Foto: Dok. PATTIRO/Agus Salim
Pemberdayaan Badan Permusyawaratan Desa untuk Penguatan Demokrasi Desa
M
elalui asas rekognisi dan subsidiaritas1, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yang mandiri, yaitu suatu entitas yang dapat menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan Desa yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, yaitu warga desa yang memiliki hak untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut2. Demokrasi yang dimaksud bukanlah demokra-
si formal seperti yang dipraktikkan di level negara, dimana partai politik menjadi instrumen utamanya. Demokrasi, di sini, dipahami sebagai suatu praktik yang mengedepankan konsensus dalam setiap pengambilan keputusan, yang melibatkan warga desa baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Praktik demokrasi desa sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang Desa tidak melibatkan partai politik sebagai representasi warga, namun dijalankan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam konteks inilah, maka, pemberdayaan BPD menjadi penting untuk menguatkan demokrasi Desa.
Pada bagian Penjelasan Undang-Undang Desa disebutkan bahwa yang dimaksud rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul sedangkan subsidiaritas adalah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Selain kedua asas tersebut, asas-asas lain dalam pengaturan tentang Desa adalah keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Asas-asas pengaturan Desa dituangkan dalam Undang-Undang Desa pasal 3. 1
Lihat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Desa khususnya pasal 34 ayat (1) dan pasal 35, yang mengatur tentang keterlibatan warga dalam memilih kepala desa secara langsung; ketentuan tentang Badan Permusyawaratan Desa pasal 56 ayat (1) tentang keterwakilan warga dalam keanggotaan BPD dan pemilihannya yang harus ditetapkan secara demokratis; ketentuan tentang Musyawarah Desa pada pasal 54 ayat (1) yang memberikan kesempatan kepada unsur masyarakat Desa sebagai peserta bersama BPD dan Pemerintah Desa; juga ketentuan pada pasal 68 ayat (1) tentang hak masyarakat dalam meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa, mengawasi, menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. 2
Foto: http://democracyfirst.nl/
LATAR BELAKANG
S
elain sebagai representasi warga Desa, pentingnya BPD dalam demokrasi Desa, karena BPD merupakan lembaga yang diberikan tugas untuk menyelenggarakan musyawarah desa (Musdes) dan pemilihan kepala desa (Pilkades). Musdes dan Pilkades merupakan dua kegiatan yang menyediakan ruang bagi warga desa untuk terlibat dan berpartisipasi secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Melalui Musdes dan Pilkades itulah praktikpraktik demokrasi Desa dijalankan. Kualitas Musdes dan Pilkades dengan demikian turut menjadi penentu bagi berkualitasnya demokrasi Desa. Mengingat kedua kegiatan itu berada di bawah tanggungjawab BPD, maka kualitas BPD juga turut menentukan bagi berkualitasnya Musdes dan Pilkades. Demokrasi Desa sendiri sejatinya telah diafirmasi sejak awal reformasi bergulir, tepatnya melalui UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didorong oleh semangat mengevaluasi Pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik, regulasi tersebut mengusung penguatan tata kelola pemerintahan lokal melalui prinsip desentralisasi, termasuk pemerintahan Desa di dalamnya. Dalam konteks itulah kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memandatkan pembentukan Badan Perwakilan Desa yang menjalankan fungsi sebagai “parlemen” desa. Di masa Orde Baru, yang memosisikan
3
Desa sebagai perpanjangan administrasi pemerintah pusat, dapat dipastikan tidak tumbuh demokrasi di level desa. Berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah Desa sepenuhnya didasarkan pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Birokrasi ala Orde Baru kemudian diterapkan secara mentah-mentah pada level birokrasi pemerintahan Desa. Sebagaimana Orde Baru yang sangat ketat mengontrol rakyatnya, pemerintah desa juga memberlakukan hal yang sama saat berhadapan dengan warga- nya.3 Memang, pada saat itu di desa terdapat lembaga serupa BPD yaitu Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Namun sebagaimana yang terjadi pada parlemen di level nasional, LMD pun menjadi lembaga demokrasi yang semu. Dalam konteks itulah Negara hadir ke Desa untuk menancapkan pola-pola pemerintahan otoriter yang kemudian dijalankan oleh pemerintahan Desa. Keberadaan dan fungsi Badan Perwakilan Desa tetap dipertahankan setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, meskipun secara harfiah mengalami perubahan sebutan menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Sebutan ini tetap dipertahankan dalam Undang-Undang Desa. Mengingat keberadaannya yang sudah cukup lama, semestinya BPD telah menjadi lembaga yang relatif mapan dalam memperkuat proses demokrasi di desa. Terlebih setelah diperkuat secara normatif oleh UndangUndang Desa, BPD semestinya menjadi pionir dalam mendorong kemandirian desa sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang Desa.
Lihat Hans Antlöv, “Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal”, edisi terjemahan oleh Pujo Semedi (Yogyakarta: LAPPERA, 2002)
BPD Kurang Optimal Menjalankan Fungsinya
M
eskipun memiliki posisi yang sangat strategis, BPD masih belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Gejala ini tampak pada hasil penelitian PATTIRO di enam desa di Kabupaten Kebumen, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Siak.4 Sebagaimana diketahui, sebagai institusi demokrasi desa, menurut Undang-Undang Desa, BPD memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Merujuk pada ketiga fungsi itu, pada hakikatnya BPD menjadi lembaga yang menjalankan mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Check and balances ini menjadi semangat yang diusung untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Desa. Setidaknya jika mengacu pada proses pembahasan Undang-Undang Desa itu sendiri sebagaimana disampaikan dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Desa antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, Jacob Jack Ospara mewakili DPD menegaskan: “Pemerintahan desa yang kuat bukan dalam pengertian bentuk pemerintahan yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), namun bentuk pemerintahan desa dengan tata pemerintahan yang demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa/ Badan Musyawarah serta elemen masyarakat setempat.5
Penelitian PATTIRO menunjukkan bahwa secara umum BPD masih belum optimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut. Dalam fungsinya sebagai pihak yang membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa (Perdes), BPD tidak lebih proaktif dari Kepala Desa. Meskipun rancangan dapat saja diajukan oleh BPD, tetapi kenyataannya lebih sering rancangan Perdes diusulkan oleh Kepala Desa. Pada kasus yang lain, rancangan Perdes yang telah dirumuskan dan diajukan oleh Kepala Desa gagal disahkan karena BPD tidak kunjung membahasnya. Kondisi ini menyebabkan Desa kurang produktif dalam mengesahkan Perdes di luar Perdes-Perdes yang pokok, yaitu Perdes tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa), dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). PATTIRO melalui penilaian cepat yang dilakukannya di beberapa desa di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan menemukan data, bahwa BPD merasa dipaksa untuk menandatangani APB Desa oleh Kepala Desa. Kepala Desa juga terpaksa melakukan hal ini karena didesak oleh Pemerintah Kabupaten yang merasa perlu untuk mempercepat proses penyusunan APB Desa agar proses transfer dana APBN dapat diper-
cepat. Di sisi lain, meskipun BPD mengetahui bahwa APBDesa tidak mencerminkan kebutuhan Desa dan proses penyusunannya tidak melibatkan warga Desa secara maksimal, namun BPD tidak berani menolak untuk menandatangani dokumen APB Desa dimaksud. Dalam hal menampung aspirasi warga, BPD masih kurang diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan warga desa yang lebih memilih menyampaikan aspirasinya kepada orang yang dianggap dekat secara kekuasaan dengan kepala desa, dengan harapan bahwa orang tersebut akan menyampaikannya langsung kepada kepala desa. Ada juga warga yang mengadukan aspirasinya kepada ketua RT atau RW. Di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, justru aspirasi warga disampaikan kepada para penarik sampah yang mendatangi rumah penduduk tiap pagi. Para penarik sampah yang bekerja untuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengolahan sampah tersebut memang sengaja ditugaskan oleh Pemerintah Desa untuk menjalankan peran sebagai wakil desa untuk menampung aspirasi dan masalah warga. Menurut Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi, melalui mekanisme semacam ini pemerintah desa berhasil mengatasi masalah warga. Salah satunya adalah warga yang terjerat rentenir. Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memberikan catatan terhadap laporan tersebut. Laporan pertanggungjawaban kepada bupati cenderung dianggap lebih penting ketimbang kepada BPD, karena laporan kepada bupati akan berimplikasi pada persetujuan untuk pencairan dana desa tahap berikutnya. Dalam fungsinya ini, tidak dijumpai adanya wacana kritis yang dikedepankan oleh BPD terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa. Dalam kasus yang lain, pemerintah desa cenderung lebih banyak meminta rekomendasi kepada pemerintah kabupaten daripada kepada BPD. Sebagai contoh, Kepala Desa Berumbung Baru, Kabupaten Siak pada saat hendak membangun gedung pertemuan dari dana Alokasi Dana Desa (ADD) harus berkonsultasi dengan Badan Pemberdayaan Pemerintah dan Masyarakat Desa (BPPMD) Pemerintah Kabupaten Siak. Pembangunan dijalankan setelah mendapatkan rekomendasi dari BPPMD, sedangkan BPD yang mestinya menjalankan peran kontrol pemerintahan desa tidak dimintakan rekomendasi. Lemahnya fungsi BPD menyebabkan pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa, menjadi lebih dominan. Peran kepala desa yang menonjol ini dikhawatirkan akan mengganggu mekanisme check and balances, sehingga pada tahap yang lebih lanjut demokrasi Desa akan terganggu.
Penelitian dilakukan pada Januari-Maret 2016. Pada masing-masing kabupaten dipilih dua desa. Total dari tiga kabupaten adalah enam desa. Penelitian dilakukan untuk melihat dinamika yang terjadi di Desa pasca pengesahan Undang-Undang Desa. Selain demokrasi Desa dan BPD, obyek penelitian ini adalah aset dan keuangan desa, Badan Usaha Milik Desa, dan Desa Adat. Hasil penelitian belum dipublikasikan. 4
5
Lihat “Anotasi Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa” (Jakarta: PATTIRO, 2015).
Informalitas dalam Praktik Demokrasi Desa
S
elain praktik formal-insitusional sebagaimana diuraikan di atas, praktik demokrasi desa secara faktual juga dijalankan melalui mekanisme yang bersifat informal. Sebagaimana dipahami, pertemuan-pertemuan warga telah berlangsung sejak dulu, sebagai wahana pengambilan keputusan bersama. Merujuk pada sejarahnya, bahkan kelahiran LMD berasal dari tradisi rembug desa. Mengutip Schrieke (1974), Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Sadu Wasistiono6 menyatakan bahwa desa termasuk ke dalam tipe masyarakat yang bersahaja. Jenis pemerintahan ini dipimpin oleh primus interpares, yang didalamnya tidak terdapat pelaksanaan pemerintahan, tidak terdapat pelaksanaan kehendak, tetapi semuanya didasarkan pada kesepakatan sesudah bermusyawarah secara mendalam. Mekanisme musyawarah dilaksanakan melalui forum yang dinamakan rembug desa. Rembug desa adalah sebuah forum yang keanggotaannya sangat longgar terdiri dari semua warga desa yang memiliki hak memilih dan kepemimpinannya bersifat kolektif-kolegial, sehingga tidak ada yang mendominasi. Forum rembug desa ini menjadi embrio terbentuknya LMD yang kemudian berubah namanya menjadi BPD yang bersifat kelembagaan permanen. Berdasarkan hal ini, BPD yang diformalkan melalui Un-
dang-Undang Desa pada dasarnya berawal dari praktik-praktik yang bersifat informal. Studi PATTIRO terkait implementasi Undang-Undang Desa juga menunjukkan bahwa keterlibatan warga dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dituangkan dalam bentuk pertemuan informal, misalnya dalam acara sedekah bumi, yasinan, dan majelis taklim. Mashuri Maschab (2013) menyampaikan pendapatnya bahwa dalam memandang Desa seyogyanya tidak hanya fokus pada organisasi, regulasi formal, struktur formal dan nilai-nilai normatif lainnya. Pendekatan semacam ini disebut sebagai pendekatan old-institutionalism. Sementara itu, pendekatan new-institutionalism dianggap lebih baik karena pendekatan ini juga memperhatikan feedback atau input dari para aktor yang terlibat di dalamnya terhadap institusi dan struktur yang ada. Melalui pendekatan ini, maka institusi tidak selamanya dipahami seragam, karena institusi merupakan ruang yang penuh konflik dan dinamika dari para pelaku yang terlibat di dalamnya.7 Mengacu pada konsep ini, BPD semestinya dipandang bukan hanya sebagai institusi formal, tetapi harus dipahami sebagai lembaga yang penuh dinamika, yang dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan setempat yang berlangsung secara informal.
Analisis Regulasi
L
emahnya fungsi BPD sebagaimana diuraikan di atas dapat dikatakan sebagai dampak dari ketiadaan regulasi yang mengatur secara spesifik tentang BPD. Dari keseluruhan hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, BPD termasuk lembaga yang belum memiliki aturan pelaksanaan secara spesifik. Meskipun secara filosofis Undang-Undang Desa telah memberikan kewenangan yang relatif luas kepada Desa, namun pada kenyataannya Desa tidak memiliki kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu jika belum ada aturan pelaksanaan dari undang-undang dimaksud. Sebenarnya Undang-Undang Desa telah memandatkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara lebih lanjut tentang BPD, sebagaimana tertuang dalam pasal 65 ayat 2. Namun di sisi lain, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Desa sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 (PP Desa) pada pasal 79 menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri harus menerbitkan peraturan lebih lanjut tentang tugas, fungsi, kewenangan, hak dan kewajiban, pengi-
6
Disampaikan dalam diskusi ahli yang diselenggarakan oleh PATTIRO, 15 Agustus 2016.
7
Lihat Mashuri Maschab, “Politik Pemerintahan Desa di Indonesia” (Yogyakarta: PolGov, 2013).
sian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib BPD. Karena ketentuan dalam PP Desa inilah yang kemudian menyebabkan banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang tidak memiliki kepercayaan diri untuk menerbitkan Perda tentang BPD. Pemerintah Kabupaten/Kota khawatir jika nanti Perda yang diterbitkan akan bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang BPD, sehingga ketentuan Perda akan batal. Saat ini pada umumnya Pemerintah Kabupaten/Kota masih menunggu terbitnya Permendagri dimaksud. Dari pemaparan di atas, tampak adanya kerancuan regulasi. Namun jika mengacu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama pada pasal 7 ayat 1 jelas menyatakan bahwa secara hirarkis kedudukan UndangUndang berada di atas Peraturan Pemerintah.8 Mengacu pada ketentuan ini, semestinya Pemerintah Kabupaten/ Kota tidak perlu ragu untuk menyusun Perda tentang BPD, karena telah diamanatkan oleh Undang-Undang Desa. Penerbitan Perda ini tidak perlu menunggu terbitnya Permendagri tentang BPD, karena penerbitan Permendagri hanya dimandatkan melalui PP.
Ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU No. 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” 8
REKOMENDASI Terkait dengan regulasi BPD, maka kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Pemerintah Pusat untuk merevisi PP Desa yang 1. Mendorong mengatur tentang BPD Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa keraguan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun Peraturan Daerah tentang BPD karena menunggu terbitnya Peraturan Kementerian Dalam Negeri tentang BPD yang dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah tentang Desa. Semestinya Peraturan Pemerintah tentang Desa tidak perlu memandatkan Kementerian Dalam Negeri untuk menerbitkan peraturan menteri tersebut, karena mandat itu telah dinyatakan secara jelas oleh Undang-Undang Desa. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah tentang Desa terutama menghapus ketentuan pada pasal 79 yang menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, kewenangan, hak dan kewajiban, pengisian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.”
2.
Mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menerbitkan Perda tentang BPD
BPD sebagai institusi demokrasi desa telah diatur secara formal oleh Undang-Undang Desa. Namun desa juga telah terbiasa dengan praktik-praktik demokrasi secara informal. Sebagaimana dipahami juga bahwa praktik-praktik informal ini berbeda antara satu desa dengan desa lainnya serta berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi tertentu untuk mendorong agar secara formal BPD berfungsi, sekaligus praktik-praktik informal dalam demokrasi desa juga tidak dikorbankan. Selain terkait dengan informalitas, kebijakan tentang BPD juga mesti mengedepankan pendekatan new-institutionalism . Dalam konteks itulah, maka penting bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun Perda yang mengatur lebih lanjut tentang BPD, sebab Pemerintah Kabupaten/Kota lah yang mengetahui secara persis karakter masing-masing desa di wilayahnya, serta praktik-praktik informalitas apa saja yang berkembang di dalamnya. Hal-hal yang menurut PATTIRO perlu diatur di dalam peraturan daerah tersebut antara lain: A. PENGUATAN ORGANISASI Sebagai sebuah lembaga, BPD belum dikelola melalui mekanisme pengorganisasian yang baik. Dari hal yang paling elementer, hampir tidak ditemukan skema tentang struktur organisasi BPD. Pada hal yang lebih substantif, secara kelembagaan BPD kurang terlihat dalam mengorganisir para anggotanya, sehingga para anggota BPD terkesan bekerja tidak sistematis dan alakadarnya. Dari keseluruhan BPD yang diteliti, pada umumnya hanya sedikit saja dari anggota BPD yang aktif. Bahkan ada BPD yang aktif hanya ketuanya saja. Di desa yang lain, ada salah satu anggota BPD yang tidak aktif hingga enam bulan, namun tidak ada upaya secara kelembagaan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain soal pengorganisasian, lemahnya fungsi BPD juga karena secara kelembagaan BPD tidak didukung oleh staf yang mengelola sekretariat. Ketiadaan staf dan kesekretariatan menyebabkan BPD tidak dikelola secara memadai sebagai sebuah lembaga. Hal ini berbeda dengan pemerintah desa yang memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk dukungan staf dan kesekretariatan. 9 Ketiadaan staf dan kesekretariatan ini juga mengakibatkan kurang dianggapnya BPD sebagai sebuah lembaga, tetapi lebih dipandang sebagai kumpulan individu semata. Lebih lanjut staf dan kesekretariatan akan membantu kinerja BPD dalam menjalankan urusan yang bersifat teknis dan operasional.
Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Dalam peraturan tersebut tertuang skema struktur Pemerintah Desa, dimana Pemerintah Desa didukung dengan Sekretariat Desa yang diketuai oleh Sekretaris Desa yang membawahi para Kepala Urusan. 9
B. MEKANISME HAK BAGI BPD Isu yang mengemuka dalam temuan penelitian juga terkait dengan hak anggota BPD. Pendapat yang mengemuka beranggapan bahwa hak yang diterima oleh anggota BPD dirasa masih jauh dibanding dengan yang diterima oleh kepala desa. Meskipun sebenarnya banyak hak yang seharusnya diperoleh anggota BPD, namun dalam praktiknya hak-hak tersebut belum sepenuhnya diterima. Pasal 78 Peraturan Pemerintah Desa menyatakan bahwa pimpinan dan anggota BPD mendapatkan hak untuk memperoleh tunjangan pelaksanaan tugas dan fungsi dan tunjangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; biaya operasional; pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, dan kunjungan lapangan dan penghargaan dari pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota bagi pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Dari beberapa hak yang diatur oleh Peraturan Pemerintah tersebut, hanya tunjangan tugas dan fungsi saja yang telah diberikan. Itupun dengan jumlah yang tidak tentu jumlahnya. Pengaturan ini harus lebih dipertegas lagi dari sisi prosedur dan mekanisme pemenuhannya, sehingga ada standar yang dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten/kota untuk memenuhi hak-hak tersebut. C. PENGUATAN KAPASITAS BPD Secara individual, anggota BPD tampak kurang memiliki kapasitas yang memadai terkait langsung dengan fungsinya. Sebut saja misalnya, dalam fungsinya sebagai pembahas rancangan Perdes, anggota BPD semestinya memiliki kemampuan dalam bidang legal drafting. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar anggota BPD tidak memiliki kemampuan tersebut. Dengan demikian rancangan Perdes lebih banyak berasal dari kepala desa. Dalam hal pengawasan kepala desa, banyak anggota BPD yang kurang memahami konsep pengawasan yang sesungguhnya, sehingga yang dilakukan hanyalah pengawasan secara parsial, yakni sebatas mengawasi pembangunan fisik. Selain itu, kemampuan dasar seperti berkomunikasi juga kurang dikuasai oleh para anggota BPD. Padahal sebagai penyalur aspirasi masyarakat, anggota BPD semestinya memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni, bahkan seharusnya sampai tingkat dapat mempengaruhi orang lain. Sebagaimana diatur dalam PP Desa, selain mendapatkan hak dalam bentuk pendanaan, BPD juga berhak mendapatkan pengembangan kapasitas. Pada peraturan yang diterbitkan nanti hendaknya mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk pengembangan kapasitas yang terkait langsung fungsi-fungsi BPD. Dengan demikian pengembangan kapasitas itu menjadi lebih terarah. Selain itu, harus ditegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab dalam pengembangan kapasitas BPD.
Ilustrasi: http://4shared.com/
Foto: http://sosyologlar.net/
REFERENSI Buku: Antlöv, Hans. 2002. “Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal”, edisi terjemahan oleh Pujo Semedi. Yogyakarta: LAPPERA. Maschab, Mashuri. 2013. “Politik Pemerintahan Desa di Indonesia”. Yogyakarta: PolGov. Yasin, Muhammad, dkk. 2015. “Anotasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”. Jakarta: PATTIRO. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
PUSAT TELAAH DAN INFORMASI REGIONAL
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) yang didirikan pada 17 April 1999 adalah sebuah lembaga riset dan advokasi yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Dengan berfokus pada tiga sektor yaitu peningkatan kualitas pelayanan publik, perbaikan pengelolaan keuangan publik, dan transparansi, kegiatan-kegiatan PATTIRO didedikasikan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan meningkatkan partisipasi publik di Indonesia. Kegiatan-kegiatan PATTIRO antara lain adalah melakukan penelitian dan menyelenggarakan lokakarya serta pelatihan melalui asistensi teknis, pembentukan komunitas dan publikasi, serta mengembangkan inovasi-inovasi untuk memperbaiki kualitas pengelolaan pelayanan publik di seluruh Indonesia. Melalui jaringan PATTIRO Raya yang tersebar di 15 wilayah, PATTIRO bekerja di 17 provinsi dan lebih dari 70 kabupaten/kota di Indonesia. Berkat hasil kerjanya, sejak tahun 2011 hingga 2015, PATTIRO meraih penghargaan dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat sebagai salah satu lembaga think tank terbaik di bidang riset dan advokasi kebijakan.
PATTIRO POLICY BRIEF Pemberdayaan Badan Permusyawaratan Desa untuk Penguatan Demokrasi Desa © 2016, PATTIRO Alamat: Jalan Mawar, Komplek Kejaksaan Agung Blok G35, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12520 - Indonesia Nomor Telepon: +62 21 7801314 Facebook: PATTIRO | Twitter: @InfoPattiro | Website: www.pattiro.org | Email:
[email protected]