PEMBATASAN KENDARAAN UNTUK MENGURANGI KEMACETAN JAKARTA Oleh Tim Redaksi Butaru
Kemacetan di ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan baik di jalan-jalan protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta semakin parah. Menurut sebuah penelitian, kemacetan tersebut membuat masyarakat Jakarta mengalami kerugian hingga Rp 48 triliun per tahun (Detik News, 26 Nop 2008). Puncak kemacetan diperkirakan terjadi pada jam sibuk di pagi hari (sekitar pukul 6.30-9.00 WIB) dan sore hari (sekitar pukul 16.30-19.30 WIB). Kemacetan ini mengakibatkan stres yang tinggi pada pengguna jalan, meningkatnya polusi udara kota, hingga terganggunya kegiatan bisnis. Dalam catatan Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2007, terdapat 77 lokasi kemacetan pada ruas-ruas persimpangan jalan utama. Pada jam puncak kemacetan, kecepatan rata-rata bus kota hanya mencapai 10-25 km/jam untuk pagi hari dan 7-24 km/jam pada sore hari. Pada tahun 2000, diperkirakan jumlah perjalanan penumpang per hari mencapai 8,4 juta orang, dimana sebanyak 49,7% penumpang menggunakan angkutan umum bus kota, 26% menggunakan kendaraan pribadi, 19,3% menggunakan sepeda motor; dan 4% menggunakan jenis kendaraan lainnya. Hanya 1% saja yang memanfaatkan moda kereta rel listrik/kereta api. Bila dilihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta tahun 2010 (pasal 19, ayat 2), menyebutkan bahwa tujuan pengembangan sistem transportasi diarahkan pada komponenkomponen: 1. Tersusunnya suatu jaringan sistem transportasi yang efisien & efektif; 2. Meningkatnya kelancaran lalu-lintas dan angkutan; 3. Terselenggaranya pelayanan angkutan yang aman, tertib, nyaman, teratur, lancar dan efisien; 4. Terselenggaranya pelayanan angkutan barang yang sesuai dengan perkembangan sarana angkutan dan teknologi transportasi angkutan barang; 5. Meningkatnya keterpaduan baik antara sistem angkutan laut, udara dan darat maupun antar moda angkutan darat; dan 6. Meningkatnya disiplin masyarakat pengguna jalan & pengguna angkutan. Tahun 2010 tinggal satu tahun ke depan jauhnya. Apakah kondisi ideal seperti yang diharapkan dalam RTRW DKI Jakarta ini dapat tercapai seperti yang diharapkan? Permasalahan kemacetan di Jakarta tidak terlepas dari akar permasalahan transportasi yaitu yang dikarenakan tidak terkendalinya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, serta buruknya pelayanan sistem angkutan umum yang ada saat ini. Jumlah kendaraan bermotor saat ini jauh melebihi kapasitas jalan yang ada. Menurut data Polda Metro Jaya, penambahan mobil baru di Jakarta rata-rata 250 unit per hari, sedangkan sepeda motor mencapai 1.250 unit per hari. Pada tahun 2007, jumlah kendaraan yang melaju di jalanan Jakarta yang panjangnya hanya 5.621,5 km mencapai 4 juta unit per hari. Rata-rata pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dalam lima tahun terakhir mencapai 9,5% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,1% per tahun. Ini berarti bahwa dalam beberapa tahun ke depan, jalan di Jakarta akan tidak mampu menampung luapan jumlah kendaraan yang terus tumbuh melebihi panjang jalan yang ada. Melihat kondisi ini, maka perlulah ada pembatasan jumlah kendaraan yang melalui jalan-jalan di Jakarta agar tidak melebihi kapasitas yang mampu ditampungnya.
Bagaimana caranya untuk dapat membatasi jumlah kendaraan yang melalui jalan-jalan di Jakarta tersebut? Pemerintah DKI Jakarta mengatakan bahwa ada empat alternatif pilihan untuk penerapan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di DKI Jakarta. Aternatif tersebut antara lain adalah penerapan 3 in 1, Electronic Road Pricing (ERP), penggunaan kendaraan pribadi dengan nomor ganjil atau genap, serta pembatasan usia kendaraan bermotor. Metode 3 in 1 saat ini sudah diimplementasikan di Jakarta, namun belum memberikan hasil yang signifikan dalam mengurangi kemacetan. Cara ini pun sudah mulai ditinggalkan oleh negara maju yang kemudian pindah ke metode ERP. Electronic Road Pricing Electronic Road Pricing (ERP) menurut Wikipedia adalah “an electronic toll collection scheme adopted in Singapore to manage traffic by road pricing, and as a usage-based taxation mechanism to complement the purchase-based Certificate of Entitlement system". Pemerintah Singapura yang telah menerapkan sistem ini mendefinisikan ERP sebagai "an electronic system of road pricing based on a pay-as-you-use principle. It is designed to be a fair system as motorists are charged when they use the road during peak hours". Sistem Electronic Road Pricing (ERP) merupakan sistem pungutan kemacetan menggunakan kartu elektronik. Sistem ini membebankan sejumlah biaya kepada pemilik kendaraan karena akan melewati suatu jalur tertentu sebab kendaraannya berpotensi menyebabkan kemacetan pada waktu tertentu. Penggunaan sistem ini pernah dilontarkan oleh mantan Gubernur Sutiyoso pada November 2006, dan sekarang menjadi sebuah wacana yang akan diimplementasikan oleh Gubernur DKI Jakarta (Fauzi Bowo). Menurutnya, sistem ini sangat cocok untuk diberlakukan di Jakarta dan telah sejalan dengan kebijakan transportasi makro di DKI Jakarta melalui peraturan daerah tentang pembatasan kawasan lalu lintas. Melalui sistem ini, diharapkan dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, dan penduduk beralih menggunakan kendaraan umum. Jumlah kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 98% pengguna jalan, sedangkan kendaraan umum hanya mengisi dua persen sisanya. Dengan kondisi ini, pembatasan kendaraan pribadi dapat terlaksana hanya jika bersamaan dengan ketersediaan sarana transportasi publik (kendaraan umum) yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya. Pemerintah provinsi DKI Jakarta saat ini masih terus mengkaji untuk mematangkan sistem tersebut. Penerapan sistem ERP berupa pungutan kemacetan ini pertama-tama akan dicoba untuk diterapkan pada jalan-jalan strategis dan menguntungkan secara ekonomis. Pemprov DKI Jakarta pun telah mendatangkan tenaga ahli dari Jepang untuk melakukan kajian mendalam mengenai hal ini, termasuk dampaknya terhadap lingkungan dan keuntungan kualitas udara yang akan diperoleh. Kajian tersebut diperkirakan selesai tahun 2009, dan aplikasinya dimulai tahun 2010 dengan penerapan pertama
pada koridor I busway. Diperkirakan pada tahun 2013 ketujuh koridor telah dapat menerapkan sistem ERP ini. Dewan Provinsi Jakarta sendiri telah membahas dan memberikan sinyal persetujuan untuk menerapkan sistem ini. Namun masih belum dapat diketahui dengan pasti, berapa jumlah retribusi yang harus dikenakan pada pengguna jalan serta bagaimana mekanisme pengelolaan hasil keuangannya. Electronic Road Pricing atau dikenal pula sebagai Congestion Pricing telah sukses diaplikasikan di Singapura, Stockholm, London, Oslo dan beberapa kota lain. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) pun menyatakan bahwa ERP bisa dijadikan salah satu alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan kemacetan di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar. Road Pricing di Singapura Singapuar telah mengimplementasikan sistem ERP sejak tahun 1975, dengan cara pengawasan manual oleh polisi lalulintas pada kawasan di sekitar pusat kota. Pada September 1998, sistem tersebut ditingkatkan dengan teknologi Electronic Toll Collection (ETC). Penerapan sistem ini oleh Land Transport Authority (LTA) dilaksanakan setelah melakukan suatu perencanaan yang hati-hati dan uji coba yang berhasil. Biaya retribusi yang dibayar oleh pengguna jalan merupakan bagian dari pemberlakukan suatu paket sistem pembatasan kepemilikan yang tegas, yang diberlakukan karena keterbatasan lahan di negara tersebut. Sistem ini dilakukan sebagai suatu kebutuhan kompetitif secara ekonomi dan untuk menghindari kemacetan lalu lintas yang banyak terjadi di kota-kota besar di dunia. Salah satu aspek kunci dari pengelolaan lalu lintas di Singapura adalah pembatasan kepemilikan kendaraan, baik dengan cara meninggikan biaya kepemilikan atau pun pembatasan pertumbuhan jumlah kendaraan. Cara ini telah mengikutsertakan pula pajak jalan tahunan yang tinggi serta biaya registrasi kendaraan. Selain biaya fiskal yang yang tinggi, ketersediaan kendaraan bermotor di Singapura pun telah diatur sejak tahun 1990 melalui Sistem Kuota Kendaraan (vehicle quota system). Biayabiaya terkait lainnya seperti pajak bahan bakar (50% dari harga jual) serta, biaya parkir yang tinggi, digunakan sebagai alat oleh pemerintah setempat dalam pelaksanaan sistem pembatasan ini selanjutnya. Bersamaan dengan pelaksanaan sistem tersebut, pemerintah setempat pun telah mempersiapkan sistem transportasi publik dan menerapkan sistem “park-and-ride”. Dengan begitu, warga yangmembutuhkan sarana transportasi dapat mengaksesnya dengan mudah. Dengan kata lain, strategi transportasi dan perkotaan di Singapura adalah memberi kemudahan transportasi publik pada warganya dengan implikasi pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi yang tegas. Hasilnya, walaupun negeri ini memiliki pendapatan perkapita yang tertinggi di Asia, namun hanya kurang dari 30% warganya yang memiliki kendaraan prbadi. Pembatasan Kendaraan Dengan Nomor Ganjil Atau Genap Pengaturan penggunaan jalan untuk nomor plat kendaraan ganjil dan genap ini pernah mencuat sebagai alternatif untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Jumlah populasi kendaraan bernomor ganjil diperkirakan sekitar 50% dan
kendaraan genap juga 50%. Secara matematis, jika sistem ini diberlakukan maka akan mempengaruhi secara signifikan jumlah kendaraan yang menggunakan jalan-jalan di Jakarta pada waktu yang bersamaan. Dengan begitu, kemacetan di DKI Jakarta dapat terkurangi sekitar 50%. Jika dihitung dan dikaitkan dengan populasi kendaraan seperti di atas, maka semestinya sistem pembatasan kendaraan dengan nomor ganjil dan genap ini bisa diterapkan dan merupakan salah satu pilihan yang tepat. Kendaraan pribadi dengan plat nomor ganjil dan genap bergantian menggunakan jalan-jalan yang mengalami kemacetan. Pengecualian dapat diberikan pada kendaraan umum, polisi, ambulan, pemadam kebakaran serta lain-lain yang melayani kepentingan publik. Kendaraan milik perusahaan diperbolehkan berjalan dengan adanya izin dari instansi terkait misalnya berupa stiker khusus yang dapat diperoleh setelah pemenuhan persyaratan oleh perusahaan yang bersangkutan, dan dibatasi misalnya satu mobil per perusahaan atau sesuai dengan proporsi antara karyawan dan kebutuhan mobilitas/pengangkutan yang diperlukan. Pemberlakuan sistem pengaturan nomor plat ganjil dan genap ini pernah dilaksanakan oleh kota Beijing pada saat penyelenggaraan Olimpiade di bulan Agustus 2008. Hasilnya adalah jalan raya di kota Beijing bebas dari kemacetan parah dan udara pun lebih bersih dibanding hari-hari biasa. Pemberlakuan Nomor Ganjil dan Genap di Kota Beijing Untuk mengatasi kemacetan di Kota Beijing akibat menumpuknya kendaraan di jalan raya, pemerintah setempat memberlakukan larangan dan kebebasan bagi kendaraan melintas di jalan raya dengan berpatokan pada nomor plat ganjil dan nomor plat genap. Kendaraaan dengan nomor polisi yang angka terakhirnya genap atau ganjil memiliki hari-hari tertentu di mana mobil tersebut tidak boleh dipergunakan. Apabila kendaraan ini terlihat digunakan, maka pengemudi mobil tersebut akan ditindak sesuai hukum yang berlaku. Kebijakan ini muncul pada saat kota Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade pada bulan Agustus 2008 dan diterapkan kembali sejak tanggal 11 Oktober 2008. Tujuannya semata-mata bukan saja mengurangi kepadatan lalu lintas, namun juga menciptakan udara kota yang bersih. Dengan ketentuan tersebut, beberapa kendaraan milik pemerintah, juga kendaraan milik perusahaan swasta dan pribadi, diharapkan akan "hilang" dari peredaran di jalan raya selama adanya ketentuan itu. Ketentuan yang berlaku adalah mobil yang memiliki plat nomor akhir angka 1 dan 3 hanya boleh melintas pada hari Senin, sementara kendaraan dengan plat nomor akhir 2 dan 4 hanya boleh melintas pada hari Selasa. Kendaraan dengan plat nomor akhir 5 dan 7 hanya boleh melintas pada hari Rabu, plat nomor akhir 6 dan 8 hanya boleh melintas pada hari Kamis dan plat nomor akhir 9 dan 0 hanya boleh melintas pada hari Jumat. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu semua pemilik mobil pribadi diijinkan untuk menggunakan mobil pribadinya. Bagi pengendara atau pemilik mobil yang melanggar ketentuan itu, akan dikenakan denda sebesar 100 yuan atau sekitar US$14,7. Ketentuan larangan melintas di jalan raya bagi mobil pribadi dilakukan selama enam bulan (hingga 10 April 2009) dan tidak berlaku untuk kendaraan polisi, ambulans, pemadam kebakaran, bis, taksi, serta kendaraan lain untuk layanan masyarakat. Dengan pengaturan ini, pemerintah Beijing mengharapkan 800 ribu kendaraan tidak melintas di jalan raya, sehingga kemacetan dan tentu saja udara bersih bisa tercipta. "Adanya ketentuan ini diharapkan bisa mengurangi kepadatan arus lalu lintas hingga 6,5% dan memperlancar arus kendaraan melintas di ring keempat setidaknya delapan persen," tutur Wang Zhaorong, seorang pejabat senior di Komite Komunikasi Kotamadya Beijing, seperti dikutip oleh Xinhua. Sebelum dilakukan penerapan ketentuan baru itu, pemerintah setempat telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat baik melalui media cetak maupun elektronik, sehingga pemilik kendaraan tidak terkejut dan melanggar ketentuan baru tersebut. Untuk mensosialisasikan pengaturan ini, maka polisi lalu lintas hanya memberikan
peringatan melalui mulut kepada para pelanggar selama satu minggu pertama dan tidak mengenakan denda uang. Pada minggu berikutnya barulah peraturan ini diberlakukan sebagaimana mestinya. Dengan pemberlakuan sistem pengaturan ini, maka pada saat berlangsungnya olimpiade dan paralimpik, kepadatan arus lalu lintas menurun hingga 21,2% dan rata-rata kecepatan berkendaraan pada saat jam sibuk meningkat 25,8% yaitu menjadi 30,2 kilometer per jam. Polusi di kota Beijing pun bisa ditekan cukup siginifikan, yakni mengurangi hampir 12 ribu ton emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Sekalipun diberlakukan larangan melintas bagi mobil untuk plat nomor tertentu, tapi pemerintah setempat tidak memberlakukannya secara semena-mena. Pemerintah telah menyediakan sarana transportasi umum massal yang memadai, sehingga masyarakat pemilik kendaraan pribadi tidak bertambah susah dengan pemberlakuan pembatasan kendaraan tersebut. Wakil kepala komite komunikasi kotamadya Beijing (Zhou Zhengyu), mengatakan bahwa pemerintah telah menyediakan sarana transportasi massal yang memadai dan nyaman misalnya dengan cara memperpanjang jam operasi bis umum dan kereta bawah tanah, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dengan ketentuan itu. Layanan transportasi publik benar-benar ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya ketika sistem tersebut diberlakukan. Pembatasan Usia Kendaraan Ketua Organisasi Angkutan Darat DKI Jakarta (Herry Rotti) menyatakan bahwa pembatasan kendaraan pribadi sebenarnya sudah ada dalam peraturan daerah. Namun Pemprov DKI Jakarta masih dihadapkan pada dilema untuk mengimplementasikannya. Bila usia kendaraan dibatasi, maka akan banyak kontra dari masyarakat yang mempunyai kendaraan berusia di atas 10-15 tahun. Kendaraan-kendaraan yang berusia di atas 10-15 tahun tidak diperkenankan menggunakan jalan-jalan di kota Jakarta. Lalu, harus kemana kendaraan-kendaraan tersebut? Pada sejumlah negara yang menerapkan pembatasan usia kendaraan, pemerintah membeli kendaraan-kendaraan yang usianya melampaui batas tertentu tersebut. Untuk itu pemerintah harus memiliki cadangan dana yang cukup besar untuk membeli kembali kendaraan yang dinilai sudah kadaluwarsa. Kalau pemerintah ternyata tak sanggup membelinya, maka kebijakan itu hanya akan merugikan masyarakat dan menimbulkan kekacauan sosial. Penutup Ketika aturan/sistem pembatasan kendaraan pribadi akan diimplementasikan, maka transportasi publik juga harus sudah siap untuk melayani masyarakat, setidaknya dengan kenyamanan dan biaya yang mendekati biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat jika menggunakan kendaraan pribadi. Dengan begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara dengan penggunaan kendaraan pribadi. Sistem transportasi publik yang berjalan mantap akan mendukung pemberlakuan sistem pembatasan kendaraan, sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih menggunakan transportasi publik.