Jurnal Komunikasi Massa Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 97-111
Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia? Musafir Kelana & Abubakar Eby Hara Fakulti Pengajian Antarabangsa Universiti Utara Malaysia
Abstrak Prinsip kekerabatan atau kinship dipandang penting dalam hubungan dua negara serumpun Indonesia-Malaysia. Namun di balik asumsi umum ini, jarang ada kajian yang membahas masalah ini secara spesifik dan proposional. Dalam paper ini, para penulis melihat bahwa konsep kekerabatan tidak dapat difahami sebagai sebuah konsep yang indah terlepas dari konteks hubungan yang berlaku. Dalam konteks kedaulatan sebagai negara merdeka, kinship seringkali tidak bermakna, namun dalam konteks kerjasama kawasan, prinsip keserumpunan sebenarnya merupakan salah satu cara yang telah membantu diplomasi kerjasama yang saling menghormati dan tenggang rasa, baik antara Malaysia dan Indonesia maupun dalam kerjasama ASEAN. Para penulis juga melihat bahwa kekerabatan bisa menjadi landasan kerjasama Malaysia-Indonesia untuk jangka panjang. Dengan prinsip serumpun, kedua-dua negara dapat membuat suatu visi bersama untuk membangun kesejahteraan bersama. Visi ini bukan suatu utopia karena dalam sejarahnya keduadua negara pernah saling membantu dan menyokong satu sama lain dalam bidang pendidikan misalnya. Sumber daya, baik manusia maupun sumber daya alam yang kaya, boleh saling melengkapi di masa depan terutama untuk menghadapi cabaran dunia internasional. Namun visi jangka panjang ini seringkali terganggu oleh kepentingan jangka pendek di kedua-dua negara yang memanfaatkan berbagai isu seperti pekerja dan masalah sosial mereka untuk kepentingan politik kelompok semasa. Untuk mengatasi hal ini sebuah payung kerjasama jangka panjang berupa 'visi kerjasama serumpun 2050' misalnya perlu segera dirintis. Kata kunci: kekerabatan Indonesia-Malaysia, visi bersama, kesejahteraan bersama, visi kerjasama serumpun 2050.
Pendahuluan Hubungan Malaysia-Indonesia ini sering dilihat sebagai hal yang unik karena adanya hubungan budaya, kekerabatan dan sejarah yang dekat antara kedua-duanya. Istilah-istilah yang dipakai seperti hubungan 'adik-beradik', 'kawan 1 dalam suka dan duka' (Fachir 2007), kemudian bak kata pepatah 'dekat di mata, dekat di hati' (Ayip 2007), menandakan suatu hubungan yang akrab dan mencerminkan suasana kejiwaan pe-
mimpin kedua negara. Para pengamat di Malaysia pun suka menggunakan istilah ini, yang mana Malaysia menganggap Indonesia sebagai abang (big brother) dan sebagai adik, Malaysia kadang-kadang perlu meminta nasehat kepada abangnya. Karena adik beradik pula lah mereka sering terlibat pertengkaran yang tentu saja akan diselesaikan secara kekeluargaan (Liow 2005: 26; Ishak 2007).
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
97
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
Pada satu sisi kondisi kekerabatan ini nampaknya melahirkan sentimen dan kecenderungan positif dalam hubungan kedua-dua negara. Sejak mereka berkuasa tahun 2005 sampai November 2007 misalnya, Perdana Menteri, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, sudah tujuh kali melawat Indonesia; manakala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa tahun 2004 pula telah empat kali mengunjungi Malaysia, dan Timbalan Presiden, Jusuf Kalla telah tujuh kali melawat negara ini (Ayip, 2007). Di tahun 2007 Badawi mendapatkan bintang mahaputra Adi Pradana yang merupakan bintang tertinggi yang diberikan kepada pemimpin negara asing oleh Indonesia. Sebelumnya Badawi juga datang mengucapkan pidato Doctor Honoris Causa (Dr. HC) tentang Islam Hadari di salah satu Universitas Islam terkemuka Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam kunjungan ke Jakarta, PM Badawi menyebutkan hubungan persaudaraan negara serumpun itu ibarat dua kawan di masa senang dan susah (Kompas, 22 Februari 2007). Dari pihak Indonesia, Wakil Presiden Yusuf Kalla juga mendapat gelar Dr. HC dari Universiti Malaya. Namun pada sisi lain, kekerabatan ini sering pula melahirkan sentimen negatif dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Dalam level masyarakat ketegangan sering terjadi. Masyarakat Indonesia melakukan protes terhadap apa yang sering dipandang sebagai kesewenangwenangan, pelecehan dan penghinaan Malaysia terhadap bangsa Indonesia dalam beberapa kasus seperti pemukulan, penyiksaan tenaga kerja, penangkapan orang Indonesia di Malaysia dan penggunaan hasil karya bangsa Indonesia tanpa izin. Sementara di kalangan masyarakat Malaysia, hal-hal ini dianggap sebagai hal biasa, atau mungkin wajar untuk menertibkan orang Indonesia yang dikenal mereka sebagai bangsa yang tidak kenal aturan, sering melakukan kejahatan dan selalu menimbulkan masalah sosial di negeri mereka. Dalam anggapan sebagian masyarakat Malaysia, kalau bukan karena ada hal-hal berkaitan dengan imigran ini, negeri mereka seharusnya aman dan tertib. Dengan demikian, di sebalik persepsi keserumpunan yang indah dalam kata-kata, dalam praktek dan sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, sebetulnya realitas hubungan seperti yang terjadi sekarang sangat kompleks. Berba-
98
gai masalah dan ketegangan sering terjadi secara berulang. Masalah itu bisa dipicu soal perbatasan, soal persaingan di kawasan, masalah persepsi yang berbeda tentang kawasan dan juga soal para pekerja Indonesia di Malaysia. Sejarah menunjukkan dua negara pernah mengalami Konfrontasi yang serius semasa Sukarno, kemudian sengketa yang dipicu soal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), setelah itu ada ketegangan karena pulau Sipadan dan Ligitan yang kini menjadi milik Malaysia. Paling akhir adalah soal klaim terhadap blok laut Ambalat. Masalah-masalah seputar TKI dan Ambalat masih menjadi api dalam sekam yang bisa memanas setiap saat. Kenyataan bahwa ketegangan sering berlaku antara kedua-dua negara, menimbulkan pertanyaan seberapa jauh konsep kekerabatan sebenarnya bisa dipakai dan berlaku dalam menjelaskan hubungan kedua-dua negara. Dengan kata lain, seberapa jauh kah persaudaraan dan kekerabatan bisa menggatasi kesenjangan (gap) dan jurang perbedaan di antara kedua-dua negara berdaulat ini? Potensi apa kah yang dapat dikembangkan dari konsep kekerabatan yang memang sudah ada sejak lama di keduadua negara? Makalah ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Asumsi utama dari tulisan ini adalah bahwa konsep kekerabatan atau serumpun memang memiliki kegunaan terbatas dalam hubungan kedua-dua negara dan lebih tepat dilihat sebagai sebuah alat diplomasi dalam hubungan keduadua negara dan bukan sebagai tujuan. Konsep kekerabatan cenderung tidak berlaku dan kehilangan makna ketika kedua-dua negara menegakkan kedaulatan. Namun sebagai sebuah alat diplomasi, dalam kadar tertentu kekerabatan dapat berkembang menjadi bagian dari kultur strategis (strategic culture)2 dalam hubungan kedua-dua negara. Hubungan kekerabatan juga bisa menjadi landasan bagi pengembangan visi strategis untuk menghadapi cabaran globalisasi di hadapan kedua-dua negara. Makalah ini dibagi empat bagian. Bagian pertama adalah perbincangan tentang konsep kekerabatan dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Diikuti dengan pembahasan tentang hubungan antara kinship dengan kedaulatan. Bagian ketiga melihat potensi kinship sebagai bagian dari stragic cultures kedua-dua negara. Bagian keempat adalah tentang kinship dan po-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
tensi yang dapat dikembangkan dalam membangun hubungan kedua-dua negara di masa mendatang. Konsep Kekerabatan: dari Melayu ke Serumpun Dalam istilah sosiologis hubungan yang bersifat persaudaraan yang ditandai dengan persamaan budaya dan juga keturunan sering disebut dengan hubungan kinship atau kekerabatan. Orang sering menganggap fenomena demikian sebagai unik karena jarang dijumpai di dunia internasional. Namun demikian sebenarnya ada beberapa negara yang berhubungan darah dan budaya seperti Jerman Barat dan Timur, Vietnam Utara dan Selatan, lalu Yaman Utara dan Selatan yang kini semua telah bersatu kembali. Negara-negara Arab yang terpecah dalam banyak negara, Korea Utara dan Selatan juga sebetulnya berada dalam satu kekerabatan. Tetapi negara-negara yang disebut terakhir ini tetap mempertahankan identitas masing-masing bahkan ikatan kekerabatan emosional di negara-negara itu telah hampir hilang karena kuatnya sosialisasi sebagai negara-negara berdaulat dalam membentuk identitas, nasionalisme, ideologi dan sentimen lainnnya. Dengan kata lain negara-negara ini tidak melihat kinship sebagai bagian utama dari budaya strategis yang dikembangkan mereka. Dalam hubungan Malaysia-Indonesia, konsep 'kekerabatan kakak beradik' atau 'teman dalam suka duka' berkaitan dengan konsepkonsep budaya yang saat ini mulai menjadi perhatian para pengaji studi hubungan internasional. Namun konsep kinship sering disalahmengerti sebagai akan berpengaruh langsung terhadap hubungan dua negara. Konsep ini mestinya diletakkan dalam suatu konteks mengapa ia menjadi penting, tidak penting atau berpotensi untuk menjadi penting. Ia menjadi penting tergantung interpretasi dominan yang tercipta pada satu masa dan konteks tertentu. Sejauh ini ada dua interpretasi tentang konsep kekerabatan. Yang pertama adalah melihat konsep ini sebagai sebuah situasi nyata dengan analogi keluarga dan dianggap signifikan dalam hubungan kedua-dua negara. Yang kedua adalah melihat konsep ini secara dinamik sebagai sesuatu yang selalu berkembang dengan interpretasi yang berbeda, baik di Indonesia maupun Malaysia. Walaupun kedua-dua pemaham-
an ini, sebagaimana akan dijelaskan, memiliki keterbatasan dalam menjelaskan hubungan kedua-dua negara, namun pendekatan kedua lebih kuat untuk menjelaskan makna kekerabatan dalam hubungan Malaysia-Indonesia. Sebagai sebuah realitas, memang tidak dapat dipungkiri ada hubungan kekerabatan serumpun kedua-dua negara. Kedua-dua negara memiliki kaitan darah (blood-brotherhood), budaya dan hubungan famili, dan karena itu sering disebut juga sebagai negara serumpun. Persamaan budaya antara orang Melayu di kedua-dua negara paling terasa di hampir semua daerah Melayu Malaysia dan di daerah seperti Sumatera serta sebagian Kalimantan di Indonesia. Orang-orang keturunan Indonesia pun banyak yang menjadi warga negara dan menjadi orang penting di Malaysia. Hikayat-hikayat lama juga menceritakan satu kawasan Melayu yang meliputi Malaysia dan sebagian Indonesia. Lebih jauh lagi bahkan Wallace dalam Zain (2003: 130) mentakrifkan bahwa yang disebut Melayu bukan saja meliputi Malaysia dan Indonesia, tetapi juga keseluruhan rantau Asia Tenggara sampai ke Pulau Solomon di Tenggara dan Luzon di Utara. Mereka disebut Melayu karena mempunyai ciri-ciri fisik yang sama dan akar aksara (huruf abjad) yang sama sejak jaman Sriwijaya dulu (Zain 2003). Namun dalam pemahaman konsep kekerabatan sebagai sebuah realitas, sejak awal konsep ini sebenarnya mudah memicu kemarahan (rentan) terhadap manipulasi dan politisasi. Istilah Melayu semakin berubah makna semantiknya terutama ketika Indonesia dan Malaysia atau Persekutuan Tanah Melayu menjadi negara merdeka. Definisi Melayu menjadi lebih sempit lagi ketika di Malaysia ia dibatasi hanya pada mereka yang mengamalkan budaya Melayu dan beragama Islam, karena kepentingan kelompok-kelompok politik di dalam negeri negara itu. Perluasan makna Melayu seperti asal-usulnya yang luas menjadi tidak mungkin lagi karena akan ditentang oleh kelompok politik seperti UMNO yang mendapatkan keuntungan politik dari definisi sempit Melayu sekarang. Jadi cukup jelas bahwa konsep Melayu dan kekerabatan Melayu tidak dapat difahami secara esensial lagi karena perkembangan yang ada. Sejalan dengan itu konsep kekerabatan juga seringkali dijadikan sebagai sopan-santun (basa-basi) politik dan alat untuk mencapai tu-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
99
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
juan tertentu. Jepang sebagai contoh pernah memanipulasi konsep persaudaraan, untuk tujuan menguasai Asia Tenggara. Istilah kekerabatan misalnya digunakan oleh Jepang sebagai Saudara Tua bagi negara-negaraAsia. Tetapi sangat jelas istilah itu hanya dipakai sebagai janji palsu Jepang untuk manipulasi dan alat legitimasi bagi kehadiran Jepang sebagai penjajah di Asia. Itu adalah bagian dari ambisi Jepang untuk menciptakan wilayahAsia Timur Raya. Walaupun istilah kakak adik yang dipakai dalam hubungan Malaysia-Indonesia tidak mengacu pada istilah yang dipakai Jepang, konsep ini melukiskan suasana yang sangat terbatas dan tidak menjelaskan keadaan dari hubungan kedua-dua negara. Dalam istilah kakak adik diasumsikan adanya suasana dalam satu keluarga atau serumpun. Dalam asumsi demikian, banyak persoalan bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan tenggang rasa. Ketegangan yang muncul dianggap sebagai bagian dari masalah keluarga yang bisa terjadi. Adalah hal biasa kalau adik dianggap merajuk kepada abangnya, sebaliknya kalau abang marah, itu juga dianggap wajar karena dia dianggap saudara lebih tua. Dari pandangan ini, sebenarnya konsep ini hanya terbatas sebagai alat untuk mengingatkan bahwa kita ini masih kerabat sehingga harus mengatasi konflik. Namun konsep ini tidak dapat mencegah konflik, seperti pada masa Soekarno, masalah pekerja dan soal sengketa kepulauan. Dengan demikian sulit untuk mencari hubungan kausal secara langsung antara konsep kekerabatan ini dengan harmoni ataupun konflik dalam hubungan kedua-dua Negara. Interpretasi kedua-dua tentang kinship adalah lebih kuat karena ia melihat konsep ini secara anjal (fleksible) sesuai dengan interpretasi dominan para pembuat keputusan di keduadua Negara. Konsep itu berkembang menuruti para penafsirnya di kedua-dua negara. Dalam perjalanannya konsep kekerabatan pada awalnya paling konkrit ditafsirkan oleh para pejuang kemerdekaan kedua-dua negara. Para tokoh ini bersimpati satu dengan lainnya dalam melawan penjajah. Pada tahun 1940-an di Malaysia, ada misalnya Burhanudin Al-Helmy, Ibrahim Yakoob, Ahmad Boestaman, Mokhtaruddin Lasso; dan, di Indonesia Muhammad Yamin, Mohammad Hatta dan Sukarno yang membin-
100
cangkan tentang bentuk kerjasama negara merdeka di Nusantara. Walaupun masing-masing kelompok mengajukan penamaan yang berbeda yakni Melayu Raya, Indonesia Raya dan kemudian juga Nusantara, di baliknya ada asumsi bahwa mereka adalah serumpun (Liow 2005: 23). Istilah Dunia Melayu menggambarkan lebih kuat lagi kedekatan kinship ini. Di sini pada mulanya setidaknya dalam cita-cita ada hal konkrit yang ingin dicapai dalam konsep serumpun Melayu ini. Namun kemudian kedua-dua konsep itu tidak berjalan sesuai dengan keinginan mereka karena kedua-dua negara mengembangkan konsepsi sendiri-sendiri dalam membentuk negara. Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan suku tidak mengembangkan konsep ini karena megesankan afiliasi etnik tertentu saja. Suku Melayu adalah satu kelompok suku di Indonesia yang terdapat di pulau Sumatera dan Kalimantan. Sementara di Malaysia, ada klaim terhadap keutamaan bumiputra dalam cita-cita politik di negara itu. Penyempitan konsep Melayu di Malaysia dirasakan penting bagi justifikasi kekuasaan di negara multirasial ini. Pendekatan kedua ini mencoba menjelaskan bahwa kinship terus mengalami interpretasi dan reinterpretasi yang berbeda antara tokoh di kedua-dua negara. Karena reinterpretasi yang berlanjut terus ini, para pengamat seperti Liow (2003: xii), menyimpulkan bahwa konsep kekerabatan tidak bisa menjelaskan atau tidak ada kaitannya dengan perdamaian dan konflik antara Indonesia dan Malaysia. Dengan kata lain kekerabatan Melayu bisa tetap ada, tetapi hubungan kedua-dua negara adalah masalah lain yang sulit dijelaskan dari aspek kinship ini. Pemahaman dan pendekatan Liow yang melihat konsep kekerabatan secara dinamik adalah menarik dan bisa menjadi acuan dalam memahami makna kekerabatan, tetapi kesimpulannya tentang pengaruh kekerabatan perlu dikaji ulang. Dalam menjelaskan hubungan Malaysia-Indonesia, Liow membatasi diri pada interpretasi tentang keserumpunan berdasarkan kemelayuan yang kemudian baginya menjadi kurang penting karena penyempitan konsep kemelayuan. Satu hal penting dalam perkembangan interpretasi konsep kekerabatan dan keserumpunan Melayu adalah mulai hilangnya atau penyempitan istilah Melayu itu sendiri dalam wacana hubungan kedua-dua negara. Namun
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
ada satu hal penting yang dilupakan disini yaitu istilah keserempunan Melayu memang perlahan-lahan hilang namun keserumpunan dalam pengertian lebih luas mulai berkembang dalam memahami hubungan Indonesia-Malaysia. Keserumpunan tetaplah diakui dan menjadi latar belakang hubungan kedua-dua negara. Keduadua negara secara implisit mengakui keberadaan keserumpunan itu yang tercermin dalam kata-kata seperti hubungan dalam suka dan duka, abang dan adik, atau dekat di mata dekat di hati. Dalam kata-kata itu kata-kata keserumpunan Melayu hanya menjadi latar belakang historis yang semakin jarang digunakan. Ia kini telah bertransformasi ke dalam hubungan keserumpunan Malaysia dan Indonesia sebagai sebuah negara dan tidak lagi terbatas pada konsep kemelayuan. Transformasi konsep kekerabatan Melayu menjadi konsep serumpun saja ini berjalan secara kontinyu seiring sejalan dengan penyempitan istilah Melayu dan perkembangan kedua-dua negara untuk menegakkan kedaulatan masing-masing, dan dalam pergaulan mereka sebagai negara merdeka di kawasan. Konsep keserumpunan atau kekerabatan Melayu semakin sirna terutama seiring dengan berkembangnya kedua-dua negara menjadi negara berdaulat penuh. Untuk melihat perkembangan konsep kekerabatan dalam hubungan kedua-dua negara, konsep ini mesti diletakkan dalam konteks di mana ia digunakan. Dalam tulisan ini kekerabatan akan ditempatkan dalam konteks kerangka penguatan kedaulatan dan dalam pembentukan budaya strategis oleh kedua-dua negara. Kinship dengan kata-kata 'Melayu' adalah salah satu faktor yang tidak mendapatkan tempat dalam penguatan kedaulatan negara, namun ia dalam pengertian luas kekerabatan antar negara mempunyai potensi dalam pembentukan strategic cultures kedua-dua negara, terutama sebagai alat dalam diplomasi regional. Kekerabatan dan Kedaulatan Dalam perjalanan sejarah Indonesia-Malaysia, kedaulatan mendapatkan sosialisasi yang kuat dan menjadi aspek penting sehingga mengalahkan aspek lain, termasuk kekerabatan dalam pembentukan identitas kedua-dua negara. Dalam tulisan ini kedaulatan diartikan bukan dalam bentuk yang sudah jadi bahwa negara
merdeka adalah negara berdaulat mutlak. Kedaulatan di sini difahami sebagai suatu proses sehingga tercipta otoritas dan kekuatan negara masing-masing negara dalam mewujudkan cita-cita nasional mereka. Perjalanan sejarah Indonesia dan Malaysia ditandai dengan persaingan dan perebutan dalam menegakkan kedaulatan, baik wilayah maupun otoritas sebagai negara merdeka. Sebagai negara bekas jajahan, pemerintah di kedua-dua negara harus memperjuangkan kedaulatan, baik ke dalam maupun ke luar. Di dalam negeri, mereka harus mengkonsolidasi diri sehingga otoritas pemerintahan bisa tegak dan persatuan nasional bisa diwujudkan. Mereka harus memastikan bahwa negara benarbenar berdaulat sehingga tidak ada lagi ancaman pemisahan diri atau separatisme. Ke luar negeri, negara-negara ini juga menata hubungan dengan negara lain sehingga keselamatan dan keamanan negara bisa terjamin dari serangan luar. Pengalaman sejarah kedua-dua negara dalam menegakkan kedaulatan negara berbeda. Dalam kaitan dengan pembentukan negara berdaulat, hubungan kekerabatan memang pernah secara signifikan menjadi salah satu faktor strategis yang mempengaruhi hubungan kedua-dua negara. Kekerabatan paling kuat ketika benihbenih nasionalisme muncul di negara-negara ini yaitu ketika mereka melawan penjajah untuk mecapai kemerdekaan. Persaudaran Melayu dicerminkan dengan keinginan untuk membentuk Melayu Raya sebagai negara merdeka yang meliputi pula Indonesia. Demikian juga ada citacita Indonesia Raya di mana Melayu menjadi bagian dari negara merdeka itu. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, citacita itu tidak pernah terwujud. Perjuangan kemerdekaan ala revolusi sosial yang banyak mengorbankan jiwa dan lebih jauh lagi menggusur feodalisme di Indonesia, kurang mendapat simpati dari mayoritas masyarakat di Malaysia. Sejalan dengan ini sebagaimana diungkapkan di atas penyempitan istilah Melayu ini pun terjadi. Melayu hanya mewakili sebagian suku di Indonesia sedangkan di Malaysia, Melayu didefinisikan secara lebih sempit lagi secara politik. Dengan penyempitan makna Melayu ini, pengaruh keserumpunan Melayu menjadi kurang relevan dalam hubungan kedua-dua negara. Walaupun perlahan mengalami perubahan, wa-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
101
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
cana hubungan kedua-dua negara bertransformasi tidak lagi menggunakan istilah keserumpunan Melayu tetapi hubungan normal sebagai dua negara yang berdaulat. Yang terjadi kemudian adalah perbedaan persepsi dalam penguatan kedaulatan ini. Indonesia memandang kedaulatan Malaysia seharusnya diperoleh melalui perjuangan yang genuine dengan melawan penjajah, bukan dengan mendapatkan hadiah dari penjajah. Ini kemudian berlanjut kepada Konfrontasi yang dimotori oleh Sukarno. Dalam konfrontasi, Sukarno yang marah dengan demonstrasi besar-besaran anti Indonesia seperti penistaan gambar dirinya, bendera Indonesia dan lambang negara, meminta dukungan masyarakat untuk mengganyang Malaysia (Sulaiman 2007). Di sebalik kampanye itu, terdapat tujuan berganda, yaitu selain mendiskreditkan Malaysia sekaligus juga untuk membangun kesatuan dalam negeri dengan mengandaikan musuh dari luar ini. Sukarno melakukan itu untuk menunjukkan wibawa Indonesia dan untuk memberikan kebanggaan kepada rakyat Indonesia akan kekuatan revolusi mereka. Dalam perspektif kedaulatan pula, kedua-dua Negara juga berbeda haluan ketika Malaysia bersimpati kepada kelompok-kelompok luar Jakarta untuk mendapatkan hak yang lebih besar dari pusat di tahun 1955-1960. Hubungan erat antara partai Islam Masyumi Indonesia dengan tokoh-tokoh Islam di Malaysia, telah membuat banyak kalangan di Malaysia bersimpati terhadap pemberontakan daerah-daerah terhadap pusat di tahun 1955-an. Strategi untuk memperkuat otoritas dan kedaulatan juga berbeda dalam menata keamanan kawasan Asia Tenggara. Memang Indonesia dan Malaysia adalah pendukung utama dalam pembentukan ASEAN karena melalui ASEAN kerjasama dan penyelesaian masalah bisa dikembangkan di kawasan. Mereka juga memegang teguh prinsip-prinsipASEAN untuk menghormati kedaulatan masing-masing negara. Namun dalam hal mempersepsikan ancaman terhadap ASEAN, kedua-dua negara mempunyai persepsi yang berbeda. Malaysia bagaimanapun melihat pentingnya kekuatan besar seperti Inggris dan Amerika Serikat dalam menjaga kestabilan. Ini dicerminkan dalam Pakta Lima Negara yang ditandatangani Malaysia, Singapura dengan AS, Australia dan New Zea-
102
land. Dalam ide ZOPFAN pada awalnya Malaysia menghendaki suatu jaminan dari negara-negara besar ini terhadap zona damai diASEAN. Indonesia sebaliknya melihat bahwa ASEAN harus mandiri dalam menjaga kestabilan kawasan. ASEAN bagi Indonesia harus bebas dari pengaruh asing melalui kekuatan negara-negara anggota sendiri. Konsep wawasan nasional dan wawasan regional menjelaskan pentingnya kekuatan dari kalangan negara per negara untuk mencegah ancaman dan campur tangan asing terhadap kawasan ini. Kesatuan dan integritas wilayah merupakan warisan sejarah yang sampai kini melekat kuat dalam pandangan politik Indonesia. Indonesia sangat khawatir akan negaranya yang kaya dengan berbagai pulau dan rawan infiltrasi. Weinsten (1976) mengistilahkan pandangan elit tentang Indonesia itu, sebagai seperti seorang gadis yang ingin digoda oleh banyak negara lain. Dalam konteks ini lah kedaulatan Indonesia atas pulau-pulau di garis perbatasan lautnya menjadi kekhawatiran besar. Lepasnya Sipadan dan Ligitan misalnya sangat disesali oleh banyak orang Indonesia. Lepasnya kedua-dua pulau itu sempat menyulut emosi masyarakat walaupun tidak sampai menyebabkan konfrontasi di kedua-dua negara. Demikian juga sengketa perbatasan laut di blok Ambalat telah membakar nasionalisme banyak orang Indonesia. Media Indonesia misalnya melaporkan peristiwa itu dengan liputan yang luas dan membakar perasaan nasionalisme masyarakat. Militer Indonesia juga sudah siap untuk diterjunkan bila ada konfrontasi militer. Pulau-pulau di garis perbatasan luar menjadi concern banyak pihak di Indonesia walaupun mereka kadangkala frustrasi dengan ketidakmampuan untuk menjaganya karena kekurangan teknologi dan kapal-kapal perang. Langkah-langkah Malaysia apalagi setelah lepasnya Sipadan dan Ligitan selalu dipandang curiga oleh masyarakat umum dan media Indonesia. Setelah kedua-dua pulau itu, mereka menganggap bahwa Ambalat merupakan target berikutnya dari Malaysia. Tidak mengherankan ketika terjadi peningkatan dinamika di laut itu karena Malaysia memberikan izin bagi perusahaan minyak Amerika untuk mengeksplorasi minyak di blok Ambalat kekhawatiran itu tambah besar. Ini diikuti pula dengan ketegangan di seputar wilayah laut itu dan terjadinya sedikit
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
benturan antar kapal Malaysia dan Indonesia. Peristiwa itu memicu protes rakyat, demonstrasi anti Malaysia di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Di Malaysia peristiwa ini tidak dipandang sebagai suatu masalah serius karena ada anggapan bahwa yang dilakukan adalah dalam kepentingan ekonomi dan masih dalam batas wilayah Malaysia. Media Malaysia pun tidak punya kepedulian yang berlebih untuk masalah ini. Mereka melaporkan peristiwa itu dengan wajar. Tentu saja ini wajar dalam konteks Malaysia karena sebetulnya tujuan utama mereka adalah ekonomi dan keuntungan bagi negara, dan tidak dilihat dari konteks nasionalisme. Bagi pihak Indonesia, tindakan seperti ini dipandang sebagai bagian dari upaya untuk mengambil tanah dan menghancurkan kedaulatan RI. Dalam konteks Indonesia, demikian tingginya kekhawatiran itu, sehingga sulit difikirkan secara jernih siapa yang lebih berhak atas daerah itu. Karena hal itu tidak penting lagi, yang penting adalah adanya ancaman territorial yang dilakukan oleh Malaysia. Dari kasus ini, dalam konteks kedaulatan, kekerabatan seringkali tidak memiliki makna. Pada masa Sukarno, banyak orang melihat bahwa politik Konfrontasinya dilakukan untuk mengalihkan persoalan kesatuan Indonesia yang begitu rumit sebagai negara baru dan kesulitan untuk membangun negara itu sesuai janji kemerdekaan. Malaysia dijadikan musuh bersama atau the other secara efektif untuk menggalang dan memobilisasi kekuatan bersama di dalam negeri. Malaysia semasa Konfrontasi telah disamakan oleh Soekarno dengan kekuatan imperialis. Kemerdekaannya yang tidak melalui perlawanan dan revolusi dilihat sebagai bagian dari konspirasi kekuatan imperialisme dan kolonialisme negara-negara Barat untuk mengepung negara-negara penentang penjajahan (anti-colonialism) seperti Indonesia. Kontras yang diciptakan Sukarno ini merupakan kelanjutan dari penciptaan lawan yang pada gilirannya diharapkan akan menyatukan kekuatan dalaman (internal) di Indonesia, dan untuk sementara waktu rakyat dapat melupakan penderitan hidup dan kesulitan ekonomi. Mereka mengkonsolidasi diri dan bersatu di belakang Soekarno dengan nasionalisme, idealisme dan semangat revolusi. Hal yang kurang lebih sama juga berlaku
di dalam negeri Malaysia dewasa ini. Di Malaysia kedaulatan negara antara lain diperkuat antara lain dengan memperlihatkan bahwa persoalan-persoalan seperti kejahatan di dalam negeri banyak terjadi karena para pendatang yang bekerja di negara itu. Pendatang yang bekerja dilaporkan oleh media misalnya sebagai sumber masalah sosial di negara itu. Laporan-laporan media misalnya menyebutkan bahwa sebagian besar jumlah tahanan adalah para pekerja termasuk pekerja tanpa izin dari Indonesia. Judul laporan itu misalnya “25.000 Pekerja Indonesia bawa Penyakit Setiap Tahun”, "Pekerja Asing Biadab", "Orang Indon Mengganas". Akibat pemberitaan itu telah menciptakan opini negatif di kalangan masyarakat Malaysia terhadap orang Indonesia. (Kompas, 9 November 2007); walaupun sebetulnya seperti diberitakan Berita Harian, 17 November 2007, jauh lebih banyak warga Malaysia sendiri yang melakukan kejahatan, karena ternyta kejahatan yang dilakukan oleh orang asing kurang dari 3% (Lihat juga Berita Harian 17 November 2007)3. Namun penggambaran media yang berulangulang, seolah-olah menunjukkan bahwa orangorang asing ini hanya mengacaukan dan merusak masyarakat Malaysia. Laporan-laporan ini tentu saja untuk konsumsi dalam negeri dan kepentingan politik sesaat, tapi dalam jangka panjang mengimplikasikan sikap antipati terhadap semua orang Indonesia. Bangsa Malaysia menjadi yakin bahwa Malaysia yang berdaulat dan teratur dengan baik telah dikacaukan oleh para pendatang. Tidak ada sisi positif yang diungkapkan dari kedatangan para pekerja ini dalam membantu proses pembangunan Malaysia, karena ini bisa mengacaukan persepsi antara Malaysia yang baik dan teratur dan mereka para pendatang yang membuat kacau. Dengan demikian, di dalam negeri, yang asing yaitu para pendatang digambarkan sebagai sumber masalah dari masyarakat Malaysia yang seharusnya baik dan bermartabat. Perihal kehadiran pekerja asing termasuk tenaga kerja Indonesia turut memberi kontribusi besar dalam pembangunan di Malaysia.
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Dari sudut positif, kehadiran pekerja asing terbukti banyak membantu negara [Malaysia]. Mercu tanda Menara Berkembar Petronas, Menara KL, Litar F1 Sepang, Stadium Nasional Bukit Jalil dan Pusat Pentadbiran Kerajaan Persekutuan di Putrajaya tidak akan
103
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
4
jadi kenyataan tanpa adanya pekerja asing.
Proses penguatan kedaulatan ke dalam ini, dengan demikian menunjukkan bahwa nilai-nilai kekerabatan tidak bermakna sama sekali. Kekerabatan memang ada sebagai sebuah realitas namun dalam perkembangannya ia tidak diberi makna yang penting dalam pejalanan pembentukan negara berdaulat Malaysia dan Indonesia. Bahkan perbedaan yang besar dalam bagaimana kedaulatan harus diperkuat menyebabkan ketegangan hubungan kedua-dua negara tersebut. Kekerabatan, Diplomasi dan Strategic Culture Strategic culture ada sebuah konsep tentang prilaku suatu negara yang lebih kompleks daripada konsep rasionalitas keamanan yang mengandaikan selalu adanya ancaman dari negara lain. Menurut Hoffmann dan Longhurst (1999: 145-146) ada empat asumsi dasar strategic culture: 'Firstly, a strategic culture approach emphasises national specific attributes of security approaches and policies as deriving from historical experiences thus cancelling out the notion of a universal assumed rationality. Secondly, strategic culture is about collectives and their shared attitudes and beliefs, whether that be military establishments, policy communities or entire societies. Thirdly, it is continuities and discernible trends across time and contexts rather than change that is focused upon, change is generally portrayed as gradual in the absence of dramatic shocks and trauma. Finally, strategic culture is seen as intimate to behaviour, acting as a milieu through which information is received, mediated and processed in to appropriate responses.
Dalam konteks ini, budaya strategis Indonesia dan Malaysia dalam sejarahnya walaupun singkat cukup berbeda. Selama 63 tahun Indonesia merdeka dan 50 tahun Malaysia merdeka pengalaman sejarah yang membentuk budaya strategis kedua-dua negara berbeda. Indonesia disosialisasikan kepada keadaaan tentang negerinya yang rentan dalam menghadapi pengaruh asing. Kerentananan itu seringkali diperparah oleh rasa khawatir dan frustrasi karena ketidakmampuan untuk melindungi diri. Tetapi dalam sejarahnya untuk mengatasi ini Indonesia tidak mau meminta bantuan asing tapi harus 104
mengandalkan kekuatan diri sendiri. Mengandalkan kekuatan asing akan membuat independensi terombang ambing dan menjadi permainan kekuatan besar, yang justru akan mempermudah infiltrasi kekuatan asing itu ke bumi Indonesia. Ini tertuang dalam deklarasi politik luar negeri negara ini yaitu bebas dan aktif yang bermakna bahwa Indonesia bebas dari dalam melakukan pilihan politik internasional tetapi juga aktif mempromosikan perdamaian. Kemudian prinsip ini dirumuskan dalam konsep wawasan nusantara oleh rejim Orde Baru. Seperti diungkapkan di muka strategic culture menyangkut 'collectives and shared attitudes and beliefs' atau kolektivitas, kebersamaan, nilai-nilai dan sikap yang dipilih oleh suatu negara dalam melihat hubungan dengan negara lain. Nilai-nilai ini dianut oleh sebagian besar dari elit dan massa di negara itu yang terbentuk lewat perjalanan sejarah mereka menghadapi cabaran dari persekitaran, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Nilai-nilai itu menentukan apakah mereka akan misalnya melakukan konfrontasi atau bersikap damai dengan membina kerjasama dalam menghadapi negara lain. Terdapat beberapa negara di dunia memilih jalan konfrontatif dalam hubungan internasional. Amerika Serikat misalnya melakukan politik pembendungan (containment) terhadap Uni Soviet; dan pada ketika ini, politik pembendungan ini dilakukan terhadap negaranegara yang mereka anggap membangkang dan mendukung terorisme. Di kawasanAsia Selatan dan Timur Tengah, konfrontasi lebih menonjol daripada kolaborasi. Demikian juga di Asia Timur terutama antara dua Korea. Pilihan-pilihan konfrontasi ini terbentuk dalam perjalanan sejarah dan sikap yang berkembang itu dianut oleh sebagian besar dari elit dan massa ketika menghadapi negara-negara tentangganya itu. Secara umum Malaysia dan Indonesia dan juga negara-negara Asia Tenggara umumnya berhasil mengembangkan kultur strategis yang lebih bersifat harmoni daripada konfrontasi. Ini tentu saja tidak lepas dari perjalanan sejarah mereka semenjak kemerdekaan. Apakah ada peranan kekerabatan dalam menentukan pilihan kerjasama? Peranannya barangkali secara tidak langsung memberikan kondisi bagi dialog-dialog yang akrab dan intensif bagi negaranegara di kawasan ini. Negara-negara di kawasan ini merasa sebagai bagian dari satu kawasan
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
yang bertentangga. Mereka memiliki kultur Asia atau mungkin kultur Melayu kalau mau, secara umum dan menganggap bahwa hidup bertetangga yang baik adalah penting. Dalam konteks ini, hubungan IndonesiaMalaysia juga menjadi lebih dekat karena adanya aspek kekerabatan. Ada dialog yang sangat intensif antara pemimpin kedua-dua negara. Ia memberikan kesempatan untuk dialog dan komunikasi secara lebih akrab. Konfrontasi dalam konteks ini bisa dianggap sebagai sebuah kontradiksi dari hubungan kekerabatan dan bertentangan dengan prinsip hidup bertetangga. Proses dialog menemui jalan buntu karena ambisi pemimpin kedua-dua negara yang begitu kuat. Sebaliknya unsur kekerabatan bisa dimaknai secara positif untuk mengembangkan dialog bagi perdamaian. Pengakhiran Konfrontasi kedua-dua negara di tahun 1966 tidak terlepas dari dialog-dialog dan dimungkinkan untuk berakhir dengan baik dan damai karena adanya unsur kekerabatan ini. Banyak pengamat misalnya sangat heran, konflik bertahun-tahun yang penuh kebencian dengan istilah-istilah seperti 'ganyang Malaysia' dan juga clash militer yang serius di perbatasan Kalimantan, selesai dalam pertemuan dua hari antara Menteri Luar Negeri Adam Malik dan rekannya Tun Abdul Razak di Bangkok. Bahkan pengakhiran itu tanpa ada perjanjian yang ditandatangani dengan jelas (Time, 10 June 1966). Ini tentunya berbeda kalau konflik terjadi melibatkan dua negara yang tidak memiliki ikatan kekerabatan. Negara-negara ini tentu meminta jaminan yang jelas bahwa peristiwa yang sama tidak akan berlaku lagi. Dalam konflik Indonesia dengan Cina misalnya, pemerintahan Orde Baru di Indonesia misalnya tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan negara tirai bambu itu sampai Cina menyatakan secara resmi bahwa mereka tidak lagi mendukung gerakan-gerakan komunis di Indonesia. Terhadap keheranan bahwa konflik dengan Indonesia bisa berakhir dengan begitu cepat, Menlu Malaysia hanya berujar bahwa ini lah cara kami, cara Asia dalam menyelesaikan masalah (Ishak, 2007). Seorang pegawai Malaysia pernah menyatakan bahwa konflik sebelum ini sebenarnya adalah konflik antara unsur Komunis dan non-Komunis yang secara tersirat (implisit) hendak memberi justifikasi bahwa Konfrontasi bukan konflik antara dua negara
serumpun. Di sebalik proses ini, tentu saja background kekerabatan menjadi salah satu faktor yang membuat komunikasi tidak pernah putus antara kedua-dua negara. Lagi pula Tun Abdul Razak dan Adam Malik, tokoh utama di sebalik perdamaian itu, adalah dua saudara sepupu jauh. Terlepas dari siapa yang diuntungkan dalam menggunakan konsep kekerabatan dalam diplomasinya, dalam perkembangannya, negara-negara ASEAN juga mengembangkan mekanisme dialog dalam menyelesaikan persoalan-persoalan mereka. Sedikit banyak unsur-unsur budaya seperti konsensus, persaudaraan, musyawarah dan mufakat dan pertemuan-pertemuan informal yang populer di mayarakat Melayu Indonesia dan Malaysia menjadi cara dalam menyelesaikan perbedaan di antara mereka. Dengan kata lain ini menjadi semacam budaya strategis yang dikembangkanASEAN. Cara demikian kemudian sering dikenal dengan istilah 'ASEAN way'. Tentu saja tidak semua 'ASEAN way' ini positif, tetapi dalam hal-hal tertentu cara ini cukup efektif untuk mendinginkan (cooling down) suasana panas yang terjadi antara anggota ASEAN. ASEAN dalam menyelesaikan suatu masalah yang kontroversial biasanya mendiamkannya sampai dingin sebelum melakukan tindakan yang seringkali tanpa ada solusi. Solusi diharapkan muncul bersamaan dengan perjalanan waktu dan diharapkan ada solusi damai yang nantinya dapat diterima oleh semua pihak. Kalau keadaan menguntungkan tentu saja solusi damai bisa dikembangkan tetapi bilamana berlaku krisis dalam hubungan antar negara ASEAN atau dengan Negara lainnya, sebuah solusi damai bisa semakin jauh. Lewat mekanisme ini ASEAN misalnya dapat mendinginkan suasana panas dalam konflik Sabah antara Malaysia dan Filipina demikian juga konflik perebutan kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dan juga masalah-maslah di perbatasan Malaysia dan Thailand, walaupun belum ada solusi yang jelas terhadap soal-soal itu. Cara menyelesaikan konflik demikian juga mengandalkan dialog-dialog dan perundingan terus menerus yang bisa menimbulkan saling kepercayaan antara pemimpin-pemimpin negara ini, walaupun kadangkala tanpa mencapai kata sepakat. Masyarakat keamanan atau security community di ASEAN misalnya
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
105
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
tercipta karena mereka para pemimpin ini percaya satu sama lain. ASEAN security community misalnya tidak dibuat dalam kerangka perjanjian keamanan sebagaimana umum terjadi untuk masyarakat keamanan di Barat. Dalam konteks kawasan, relevansi dari konsep kekerabatan, dengan demikian adalah sebagai alat dan mekanisme dalam mendorong dialog-dialog yang bermanfaat ini. Indonesia dan Malaysia agaknya memanfaatkan kedekatan kekerabatan ini terutama dalam perkembangan hubungan semasa PMAbdullah Badawi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Indonesia untuk meningkatkan dialog di antara mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi di tingkat elite antara kedua-dua negara sangat intensif, sehingga tercipta semacam hotline antara pemimpin kedua-dua negara yang sangat penting bila ada krisis. Dalam banyak hal intensitas hubungan dan komunikasi elite ini bisa meredakan kalau tidak mengatasi sejumlah persoalan dalam hubungan kedua-dua negara. Tentu saja hotline juga bisa tercipta walaupun dua buah negara tidak mempunyai hubungan kekerabatan sama sekali. Tetapi bila ada landasan kekerabatan proses ini bisa lebih mulus lagi. Kinship dan 'Visi Serumpun' ke depan Makalah ini melihat bahwa konsep kinship atau kekerabatan mestinya diletakkan secara proporsional dalam hubungan kedua-dua negara. Kesalahan dalam memahami kinship adalah bahwa konsep ini sering difahami akan mempengaruhi secara langsung hubungan Indonesia dan Malaysia. Ini kesimpulan yang terburu-buru karena konsep kinship, baru memiliki makna kalau kita melihatnya dalam suatu konteks yang dilakukan oleh kedua-dua negara. Dalam makalah ini kinship diletakkan dalam konteks penguatan kedaulatan dan dalam konteks pembentukan budaya strategis kedua-dua negara. Kinship agaknya tidak diperhitungkan bila dua negara ini berbicara dalam konteks penguatan kedaulatan negara, sebuah konsep yang sangat penting bagi dua negara yang baru merdeka. Dalam konteks penguatan kedaulatan, ada kecenderungan pada satu negara untuk mensosialisasikan negara lain sebagai asing atau alien bahkan membawa persoalan bagi keutuhan dan keharmonian masyarakat mereka. Laporan-laporan media seringkali menunjuk-
106
kan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang berasingan satu dengan lain, bukan sebuah negara serumpun. Dalam konteks ini istilah yang tepat adalah 'kita adalah kerabat tapi masing-masing kita juga berdaulat'. Dapatkah konsep kekerabatan atau keserumpunan Melayu ini dikembangkan lebih jauh? Dalam pertanyaan yang lebih konseptual, Boleh kah 'Visi Serumpun' (Visions of “Serumpun”) atau 'Wawasan Serumpun' yang populer semasa Tun Abdul Razak dan Suharto dikembangkan? Dalam mengelaborasi jawaban terhadap pertanyaan ini ada beberapa hal yang perlu dibahas. Poin pertama adalah bahwa sebagai dua negara bertetangga, kedua-dua negara berdekatan secara geografis, punya ikatan budaya yang tak dapat dielakkan, karena sejak zaman dahulu kala sehingga era globalisasi ketika ini banyak masalah di sektiar kedua-dua negara berkaitan satu sama lain. Dahulu kedua-dua negara adalah bahagian dari kerajaan-kerajaan di nusantara seperti Majapahit, Melaka dan Johor (Ghazali, 2007). Ini sebuah keadaan yang bisa saja dianggap tidak penting tapi tidak dapat dielakkan atau ibarat sebuah ungkapan 'you can choose your friends but not your neighbours' (Thamrin, 2007). Pada masa kini bukan saja arus pekerja dan migran tapi juga arus budaya pop masuk ke Malaysia dari Indonesia. Para pelabur dari Malaysia juga semakin ramai datang ke Indonesia demikian juga para pelancong. Bisa dipastikan di masa datang kondisi hubungan ini makin kompleks. Ia tidak hanya terbatas kepada pemerintah dengan pemerintah saja tetapi pemerintah dengan masyarakat di keduadua negara. Karena kedekatan geografis ini berbagai masalah tidak akan terelakkan akan berlaku dalam hubungan kedua-dua negara. Keduadua negara mungkin tidak menyukai hal ini, tapi letak geografis itu telah menjadi takdir yang ditentukan Tuhan. Melihat fakta sejarah, geografis dan hubungan sejak lama ini, dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia bagaimanapun juga keserumpunan atau kinship ini tetap menginformasikan banyak segi dan keputusan dalam hubungan kedua-dua negara. Dari fakta yang sederhana misalnya dapat dikatakan bahwa para pemrotes terhadap kebijakan Malaysia menggunakan hasil karya bangsa Indonesia ataupun dalam perlakuan terhadap pekerja
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
asing maupun orang Indonesia di Malaysia, pada umumnya diinformasikan oleh sentimen kekerabatan ini. Mereka secara emosional memprotes negara tetangga yang tidak lagi menghargai saudara tuanya. Sentimen yang muncul di kalangan para chauvinist ini adalah anggapan bahwa saudaranya ini kini tidak tahu diri. Tanpa ada sentimen seperti ini sikap para chauvinist ini tidak lah terlalu galak. Misalnya terhadap pencurian hasil-hasil karya Indonesia misalnya oleh Singapura, Jepang, Belanda atau lembaga Smithsonian Amerika misalnya, reaksi yang dilakukan oleh orang Indonesia tidak lah sekeras terhadap Malaysia (Daery, 2007). Bahkan terhadap hilangnya pulau-pulau Indonesia karena diambil pasirnya oleh Singapura (Utusan Malaysia, 17 November 2007), tidak ada protes yang dramatis seperti kalau itu berlaku karena perlakuan Malaysia. Pada fihak lain, Malaysia pun agaknya menganggap bahwa banyak khazanah budaya di Nusantara ini adalah warisan serumpun. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa produkproduk budaya yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adalah berasal dari Indonesia. Lagu kebangsaan Negaraku misalnya diklaim berasal dari Indonesia, namun menurut sastrawan Zawawi Imron, lagu itu sesungguhnya merupakan puji-pujian yang sebenarnya hidup di kalangan pesantren sejak lama (Daery, 2007). Jadi ia kira-kira merupakan warisan serumpun bersama karena pesantren wujud, baik di Indonesia maupun Malaysia. Karena itu poin kedua yang penting adalah bahwa untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dan akan muncul antara keduadua negara, sebagai dua negara serumpun, mereka mestinya berhasil mengembangkan payung kerjasama yang berjangka panjang. Payung kerjasama ini bisa disebut misalnya sebagai 'Wawasan Serumpun' yang akan dijadikan reference utama bila berlaku masalah dan ketegangan dalam hubungan kedua-dua negara. Hendaklah kedua-dua negara dalam mengatasi persoalan mereka, melihat pada tujuan jangka panjang dalam 'visi serumpun' ini. Visi sedemikian bukan lah suatu yang mustahil apalagi kedua-dua negara sudah meletakkan meletakkan Wawasan mereka. Malaysia dengan Wawasan 2020 dan 2057 misalnya, sedangkan Indonesia membuat 'Visi Indonesia 2030'. Mereka dapat menyeleksi aspek-aspek kedua-dua wawasan
itu untuk disinergikan bersama. Visi serumpun semasa Tun Abdul Razak pada tahun 1967-1975 terasa pendek dan sangat dilandasi oleh semacam euforia setelah konfrontasi yang pahit. Masa itu memang sering disebut sebagai tahun-tahun emas hubungan darah Indonesia-Malaysia (Yong, 2003), namun ia dilandasi oleh trauma konfrontasi, yang mana kemudian dalam banyak hal Malaysia mencoba untuk memahami bahkan konsultasi dengan Jakarta dalam isu-isu penting untuk kestabilan kawasan. Hubungan yang akrab demikian tidak berlanjut pada masa selanjutnya karena kehendak Malaysia dan semua negara merdeka juga untuk mengembangkan identitas dan rasa percaya diri sendiri di dunia internasional terlepas dari bayang-bayang pengaruh negara lain. Dengan demikian, dan ini adalah poin ketiga, visi serumpun yang dapat dirintis adalah visi yang dapat memberikan peluang dan ruang bagi kebebasan dan identitas masing-masing negara untuk berkembang, namun mengarah kepada satu tujuan yang saling mendukung satu sama lain. Tujuan itu adalah kesejahteraan dan keamanan bagi masing-masing negara. Sebagai dua negara serumpun yang memiliki banyak kesamaan budaya dan 'blood brotherhod', adalah wajar kalau satu negara ingin melihat negara lainnya makmur, sejahtera dan damai. Perasaan sedarah dan serumpun mestinya menjadi energi positif untuk melihat saudara-saudara mereka maju. Kemakmuran dan kedamaian satu negara tidak dilihat dengan iri dan dengki tapi disambut baik karena juga berdampak positif untuk negaranya. Agaknya konsep 'prosper-thyneighbour', sebagai kontras dari 'beggar-thyneigbour' policy yang sering diucapkan oleh para pemimpin Malaysia dan Indonesia adalah relevan dalam konteks membangun 'visi serumpun 2050' misalnya. Apalagi kedua-dua negara kaya akan sumber alam dan sumber daya manusia. Konsep Melayu unggul juga bisa dijadikan landasan bagi visi ini. Dalam sejarahnya prinsip 'prosper-thyneighbour' ini telah pula diterapkan terlebih dahulu oleh Indonesia, ketika negara ini mengirimkan puluhan ribu guru sains, dokter, pakar teknik dan tenaga medis untuk mendidik dan membantu Malaysia yang kekurangan tenaga dan pengetahuan di berbagai bidang di tahun 1950-an. Secara tidak langsung para seniman musik, sastrawan, pemusik dan penyanyi juga
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
107
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
memberi sumbangan tidak sedikit dalam kemajuan industri seni kedua-dua negara. Karya-karya seniman Indonesia juga menyumbangkan bagi kemajuan berbagai bidang seni di Malaysia. Namun ada poin keempat yang penting dalam proses mewujudkan 'visi serumpun 2050' itu yaitu perlunya upaya konkrit. Seperti 'Vision 2020' Malaysia, visi itu hendaknya juga berisi langkah-langkah konkrit yang akan dicapai sampai tahun 2050. Langkah konkrit penting adalah membetuk semacam tim khusus di kedua-dua negara yang bisa dimulai dari kalangan akademisi, kemudian swasta, pengusaha dan kemudian pemerintah untuk merumuskan 'Wawasan Serumpun' Indonesia-Malaysia ini. Merujuk kepada visi Indonesia 20305, maka 'Visions of Serumpun' dapat dikembangkan untuk mendukung kepentingan kedua-dua negara. Ia misalnya dapat meliputi upaya untuk membentuk sinergi tiga modal utama kedua-dua negara yaitu modal manusia, modal alam dan fisik, dan modal sosial. Dalam sinergi itu kedua-dua negara dapat bekerja sama untuk “Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bebas dari kemiskinan”, kemudian mereka dapat bekerja sama memanfaatkan kekayaan alam kedua-dua negara yang kaya secara optimal dan berkelanjutan. Kedua-dua negara juga memiliki potensi untuk melakukan sinergi kelompok wirausaha, birokrasi dan pekerja dalam rangka menciptakan daya saing yang global. Demikian juga 'Wawasan Serumpun' ini dapat meningkatkan perwujudan Wawasan 2020 Malaysia misalnya dalam kaitan dengan cabaran yang keenam untuk mewujudkan masyarakat Malaysia yang progresif, mempunyai daya perubahan yang tinggi dan memandang ke depan yang tidak hanya menjadi pengguna teknologi tetapi juga penyumbang peradaban ilmu dan teknologi di masa depan (Wawasan 2020). Dalam jangka pendek upaya konkrit utama mengatasi hubungan yang rapuh adalah upaya untuk mengurangi konflik-konflik sporadik dalam hubungan antara kedua-dua negara yang dapat merugikan pencapaian visi itu. Sebagaimana dijelaskan di atas, seringkali identitas kedua-dua negara dibentuk melalui pencitraan tentang negara lain yang buruk, terbelakang, pembawa masalah sosial dan moral; sementara negara sendiri adalah maju, murni dan tenteram damai seperti yang dicitrakan di Ma-
108
laysia lewat pemberitaan terhadap TKI di berbagai media mereka. Sebaliknya di Indonesia juga kini terjadi pencitraan terhadap Malaysia sebagai negara yang tidak tahu diri, tidak bisa berterima kasih, maling dan mau untung sendiri, yang belakangan muncul dalam menyikapi sengketa soal pengambilan lagu daerah dan hasil-hasil karya bangsa Indonesia lainnya oleh Malaysia. Kepentingan politik sesaat di balik pencitraan ini bisa counter-productive untuk pencapaian cita-cita bersama tadi. Seperti dikatakan Hussain (2007), isu-isu seperti imigran harus diatasi secara serius dan tidak semata untuk kepentingan pilihan raya. Ia mengatakan: 'Isu imigran dan pekerja asing perlu diperhalusi dalam kontkes cabaran yang berkait rapat dengan strategi daya saing negara di peringkat global, dan tidak sepatutnya bersifat knee-jerk reaction semata-mata untuk memuaskan hati orang ramai tatkala pilihan raya menjelang tiba' (Hussain, 2007).
Hubungan kedua-dua negara ini belakangan menjadi sangat sensitif dan seringkali memicu ketegangan. Kasus penyiksaan warga Indonesia oleh majikan dan pemukulan terhadap warga RI oleh polisi adalah puncak dari proses pencitraan itu. Perlakuan itu mungkin dirasa wajar, alamiah dan mungkin begitulah seharusnya bagi masyarakat Malaysia karena telah terjadi proses pencitraan yang sistematis di media bahwa para pekerja Indonesia sering membuat masalah sosial dan datang tanpa izin. Pada gilirannya pencitraan itu juga berhasil mencitrakan bahwa para pekerja itu adalah cermin sebenarnya dari orang Indonesia secara keseluruhan. Ini tentu saja telah membutakan mata bahwa para pekerja yang melanggar hukum adalah sebagian kecil dari pekerja dan Indonesia lebih luas dan kompleks serta memiliki hal-hal yang baik dan unggul pula. Para pekerja itu pun sebetulnya melakukan perbuatan itu karena dipicu oleh berbagai masalah sosial, eksploitasi, masalah birokrasi dan administratif yang merugikan mereka yang kadang berasal dari oknum orang Indonesia juga. Di Indonesia, peroses pencitraan juga berlangsung untuk melawan apa yang berlaku di Malaysia. Media juga ramai misalnya menyebut Malaysia dengan berbagai istilah seperti Malingsia untuk menggambarkan bahwa Malaysia suka mengambil hak milik orang Indone-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
sia. Mereka juga curiga bila Malaysia memberi kapal selam, maka itu dianggap ditujukan untuk memata-matai atau siap untuk menyerang Indonesia. Di dalam negeri Indonesia, hal-hal yang memojokkan Indonesia ini, dijadikan bahan oleh para chauvinist ini untuk mempermasalahkan hubungan kedua-dua negara sehingga hubungan menjadi semakin keruh (Daery, 2007). Proses pencitraan ini perlu diatasi karena ia membutakan mata masyarakat tentang apa yang telah dilakukan oleh para pekerja itu untuk Malaysia dan kadangkala menyesatkan fikiran sehat karena mengira bahwa di Indonesia sana, semua orang adalah seperti para kuli pekerja dan pembantu rumah tangga itu. Walaupun mungkin kemajuan di Indonesia tidak sepesat di Malaysia, tetapi tetap ada juga hal positif di Indonesia yang menarik untuk dihargai. Malaysia sudah menjadi maju dan baik tanpa harus mencitrakan orang lain sebagai buruk dan terbelakang. Seperti dikatakan bekas Wakil PM Malaysia Anwar Ibrahim, orang Malaysia umumnya hanya mengenal Indonesia dari para pekerja kasar dan pendatang tanpa izin. Padahal menurutnya seharusnya mereka mengenal Indonesia dari tokoh-tokoh besar seperti Sukarno-Hatta, sastrawan dan pujangga-pujangga besar seperti Rendra dan Chairil Anwar. Namun menurut Ibrahim, hal ini tidak penting lagi bagi para pemimpin Malaysia (Kompas, 30 Oktober 2007). Sementara itu respon kaum chauvinist di Indonesia ini juga perlu diatasi karena tidak produktif dalam membangun hubungan keduadua negara. Akan berkembang kesan bahwa Malaysia adalah negara yang sombong dan tidak tahu diri di dalam negeri Indonesia. Kelompok ini mulai menyebutkan Malaysia sebagai negara yang suka mencuri dan sombong. Sebuah situs internet malingsia.com juga sudah dibuat yang banyak berisi hujatan terhapan Malaysia. Perlakuan para aparat keamanan di Malaysia dalam mengintrogasi identitas pelajar Indonesia perlahan-lahan akan menambah kekecewaan para pelajar yang sebenarnya ingin menuntut ilmu di Malaysia. Kalau dulu mereka berkampanye mengajak kawan untuk belajar di Malaysia karena fasilitas yang baik, sebagian mereka kini mulai mengkampanyekan agar jangan pergi belajar di Malaysia karena masalahmasalah di luar pelajaran yang sering menyulitkan. Proses pencitraan terhadap Malaysia se-
perti ini berlangsung di Indonesia terutama beberapa tahun belakangan ini terutama karena tindakan pihak berkuasa (aparat) Malaysia yang berlebihan terhadap warga Indonesia. Sementara itu sebagaimana difahami, proses pencitraan di Malaysia itu sudah berlangsung sangat agresif pada masa PM Mahathir Mohamad dan digunakan untuk kepentingan politik seperti untuk mencapai keseimbangan rasial baru dan untuk mencitrakan keamanan dalam negeri dari ancaman busuk para pendatang. Dalam istilah Barry Buzan et. al. (1997), telah terjadi proses securitization terhadap para pekerja Indonesia yang diistilahkan dengan sebutan 'para pendatang haram'. Proses securitization itu sebagaimana diketahui telah terjadi secara sistematis dan dramatis pada saat ini dan dilakukan dengan kekuatan resmi negara dan kekuatan media. Proses securitization terhadap ancaman para pekerja Indonesia itu masih berlanjut dalam kadar tertentu dengan berbagai kesimpulan di media bahwa para pekerja asing banyak menimbulkan masalah untuk negara ini. Media di Malaysia yang umumnya dikontrol pemerintah agaknya mempunyai kecenderungan bahwa yang dinamakan berita adalah bila para pekerja asing, terutama Indonesia berbuat kejahatan atau sesuatu yang salah. Sementara keberhasilan dan sumbangan mereka bukan dianggap suatu berita yang layak dilaporkan. Diharapkan proses securitization terhadap pekerja Indonesia ini segera berlalu, sehingga sebuah ruang baru yang melihat hubungan secara lebih rasional berdasarkan keinginan untuk kemajuan bersama lebih terbuka. Salah satu langkah positif dalam mengatasi pencitraan adalah dengan menempatkan permasalahan pada proporsinya. Tentu saja ada pekerja yang melanggar hukum namun tidak perlu disimpulkan atau dicitrakan semua yang melanggar hukum adalah pekerja Indonesia. Langkah untuk mengganti istilah Indon dengan Indonesia juga dipandang positif karena kata Indon mengalami proses pemaknaan yang negatif. Untuk para pekerja yang memang latar belakang pendidikan dan sosialnya rendah di Indonesia, kiranya ada upaya komprehensif untuk mempersiapkan dan mensosialisasikan mereka dengan sistem hukum dan budaya di Malaysia. Proses birokrasi tenaga kerja adalah satu hal yang agaknya tak kunjung bisa diatasi, sementara pemahaman mereka tentang negara baru
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
109
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
tempat mereka bekerja adalah hal lain yang penting untuk disosialisasikan kepada mereka. Selain itu perlu upaya konkrit untuk meningkatkan pemahaman tentang kedua-dua negara. Tokoh oposisi Malaysia Anwar Ibrahim misalnya menyayangkan bahwa banyak orang Malaysia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Media di Malaysia yang dikontrol oleh pemerintah tidak memberikan informasi yang lengkap tentang Indonesia. Mereka misalnya tidak bisa memahami mengapa Indonesia seringkali begitu cemburu dan marah-marah dengan Malaysia. Media di Malaysia umumnya menunjukkan sisi buruk yang ditampilkan oleh para pekerja dan pendatang tanpa izin di Malaysia. Karena itu menurut Ibrahim perlu ada upaya untuk memberikan saling pemahaman yang lebih mendalam tentang saudaranya dan tetangganya ini sebagaimana pemahaman yang berlaku antara pemimpin kedua-dua negara di masa lampau. Menurutnya politik di Malaysia tidak sepatutnya memunculkan sentimen anti Indonesia lewat media. Menurut beliau 'sentimen rakyat harus dididik. Orang Malaysia bukannya tidak perduli dengan apa yang terjadi, tetapi dia tidak tahu karena media tidak memberitakan sama sekali'. Kesimpulan Paper ini melihat bahwa konsep kinship adalah konsep yang tetap penting dan berguna dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Namun kinship atau kekerabatan perlu dilihat dalam proporsi dan konteksnya, dan tidak serta merta dilihat secara emosional dan nostalgik. Dalam pemahaman yang proporsional dan kontekstual, kinship tidak mempunyai makna penting dalam konteks kedaulatan negara, sebuah konsep yang sangat penting bagi dua negara merdeka. Namun ada potensi yang bisa dikembangkan dari konsep kekerabatan terutama sebagai alat atau mekanisme dalam diplomasi internasional. Kekerabatan bisa membantu proses dialog untuk meredakan konflik dan meningkatkan kerjasama. Kinship merupakan landasan untuk memulai satu pembicaraan yang konstruktif. Kinship juga dalam kadar tertentu menjadi fondasi bagi kerjasamaASEAN. Selain sebagai alat diplomasi yang melandasi kerjasama di ASEAN, konsep serumpun bisa dikembangkan juga sebagai landasan kerjasama Malaysia-Indonesia. Namun berda-
110
sarkan pengalaman hubungan, ada beberapa poin yang penting dalam konteks kerjasama ini yang perlu diingat. Pertama adalah kenyataan yang tidak dapat diubah bahwa kedua-dua negara secara geografis dan budaya adalah berdekatan dan kedua-duanya berada dalam era globalisasi yang saling bergantung. Itu semacam takdir yang bisa dimaknai dengan positif maupun negatif. Kedua, perjalanan sejarah menunjukkan bahwa ikatan darah dan budaya ini pernah menjadi pengikat kuat kerjasama dan citacita, namun sayangnya konsep seperti 'visi serumpun' di tahun 1970-an hanya digunakan untuk tujuan dan kepentingan jangka pendek. Karena itu poin ketiga yang penting adalah upaya untuk membangun 'visi serumpun' jangka panjang untuk mencapai cita-cita kemakmuran dan keamanan bersama yang boleh dimasukka dalam konsep seperti 'prosper-thy-neighbour' dan 'smart partnership'. Keempat, dalam visi jangka panjang ini, kepentingan politik jangka pendek yang memanfaatkan berbagai masalah dan isu dalam hubungan kedua-dua negara adalah penting dihindari. Pemanfaatan isu pendatang haram misalnya untuk kepentingan keamanan dalam negeri selain akan mencitrakan Indonesia sebagai negara penuh masalah sosial dan kriminal, juga dalam jangka panjang tidak menguntungkan visi jangka panjang untuk kemakmuran bersama itu. Daftar Pustaka “An Uproar of Peace”', Time, 10 June 1966. “Apa selepas Rasa Sayang, kapal Selam?”, Utusan Malaysia, 27 Oktober 2007. “Indonesia Hilang Pulau Lagi?”, Utusan Malaysia, 17 November 2007. Ayip, Z. (2007). “Bersama Diplomat: Indonesia mahu perbetul tanggapan”, Berita Harian, 15 November 2007. Buzan, B. , Wæver, O. and de Wilde, J. (1997). Security: A New Framework for Analysis, Boulder: Lynne Rienner Publishers. Daery, V. (2007). “Penyelesaian Kasus Lagulagu Serumpun”, Jawa Pos, 15 November. Fachir, M. (2007). “Hubungan RI-Malaysia sesudah 50 tahun 'Cabaran dan Harapan'”, makalah disampaikan di depan Universiti Utara Malaysia, 27 Maret 2007. Ghazali, A.Z. (2007). “Malaysia Indonesia dalam Sejarah: Liku-Liku Hubungan Serum-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?
pun Sehingga Kurun Ke-19”, Makalah dipresentasikan pada Seminar 50 Tahun Merdeka: Hubungan Malaysia Indonesia di Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 17 Juli 2007. Hoffmann, A. & Longhurst, K.(1999). “German Strategic Culture and the Changing Role of the Bundesweh”, WeltTrends, No. 22. Hussain, M.M. (2007). “Cara Melayan Imigran”, Utusan Malaysia, 14 November 2007. Ishak, M.M. (2007). “Peranan Tun Adam Malaik dalam Membina Hubungan RI-Malaysia”, paper pada Annual Lecture Mengenang Tokoh Diplomasi Adam Malik: Apresiasi Perjalanan 50 tahun Hubungan Diplomatik RI-Malaysia, Medan 24 Februari 2007. Johnston, A.I. (1995). “Thinking about Strategic Culture”, International Security, 19: 4. Liow, J.C. (2004). The Politics of IndonesiaMalaysia Relations: One Kin, Two Nations. New York: RoutledgeCurzon. Sulaiman, Y. (2007). “Soekarno, Malaysia, dan PKI”, Kompas, 29 September. Thamrin, Y.O. (2007). “50 Tahun IndonesiaMalaysia: Harapan dan Tantangan ke Depan”, paper pada Annual Lecture Mengenang Tokoh Diplomasi Adam Malik: Apresiasi Perjalanan 50 tahun Hubungan Diplomatik RI-Malaysia, Medan 24 Februari 2007. Visi Indonesia 2030, retrieved 12 November 2007 from http://ppij-nagoya.org/MISC/ Buklet%20Visi%20Indonesia%202030% 5b1%5d.pdf. Wawasan 2020, Biro Tata Negara, Jabatan Perdana Menteri, 1991. Weinstein, F.B. (1976). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence. Ithaca and London: Cornell University Press. Yong, J.L.C. 2003. “Visions of 'Serumpun': Tun Abdul Razak and the golden years of IndoMalay blood brotherhood, 1967-75”,
South East Asia Research, Vol. 11, No. 3, November. Zain, S.M. (2003). “Penyebaran Orang Rumpun Melayu Pra-Islam dan Perkembangan Tulisan Bahasa Melayu”, Sari, 21. Catatan 1.Ini adalah pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Abdullah Badawi dalam sidang akhbar (press conference) setelah penyampaian penghargaan Bintang Republik Indonesia Adi Pradana kepada PM Abdullah di Istana Negara, Jakarta 22 Februari 2007. (Lihat Fachir, 2007). 2.Strategic cultures atau budaya strategis dalam tulisan ini didefinisikan sebagai nilai-nilai dan budaya-budaya yang terbentuk melalui perjalanan sejarah dan dianut sebagian besar dari elit dan massa dalam melihat dan melaksanakan hubungan dengan lingkungan internasional. Budaya strategis berkembang sejalan dengan sejarah dan tantangan domestik dan internasional yang dihadapi suatu negara dalam menegakkan kedaulatan mereka sebagai negara merdeka. Tantangan yang berbeda menyebabkan mereka mengembangkan budaya strategis yang berbeda terhadap lingkungan internasionalnya. Lihat misalnya Johnston (1995). 3.Misalnya di Pahang dilaporkan bahwa tahun lalu dari 1,077 orang yang melakukan jenayah kekerasan, sebanyak 37 orang daripadanya adalah pendatang asing, manakala bagi tempoh Januari hingga September lalu, 948 kes jenayah kekerasan dilaporkan dan hanya 35 daripadanya dilakukan warga asing. "Bagi jenayah harta benda pada tahun lalu, 53 kes daripada keseluruhan 6,490 kes dilakukan warga asing, manakala bagi tempoh sembilan bulan pertama tahun ini sebanyak 30 kes daripada keseluruhan 1,673 kes dilaporkan, dilakukan warga asing. Lihat Berita Harian Online, 18 November 2007. 4.“Menangani Isu Pekerja Asing”, Harian Metro, 24 November 2007, hal. 12. 5.Lihat, 'Visi Indonesia 2030' http://www.ppij-nagoya.org/MISC?Buklet%20Visi%20Indonesia%2 02030[1].pdf.
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
111