Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-20 Oleh : Makmur Keliat, Asra Virgianita, Fina Astriana
4/4/2013
Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dan Peran G-201 (Oleh: Makmur Keliat, Asra Virgianita, Fina Astriana)
Pengantar
Penelitian ini mencoba menjawab tiga pertanyaan berikut. Pertama, hambatanhambatan kebijakan (policy constraints) apakah yang terdapat di tingkat domestik untuk melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia? Kedua,bagaimanakah perkembangan agenda pembangunan infrastruktur dalam forum pertemuan G-20? Ketiga, rekomendasi kebijakan apakah yang dapat ditawarkan untuk memaksimalkan peran G-20 untuk mengatasi hambatan kebijakan yang telah diidentifikasikan itu? Untuk tujuan pembahasan, penelitian ini terbagi dalam empat struktur besar. Bagian pertama mencoba memaparkan situasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Fokusnya adalah pada pengidentifikasian kendala mobilisasi sumber pendanaan. Bagian kedua menguraikan tentang perkembangan G-20. Termasuk dalam pembahasan bagian kedua ini adalah uraian tentang agenda pembangunan infrastruktur dalam kerangka G-20. Bagian ketiga memaparkan peran potensial dari G-20 untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan melihat kinerja ekonomi makro dari setiap negara anggota. Bagian keempat adalah catatan kesimpulan yaitu rekomendasi kebijakan.
1. Persoalan Pembangunan Infrastuktur di Indonesia
Satu dasawarsa setelah reformasi berlangsung, tidak terdapat perubahan substansial dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Secara makro-ekonomi, prestasi Indonesia sangat mengesankan. Tingkat pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir rata-rata
1
Penelitian ini didanai oleh Indonesian NGOs For International Development (INFID).
1
sebesar 6%. Cadangan devisa juga tampak terus berada di atas US$ 100 miliar. Hingga Februari 2013, cadangan devisa Indonesia mencapai angka sebesar US$ 105 miliar. Cadangan devisa ini cukup untuk menyangga kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri selama 5,7 bulan.2 Defisit anggaran juga tidak pernah melebihi angka 3 persen dari PDB, suatu standar internasional mengikut kesepakatan Maastrich. Bahkan ketentuan ini telah ditetapkan menjadi suatu ketentuan hukum melalui UU No. 17 tahun 2003. Meski demikian, jika dilihat dari pembangunan infrastruktur, prestasi pembangunan Indonesia cukup memprihatinkan. Walau data-data kuantitatif antara satu laporan dengan laporan lainnya berbeda, namun hampir semuanya menunjukkan prestasi yang tidak menggembirakan dalam pembangunan infrastruktur itu. Lihat misalnya, laporan yang dikeluarkan oleh ICD Research (2011). Dalam laporan ini antara lain disebutkan bahwa total jalan raya di Indonesia (highways) pada tahun 2009 adalah sebesar 438.150 km sedangkan jalan kereta api adalah sepanjang 3.400 km.3 Bandingkan angka jalan kereta api dengan China. Menurut Sudrajat, yang menjadi Kepala Perwakilan RI Beijing (2006-2009), jalan kereta api di China pada tahun 1945 adalah sepanjang 27.000 km sedangkan jalan kereta api di Indonesia pada tahun 1950 adalah sepanjang 5.910km.4Namun pada tahun 2009, panjang jalan kereta api di China telah meningkat dengan pesat menjadi 86.000 km. Demikian juga dengan prestasi Indonesia dalam jalan raya cepat (expressway). Mengutip kembali paparan Sudrajat, panjang jalan cepat di Indonesia pada tahun 2009 adalah 5.930 km, sementara itu di China telah mencapai angka 53.600 km. Jalan raya cepat yang jauh lebih panjang di China daripada Indonesia mungkin dapat dipahami.China adalah negeri kontinental sementara Indonesia adalah negera kepulauan. Namun argumen ini tampaknya tidak dapat dijadikan alasan yang cukup untuk membenarkan ketertinggalan Indonesia dalam pembangunan infrastruktur. Sebagai misal, Indonesia sebagai negara kepulauan seharusnya memiliki jumlah pelabuhan yang sangat banyak. Namun serpihan data yang diberikan oleh laporan ICD menunjukkan angka sebaliknya. Jumlah 2
Harga Minyak Melonjak, Cadangan Devisa Indonesia Bisa Anjlok. http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/03/09/137114/Harga-Minyak-Melonjak-Cadangan-DevisaIndonesia-Bisa-Anjlok. Diakses pada 4 April 2013. 3 ICD Research, The Indonesian Defense Industry-Market Opportunities, Entry Strategies, Analysis and Forecast to 2016 : Business Environtment and Country Risk, 2011, hlm. 127. 4
Lihat Sudrajat, “ASEAN - China FTA: Memahami dan Menyikapi”, Makalah yang disampaikan dalam Kuliah Umum Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia, Selasa, 9 Februari 2010, 17:00 – 18:30
2
pelabuhan udara di Indonesia jauh lebih banyak (683) dibandingkan dengan jumlah pelabuhan laut (154).Laporan ICD juga mencatat bahwa infrastruktur pembangkit listrik di Indonesia juga tumbuh dalam angka yang sangat lambat. Kapasitas terpasang untuk pembangkit listrik di Indonesia untuk kurun waktu 2003 hingga 2009 hanya tumbuh sebesar 1,5%, dan diramalkan hanya meningkat rata-rata 2,8 persen untuk kurun waktu 2010 hingga 2015. Sejauh yang dapat dicermati laporan yang sangat komprehensif tentang kondisi infrastruktur Indonesia tidak dibuat oleh lembaga pemerintah.Suatu lembaga swasta yang bergerak di sektor perbankan,Standrad Chartered Bank (2011),5sekitar dua tahun lalu telah mempublikasikan kondisi pembangunan infrastruktur yang memperihatinkan di Indonesia. Dengan menyorot empat kategori infrastruktur yaitu daratan (land infrastructure), pelabuhan udara (airports), pelabuhan laut (seaports), dan listrik (electricity), laporan Standard Chartered Bank ini menyampaikan beberapa data yang menarik untuk dicermati. Untuk kategori infrastruktur daratan –yaitu jalan, raya, kereta api dan jembatan— laporan ini memaparkan temuan-temuan berikut. Disebutkan, Indonesia memiliki rasio jarak jalan per km dengan luas wilayah yang paling rendah di kawasan. Sistem jalan disebutkan tidak memadai untuk menghubungkan wilayah daratan seluas 2.000.000 km2. Pulau Jawa yang hanya 7% dari wilayah daratan Indonesia merupakan pusat dari jalan kereta api dan jalan darat di Indonesia. Setelah tahun 2000, pembangunan jalan negara yang menjadi bagian otoritas pemerintah pusat terabaikan. Akibatnyapembangunan jalan yang menghubungkan provinsi menjadi terabaikan. Penyebabnya adalah desentralisasi yang telah dilakukan setelah 1998. Akibatnya otoritas pemerintah pusat dalam pembangunan jalan telah dialihkan ke-33 propinsi dan 497 pemerintah daerah.Karena itu pembangunan jalan kini lebih banyak diserahkan menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi dan kabupaten. Itu pula sebabnya, mengapa pembangunan jalan negara yang menghubungkan jalan propinsi sangat tertinggal. Disamping perubahan regulasi, hambatan lainnya adalah pada isu pembebasan tanah (land clearance). Perubahan sistim politik telah mengakibatkan pembebasan tanah tidak dapat dilakukan dengan mudah. Bahkan jika 90% tanah sudah dibebaskan untuk pembangunan jalan, namun jikayang 10% belum dibebaskan, maka pembangunan jalan tidak dapat dilakukan. Kerumitan disebutkan bertambah besar karena hadirnya para spekulator tanah yang memiliki koneksi politik yang kuat. 5
Ta Hui, et al., Indonesia- Infrastructure Bottleneck: Special Report, Standard Chartered Bank, 14 Februari 2011.
3
Disamping hambatan pada implementasi, patut pula mencatat bahwa adanya ketidaksepadanan antara distribusi jalan dan konsentrasi aktifitas ekonomi. Laporan itu menyebutkan 58% jalan di Indonesia terdapat di Jawa dan Sumatera. Dua pulau ini menyumbang sekitar 81% dari PDB Indonesia. Sumatera memiliki jalan yang lebih panjang dibandingkan Jawa, masing-masing 34% dan 24%. Meski demikian, 59% penduduk Indonesia hidup di Jawa dan di Sumatera hanya 23%. Menarik mencatat pula, jumlah kendaraan motor meningkat 24% setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2009 dan jumlah mobil meningkat 22%. Namun pada saat yang sama, panjang jalan yang dapat digunakan, sesungguhnya menunjukkan kecenderungan yang menurun. Jika pada tahun 2005 tercatat panjang jalan yang dapat layak dan dapat digunakan adalah 7.226 km, maka pada tahun 2009 angkanya menurun menjadi 6.506 km. Karena itu, gambaran dasar dari infrastruktur jalan di Indonesia adalah adanya ketimpangan infrastruktur antar wilayah dan disaat yang sama terjadi kerumunan infrastruktur di wilayah-wilayah tertentu. Upaya untuk mengatasi percepatan pembangunan jalan telah dilakukan dengan cara mempercepat pembangunan jalan tol. Saat ini disebutkan, Indonesia memiliki jalan tol sepanjang 742 km. Jarak yang ideal disebutkan 3.088 km. Karena itu, jalan tol yang diperkirakan akan dibangun sepanjang 2.337 km. Biaya pembangunan untuk jalan tol ini diperkirakan 24 miliar Dollar. Dari jumlah jalan ini, pemerintah disebutkan hanya dapat membangun 2.6% atau 70,5 km. Seperti halnya pembangunan jalan, pemerintah pusat juga tampaknya pasif dalam pembangunan jembatan. Dari data yang disebutkan, jumlah dan panjang jembatan yang baru menunjukkan penurunan. Dari tahun 1990 sampai 1999, jumlah pembangunan jembatan nasional berada pada angka sekitar 5.000 dengan total panjang jembatan yang dibangun adalah 125 km. Namun dari tahun 2000 hingga 2008, pembangunan jembatan baru hanya sekitar 500 dan panjangnya hanyalah 20 km. Kebanyakan pembangunan itu juga terjadi di Sumatera dan Jawa. Hingga akhir tahun 2008, 13% dari jembatan yang dimiliki pemerintah pusat disebutkan mengalami kerusakan berat. Diperkirakan 17% dari 333 km jembatan nasional sebenarnya tidak lagi fungsional sebagai jembatan. Disamping jembatan yang dimiliki oleh pemerintah nasional, kini telah ada pula jembatan tol yang dimiliki oleh swasta. Salah satu jembatan tol itu adalah Suramadu sepanjang 5,4 km yang dibiayai oleh Cina dan pemerintah provinsi bersama dengan pemerintah pusat. Yang mengoperasikannya adalah Jasa Marga. Kini telah direncanakan pula pembangunan jembatan tol yang menghubungkan Jawa dan Lampung sepanjang 29 km. Untuk pembangunan jembatan Suramadu biayanya sekitar 440 juta dollar atau sekitar 4,5 triliun rupiah, sedangkan untuk pembangunan jembatan Selat 4
Sunda, diperkirakan akan menghabiskan biaya sekitar 140 triliun rupiah dan direncanakan selesai pada tahun 2030. Seperti halnya infrastruktur jalan raya dan jembatan, infrastruktur untuk angkutan kereta api menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Infrastruktur transportasi kereta api tumumnya terpusat di Jawa.Tentu saja terdapat infrastruktur kereta api di Sumatera. Namun infrastruktur kereta api di Sumatera umumnya bukanlah untuk angkutan penumpang karena80% digunakan untuk mengangkut kargo.Sebaliknya di Jawa sekitar 63% digunakan untuk mengangkut penumpang. Data yang ada menyebutkan bahwa hingga tahun 2009 panjang jalan keretapi di Indonesia adalah 4.819 km. Namun pembangunan jalan kereta api sangat lambat, diperkirakan dari tahun 2004 hingga 2009 hanya tumbuh sekitar 1.1% per tahunnya. Tidak hanya panjang jalan rel kereta api yang tidak memadai, tetapi kondisinya juga sangat merisaukan. Laporan itu menyebutkan bahwa rel keretaapi di Indonesia kini berusia 25 tahun sedangkan di negara maju, penggunaannya hanya 5-10 tahun. Saat ini, Kementerian Perhubungan memfokuskan pada perbaikan dan modernisasi infrastruktur rel kereta api yang sudah tidak layak pakai. Pemerintah disebutkan telah merencanakan untuk membangun rel kereta dengan jalur ganda dari Jakarta ke Surabaya dan diharapkan selesai pada tahun 2014. Pemerintah juga merencanakan pembangunan jalur rel kereta api di pulau Sumatera yang disebut dengan Trans-Sumatera Rail Road System yang menghubungkan seluruh provinsi di kepulauan tersebut. Penyelesaiannya diharapkan pada tahun 2020. Seperti halnya pada pembangunan jalan tol, pendanaan dan pembebasan tanah merupakan hambatan utama untuk membangun jalur kereta api yang baru. Untuk mengatasi masalah pendanaan, pemerintah telah mengundang pemerintah lokal, investor swasta dan koperasi untuk berpartisipasi dalam pembangunan jalur kereta api. Sesungguhnya pada tahun 2007, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang untuk men-swastanisasikan jaringan jalan kereta api dan menghapuskan monopoli PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Meski demikian, PT.KAI masih merupakan operator jalan kereta api satu-satunya yang ada. Seperti halnya infrastruktur daratan, kondisi infrastruktur angkutan laut juga tidak jauh berbeda. Dengan luas laut sekitar 3 juta km2 dan terdiri dari 17.508 pulau, peran dari angkutan laut seharusnya sangat penting di Indonesia. Namun data-data yang ada menunjukkan pembangunan pelabuhan laut terabaikan. Disebutkan bahwa pelabuhan laut Indonesia sangat tidak memadai untuk perdagangan antarpulau dan perdagangan
5
internasional. Disamping umumnya kecil, pelabuhan-pelabuhan laut di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan pelabuhan laut di Asia Tenggara. Di Indonesia terdapat dua jenis pelabuhan yaitu pelabuhan komersial dan nonkomresial. Pelabuhan komersial di Indonesia dikelola oleh PT.Pelindo I, II, III dan IV, yang kesemuanya berada di bawah Kementerian BUMN. Tetapi pengkordinasian pelabuhan laut dan pelabuhan non-komersial berada di bawah Kementerian Perhubungan. Hingga tahun 2009 tercatat sebanyak 111 pelabuhan laut komersial yang dioperasikan oleh PT.Pelindo I hingga IV.
Selain itu terdapat sekitar 534 pelabuhan laut yang dikelola oleh pemerintah
baik yang betipe utama (Prime Class) hingga bertipe terendah (Class IV). Secara keseluruhan jumlah pelabuhan laut yang terdata dan operasional di Indonesia adalah sebanyak 645. Namun dari jumlah ini, hanya sekitar empat pelabuhan yang memiliki status Primeyaitu Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar, dan sebanyak 14 adalah berstatus Class I. Menarik mencatat bahwa biasanya Class I dan Prime yang dianggap layak untuk kegiatan perkapalan internasional. Dalam kaitan ini patut pula dicatat terdapatgambaran yang unik dalam pelabuhan laut di Indonesia. Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, merupakan wilayah kegiatan angkutan kargo laut yang paling aktif. Walau hanya memiliki 2 pelabuhan laut dan tidak satupun yang memiliki status Prime, namun disebutkan bahwa sekitar 34% dari bisnis angkutan kargo laut untuk tujuan perdangan antarpulau berasal dari propinsi ini.Muatan angkutankargo laut dari pelabuhan di pulau inibiasanya berupa hasil alam seperti batu bara dan kayu. Walau terdapat pelabuhan dengan status klasifikasiPrime namun pelabuhan laut utama Indonesia relatif kecil dan tertinggal jika dibandingkan dengan pelabuhan laut negara tertangga dengan status yang sama. Sebagai misal, pelabuhan laut TanjungPriok hanya dapat melayani kapal yang berbobobot mati hingga 50.000 ton. Bandingkan misalnya dengan pelabuhanlaut Singapura yang dapat mencapai angka bobot mati hingga 150.000 ton dan Pelabuhan Klang Malaysia 130.000 ton dan Laem Chabang Thailand hingga 120.000 ton. Selain itu efisiensinya juga disebutkan sangat rendah jika diukur dari waktu tunggu bagi kapal-kapal tersebut untuk melakukan bongkar muat. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengeluarkan UU Angkutan Laut pada tahun 2008. Melalui ketentuan UU ini pemerintah berusaha mendorong investor swasta, pemerintah lokal dan unit usaha bentuk koperasi berperan dalam pembangunan pelabuhan laut melalui mekanisme yang disebut dengan konsep Kemitraan Publik-Swasta/KPS (Public6
Private Partnership/PPP). Pemerintah juga pada Januari 2010 telah memerintahkan seluruh pelabuhan laut dengan status klasifikasi Prime dan Class I untuk beroperasi selama 24 jam dan memperkenalkan National Single Window untuk pemrosesan elektronik dokumendokumen ekspor-impor. Sesuatu yang cukup unik terjadi di infrastruktur pelabuhan laut. Walau kondisi infrastruktur pelabuhan laut di Indonesia disebutkan tidak memadai namun data-data yang ada menunjukkan bahwa perusahan perkapalan yang beroperasi di Indonesia, baik itu untuk angkutan penumpang maupun anggkutan kargo, telah meningkat dengan pesat. Data yang disampaikan menunjukkan bahwa pada tahun 2005 tercatat sebanyak 1.269 perusahan, dan pada 2009 telah meningkat menjadi 1.754. Peningkatan ini menunjukkan bahwa di tengahtengah kualitas pelabuhan yang tidak memadai kompetisi justru semakin meningkat di sektor angkutan laut ini. Mirip dengan angkutan laut, infrastruktur untuk angkutan udara juga mengalami masalah yang serupa. Saat ini tercatat sekitar 27 pelabuhan udara internasional dan 163 pelabuhan udara domestik. Tipe pelabuhan udara juga variatif dari yang tertinggi dengan status kalisfikasi Class I
hingga yang berstatus Class V yang terendah.Di samping itu
terdapat pula pelabuhan udara yang dioperasikan oleh swasta untuk tujuan khusus namun di bawah pengawasan Kementerian Perhubungan.
Seluruh pelabuhan udara komersial
dioperasikan oleh BUMN PT. Angkasa Pura I dan II. Pelabuhan udara non-komersial dioperasikan oleh Kementerian Perhubungan sedangkan pelabuhan militer dioperasikan oleh angkatan udara. Menarik mencatat pula sekitar 56 % dari pelabuhan udara Indonesia terletak di bagian Timur terutama di Papua (sekitar 36%). Namun ini tidak menunjukkan bahwa Papua lebih maju dari wilayah laindalam infrastruktur pelabuhan udara.Haruslah dicatat bahwa hampir seluruh pelabuhan udara yang terdapat di Papua tercatat memiliki klasifikasi yang paling rendah yaitu Class IV atau dibawahnya. Terlebih lagi, angkutan udara baik untuk penumpang maupun kargo terkonsentrasi di Jawa (sekitar 59%). Dua pelabuhan udara terbesar Indonesia juga berlokasi di pulau Jawa yaitu Soekarno-Hatta dan Juanda. Catatan yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2009 pangsa pasar pulau Jawa masih mengambil porsi terbesar untuk angkutan udara. Disebutkan sekitar 52% penumpang pesawat domestik berada di Jawa, 85% untuk penumpang internasional dan 45% untuk kargo udara dan 81% untuk kargo internasional. 7
Masalah besar di pelabuhan udara Indonesia adalah sarat beban. Pelabuhan udara Cengkareng misalnya kini menangani penumpang 69% lebih banyak dari kapasitas optimalnya. Pelabuhan udara yang paling sarat beban adalah pelabuhan udara Polonia. Dibangun untuk menampung 900.000 penumpang tetapi pada tahun 2009 peluhan udara ini disebutkan telah dipaksa untuk menangani 5 juta penumpang. Oleh karena itu terdapat kebutuhan yang sangat mendesak untuk memperkuat kapasitas dari hampir seluruh pelabuhan udara di Indonesia.Terlebih lagi, bisnis angkutan penumpang udara mengalami pertumbuhan yang cepat.
Setelah tindakan deregulasi dalam pengaturan bisnis angkutan udara yang
diluncurkan pada tahun 1999, jumlah angkutan penumpang tumbuh sekitar 30% dari tahun 2000 ke 2004. Saat ini terdapat sekitar 15 perusahan angkutan udara penumpang yang regular-rutin dan 30 perusahan angkutan udara pesanan-carteran. Sedangkan untuk bisnis angkutan kargo, terdapat dua perusahan angkutan udara regular-rutin yang terdiri dari satu perusahan domestik dan satunya lagi internasional,
dan terdapat tiga perusahan kargo
pesanan-carteran yang semuanya domestik. Seperti halnya fasilitas infrastruktur lainnya, hambatan pendanaan dan pembebasan tanah merupakan dua hambatan utama yang dihadapi PT. Angkasa Pura untuk meningkatkan dan membangung pelabuhan udara baru. Pada tahun 2009, pemerintah sesungguhnya telah mengeluarkan UU angkutan udara yang memungkinkan pihak swasta untuk melakukan investasi baik melalui PT. Angkasa Pura (dengan membentuk usaha patungan atau membeli saham) atau secara langsung membangun pelabuhan udara di bawah skema Kemitraan Publik-Swasta. Rencana yang telah dibuat pemerintah menunjukkan adanya kebutuhan dana yang sangat besar. Untuk mekanisme Kemitraan Publik-Swasta itu terutama untuk pembangunan 7 pelabuhan baru (diantaranya Majalengka, Banten, Bali Baru dan Samarinda Baru) dibutuhkan setidaknya injeksi dana sebesar 7,5 triliun rupiah dan diharapkan penyelesaiannya pada tahun 2014. Di luar mekanisme kemitraan ini, pemerintah sendiri telah mengalokasikan dana sebesar 236 miliar rupiahdari anggaran pemerintah untuk membangun pelabuhan udara baru terutama yang berklasifikasi Class IV dan V yangumumnya terletak di bagian timur Indonesia. Selain itu pemerintah juga telah berusaha untuk meningkatkan pelabuhan udara klasifikasi status Class I menjadi Prime-Class. Diperkirakan pula terdapat sekitar 14 pelabuhan udara yang akan menjadi pelabuhan udara untuk angkutan kargo internasional pada tahun 2015. Semua proyek berada di tangan 8
PT. Angkasa Pura I dan II
dan investor swasta. Tampaknya target pembangunan
infrastruktur pelabuhan udara ini terkait dengan kesepakatan open-skyyang dicanangkan melalui kerjasama regional ASEAN yang direncanakan terwujud pada tahun 2015. Karena ketidaksiapan Indonesia, sejauh ini hanya 5 pelabuhan udara yang disebutkan termasuk dalam kesepakatan ini yaitu Soekarno-Hatta, Juanda, Kuala Namu (pengganti Polonia Medan), Ngurah Rai Bali, danHasanuddin. Identifikasi terhadap masalah pembangunan infrastruktur listrik di Indonesia akan segera tampak dari data-datasederhana berikut. Produksi listrik Indonesia pada tahun 2008 disebutkan 149.000 GWh. Angka ini tentu saja lebih besardari Thailand yang berada pada kisaran angka produksi 139.000 GWh. Walau lebih tinggi tinggi 10.000 GWh, namun kiranyaperlu dicatat bahwa angka populasi Indonesia lebih banyak 4 kali lipat dibandingkan dengan penduduk Thailand. Oleh karena itutidaklah mengherankan jika rumah tangga yang memiliki fasilitas listrik di Indonesia hanyalah sekitar 63% dari seluruh rumah tangga yang ada. Dalam hal ini PLN merupakan satu-satunya perusahan yang menjual langsung listrik ke pengguna akhir. Jika dilihat dari sisi konsumen, rumah tanggabukan merupakan satu-satunya konsumen utama. Walau pangsa rumah tangga mencapai angka 48 %, namun industri mendapatkan porsi sebesar 34,3% dan diikuti sekitar 18,5 oleh pelaku usaha bisnis nonindustri. Oleh karena itu pula penikmat subsidi lstrik tidak hanya rumah tangga tetapi juga pelaku binis industri dan non-industri. Seperti di sektor infrastruktur lainnya, penikmat fasilitas infrastruktur listrik ada di Jawa. Hal ini ditunjukkan oleg fakta bahwa 77,6% permintaan listrik datang dari Jawa dan produksi listrik juga terpusat di Jawa yaitu sekitar 78,7%. Walau angka yang ada menunjukkan bahwa terdapat surplus energi sekitar 20.000 Gwh namun distribusi geografisnya tetaplah tidak merata. Hal ini yang menyebabkan kerap terjadi listrik padam dan adanya kebijakan penjatahan listrik. Karena itu kebutuhan mendesak untuk pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tidak hanya sekadar kapasitas tetapi juga pemerataannya secara geografis. Di samping PLN, sebenarnya terdapat pemain lain yang memasok listrik di Indonesia. Patut dicatat bahwa produki listrik PLN diperkirakan hanya sebesar 76,9% dari kesuluruh produksi total listrik di Indonesia. Sisanya diproduksi oleh apa yang disebut dengan “produsen listrik independen” (PLI). Peran dari PLI terus meningkat akhir-akhir ini. Pada tahun 2001 perannya hanya 13,1 persen, kemudian meningkat lagi menjadi 20,5% pada tahun 9
2005 dan meningkat lagi menjadi 23,1% pada tahun 2009. Tampaknya peran PLI ini akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan pada tahun 2009 pemerintah mengeluarkan suatu ketentuan UU baru yang mengijinkan usaha swasta dan kopreasi untuk bergerak dalam binis pasokan listrik. Di bawah ketentuan regulasi baru ini, PLI diijinkan untuk menjual listrik secara langsung kepada konsumen akhir. Tetapi prioritas untuk pasokan listrik kepada publik masih diberikan kepada perusahan milik negara baik PLN maupun BUMN lokal. Bahkan pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan peraturan setingkat Perpres yaitu No. 36/2010 yang mendorong partisipasi pihak asing dalam pembangunan sektor listrik. Ketentuan regulasi ini memberikan kemungkinan bagi pihak asing untuk memiliki saham hingga 95% untuk pabrik pembangkit listrik di atas 10 MW. Di bawah ketentuan baru ini juga dimungkinkan untuk membangun kemitraan dengan perusahan domestik untuk pabrik pembangkit dengan kapsitas hingga 10 MW. Perusahan asing juga diijinkan untuk berperan serta distribusi, pemeliharaan dan jasa-jasa konsultansi. Dari seluruh pemaparan di atas setidaknya kita bisa melihat adanya kecenderungan ketidakseimbangan-ketidakseimbangan (imbalances) dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan berbagai dimensinya. Pertama, ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi geografis. Sebaran geografis fasilitas infrastruktur tampaknya sangat tidak seimbang, lebih terpusat di Jawa dan Sumatera. Wilayah-wilayah lain di luar Jawa dan Sumatera tampak sangat tertinggal. Tampaknya ketidakseimbangan geografis dalam fasilitas infrastruktur ini juga menyampaikan pesan bahwa ekonomi modern Indonesia tampak lebih terpusat di Jawa dan Sumatera. Kedua, ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan pembangunan infastruktur. Walaupun tingkat pertumbuhan ekonomi makro menunjukkan angka yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir yaitu berada di sekitar angka 6% namun pembangunan infrastruktur menunjukkan angka pertumbuhan yang jauh lebih rendah dari itu. Terkait dengan ini terdapat skenario yang menyatakan bahwa jika pertumbuhan dalam pembangunan infrastruktur dapat ditingkatkan maka proyeksi angka pertumbuhan ekonomi nasional kemungkinan akan dapat menjadi lebih tinggi. Ketiga, ketidakseimbangan dalam pengertian makna infrastruktur. Istilah infrastruktur pada dasarnya memiliki muatan sebagai barang atau fasilitas yang dibangun untuk memenuhi
10
kebutuhan publik.6Karena itu biasanya negara dalam hal ini pemerintah, mengemban tanggung jawab utama untuk pembangunannya. Kecenderungan yang ada di Indonesia menunjukkan sebaliknya. Semakin besar peran swasta di dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.Hal ini ditunjukkan oleh berbagai ketentuan regulasi baru yang telah dibuat baik dalam bentuk UU maupun Peraturan Pemerintah. Tujuannya adalah memudahkan peran serta swasta baik asing maupun domestik untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Setidaknya terdapat enam ketentuan hukum setiangkat UU yang telah dikeluarkan sejak tahun 2007 dengan delapan Peraturan pemerintah, 2 Perpres dan empat draft PP yang sedang dibahas.Oleh karena itu pelaku swasta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia semakin banyak dan kini tidak hanya didominasi oleh pemerintah. Keempat, ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi anggaran. Secara nominal angka anggaran untuk pembangunan infrastruktur memang menunjukkan peningkatan. Namun jika dilihat dalam porsi pengeluaran pemerintah maka anggaran sektor infrastruktur rata-rata hanya berkisar10% (Lihat grafik 1). Bahkan sesungguhnya angka pengeluaran pembangunan infrastruktur di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir tidak pernah melebihi angka 2% dari PDB.7 Angka ini tentu saja memprihatinkan jika dibandingkan dengan China yang terus menerus meningkatkan anggaran untuk pembangunan infrastrukturnya dan telah mematok angka hingga 15% dari PDB-nya.8 Diperkirakan hingga tahun 2014 Indonesia membutuhkan dana sebesar 1.429 triliun rupiah agar pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5% hingga 7%. Namun dari angka ini, pemerintah hanya sanggup memberikan 386 triliun rupiah atau sekitar 27%. 6
Pemberian infrastruktur kepada warga adalah salah satu fungsi penting dari negara. Negara yang memiliki kapabilitas untuk melaksanakan fungsi ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk dapat disebut sebagai negara yang kuat. Menurut Ashraf Ghani dkk, salah satu strategi pembangunan negara dapat juga dilakukan dengan memperkuat kapabilitas negara itu untuk memberikan pembangunan infrastruktu kepada warganya. Karena itu state building tidak dapat dipisahkan dari infrastructure development. Lihat Ashraft Ghani, Clare Lockhart, Michael Carnahan, “Closing the Sovereignty Gap: An Approach to State Building, Working Paper 253, Overseas Development Institute, London UK, September 2005 Idealnya seluruh fasilitas infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan dapat dinikmati oleh seluruh warga tanpa melihat kapasitas ekonominya. Namun jika infrastruktur jalan dan jembatan itu dibangun oleh swasta, tidak seluruh warga akan dapat menikamatinya. Penggunannya adalah warga yang memiliki kemampuan membayar sejumlah uang (fee) untuk menggunakan fasilitas infratsruktur itu. 7 Pasca Krisis Keuangan Asia 1997/1998, rasio pengeluaran pemerintah pusat terhadap PDB terus turun menjadi 69% pada tahun 2010-2011. Di sisi lain, rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDB terus mengalami peningkatan mulai dari tahun 2000 karena adanya desentralisasi. Sejak tahun 2005, rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDB menjadi sekitar 32%. Selain itu, sejak tahun 2005, capital expenditure pemerintah mengalami peningkatan hingga 13% pada tahun 2006 dan mencapai 15% pada tahun 2011. Setelah sebelumnya capital expenditure pemerintah hanya 9% pada tahun 2005. Smitha Francis,“Fiscal Policy Evolution and Distributionan Implications : The Indonesian Experience”,The IDEAs Working Paper Series, No. 01/2012, hlm. 28-29. 8 Pravakar Sahoo, Ranjan Kumar Dash, dan Geethanjali Nataraj, “Infrastructure Development and Economic Growth in China”, Institute of Developing Economies Discussion Paper No. 261, 2010, hlm. 24.
11
Grafik 1. Tren Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Tahun 2001-2007
Sumber : www.oecd.org/gov/regulatory-policy/47377678.pdf diakses pada tanggal 4 April 2013
Pada saat yang sama subsidi untuk BBM kini telah mencapai angka 25% dari APBN.9 Seandainya, pilihan kebijakan yang dilakukan adalah menghapuskan subsidi BBM dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, persoalan mobilisasi pendanaan mungkin tidak akan tidak terlalu berat. Mobilisasi pendanaan yang terbatas juga semakin bermasalah karena sumber pendapatan negara melalui pajak sangat terbatas. Rasio pajak terhadap PDB di Indonesia relatif tidak bergeser yaitu berada di sekitar angka sekitar 11,5% dalam satu dasawarsa terakhir dan merupakan rasio yang terendah di negara berkembang.10 9
Menarik mencatat misalnya bahwa dalam RAPBN 2013 subsidi enerji (BBM dan listrik) mencapai angka 274,7 triliun. Angka ini menjadi bermaslaah karena selain mengambil hamper sekitar 25% dari RAPBN tetapi juga lebih besar dari belanja modal yang sebesar 205 trliun. Lihat, “APBN 2013 Tidak Adil”, Kompas 17 Oktober 2012. 10 Rasio pendapatan pajak Indonesia terhadap PDB dari tahun 2002-2010 berkisar antara 11,5%-13,3%. Ini membuat Indonesia bersama negara G-20 lainnya yaitu Arab Saudi, Meksiko, dan India menjadi negara dengan
12
Memperbesar defisit anggaran untuk pembangunan infrastruktur melalui kebijakan fiskal juga memiliki keterbatasan oleh kehadiran ketentuan UU No. 17 tahun 2003 yang tidak memungkinkan pemerintah untuk memperbesar defisit anggaran melebihi angka 3% dari PDB. Kecuali terobosan regulasi radikal dilakukan, hampir tidak mungkin dalam jangka pendek mengharapkan negara melakukan mobilisasi pendanaan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kelima, ketidakseimbangan antara tataran kebijakan dengan tataran implementasi. Secara kebijakan, pemerintah telah memberikan ruang yang lebih besar bagi pasar dan swasta untuk berperan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tidak hanya dengan kehadiran regulasi-regulasi baru untuk investasi swasta, namun juga ketentuan yang terkait dengan pengurusan administrasi dokumen. Sebagai misal, pada tahun 2009 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 27 tahun 2009. Perpres ini menugaskan BKPM untuk melaksanakan sistem satu pintu untuk mempercepat proses ijin bagi investor langsung (realsector) dan untuk mengurangi kerumitan birokrasi. Di bawah ketentuan ini 16 kementerian telah mendelegasikan wewenang dalam pemberian ijin (lisensi) dan maupun pelayanan nonijin (non-lisensi) kepada BKPM. Namun, persoalan di lapangan menunjukkan adanya unsur non-ekonomi yang cukup berperan seperti masalah pembebasan tanah yang cukup rumit yang memiliki jaringanrumit dengan dinamika dan koneksi politik lokal. Keseluruhan
ketidakseimbangan
inilah
yang
mengakibatkan
pembangunan
infrastruktur menjadi sangat rumit di Indonesia. Sejauh ini opsi kebijakan yang diambil adalah terfokus pada penggalangan dana di luar sektor anggaran negara. Hal ini misalnya juga dapat diindikasikan oleh pendirian PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) pada tahun 2009. Dimiliki sepenuhnya oleh Kementerian Keuangan, PT. SMI menciptakan berbagai usaha patungan dengan lembaga-lembaga multilateral, bank-bank asing dan lokal, dan entitas bisnis lainnya untuk melakukan inveastasi di proyek infrastruktur. Setahun kemudian, pemerintah juga mendirikan PT. Penjamin Infrastruktur Indonesia (PT. PII) yang juga dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan.PT.PII ini dibentuk sebagai penjamin bagi proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.
rasio pedapatan pajak terhadap PDB terendah. Meskipun pada tahun 2008 rasio tersebut sempat mengalami peningkatan namun sejak tahun 2009, rasio pendapatan pajak terhadap PDB mengalai penurunan. Geoffrey Heenan, Sarah Zhou, Dora Benedek, dan Mali Chivakul, Indonesia : Selected Issue,IMF Country Report, No. 11/310, 2011, hlm. 22.
13
Masih menjadi problematika apakah seluruh ketidakseimbangan dalam pembangunan infrastrukturdi Indonesia ini akan lebih dapat dinetralisir melalui keterlibatan Indonesia dalam kerangka pertemuan G-20 dan apakah opsi kebijakan ini akan lebih mudah direalisasikan
melalui
agenda
pertemuan
G-20
itu.
Bagian
berikut
mencoba
mengidentifikasikan perkembangan G-20 berikut agenda pembangunan infrastrukturnya.
2. G-20 dan Agenda Pembangunan Infrastruktur 2.1. G-20: Asal Usul danPerkembangan
G-20 atau dikenal juga dengan Group of Twenty secara resmi berdiri pada tahun 1999. Beranggotakan 19 aktor negara plus Uni Eropa, G-20 yang merupakan gabungan dari kelompok negara-negara maju (G-7) dan perwakilan negara-negara berkembang. Ide dibentuknya G-20 merupakan tanggapan negara anggota G-7 terhadap tiga perkembangan utama di akhir tahun 1990an. Tiga perkembangan itu adalah(1) krisis keuangan yang menimpa negara-negara Asia pada tahun 1997, (2) meningkatnya pengaruh negara-negara yang dikategorikan sebagai emerging market economies terhadap perekonomian global, dan (3) munculnya ide dalam forum G-7 tentang perlunya melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya agar keputusan-keputusan yang disepakati dapat berjalan secara efektif dan berpengaruh secara luas.11Intinya, G-20 didirikan sebagai sebuah mekanisme baru untuk dialog informal dalam kerangka sistem Bretton Woods untuk memperluas diskusi pada isuisu utama dalam bidang ekonomi dan keuangan diantara negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan mempromosikan kerjasama untuk mencapai kestabilan dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan semua pihak. Oleh karena masih berada dalam kerangka Bretton Woods, G-20 tentu saja tidak menganut pendekatan radikal ketika bersentuhan dengan isu dan perdebatan tentang arsitektur ekonomi internasional yang baru. Perkembangan terbaru yang memperlihatkan karakteristik G-20 sebagai sebuah forum informal untuk mendorong dialog terbuka dan konstruktif antara negara anggota semakin mempertegas pendekatan moderat dari G-20 tersebut.G-20 pada dasarnya tidak bermaksud
11
The G-20 : Its Role and Legacy.http://www.g20.org/docs/about/part_G20.html diakses tanggal 11 Maret 2013, pk. 14.00 WIB.
14
untuk menggantikan institusi-institusi keuangan internasional yang dibentuk setelah pasca Perang Dunia II seperti IMF, Bank Dunia, dan GATT-WTO.
Kalau kita merujuk pada studi yang dilakukan Leonardo Martinez Diaz (2009) ada beberapa hal menarik tentang G-20. Pertama, asal-usul dari G-20 sangat terkait dengan krisis finansial yang melanda Asia Timur pada 1997-1998. G-20 merupakan “anak” dari krisis keuangan internasional. Ketika dibentuk, G-20 didorong oleh adanya kesadaran bahwa pencegahan (prevention) krisis keuangan dan penyelesaiannya (resolution) tidak dapat dilakukan semata oleh kelompok negara-negara maju (G-7), tetapi juga harus melibatkan negara berkembang. Isu utamanya adalah bagaimana melakukan pembaruan terhadap arsitektur keuangan internasional sehingga krisis finansial tidak lagi berulang. Ada kesadaran bahwa krisis keuangan akan mengancam pertumbuhan ekonomi global, menurunkan besar PDB sekitar 30%, menciptakan pengangguran, dan menambah jumlah orang miskin di negara yang terlanda krisis kebangkrutan bagi seluruh negara.Karena itu G-20 pada awalnya adalah forum keuangan dan bukan forum pembangunan. Kedua, upaya untuk menciptakan arsitektur keuangan itu bukan dilakukan melalui institusi IMF. Hal tersebut juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerangka kelembagaan baru pengganti IMF.Upaya itu dilakukan dengan menciptakan forum intergovernmental network. Pilihan ini menggambarkan sikap jalan moderat. Penciptaan institusi baru di luar kerangka IMF dianggap terlalu radikal karena dapat menciptakan keguncangan dalam institusi-institusi keuangan di seluruh dunia. Namun, pilihan melalui IMF juga dipandang terlalu konservatif. Lembaga keuangan IMF ini dipandang memiliki legitimasi yang rendah di kalangan negara berkembang. Bagi negara berkembang, IMF merupakan institusi yang didominasi negara maju. Pembuatan keputusan tidak didasarkan pada satu negara satu suara, tetapi berdasarkan kontribusi pendanaan dan yang terbesar adalah kelompok negara maju. Ketiga, kelompok negara berkembang dalam G-20 plus negara yang dikategorikan sebagai emerging market, melebihi jumlah negara maju G-7. Rasionya adalah 11 berbanding delapan dan satu lainnya diberikan kepada organisasi regional Uni Eropa. Meski demikian, keunggulan numerik pengaruh ini tidak berarti pengaruh negara berkembang lebih kuat dibandingkan dengan negara maju. Hal ini disebabkan watak pertemuan dari G-20 adalah forum dialog yang didasarkan pada konsensus. G-20 bukanlah suatu entitas pembuatan 15
keputusan yang didasarkan pada pemberian suara. Karena itu, keunggulan numerik kelompok negara berkembang dalam G-20 tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar. Bahkan jika dilihat dari sumber dayanya kelompok negara maju memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok negara berkembang. Kementerian keuangan dan bank-bank sentral yang ada di G-7 disebutkan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merancang agenda, melaksanakan penelitian, dan mengembangkan posisi-posisi mereka dalam setiap pertemuan. Kelompok negara maju juga disebutkan memiliki hubungan yang lebih baik dengan organisasi internasional lainnya. G-7 memiliki jaringan pengaruh yang lebih luas dan kuat dengan IMF dan Bank Dunia. Menteri Keuangan kelompok G-7 mengadakan pertemuan enam kali setahun. Karena itu, kelompok G-7 dalam G-20 lebih mudah untuk mendapatkan kesamaan dalam agenda setting dibandingkan dengan kelompok negara berkembang. Keempat, Leonardo Martinez Diaz bahkan menunjukkan, sikap G-20 tampak lebih memihak G-7 dibandingkan dengan sikap G-24 (kumpulan negara berkembang). Dari sembilan isu yang dijadikan rujukan, G-20 disebutkan hanya tampak mengakomodasikan dua isu kebijakan yang disampaikan G-24, yaitu dalam isu restrukturisasi utang negara (sovereign debt) dan dalam isu pembaruan lembaga-lembaga Bretton Woods.Dalam isu restrukturisasi utang negara, disepakati perlunya codeof conduct yang adil bagi negara berkembang. Dalam isu pembaruankelembagaan juga disepakati perlu adanya perubahan dalam voting power di dalam institusi IMF dan Bank Dunia.Namun, dalam tiga isu lainnya, posisi G-20 tidak memihak usulan negara berkembang. Sebagai misal, G-20 menolak posisi G-24 yang mengusulkan agar tidak mengaitkan aturan pengawasan (surveillance) dan persyaratan pinjaman (conditionality) IMF.Juga G-20 tidak menyatakan kecemasan negara berkembang tentang isu keterwakilan (representativeness) negara berkembang dalam forum-forum pertemuan keuangan internasional baru. G-20 juga tidak menyuarakan kecemasan G-24 terhadap implikasi isu pengurangan utang bagi negara berkembang.G-20 juga bersikap diam atau tidak menyatakan apa pun dalam isu kondisionalitas IMF, kontrol modal dan perdagangan. Posisi negara berkembang dalam tiga isu ini, seperti yang terlihat dari pertemuan G-24, biasanya sangat kritis. Sebagai contoh dalam isu conditionality, G-24 menuntut adanya perampingan persyaratan IMF.Dalam isu kontrol modal, G-24 menuntut pengendalian khususnya pada perdagangan derivatif (derivative trading). Namun, G-20 tidak berbicara tegas tentang isu ini.G-20 juga tidak berbicara tentang praktik-praktik perdagangan proteksionis yang dilakukan oleh negara-negara industri maju. Akan tetapi, dalam satu isu khusus, Diaz menyebutkan, posisi G-20 menggambarkan posisi lebih ”maju” dibandingkan 16
dengan G-7, yaitu dalam isu pendanaan terorisme. Sebenarnya isu pendanaan terorisme bukan merupakan agenda G-20 sehingga kemungkinan isu inidiangkat oleh AS sebagai upaya untuk melibatkan banyak pihak dalam penanganan pendanaan terorisme. Sebagai suatu forum informal, karakter lainnya dari G-20 adalah kelompok initentu saja tidak memiliki sekretariat dan perangkat organisasi yang tetap.Kursi ketua dirotasi diantara anggota-anggotanya dengan menggunakan sistem TROIKA yang terdiri dari ketua tahun berjalan, ketua tahun lalu dan ketua tahun berikutnya sebagai upaya menjaga keberlangsungan kegiatan dan agenda yang dijalankan.Layanan kesekretariatan disediakan oleh ketua tahun berjalan selama masa tugasnya.Hal ini memperjelas posisi G-20 sebagai sebuah forum kerjasama internasional yang berlandaskan komitmen dan konsensus yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Walau tidak mengikat secara hukum, harus pula dicatat bahwa G-20 secara diplomatik diakui sebagai sebuah forum yang memiliki reputasi yang tinggi. Ada dua alasan untuk pengakuan ini. Pertamaadalah karena G-20 memberikan arahan kebijakan ekonomi (economic policy guidance) bagi negara anggotanya. Alasan kedua, G-20secara tidak langsung dapat mempengaruhi arah kebijakan ekonomi global mengingat anggota G-20 adalah kumpulan negara yang menghimpun 90% GNP dunia, menguasai 80% total perdagangan dunia dan memiliki dua pertiga penduduk dunia. Watak lainnya adalah beragamnya kepentingan dari anggotanya. Jika dilihat secara lebih detil profil masing-masing negara, anggota G-20 tidaklah sekadar pengelompokkan negara maju dan berkembang. G-20 sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu: negara maju anggota G-7/G-8 (Amerika, Jepang, Kanada, Jerman, Perancis, Inggris, Itali) dan non G-8 yaitu Australia dan Korea Selatan; negara BRICS (Brazil, Rusia, China, India, dan Afrika Selatan) sebagai emerging economies; dan negara berkembang seperti Indonesia, Argentina, Mexico, Turki, dan Arab Saudi. Hal ini mengindikasikan dua hal.Pertama,dinamika proses pengambilan keputusan konsensual dalam forum ini akan sangat diwarnai kepentingan yang berbeda dari ketiga kelompok tersebut.Kedua, adanya kesenjangan ekonomi yang cukup besar diantara negara-negara anggota.
Bagan 1. Kategori Keanggotaan G-20
Developed Countries: - Anggota G-8: Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, AS, Inggris, Uni Eropa - Non G-8: Australia dan Korea Selatan
BRIC/Emerging Economies Countries: Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan 17
Developing Countries: Indonesia, Argentina, Meksiko, Arab Saudi, Turki
Walau demikian, sebagai upaya untuk menyelaraskan berbagai kepentingan negara anggotanya, sejak tahun 1999 pertemuan antar Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral secara rutin setiap tahun melaksanakan pertemuan yang dilaksanakan secara tertutup. Kemudian pada tanggal 14-15 November 2008, dimulai pertemuan pada level Pemimpin Negara anggota
G-20 (G-20 Leaders Summit)yang diadakan di Washington D.C. yang
bertujuan untuk mengatasi krisis finansial yang terjadi saat itu dan menyiapkan sebuah kerangka untuk mencegah terjadinya krisis
keuangan ke depan, sambil menjaga
keberlanjutan dan keseimbangan pertumbuhan global dan mereformasi arsitektur pemerintahan global (global governance).12Peningkatan level pertemuan ini memperkuat citra G-20 sebagai sebuah mekanisme kerjasama ekonomi internasional yang mengatur pasar keuangan dan mempengaruhi kebijakan ekonomi global.13 Selain kedua pertemuan tersebut, G-20 juga memiliki empat working groupyang dibagi berdasarkan fokus tugas yang berbeda. Pertama, untuk penguatan aturan dan transparansi.Kedua, penguatan kerjasama internasional dan promosi integritas dalam pasar financial.Ketiga, reformasi IMF.Keempat, sebagai wahana diskusi antara negara-negara G-20 terhadap isu-isu perekonomian global. Lebih jauh, sebagai upaya G-20 untuk melibatkan banyak pihak, dalam pertemuan-pertemuan di tingkat menteri & kepala negara juga dilibatkan peran dari IMF dan World Bank.Karena itu karakter lainnya dari G-20 adalah ia tidak sekadar multi-agenda forum tetapi juga telah berkembang sekaligus sebagai multistakeholder forum. Terkait dengan agenda pertemuan G-20, menunjukkan perkembangan yang unik. Dari tahun ke tahun agendanya telah berkembang seiring dengan dinamika internal negara-negara anggota maupun dinamika internasional. Adapun perkembangan agenda utama pada pertemuan pertama tingkat Menteri Keuangan dan Bank Sentral adalah sebagai berikut:
Tabel 1.Perkembangan Agenda dalam Pertemuan G-20 Tingkat Menteri
Year
Host Country
Agenda & Commitment
12
Leader’s Statement: The Pittsburgh Summit September 24-25, 2009 diakses dari http://www.g20.org/Documents /pittsburgh_summit_leaders_statment_250909.pdf pada tanggal 13 Maret 2013, pk. 12.50 WIB. 13 The G-20 : Its Role and Legacy. Op. Cit.
18
1999
Jerman
- Tackle questions of the group’s role and objectives, particularly in addressing common vulnerabiliteis to their economies and the global financial system; - reaffirmed trade liberalization under the WTO; - welcomed the work of the World Banl and IMF in developing international codes and standards, - undertook the preparation of G-20 reports on the implemenetation of such codes and standards
2000
Canada
- The opportunities and challenges of Globalization; - improve the effectiveness of international financial institutions; to implement policies to reduce vulnerability to financial crises, supported the integration of global finance; - advocated support for the Heavily Indebted Poor Countries (HIPCs) initiative; - pledged combating financial crime; supported the fight against infectious disease; - endorsed the WTO’s efforts to achieve multilateral trade liberalization
2001
Canada
- Continuos focus on economic and financial issues - Fight against the fianncing of terrorism
2002
India
2003
Mexico
- Continue to concentrate on economic growth - Multilateral trade - Crisis prevention - Fight against financial abususe including tax evasion - Fight against global poverty
2004
Jerman
-
-
Economic and financial stability Questions of globalizations Trade and developemnt Fight against the financing terrorism and other abuses of the financial system
Reaffirming support for UN MDGs Trade imbalances Regional cooperation Employment Demographic changes 19
- Problems of architecture 2005
China
2006
Australia
2007
South Africa
international
financial
- Concern on high oil prices and their effects on the world economy - Aid effectiveness -
The Global economy outlook, Global energy and mineral markets Demographic change Reform of the Bretton Woods institutions Advancing ekonomic reform Aid commitments and effectiveness Transparency and information exchange for tax purposes
- Fiscal policy - Reform of Bretton Woods
Sumber: Disarikan dari Peter I. Hajnal, “The G-8 Sytem and The G-20 Evolution, Role and Documentation. Ashgate Publisher, USA, 2007, p. 151-157. Dari tabel diatas jelas terlihat dinamika agenda pertemuan tingkat menteri. Pada pertemuan di Kanada 2000-2001 disepakati apa yang disebut “Konsensus Montreal” yang menegaskan komitmen negara-negara G-20 pada integrasi ekonomi global dan sekaligus komitmen untuk menjalankan program-program pada level domestik. Pada tahun 2001, dilatarbelakangi peristiwa serangan teroris 9/11dicapai juga “Comprehensive Action Plan” untuk mencegah pendanaan terhadap terorisme.Selanjutnya di tahun 2003 disepakati Collective Action Clauses yaitu sebuah kerangka atau mekanisme bagi penerbitan bond oleh negara-negara dan berkembang. Di tahun 2004 disepakati G-20 Accord for Sustained Growth yang berisi syarat-syarat dan prioritas pembangunan ekonomi berkelanjutan termasuk didalamnya agenda reformasi G-20. Sedangkan tahun 2005, isu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta efektivitas bantuan menjadi fokus pertemuan G-20 di China. Pada pertemuan ini juga untuk pertamakalinya dibahas mengenai reformasi institusi Bretton Woods.Adapun untuk pertemuan tahun 2006, seiring dengan meningkatnya harga komoditas mineral di pasar dunia agenda pertemuan menfokuskan pada isu keamananenergi danisu reformasi IMF dan Bank Dunia.Sedangkan pertemuan pada tahun 2007, isu kebijakan fiskal menjadi fokus utama dalam pertemuan di Afrika Selatan ini.14
14
Peter I. Hajnal, “The G-8 Sytem and The G-20 Evolution, Role and Documentation.” Ashgate Publisher, USA, 2007, p. 39-42.
20
Dalam kaitannya dengan agenda yang dibahas dalam pertemuan G-20 Leaders Summit juga memiliki pola yang sama, yaitu terjadi perkembangan agenda dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi baik itu di level domestik, regional maupun internasional (detail lihat tabel 2).
2.2.Agenda Pembangunan Infrastruktur G-20
Masalah infrastruktur secara eksplisit menjadi agenda G-20 Leaders Summitpada pertemuan di Toronto tahun 2010. Hal ini ditandai dengan dicapainya satu kesepakatan tentang pembiayaan infrastruktur (infrastructure investment) pada pertemuan tersebut (lihat tabel 2).Agenda ini kemudian dibahas kembali pada pertemuan kelima di Seoul pada tahun yang sama. Pertemuan di Seoul ini menghasilkan the Seoul Multi Year Action Plan (MYAP) dan Seoul Consensus on Developmentyang menempatkan sembilan pillar dalam pembangunan, yaitu : 1)
Infrastruktur,
2)
Investasi swasta dan penciptaan lapangan kerja
3)
Pengembangan sumber daya manusia
4)
Perdagangan
5)
Inklusi Keuangan
6)
Resilient Growth
7)
Food security
8)
Mobilisasi sumber-sumber domestik
9)
Knowledge sharing
Konsensus ini menjadi titik awal persoalan infrastruktur dibicarakan secara eksplisit dalam G-20.Masalah infrastuktur kemudian dibahas lagi dalam pertemuan keenam G-20 Leaders Summit tahun 2011 di Perancis.15 Hasil pertemuan ini tidak lagi bicara tentang pembiayaan infrastruktur akan tetapi secara lebih umum menyebutkan “improving infrastructure in developing countries.”. Pada pertemuan 2012 di Los Cabos, para pemimpin negara menyatakan sepakat untuk menciptakan situasi yang lebih kondusif untuk pembangunan yang meliputi dukungan untuk investasi infrastruktur(supporting infrastructure investment).
15
The G-20 : Its Role and Legacy. Op. Cit.
21
Pada pertemuan tingkat menteri di Washington dan pertemuan tingkat kepala negara di Los Cabos 2012, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat kuat mendukung diagendakannya persoalan infrastruktur khususnya pembiayaan infrastruktur dalam pertermuan G-20.16Indonesia juga mengusung “global Infrastructure investment initiative” dalam pertemuan tersebut. Penggunaan istilah infrastructure spending kemudian berubah menjadi infrastructure investment. Melihat perkembangan agenda infrastruktur dalam G-20, dapat dikatakan bahwa bahwa ada kesepakatan diantara negara anggota G-20, terutama negara-negara berkembang untuk menempatkan agenda infrastruktur sebagai agenda penting dan krusial tidak hanya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara global, akan tetapi juga dapat mendorong pembangunan dan mengurangi kesenjangan global. Perkembangan ini tentu saja menarik dan positif. Setidaknya G-20 tidak lagi sekedar agenda keuangan tetapi memuat agenda pembangunan. Selama ini persoalan infrastruktur dianggap sebagai sebuah isu domestik dan hanya dilihat sebagai bagian dari kerangka pembangunan nasional, dan bukan terkait dengan persoalan pertumbuhan dan kestabilan ekonomi di tingkat global.Hal ini tergambarkan pada progress report 2012 dari development working group G-20 yang menetapkan bahwa: “Key challenges to development: inclusive green growth, infrastructure, and food security.”17 Oleh karena itu sebagai upaya untuk mencapai agenda pembangunan & pembiayaan infrastruktur ini diusulkan mekanisme Multilateral Development Banks/MDBs dan dibentuknyaHigh Level Panel (HLP) on Infrastructure yang diberi mandate sebagai berikut:18 “The HLP was mandated to work with the MDBs to foster the scaling up and diversification of financing for infrastructure needs, particularly in low income countries (LICs), with a focus on increasing investment flows from the private sector.” Adapun sejauh ini beberapa proyek infrasturktur yang sudah dijalankan melalui MDBs adalah sebagai berikut: 19 1. Africa 16
Dalam pidatonya, SBY mengatakan bahwa untuk membangun infrastruktur yang terkoneksi, Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 250 miliar atau sekitar Rp 2.450 triliun http://www.antaranews.com/berita/307611/indonesia-usulkan-pembiayaan-infrastruktur-dalam-g20, lihat juga http://m.merdeka.com/uang/sby-dorong-negara-g20-biayai-infrastruktur-negara-berkembang.html diakses 11 Maret 2013, pk. 19.00 WIB. 17 2012 Progress Report of the Development Working Group,http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cms_data/docs/pressdata/en/ec/131115.pdf, diakses 15 Maret 2013, pk. 19.00 WIB. 18 G-20 2011 Cannes Summit Outcomes on Infrastructure Including a summary of the High Level Panel on Infrastructure’s report to the G20http://www.bond.org.uk/data/files/G20_Outcomes_on_Infrastructure_Summary_and_Analysis_24th_Nov.p dfDiakses diakses 15 Maret 2013, pk. 19.00 WIB. 19 Ibid.
22
West Africa Power pool (WAPP) Ethiopia and Kenya Power Systems Interconnection Inga Hydropower North-South Corridor (NSC) Isaka-Kigali Railway 2. Middle East and North Africa (MENA) Jordan Railway projects Scaling up solar energy in MENA for export to European Markets 3. Asia Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan-India (TAPI) Natural Gas Pipeline ASEAN Infrastructure Fund (AIF) Regional Program for Scaling-up Clean Biomass Energy in the Greater Mekong Subregion 4.
Latin America and Caribbean Pacific Corridor
23
Tabel 2. Perkembangan Agenda dan Kesepakatan G-20 Leaders Summit
Date/Place
Agenda
November 14- 15, 2008 Washington D.C (First Leaders Summit)
Commitment
Financial Markets and the World Economic (deteriorating economic conditions worldwide ) -
April 2, 2009 London (Second Leaders Summit)
the greatest challenge to the world economy in modern times (Continuing agenda First Summit)
-
September 2425, 2009 Pittsburgh, USA (Third Leaders
Global financial system and the world economy ( “Global Economy and Framework for Strong, Sustainable, and
-
Take whatever further actions were necessary to stabilize the financial system Recognize the importance of monetary policy support, as deemed appropriate to domestic condition Use fiscal measures to stimulate domestic demand to rapid effect, as appropriate, while maintaining a policy framework conducive to fiscal sustainability Help emerging and developing economies gain access to finance in current difficult financial conditions, including through liquidity facilities and program support Welcome the IMF's new short-term liquidity facility, and urge the ongoing review of its instruments and facilities to ensure flexibility Encourage the World Bank and other multilateral development banks (MDBs) to use their full capacity in support of their development agenda Ensure that the IMF, World Bank and other MDBs have sufficient resources to continue playing their role in overcoming the crisis. Treble resources available to the IMF to $750 billion Support a new SDR allocation of $250 billion Support at least $100 billion of additional lending by the MDBs Ensure $250 billion of support for trade finance Use the additional resources from agreed IMF gold sales for concessional finance for the poorest countries This constituted an additional $1.1 trillion programme of support to restore credit, growth and jobs in the world economy. Launch a framework that sets out the policies and the way G20 countries act together to generate strong, sustainable and balanced global growth Make sure the regulatory system for banks and other financial firms reins in the excesses that led to the crisis. Where reckless behavior and a lack of responsibility led 24
Summit)
Balanced Growth” ) -
June 26-27, 2010 Toronto, Canada (Fourth Leaders Summit)
Building on achievements in addressing the global economic crisis -
November 1112, 2010 South Korea (Fifth Leaders Summit)
- uneven growth and widening imbalances(nine pillars of Seoul Development Consensus)
to crisis, we will not allow a return to banking as usual Reform the global architecture to meet the needs of the 21st century Take new steps to increase access to food, fuel and finance among the world's poorest while clamping down on illicit outflows Phase out and rationalize over the medium term inefficient fossil fuel subsidies while providing targeted support for the poorest maintain our trade openness and move toward greener, more sustainable growth To follow through on delivering existing stimulus plans, while working to create the conditions for robust private demand. To put in place credible, properly phased and growth-friendly plans to deliver fiscal sustainability, differentiated for and tailored to national circumstances. To make further progress on financial repair and reform to increase the transparency and strengthen the balance sheets of our financial institutions, and support credit availability and rapid growth, including in the real economy. To build a better regulated and more resilient financial system that serves the needs of G20 citizens. To complete the reforms of the international financial institutions. To strengthen social safety nets, enhancing corporate governance reform, financial market development, infrastructure spending, and greater exchange rate flexibility in some emerging markets To renew for a further three years, until the end of 2013, the commitment to refrain from raising barriers or imposing new barriers to investment or trade in goods and services, imposing new export restrictions or implementing World Trade Organization (WTO)-inconsistent measures to stimulate exports.
- Undertake macroeconomic policies, including fiscal consolidation where necessary, to ensure ongoing recovery and sustainable growth and enhance the stability of financial markets; - Implement a range of structural reforms that boost and sustain global demand, foster job creation, and increase the potential for growth; and - Enhance the Mutual Assessment Process (MAP) to promote external sustainability. - A modernized IMF that better reflected the changes in the world economy through 25
-
-
-
November 3-4, 2011 Cannes, France (Sixth Leaders Summit)
- Global Recovery
greater representation of dynamic emerging markets and developing countries Instruments to strengthen global financial safety nets Core elements of a new financial regulatory framework The Seoul Development Consensus for Shared Growth that sets out the G20 commitment to work in partnership with other developing countries The Financial Inclusion Action Plan, the Global Partnership for Financial Inclusion and a flexible SME Finance Framework, all of which will significantly contribute to improving access to financial services and expanding opportunities for poor households and small and medium enterprises Their strong commitment to direct G20 negotiators to engage in across-the-board negotiations to promptly bring the Doha Development Round to a successful, ambitious, comprehensive, and balanced conclusion, and to resist all forms of protectionist measures Leaders also committed to continue the G20's work to prevent and tackle corruption through the Anti-Corruption Action Plan; rationalize and phase-out over the medium term inefficient fossil fuel subsidies; mitigate excessive fossil fuel price volatility; safeguard the global marine environment; and combat the challenges of global climate change.
- They committed to ensure that the IMF continued to have resources to play its systemic role to the benefit of its whole membership, and to expeditiously implement in full the 2010 quota and governance reform of the IMF. - Leaders agreed on comprehensive measures so that no financial firm could be deemed "too big to fail" and to protect taxpayers from bearing the costs of resolution. They also decided to develop the regulation and oversight of shadow banking and agreed on principles to protect financial services consumers. They agreed to reform the FSB to improve its capacity to coordinate and monitor the G20's financial regulation agenda. - Leaders endorsed the IOSCO recommendations to improve regulation and supervision of commodity derivatives markets and decided to invest in and support research and development of agriculture productivity. They launched the 26
-
-
-
-
June 18-19, 2012 Los Cabos, Mexico
- to promote growth and jobs, in a challenging economic context
"Agricultural Market Information System" (AMIS) to reinforce transparency on agricultural products' markets. To improve food security, they committed to develop appropriate risk-management instruments and humanitarian emergency tolos, and decided that food purchased for non-commercial humanitarian purposes by the World Food Program would not be subject to export restrictions or extraordinary taxes. They also welcomed the creation of a "Rapid Response Forum", to improve the international community's capacity to coordinate policies and develop common responses in time of market crises. Leaders reaffirmed their commitment to rationalize and phase-out over the medium term inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption, while providing targeted support for the poorest, and called for the implementation of the Cancun agreements and further progress in all areas of negotiation, including the operationalization of the Green Climate Fund, as part of a balanced outcome in Durban. Leaders reaffirmed their standstill commitments until the end of 2013, as agreed in Toronto, committed to roll back any new protectionist measures that may have risen, and agreed to pursue in 2012 fresh, credible approaches to furthering the Doha negotiations. They also supported a strengthening of the WTO, which should play a more active role in improving transparency on trade relations and policies and enhancing the functioning of the dispute settlement mechanism. Recognizing that economic shocks affect disproportionately the most vulnerable, Leaders commited to ensuring a more inclusive and resilient growth, including measures to foster investments in agriculture and mitigate the impact of price volatility, and improving infrastructure in developing countries. Leaders also agreed that new sources of funding needed to be found to address development needs and climate change. Finally, Leaders welcomed the report of UK Prime Minister David Cameron on global governance.
- a coordinated Los Cabos Growth and Jobs Action Plan to achieve those goals, and reaffirmed their commitment to strengthen the IMF's credit capabilities with new resources up to US$456 billion. 27
(Seventh Leaders Summits)
- Euro Area members of the G20 agreed to take all necessary policy measures to safeguard the integrity and stability of the area, improve the functioning of financial markets and break the feedback loop between sovereigns and banks. - Leaders looked forward to the Euro Area working in partnership with the new Greek government to ensure they remain on the path to reform and sustainability within the Euro Area. - Reaffirmed their commitment to implementing their structural and regulatory reform agendas to enhance medium-term growth prospects and build more resilient financial systems, as well as to reducing imbalances by strengthening deficit countries' public finances with sound and sustainable policies that take into account evolving economic conditions and, in countries with large current account surpluses, by strengthening domestic demand and moving toward greater exchange rate flexibility. - Multilateralism is of even greater importance in the current climate, and remained the best asset to resolve the global economy's difficulties. - Leaders committed to intensify their efforts to create a more conducive environment for development, including supporting infrastructure investment, in order to improve living conditions across the globe and protect the most vulnerable
Sumber: The G-20 : Its Role and Legacyhttp://www.g20.org/docs/about/part_G20.html diakses tanggal 11 Maret 2013, pk. 14.00 WIB
28
3. Perkembangan Kinerja Makroekonomi Negara-Negara Anggota G-20
Terkait pembangunan infrastruktur, penting untuk melihat kinerja makroekonomi negara anggota G-20 karena beberapa alasan berikut. Pertama, pada tingkat implementasi, pendanaan pembangunan infrastruktur pada akhirnya akan dilaksanakan secara bilateral antar negara. Kedua, G-20 sejauh yang diamati belum pernah mengusulkan dibentuknya suatu lembaga pendanaan yang khusus terfokus pada pembangunan infrastruktur di luar kerangka Bank Dunia dan Bank Pembangunan Regional. Ketiga, terdapat alternatif yang baru-baru ini telah digagas untuk membentuk lembaga pendanaan multilateral yang tidak bersifat regional yang dilakukan melalui mekanisme BRICS. Atas dasar pertimbangan ini, melihat potensi negara anggota G-20 menjadi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan sekadar melihat agenda yang tengah dibentangkan melalui rangkaian pertemuan. Negara-negara anggota G-20 adalah negara-negara yang memilikekuatan ekonomi dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang beragam. Ditinjau secara agregat PDB anggota G-20 dikatakan menguasai 2/3 PDB dunia. Berdasarkan data World Development Indicators (WDI) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, diluar Uni Eropa, dari tahun 2007 hingga tahun 2009, negara dengan perekonomian terbesar di dunia adalah Amerika Serikat (AS) kemudian disusul oleh Jepang diposisi kedua dan China sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga. Namun pada tahun 2010, China berhasil menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah AS dan menggeser Jepang ke posisi ketiga.20 Tanda bahwa posisi Jepang akan tergeser oleh China sudah terlihat pada tahun 2009 ketika total PDB China hampir mendekati total PDB Jepang. Berdasarkan data WDI Bank Dunia, diketahui bahwa pada tahun 2009 total PDB Jepang mencapai US$5 triliun sedangkan total PDB China sudah mencapai US$ 4,9 triliun.
Lalu pada tahun 2010, PDB China
meningkat menjadi US$ 5,9 triliun. Peningkatan ini menjadi bukti keberhasilan China dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya dan mengalahkan Jepang yang pada saat itu memiliki PDB sebesar US$ 5,4 triliun. Hingga tahun 2011, PDB China terus meningkat namun masih cukup jauh untuk mendekati PDB AS. Pada tahun 2011, PDB AS mencapai US$ 14 triliun. Kondisi ini sangat timpang dengan PDB negara G-20 lainnya terutama Argentina dan Afrika Selatan. Pada tahun yang sama, PDB Argentina hanya US$ 446 miliar sedangkan PDB Afrika Selatan hanya US$ 408 20
Japan Confirms China Surpassed Its Economy in http://www.washingtontimes.com/news/2011/feb/14/japan-confirms-china-surpassed-its-economy2010/?page=alldiakses tanggal 14 Februari 2013, pk. 20.00 WIB.
29
2010.
miliar. Negara G-20 lainnya yang total PDB-nya tidak mencapai US$ 1 miliar adalah Turki, Arab Saudi, Argentina, dan Indonesia.
Ketimpangan ini menunjukan jika pertumbuhan
ekonomi di dalam kelompok G-20tidak merata, dan sekaligus secara tidak langsung memberikan gambaran ketimpangan pertumbuhan ekonomi dunia.
Grafik 2. Total Produk Domestik Bruto Negara G-20 (dalam US$)
$20.000.000.000.000,00 $18.000.000.000.000,00 $16.000.000.000.000,00 $14.000.000.000.000,00 $12.000.000.000.000,00 $10.000.000.000.000,00 $8.000.000.000.000,00 $6.000.000.000.000,00 $4.000.000.000.000,00 $2.000.000.000.000,00 $0,00
Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Australia Jepang Perancis AS Rusia Kanada Italia EU Jerman Inggris China Brazil Argentina India Indonesia Korea Selatan Mexico Arab Saudi Turki Afrika Selatan
Tahun 2011
Sumber : Bank Dunia. World Development Indicators (WDI).
Seperti diketahui, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, perekonomian dunia dilanda dua krisis ekonomi yang menimpa negara-negara maju. Pada tahun 2008, terjadi krisis keuangan global yang berasal dari AS. Hal ini dipicu oleh pemberian kredit perumahan berbunga rendah secara berlebihan kepada orang-orang yang dikategorikan NINJA (no income, no jobs, and no assets) dan kesalahan lembaga keuangan dengan melakukan sekuritasasi mortgage menjadi sekuritas dalam bentuk lainnya seperti mortgage-backed securities (MSB). Ketika pemerintah ASmenerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat yang ditandai dengan semakin tingginya tingkat suku bunga, masyarakat yang mengajukan kredit perumahan mengalami gagal bayar.21
Kondisi ini kemudian diperparah dengan
kejatuhan lembaga-lembaga keuangan besar di AS seperti Lehman Brothers.
Akhirnya
pemerintah AS harus turun tangan dengan melakukan bail out kepada sejumlah lembaga keuangan karena lembaga keuangan tersebut dianggap too big too fail.
21
Bank Indonesia, Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014, Edisi Januari 2009, hlm. 43-44.
30
Krisis keuangan di AS tidak hanya melemahkan perekonomian AS namun juga negara-negara lain seperti negara G-20 bahkan berdampak secara global. Penularan krisis yang terjadi baik melalui jalur keuangan internasional maupun jalur perdagangan telah membuat pertumbuhan ekonomi negara-negara G-20 menurun. Pada grafik di bawah terlihat bahwa 13 negara dari 20 negara G-20 mencatat pertumbuhan ekonomi negatif di tahun 2009 akibat krisis keuangan global. Namun tidak semua negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif walaupun angka pertumbuhan ekonominya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi negara G-20 seperti China, Argentina, India, Indonesia, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Australia tetap positif. Bahkan pertumbuhan ekonomi China masih mencapai 9,2%. Disusul oleh India dan Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing sebesar 8,2% dan 4,6%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu ditopang oleh konsumsi masyarakat yang tinggi sehingga krisis keuangan global tidak terlalu melemahkan perekonomian. Hanya dalam waktu 2 tahun, perekonomian dunia terguncang lagi dengan munculnya krisis utang di Uni Eropa. Krisis ini merupakan dampak dari krisis keuangan global di AS. Krisis kepercayaan yang timbul akibat kejatuhan lembaga-lembaga keuangan besar di AS membuat likuiditas di pasar uang internasional menjadi langka dan tingkat suku bunga meningkat. Kondisi ini memaksa bank-bank mengurangi pinjaman. Untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dan kepercayaan kepada sistem keuangan tetap tinggi, pemerintah negara-negara Eropa memberikan stimulus dan melakukan injeksi modal pada bank-bank yang bermasalah.22 Namun ternyata stimulus yang diberikan oleh pemerintah tersebut justru menambah beban fiskal pada masing-masing negara Uni Eropa.
Negara-negara Uni Eropa telah
menyepakati Stability and Growth Pact (SGP) yang menekankan bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak boleh lebih dari 60% dan rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB tidak boleh lebih dari 3%. Akan tetapi aturan SGP tersebut sudah lama dilanggar oleh hampir semua negara Uni Eropa terutama negara-negara Zona Euro. Oleh karena itu ketika pemerintah negara Zona Euro memberikan stimulus pada perekonomian untuk mengatasi dampak krisis keuangan global, keuangan masing-masing negara Zona Euro
22
Marcella Murphy. “Europe’s Sovereign Debt Crisis”. http://www.advance.com.au/downloads/commentaries/2011/201107-Europe-sovereign-debt-crisis.pdf. Diakses tanggal 14 Februari 2013, pk. 20.13 WIB.
31
menjadi lebih buruk. Utang pemerintah terhadap PDB maupun defisit anggaran pemerintah terhadap PDB meningkat tajam.23 Krisis utang negara Zona Euro ini kembali melemahkan perekonomian global. Pada grafik di bawah terlihat pertumbuhan ekonomi negara-negara G-20 kembali turun. Bahkan Jepang kembali mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Namun demikian pertumbuhan ekonomi China, Argentina, India, Indonesia, Arab Saudi, dan Turki tetap lebih dari 6%. China kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi yaitu 9,3%. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi negara maju seperti AS hanya 1,7%. Masih tingginya perekonomian negara-negara berkembang menjadi bukti negara-negara berkembang telah menjadi engine of growth yang baru dan menggantikan negara-negara maju yang perekonomiannya masih belum pulih.
Grafik 3. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Negara G-20 (dalam %)
20 15 Tahun 2007
10
Tahun 2008 5
Tahun 2009 Tahun 2010
-5 -10
Australia Jepang Perancis AS Rusia Kanada Italia EU Jerman Inggris China Brazil Argentina India Indonesia Korea Selatan Mexico Arab Saudi Turki Afrika Selatan
0
Tahun 2011
Sumber : Bank Dunia. World Development Indicators (WDI).
Kelesuan perekonomian negara-negara maju di kelompok G-20 diperparah dengan buruknya indikator ekonomi lainnyayaitu rasio defisit anggaran terhadap PDB.
Seperti
halnya negara-negara Uni Eropa, batas maksimal defisit anggaran pemerintah negara-negara lain terhadap PDB adalah 3%. Pada grafik di bawah terlihat bahwa tidak hanya negara Uni Eropa seperti Jerman, Italia, Perancis, dan Inggris, negara maju lainnya seperti Jepang dan AS pun mengalami defisit anggaran yang sangat besar hingga lebih dari 3%. Peningkatan 23
Ibid.
32
defisit anggaran terbesar terjadi pada tahun 2009 sebagai dampak dari krisis keuangan global. Berdasarkan data Bank Dunia, Inggris merupakan negara dengan defisit anggaran terhadap PDB paling besar yaitu 10% pada tahun 2009. Peningkatan ini tergolong sangat besar mengingat pada tahun sebelumnya defisit anggaran terhadap PDB hanya 4,7%.
Grafik 4. Rasio Defisit Anggaran Terhadap PDB Negara G-20 (dalam %)
8 6 4 2 Tahun 2007
-2 -4 -6
Australia Jepang Perancis AS Rusia Kanada Italia EU Jerman Inggris China Brazil Argentina India Indonesia Korea Selatan Mexico Arab Saudi Turki Afrika Selatan
0
Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010
-8 -10 -12
Sumber : Bank Dunia. World Development Indicators (WDI).
Namun pada tahun 2010, AS menjadi negara dengan defisit anggaran terhadap PDB paling besar. Masalah defisit anggaran AS sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1970. Hal ini dikarenakan meningkatnya pengeluran pemerintah terhadap PDB secara signifikan namun di sisi lain pendapatan pemerintah AS tidak meningkat secara signifikan bahkan cenderung menurun.24 Salah satu faktor yang berkontribusi pada penurunan pendapatan tersebut adalah turunnya penerimaan pemerintah dari pajak akibat diberlakukannya Economic Growth and Tax Relief Reconciliation Act of 2001 (EGTRRA a.k.a. George Bush Tax Cuts).25 Sedangkan pada sisi pengeluaran terus terjadi peningkatan. Social security dan medicare/medicaid menjadi pos pengeluaran pemerintah AS terbesar di antara pengeluaran-pengeluaran pemerintah lainnya.26
24
Daniel L. Thorton, “The U.S. Deficit/Debt Problem : A Longer-Run Perspective”, Federal Reserve Bank of St. Louis Review, November/December 2012, 94(6), pp. 441-55, hlm. 452. 25 Ibid., hlm. 444. 26 Ibid., hlm. 445.
33
Grafik 5. Pengeluaran dan Pendapatan Pemerintah AS Terhadap PDB Tahun 1950-2010 (dalam %)
Sumber : Thorton (2012)
Salah satu negara G-20 yang dapat menjaga defisit anggaran sesuai dengan aturan adalah Indonesia. Defisit anggaran terhadap PDB terbesar terjadi pada tahun 2009 yaitu 1,6%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kedisiplinan fiskal pemerintah Indonesia masih
relatif lebih baik dibandingkan dengan negara maju di kelompok G-20. Pemicu defisit anggaran pemerintah Indonesia adalah tingginya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Seperti halnya defisit anggaran pemerintah, banyak negara-negara maju di kelompok G-20 melanggar batas maksimal utang pemerintah terhadap PDB sebesar 60%. Berdasarkan data Bank Dunia, terlihat bahwa utang pemerintah Jepang, Perancis, AS, Italia, dan Inggris terhadap PDB telah melampaui 60% pada tahun 2010. Jepang merupakan negara dengan utang pemerintah terhadap PDB paling besar di antara negara G-20. Jika pada tahun 2007 utang pemerintah Jepang terhadap PDB mencapai 144%, pada tahun 2010 utang pemerintah Jepang terhadap PDB meningkat cukup signifikan hingga mencapai 174%. Di antara negara G-20, Italia menduduki peringkat kedua dengan utang pemerintah terhadap PDB sebesar 117% pada tahun 2010.
Berbeda halnya dengan Italia yang terkena krisis akibat
membengkaknya utang pemerintah, utang pemerintah Jepang hingga saat ini tidak memicu terjadinya krisis.
Faktor yang berkontribusi pada kondisi ini adalah karena 95% utang
pemerintah Jepang dimiliki oleh masyarakat Jepang sendiri.27 Namun demikian utang yang
27
Takeo Hoshi dan Takatoshi Ito, “Defying Gravity : How Long Will Japanese Government Bond Prices Remain High?”, NBER Working Paper, No. 18287, 2012, hlm. 7.
34
sangat besar ini bukan berarti dapat diabaikan. Pemerintah Jepang tetap harus memperbaiki kondisi fiskalnya. Negara-negara Uni Eropa terutama negara Zona Euro seperti Perancis dan Italia pun sedang berupaya untuk menurunkan utang pemerintah maupun defisit anggaran. Ketika krisis utang Uni Eropa muncul, Jerman sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Zona Euro menyerukan kepada negara-negara Zona Euro untuk menurunkan defisit anggaran dan utang pemerintah karena dua hal ini dianggap sebagai salah satu pemicu terjadinya krisis ekonomi. Agar defisit anggaran dan utang pemerintah dapat dikurangi, Kanselir Jerman, Angela Merkel, melontarkan program austerity atau pengetatan anggaran. Dengan demikian pemerintah negara Zona Euro harus memangkas pengeluaran negara dan meningkatkan pendapatan. Namun demikian, program tersebut menuai kontroversi karena dianggap sebagai pemicu terciptanya pengangguran di negara Zona Euro lainnya seperti Yunani. Selain Jepang dan negara-negara Uni Eropa, negara G-20 lainnya yang harus mewaspadai kesehatannya fiskal adalah Kanada, Jerman, Brazil, Argentina, Turki, dan India. Utang pemerintah negara-negara tersebut sudah hampir mendekati batas maksimal yang telah ditentukan. Di sisi lain, utang pemerintah Rusia, Australia, China, Korea Selatan, Mexico, Arab Saudi, Afrika Selatan, termasuk Indonesia terhadap PDB masih tergolong pada tingkat yang aman.
Grafik 6. Utang Pemerintah terhadap PDB Negara G-20 (dalam %)
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Tahun 2007 Tahun 2008
Australia Jepang Perancis AS Rusia Kanada Italia EU Jerman Inggris China Brazil Argentina India Indonesia Korea Selatan Mexico Arab Saudi Turki Afrika Selatan
Tahun 2009 Tahun 2010
Catatan : Sumber data untuk China, Argentina, Korea Selatan, Mexico, Arab Saudi, dan Afrika Selatan dari International Monetary Fund, World Economic Outlook Database, Oktober 2012
Sumber : Bank Dunia. World Development Indicators (WDI). 35
Meskipun AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia namun pemilik cadangan devisa terbesar di dunia adalah China. Sejak tahun 2007 cadangan devisa China sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan AS. Pada tahun tersebut, cadangan devisa China telah mencapai US$ 1,5 triliun.
Jumlah ini hampir lima kali lipat lebih besar
dibandingkan dengan AS yang pada saat itu hanya US$ 277 miliar. Apabila negara G-20 lainnya mengalami peningkatan cadangan devisa sedikit demi sedikit, tidak demikian dengan China. Dari tahun 2007 hingga tahun 2011, cadangan devisa China naik secara signifikan setiap tahunnya. Pada akhirnya tahun 2011 cadangan devisa China mencapai US$ 3,2 triliun. Jumlah ini sangat besar bagi negara yang tergolong negara berkembang. Negara dengan cadangan devisa terbesar kedua adalah Jepang dengan total US$ 1,2 triliun pada tahun 2011. Kemudian dilanjutkan oleh negara Uni Eropa secara keseluruhan, AS dan Rusia. Jika China memiliki cadangan devisa hingga US$ 3 triliun, sebaliknya negara lainnya di G-20 seperti Afrika Selatan, Australia, Kanada, Inggris, Turki, dan Argentina memiliki cadangan devisa yang tidak lebih dari US$ 100 miliar. Selain dari total PDB, melalui indikator cadangan devisa yang dimiliki, semakin memperjelas adanya ketimpangan di dalam negara G-20.
Grafik 7. Total Cadangan Devisa Negara G-20 (dalam US$) $3.500.000.000.000,00 $3.000.000.000.000,00 $2.500.000.000.000,00 Tahun 2007
$1.500.000.000.000,00
Tahun 2008
$1.000.000.000.000,00
Tahun 2009
$500.000.000.000,00
Tahun 2010
$0,00
Tahun 2011 Australia Jepang Perancis AS Rusia Kanada Italia EU Jerman Inggris China Brazil Argentina India Indonesia Korea Selatan Mexico Arab Saudi Turki Afrika Selatan
$2.000.000.000.000,00
Sumber : Bank Dunia. World Development Indicators (WDI).
Pada awalnya, krisis finansial menjadi fokus pertemuan pemimpin negara G-20 pada tahun 2008 karena G-20 ingin mencari solusi agar krisis finansial tidak terus melemahkan 36
perekonomian global. Namun seiring dengan kesadaran akan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan seimbang, para pemimpin negara G-20 mulai menyerukan pentingnya infrastruktur.
Infrastruktur yang buruk dianggap hanya akan menghambat pertumbuhan
ekonomi setiap negara. Daya saing maupun produktivitas suatu negara akan berkurang apabila infrastruktur suatu negara tidak berkembang. Di dalam forum G-20 sendiri, masih ada negara-negara yang kualitas infrastruktur yang masih memprihatinkan. Berdasarkan data dari World Economic Forum tahun 2012-2013, Argentina menempati urutan ke-86 dari 144 negara terkait dengan kualitas infrastruktur. Di dalam G-20, Argentina merupakan negara dengan kualitas infrastruktur terburuk. Sebaliknya, kualitas infrastruktur Jerman menempati peringkat ketiga terbaik di dunia.
Tabel 3. Global Competitiveness Index dan Peringkat Kualitas Infrastruktur Negara G-20 (Tanpa Uni Eropa) Tahun 2012-2013
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Negara Jerman Amerika Serikat Inggris Jepang Kanada Arab Saudi Korea Selatan Australia Perancis China Italia Turki Brazil Indonesia Afrika Selatan Meksiko India Rusia Argentina
Global Competitivess Index 6 7 8 10 14 18 19 20 21 29 42 43 48 50 52 53 59 67 94
Kualitas Infrastruktur 3 14 6 11 13 26 9 18 4 48 28 51 70 78 63 68 84 47 86
Sumber : World Economic Forum (2012)
Untuk mendorong pembangunan infrastruktur di negara-negara dengan kualitas infrastruktur yang buruk, diperlukan investasi yang besar.
Masalah infrastruktur telah
ditekankan hampir di setiap pertemuan pemimpin negara G-20 (Lihat Bagian 2.2.). Pada G37
20 Leaders’ Summit ke-5 di Toronto, para pemimpin G-20 sepakat untuk meningkatkan pengeluaran di bidang infrastruktur. Pada G-20 Leaders’ Summit ke-6 di Cannes, negara G20 sepakat untuk meningkatkan kualitas infrastruktur di negara-negara berkembang. Lalu pada G-20 Leaders’ Summit ke-7 di Los Cabos, para pemimpin G-20 berkomitmen untuk mendorong investasi di bidang infrastruktur.28
Investasi tersebut tidak hanya akan
mendorong pembangunan infrastruktur tapi juga dapat menurunkan tingkat kemiskinan karena terciptanya lapangan pekerjaan.29 Berdasarkan data dari World Economic Forum tahun 2012-2013 terlihat bahwaIndonesia merupakan salah satu negara G-20 yang memiliki permasalahan dalam pembangunan infrastruktur. Pada tabel di atas terlihat bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-78 dari 144 negara terkait dengan kualitas infrastruktur. Indonesia termasuk tiga negara dengan kualitas infrastruktur terburuk di dalam G-20 bersama India dan Argentina. Masalah infrastruktur telah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi kurang maksimal. Menyadari hal ini, pemerintah Indonesia meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Agar MP3EI ini dapat terwujud, dibutuhkan investasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu Rp 4.012 triliun (Lihat Gambar 1). Namun untuk mencapai nilai investasi tersebut, pemerintah membutuhkan investasi dari pihak-pihak lain karena pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar 10% dari total investasi yang dibutuhkan.
BUMN maupun swasta menjadi pihak yang diharapkan dapat membantu
pemerintah agar MP3EI terwujud.
28
G-20 : Its Role and Legacy.http://www.g20.org/docs/about/part_G20.html diakses tanggal 9 Februari 2013, pk. 20.17 WIB. 29 Oxfam. (2012). “The G-20 Development Agenda : Insight from Mexico”.http://site.oxfammexico.org/wpcontent/uploads/2012/09/COMPILACIONESINGLESweb.pdf. diakses tanggal 23 Februari 2013, pk. 21.09 WIB. Hlm. 22.
38
Gambar 1. Jumlah Indikasi Investasi di 6 Koridor Ekonomi
Sumber : MP3EI. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI (2011)
Selain dari BUMN dan swasta, pemerintah Indonesia dapat mengajak negara lain terutama negara G-20 untuk melakukan investasi di Indonesia. Di antara negara G-20, China, Rusia, dan Korea Selatan merupakan negara-negara yang berpotensi untuk melakukan investasi di Indonesia.
Potensi ini terlihat karena kondisi makroekonomi kedua negara
tersebut relatif baik dibandingkan dengan negata G-20 lainnya.Negara yang memiliki potensi terbesar sebagai investor untuk mewujudkan MP3EI adalah China. Di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat karena dilanda dua krisis ekonomi secara berturut-turut, China mampu tetap menjadi negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi sekitar 9,3% pada tahun 2011. Tidak hanya itu, rasio utang pemerintah China terhadap PDB juga relatif aman yaitu sekitar 33%. China pun merupakan negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia dengan total cadangan devisa mencapai US$ 3 triliun. Dengan cadangan devisa sebesar itu, China mampu membiayai MP3EI secara keseluruhan. Bila dibandingkan dengan cadangan devisa China sebesar US$ 3 triliun, total dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan MP3EI hanya sekitar
13%
dari
total
cadangan
devisa
China.
Pemerintah
Indonesia
perlu
mempertimbangkan untuk mengajak China agar melakukan investasi di Indonesia terkait dengan pembangunan infrastruktur. Negara kedua yang berpotensi menjadi investor di Indonesia adalah Rusia. Berdasarkan data Bank Dunia, tingkat pertumbuhan ekonomi Rusia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju seperti AS, Jerman, dan Inggris pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi Rusia mencapai 4,3% sedangkan pertumbuhan ekonomi AS hanya 39
1,7% pada tahun yang sama.
Selain itu, dilihat dari rasio defisit anggaran pemerintah
terhadap PDB dan rasio utang pemerintah terhadap PDB pun, keuangan pemerintah Rusia masih lebih sehat dibandingkan dengan negara maju di forum G-20. Rusia pun termasuk dalam lima negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia di luar Uni Eropa dengan total cadangan devisa mencapai US$ 497 miliar pada tahun 2011. Adapun Korea Selatan juga berpotensi karena kondisi makroekonomi negara ini relatif cukup baik. Cadangan devisa Korea Selatan mencapai US$ 304 miliar pada tahun 2011. Selain itu, pada tahun yang sama jumlah PDB Korea Selatan relatif stabil. Tampaknya dari seluruh negara anggota G-20, hanya sedikit negara yang berpotensi menjadi investor untuk membantu pendanaan infrastruktur di Indonesia. Negara-negara maju di forum G-20 seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang masih berjuang untuk memulihkan perekonomian mereka. Krisis utang di zona Euro belum menunjukkan tanda akan berakhir. Saat ini, zona Euro justru dihadapkan pada masalah baru yaitu belum disepakatinya ketentuan bail out dan adanya ancaman bank runs di Siprus. Tidak hanya Uni Eropa, perekonomian Jepang juga belum kunjung pulih. Sejak tahun 1980an, Jepang terus terjebak dalam deflasi. Oleh karena itu, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, berupaya untuk mengeluarkan Jepang dari deflasi dan memasang target inflasi sebesar 2% yang harus dicapai oleh Bank of Japan.30 Untuk mencapai target tersebut, pemerintah Jepang akan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan melonggarkan kebijakan moneter.31
Grafik 8. Tingkat Inflasi Jepang Tahun 1980-2012 (dalam %) 8 6 4 2 2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
-2
1980
0
-4
Sumber : IMF. World Economic Outlook Database, Oktober 2012. 30
Japan’s Abe Urges 2% Inflation as Shirakawa Attends Meeting. http://www.bloomberg.com/news/2013-0109/boj-to-work-more-closely-with-abe-at-regular-policy-meetings.html. diakses tanggal 24 Maret 2013, pk. 20.20 WIB. 31 Japan’s Inflation Gambit Targets Growth. http://money.cnn.com/2013/01/22/news/economy/japan-inflationtarget/index.html. . diakses tanggal 24 Maret 2013, pk. 20.25 WIB.
40
Akan tetapi berbeda dengan negara lainnya, walaupun mengalami stagnasi ekonomi, Jepang tercatat sebagai negara yang memiliki perhatian besar terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan alokasi bantuan ODA
Jepang yang diarahkan untuk pembangunan infrastruktur yang terdiri dari sektor transportasi, telekomunikasi, listrik, dan gas (Lihat grafik 9). Perhatian Jepang terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia terwujud dengan disepakatinya kemitraan strategis IndonesiaJepang dalam pembangunan infrastruktur yang secara resmi dimulai pada tahun 2012.
Grafik 9. ODA Jepang ke Indonesia Berdasarkan Sektor Tahun 2002-2007(dalam Juta ¥) 1200,000 Agriculture, Forestry 1000,000
Telecommunications Mining and Manufacturing
800,000
Social Services 600,000
Flood Control Electric Power and Gas
400,000
Transportation 200,000
Commodity Loans Others
0,000 2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sumber : JICA. ODA Loan Report Tahun 2002-2007.
Ada dua alasan mengapa Jepang memiliki perhatian besar terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Pertama, komposisi bantuan ODA Jepang ke Indonesia
didominasi oleh pinjaman dengan porsi terbesar untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu, pelaksanaan proyek pembangunan infrastruktur seringkali banyak dimenangkan oleh kontraktor-kontraktor asal Jepang.Kedua,banyak perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia dan jumlah FDI yang besar membuat Jepang mau tidak mau memiliki kepentingan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia (Lihat Grafik 10).32Kedua hal tersebut mengindikasikan besarnya kepentingan ekonomi Jepang terhadap pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
32
Walaupun terlihat adanya penurunan jumlah investasi dari Jepang ke Indonesia pada 2 tahun terakhir tapi secara keseluruhan jumlah investasi Jepang ke Indonesia berada dalam kisaran 800 juta ¥ per tahun.
41
Grafik 10. Total FDI Jepang ke Indonesia Tahun 1998-2010 1.600 (dalam 100 juta ¥)
1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun
Sumber : http://www.mof.go.jp/english/international_policy/reference/itn_transactions_in_securities/fd i/index.htm diakses pada tanggal 4 April 2013
Dari uraian di atas diketahui bahwa China, Rusia, dan Korea Selatan dapat menjadi mitra alternatif Indonesia untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia di luar Jepang yang hingga saat ini masih menjadi salah satu investor terbesar untuk sektor tersebut. Walau demikian, dibandingkan Jepang, China memiliki kelebihan karena birokrasi Chinalebih efisien.
Selain itu, China memiliki kepentingan untuk membangun kedekatan dengan
Indonesia karena jumlah populasi yang besar sebagai pangsa pasar dan negara yang memiliki pengaruh besar di Asia Tenggara.Sedangkan Rusia memiliki rencana untuk membangun konektivitas antara Rusia bagian timur dengan negara-negara Asia Tenggara, sehingga Indonesia dapat memanfaatkan situasi tersebut.Di samping itu, Rusia secara historis dapat dikatakan memiliki kedekatan dengan Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno.Untuk Korea Selatan, selain karena kondisi makroekonomi yang cukup baik, terjadi peningkatan hubungan perdagangan dan investasi antara Korea Selatan dan Indonesia.33Selain itu, keberhasilan Korea Selatan dalam membangun infrastrukturnya dapat menjadi contoh bagi Indonesia.
33
Korea Selatan Kini 5 Besar Investasi di Indonesia. www.antaranews.com/berita/268277/korea-selatan-kini-5besar-investasi-di-indonesia. Diakses pada tanggal 4 April 2013.
42
4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Persoalan pembangunan infrastruktur di Indonesia terutama disebabkan oleh lemahnya mobilisasi pendanaan negara. Sumber dana anggaran dari negara tidak cukup kuat untuk mendorong kebutuhan pembangunan infrastruktur. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kendala anggaran sejauh ini adalah dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi pihak swasta baik nasional maupun asing untuk membangun infrastruktur di Indonesia.
Berbagai kerangka aturan baru telah dikeluarkan untuk mengundang pelaku
swasta agar tertarik untuk berinvestasi di pembangunan infrastruktur. Melalui strategi seperi ini, trdapat harapan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia dapat menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya. Karena itu kehadiran aktor non-negara atau pelaku swasta telah dipandang penting untuk mengatasi gap antara kemampuan pemerintah dengan kebutuhan pendanaan untuk infrastruktur. Di samping kendala mobilisasi pendanaan, hambatan
non-ekonomi juga telah
menciptakan kesulitan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tindakan deregulasi dan swastanisasi tampaknya tidak diiringi oleh lemahnya kemampuan untuk mengefektifkan implementasi kebijakan.
Ketidakpastian hukum dalam pembebasan lahan dan jejaring
koneksi politik dengan dinamika politik lokal telah mempersulit implementasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kecuali pemerintah berani melakukan terobosan-terobosan besar untuk mengatasi masalah ini, tidak banyak harapan yang dapat digantungkan pada peningkatan mobilisasi pendanaan baik melalui anggaran belanja negara, swastanisasi, maupun dengan menciptakan mekanisme Kemitraan Publik Swasta. Terobosan yang sangat dibutuhkan adalah bagaimana membuat seluruh kebijakan menjadi efektif ketika dilaksanakan. Kegagalan dalam pembangunan infrastruktur akan mencipatakan biaya transakasi ekonomi menjadi lebih tinggi dan menurunkan kemampuan Indonesia dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Namun harus pula disadari bahwa keberhasilan dalam mobilisasi pendanaan infrastruktur tidak akan serta merta akan membuat pemerataan dalam penyediaan fasilitas infrastruktur itu bagi masyarakat. Fakta yang ada menunjukkan bahwa sejauh ini fasilitas infrastruktur di Indonesia memperlihatkan adanya ketimpangan secara geografis, dengan pembangunan infrastruktur di Sumatera dan Jawa lebih baik dibnadingkan dengan wilayah lainnya. Tantangan ke depan bagi Indonesia adalah tidak sekedar bagaimana mengoptimalkan pendanaan bagi infrastruktur tapi bagaimana pembangunan infrastruktur itu juga dapat mengurangi ketimpangan antarwilayah di Indonesia. 43
Agenda pembangunan infrastruktur di G-20 setidaknya telah membuat forum G-20 tidak hanya sekedar forum stabilisasi keuangan tetapi juga menjadi forum untuk agenda pembangunan infrastruktur. Agenda baru ini tentu saja sangat terkait dengan kepentingan Indonesia yang mengalami masalah dalam memobilisasi sumber pendanaan domestik untuk pembangunan infrastruktur. Namun mengingat forum G-20 tidak bersifat mengikat dan lebih merupakan forum untuk policy guidance, tidak terdapat dampak langsung yang konkret dari agenda pembangunan infrastruktur terhadap Indonesia. Sekalipun demikian, Indonesia perlu untuk terus menerus mengaitkan pentingnya isu pembangunan infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi di tataran internasional. Dalam kaitan ini tidak semua negara anggota G-20 memiliki kapasitas untuk mendukung pembangunan infrastruktur di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa hanya terdapat beberapa negara yang memiliki potensi untuk mengatasi persoalan keterbatasan pendanaan infrastruktur di Indonesia yaitu seperti China dan Rusia.
Berdasarkan analisa dan paparan di atas, penelitian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut. Pertama Indonesia perlu melakukan pendekatan khusus kepada negaranegara yang memiliki cadangan devisa yang besar seperti China dan Rusia. Dalam hal ini perlu menggarisbawahi fakta bahwa sebenarnya pada analisis akhir, bantuan pendanaan untuk infrastruktur dilakukan secara bilateral. Dari negara anggota G-20 patut pula mencatat bahwa Indonesia memiliki hubungan yang bersifat khusus melalui penandanatangan kesepakatan “kemitraan strategis” yang bersifat bilateral yang didalamnya memuat kerjasama dalam pembangunan infrastruktur. Kemitraan strategis dengn China ditandatangai pada tahun 2010, disusul dengan Korea Selatan pada tahun 2012 dalam skema ASEAN Connectivity, dan Jepang pada tahun 2012. Oleh karena itu bagi Indonesia sangat penting untuk mengaitkan hubungan strategis bilateral seperti ini dengan forum multilateral seperti G-20.
Kedua, perlunya Indonesia mencermati dinamika yang terjadi di antara negara-negara G-20 khususnya yang memiliki kategori BRICS. Seperti diketahui, BRICS telah menggagas lembaga pendanaan multilateral. Adanya lembaga pendanaan yang baru ini dapat menjadi sumber pendanaan diluar lembaga multilateral Bretton Woods. Oleh karena itu, hal yang penting untuk dilakukan oleh Indonesia adalah mengaitkan kebutuhan infrastruktur di Indonesia dengan dinamika yang terjadi di dalam BRICS khususnya dalam pembangunan infrastruktur.
44
DAFTAR PUSTAKA
Buku, makalah, dan laporan : Bank Indonesia, Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014, Edisi Januari 2009. Francis, Smitha. (2012). ”Fiscal Policy Evolution and Distributionan Implications : The Indonesian Experience.”The IDEAs Working Paper Series No. 01. Hajnal, Peter I. (2007). “The G-8 Sytem and The G-20 Evolution, Role and Documentation.” Ashgate Publisher: USA. Heenan, Geoffrey, Sarah Zhou, Dora Benedek, dan Mali Chivakul. (2011). “Indonesia : Selected Issue.” IMF Country Report No. 11/310. Hoshi, Takeo dan Takatoshi Ito. (2012). “Defying Gravity : How Long Will Japanese Government Bond Prices Remain High?” NBER Working Paper No. 18287. Hui, Ta, et al.( 2011). Indonesia- Infrastructure Bottleneck: Special Report, Standard Chartered Bank, 14 Februari 2011. ICD Research. (2011).The Indonesian Defense Industry-Market Opportunities, Entry Strategies, Analysis and Forecast to 2016 : Business Environtment and Country Risk. Japan International Cooperation Agency. (2002-2007). ODA Loan Report. Japan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. (2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Leonardo Martinez Diaz. (2009). Sahoo, Pravakar, Ranjan Kumar Dash, dan Geethanjali Nataraj. (2010). “Infrastructure Development and Economic Growth in China.” Institute of Developing Economies Discussion Paper No. 261. Thorton, Daniel L. (2012). “The U.S. Deficit/Debt Problem : A Longer-Run Perspective”, Federal Reserve Bank of St. Louis Review, November/December 2012 94(6). World Economic Forum. (2012). The Global Competitiveness Report 2012-2013. Jenewa : World Economic Forum.
Sumber Internet : Bank Dunia. World Development Indicators. http://databank.worldbank.org/ddp/home.do?Step=12&id=4&CNO=2. Diakses pada 1 Maret 2013. 45
Harga Minyak Melonjak, Cadangan Devisa Indonesia Bisa Anjlok. http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/03/09/137114/Harga-Minyak-MelonjakCadangan-Devisa-Indonesia-Bisa-Anjlok. Diakses pada 4 April 2013. The G-20 : Its Role and Legacy. http://www.g20.org/docs/about/part_G20.html diakses tanggal 11 Maret 2013, pk. 14.00 WIB. Leader’s Statement: The Pittsburgh Summit September 24-25, 2009.Diakses dari http://www.g20.org/Documents /pittsburgh_summit_leaders_statment_250909.pdf pada tanggal 13 Maret 2013, pk. 12.50 WIB. http://www.antaranews.com/berita/307611/indonesia-usulkan-pembiayaan-infrastrukturdalam-g20diakses 11 Maret 2013, pk. 19.00 WIB. http://m.merdeka.com/uang/sby-dorong-negara-g20-biayai-infrastruktur-negaraberkembang.html diakses 11 Maret 2013, pk. 19.00 WIB. 2012 Progress Report of the Development Working Group. Diakses dari http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cms_data/docs/pressdata/en/ec/131115.pdf pada tanggal 15 Maret 2013, pk. 19.00 WIB. G-20 2011 Cannes Summit Outcomes on Infrastructure Including a summary of the High Level Panel on Infrastructure’s report to the G20. Diakses dari http://www.bond.org.uk/data/files/G20_Outcomes_on_Infrastructure_Summary_and_An alysis_24th_Nov.pdfpada tanggal 15 Maret 2013, pk. 19.00 WIB. Japan Confirms China Surpassed Its Economy in 2010. Diakses dari http://www.washingtontimes.com/news/2011/feb/14/japan-confirms-china-surpassed-itseconomy-2010/?page=all pada tanggal 14 Februari 2013, pk. 20.00 WIB. Marcella Murphy. “Europe’s Sovereign Debt Crisis”. Diakses dari http://www.advance.com.au/downloads/commentaries/2011/201107-Europe-sovereigndebt-crisis.pdf.pada tanggal 14 Februari 2013, pk. 20.13 WIB. Oxfam. (2012). “The G-20 Development Agenda : Insight from Mexico”. Diakses dari http://site.oxfammexico.org/wpcontent/uploads/2012/09/COMPILACIONESINGLESweb.pdf. pada tanggal 23 Februari 2013, pk. 21.09 WIB. Japan’s Abe Urges 2% Inflation as Shirakawa Attends Meeting. Diakses dari http://www.bloomberg.com/news/2013-01-09/boj-to-work-more-closely-with-abe-atregular-policy-meetings.html. pada tanggal 24 Maret 2013, pk. 20.20 WIB. Japan’s Inflation Gambit Targets Growth. Diakses dari http://money.cnn.com/2013/01/22/news/economy/japan-inflation-target/index.html. pada tanggal 24 Maret 2013, pk. 20.25 WIB.
46
Korea Selatan Kini 5 Besar Investasi di Indonesia. Diakses dari www.antaranews.com/berita/268277/korea-selatan-kini-5-besar-investasi-di-indonesia pada tanggal 4 April 2013. http://www.mof.go.jp/english/international_policy/reference/itn_transactions_in_securities/fd i/index.htm diakses pada tanggal 4 April 2013, pk. 15.00 WIB.
47