Quo Vadis Pembangunan Infrastruktur Pertanian Indonesia Oleh : Salihudin Abstrack This paper examines the readiness of infrastructure to meet food security. This is important because current straategy to food security strategy is based solely on food availability. With the increase price globally, we need to promote food acquisition strategy. Food acquisition strategies necessitates the existence of adequate infrastructure. Such the perspective would be tied to the readeness of indonesia ' s diplomacy in the sectors of infrastructure for food. This paper concludes that the infrastructure that sustain food security in Indonesia especially roads and irrigation system not adequate because many are in bad condition and yet there is minimum development and new ones. This paper also found some weaknesses in Indonesia's diplomacy in sustaining food security. Keyword : infrastructure, food security, road, irigation, telecomunication, diplomacy Pendahuluan Di bulan Ramadhan, seperti biasa kita disuguhi fakta adanya kenaikan harga-harga pangan. Mengutip Anggota DPR Bambang Soesatyo, di Jakarta dan sekitarnya, harga semua jenis beras naik rata-rata Rp 1.000/kg. Skala kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seharusnya tidak mendongkrak harga beras sebesar itu, karena biaya transportasi masih di bawah Rp 200 per kilogram. Harga sayur mayur bahkan sudah melonjak sebelum pemerintah mengumumkan dan memberlakukan harga baru BBM bersubsidi. Harga cabe merah naik dari Rp 18.000 per kilogram menjadi Rp 28.000 per kilogram, sedangkan harga tomat naik dari Rp 8.000 per kilogram menjadi Rp 10.000 per kilogram. Paling aneh adalah lonjakan harga jengkol, naik dari Rp 10.000 per kilogram menjadi Rp 50.000 per kilogram. Di Pasar Kanoman, Cirebon, harga satu kilogram telur ayam naik menjadi Rp 19.500 dari sebelumnya . Rp 15 ribu per kilogram. Sedangkan harga daging ayam sudah mencapai Rp 50.000 per ekor dari sebelumnya Rp 28.000 per ekor. Juga karena alasan naiknya biaya distrbusi, harga tepung terigu pun naik sejak awal Juni. Di Bandung harga terigu naik menjadi Rp7.000 dari sebelumnya Rp 6.200 per kilogram. Harga tepung tapioka menjadi Rp5.400 dari sebelumnya Rp5.000 per kilogram. 1
Di pasar tradisional Senen, Jakarta Pusat, harga minyak goreng naik dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.000 per kilogram. Harga bawang putih yang sebelumnya Rp 34.000 kini menjadi Rp 37.000 per kilogram. Sementara harga daging masih bertahan di sekitar Rp 90.000 hingga Rp 100.000 per kilogram. Salah satu faktor penyebabnya adalah pasokan sejumlah pangan untuk kebutuhan sehari-hari yang terbatas. Ironisnya, para pejabat yang berwenang di bidang pangan cenderung membela diri dengan berbagai alasan termasuk “mengambinghitamkan” cuaca ekstrem, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) marah melihat kondisi harga pangan yang carut-marut, terutama harga daging sapi yang terus bertengger di atas Rp100.000 per kilogram (Tajuk Sindo, 16 Juli 2013). Solusi jangka pendek yang selalu dilakukan pemerintah adalah membuka keran impor selebarlebarnya. Contohnya pemerintah segera mengimpor tiga komoditas pangan yang mengalami kelangkaan di pasar seperti bawang merah, cabai rawit merah, dan daging sapi. Selain itu pemerintah juga menggelar pasar murah seperti di Monas. Konsumsi yang tinggi pada bulan Ramadhan yang dibarengi kelangkaan produksi memang telah ikut memengaruhi gejolak harga pangan dalam negeri. Tetapi itu bukanlah faktor tunggal. Infrastruktur yang buruk juga punya andil terhadap ketidakstabilan harga, pasokan produksi dan distribusi. Sejatinya untuk mengatasi kenaikan harga pangan dalam jangka panjang maka masalah produksi, distribusi dan informasi harus menjadi perhatian. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kondisi infrastruktur pertanian dalam pemerintahan SBY serta bagaimana kekuatan diplomasi infrastruktur pangan pemerintah dalam dalam dua kali periode pemerintahan tersebut? Pembahasan Infrastuktur pertanian yang dimaksud adalah transportasi, irigasi dan telekomunikasi. Tiga sektor infrastruktur itulah yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pertanian. Penulis menganggap bahwa arah masing-masing sektor tersebut belum kuat untuk menopang ketahanan pangan nasional. Pertama, kebijakan transportasi. Kebijakan transportasi di Indonesia priode 2004-2012 khususnya jalan belum optimal mendukung ketahanan pangan nasional. Seperti yang dikemukakan Faisal Basri dan Haris Munandar (2009), hanya jaringan jalan yang kelas 1 (jalan nasional) yang menghubungkan kota-kota utama (ibu kota provinsi) yang paling baik kondisinya, itupun hanya 37,4 persen tahun 2002-2004. Menurut data dan informasi kinerja pemerintah, 2
selama priode 2004-2012 memang ada peningkatan menurut tingkat kewenangan pemerintahan, misalnya pada tahun 2004 jalan negara 34.629 Km meningkat (bertambah panjang) menjadi 38.570 km tahun 2011. Kategori jalan provinsi tahun 2004 panjang 40.125 km menjadi 53.642 km tahun 2011. Jalan Kabupaten 298.175 km tahun 2004 menjadi 404.395 km tahun 2011. Selain itu kategori mantap 80,90 persen tahun 2004 naik menjadi 90,82 persen tahun 2012. Dalam buku Data Kinerja dan Informasi Pemerintah 2004-2012, kategori mantap dan tidak mantap tidak dijelaskan secara detail. Secara total perkembangan panjang jalan di Indonesia menunjukkan angka yang meningkat dari kurun waktu 2004-2011 yaitu dari 372.929 km pada tahun 2004 menjadi 496.607 km pada tahun 2011 atau telah bertambah sekitar 123.000 Km. Menurut tingkat kewenangan pemerintahan, panjang jalan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten memiliki panjang jalan paling besar, yaitu mencapai 404.395 km pada tahun 2011. Namun kondisi jaringan jalan kabupaten yang menghubungkan kecamatan dan desa sebagian besar masih parah. Desain kebijakan transporasi pemerintah hanya ingin memenuhi kepentingan terbatas pada industri dan sumber-sumber ekonomi yang memiliki nilai besar. Kecenderungan ini terlihat pada jalan dan sarana transpotasi yang hanya baik di kota-kota besar meskipun kondisinya juga belum memadai. Hal ini diakui pemerintah sebagaimana tertulis dalam RKP 2014 bidang Pekerjaan Umum, bahwa permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan transportasi adalah: (a) masih terbatasnya ketersediaan dan kualitas layanan jaringan transportasi massal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama di wilayah perkotaan; (b) pengembangan sistem, pola, dan teknologi transportasi masih mengalami hambatan geografis, sehingga kebutuhan terhadap aksesibilitas pelayanan transportasi bagi masyarakat di perdesaan, perbatasan, wilayah terpencil, pulau-pulau terluar dan terdepan belum terpenuhi; (c) kompetensi dan jumlah SDM dan kinerja kelembagaan transportasi belum memenuhi tuntutan tata kelola standar pelayanan minimal ; (d) sistem transportasi nasional belum siap dalam menghadapi tuntutan kompetisi global yang semakin tinggi; serta (e) koordinasi antara sektoral dan daerah belum berjalan secara optimal dalam mensinergikan pola transportasi yang terpadu. Jika dibandingkan dengan sarana transpotasi jalan di negara-negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand)
kondisi jalan di Indonesia sudah jauh tertinggal.
Sebagai contoh,
perbandingan jalan beraspal tahun 2004 di negara-negara ASEAN; Indonesia 55,3 %, Thailand 3
97,2 %, Malaysia 76,3%. Tahun 2007, Indonesia 56,0%, Thailand 99,9 %. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini yang dikutip dari ERIA Study Team (2010) : Persentase Jalan Beraspal di Negara- negara ASEAN 2000-2008 Vietna m
Thailan d
Singapu ra
Piliphin a
Mianma r
Malaysi a
Laos
Indones ia
Kamboj a
Brunai
Year
2000
73,3 %
NA
57,1 %
15,5 %
76.2 %
79.1 %
58.6 %
99.7 %
96.9 %
72.6 %
2001
73,5 %
NA
58,9 %
15,5 %
77.9 %
80.5 %
60.7 %
100,0 %
98.9 %
72.3 %
2002
77,8 %
NA
57,6 %
14,1 %
78.1 %
NA
63.1 %
100,0 %
96.1 %
NA
2003
78,1 %
NA
58,3 %
14,4 %
77.1 %
NA
70.6 %
100,0 %
96.6 %
NA
2004
78,1 %
8,1
55,3 %
14,4 %
76.3 %
24,4 %
71.0 %
100,0 %
97.2 %
39.0 %
2005
77,2 %
NA
55,4 %
13,5 %
78.0 %
24,6 %
70.1 %
100,0 %
97.4 %
NA
2006
76,3 %
NA
55,0 %
12,9 %
79.1 %
22,9 %
70.2 %
100,0 %
NA
NA
2007
NA
5,7 %
56,0 %
7,0 %
NA
21,8 %
71.5 %
100,0 %
99,9 %
47,6 %
2008
NA
NA
NA
NA
NA
19,7 %
73.1 %
100,0 %
NA
NA
Sumber : ASEAN Stastistical Year Book and Country Website NA : Not Available
Dengan demikian sarana transportasi jalan kota-kota kabupaten yang menghubungkan kecamatan dan desa belum bisa diandalkan untuk menjamin kelangsungan ketahanan pangan dalam jangka panjang. Kelemahan lain adalah wilayah Indonesia yang berupa kepulauan belum menjadi landasan strategi kebijakan pembangunan transportasi. Artinya, jalan darat seharusnya bukan menjadi satu-satunya jalur untuk menyalurkan pangan tetapi juga laut dan sungai. Kehandalan sarana transportasi laut, sungai dan penyeberangan harus menjadi perhatian serius.
4
Kedua, kebijakan infrastruktur irigasi. Penulis menemukan fakta bahwa realisasi pembangunan infrastruktur irigasi belum mampu menopang ketahanan pangan. Faktanya adalah disamping tidak ada pembangunan irigasi baru, irigasi yang sudah ada tidak mampu dirawat dan banyak yang rusak sehingga tidak berfungsi. Akibatnya hampir 30 persen dari total luas sawah di Indonesia tidak menghasilkan panen sebaik sebelumnya. Menurut Rencana Kerja Pemerintah bidang Pekerjaan Umum Periode 2004-2012 sektor irigasi masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan dan tantangan yang terkait dengan: (i) menurunnya kehandalan jaringan irigasi akibat masih kurangnya kapasitas pembiayaan terutama pada kewenangan Pemerintah Daerah; (ii) 52 persen daerah irigasi pada tahun 2010 dalam kondisi rusak dimana lebih dari 2/3 terjadi pada daerah irigasi kewenangan Pemerintah Daerah; (iii) DAK Irigasi dan implementasinya belum cukup efektif menyelesaikan permasalahan pengelolaan irigasi di daerah; (iv) tekanan alih fungsi lahan irigasi produktif semakin meningkat terutama di Pulau Jawa yang berkontribusi terhadap 52 persen produksi beras nasional; dan (v) masih ada potensi pengembangan irigasi dan pemanfaatan lahan rawa pasang surut sebagai lahan pertanian pangan namun masih perlu ditinjau kembali ketersediaan lahan dan petaninya. Sampai saat ini belum ditemukan
kebijakan pertanian yang bersifat progresif dibuat oleh
pemerintah. Yang adalah adalah himbuan
dan pernyataan bahwa perlu pembangunan dan
perbaikan irigasi secara massal. Tetapi ini kemudian tidak diikuti oleh kebijakan anggaran yang serius. Alasannya karena anggaran yang terbatas. Kalau alasanya keterbatasan anggaran sebenarnya bisa diatasi dengan mendorong kerjasama pemerintah swasta. Namun sampai saat ini proyek-proyek yang dikerjasamakan atau ditawarkan dengan swasta melalui skema private public patnership hanya terjadi pada proyek yang mempunyai nilai komersial yang tinggi. Dalam hal ini proyek-proyek yang cepat menghasilkan keuntungan. Disamping itu permasalahan dan tantangan terkait dengan penyediaan infrastruktur melalui skema kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) adalah sebagaimana disebutkan dalam RKP 2014 Bidang Pekerjaan Umum adalah: (i) masih belum opimalnya pemanfaatan alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui skema KPS sehingga masih mengandalkan skema pembiayaan melalui APBN/APBD baik untuk penyiapan proyek maupun untuk pembiayaan proyek infrastruktur; (ii) masih rendah-nya kapasitas aparatur dan kelembagaan dalam pembangunan infrastruktur mengakibatkan rendahnya komitmen Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dalam melaksanakan KPS; (iii) masih kompleks-nya regulasi dalam pengadaan dan penyediaan infrastruktur; (iv) masih lambatnya 5
pengadaan tanah untuk penyediaan infrastruktur, dimana aturan pengadaan lahan yang masih baru dan masih memerlukan proses transisi dari aturan lama. Oleh karena itu peran swasta dalam pembangunan sarana pertanian perlu dicarikan skema yang saling menguntungkan agar swasta bisa tertarik. Pendirian Bank Pertanian sebagaimana gagasan Khudori di Kompas
patut didukung. Bila Bank Pertanian tersebut telah berdiri maka bisa
diarahkan untuk membiayai infrastruktur pangan.
Sementara itu kebijakan infastruktur Telekomunikasi dan Informasi (TIK) yang mendukung ketahanan pangan pada priode 2004-2012 telah berjalan dengan baik. Hanya saja kebijakan itu lebih banyak mengatur aspek penyediaanya (provider). Penyedia layanan komunikasi saat ini memang berlomba mendirikan menara telekomunikasi khususnya untuk telepon seluler. Ketika pemerintah melepaskan monopoli Telkom sebagai penyedia telekomunikasi ekslusif dampaknya segera terasa, biaya panggilan telpon turun drastis. Petani-petani di (belum merata seluruh wilayah ) pelosok
yang belum teraliri listrik pun sudah bisa melakukan panggilan suara.
Sekarang, tinggal konten informasi yang perlu disesuaikan. Penyebaran informasi informasi pertanian melalui radio dan televisi juga musti digalakkan.
Perlu dipikirkan
juga aplikasi-aplikasi pertanian dapat disediakan misalnya dalam aplikasi
playstore agar memudahkan para petani atau siapapun mengunduh informasi-informasi pertanian yang bermanfaat. Pembentukan laman khusus bagi para petani yang lengkap memuat perkembangan harga komoditi dunia dan dalam negeri dan juga pasar pertanian online dalam bentuknya yang mudah dimengerti oleh semua petani pada
tingkatan pendidikan apapun.
Setelah telpon seluler terjangkau sampai ke pelosok, kini saatnya pembangunan internet agar sampai ke pelosok juga. Dengan pertambahan penduduk yang semakin besar maka dalam jangka panjang pemenuhan pangan tidak lagi melulu terfokus pada penyediaan (produksi) karena ini sudah bisa diatasi dengan tekhnologi. Saatnya perlu penyediaan dalam arti persebaran pangan, kemudahan akses dan kemudahan transportasi di seluruh wilayah tanah air. Ke depan perlu mengintegrasikan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pangan dan pertanian ke dalam pembangunan ekonomi secara makro. Pemerintah juga perlu mendorong peran swasta dalam skema private public partnership untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur pangan. Oleh sebab itu diplomasi ekonomi perlu 6
diperkuat. Infrastructure Summit yang menawarkan kerjasama proyek-proyek dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) memiliki beberapa kelemahan mendasar dari segi diplomasi. Misalnya dalam bidang pangan, Dinna Wisnu (2012) menguraikan argumentasi yang kuat akan kelemahan diplomasi dalam bidang ini sebagai berikut. Pertama, pendekatan diplomasi yang ada belum mengarah pada penciptaan gerakan tanam bersama di lahan bumi yang jumlahnya makin terbatas. Lahan diperlakukan seolah-olah komoditas yang tak ada habisnya. Jika semua negara dibebaskan untuk secara swadaya melakukan pengelolaan lahan secara eksklusif, dalam kurun waktu 20 tahun mendatang sudah akan bermunculan negaranegara yang lebih miskin dari sekarang. Saat ini sejumlah negara seperti China, India,AS secara agresif mencari lahan- lahan subur di seluruh dunia untuk bercocok tanam dan beternak. Hasilnya langsung diboyong ke negara masing-masing; penduduk setempat yang bercocok tanam dan beternak hanya bisa gigit jari. Kecenderungan saling rebut lahan ini tidak bisa distop dengan skema-skema kerja sama internasional yang ada sekarang karena yang sekarang digarap adalah kerja sama perdagangan, pembuatan lumbung bersama,larangan proteksi, dan sejenisnya. Menurut Wisnu (2012), semuanya tidak menyentuh esensi pangan sebagai barang publik (public goods). Karena lahan dan air adalah hak semua umat manusia, sebenarnya penggunaan barang tersebut oleh pihak lain tidak bisa dilarang (non-excludable) dan tidak boleh mengurangi kenikmatan pihak lain ketika menggunakan barang tersebut (non-rivalry). Artinya, perlu ada skema kerja sama multilateral dan regional yang mengarah pada penggunaan bersama lahan dan air untuk pertanian. Biaya diatur terjangkau karena pemerintah melakukan subsidi melalui skema kerja sama dengan negara lain. Ada pula mekanisme untuk menggentarkan negara lain untuk sekadar numpang enak (free rider) meskipun tentu perlu ada harga khusus bagi negara-negara yang memang kurang mampu. Artinya bahwa diplomasi perlu dibedakan pendekatannya untuk penyediaan produk pangan primer atau mentah. Beras, tebu, buah-buahan, sayur-mayur, gandum, biji-bijian, misalnya, adalah produk pangan primer yang menjadi hak semua orang di bumi. Kedua,
diplomasi
perlu
mengakomodasi
masa
depan
agrobisnis
yang
cerah
dan
menggiurkan.Agrobisnis adalah usaha untuk meningkatkan nilai jual produk-produk pertanian melalui pengolahan dan pengembangan forward linkages (bisnis terkait yang berkembang karena ada agrobisnis, misalnya bisnis kargo, pembuatan kemasan, asuransi). Saat ini agrobisnis cenderung dikonotasikan kuno sehingga ditinggalkan oleh generasi muda. Padahal negara-negara 7
yang populasinya menua tidak punya cukup sumber daya manusia untuk mengolah lahan pertanian. Ke depan, agrobisnis adalah sektor usaha yang sangat menjanjikan. Maklum, permintaan akan produk pangan pasti meningkat terus seiring bertambahnya populasi dunia. Jadi, ketersediaan pangan sangat bergantung pada kemampuan mengolah produk pangan primer menjadi ragam produk yang sehat, tahan disimpan, bergengsi atau praktis kemasannya, dan bisa dinikmati penduduk dunia di mana pun. Karenanya ruang agrobisnis perlu digenjot dan bukannya dicekik dengan aturan-aturan nonproteksi atau antisubsidi. Pengembangan agrobisnis membutuhkan investasi besar, terutama di bidang penelitian dan pengembangan (R&D). Saat ini satu investasi bidang R&D untuk produk pangan umumnya baru menghasilkan profit setelah 15 tahun. Bayangkan bila beban ini harus ditanggung oleh sektor swasta saja. Proyek MP3EI perlu memfasilitasi pengembangan R&D ini, lengkap dengan jejaring sektor swasta yang siap mengembangkan hasil-hasil penelitian menjadi produk-produk pangan bernilai jual tinggi. Ketiga, Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta instansi terkait bidang pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perlu memperbaiki cara komunikasinya agar bisa dipahami dan diterima pelaku agrobisnis dan rakyat biasa. Penantang kita adalah negara seperti Brasil yang sudah menerapkan 100% praktik pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan hidup. Standar mereka diakui secara internasional, bahkan oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kalau Indonesia masih sekadar defensif ketika dikritik bahwa praktik pertanian atau perkebunannya tidak ramah lingkungan, kita justru akan kehilangan respek dari dunia internasional. Karena fitur Kementerian Negara Lingkungan Hidup memang belum memungkinkannya untuk punya ”kaki tangan” sampai ke tingkat komunitas dan kabupaten/kota, pemerintah pusat perlu membuat jembatan melalui instansi pemerintah lain yang punya ”kaki tangan”. Kelemahan-kelemahan tersebut harus bias diatasi oleh Indonesia dengan memperkuat kehandalan sumberdaya diplomasi. Dalam bidang pertanian Khudori mencatat kelemahan diplomasi Indonesia yakni, selain tidak membekali diri dengan sejumlah data yang kuat, sering kali negosiator tidak tahu persis apa kepentingan negara yang harus diperjuangkan di berbagai forum internasional itu. Kelemahan makin terasa karena negosiator Indonesia juga tidak memiliki daya gertak saat bernegosiasi. Misalnya seperti yang ditulis Khudori, sejak 1980-an, kampanye negatif terhadap sawit sudah terjadi. Pada 1980-an, saat industri sawit mulai tumbuh, American Soybean 8
Association menyerukan agar tidak mengonsumsi minyak sawit. Tuduhannya, minyak sawit mengandung kolesterol, penyebab penyakit jantung. Ketika sawit terbukti sebagai minyak sehat dan non-kolesterol karena kandungan asam lemak jenuhnya rendah, tema kampanye berubah: sawit penyebab polusi udara. Lahan minyak sawit dituding mengokupasi hutan dengan cara dibakar. Terakhir, industri sawit dituduh merusak lingkungan, mengusir orang utan, dan menjadi penyebab utama deforestasi yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK), biang pemanasan global. Karena sawit pula Indonesia dituding sebagai pengemisi terbesar GRK nomor tiga setelah AS dan Cina. Menurut Khudori, tidak semua tudingan itu benar. Soal GRK, misalnya, pembukaan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut akan mengeluarkan emisi. Pertanyaannya, dari 8 juta hektare area sawit, berapa yang merambah hutan alam, cagar alam, dan hutan gambut? Dibandingkan dengan oilseeds lain, emisi sawit lebih kecil. Sebab, sawit menyerap karbon dari leaf area index yang tinggi, efisiensi energi input-output tinggi dan produktivitas hasil juga tinggi (Pehnet and Vietze, 2009). Meski sama-sama monokultur, biodiversity sawit lebih baik ketimbang tanaman monokultur di Uni Eropa (World Growth, 2009). Berbeda, misalnya, dengan sikap mendiang Presiden Venezuela Hugo Chavez atau sikap Presiden Sukarno dalam berbagai forum penting dunia, termasuk di panggung PBB. Kedua, negosiator Indonesia buta peta pergaulan internasional. Akibatnya, mereka tidak mampu membedakan mana yang seharusnya dirangkul sebagai kawan untuk mengegolkan kepentingan, dan mana lawan yang harus dijauhi. Ketika terjadi pergeseran kepentingan, negosiator Indonesia kehilangan pegangan. Ketiga, lemahnya koordinasi antar-lembaga/kementerian. Yang menyedihkan, sering kali justru kepentingan lembaga/kementerian satu dengan yang lain saling bertumbukan. Kepentingan nasional tidak mudah dirumuskan. Ujung dari semua ini, argumen dengan mudah dipatahkan.
Kesimpulan Arah kebijakan pembangunan infrastruktur bidang pangan masih perlu penyempurnaan. Dalam bidang transportasi khususnya jalan, walaupun ada penambahan panjang tetapi belum cukup untuk memperkuat ketahanan pangan di masa depan. Hal ini antara lain karena persentase jalan 9
dengan luas Wilayah Indonesia masih belum sebanding. Artinya masih banyak wilayah Indonesia yang terpencil yang belum atau tidak memadai jalannya terutama jalan yang menghubungkan kabupaten dengan kecamatan dan desa. Anggaran kabupaten belum mampu menambah panjang jalan secara signifikan karena lebih banyak dipakai untuk membiayai kebutuhan pegawai. Infrastruktur irigasi juga musti diperhatikan secara serius. Belum signifikannya pembangunan irigasi baru dan juga irigasi yang ada banyak yang rusak tidak mampu menopang ketahanan pangan. Lahan-lahan sawah yang kering tidak akan terjadi apabila system irigasi berjalan baik dan tersedia secara memadai. Keterbatasan dana yang disediakan oleh pemerintah tidak boleh menjadi alasan untuk tidak membangun infrastruktur secara massif. Jalan yang ditempuh oleh pemerintah untuk melibatkan swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah-Swasta sudah on the right track. Namun perlu dicarikan skema yang lebih baik dan menguntungkan kedua pihak agar swasta dapat tertarik dalam pembangunan infrastruktur dalam bidang pangan.
Daftar Pustaka -
Basri
Faisal, Haris Munandar (2009), Lanskap Ekonomi Indonesia, Kajian dan
Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia, Jakarta: Kencana -
Bambang Susetyo, “Aspirasi Rakyat dan Harga”, Koran Sindo, 26 Juni 2013
-
Buku Data dan Informasi Kinerja Pemerintah (2013) 2004-2012, Bappenas 10
-
DinnaWisnu (2012), “MP3EI dan Diplomasi Pangan”, Koran Sindo, 23 Mei 2012
-
ERIA Study Team (2010), “Current status of ASEAN transport sector”in ASEAN Strategic Transport Plan 2011-2015, Jakarta, ASEAN Secretariat and ERIA
-
Khudori , “Diplomasi Sawit Yang Memble”, Koran Tempo, 3 Mei 2103
-
Kompas Cetak, 12 Juli 2013
-
Rencana Kerja Pemerintah 2014 Bidang Pekerjaan Umum (2013), Kemen PU
-
Tajuk Sindo, 16 Juli 2013.
11