Proses reformasi dan pembentukan tata kelola BUMN di Indonesia Suhendra Indonesia Banking School Kemang Raya Jakarta Selatan Email :
[email protected] Abstract The practice of corporate governance in state-owned enterprises have been developing towards a new international accounting standards. Just like many other countries, there are the demands of the corporate culture values and institutions through the management system of corporate governance practices. Indonesia is one country that continues to encourage the implementation of GCG to boost the national economy. Learning from the economic crisis that has ever happened, many SOEs are encouraged to improve the quality of their corporate governance practices. This was done to improve implementation of risk management, environmental change shocks and maintain the neutrality of the board of directors that is not exposed to political pressure as well as non-interest organization. The second way is to increase the transparency of enterprise information to improve the performance of the audit board so as to maintain liquidity of the company. Keywords: transparency, audit quality, good corporate governance, State-Owned Enterprises
Abstrak Praktik tata kelola perusahaan pada BUMN telah berkembang menuju standar akuntansi internasional yang baru. Sama seperti banyak negara lain, terdapat tuntutan perkembangan nilai budaya korporasi dan manajemen institusi melalui praktik sistem tata kelola perusahaan. Indonesia merupakan salah satu negara yang terus mendorong Penerapan GCG untuk meningkatkan perekonomian nasional. Belajar dari krisis ekonomi yang pernah terjadi, banyak BUMN yang terus didorong meningkatkan kualitas praktik GCG mereka. Hal itu dilakukan dengan memperbaiki pelaksanaan manajemen risiko, guncangan perubahan lingkungan dan menjaga netralitas dewan direksi agar tidak terkena tekanan politik maupun kepentingan non-organisasi. Cara kedua ialah dengan meningkatkan transparansi informasi perusahaan untuk meningkatkan kinerja audit dewan direksi sehingga menjaga likuiditas perusahaan. Kata kunci: transparansi, kualitas audit, good corporate governance, Badan Usaha Milik Negara
56
tidak ada peningkatan nilai tambah (value added) dan kinerja (performance) korporasi yang maksimal.
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak BUMN terus bergerak meningkatkan standar transparansi internasional di Indonesia. Hal itu dicapai denganmengembangkan sistem tata kelola BUMN yang dilaporkan dalam Laporan Tahunan mereka (Tarigan, 2010). Sebagai kualitas struktur kelembagaan menjadi lebih jelas, kemampuan dan kinerja dari sistem kepemerintahan BUMN makin meningkat. Namun, terkait posisinya yang berada di bawah pemerintah menjadikan BUMN rawan dengan induksi kepentingan politik. Dengan demikian, makalah ini berusaha menyoroti bagaimana upaya BUMN dalam menerapkantata kelola BUMN yang unik yang dikombinasikan dengan strategi netralitas kepentingan eksternal untuk mendorong kinerja BUMN.
Baird dan Rasmussen (2006) mengemukakan bahwa salah satu akar penyebab timbulnya krisis ekonomi di Indonesia dan juga di negara Asia lainnya yaitu buruknya pelaksanaan tata kelola BUMN. Masalah itu menyebabkan beban keuangannNegara yang terus mensubsidi BUMN bermasalah dan juga merusak kepercayaan publik untuk berinvestasi. Simon Wong (2004) menyatakan, BUMN menghadapi tantangan tata kelola yang unik untuk melakukan reformasi internal yang bahkan lebih sulit dari sektor swasta. Wong juga berpendapat, jika pemerintah ingin serius meningkatkan kinerja BUMN, maka mereka harus secara kompherensif mengatasi berbagai kekurangan BUMN seperti campur tangan politik yang berlebihan dan kurangnya transparansi. Menurut Cahyaningrum (2009), BUMN cenderung menghadapi konflik kepentingan dalam penerapan prinsipprinsip tata kelola. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut, salah satu sasaran peningkatan BUMN ialah dengan memberikan wawasan bagi seluruh anggota direksi dan pembentukan komite ad hoc yang menangani peningkatan pengawasan dan praktik tata kelola.
Indonesia merupakan salah satu negara dimana peran negara dalam perekonomian relatif kuat. Hal tersebut, ditunjukkan dengan banyaknya jumlah BUMN. Peran negara yang berlebihan dalam sistem ekonomi sering dianggap memunculkan berbagai macam distorsi yang berujung pada inefisiensi. Maka dari itu, ada semacam keyakinan pula bahwa salah satu langkah meningkatkan daya saing merupakan mengurangi intervensi negara dalam ekonomi, yaitu mengubah kepemilikan BUMN melalui kebijakan privatisasi (Daniri& Prasetyantoko, 2009).
Melyoki (2005) menjelaskan bahwa krisis ekonomi yang melanda seluruh negara-negara Asia Tenggara memberikan pelajaran bagi manajemen BUMN. Krisis dimulai pada awal Juli 1997 di Thailand, dan menyebar ke negara-negara lain di Asia Tenggara, Asia Timur dan juga Rusia dan Amerika Latin telah dikaitkan dengan kelemahan
Krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia telah diakui diakibatkan lemahnya praktik Good Governance (Tata Kelola Tata kelola yang Baik) pada BUMN. Kondisi tata kelola BUMN yang buruk ini menyebabkan
57
pengawasan BUMN di negara-negara ini.
merugikan BUMN maupun standar kerja audit yang tepat. Bagian keempat disinggung mengenaikasus tata kelola yang pernah terjadi di tingkat global dan hubungan tata kelola dengan penyimpangan akuntansi sebagai arahan rekomendasi untuk memperbaiki kualitas tata kelola di BUMN.
Sejak Krisis Asia 1997 maupun krisis Amerika Serikat 2001 yang disebabkan karena manipulasi konsultan audit Arthur Andersen, hal ini menimbulkan praktik tata kelola BUMN di Indonesia lebih mendapat perhatian. Pada tahun 2002, pemerintah Amerika Serikat melalui Sarbanes-Oxley Act menetapkan standar baru untuk menyempurnakan bahwa semua BUMN publik AS harus mematuhi aturan tentang dewan direksi, pelaporan tugas manajemen, dan transparansi akuntan publik untuk mengembalikan kepercayaan investor. Pada tahun 2009, baik New York Stock Exchange dan NASDAQ Stock Market meregulasikan bahwa BUMN harus memiliki mayoritas Dewan Direksi independen (Serrat, 2011).
2. LANDASAN TEORI 2.1. Tata Kelola Good Governance (GG) merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi. Di Indonesia istilah ini sudah diterjemahkan sebagai “tata kelola” yang namanya makin popular sejak krisis ekonomi tahun 1997. Krisis yang terjadi di Indonesia ini menurut para praktisi pakar ekonomi disebabkan oleh belum adanya atau lemahnya pelaksanaan Good Governance (GG) di banyak perusahaan. Pelanggaran prinsip-prinsip tata kelola terjadi karena lemahnya peraturanyang mengawasitugas dan manajemen yang mengelola BUMN, serta tercermin dari transparansi informasi publik yang lemah.
Hal ini sesuai dengan pedoman pengawasan tata kelola dan standar akuntansi internasional. Sama seperti banyak negara nilai budaya dan praktik tata kelola telah mulai dikodifikasi sebagai komponen akuntansi maupun manajerial yang penting bagi kelangsungan BUMN. Untuk meningkatkan kualitas struktur kelembagaan,banyak BUMN telah mengembangkan strategi tata kelola yang dikombinasikan dengan strategi pasar modal. Hal ini menjadi pendorong utama fenomena globalisasi pasar keuangan bagi perusahaan milik pemerintah disamping tujuan nasional meningkatkan aspek ekonomi.
Good Governance telah diakui sebagai konsep dansistem yang mengarahkan BUMN agar mencapai keseimbangan antara kewenangan dan pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan (Tjager et al., 2003). Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, tanggung jawab direktur,tugas manajer,dan kewenangan pemegang saham dan pembentukan komite etika dewan direksi. Pengertian Tata Kelola menurut FCGI (2001) merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) BUMN, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta
Bagian satu mengangkat topik tata kelola dan keadaan BUMN di Indonesia secara umum. Bagian kedua menjelaskan tanggungjawab manajemen dan tanggung jawab auditor. Bagian ketiga membahas aspek yang dapat 58
para pemegang kepentingan internal dan eskternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan kinerja BUMN.
pemantauan dampak lingkungan, diantaranya perilaku usaha dan kinerja pegawai. Audit internal diwakili oleh penilai yang memiliki andil besar dalam membantu BUMN mencapai tujuan perusahaan. Jasa yang diberikan oleh auditor internal cukup luas mulai dari memberi pandangan untuk auditee, pihak manajemen, Dewan Direksi, Komite Audit, atau bahkan untuk auditor eksternal. Peran penting auditor internal di dalam BUMN dapat dilihat dalam laporan survey Harvard University dalam majalah Internal Audit No. 3 tahun 1997, yaitu:
Prinsip-prinsip tata kelola menyangkut lima bidang utama: menurut Tjager et al., (2003) mencakup: a. Hak-hak para pemegang saham dan perlindungannya; b. peran para karyawan dan pihakpihak yang berkepentingan (stakeholders); c. pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu serta transparansi terkait struktur dan operasi korporasi; d. tanggung jawab dewan (Dewan Komisaris maupun Dewan Direksi), pemegang saham, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya.
“Audit internal berperan meningkatkan 30% efisiensi dan efektivitas kegiatan BUMN. Di samping itu, audit internal memberikan panduan bagi manajemen di mana aktivitas audit tidak lagi berfokus kepada keuangan, namun telah banyak ke bidang operasional antara lain etika kerja, manajemen produksi, penjualan, distribusi, personalia, dsb.”
Secara ringkas prinsip-prinsip tersebut dapat dirangkum sebagai upaya audit internal dengan komponenyaitu, perlakuan yang setara (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), dan (e) independensi (independence).
Audit internal yang merupakan alat pengendalian dan perpanjangan tangan manajemen dalam melakukan fungsi pengawasan (controlling) sangat penting untuk membantu manajemen dalam mencapai tujuan BUMN. Perluasan tugas dan fungsi audit internal ini telah makinpenting daripada sebelumnya yaitu bergeser dari tugas penilaian dan pengawasan keuangan menjadi tugas pemantauan aktivitas operasional dan strategis BUMN.
2.2. Audit internal Menurut Asosiasi Auditor Internal (AAI, 2009), BUMN membutuhkan dukungan auditor untuk mengevaluasi praktik tata kelola internal. Dalam struktur tata kelola, Auditor Internal merupakan salah satu organ pendukung dari organ utama Direksi BUMN. Fungsinya melaksanakan pemantauan dan evaluasi seluruh aktivitas pengendalian, pemberian reasonable assurance, advisory internal, dan
3. METODE PENELITIAN Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif karena penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh jawaban yang terkait dengan pendapat,
59
tanggapan atau persepsi peneliti lainsehingga pembahasannya harus secara kualitatif atau menggunakan uraian kata-kata. Penelitian deskriptif mencoba mencari gambaranyang tepat dan akurat dari topik yang sedang dibahas(Sulistyo-Basuki, 2010:110).
lingkungan global dan nasionaltelah membingungkan banyak manajer dan direksi BUMN. Sebagai BUMN menghadapi tekanan mengubah orientasi dari kepentingan pemerintah menjadi kepentingan publik, maka manajemen harus mengubah arah tata kelola untuk mematuhi perundangan namun tidak larut dalam kepentingan politik lembaga eksekutif. Dalam hal ini banyak BUMN yang kemudian menggeser orientasi mereka untuk memenuhi kepentingan pemegang saham dan harapaninvestor.Namun tantangan tertinggi berasal dari orientasi baik dari kedua regulator dan investor, yang menyerukan akuntabilitas yang lebih besar.
Setiap bentuk penelitian deskriptif mempunyai fungsi dan tujuan yang berbeda, sedangkan penelitian deskriptif ini termasuk dalam kategori “studi kasus” mengenai BUMN danmenghasilkan kajian yang mendalam. Hal ini sangat sesuai karena BUMN terus mengalami situasi lingkungan yang terus berubah yang membutuhkan dukungan dan pengungkapanuntuk memperbaiki kinerjanya. Penulis menggunakan bentuk penelitian “studi kasus” karena mengangkat beberapa fenomenaseperti tantangan tata kelola,transparansi, dan partisipasi dewan direksi dan dewan komisaris. Selanjutnya ditambah dengan perbandingan beberapa kasus lain seperti kasus terkait pelanggaran norma akuntansi yang pernah terjadi secara global. Selain itu juga ditambahkan fenomena perluasan tugas akuntan dalam memantau keragaman dan nilai korporasi dalam BUMN.
Dengan demikian terdapat prioritas kepentingan yang menjadi perhatian banyak manajer BUMN yang diberikan dalam Tabel 1. Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa(1) kualitas praktik tata kelola BUMN di Indonesia masih berada pada posisi 10 di ASEAN (Daniri, 2012); (2) Sebagian BUMN masih diragukan kemam-puannya untuk dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik mengingat kondisi sebagian BUMN yang memprihatinkan seperti dinyatakan Ibrahim (2007:5-14) dan Faizal (2002:4) bahwa praktik pengelolaan BUMN dipersepsikan oleh publik sebagai BUMN yang sangat tidak efisien dan sangat tidak efektif dan masih rentan dengan korupsi dan kolusi; (3) beberapa BUMN tidak menghasilkan keuntungan, melainkan menderita kerugian sehingga negara harus menambah modalnya (Yasin, 2012). Kerugian ini mengindikasikan BUMN belum dikelola secara baik dan profesional.
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Terdapat perkembangan perspektif global tentang bagaimana BUMN melihat keragaman dalam bentuk tata kelola, tradisi berbeda, nilai-nilai, dan tujuan yang memberikan hasil yang berbeda. Hal ini membutuhkan Tata Kelola agar perusahaan dapat mengelola aktivitas korporasi dan risiko kekeliruan kebijakan tanpa kendali. Ditambah lagi dengan perubahan cepat tantangan
60
Tabel 1. Kondisi terkini praktik tata kelola BUMN di Indonesia Pernyataan dalam laporan tahunan BUMN di Indonesia Pemahaman terhadap perspektif global Keragaman tradisi, nilai-nilai, dan tujuan korporasi Kreativitas aktivitas korporasi Risiko kekeliruan kebijakan tanpa kendali Tantangan perubahan lingkungan global dan nasional Tekanan mengubah orientasi dari kepentingan pemerintah menjadi kepentingan publik Mematuhi perundangan Netralitas dari kepentingan politik lembaga eksekutif Memenuhi kepentingan pemegang saham dan harapaninvestor Orientasi mematuhi regulator Orientasi memenuhi harapan investor Pemantauan dan peningkatan akuntabilitas Total praktik tata kelola BUMN di Indonesia
ada 1 1
tidak
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8
4
Sumber:modifikasi laporan OJK, (2016). Tabel 2. Peringkat praktek tata kelola BUMN Indonesia terhadap peringkat ASEAN
Nilai
Nilai Good Governance 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0.54 0.43
0.71 0.62
0.71
0.75 0.67
0.57 0.55 0.48 0.33 0.28
2012 (Average) 2013 (Average) Linear (2012 (Average)) Linear (2013 (Average))
Negara
Sumber: ADB (2014)
61
sistem yang dapat diperingkat sebagai "optimal". Dibutuhkan model yang dapat berlaku umum untuk mengukur efisiensi, kesetaraan, partisipasi dan kepatuhan regulasi. Namun, dengan beragamnya kapabilitas direksi BUMN, maka sulit mengambil satu model tunggal untuk memahami tata kelola yang dianggap efisien jika tidak memiliki kontrol atau kepemilikan apapun terhadap karir dan modal mereka.
4.1. Komitmen direksi Untuk meningkatkan standar tata kelola BUMN, perlu meningkatkan komitmen direksi tentang transparansi, keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Selain itu, BUMN juga menghadapi budaya yang berbeda, sistem hukum, dan prioritas ekonomi. Sebagai BUMN juga dihadapkan dengan masalah integritas budaya dan dinamisme ekonomi, mereka harus mengukur bagaimana struktur danstandar dapatmeningkatkan praktik tata kelola.
Di banyak negara yang lemah dalam tata kelola, satu-satunya alternatif muncul untuk mempertahankan kontrol ialah melalui kepemilikan terkonsentrasi. Struktur kepemilikan dan sistem keuangan BUMN tata kelola dan yurisdiksi sistem agar mematuhi regulasi pengawas bursa. Hal ini penting untuk mengeksplorasi hubungan antara jenis budaya dan hukum yang berbeda(Hakim,2014).
Kompetisiinternasional yang lebih besar telahmemaksa BUMN mengembangkan usahadengan menumbuhkan ekuitas korporasi mereka. Dimensi ini sungguh penting dalam finansialisasi ekonomi BUMN untuk mendukung kebutuhan investor sambil menghasilkan laba bagi pemerintah dan masyarakat. Hal ini telah dilakukan oleh pasar zona ekuitas Amerika yang seluruhnya didominasi oleh NYSE dan NASDAQ terutama pada BUMN AS yang aktif berekspansi ke luar negeri. Namun, mereka menunjukkan bahwa intervensi modal perlu regulasi atau pembatasan kekuasaan dan peningkatan pengungkapan terus menerus agar BUMN tidak kehilangan reputasi di pasar ekuitas melalui tata kelola yang lebih baik. Dari kasus krisis subprime mortgage dan elaborasi dari instrumen keuangan, terdapat pelajaran penting mengenai kelemahan tata kelola BUMN dalam regulasi bisnis dan kepentingan manajemen. Pemantauan ekuitas dan tata kelola BUMN telah diusulkan sebagai dasar dalam manajemen BUMN agar memiliki standar atau kriteria
4.2. Manajemen risiko Sebagai manajer mengisi peran agen, mereka memiliki kemungkinan untuk mengambil alih investor luar. Oleh karena itu, perlu keterlibatan auditor yang memantau cara kerja BUMN sebagai upaya melindungi investor luar terhadap pengambilalihan. Jika mereka tidak menemukan bukti yang menguatkan meyakinkan empiris, kemudian, perlu partisipi anggota dewan independen dan kinerja BUMN untuk memantau tingkat risiko dan mengatasi risiko kekeliruan manajemen. Seperti disebutkan diatas, dengan penekanan khusus pada kegagalan dalam manajemen risiko, banyak 62
BUMN tidak siap untuk menangani guncangan perubahan lingkungan. Oleh karena itu, BUMN harus mempertimbangkan faktor-faktor yang menyebabkan kelalaian ini dalam manajemen risiko. Pertama, dewan direksi berada di bawah tekanan untuk mengadopsi strategi mendukung investor untuk membangun kinerja jangka pendek dan pengambilan risiko yang tepat sesuai kondisi pasar.
pengetahuan sangat tergantung pada kontribusi sukarela dari anggota tim yang tidak dapat diamati dan dikaitkan secara individual.
4.4. Motivasi intrinsic dan sosial Tata kelola BUMN dan pendekatan ekonomi kelembagaan juga harus memperhitungkan pemangku kepentingan yang melakukan investasike dalam BUMN (Kharisma, 2014). Pertama sebagai dewan direksi harus melakukan investasi dalam modal manusia, dimana pengetahuan pemegang saham dan pengetahuan pekerja harus sebanding dengan investasi modal keuangan dan modal manusia untuk kinerja lebih baik. Oleh karena itu, anggota dewan direksi harus melakukan investasi dalam modal manusia. karena investasi ini menipiskan netralitas mereka, anggota dewan direksi harus memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi. Selain itu, BUMN perlu merancang prosedurmediasi tata kelola hirarkis agardireksi memiliki fungsi untuk memaksimalkan kesejahteraan tim dan seluruh anggota mereka. Hal ini dimulai dari inisiatif dewan direksi menerima hak kontrol dari berbagai pemangku kepentingan untuk melindungi organisasi terhadap naluri oportunistik mereka sendiri. Prosedur itu berguna untuk mengubah perilaku mementingkan diri sendiri ke dalam perilaku memberikan manfaat bagi “tim BUMN "secara keseluruhan.
4.3. Mengatasi konflik kepentingan Terdapat berbagai pemangku kepentingan dalam BUMN seperti pemegang saham, karyawan, pemasok, pelanggan, dan bahkan masyarakat setempat. Mereka dicirikan sebagai anggota dari "tim BUMN". Namun, hal itu dapat mengakibatkan ketegangan yang mungkin timbul antara fungsi mediasi dewan direksi dan anggota lainnya. Jika dewan direksi seharusnya memantau dan menyarankan efisien, mereka harus berinvestasi dalam modal manusia spesifik BUMN untuk mengurangi asimetri informasi mereka untuk meningkatkan manajemen BUMN. Namun, mereka akan kehilangan netralitas dan independensi mereka. Sebagai fungsi dewan direksi merupakan penyedia sumber daya, seperti sumber daya pengetahuan dan jaringan, mereka memiliki hierarki mediasi dari "tim BUMN", tetapi masalah kurangnya investasi di sumber daya tim khusus juga ada di hierarki yang lebih rendah. BUMN modern dicirikan oleh pemimpin tim dan karena itu investasi bertujuan memproduksi pengetahuanintensif produk dan jasa. Karena pengetahuan spesifik BUMN merupakan salah satu sumber yang paling penting dari keunggulan kompetitif berkelanjutan, pekerjaan
Hal ini bermanfaat dalam membentuk motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik harus diarahkan kegiatan yang dilakukan untuk kepentingan mereka sendiri. Motivasi intrinsik dapat dibagi menjadi
63
preferensi hedonis, yang melayani kepentingan sendiri, dan preferensi sosial, yang melayani norma-norma sosial untuk kepentingan bersama. Untuk mengatasi dilema individu dan sosial di dewan direksi dan tim, prosedur itu harus mencakup preferensi sosial. Dalam kenyataanya, aspek ini menjadi motivasi lemah dan belum terukur dalam kontinum kinerja. Namun, pendekatan ekonomi kelembagaan, seperti pendekatan principal-agent, mampu menjawab sebagian dari motivasi ekstrinsik dengan otonomi kaku dan prasyarat yang mudah berubah.
pemahaman terhadap teori kontrak, teori produksi, dan pelembagaan tata kelola untuk mengatasi dilema sosial dengan kombinasi kebijaksanaan konvensional berdasarkan pendekatan ekonomi kelembagaan.
4.5. Kode etik Pada saat yang sama, dibutuhkan jembatan ekonomi kelembagaan dan perbaikan praktik perilaku BUMN. Seperti banyak ahli etika bisnis telah mengartikulasikan skeptisisme bahwa kendala implementasi tata kelola BUMN ialah kurangnya alat ukuran sosial dan keuangan dalam program etika tata kelola. Ambiguitas ini dapat ditelusuri kembali ke desain kendala langkahlangkah untuk implementasi kode. Rekomendasi ini berasal dari teori sanksi yang memiliki tradisi panjang dalam filsafat hukum dan menjadi subyek dari banyak analisis empiris. Langkah-langkah lain yaitu imbalan dan Hukuman yang penting untuk mempertahankan norma-norma dan ketaatan tata kelola.
Selain itu, umpan balik mendukung dan kompetensi juga ikut meningkatkan kontribusi individu untuk kepentingan kolektif. Oleh karena itu, umpan balik tersebut harus diarahkan untuk membangun keterkaitan sosial untuk meningkatkan identifikasi dengan kelompok dan kemauan untuk berkontribusi terhadap kinerja tim kolektif. Identifikasi kelompok dan kontribusi tata kelola BUMN harus dilakukan melakui pengayaan motivasi intrinsik dan preferensi. Selain itu manajer dan karyawan harus menciptakan tata kelola yang mampu mengatasi dilema hubungan sosial antara pemegang saham, direksi, manajer, dan tenaga kerja. Mengingat alasan sebelumnya, kemampuan untuk mengelola kepentingan yang sah dapat dicapai melalui perbaikan strategi dan kebijakan BUMN (Causey,2008).
Karyawan, manajer dan petugas etika harus aktif dalam menegaskan bahwa berlaku hukuman bila terdapat pelanggaran etika. Etika tersebut mencakup sanksi agar dapat dirasakan didalam dan di luar BUMN. Sanksi negatif berguna untuk memelihara norma-norma yang diajukan oleh hasil rapat umum pemegang saham. Namun, terdapat kendala luar biasa untuk menyusun norma-norma yang efektif untuk dapat meningkatkan kredibilitas BUMN untuk kepatuhan prosedur daripada rutinitas laporan kepatuhan peraturan dan pelaksanaan tugas rutin birokrasi.
Praktik-praktik seperti membantu direksi untuk mengembangkan tata kelola BUMN dan fokus pada kepentingan pemegang saham sungguh penting sebagai kewajiban residual bagi anggota lain. Namun, dibutuhkan
64
Karena sanksi juga dapat dikomunikasikan melalui sarana yang berbeda, maka perlu desain hukuman yang tepat sebagai pencegahan dan retribusi pelanggaran hukum. Oleh karena itu, perlu mengukur efek pencegahan atau retribusi. Dalam hal ini, kode keadilan harus dimanifestasikan ke konstituen BUMN untuk mengevaluasi kelayakan strategi dan sanksi pelanggaran peraturan etika.
Perekonomian nasional mencatat pertumbuhan PDB pada tahun 2015 mendekati angka 5,0 persen. Untuk memperkuat daya saing dan produktivitas melalui pekerjaan layak, kapitalisasi pasar saham juga menghasilkan fluktuasi berat selama periode waktu yang sama, meskipun jumlah BUMN yang terdaftar terus meningkat sekitar sepertiga dan saham yang diterbitkan mencapai dua kali lipat. Hal ini dikarenakan kapitalisasi pasar yang menyusut tampaknya karena keruntuhan harga saham. Dalam mengidentifikasi penyebab konjungtur ini, perhatian regulator pasar dan peserta bursa mulai focus dan diarahkan untuk memperbaiki praktik tata kelola mereka.
Terdapat konsensus luas bahwa potensi pelanggar norma harus diperlakukan secara etis, yaitu, dengan menghormati hak dan martabat mereka. Selanjutnya, mengumpulkan informasi tentang potensi norma yang dilanggar sebagai prasyarat untuk mencegah efek samping negatif untuk menghina martabat orang. hal ini dilakukan melalui pengumpulan informasi yang akurat dan objektif merupakan salah satu komponen dasar keadilan prosedural.
Melalui pengukuran tersebut, prinsipprinsip negara dan kebijakan dapat benar-benar lokal. Cara ini mampu memperbaiki kebijakan keuangan baru BUMN. Kebijakan keuangan baru, yang dimaksudkan untuk mengatasi kendala untuk BUMN, dapat meningkatkan Pajak dan Profit BUMN.
Karena setiap aktor harus memiliki kesempatan yang adil untuk mempengaruhi hasil keputusan, maka keputusan sanksi efektif harus dibuat dari pelaku yang memiliki kesempatan untuk menjelaskan sudut pandang mereka secara transparan agar dipahami. peraturan sanksi tersebut penting agar BUMN dapat menerapkan tata kelola sementara berusaha menerapkan peraturan etika. Hal terpenting, kode tanpa sanksi dapat menyebabkan karyawan untuk memahami normanorma kode sebagai saran sukarela dan bukan kewajiban birokratis. Tentu saja, efektivitas kode etik cenderung terbatas jika tidak ada percontohan kepemimpinan.
Pada tahap korporatisasi saat ini, negara telah berubah perannya dari satu-satunya pemilik BUMN kepada pemegang saham yang memiliki hak milik atas bagian milik negara dari aset yang dikorporasikan kepada BUMN. Negara terus bertindak sebagai pengawas BUMN, tetapi cara membiayai mereka telah berubah banyak, dan telah dialihkan ke pasar modal. BUMN telah berubah menjadi entitas korporasi yang menyumbang keuntungan bagi Negara dan bagi investor luas. Dengan diperkenalkannya konsep indispensably menurut Hukum BUMN, terdapat tiga pihak yang aktif mengelola tata kelola BUMN: pemegang saham, dewan direksi, dan dewan direksi pengawas.
Sementara pasar saham terus berkembang, hal ini ditandai dengan peningkatan PDB nasional di Indonesia. 65
Beberapa fungsi baru seperti ketua dewan direksi dan manajer kepala dalam arti dari Chief Executive Officer (CEO) telah diperkenalkan juga. Model tata kelola BUMN Indonesia telah dibangun dan mengubah ekonomi Indonesia, praktik bisnis, dan standar hidup seluruh karyawan BUMN.
dengan relaksasi atas sektor non-negara telah menyediakan banyak pengalaman dan teladan dengan bentuk-bentuk kepemilikan dan struktur tata kelola BUMN. Sebagai reformasi menjadi peristiwa yang sangat tidak pasti dan pengetahuan pemerintah tentang hal itu seringkali terbatas, eksperimen tata kelola tersebut harus meminimalkan biaya melalui pembelajaran terstruktur untuk meningkatkan praktik tata kelola BUMN. Dengan demikian, dorongan dari BUMN asing dan joint venture itu sendiri menjadi contoh nyata tentang bagaimana BUMN modern terlihat dan bagaimana mengelola secara efisien.
4.6. Kepemilikan dan otonomi Selama beberapa dekade terakhir, kepemilikan BUMN dan pemerintahan tetap berbeda, dan derajat konsentrasi kepemilikan yang berbeda menghasilkan pengaruh yang berbeda. Dalam mengidentifikasi alasan di balik kepemilikan dan tata kelola BUMN yang berbeda, masih terdapat konsentrasi otoritas di pemerintah pusat. Namun, ekspansi ekonomi yang tidak realistis dan kondisi bisnis yang tidak menguntungkan menyebabkan kelompok-kelompok moderat dan radikal berusaha mengambil kontrol dari pemerintah pusat. Reformis Moderat dan radikal sepakat tentang perlunya reformasi ekonomi tapi tidak setuju pada isi, ruang lingkup, dan kecepatan atau tingkat reformasi. Reformis moderat bersikeras mempertahankan prinsipprinsip sosialis dasar (seperti ekonomi terencana, kepemilikan publik, dan distribusi sesuai dengan kepentingan rakyat). Mereka berhati-hati dan skeptis tentang pengalihan dari ekonomi terencana kepada ekonomi internasional dan berusaha modifikasi cara kerja bursa sebagai mekanisme tambahan untuk alokasi sumber daya dan penentuan harga untuk membantu membangun ekonomi komoditi yang direncanakan.
Pemerintah perlu untuk memulai dengan reformasi tambahan di sektor non-state bukan restrukturisasi sektor negara, keputusan untuk menggabungkan tatakelola yang baik dengan gelombang desentralisasi dengan memfasilitasi reformasi nasional secara eksperimental daripada reformasi radikal yang direncanakan pada seluruh perekonomian. Reformasi BUMN telah menyebabkan perubahan dalam tatakelola yang sebagian besar didukung oleh proses pembelajaran selama masa transisi. Reformasi sukses dari sektor non-negara, termasuk pertanian, industri pedesaan, dan investasi asing didorong oleh komitmen pemerintah untuk melakukan tata kelola yang lebih baik baik dari BUMN besar yang mengadopsi praktik terbaik model desentralisasi ekonomi ke dalam praktik ekonomi nasional. 4.7. Kasus Enron Bangkrutnya Enron tidak lagi sematamata dilihat sebagai sebuah kegagalan bisnis, melainkan sebuah skandal yang multidimensional, yang melibatkan
BUMN tidak menjadi entitas ekonomi otonom, namun tetap tunduk pada instruksi produksi dari pemerintah pusat. Setelah transisi mulai, eksperimen 66
politisi dan pemimpin terkemuka di Amerika Serikat.
auditornya. Belakangan diketahui bahwa auditor Enron, Arthur Andersen kantor Hudson, telah ikut membantu proses rekayasa keuangan tingkat tinggi itu.
Dalam waktu sangat singkat perusahaan yang tahun 2001 masih membukukan pendapatan US$ 100 miliar, yang harus melaporkan kebangkrutannya kepada otoritas pasar modal. Sebagai entitas bisnis, nilai kerugian Enron diperkirakan mencapai US$ 50 miliar. Sementara itu, pelaku pasar modal kehilangan US$ 32 miliar dan ribuan pegawai Enron harus menangisi amblasnya simpanan dana pensiun mereka tak kurang dari US$ 1 miliar karena manajemen Enron menanamkan dana tabungan karyawan itu untuk membeli sahamnya sendiri.
Skandal Enron, tak bisa dimungkiri, merupakan kejahatan ekonomi multidisiplin. Segelintir penguasa informasi telah menipu banyak pihak yang sangat awam tentang seluk-beluk transaksi keuangan BUMN. Mereka terdiri dari para professional-CEO, akuntan, auditor, pengacara, bankir, dan analis keuangan yang telah mengkhianati tugas mulianya sebagai penjaga kepentingan publik. Meskipun bangkrutnya sebuah usaha menjadi tanggung jawab banyak pihak, dalam kedudukannya sebagai auditor, tanggung jawab Arthur Andersen dalam kasus Enron sangatlah besar. Berbeda dengan profesi lainnya, auditor independen bertanggung jawab memberikan assurance services. Sementara manajeman, dibantu pengacara, penasihat keuangan, dan konsultan, menyajikan informasi keuangan, akuntan publik bertugas menilai apakah informasi keuangan itu dapat dipercaya atau tidak. Laku tidaknya informasi tentang kinerja suatu BUMN sangat bergantung pada hasil penilaian akuntan publik itu. Kata “publik” yang menyertai akuntan menunjukkan bahwa otoritasnya diberikan oleh publik dan karena itu tanggung jawabnya pun kepada publik (guarding public interest). Sementara itu, kata “wajar tanpa pengecualian”, yang menjadi pendapat akuntan publik, mengandung makna bahwa informasi keuangan yang telah diauditnya layak dipercaya, tidak mengandung keraguraguan. Karena itu, dalam menjalankan audit, akuntan wajib mendeteksi
Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu, belakangan Manajemen Enron diketahui telah melakukan praktik window dressing, memanipulasi angka-angka laporan keuangan agar kinerjanya tampak baik. Manajemen Enron juga diketahui telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar dengan teknik offbalance sheet.Skandal ini berkembang ke tingkat pejabat politik yang melepas tanggungjawab dan tidak memandang serius pelanggaran window dressing tersebut. Menggelembungkan nilai pendapatan dan menyembunyikan utang senilai itu tentulah tidak bisa dilakukan sembarang orang. Diperlukan keahlian khusus dari para Akuntan profesional yang bekerja dan disewa oleh Enron untuk menyulap angka-angka, sehingga selama bertahuntahun kinerja keuangan perusahaan ini tetap mengkilap. Dengan kata lain, telah terjadi sebuah kolusi tingkat tinggi antara manajemen Enron, analis keuangan, para penasihat hukum, dan 67
kemungkinan kecurangan dan kekeliruan yang material. Kalau saja auditor Enron bekerja dengan penuh kehati-hatian (due professional care), niscaya manipulasi yang dilakukan manajemen dapat dibongkar sejak dulu dan kerugian yang lebih besar dapat dicegah lebih dini. Buktinya, Watskin dengan mudah dapat menemukan manipulasi itu.
Berdasarkan analisis dan pembahasan diatas disimpulkan bahwa penerapan tata kelola di BUMN baik merupakan hal yang sangat penting untuk diterapkan agar dapat menjaga kepercayaan para Pemegang Saham BUMNan dan melindungi hak-haknya. Oleh karena itu, BUMN terus berusaha menerapkan prinsip Tata Kelola BUMN yang Baik (Good Governance) secara konsisten dan berkesinambungan, serta terus berusaha menjadikanya sebagai landasan operasional. Prinsip dasar tata kelola BUMN yaitu transparasi, akuntabilitas, pertanggung-jawaban, independensi, dan keadilan terus diusahakan untuk dikembangkan dan diterapkan. Prinsip-prinsip dasar tersebut tercermin dalam anggaran dasar organisasi. Dengan adanya tata kelola maka akan dapat mengurangi risiko adanya hilangnya obyektivitas dan independensi dapat membuat penglihatan auditor menjadi kabur. Penyimpangan (irregularities) dan kecurangan (fraud) akan dianggap sebagai kelaziman yang berdampak pada pemegang saham.
Sebaliknya, hilangnya obyektivitas dan independensi dapat membuat penglihatan auditor menjadi kabur. Penyimpangan (irregularities) dan kecurangan (fraud) akan dianggap sebagai kelaziman. Kegagalan untuk bersikap obyektif dan independensi sama artinya dengan hilangnya eksistensi profesi. Membenarkan, bahkan menutupi, perilaku manajemen yang manipulatif jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap tugas “suci” profesi akuntan publik. Karena itu, sangat wajar jika, dalam kasus Enron, auditor paling dipersalahkan karena telah gagal melindungi kepentingan publik-sang pemberi otoritas. Di Amerika Serikat yang menerapkan standar transparansi sangat ketat sekalipun, banyak pihak masih kecolongan. BUMN-BUMN yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal diharuskan memenuhi persyaratan pembeberan (disclosure) yang luar biasa ketat. Karena itu, bangkrutnya Enron yang diduga melakukan window dressing merupakan kasus yang mempermalukan banyak pihak; bukan saja otoritas pasar modal, tapi juga kaum professional, politisi, hingga presiden.
Tata kelola BUMN harus sesuai dengan pendekatan ekonomi kelembagaan dengan memperhitungkan pemangku kepentingan yang melakukan investasi sambil menjaga jarak dari kepentingan politik. Pertama dewan direksi harus melakukan audit dalam modal manusia di BUMN, perwakilan mereka terdiri pemegang saham dan pengetahuan pekerja harus sebanding dengan investasi modal keuangan dan modal manusia spesifik BUMN. Oleh karena itu, anggota dewan direksi harus memastikan netralitas mereka dimana anggota dewan direksi harus memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi.
5. KESIMPULAN
68
Daniri, M. A., & Simatupang, A. I. (2012). Meningkatkan Daya Saing Perusahaan Melalui Good Governance. Daniri, M.A., Prasetyantoko, A. (2009). Reformasi Kelembagaan dan Penerapan governance pada BUMN. Ibrahim, R. 2007. Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan. Jurnal hukum bisnis, vol. 26 no.1 tahun 2007. Jakarta. hal. 5-14 Ikatan Akuntansi Indonesia. (2009). Standar akuntansi keuangan. Jakarta:Salemba Empat. Kharisma, B. (2014). Good Governance Sebagai Suatu Konsep dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta: Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan. Jurnal Buletin Ekonomi. Melyoki, L. L. (2005). Determinants of effective corporate governance in Tanzania. University of Twente. Tarigan, J. A. (2010). Larangan Gratifikasi Dalam Rangka Good Corporate Governance Di BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi pada PT. Perkebunan Nusantara III). Tjager, I.N., Alijoyo, F.A., Djemat, H.R., dan Soembodo, B. 2003. Corporate governance: Tantangan dan kesempatan bagi komunitas bisnis Indonesia. Jakarta: PT. Prenhallindo. Tuckman, B., & Serrat, A. (2011). Fixed income securities: tools for today's markets (Vol. 626). John Wiley & Sons. Yasin, Mahmuddin (Wakil Menteri BUMN). 2012. 23 BUMN Masih Merugi Rp3,236 Triliun. Tersedia di http://bumnwatch.com/23bumnmasih-merugi-rp3236-triliun/
Dengan penekanan khusus pada kegagalan dalam manajemen risiko, banyak BUMN tidak siap menangani guncangan yang timbul dari perubahan lingkungan global dan tren kecurangan korporasi. Oleh karena itu, BUMN harus mempertimbangkan faktor-faktor yang menyebabkan kelalaian ini dalam manajemen risiko. Pertama, dewan direksi seringkali berada di bawah tekanan untuk mengadopsi strategi politik yang mendukung pihak ketiga dengan preferensi jangka pendek. Tekanan ini dapat berorientasi pada kinerja jangka pendek yang tinggi namun kinerja jangka panjang yang buruk dan berakibat kebangkrutan mendadak. Dengan demikian, tata kelola harus mampu memperbaiki pengambilan risiko yang berlebihandan mendorong pengungkapan informasi sensitif agar ditindaklanjuti dewan direksi agar mereka memahami konsekuensi dan risiko untuk pengelolaan tata kelola BUMN.
Daftar pustaka Baird, D. G., & Rasmussen, R. K. (2006). Private debt and the missing lever of corporate governance. University of Pennsylvania Law Review, 12091251. Cahyaningrum, D. (2009). Hambatan Implementasi Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang Berbentuk Persero. Kajian, 14(3), 463-487. Chambers, A.D. (1981), Internal Auditing: Theory and Practice, Pitman, London. Causey, D., (2008).The Worth of Good Corporate Governance, Community Banker, hal. 50-52.
69
70