Upaya reformasi Kepolisian melalui penyusunan prosedur tata kelola pelayanan masyarakat Limajatini The Graduate School of Policing Studies Institute of Governance, Politics and International Relations University of Leicester United Kingdom Email:
[email protected] Abstract In order to meet society's expectations related to the reform of professional institution, needed governance policies and procedures appropriate for the Police. This is achieved by increasing the instrumental and structural aspects. For that purpose, the police realized that the history of the police today is the result of the past and change today will determine the future of the Police Institute. Therefore, the police should determine the direction towards Good Governance by establishing a new work culture that is independent, professional, ethical and democratic. Changes in working culture is expected to meet the needs of the community about police services. Keywords: Police reforms, police agencies, cultural change, social change
Abstrak Dalam rangka untuk memenuhi harapan masyarakat terkait reformasi menuju institusi yang professional, dibutuhkan prosedur dan kebijakan tata kelola yang tepat bagi Kepolisian. Hal ini dicapai dengan meningkatkan aspek instrumental dan struktural. Untuk tujuan itu, Kepolisian menyadari bahwa sejarah polisi saat ini adalah hasil dari masa lalu dan perubahan hari ini akan menentukan masa depan Lembaga Kepolisian. Oleh karena itu, Kepolisian harus menentukan arah menuju tata kelola yang baik dengan membangun budaya kerja baru yang independen, profesional, etis dan demokratis. Perubahan budaya kerja diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tentang pelayanan Kepolisian. Kata kunci: reformasi Kepolisian, lembaga Kepolisian, perubahan budaya, perubahan sosial
publik dan kepercayaan tentang tanggung jawab polisi dan otoritas sebagaimana diatur secara konstitusional dalam UU No 2 tahun 2002. Dengan meningkatknya kesadaran masyarakat tentang hukum dan ketertiban dan didukung oleh kemajuan teknologi
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi Polri merupakan prasyarat mutlak memenuhi permintaan masyarakat atas polisi yang profesional. Hal ini penting untuk menciptakan legitimasi 71
informasi dan komunikasi telah membuat masyarakat Indonesia beralih status dari masyarakat tradisional menjadi "masyarakat modern". Dengan demikian, masyarakat selalu mengalami peningkatan Harapan kinerja terhadap layanan polisi dan kinerja melayani masyarakat. Untuk menanggapi permintaan ini, Kepolisian telah merilis tagline motto baru "Menuju Reformasi Polri Profesional". Kemudian, akhirakhir ini motto tagline telah mendapat tambahan satu kata kunci lain, misalnya "Independen". Jadi lebih jelasnya, semangat perubahan di Kepolisian adalah, "Menuju Reformasi Polisi Profesional dan Independen "( Satoto, 2014).
adalah sistem terbuka yang selalu terjadi interaksi antara komponen internal lembaga publik (anggota) dengan komponen eksternal (misalnya, lingkungan atau masyarakat ) yang mempengaruhi pencapaian tujuan lembaga publik tersebut. Jika ada perbedaan (gap) antara kondisi internal dengan tuntutan eksternal, hal itu perlu diperiksa untuk penyebab kerusakan tersebut dan memperbaiki peran lembaga publik. Hal ini juga terjadi pada lembaga Kepolisian. Sebagai bagian dari badan pemerintah, Kepolisian Indonesia telah mencoba berbagai upaya konsisten untuk membuat perubahan positif dalam operasi penugasan mereka untuk melayani komunitas mereka dan meningkatkan legitimasi publik dalam menangani permintaan masyarakat tentang pelayanan Kepolisian.
Dalam rangka menggambarkan seberapa jauh reformasi Kepolisian telah berjalan dan bagaimana peran anggota Kepolisian dalam pengembangan sistem pelayanan Kepolisian, tentu saja, perlu untuk mengetahui tentang upaya reformasi di tingkat internal.
Hingga saat ini, tuntutan masyarakat profesionalisme di Lembaga Kepolisian telah mendapat respon positif dari semua anggota polisi. Sebagai garis depan penjaga keamanan dan ketertiban hukum, polisi memiliki fungsi dan penugasan untuk melaksanakan pelayanan Kepolisian dan juga untuk mendidik masyarakat tentang hukum melalui perpolisian masyarakat. Sebagai badan pemerintah, namun, Kepolisian juga harus bekerja birokratik dalam rangka mengoptimalkan tugas. Oleh karena itu, Kepolisian menerapkan modifikasi besar melalui beberapa tahap instrumental dan struktural. Dalam aspek instrumental Kepolisian telah melakukan peningkatan yang signifikan dalam pengembangan budaya positif dalam memberikan layanan yang lebih baik dan lebih Quick kepada masyarakat. Dalam aspek structural, Kepolisian harus mampu membangun kepercayaan publik sebagai bagian dari
Pada dasarnya, tugas utama lembaga Kepolisian dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang tugas Kepolisian yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan ini sulit tercapai jika tidak dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin dan profesionalisme. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui upaya apa saja untuk memberdayakan anggota polisi untuk mendukung reformasi tersebut. Untuk itu akan dianalisi mengeni komponen internal, komponen eksternal, dan tujuan lembaga publik tersebut. Morgan (2006) mengemukakan tentang teori kontingensi lembaga publik, ditunjukkan bahwa lembaga publik 72
upaya besar reformasi seluruh birokrasi diluncurkan oleh Pemerintah pada tanggal 30 Januari 2009 dan sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Nomor 17 tahun 2007.
pemberdayaan Budaya Kepolisian dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik statis dan dinamis dari demografi, politik, ekonomi, sosial dan budaya dan peran desentralisasi dari atasan ke hirarki di tingkat petugas lapangan. Meskipun desentralisasi kewenangan tersebut secara teoritis berguna dan memberikan keleluasaan kewenangan kepada petugas lapangan, namun, hal ini juga dibatasi oleh pemerintah pusat dan tidak dapat diterapkan di lapangan karena akan bertentangan dengan Keputusan MPR Nomor VII / MPR / 2000 tentang peran militer dan polisi dari pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Kepolisian adalah Kepolisian nasional yang bertindak menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan keamanan, dan pelayanan kepada masyarakat." ini berarti bahwa Kepolisian harus memiliki satu metode penugasan tunggal untuk mengelola masyarakat dan mampu mengatur orangorang dari berbagai budaya dan geografis luas (Rahardi, 2007).
Kepolisian telah membuat peraturan sebagai standar untuk membuat serangkaian reformasi dengan cakupan empat program unggulan, yaitu (a) respon Quick terhadap laporan dan pelayanan publik; (B) transparansi layanan lisensi mengemudi dan STNK; (C) penyidikan tindak pidana; dan (d) transparansi dalam pengelolaan perekrutan anggota Kepolisian. Dengan percepatan tuntutan dan besarnya tantangan global membuat Kepolisian menjadi sadar bahwa polisi saat ini adalah hasil dari masa lalu dan perubahan untuk hari ini akan menentukan masa depan Lembaga Kepolisian (Haramain, 2004). Karena posisi historis polisi di bawah posisi militer, kadang-kadang sulit dari Kepolisian untuk melakukan reposisi Lembaga Kepolisian dari gaya militer menjadi polisi sipil yang independen dan profesional. Meskipun semua staf polisi memahami bahwa Lembaga Kepolisian harus membuat perubahan yang mencakup tiga aspek Instrumental, Struktur dan Budaya. Hal ini dapat memunculkan persepsi yang berbeda terutama bagi mereka yang menghadapi latar belakang budaya masyarakat yang berbeda. Dari ketiga aspek ini, aspek budaya kerja merupakan salah satu aspek utama yang sangat penting dan menjadi pendorong perubahan budaya dari militeristik ke polisi sipil dalam rangka untuk berbaur dengan permintaan masyarakat.
Sebagai paradigma utama, reformasi polisi memiliki arah membawa tata kelola yang baik. Dengan demikian, reposisi sering dilakukan oleh Lembaga Kepolisian untuk mempromosikan semua langkah menciptakan citra yang baik bagi Kepolisian. Untuk itu, Lembaga Kepolisian telah bergerak ke budaya baru agar mampu bekerja baik di daerah perkotaan, maupun juga di desa dan batas negara. Dengan perubahan zaman, penugasan dan lembaga publik di sektor masyarakat modern juga berubah, dari budaya tradisional menjadi budaya berbasis pengetahuan yang ditunjukkan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kehidupan demokrasi baru mereka.
Demikian pula Prof.Awaloedin Djamin (Djamin, 1995, p.2) mengusulkan bahwa 73
Namun, tantangan keamanan dan ancaman yang dihadapi oleh masyarakat juga semakin tinggi terutama tentang tingkat kejahatan dan pelaku yang juga "tidak mau ketinggalan" untuk mengambil keuntungan dari perkembangan teknologi informasi dalam kegiatan kejahatan mereka.
dalam bentuk pembentukan kepercayaan unggul masyarakat tentang pelayanan Kepolisian. Contoh lain adalah tentang sistem lisensi mengemudi dengan meluncurkan sistem terintegrasi dalam Layanan Lalu Lintas dan administrasi sistem layanan izin mengemudi (SIM), sertifikat pendaftaran kendaraan, dan Bukti Pemilikan Kendaraan serta pendataan kecelakaan lalu lintas online. Dalam rangka melaksanakan kebijakan publik, lembaga ini telah menerapkan reformasi.
c. Rumusan masalah Terkait dengan reformasi Kepolisian, terdapat banyak tantangan yang dihadapi oleh lembaga publik itu terutama tentang reformasi. Hal ini dapat dilihat perubahan budaya betapa pentingnya bergerak ke arah positif seperti yang dituntut oleh masyarakat. Kepolisian telah menanggapi permintaan ini dengan upaya reformasi dalam memberikan pelayanan yang terbaik dan meningkatkan budaya kerja mereka. Tetapi diragukan bagaimana Kepolisian dapat memenuhi permintaan tersebut terkait perubahan budaya kerja dan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan masyarakat tentang pelayanan Kepolisian yang professional dan independen?
2.1.1. Aspek pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, Kepolisian telah meluncurkan program Four Quick Wins di 2009 dan rencana strategis kedua dikembangkan menjadi 21 Quick Wins Program. Selama roll out dari program ini, Lembaga Kepolisian telah melakukan berbagai inovasi untuk memberikan pelayanan Quick, mudah, murah dan transparan dan akuntabel untuk mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat 2.1.2. Aspek manajemen Polisi telah melakukan lokakarya perubahan budaya ke Polisi Senior bekerjasama dengan Universitas Indonesia, pelatihan ESQ bagi Pejabat Polisi dan Kepala Unit Reserse Kriminal serta berbagai kegiatan lainnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek-aspek Reformasi Sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja reformasi, Kepolisian telah menerapkan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan pengembangan Pusat Informasi Kejahatan Nasional (PUSIKNAS) untuk mendukung kegiatan operasional dan pelayanan kepada masyarakat (Tabah, 1998). Saat ini Kepolisian berada pada transisi mencapai Tahap II untuk membangun kemitraan dengan masyarakat. Lembaga ini berjuang membangun keunggulan
2.1.3. Aspek humanisme Polisimemperbaiki diri menjadi humanis sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam rangka menjaga netralitas. Hal ini tercantum dalam visimisi tahun 2025 bahwa Polri dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Dalam mencapai tujuan ini, 74
tiga sektor yang harus benar-benar direformasi ialah reformasi mental, struktural dan kultural di Lembaga Kepolisian.
aspek utama misalnya keberlanjutan, peningkatan kinerja dan komitmen lembaga publik tersebut terhadap pelayanan publik.
2.1.4. Aspek QTAP
2.1.6. Aspek penyebaran pelayanan
Kepolisian telah menerapkan program unggulan QTAP Kepolisian untuk mencapai kesuksesan (QTAP: Quick, Transparan, Akuntabel, dan Profesional) untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan kemitraan dengan masyarakat. Program ini juga bertujuan mengubah pola perilaku dan budaya kerja serta untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme anggota Polri dalam memberikan pelayanan kepada publik (Rahardi, 2007). Alasan memilih Program Quick Wins untuk menunjukkan kepada publik untuk merasakan langsung layanan yang diberikan oleh Kepolisian, baik dalam bentuk pelayanan operasional atau unit pelayanan lainnya.
Penyebaran pelayanan publik kepada masyarakat sungguh penting terutama kepada masyarakat terkecil yang membutuhkan kualitas layanan internal dan dasar hukum bagi peningkatan kinerja sesuai dengan arah kebijakan Strategis Polri 2010. 2.2. Quick Wins Program Upaya reformasi Kepolisian melalui Quick Wins Program yang dimulai pada bulan Juli 2010 yang telah ditetapkan menjadi 11 program dapat dikelompokkan menjadi fungsi: a. Satuan Samapta menerapkan Program Quick Response; b. Satuan Lalu Lintas menerapkan Transparansi pada Program Pelayanan SIM, dan pendaftaran buku mobil; c. Satuan Reserse Kriminal menerapkan Pencegahan Terorisme dan investigasi kejahatan (TKP); d. Biro fungsi Personil menerapkan Rekrutmen petugas Polisi; e. Intelkam menerapkan transparansi SKCK; f. Brimob menerapkan operasi patroli nasional; g. Binmas melaksanakan Program Polmas desa, FKM, dan BKPM.
2.1.5 Aspek kemandirian Kepolisian Lembaga polisi sejak tahun 1998 memiliki tujuan pada aspek struktural, instrumental dan kultural, untuk mewujudkan kebijakan kemandirian struktural di bawah Presiden dengan posisi seperti itu diharapkan mampu lebih cepat membangun kultur polisi modern yang bertanggung jawab kepada publik. Aspek kemandirian terdiri dari tiga aspek yaitu mereformasi aspek budaya kerja, penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi sehingga reformasi budaya kerja dapat bekerja seefektif mungkin.
2.3. Definisi Budaya kerja Budaya kerja merupakan hasil dari serangkaian orang yang hidup bersama dalam jangka waktu yang panjang di lingkungan kerja (Koentjaraningrat, 1985). Budaya kerja adalah hasil
Bintari, A. (2013)menyatakan bahwa aspek kemandirian mempercepat perbaikan budaya kerja Kepolisian. Upaya program perquickan meliputi 3
75
keseluruhan perilaku manusia yang bekerja sebagai disertai kompetensi, keterampilan, belajar dan niat. Ada beberapa pemahaman budaya kerja, menurut beberapa ahli (Koentjaraningrat, 1985). Koentjaraningrat mendefinisikan budaya kerja sebagai:
Dengan demikian, Budaya kerja dianggap berperan penting dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam suatu lembaga atau perkumpulan. Ini berarti bahwa seseorang yang memahami budaya kerja di tempat kerja mereka lebih siap dalam mengatasi masalah dengan mengamati tindakan yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya.
"... bentuk ideal dari hasil abstrak dan tidak berwujud dari perilaku manusia dan pikiran yang menerapkan ide, gagasan, norma, keyakinan, dan sebagainya ke dalam tempat kerja. “
2. 4. Budaya kerja Positif Budayakerja positif adalah semua fungsi dan perilaku positif yang dipelihara oleh suatu lembaga atau perkumpulan dalam mengatur dan menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan positif atau tindakan yang dapat meningkatkan reputasi dan pencitraan lembaga itu termasuk memenuhi kepuasan komunitas. Robinson (2006) menunjukkan bahwa pembangunan budaya kerja positif berkaitan dengan praktek demokrasi dan wawasan politik diantara anggota lembaga publik. Selain itu, dukungan konstitusi nasional juga penting untuk membangun budaya kerja positif untuk menumbuhkan diskusi bersama untuk menemukan cara terbaik membangun budaya kerja positif.
Dalam setiap masyarakat ada unsurunsur budaya kerja yang disimpan, dibagi dan dilaksanakan oleh masyarakat. Koentjaraningrat menyebutnya sebagai unsur kebudayaan universal yang meliputi: agama dan upacara keagamaan, dan lembaga publik sosial, sistem pengetahuan, bahasa, seni, sistem mata pencaharian, dan sistem teknologi. Di tempat kerja, setiap elemen budaya tersebut berubah menjadi tiga wujud budaya kerja, yaitu: a. Budaya kerja sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, aturan, dan sebagainya yang mempengaruhi praktek kerja; b. Budaya kerja sebagai pola aktivitas dan tindakan manusia yang kompleks dalam lingkungan kerja dan masyarakat; c. Budaya kerja sebagai objek karya manusia di tempat kerja.
Kompleksitas tugas polisi di era reformasi telah membawa tantangan bagi lembaga publik itu. Hal ini mensyaratkan Kepolisian untuk membangun kemajuan signifikan dalam kekuatan sipil dan kualitas operasional. Hal ini juga ditandai dengan kendali dan pencegahan perilaku yang dapat mencemarkan reputasi Kepolisian dengan membangun perilaku yang etis sesuai perundangan berlaku. Kepolisian harus mampu membangun budaya kerja positif baik dalam internal penegakan aturan maupun dalam eksternal pelaksanaan ketentuan peraturan kepada
Selanjutnya, menurut Supriyadi, G., & Guno, T. (2006)budaya kerja sebagai: "... integrasi kompleks pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan keterampilan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota suatu lembaga atau perkumpulan. "
76
masyarakat yang dilayani. Terkait fungsi internal, Kepolisian harus mampu mendisiplinkan anggota. Terkait fungsi eksternal, lembaga publik itu harus mampu mengajak masyarakat menjaga ketertiban umum dan keamanan dengan penegakan hukum yang tepat sasaran.
lembaga yang terus berkembang mengikuti tuntutan dan harapan masyarakat. Di Negara barat, Kepolisian lebih terbuka terhadap praktek demokrasi dan mampu membawa warga beradaptasi menuju tata kelola yang demokratis. Namu di Indonesia, hal ini bisa berbeda dikarenakan keberagaman kebutuhan lokal dan pemahaman masyarakat terhadap perundangan dan sesuai dengan adat istiadat budaya kerja mereka.
2.5. Demokrasi dan tata kelola Tata kelola Kepolisian telah menjadi topik yang menarik dalam diskusi tata kelola yang demokratis. Sejauh ini, demokrasi di Kepolisian apakah mereka mirip atau berbeda dari demokrasi di lembaga publik lain. Apakah mereka memiliki Kepala Polisi yang dipilih secara demokratis atau berdasarkan pertimbangan professional atau penunjukan langsung oleh Pimpinan yang mampu melakukan pemisahan kekuasaan dengan kepentingan pribadi. Demokrasi juga menjadi konsep yang rumit dalam mengembangkan kebijakan publik dan bagi pihak yang mengimplementasikannya.
Dengan demikian, Kepolisian dihadapkan pada tantangan untuk mampu menjadi figur contoh terkemuka tata kelola yang demokratis. Namun disisi lain, Kepolisian harus mendirikan perundangan secara kuat dan legitimate. Hal ini membutuhkan keseimbangan pendekatan kepe-merintahan yang demokratis dan berwibawa. Di Negara barat, terdapat kecenderungan bahwa Kepolisian harus menerapkan tata kelola yang berbasis parlementer ditandai dengan kebijakan publik yang lebih fleksibel dan mendasari pada dinamika perundangan serta opini masyarakat dan juri pengadilan. Sementara Kepolisian di Indonesia masih dalam transisi dan cenderung memiliki tantangan pada tata kelola yang berbasis presidensial dimana Kepolisian harus siap dengan kebijakan dari pimpinan pusat yang segera dijalankan oleh petugas lapangan.
Penyelesaian masalah internal maupun eksternal dapat dilihat dari kemampuan menerapkan demokrasi dan tata kelola yang baik. Dengan demikian, tata kelola dan kebijakan publik menjadi gambaran bagi Lembaga publik itu dalam melakukan tata kelola yang demokratis. Bagi kepala Kepolisian, menganalisis persamaan dan perbedaan dalam tata kelola dan kebijakan publik di lembaga mereka dapat mengembangkan kualitas pelaksanaan kebijakan publik. Maeda & Nishikawa (2006) menunjukkan bahwa kendali kebijakan publik bisa berbeda pada system tata kelola parlementer dan presidensial.
Perbedaan antara opini masyarakat dan opini pimpinan menjadikan Kepolisian harus siap menerapkan pendekatan yang berbeda untuk tata kelola yang demokratis. hal ini juga mensyaratkan petugas lapangan untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana lembaga publik lain bekerja dan pada saat yang sama mendapatkan wawasan
Pada dasarnya Kepolisian tidak memiliki monopoli kebijakan kepemerintahan. Kepolisian merupakan
77
baru bagaimana Kepolisian harus diatur secara internal dan independen.
sejarah historis Kepolisian Indonesia, pemisahan kekuasaan membentuk kualitas yang berbeda dari kebijakan tata kelola dan legitimasi. Kepolisan sebagai lembaga publik juga dipengaruhi bagaimana para pemimpin dapat menerapkan kontrol kinerja, mengejar tujuan publik dan mendorong dukungan reformasi. Yang berbeda adalah bahwa independensialisme kadang-kadang membawa kebijakan yang lebih berorientasi politik daripada tujuan reformasi menuju independensi dan transparansi (Robinson, 2006).
Sebagai lembaga publik yang demokratis dan independen, Kepolisian juga menghadapi tantangan untuk mengelola persamaan dan perbedaan antara pelaksanaan tugas ideal dengan kondisi di lapangan. Kepolisian dihadapkan pada penugasan yang sering membutuhkan perhatian khusus dan benturan kepentingan antara pihak yang mengatur dalam setiap tata kelola maupun sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk operasi rutin pemerintah dan mengembangkan atau melaksanakan kebijakan publik. Dengan adanya tantangan itu memunculkan persamaan dan perbedaan antara tiga tugas itu dan kemudian di antara mereka, Kepolisian harus menjaga standar tata kelola dan kebijakan publik. Dengan demikian, konsep demokrasi di lembaga publik terutama di Kepolisian dalam hal tata kelola dan kebijakan publik. Kepolisian harus mampu menjembatani persamaan dan perbedaan demokrasi dalam lembaga publik mereka maupun dalam lembaga lain yang bersinggungan dengan mereka. Juga, Kepolisian dihadapkan pada tantangan untuk terus meningkatkan wawasan masyarakat dan mengedukasi lembaga publik lain untuk memperoleh informasi dan memverivikasi pengetahuan bersama antar lembaga. 2.6. Demokrasi konseptual Lembaga publik di Indonesia
Dari sini ada pelajaran penting, terutama dari perubahan bentuk tata kelola baik sistem independensiil atau demokratister, terutama ketika belajar dari lembaga publik lain yang berkembang seperti Indonesia. Indonesia telah mengalami perubahan politik mendadak yang tidak demokratis dan rezim melalui kudeta militer selama 33 tahun dan memasuki masa reformasi demokratis sampai sekarang. Dari sejarah Indonesia, tampaknya demokratistarisme dan independensialisme ditentukan oleh karakteristik sistem lembaga publik seperti yang dijelaskan oleh Maeda & Nishikawa (2006) yang memiliki tingkat kerapuhan politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Di sini Maeda & Nishikawa menunjukkan bahwa semakin besar jumlah lembaga publik, semakin pendek durasi pemerintah. Ini telah membuktikan bahwa pada tahun 1955, Indonesia telah memiliki tata kelola parlementer yang berakhir dengan cepat (kurang dari dua tahun) karena pertentangan dalam hal perubahan konstitusi yang mengarah pada ketidakpastian kebijakan publik. Selain itu, munculnya fraksionalisasi etnis telah mempengaruhi pemerintah
di
Tata kelola dan pelaksanaan kebijakan publik dapat berbeda dalam bendera demokratis dan independensial. Bahkan perbedaan antara baik sistem tata keloladan penugasan Kepolisian dapat menyebabkan hasil yang berbeda dalam akuntabilitas mereka. terkait dengan 78
dan menghasilkan kebijakan publik yang buruk dan diskriminasi (Maeda & Nishikawa, 2006).
pelaksanaan kebijakan publik dan sulit untuk diterapkan ketika oposisi publik memiliki latar belakang budaya kerja yang beragam, terutama dari sisi keaksaraan mereka mengenai pengetahuan politik dan pengetahuan tata kelola yang lengkap.
Namun, masyarakat Indonesia juga belajar dari Jepang dan Jerman, di mana masyarakat sekarang demokrasi yang lebih matang dalam tindakan dan pihakpihak yang lebih mampu mengkonsolidasikan kekuatan untuk mengurangi kerapuhan demokrasi yang melalui fasilitasi kebutuhan publik dan akses informasi gratis. Ketika demokrasi memiliki driver informasi politik dan kebebasan berbicara, itu akan memiliki rentang waktu yang lebih lama dan membuat kebijakan publik dapat dilaksanakan lebih konsisten dan durasi administrasi dapat berjalan lebih mapan (Maeda & Nishikawa, 2006).
2.7. Kebijkan sebagai instrumen Kebijakan publik dapat menjadi bahan, instrumen dan praktek pelayanan publik yang membutuhkan menganalisis kepemimpinan sebagai instrumen untuk melaksanakan kebijakan publik. Terdapat tantangan umum untuk menerapkan kebijakan publik tanpa mempertimbangkan instrumen dan praktik yang paling berguna dalam mengatasi kendala pelaksanaan kebijakan tersebut.
PemikiranMaeda & Nishikawa sangat menarik untuk diterapkan di Indonesia dan terbukti mampu menjelaskan perkembangan demokrasi di negeri ini. Dengan melihat kesamaan dengan kasus Jepang yang dimulai dengan pemilu bebas, Indonesia juga memiliki sistem tata kelola yang mirip dengan kompetisi lembaga publik yang terbawa arus politik. Namun, dalam rezim orde baru, pemerintah Indonesia mampu bertahan lagi dengan memenuhi kebutuhan dasar orang-orang dan juga menjaga hubungan baik dengan luar negeri sehingga secara finansial bertahan meskipun manipulatif politik sering terjadi. Pada intinya, independensialisme cenderung lebih kuat di bawah pluralitas dan multipartisme (Maeda & Nishikawa, 2006). Namun, Independensialism sulit diterapkan pada sistem multi-lembaga dikarenakan sifat masyarakat yang mengakui tata kelola otoriter daripada keperintahan berbasis pemikiran bersama. Hal ini akhirnya menghambat
Secara umum, prinsip demokrasi dianggap sebgai dasar awal dalam pembuatan kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan publik. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dapat menggunakan berbagai cara untuk membantu mereka melaksanakan kebijakan publik. Namun, prinsip tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut ke dalam peraturan, insentif pajak, hibah, dan kemitraan publik-swasta agar dapat menjadi contoh instrumen dan praktik tata kelola yang demokratis. Idealnya, instrumen yang dipilih untuk implementasi kebijakan mungkin cocok untuk melakukan reformasi Kepolisian namun hal ini tidak selalu terjadi. Sayangnya, banyak usaha reformasi gagal bukan karena kebijakan yang buruk tetapi karena pilihan kepemimpinan yang buruk dan kelemahan dalam instrument sosial dan praktik tata kelola yang tidak terevaluasi dengan lengkap.
79
Keberhasilan atau kegagalan kebijakan publik dapat sangat tergantung pada instrumen yang dipilih untuk implementasi. instrumen dan praktik yang cocok untuk implementasi dalam satu area kebijakan mungkin tidak tepat diterapkan dalam kebijakan lain dan dapat menyebabkan kegagalan lainnya. Oleh karena itu, instrumen dan praktik kebijakan harus dipilih dan sesuai untuk bidang pelayanan publik yang ditangani.
tantangan perangkat kebijakan, instrumen kebijakan, masalah kebijakan, dan teknik manajerial yang memiliki implikasi untuk praktek Kepolisian. Publikasi Rachel Carson di tahun 1962 tentang Silent Spring menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran yang makin tinggi untuk menjadi pengawas lembaga publik dan banyak mendirikan gerakan politik baru untuk bersikap independen yang didukung oleh kekuatan demokratis dan menjadi gerakan yang lebih solid yang menghormati hukum. Selain itu, gerakan ini telah membawa perspektif baru pada cara yang demokratis baru yang menuntut Kepolisian mengubah cara pelayanan untuk melindungi mereka, tapi dengan demokratis sebagai menjadi teman dalam keamanan publik. Kharisma (2014)mengeksplorasi bagaimana perangkat kebijakan mempengaruhi program keamanan diterapkan lembaga Kepolisian. Nampaknya, lembaga Kepolisian harus melaksanakan program publik untuk menjadi lembaga publik yang demokratis. mereka mendorong Kepolisian memiliki otonomi dalam menentukan bagaimana anggaran publik digunakan untuk membuat paket layanan yang diinginkan mereka.
2.8. Perubahan kebijakan terdapat kelebihan dan keterbatasan instrumen dalam membangun praktek demokrasi yang efektif di lembaga publik. Terkait dengan tugas Kepolisian yang harus tegas dan berwibawa dalam menegakkan hukum, lembaga itu juga menghadapi tantangan dalam melaksanakan perubahan kebijakan pemolisian masyarakat maupun dalam mengevaluasi instrumen dan / atau praktik pengamanan publik. Ditambah dengan adanya keterbatasan fasilitas dan sumber daya mejadikan Kepolisian harus memahami keterbatasan mereka. Dengan demikian, mereka juga menghadapi kendala dalam pemenuhan tugas sebagai lembaga publik yang efektif dalam melaksanakan kebijakan publik. Dengan demikian, Kepolisian perlu membangun Instrument kebijakan agar mereka dapat bertindak lebih tepat dan efektif dalam situasi publik tertentu (Satoto, 2014). Pendekatan ini harus diselesaikan dengan proses manajemen, yang pertama sebagai perbaikan mutu pengetahuan kelembagaan sedangkan yang kedua adalah aplikasi dari instrumen yang mengandung karakteristik struktural praktek kelembagaan. Blair juga menunjukkan bahwa Kepolisian menghadapi
Gagasan mereka mengeksplorasi karakteristik struktural lembaga publik pada kapasitas untuk memenuhi penugasan tersebut. Kharisma (2014)menemukan instrumen yang mempengaruhi nilai-nilai inti dari tata kelola umum, seperti efektivitas, efisiensi, kesetaraan, dan legitimasi instrument. Mereka menjelaskan bagaimana dimensi tata kelola seperti keterusterangan,automaticity, visibilitas, dan pemaksaan dapat
80
meningkatkan wibawa dan reputasi, namun dapat menjadikan ketegangan hubungan antar lembaga publik. hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik harus ikut terkandung prinsip-prinsip demokrasi untuk membuat orang-orang dan pelaksana publik menerapkan kebijakan dengan cara demokratis sebagai orang membawa aspirasi mereka kepada atasan dan dapat menyeimbangkan melalui kebersamaan politik transparansi.
Penelitian kualitatif deskriptif eksploratif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena, karena itu perspektif teoritik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah fenomenologis, artinya berusaha memahami apa makna kejadian bagi pelakunya pada situasi tertentu dalam kaitan dengan ini adalah perubahan budaya kerja dan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan masyarakat tentang pelayanan Kepolisian yang professional dan independen.
Pemikiran mereka menggambarkan bagaimana lembaga publik mampu menggunakan instrument kebijakan senetral mungkin. Ini berarti bahwa para pihak harus menetapkan prioritas pada keadilan mereka, bukan mengatur perbedaan atau kesamaan ke dalam kebijakan sepihak. Selain itu, demokrasi harus melestarikan bagaimana keberhasilan dijembatani untuk mendorong semua pihak bebas bertemu dan menyempurnakan regulasi dan perilaku bersama yang dikombinasikan dengan aturan dan kehidupan baru yang melindungi kepentingan publik.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Public Project
Administrator Genome
Mengembangkan reformasi lembaga publik seperti Kepolisian membutuhkan pemahaman tentang pengalaman polisi profesional. Dalam hal ini terdapat standar reformasi polisi sebagai Public Administrator Genome Project (PAGP). PAGP adalah upaya untuk "peta" digital dan hubungan yang membentuk reformasi Kepolisian. Hal ini didasarkan pada upaya untuk mengidentifikasi dan arah reformasi Kepolisian. Hanya sedikit orang yang menyangkal bahwa administrasi publik menjadi lebih rumit bila dihubungkan dengan tata kelola dan reformasi Kepolisian. Ditambah dengan banyak strategi, kekuatan eksternal, dan dampak yang saling berlaku ikut menentukan pelaksanaan reformasi Kepolisian sesuai situasi tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan sistem yang komprehensif, logis, dan tersedia untuk untuk memahami keterkaitan sistem untuk memberikan pendekatan yang rasional dan ilmiah untuk reformasi lembaga publik. sebagai hasilnya, reformasi Kepolisian lebih mudah
3. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan maksud menafsirkan fenomena yang ada dan dilakukan dengan jalan melibatkan 40 berbagai metode yang ada, sedangkan metode yang biasanya dimanfaatkan bisa berupa wawancara, observasi, dan pemanfaatan dokumen (Lexy, 2007).
81
diamati dalam dampak lapangan mengenai hal-hal umum seperti keamanan masyarakat dan ketertiban umum. Selain itu reformasi Kepolisian membutuhkan format yang terstruktur, sistematis dan berbasis dukungan publik.
4.
Terdapat berbagai proyek genom dalam kebijakan publik untuk menangkap, pemetaan, dan menyebarkan "gen" kebijakan publik. Hal ini didasari dari pengalaman profesional sebelumnya yang pernah dijalankan oleh banyak lembaga publik untuk menghasilkan perubahan sosial dan kebijakan yang dapat diterima masyarakat.
5.
6.
4.2. Implementasi PAGP
7.
Terdapat beberapa langkah menuju reformasi yang menggambarkan bagaimana lembaga publik berkembang, dan mengukur dampak kebijakan mereka. Mengatur proses perubahan dapat dilakukan dengan cara berikut:
8.
1. Memahami latar Belakang untuk proses perubahan visi dan misi lembaga publik apakah sudah mencantumkan rumusan reformasi dan apa bentuk reformasi yang diinginkan; 2. Menjelaskan mengenai masalah kebijakan dan bagaimana ditujukan atau diwujudkan ke dalam tindakan yang dilakukan untuk mencapai hasil (yaitu, lembaga publik berusaha untuk mengembangkan, membuat, melak-sanakan, dan / atau meng-ukur dampak kebijakan mereka dan apa yang telah dilakukan); 3. Menjelaskan secara rinci mengenai hasil kebijakan yang pernah dilakukan oleh lembaga lain dan penjelasan tentang faktor-faktor yang mungkin berdampak termasuk aspek
9.
82
yang berpengaruh pada pemberlakuan dan pelaksanaan kebijakan publik tersebut; Menyusun instruksi dan perintah untuk membantu seluruh staf dan pegawai dalam membuat kegiatan untuk mendalami wawasan demokrasi, prinsip, dan proses reformasi; Menjelaskan interaksi jaringan dan peran pihak eksternal dalam instrumen demokrasi atau strategi digunakan lembaga publik; Memahami peran pemimpin dan pengaruh mereka pada proses reformasi termasuk keprihatinan etis dan implikasi tindakan pemimpin terhadap proses reformasi; Menjelaskan isu-isu keragaman dan bagaimana dapat ditangani untuk menuju tata kelola yang demokratis dan bagaimana tantangan-tantangan itu dapat dikelola tanpa merugikan siapapun; Menjelaskan peran teknologi dalam proses reformasi dan bagaimana staf lembaga publik dapat berperan aktif dalam jaringan kebijakan yang terkait dengan reformasi. Terkadang jenis teknologi tertentu dapat menjadi instrumen yang digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan. Sedangkan jenis teknologi lain seperti teknologi jejaring sosial yang sering digunakan untuk menghubungkan pelaksana kebijakan dapat menyebabkan masalah etika dan privasi; Meningkatkan kemampuan kreatif dan berpikir tentang semua hubungan yang mungkin terjadi dan berbagi wawasan dan rekomendasi. selain itu mengumpulkan pengalaman dan pengembangan proses perubahan berkelanjutan juga penting termasuk mendapatkan wawasan tentang
bagaimana hal ini berbeda di lembaga publik atau budaya kerja lain.
Karena perubahan budaya kerja seringkali harus terjadi secara bertahap dan didorong terus menerus, maka dibutuhkan pendorong dari masyarakat agar bersikap kritis terhadap upaya penegakan hukum, sehingga aturan "sistem nilai" dapat ditingkatkan. Hal ini dilakukan melalui KUHAP yang melibatkan elemen masyarakat untuk bekerja sama. 4.3.2. Pembinaan kewibawaan Pembinaanreputasi dan kewibawaan telah dilaksanakan melalui Pendidikan TRI BRATA. Polisi yang bertugas di wilayah luas harus siap dengan membangun identitas Kepolisian melalui Penerapan platform Ideal untuk filsafat, tujuan, fungsi, dan prinsip Kepolisian. Dalam hal ini, keberadaan dan identitas Kepolisian sebagai lembaga publik selalu dikaitkan dengan sistem tata kelola yang berlaku nasional. penerapan prinsip-prinsip Kepolisian tersebut merupakan manifestasi dari nilai-nilai dalam konstitusi. Padaumumnya, sistem Kepolisian Indonesia mengikuti konsepsi Eropa Kontinental, tetapi sejalan dengan apa yang terjadi di masyarakat internasional. Lembaga Kepolisian telah bergeser ke kombinasi antara konsepsi Kepolisian Eropa dengan konsepsi Anglo-Saxon. Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan perubahan budaya kerja di Indonesia akan terinduksi oleh budaya kerja global dan internasional, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem Kepolisian di Indonesia adalah dinamis, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat dari masyarakat Indonesia. Mengenai landasan yang ideal, dapat dikatakan bahwa Kepolisian berperan sebagai fungsi, organ, dan individu yang menjadi bagian dari masyarakat untuk melindungi kehidupan yang nyaman masyarakat. Hal ini
Kebijakan publik dari hasil penelitian lebih mudah diterapkan untuk membawa efek perubahan sosial. Namun dibutuhkan kesesuaian dan pengalaman profesional dari para peneliti kebijakan hingga pelaksana kebijakan utuk dapat menghasilkan kebijakan yang akurat.
4.3. Budaya kerja positif Kepolisian menghadapi tantangan yang besar untuk membangunbudaya kerja. Terdapat beberapa upaya yang telah dilaksanakanolehKepolisianmenuju perubahan budaya kerja positif. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: 4.3.1. Mindset Pelayanan Mengubah cara berpikir (mindset) anggota Kepolisian. Hal ini dilakukan melalui penerapan tagline doktrin polisi. Doktrin Polisi mengandung aspek evaluasi ke dalam (evaluasi internal) sebagai bagian dari doktrin Kepolisian yang berisi tentang doktrin pembinaan, kemampuan dan pengembangan kekuatan pelayanan profesional sesuai dengan tuntutan masyarakat. Aspek selanjutnya ialah aspek evaluasi keluar (evaluasi eksternal). Doktrin ini berisi instruksi operasional, mengidentifikasi tugas, pengembangan sistem serta pendidikan masyarakat lingkungan. Selain itu, juga penting untuk meningkatkan etika anggota polisi dengan mengedepankan sisi kemanusiaan (humanisme), dan semua penugasan didasarkan pada nilai-nilai spiritual yang ada dalam lembaga publik dan masyarakat.
83
didukung oleh Satjipto (2002) bahwa Kepolisian terus melakukan penyesuaian dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang dilayaninya. Sementara Charles Reith dalam bukunya "Polisi Inggris dan Demokrat Ideal" mengatakan bahwa satu-satunya senjata polisi murni adalah komunikasi dan memahami kehendak masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa konseptual "TRI BRATA" di Indonesia merupakan landasan filosofis yang ideal yang mirip dengan nilai-nilai modern etika profesional yang ada di lembaga Kepolisian di Negara lain. Dengan konsepsi tersebut, landasan filosofis dari fungsi Kepolisian dan prinsip ideal telah diterapkan dan Kepolisian telah berusaha memasukkan kehendak masyarakat ke dalam tujuan Kepolisian.
kekuatan masyarakat kembali ke rakyat. Hal ini memunculkan tuntutan partisipasi publik yang menjadikan demokrasi terkesan tidak terkendali. lembaga polisi sebagai aparatur lembaga publik harus menghormati harapan rakyat. Ini berarti bahwa Kepolisian harus meningkatkan tingkat kapasitas dalam lingkungan sosial yang dilandasi oleh pengakuan demokrasi dan perlindungan hak asasi masyarakat. Kedua, Lembaga Kepolisian selalu tunduk pada ketentuan peraturan dan kepentingan elit politik, yang awalnya dimulai dari Presiden hingga petinggi internal sehingga Kepolisian sulit untuk bergerak keluar dari bingkai kepentingan pemimpin dan petinggi mereka. Sehinggapetugas Kepolisian setelah masuk ke dalam struktur lembaga publik akan sulit untuk membangun idealisme dan berpotensi mengecewakan dan mengakibatkan frustrasi tak berujung tentang bagaimana polisi harus menegakkan peraturan perundangan. Hal ini mendorong mereka untuk terkendala menerapkan independensi sepenuhnya. Untuk menghormati kebebasan orang dan juga bagaimana untuk menjaga kepatuhan hukum masyarakat dimulai dari kepatuhan para pimpinan Kepolisian dan petinggi politik yang berwenang mengendalikan pemilihan Kepala Kepolisian. Kuatnya aspek politis tersebut menjadikan fungsi penegakan hukum sulit diterapkan sepenuhnya untuk mencapai legitimasi tertinggi. Ambiguitas itu makin Nampak jika tugas mereka diintervensi oleh kekuatan eksternal termasuk rezim politik yang menyuntikkan kepentingan politik mereka ke Lembaga Kepolisian yang membuat polisi kehilangan netralitas untuk melayani publik. Idealnya kehadiran polisi harus efisien
4.3.3.Perubahantrend budaya kerja Setelah era reformasi, Kepolisian sedang menghadapi transisi menuju masyarakat madani yang demokratis. Menurut O'Donnell dan Schmitter (1993), transisi membawa intervality rezim politik untuk mengurangi netralitas polisi dalam rezim politik. Untungnya, sampai sekarang, polisi bisa menjaga legitimasi dan netralitas mereka dalam arena politik sehingga dapat mengurangi dampak sosial menyebabkan ketegangan sosial. Dalam sosiologis-politis, ada beberapa aspek kecenderungan hambatan yang sebenarnya telah terjadi di Indonesia yang dapat berdampak merusak legitimasi Kepolisian. Pertama, sejak era reformasi, masyarakat menuntut kebebasan yang lebih luas dan mengharapkan agar lembaga keamanan publik mengurangi monopoli kontrol dan hegemoni kebebasan masyarakat. Ini berarti bahwa orang menuntut kebebasan mereka dan 84
dalam melayani masyarakat dan bersikap profesionalisme dalam perspektif publik (Suki, 2016).
Bintari, A. (2013). Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Disiplin Kerja Kepolisian Kesatuan Subbagpamkol Yanma Polri. Djamin, A. (1995), Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung, Sespim Polri. Haramain, A. M. (2004). Gus Dur, militer, dan politik. PT LKiS Pelangi Aksara. Kharisma, B. (2014). Good Governance Sebagai Suatu Konsep dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta: Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan. Jurnal Buletin Ekonomi. Koentjaraningrat, (1985). Metodemetode Penelitian Masyarakat. Jakarta Gramedia Maeda, K, Nishikawa. M. (2006). “Duration of Party Control in Parliamentary and Presidential Governments A Study of 65 years of Democracies, 1950 to 1998.” Comparative Political Studies39(3): 352–374. Moleong, Lexy J. (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Offset, Bandung. Negara, L. A. (2003). Penyusunan Standar Pelayanan Lembaga Publik. O'Donnell, G. (1993). On the state, democratization and some conceptual problems: A Latin American view with glances at some postcommunist countries. World Development, 21(8), 1355-1369. Rahardi, P. (2007). Hukum kepolisian: profesionalisme dan reformasi Polri. Laksbang Mediatama. Rahardjo, Satjipto. 2002. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT. Kompas Media Utama.
5. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, ada beberapa kesimpulan sebagai berikut. 5.1. Perubahan kebijakan beretika Lembaga Kepolisian memiliki niat yang tinggi untuk menciptakan perubahan budaya kerja yang positif terutama dari pelaksanaan etika dan berusaha netral dari kepentingan politik yang menjadi dasar bagi Kepolisian untuk melakukan tugas mereka. 5.2. Mindset dan idealisme pelayanan Ada beberapa upaya telah dilakukan untuk membangun budaya kerja positif dalam menghadapi permintaan perubahan budaya kerja melalui dua cara: a. Mengubah pola pikir anggota polisi menjadi lebih etis, demokratis, dan humanis; b. Mengubah konsepsi keberadaan Polisi dan idealisme identitas Polisi, tujuan lembaga, lembaga fungsi dan prinsip-prinsip Kepolisian yang berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Akhirnya, reformasi Kepolisian adalah peningkatan peran dan kewenangan sesuai dengan aturan demokrasi dan amanat konstitusi melalui perubahan budaya kerja. Reformasi Kepolisian harus didasarkan pada kebijakan nasional tentang perubahan budaya kerja ditandai dengan netralitas politik, kesadaran dan pemahaman tentang peran dan posisi untuk menjaga sistem demokrasi yang mendukung partisipasi masyarakat.
Daftar pustaka
85
Satoto, S. (2014). Membangun Kemandirian dan Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Sebagai Pelindung Pengayom dan Penegak Hukum. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 7(3). Suki, S. (2016). Sosiologi kepolisian: Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil Pasca
Orde Baru. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Supriyadi, G., & Guno, T. (2006). Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Modul Pendidikan dan Pelatihan prajabatan Golongan III. Tabah, A. (1998). Reformasi Kepolisian. Jakarta: CV. Sahabat.
86