal batas minimumnya adalah 2,5%. Secara prinsip, subsidi pupuk adalah subsidi harga input akan subsidi produk. Padahal hakekat subsidi seharusnya adalah pada penerima (beneficiaries) yaitu petani. Disisi lain kontribusi intangible inputs (selain tenaga kerja dan modal) mulai menunjukkan peran penting dalam menghasilkan output sektor pertanian. Hal ini tercermin dari rata-rata Total Factor Productivity (TFP) Indonesia di sektor pertanian periode 2002-2011 sebesar 0,45%, mengalami peningkatan dibandingkan periode 1997-2001 yang justru menunjukkan angka negatif 0,92%. Oleh karena itu, dukungan langsung kepada petani perlu diformulasikan ulang. Subsidi pupuk memang bisa memberi manfaat mempertahankan sebagian biaya produksi relatif murah, tetapi tidak lagi memberi manfaat peningkatan produktivitas. Tanpa penambahan anggaran pemerintah, pengalihan subsidi pupuk ke berbagai kegiatan lain dapat lebih langsung
18 memberi manfaat bagi petani. Pengalihan itu dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan sebagai berikut: a. Riset dan Pengembangan, Aplikasi Teknologi dan Pendampingan Petani Riset dan pengembangan (R and D), aplikasi teknologi yang sesuai, dan pendampingan petani diperlukan untuk membantu petani merespon berbagai perkembangan yang dihadapinya langsung pada satuan wilayah dimana petani berada. Beberapa hal yang perlu menjadi fokus R and D pertanian adalah ketidak pastian iklim; jenis, kualitas, keragaman, kemasan produk, dan sistem pemasokan yang sesuai untuk berbagai pasar yang berkembang; akses terhadap layanan finansial, informasi, dan legal yang telah menjadi prasyarat menyertai produk yang dikembangkan. Bahkan juga untuk merespon prospek permintaan masa depan sejalan dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan produk pangan yang memenuhi standar keamanan, mutu, dan gizi. Peningkatan produksi pertanian melalui pemanfaatan teknologi dapat dilakukan melalui optimalisasi teknologi yang telah ada maupun dengan pengembangan/inovasi teknologi. Teknologi yang telah dikembangkan saat ini belum dapat direalisasikan dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh petani karena alasan mendasar seperti keengganan untuk mengadopsi teknologi baru, perbedaan sistem pertanian, perbedaan budaya daerah, maupun kurangnya pengetahuan bagaimana mengoperasikan teknologi pertanian dengan baik. Sementara itu, pengembangan teknologi pertanian haruslah tetap memperhatikan keberlanjutan ekosistem pertanian
19 dengan melakukan inovasi-inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan user friendly. Penyesuian teknologi yang sebenarnya sekarang sudah tersedia menjadi sesuatu yang dapat diaplikasikan dengan kondisi petani juga merupakan kebutuhan tersendiri. Dukungan teknologi bukan hanya dibutuhkan petani pada saat budidaya tanaman, tetapi juga dibutuhkan dalam pengolahan pascapanen. Seringkali, petani tidak dapat langsung menjual seluruh hasil panennya, baik dikarenakan harga jual yang belum cocok maupun belum menemukan konsumen yang tepat. Pada masa menunggu ini, diperlukan bantuan teknologi agar hasil panen tetap dalam kondisi yang baik dan segar sebelum pada akhirnya beralih ke tangan konsumen. Inovasi dan teknologi di bidang pertanian tidak akan dapat diaplikasikan dengan baik tanpa adanya tenaga penyuluh yang kompeten mendampingi petani. Kegiatan penyuluhan dapat diartikan sebagai proses alih teknologi dimana para petani diharapkan dapat mengaplikasikan dengan baik beragam teknologi yang telah dibuat oleh para inventor maupun peneliti. Selain itu, kegiatan penyuluhan dan pendampingan petani dapat dimaknai sebagai proses diseminasi dan transfer ilmu pengetahuan maupun pengalaman (edukasi) dalam pengolahan lahan pertanian yang telah sukses dilakukan (best practices) oleh petani lainnya.
20 b. Pengembangan Kelembagaan dan Kawasan Multiproduk serta Layanan Rantai Pasokan Pertanian Hingga saat ini limbah (waste) pertanian masih sangat besar. Selain karena masalah efisiensi, besarnya limbah terjadi utamanya karena konsep bisnis usahatani yang dikembangkan lazimnya hanya menekankan pada satu output produk. Usahatani padi lazimnya hanya dihitung nilainya dengan output gabah kering panen yang dihasilkan; sedangkan sekam, menir, jerami, dan lain-lain tidak diperhitungkan. Usaha kebun kakao hampir selalu dirancang untuk menghasilkan output biji kakao sedangkan daging buah kakao belum banyak dimanfaatkan. Dan seterusnya, banyak kegiatan usahatani yang dapat menjadi contoh pendekatan ‘single-product oriented’ itu padahal berpotensi menghasilkan multi-output atau multi produk. Masalah ini dapat diselesaikan dengan mengembangkan kawasan multiproduk berikut kelembagaannya. Satu kawasan sawah seluas 1000 hektar misalnya dapat dioptimalkan untuk menghasilkan 4-5 produk berbasis padi, termasuk membangkitkan energi tenaga biomasa dan produk bernilai tambah tinggi lainnya. Kawasan ini kemudian dapat juga dikembangkan sebagai satuan layanan rantai pasokan pertanian, mulai dari pengolahan, pengemasan, pengembangan merek, penyimpanan, angkutan, dan sebagainya. Ide ini juga telah dielaborasi dalam Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045. Diharapkan satuan kawasan pertanian tersebut juga dapat menjadi instrumen penghantaran (delivery instrument) dari sistem dukungan langsung kepada petani, yang menggantikan sistem subsidi petani yang kurang produktif. Jika dapat
21 dibayangkan adanya seribu satuan kawasan pertanian seluas masing-masing sekitar 1000 hektar, maka dukungan langsung kepada petani dapat diberikan untuk masingmasing kawasan tersebut; yang bentuk substansi dukungannya bisa dirancang sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing satuan. c. Dukungan Pembiayaan Langsung Kepada Petani Melalui satuan kawasan pertanian diatas, juga dapat dirancang dukungan pembiayaan langsung pula kepada petani, baik dalam bentuk investasi, kredit kerja, asuransi, leasing, dan sebagainya. Bahkan juga dapat digabungkan dengan pembiayaan personal bagi petani dan keluarganya atau juga bentuk program-program pemberdayaan lain baik untuk kepentingan perumahan, konsumsi, gizi, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
2)
Investasi Sektor Pertanian
Pendapatan nasional sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) tahun 2013 diperkirakan lebih dari Rp 1300 trilyun. Disisi lain seluruh anggaran pemerintah untuk pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) tidak lebih dari Rp 50 trilyun. Artinya pelaku utama pengembangan pertanian adalah petani dan pengusaha pertanian, bukan pemerintah Dalam usaha untuk mengatasi berbagai kendala dan untuk mengembangkan kegiatan pertanian lebih lanjut, investasi swasta dibidang pertanian dan pedesaan harus didorong dan dipacu. Investasi dibidang teknologi dan input-input pertanian semakin dibutuhkan. Investasi dibidang peternakan dirasakan
22 semakin mendesak. Investasi dibidang kemasan, penyimpanan dan pergudangan juga semakin penting. Pendeknya dibutuhkan investasi yang lebih besar diseluruh komponen rantai pasokan pertanian atau sistem agribisnis. Dan mendorong investasi pertanian ini menjadi strategi yang harus dikembangkan. Berbeda dengan sektor lain, meskipun urgensi investasi swasta di pertanian semakin tinggi, kegiatan ini harus dilakukan dengan memperhatikan paling tidak tiga panduan pokok. Pertama, investasi pertanian harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Pertanian adalah kegiatan yang intensif berinteraksi dengan alam, termasuk berbagai sumberdaya dan keaneka-ragaman hayatinya. Dengan demikian, pengembangannya harus justru bisa mempromosikan kelestarian sumberdaya alam itu dan bukan mengeksploitasi secara berlebihan. Kedua, investasi pertanian harus menjaga keseimbangan peran antara pengusaha besar dan petani kecil. Artinya, bukan hanya investasi skala besar harus dilakukan dengan menjadi petani sebagai mitra sejajar, tetapi juga perlu dikembangkan skim investasi skala kecil menengah yang memberi kesempatan bagi petani juga menjadi investor. Dan ketiga, investasi pertanian harus menerapkan teknologi dan sistem usaha yang maju dan bervisi masa depan. Hal ini penting karena kegiatan usaha pertanian tidak pernah merupakan usaha jangka pendek, tetapi selalu menjadi usaha jangka panjang. Apa yang diputuskan atau dilakukan hari ini akan berdampak panjang hingga 10-20 tahun kedepan, dan tidak mudah untuk mengoreksinya ditengah jalan. Jika investasi di bidang pertanian dan pedesaan dapat dilakukan dengan baik, maka hal itu tidak hanya akan
23 berdampak positif pada nilai tambah dan daya saing pertanian, tetapi juga dapat mengatasi dua masalah serius dalam perkembangan ekonomi Indonesia, yaitu penurunan efisiensi investasi dilihat dari peningkatan ICOR dari 4,2 tahun 2005 menjadi 4,5 tahun 2013 dan kualitas pertumbuhan ekonomi dalam penciptaan tenaga kerja yang juga menurun dari 436.000 kesempatan kerja per 1% pertumbuhan ekonomi ditahun 2008 menjadi 165.000 di tahun 2013. Investasi di pertanian dan pedesaan yang selama ini masih terbatas pengembangannya dapat mendorong ICOR menjadi lebih baik sekaligus meningkatkan efektivitas penciptaan tenaga kerja. 3)
Penanganan Isu-Isu Lintas Sektor dan Keterpaduan Pemerintah Pusat – Daerah
Butir-butir pemikiran diatas sangat membutuhkan dukungan dan sinkronisasinya dengan penyelesaian isyu-isyu lintas sektor. Pasokan energi dan infrastruktur menjadi faktor yang mutlak diperhatikan. Jika sektor pangan dan pertanian ditempatkan sebagai bisnis yang cukup menguntungkan, maka energi dan infrastruktur adalah suatu keharusan dan menjadi prioritas. Oleh sebab itu harus ada perhatian dan investasi yang serius untuk kedua elemen tersebut agar menciptakan positive externalities dan aktraktif bagi terjadinya akumulasi aktivitas pembangunan pertanian. Disamping itu, pembangunan pertanian dan pemberdayaan petani juga harus diarahkan agar petani teredukasi, berteknologi dan mampu berinovasi. Petanilah yang harus dimampukan dan diberdayakan. Menempatkan pangan dan pertanian sebagai bisnis atau industri yang menguntungkan
24 diharapkan juga menarik minat insan-insan bersumber daya dan tenaga kerja muda terdidik untuk berkarya di sektor pangan dan pertanian. Permasalahan sulitnya mendapatkan tenaga kerja pertanian diharapkan tidak terulang lagi karena pangan dan pertanian bukan lagi sebagai sektor inferior. Kurikulum pendidikan pertanian baik di sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi juga perlu menanamkan pemahaman bahwa pangan dan pertanian adalah sebuah industri. Oleh karena itu kurikulum perlu mendukung manajemen pertanian, riset pertanian, budidaya yang tepat (ramah lingkungan, berkesinambungan, berorientasi pada produktivitas, berkualitas), pengolahan hasil pertanian yang menghasilkan nilai tambah optimal, dan pengelolaan rantai pasok. Harapan agar pangan dan pertanian menjadi sebuah bisnis dan industri yang berkesinambungan juga bergantung bagaimana memecahkan masalah peralihan pemanfaatan lahan pertanian menjadi pemukiman, industri dan lain sebagainya. Permasalahan pemanfaatan lahan seringkali berujung konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa konflik agraria tahun 2013 mengalami peningkatan 86,36% dibandingkan tahun 2012. Selama tahun 2013, tercatat 369 konflik agraria dengan luasan mencapat 1,28 juta hektar. Konflik pemanfaatan lahan diantaranya disebabkan oleh tidak sinkronnya perundang-undangan, tumpang-tindih perizinan, maupun belum adanya pengakuan terhadap tanah adat/ulayat. Masalah-masalah ini juga harus mendapat perhatian seksama. Isu lain yang tidak kalah penting adalah keterpaduan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat
25 dan daerah adalah satu kesatuan yang memiliki satu kesepahaman dalam memperjuangkan: (i) petani sebagai insan bersumber daya yang tidak hanya ditempatkan sebagai buruh tetapi sebagai subjek pembangunan pertanian; (ii) sektor pangan dan pertanian sebagai sebuah bisnis/industri yang sangat menguntungkan; (iii) terjadinya efisiensi dalam pengelolaan rantai pasok produk pertanian; (iv) pertumbuhan investasi di sektor pangan dan pertanian; (v) ketersediaan dan keterjaminan energi dan infrastruktur; (iv) kepastian tata ruang untuk pertanian; dan (vii) peningkatan kualitas sumber daya insani di sektor pangan dan pertanian. 4)
Profesionalisme Birokrasi
Dengan pokok-ppokok pemikiran diatas harapannya dapat terbuka sebuah proses pembangunan pertanian yang memadukan secara jelas strategi dan praktik atau pelaksanaan. Artinya strategi harus dapat benar-benar langsung dilaksanakan, dan kegiatan yang dilaksanakan harus benar-benar terpilih sehingga bersifat strategis dan berdampak luas. Hal ini terlebih dari manajemen pemerintahan dibidang pertanian. Beberapa pemikiran dapat disampaikan sebagai berikut: Pertama, sejogjanya pemahaman atas sektor pertanian adalah sebagai “Pangan dan Pertanian” dimana dalam hal “pangan” sektor ini memiliki lingkup yang lebih menyeluruh dibanding posisi ‘pertanian’ saat ini. Dan dalam “Pangan dan Pertanian” khusus untuk kebijakan hulu-hilir pangan berada dalam satu kesatuan pengelolaan. Kedua, perlu pula digaris bawahi bahwa pembahasan tentang “birokrasi pemerintahan dibidang pertanian” adalah juga menyangkut pengelolaan negara
26 dalam keseimbangan desentralisasi dan kesatuan birokrasi pemerintahan antara pusat dan daerah. Artinya perlu benarbenar disadari bahwa pusat dan daerah tidak dapat lagi berjalan sendiri-sendiri. Daerah memiliki lingkup kewenanngannya pengelolaannya, pusat juga memiliki tugas dan kewajibannya; tetapi kedua harus benar-benar selaras dan terpadu. Ketiga, birokrasi dibidang pertanian juga perlu mengedepankan integritas khususnya anti korupsi) dan harus juga memiliki kompetensi, kemampuan profesional dalam suatu bidang tertentu dibidang pertanian. Anti korupsi dan kompetensi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan, yang satu tidak lebih prioritas dari yang lain; dan juga tidak saling menggantikan.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa dalam 5-10 tahun kedepan tantangan dan peluang pertanian Indonesia akan didominasi oleh tumbuhnya permintaan dan kebutuhan terhadap pangan dan produk pertanian yang semakin besar, didorong oleh peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Permintaan tersebut akan semakin spesifik dalam hal jenis, keragaman, kualitas, penghantaran (delivery), sarana eceran, dan harga. Tantangan kedepan akan lebih besar penekanannya pada bagaimana respon pasokan (supply reponse) petani dan pertanian dalam memenuhi peningkatan permintaan tersebut dari pada tantangan untuk menciptakan permintaan baru. Dalam hal ini pendekatan produk pertanian hanya sebagai komoditi primer yang bersifat umum akan semakin sulit menjawab peningkatan permintaan.
27 Dalam pengelolaan pertanian kedepan orientasi sisi permintaan (konsumen) dan sisi produksi (petani) harus dilakukan secara seimbang karena petani adalah juga konsumen dan hal-hal yang menjadi perhatian konsumen (inflasi, kontinyuitas ketersediaan, dan sebagainya) adalah juga menjadi perhatian produsen. Menghadapi tantangan tersebut diatas sangat diperlukan adanya evaluasi menyeluruh terhadap program program pembangunan pertanian selama ini. Keberanian untuk mengembangkan program program baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan, “not business as usual”, serta tanpa intervensi kepentingan selain untuk petani dan pertanian perlu dikedepankan. Program dukungan (subsidi) dalam bentuk subsidi harga produk, khususnya subsidi pupuk, bibit, dan program serupa perlu dievaluasi ulang. Memahami hal tersebut, diusulkan untuk dilakukan 7 (tujuh) program utama pembangunan pertanian yang dapat memberikan dukungan langsung kepada petani dan pertanian dalam merespon pertumbuhan permintaan itu: (1) Dukungan langsung kepada petani dan keluarga tani. Bentuknya seperti program Program Keluarga Harapan (conditional transfer), dalam bentuk dukungan langsung kepada keluarga petani yang dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan umum, peningkatan produktivitas, pencegahan konversi lahan, regenerasi (beasiswa bagi anak petani yang akan melanjutkan pertanian), asuransi kesehatan, asuransi kegagalan panen, dan sejenisnya. (2) Memilih beberapa produk pangan strategis (misal beras, gula, daging, jagung, kedele, dan sayuran) lalu membangun sistem komoditas strategis yang utuh dan
28
(3)
(4)
(5)
(6)
lengkap dalam berikut kemampuan dan mekanisme untuk memonitor pergerakan pasar komoditas yang bersangkutan disertai dengan kemampuan untuk melakukan intervensi jika terjadi gangguan pasar produk, baik gangguan dilihat dari kepentingan konsumen maupun produsen. Sistem dimaksud serupa dengan sistem yang sudah ada untuk komoditas beras saat ini. Melakukan pengembangan usahatani terpadu atau pengembangan satuan wilayah pertanian, termasuk menerapkan sistem usahatani kooperatif atau komunal untuk mendapatkan skala yang sesuai bagi sistem produksi multiproduk dan tanpa-limbah. Misal, 1000 ha padi sawah yang memanen beras, sekam, jerami, dan lainnya; dan menghasilkan beras, energi, pakan, dan sebagainya. Pendapatan petani tidak hanya bergantung pada satu produk, tetapi multi-produk serta sangat mementingkan produktivitas dan efisiensi. Mendorong dan memperkuat basis produksi dan distribusi andalan ekspor, seperti sawit, karet, kakao, kopi, teh dan produk lainnya; dengan pemihakan yang kuat terdapat peningkatan daya saing, pengembangan dan penguatan produk-produk hilir, serta perdagangan yang adil (fairtrade) Mendorong dan memperkuat basis produk dan distribusi produk-produk yang memiliki nilai lebih dan bersifat khusus seperti jamu, rempah, bunga dan tanaman hias, dan sejenisnya; dengan pemihakan yang kuat untuk daya saing, perlindungan, dan nilai kekhususannya. Sejalan dengan hal tersebut diatas, melakukan fasilitasi dan dukungan bagi pengembangan industri pedesaan khususnya yang terkait dengan pengembangan usahatani
29 terpadu, pengemasan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi. Dukungan utamanya adalah bentuk “research for development”, pendampingan, kemudahan fiskal, dan sebagainya. (7) Menerapkan seluruh instrumen regulasi untuk meminimisasi konversi lahan pertanian, dimulai dengan moratorium konversi lahan irigasi, pencegahan alih fungsi lahan, serta konservasi dan rehabilitas kawasan aliran sungai dan daerah penangkapan air. Dengan catatan diatas, dan mencermati berkembangnya tantangan dan ruang lingkup yang dihadapi, diusulkan pula untuk dilakukan penajaman struktur birokrasi yaitu dari Kementerian Pertanian menjadi Kementerian Pangan dan Pertanian.--
Pustaka Utama
Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, 15 Agustus 2014, dalam rangka HUT Ke 69 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ASH Center (2013). The Sum Is Greater Than the Parts: Doubling Shared Prosperity in Indonesia Through Local and Global Integration. Harvard Kennedy School Raoul Oberman, Richard Dobbs, Arief Budiman, Fraser Thompson and Morten Rossé (Agustus, 2013). The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential. http://www.mckinsey.com/ insights/asiapacific/the_archipelago_economy
Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) d.a. Gedung Departemen Agribisnis, FEM-IPB Jl. Kamper, Wing 4 Level 4 Kampus IPB Dramaga Bogor Telp/Faks 0251-8422953 Website www.perhepi.org e-mail
[email protected],
[email protected]