Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami, saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini, setiap saat dan setiap kesempatan, macet akan terus menyertai, kemana pun mayarakat bepergian. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, mengingat perbandingan jumlah pertumbuhan jalan dan pertumbuhan kendaraan bermotor tidak seimbang. Tercatat. pertumbuhan jalan di Jakarta kurang dari 1% per tahun padahal setiap hari setidaknya ada 1000 lebih kendaraan bermotor baru turun ke jalan di Jakarta. Menurut Pakar Transportasi Dr.Techn. Ir. Danang Parikesit, M. Sc.(Eng), dampak secara ekonomi akibat kemacetan ini, begitu nyata. Bahkan menurut survey, Danang menyatakan, masyarakat Jakarta, akan menghabiskan 6-8%PDB untuk biaya transportasi. Padahal menurut standart Internasional, biaya transportasi dikeluarkan oleh seseorang, idealnya adalah 4% dari PDB. Angka senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005. Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta ditaksir Rp 12,8triliun/tahun yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya kesehatan. Sementara berdasarkan SITRAMP II tahun 2004 menunjukan bahwa bila sampai 2020tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi maka perkiraan kerugian ekonomi mencapai Rp 65 triliun/tahun. Berdasarkan studi tersebut, maka jelas Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal yang lebih andal. Salah satu alternatifnya adalah MRT. Menurut Danang Parikesit, yang lahir Yogyakarta, 3 Juni 1965 silam, MRT memiliki nilai lebih, yang tidak bisa didapatkan dari jenis angkutan yang lain. Berikut, wawancara singkat, mengenai efektivitas pemilihan angkutan missal yaitu MRT, untuk mengurai menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta khususnya dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Bagaimana pendapat Prof. Danang mengenai keadaan transportasi di Indonesia, khususnya di Jakarta? Kalau kita lihat secara kinerja, kecepatan rata-rata orang melakukan kendaraan pribadi dengan tidak mencapai 15 km/jam , kita sudah tidak kompetitif lagi. Thailand kin, sudah mencapai 18 km/jam, Tokyo 20-22 km/jam.
Mengapa dikatakan tidak kompetitif? Karena, akibat kemacetan ini, sejumlah kerugian akan melanda. Salah satunya adalah kerugian secara ekonomi. Bahkan jika dikalikan setahun, kerugian secara ekonomi bisa mencapai trilyunan rupiah. Dan, ternyata menurut survey per okober kemarin, kita menghabiskan 6-8% PDB untuk biaya transport. Ini angka yang besar. Bahkan standart internasional saja, hanya 4%. Lalu, bagaimana penyelesaian kemacetan di Jakarta ini? Kalau bicara tentang menyelesaikan transportasi, harus dipastikan orang yang ada di dekat Jakarta misalnya Jabodetabek, mengalami kemajuan. Misalnya dalam kurun waktu 5-10 tahun, kecepatan tempuh meningkat dari 13 km/jam menjadi 18 km/jam. Tapi di Jakarta khususnya, tidak ada progress, dulu macet, sekarang tambah macet. Salah satu sebabnya adalah arus urbanisasi semakin lama semakin bertambah. Dan, kecenderungannya adalah, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Mengingat kendaraan massal kurang memadai maka, mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Inilah salah satu sebab, kemacetan, setiap hari bertambah. Apa skema yang tepat, untuk mengurai kemacetan ini? Perjalanan tiap hari di Jakarta mencapai 40 Juta. Dari 40 juta perjalanan, 56% menggunakan angkutan massal, dan 44% menggunakan kendaraan pribadi. Dimana, untuk pengguna angkutan missal terbagi menjadi, 3% menggunakan KRL, 3% menggunakan transjakarta, dan 50% menggunakan bis non transjakarta dan KRL. Jika hal ini terus dibiarkan, saya khawatir kondisi di Jakarta akan semakin parah, karena masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Bagaimana dengan wacana tentang MRT? MRT, kini bukanlah wacana lagi. Namun, penyediaan MRT telah tertuang dalam Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Ada dua perspektif penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi masalah transportasi. Yakni, jangka pendek terkait mengatasi kemacetan dan jangka panjang adalah pengaturan pemanfaatan ruang. Pembangunan MRT untuk Jakarta jelas sangat diperlukan demi mengatasi kemacetan. Pembangunan MRT beserta sistem pendukungnya merupakan solusi yang harus terus diupayakan. Juga diperlukan master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik sebagai MRT andalan di masa datang. Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana transportasi massal atau melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif. Apakah MRT ini mampu mengurai kemacetan? MRT bagian dari solusi transportasi. MRT mampu mengangkut penumpang dari satu titik asal ke titik tujuan secara cepat, dan dalam jumlah yang besar. Namun, selain MRT
untuk mengatasi kemacetan diperlukan langkah-langkah lain seperti, peningkatan disiplin lalu lintas, pembatasan volume lalu lintas, mendorong pengguna kendaraan pribadi
beralih ke MRT seperti dengan menyediakan fasilitas park & ride. Dan, yang paling penting adalah mengintegrasikan sistem MRT dengan sistem angkutan massal lainnya seperti bus umum, busway, dan kereta Jabodetabek. Sehingga sebelum ada pembatasan jumlah kendaraan, Pemerintah hendaknya berupaya untuk menyediakan moda transportasi massal yang andal, layak dan memadai sehingga masyarakatdengan sendirinya akan lebih tertarik naik angkutan umum ketimbang bawa kendaraan sendiri. Dengan begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara dengan penggunaan kendaraan pribadi. Sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih menggunakan transportasi publik. Sistem MRT Jakarta sendiri dibangun untuk menjawab tantangan mobilitasyang rendah karena terbatasnya ruang untuk bermobilitas. Kemacetan di jalanraya disebabkan oleh ketidakseimbangan kapasitas jalan dengan volume kendaraan yang melaluinya. Keunggulan sistem MRT Jakarta yang andal, tepat waktu, danharga tiketnya terjangkau memberikan pilihan bagi pengguna kendaraan pribadikhususnya untuk beralih ke MRT. Berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi iniakan meningkatkan ruang gerak di jalan raya yang berdampak pada berkurangnyatingkat kemacetan serta tingkat polusi Bagaimana
mekanisme
penyediaan
MRT
yang
baik?
Terkait penyediaan MRT harus terintegrasi dengan penataan ruang. Harus ada keterkaitan antara penataan ruang dengan sistem transportasi. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi dari pemangku kepentingan mulai tahap penyusunan hingga implementasinya. Jakarta harus mencontoh negara-negara tetangganya seperti Singapura dan Thailand yang telah berhasil mengatasi masalah kemacetan dengan melakukan tindakan tersebut. Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yang
saat ini dalam tahap penyusunan juga harus menyiapkan ruang yang diperlukan MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit yang secara harafiah berarti angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat. Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) yang berbasis rel. Rencananya, MRT akan membentang kurang lebih ±108.7 km , yang terdiri dari Koridor Selatan – Utara (Koridor Lebak Bulus - Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih ±21,7 km dan Koridor Timur – Barat sepanjang kurang lebih ±87 km. Pembangunan Koridor Selatan-Utara dari Lebak Bulus – Kampung Bandan dilakukan dalam 2 tahap.Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu menghubungkan Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15.5 km dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan 6 stasiun bawah tanah) ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.Tahap II akan melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI ke Kampung Bandan yang akan mulai dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi paling lambat 2020.Koridor Barat-Timur saat ini sedang dalam tahap pre-feasibility study. Koridor ini ditargetkan paling lambat beroperasi pada 2027. Apa kelebihan MRT ini? MRT, adalah jenis angkutan massal yang mahal dalam pengadaannya, salah satunya untuk biaya infrastruktur. Perhitungan kasarnya, 1 Km akan memakan biaya 1 trilyun. Sehingga praktis jika ingin membangun MRT sepanjang 12 Km maka, biaya yang harus dikeluarkan sebesar 12 trilyun sampai 14 trilyun. Dengan jumlah biaya yang demikian, jika pemaknaan pembangunan MRT ini hanya untuk mengangut orang saja, kurang. Nah, yang menjadi sisi keunggulan dari MRT ini adalah mampu mengembangkan daerahdaerah sekitar MRT sesuai dengan tata ruang kota. Seperti di negara-negara yang telah berhasil menggunakan moda ini, kawasan di sekitar MRT menjadi kawasan yang berkembang. Ruang-ruang public maupun bisnis, akan sangat tertarik untuk mengembangkan investasinya di sekitar MRT. Sehingga makin lama, kawasan sekitar MRT akan berkembang, sehingga biaya operasional MRT yang cukup mahal jika hanya untuk angkutan missal tersebut, dapat tertututi oleh berkembangnya daerah sekitar MRT. Selain itu, MRT ini tidak hanya sekedar membantu mengatasi kemacetan, namun juga sebagai pendorong bagi Pemprov DKI Jakarta untuk merestorasi tata ruang kota. Agar lebih efektif dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Caranya adalah MRT Jakarta diintergrasikan dengan tata ruang di kawasannya. Integrasi diwujudkan dengan pembangunan jalan menuju stasiun atau menyediakan angkutan umum lain yang memudahkan warga datang atau meninggalkan stasiun MRT. Pada beberapa lokasi stasiun, dimungkinkan untuk membangun tempat parkir di stasiun dan trotoar yang memadai untuk mengakses stasiun. Dengan cara ini, warga yang tinggal atau beraktivitas di sekitar jalur MRT dapat merasakan manfaat langsungnya. Sementara warga yang tinggal agak jauh juga dapat meninggalkan kendaraan pribadi dan mengakses MRT dengan angkutan umum pendukung. Pemilik kendaraan pribadi juga dapat memarkir kendaraan di dekat stasiun.
Terhubungnya stasiun MRT dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan pusat-pusat aktivitas sosial lainnya akan memberikan manfaat tersendiri bagi pusat-pusat kegiatan ini.Dengan laju manusia yang lebih baik, pusat perbelanjaan menjadi ramai dan perkantoranterjamintingkathuniannya. Lalu, Bagaimana pembiayan MRT ini? Sekarang sudah ada sumber pembiayaannya. Tercatat, Pendanaan untuk proyek MRT ini diperoleh pinjaman dari JICA dan jaminan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, proyek MRT ini merupakan proyek nasional yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI Jakarta. Pada Oktober 2005 telah dikeluarkan surat keputusan Menko Perekonomian no. 057/2005 yang menetapkan pembayaran pinjaman tersebut ditanggung bersama oleh Pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta dengan komposisi 42% : 58%. Segera setelah keluarnya SK tersebut, pada tahun2005, juga disepakati struktur proyek dan konsep pendanaan yang disepakati oleh Bappenas, Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Pemerintah Provinsi DKIJakarta dan JICA. Terkait dengan kota Jakarta yang rawan bencana, terutama banjir, bagaimana menurut Prof. Danang, tingkat keamanan MRT ini? Sekarang kan sudah ada teknologinya untuk menyiasatinya. Berdasarkan pengalaman di negara lain yang rawan gempa seperti di Jepang, begitu juga dengan masalah banjir, transportasi MRT tetap bisa dijalankan. Persoalan banjir, tanah lembek dan gempa dapat diatasi dengan rekayasa teknik. Misalnya saja di Hong Kong dan Bangkok, yang rawan banjir. Rekayasa teknik yang dipergunakan untuk mengatasi banjir antara lain dengan cara peninggian pintu masuk. Sedangkan untuk tanah lembek dapat diatasi dengan teknik perbaikan tanah (soil improvement). Selain itu, struktur bangunan yang relatif pendek pada MRT, membuat pengaruh gempa relatif tidak signifikan dibandingkan dengan pengaruh gempa pada gedung-gedung tinggi. (berbagai sumber)
WATERFRONT CITY, BANJARMASIN Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota Oleh: Raditya PU * Kepala Bappeda Banjarmasin
Kota Seribu Sungai. Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu Sungai Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh sungai, anak sungai dan bahkan kanal – kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi bukti penting eksistensi sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas perdagangannya „terapung‟, baik penjual maupun pembeli bertransaksi diatas sungai dengan menggunakan perahu khas Banjar, Jukung.
Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai, namun kenyataannya Banjarmasin justru kehilangan sungai dari sebelumnya 107 buah menjadi 71 buah pada saat ini. (Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)
Foto 2. Pasar Terapung Banjarmasin Pasar terapung yang merupakan cerminan kuatnya kultur kehidupan perairan masyarakat Banjarmasin saat ini menjadi salah satu daya tarik pariwisata khas. (Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)
Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam perdagangan antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai Martapura. Di masa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang luas menjadi pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai timur Kalimantan. Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan keberadaan sungai tersebut beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama dengan jukung sebagai „kendaraan‟ utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya,
sebagian besar aktivitas dan permukiman masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar sungai dengan karakteristik rumah mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai Rumah Lamin. Lebih jauh lagi, penggunaan sungai sebagai jalur transportasi mempengaruhi orientasi muka bangunan, entrance bangunan menghadap ke sungai yang merupakan salah satu karakteristik dari waterfront city.
Foto 3. Karakteristik ideal sebuah waterfront city Salah satu karakteristik ideal sebuah waterfront city yang juga diimpikan oleh Banjarmasin adalah muka bangunan yang menghadap ke sungai. Dengan demikian, kebersihan sungai sebagai halaman depan rumah akan selalu menjadi prioritas para penghuninya. (Foto: Foto 3 : Karakteristik Permukiman waterfront Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)
Banjarmasin selain memiliki tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, juga memiliki sungai-sungai berukuran sedang (lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya sekitar 77 sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan Sungai Tatas. Tidak mengherankan apabila kehidupan berbasis sungai menjadi daya tarik unik bagi kota yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar dan dijuluki Venesia dari timur ini. Pemandangan yang khas dari kota sungai ini adalah adanya rumah-rumah dengan tipe rumah panggung yang dibangun berderet menghadap sungai dan rumah lanting (rumah terapung) yang berada di atas air di tepi sungai. Penduduk yang bermukim di sepanjang aliran sungai memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat pula lanting atau batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai tempat untuk MCK serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung. Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan zaman. Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya berjalan secara mutualisme. Pengaruh kolonialisasi Belanda sejak tahun 1860 secara tidak langsung mengubah orientasi wajah kota melalui pembangunan jalan darat untuk keperluan pengawasan terhadap pergerakan masyarakat Banjar. Penggunaan jalan seolah berkompetisi dengan peran sungai sebagai jalur transportasi utama. Perlahan-lahan,
tumpuan aktivitas sungai tergantikan oleh dinamisme perkembangan jalan, penggunaan jukung mulai digantikan oleh mobil dan motor. Secara historis, jalan utama yang ada di Kota Banjarmasin berasal dari jalan lingkungan perumahan yang dulunya merupakan jalur air dan berawa sehingga meskipun saat ini telah mengalami perkerasan, namun jika dilewati beban yang cukup berat, jalan ini cepat rusak karena kondisi fisik tanahnya yang labil. Kondisi tanah yang berawa dan seringkali menimbulkan serangan nyamuk ini pulalah yang memunculkan gagasan dari dr. Murdjani sebagai Gubernur Kalimantan pada awal tahun 1950-an untuk memindahkan ibukota provinsi ke tempat yang dianggap lebih tinggi, yang sekarang dikenal sebagai Banjarbaru. Kota Banjarmasin sendiri mulai mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi menjadi „muka depan‟ aktivitas namun justru menjadi „muka belakang‟, permukiman menghadap ke jalan sebagai akses utama aktivitas. Perubahan orientasi tersebut secara tidak langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan „perlakuan‟ terhadap sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta aktivitas „belakang‟ lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat. Hal ini menyebabkan penurunan kondisi sungai-sungai di kota tersebut, mulai dari permasalahan penyempitan alur sungai, pendangkalan sungai, penggerusan tebing sungai oleh aliran air, hilangnya sungai (baik tertutup bangunan maupun digunakan sebagai lahan parkir), dan maupun terjadinya genangan permanen. Hal ini diperparah oleh kondisi topografis Kota Banjarmasin yang rawan tergenang oleh air hujan dan air pasang. Secara geografis, kota ini terletak pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Di sisi lain, pembangunan sektor jasa seperti pertokoan yang berjalan pesat di Kota Banjarmasin juga tidak diimbangi oleh penyediaan drainase yang memadai. Bantaran sungai cenderung berubah menjadi permukiman liar sehingga mengurangi badan air. Di sisi lain, terdapat pula ancaman lain. Penelitian yang dilakukan oleh Armi Susandi dkk dari Program Studi Meteorologi ITB memperlihatkan bahwa Kota Banjarmasin memiliki kerawanan terhadap kenaikan muka air laut yang cukup tinggi, yang dapat mencapai 0,48 meter pada tahun 2050.
Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur Foto-foto yang diambil pada tahun 2005 dan 2006 di atas memperlihatkan contoh-
contoh permukiman yang tidak teratur. Situasi ini sangat kontras dengan citra Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai. Sungguh sangat disayangkan, citra Kota Banjarmasin sebagai waterfront city pada jamannnya seolah hilang ditelan modernitas perkembangan perkotaan melalui dinamisme pembangunan jalan. Padahal keberadaan sungai di Banjarmasin dan seluruh aktivitas khas di sepanjang aliran sungai merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi Kota Banjarmasin yang mampu menjadi daya tarik wisata serta penanda citra kota. Lantas, apa yang dilakukan pemerintah? Menyadari urgensi permasalahan tersebut, pemerintah Kota Banjarmasin tidak tinggal diam. Degradasi lingkungan perkotaan yang terus meluas, ditambah lagi isu global mengenai perubahan iklim akan semakin memperparah kondisi kota Banjarmasin. Permukiman di sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk dalam memperlakukan sungai. Kualitas air semakin menurun, penumpukan sampah terjadi semakin banyak sehingga jukung semakin kesulitan melewati sungai. Dengan visi pemerintahan mewujudkan kota yang harmonis dengan alam, keberlanjutan lingkungan menjadi faktor kunci dalam perkembangan kota. Untuk mewujudkannya, langkah awal yang dilakukan, pada tahun 2009, pemerintah membentuk SKPD baru yaitu Dinas Sungai dan Drainase yang tugas pokok dan fungsinya mengarah pada perbaikan dan revitalisasi sungai untuk mampu mendukung kembali aktivitas perkotaan. Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kota. Dengan jumlah penduduk mencapai 627.245 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07% per tahun, kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat terutama di sektor perdagangan dan jasa. Pembangunan fasilitas perdagangan, seperti ruko yang menjadi salah satu pemandangan yang acap dijumpai di berbagai sudut kota, seringkali tidak mengindahkan struktur kota, khususnya jaringan drainase. Di sinilah SKPD baru tersebut berperan dalam memastikan bahwa drainase pendukung aktivitas perkotaan tersedia secara baik, di samping menormalisasi kembali fungsi sungai-sungai yang ada. Hal ini ditempuh melalui pemeliharaan rutin harian seperti pembersihan sungai maupun pemeliharaan drainase yang pada tahun 2010 mencakup 42 titik.
Satu catatan menarik dari apa yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, upaya perubahan citra kota yang dilakukan cukup inovatif. Selain secara normatif, pemerintah memasukkan konsep penataan kota yang berbasis sungai pada konsep struktur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini ditempuh antara lain melalui pemantapan fungsi jaringan Sungai Barito sebagai jalur pergerakan regional, pemantapan fungsi jaringan Sungai Martapura sebagai jalur pergerakan regional dan jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin, serta pemantapan fungsi jaringan Sungai Kuin, Sungai Alalak dan Sungai Kelayan, sebagai jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota juga meningkatkan kapasitas pelayanan dan efektivitas kebersihan kota melalui penambahan personil petugas kebersihan kota menjadi 300 orang serta upaya penghijauan dan pembangunan sarana persampahan yang lebih memadai, antara lain melalui pembangunan TPA Basiri. Lebih jauh lagi, Kota Banjarmasin juga melakukan upaya yang revolusioner dengan mengadakan sayembara internasional untuk penataan tepian Sungai Martapura di Kawasan Pusat Kota Banjarmasin dimana pemenang penataan kota dalam sayembara tersebut akan dijadikan acuan dalam penataan waterfront city Banjarmasin saat ini. Sayembara tersebut tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi semata, dibalik proses tersebut, terdapat sebuah pembelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat mengenai kepedulian terhadap perbaikan citra kota Banjarmasin terutama dalam upaya mengembalikan fungsi sungai di Banjarmasin sebagai bagian dari aktivitas masyarakat yang pernah ditinggalkan. Bahkan, terlihat dari besarnya animo pihak asing untuk mengikuti sayembara tersebut, maka diharapkan penataan Kota Banjarmasin akan semakin variatif dan adaptif terhadap perkembangan. Secara teknis, perencanaan tepian sungai tersebut dilakukan dengan memperhitungkan aspek hidrologis dan perilaku sungai. Bantaran sungai sendiri akan dikembangkan sebagai ruang terbuka publik dengan konsep riverwalk. Akses untuk masyarakat ke sungai sebagai milik umum juga akan dibuka seluas-luasnya. Hal menarik lainnya adalah kawasan perdagangan dan jasa eksisting yang seringkali menimbulkan konflik, akan ditata secara terintegrasi dengan konsep revitalisasi kawasan. Bangunan yang akan dibangun pun disesuaikan secara teknis, yaitu dengan konsep rumah panggung dengan material yang ringan. Upaya fisik yang telah dilakukan adalah pembangunan tanggul atau siring di sepanjang Sungai Martapura, yang saat ini telah mencapai panjang 1 km dari sekitar 5 km yang direncanakan. Berhasilkah rencana tersebut? Perlahan tapi pasti, mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana transformasi wajah kota Banjarmasin di sepanjang sungai. Upaya penanganan drainase wilayah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan sungai yang ada dan normalisasi sungai mati, dan revitalisasi bantaran sungai-sungai besar mulai menampakkan hasil. Hal ini tak terlepas dari dukungan masyarakat yang juga ingin melihat kotanya kembali bersih.
Foto 7. Penataan Sungai Miai Foto di sebelah kiri memperlihatkan situasi Sungai Miai sebagai salah satu contoh sungai kecil sebelum normalisasi, sedangkan foto sebelah kanan memperlihatkan situasi Sungai Miai saat ini. Normalisasi serupa dilakukan pula pada sungai-sungai yang lain, seperti Sungai Cemara, Sungai Beruntung, Sungai Belitung, Sungai Pandu, dan lain-lain. (Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)
Foto 8. Penataan Kawasan Tendean Kawasan Tendean merupakan bagian dari penataan tepi sungai di pusat kota. Gambar atas memperlihatkan desain situasi yang diharapkan. Sedangkan foto pada bagian bawah memperlihatkan situasi saat ini kawasan tersebut setelah pembangunan siring dan penataan kawasan. (Foto: Pemkot Banjarmasin) Namun meskipun begitu, beberapa hambatan masih dialami oleh pemerintah dalam upaya merealisasikannya. Pergeseran perlakuan sungai bagi masyarakat Banjarmasin ternyata justru sudah menjadi „budaya baru‟ dalam konteks kekinian. Memandang sungai
sebagai „bagian belakang‟ aktivitas masyarakat menjadi lebih familiar. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya timbunan sampah yang terbuang ke sungai, bahkan lamakelamaan sungai seakan dianggap sebagai TPA kota. Kultur tersebut menjadi salah satu hambatan signifikan dalam penataan kota. Keberhasilan penataan tersebut harus dibarengi dengan perubahan kembali pola pikir masyarakat terhadap keberadaan sungai sebagai bagian penting dalam pembentukan citra Kota Banjarmasin sehingga warisan citra waterfront bisa dikembalikan kembali. Selain itu, permasalahan lahan juga memiliki andil yang sangat besar dalam menghambat realisasi rencana tersebut. Sebagian lahan di sepanjang sungai yang akan diremajakan ternyata sudah dikuasai oleh „preman‟ penguasa lahan yang memiliki konsekuensi terhadap sulitnya proses pembebasan lahan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut diapresiasi. Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang bertempat tinggal di sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka bahkan rela untuk direlokasi. Di Banjarmasin yang kehidupan masyarakatnya sangat terikat dengan sungai, kesediaan ini adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, dengan dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat, Adipura yang didambakan nampaknya bukanlah hal yang mustahil. Pemindahan pusat pemerintahan provinsi Di sisi lain, Banjarmasin harus pula mempersiapkan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini, yang merupakan wacana lama, ketika Gubernur Kalimantan pada tahun 1951, dr. Murdjani, mengeluhkan aktivitas pemerintahan yang seringkali terganggu akibat genangan air dan gelombang pasang. Di sisi lain, kondisi Banjarmasin yang berawa-rawa juga menimbulkan ancaman berbagai penyakit. Murdjani kemudian menganggap bahwa perlu mencari lokasi ibukota Kalimantan Selatan yang baru. Banjarbaru dipilih karena terletak di perbukitan yang bertanah padat, berbeda dengan wilayah di sekitarnya yang cenderung berawa-rawa, sehingga dianggap layak sebagai lokasi sebuah ibukota baru. Sebuah tim kajian kelayakan yang dipimpin oleh D.A.W. Van der Peijl bekerjasama dengan Tim Planologi dari ITB merancang Banjarbaru sebagai sebuah kota baru (new town) dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Palangkaraya. Selanjutnya, kota baru ini mendapatkan status kota administratif selama 23 tahun, hingga pada tahun 1997 kota ini ditetapkan sebagai Kotamadya.
Foto 9. Rencana Pemanfaatan Lahan di sekitar kantor pemerintahan Provinsi Gambar di samping memperlihatkan rencana pemanfaatan ruang Kota Banjarbaru di sekitar perkantoran provinsi, yang terdiri atas perumahan dan fasilitas pendukung, perhotelan, sekolah, hutan kota, danau buatan dan alun-alun kota. (Sumber: Distako Banjarbaru, 2010)
Saat ini Banjarbaru telah berkembang menjadi suatu kota yang berkembang pesat dan mandiri, hingga telah sepenuhnya lepas dari Banjarmasin sebagai induknya. Kota baru ini pun telah siap menerima rencana pemindahan perkantoran provinsi, antara lain dengan mengakomodasi rencana pemindahan tersebut dalam Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan Kota Banjarbaru. Wilayah perencanaannya berada di sekeliling kawasan perkantoran Provinsi, agar kualitas ruangnya selaras dengan kualitas ruang kawasan perkantoran provinsi. Perencanaan ini juga diperlukan untuk menghindari praktik spekulasi lahan, yang merupakan praktik jamak yang mengiringi rencana pembangunan suatu pusat baru. Perencanaan ini meliputi pengaturan perumahan dengan gradasi kepadatan yang dikombinasikan dengan ruang terbuka hijau. Bagaimana dengan Banjarmasin sendiri setelah pemindahan ini? Banjarmasin tampaknya telah siap dengan isu ini. Pemindahan ini sekaligus membantu Banjarmasin mengurangi beban kota, yang selama ini tertumpu khususnya di Kecamatan Banjarmasin Barat yang mencapai 10.763 jiwa/km2. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Banjarmasin dan Banjarbaru akan berkembang di masa depan karena keduanya mewakili dua proses perkembangan kota yang berbeda: Banjarmasin tumbuh sebagai kota yang organis, sedangkan Banjarbaru tumbuh sebagai kota baru yang direncanakan. Namun keduanya sama-sama menyiratkan optimisme di masa depan.
ALUN-ALUN Oleh: Suwardjoko P Warpani SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota
Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Keraton, Kabupaten) selalu dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009). Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang dinamakan “Alun-alun”. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Ada perbedaan antara Alun-alun Keraton (Istana Raja) dengan Alun-alun Kabupaten (kediaman Bupati). Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang istana, sedangkan tempat tinggal resmi Adipati (Kadipaten) hanya memiliki satu alunalun yang terletak hanya di depan istana, seperti Mangkunegaran-Surakarta dan Pakualaman-Yogyakarta. Begitu juga tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten. Saat ini dalam pemerintahan, kabupaten menjadi sebuah daerah otonomi yang dikepalai oleh seorang Bupati, atau pemerintahan setingkat di bawah propinsi. Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alunalun bukan sekedar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: di samping sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi dan sejumlah alun-alun sudah berubah wajah, namun sebagai elemen kota berupa “ruang terbuka umum”, ruang publik, masih sangat diperlukan. Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul Sejak masa Kerajaan Majapahit alun-alun telah dikenal, namanya pun terabadikan dalam sebuah riwayat, yakni Alun-alun Bubat. Kota-kota kerajaan kuno (seperti Surakarta dan
Yogyakarta), mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi terletak di selatan Keraton. Permukaan Alun-alun Keraton tersebut tidak berumput tetapi berupa hamparan pasir halus (Kisdarjono, 2009), sedangkan Alun-alun Kabupaten
biasanya berumput. Bahkan halaman dalam Keraton berupa pasir halus yang konon diambil dari pantai selatan Pulau Jawa, seperti isyarat dalam mitologi Laut Kidul. Penggunaan hamparan pasir dilakukan atas dasar pertimbangan filosofis. Pada siang hari, pasir menghadirkan suasana panas namun di malam hari udara semilir sejuk. Hal ini diibaratkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dunia ini berpasang-pasangan. Siang-malam, bahagia-duka, panas-dingin, dan seterusnya (Brongtodiningrat, 1978). Selain itu, secara teknis dan praktis pun ternyata benar. Busana resmi keraton tanpa alas kaki (kecuali Raja), dan para sentana dan abdidalem duduk bersila (bila terpaksa di halaman). Pasir tidak akan mengotori telapak kaki meskipun basah, sehingga paseban pun tidak kotor. Tak hanya itu, duduk bersila di atas pasir pun tidak akan mengotori kain, bahkan air hujan pun cepat meresap ke perut bumi. Di depan bangunan keraton terdapat pintu masuk yang menuju Sitinggil (Pendopo Keraton), begitu pula di depan bangunan kabupaten terdapat pintu masuk menuju Pendopo. Pendopo juga dinamakan Paseban, yang berasal dari kata seba (Kisdarjono, 2009). Sementara itu, dari tutur Ki Dalang Wayang, dikenal Paseban Jawi (paseban luar) yang berfungsi sebagai tempat menunggu bagi para tamu yang hendak menghadap raja, untuk hal ini tidak terdapat pada kabupaten. Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara, dan sebelah Timur (dahulu) ada kebun binatang. Hal sedikit berbeda terdapat pada Alun-alun Kabupaten, pasalnya pada sisi sebelah Timur biasanya berdiri bangunan penjara. Konon letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah. Alun-alun di depan masjid biasanya dimanfaatkan untuk shalat Ied pada waktunya. Kemudian tak jauh dari masjid atau sebelahnya terdapat permukiman yang disebut Kauman, kampung para santri. Barangkali, karena faktor masjid inilah maka bangunan keraton di Jawa selalu menghadap Utara-Selatan, demikian pula pendopo kabupaten pada umumnya menghadap Utara atau Selatan, kecuali Pendopo Kabupaten Kediri yang menghadap ke Barat. Disisi lain, jalan masuk terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat (di Jawa) menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama Kyai Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan sebagian masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Sebagai lambang kebesaran, Ringin Kurung hanya ada di Keraton dan Kabupaten, sedangkan Kadipaten (meskipun memiliki pemerintahan seperti daerah otonom) tidak memilikinya. Di tempat itu, pada saat paseban rakyat yang ingin seba (menghadap raja), harus duduk menunggu berjemur di alun-alun (dalam Bahasa Jawa disebut pepe) sampai waktunya dipanggil jika raja berkenan menerimanya. Rakyat yang pepe adalah rakyat yang akan menyampaikan keluhannya atau ingin melaporkan sesuatu langsung kepada raja.
Sementara itu, Ringin Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau Bupati bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya. Ini hendaknya “dibaca” dari kanopi pohon beringin yang rindang memberi keteduhan bagi siapapun yang kepanasan terik matahari, sedangkan akar yang tertanam kuat seolaholah menyiratkan kuasa raja yang mengakar pada rakyatnya. Dari sini pula bisa diartikan lebih dalam makna keberadaan pohon beringin di alun-alun, sedangkan lapangnya (jembar : Jawa) alun-alun menyiratkan kesan seorang penguasa (Raja, Bupati) yang berpandangan luas (jembar nalare) sebagaimana konsep kepemimpinan Astabrata. Perihal Ringin Kurung, juga memiliki makna dalam model busana, gaya tari, dan gaya bahasa. Terdapat perbedaan antara Keraton Surakarta dengan Yogyakarta. serupa tapi tak sama. Menurut versi Surakarta, di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin, yakni: Kyai Jayadaru di sebelah Timur dan Kyai Dewadaru di sebelah Barat. Di samping itu masih terdapat empat pohon beringin jantan, seperti Kyai Jenggot tumbuh di Baratdaya, dan beringin betina Wok di Timurlaut, sementara itu beringin Gung terdapat di Tenggara dan beringin Bitur menempati sisi sebelah Baratlaut. Tak hanya itu, sejumlah beringin lain juga tumbuh rapat di Jalan Gladhag tak lebih sebagai pohon peneduh (Setiadi, dkk; 2001). Tetapi jika menengok versi Yogyakarta, bila kita dari Selatan masuk melalui Plengkung Gadhing (Nirbaya) ke komplek keraton, di pinggir Alun-alun Selatan, tumbuh dua pohon beringin bernama Wok yang berasal dari kata brewok, sedangkan dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun menggambarkan bagian tubuh yang rahasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata, namanya Supit Urang, lambang perempuan, sedangkan pagarnya terdapat ornamen buser yang melambangkan sifat pemuda-pemudi. Di sisi lain, sebelah Utara terdapat dua pohon beringin. Selain pohon beringin yang ditanam dengan landasan filosofi pemerintahan, halaman Keraton, Kadipaten, dan Kabupaten biasanya juga ditanami pohon yang mengandung filosofi hubungan antar sesama, yaitu pohon Sawo Kecik (sawo mini), yang konon mengandung pesan agar manusia hendaknya selalu nandur kabecikan (berbuat kebaikan) kepada sesama. Bahkan biji buah sawo kecik dijadikan bahan mainan anak-anak masa itu, anak-anak lelaki menggunakannya untuk diadu kekerasannya sesama teman (ditumpangkan satu di atas yang lain, lantas diinjak sambil dihentakkan dengan tumit), sedangkan anak-anak perempuan menggunakannya untuk main dakon (keterampilan berhitung dan memindahkan biji kecik dari satu cekungan ke cekungan lain pada semacam nampan kayu). Selain itu rindangnya pohon-pohon sawo kecik di halaman digunakan sebagai peneduh yang menebar kesejukan. Konon ini pun mengandung pesan bagi penguasa agar mampu memberi kesejukan kepada kawulanya. Pada masa lampau, alun-alun dapat dikatakan sebagai pusat kemasyarakatan (civic centre), di antaranya sebagai tempat upacara kegiatan kerajaan, rekreasi, hiburan, pasar malam, kegiatan ekonomi, dan sebagainya; bahkan keberadaan pasar menjadi satu kesatuan lokasi dengan alun-alun. Pasar Kabupaten pada masa lalu, selalu berdekatan dengan alun-alun (di seberang jalan). Uniknya, pusat kemasyarakatan ini (berlaku bagi
Keraton) justru terletak di belakang Keraton (Surakarta dan Yogyakarta), yakni di AlunAlun Lor (Utara), karena Keraton menghadap ke Selatan. Buktinya, Dalem Ageng Praba Suyasa sebagai pusat dari seluruh bangunan keraton, jelas menghadap ke arah selatan. Ada riwayat yang mengungkapkan: “Kyai Tumenggung Wiraguna dumugi alun-alun pengkeran lajeng nyengkal masjid ageng, beteng dalah sedaya griyanipun Kumpeni”. Artinya: Kyai Tumenggung Wiraguna, sampai di alun-alun belakang lalu mengukur masjid besar, benteng serta loji/rumah Kumpeni. Padahal keseluruhan bangunan itu tidak terletak di Alun-alun Kidul (Setiadi, dkk; 2001).
Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam benteng (tembok tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu. Ciri ini masih dapat ditemui di Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pada Alun-alun Kidul biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi tontonan masyarakat; dipertontonkan keahlian sodoran (pertandingan keterampilan berkuda dan memainkan tombak). Kira-kira analog dengan “gelar siaga” militer pada masa sekarang lengkap dengan pasukan kavaleri untuk unjuk kesiagaan (show of force).
Ringin Kurung dan Gapura Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920 (Dok. Ginong)
Sodoran atau rampogan diadakan di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan). Rampogan adalah laga prajurit beramai-ramai melawan seekor macan (harimau); macan dirampog (Jawa). Di alun-alun pula biasanya digelar berbagai upacara maupun keramaian, seperti upacara Gerebeg, Sekaten, apel prajurit, dan pasar malam. Seperti disebutkan olah Adrisijanti, peran alun-alun merambah aspek kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan ekonomi. Menariknya, Kisdarjono (2009) menengarai bahwa di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tetapi alun-alun tersebut tanpa pohon beringin. Masjid seringkali terdapat di sebelah Barat alun-alun. Alun-alun Kota Bandung tempo dulu pernah menjadi lapangan sepakbola sebelum pindah di lapangan Gasibu (di depan Gedong Sate) dan kemudian pindah ke Sidolig. Pada masa silam, di seberang Alun-alun Kabupaten Cilacap adalah tempat “perantaian”, yaitu hukuman kepada orang yang dirantai dan dijemur tak jauh dari penjara (di sebelah Timur alun-alun), juga pernah menjadi lapangan olah raga sejumlah sekolah, dan arena
kampanye pemilu 1955. Ini juga membuktikan bahwa kala itu alun-alun menyandang aneka guna. Alun-Alun Sekarang Kini alun-alun pada umumnya sudah kehilangan atau ditinggalkan masyarakat, apalagi makna filosofi yang terkandung didalamnya. Banyak alun-alun yang sudah tidak lagi menampilkan ciri khasnya kecuali letaknya di depan kantor Bupati. Tidak ada lagi Ringin Kurung atau Ringin Kembar yang tumbuh di kanan kiri akses jalan masuk kantor Bupati. Dua contoh ekstrim, adalah Alun-alun Kota Blitar dan Alun-alun Kota Bandung. Dua batang pohon beringin sebagai elemen Alun-alun Kota Blitar dikorbankan demi pelebaran jalan karena tuntutan perkembangan lalu lintas. Elemen pohon di dalam kawasan alun-alun diubah, tidak hanya pohon beringin, tetapi ditambah dengan pohon yang dianggap lebih modern, yakni palem. Pohon baru ini ditanam dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan kesan yang lebih menonjol daripada beringinnya (Gunawan, Myra P; 2009). Tidak tahu apa pertimbangannya, maka sejumlah pohon beringin di Alun-alun Kota Blitar diganti dengan pohon palem. Tatanan wajah alun-alun pun sudah berbeda dibandingkan dengan alun-alun tradisional.
Bagian dalam Alun-alun Kota Blitar (2009) Jalan masuk di antara jajaran pohon palem; pohon beringin di dalam “kurungan”. [Dok. PWK - SAPPK ITB]
Ringin Kurung yang menjadi ciri suatu alun-alun, nampak kehilangan makna. Pohon beringin tidak lagi di kanan-kiri akses masuk Kabupaten, bahkan pagarnya “sangat” tinggi, terkesan seperti kurungan (sangkar). Zaman dulu, meskipun pohon beringin dipagari, masyarakat dengan bebas dapat masuk. Bedanya, pohon beringin tempo dulu dikeramatkan, sedangkan kini hanya dianggap sebagai tanaman biasa. Citra Alun-alun Kota Blitar seluas ± 20.000 m2 yang dibangun pada tahun 1875 juga sudah hilang, hanya meninggalkan sebutan Alun-alun saja. Sudah tidak lagi menjadi satu kesatuan jiwa tak terpisahkan dengan fungsi Kabupaten karena rancangannya memang tidak berlandaskan filosofi alun-alun, tetapi sudah murni menjadi salah satu elemen ruang terbuka kota, tempat aktivitas masyarakat. Keadaan serupa juga dialami oleh Alun-alun Kota Bandung. Karena kehilangan makna filosofi pohon beringin sudah enggan tumbuh dan memang tidak lagi ditanam karena hamparannya sudah dilapisi perkerasan dan berubah fungsi. Alun-alun Kota Bandung
bahkan sudah bukan lagi alun-alun, hilangnya Alun-alun Kota Bandung sudah dirasakan sejak 1984 (Warpani, Suwardjoko; 1984). Alun-alun Kota Bandung sudah bermetamorfosa menjadi elemen ruang terbuka kota, menjadi halaman Masjid Agung yang juga berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung. Tidak ada lagi ciri-ciri sebuah alun-alun. Citra lapangan pun telah lenyap, padahal alunalun ini pernah menjadi lapangan sepak bola. Di bawah alun-alun dijadikan ruang bawah tanah bagi PKL dan fasilitas umum, namun kurang diminati. PKL tetap bertebaran di sekitar alun-alun bahkan tak jarang masuk meramaikan isi halaman Mesjid Raya ini. Kasus Alun-alun Kota Bandung dan Blitar menunjukkan bahwa nasib alun-alun itu berada di tangan pemangku kepentingan, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pemerintah Kota. Karena melupakan filosofi keberadaan sebidang alun-alun serta tergoda oleh suatu kepentingan, maka yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan lahan. Pameo yang beredar perihal Alun-alun Kota Bandung adalah: ‘Ganti Walikota, diubah wajah alunalun’, seolah-olah di alun-alunlah potret karya bakti seorang walikota. Ada satu lagi: Alun-alun Kota Semarang hilang akibat korban dari kepentingan ekonomi. Alun-alun Kota Bandung tahun 1999 Bukan lagi alun-alun melainkan plasa.
Oleh karena itu, mau atau tidak mau, pemangku otoritas harus memiliki pemahaman yang komprehensif. Keberpihakan kepada kepentingan yang mana harus jelas dan konsisten. Ujungnya, nasib objek peninggalan budaya itu berada dalam keputusannya. Untuk mengantisipasi proses tarik menarik kepentingan itu, mau tidak mau, pemangku otoritas harus mempelajari juga medan kekuatan kepentingan yang akan terlibat dalam tarik-menarik itu (Kisdarjono, 2010), tetapi apakah harus melupakan filosofi keberadaan suatu elemen kota ? Ruang Terbuka Umum Ruang terbuka umum sesungguhnya bukan entitas spesifik, melainkan sebuah kategori yang berisi banyak varian. Terbuka bisa berarti berada dalam ruang terbuka, bukan dalam gedung tertutup, tetapi bisa juga diartikan sebagai terbuka bagi pengunjung umum, dalam arti siapa saja bisa masuk. Sebuah pusat perbelanjaan, misalnya, terbuka untuk pengunjung umum, walaupun ia berbentuk gedung tertutup. Sebaliknya, lapangan golf
berada di udara terbuka, tetapi tidak semua orang bisa masuk, terbatas pada anggota atau tamu yang harus membayar (Kisdarjono, 2009).
Monumen Mayor Bismo di Alun-alun Kediri luas ± 1,5 Ha; umur ± 150 tahun Tak bisa lagi disebut “Alun-alun” Fungsi saat ini: RTH, PKL, upacara; sebagian bekas standplat bis OJC sekarang menjadi pertokoan. [Dok. PWK - SAPPK ITB]
Bagian dalam Alun-alun Madiun Jalan berbelok dan tak ada Ringin Kurung [Dok. PWK - SAPPK ITB]
Sebelah timur Alun-alun Madiun; bukan pohon peneduh, melainkan atap parabola [Dok. PWK - SAPPK ITB]
Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham berhak melakukan apa saja. Banyak alun-alun yang tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alunalun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya dengan masyarakat dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan jaman. Alun-alun, sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi sebagian anggota masyarakat adalah tempat
mencari nafkah. PKL sudah ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai pedagang keliling sedangkan sekarang lebih banyak membangun jongko. Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun-alun sebagai ruang terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar, rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana pendidikan. Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa “berceritera” tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang
terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.
MRT: Angkutan perkotaan masa depan? Oleh: Delik Hudalah1) dan Yudistira Pratama2) 1)
Staf pengajar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB 2) Peneliti pada Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, ITB
Apakah itu MRT? MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail. Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan biasa dan kendaraan lain karena biasanya merupakan shuttle bus yang memiliki rute perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur khusus, sehingga sering disebut buslane/busway. Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway Bogota, kota yang berhasil mengembangkan sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk busway ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia merupakan salah satu contoh sukses penerapan sistem busway. MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat perbedaan karena subway terletak di bawah tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di Eropa Barat, subway merupakan salah satu moda angkutan yang sangat populer dan seringkali London, kota pertama yang dikenal dengan istilah metro system. Kota mengembangkan subway London merupakan kota pertama yang menerapkan sistem subway sebagai moda angkutan massal berkecepatan tinggi pada tahun 1863.
Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi jalur operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir semua kota menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT di dunia. Dalam operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya menyatu dengan jalur lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional tersendiri yang dikenal dengan istilah light rail. Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil ruang kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang ditopang dengan tiang-tiang yang sekaligus berfungsi untuk membentuk lintasan monorail. Berbeda dengan MRT lainnya, monorail biasanya hanya terdiri atas satu rute dengan sistem lintasan loop dengan beberapa stasiun pemberhentian yang menghubungkan dengan MRT lainnya maupun langsung ke lokasi kegiatan tertentu. Penggunaan monorail sudah banyak dikembangkan di kota-kota metropolitan di dunia antara lain Moskow, Tokyo, dan Sydney.
Di mana MRT sukses diterapkan? Konsep MRT sudah banyak diterapkan di kota-kota besar di negara maju maupun negaranegara berkembang. Biasanya, MRT merupakan bagian dari implementasi sistem transportasi umum terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu menghubungkan orang dan barang dari satu titik ke titik lain secara efisien dan memiliki kemudahan dalam melakukan perpindahan dari satu moda ke moda lain (modal shift) tanpa mengurangi waktu tempuh perjalanan. Pengembangan yang terpadu akan menjadikan MRT tidak hanya berfungsi sebagai sarana angkutan yang efisien, tetapi juga instrumen yang handal untuk mengarahkan perkembangan kota besar. Salah satu negara tetangga terdekat yang sukses dalam mengembangkan MRT sebagai sistem terpadu ini adalah Singapura. MRT di Singapura sudah dapat dikatakan sebagai “urat nadi” pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investasi. MRT yang dikembangkan di Singapura terdiri busway dan monorail. Terdapat empat jalur monorail MRT di Singapura dan semuanya saling terhubung antara satu dengan yang lainnya sehingga penumpang dapat mengakses seluruh bagian negara Singapura dengan mudah. Selain itu, sistem ini juga terhubung dengan sistem busway sehingga memudahkan penumpang untuk mengakses lokasi yang tidak terhubung oleh sistem monorail.
Singapura, negara yang berhasil mengembangkan monorail
Monorail di Singapura memiliki 87 stasiun dengan panjang lintasan keseluruhan sepanjang 129,7 km. Kemudahan lain dari MRT ini ialah adanya sistem fares and ticketing yang mudah dan murah. Sistem pembayaran tiket dilakukan dengan mempergunakan kartu prabayar yang sudah terisi sejumlah uang maupun uang logam.
Keunggulan sistem ini ialah penumpang hanya perlu satu kali membayar pada saat masuk sehingga memberikan kemudahan untuk pindah lintasan, pindah moda, maupun keluar menuju tujuan akhir. Sistem ini dikoordinasikan secara terintegrasi oleh suatu perusahaan yang khusus menagani masalah fare and ticketing MRT di Singapura. Contoh sukses lainnya adalah pengembangan Busway TransMillenio di Kota Bogota Columbia. Pengembangan tahap pertama dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan 2002 yang meliputi 470 bus dalam jalur sepanjang 41 km. Pengembangan TransMillenio tahap dua dilakukan pada tahun 2002 sampai dengan 2006 dengan penambahan untuk lahan ruang terbuka dan pedestrian, serta pengembangan sistem pengelolaan. Unsur utamanya pengembangan armada berkapasitas tinggi, pembangunan jalur busway, dan stasiun pemberhentian. Hingga saat ini, kapasitas pelayanan TransMillenio Busway merupakan yang terbesar di dunia karena mampu melayani kebutuhan perangkutan penumpang sekitar 35-40 ribu penumpang per jam. Untuk mempermudah proses ticketing, pihak pengelola memberlakukan sistem smart card dimana pengguna hanya perlu mengisi kartu dengan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan layanan busway. Jalur busway dibuat dua lajur, sehingga memungkinkan bus lain untuk menyalip jika bus yang ada di depannya sedang berhenti.
Suatu keniscayaan Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan perangkutan memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian kotakota besar di Indonesia. Permintaan akan perangkutan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan permintaan akan barang dan jasa. Permintaan layanan perangkutan juga akan semakin meningkat seiring dengan semakin Kemacetan telah menjadi keseharian di besarnya jumlah penduduk. Karena ruang kota besar seperti Jakarta yang terbatas, kota-kota besar seperti Jakarta tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pergerakan penduduk hanya melalui penambahan jalan dan angkutan umum berkapasitas kecil. Akibatnya terjadi penurunan tingkat pelayanan jalan pada ruas-ruas tertentu di mana pergerakan kendaraan menjadi tersendat (fenomena bottleneck). Kondisi tersebut semakin parah dengan munculnya emisi kendaraan yang dapat menimbulkan gangguan kondisi kesehatan dan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, lamanya waktu yang dihabiskan di jalan dapat menimbulkan dampak psikologis berupa penurunan ketidakstabilan emosi dan dampak ekonomis berupa penurunan tingkat produktivitas kerja. Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan perangkutan di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.
Kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), dan busway yang sudah dikembangkan di kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai sarana transportasi massal. Namun, di berbagai kota, ketiganya belum dapat sepenuhnya dikategorikan sebagai MRT karena belum memenuhi kriteria sebagai sarana transportasi yang benar-benar cepat dan handal dalam segala situasi. Berangkat dari permasalahan lingkaran setan kemacetan di Ibukota Negara, busway misalnya telah menjadi pilihan angkutan umum massal dan telah direalisasikan dalam waktu yang relatif cepat sehingga mampu mengalahkan sistem angkutan berbasis rel (KRL) yang sudah ada di Jakarta. Perlu dicatat bahwa hadirnya busway ini tidaklah dimaksudkan untuk menghilangkan penggunaan kendaraan pribadi tetapi sebagai suatu usaha untuk menyeimbangkan antara supply dan demand transportasi. Busway diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan jalan yang sudah ada dengan cara mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tidak seimbangnya antara kecepatan penambahan jalan dengan kecepatan pertumbuhan penggunaan kendaraan. Pada proyek sebelumnya, DKI Jakarta berencana membuat monorel tetapi proyek tersebut belum terealisasi hingga sekarang karena terkendala penyediaan dana. Pengembangan MRT di beberapa kota terbesar di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat dikatakan cukup telat dan kurang antisipatif karena dilakukan setelah situasi terdesak akibat semakin parahnya tingkat kemacetan. Padahal, kinerja penataan ruang kota besar dapat dilihat diantaranya dari berhasil tidaknya penerapan MRT di kota tersebut. Memang lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Namun, sebagai konsekuensinya, kita harus siap menanggung biaya sosial yang sangat mahal. Beberapa ide pengembangan MRT seperti busway di luar Jakarta dapat dikatakan cukup antisipatif dengan belajar dari keterlambatan yang pernah dialami Jakarta. Namun, ini masih merupakan inisiasi dari atas, belum asli berasal dari prioritas pemerintah lokal. Padahal yang akan merasakan langsung manfaat MRT adalah pemerintah dan masyarakat lokal, bukan pemerintah pusat. Rencana pembangunan subway melalui PT MRT Jakarta dapat menjadi terobosan mutakhir dalam pengembangan sistem angkutan massal, khususnya perkeretaapian, di Indonesia. Dengan menawarkan kenyamanan, kecepatan dan kapasitas angkut yang yang lebih besar, MRT berbentuk subway dapat menjadi moda transportasi yang sangat dinanti untuk keberlanjutan sistem transportasi di Indonesia di masa depan. MRT ini direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016. Proyek MRT Jakarta yang akan dibangun membentang dari Lebak Bulus di Jakarta Selatan dan Dukuh Atas di Jakarta Pusat sepanjang 14,5 km. Empat kilometer diantaranya (4 stasiun) dibangun di bawah tanah dan 10,5 km dibangun melayang di atas jalan (8 stasiun). Proyek ini adalah tahap 1 dari rencana 3 tahap pembangunan MRT di Jakarta. Tahap 2 adalah dari Dukuh Atas ke Kota; dan tahap 3 adalah jalur Timur-Barat. Untuk pembangunan Tahap 2 dan tahap 3 saat ini sedang dalam pembuatan feasibility study.
Rencana Pembangunan MRT di DKI Jakarta
Benturan gaya hidup Serba Salah NafaskuTerasaSesak BerimpitanBerdesakkan Bergantungan MemangSusah JadiOrangYangTakPunya Kemanapun Naik Bis Kota Penggalan lirik di atas berasal dari salah satu lagu Achmad Albar yang cukup populer di tahun delapan puluhan. Penggalan tersebut sebenarnya merefleksikan pandangan umum masyarakat kita terhadap angkutan umum massal. Di Indonesia, kendaraan umum, apalagi yang sifatnya massal, seringkali diidentikkan dengan kendaraan untuk orang miskin. Jika tidak ditanggulangi, cara pandang yang keliru seperti ini dapat menjadi momok bagi pengembangan MRT sebagai angkutan publik masa depan. Masyarakat Indonesia pada umumnya masihberpandangan bahwa menggunakan kendaraan pribadi merupakan simbol yang dapat secara efektif menunjukkan kekayaan, status sosial, dan martabat seseorang. Cara pandang ini tidak terlepas dari berkembangnya perilaku Menerobos lintasan kereta api merupakan perilaku yang membahayakan keselamatan
konsumerisme dan individualisme yang telah lama menggantikan norma kesederhanaan, tenggang rasa, dan kesetiakawananan sosial yang dulu dikenal sebagai Adat Timur. Globalisasi yang ditunjukkan dengan derasnya impor gaya hidup liberal dari negaranegara maju telah mengisi norma baru dalam masyarakat. Misalnya melalui film-film dan produk-produk yang mengedepankan konsumerisme dan gengsi. Gemerlap kehidupan artis papan atas Hollywood yang tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan pinggiran telah menjadi acuan puncak kualitas hidup yang mengedepankan sisi materi. Kegiatan melaju dengan menempuh jarak yang jauh dan sangat tergantung dengan penggunaan kendaraan pribadi telah menjadi gaya hidup tersendiri. Di Indonesia, angkutan umum khususnya massal tidak hanya belum digemari masyarakat, bahkan masih dianggap sebagai salah satu biang persoalan perkotaan. Jika ada kecelakaan di pintu rel, seringkali yang disalahkan adalah perusahaan kereta api karena dianggap tidak mampu menjamin keamanan pengendara mobil atau, yang lebih parah lagi kereta api itu sendiri sudah dicap Menggunakan jalur busway merupakan sebagai angkutan yang membahayakan perbuatan yang melanggar tata tertib lalu lintas keselamatan masyarakat. Baru-baru ini, pola pikir yang terbalik seperti ini juga diterapkan dalam menyikapi beberapa kecelakaan akibat menyebrang jalan pada lintasan busway di Jakarta. Atau persoalan keseharian, jika kita mengendarai kendaraan pribadi melewati kemacetan, maka kita cenderung lebih menyalahkan bus atau angkutan kota sebagai sumber utama kemacetan karena pemngemudinya sering menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.
Tram melewati kawasan Glodok, Jakarta pada tahun 40an
Mungkin pola pikir seperti ini pulalah yang secara berangsur telah menyebabkan punahnya tram yang dulu pada zaman pendudukan Belanda cukup diandalkan sebagai sarana angkutan massal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Semarang. Kondisi ini sungguh ironi karena di negara-negara asalnya pemerintah justru rela menggelontorkan subsidi dalam jumlah yang besar untuk
menjamin kelangsungan hidup tram ini. Pengembangan MRT yang harmonis dan berkelanjutan haruslah berangkat dari gerakan budaya. Kesadaran untuk beralih ke MRT sebaiknya tidak sekedar karena keterpaksaan tetapi menjadi gaya hidup baru sehingga penerapannya akan menjadi mudah. Sebelum MRT berkembang, warga Eropa Barat dan Cina terkenal sebagai pecinta sepeda, sebagai cerminan moda transportasi yang sederhana dan ramah lingkungan. Dengan modal
budaya seperti ini, tidaklah terlalu sulit bagi pemerintah untuk memperkenalkan MRT, sebagai moda transportasi masa depan, kepada masyarakatnya.
Rekomendasi: Membudayakan MRT Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap MRT? Pertama, penerapan MRT yang sukses sebagai gerakan budaya memerlukan kepemimpinan yang kuat. Ini tidak serta merta dapat dimaknai dengan pemimpin yang otoriter. Pemimpin yang diperlukan adalah yang dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakatnya. Pemerintah misalnya dapat melakukan gerakan pejabat naik kendaraan umum. Para pejabat juga seyogyanya memberikan contoh dengan tinggal pada jarak dan lokasi permukiman yang masih memungkinkan untuk dapat diakses dengan kendaraan umum. Upaya-upaya terobosan yang cukup kreatif yang dapat secara tidak langsung menunjang pengembangan MRT pun perlu terus dikembangkan. Misalnya, program car free day di ruas-ruas jalan tertentu seyogyanya jangan hanya dipandang sebagai program populis atau sekedar memindahkan simpul kemacetan. Sebaliknya, program seperti ini, terlepas dari berbagai keterbatasannya, perlu diapresiasi dan didukung karena secara bertahap dalam jangka panjang dapat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan gaya hidup yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan. Kedua, penerapan MRT yang berkelanjutan memerlukan koordinasi antar sektor dan antar tingkat pemerintahan. Peningkatan penggunaan kendaraan umum oleh masyarakat luas akan lebih realistis jika diiringi dengan mekanisme disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi dan insentif bagi pengguna kendaraan umum. Pemerintah perlu secara konsisten mengelola dampak industri kendaraan melalui misalnya penerapan pajak yang tinggi dan subsidi BBM yang lebih selektif. Sebagai kompensasinya, pemerintah dapat mengalihkan dana yang ada untuk pengembangan infrastruktur massal dan penunjangnya. Pembangunan rel kereta api misalnya menjadi prioritas sehingga tidak terlalu tergantung dengan jalan tol. Ketiga, seringkali kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas pelayanan MRT, tetapi fasilitas penunjangnya. Untuk itu, dalam kerangka pengembangan MRT yang terpadu, pemerintah harus mulai memikirkan misalnya sarana angkutan feeder (antara) yang handal yang dapat menghubungkan rute MRT dengan pusat-pusat permukiman. Pemerintah juga perlu memperbaiki jalur-jalur pejalan kaki yang menghubungkan haltehalte dengan pusat-pusat kegiatan. Dalam jangka panjang, pengembangan pusat-pusat permukiman maupun pusat-pusat kegiatan baru di suatu kota perlu terintegrasi dengan master plan MRT. MRT sebagai sarana angkutan skala perkotaan juga perlu lebih terintegrasi dengan sistem transportasi skala wilayah maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengembangkan simpul-simpul penghubung antar-moda seperti pengembangan halte MRT yang dipadukan dengan pengembangan lokasi terminal bus, stasiun kereta api, atau bahkan bandar udara dan pelabuhan. Lebih jauh lagi, sistem pembayaran sebaiknya
memanfaatkan teknologi otomatis seperti kartu prabayar atau chip dan sebaiknya dapat terintegrasi dengan moda angkutan umum lain sehingga lebih efisien bagi pengguna. Keempat, pengembangan MRT yang tangguh harus bertahap dan memperhatikan dampak sosial selama proses transisi. Pengembangan MRT sebaiknya dimulai dengan yang sederhana seperti busway. Lalu, seiring dengan bertambah rumitnya sistem pergerakan di suatu kota, program berikutnya dapat melibatkan moda yang lebih rumit pula seperti monorail, tram, atau subway. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan MRT berkonsekuensi pada pengurangan lapangan kerja sektor transportasi kota karena operasinya relatif lebih padat modal. Pemerintah harus memikirkan proses adaptasi dan pengalihan sebagian tenaga kerja dan pengusaha sektor transportasi secara bertahap melalui peningkatan kapasitas, bantuan permodalan, ataupun penyediaan lapangan kerja baru.
Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Oleh: Catrini Pratihari Kubontubuh Direktur Eksekutif BPPI dan Executive Committee for International of National Trusts Organisation – Asian Region serta bekerja di Bank Dunia - Jakarta sebagai tim Social Safeguard
Ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang telah berkembang menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan (Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang)
I.
Pendahuluan Tantangan dalam melakukan penataan ruang sebuah Kota Pusaka saat ini adalah bagaimana merumuskan langkah strategi penataan ruang kota dalam sinergi kegiatan pelestarian yang tepat. Tidak hanya melibatkan kebijakan/keputusan dan berbagai bentuk advokasi maupun mitigasi terkini, namun penting mempertimbangkan kota dalam peradabannya di masa lampau.
Salah satunya adalah dengan mempelajari tipologi perkembangan sebuah kota, yang tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali kearifan lokal yang bisa diterapkan di masa kini. Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud dan berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta saujana (Adishakti, 2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka, tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain kota bersejarah, kota warisan, ataupun kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia di Surakarta bulan Oktober 2008 yang berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI/Indonesian Heritage Cities Network).
Terminologi “Kota Pusaka” dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama pengembangan kotanya. JKPI hingga kini telah beranggotakan 33 kota pusaka, termasuk DI Yogyakarta. Inisiatif pembentukan jaringan ini merupakan sebuah upaya strategis untuk membantu penataan ruang kota berbasis pelestarian dalam berbagai kota yang sarat dengan kekentalan tradisi dan keragaman pusaka yang dimilikinya. II. Pemahaman Sejarah Perkembangan Kota Pemahaman sejarah memiliki kandungan akan “sesuatu yang tetap” yang perlu dipertahankan, bukan berarti tidak bisa menerima perubahan, walau memang ada yang tidak boleh diubah sama sekali. Pembangunan masa depan secara berkelanjutan hendaknya mampu menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan dinamika zaman secara terseleksi. Termasuk menjadi alat dan modal untuk pengembangan budaya dan ekonomi. Apresiasi dan rasa yang dimiliki insan di bumi terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan utama mencapai tujuan tersebut. Sehingga perkembangan kota merupakan manifestasi dari upaya manusia mengembangkan peradaban yang dimilikinya di masa lalu. Studi sejarah kota di Indonesia meliputi pengenalan konsepsi, struktur dan bentuk kota sebelum zaman kolonial yang didominasi oleh sistem kerajaan. Kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan kota yang berperan penting dalam menentukan perkembangan sejarah Jawa. Pusat kerajaan di masa lampau merupakan tempat pemusatan hampir seluruh aspek kehidupan kota baik tata ruang, arsitektur dan aktivitas masyarakatnya. Dalam hal ini pusat kerajaan berarti sebuah wilayah kota yang melingkupi keraton serta kompleksnya yang berada di dalam tembok benteng yang mengelilinginya (Santoso, 2008). Dimensi ruang kota sudah terbentuk di masa tersebut dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun dengan bagian sebelah utara adalah lapangan bubat, sebelah timur adalah tempat persembahyangan, sebelah selatan adalah keraton, dan sebelah barat adalah kompleks pemukiman. Salah satu instrumen yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan teritorial, ruang dan bangunan berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya.
III.
Pengembangan Kota di Masa Lampau dan Masa Kini
Salah satu bentuk penanganan pengelolaan Kota Pusaka adalah dengan pelaksanaan revitalisasi kawasan-kawasan pusaka yang berada di kota-kota tersebut. Revitalisasi kawasan pusaka adalah upaya mengembalikan dan meningkatan vitalitas kawasan yang memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Walau seringkali revitalisasi masih diartikan dengan tidak tepat sebagai memperindah fisik kawasan semata, tanpa memikirkan pemanfaatan baik dari segi sosial, budaya dan ekonomi. Langkah awal untuk menunjang upaya revitalisasi adalah registrasi dan dokumentasi semua pusaka yang dimiliki sebuah kota baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka maupun pusaka rakyat. Berbagai sektor perlu diajak bersama-sama memahami, mengamati, mengkaji berbagai aset pusaka di daerahnya, serta mendalami potensi dan hambatan yang dihadapinya. Selain itu, berbagai sektor dalam pemerintah kota perlu diajak menggarap kawasan pusaka di daerahnya, meninjaunya dari berbagai aspek, dan mencoba menyepakati kebijakan dan program yang optimal serta langkah apa yang perlu diambil. Dalam hal ini dibutuhkan kreativitas dan pemahaman realistik dalam mengembangkan program dan pencapaiannya. Termasuk perencanaan mengenai peraturan/panduan serta sarana yang diperlukan misalnya, pengembangan organisasi, penyediaan SDM, perlengkapan operasional, anggaran, promosi dan sebagainya. Pemerintah kota juga perlu mengembangkan kerjasama antar kota/kabupaten, dalam sinkronisasi kebijakan dan pengembangan program bersama terutama diantara para anggota JKPI. Dalam kenyataan, mengelola suatu lingkungan pusaka, apapun bentuknya – saujana, kota, desa, kawasan, area – akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan kreasi pengelolanya terhadap pusaka-pusaka yang dimiliki wilayahnya (Adishakti, 2008). Bila ditelaah, persoalan kepekaan menjadi dasar penting dalam prinsip tersebut. Ketika melakukan inventarisasi berbagai pusaka yang ada diperlukan kepekaan dalam menelaah dan menetapkan apa saja yang masuk dalam klasifikasi pusaka. Demikian pula dalam proses yang sistematik untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu aset pelestarian, termasuk dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Kemudian juga dengan prinsip bahwa pelestarian pusaka itu unik. Untuk dapat memahami keunikan ini kepekaan adalah kuncinya. Selera dan kreasi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkah ketika menindak lanjuti hasil identifikasi dan melaksanakan proses sistimatik pelestarian beserta perencanaan selanjutnya. Memadukan antara pelestarian pusaka dan pembangunan ekonomi sebenarnya adalah pilihan dari pengelola kota dan daerah. Bila memiliki selera memadukannya dan mampu berkreasi, prinsip universal tujuan pelestarian terpadu dapat diikuti. Demikian pula dalam kewenangan penentu kebijakan dalam menata keuangan dan peraturan yang menunjukkan keberpihakan pada pelestarian pusaka yang komprehensif. Arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan pusaka. Dalam hal ini aspek legal yaitu UU No. 5 tahun 1992 dan revisinya belum
secara optimal dapat mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur pusaka. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan. Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang telah menyertakan Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka. DI Yogyakarta sangat rentan terhadap bencana alam. Sudah saatnya perencanaan tata ruang dan bangunan kota pusaka mengantisipasi pula persoalan resiko bencana untuk pusaka. . IV.
Pengembangan Yogyakarta sebagai Kota Pusaka
Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan lingkungan pusaka masih merupakan hal yang relatif baru. Konsentrasi yang sudah dijalankan lebih pada persoalan pusaka tunggal atau beberapa pusaka dengan perwujudan yang sama. Di Indonesia, indikator kota pusaka apakah dikelola dengan benar, dapat dicermati dari sistem pengelolaan dan aspek legal yang melindunginya. Sistem pengelolaan ini dapat ditunjukkan dengan: -
Apakah daftar pusaka kota yang telah ditetapkan oleh kota itu sendiri telah dimiliki? Adakah dinas khusus pemerintah kota yang menangani pusaka kota baik fisik maupun non fisik? Adakah kebijakan untuk investasi pusaka, karena pada dasarnya banyak komponen kota pusaka yang membutuhkan investasi bagi pengembangannya yang tepat?
Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, sebenarnya pengelola kota memiliki kewenangan untuk mengembangkan aset pusakanya secara mandiri. Hal ini juga menjadi indikator yang kuat akan ada dan tidaknya kepedulian kota terhadap pusakanya. Termasuk selera dan tingkat kreasi pengelola kota tercermin dengan langkah-langkah pengelolaannya. Beberapa penanganan pelestarian kawasan menunjukkan bahwa kepekaan dan kreativitas terhadap pusaka tunggal tidaklah cukup. Perlu dikembangkan kerjasama dalam menangani keragaman pusaka dalam kawasan secara komprehensif. Pendekatan holistik dalam pelestarian kawasan ini sangat diperlukan, bahkan di dalam menghadapi kegiatan pemulihan kawasan akibat bencana sekalipun. Bencana yang merupakan ancaman dapat menjadi sebuah peluang. Namun peluang tersebut memerlukan kreativitas. Dan, kreasi ini perlu kolaborasi. Contoh pemulihan Kawasan Pusaka Kotagede pasca gempa 2006 yang sedang dilakukan dan hasilnya masih belum dapat dilihat. Menangani bangunan tradisional saja di kawasan yang memiliki keragaman pusaka tidak akan memberikan dampak yang berarti. Ekonomi lokal yang tergantung pada pengembangan pusaka budaya non-tangible seperti makanan, kerajinan perlu dihidupkan bersamaan dengan wadah fisiknya. Kenyataan
menunjukkan kawasan pusaka di Daerah Istimewa Yogyakarta dan umumnya di Indonesia masih belum menjadi bagian dari pembangunan daerah. Menurut Adishakti, ada beberapa indikator yang mendukung kesimpulan ini. Pertama, belum ada aspek legal yang tepat untuk melindunginya. Revisi Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yaitu UU no. 12 tahun 2010 diharapkan mulai mengakomodasi persoalan kawasan. Di sisi lain pengelolaan pelestarian kawasan pusaka bukanlah bertujuan untuk mengawetkan/preservasi kawasan tersebut. Kawasan pusaka perlu dapat terus tumbuh dan berkembang mengikuti zaman, namun tetap harus memperhatikan proteksi dan kesinambungan pusaka-pusaka di dalam teritori kawasan. Perlu kita cermati. Perda Propinsi DIY No. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya. Tepatkah penggunaan terminologi Kawasan Cagar Budaya? Kedua, tentang aspek kelembagaan yang perlu mengakomodasi berbagai persoalan pelestarian pusaka maupun umum secara komprehensif dan sistematik dalam mengelolanya. Suatu kawasan perlu pengelolaan dari banyak sektor. Sementara pusaka di dalam kawasan yang kemudian membentuk kawasan pusaka juga terdiri banyak aset mulai dari pusaka alam, pusaka budaya tangible dan intangible, serta pusaka saujana. Sudahkah kelembagaan di DIY mencerminkan hal tersebut? Ketiga, pengelolaan pelestarian kawasan pusaka mensyaratkan adanya regristasi dan dokumentasi semua pusaka yang dimilikinya baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka maupun pusaka rakyat. Registrasi ini harus terus diperbaharui dan menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan daerah maupun informasi terbuka kepada publik luas dan masyarakat. Sudahkah registriasi yang selalu diperbaharui dilakukan? Dimanakah di DIY lembaga yang secara terpadu melakukan hal ini? Keempat, sudahkah ruang lingkup perencanaan kawasan menyertakan keseluruhan pusaka kawasan yang dimiliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan baik dalam penataan ruang maupun bangunan, termasuk Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka.? Kenyataan menunjukkan pula bahwa pelestarian pusaka tidak terakomodasi dalam UU RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Gempa Jogja tahun 2006 dan pemulihan Kawasan Pusaka Kotagede justru telah membangunkan banyak pihak akan terpinggirkannya persoalan pusaka dalam pembangunan daerah. Kelima, arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan pusaka. Kembali di sini aspek legal untuk mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur pusaka dipertanyakan. UU No. 12 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sangat diharapkan dapat digunakan untuk melingkupi bangunan pusaka yang dalam upaya pelestariannya perlu seleksi mana yang harus diawetkan mana yang bisa dibongkar atau ditambah baru. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan. Keenam, pelestarian pusaka pada dasarnya adalah pengelolaan perubahan. Kesuksesan pengelolaan perubahan selain didasari peraturan juga ditentukan oleh sumber daya manusia pengelolanya. Seberapa banyak eksekutif dan legislatif memiliki kompetensi di bidang pelestarian pusaka yang holistik dan komprehensif?
“MENDAMBAKAN KOTA LAYAK ANAK” KOTA DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANG BERMAIN ANAK Oleh: DR. Seto Mulyadi Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, di dalamnya terdapat anakanak yang menyimpan banyak potensi. Mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan yang diharapkan bisa membawa bangsa Indonesia menuju pada kemajuan. Karena di antara jutaan anak-anak Indonesia, ada calon-calon pemimpin yang akan mengelola negeri ini. Namun sampai saat ini penghargaan dan pemenuhan kebutuhan untuk anakanak di Indonesia sendiri masih harus terus ditingkatkan. Pemerintah kini telah menjamin hak-hak dan kewajiban anak-anak Indonesia melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. Dalam undangundang itu, terdapat pasal yang berbunyi, setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Selain itu, di pasal lainnya disebutkan bahwa anak-anak Indonesia berhak memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Pemerintah terus berusaha untuk mengakomodir kebutuhan anak-anak Indonesia sesuai yang diamanatkan Undang-undang Perlindungan Anak Indonesia itu. Untuk mewujudkan tuntutan pasal yang telah disebutkan tersebut, maka perlu diciptakan sarana dan kawasan yang memang diciptakan untuk kawasan bermain anak. Perlu diakui hampir di setiap kota di Indonesia masih sangat minim sekali ketersediaan ruang publik, khususnya taman bermain. Yang dimaksud dengan taman bermain anak adalah, anak masih sangat kekurangan ruang bermain anak. Taman-taman bermain dengan udara yang lepas kini harus berbagi tempat dengan mall dan real estat. Lebih kepada kepentingan komersial dengan akses terbatas, hanya untuk kalangan ekonomi menengah ke atas Fenomena seperti ini mengundang keprihatinan Ketua Komisi Nasional Anak, Seto Mulyadi yang lebih dikenal dengan nama Kak Seto. Menurut Kak Seto, kawasan bermain yang sudah ada dan berkembang saat ini, seperti di mall dan taman- taman bermain, bukanlah sebuah konsep yang ideal bagi sebuah kawasan ruang bermain anak. Kawasan itu, selain komersial, menurut Kak Seto juga sangat diskriminatif, karena hanya kalangan yang berekonomi kecukupan yang bisa mengakses kawasan bermain anak semacam itu. ” Cenderung lebih mengutamakan unsur bisnis dan kurang sekali menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak untuk bermain,” tekannya. Kepentingan bisnis itu, dalam pandangan Kak Seto tampak pada rancang bangun Mall yang hanya memenuhi kebutuhan untuk belanja. Padahal semua anak membutuhkan udara udara segar dan tempat lapang, sehingga anak-anak bisa berlari-lari dan berkejarkejaran. ”Itu sangat bagus bagi pertumbuhan fisiknya dan baik pula untuk perkembangan jiwanya. Bebas lepas dan lebih kreatif!” tegas Kak Seto. Dalam pandangan pemerhati dan pencinta anak ini, konsep taman bermain anak yang bergabung dengan kawasan pertokoan seperti di atas belum bisa dikatakan sebagai taman bermain yang ideal. Tempat bermain itu, menurut pandangan ideal Kak Seto, sebaiknya berupa tempat lapang dengan udara segar, yang bersifat alamiah. Jika terpaksa berada di dalam ruangan, maka harus diusahakan ada keseimbangan dengan kegiatan di luar ruangan. ”Anak Indonesia termasuk kurang beraktivitas di luar ruangan,” ungkap Kak Seto. Tempat bermain di alam, dengan ayunan atau panjatan dari kayu akan memberi kegembiraan dan tantangan kepada anak-anak. Fasilitas-fasilitas seperti itu bisa merangsang kecerdasan anak, tidak hanya kecerdasan kognitif dan kecerdasan sosial, tetapi juga kecerdasan fisik/ keterampilan kinestetik. Hal-hal ini, menurut Kak Seto sangat penting. Dia menyebut contoh, Taman Ria Pak Ooq di Lapangan golf Senayan yang pernah ada pada tahun 1970-an. Tugas Pemerintah Kota Pemerintah Kota (Pemkot), menurut Kak Seto berkepentingan untuk mewujudkan kawasan atau tempat bermain anak. Kepentingan ini dilandasi oleh keinginan untuk mewujudkan generasi unggul. Oleh karena itu Pemkot harus memenuhi kebutuhan untuk bermain anak-anak.
Kak Seto menguraikan, pada saat anak –anak bermain adalah proses belajar, kemudian pada proses belajar ada proses mengasah potensi-potensi kecerdasan. Itulah pentingnya menyediakan fasilitas bermain untuk anak-anak. Di sisi lain, menyediakan fasilitas bermain anak juga merupakan amanat Undang – undang Perlindungan Anak. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, juga mencanangkan program Kota Layak Anak. Program ini, demikian Kak Seto, mensyaratkan adanya ruang-ruang publik yang bisa dipakai untuk anak-anak bermain layang-layang seperti dulu. ”Sekarang, anak-anak terpaksa bermain layang-layang di atas genteng atau di pinggir rel kereta api,” tegasnya. Konkritnya, harap Kak Seto, suatu wilayah harus menyediakan minimal 5 persen dari wilayahnya untuk ruang publik anak-anak. ”Sekarang ini satu persen juga tidak ada,” tuturnya. Menurut pengamatan Kak Seto, di Indonesia belum ada kawasan bermain anak yang ideal. Kenyataan ini, harap Kak Seto, bisa memacu semangat para pimpinan daerah untuk tidak mendeskriminasi anak – anak, sehingga mengabaikan kepentingan tempat bermain anak. Untuk itu Pemda/Pemkot harus menyediakan anggaran untuk anak dan memberikan political will. Sebab, bangsa yang besar tidak hanya bisa menghargai jasa para pahlawan, tapi juga bisa menghargai anak-anaknya. ”Masa lalu adalah penting, tapi yang lebih penting lagi adalah masa depan. Yakni, dengan memberikan perhatian yang serius pada anak-anaknya,” demikian Kak Seto.
Mengatasi Backlog Perumahan Bagi Masyarakat Perkotaan Oleh: Muh. Dimyati *) Peminat Masalah Tata Ruang dan Perkotaan, bekerja di Kemenpera
1. Pendahuluan Melihat judul tulisan ini, maka ada tiga kata kunci yang akan dibahas. Kata kunci pertama adalah Backlog. Memasuki tahun 2008, penduduk Indonesia telah berjumlah sekitar 225 juta jiwa. Dimana dari angka tersebut tercatat 57 juta sebagai kepala keluarga. Apabila satu keluarga memiliki rumah sendiri, maka diperlukan 57 juta unit rumah, namun kenyataannya hanya tercatat 51 juta unit rumah, sehingga masih terdapat kekurangan (backlog) 6 juta unit rumah. Sementara itu, pertumbuhan penduduk Indonesia tercatat rata-rata 1,7% setiap tahun, maka dapat dikatakan setiap tahun terdapat kelahiran bayi hingga 3,8 juta jiwa. Jika setiap rumah diasumsikan dihuni oleh satu keluarga yang terdiri dari 4 orang (Ibu, Bapak, dan dua anak), maka diperlukan sebanyak 950.000 unit rumah baru. Artinya setiap tahun (paling tidak tahun 2008) diperlukan sejumlah 950.000 unit rumah baru. Kalau angka tersebut ditambah dengan backlog di atas, berarti pada tahun 2008 terdapat kekurangan 6,95 juta unit rumah. Saat ini rata-rata pembangunan rumah hanya sekitar 350.000 unit per tahun. Karena itulah maka setiap tahunnya mengalami kekurangan 600.000 unit rumah. (P. Simanungkalit, 2008). Ternyata perhitungan itu sejalan dengan angka backlog dari Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) yang mengacu asumsi ‘menghuni rumah’, yaitu sebesar 7,4 juta unit untuk tahun 2009. Untuk memenuhi kekurangan rumah itu diperlukan waktu sangat lama apabila tidak dilakukan upaya-upaya sistematis. Melalui berbagai pertimbangan, maka dalam waktu lima tahun kedepan Kemenpera merencanakan untuk menangani sekitar 25% backlog di atas, yaitu sekitar 1.842.994 unit. Apabila diasumsikan (asumsi rendah) rata-rata tambahan rumah tangga baru dalam lima tahun ke depan sekitar 710.000 per tahun, maka yang akan ditangani dalam lima tahun ke depan (2010-2014) sekitar 5.392.994 unit. Melihat pengalaman lima tahun lalu, dimana potensi swadaya lebih tinggi dari yang difasilitasi pemerintah, maka asumsi program Kemenpera untuk melakukan fasilitasi melalui Pemerintah sebesar 2.070.000 unit dan yang dikelola oleh swadaya masyarakat sekitar 3.322.994 unit, cukup beralasan (Bahan Sosialisasi Dekonsentrasi Kemenpera, 2010). Kemudian kata kunci kedua adalah Perumahan. Perumahan merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (UU No. 4 Tahun 1992). Dari pengertian tersebut jelas sarana dan prasarana lingkungan hanyalah pelengkap kelompok
rumah. Namun pendapat lain mengatakan sarana dan prasarana lingkungan bukanlah pelengkap, tetapi bagian satu bagian kelompok rumah agar dapat disebut perumahan. Sehingga pengertian perumahan menjadi kelompok rumah dengan sarana dan prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian. Menurut penulis, pengertian kedua mempunyai makna adanya kewajiban membangun sarana dan prasarana lingkungan sebelum dibangun kelompok rumah. Sedangkan pengertian pertama tidaklah demikian. Tulisan ini masih mengacu pengertian yang disebutkan dalam Undang-Undang No 4 tahun 1992 tersebut, karena dokumen itu masih dipergunakan dalam sistem penyelenggaraan perumahan, kecuali hasil revisi yang sedang dalam proses di DPR nantinya diputuskan lain. Jadi pengertian backlog perumahan lebih dimaknakan kekurangan rumah, tidak wajib ada prasarana dan sarana lingkungan tetapi dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan. Terminologi ‘yang dilengkapi’ dan ‘dengan atau menjadi bagian’ akan mempunyai konsekuensi turunan yang sangat berbeda dalam pelaksanaannya, tidak hanya terkait cost tetapi banyak masalah lainnya. Sehingga apabila saat ini banyak keluh kesah melalui berbgai media tentang tidak optimalnya prasarana dan sarana lingkungan di permukiman dan kurang mendapat respons, sangat bisa dimaklumi. Pasalnya hulu dari amanat perintah di dalam undang-undangnya demikian adanya. Tentu penulis yakin sejatinya bukan hal tersebut alasannya, tetapi karena memang adanya prioritas penanganan oleh pemerintah karena terbatasnya penganggaran, atau pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan yang dimaksud bukan menjadi tanggungjawab pemerintah. Kata kunci ketiga adalah Masyarakat Perkotaan. Masyarakat perkotaan atau urban community diartikan sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Mereka adalah yang sifat dan ciri kehidupannya lebih individualistis, pembagian kerja antar warganya lebih tegas dan nyata, interaksi antar warganya lebih berdasarkan faktor pribadi atau kepentingan, dan interaksi sosial antar warganya kurang. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang 26/2007). Badan Pusat Statistik memberi makna suatu wilayah disebut kawasan perkotaan apabila kepadatan penduduknya 500 orang/km2 atau lebih, kurang dari 25% penduduknya hidup dari pertanian, dan sekurang-kurangnya mempunyai delapan Gambar 1. fasilitas pelayanan umum, seperti: pasar, Sebaran Penduduk Indonesia sekolah, pusat kesehatan, dan (Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010) perkantoran.
2. Kondisi Penyediaan Perumahan Saat ini di Perkotaan Sebagai mukiman pasar (Max Weber, 1958) atau sebagai penyebar norma konsumsi global (Potter, 1990), atau sebagai pusat pengembangan dan penyebaran budaya, kota merupakan tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih (Dwight Sanderson). Merujuk pada faktor kepadatan dan jumlah penduduk, perkembangan persentase penduduk dunia dari tahun 1950, tahun 2000 sampai 2030 menunjukkan kecenderungan yang sangat luar biasa, yaitu bahwa persentase penduduk kota berkembang dari 29,7% (Tahun 1950) menjadi 47,4% (Tahun 2000) dan menjadi 61,1% (perkiraan Tahun 2030). Sebaran penduduk Indonesia di perkotaan pun mengikuti pola yang tak jauh berbeda dengan sebaran penduduk dunia, sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Gambar 1 (Purnawan, 2010). Tren Kebutuhan Rumah di Indonesia Mencermati hal tersebut, penulis (Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010) berpendapat tidak ada pilihan lain selain untuk mengharuskan pemerintah lebih concern dalam mengurus masyarakat perkotaan, tanpa harus meninggalkan masyarakat perdesaan, karena masalahnya saling berkaitan erat. Salah satu urusan yang amat penting harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah mengurus perumahan di perkotaan, tanpa meninggalkan urusan perumahan di perdesaan (Gambar 2). Trend kebutuhan perumahan perkotaan terlihat lebih besar dibandingkan kebutuhan perumahan perdesaan mulai tahun 2010. Selain itu jumlah rumah tidak layak huni tercatat 12,88 juta rumah tangga (2007) dan luas kawasan permukiman kumuh (Gambar 3) meningkat mencapai sekitar 57.800 ha (2009). Dalam lima tahun ke depan, Kemenpera menargetkan sasaran pembangunan rusunawa 36.480 unit (380 twin blok), pembangunan rumah khusus 5.000 unit, fasilitasi pembangunan rumah swadaya pembangunan baru 50.000 unit dan peningkatan kualitas 50.000 unit, penataan lingkungan permukiman kumuh 655 Ha, fasilitasi PSU kawasan untuk mendukung 700.000 unit rumah, dan penyaluran bantuan subsidi perumahan 1.350.000 unit. (Renstra Kemenpera Tahun 2010-2014). Seperti dapat diduga bahwa pencapaian sasaran tersebut tidak semulus dalam rencana, tetapi sangat tergantung dinamika perekonomian nasional serta kesiapan pemerintah dan pelaku lainnya. Sebagai contoh rencana penanganan 380 twin blok rumah susun yang mendapat pengesahan untuk mendapatkan alokasi anggaran dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2011 sebanyak 100 twin blok. Rencana pembangunan swadaya yang
100.000 unit mendapat alokasi 25.000 unit, dan fasilitasi PSU kawasan yang 700.000 unit mendapat alokasi 117.010 unit (Perpres 29/2010). Realisasi atas rencana kerja pemerintah tersebut masih harus diuji sampai akhir tahun 2011. Angka-angka tersebut memberikan gambaran bahwa guna mewujudkan rencana yang sudah ditetapkan dalam Renstra memerlukan kesungguhan, kejujuran, kerja cerdas dan istiqomah seluruh pemangku kepentingan, utamanya pemerintah dalam memperjuangkan keberlanjutan dan kesinambungan program pada tahun-tahun mendatang. Pencapaian lima tahun lalu (2004-2009) dapat menjadi lesson learned yang baik dalam upaya peningkatan penimbunan backlog perumahan dan pengentasan lingkungan permukiman kumuh. Melalui pasang surut yang ada, lima tahun lalu (Realisasi per 30 September 2009) Kementerian Perumahan Rakyat telah mampu mencapai sasaran 1.145.113 unit (90,5%) rumah baru layak huni atas target sasaran yang 1.265.000 unit, rusunawa 31.510 unit (52,5%) atas target sasaran 60.000 unit, dan perumahan swadaya 3.139.523 unit (87,2%) atas target sasaran 3.600.000 unit, serta penataan kawasan seluas 7.369 Ha (68,8%) atas target sasaran 10.700 Ha (Memori Akhir Jabatan Menpera 20042009). Memang lingkungan strategis lima tahun lalu akan sangat berbeda dengan lima tahun ke depan, tetapi keprihatinan para pemangku kepentingan yang menjadi hambatan dan kendala serta semangatnya yang menjadi pendorong dan motivator pencapaian sasaran perlu dipelajari untuk menyusun strategi yang lebih baik. Knowledge tersebut perlu dikelola dan didokumentasikan dengan cermat, agar dapat dijadikan rujukan tertulis, bukan sekedar menjadi personal knowledge yang disimpan dalam ingatan dan kenangan pelakunya sendiri sehingga bermanfaat besar bagi upaya menimbun backlog yang semakin besar tersebut. 3. Bagaimana Peran Pemangku Kepentingan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 menyatakan bahwa perumahan merupakan urusan wajib pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah daerah Kabupaten/Kota menjadi ujung tombak dalam melaksanakan kewajiban menjamin perwujudan akan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan pemerintah Kabupaten/Kota masih banyak yang terbatas. Hal tersebut tampak antara lain dalam potret kemampuan fiskal daerah yang rata-rata masih tergolong sedang, yaitu dari 25% (Tahun 2007) menjadi 23,2% (Tahun 2008) dan yang tergolong rendah, yaitu dari 46,9% (tahun 2007) menjadi 47,6% (Tahun 2008) dari seluruh jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Untuk itu dalam menjalankan amanat UUD 1945 pasal 28H ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, seluruh pemangku kepentingan baik Pemerintah (Pusat dan Daerah), Para Pengembang/Swasta dan Masyarakat maupun Badan Nirlaba perlu bersatu padu dalam karsa dan karya.
Dalam bersinergi, ketiga pilar utama pembangunan perumahan tersebut dapat berupaya mewujudkan keberpihakannya kepada masyarakat menengah ke bawah melalui penerapan konsep kerjasama kemitraan (Gambar 4). Dari gambaran tersebut jelas bahwa dalam membangun perumahan untuk masyarakat yang dilakukan bukan secara swadaya, Pemerintah Daerah bertugas memastikan ketersediaan lahan, Pemerintah Pusat memfasilitasi terwujudnya prasarana dan sarana yang terkoneksi dengan sistem perkotaan, dan Pengembang bertugas membangun rumah beserta parasarana dan sarana lingkungannya.
Gambar 4. Skema Pemikiran Public Private Partnership Bidang Pengembangan Perumahan Berbasis Kawasan
Sementara Perbankan menjadi institusi yang mem- back up manajemen penyaluran dananya. Hasil kerjasama ketiga pilar tersebut akan membentuk suatu aset daerah dan aset penduduk yang akan berkontribusi melalui perpajakan. Pajak tersebutlah yang akan menjadi sumber dana pembangunan yang diandalkan. Circle tersebut akan mendorong terwujudnya cadangan lahan (land banking) yang mencukupi dan dapat dikelola oleh pemerintah daerah. Lahan tersebut pada saatnya akan dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah.
4. Apakah Rumah Susun Mampu Menjawab Persoalan Yang Ada Telah diketahui bersama bahwa perkotaan semakin padat, sementara ketersediaan lahan untuk perumahan semakin terbatas. Dengan demikian perumahan di perkotaan akan sangat sulit dibangun, kecuali dengan pembangunan secara vertikal. Seperti dijelaskan dalam pencapaian lima tahun lalu, pembangunan rumah susun sederhana (rusunawa dan rusunami dengan peran swasta) dicapai 40,1% atau 34.143 unit atas target sasaran 85.000 unit (Realisasi akhir September 2009). Membangun rumah susun di Indonesia, utamanya bagi masyarakat menengah ke bawah memang menghadapi multi kendala. Tidak hanya kendala teknis pembangunan yang relatif lebih dapat dikalkulasi secara matematis, tetapi juga kendala sosial, ekonomi, dan budaya calon penghuninya yang terkadang tidak mudah dikalkulasi dan memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mensosialisasikannya. Menghuni rumah susun, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah, memerlukan perjuangan ”melawan kultur” yang perlu waktu untuk menyesuaikannya.
Untuk itu, pembangunan rumah susun selain memang harus matang dalam perencanaan bangunannya, harus pula disiapkan secara baik aspek kepenghuniannya. Beberapa kasus tidak dihuninya rumah susun sederhana secara optimal menjadi pembelajaran tersendiri bagi pemerintah dan kita semua. Memang beberapa ungkapan tersebut bukan alasan untuk menghindar dari tanggungjawab, tetapi lebih kepada awarness yang perlu disikapi dalam membangun rumah susun bagi masyarakat menengah ke bawah. Sebagai bangsa yang besar, kita harus yakin bahwa untuk jangka panjang, hunian vertikal dapat menjadi solusi pilihan yang mendapat dukungan publik secara luas. Dari uraian singkat tersebut jelas bahwa hunian vertikal bukan satu-satunya alternatif yang dapat menjawab masalah perumahan di perkotaan. Selain hunian vertikal, upaya menghadirkan angkutan massal yang menghubungkan kawasan padat penduduk di pinggiran kota, yang kebanyakan masih landed house, ke tempat mereka bekerja, untuk sementara waktu menjadi alternatif yang masih elok untuk dipertimbangkan. 5. Bagaimana Strategi Agar Perumahan Yang Dibangun Dapat Tepat Sasaran Kalau tepat sasaran diberi makna rumah yang dibangun dihuni oleh yang berhak dan mampu menghuni, maka perlu didata sebenarnya seberapa besar segmen pasar riil kebutuhan rumah, baik yang menengah ke bawah maupun yang menengah ke atas. Namun mencari data seperti itu tidaklah mudah, karena sistem pendataan oleh BPS belum benar-benar match dengan yang diperlukan oleh Kemenpera. Mencari data berapa orang yang berhak dan berapa orang yang mampu menghuni (memiliki) sementara ini masih dilakukan dengan berbagai pendekatan atau bahkan estimasi. Itu pun validitasnya masih perlu diuji. Misalnya jumlah warga masyarakat yang berhak menghuni rumah masih didekati dengan menghitung pertumbuhan penduduk dan rata-rata hunian setiap rumahnya. Dari pendekatan yang dilakukan atau diestimasi tersebut misalnya ketemu angka misalnya 7,4 juta kepala keluarga yang kemudian dimaknakan sebagai 7,4 juta rumah (Estimasi untuk Tahun 2009). Jumlah yang mampu memiliki didekati dengan berbagai pendekatan atau estimasi daya beli, misalnya melalui variabel gaji pegawai, dan tentu ketemu angka yang lebih kecil jumlahnya. Tanpa mengetahui data tersebut rasanya tidak mudah untuk membangun rumah yang tepat sasaran, baik tepat dalam jumlah maupun tepat penghuninya. Belum lagi adanya sikap dan kebiasaan sebagian warga masyarakat yang senang ”menyiasati” peraturan, bukan mentaati peraturan. Misalnya persyaratan untuk mendapatkan bantuan perumahan harus mempunyai bukti penghasilan kurang dari 2,5 juta rupiah per bulan. Persyaratan tersebut bukannya ditaati tetapi justru dicari siasat bagaimana agar bisa mendapatkan dukungan ”aspal” tetapi legal untuk memenuhi syarat tersebut sehingga bisa memiliki rumah dengan cara subsidi, walau sebenarnya mereka itu tergolong warga masyarakat yang tidak patut untuk disubsidi. Ini sudah masalah moral kebangsaan. Banyak lagi contoh penyiasatan dalam berbagai bentuk. Praktek-praktek tersebut semakin menjadikan perencanaan pembangunan rumah agar tepat sasaran semakin jauh dari harapan.
Untuk itu pengawasan secara tegas dan penerapan sanksi yang adil, seperti misalnya pembuktian terbalik bagi penghuni rumah bersubsidi atau pencabutan hak bagi yang ternyata di kemudian hari terbukti menyiasati persyaratan yang ditentukan. Apabila penegakan hukum dilakukan dengan tegas, jujur dan adil di bidang perumahan akan dimungkinkan moral hazard seperti tersebut di atas akan berkurang dan bahkan menghilang. Upaya terapi kejut (shock terapi) seperti itu perlu dilakukan, disamping juga pembenahan berbagai peraturan yang masih lemah dan multi tafsir. Di dalam keterbatasan yang ada, tentu perlu dirumuskan strategi pembangunan perumahan yang jitu, termasuk mempertimbangkan ketepatan sasaran penghunian. Strategi dimaksud antara lain dapat berupa: penyusunan kebijakan (NSPK) yang mendorong kondusifitas pembangunan perumahan bagi seluruh pemangku kepentingan, meningkatkan koordinasi dan kerjasama kemitraan dengan seluruh pemangku kepentingan, mendorong perwujudan kelembagaan tingkat daerah dalam menangani perumahan, memanfaatkan sumberdaya perumahan dan iptek serta kearifan lokal bidang perumahan, serta terus mengupayakan perbaikan dan dukungan sistem pembiayaan perumahan, dan juga pendataan dan penegakan hukum di bidang perumahan. Strategi saja belum cukup, tentu harus diikuti berbagai program aksi untuk mewujudkannya. Dalam beberapa hal Kemenpera terlihat terus berbenah. Beberapa kebijakan yang menonjol akhir-akhir ini adalah peluncuran Skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang prinsipnya memberi dorongan keringanan dalam kepemilikan rumah dengan kepastian bunga rendah dengan masa tenor yang lebih panjang. Selain itu peluncuran program Dana Alokasi Khusus dalam bidang perumahan yang akan dimulai pada tahun 2011 serta pelaksanaan program Dekonsentrasi yang dimulai tahun 2010 juga ikut mewarnai upaya reformasi program perumahan ke depan. 6. Penutup Mengatasi kekurangan perumahan bagi masyarakat perkotaan bukanlah kerja sesaat, melainkan satu pekerjaan besar yang harus sistematis dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan. Langkah-langkah untuk mendorong terwujudnya berbagai milestone yang memberikan multiplier effect terhadap penambahan terbangunnya unit rumah perlu terus digali dan dilaksanakan secara sinergis. Karena hanya dengan cara tersebut, kerja keras dan kerja cerdas yang selama ini dilakukan akan membawa hasil.
STRATEGI PENGEMBANGAN DAN MANAJEMEN KAWASAN CEPAT TUMBUH Oleh: Bambang Tata Samiadji* Konsultan Keuangan Publik. Sekarang bekerja di Kementerian Keuangan untuk kegiatan Local Government Finance and Governance Reform – ADB/Kemenkeu Sudah menjadi fenomena umum bahwa pertumbuhan kawasan tidak ada yang sama atau merata. Pertumbuhan kawasan selalu menunjukkan adanya corak di mana lokasi-lokasi tertentu tumbuh cepat, tumbuh secara pelan, tumbuh sangat lambat atau stagnan, dan malah ada yang cenderung merosot atau “deterioration”. Walaupun corak pertumbuhan kawasan-kawasan itu berbeda-beda, namun saling berkaitan dan bermitra secara keruangan (spatial interaction). Untuk ini patut diduga bahwa masing-masing kawasan saling menarik (pull) dan mendorong (push) satu sama lain. Pada gilirannya, kawasan yang memiliki keunggulan akan menjadi kawasan yang lebih cepat tumbuh dibanding kawasan-kawasan mitranya. Di sinilah perlunya strategi untuk tetap menjaga posisioning pertumbuhan kawasankawasan yang cepat tumbuh agar tetap tumbuh dalam hubungan ruang yang komplementer dengan kawasan-kawasan lainnya. Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) selalu berbasis ekonomi dan kota merupakan simpul basis ekonomi atau kutub (bagian penting) bagi KCT. Sejauh ini belum ada KCT tanpa atribut kota di dalamnya. Dengan demikian kota menjadi tumpuan bagi berlangsungnya KCT. Namun demikian tidak semua kota menjadi simpul pertumbuhan kawasan, dan kiranya hanya beberapa simpul atau kota-kota tertentu yang mampu me-“leverage” pertumbuhan KCT. Pada umumnya kota demikian itu mempunyai 2 keunggulan, yaitu “Comparative Advantages” atau keunggulan alamiah - utamanya keunggulan lokasi (yang strategis); dan “Competitive Advantages” atau keunggulan buatan yang diciptakan. Terbukti sejauh ini bahwa Kawasan Metropolitan sebagai KCT mempunyai keunggulan lokasi dan keunggulan kelengkapan prasarana yang mendorong semakin cepatnya tumbuh suatu kawasan. Potensi Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) mudah dikenali dengan indikator pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih tinggi bahkan di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional. Kalau pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional sekitar 5-7% pertahun, maka KCT diperkirakan bisa tumbuh lebih dari 7% pertahun, atau bisa sekitar 9% pertahun bersama dengan pertumbuhan ekonomi kota-kotanya bisa sampai 11% pertahun1 . Kawasan-kawasan ini umumnya membentuk struktur Metropolitan yang kita kenal selama ini seperti : Metropolitan Jakarta, Metropolitan Bandung, Metropolitan Surabaya, Metropolitan Medan, dan Metropolitan Makasar serta beberapa metropolitan lainnya. Umumnya KCTKCT tersebut berada di Jawa yang memang sudah sejak lama sudah tumbuh cepat. Namun belakangan juga telah muncul KCT-KCT baru di Luar Jawa seperti KCT Batam, 1
Hasil penelitian yang dilakukan Penulis dalam Paper yang berjudul “ Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis”, URDI, 2002.
KCT Samarinda-Balikpapan, dan KCT Banjarmasin. Ada kemungkinan kawasankawasan lain di Luar Jawa pada masa mendatang menjadi KCT-KCT baru yang kompetitif. Perkembangan ini akan tergantung pada pengungkitan (Leveraging) “Comparative Advantages” dan “Competitive Advantages” dari kota-kota bersangkutan. Sebagai basis dan simpul kegiatan ekonomi, KCT dengan kota-kota utamanya mempunyai peran penting bagi perekonomian negara antara lain 2. Antara lain sekitar 14 KCT metropolitan, atau hanya sekitar 3% dari seluruh kota-kota di Indonesia telah mampu menyumbang sekitar 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Selain itu, KCT Metropolitan juga mempunyai peranan penting sebagai sumber penerimaan fiskal nasional (APBN). Seperti diketahui bahwa 80% dari APBN berasal dari pajak dan sekitar 70% berasal pajak badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya bersumber di perkotaan. Diperkirakan 50% dari APBN disumbang oleh ke-14 KCT-KCT Metropolitan. Berdasarkan kenyataan di atas, KCT merupakan kunci atau andalan keekonomian nasional dan oleh karenanya KCT-KCT harus terus ditumbuhkan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Ekonomi nasional yang kuat akan menjamin kestabilan politik dan memberi kesempatan bagi tumbuhnya sektor lain yang pada gilirannya pula mampu mengangkat kesejahteraan sosial bersama. Hal ini sesuai dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan bersinambungan sehingga pendapatan perkapita nasional setara dengan Negara-negara maju lainnya (Lampiran UU No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Namun tak dapat disangkal bahwa kemumpunian pertumbuhan KCT yang mampu mengangkat perekonomian nasional itu tak bebas dari rundung permasalahan. Diantaranya tingginya pertumbuhan penduduk terutama akibat migrasi (urbanisasi) seiring dengan pertumbuhan ekonomi kota. Bertambahnya penduduk sebenarnya mampu mendorong percepatan pertumbuhan lebih melesat bila kualitas sumber daya manusia itu mumpuni, tetapi sebaliknya akan memburuk dan menuju kritis bila sebagian besar kualitas penduduk non-trampil dan parasitis. Bertumbuhnya jumlah penduduk yang nontrampil dan parasitis ini memungkinkan potensi kota sebagai basis pertumbuhan ekonomi akan tergerus dan muncul persoalan-persoalan seperti kemiskinan kota, kesemrawutan mobilitas penduduk, rendahnya pelayanan kepada masyarakat, dan kerusakan lingkungan sebagai akibat daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tak ditingkatkan. Persoalan lain akibat semakin bertumbuhnya KCT adalah ketimpangan antar daerah di mana di satu pihak KCT semakin melaju, tetapi kawasan-kawasan lain semakin tertinggal. Ketimpangan yang semakin melebar akan menciptakan mobilitas penduduk ke KCT-KCT. Akibat lebih jauh pertumbuhan KCT menjadi sosok kawasan obesitas dan invaliditas yang pada gilirannya bisa menganggu pertumbuhan ekonomi nasonal itu sendiri. Persoalan baru yang secara tak langsung sebagai akibat dari butir 1 dan 2 tersebut bahwa KCT seringkali mendorong semakin membesarnya emisi karbon di kota-kota KCT yang ada. Dampaknya akan menganggu lingkungan melalui perubahan cuaca yang ekstrem di KCT sendiri maupun kawasan-kawasan lainnya. 2
Baca “Ekonomi Perkotaan” dari Bunga Rampai METROPOLITAN DI INDONESIA : KENYATAAN DAN TANTANGAN DALAM PENATAAN RUANG, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2006
Berdasarkan kajian potensi KCT tersebut telah memberi sinyal bahwa KCT bagaikan pisau bermata dua, yaitu selain sisi berjasa sebagai pendorong ekonomi nasional maupun sumbangan yang besar terhadap kemampuan fiskal Negara dan daerah, tetapi sekaligus juga sisi yang semakin meningkatnya pesoalan-persoalan kritis yang bisa meluas. Strategi Pengembangan Sesuai dengan tujuan nasional jangka panjang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan bersinambung, maka strategi pengembangan bisa ditawarkan sebagai berikut : 1. Pengembangan KCT di seluruh Indonesia dilakukan sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sehingga KCT menjadi bagian dari pembentukan struktur wilayah nasional yang harmonis dan pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan potensi KCT. Boleh jadi KCT menjadi bagian dari pengembangan Kawasan Strategis di samping kawasan-kawasan strategis lain yang ada. 2. Menjaga dan semakin memantapkan laju pertumbuhan pada masing-masing KCT maupun kerja sama antar KCT membentuk jaringan KCT bersinerji mutualistis dalam rangka “forward looking” pengembangan produk-produk ekonomi unggulan. 3. Mendorong pengembangan ekonomi KCT dengan memanfaatkan basis kawasankawasan buritan (hinterland) sebagai basis rantai pasokan (supply chain). Dengan demikian pengembangan KCT tidak berjalan sendiri maju ke depan, tetapi juga mampu menarik kawasan-kawasan buritan untuk ikut maju. Dan dengan demikian percepatan tumbuhnya KCT tidak meninggalkan posisi kawasan mitra di buritan, tetapi sebaliknya mampu memacu tumbuhnya KCT-KCT baru dan perluasan jaringan KCT pada masa lebih lanjut. 4. Mengawal pertumbuhan KCT dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan menahan sebesar mungkin kegiatan-kegiatan pelepasan karbon hasil residu kegiatan ekonomi KCT. Hal ini untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan produktivitas dengan pelestarian lingkungan KCT, khususnya di lingkungan perkotaannya. Melalui keempat strategi tersebut, maka implikasi kemungkinan perkembangannya antara lain sebagai berikut : 1. Pertumbuhan KCT akan tetap berlangsung dengan kinerja yang lebih produktif sehingga pertumbuhan itu mampu mendorong pertumbuhan lainnya serta mampu menyerap kelebihan tenaga kerja dan mengurangi jumlah kemiskinan, khususnya kemiskinan di perkotaan yang terus bertambah. Implikasi lain yang tak kalah pentingnya bahwa pendorongan pertumbuhan KCT langsung akan mengangkat laju pertumbuhan ekonomi nasional dan sekaligus juga mampu memberikan tambahan penerimaan fiskal secara signifikan bagi pemerintah maupun pemerintahan daerah bersangkutan. 2. Pertumbuhan KCT bisa mendorong terbentuknya struktur tata ruang nasional yang lebih hierarki dan efisien sehingga lebih mudah pengendaliannya menuju sistem tata ruang yang lebih kokoh, dinamis dan seimbang antar kawasan. 3. Pertumbuhan KCT akan banyak menuntut perubahan paradigma pembangunan kawasan yang boleh jadi munculnya banyak inisiatif pengembangan seperti pelibatan swasta dan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan, reformasi birokrasi pemerintahan yang lebih fokus, perhatian lebih serius pada masalah lingkungan khususnya dampak perubahan iklim, dan terobosan skim pembiayaan untuk mendanai berbagai kebutuhan percepatan KCT.
4. Munculnya problem ikutan berupa krisis akibat tingginya kebutuhan KCT, khususnya krisis enerji yang bakal muncul dan marjinalisasi kelompok tertentu, yaitu kelompok tradisional yang non-trampil atau “outsider” dalam mekanisme percepatan KCT. Mengingat KCT merupakan fenomena pertumbuhan kawasan dan “exist” bagi pertumbuhan ekonomi nasional termasuk daerah serta handal sebagai “prime mover” bagi pembentukan struktur pengembangan wilayah. Namun di pihak lain bisa berpotensi mencuatkan permasalahan baru yang serius, maka perlu antisipasi berupa langkah kelola yang efektif bagi percepatan pengembangan KCT. Langkah kelola kelola ini juga untuk mengeliminir dampak-dampak yang tidak diinginkan. Langkah-langkah tersebut diantaranya: 1. Manajemen KCT Pengembangan KCT merupakan ranah publik dan dengan demikian merupakan tanggung jawab Pemerintah untuk mengelolanya melalui sistem kelembagaan. Tata kelola yang perlu dilakukan tidak harus terbetuknya lembaga baru khusus menangani percepatan KCT, tetapi setidaknya melalui 3 pendekatan yaitu : (1) Regulasi; (2) Kebijakan Fiskal; dan (3) Bantuan Teknis. 2. Regulasi Yaitu kebijakan pengembangan KCT melalui penetapan peraturan perundangan. Hal yang dibutuhkan bahwa KCT adalah bagian integral dari penataan ruang nasional . Oleh karena itu langkah yang perlu dilakukan adalah : Pertama perlu penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional. Dengan ketetapan ini, maka ada landasan bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah pengelolaan percepatan KCT. Penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional perlu dirumuskan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) sebagai implementasi Kawasan Strategis Nasional yang didefinisikan dalam PP Nomer 26 atahun 2008 tentang RTRWN. Kedua, setelah penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis, maka dirumuskan lebih fokus dalam suatu perencanaan strategis dan pelaksanaannya. Perencanaan dan pelaksanaan pengembangan KCT tentunya akan melibatkan banyak sektor terkait termasuk dengan pemerintah daerah bersangkutan. Oleh karenanya perlu ditetapkan secara tegas dalam Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengembangan KCT-KCT masa depan. Dalam Inpres ini tentunya juga memasukkan aspek-aspek lingkungan (khususnya soal berkaitan dengan emisi karbon) dan efisiensi pemanfaatan enerji sebagaimana bagian dari strategi. Ketiga, di tingkat daerah perlu melengkapi langkah-langkah nasional tersebut diantaranya, penetapan Peraturan Daerah (perda) atau setidaknya Peraturan Kepala Daerah terkait dengan Perpres dan Inpres yang ada. 3. Kebijakan Fiskal Yaitu langkah-langkah fiskal atau penganggaran dari APBN di tingkat nasional dan APBD di tingkat daerah. Langkah-langkah fiskal ini landasannya adalah regulasi yang ditetapkan di atas dan perundangan yang berlaku, antara lain UU Nomer 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan perundangan tentang Desentralisasi Fiskal yang ada (UU Nomer 33 tahun 2004 yang sebentar lagi akan direvisi). Kebijakan Fiskal yang perlu dilakukan yaitu : Pemerintah menganggarkan belanja operasional maupun belanja modal guna memfasilitasi pengembangan di KCT-KCT yang ditetapkan. Dana-dana ini biasanya dikelola oleh kementerian atau lembaga terkait untuk dikelola langsung maupun
diperbantukan ke daerah-daerah KCT selain tetap melanjutkan transfer ke daerah oleh Kementerian Keuangan dalam rangka desentralisasi fiskal. Kebijakan Fiskal melalui langkah-langkah penganggaran ini sangat penting dan terbukti sangat efektif3. Walaupun Kebijakan Fiskal cukup efektif sebagai stimulus pengembangan kawasan, bagaimanapun kapasitas fiskal sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan yang sangat besar bagi pengembangan KCT khususnya kebutuhan investasi. Untuk itu perlu ditetapkan strategi pengelolaan yang fokus terhadap penggalangan dana dari pihak swasta dan masyarakat sendiri sesuai dengan peraturan dan perundangan. Strategi pengelolaan dengan melibatkan swasta dan masyarakat juga terbukti ampuh dan pada kenyataannya peran mereka justru lebih dominan dalam pembangunan ekonomi kawasan selama ini, termasuk juga pelibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Pemerintah Daerah juga menetapkan program-program strategis bagi KCT di daerahnya khususnya dalam investasi. Kegiatan investasi ini selain bisa dilakukan secara rutin melalui Belanja Modal, juga perlu dikembangkannya skim pembiayaan seperti pinjaman daerah baik pinjaman dari Pemerintah, dari daerah lain, ataupun dari masyarakat berupa Obligasi Daerah. 4. Bantuan Teknik Bantuan Teknik adalah personal tenaga ahli yang diperbantukan kepada kementerian/lembaga ataupun kepada daerah. Bantuan ini biasanya didanai oleh Pemerintah dan bisa juga bantuan dari Negara Donor (Development Partner) berupa technical Assistance. Tugas utama dari personel tenaga ahli ini kecuali membantu secara teknis kepada kementerian/lembaga atupun daerah, adalah membantu memecahkan masalah atau hambatan-hambatan di KCT dan pembinaan “Capacity Building” di Pemerintah maupun pemerintah daerah. Dalam prakteknya, bantuan Teknis dari Pemerintah itu tidak harus selalu ada. Oleh karenanya keberadaannya harus sesuai dengan yang dibutuhkan. 5. Peranan “Stakeholder” Walaupun pengembangan KCT merupakan ranah publik yang ditangani langsung oleh Pemerintah, yang berkepentingan tidak hanya Pemerintah sendiri, tetapi juga seluruh masyarakat baik masyarakat pengusaha atau swasta, juga masyarakat umumnya yang selama ini menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Untuk itu perlu ada 2 hal prinsip yaitu : (1) Keterbukaan dan Transparansi dari Pemerintah, dan (2) Partisipasi masyarakat dan swasta dalam percepatan pengembangan KCT. Keterbukaan yang dilakukan oleh Pemerintah utamanya adalah informasi secara terbuka dan langsung kepada masyarakat tentang rencana, program (dan pendanaan), target (output) dan efek (outcome)-nya pengembangan KCT serta siapa saja yang terlibat langsung dalam pengembangannya. Begitu juga perkembangannya secara kuartalan juga disampaikan agar semua pihak mengetahui dan bisa memberi penilaian baik berupa kesetujuannya, masukan-masukannya, termasuk juga kritikan yang diperlukan. Distribusi informasi tersebut dilakukan dengan teknologi yang ada dan mudah di-akses oleh masyarakat baik berupa media cetak maupun elektronik. 3
Bukti keefektifan kebijakan fiskal dalam pembangunan adalah penerapan Desentralisasi Fiskal sejak diterapkan tahun 2000 yang lalu telah berhasil mempertahankan kesenjangan antar daerah untuk tidak semakin timpang (melalui model Index Williamson). Penelitian dilakukan oleh DR. Hafrizal dalam papernya yang berjudul “Assessment of the Medium Term Expenditures Framework”, LGFGR (ADB), 2010.
Sedangkan partisipasi masyarakat bisa dilakukan melalui format yang sudah ada baik dalam proses penganggaran seperti Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang lebih terarah4, juga peningkatan Kerja Sama Pemerintah-Swasta-Masyarakat (Public Private Partnership) untuk lebih dimasyarakatkan dan dikembangkan peluang sebesar-besarnya. Namun diakui bahwa partisipasi masyarakat khususnya dalam skala perencanaan yang luas seperti KCT ini tidak bisa seintensif skala perencanaan kecil seperti pemukiman yang langsung terkait dengan kepentingannya. Oleh karenanya Pemerintah bersama dengan pemerintah daerah yang harus aktif dan tidak menunggu inisiatif masyarakat untuk berpartisipasi. Di antara “stakeholder” lainnya, peranan pemerintah daerah adalah yang sangat utama karena menyangkut daerah otonomnya dan manfaat serta dampak pengembangan KCT ada di daerah bersangkutan. Kepentingan daerah ini tidak sendiri, tetapi terkait dengan daerah-daerah mitra maupun daerah-daerah burit (hinterland). Oleh karenanya kerja sama antar daerah (inter-regional cooperation) adalah keharusan sebagaimana diatur dalam PP Nomer 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Rangkuman Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) adalah kenyataan sebagai fenomena dalam perkembangan wilayah. Pengaruh ekonomi KCT sangat besar baik kepada keekonomian nasional, keekonomian masyarakat, bahkan punya pengaruh signifikan terhadap kapasitas fiskal nasional. Sesuai dengan rencana jangka panjang nasional untuk peningkatan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan, maka KCT perlu tetap dikembangkan dan lebih ditumbuhkan. Namun KCT juga melahirkan banyak dampak, utamanya urbanisasi, ketimpangan antar daerah, dan juga aspek lingkungan bila tidak dikelola secara strategis dan sistematis. Berkenaan dengan hal tersebut, maka KCT selayaknya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional secara lebih legalistik melalui penetapan peraturan perundangan yang kemudian diikuti dengan berbagai komitmen oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, khususnya pihak swasta di bidang investasi.
4
Selama ini Musrenbang kurang terarah dan mulai kurang diminati oleh masyarakat karena hanya “shopping list” keinginan tanpa dasar kapasitas anggaran. Reformasi model Musrenbang perlu dilakukan, antara lain Pemerintah/pemerintah daerah harus mampu menetapkan plafon tentative anggaran bagi kawasan.
Pemindahan Ibukota Negara
Oleh: Deden Rukmana5
Asisten profesor dan koordinator program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah State University, AS
Ide pemindahan ibukota negara telah banyak dibicarakan berbagai pihak sejak beberapa tahun lalu. Bahkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007 mulai banyak dibahas wacana pemindahan ibukota negara menyusul banjir besar yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang akan mengganggu peran Jakarta sebagai ibukota negara.
5
Penulis adalah asisten profesor dan koordinator program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah State University, AS
Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai membicarakan wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009. Menurut SBY, beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat. Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai aspek dan tidak hanya melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan pemindahan ibukota negara, tetapi juga dilihat sebagai upaya strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara merata. (Kompas, 5 Agustus 2010). Sementara itu, diawal September 2010, Presiden SBY mengemukakan pembentukan tim kecil yang ditugaskan untuk mengkaji ide pemindahan ibukota negara. Kemudian muncul tiga skenario dalam pemindahan ibukota negara, yakni :(1) tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan; (2) memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di pulau Jawa; (3) memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar pulau Jawa (Kompas, 13 September 2010). Meski demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas ketiga skenario pemindahan ibukota negara tersebut, melainkan hanya mencoba untuk menjelaskan gagasan pemindahan ibukota negara berdasarkan pengalaman Indonesia sebelumnya dan pengalaman negara-negara lainnya di dunia yang pernah berhasil ataupun gagal dalam memindahkan ibukotanya. Pemindahan Ibukota RI keluar Jakarta Peran Jakarta sebagai ibukota negara tidak terlepas dari proses sejarah, sejak awal penjajahan Belanda dulu yang menempatkan Jakarta sebagai pusat keluar masuk barangbarang dari dan ke Indonesia. Posisi sebagai pusat distribusi ini semakin menguat dan melebar ke dominasi politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah lainnya di Indonesia hingga saat ini. Bahkan, saat ini Jakarta menjadi pusat segala aspek kehidupan di Indonesia. Selain sebagai pusat pemerintahan RI, juga sebagai pusat perdagangan, keuangan, jasa, hiburan, olahraga, budaya, transportasi, dan penelitian. Sehingga tidak mengherankan dengan peran sebagai pusat berbagai aktivitas di Indonesia itu, Jakarta mengalami proses urbanisasi yang sangat cepat. Penduduk Jabodetabek bertambah dari 16,8 juta pada tahun 1990 menjadi 28,0 juta jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk ini sebanyak hampir 12 % dari total penduduk Indonesia, tetapi hanya menempati 0.3 % dari total wilayah Indonesia. Pesatnya urbanisasi di Jabodetabek ini ternyata tidak dapat diimbangi oleh tersedianya fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang memadai, sehingga berbagai masalah seperti, banjir, kemacetan lalu lintas dan permukiman kumuh menjadi semakin sulit diatasi. Ketidakberdayaan Jakarta untuk mengatasi masalah banjir dan kemacetan seringkali dijadikan salah satu pertimbangan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta.
Sementara itu, gagasan pemindahan ibukota dari Jakarta sebenarnya bukan hal yang baru. Pemerintah Hindia Belanda telah merencanakan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung pada tahun 1906 (Hartono 2009; Suganda 2007). Kota Bandung pun dijadikan sebagai pusat komando militer pemerintah Hindia Belanda. Departemen Peperangan (Departement van Oorlog) memindahkan berbagai instalasi dan personil sejak tahun 1816 sampai tahun 1920. Pabrik senjata Artillerie Constructie Winkel (Pindad) yang semula berada di Surabaya dipindahkan ke Bandung mulai tahun 1889 sampai 1920 (Wiartakusumah 2006). Rencana pemindahan ibukota dari Jakarta disebabkan juga oleh kondisi Jakarta yang berada di daerah pantai yang rendah dan akrab dengan berbagai penyakit menular seperti malaria dan diare (Suganda 2007). Meskipun rencana pemindahan ibukota ini kurang mendapat dukungan Volksraad (Dewan Rakyat) tetapi Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) sangat bersikeras untuk memindahkan ibukota ke Bandung (Suganda 2007). Lahan seluas 27 hektar sumbangan Gemeente Bandoeng telah disiapkan untuk menjadi kawasan pusat pemerintahan sipil di Bandung. Secara bertahap beberapa kantor dipindahkan dari Jakarta ke Bandung termasuk Kantor Pertambangan dan Energi (1924), gedung Geologisch Laboratorium (1928), Gedung Pensiun (1940), Perum Bio Farma (1923), Kantor Pos Besar (1928) dan Kantor Pusat Kereta Api (1928). Di lahan yang disiapkan untuk kawasan pusat pemerintahan sipil hanya sempat diselesaikan dua bangunan yaitu Departement Verker en Gemeentewerken (1920) dan Hoofdbureu Post Telegraf en Telefoon (1920). Sedangkan 12 bangunan lain yang direncanakan, tidak sempat terealisasikan karena resesi dan korupsi yang juga menyebabkan gagalnya kepindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung (Suganda 2007). Kemudian pada periode setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno sempat menggagas pemindahan ibukota negara ke Palangkaraya pada saat peresmian Palangkaraya sebagai Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Bahkan Presiden Sukarno sempat dua kali mengunjungi langsung potensi kota Palangkaraya untuk menjadi ibukota negara (Wijanarka 2006). Posisi geografis Palangkaraya dianggap unik karena berada tepat di tengah-tengah Indonesia. Namun rencana kepindahan ibukota ke Palangkaraya gagal karena kesulitan penyediaan barang bangunan dan desakan dari beberapa duta besar yang menginginkan Jakarta tetap sebagai ibukota negara. Setelah mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Sukarno meninggalkan gagasan pemindahan ibukota dan kembali memfokuskan pembangunan di Jakarta yang kemudian dijadikan simbol kebangkitan Indonesia. Rencana pemindahan ibukota pun terus berlanjut, pada periode pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto sempat juga menggagas pemindahan ibukota negara ke Jonggol, Jawa Barat melalui Keppres 1 tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Keputusan ini mendukung rencana pengembangan kota mandiri di Jonggol, Jawa Barat seluas 30 ribu hektar yang digagaskan oleh salah seorang putra Soeharto, Bambang Trihatmodjo (Firman, 1997). Rencana pemindahan ibukota
Jonggol tidak berlanjut seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998. Alasan Pemindahan Ibukota Ibukota negara adalah pusat kegiatan pemerintahan yang mencakup administrasi atau eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiga kegiatan pemerintahan tersebut bisa berlokasi dalam satu kota (classic capital) ataupun di beberapa kota (split capital). Sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, memiliki satu ibukota. Tetapi ada juga negara yang menerapkan split capital seperti Belanda (Amsterdam dan the Hague), Afrika Selatan (Pretoria, Bloemfontein dan Cape Town), Bolivia (La Paz dan Sucre), Israel (Jerusalem and Tel Aviv), Swaziland (Lobamba dan Mbabane), Malaysia (Kuala Lumpur dan Putrajaya) dan Sri Lanka (Colombo dan Sri Jayawardenapura-Kotte). Sejak Perang Dunia II berakhir, terdapat lebih dari sepuluh negara di dunia yang telah memindahkan ibukotanya seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Alasan pemindahan ibukota dari negara-negara itu sangat beragam. Mauritania dan Botswana memindahkan ibukotanya karena kedua negara ini tidak memiliki ibukota di negaranya sendiri pada saat memperoleh kemerdekaan. Ibukota Mauritania dan Ibukota Botswana sebelum merdeka terletak diluar kedua negara tersebut. Ibukota Mauritania sebelum merdeka adalah Saint Louis yang terletak di Senegal. Sementara itu, Ibukota Botswana sebelum merdeka adalah Mafeking di Afrika Selatan (Gilbert 1989). Sementara itu, kepindahan Ibukota Jerman dari Bonn ke Berlin adalah sebagai akibat dari penyatuan kembali Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990. Table 1 Relokasi Ibukota-ibukota Negara di Dunia setelah Perang Dunia II No. Negara Relokasi
Ibukota lamaIbukota baru
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Saint Louis Nouakchott 1957 Karachi Islamabad 1959 Rio de JaineroBrasilia 1960 Mafeking Gaberone 1961 Zomba Lilongwe 1965 Belize City Belmopan 1970 Dar Es Salaam Dodoma 1973 Colombo Sri Jayawardenapura-Kotte 1982 Abidjan Yamoussoukro 1983 Bonn Berlin 1990 Lagos Abuja 1991 Astana Almaty 1997 Kuala Lumpur Putrajaya 2000 Rangoon Pyinmana 2006
Mauritania Pakistan Brazil Botswana Malawi Belize Tanzania Sri Lanka Pantai Gading Jerman Nigeria Kazakhstan Malaysia Myanmar
Tahun
Sumber: Corey (2004); Rawat (2005); Schatz (2003); Paddock (2006) Sementara itu terdapat tiga alasan umum pemindahan ibukota, yaitu : pertimbangan politik, pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik. Pertimbangan politik seringkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan ibukota. Dalam pertimbangan ini berguna untuk meningkatkan persatuan nasional (national cohesion), membangun simbol kebangkitan negara dan merepresentasikan lebih baik keragaman suku bangsa adalah pertimbangan yang digunakan pemerintah Brazil, Nigeria dan Pakistan dalam memindahkan ibukota negaranya masing-masing (Nwafor 1980; Stephenson 1970). Selain itu, pemindahan ibukota juga dapat dijadikan cara untuk menegaskan arah politik negara seperti saat pemerintah Tanzania memindahkan ibukotanya dari Dar es Salaam ke Dodoma untuk lebih mengembangkan politik Sosialisme dengan membangun kawasan pedesaan di Dodoma (Hoyle 1979). Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi pertimbangan penting dalam memindahkan ibukota khususnya untuk mengurangi ketimpangan wilayah di negara-negara tersebut. Diharapkan dengan pembangunan ibukota baru dapat mengembangkan kawasan baru yang dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi ibukota yang lama. Ibukota-ibukota lama, seperti Rio de Jainero, Lagos, Dar es Salaam, Zomba dan Belize City merupakan pusat pertumbuhan utama dan primate city di negaranya masing-masing. Pertumbuhan ekonomi di ibukota-ibukota lama ini jauh lebih cepat dibandingkan wilayah-wilayah lainnya di negara-negara tersebut (Nwafor 1980; Potts 1985; Stephenson 1970). Keterbatasan kondisi fisik di ibukota lama juga menjadi pertimbangan pemindahan ibukota di beberapa negara seperti Nigeria, Brazil dan Pakistan. Ibukota-ibukota lama termasuk Lagos, Rio de Jainero and Karachi dianggap sudah terlalu padat dan tidak mampu lagi menampung kebutuhan ruang bagi pengembangan kota. Kota-kota tersebut dianggap tidak mampu menyediakan infrastruktur dan fasilitas perkotaan yang memadai serta memiliki harga lahan yang tinggi (Botka 1995; Doxiadis 1965). Keputusan memindahkan Ibukota Belize dari Belize City ke Belmopan adalah akibat seringnya bencana hurricane yang melanda Belize City (Gilbert 1989; Kearns 1973). Bencana hurricane yang menimpa Belize City seringkali melumpuhkan kegiatan pemerintahan Belize dan bahkan menyebabkan kerusakan dan kehilangan dokumendokumen penting pemerintahan Belize (Kearns 1973). Lokasi Ibukota Baru Pertimbangan utama yang sering digunakan dalam memilih lokasi ibukota baru adalah keterpusatan (centrality). Lokasi geografis ibukota baru yang berada di tengah-tengah negara akan mendekatkan ibukota ke berbagai bagian negara secara lebih merata dan memudahkan pelaksanaan tugas pemerintahan (Nwafor 1980). Pertimbangan keterpusatan ini digunakan oleh beberapa negara dalam memindahkan ibukotanya termasuk Brazil, Nigeria, Tanzania and Malawi (Hoyle 1979; Nwafor 1980; Potts 1985; Stephenson 1970).
Kriteria utama yang digunakan oleh pemerintah Belize dalam memilih lokasi ibukota barunya adalah lokasi yang jauh dari pantai dan bebas dari ancaman hurricane. Lokasi ibukota baru dipilih di daerah pedalaman (interior region) adalah juga untuk memberikan perhatian kepada kawasan yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian. Pemilihan ibukota di daerah pedalaman juga diharapkan dapat mengembangkan sektor pertanian yang sebelumnya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Belize (Kearns 1973). Beberapa negara diantaranya Malaysia dan Sri Lanka memindahkan ibukota barunya tidak jauh dari ibukota lamanya. Malaysia memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya yang berjarak kurang lebih 25 km ke arah Selatan Kuala Lumpur. Sri Lanka memindahkan pusat parlemennya dari Colombo ke Sri Jayawardenapura-Kotte yang jaraknya sekitar 30 km dari Colombo. Pemilihan lokasi yang tidak terlalu jauh agar menghemat biaya pembangunan ibukota baru. Penutup
yang sangat mahal. Pengalaman dari beberapa negara misalnya Brazil dan Nigeria menunjukkan bahwa pemindahan ibukota memakan proses yang sangat panjang. Brazil memutuskan untuk memindahkan ibukotanya dari Rio de Jainero ke Brasilia melalui konstitusi Brazil pada tahun 1834 dan 1946 dan baru direalisasikan pada pemerintahan di bawah Presiden Kubitschek pada tahun 1960. Pemerintah Nigeria menyetujui pemindahan ibukota keluar Lagos pada tahun 1975 dan baru pada tahun 1990 Abuja ditetapkan secara resmi sebagai ibukota Nigeria (Nwafor 1980; Stephenson 1970). Kegagalan memindahkan ibukota akibat kekurangan biaya seperti dialami oleh pemerintah Hindia Belanda juga dialami Argentina pada tahun 1989. Argentina sempat merencanakan memindahkan ibukotanya dari Buenos Aires ke Viedma. Kepindahan ibukota negara sudah diputuskan oleh Kongres Nasional Argentina pada bulan Mei 1987 (Gilbert 1989). Namun upaya tersebut berhenti karena masalah ekonomi yang menimpa Argentina pada tahun 1989. Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai suatu proses penting sebelum menentukan keputusan besar untuk memindahkan ibukota keluar Jakarta atau tetap menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara. Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh pertimbangan kondisi ibukota lama yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga menjadi faktor penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara. Indonesia perlu dengan sangat seksama membahas wacana pemindahan ibukota negara ini. Studi yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak di pusat maupun di daerah diperlukan untuk menentukan pilihan terbaik dari ketiga skenario pemindahan ibukota negara. Setelah pilihan tersebut ditetapkan akan diperlukan pula suatu perencanaan yang komprehensif agar implementasi pilihan tersebut berjalan dengan sebaik-baiknya.
Keputusan pemindahan ibukota negara akan menjadi proyek publik terbesar dan terpenting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.