Pembentukan Lembaga Penjamin Kredit dan Inisiatif BUMN*) Oleh Sunarsip¶ Dari diskusi yang penulis lakukan dengan para pelaku di sektor keuangan (perbankan dan asuransi), tampaknya ada keinginan yang kuat agar Indonesia segera memiliki lembaga penjamin kredit (LPK/credit agencies) yang kuat. Keinginan ini sesungguhnya tandem dengan visi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dalam kampanye di acara penajaman visi dan misi calon presiden tanggal 15 September 2004 lalu, SBY menyatakan bahwa perlunya Indonesia memiliki LPK yang kuat dan berdaya untuk mendukung program pembangunan ekonomi. Pertanyaannya: kenapa LPK yang kuat ini perlu? Pertama, dari sudut pandang makro ekonomi, penjaminan kredit merupakan bentuk subsidi kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK) tanpa menimbulkan distorsi. Ini mengingat, dengan adanya penjaminan kredit, maka persyaratan jaminan (collateral) yang selama ini membebani UKMK akan dapat teratasi karena penjaminan kredit dapat berfungsi sebagai pengganti jaminan (collateral substitution). Perlu diketahui, selama ini dalam prakteknya bank-bank dalam pemberian kreditnya kepada UKMK umumnya mensyaratkan jaminan sekitar 250% yaitu 100% jaminan pokok dan 150% jaminan tambahan dalam bentuk asset. Dengan persyaratan ini, jelas UKMK sulit menperoleh kredit dari perbankan, sehingga oleh perbankan UKMK dianggap tidak bankable. Dengan adanya penjaminan kredit ini, UKMK yang sebelumnya tidak memiliki akses pembiayaan, maka melalui penjaminan kredit dapat memperoleh kredit sebagai modal usaha sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas, lebih banyak menyerap tenaga kerja sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Kedua, penjaminan kredit juga dapat digunakan sebagai media implementasi kebijakan pemerintah terhadap sektor-sektor prioritas. Sebagai contoh, dalam Infrastructure Summit 1718 Januari lalu, pemerintah telah mencanangkan proyek pembangunan infrastruktur senilai Rp1.303 triliun selama 2005-2009. Dari jumlah itu, diharapkan keterlibatan perbankan domestik cukup besar yaitu sekitar Rp40 triliun. Persoalannya adalah, ternyata investasi di sektor infrastruktur ini bersifat high risk dan memiliki maturity profile problem. Dengan adanya persoalan ini, perbankan pun akan menuntut tingkat pengembalian (return) yang tinggi yang bisa menghambat motivasi perbankan untuk masuk ke sektor itu. Melalui penjaminan kredit, maka persoalan tersebut dapat diatasi. Sebab, dengan adanya penjaminan kredit, itu berarti telah terjadi transfer risiko dari perbankan kepada pihak lain yang memiliki kapabilitas/kemampuan untuk menyerap risiko. Melalui penjaminan kredit, pemerintah juga dapat mengarahkan arus investasi ataupun dukungan pembiayaan ke sektor-sektor khusus lainnya seperti pengembangan ekspor non migas, industri-industri khusus, daerah-daerah tertentu yang kurang berkembang, serta sasaran-sasaran tertentu yang ingin dicapai seperti perbaikan lingkungan hidup, dan lain-lain. Ketiga, penjaminan kredit juga bermanfaat bagi bank dan lembaga pembiayaan lainnya karena terdapat peluang untuk meningkatkan keuntungan sekaligus menurunkan risiko. Ini mengingat, jika eksposur risiko dijamin LPK, maka bank dan lembaga pembiayaan dapat *)
Dimuat di harian Investor Daily, 27 April 2005 Penulis adalah Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence. The Indonesia Economic Intelligence adalah lembaga riset yang fokus melakukan kajian terhadap masalah-masalah kebijakan dan regulasi ekonomi beralamatkan di www.iei.or.id.
¶
meningkatkan kapasitas kredit dan pembiayaan sekaligus keuntungan yang akan diperoleh tanpa harus menambah modal. Kemudian, jika terjadi default, penggunaan skim penjaminan/asuransi kredit juga akan menjamin bank dan lembaga pembiayaan untuk mendapatkan pelunasan lebih cepat dibandingkan jika harus melikuidasi agunan debitur. Dari setidaknya ketiga manfaat ini, pada akhirnya keberadaan LPK yang kuat akan berdampak pada terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan daya saing ekonomi nasional & pengurangan biaya transaksi, serta peningkatan investasi khususnya untuk infrastruktur.
Kondisi LPK di Indonesia Penjaminan kredit merupakan hal yang sudah lazim terjadi di negara-negara lain. Di beberapa negara seperti India, Malaysia, dan Jepang, penjaminan kredit tidak hanya diberikan kepada usaha yang telah establish, tetapi juga diberikan kepada usaha baru, usaha yang akan didirikan oleh pengusaha muda, usaha franchising, promosi ekspor, memperbaharui mesin dan alat produksi dalam rangka meningkatkan efisiensi untuk persaingan. Kelompok sasaran dari perusahaan di beberapa negara secara jelas disebutkan dan bisa saja individu, perusahaan baru atau asosiasi. Sebagai contoh, perusahaan penjaminan dapat memberikan penjaminan untuk usaha di sektor tertentu yang mempunyai kriteria secara jelas, baik menurut omset atau jumlah tenaga kerja. Di samping itu, di India atau Taiwan, suatu usaha baru, pengusaha muda, atau usaha yang akan melakukan promosi bisnis ke luar negeri dapat menjadi klien. Dilihat dari kinerja bisnis, LPK di negara lain juga tumbuh sangat pesat sejalan dengan pertumbuhan di sektor perbankan dan lembaga pembiayaannya lainnya. Di Jepang, misalnya, pada tahun 1999, sekitar 2,2 juta UKM (sekitar 34,4% dari seluruh UKM menikmati manfaat sistem penjaminan kredit dan sistem asuransi kredit. Sekitar 90% dari perusahaan tersebut adalah perusahaan kecil dengan tenaga kerja sampai dengan 50 orang. Karakteristik LPK di beberapa negara, lihat Tabel. Di Indonesia, penjaminan kredit sesungguhnya bukan hal yang baru. Penjaminan kredit telah diperkenalkan sejak 1970, yaitu dengan dibentuknya Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK), sebuah lembaga penjaminan kredit koperasi yang merupakan cikal bakal bagi Perum Pengembangan Keuangan Koperasi yang kemudian pada tahun 2000 menjadi Perum Sarana Pengembangan Usaha (Perum Sarana). Pada tahun 1971, Pemerintah pun mendirikan PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dengan tujuan mempermudah akses bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk memperoleh kredit bagi usahanya. Saat ini, pemegang saham PT. Askrindo adalah 45% (Pemerintah RI) dan 55% (Bank Indonesia). Kemudian, untuk mendukung peningkatan ekspor non migas, maka pada tahun 1985, Pemerintah RI mendirikan PT. Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI) yang bergerak dalam asurans kredit dan penjaminan yang berkaitan dengan pembiayaan ekspor dan impor. Selain LPK yang dimiliki pemerintah (BUMN) di atas, di Indonesia juga terdapat LPK yang dimiliki swasta, yaitu Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia (PKPI) yang didirikan oleh Kadin pada tahun 1997, setelah Menteri Keuangan menerbitkan Surat Keputusan No. 486/1996 tentang perusahaan penjaminan kredit. Meski keberadaan LPK ini telah lama beroperasi, namun perkembangannya belum mencapai kondisi yang diharapkan. PT. Askrindo, misalnya, tidak dapat berfungsi secara baik karena modalnya kecil, demikian pula Perum Sarana. Kantor-kantor cabang BUMN LPK juga masih terbatas pada operasi di Ibukota dan sebagian Ibukota propinsi. PKPI memang merupakan perusahaan yang aktif, namun demikian tidak memainkan peranan penting di pasar. Terlebih lagi, modal disetor PKPI hanya sebesar Rp10 miliar sehingga tidak mampu 2
menjangkau daerah-daerah bank melalui pembukaan perwakilan apalagi cabang. Sedangkan, PT. ASEI yang bergerak dalam asuransi kredit dan penjaminan, terakhir tidak lagi khusus berkaitan dengan pembiayaan ekspor dan impor. Sebagai perusahaan yang memberikan jasa penjaminan, dukungan permodalan yang kuat merupakan indikator utama kemampuan perusahaan menanggung risiko. Namun pada kenyataannya, struktur permodalan yang dimiliki LPK di Indonesia belum mencapai taraf yang memadai. Hal ini berbeda dengan LPK di beberapa negara Asia lainnya. Korea Credit Guarantee Fund, misalnya, memiliki modal lebih dari Rp85 triliun (12,1 Won) dan Credit Guarantee Corporation di Malaysia memiliki modal lebih dari RM3 miliar (atau setara lebih dari Rp6,5 triliun). Selain itu, penyertaan modal pada LPK di negara-negara tersebut ada yang bersifat kumulatif (tambahan modal setiap tahunnya dicadangkan dari anggaran negara atau presentase tertentu dari keuntungan yang diperoleh lembaga keuangan) sehingga kapasitas modal dapat terus ditingkatkan untuk mendukung meningkatnya cakupan penjaminan usaha. Dari sisi kelembagaan, LPK di Indonesia juga belum memenuhi standar efisiensi dan efektivitas yang memadai. Kurangnya ketrampilan dalam pengelolaan modal dan manajerial menyebabkan perkembangan LPK di Indonesia sangat lambat. Ditambah lagi seringnya kasus-kasus penundaan pembayaran klaim asuransi menyebabkan perbankan kehilangan kepercayaan terhadap LPK. Meski proses adaptasi terhadap best practices dan standar internasional telah dilakukan, namun beberapa kondisi spesifik sepertu belum terbentuknya insurance-minded masyarakat dan pelaku bisnis, keengganan untuk memanfaatkan jasa penjaminan serta dukungan sistem rating atau scoring yang belum memadai, memberikan tantangan tersendiri bagi upaya meningkatkan peranan LPK yang masih sangat lambat. Kesimpulannya, kurangnya permodalan, keterampilan pengelolaan dana, rendahnya kultur masyarakat terhadap asuransi dan penjaminan, serta kurangnya komitmen dan dukungan yang kongkrit dari pemerintah menyebabkan LPK di Indonesia tidak mampu berperan secara optimal.
Merger BUMN LPK Melihat kondisi tersebut, maka mau tidak mau harus ada inisiatif untuk menata dan mengoptimalkan kembali peran LPK di Indonesia. Dan karena pemain utama LPK di Indonesia masih BUMN, maka inisiatif untuk itu seharusnya memang berasal dari BUMNBUMN yang beroperasi sebagai LPK yang didukung pula oleh Kementerian BUMN sebagai pemegang saham. Pertanyaannya, bagaimana bentuk inisiatif BUMN dalam rangka memberdayakan LPK di Indonesia tersebut? Penulis melihat bahwa kapasitas (networth) tinggi yang didukung oleh permodalan yang besar merupakan hal yang mutlak untuk mendukung terwujudnya LPK yang kuat. Dengan demikian, di saat APBN kita yang masih dibebani defisit yang cukup besar sehingga tidak memungkinkan untuk menyuntikkan modal baru ke BUMN LPK, maka langkah value creation melalui penggabungan (merger) BUMN LPK yang ada merupakan pilihan yang paling realistis untuk dilakukan. Saat ini, Pemerintah RI memiliki tiga perusahaan yang berperan sebagai LPK, yaitu Askrindo, ASEI, dan Perum Sarana. Dalam Master Plan Revitalisasi BUMN 2005-2009, kecuali Perum Sarana, merger antara Askrindo dan ASEI sudah direncanakan. Perum Sarana memang tidak dimasukkan dalam rencana tersebut, karena status hukumnya masih berbentuk Perum. Dengan demikian, jika Perum Sarana dilibatkan dalam skenario merger ini, maka statusnya perlu dinaikkan menjadi Persero. 3
BUMN lain yang dapat dipertimbangkan masuk skenario merger untuk membentuk LPK yang kuat adalah Bank Ekspor Indonesia (BEI). Ini mengingat, sesungguhnya semangat pendirian BEI dahulu adalah adalah membentuk export credit agency (ECA), bukan membuat export financing bank atau banker’s bank. Dengan demikian, operasional BEI dapat dikembalikan kepada spirit semula yaitu sebagai ECA. Sementara itu, export financing dapat diserahkan kepada mekanisme bank komersial yang di masa lalu telah ada Bank Exim yang kini dilebur ke Bank Mandiri. Sejumlah kalangan memang menolak bila BEI ini digabungkan dengan BUMN LPK yang ada untuk membentuk LPK yang kuat. Alasannya, Indonesia masih memerlukan BEI untuk menunjang ekspor. Justru, beberapa pihak ini mengusulkan agar status BEI secepatnya diubah menjadi lembaga pembiayaan ekspor, meski sebenarnya kegiatan BEI selama ini telah seperti lembaga pembiayaan ekspor disamping juga berperan sebagai penjamin kredit modal ekspor maupun penjamin L/C impor. Kenapa perlu merger antar LPK BUMN? Pertama, LPK perlu kapasitas (networth) tinggi serta infrastruktur memadai untuk memiliki daya dukung atas keseluruhan sistem perkreditan bank secara nasional. Kedua, dengan merger maka akan terjadi efisiensi dalam pengelolaan sehingga tarif premi menjadi murah. Ketiga, merger sekaligus dapat memecahkan masalah divestasi Askrindo dengan self acquisition share Bank Indonesia oleh LPK hasil merger. LPK pasca merger ini kemudian dapat pula diarahkan untuk mengembangkan usahanya dengan membuka cabang-cabang di daerah atau melakukan kerja sama kepemilikan dengan Pemerintah Daerah untuk membentuk LPK Daerah (LPKD). Dan untuk lebih meningkatkan permodalan LPK, bank-bank rekap BUMN juga dapat diarahkan untuk menjadi pemegang saham LPK dengan cara menukarkan obligasi rekap yang dimiliki bank dengan saham LPK pasca merger (bond to equity swap). Dengan demikian, bunga obligasi rekap yang tadinya dinikmati oleh bank-bank rekap, kini dinikmati oleh LPK pasca merger sehingga dapat digunakan untuk memperkuat permodalan. Untuk mempercepat pembangunan ekonomi, rasanya tidak ada jalan lain kecuali dengan langkah-langkah terobosan. Sebab, jika hanya mengandalkan eksistensi LPK seperti saat ini, sulit rasanya untuk menopang percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dengan demikian, rasanya memang keberadaan LPK yang kuat, baik dari sisi permodalan, skill manajerial, dan infrastruktur, mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan perekonomian Indonesia yang lebih baik.***
4
Tabel: Praktek Lembaga Penjaminan Di Beberapa Negara Tetangga No. Negara
Karakteristik LPK Yang Berlaku
1.
India
• Penjaminan kredit dilakukan oleh Credit Guaratee Fund Trust for Small Industries (CGTSI) yang didirikan oleh Pemeirntah India dan SIDBI (Small Industries Development Bank of India). • CGTSI membantu tersedianya kredit bebas kolateral kepada industri kecil dengan menanggung 75% risiko kredit yang diberikan oleh member lending institutions (MLI). • Reserve Bank of India (RBI) mengeluarkan edaran kepada lembaga keuangan yang terdaftar di perusahaan penjaminan CGTSI bahwa kredit yang dijamin oleh CGTSI dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPAP. • Perusahaan penjaminan melakukan coverage penjaminan secara langsung;
2.
Malaysia
• Penjaminan kredit dilakukan oleh Credit Guarantee Corporation (CGC). Tujuan utamanya adalah mendukung pemberian kredit kepada sektor industri kecil dan menengah yang tidak memiliki kemampuan dalam penyediaan agunanan memadai. • Untuk kredit yang dijamin oleh CGC, otoritas perbankan Malaysia menetapkan bobot risiko sebesar 20% dengan alasan bahwa hampir 80% sahamnya dimiliki oleh Bank Negara Malaysia. • Penjaminan Kredit Berlaku bagi Usaha Baru, Usaha yang didirikan oleh pengusaha Muda, franchising, promosi ekspor, memperbaharui mesin dan alat produksi; • Perusahaan penjaminan melakukan coverage penjaminan secara langsung;
3.
Jepang
• Penjaminan kredit dilakukan oleh Credit Guarantee Corporation (CGC). Saat ini terdapat sekitar 52 CGC di seluruh Jepang yaitu 47 ibukota kabupaten dan sisanya berada pada kotamadya. • Pemerintah Jepang membentuk Japan Small and Medium Enterprise Corporation (JASMEC) pada tahun 1999 yang merupakan gabungan antara Small Business Credit Insurance Corporation (JSBC) dan Japan Credit Insurance Corporation (Japan CIC); • Kredit yang dijaminkan oleh CGC kemudian diasuransikan lagi (reasuransi) ke JASMEC; • Berlaku dua sub sistem yang saling berintegrasi, yaitu (i) sistem penjaminan kredit dan (ii) sistem asuransi kredit. • Penjaminan Kredit Berlaku bagi Usaha Baru, Usaha yang didirikan oleh pengusaha Muda, franchising, promosi ekspor, memperbaharui mesin dan alat produksi; • Perusahaan penjaminan melakukan coverage penjaminan dan kemudian mengasuransikannya kepada perusahaan asuransi (reasuransi).
4.
Taiwan
• Penjaminan kredit dilakukan melalui Small and Medium Business Credit Guarantee Fund (SMBCGF) yang modalnya berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Lembaga Keuangan. • SMBCGF tidak meminta agunan sebagai jaminan kredit; • Penjaminan berlaku bagi: perusahaan pengolahan atau konstruksi, usaha non pengolahan, UKM dengan kriteria yang sama dengan usaha non pengolahan, pengusaha muda yang prospek, promosi ekspor, perusahaan yang skala usahanya lebih besar dari batas bawah ukuran UKM • Perusahaan penjaminan melakukan coverage penjaminan secara langsung; 5
Tabel: Praktek Lembaga Penjaminan Di Beberapa Negara Tetangga No. Negara
Karakteristik LPK Yang Berlaku
5.
• Penjaminan kredit diselenggarakan oleh Small Industry Credit Guarantee Corporation (SICGC) yang didirikan tahun 1991. SICGC sebagian besar dimiliki oleh Menteri Keuangan, IFCT, SIFC, dan GSB. Sebagian lagi dimiliki oleh Thai Bankers Association dan Krung Thai Bank PCL. • Terhadap kredit yang dijamin oleh SICGC, perbankan Thailand menetapkan bobot risiko secara umum tetap mengikuti aturan sebagaimana diatur dalam Accord 88, meskipun 93% saham SICGC dimiliki oleh Pemerintah Thailand. • Ketentuan penjaminan ditetapkan: (i) nilai penjaminan maksimum 50% dari jumlah kredit yang diberikan; (ii) maksimum penjaminan per debitur 10 juta Baht; (iii) SICGC minta jaminan perorangan dari pemiliki usaha; (iv) jangka waktu penjaminan maksimum 1 tahun, namun dapat diperbaharui; (v) fee penjaminan 2-2,75%; (vi) berlaku untuk semua jenis usaha dan jenis penjaminan.
Thailand
Sumber: diolah dari berbagai sumber
6