Pembelajaran MPAG: Anambas, Bali MPA Network, Raja Ampat
© Andie Wibianto/MPAG
Asril Djunaidi | Dewi Anggraini I Made Iwan Dewantama | M. Khazalie Harahap | Rony Megawanto © 2014
DAFTAR ISI DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 2 KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN RAJA AMPAT ..................................................................................... 3 Latar Belakang ..................................................................................................................................... 3 Inisiatif Awal ........................................................................................................................................ 3 Strategy Bottom-Up dan Build & Transfer ............................................................................................ 5 Menciptakan Pemimpin Konservasi di Daerah ..................................................................................... 6 Pengembangan Sistem Pengelolaan dan Zonasi Berbasis Masyarakat .................................................. 8 Membangun Landasan Untuk Pendanaan Berkelanjutan ..................................................................... 9 Membangun Pariwisata Daerah ......................................................................................................... 10 JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BALI ................................................................................. 11 Latar Belakang ................................................................................................................................... 11 Penyamaan Persepsi Stakeholders..................................................................................................... 12 Marine Rapid Assessment Program (MRAP) ....................................................................................... 14 Membangun Konsistensi Komunikasi dan Kesepakatan Stakeholder .................................................. 16 Peningkatan Kapasitas Stakeholder ................................................................................................... 18 Pembelajaran Jejaring KKP Bali untuk Jejaring Bentang laut Lesser-Sunda dan Coral Triangle Initiative for Climate Change, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) ................................................................. 19 TAMAN WISATA PERAIRAN ANAMBAS................................................................................................... 21 Latar Belakang ................................................................................................................................... 21 Membangunn Kemitraan ................................................................................................................... 22 Marine Rapid Assessment Program (MRAP) ....................................................................................... 23 Pengembangan Kapasitas .................................................................................................................. 23 Pelibatan Masyarakat ........................................................................................................................ 24 Kesepakatan Napoleon .................................................................................................................. 24 Deklarasi Adat “Lobang Pari” ......................................................................................................... 25
KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN RAJA AMPAT Latar Belakang Bird’s Head Seascape (BHS) atau Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) terletak di pusat ‘Segitiga Karang Dunia’ mencakup wilayah seluas 22,5 juta hektar di timur Indonesia, mulai dari Teluk Cendrawasih, Raja Ampat, sampai Kaimana. BLKB menjadi tempat tinggal 761.000 orang manusia yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alam, khususnya laut. Dengan keindahannya yang menakjubkan, BLKB memiliki keanekaragaman habitat menakjubkan yang dapat dijelajahi, baik di darat maupun di laut. Masing-masing habitat tersebut merupakan tempat tinggal bagi sekumpulan spesies unik yang secara bersama-sama membentuk kumpulan spesies yang paling mengesankan yang pernah dijumpai untuk sistem terumbu karang dengan ukuran sebesar ini. Hingga saat ini, survei telah menunjukkan terdapat lebih dari 600 terumbu karang scleractinia (sekitar 75 persen dari totalnya di seluruh dunia), dan masing-masing terumbu karang tersebut menampung hingga 280 spesies per hektarnya. Dalam dasawarsa terakhir, tercatat lebih dari 1600 spesies ikan terumbu karang, yang meliputi 476 genus dan 117 familia. Bentang laut ini juga memiliki pantai persarangan terbesar di dunia bagi penyu belimbing yang terancam punah, serta merupakan habitat penting bagi spesies kelautan lain yang terancam punah di dunia, termasuk hiu paus, penyu, dan cetacea. Papua juga memiliki hutan bakau terluas dan paling beragam di dunia, mencakup lebih dari separuh hutan bakau Indonesia yang keseluruhannya mencapai 4.000.000 ha. Dengan gambaran tersebut, tidak mengherankan jika wilayah ini menempati urutan pertama prioritas geografi keanekaragaman hayati laut di Indonesia. BLKB, yang dimulai pada tahun 2004, diprakarsai oleh kemitraan kuat antara Conservation International (CI), The Nature Conservancy (TNC), dan WWF-Indonesia, serta sejumlah mitra lokal, termasuk Yayasan Penyu Papua, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah provinsi dan kabupaten di Papua Barat, masyarakat setempat, dan para operator wisata bahari swasta. Berkat dukungan para donatur yang peduli dan murah hati, terutama Walton Family Foundation, kemitraan ini berhasil menetapkan suatu agenda pelestarian ambisius yang melampaui batas-batas pengelolaan kelautan secara tradisional. Dokumen ini mencoba mencatat pembelajaran dari proses pengembangan prakarsa BLKB, khususnya kerja-kerja yang telah dilakukan di Raja Ampat.
Inisiatif Awal Dimulai pada tahun 2004, tahap awal prakarsa BLKB berfokus pada perancangan strategi pengelolaan berbasis ekosistem (PBE) untuk bentang laut, berdasarkan kondisi ilmiah, sosial ekonomi, dan budaya yang unik di Papua. Walaupun koalisi BLKB sejak awalnya memiliki tujuan yang jelas untuk membangun Jejaring Kawasan Konservasi Perairan yang terhubung secara ekologis dan tangguh, kegiatan yang dilakukan tidak langsung pada proses pembangunan kawasan konservasi, tetapi terlebih dahulu berusaha memahami nuansa Bentang Laut – sistem ilmiah, budaya, tata kelola, aspirasi masyarakat, dan konflik-konflik di dalamnya. Informasi tersebut digunakan untuk menciptakan kondisi yang dapat menunjang konservasi, membangun dasar bagi jejaring kawasan konservasi yang ambisius.
Untuk menentukan karakteristik Bentang Laut secara ilmiah, koalisi tiga lembaga (CI, TNC, dan WWF) meluncurkan Program Ilmiah Pengelolaan Berbasis Ekosistem antar disiplin ilmu yang menyeluruh (Ecosystem-based Management/EBM). Program EBM ini mencakup 18 studi mutakhir yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu, termasuk ekologi, oseanografi, perikanan, ekonomi lingkungan, ilmu sosial, ilmu politik, dan antropologi. Dengan mencakup berbagai disiplin ilmu, program EBM menghasilkan banyak informasi berharga yang akan menjadi acuan dalam pembentukan strategi Bentang Laut dan rancangan jejaring kawasan konservasi. Kajian yang paling berguna dari program EBM sangat tidak terduga – pemetaan kepemilikan masyarakat. Hasil dari pemetaan kepemilikan masyarakat selama setahun penuh tidak hanya memberikan pemahaman yang dalam bagi tim kerja mengenai dinamika dan aspirasi masyarakat, namun juga memberikan informasi berharga tentang wilayah yang dapat dilindungi tanpa menimbulkan banyak konflik, atau wilayah-wilayah yang memerlukan perlindungan untuk membantu mengurangi konflik masyarakat yang terjadi saat ini. Setelah semuanya dipadukan, program ilmiah EBM memberikan dasar untuk merancang jejaring kawasan konservasi. Agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat setempat, jejaring kawasan konservasi dirancang pada skala yang cukup besar untuk membangun kembali dan menjaga persediaan ikan karang lokal, melindungi keanekaragaman hayati yang penting bagi dunia, dan menjaga fungsi dan proses ekosistem, seraya memberikan perlindungan kuat bagi masyarakat Papua yang paling rentan. Penempatan Kawasan Konservasi Perairan dalam BLKB diidentifikasi dan dipertimbangkan dengan saksama berdasarkan hasil yang diperoleh dari studi ilmiah. Populasi ikan, distribusi habitat, jalur migrasi, pola arus, dan anomali suhu merupakan faktor penentu dari sudut pandang ilmiah, sementara pola ketergantungan dan penggunaan sumber daya, kepemilikan terumbu karang (tenure), dan tempat-tempat dengan nilai budaya/spiritual khusus merupakan faktor penting dari sudut pandang sosial ekonomi dan budaya. Di saat yang sama dengan berjalannya program ilmiah EBM, staf LSM dan mitra lokal lainnya mulai secara aktif terjun ke masyarakat pesisir pantai di 90 lokasi yang tersebar untuk mensosialisasikan ide konservasi dan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Komunikasi dan sosialisasi merupakan inti dari program konservasi berbasis masyarakat dan sangatlah penting untuk membangun kepercayaan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Melalui berbagai strategi komunikasi dan pendidikan, tim kerja mampu memperbesar dampak yang mereka timbulkan untuk memperkuat kesadaran dan komitmen masyarakat untuk melaksanakan konservasi kelautan di skala geografis yang besar. Tim kerja melatih petugas konservasi masyarakat di tiap desa dan memperlengkapi para pemimpin agama dengan pelatihan lingkungan, agar mereka dapat mensosialisasikan pesan konservasi ini secara meluas. Cara ini membantu memunculkan tokoh-tokoh konservasi di seluruh Raja Ampat, yang siap memimpin upaya konservasi di daerah mereka masing-masing. Lebih jauh lagi, tim kerja memulai program Radio Papua tentang konservasi yang sangat populer dan meluncurkan Pusat Pendidikan Konservasi Kelautan Terapung Kalabia yang mengelilingi Raja Ampat untuk memberikan pembelajaran dengan pengalaman langsung ke semua sekolah di kabupaten tersebut. Dalam dialog dengan masyarakat, ada dua tema utama yang muncul sebagai prioritas bagi masyarakat Papua, yaitu ketahanan pangan dan hak kepemilikan dan hak tradisional yang lebih kuat. Sebagai
jawaban, tim kerja menjadikan tema ini sebagai tujuan inti dalam merancang Jejaring Kawasan Konservasi BLKB dan strategi EBM bentang laut yang lebih luas. Walaupun pemberdayaan masyarakat telah menjadi tujuan inti di wilayah laut skala kecil yang dikelola secara lokal selama lebih dari satu dasawarsa, baru kali ini penguatan hak tradisional menjadi tujuan tegas bagi suatu jejaring kawasan skala besar (skala ratusan ribu hektar). Tim kerja kemudian memusatkan komunikasi pada dua tema ini. Tim kerja menyajikan konsep Kawasan Konservasi Perairan, membatasi wilayah kelautan dengan peraturan dan pengelolaan yang lebih ketat, sebagai alat yang dapat mendukung pengelolaan berkelanjutan dari pembudidayaan ikan setempat serta dapat memberikan mekanisme hukum untuk memperkuat hak kepemilikan tradisional masyarakat, dan mencegah pemburu gelap dari luar. Tim kerja juga berkomitmen untuk mendukung masyarakat dalam merancang suatu sistem pengelolaan yang akan menghidupkan kembali nilai-nilai dan praktik tradisional, dan membantu masyarakat mengambil kembali hak atas sumber daya mereka. Walaupun semua upaya komunikasi dan penjangkauan ini dapat menarik dukungan masyarakat terhadap konsep kawasan konservasi, terlihat jelas bahwa upaya konservasi tidak akan berhasil di BLKB dengan begitu banyak perusahaan ekstraksi menanti kesempatan, kecuali pemerintah dan masyarakat setempat memiliki alternatif ekonomi yang lebih baik. Pariwisata merupakan pilihan yang terbaik. Namun, walaupun Raja Ampat dan BLKB secara luas merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia, wilayah ini tidak dikenal oleh komunitas penyelam internasional sebelum tahun 2005. Oleh karena itu, tim kerja memulai suatu program khusus, bekerja sama dengan sektor pariwisata swasta dan Kementerian Pariwisata untuk mendorong wisata bahari yang berkelanjutan di BLKB dan memastikan pengelolaannya yang baik untuk meminimasi dampaknya dan menjamin agar manfaat yang diperoleh dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Upaya untuk mengembangkan alternatif ekonomi yang lebih menarik daripada ekstraksi sumber daya alam menjadi pekerjaan yang terus menerus bagi tim kerja .
Strategy Bottom-Up dan Build & Transfer Tim kerja berkomitmen untuk merancang suatu strategi konservasi yang dapat memberdayakan dan menunjang masyarakat setempat mendapatkan kembali kendali atas sumber daya kelautan mereka, agar masyarakat dapat mengelola sumber daya tersebut secara berkelanjutan dalam konteks budaya Papua yang unik. Untuk mencapai tujuan ini, kawasan konservasi tidak hanya dibatasi dengan batasbatas administratif, namun juga dibatasi dengan batas-batas tenure adat, untuk menegaskan hak-hak tenure adat serta pemberian perhatian khusus untuk masyarakat rentan. Setiap kawasan konservasi yang ditetapkan secara lokal diumumkan terlebih dahulu melalui upacara yang diselenggarakan oleh dewan lokal atau pemimpin adat tradisional. Pada tahun 2007, para pemimpin adat Raja Ampat, menetapkan enam Kawasan Konservasi Perairan yang terhubung secara ekologis menurut batas-batas tenure (yang dirancang melalui proses EBM) dalam suatu upacara adat tradisional. Mulanya, jejaring Raja Ampat mencakup area yang tidak terlalu luas yang kemudian diperluas berkali-kali lipat oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Pada tahun 2008, langkah tersebut diikuti oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Kaimana yang menetapkan perairan kabupaten mereka sebagai kawasan konservasi multiguna. Bersama dengan kawasan konservasi nasional yang telah ada (Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido, Cagar Alam Laut Sabuda Tataruga, serta Suaka Alam Perairan Waigeo Sebelah Barat
dan Kepulauan Raja Ampat), penetapan kawasan konservasi baru ini menandai dibentuknya Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di wilayah kepala burung papua, pertama di Indonesia yang terhubung secara ekologis. Tim kerja juga menyusun suatu rencana strategis untuk memastikan transisi yang stabil dari prakarsa yang bergantung pada donatur internasional dan dipimpin oleh LSM menjadi prakarsa dengan kepemilikan dan kepemimpinan daerah yang kuat. Di Raja Ampat, Tim ini menerapkan model "Build and Transfer", yaitu: pada tahap awal tim kerja yang mengembangkan kapasitas Tim pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat, membuat rencana zonasi, serta mengelola kawasan konservasi, sebelum kemudian mulai mengalihkan tim dan sistem pengelolaan ini ke pemerintah daerah melalui struktur pengelolaan bersama yang inovatif. Tim masyarakat, yang sebelumnya dipekerjakan langsung oleh LSM, beralih menjadi tim pemerintah, bergabung dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Raja Ampat yang sebagian besar didanai oleh pemerintah daerah. Pembentukan UPTD Raja Ampat dan transisi staf menjadi titik balik utama dari prakarsa BLKB, yaitu bahwa pemerintah daerah secara drastis mengambil langkah besar untuk mulai mengambil tanggung jawab pengelolaan. UPTD Raja Ampat adalah perintis struktur pengelolaan bersama berbasis hukum pertama di Indonesia yang mengikutsertakan tim masyarakat secara penuh dalam otoritas pengelolaan pemerintah resmi untuk menciptakan suatu sistem yang melembagakan partisipasi masyarakat setempat. Penerapan model "Build and Transfer” dilakukan untuk memperkuat kapasitas pengelola kawasan dan pada saat yang bersamaan membangun kerangka kerja pengelolaan yang efektif sehingga tanggung jawab pengelolaan dapat dialihkan ke masyarakat, mitra, dan otoritas pemerintahan daerah.
Menciptakan Pemimpin Konservasi di Daerah Pentingnya pemimpin daerah yang kuat telah didokumentasikan sebelumnya sebagai pembelajaran utama dari berbagai proyek pengembangan dan konservasi di seluruh dunia. Pemberdayaan pemimpin konservasi daerah sangatlah penting, khususnya di daerah seperti Papua, yang memiliki nilai kebudayaan dan kemasyarakatan yang kuat. Namun, karena kapasitas sumber daya manusia di Papua adalah salah satu yang cukup rendah di Indonesia, kebanyakan prakarsa pembangunan di Papua mengandalkan kapasitas eksternal, baik dari luar negeri maupun dari wilayah lain di Indonesia, seperti Jawa, yang memiliki akses ke pendidikan yang lebih baik. Prakarsa konservasi laut lain di seluruh Indonesia memiliki kecenderungan yang sama, mendatangkan ahli dari wilayah lain untuk mengelola program di daerah yang memiliki konteks kebudayaan yang sama sekali berbeda dari tempat mereka dibesarkan dan dilatih. Alih-alih menggunakan model tersebut, Tim kerja mengerahkan beberapa pengajar terampil dan secara aktif merekrut pemimpin masyarakat dengan semangat tinggi untuk menjalankan fungsi pengelolaan kawasan konservasi. Selanjutnya, selama enam tahun berikutnya, Tim kerja secara sistematis mengembangkan kapasitas pemimpin daerah ini untuk dapat mengelola sumber daya laut mereka secara efektif melalui program pelatihan terfokus dan pendampingan individual. Dengan menggunakan prinsip-prinsip pengorganisasian masyarakat, tim kerja merekrut dan melatih Petugas Konservasi Masyarakat (PKM) yang berasal dari masing-masing desa dan telah memiliki
hubungan kuat di masyarakat tersebut. Koalisi BLKB melatih PKM ini dalam teori dan pesan konservasi dan memberdayakan mereka untuk melakukan acara sosialisasi dan pelatihan, dan agar mereka menjadi tokoh konservasi di desa mereka masing-masing. Dengan cara ini, koalisi BLKB telah memberdayakan banyak PKM. Survey awal di masyarakat menunjukkan bahwa di banyak daerah di bentang laut, anggota masyarakat menaruh kepercayaan kepada para pemimpin gereja dan para pemimpin adat tradisional lebih daripada pemerintah daerah atau organisasi luar. Meluangkan waktu untuk memahami siapa yang dipercaya dan didengarkan masyarakat ini ternyata sangatlah penting dan membantu pengembangan suatu program konservasi dan agama yang terfokus. Tim kerja berhasil mengidentifikasi seorang pendeta yang berpengaruh besar dalam gereja Papua yang membantu membuat pelatihan yang menghubungkan etika konservasi dengan Alkitab. Beliau juga mengadakan seminar penulisan khotbah mengenai konservasi untuk pendeta setempat di seluruh bentang laut, menciptakan tokoh-tokoh konservasi di dalam gereja, yang kemudian akan kembali ke desanya masing-masing untuk secara berkala menyampaikan khotbah tentang perlunya menghargai dan menjaga lingkungan alam. Tim kerjab juga menyusun modul pendidikan lingkungan untuk diajarkan di sekolah minggu dan juga melatih guru-guru sekolah minggu. Melalui orang-orang yang telah dipercaya masyarakat ini, Tim berhasil mendapatkan lebih banyak dukungan dan bantuan bagi etika konservasi di banyak desa. Untuk mengembangkan pengelolaan daerah yang efektif, Tim BLKB meluncurkan Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan kawasan konservasi yang komprehensif, bekerja sama dengan pemerintah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Provinsi Papua Barat dan the U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Program ini dirancang untuk mengubah pemimpin desa, praktisi kawasan konservasi, dan pejabat pemerintahan daerah menjadi manajer kawasan konservasi panutan yang efektif. Komitmen untuk mempekerjakan sumber daya manusia setempat dan menginvestasikan sebagian besar dana pada pengembangan kapasitas ini sangatlah penting untuk keberhasilan jangka panjang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan dan komitmen inilah yang membedakan program BLKB dari prakarsa konservasi lain di seluruh Indonesia. Walaupun ketiga mitra LSM utama BLKB memiliki strategi perekrutan dan struktur staf yang berbeda, pentingnya mempekerjakan dan melatih pemimpin-pemimpin Papua yang disegani telah dipahami dengan jelas di seluruh lokasi bentang laut. Keberhasilan dan kegagalan selama proses pengembangan jejaring kawasan konservasi BLKB menjadi bukti akan pentingnya peran pemimpin-pemimpin ini. Dengan kepemimpinan yang kuat dan konsisten dari pemimpin daerah Papua, kawasan konservasi Kawe dan Teluk Mayalibit telah membuat kemajuan pesat ke arah pengembangan sistem pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dengan dukungan masyarakat yang kuat. Di sisi lain, ketiadaan pemimpin daerah di Selat Dampier dan Ayau berakibat pada menurunnya dukungan masyarakat, yang berhasil didapatkan kembali setelah ada seorang pemimpin daerah yang kuat. Di Misool dan Kofiau, Tim kerja LSM awalnya mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan beberapa staf non-Papua dalam masyarakat, namun setelah lebih dari 90% stafnya diisi oleh penduduk daerah, mereka berhasil mendapatkan hasil positif yang luar biasa.
Pengembangan Sistem Pengelolaan dan Zonasi Berbasis Masyarakat Seiring dengan berkembangnya kapasitas tim daerah, Tim kerja mengalihkan fokusnya menuju pengembangan sistem pengelolaan dan zonasi untuk kawasan konservasi. Masing-masing tim bekerja secara langsung dengan masyarakat dan pemangku kepentingan daerah untuk membangun sistem zonasi yang disesuaikan dengan lokasi kerja mereka. Di seluruh Bentang Laut, setiap sistem zonasi dirancang tidak hanya untuk melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati laut, namun juga secara tegas untuk meningkatkan produksi perikanan daerah skala kecil yang berkelanjutan, meningkatkan kepemilikan serta hak masyarakat atas sumber daya, sehingga dapat memberikan manfaat yang konkret bagi masyarakat setempat. Seperti batas kawasan konservasi, secara umum zonasi didasarkan pada batas kepemilikan, dan bukan batas administratif. Untuk memperkuat identitas budaya dalam kawasan konservasi, tradisi Papua sasi (penutupan musim panen) dikombinasikan dengan konsep modern zona larang ambil (no-take zone/NTZ) sebagai cara untuk menghidupkan kembali praktik budaya yang penting ini. Di setiap kawasan konservasi, sekurang-kurangnya 20-30% dari seluruh habitat kritis tidak boleh dieksploitasi dan NTZ digunakan sebagai “bank ikan”. Sebagian besar wilayah di luar NTZ dibatasi hanya untuk penangkapan ikan secara tradisional oleh masyarakat setempat dengan menggunakan praktik pengelolaan perikanan berkelanjutan untuk memastikan penangkapan yang berkelanjutan dan untuk meningkatkan akses serta kendali atas perikanan ini oleh masyarakat setempat. Dengan cara ini, pada dasarnya kawasan konservasi berfungsi sebagai Territorial User Rights Fishery (TURF) dan Sistem Cadangan, sebuah alat pengelolaan penangkapan ikan berbasis hak. Koalisi BLKB juga bekerja secara sistematis untuk mendukung masyarakat semenjak mereka merancang, menerapkan, dan mengadaptasi sistem pengelolaan kawasan konservasi, termasuk program pemantauan dan evaluasi yang ketat, sosialisasi kreatif, dan prakarsa pendidikan, serta sistem patroli bersama yang inovatif. Untuk kawasan konservasi yang baru ditetapkan di BLKB, dibentuklah tim pengelolaan yang hampir seluruhnya terdiri dari penduduk Papua setempat dari desa-desa yang berada di kawasan konservasi atau sekitarnya, sehingga masyarakat setempat tidak hanya berpartisipasi, namun secara nyata memimpin seluruh kegiatan pengelolaan kawasan. Selama tahap ini, Tim ditetapkan secara lokal dan didukung secara langsung oleh koalisi LSM. Pendekatan ketenagakerjaan langsung oleh LSM ini memiliki beberapa kelemahan, yang paling jelas terlihat adalah bahwa pendekatan ini mengarah pada sistem pengelolaan yang bergantung pada donatur dan LSM dengan minimnya bantuan dana dan dukungan pemerintah. Namun, dalam kebanyakan hal, cara ini sangat efektif untuk menstimulasi intervensi skala bentang laut di wilayah yang sedang mengalami perkembangan dan perubahan sosial-ekonomi yang cepat, dengan pengetahuan lingkungan serta kapasitas pengelolaan sumber daya dari pemerintah daerah yang relatif rendah. Saat ini sistem zonasi telah diselesaikan untuk sebagian besar kawasan konservasi dalam jejaring dan tim pengelolaan kawasan setempat telah memiliki kapasitas yang lebih baik dan telah menerapkan sistem pengelolaan yang inovatif serta memberdayakan masyarakat secara kultural. Sebagai hasil upaya konservasi ini, peran pariwisata dan penangkapan ikan yang berkelanjutan sebagai pendorong ekonomi daerah menjadi semakin penting. Namun, sebagian besar kemajuan ini, masih sangat bergantung pada
dukungan dan pendanaan langsung dari koalisi LSM dan belum secara resmi didukung oleh sistem tata kelola yang kuat.
Membangun Landasan Untuk Pendanaan Berkelanjutan Meskipun Raja Ampat dan wilayah BLKB yang lebih luas merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia, daerah ini tidak dikenal oleh komunitas penyelam internasional sebelum tahun 2005. CI bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata untuk mempromosikan Raja Ampat sebagai tujuan wisata selam kelas dunia, melalui lusinan artikel majalah dan penerbitan tiga buku. CI dan mitra menciptakan dan menerapkan pariwisata inovatif dengan sistem biaya pengguna, yaitu semua pengunjung diwajibkan membeli tiket masuk tahunan, dalam bentuk PIN tahan air bergambar salah satu dari hewan unik Raja Ampat. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat setempat memperoleh manfaat langsung dari kebutuhan pariwisata yang meningkat di Raja Ampat, Pendapatan yang diperoleh, yang mencapai US$370.000 pada tahun 2012 (total pendapatan US$1,3 juta sejak tahun 2007), dibagi ke dalam dana masyarakat dan dana konservasi. Dana masyarakat akan digunakan untuk membiayai program-program kesehatan dan mata pencarian masyarakat, termasuk klinik kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan di semua desa di Raja Ampat. Dana konservasi digunakan untuk membantu operasi jejaring kawasan konservasi. Selain itu, CI bekerja sama langsung dengan masyarakat setempat untuk membangun usaha-usaha masyarakat, seperti pertunjukan tari masyarakat, wisata pengamatan burung, dan pertanian masyarakat, dan mendorong operator wisata untuk membeli hasil-hasil pertanian dan perikanan dari masyarakat setempat dan memandu pelanggan mereka untuk mengikuti perjalanan wisata yang dikelola oleh masyarakat. Untuk meminimalkan dan mengelola risiko lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh perkembangan pariwisata, CI mendukung Kementerian Pariwisata Raja Ampat dan asosiasi operator pariwisata dalam mengambil langkah-langkah sukarela dan peraturan-peraturan untuk memastikan terlaksananya praktikpraktik pariwisata terbaik. Praktik-praktik ini mencakup penyusunan kode etik penyelam dan video pendidikan untuk pemasangan pelampung penambat hingga membantu penyusunan peraturan pariwisata yang menyeluruh yang membatasi jumlah penghuni di atas laut, menerapkan sistem lisensi, dan memberikan pedoman ketat bagi pembangunan di daerah pesisir pantai. Dengan dukungan USAID, Tim kerja bekerjasama dengan firma konsultan Mazars Starling Resources (MSR) dan Pemerintah Raja Ampat, bekerja sama lebih lanjut dengan UPTD Raja Ampat untuk merintis pola pengelolaan keuangan yang disebut BLUD, atau Badan Layanan Umum Daerah. Umumnya digunakan di rumah sakit umum di Indonesia, system BLUD memperbolehkan kantor pemerintah yang menyediakan layanan umum untuk mengatur keuangan mereka secara independen, menerima pendanaan dari pihak umum dan swasta, serta mempekerjakan pegawai negeri dan staf profesional. Bupati Raja Ampat telah menandatangani Surat Keputusan yang menetapkan bahwa UPTD Raja Ampat menggunakan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, yang menjadikan struktur pendanaan ini pertama kali digunakan untuk pengelowaan Kawasan Konservasi in-situ, sebagai pembuktian di tingkat nasional bahwa pengelolaan sumber daya alam dapat dianggap sebagai layanan umum yang penting. Lebih jauh lagi, status BLUD memberikan dasar bagi pendanaan berkelanjutan untuk jejaring kawasan konservasi, agar UPTD bisa memanfaatkan dana pemerintah (APBN/APBD), Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment
for Environnmental Services/PES), dan pada akhirnya mengakses dana dari mekanisme pendanaan jangka panjang eksternal yang sedang dibangun oleh Tim kerja.
Membangun Pariwisata Daerah Berdasarkan pemahaman bahwa tanpa alternatif ekonomi yang sehat untuk menggantikan ekstraksi sumber daya alam, pemerintah daerah tidak akan termotivasi untuk memprioritaskan konservasi dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Tim kerja berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah kabupaten Raja Ampat untuk mendukung pengembangan pariwisata ramah lingkungan sebagai bagian dari rencana pembangunan ekonomi jangka panjang mereka. Pada tahun 2007, kurang dari 1.000 wisatawan mengunjungi Raja Ampat. Pada tahun 2012, jumlah ini mencapai 7.750 dengan wisatawan mancanegara mencapai 5.996 orang. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan wisatawan mancanegara sebesar 52,06 %. Sementara pertumbuhan wisatawan nusantara dalam kurun waktu tahun 2007 – 2012 mencapai angka pertumbuhan lebih dari 5 kali lipat dengan jumlah wisatawan nusantara pada tahun 2012 sebesar 1.763. Pertumbuhan resor di Raja Ampat berkembang dari 1 resor di tahun 2006 hingga mencapai 11 resor berskala nasional dan internasional di tahun 2013. Di ibukota kabupaten Waisai telah tumbuh hotel yang terkonsentrasi sebanyak 14 penginapan dengan jumlah kamar 160 kamar. Disamping itu rumah inap (homestay) yang dibangun dan dikelola masyarakat terus berkembang hingga kini berjumlah 43 buah dan tersebar di beberapa lokasi. Bahkan para pengusaha lokal ini telah membentuk asosiasi usaha homestay Raja Ampat agar standar pelayanan kapada wisatawan dapat lebih ditingkatkan dan upaya pemasaran dapat dilakukan bersama agar lebih efektif. Kondisi ini menunjukan bahwa pariwisata Raja Ampat telah berkembang dengan cukup pesat, sehingga dibutuhkan strategi besar agar pengembangan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Instrumen kebijakan yang digunakan adalah Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA). Dalam hal ini CI dan mitra mendukung Pemerintah Raja Ampat, dengan dukungan USAID, untuk menyempurnakan RIPPDA yang disusun tahun 2006. Proses penyusunan RIPPARDA dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait sebab bagaimanapun tujuan akhir dari pengembangan pariwisata di Raja Ampat adalah untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kualitas ekologi. Selain itu, telah terbentuk Community-Based Tourism (CBT) yang terdiri dari Dinas Pariwisata, BKKPNKupang, DMO (Destination Management Organization)-Kementerian Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan CI. Pembentukan CBT didasari pada tuntutan agar masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan pariwisata, sekaligus menikmati manfaat ekonomi dari pariwisata. Tim CBT bersama masyarakat kemudian membangun kesepakatan tentang model pariwisata yang akan dikembangkan, penataan dan perbaikan destinasi wisata, memberikan pelatihan-pelatihan pariwisata, dan pendampingan. Pengembangan pariwisata Raja Ampat memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebab wilayah ini memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Kawasan ini telah menjadi destinasi wisata favorit, bukan saja bagi wisatawan domestik tapi juga bagi wisatawan mancanegara. Tidak salah jika orang menyebutnya sebagai ‘sepotong surga yang jatuh ke bumi’.
JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BALI Sebuah program yang dimaksudkan untuk membangun kapasitas semua pihak dalam berperan aktif untuk membangun tata kelola pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang memberikan manfaat berkelanjutan. “Pengelolaan berbasis ekosistem adalah pengelolaan yang berbasis konektivitas secara ekologi, sosialekonomi dan tata kelola”
Latar Belakang Dalam konteks UU no.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana disebutkan kriteria pulau kecil seluas 2.000 km2, maka Bali bisa dikategorikan sebagai pulau besar karena memiliki luas 5.780 km2. Namun secara ekosistem, jelas sekali bahwa pulau Bali adalah sebuah pulau kecil dimana interaksi antar ekosistem sangatlah erat seperti hubungan antara ekosistem pegunungan dengan ekosistem pesisir, yang dalam UU 27/2007 pun disebutkan bahwa batas wilayah pesisir adalah kecamatan, dan di Bali ada banyak kecamatan yang membentang dari pantai hingga dataran tinggi. Yang lebih kasat mata adalah wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang menjulur dari pegunungan hingga menjangkau lautan sehingga jelas sekali bahwa ketersediaan air baik permukaan maupun air bawah tanah (ABT) di wilayah hilir sangat tergantung pada wilayah hulu yang masih ditutupi oleh kawasan hutan sebagai daerah tangkapan air (water catchment areas). Begitu pula dengan dengan ekosistem bakau, padang lamun hingga terumbu karang sangat tergantung pada kondisi ekosistem di wilayah hulu yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas air sungai yang masuk ke badan air. Namun dari sisi tata kelola masing-masing kab/kota cenderung mengurus dirinya masing-masing sesuai dengan semangat otonomi daerah (desentralisasi) di tingkat kab/kota, sehingga provinsi (seperti) kehilangan kewenangannya untuk memastikan pendekatan terintegrasi pengelolaan 1 pulau (one island management). Walaupun Gubernur Bali pernah mengeluarkan surat keputusan (SK) no.324 tahun 2000 tentang Integrasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Pembangunan Bali, namun SK tersebut seperti tidak bergigi di era otonomi daerah di tingkat kab/kota. Di sisi lain, perhatian pemerintah daerah masih sangat rendah terhadap sektor kelautan dengan indikasi tidak terimplementasikannya mandat UU no.27/2007 agar seluruh pemda menyusun rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) untuk disahkan menjadi peraturan daerah (perda) dan menjadi acuan dalam tata kelola kawasan pesisir dan perairan (kelautan). Secara nasional hingga tahun 2014 hanya 3 provinsi yang sudah mempunyai perda RZWP3K dan kurang dari 5% kab/kota (memiliki pesisir) yang sudah menyusun tata ruang lautnya (RZWP3K). Kondisi ini mengakibatkan semakin meningkatnya konflik pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut, dimana yang paling dirugikan pada akhirnya adalah para nelayan dan masyarakat pesisir yang lemah secara pendidikan, permodalan hingga teknologi. Di banyak kawasan pesisir di Bali dengan potensi terumbu karangnya, terjadi konflik antara pelaku pariwisata bahari dengan nelayan khususnya nelayan ikan hias yang sudah menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Kita mengenal rantai makanan yang menunjukkan bagaimana hubungan mahluk hidup yang satu dengan lainnya. Tidak ada satupun mahluk hidup yang bisa hidup sendiri tanpa tergantung mahluk hidup lainnya atau komponen alam lainnya. Begitu pula dalam pemanfaatan dan pengelolaan alam, tidak ada satu pihakpun yang mampu melakukannya sendiri. Walaupun secara sengaja “by design” manusia semakin menjauhkan diri dari sumber hidupnya karena dibantu oleh teknologi dalam perkembangan jaman, namun umumnya tidak ada yang menghendaki bahwa manusia akan hidup di era mesin dan robot tanpa memerlukan mahluk hidup lainnya. Bumi yang kita pijak memang tidak akan bertambah luas, namun jumlah manusia sepertinya akan terus meningkat sehingga kompetisi menguasai sumber daya alam semakin tinggi dan konflik berkepanjangan menjadi sebuah keniscayaan, dalam artian bahwa mengelola lingkungan (SDA) untuk jangka panjang tentu tidak akan menyenangkan semua orang terutama buat orang atau pihak-pihak yang rakus ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Contoh yang paling sederhana namun juga kompleks adalah masalah air. Sederhana karena Bali belum pernah mengalami krisis air kecuali di wilayah-wilayah tertentu pada saat kemarau. Akibatnya kebanyakan orang masih menggampangkan persoalan air bahwa Bali tidak akan kekeringan selama 4 danau di Bali masih berisi air (reservoar air alami). Dan pemerintah daerah dengan gampangnya memberikan ijin untuk pemanfaatan sumber air untuk kepentingan pihak swasta yang memproduksi air kemasan. Serta yang paling mengkhawatirkan adalah pembuatan sumur bor yang menyedot air bawah tanah (ABT) oleh berbagai pelaku pariwisata terutama pihak-pihak penyedia kolam renang sebagai fasilitas tambahan akomodasi pariwisata tanpa adanya pengawasan yang ketat. Padahal air seharusnya dikelola oleh negara untuk menghidupi hajat hidup orang banyak termasuk kaum petani untuk menghasilkan beras. Namun fakta menunjukkan bahwa tingginya alih fungsi lahan sawah di Bali dipicu juga oleh keterbatasan sumber daya air, serta konflik-konflik pemanfaatan air antara sektor pertanian dengan pariwisata. Masih menjadi daerah tujuan wisata favorit di tingkat nasional maupun internasional, Bali menyimpan segudang persoalan yang mengancam kelangsungan sumber daya alam, yang kemudian mengait pada persoalan budaya dan sosial ekonomi. Kompleksitas persoalan Bali menjadi “rona awal” dari program Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Bali yang berniat untuk meningkatkan efektivitas tata kelola kawasan konservasi perairan (marine protected areas governance/MPAG) di Bali. Harus saya akui bahwa program jejaring kawasan koservasi perairan (KKP) Bali adalah sebuah program ambisius dalam rentang waktu yang relatif singkat (3 tahun), dengan capaian ditetapkannya beberapa KKP di Bali dengan pendekatan konektivitas, berdasarkan cetak biru “blue print” pengelolaan jejaring yang fungsional (dilihat dari tujuan program untuk membangun kesepakatan dari 9 kabupaten/kota, Provinsi Bali, dan Kementerian Kehutanan melalui UPTnya di Bali yaitu BKSDA dan TNBB) dan mampu memberikan dampak ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan (pendekatan kelembagaan, peraturan dan mekanisme kerja jejaring termasuk mekanisme pendanaan berkelanjutan dari jejaring). Untuk menjelaskan kompleksitas persoalan dan pembelajaran dari program Jejaring KKP Bali, maka akan saya uraikan ke dalam beberapa pokok pikiran yang juga mencerminkan kronologis proses.
Penyamaan Persepsi Stakeholders Berjalan kurang lebih selama 1 dasa warsa dari tahun 2000 – 2010, era desentralisasi di Bali yang sangat dirasakan dampaknya adalah peningkatan jumlah investasi khususnya investasi di sektor pariwisata yang
tentu berkorelasi positif dengan laju pertumbuhan ekonomi. Walaupun pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu berkorelasi positif dengan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan penduduk. Juga, pembangunan yang cepat dan tidak terkoordinir di daerah resapan air dan pesisir Bali, ditambah dengan tidak jelasnya tata ruang wilayah laut dan pesisir telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan laut di sekitar Bali. Kesenjangan pembangunan Bali selatan dan Bali bagian lainnya juga mempengaruhi pemerataan dampak ekonomi kepada masyarakat, sehingga dibutuhkan satu upaya analisis kondisi dan penyamaan persepsi para pihak guna menjamin kelestarian jangka panjang kegiatan ekonomi di pesisir Bali. Sejak awal CI Indonesia program Bali selalu berupaya untuk menempatkan diri sebagai mitra kerja pemerintah yang bisa dipercaya (trusted advisor) walaupun hal itu sangat tidak mudah di tengah birokrasi yang belum optimal. Dalam kerangka proyek, maka peran CI Indonesia adalah membantu pemerintah provinsi Bali untuk meningkatkan efektivitas perannya dalam mengkoordinir 9 kabupaten/kota yang ada di Bali dengan pendekatan program yang sangat spesifik yaitu Jejaring KKP Bali. Pendekatan penerapan UU no.27/2007 cukup efektif untuk “memaksa” kab/kota agar bekerja sama dalam menyusun RZWP3K, ditengah minimnya kapasitas mereka dalam memahami mandat UU tersebut serta potensi pemanfaatan kawasan perairan yang sangat besar untuk menunjang ekonomi masyarakatnya, baik dari sisi perikanan maupun pariwisata bahari yang berkembang pesat. Dalam konteks lokal sudah ada perda Bali no.16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali tahun 2009-2029, yang mengamanatkan pendekatan pengelolaan Provinsi Bali sebagai satu kesatuan pulau (one island management). Maka perlu dibangun penyaan persepsi dan kesepahaman antara kab/kota mengenai bentuk kerjasama yang sebaiknya dilakukan diantara mereka maupun dengan provinsi serta UPT-UPT kementerian (pemerintah pusat) yang ada di Bali. Atas dorongan dan peran CI Indonesia, maka pada Bulan Juni tahun 2010 Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Bali mengundang semua pihak terkait dalam sebuah lokakarya untuk menghasilkan rumusan dan kesepakatan yang akan menjadi cikal bakal lahirnya program Jejaring KKP Bali. Beberapa kesepakatan yang dihasilkan adalah: 1) Gambaran prioritas 25 kawasan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi KKP dengan pengelolaan yang efektif agar memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya secara berkelanjutan. 2) Perlunya dilakukan kajian kelautan Bali untuk pemutakhiran (updated) data dasar kelautan Bali serta mengkaji konektivitas ekologi dari sumber daya pesisir dan kelautan Bali, yang akan menjadi pijakan ilmiah dalam membangun kerja sama para pihak dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil sesuai mandat UU no.27/2007. 3) Perlunya peningkatan kapasitas para pihak dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak hanya untuk unsur pemerintah namun juga unsur non pemerintah lainnya seperti kelompok nelayan, majelis desa pekraman, sekolah dan perguruan tinggi, LSM lokal dan kelompokkelompok terkait lainnya. 4) Peningkatan koordinasi dan komunikasi antar kab/kota, provinsi dan UPT kementerian untuk menjajaki peluang-peluang kerja sama, khususnya dalam penyusunan, pelaksanaan dan pengembangan RZWP3K baik di tingkat kab/kota maupun provinsi, sehingga diharapkan akan meningkatkan manfaat ekonomi secara berkelanjutan.
5) Perlunya dibangun wadah komunikasi, koordinasi dan kerja sama antar pihak guna percepatan proses-proses yang dibutuhkan guna meningkatkan efektivitas koordinasi yang dirasa dan disadari sepenuhnya mudah diucapkan namun sangat sulit diterapkan tanpa panduan kebijakan yang jelas. Selanjutnya hasil dan kesepakatan dari lokakarya tersebut menjadi pegangan buat semua pihak (khususnya lagi buat pihak-pihak yang hadir daolam lokakarya) untuk terus ditindaklanjuti dan dipantau perkembangannya. Di tengah minimnya perhatian kab/kota di Bali terhadap isu kelautan –dilihat dari tupoksi kelautan yang digabungkan dengan peternakan dan kehutanan- dan iklim birokrasi yang belum direformasi maka proses komunikasi dan koordinasi relatif berjalan lambat, serta proses inisiasi penyusunan cetak biru di tahun 2012 yang sangat menyita waktu dan perhatian. Beberapa faktor yang menghambat komunikasi dan koordinasi antara lain: o
o
o
Dalam UU no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, disebutkan beberapa sektor prioritas, dan sektor kelautan bukan sebagai prioritas pemerintah daerah, akibatnya dari 9 kab/kota di Bali hanya 2 kabupaten yang mempunyai dinas perikanan dan kelautan, yaitu kab. Buleleng dan Tabanan. Dalam beberapa kali pertemuan, utusan yang hadir dalam pertemuan cenderung berganti-ganti sehingga proses internalisasi kesepakatan (hasil lokakarya) ke dalam lembaga masing-masing berjalan sangat lambat. Kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang handal di lingkup Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bali dalam menjaga komunikasi dan program kerja sama dengan kab/kota sehingga CI Indonesia yang lebih banyak turun tangan untuk menjaga komunikasi dan koordinasi.
Akhirnya pada bulan Desember tahun 2012 berhasil dicapai kesepakatan formal dalam bentuk penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) oleh seluruh kepala dinas perikanan dan kelautan kab/kota serta Provinsi Bali. Adapun poin-poinnya adalah: 1. Membangun Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan membentuk Jejaring KKP Bali untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan 2. Menjadikan cetak biru Jejaring KKP Bali yang disusun oleh tim yang terdiri atas perwakilan dari dinas/badan dan instansi terkait, perwakilan Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta, Perguruan Tinggi dan Organisasi Masyarakat sebagai arahan pengembangan Jejaring KKP yang akan dibentuk. 3. Memastikan pembentukan cetak biru Jejaring KKP Bali dilakukan dengan memperhatikan kearifan masyarakat lokal di Bali serta peraturan perundangan yang berlaku.
Marine Rapid Assessment Program (MRAP) Untuk membangun Jejaring KKP Bali maka sangat dibutuhkan dasar yang kuat sebagai pondasi bangunan kelembagaan yang akan dibangun, dan salah satu komponen penting dari pondasi tersebut adalah datadata ilmiah (scientific input/evidence). Maka dilakukanlah kajian cepat kondisi kelautan Bali dari tanggal 29 April – 11 Mei tahun 2011 dengan melibatkan beberapa pihak terkait seperti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Balai Riset Oceanografi dan Kelautan (BROK), Universitas Warmadewa, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Bali serta 6 ahli taksonomi lokal dan internasional dari CI Indonesia. Kajian ini memiliki 3 tujuan utama yaitu: 1. Menilai status terkini sebagian besar dari ke-25 kandidat lokasi KKP di Bali yang sempat teridentifikasi pada lokakarya bulan Juni 2010. Status terkini termasuk keanekaragaman, kondisi terumbu karang dan status konservasi/kelentingan dari karang keras dan ikan karang, sampai pada inventarisasi keanekaragaman tingkat spesies per lokasi (site). 2. Mengumpulkan data spasial yang mendetil tentang fitur-fitur biologis yang harus dipertimbangkan dalam desain akhir Jejaring KKP Bali, termasuk perbedaan struktur komunitas karang. Selain itu, survei juga mengumpulkan data tentang: kawasan dengan nilai konservasi yang penting karena memiliki susunan karang keras atau ikan karang yang langka atau endemik; lokasi pemijahan atau pembersihan ikan karang; komunitas karang yang lenting terhadap perubahan iklim global karena sering terpapar oleh upwelling air dingin; atau fitur-fitur biologis penting lainnya. 3. Berdasarkan informasi di atas, tim survei diharapkan memberikan rekomendasi nyata kepada pemerintah Bali tentang langkah-langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan desain Jejaring KKP Bali. Secara keseluruhan, tim sukses melakukan survei di 33 lokasi yang mewakili sebagian besar dari ke-25 lokasi potensial KKP. Data dari ke 33 lokasi tersebut telah digabungkan dengan data yang diambil dari 19 lokasi di Nusa Penida yang dilakukan pada November 2008 saat dilakukan Nusa Penida MRAP, sehingga analisis taksonomi karang dan ikan karang serta analisis struktur komunitas berasal dari dataset di 52 lokasi penyelaman. Dari hasil analisis, maka dapat digambarkan konektivitas ekologi ekosistem terumbu karang dan ikan karang di pulau Bali, yang tidak tersekat-sekat secara administratif kabupaten/kota seperti ditunjukkan pada gambar 1 di bawah. Tiap warna menunjukkan keragaman komunitas karang dan ikan yang sama sehingga dalam melakukan pengelolaan kawasan (KKP) harus didasarkan pada konektivitas ekologis. Hasil kajian tersebut kemudian dilaporkan kepada gubernur Bali untuk mendorong peran optimal pemprov melalui dinas terkait seperti DKP Prov. Bali dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bali dalam mendorong tata kelola KKP di kab/kota yang terhubung satu sama lain. Sesuai dengan UU no.32/2004 tentang pemda, maka kewenangan pengelolaan kawasan perairan hingga 4 mil dari garis pantai ada di kab/kota, namun dalam pemanfaatannya sudah terjadi lintas kab/kota baik dari pemanfaatan perikanan maupun pariwisata bahari, sehingga menjadi sangat krusial untuk membangun tata kelola yang menghubungkan KKP di kab/kota.
14311111 121 17 Nu 65 98
Gambar 1. Hasil analisis konektivotas ekologi sumber daya perairan Bali
Dari kajian cepat kelautan Bali maka kemudian dilakukan pertemuan para pihak untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih konkrit buat kab/kota dalam menentukan potensial KKP sehingga kemudian dihasilkan sebuah peta rekomendasi KKP Bali seperti gambar 2 di bawah. Peta tersebut menjadi “menu” utama komunikasi dan koordinasi dengan kab/kota dan provinsi untuk segera mengambil langkahlangkah yang dibutuhkan dalam inisiasi proses pencadangan KKP. Disinilah mulai kompleksitas isu dirasakan, disaat kita mendorong pembentukan KKP di kab/kota maka timbul pertanyaan “apakah bisa KKP dicadangkan ketika kab/kota belum memiliki Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K) dan RZWP3K?” Jelas disebutkan dalam UU no.27/2007 tahapan-tahapan yang harus dilakukan dari perencanaan, pemanfaatan, pengawasan hingga pengendalian wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Dalam perencanaan harus disusun RSWP3K (periode 20 tahun), RZWP3K (periode 20 tahun), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-pulau Kecil/RPWP3K (periode 5 tahun) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulauu Kecil/RAPWP3K (periode 1-3 tahun). Setelah melalui rangkaian komunikasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka didapatkan kejelasan bahwa KKP merupakan bagian integral dari proses perencanaan hingga pengendalian, sehingga bila dirasakan mendesak (urgensi) penyusunan dan penetapan KKP dapat dilakukan tanpa harus didahului dengan penetapan RZWP3K kab/kota. Di tingkat Provinsi Bali, yang tidak mempunyai potensi KKP maka dalam proses penyusunan RZWP3K dipastikan agar konsep Jejaring KKP Bali diadopsi ke dalam rancangan RZWP3K Provinsi Bali, sehingga akan menjadi acuan buat kab/kota dalam menyusun, menetapkan dan mengelola KKP-nya dengan pendekatan terintegrasi satu sama lain.
Gambar 2. Rekomendasi lokasi KKP kab/kota di Bali dalam Jejaring KKP Bali
Membangun Konsistensi Komunikasi dan Kesepakatan Stakeholder Dalam perkembangannya, beberapa diskusi melalui serial pertemuan dan lokakarya dilakukan untuk menyamakan “frekuensi” para pihak khususnya seluruh dinas kelautan dan perikanan kab/kota akan pentingnya Jejaring KKP Bali. Di satu sisi ada kebutuhan untuk membangun keterpaduan pengelolaan pesisir melalui jejaring, namun juga muncul pertanyaan kritis “sejauh mana peran jejaring mampu mendorong dan membantu kabupaten/kota disaat kewenangan menjadi isu?” Memang tidak ada
jawaban pasti atas masa depan Jejaring KKP Bali, namun dengan berjejaring paling tidak ada wadah untuk berkoordinasi dan membahas isu-isu penting termasuk penyusunan cetak biru jejaring KKP Bali yang berisikan rencana kerja bersama, gambaran kelembagaan Jejaring KKP Bali serta peluang-peluang membangun mekanisme pendanaan secara berkelanjutan. Bagaimanapun juga kab/kota cenderung terkendala dengan minimnya alokasi anggaran untuk memenuhi mandat UU no.27/2007, sehingga melalui jejaring bisa diupayakan strategi bersama untuk mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat, ditengah semakin tingginya kebutuhan untuk melestarikan sumber daya alam khususnya perairan sehingga mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan untuk masyarakat Bali baik di sektor perikanan maupun pariwisata. Kita semua tentu sepakat bahwa potensi kelautan Bali sangatlah besar, yang sudah barang tentu membutuhkan upaya-upaya serius semua pihat terkait untuk mengelolanya. Jasa lingkungan adalah salah satu potensi yang seringkali tidak mendapatkan perhatian dan tidak diperhitungkan, padahal nilainya secara ekonomi bisa sangat besar terutama di sektor pariwisata. Sebagai contoh keberadaan beberapa spesies penting seperti ikan mola-mola, pari manta, hiu, penyu yang sangat eksotik dan unik serta mampu menarik kunjungan wisatawan untuk datang ke Bali. Termasuk pula spesies ikan karang dan karang yang endemik di Bali sebagai bagian dari keanekaragaman hayati kelautan Bali yang sangat tinggi, sehingga hanya bisa ditemukan dan dilihat dengan mengunjungi Bali. Dalam kajian cepat kelautan Bali juga ditemukan beberapa spesies baru yang akan menambah pengetahuan dan potensi kelautan Bali, salah satunya adalah spesies karang bernama Euphyllia baliensis yang hanya ditemukan di Candi Dasa, Kab.Karang Asem, dengan rupa sangat cantik seperti cantiknya kembang kamboja yang menghiasi seluruh pelosok bentang alam di Bali. Melakukan pendekatan ke kab/kota memang membutuhkan “trik” tersendiri, terutama kita harus mampu menyampaikan program yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta kebutuhan mereka (pemerintah kab/kota atau satuan kerja perangkat daerah/SKPD). Selain itu harus diupayakan konsep dan penjelasan bahwa dengan membangun dan mengelola KKP di masing-masing kab/kota akan sangat berpotensi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pesisir serta potensi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang sering menjadi ukuran keberhasilan pemerintahan kab/kota. Seperti halnya di Kabupaten Karang Asem, dengan PAD mereka yang sangat kecil, mencadangkan hingga menetapkan KKP cenderung berjalan sangat lambat karena kekhawatiran kebutuhan untuk pengalokasian dana APBD dan cenderung dilihat sebagai pemborosan anggaran “cost center” karena membutuhkan biaya sosialisasi dan penyiapan SDM yang cukup besar. Maka dilakukan analisis sumber-sumber pendapatan daerah yang kemudian menempatkan sektor pariwisata bahari dan sektor perikanan sebagai bagian dari 5 sumber utama pendapatan daerah Karang Asem. Dengan demikian maka pemkab akan lebih mengerti pentingnya pengelolaan kawasan perairan melalui pendekatan tata ruang (RZWP3K) dan KKP untuk meningkatkan pendapatan daerah dari kegiatan kemaritiman termasuk peluang untuk membangun pelabuhan kapal pesiar yang didanani dari pemerintah pusat (APBN). Begitu pula dengan pendekatan ke kab/kota yang lain, dengan menggunakan strategi yang sama maka akan memperkuat kebutuhan dan rasa memiliki (ownership) aparat/pimpinan di jajaran pemkab terhadap (pengelolaan) kawasan pesisir dan perairan mereka. Untuk membangun Jejaring KKP Bali
sangat dibutuhkan ownership dan leadership dalam mengoperasionalkan kerja sama antar kab/kota, provinsi dan pemerintah pusat (Kemen KP). Di Kab. Buleleng yang memiliki garis pantai paling panjang di Bali, penyusunan RZWP3K dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar (unit pelaksana teknis/UPT dari Kemen KP) hingga menjadi produk akhir berupa rancangan peraturan daerah (ranperda) RZWP3K Kab. Buleleng. Dilanjutkan dengan kegiatan pencadangan KKP melalui SK Bupati Buleleng no.523/630/HK/2011 dengan luas KKP sebesar 14.046,83 ha. Dicadangkannya KKP Buleleng menjadi energi tersendiri untuk mendorong pencadangan KKP di kab/kota yang lain. Disinilah kompleksitas berikutnya mulai terjadi, dimana dari 9 kab/kota di Bali ada 8 yang memiliki potensi pengembangan KKP, walaupun di Kab.Tabanan dan Gianyar lebih mengarah pada konservasi jenis beberapa komoditi penting seperti lobster karena memiliki struktur pantai yang cenderung curam dengan arus yang kuat. Dengan target program MPAG untuk dicadangkannya 2 KKP tambahan selain KKP Buleleng, maka tentu akan sulit untuk memilih sejak awal prioritas kab/kota yang akan didorong untuk melakukan pencadangan. Karena masing-masing kab/kota memiliki keunikan dan kharakteristik masing-masing baik dari segi potensi maupun dari sisi penerimaan mereka terhadap inisiatif pencadangan dan pembentukan KKP. Sehingga CI Indonesia harus berupaya untuk membangun komunikasi dan memfasilitasi kebutuhan 8 kab/kota dalam proses pencadangan hingga penetapan KKP. Tentu bukanlah pekerjaan mudah menfasilitasi 8 kab/kota dalam proses pencadangan hingga penetapan dalam keterbatasan SDM manusia di CI Indonesia dengan jumlah staf hanya 3 orang yang bekerja untuk Jejaring KKP Bali. Namun dengan dedikasi tinggi terhadap alam dan lingkungan, maka segenap sumber daya dikerahkan untuk memenuhi target program demi terbangunnya Jejaring KKP Bali dengan pendekatan kelembagaan dan yang paling penting adalah dapat dirasakan manfaatnya oleh kab/kota sebagai elemen kunci dari jejaring. Oleh sebab itu, maka melalui proses panjang akhirnya keluar surat keputusan (SK) Gubernur Bali no. 1590/03-J/HK/2013 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Kelompok Kerja Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Bali, yang dipimpin oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, beranggotakan DKP dan Bappeda dari 9 kab/kota serta pihak-pihak terkait termasuk LSM. Pokja tersebut menjadi cikal bakal kelembagaan Jejaring KKP ke depan, yang akan mengawal operasionalisasi dan implementasi kerja Jejaring KKP Bali yang tertuang di dalam Cetak Biru Jejaring KKP Bali. Untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi, maka DKP Bali telah menyediakan 1 ruangan di lingkungan kantor DKP Bali sebagai sekretariat Jejaring KKP Bali.
Peningkatan Kapasitas Stakeholder Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) no. 2 tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan KKP, di pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa “Penetapan ekosistem perairan menjadi kawasan koservasi perairan, berdasarkan kriteria sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3), meliputi a. dukungan dan komitmen dari masyarakat dan/atau pemangku kepentingan sekitar kawasan”. Dalam pelaksanaannya, pasal ini diterjemahkan dengan dibentuknya kelompok kerja (pokja) KKP di kab/kota, beranggotakan instansi pemerintah, para pemangku kepentingan sekitar kawasan dan LSM yang akan mengawal proses dari pencadangan hingga penetapan KKP. Pokja tersebut menjadi ujung tombak dalam melaksanakan berbagai kegiatan terkait KKP dan menjadi dasar komunikasi dan koordinasi lintas sektoral di tingkat kab/kota. Sangat penting dipastikan kapasitas para pihak dalam pokja yang menyandang tugas dan tanggung jawab cukup berat, sehingga CI Indonesia berupaya untuk
menfasilitasi kegiatan pelatihan dasar-dasar pengelolaan KKP dengan modul pelatihan yang disebut MPA 101. Selanjutnya dilanjutkan dengan pelatihan dengan materi (modul) zonasi dan rencana pengelolaan (management plan). Pelatihan berikutnya yang lebih spesifik adalah materi (modul) pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) dan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries). Salah satu kegiatan penting yang harus dilakukan oleh pokja KKP adalah mengidentifikasi kawasan yang mempunyai potensi ekonomi tinggi buat masyarakat dan dibutuhkan dikelola dengan pendekatan KKP agar manfaatnya bisa berkelanjutan serta meminimalkan konflik pemanfaatan yang terjadi selama ini. Rekomendasi dari kajian kelautan Bali menjadi panduan secara makro, oleh pokja usulan KKP harus dilengkapi dengan batas-batas koordinat yang jelas. Disinilah komunikasi lintas sektoral dan lintas stakeholder terjadi untuk mendapatkan hasil yang terbaik buat semua pihak, walaupun sering beberapa pihak harus sedikit mengalah untuk kepentingan yang besar. Misalnya dalam penentuan zona inti KKP yang pada pengelolaannya tidak boleh digunakan untuk berbagai aktivitas pemanfaatan termasuk kegiatan pariwisata, sedikit mengurangi aktivitas pemanfaatan kawasan, namun akan menjadi sumber plasma nuftah buat daerah-daerah sekitarnya dalam jangka waktu lama. Masing-masing materi pelatihan membutuhkan waktu rata-rata 5 hari untuk diberikan secara utuh, dilengkapi dengan berbagai latihan-latihan untuk memberikan pemahaman dan ketrampilan yang lebih baik kepada peserta. Secara umum sudah diberikan pelatihan kepada pokja KKP di 4 kabupaten (Buleleng, Jembrana, Badung dan Karang Asem) dan pelatihan untuk Pokja Jejaring KKP Bali. Selanjutnya oleh konsorsium MPAG sudah dilakukan uji kompetensi untuk calon pengelola KKP pada tanggal 5-6 Desember 2014 di Bali, yang diikuti oleh 4 orang wakil dari ke 4 kabupaten tersebut di atas. Uji kompetensi ini tentu menjadi sangat penting dalam memastikan kapasitas dasar yang dibutuhkan buat pengelola KKP sesuai dengan standar kompetensi kerja khusus (SK3).
Pembelajaran Jejaring KKP Bali untuk Jejaring Bentang laut Lesser-Sunda dan Coral Triangle Initiative for Climate Change, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) Membangun Jejaring KKP Bali di era otonomi daerah tingkat kabupaten/kota, seperti melawan arus yang kuat dimana para bupati dan walikota cenderung untuk memakai kaca mata kuda dalam mengelola wilayahnya dengan kewenangan yang diberikan termasuk wilayah 4 mil perairan. Banyak kecurigaan timbul dari inisiatif jejaring, yang seolah-olah pemerintah pusat dalam hal ini diwakili oleh pemerintah provinsi tengah berupaya untuk “merebut” kembali kewenangannya, ditengah euforia kab/kota untuk meningkatkan investasi di daerahnya. Namun, ketimpangan pembangunan antara Bali Selatan dengan wilayah Bali lainnya sedikit membuka mata para buoati dan walikota, bahwa Bali adalah satu kesatuan pulau dimana tingginya PAD Kab. Badung sangat ditunjang oleh kualitas destinasi pariwisata yang tersebar di seluruh Bali, sehingga akan sangat berbahaya buat masa depan Bali bila seluruh kab/kota berlomba-lomba untuk membangun seperti apa yang ada di Kab. Badung, dan pada akhirnya yang rugi adalah masyarakat Bali secara keseluruhan. Dalam konteks keseimbangan dan pemerataan pembangunan, Jejaring KKP Bali menjadi sangat relevan dan dibutuhkan dan sangat sesuai dengan mandat perda 16/2009 yang mengamanatkan “one island management”. Masyarakat Bali sendiri sejak dahulu kala sudah menganut filosofi keterpaduan yang disebut dengan “nyegara gunung” yang berarti bahwa laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan oleh orang Bali antara gunung dan laut sama-sama dianggap sebagai kawasan suci, bisa
dilihat dari berbagai ritual masyarakat Bali yang pasti dilakukan di gunung dan di pantai/laut (melasti). Seirama dengan kearifan lokal masyarakat Bali tersebut, Jejaring KKP Bali dibangun dengan pendekatan hulu-hilir (ridge to reef) dimana perairan yang dimaksud dalam KKP tidak hanya menyangkut perairan laut tapi juga menyangkut perairan air tawar yaitu danau, sehingga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali dan dinas kehutanan Provinsi Bali yang banyak berperan dalam pengelolaan danau menjadi bagian terintegrasi ke dalam Jejaring KKP Bali. Inilah pembelajaran yang sangat penting dalam membangun Jejaring KKP Bali, dimana program hadir untuk merevitalisasi nilai-nilai yang ada dan selalu membawa pesan dan langkah-langkah untuk masa depan yang lebih baik. Dalam proses sosialisasi Ranperda RZWP3K Provinsi Bali ke berbagai pihak termasuk provinsi tetangga yaitu Jatim dan NTB, terungkap dengan nyata kebutuhan kerja sama antar provinsi yang bertetangga dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Pembelajaran membangun jejaring KKP Bali kemudian diangkat ke tingkat yang lebih tinggi yaitu bentang laut kawasan Lesser-Sunda yang membentang dari bali hingga ke NTT, dimana terdapat konektivitas ekologi yang jelas sehingga menjadi satu kawasan ekoregion Lesser-Sunda, apalagi kawasan ini didominasi oleh pulau-pulau kecil persis seperti pulau Bali. Dalam beberapa kesempatan, Jejaring KKP bali menjadi inspirasi dalam membentuk jejaring KKP di kawasan Lesser-Sunda, terutama terkait dengan perlindungan spesies-spesies karismatik seperti penyu, mamalia laut, ikan pari-manta dan mola-mola yang mempunyai ruaya sangat luas. Dalam wilayah yang lebih luas, Jejaring KKP Bali juga menginspirasi bagaimana local government network (LGN) yang dimandatkan dalam national Plan of Action (NPOA) CTI-CFF bisa dibuat lebih konkrit dan operasional. Cetak biru Jejaring KKP Bali diluncurkan pada tanggal 9 Juni 2014 bertepatan dengan “Coral Triangle Day” dan pelaksanaan rapat koordinasi pusat dan daerah (rakorpusda) CTI-CFF di Buleleng yang dihadiri oleh kepala dinas kelautan dan perikanan dan Bappeda dari 43 kab/kota di wilayah CTI. Dengan lahirnya UU no.23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, dimana salah satu komponen pentingnya adalah pengalihan kewenangan pengelolaan kawasan perairan hingga 4 mil dari tangan kab/kota ke tingkat provinsi, menjadi bukti pentingnya pengelolaan KKP dalam satu kesatuan kawasan yang saling terhubung satu sama lain secara ekologis, sosial ekonomi dan tata kelola. Dan Jejaring KKP bali telah meletakkan dasar-dasar yang kuat untuk terjaminnya efektivitas pengelolaan KKP ke depan.
TAMAN WISATA PERAIRAN ANAMBAS Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Letak geografis kabupaten ini berada di jalur strategis di antara negara Singapura dan Malaysia, yang merupakan pusat pertumbuhan kegiatan ekonomi antara lain perdagangan barang dan jasa. Dari hasil verifikasi penamaan pulau yang dilakukan oleh BAKOSURTANAL Tahun 2011, Kabupaten Kepulauan Anambas mempunyai 255 buah pulau, termasuk di dalamnya 5 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, yakni 26 pulau berpenghuni dan 229 pulau belum berpenghuni dengan wilayah laut 46.074 Km2. Kabupaten ini memiliki keanekaragaman spesies bawah laut yang khas dan amat besar, serta landscape yang sangat menarik dan masih dalam keadaan alami. Ada dua hal yang menyebabkan perlu dibentuk kawasan konservasi perairan nasional di Kabupaten Anambas, pertama, Kep. Anambas terletak di Laut Cina Selatan yang sering menjadi sengketa, di perbatasan antara Indonesia, Malaysia dan Singapore di bagian barat, dan Vietnam dan Thailand di bagian utara. Dengan lima pulau terluar yang terletak persis di garis batas internasional, perairan Anambas dipandang sebagai piranti pengelolaan strategis untuk pengelolaan sumber daya laut yang kaya ini, serta untuk memperkuat strategi perbatasan nasional Indonesia. Kedua, kawasan konservasi perairan ini nantinya merupakan satu dari beberapa KKP nasional yang berada di Indonesia bagian barat. Sekitar 98% dari luas wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas adalah perairan dan hampir sepertiga kawasan tersebut diusulkan untuk dicadangkan sebagai Calon Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN). Usulan pencadangan Kepulauan Anambas sebagai KKPN telah dilakukan oleh Pemerintah setempat melalui : 1. Surat Dukungan Bupati Kepulauan Anambas kepada Kepala Loka KKPN Pekanbaru Nomor : 531/Setda.050/XI.09 Tentang Dukungan Pencadangan Kawasan Konservasi Nasional. 2. Surat Usulan Bupati Kepulauan Anambas kepada Kepala Loka KKPN Pekanbaru Nomor : 017/kdh.KKA.523/01.2010 Tentang Usulan Penetapan Kabupaten Kepulauan Anambas Sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional. 3. Surat Dukungan Gubernur Kepulauan Riau kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 0020.a/kdh kepri/01.10 Tentang Dukungan Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional. 4. Surat Permohonan Bupati Kepulauan Anambas kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 163/kdh.KKA. 523/04.2011 Tentang Percepatan Penetapan Kabupaten Kepulauan Anambas Sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Pada tanggal 6 Juli 2011 Kepulauan Anambas ditetapkan pencadangannya melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.35/MEN/2011 Tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya di Provinsi Kepulauan Riau. Setelah Kepulauan Anambas dicadangkan sebagai calon Kawasan Konservasi Perairan Nasional, tahapan berikutnya setelah suatu kawasan dicadangkan adalah penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi kawasan sebelum ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Permen KP Nomor 30/2010 Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan.
Pada tanggal 15 Juli 2014, TWP Kepulauan Anambas seluas 1.262.686,2 hektar ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri KP Nomor 37/KEPMEN-KP-/2014. Dalam diktum kelima KEPMEN-KP No. 37/2014 disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil ditunjuk untuk melakukan pengelolaan TWP Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya di Provinsi Kepulauan Riau dan tanggal 02 Oktober 2014, Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi TWP Kepulauan Anambas disahkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri KP Nomor 53/KEPMEN-KP/2014 Tentang Dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014 – 2034.
Membangunn Kemitraan Kemitraan dalam membentuk dan membangun pengelolaan KKPN Anambas dimulai sejak tahun 2009, dimana CI membantu Direktorat KKJI dalam mendesain batas terluar KKPN. Sejumlah pertemuan dilakukan dalam mendesai batas terluar ini dengan melibatkan Pemda Anambas, baik Bupati Anambas, Bappeda, DKP, dan lainnya, serta pihak-pihak terkait lainnya seperti DKP Propinsi Kepulauan Riau, SKK Migas, konsorsium perusahaan minyak dan gas di Anambas, dan lainnya. Selain itu juga dilakukan konsultasi publik dengan kecamatan, desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Kemitraan ini kemudian berkembang sejak tahun 2011 sejak dibentuknya LKKPN Pekanbaru yang diberi tanggungjawab untuk membentuk dan mengelola KKPN Anambas. KKJI, LKKPN Pekanbaru dan CI secara bersama melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, terutama Pemda Anambas, dan juga konsultasi publik ke masyarakat untuk pencadangan KKPN Anambas. Pada 2009 dan 2011 Bupati Anambas mengirimkan surat ke Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai dukungan pembentukan KKPN di Anambas. Pada 2010, Gubernur Kepulauan Riau juga mengirimkan surat ke Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai dukungan pembentukan KKPN di Anambas. Pada 2011, Menteri Kelautan dan Perikanan mencadangkan KKPN Anamabas dengan kategori taman wisata perairan. Setalah pencadangan KKPN Anambas, kemitraan pengelolaan diperluas oleh LKKPN Pekanbaru dengan melibatkan Pemda Anabas, SKK Migas, konsorsium perusahaan minyak dan gas di Anambas, dan Lanal Tarempa. Sejak tahun 2012 sampai saat ini, dilakukan pertemuan koordinasi kegiatan untk KKPN Anambas setiap akhir tahun. Pada pertemuan ini para pihak menyampaikan rencana kegiatan masingmasing terkait pengelolaan KKPN Anambas untuk tahun kedepan. Untuk beberapa isu tertentu seperti pengelolaan Pulau Durai dan pengawasan terpadu, dibentuk kelompok kecil yang melibatkan pihak terkait untuk membahas secara rinci jenis kegiatan, pembiayaan dan pihak-pihak yang berkontribusi dan terlibat dari setiap pelaksanaan kegiatan. Secara spesifik, CI dalam menjalin kemitraan dengan LKKPN Pekanbaru diawali pembahasan kegiatan ditiap awal tahun. Pertemuan ini dimaksudkan agar terjadi sinkronisasi kegiatan, baik saling melengkapi atau saling mendukung antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya, dan juga mengatur jadwal pelaksanaan kegiatan agar dapat berjalan dengan baik dan tidak ada kegiatan yang saling tumpang tindih (overlap) ataupun berbenturan waktunya dalam pelaksanaan. Sinkronisasi program kerja dilaksanakan di kantor Loka KKPN di Pekanbaru.
Secara formal kemitraan dalam pengelolaan KKPN Anambas ditandai dengan adanya penandandatangan pernyataan bersama mendukung percepatan implemntasi Rencana Pengelolaan dan Zonasi TWP Anambas pada Desember 2013 oleh berbagai pihak, seperti: Pemda Anambas, DPRD Kabupaten Anambas, DPRD Propinsi Kepulauan Riau, Direktorat Jenderal KP3K, SKK Migas dan CI. Sebagai tindaklanjut penandatanganan ini, CI bersama dengan ConocoPhilips melakukan kerjasama untuk mendukung sejumlah kegiatan dalam pengelolaan KKPN Anambas.
Marine Rapid Assessment Program (MRAP) Data dan informasi merupakan salah satu komponen penting dalam mengetahui kondisi kawasan dan perencanaan pengelolaan seperti penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi. Kegiatan sejumlah survey biodiversity tahun 2011 – 2012 dan Marine Rapid Assessment Program (MRAP) yang diadakan oleh KKJI, LKKPN Pekanbaru, Pemda Anambas dan CI pada 2012 memberikan informasi mengenai jumlah dan kondisi terumbu karang serta ikan di Anambas. Dari survey-survey ini diketahui adanya jenis-jenis baru yang ditemukan di Anambas, lokasi-lokasi penting untuk penyusunan rencana zonasi, dan juga indukan napoleon yang tidak ditemukan di alam selama hampir 3 tahun survey, namun banyak ditemukan di karamba milik masyarakat di Siantan Timur. Terkait dengan rekomendasi MRAP mengenai status napoleon di Anambas, pada 2013 ditindaklanjuti dengan parentage analysis untuk mengetahui apakah anakan-anakan napoleon yang banyak ditemukan disekitar perairan Siantan Timur berasal dari indukan dari keramba-keramba milik masyarakat. Analisis ini dilakukan bersama UDAYANA Bali. Pada 2014, UDAYANA Bali melakuan parentage analysis lanjutan dengan mengambil sampel indukan dan anakan yanglebih banyak. Analisis ini penting untuk dasar pengelolaan napoleon di Anambas. Lokasi informasi-informasi penting dari hasil survey dan MRAP, ditindaklanjuti dengan survey dalam penentuan zona inti. Seluruh calon zona inti yang disepakati oleh masyarakat di desa disurvey untuk diketahui kondisi dan kelayakannya sebagai zona inti.
Pengembangan Kapasitas Kegiatan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia sangatlah dibutuhkan dalam pengelolaan sebuah KKP agar tujuan pembentukan KKP tersebut dapat terwujud. Adanya kegiatan-kegiatan training atau pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan wawasan lingkungan kepada masyarakat dalam kawasan diharapkan mampu mengubah cara pandang yang sebelumnya cenderung merusak (destruktif) menuju kearah yang lebih positif. Beberapa training yang dilakukan dalam KKPN TWP Kep. Anambas adalah: -
Pelatihan Dasar-dasar Pengelolaan Konservasi (MPA 101) Pelatihan Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Pelatihan Rencana Pengelolaan dan Zonasi
Dari beberapa pelatihan yang sudah dilakukan, muncullah berbagai inisiatif dari masyarakat. Ada 2 inisiatif yang diusulkan oleh masyarakat, pertama kesepakatan ukuran tangkap bibit ikan napoleon di Desa Batu Belah, Kecamatan Siantan TImur, dan kedua adalah kesepakatan penutupan kawasan lobang pari di Desa Telaga, Kecamatan Siantan Selatan selama 5 tahun 2013-2018.
Pelibatan Masyarakat Kesepakatan Napoleon Kecamatan Siantan Timur merupakan satu dari tujuh kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Anambas. Ibukota kecamatan ini terdapat di Desa Nyamuk di Pulau Bajau. Luas Kecamatan Siantan Timur 88,92 hektar dengan jumlah penduduk 3.915 orang (sensus tahun 2010). Kecamatan Siantan Timur terdiri dari 6 desa, yakni Desa Nyamuk, Desa Batu Belah, Desa Munjan, Desa Temburun, Desa Air Putih, dan Desa Serat. Salah satu isu utama perikanan di Kabupaten Kepulauan Anambas adalah pemanfaatan atau penangkapan benih ikan Napoleon (Cheillinus undulatus) di alam. Lokasi penangkapan benih ikan napoleon terbesar terdapat di Desa Batu Belah, Kecamatan Siantan Timur. Hampir seluruh masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan adalah nelayan ketipas atau yang menangkap benih ikan Napoleon Dalam dokumen rencana pengelolaan zonasi KKPN TWP Kepulauan Anambas, Subzona perikanan budidaya yang termasuk dalam Kec. Siantan Timur ada 2 lokasi dan tersebar di 3 desa dengan total luasan 1.798,70 ha. Kegiatan yang termasuk kedalam subzona perikanan budidaya adalah pemanfaatan sumberdaya ikan Ketipas/Napoleon di Kabupaten Kepulauan Anambas yang sudah berlangsung cukup lama. Desa Batu Belah menjadi salah satu pusat perikanan Napoleon. Kegiatan pemanfaatan tersebut termasuk kedalam penangkapan secara tradisional, yakni benih ikan Napoleon ukuran juvenile diambil dari alam lalu dibesarkan dalam keramba budidaya hingga ukuran 0,5 – 0,8 kg sebelum dijual kepada pengumpul, lalu pengumpul membawa benih tersebut kepada para pengusaha pembesaran Napoleon. Aktivitas ini perlu mendapat perhatian ditinjau dari cara menangkap, ukuran benih, musim, dan jumlah maksimal individu yang diperbolehkan agar tidak mengganggu populasi Napoleon. Terkait dengan kegiatan pemanfaatan/penangkapan benih ikan Napoleon di perairan laut Kabupaten Kepulauan Anambas, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas tahun 2012 telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan tersebut melalui dukungan Bupati Kepulauan Anambas terhadap Pembentukan Kesepakatan bersama tentang Tata Cara Pengambilan atau Penangkapan Benih Ikan Ketipas/Napoleon (Cheillinus undulatus) melalui Surat Edaran Bupati Kepulauan Anambas Nomor: 185/KDH.KKA.523/06.12. tanggal 26 Juni 2012. Bertempat di Balai Desa Batu Belah, Kecamatan Siantan Timur, telah disepakati secara bersama oleh beberapa pihak yang dalam hal ini mewakili Kecamatan Siantan: Desa Pesisir Timur; Kecamatan Siantan Tengah: Desa Teluk Siantan, Desa Air Sena dan Desa Liuk; Kecamatan Siantan Timur: Desa Batu Belah, Desa Temburun, Desa Serat, Desa Air Putih, Desa Munjan dan Desa Nyamuk; Kecamatan Palmatak Desa Belibak dan Desa Candi Tentang tata cara pengambilan/penangkapan benih/bibit ikan Ketipas/Napoleon (Cheillinus undulatus) di wilayah desa-desa yang disebutkan diatas. Adapun surat kesepakatan bersama ini mengatur hal-hal tentang ukuran, alat tangkap, dan waktu penangkapan benih Ketipas/Napoleon. Kegiatan perikanan Napoleon di dalam TWP Kepulauan Anambas dapat dikembangkan melalui dua konsep untuk mendukung upaya pelestarian jenis ikan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan, yaitu: Pertama, program penelitian dan pendidikan (research and education) untuk pengembangan perikanan Napoleon secara berkelanjutan, yang dapat melibatkan berbagai instansi dan pihak terkait lainnya
seperti dari Lembaga Penelitian, Universitas, mahasiswa dan para peneliti. Kedua, program pengembangan ekominawisata di dalam kawasan, yakni menyediakan lokasi wisata perikanan Ketipas/Napoleon sebagai objek wisata pendidikan konservasi yang dapat diamati di lokasi budidaya/keramba jaring apung. Kegiatan ini dapat memberikan dampak positif dari segi peningkatan ekonomi masyarakat sekitar melalui kontribusi pengunjung berupa tarif jasa konservasi dan wisata kuliner di sekitar lokasi budidaya tersebut. Deklarasi Adat “Lobang Pari” Deklarasi Adat “Lobang Pari” sebagai kawasan perikanan tangkap tradisional masyarakat yang di tutup selama 5 tahun Desa Telaga Kecamatan Siantan Selatan Kabupaten Kepulauan Anambas tanggal 29 Agustus 2014. Dan pada tanggal 29 Agustus 2013 dilakukan penutupan “Lobang Pari” selama 5 tahun sebagai kawasan perikanan tradisional dengan adat melayu (tepung tawar dengan asam dan garam) oleh masyarakat Desa Telaga dan sekitarnya yang disaksikan Wakil Bupati Kepulauan Anambas dan ratusan undangan seperti SKPD se Kepulauan Anambas, MPAG, LKKPN Pekanbaru dan masyarakat sekitar. Tujuan Deklarasi Adat Lobang Pari adalah: -
Menetapkan secara adat maupun hukum positif kawasan mangrove di sekitar lobang pari menjadi zona perikanan tradisional masyarakat desa Telaga dan sekitarnya. Mensosialisasikan kawasan mangrove kepada masyarakat luas bahwa kawasan lobang pari ini sudah secara resmi ditutup sehingga tidak boleh lagi ada aktivitas apapun didalamnya. Diharapkan kawasan mangrove akan menjadi obyek atraksi wisata tahunan yang akan dikelola oleh masyarakat desa Telaga dan tentunya mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kab. Kepulauan Anambas.