Daulay, Pemberdayaan Perempuan ....
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN (Studi Kasus Pedagang Jamu di Gedung Johor Medan) Harmona Daulay Abstract: Women empowerment issued has become an actual issue nowadays. Women as a marginal group needs an empowerment process and strategy that women’s life quality improved. In this contexts discusses about problems faced by pedagang jamu (a women sell a traditional health drink) accompany by YP2M (Medan Urban Women Institute). This paper explains the importance of empowerment process and how this process is being conducted. Women empowerment includes economy and social empowerment. The analysis also correlate with gender issue which appear as an issue that concern with gender in equality faced by pedagang jamu. Keywords: women, empowerment, and gender PENDAHULUAN Pemberdayaan adalah suatu isu yang muncul dalam pendekatan pembangunan ketika masyarakat marginal memerlukan bantuan proses penguatan ekonomi dan sosial dalam konteks kesejahteraan hidup masyarakat. Istilah pemberdayaan saat ini telah demikian populer sebagai suatu pendekatan yang dilakukan pemerintah maupun LSM. Di Indonesia istilah pemberdayaan atau empowerment pada mulanya digunakan LSM untuk melakukan memperkuat (empowering) masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan politik agar dapat merubah dan memperbaiki posisi mereka ketika berhadapan dengan kelompok yang kuat secara sosial. Inti dari pemberdayaan adalah bagaimana masyarakat marginal tertentu mempunyai posisi tawar sehingga menjadi pelaku proses pembangunan yang partisipatif dan aktif dan bukan hanya sebagai objek pembangunan. Dalam isu pemberdayaan ini tidak terlepas juga konteks pemberdayaan perempuan yang menjadi isu tersendiri dalam kajian perempuan dan pembangunan. Program pemberdayaan perempuan di Indonesia pada hakekatnya telah dimulai sejak tahun 1978. Dalam perkembangannya upaya dalam kerangka pemberdayaan perempuan ini secara kasat mata telah menghasilkan suatu proses peningkatan dalam berbagai hal. Seperti peningkatan dalam kondisi, derajat, dan kualitas hidup kaum perempuan di berbagai sektor strategis seperti bidang pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan dan keikutsertaan ber-KB. Peningkatan dalam
proses pemberdayaan tidak serta merta merubah dalam pola relasi gender antara lakilaki dan perempuan. Apalagi kalau kita berbicara bahwa pemberdayaan perempuan terutama pemberdayaan ekonomi yang diasumsikan menaikkan posisi tawar dengan relasi sosial dengan laki-laki. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, menjelaskan bahwa upaya meningkatkan derajat hidup perempuan masih merupakan salah satu bidang prioritas strategis pembangunan nasional. Upaya ini ditetapkan dalam visi program pembangunan pemberdayaan perempuan, yaitu terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya misi program pembangunan pemberdayaan perempuan ini terjabar dalam 5 konsep yaitu: 1. Meningkatkan kualitas hidup perempuan dalam berbagai bidang strategis. 2. Sosialisasi keadilan dan kesetaraan gender. 3. Penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan. 4. Penegakan hak asasi manusia (HAM) perempuan. 5. Meningkatkan kelembagaan. Kalau kita melihat konsep dalam GBHN tersebut kita melihat betapa pentingnya pemberdayaan perempuan karena memberdayakan perempuan berarti memberdayakan bangsa. Secara fakta fungsi pendidikan, partisipasi perempuan yang total di sektor domestik maupun publik sangat menentukan dalam peningkatan kualitas
Harmona Daulay adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU
7
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
generasi penerus dan peningkatan kualitas relasional dengan suami maupun dengan masyarakat luas. Dalam tulisan ini kita lebih lanjut melihat pemberdayaan perempuan dalam konteks studi kasus pedagang jamu. Pedagang jamu perempuan ini walaupun termasuk sektor informal tetapi tetap merupakan sektor ujung tombak perekonomian nasional. Di mana sekto informal juga memegang peranan penting dalam isu UKM. Isu pemberdayaan UKM inilah yang ditangani oleh salah satu LSM perempuan yaitu YP2M (Yayasan Perkotaan Perempuan Medan) yang berdiri tahun 2000. YP2M ini mempunyai tujuan dalam kegiatan mereka yaitu: 1. Penyelamatan dan peningkatan unit produksi rumah tangga yang dikelola oleh kaum perempuan untuk dapat menopang kehidupan ekonomi keluarga. 2. Meningkatkan pengembangan usaha industri kecil rumah tangga melalui pelatihan tentang managemen pengelolaan usaha dan peningkatan mutu produk. Sesuai dengan tujuan dari YP2M dan pengembangan kegiatan untuk peningkatan UKM ini maka sangat relevan bagaimana percepatan dan peningkatan ekonomi UKM ini dilakukan pendampingan oleh LSM YP2M serta isu – isu gender apa sajakah yang muncul dari proses dan pelaksanaan pemberdayaan pedagang jamu secara khusus dan pemberdayaan perempuan secara umum dan pemberdayaan kegiatan mikro ekonomi masyarakat atau trend aktualnya UKM. PEMBAHASAN Dalam melihat permasalahan pemberdayaan pedagang jamu ini maka kita dapat merumuskan beberapa permasalahan pedagang jamu ini: a. Bagaimanakah profil pedagang jamu secara sosial dan ekononi? b. Bagaimanakah upaya pemberdayaan yang telah dilakukan oleh YP2M? c. Bagaimanakah kajian pemberdayaan perempuan menganalisis penguatan sosial ekonomi pedagang jamu? d. Isu-isu relasi gender apasajakah yang muncul dalam pemberdayaan pedagang jamu?
8
a) Profil dan Permasalahan Pedagang Jamu Pedagang jamu yang diteliti secara keseluruhan merupakan pendatang atau imigran dari pulau Jawa yaitu kebanyakan dari Jawa Tengah seperti Solo, Sragen dan lainnya. Mereka rata-rata telah menikah di daerah asal mereka. Mereka datang ke Medan bersama-sama suami, merantau mencari perbaikan nasib. Motivasi merubah nasib ke Medan juga di dorong oleh keberhasilan tetangga mereka yang terlebih dahulu telah mencari rezeki di Medan. Usia mereka rata-rata 30 – 50 tahun dengan jumlah anak antara 2 sampai 10 orang. Suami mereka rata-rata bekerja di sektor informal seperti menjadi penjual es krim keliling, penjual roti, penjual bakso sampai menjadi guru mengaji. Mereka tinggal di gang-gang kecil dan kumuh di daerah Johor. Daerah kecamatan Medan Johor ini sangat strategis untuk mencari nafkah karena banyak sekali perumahan real estate dan permukiman penduduk yang menjadi target pemasaran pedagang sektor informal termasuk pedagang jamu ini. Aktivitas pedagang jamu ini cukup sibuk, mereka bangun pagi sekitar jam 04.30 pagi, kemudian mempersiapkan jamu yang akan dijajakan dan menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga mereka. Mereka pergi dari rumah menjajakan jamu pada pagi hari, berangkat dari rumah mereka jam 06.30 dan kembali jam 13.00 WIB. Ada juga yang sore hari menjajakan jamu yaitu pada jam 16.00 – 18.30 WIB. Mereka menggunakan sepeda sebagai alat transportasi untuk berkeliling menjajakan jamu di Kecamatan Gedung Johor ini. Pedagang jamu ini meracik sendiri jamu yang akan mereka jual. Bahan-bahan jamu ada yang berasal dari Medan tetapi ada juga yang dikirim dari Jawa daerah asal mereka. Proses pengiriman bahan baku dari daerah asal biasanya mereka titipkan kepada teman-teman sesama pedagang maupun teman-teman lainnya yang pulang kampung dari Jawa. Suatu hal yang cukup menarik frekuensi mereka untuk pulang ke Jawa cukup tinggi. Paling tidak dua tahun sekali mereka mengusahakan untuk dapat pulang kampung. Baik di kala hari besar seperti lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha ataupun pada kesempatan lainnya.
Daulay, Pemberdayaan Perempuan ....
Mereka memperoleh keuntungan ratarata Rp 15.000 s.d. Rp 25.000. Hal ini berarti sebulan mereka memperoleh penghasilan antara Rp 300.000 s.d. Rp 450.000. Hasil berjualan ini dianggap dapat mencukupi kebutuhan pokok rumah tangga mereka. Namun krisis ekonomi juga berpengaruh kepada kelancaran dan kemajuan usaha mereka. Penjualan menjadi agak menurun belum lagi kenaikan BBM memicu juga kepada bahan baku yang naik mencapai di atas 100%. Hal ini tentu saja berkorelasi kepada keuntungan mereka. Alternatif mensiasati dengan mengurangi kualitas jamu tidaklah mudah karena pelanggan mengetahui rasa yang berkurang. Menaikkan harga jual juga tidak mudah. Hal ini disebabkan tidak semua pelanggan mereka adalah golongan ekonomi menengah ke atas. Banyak juga yang berasal dari kelas bawah, malahan terkadang strategi mengikat pelanggan dengan memberikan kelonggaran membayar yaitu pembeli boleh berhutang. Adapun permasalahan yang dihadapi oleh pedagang jamu berdasarkan temuan di lapangan adalah sebagai berikut: a. Kekurangan modal b. Kurangnya pembuatan jamu yang bermutu dan higienis. c. Permasalahan pemasaran dan pengelolaan uang. d. Permasalahan beban ganda dan relasi gender. Permasalahan beban ganda dan relasi gender yang timpang menjadi suatu isu yang cukup penting dan menarik adalah ketika pedagang jamu yang telah bergerak di sektor publik membantu ekonomi rumah tangga namun tetap bertanggung jawab mengerjakan sektor domestik. Seperti pengakuan Ibu NS usia 27 tahun seorang informan yang mengambarkan masih penuhnya tanggung jawab beban rumah tangga yang masih besar di tangannya seperti diungkapkannya: “Kalau beban kerja rumah tangga semua saya yang mengerjakannya, soalnya kalau suami saya yang mengerjakan saya merasa enggak sregh, engak bersih gitu. Engak tau kalau dimintai tolong suami saya mau atau tidak karena tidak pernah saya minta tolong”. Pengakuan tersebut menggambarkan bahwa sistem patriarkhi dengan pembagian kerja yang sangat jelas, pembagian domain laki-laki di sektor publik dan perempuan di
sektor domestik sangat mengental. Sehingga ketika perempuan sudah merambah ke sektor publik tidak serta merta sektor domestik diramaikan oleh partisipasi laki-laki sebagai kepala keluarga dan suami. b. Upaya Pemberdayaan Pedagang Jamu yang dilakukan YP2M Yayasan Perkotaan Perempuan Medan atau YP2M, merupakan suatu LSM yang menaruh perhatian pada peningkatan ekonomi kelas menengah ke bawah di perkotaan. Lembaga ini berdiri sejak tahun 2000. YP2M pada awalnya melakukan pembinaan sebanyak 35 orang tetapi akhirnya meningkat menjadi 100 orang. YP2M membentuk 4 kelompok pedagang jamu keliling yaitu kelompok 1 berada di jalan Halat dengan jumlah anggota 13 orang, kelompok 2 berada di Jalan Karya Wisata dengan jumlah anggota 20 orang dan kelompok 3 berada di Jalan Karya Wisata dengan jumlah 17 orang dan kelompok Permai di daerah Jalan Pintu Air Simpang Kuala sebanyak 50 orang. YP2M melakukan pemberdayaan pedagang jamu ini melalui pemberdayaan ekonomi mereka. Peran pemberdayaan ekonomi meliputi pemberdayaan dalam pelatihan memotivasi kewirausahaan, motivasi pentingnya pendididikan. Kemudian pemberdayaan kesehatan meliputi penyuluhan kesehatan dari dokter dan pelatihan manajemen serta pelatihan pengetahuan kelompok solidaritas. Mereka memberikan pinjaman kepada pedagang jamu untuk menjadi tambahan modal bagi usaha jamu mereka. Modal tambahan yang diberikan berkisar antara Rp 500.000 s.d. Rp 1.500.000. Dalam pelaksanaanya YP2M telah memberikan bantuan dalam 3 tahap yaitu tahap I sebesar Rp 500.000, tahap II sebesar Rp 1.000.000 dan tahap III adalah Rp 1.500.000. Pedagang jamu akan mengembalikan pinjaman kepada YP2M sebesar dana yang dipinjam dan ditambah dengan 10% untuk biaya administrasi. Sebagai contoh kalau pinjaman sebesar Rp 500.000 maka akan ditambah pengembalian sebesar Rp 550.000, pinjaman sebesar Rp 1.000.000 dikembalikan 1.100.000 demikian seterusnya. Lama pengembalian pinjaman tergantung kepada kesepakatan antara anggota, biasanya berkisar 10 s.d. 12 bulan. Selain cicilan tersebut pedagang jamu
9
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
juga harus membayar Rp 10.000 sekali dalam setahun sebagai uang tabungan dan Rp 5000 dalam 1 bulan sekali untuk membantu anggota yang ditunjuk sebagai tuan rumah dalam pertemuan yang dilakukan setiap tanggal 3 setiap bulannya. Di samping memberikan pinjaman uang kepada pedagang jamu, YP2M juga memberikan ceramah tentang pengelolaan uang dan memberikan pelatihan beberapa keterampilan lainnya. Termasuk juga ceramah tentang isu gender dalam relasi sosial perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. YP2M didalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan menghadapi kendala yang terjadi di lapangan yaitu: 1. Pendidikan pedagang jamu yang rendah. 2. Kurangnya motivasi mereka mengikuti pertemuan rutin. 3. Kurang kesadaran mengadakan arisan untuk dana simpanan mereka. 4. Beban ekonomi yang berat menyebabkan pinjaman yang diberikan bukan untuk pengembangan modal dan usaha namun untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. 5. Bantuan dana pinjaman sering dialokasikan untuk membeli barangbarang tertier lain. Di samping kendala-kendala yang dihadapi terdapat juga faktor-faktor pendukung yaitu: 1. Ketepatan membayar angsuran dan kesadaran kelompok dalam menepati kewajiban perjanjian. 2. Dorongan keluarga khususnya suami dalam mendorong kemajuan usaha. 3. Rasa solidaritas sesama mereka yang kuat. 4. Kelompok pedagang jamu ini cukup antusias dalam diskusi kelompok, ceramah maupun dalam pelatihan. 5. Sebagian besar memiliki kemauan kuat untuk mengubah kondisi ekonomi. c. Analisa Pemberdayaan Perempuan pada Pedagang Jamu Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan perempuan mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan non materi yang penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam maupun di antara masyarakat. (Moser, 1989: 1815). Di
10
Indonesia keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki membuat pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat perempuan bukan sebagai beban pembangunan melainkan potensi yang harus dimanfaatkan untuk menunjang proses pembangunan. Menurut Moser (1993) bahwa strategi pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih unggul dari laki-laki kendati menyadari pentingnya meningkatkan kekuasaan, namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dalam rangka dominasi yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal. Menurut Suyanto dan Susanti (1996) bahwa yang diperjuangkan dalam pemberdayaan perempuan adalah pemenuhan hak mereka dalam menentukan pilihan dalam kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan melalui kesanggupan melakukan kontrol atas sumber daya material dan non-material yang penting. Tujuan pemberdayaan perempuan adalah untuk menantang ideologi patriarkhi yaitu dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan, merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan pranata pendidikan) Pendekatan pemberdayaan memberi kemungkinan bagi perempuan miskin untuk memperoleh akses kepada dan penguasaan terhadap sumbersumber material maupun informasi maka proses pemberdayaan harus mempersoalkan semua struktur dan sumber kekuasaan. Argumentasi yang melihat implikasi pengaruhnya terhadap laki-laki dari pemberdayaan perempuan ini adalah pemberdayaan ini juga membebaskan dan memberdayakan kaum laki-laki dalam arti material maupun psikologis. Kaum perempuan memperkuat dampak gerakan politik yang didominasi kaum laki-laki dengan memberikan energi, wawasan, kepemimpinan dan strategi baru. Lebih penting lagi dampak psikologis, jika perempuan menjadi mitra setara maka kaum laki-laki di bebaskan dari penindasan dan pengeksploitasi dan dari stereotip gender yang pada dasarnya membatasi potensi laki-laki sebagaimana juga perempuan untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan pribadinya. (Tan, 1995)
Daulay, Pemberdayaan Perempuan ....
Dalam kasus pedagang jamu ini kita melihat peranan mereka dalam membantu ekonomi keluarga. Ekonomi rumah tangga mereka yang tergolong miskin mengharuskan istri membantu bekerja. Menjual jamu sebagai warisan turun-temurun dan peluang usaha menjadi pilihan. Dalam praktiknya sumbangan ekonomi mereka sangat besar membantu ekonomi keluarga. Apalagi kalau kita melihat bahwa istri pada keluarga miskin mengalokasikan sebagian besar penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan lebih mementingkan kebutuhan dasar keluarga dibandingkan lakilaki. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Helen Keller Internasional di Indonesia yang menegaskan bahwa kenyataan sehari-hari laki-laki hampir tidak mau melepaskan hobi merokok meskipun kondisi ekonomi keluarga sangat kritis. Hal ini menjadikan semakin besar penghasilan perempuan semakin sedikit anak-anak menderita kekurangan gizi. Hal ini terlihat pada pedagang jamu yang sebagian besar memberikan kontribusi pada ekonomi keluarga. Seperti seorang informan ibu Tuminem memanfaatkan penghasilan menjual jamu untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak mereka sedangkan penghasilan suami yang bekerja sebagai pedagang es krim ditabung untuk ongkos pulang kampung ke Jawa. Bila kita melihat gambaran pemberdayaan yang dilakukan oleh YP2M terhadap pedagang jamu ini memperlihatkan telah dilakukannya penguatan terhadap pedagang jamu sebagai Pelaku Usaha Kecil Mikro (PUK). Penguatan PUK dimaknai sebagai upaya yang sadar yang dilakukan individu maupun kelompok untuk merubah relasi gender dalam masyarakat yang memberi peluang kepada perempuan dalam dunia usaha, politik dan pergaulan sosial. Indikator penguatan/pemberdayaan perempuan meliputi: terjadinya peningkatan kesejahteraan, peningkatan akses terhadap sumber daya, dimilikinya kesadaran kritis dan peningkatan partisipasi sehingga dengan kemampuannya mampu melakukan tindakan kontrol. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Suyanto dan Susanti di atas pentingnya menentukan pilihan dan melakukan kontrol. Pembinaan yang dilakukan YP2M juga telah memenuhi syarat-syarat pendekatan strategi yaitu:
1. Pengorganisasian, yaitu membangun kekuatan perempuan, khusus perempuan dalam wadah organisasi aktif. Hal ini tercermin dalam wadah organisasi kelompok yang dibagi oleh YP2M. 2. Pelayanan Modal, yaitu pelayanan modal bisa dimulai dengan swadaya dari PUK atau dalam konteks ini YP2M memberikan modal tetapi diberikan membayar cicilan tepat waktu dan kontinu. 3. Pelayanan Pasar, yaitu bagaimana pedagang jamu ini di berikan dukungan pengembangan pasar baik informasi pasar, fasilitas membuka pasar baru bila diperlukan membangun jaringan pasar dan unit informasi bersama. Hal ini terwujud YP2M membawa mereka mengikuti acara pameran dan bazar dalam rangka pengembangan pasar dan pengenalan produk bahkan pengenalan jamu kepada kalangan menengah ke atas. 4. Pelayanan Informasi. Unit ini memberikan support untuk membuka akses mereka terhadap informasi dengan jalan menyediakan teknis untuk pengembangan usaha, memberikan informasi baru tentang isu-isu aktual, analisis kebijakan, produk kebijakan maupun informasi untuk peningkatan pemahaman mereka terhadap hak-hak perempuan dan warga negara. Hal ini telah dilakukan YP2M dengan memfasilitasi pertemuan manajemen keuangan, ceramah politik sampai kepada ceramah isu gender. Dari analisa di atas memperlihatkan bahwa dengan pendampingan maka perempuan pedagang jamu justru memiliki potensi melawan bahkan mengatasi masalah-masalah kemiskinan melakukan pengorganisasian. Cara mereka arisan, bertukar informasi, disiplin membayar cicilan dan menyerap informasi usaha dan wawasan lainnya memperlihatkan media komunikasi mereka cukup baik. Sehingga masalah ekonomi, sosial bahkan pemahaman politik sesuai dengan kebutuhan mereka akan memperluas wawasan mereka. Hal demikian diharapkan memberikan kesinambungan proses pemberdayaan mereka sebagai kelompok miskin dan marginal. d. Isu-Isu Relasi Gender Pedagang Jamu Selama ini dalam sistem masyarakat yang patriarkhi pembagian kerja secara seksual sangat jelas terasa. Suami dianggap bertanggung jawab di sektor publik atau
11
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
mencari nafkah sedangkan istri mempunyai tanggung jawab di sektor domestik yaitu rumah tangga. Pembagian peran ini juga meliputi peran bermasyarakat yang harus dilakukan oleh individu yang hidup di lingkungan masyarakat. Ketika pembagian kerja cukup tegas antara sektor publik dan domestik justru dalam konteks tukang jamu ini mengalami pergeseran yang cukup besar. Berdagang jamu membuat mereka melakukan pekerjaan publik yang menghasilkan uang. Kewajiban di dalam rumah tangga atau domestik tetaplah mereka lakukan. Sebagian mereka tidak memberikan pekerjaan domestik kepada suami dengan alasan masih mempertimbangkan tidak pantasnya suami melakukan pekerjaan tersebut. Alasan lain tidak mengikutsertakan suami karena karena mereka tidak puas dengan hasil kerja suami, sehingga mereka melibatkan anak untuk melakukan aktivitas domestik. Kondisi ini juga terjadi pada pedagang jamu, mereka bangun di pagi hari melaksanakan aktivitas domestik menyiapkan sarapan, berbenah barang dagangan untuk berjualan dan melakukan aktivitas memasak untuk makanan siang kemudian belanja untuk bahan meracik jamu pada sore dan malam hari. Dalam kajian peran rangkap tiga yang selama ini dilakukan perempuan, dalam konteks pedagang jamu ini memperlihatkan bagaimana para pedagang jamu melaksanakan peran domestik dan publik dengan penuh tanggungjawab. Peran bermasyarakat pun dilakukan dalam lingkup kebersamaan dengan sesama mereka. Apakah itu tetangga sesama pedagang yang rata-rata juga berjualan jamu atau tetangga yang penduduk lokal. Para pedagang jamu ini biasanya tinggal berdekatan dalam suatu komunitas. e. Stereotip Sosial Kenyataan yang dihadapi pedagang jamu sebagai PUK tidak banyak diuntungkan dengan berbagai stereotip dan pencitraan dalam masyarakat yang patriarkhis. Perempuan dalam hal ini dipandang pada posisi subordinat, termasuk dalam kapasitasnya sebagai pelaku ekonomi. Posisi tidak diuntungkan ini juga semakin berganda karena pedagang jamu tidak hanya berhadapan dengan relasi ekonomi yang berwatak menindas tetapi juga relasi gender. Misalnya dalam keluarga perempuan harus
12
rela menyerahkan hak kepemilikan pada suami sehingga mereka tidak memiliki modal. Hal ini menyebabkan YP2M memberikan sumbangan tanpa agunan karena akses modal yang tidak mereka punyai. Salah satu permasalahan PUK terkait dengan aspek modal, tergambar pada survei yang dilakukan ASPPUK terhadap 2177 orang PUK, menunjukkan bahwa 86,6% belum pernah mengajukan pinjaman ke bank dengan alasan prosedur rumit, tidak memiliki aset untuk agunan. Begitu juga dengan akses pada pelatihan, informasi dan pengembangan pasar yang minim. Pemahaman stereotip perempuan dalam domestik rumah tangga sebagai kewajiban dan peran ganda berjualan jamu menyebabkan eksploitasi pada perempuan. Mereka secara konsep meletakkan pandangan bahwa usaha mereka sampingan dan secara psikologis tidak menumbuhkan motivasi pengembangan usaha secara maksimal. Hal ini berbeda secara faktual bahwa usaha mereka sangat membantu ekonomi keluarga. f.
Marginalisasi Marginalisasi secara umum dapat didefinisikan sebagai proses perubahan hubungan kekuasaan di antara manusia melalui suatu cara sehingga salah satu kelompok manusia makin terputus aksesnya terhadap sumber vital (tanah, air, modal, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, hak politis dan lain-lain), yang kian lama dimonopoli oleh elit kecil (Grijns, 1992). Menurur Scott (1986) marginalisasi perempuan tumbuh dari kombinasi faktor sejarah, ekonomi dan kebudayaan dalam arti luas, tidak hanya disebabkan oleh suatu sistem ekonomi politik tertentu. Berdasarkan pemahaman tersebut bahwa marginalisasi dapat terjadi pada berdasarkan gender, etnis dan kelas. Dalam konteks gender proses marginalisasi mengakibatkan perempuan lebih tersisih di banding laki-laki. Hal ini cukup terlihat pada pedagang jamu di mana mereka termarginalisasi dalam konteks tersisih secara akses modal karena biasanya dalam sistem patriarkhi mereka tidak memiliki akses modal karena tidak punya kepemilikan atas nama diri sendiri, tidak mempunyai relasi ke bank karena akses dunia publik sangat sedikit, pendidikan yang rendah menyebabkan akses informasi tersumbat, dan berbagai faktor lainnya. Hal ini tergambar juga dari penelitian Lembaga Demografi UI
Daulay, Pemberdayaan Perempuan ....
yang meneliti 3 provinsi yang memiliki pusat industri kecil dan menengah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menunjukkan bahwa perempuan mampu terlibat dalam menjalankan perusahaan namun tidak tercatat pada lembaga atau departemen (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil, maupun bank) sebab status kepemilikan perusahaan tercatat sebagai milik suami (lakilaki). Dalam rekomendasi penelitian ini disarankan kebijakan khusus gender antarlintas sektor yang memudahkan perempuan pengusaha memperoleh aspek legalitas usaha. (Kompas, 21 Februari 2001) Peranan YP2M ini menjawab pada isu marginalisasi karena ketersisihan mereka dari akses modal bisa diatasi, ketersisihan dari akses informasi bisa dijembatani dan ketersisihan dari aspek pemasaran produk bisa ditingkatkan dan pemahaman mereka terhadap isu-isu politik sebagai warga negara juga telah mendapat pencerahan wawasan dengan mengundang tokoh-tokoh politik sehingga mereka akan termotivasi lebih melek politik dan persoalan bangsa bukan hanya menyangkut pada wawasan persoalan komunitas mereka saja.
KESIMPULAN Permasalahan pemberdayaan perempuan dalam kasus pedagang jamu memperlihatkan bahwa telah terjadi proses yang cukup baik dalam pembinaan yang dilakukan oleh YP2M. Bukti–bukti konkret adanya pemberian kredit, pertemuan untuk sosialiasasi dan berinteraksi serta memberikan ceramah dengan materimateri sesuai dengan kebutuhan dalam proses pemberdayaan sangat diperlukan. Tentu saja peningkatan pengetahuan, terjadinya proses pemberdayaan akan membantu proses peningkatan wawasan pedagang jamu di daerah binaan. Diharapkan pembinaan semacam ini bisa dilakukan oleh kelompok lain sesuai dengan kebutuhan pedagang jamu sebagai kelompok ekonomi lemah dan sebagai kelompok marginal yang sangat memerlukan pendampingan. Di sisi lain kita melihat masih adanya permasalahan bias gender dalam fakta dan data yang terjadi namun proses keadilan gender diharapkan perlahan dapat terwujud dengan bentuk kesadaran di pihak laki-laki maupun perempuan. Hal ini akan mewujudkan pembinaan ekonomi yang baik untuk kaum lemah dan marginal serta peningkatan harkat dan martabat perempuan yang setara dengan laki-laki.
13
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Tri Marhaeni, 2002, “Perempuan Perkasa di Tengah Hutan” dalam Jurnal Studi Wanita, Pusat Studi Wanita, UI, Jakarta. Grijns, Mies et al, 1992, ”Gender, Marginalisation and Rural Industries: Female Entreprenuers, Wage, Workers and Family Workers in West Java” Project Research Series No. RB – 7 Bandung: Akatiga. Tan, Mely G, 1995, “Perempuan dan Pemberdayaan” makalah dalam Kongres Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI), Ujung Pandang. Scott, A, McEwen,1986 “Women in Industrrialisation : Examining the female Marginalisation Thesis” The Journal of Development Studies 22.4. Perempuan Alami Hambatan Akses Kredit, artikel dalam koran Kompas 21 Februari 2001. Teknik Analisis Gender untuk Pusat Studi Wanita, 1999, Catatan Kursus di Bogor Maret – April 1999.
14