Peran Kepemimpinan terhadap peningkatan Kinerja Pegawai Negeri
Oleh Mardin
LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN (LPMP) SULAWESI SELATAN 2014
1 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
ABSTRAK Awal dari pembentukan suatu organisasi adalah penetapan tujuan dari organisasi tersebut, tujuan tersebut akan menjdi landasan bersama oleh anggota organisasi untuk diwujudkan. Tujuan organisasi yang telah ditetapkan akan tercapai secara efektif dan efisien jika didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten. Karakter organisasi terdiri dari : (1) Struktur (structure) Setiap organisasi berkembang melalui beberapa tipe struktur setelah melewati jangka waktu tertentu. Para anggota organisasi dibedabedakan atas dasar faktor-faktor seperti keahlian, status, dan semacamnya. (2) Hirarki Status (status hierarchy) Status yang dimiliki posisi tertentu merupakan konsekuensi dari karakteristik tertentu yang membedakan antara posisi yang satu dengan yang lain. (3) Peran (roles) Setiap posisi dalam organisasi mempunyai peran yang saling berhubungan, yang terdiri dari sikap dan tingkah laku yang menduduki posisi tersebut. (4) Norma (norms) Norma merupakan seperangkat aturan standart yang diterima oleh para anggota organisasi. Setiap anggota diharapkan tunduk kepada norma agar roda organisasi bisa berjalan tertib dan terarah. (5) Persesuaian norma (norma conformity) Persesuaian norma ini ditentukan empat macam ialah Kepribadian para anggota organisasi, Stimulus yang menimbulkan tanggapan, Situasi yang baik,dan Hubungan antar kelompok. Dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang pada akhirnya merupakan kinerja pegawai. Kinerja dibagi menjadi dua macam, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan atau pegawai baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kine,rja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok (Mangkunegara, 2006:9). Kinerja adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Kinerja dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar) kualitas yang berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu adalah kesesuaian waktu yang telah direncanakan. Pencapaian kinerja tersebut dicapai oleh karena pemimpin melaksanakan peran kepemimpinannya. . Peran baru kepemimpinan tersebut menurut Senge (dalam LAN 2004:149) terdiri dari: 1. Pemimpin sebagai perancang (leader as designer), tugas pertama sehubungan dengan merancang ide adalah tujuan, visi, dan nilai-nilai yang dibangun secara bersama-sama 2. Pemimpin sebagai pelayan (leader as steward), tugas pemimpin adalah untuk mengelola kepentingan anggota, pemimpin belajar mendengar visi orang lain dan mengubah visi peribadinya jika diperlukan. 3. Pemimpin sebagai guru (leader as teacher), pemimpin sebagai guru tidak berarti mengajar orang untuk mencapai visinya. Akan tetapi, lebih kepada memberi dukungan pada setiap orang untuk belajar. Pemimpin yang demikian membantu anggota organisasi mengembangkan pemikiran yang sistemik. Selain peran baru pemimpin tersebut harus pula didukung dengan keterampilan baru (new skills), yaitu (1) membangun visi bersama, (2) memunculkan dan menantang modelmodel mental, dan (3) melibatkan diri dalam berpikir sistemik. Kata Kunci : Organisasi, Kepemimpinan dan kinerja
2 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
A. PENDAHULUAN Setiap organisasi didirikan diawali dengan adanya tujuan tertentu yang akan dicapai dari organisasi tersebut, sebagaimana pengertian organisasi bahwa organisasi adalah sekumpulan atau wadah bagi sekelompok orang untk bekerja sama terkendali dan terpimpin untuk tujuan tertentu. Tujuan organisasi tersebut dapat dicapai melalui tindakan yang harus dilakukan bersama oleh sumber daya manusia dan dengan persetujuan bersama. Jadi apabila tujuan itu membawa kebaikan bagi anggota maupun masyarakat, namun ciri organisasi itu sama. Bahwa perilaku organisasi terarah pada tujuan (directed behavior). Artinya organisasi itu mengejar tujuan dan sasaran yang dapat dicapai secara lebih efisien dan lebih efektif dengan tindakan yang dilakukan secara bersamasama. Hal ini berarti bahwa organisasi merupakan alat yang sangat diperlukan dalam masyarakat. Organisasi yang baik dalam pendidikan misalnya, memberi keuntungan yang sangat mengesankan bagi anggota maupun masyarakat tentang hasil pendidikan. Roda organisasi bisa berjalan dengan lancar apabila organisasi itu tetap dalam kaidah karakteristiknya. Adapun karakteristik (characteristics of organization) antara lain : (1) Struktur (structure) Setiap organisasi berkembang melalui beberapa tipe struktur setelah melewati jangka waktu tertentu. Para anggota organisasi dibeda-bedakan atas dasar faktorfaktor seperti keahlian, status, dan semacamnya. (2) Hirarki Status (status hierarchy) Status yang dimiliki posisi tertentu merupakan konsekuensi dari karakteristik tertentu yang membedakan antara posisi yang satu dengan yang lain. (3) Peran (roles) Setiap posisi dalam organisasi mempunyai peran yang saling berhubungan, yang terdiri dari sikap dan tingkah laku yang menduduki posisi tersebut. (4) Norma (norms) Norma merupakan seperangkat aturan standart yang diterima oleh para anggota organisasi. Setiap anggota diharapkan tunduk kepada norma agar roda organisasi bisa berjalan tertib dan terarah. (5) Persesuaian norma (norma conformity) Persesuaian norma ini ditentukan empat macam ialah Kepribadian para anggota organisasi, Stimulus yang menimbulkan tanggapan, Situasi yang baik,dan Hubungan antar kelompok. Suatu organisasi akan mengalami perubahan organisasional dan perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk merespon hasrat dan keinginan para anggota organisasi dan stake holders organisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa setiap organisasi harus selalu peka terhadap kekuatan lingkungan yang mempengaruhi organisasi dimana lingkungan internal selalu adptip atas perubahan lingkungan eksternal organisasi tersebut. Setiap perubahan selalu akan melibatkan manusia (dilakukan manusia) dan mempengaruhi terhadap pengelolaan SDM. Perubahanperubahan organisasional yang diakibatkan atas terjadinya perubahan lingkungan 3 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
organisasi akan berimplikasi terhadap pengelolaan SDM, pengelolaan SDM terjadi karena : 1. 2. 3. 4.
Adanya kebijakan baru bdari pemerintah Perubahan strategi yang berfokus kepada pelayanan yang kualitas Restrukturisasi (Pemakaran/ perampingan) organisasi Respon terhadap tuntutan yang positif dan objektif dari anggota dan stake holders organisasi
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan lingkunan organisasi dari empat kriteria di atas menuntut peningkatan etos kerja anggota organisasi secara optimal. Adapun kinerja organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satu diantaranya jenis anggota organisasi itu sendiri. Jenis anggota organisasi meliputi kurang mampu melaksanakan pekerjaan diperlukan pelatihan, sehingga kemampuan/ keterampilan kerja meningkat. Anggota yang mampu melaksanakan pekerjaan, dilakukan pengembangan sehingga pengetahuan meningkat. B. KEPEMIMPINAN DAN KINERJA 1. Teori kepemimpinan Pada bagian ini dijelaskan tentang beberapa teori kepemimpinan, seperti teori sifat, teori kepribadian perilaku, teori kepemimpinan situasional, teori kepemimpinan transaksional, dan teori kepemimpinan transformasional. Hersey dan Blanchard (1995:99) mengemukakan dua pendekatan dalam teori kepemimpinan, yaitu pendekatan sifat dan pendekatan situasional. Pendekatan sifat memandang bahwa ada karateristik tertentu, seperti daya fisik atau keakraban yang esensial bagi kepemimpinan yang efektif. Kualitas bawaan pribadi, seperti kecerdasan, dipandang dapat dialihkan dari satu situasi ke situasi yang lain. Tidak semua orang memiliki kualitas bawaan pribadi seperti itu. Hanya mereka yang memiliki kualitas pribadi bawaan yang dapat dipandang sebagai pemimpin potensial. Konsekuensinya, pendekatan ini tampaknya mempersoalkan nilai pelatihan orang untuk memikul jabatan kepemimpinannya. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa apabila dapat ditemukan cara mengidentifikasi dan mengukur kualitas kepemimpinan seorang pemimpin (yang dimiliki orang sejak lahir), maka dapat ditentukan sosok pemimpin dan yang bukan pemimpin. Pelatihan kepemimpinan hanya akan bermanfaat bagi mereka yang memang telah memiliki sifat kepemimpinan sejak lahir. Sejalan dengan pendapat di atas, Rivai (2006:9) menyimpulkan pendapat beberapa pakar bahwa teori sifat adalah teori yang mencari sifat kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin. Berdasarkan teori ini, kepemimpinan merupakan bakat bawaan (dibawa sejak lahir). Misalnya, ditemukan adanya enam macam sifat yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin, yaitu ambisi dan energi, keinginan untuk memimpin, kejujuran dan integritas, rasa percaya diri, intelegensi, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Akan tetapi, teori sifat ini tidak memberikan bukti dan adanya indikasi kesuksesan seorang pemimpin. Pendapat Hersey dan Blanchard (1995) dan Rivai (2006) memiliki kesamaan pandangan bahwa seorang pemimpin dilahirkan sebagai pemimpin. Artinya, seorang pemimpin memiliki sifat bawaan sebagai pemimpin sejak dilahirkan. Oleh karena itu, teori ini berusaha untuk mengidentifikasikan karakteristik khas (fisik, mental, 4 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
kepribadian) yang dikaitkan dengan keberhasilan kepemimpinan. Penekanan teori ini pada atribut pribadi dari para pemimpin, yang didasarkan pada asumsi bahwa beberapa orang merupakan pemimpin alamiah dan dianugerahi beberapa ciri yang tidak dipunyai orang lain, seperti energi yang tidak ada habisnya, intuisi yang mendalam, pandangan masa depan yang luar biasa, dan kekuatan persuasif yang tidak tertahankan. Teori kepemimpinan sifat menyatakan bahwa keberhasilan manajerial disebabkan oleh kemampuan luar biasa dari seorang pemimpin. Berdasarkan teori kepemimpinan sifat, Keith Davis (dalam Miftah Thoha, 2009:287) merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi. Keempat sifat umum tersebut dijelaskan berikut ini. Pertama, kecerdasan. Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian, yang sangat menarik dari penelitian tersebut, yakni pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya. Kedua, kedewasaan dan keluasan hubungan sosial. Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas sosial. Pemimpin yang demikian ini mempunyai keinginan menghargai dan dihargai. Ketiga, motivasi dan dorongan berprestasi. Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik. Keempat, sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya. Pemimpin seperti ini mempunyai perhatian, serta berorientasi pada karyawan, bukannya berorientasi pada produksi. Selain teori kepemimpinan sifat, terdapat pula teori kepemimpinan yang didasarkan pada kepribadian dan perilaku seorang pemimpin sehingga dikenal dengan teori kepribadian dan perilaku. Pada dasarnya, teori kepribadian dan perilaku ini juga mengamati sifat seorang pemimpin seperti yang ada pada teori sifat, namun para peneliti mengeksplorasi pemikiran bahwa perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan seseorang. Mereka menemukan perilaku serta pengaruhnya pada prestasi dan kepuasan dari pengikutnya. Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Riset Universitas of Michigan (dalam Rivai, 2006:12) mempunyai sasaran melokasi karakteristik perilaku kepemimpinan yang tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Melalui penelitian tersebut, diidentifikasi dua gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu jobcentered yang berorientasi pada pekerjaan dan employee-centered yang berorientasi pada karyawan. Pemimpin yang berorientasi pada tugas menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melakukan tugasnya dengan menggunakan prosedur yang telah ditentukan. Pemimpin ini mengandalkan kekuatan melalui paksaan, imbalan, dan hukuman untuk mempengaruhi sifat dan prestasi kerja pengikutnya. Perhatian pada orang dilihat sebagai suatu hal mewah yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh pemimpin. Pemimpin yang berpusat pada bawahan adalah pemimpin yang mendelegasikan pengambilan keputusan pada bawahan dan membantu pengikutnya dalam memuaskan kebutuhannya dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang suportif. Pemimpin yang berpusat pada karyawan memiliki perhatian terhadap
5 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
kemajuan, pertumbuhan, dan prestasi pribadi pengikutnya. Tindakan ini diasumsikan dapat memajukan pembentukan dan perkembangan kelompok. Selain hasil penelitian pada Pusat Riset Universitas of Michigan, ada pula hasil penelitian Fleishman (dalam Rivai, 2006:13) tentang perkembangan teori dua faktor dari kepemimpinan yang disebut membentuk struktur dan konsiderasi. Membentuk struktur artinya melibatkan perilaku pemimpin dalam mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan di dalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi yang jelas, dan menjelaskan cara mengerjakan tugas yang benar. Pemimpin yang memiliki kecenderungan membentuk struktur yang tinggi, berorientasi pada tujuan dan hasil. Konsiderasi artinya melibatkan perilaku yang menunjukkan persahabatan, saling percaya, menghargai, kehangatan, dan komunikasi antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin yang memiliki konsiderasi tinggi menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan partisipasi. Selanjutnya, Rivai (2006:9) menyimpulkan pendapat beberapa ahli mengenai tingkah laku pemimpin. Berdasarkan telaah tingkah laku pemimpin, maka lahirlah teori kepemimpinan tingkah laku. Teori kepemimpinan tingkah laku ini mengacu pada tingkah laku tertentu yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin. Berdasarkan teori ini, kepemimpinan itu dapat diajarkan. Itulah sebabnya, untuk melahirkan pemimpin yang efektif dapat dilakukan dengan mendesain sebuah program khusus. Berdasarkan pendapat Fleishman dan Rivai (2006) dapat dikatakan bahwa teori kepribadian dan perilaku didasarkan pada perilaku seorang pemimpin yang berorientasi pada tugas dan perilaku pemimpin terhadap karyawan. Selain itu, teori kepribadian perilaku memandang pembentukan struktur dan konsiderasi sebagai perilaku pemimpin yang efektif. Hal tersebut merupakan perbedaan dari teori sifat yang hanya memandang bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin adalah faktor bawaan. Meskipun kedua teori tersebut pada dasarnya mengamati tentang sifat yang dimiliki oleh pemimpin. Di samping itu, perbedaan yang lain adalah teori sifat yang memandang bahwa pemimpin yang efektif memang dilahirkan sebagai pemimpin, sedangkan teori kepribadian perilaku memandang bahwa kepemimpinan itu dapat diajarkan, sehingga untuk menciptakan pemimpin yang efektif bisa dilakukan dengan mendesain sebuah program khusus. Selain teori sifat dan teori kepribadian perilaku yang mengamati sifat dan perilaku seorang pemimpin, terdapat pula teori kepemimpinan yang didasarkan pada pengamatan tentang gaya yang digunakan seorang pemimpin. Teori ini muncul berdasarkan pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilaku, sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku manusia. Sekitar tahun 1967 Fred Fiedler (dalam Miftah Thoha, 2009:290) mengusulkan suatu model berdasarkan situasi untuk efektivitas kepemimpinan. Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan. Adapun situasi yang menyenangkan itu diterangkan dalam hubungannya dengan dua dimensi empiris. Pertama, hubungan pemimpin-anggota. Hal ini merupakan variabel yang paling penting di dalam menentukan situasi yang menyenangkan tersebut. Kedua, derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan masukan yang amat penting dalam menentukan situasi yang menyenangkan. Ketiga, posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan dimensi yang amat penting ketiga di dalam situasi yang menyenangkan. 6 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
Suatu situasi dapat menyenangkan pemimpin jika ketiga dimensi kepemimpinan yang dikemukakan oleh Fred Fiedler diterapkan dalam suatu organisasi. Dengan perkataan lain, suatu situasi akan menyenangkan jika (1) pemimpin diterima oleh para pengikutnya (derajat dimensi pertama tinggi), (2) tugas dan semua yang berhubungan dengan tugas itu ditentukan secara jelas (derajat dimensi kedua tinggi), dan (3) penggunaan otoritas dan kekuasaaan secara formal diterapkan pada posisi pemimpin (derajat dimensi ketiga juga tinggi). Rivai (2006:9) yang menyimpulkan pendapat beberapa ahli bahwa teori kemungkinan atau situasional mendasarkan bukan pada sifat atau tingkah laku seorang pemimpin, akan tetapi efektivitas kepemimpinan dipengaruhi oleh situasi tertentu. Dalam situasi tertentu diperlukan gaya kepemimpinan tertentu, demikian pula pada situasi yang lain diperlukan gaya kepemimpinan yang lain. Perbedaan mendasar antara teori kepemimpinan situasional dengan kedua teori sebelumnya, yaitu teori sifat dan teori kepribadian perilaku. Teori sifat menekankan pada sifat bawaan sebagai seorang pemimpin, teori kepribadian perilaku berorientasi pada perilaku pimpinan terhadap bawahannya, sedangkan teori kepemimpinan situasional berfokus pada gaya yang digunakan oleh seorang pemimpin pada situasi tertentu. Meskipun memiliki perbedaan, namun antara teori kepribadian perilaku dan teori kepemimpinan situasional memiliki persamaan terhadap pandangan bahwa pada umumnya orang dapat meningkatkan efektivitas peranan kepemimpinan mereka melalui pendidikan, pelatihan, dan pengembangan. Seiring dengan perkembangan zaman maka teori dalam organisasi pun mengalami perkembangan, termasuk teori kepemimpinan. Selain ketiga teori tersebut, terdapat pula teori kepemimpinan transaksional dan transformasional sebagai pengembangan dari ketiga teori tersebut. Kepemimpinan transaksional ditandai dengan pemimpin yang memandu atau memotivasi bawahannya, mengarah pada pencapaian tujuan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Menurut Bass (dalam Danin dan Suparno, 2009:52) pemimpin-pemimpin transaksional berusaha mempertimbangkan cara untuk menggantikan suatu tujuan dengan tujuan lain, bagaimana mengurangi resistensi terhadap tindakan-tindakan tertentu dan mengimplementasikan keputusan-keputusan. Seiring dengan tuntutan iklim kerja, sedikit demi sedikit terjadi pergeseran pendekatan kepemimpinan, yaitu dari kepemimpinan transaksional ke kepemimpinan transformasional. Walaupun demikian, bukan berarti kepemimpinan transaksional merupakan pendekatan yang berlawanan dengan kepemimpinan transformasional, karena kepemimpinan transformasional dapat dibangun dari pendekatan transaksional. Meskipun tidak berlawanan, namun kepemimpinan transaksional seringkali dipersandingkan dengan kepemimpinan transformasional, karena setiap perilaku kepemimpinan melahirkan transaksi antara pemimpin dan yang dipimpin. Menurut Bas (dalam Sudarwan Danin dan Suparno, 2009:53) kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan transaksional ini bertentangan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan dan atau mendorong semua unsur untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang bersedia, tanpa paksaan berpartisipasi secara optimal dalam rangka mencapai tujuan. Penerapan teori kepemimpinan yang telah dikemukakan di atas tidak mutlak dapat mengantarkan seorang pemimpin mencapai kepemimpinan yang optimal. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi, di 7 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
antaranya karakteristik dan kematangan bawahan. Oleh karena itu, selain memahami pengertian serta teori kepemimpinan, perlu pula memahami tentang peran kepemimpinan. 2. Pengertian Kinerja Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Mangkunegara (2006:9) mengemukakan bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang). Pengertian ini mengandung makna bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sementara itu, Wibowo (2009:7) menyatakan bahwa kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga proses kerja berlangsung. Kinerja adalah melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja dibagi menjadi dua macam, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan atau pegawai baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok (Mangkunegara, 2006:9). Pendapat yang dikemukakan Mangkunegara (2006) dan Wibowo (2009) memiliki persamaan dalam memandang kinerja sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun demikian, pendapat Wibowo (2009) lebih luas dalam memberikan pengertian kinerja, yaitu tidak hanya terbatas pada hasil kerja tetapi juga pada proses kerja berlangsung. Armstrong (dalam Wibowo, 2009) mengemukakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Pengertian ini bermakna bahwa kinerja ditentukan oleh tujuan yang akan dicapai, serta upaya untuk memberikan kepuasan terhadap konsumen, sehingga dapat memberikan kontribusi ekonomi terhadap organisasi. Sementara itu, Interplan (dalam Nasucha, 2004:107) mengemukakan bahwa kinerja berarti kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas atau pekerjaan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa kinerja merupakan upaya untuk melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan dan cara mengerjakannya, seberapa baik seseorang melakukan pekerjaannya, dan tolak ukur keberhasilan dalam melakukan suatu pekerjaan. Jika dikaitkan dengan peran individu dalam organisasi, kinerja adalah serangkaian perilaku atau kegiatan individu yang sesuai dengan harapan atau keinginan organisasi tempat individu bekerja. Di sisi lain, sejalan dengan perkembangan modernisasi sistem manajemen, kinerja tidak semata dinilai dari sisi personal atau pegawai saja, tetapi kinerja secara umum harus diartikan pula sebagai tingkat pencapaian hasil (degree of accomplishment) (Keban, 2008:210). Dalam konteks ini, kinerja harus menggambarkan hasil, bukan kemampuan dan cara atau perilaku. Mungkin kemampuan, cara atau perilaku menentukan atau mempengaruhi hasil atau tingkat ketercapaian, tetapi bukan menjadi bagian dari hasil tersebut. Pencapaian hasil dapat dinilai menurut pelaku, yaitu hasil yang diraih individu (kinerja individu), kelompok (kinerja kelompok), institusi (kinerja organisasi), dan suatu program atau kebijakan (kinerja program/kebijakan). 8 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
Sehubungan dengan konteks kinerja, Keban (2008:210) menjelaskan bahwa (1) kinerja individu menggambarkan pelaksanaan tugas seseorang sehingga dapat memberikan hasil yang ditetapkan oleh kelompok atau institusinya; (2) kinerja kelompok menggambarkan pelaksanaan kegiatan pokok suatu kelompok sehingga mencapai hasil yang ditetapkan oleh institusi; (3) kinerja institusi berkenaan dengan pelaksanaan semua kegiatan pokok suatu institusi sehingga mencapai misi atau visi institusi; dan (4) kinerja program/kebijakan berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan dalam program atau kebijakan yang telah dilaksanakan sehingga dapat mencapai tujuan program atau kebijakan tersebut. Dalam upaya untuk mengetahui sebuah kinerja individu, kelompok, maupun organisasi, maka dilakukan evaluasi kinerja, seperti yang diungkapkan oleh Wibowo (2009:375) bahwa evaluasi kinerja dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap dasil kerja atau prestasi kerja yang diperoleh organisasi, tim, atau individu. Hal senada dikemukakan oleh Keban (2008:213) bahwa penilaian kinerja secara popular lebih diartikan sebagai hasil kerja individu. Sementara itu, untuk mengetahui kinerja individu dari seorang pemimpin dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti yang dinyatakan oleh Dharma, (2009:199) bahwa sumber penilaian kinerja terdiri dari (1) penilaian atas diri sendiri, (2) penilaian oleh bawahan, (3) penilaian oleh rekan sejawat, (4) penilaian oleh multi assasment, dan (5) umpan balik dan konseling dalam penilaian kinerja. Kinerja adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Kinerja dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar) kualitas yang berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu adalah kesesuaian waktu yang telah direncanakan. Setelah memahami pengertian kinerja, maka semakin tampaklah bahwa kepemimpinan berkaitan dengan kinerja. Tanpa peranan pemimpin yang baik, seorang karyawan tidak dapat mencapai hasil kerja dari tugas yang dibebankan kepadanya. Namun demikian, masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja, baik kinerja individu, kelompok, bahkan kinerja organisasi. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya dibahas tentang faktor yang mempengaruhi kinerja. C. PERAN KEPEMIMPINAN Seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin yang efektif jika ia dapat memahami dan melaksanakan perannya dengan baik. Dengan perkataan lain, di samping sifat, perilaku, gaya yang dapat menentukan keefektifan seorang pemimpin, hal lain yang turut menentukan pula adalah peran seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Menurut Rivai (2006:148) peran dapat diartikan sebagai perilaku yang diatur dan diharapkan dari seseorang dalam posisi tertentu. Pemimpin di dalam organisasi mempunyai peranan, setiap pekerjaan membawa serta harapan tentang perilaku penanggung peran. Fakta bahwa organisasi mengidentifikasi pekerjaan yang harus dilakukan dan perilaku peran yang diinginkan yang berjalan seiring dengan pekerjaan tersebut, juga mengandung arti bahwa harapan mengenai peran penting dalam mengatur perilaku bawahan. Terjadinya perubahan lingkungan organisasi menuntut peran seorang pemimpin yang efektif. Perubahan lingkungan stratejik suatu organisasi terjadi begitu 9 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
pesat, utamanya pada perubahan lingkungan eksternal organisasi yang berkembang seperti deret ukur sehingga mempengaruhi lingkungan internal organisasi yang perkembangannya seperti deret hitung. Akibatnya, suatu organisasi kurang mampu memanfaatkan peluang dan meminimalkan ancaman yang akhirnya kurang mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggannya. Untuk mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal organisasi tersebut, maka lingkungan internal harus ditata dan diubah. Dengan perkataan lain, perubahan lingkungan internal organisasi dipercepat pula agar mampu merespons perubahan lingkungan eksternal dengan baik dalam melaksanakan organisasi pembelajar, menurut Senge (2002:59) bahwa ”Organisasi pembelajar adalah organisasi yang orang-orangnya secara terus-menerus meningkatkan kapasitas mereka untuk menciptakan tujuan yang didambakan, pola pikir baru dipelihara, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan setiap orang secara terus-menerus belajar untuk dapat belajar bersama.” Selanjutnya, Senge (2002:105) menyatakan bahwa organisasi pembelajar didasarkan pada lima prinsip, yaitu (1) keahlian pribadi, (2) mental model, (3) visi bersama, (4) pembelajaran tim, dan (5) pemeliharaan sistem. Keahlian pribadi merupakan upaya peningkatan kualitas pribadi untuk merekayasa hasil yang optimal dan menciptakan lingkungan organisasi yang mendorong semua agar lebih berkualitas dan dapat bekerja lebih baik sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai organisasi. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar sasaran yang diharapkan dalam pelaksanaan kegiatan organisasi dapat terwujud. Model mental bermakna terus mencari organisasi pembelajar agar diperoleh gambaran tentang lingkungan yang menjadi lebih baik. Hal tersebut dapat memperbaiki keputusan dan tindakan yang diambil. Visi bersama bermakna upaya dan komitmen kelompok untuk merancang masa depan dan melaksanakannya dengan berbagai kegiatan pemberdayaan. Dengan demikian, cita-cita kelompok dapat diwujudkan. Pembelajaran tim bermakna meningkatkan profesionalisme secara kolektif sehingga dapat dihasilkan kualitas kelompok yang lebih baik. Selain itu, pembelajaran tim ini tentunya menjadikan pembelajar secara kelompok akan lebih baik daripada secara perorangan. Pemikiran sistem bermakna sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman dari berbagai konsep atau masalah yang dihadapi dengan pendekatan interdisipliner. Dalam upaya tersebut diperoleh kemampuan untuk melihat dan memecahkan masalah secara komperhensif, dan integral, sehingga sifatnya lebih objektif dan dapat diterima berbagai pihak. Agar organisasi pembelajar dapat terimlementasi dalam sebuah organisasi, maka peran kepemimpinan pun harus mengalami perubahan dengan melakukan peran baru kepemimpinan. Peran baru kepemimpinan tersebut menurut Senge (dalam LAN 2004:149) terdiri dari: 4. Pemimpin sebagai perancang (leader as designer), tugas pertama sehubungan dengan merancang ide adalah tujuan, visi, dan nilai-nilai yang dibangun secara bersama-sama 5. Pemimpin sebagai pelayan (leader as steward), tugas pemimpin adalah untuk mengelola kepentingan anggota, pemimpin belajar mendengar visi orang lain dan mengubah visi peribadinya jika diperlukan. 6. Pemimpin sebagai guru (leader as teacher), pemimpin sebagai guru tidak berarti mengajar orang untuk mencapai visinya. Akan tetapi, lebih kepada memberi dukungan pada setiap orang untuk belajar. Pemimpin yang demikian membantu 10 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
anggota organisasi mengembangkan pemikiran yang sistemik. Selain peran baru pemimpin tersebut harus pula didukung dengan keterampilan baru (new skills), yaitu (1) membangun visi bersama, (2) memunculkan dan menantang modelmodel mental, dan (3) melibatkan diri dalam berpikir sistemik. Jika peran dan keterampilan baru pemimpin dilaksanakan dalam suatu organisasi, maka pemberdayaan anggota organisasi seharusnya dilaksanakan secara konsisten, sehingga fungsi pelayanan dapat terlaksana dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Imbaruddin (2003:66) yang menyatakan bahwa konsep pemberdayaan pegawai dalam organisasi adalah penyebaran pengambilan keputusan. Dengan demikian, pengambilan keputusan pada organisasi yang memberdayakan pegawainya tidak lagi terpusat pada pimpinan tetapi menyebar pada pegawai terdepan yang setiap saat berhubungan secara langsung dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Selanjutnya, Rivai (2006:148) mengatakan bahwa peran kepemimpinan dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang sesuai dengan kedudukannya sebagai pemimpin. Dalam aplikasinya, peran kepemimpinan yang dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah, dibagi menjadi dua bagian; (1) servant (pelayan), yaitu memberikan pelayanan pada anak buahnya untuk mencari kebahagiaan dan membimbing mereka menuju kebaikan, dan (2) guardian (penjaga), yaitu menjaga komunitas Islam dari tirani dan tekanan. Covey (dalam Rivai, 2006:149) membagi peran kepemimpinan menjadi tiga bagian; (1) pathfinding (pencarian alur), yaitu peran untuk menentukan visi dan misi yang pasti, (2) aligning (penyelaras), yaitu peran untuk memastikan bahwa struktur, sistem, dan proses operasional memberikan dukungan pada pencapaian visi dan misi, dan (3) empowering (pemberdaya), yaitu peran untuk menggerakkan semangat dalam diri orang dalam mengungkapkan bakat, kecerdikan, dan kreativitas laten untuk mampu mengerjakan tugasnya pun dan konsisten dengan prinsip yang disepakati. Peran seorang pemimpin turut menentukan keefektifan dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Dengan perkataan lain, jika seorang pemimpin memahami dan melaksanakan peran yang diemban, maka pemimpin tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya sehingga dicapai hasil yang optimal. D. SIMPULAN Peran seorang pemimpin dapat meningkatkan kinera pegawai Negeri jika seorang pemimpinan paling tidang melakukan hal-hal berikut terhap organisasi yang dipimpinnya yaiyu : 1. Pemimpin sebagai perancang (leader as designer), tugas pertama sehubungan dengan merancang ide adalah tujuan, visi, dan nilai-nilai yang dibangun secara bersama-sama 2. Pemimpin sebagai pelayan (leader as steward), tugas pemimpin adalah untuk mengelola kepentingan anggota, pemimpin belajar mendengar visi orang lain dan mengubah visi peribadinya jika diperlukan. 3. Pemimpin sebagai guru (leader as teacher), pemimpin sebagai guru tidak berarti mengajar orang untuk mencapai visinya. Akan tetapi, lebih kepada memberi dukungan pada setiap orang untuk belajar. Pemimpin yang demikian membantu anggota organisasi mengembangkan pemikiran yang sistemik. Selain peran baru pemimpin tersebut harus pula didukung dengan keterampilan baru (new skills), yaitu (1) membangun visi bersama, (2) memunculkan dan menantang modelmodel mental, dan (3) melibatkan diri dalam berpikir sistemik. 4. Penjaga, yaitu menjaga stabilitas kan kontinyuitas kerja para stafnya 11 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
DAFTAR PUSTAKA
Anthoni, William P, (1997). Management of Human Resources : A System Approach to Personnel Management. Columbus, Ohio ; Grid, Inc. Anoraga P, (1998). Psikologi Kerja. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Armstrong, Michael, 2004, Performance Management. Terjemahan oleh Tony Setiawan. Yogyakarta: Tugu. Arikunto
Suharsim, (2001), Prosedur penelitian, Rineka Cipta, Www.cats,ucst,edu, 2002, Organizational climate, Internet.
Jakarta.
Bedeian Arthur G., (1999). Organization (theory and design). University of Colorado at Denver. Bambang, (2001). Metodologi penelitian. Departemen P & K, Jakarta. Barkah,(2002). Pengaruh gaya kepemimpinan dan iklim organisasi terhadap prestasi kerja organisasi di Surabaya. Tesis Program Pascasarjana Unair, Surabaya. Byars, dkk, (1999), Human resources and personnel management, Richard D. Iriwin, Inc., Illinois. Croft, Arthur C, (1994). Personnel Management. New York : Alexander Hamilton Institute, United State of America. Darma, Surya (2001). Perilaku Penyelia dan Pengaruh Organisasi Dalam Penilaian Kinerja. Penerbit ; Manajemen Usahawan No. 06 Tahun XXX Edisi Juni, Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit : Balai Pustaka Jakarta. Dessler, Gary (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit : PT. Prenhallindo, Jakarta. De Lenzo, dkk, (1994), Human resource manangement, Concept and Practices, John Willy and Sons, Inc., Canada. Fathoni, Abdurrahman (1996). Organisasi dan Manajemen, Garut, Fakultas Ekonomi Universitas Garut (UNIGA). Gibson, Ivancevich, Donelly. 1996. Organisasi. Terjemahan oleh Nunuk Adiarni. Jakarta: Bumi Aksara.
12 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2006. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika Aditama. ______. 2005. Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung: Refika Aditama. ______. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika Aditama Nasir M., (1995). Metodologi penelitian. Penerbit Eresco, Jakarta. Prentice Hall New York, London. Siegel Sidney, (2005), Statistik non parametrik, PT. Gramedia, Jakarta. Strees, R. M., 1985, Efektivitas organisasi, Erlangga, Jakarta. Senge, M. Peter. 2002. Buku Peganagan Disiplin Kelima. Terjemahan oleh Hari Suminto dan Lyndon Saputra. Jakarta: Interaksara. Sinarimbum Masri, Effendi Sofian, (2005), Metode penelitian survey, LP3 Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
13 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=313:peran-kinerja&catid=42:ebuletin&Itemid=215
Artikel LPMP September 2014 ISSN. 2355-3189