ANALISIS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS EKOREGION: UPAYA MEMPERSEMPIT KETIMPANGAN
©Andie Wibianto/MPAG
ANALISIS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS EKOREGION: UPAYA MEMPERSEMPIT KETIMPANGAN
Kawasan Konservasi Perairan Indonesia dalam konteks lokasi keanekaragaman hayati dan ketataruangan membutuhkan kajian dalam bentuk analisis berbasis ekoregion. Kajian tersebut mempermudah dalam menganalisis ketimpangan (gap analysis) antar kawasan konservasi perairan (KKP) berdasarkan perwilayahan ekoregion dan memudahkan dalam perencanaan kawasan konservasi (Beck dkk., 2003). Hal itu terutama bagi pencadangan kawasan konservasi baru ataupun perluasan dari kawasan konservasi yang telah ada guna memenuhi target 20 juta hektar pada 2020 dan target pengelolaan efektif 2014 seluas 4,5 juta ha. Laut Indonesia yang merupakan pertemuan dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Samudra Pasifik dan berada di wilayah tropis dengan sinar matahari mencukupi sepanjang tahun, menjadikan secara biologi kawasan ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati tinggi, yang kerap juga disebut megabiodiversity. Adalah Alfred Wallace yang meletakan dasar biogeografi modern dengan menerbitkan hasil kajiannya (1863) dengan mengidentifikasi distribusi fauna berdasarkan perbedaan wilayah. Wallace menarik garis maya antara selat Bali dan Lombok melewati Selat Makasar, di mana sebelah barat disebut kawasan “Indo-Malayan” dan sebelah timur kawasan “Austro Malayan” (Veron dkk., 2009). Selanjutnya Huxley (1868) menarik garis dari atas Sulawesi melingkar hingga Filipina. Belakangan Wallace pada 1910 memperbaiki lagi biogegrafinya dari selat Bali berbelok ke Laut Banda melewati Maluku dan Laut Halmahera, seperti tampak pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1: Sejarah demarkasi antara kawasan fauna Oriental dan Australia (Veron dkk., 2009)
1
Pada era pasca perang dunia II, coral biogeography menjadi terdepan dalam biogeografi kelautan setelah John Wells (1954) mempublikasi sebuah tabel plot coral genera berdasarkan wilayah. Publikasi ini menjadikan kepulauan Indonesia dan Filipina diakui sebagai pusat keanekaragaan hayati terumbu karang dunia. Di Indonesia sendiri kawasan konservasi laut dikembangkan di bawah Kementerian Kehutanan. Pada 1984 kajian oleh R.V. Salm dan M. Halim menghasilkan Atlas Rencana Kawasan Konservasi yang merupakan rencana tata ruang kawasan konservasi laut hasil kerjasama antara Kementerian Kehutanan dan International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dalam rencana tersebut kawasan konservasi perairan dikelompokan menjadi empat prioritas, meliputi 157 kawasan seluas 16.759.105 ha (Yulianto dkk, 2013) Pada 2003 The Nature Conservancy melakukan workshop melibatkan 20 saintis dan pakar GIS memetakan kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle). Kawasan tersebut belakangan seperti yang saat kini kita kenal, meliputi wilayah di sejumlah Negara di antaranya Indonesia, Papua Nugini, Solomon, Malaysia, Filipina, dan Timor Leste (Mous & Green, 2004). Basis delineasi ini kemudian ditindaklanjuti oleh Indonesia dalam pertemuan para pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) yang mengusulkan Coral Triangle Initiative (CTI) sebagai mekanisme komponen utama untuk menjaga keberlanjutan pusat keanekaragaman hayati global di kawasan ini (Veron dkk, 2009). Ekoregion Laut Indonesia Lebih lanjut Spalding dkk (2007) memetakan ekoregion laut dunia (marine ecoregion of the world – MEOW) dengan mereview lebih dari 230 jurnal, laporan dari NGO, publikasi pemerintah dan sumber lainnya, membandingkan peta digital dari sekian banyak unit biogeografi, dan melibatkan 40 pakar independen dalam workshop. Spalding dkk. merumuskan bioregionalisasi antara lain 12 realm (kawasan kontinen atau subkontinen dengan kesamaan geografi dan fauna/flora/vegetasi), 62 provinces (kawasan luas dengan kehadiran biota tertentu termasuk geomorfologi, hidrogeografi, atau pengaruh geokimia), dan 232 ekoregion (kawasan yang memiliki komposisi spesies homogen, berbeda jelas dengan sistem tetangganya, ekosistem tertentu dengan keunikan oseanografi dan topografi). Indonesia dalam klasifikasi bioregion Spalding dkk termasuk dalam 2 realm (Western Indo-Pacific dan Central Indo-Pacific), 5 provinces (Andaman, Paparan Sunda, Java Transitional, Segitiga Karang Barat, Paparan Sahul), dan 12 ekoregion antara lain Barat Sumatera (kode 111); Paparan Sunda/Laut Jawa (117); Selat Malaka (118), Selatan Jawa (119); Palawan/Borneo Utara (126); Laut Sulawesi/Selat Makassar (128); Halmahera (129); Papua (130); Laut Banda (131); Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor) (132); Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini (133); Laut Arafura (139), seperti pada Gambar 2 berikut.
2
Gambar 2: Kerangka biogeografi final, biogeografi dengan garis batas ekoregion (Spalding dkk., 2007)
Berikutnya C.L. Huffard, M.V. Erdman dan T. Gunawan (2009) melalui program Coral Triangle Support Partnership Indonesia (CTSP) melakukan assessment guna penetapan prioritas atas ekoregion laut Indonesia tersebut yang melibatkan 16 pakar keanekaragaman hayati laut Indonesia yang diakui secara global dan 4 pakar internasional yang menyiapkan informasi pendamping penting. Kriteria yang digunakan dalam prioritisasi yaitu irreplaceability (ketidaktergantikan), vulnerability (kerentanan), dan representativeness (keterwakilan). Hasil dari prioritisasi ekoregion laut Indonesia tersebut adalah pemeringkatan ekoregion laut Indonesia antara lain 1) Laut Papua; 2) Laut Banda; 3) Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor); 4) Laut Sulawesi/Selat Makassar; 5) Halmahera; 6) Pawasan/Borneo Utara; 7) Barat Sumatera; 8) Timur Laut Sulawesi/Teluk Tomini; 9) Paparan Sunda/Laut Jawa; 10) Laut Arafura; 11) Selatan Jawa; dan 12) Selat Malaka. Peta ekoregion seperti tercantum dalam pada Gambar 3 berikut.
3
Gambar 3: Peta ekoregion laut Indonesia berdasarkan proiritisasi keanekaragaman hayati (2009) Dari hasil kajian prioritasi geografi kawasan konservasi peraian Indonesia oleh Huffard dkk., setiap delineasi ekoregion dideskripsikan seperti tampak pada Tabel 1 berikut. Tabel 1: Peringkat ekoregion laut Indonesia dan deskripsi keanekaragaman hayati Peringkat
Ekoregion
Ringkasan Keanekaragaman Hayati
1
Papua
Peringkat teratas untuk semua keanekaragaman karang; memiliki jumlah hewan habitat dan “genetik clade” sangat besar, termasuk ikan karang dan jumlah spesies ikan endemik, karang dan stomatopoda. Tempat Paus sperma membesarkan anaknya, tempat terbesar penyu belimbing bertelur, tempat hidup Paus Bryde di Kainama dan populasi dugong yang sehat
2
Laut Banda
3
Lesser Sunda (Nusa Tenggara)
Tingkat keragaman hayati sangat tinggi, tingkat endemisme hanya kalah dari Papua. Perairan penting bagi koridor migrasi banyak hewan bahari besar (termasuk Cetacea dan ikan pelagik) yang bermigrasi dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Upwelling yang menyangga perubahan iklim serta menyebabkan produktivitas primer yang tinggi yang menjadi dasar rantai makanan yang mampu mendukung ikan-ikan pelajik bedar dan Cetacea termasuk Paus Biru.
4
Laut Sulawesi/ Selat Makassar
Perairan ini berperan sebagai penyambung dan alur penting penyebaran larva melalui AIRLINDO. Kaya akan spesies, penting bagi Cetaceaan dan memiliki keterwakilan genetik dan taksonomik yang tinggi.
Peringkat kedua karena tingginya keanekaragaman spesies karang, tingginya keragaman habitat karang (termasuk melimpahnya habitat laut dalam walaupun berada dekat pantai yang jarang terdapat di dunia), peran penting dalam siklus hidup penyu dan paus biru yang terancam punah. Memiliki palung dalam dan upwelling memainkan peran penting pada saat perubahan iklim memanaskan suhu air.
4
5
Halmahera
Keanekaragaman hayati yang cukup tinggi dan habitat yang beragam. Memiliki keterwakilan fauna Asia dan Australia dan berperan penting sebagai penyambung antara Papua dan Sulawesi. Beberapa ahli berpendapat bahwa Halmahera merupakan perluasan dari bentang laut (seascape) Kepala Burung Papua.
6
Palawan/ Borneo Utara
Mencakup perairan Indonesia, Malaysia dan Fian Filipina. Keanekaragaman di ekoregion ini mewakili daerah sekitarnya terutama Laut Sulawesi dan Selat Makassar. Mangrove dan padang lamun yang luas merupakan habitat lumba-lumba air tawar, burung laut dan penyu. Punya nilai penting skala global untuk populasi Penyu Hijau dan Penyu Sisik.
7
Bagian Barat Sumatera
Beberapa ahli berpendapat di ekoregion ini terdapat pertumbuhan karang terbaik di dunia dan tipe habitat paling beragam di Samudera Indonesia. Dari perspektif genetic memiliki nilai penting kedua setelah Papua. Keenam jenis penyu yang ada di Indonesia mencari makan/dan bertelur di wilayah ini.
8
Timurlaut Sulawesi/ Teluk Tomini
Keanekaragaman hayati cukup tinggi, genetic clade yang berbeda dengan ekoregion laut Indonesia (ELI) lain dan keberadaan spesies endemik terutama di Kep. Togean.
9
Paparan Sunda/Laut Jawa
Memiliki karakteristik karang marginal yang hanya terbentuk sejak berakhirnya zaman es, dengan kekayaan jenis yang rendah dan nyaris tanpa endemisme. Merupakan tempat mencari makan dan bertelur penyu hijau dan penyu sisik. Natuna, Anambas dan Tambelan mungkin merupakan tempat peneluran penyu sisik terbesar di Asia Tenggara. Pantai Timur Sumatera punya hutan mangrove yang penting dan merupakan habitat burung-burung migran.
10
Laut Arafura
Keragaman karang rendah, baik taksonomik maupun genetic. Mengandung tegakan mangrove paling luas dan paling beragam dan penting dalam skala global serta padang lamun yang luas. Kedua ekosistem merupakan habitat penting bagi burung laut, dugong, penyu, buaya muara, hiu paus dan mungkin ikan todak. Pantainya yang dangkal dan luas merupakan tempat mencari makan dan migrasi penting bagi berbagai jenis penyu.
11
Bagian Selatan Jawa
Keragaman dan tutupan karang rendah, karena pantainya curam dengan energi gelombang yang tinggi tetapi merupakan tempat peneluran penyu hijau, penyu sisik, penyu sisik semu dan penyu belimbing yang penting. Laguna di Cilacap memiliki tegakan mangrove yang penting secara local dan habitat burung-burung laut.
12
Selat Malaka
Miskin keragaman karang, tetapi mempunyai habitat unik yang penting bagi banyak burung aionir dan merupakan koridor penting penyebaran larva antara perairan Indonesia dan Samudera Hindia. Pulau Bintan mempunyai padang lamun yang luas dengan keragaman tinggi dan juga habitat dugong.
Sumber: Huffard dkk. (2012) dalam M. Hutomo (2013)
Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan mandat Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bersama Badan Informasi Geospasial, para pakar dan NGO menyusun konsep penetapan wilayah ekoregion Indonesia meliputi darat dan laut. Setelah melalui 12 forum diskusi terfokus dan beberapa kali perbaikan, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan 18 ekoregion. Setiap ekoregion dideskripsikan dalam enam aspek: geologi, morfologi dasar laut, oseanografi, keanekaragaman hayati, pemanfaatan, kerawanan bencana, dan pencemaran (Hutomo, 2013).
5
Untuk keperluan pengelolaan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah memiliki wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang merupakan basis Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan: Permen KP No. 1 Tahun 2009 tentang WPP RI. Dengan adanya WPP berisikan 11 bagian delineasi, jika dilakukan overlay data antara Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang berjumlah 11 wilayah, dengan ekoregion laut Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup (18 wilayah), dan ekoregion yang dikeluarkan oleh MEOW (12 wilayah), maka diharapkan akan semakin memperjelas pengelolaan ekoregion laut di masa mendatang. Basis kajian ringkas ini memusatkan pada 12 ekoregion laut versi MEOW (Spalding dkk.) dan prioritasi ekoregion laut Indonesia oleh Huffard dkk. Pilihan menggunakan ini dikarenakan basis yang digunakan oleh Spalding dkk. mencerminkan karakteristik klasifikasi yang tepat bagi pengembangan kawasan konservasi antara lain pada perairan pesisir dan paparan (shelf), kombinasi biota benthic dan shelf pelagic (neritic) yang merepresentasikan kawasan yang sebagian besar keanekaragaman hayati laut terdelineasi. MEOW juga mengembangkan sistem hirarki berdasarkan konfigurasi taksonomi, pengaruh sejarah evolusi, pola sebaran dan isolasi. Demikian pula ekoregion MEOW telah ditindaklanjuti oleh kajian Huffard dkk. Dalam prioritasi geografi kawasan konservasi laut di Indonesia. Prioritasi Ekoregion Laut Indonesia Jika dilihat dari kekayaan keanekaragaman hayati di sejumlah ekoregion laut Indonesia (Spalding dkk.) kemudian di-overlay dengan delineasi segitiga karang atau coral triangle (Mous dkk), mata terdapat 8 ekoregion di antaranya berada di kawasan segitiga karang dunia (coral triangle). Delapan ekoregion itu antara lain Papua, Laut Banda, Laut Sulawesi/Selat Makasar, Lesser Sunda (NT & Laut Timor), Halmahera, sebagian timur Palawan/Borneo Utara (berbatasan dengan Laut Sulu), Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini, dan Laut Arafura. Sisanya di wilayah barat yakni yang tidak termasuk segitiga karang yaitu Barat Sumatera, Selat Malaka, Paparan Sunda/Selatan Jawa. Dari hasil kajian Huffard dkk dalam prioritisasi ekoregion laut Indonesia, dan database kawasan konservasi perairan (laut) dari website DIrektorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka diperoleh gambaran kawasan konservasi perairan sebagai berikut, seperti terlampir pada Tabel 2 di bawah ini. Data ini telah memasukan KKP di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan, KKP di bawah pengelolaan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta KKP dikelola Pemerintah Daerah.
6
Tabel 2: Kawasan Konservasi Perairan Berdasarkan Ekoregion No.
Ekoregion
Kawasan Konservasi Perairan (Laut)
1
Papua
Teluk Cendrawasih, Kaimana, Sorong, Biak Numfor, Sansafor, Waigeo, Raja Ampat (KKPD & KKPN), Sabuda Tataruga, Jamursba Medi, Padaido, Kep. Panjang
2
Laut Banda
Takabone Rate, Banggai Kepulauan, Banggai, Muna (Selat Tiworo dsk), Buton, Bombana, Wakatobi, Maluku Tengah, P. Kasa (Maluku Tengah), P. Pombo, P. Marsegu, Teluk Lasolo, Kep. Padamarang, Laut Banda, Selayar
3
Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor)
Gili Sulat & Gili Lawang, Bima (Gili Banta), Nusa Penida, Selat Pantar (Alor), Sikka, Lombok Tengah, Sumbawa, Buleleng, Riung, Laut Sawu, Teluk Maumere, Teluk Kupang, Tujuh Belas Pulau (NTT), P. Moyo (NTB), P. Satonda (NTB), Gili Ayer-MenoTrawangan
4
Laut Sulawesi/Selat Makassar
Bunaken, Berau (P. Kakaban), Pangkajene & Kepulauan, Minahasa Selatan, Bontang, Sumbawa Barat, Majene. P. Semama, Kapoposang, Selat Lembeh (Bitung, Sulut)
5
Halmahera
Halmahera Selatan, Morotai,
6
Palawan/Borneo Utara
Nunukan (P. Sinilak), Sebatik Barat
7
Bagian Barat Sumatera
Nias, Tapteng, Nias Selatan, Mentawai, Pulau Penyu, P. Kasiak-Ujung-Tangah-Angso, Batang Gasan, P.Pinang-Siumat-Simanaha, Kaur, Lampung Barat, P. Weh, Enggano, Pulau Kecil Kota Padang, NAD Jaya, Bina Bahari, P. Sabang, Kepulauan Banyak (NAD), P. Pieh, Agam
8
Desa Olele (Bone Bolango), Togean,
9
Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini Paparan Sunda/Laut Jawa
10
Laut Arafura
Maluku Tenggara, Aru Tenggara,
11
Bagian Selatan Jawa
Pandeglang, Sukabumi, Ciamis, Leuweung Sancang, Pananjung Pangandaran, P. Sangiang, Sindangkerta
12
Selat Malaka
Serdang Bedagai
Lingga, Bintan, Natuna, Batam, P. Biawak, Pantai Ujungnegoro-Roban (Batang), Karang Jeruk (Tegal), Bengkayang, P. Laut Barat-Selatan dan P. Sembilan, Tanah Bumbu, Belitung Timur, Kep Karimata, Pulau Anak Krakatau, Pulau Rambut & Perairan, Kep. Seribu, Karimun Jawa, Kep. Anambas, Belitung Timur, Kep. Sepanjang (Sumenep)
Sebagai informasi tentang kondisi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun untuk masing-masing ekoregion seperti tertera pada Tabel 3 di bawah ini.
7
Tabel 3: Persentase tutupan mangrove, terumbu karang dan padang lamun berdasarkan ekoregion Ekoregion Papua Laut Banda Lesser Sunda (Nusa Tenggara) Laut Sulawesi/Selat Makassar Halmahera Palawan/Borneo Utara Barat Sumatera Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini Paparan Sunda/Laut Jawa Laut Arafura Selatan Jawa Selat Malaka
Mangrove
Terumbu Karang
Padang Lamun
16,9 6,0 30,7 31,4 5,2 11,0 31,4 5,7 44,2 17,8 6,4
43,2 17,3 37,5 5,3 79,1 18,2 16,0 19,5 5,3 7,1 17,1
52,9 0,6 22,8 23,4 0 89,0 0 0,2 0,1 2,6 22,2
Sumber: C. Yunia (2010).
Dari data berbasis WCMC, luasan seluruh ekoregion Indonesia mencapai 7,08 juta km2 atau mendekati luas laut territorial Indonesia yakni 7,7 juta km2. Ekoregion terluas adalah Paparan Sunda (Sunda Shelf)/Laut Jawa (19%) diikuti oleh Laut Banda (13%) dan Laut Sulawesi/Selat Makasar (11%), sedangkan luas terkecil adalah Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini yakni 1%. Meski demikian, bila ekoregion Papua dan Laut Arafura (pesisir selatan Papua) digabungkan sebagai keseluruhan pesisir Pulau Papua, maka kawasan tersebut menempati terluas yang mencapai 14% dari seluruh ekoregion Indonesia.
Grafik 1: Luas kawasan ekoregion laut Indonesia (IUCN dan UNEP-WCMC, 2011) Lebih luas lagi jika data ekoregion laut Indonesia dikelompokkan ke dalam konteks kawasaan segitiga karang (coral triangle area -- CTA) dan bukan termasuk dalam CTA, sebanyak delapan ekoregion atau 60% (4,2 juta km2) dari 12 ekoregion yang termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia, dan sisanya 40% (2,86 juta km2) adalah wilayah barat yang tidak termasuk segitiga karang (Barat Sumatera, Paparan Sunda/Laut Jawa, Selatan Jawa dan Selat Malaka).
8
Sebelum dihitung luasan kawan (laut) berdasarkan ekoregion maka dilakukan pengelompokan KKP berdasar ekoregion seperti tampak pada Tabel 2 berikut. Sebagai informasi, penggunaan ukuran luasan untuk keperluan ini selanjutnya menggunakan km2 karena kemudahan bagi komparasi dengan data IUCN, dan data luasan KKP menggunakan data terakhir dari Direktorat Kawasan Konservasi dan Jenis (KKJI) seluas 16,1 juta ha.
Dari KKP berdasarkan pengelompok ekoregion tersebut diperoleh luasan KKP per ekoregion seperti pada Tabel 4 di bawah ini, dan sebagai perbandingkan tampak persentase KKP pada masing-masing ekoregion.
Tabel 4: Kawasan Konservasi Perairan Berdasarkan Ekoregion (2013)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Ekoregion Papua Laut Banda Lesser Sunda (NT & L. Timor) Laut Sulawesi/Selat Makasar Halmahera Palawan/Borneo Utara Barat Sumatera Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini Paparan Sunda/Laut Jawa Laut Arafura Selatan Jawa Selat Malaka
Luas (km2) 614.409 912.226 635.633 779.387 269.842 564.513 729.371 70.340 1.358.161 374.755 605.742 165.179
% thd Jml Luas 8,68 12,89 8,98 11,01 3,81 7,97 10,30 0.99 19,18 5,29 8,56 2,33
Luas KKP (km2) 40.231 24.217 42.165 16.634 67 2,74 6.621 3.651 24.836 2.640 414 12,40
% Luas KKP thd Ekoregion 6.55 2.65 6.63 2.13 0.02 0.0005 0.91 5.19 1.83 0.70 0.07 0.0075
Sumber: UNEP-WCMC (2011) dan website KKJI 2013 (diolah)
Ketimpangan Keberadaan KKP di Ekoregion Dilihat dari persentase luas kawasan yang dikonservasi, data website KKJI September 2013 menunjukkan kawasan konservasi perairan di ekoregion Papua menempati teratas (6,55%) diikuti oleh Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor) yakni 6,63%, Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini (5,19%), sisanya Laut Banda (2,65%), Laut Sulawesi/Selat Makasar (2,13%), paparan Sunda/Laut Jawa (1,83%), serta di bawah satu persen yakni Barat Sumatera (0,91%), Laut Arafura (0,70%) Selatan Jawa (0,07%) Halmahera (0,02%), Selat Malaka (0,0075%) dan terkecil Palawan/Borneo Utara (0,0005%). Gambaran seperti tampak pada Grafik 2 berikut.
9
Grafik 2: Luas KKP berdasarkan ekoregion Dilihat dari pengelompokan KKP di kawasan coral triangle area (CTA) dan non-coral triangle area, seluas 129,607 km2 (12,96 juta ha) KKP berada di CTA atau 80%, sisanya 31,884 km2 (3,1 juta ha) atau 20% berada di non-CTA, seperti pada Grafik 3 di bawah ini.
Grafik 3: KKP berdasarkan wilayah segitiga karang (coral triangle area) dan bukan wilayah segitiga karang dunia Meski per ekoregion kawasan konservasi perairan jika diakumulasi secara kesluruhan mencapai 26,7% untuk jdari umlah masing-masing ekoregion, namun jika dilihat perandingan jumlah total KKP (161.491 km2) dengan kumulatif total luas ekoregion (7,08 juta km2), maka total luasan KKP baru mencapai 2,28% dari luas seluruh ekoregion. Gambaran tampak seperti pada Grafik 4 berikut.
10
Grafik 4: Perbandingan kumulatif luas ekoregion dan luas KKP Berdasarkan urutan luasan KKP per ekoregion, maka ekoregion Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor) memiliki peringkat terluas. Hal ini dapat dipahami mengingat jumlah luas konservasi Laut Sawu (3,2 juta ha). Papua, kedua terluas, didukung KKP Teluk Cenderawasih (1,45 juta ha) dan Raja Ampat (1,13 juta ha). Berikutnya Paparan Sunda/Laut Jawa yang diperkuat oleh Anambas (1,3 juta ha), diikuti Laut Banda ditopang oleh Wakatobi 1,4 juta ha, Laut Sulawesi/Selat Makasar (Berau 1,3 juta ha), Barat Sumatera (ditopang oleh KKP Kep. Banyak dan eks wilayah COREMAP a.l. Nias, Nias Selatan, Tapanuli Tengah, Mentawai dan sisa sejumlah kecil lainnya), sisanya sejumlah kecil di Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini dan Laut Arafura. Selanjutnya empat ekoregion terkecil keberadaan KKP adalah Selatan Jawa, Halmahera, Selat Malaka, dan Palawan/Borneo Utara, seperti tampak pada Tabel berikut. Tabel 5: Luasan KKP berdasarkan ekoregion dan perbandingan urutan luasan dengan urutan prioritasi ekoregion dari Huffard dkk. Ekoregion
Luas KKP (ha)
Lesser Sunda (NT & Laut Timor) Papua Paparan Sunda/Laut Jawa Laut Banda Laut Sulawesi/Selat Makasar Barat Sumatera Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini Laut Arafura Selatan Jawa Halmahera Selat Malaka Palawan/Borneo Utara
4.216.462 4.023.091 2.483.638 2.421.686 1.663.373 662.098 365.065 264.000 41.416 6.716 1.240 274
Ranking Luasan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Prioritasi (Huffard) 3 1 9 2 4 7 8 10 11 5 12 6
Sumber: diolah dari KKJI (2013), Huffard (2012)
Ketimpangan Rencana Pengelolaan Efektif
11
Rencana Strategis Kementerian Kelautan dalam hal ini Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) ditargetkan melakukan pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan mencapai seluas 4,5 juta hektar pada 2014 (Ruchimat dkk. 2012). Jika dilihat per kawasan ekoregion maka sebaran target capaian dan persentasenya terhadap KKP per ekoregion dari sejumlah luas 4.801.482 ha dapat dilihat seperti pada Tabel 6 berikut. Tabel 6: Sebaran target pengelolaan efektif KKP 2014 berdasarkan ekoregion dan persentase terhadap luas per ekoregion No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Ekoregion Papua Laut Banda Lesser Sunda (NT & Laut Timor) Laut Sulawesi/Selat Makasar Halmahera Palawan/Borneo Utara Barat Sumatera Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini Paparan Sunda/Laut Jawa Laut Arafura Selatan Jawa Selat Malaka
Target Pengelolaan (ha) 560.870 2.500 3.024.092 350.000 55.500 2.460 690.289 114.000 1.771 -
Persentase luas KKP / ekoregion 14 0,10 72 21 8 0.67 28 43 4 -
Sumber: KKJI 2013 (diolah)
Dari tabel tersebut tampak prioritas rencana pengelolaan efektif KKP belum tersebar secara merata dan masih terpusat di ekoregion Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor) yang mencapai 72% dari KKP yang telah dicadangkan, disusul Laut Arafura (43%), Paparan Sunda/Laut Jawa (28%), Laut Sulawesi/Selat Makasar (21%). Sebagian lainnya di Papua (14%), Selatan Jawa, Timur Laut Sulawesi/Teluk Tomini (0,67%) dan Laut Banda (0,10%). Sementara rencana pengelolaan efektif di ekoregion Halmahera, Palawan/Borneo Utara dan Selat Malaka masih belum tampak. Ketimpangan terjadi misalnya dilihat distribusi rencana pengelolaan efektif KKP yang berada di ekoregion Lesser Sunda yang hanya ditopang dari KKP Laut Sawu dan Alor serta sebagian Gili Matra; Laut Arafura oleh KKP Aru Tenggara, Paparan Sunda agak tersebar didukung oleh KKP Batam, Bintan, Natuna, Indramayu dan Batang; Laut Sulawesi oleh KKP Kapoposang dan Berau (Kaltim). Sementara itu rencana efektivitas pengelolaan KKP di ekoregion yang menjadi prioritasi puncak yakni Papua hanya didukung oleh KKP Daerah Raja Ampat, Padaido, Waigeo, dan hanya sebagian kecil KKP Nasional Raja Ampat yang secara keseluruhan hanya mencakup 14% dari luas KKP di ekoregion Papua saat ini. Kondisi lebih menyedihkan terjadi pada ekoregion Laut Banda di mana rencana pengelolaan efektif hanya mencakup luasan 0,14% dari luas KKP di ekoregion ini yang mencapai 2.416.686 ha. Lebih disayangkan lagi, KKP di ekoregion Halmahera dan Palawan/Borneo Utara, selain jumlah luasan KKP di sana tergolong kecil, masing-masing seluas 6.716 ha dan 274 ha, keduanya juga belum termasuk dalam target rencana pengelolaan efektif, hal serupa terjadi pada ekoregion Selat Malaka. 12
Sementara itu sejumlah KKP yang memiliki luasan relatif besar dan telah lama dicadangkan dan dikelola, namun diharapkan memiliki kontribusi signifikan dalam target rencana pengelolaan efektif KKP 2014, seperti Wakatobi dan Takabone Rate (ekoregion Laut Banda); demikian pula Teluk Cenderawasih, Suaka Margasatwa Laut Raja Ampat, Kepulauan Panjang dan Padaido (ekoregion Papua) bahkan belum tampak kontribusinya bagi peningkatan pengelolaan efektivitas KKP di wilayah ini. Hal serupa pada KKP Kapoposang dan Bunaken (ekoregion Laut Sulawesi/Selat Makasar). Secara kebetulan kesemuanya KKP tersebut termasuk yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. Perlu ditelusuri apakah sebenarnya Kementerian Kehutanan apakah telah memiliki rencana pengeloaan efektif hanya saja belum diinformasikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, ataukah memang belum merumuskan peningkatan pengelolaan efektif KKP yang berada di bawah pengelolaannya. Aspek koordinasi antara instansi Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan serta Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) sangat penting dalam konteks ini. Secara umum jika dilihat dari perkembanganan kawasan konservasi di seluruh ekoregion sejak 1990 hingga 2010, berdasarkan data dari IUCN dan UNEP-WCMC (2011) menunjukkan perkembangan seperti pada Grafik 5. Data IUCN digunakan mengingat memiliki data serial sejak 1990 dengan interval setiap lima tahun. Tampak bahwa Luasan konservasi di ekoregion laut yang mengalami perluasan pesat terutatama satu dekade terakhir (2000-2010) terjadi di ekoregion Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini terut, diikuti ekoregion Papua, dan Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Timor), dan Laut banda. Peringkat berikutnya adalah ekoregion Palawan/Borneo Utara, Laut Arafura. Sedangkan ekoregion yang relatif tidak mengalami pertumbuhan perluasan kawasan konservasi secara signifikan adalah ekoregion Laut Sulawesi/Selat Makasar, diikuti ekoregion Selatan Jawa, Selat Malaka, dan terakhir ekoregion Halmahera. Gambaran pertumbuhan KKP per ekoregion seperti tampak pada Grafik 5 berikut. 5.00
Papua Laut Banda Lesser Sunda (NT & Timor) Laut Sulawesi/Selat Makassar Halmahera Palawan/Borneo Utara Barat Sumatera Timurlaut Sulawesi/ Teluk Tomini Paparan Sunda/Laut Jawa Laut Arafura Selatan Jawa
- 1990
1995
2000
2005
2010
Selat Malaka
Grafik 5: Perkembangan kawasan konservasi laut berdasarkan ekoregion laut Indonesia (IUCN & UNEP-WCMC)
13
Kesimpulan dan Tahap Selanjutnya Jika dilihat dari sebaran kawasan konservasi perairan berbasis ekoregion, pengelolaan kawasan konservasi perairan laut Indonesia sebagai tanggung jawab di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, khususnya Direktorat Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan (KKJI) alokasi sebarannya telah sejalan dengan prioritasi kawasan (on the right track), yakni kawasan ekoregion Papua, Laut Banda, Lesser Sunda (Nusa Tenggara dan Laut Timor) merupakan prioritas perlindungan habitat. Berdasarkan hasil kajian berbasis ekoregion bahwa sesuai prioritas kawasan, empat kawasan terpenting dari segi keanekaragaman hayati yakni ekoregion Papua, Laut Banda, Lesser Sunda dan Laut Sulawesi/Selat Makasar telah memiliki porsi yang di atas rata-rata dan bahkan hampir tiga kali lipat dari rata-rata luas KKP pada ekoregion lainnya (kecuali Laut Banda hanya sedikit di atas rata-rata 2,3% luasan KKP per ekoregion dan Laut Sulawesi 2,13%). Kondisi ini mencukupi untuk memenuhi kebutuhan prioritas utama sesuai prioritasi kawasan konservasi dengan luasan KKP total mencapai seluas 18% dengan luasan ekoregion yang merupakan 45% dari seluruh prioritas teratas di empat ekoregion tersebut. Namun demikian perlu diperhatikan sebagai catatan berikut. Halmahera Berdasarkan analisis kesenjangan (gap analysis) antara luasan ekoregion, habitat keragaman penting berdasarkan ranking prioritasi dan kondisi luasan KKP saat ini, prioritas selanjutnya bagi pencadangan kawasan konservasi perairan mendatang terutama ditujukan bagi perluasan KKP di wilayah ekoregion Halmahera. Halmahera menurut Huffard merupakan “batu loncatan” antara ekoregion Papua dan Laut Sulawesi, banyak tempat bersarang penyu serta feeding grounds, memiliki variabilitas habitat dan keragaman tinggi, namun luasan KKP sangat rendah, hanya 0,02% (67 km2) dari perbandingan luas ekoregionnya (269.842 km2). Kawasan yang masuk coral triangle namun masih minim kehadiran KKP lainnya adalah dan Timur Laut Sulawesi/Teluk Tomini (5,19%), Laut Arafura (0,70%). Barat Sumatera dan Selatan Jawa Bersamaan dengan hal tersebut, arah kebijakan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan selanjutnya perlu ditujukan kepada pencadangan konservasi perairan di ekoregion Barat Sumatera dan Selatan Selatan Jawa. Bagian Barat Sumatera (hanya 0,91% luasan KKP di ekoregionnya) sementara menurut para pakar kawasan ini adalah tempat pertumbuhan karang terbaik di dunia dan tipe habitat paling beragam yang berbatasan dengan Samudera Hindia yang dari perspektif genetik memiliki nilai penting kedua setelah Papua, tempat bersarang penyu hijau dan penyu leatherback. Meskipun di kawasan ini memiliki banyak KKP (18 KKP) namun sebagian besar berukuran kecil yang dikelola oleh pemerintah daerah dan warga setempat, sehingga jika pun dijumlahkan KKP di kawasan ini belum memberikan luasan KKP yang signifikan di ekoregion ini. Sementara itu Selatan Jawa meski di kawasan ini tingkat biodiversitas lautnya tergolong rendah seperti penjelasan prioritasi Huffard dkk, namun ancaman terhadap sumberdaya laut relatif banyak terjadi di sini mengingat kawasan ini padat penduduk dan terdapat banyak industri dan nelayan kecil (di bawah 30 GT) yang sangat tergantung pada keberlangsungan sumberdaya laut termasuk perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2011). Kawasan ini juga merupakan tempat bertelur penyu, habitat perairan muara (misal Segara Anakan). Oleh karena itu konservasi perairan
14
dengan model yang memprioritaskan pemberdayaan masyarakat pesisir dan pelibatan para pihak (stakeholders) perlu diutamakan di kawasan ini. Riset Terpadu Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan bersama mitra LSM (nasional dan internasional) dan beserta kalangan perguruan tinggi setempat perlu mengembangkan dan mengarahkan berbagai riset terpadu dan assessment terhadap wilayah berbasis ekoregion dan wilayah pengelolaan perikanan (WPP), mempertimbangkan tidak hanya keragaman spesies namun juga keragaman genetik pada spesies penting kritis, dampak dan adaptasi perubahan iklim, faktor ancaman ke depan termasuk dari intervensi kegiatan manusia pada zona inti. Sebagai misal, Laut Sulawesi/Selat Makasar merupakan koridor penghubung utama antara lingkungan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dengan aneka ragam fauna dan genetik yang dapat diidentifikasi dan dikembangkan guna pemanfaatan berbagai tujuan. Melalui berbagai kajian itu selain dapat mengisi kekosongan data yang ada saat ini, juga diharapkan hasil riset dapat diimplementasikan secara praktis di kawasan konservasi perairan setempat. Data survey biodiversitas yang masih sangat terbatas seperti dinyatakan Huffard dkk adalah Barat Sumatera, Natuna/Anambas, Halmahera (terutama sektor selatan), Laut Banda, termasuk juga Alor-Wetar, Teluk Cendrawasih, dan Laut Arafura. Kolaborasi dan Memperkuat Jejaring KKP Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan perlu melakukan kerjasama erat dengan instansi terkait di Kementerian Kehutanan karena sebagian luasan KKP, sejak mulai inisiasi pencadangan hingga pengelolaannya saat ini masih di bawah kementerian tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan rencana pengelolaan efektif 2014 yang dari data sebaran target 4,5 juta untuk 2014 tersebut tampak dari angka sebarannya masih belum banyak melibatkan KKP di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan. Upaya kolaborasi dalam perencanaan pengelolaan pengelolaan efektif KKP terutama perlu dilakukan secara bersama dan kolaboratif melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program dengan pihak Kementerian Kehutanan sangat penting. Di sisi lain KKJI bersama mitra LSM (nasional dan internasional) perlu menggalang kerjasama para pihak (stakeholders) lainnya termasuk kalangan peneliti dan pihak swasta untuk meningkatkan upaya pengelolaan efektif KKP, termasuk dalam hal ini pengembangan dan pelaksanaan jejaring KKP. Jejaring KKP di ekoregion Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor) antara lain yang diinisiasi The Nature Conservancy (Wilson dkk., 2011) telah berkembang melakukan berbagai kajian dan peningkatan efektivitas pengelolaan KKP. Demikian pula Laut Banda (bukan Laut Banda dalam pengertian ekoregion) yang digagas sebagai World Heritage Site selain karena keanekaragaman hayati tinggi, keunikan proses geologis dan aspek situs sejarah dan budaya oleh UNESCO. Diharapkan kajian dan gagasan semacam ini dapat dijadikan lessons learned untuk pengembangan yang dapat diterapkan sebagai champion-champion dan best practices di jejaring KKP ekoregion lainnya. Selat Malaka Kerjasama jejaring pengelolaan KKP yang sifatnya transboundary seperti Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Coral Triangle Initiative (CTI) diharapkan dioptimalisasi guna pertukaran informasi (sharing information) dan pembelajaran
15
(lessons learned) dalam pendekatan ekoregion.
peningkatan
efektivitas
pengelolaan
KKP
melalui
Perlu dijajaki dan dikembangkan kerjasama regional seperti SSME dan CTI tersebut khususnya mengisi kekosongan kerjasama regional di wilayah Barat Indonesia, dengan melihat aspek prioritas pemanfaatan dan jasa maritim serta memperhatikan tingkat ancaman terhadap sumberdaya laut ke depan, semisal di ekoregion Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Hal ini mengingat ekoregion ini merupakan pengelolaan KKP terendah (hanya 12 km2 dari luas ekoregion Selat Malaka 165.179 km2). Meski ekoregion Selat Malaka memiliki keanekaragaman hayati laut terendah dari ekoregion lainnya, dan bukan prioritas dari aspek perlindungan habitat, namun aspek menonjol di kawasan ini adalah pemanfaatan pariwisata, kerjasama regional dan aspek budaya maritim, hal ini dapat menjadi basis pengembangan potensial kawasan ini ke depan. Kerjasama regional sangat diperlukan mengingat kawasan ini juga merupakan jalur laut internasional padat yang relatif sering terjadi kecelakaan kapal dan tumpahan minyak di laut. Hal-hal seperti ini menjadikan perlunya forum kerjasama reguler antar tiga negara terkait (Indonesia, Malaysia, Singapura) untuk mencegah dan mengatasinya dari sisi perlindungan habitat. Regulasi Pada saat yang bersamaan, guna akselerasi penguatan pengelolaan efektif dan kerjasama nasional antar instansi baik nasional maupun kerjasama regional, adalah sangat relevan bagi KKJI untuk mempercepat finalisasi regulasi terkait dengan pembentukan Komisi Konservasi Sumber Daya Ikan (sebagai kelanjutan dari Komnasko Laut), Kerjasama Konservasi dan Pemanfaatan Konservasi. #
Referensi: Beck, M.W., Ferdana, Z., dan Karr, K. (2003). “Marine Ecoregional Planning Advice.” Marine Initiative. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011). “Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).” Bahan presentasi. Green, A., White, A., Tanzer, J. (2012) Integrating fisheries, biodiversity, and climate change objectives into marine protected area network design in the Coral Triangle. Laporan disiapkan oleh The Nature Conservancy untuk Coral Triangle Support Partnership (CTSP). Huffard, C.L., Erdmann, M.V., Gunawan, T. (2009). Defining Geographic Priorities for Marine Biodiversity Conservation in Indonesia. Conservation International, Jakarta. Hutomo, M. (2013). “Perkembangan Ekoregion Laut Indonesia (ELI)” dalam Jurnal Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Indonesia, (Vo.1) hal 66-73.
16
Mangubhai S., dkk (2012). “Papuan Bird’s Head Seascape: Emerging threat and challenges in the global center of marine biodiversity” dalam Marine Pollution Bulletin 64 hal. 2279-2295. Mous, P.J. & Green, A. (2004). “Delineating the Coral Triangle, its Ecoregion and Functional Seascapes: Report on an expert for Marine Protected Areas,” The Nature Conservancy, Bali, Indonesia. Ruchimat, T., Basuki, R., Suraji (2012). Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia: Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya. DIrektorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan Pessir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Spalding, M.D., Fox, H.E., Allen, G.R., Davidson, N., Ferdana, Z.A., Finlayson, M., Halpern, B.S. Miguel, A.J., Lombana, A.L., Lourie, S.A., Martin, K.D., Macmanus, E., Molnar, J., Recchia, C.A. dan Robertson, J. (2007). “Marine Ecoregion of the World: A Bioregionalization of Coastal and Shelf Areas” dalam Bioscience July/August 2007 Vol.57 No. 7, hal. 573-583. Ecoregion, Coral Triangle. Asia Pacific Marine Program, Report 2/11. The Indonesian Coral Reef Foundation (TERANGI) dan UNESCO (2010). “Banda Islands Coastal Ecosystem: Collection and Analysis of Secondary Data.” Jakarta, Indonesia. Veron, J.E.N., Devantier, L.M., Turak, E., Green, A.L., Kinninmonth, S., StaffordSmith, M., Peterson, N. (2009). “Delineating the Coral Triangle” dalam Galaxea, Journal of Coral Reef Studies 11, hal 91-100. Wilson, J., Darmawan, A., Subijanto, J., Green, A., dan Shepard, A. (2011). Scientific Design of a Resilient Network of Marine Protected Areas: Lesser Sunda. Yulianto, I. Herdiana, Y. Halim, M.H., Ningtias, P. Hermansyah, A., Campbell, S. (2013). Kajian Spasial Potensi Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Menuju Pencapaian 20 Juta Hektar Tahun 2020. Wildlife Conservation Society dan Marine Protected Areas Governance, Bogor, Indonesia. Yunia, C. (2010). “Analysis of Ecosystem Representativeness Gap for Protected Area in Indonesia-2010.” Presentasi PHKA, Kementerian Kehutanan di Thailand.
17