HUBUNGAN KEKERABATAN GOWA DAN BONEABAD XVII-XIX 7+(.,16+,32)%21($1'*2:$,1;9,,±;,;&(1785< Rismawidiawati Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala salapang Km 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Handphone: 085299593495 Diterima: 14 Juli 2015; Direvisi: 22 September 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KLVDUWLFOHDLPVWRGHWHUPLQHWKHNLQVKLSEHWZHHQWKHNLQJGRPVRI%RHDQG*RZDLQL;9,,±;,;FHQWXU\ 7KLVDUWLFOHLVDSROLWLFDOKLVWRU\ZKLFKLVSUHVHQWHGE\DQDOLWLFGHVFULSWLYHWKURXJKOLWHUDWXUHVWXG\7KHUHVXOW RIVWXG\VKRZVWKDWWKHSROLWLFDOPDUULDJHEHWZHHQWKHNLQJGRPVZKLFKDUHEXLOWPRUHLQWHQVHLQWKHSHULRGRI $UXQJ3DODNNDPDGH6RXWK6XODZHVLVWDQGVRXWLQDERQGRINLQVKLSDQGEORRGDVDV\PERORIXQL¿FDWLRQ7KLV VWUDWHJ\PDGHWKHUHODWLRQVKLSEHWZHHQWKHNLQJGRPVLQ6RXWK6XODZHVLLQFUHDVLQJO\IDPLOLDUDQGQRWHDVLO\ playe off by the invaders. This kinship can’t be learned in a short period of time, in the eighteenth century the LQÀXHQFHRINLQVKLSKDVQRWDSSHDUHG6ORZO\EXWVXUHO\WKHNLQVKLSEHFRPHVDJUHDWSRZHUDQGDVVHWLQUHVLVWLQJ WKHLQYDQGHUV7KHNLQVKLSDOVRPDNHVWKH'XWFKDFWHGYHU\FUXHOLQEXLOGLQJXSWKHLQÀXHQFHDQGSRZHULQWKH XSWKHLQÀXHQFHDQGSRZHULQWKHUHJLRQRI6RXWK6XODZHVL Keywords: NLQVKLS%RQH¶V.LQJGRP*RZD¶V.LQJGRPSROLWLFDOPDUULDJH ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara Kerajaan Bone dan Gowa pada abad XVII - XIX. Artikel ini termasuk tulisan sejarah politik yang disajikan secara deskriptif analitis dengan menggunakan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa perkawinan politik antarkerajaan yang dibangun lebih intens di masa Arung Palakka, telah menjadikan Sulawesi Selatan berada dalam satu ikatan kekerabatan yang menjadikan darah sebagai simbol penyatuan. Strategi ini telah menjadikan hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan semakin akrab dan tidak dengan mudah dapat diadu domba oleh penjajah. Ikatan kekerabatan ini tidak dapat dipetik dalam jangka waktu pendek, pada abad XVIII pengaruh ikatan kekerabatan itu belum nampak. Secara pelan namun pasti, ikatan kekerabatan itu akhirnya menjadi satu kekuatan yang menjadi modal besar dalam membangun perlawanan melawan penjajah. Ikatan kekerabatan itu pulalah yang membuat Belanda, bertindak sangat kejam dalam membangun pengaruh dan kekuasaannya di wilayah ini. Kata kunci: hubungan kekerabatan, Kerajaan Bone, Kerajaan Gowa, perkawinan politik.
PENDAHULUAN 'HJDJD -DJR (tidak ada yang jago), sebuah stiker kecil yang melekat pada beberapa kendaraan tahun 2010, merujuk kepada Arung Palakka sebagai tokoh yang “tak terkalahkah”. Tidak lama setelah stiker itu beredar, muncul stiker baru dengan jargon “LQDHNDQDWHQDMDJR´ (siapa bilang tidak ada yang jago). Stiker kedua ini merujuk pada ketokohan Sultan Hasanuddin dan merupakan respon atas stiker pertama tersebut. Di balik kedua stiker ini, tersirat pesan sarkastis yang bersumber dari perseteruan masa lalu kedua
tokoh tersebut, kemudian diterjemahkan oleh masyarakat dengan cara-cara baru. Stiker di atas menunjukkan bahwa persoalan Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin yang telah selesai di kalangan akademis ternyata masih dipertentangkan di level masyarakat. Stiker yang beredar dalam masyarakat tersebut tidak hanya sebagai ruang ekspresi, tetapi memberi nuangsa entitas masa lalu yang dihadirkan oleh masyarakat dalam konteks kekinian. Padahal, Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin telah membangun rekonsiliasi, dan melalui perkawinan politik yang 397
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 397—411 diprakarsai Arung Palakka bertujuan meletakkan dasar-dasar kekerabatan sehingga pertentangan antara Arung Palakka dan Sultan Hasanuddn tidak menjadi beban sejarah bagi generasi berikutnya. Ada tiga modal ketika orang Bugis berada diperantauan: seuni lemmana lilaku, PDGXDQPDWDUHQQDXMXQJJDMDNNX, dan matellunna lekkena lasoku…….. Artinya: pertama, kelembutan lidahku (kemampuan diplomasi), kedua, ketajaman keris (kemampuan beladiri), dan ketiga, ujung alat vital (perkawinan).….. La 0DGGXNHOOHQJ 5DMD :DMR (Massiara, 1988:130 -131). Tepatlah kiranya jika pernyataan La Maddukelleng ini saya kaitkan kemudian dengan persoalan yang dibahas dalam kajian ini. Pada Abad ke XVII, Arung Palakka tidak saja menggunakan kemampuannya berdiplomasi dan kemampuan politiknya, tetapi juga menggunakan strategi ketiga dari tellu cappa, yaitu perkawinan untuk memperluas pengaruhnya. Hubungan kekerabatan yang dibangun oleh Arung Palakka, raja Bone XV di abad XVII, secara pelan namun pasti kemudian membuat bersatunya kerajaankerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Hubungan kekerabatan yang dibangun oleh Arung Palakka tersebut bukannya tanpa sebab. Kisah sejarah masa lalu, rupanya mengajarkan bahwa bersatunya Sulawesi Selatan, tidak dapat hanya ditempuh dengan kekerasan dan lewat penaklukan. Ada strategi lain yang dapat dia lakukan, yaitu membangun jaringan kekerabatan lewat perkawinan politik. Pada abad XVI Raja Gowa X, Tunipallangga melebarkan sayap kekuasaannya sampai ke pedalaman Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa menyerang Kerajaan Bone, namun gagal dan akhirnya Tunipallangga harus kembali dengan kekalahan. Penggantinya, Tunibatta juga harus meregang nyawa di medan perang melawan Kerajaan Bone. Perselisihan keduanya dapat diselesaikan di penghujung abad XVI, walaupun perjanjian tersebut tidak menyurutkan permusuhan di antara keduanya (Rismawidiawati, 2012:119125).
398
Pada tahun 1511 Kerajaan Malaka ditaklukkan oleh Portugis. Banyak pedagang yang mencari alternatif lain untuk berdagang. Salah satunya adalah Kerajaan Gowa. Bagi orang Melayu, orang-orang Bugis-Makassar bukanlah sosok yang asing. Mereka ini dikenal sebagai pedagang jujur dan bertanggungjawab. Kedatangan para pedagang Melayu ini menambah ramai lagi perdagangan di daerah ini. Keadaan itu diperkuat dengan dijadikannya agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Gowa pada 1605 (Basang, 1986:88). Dalam perkembangannya, persoalan mulai muncul ketika Kerajaan Gowa mulai menyebarkan Islam ke daerah-daerah yang dihuni oleh etnis Bugis. Sebelumnya, telah dibentuk satu perjanjian yang dikenal Perjanjian Tellumpoccoe. Pada 1582, tiga kerajaan bergabung, yaitu Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng. Ketiga kerajaan ini secara terang-terangan menolak ajaran agama yang disebarkan oleh Kerajaan Gowa. Mereka menganggap bahwa penyebaran agama ini adalah kedok semata, dibalik itu Kerajaan Gowa memiliki misi untuk melebarkan kekuasaannya (Mappangara, 2010:65). Penolakan tersebut menyebabkan kerajaan-kerajaan ini diserang yang pada akhirnya semua takluk dan memeluk agama Islam. Kerajaan Soppeng menerima Islam di 1609, Wajo 1610, dan Bone pada tahun 1611 (Basang, 1986:88). Pada tahun 1643, terjadi perang antara Kerajaan Bone dan Gowa. Perang terjadi karena adanya larangan perbudakan yang dikeluarkan oleh La Maddaremmang, raja Bone ketika itu. Kebijakannya itu mengundang protes dari kalangan bangsawan yang melihat budak adalah bagian dari prestise mereka. Semakin banyak budak dimiliki, semakin tinggi status sosial seseorang. Memiliki banyak budak berarti memilik banyak kekayaan. Penguasa Kerajaan Gowa khawatir larangan perbudakan itu akan menjalar masuk ke Kerajaan Gowa yang ketika itu melegalkan penggunaan budak. Perang pun akhirnya pecah (Andaya, 2004:51). La Maddaremmang ditangkap dan ditahan di Gowa. Perang kembali terjadi pada 1646. La Tenriaji To Senrima, pengganti La Maddaremmang,
Hubungan Kekerabatan Gowa ... 5LVPDZLGLDZDWL
menghimpun kekuatan dan melakukan perlawanan atas Kerajaan Gowa. Akan tetapi, perlawanan itu dapat dipatahkan dan La Tenriaji To Senrima ditangkap. Beliau kemudian diasingkan di Pangkep. Kerajaan Bone berubah status dari palili menjadi palili ata rikale1. Kerajaan Gowa menahan sejumlah bangsawan Kerajaan Bone termasuk rajanya. Ayah Arung Palakka yang terlibat dalam perang itu juga ditangkap bersama istri, dan anaknya, Arung Palakka. Pada waktu Kompeni berhasil menduduki Benteng Panakkukang pada 1660, timbul kepanikan di kalangan bangsawan istana Kerajaan Gowa. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengambil kembali benteng itu. Pada tanggal 5 Juli 1660, Karaeng Popo diutus ke Batavia untuk membeli kembali benteng itu (Basang, 1986:123). Sementara usaha diplomasi dilakukan, Karaeng Karunrung meminta pada To Bala untuk menyiapkan tenaga kerja 10.000 orang untuk membangun parit dan merenovasi benteng. Pekerjaan parit dan benteng dipicu oleh waktu. Penguasa Kerajaan Gowa khawatir benteng itu dijadikan basis bagi Kompeni untuk menyerang Kerajaan Gowa. Akibatnya pekerjaan dilakukan dengan paksaan. Banyak yang tidak sanggup untuk bekerja, dan tidak sedikit pula yang melarikan diri. Para mandor juga kelelahan. Karaeng Karunrung meminta untuk mengeluarkan para bangsawan Bone dan Soppeng yang ditawan pada 1643 dan 1646 dikeluarkan dari kamp tawanan. Mereka juga dipaksa untuk bekerja, termasuk Arung Palakka. To Bala yang menyiapkan tenaga kerja sebanyak kurang lebih 10.000 orang juga sudah tidak sanggup lagi menerima beban pekerjaan. Arung Palakka kemudian mengadakan persekongkolan dengan beberapa bangsawan Bone dan Soppeng, untuk melarikan diri dari kerja paksa itu. Setelah semuanya dipersiapkan, 1
Palili berarti wilayah bawahan dengan sejumlah tugas dan tanggungjawab yang harus dikerjakan untuk kepentingan kerajaan pusat. Satu kerajaan yang ditaklukkan dengan biaya tinggi dan memakan korban yang cukup besar akan diberi status palili ata rikale. Kerajaan ini tidak mempunyai kewajiban membayar pajak tiap tahunnya, tetapi semua kekayaan kerajaan itu milik kerajaan pusat
akhirnya pada malam hari tanggal 7 Agustus 1660 mereka melarikan diri di bawah pimpinan Tobala. (Basang, 1986:123). Setelah gagal mengalahkan Kerajaan Gowa yang datang ke Bone untuk menangkap para pelarian, Arung Palakka memutuskan untuk meninggalkan Sulawesi Selatan. Pertama kali ia menuju Buton. Setelah bermukim kurang lebih 3 tahun lamanya, Arung Palakka bersama 400 orang pengikutnya menggunakan kapal Kompeni GH/HXXZLQ menuju Batavia. Arung Palakka bermukim kurang lebih tiga tahun lamanya di Angke, Batavia. Beliau kemudian berhasil memanfaatkan kekuatan Kompeni untuk membantunya melawan Kerajaan Gowa. Tujuannya agar Kerajaan Bone yang telah diduduki sejak tahun 1643 dapat bebas dan merdeka. Usahanya itu berhasil. Lewat bantuan VOC beserta sekutunya, Kerajaan Ternate dan orang-orang Ambon di bawah kekuasan Kapten Joncker (Andaya, 2004:91). Perang berlangsung lama. Di banyak medan tempur, kedua belah pihak saling memukul mundur. Namun, Kerajaan Gowa akhirnya kalah dan harus menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 Nopember 1667. Setelah Kerajaan Gowa takluk, Kerajaan Bone menjadi satu-satunya kerajaan yang memegang kekuasaan politik di Sulawesi Selatan. Meskipun Arung Palakka belum diangkat sebagai raja di Kerajaan Bone, tetapi Arung Palakka seolah-olah bertindak sebagai seorang raja Bone. Arung Palakka diangkat menjadi ketua persekutuan raja-raja di Sulawesi Selatan. Beliau diperlakukan sangat istimewa karena kehadirannya sangat diperlukan oleh Kompeni. Itulah sebabnya ia diberi tempat di Bontoala, agar tidak jauh dari Kompeni yang ada di Fort Rotterdam. Pada tahun 1672, La Maddaremmang mengundurkan diri sebagai raja Bone. Tekanan dari berbagai penjuru membuatnya ia harus mengundurkan diri. Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone menunjuk Arung Palakka sebagai Raja Bone XV (Andaya, 2004:181). Pengangkatan itu sendiri mendapat tantangan dari anak La Maddaremmang, yaitu Arung Timurung yang membangun kekuatan bersama dengan bangsawan Gowa yang menaruh dendam pada Arung Palakka (Andaya, 2004:180399
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 397—411 183). La Pakokoe Arung Timurung merasa bahwa dia lebih berhak menjadi raja dibandingkan dengan Arung Palakka. Meskipun setahun sebelumnya La PakokoE menikah dengan adik Arung Palakka, We Mappolo Bombang dan setuju untuk merelakan jabatan raja diduduki oleh Arung Palakka, namun ceritanya menjadi lain. Arung Palakka menikahkan adiknya dengan Arung Timurung pada 20 Mei 1671. Arung Palakka memberitahukan kepada La Pakokoe bahwa kelak jika memiliki putra, maka ia akan dijadikan sebagai pewaris tahta Kerajaan Bone. Janji Arung Palakka inilah yang membuat La Pakokoe, Arung Timurung setuju untuk merelakan jabatan raja Bone pada Arung Palakka. Selama anak yang lahir itu belum dewasa, maka La Pakokoe akan bertindak sebagai raja mewakili anaknya. Pada waktu La Patau Matanna Tikka lahir, Arung Palakka sangat gembira karena penggantinya sudah dapat dipersiapkan. Akan tetapi, perkembangan menjadi lain. La Pakokoe menerima hasutan dari berbagai pihak untuk kemudian menolak pengangkatan itu. Meskipun demikian, usahanya untuk melengserkan Arung Palakka dengan bantuan berbagai pihak, akhirnya gagal. Oleh karena ia adalah ipar Arung Palakka, hukuman yang dijatuhkan jauh lebih ringan dibandingkan yang lainnya (Andaya, 2004:184-185). Merujuk latar belakang di atas, masalah penelitian ini adalah bagaimana jaringan kekerabatan antara Kerajaan Bone dan Gowa pada abad XVII-XIX. Untuk menguraikan pertanyaan pokok itu, ada beberapa hal yang perlu untuk mendapat perhatian lebih lanjut, yaitu: mengapa ikatan kekerabatan itu dibangun? Bagaimana dampak ikatan kekerabatan tersebut? Artikel ini difokuskan di wilayah Sulawesi Selatan, satu wilayah yang sejak dahulu dikuasai oleh dua kerajaan besar yaitu Bone dan Gowa. Tulisan ini diawali dari masa kekuasaan Arung Palakka dan diakhiri pada 1905 ketika Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melakukan serangan atas kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Pembahasan yang begitu panjang diperlukan untuk melihat bagaimana dinamika yang terjadi sehubungan dengan perkawinan politik yang diprakarsai Arung Palakka. Buah hasil perkawinan politik itu dapat 400
dipetik hasilnya pada awal abad XX. Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, perkawinan politik yang dilakukan oleh Arung Palakka adalah untuk mendekatkan dua kerajaan besar, yaitu Gowa dan Bone. Diharapkan perkawinan politik itu akan mendekatkan kedua kerajaan ini dalam satu keluarga besar. METODE Artikel ini disajikan secara deskriptif analitis dengan menggunakan kajian pustaka. Seperti layaknya tulisan sejarah pada umumnya, tulisan ini menggunakan empat tahap penelitian. Empat tahap penelitian ini merupakan suatu bagian yang saling berurutan dan saling berkaitan. Tahapan penelitian tersebut adalah pengumpulan sumber (heuristic), kritik sumber, interpretasi dan KLVWRULRJUD¿8QWXNWDKDSSHQJXPSXODQVXPEHU peneliti mengumpulkan tulisan-tulisan berupa lontarak, buku, artikel yang berkaitan dengan judul tulisan ini. Untuk itu, peneliti telah menyisir ke beberapa perpustakaan baik itu perpustakaan yang ada di Makassar maupun perpustakaan di Kabupaten Bone. Untuk menguatkan informasi yang peneliti peroleh dari sumber tulisan, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa sejarawan dan pemerhati sejarah. Hal ini dilakukan untuk menguatkan sumber tertulis yang peneliti peroleh. PEMBAHASAN Hubungan Kekerabatan Kerajaan Bone-Gowa Abad XVII Pada awal kekuasaan Arung Palakka pasca-Perjanjian Bungaya, beliau mencoba membangun hubungan baik di kalangan kerajaankerajaan dengan sangat keras. Kerajaan-kerajaan yang selama ini dipandang tidak mendukung ketika dilakukan serangan atas Kerajaan Gowa, diperlakukan dengan keras. Kerajaan Wajo misalnya, diserang dan ditaklukkan pada 1670, karena bersekutu dengan Kerajaan Gowa. Tindakan keras Arung Palakka itu menyebabkan terjadi pengungsian yang dilakukan oleh para bangsawan tinggi Kerajaan Wajo. Demikian pula kerajaan-kerajaan yang ada di daerah Mandar. Arung Palakka berhasil membawa para penguasa
Hubungan Kekerabatan Gowa ... 5LVPDZLGLDZDWL
yang termasuk dalam Pitu Babana Binanga untuk hadir di Fort Rotterdam untuk menandatangani Perjanjian Bungaya (Andaya, 2004:177-179). Lain halnya dengan bangsawan di Kerajaan Gowa. Perjanjian Bungaya dan kejatuhan Benteng Sombaopu menyebabkan terjadinya arus pengungsi. Mereka adalah para bangsawan bersama pengikut-pengikutnya. Pengungsian itu kemudian menimbulkan persoalan baru dalam sejarah panjang Sulawesi Selatan. Ketika Sultan Muhammad Ali dilengserkan dalam jabatannya sebagai raja Gowa dan digantikan oleh Sultan Abdul Jalil, rombongan pengungsi bertambah. Mereka tidak saja keluar dari wilayah kekuasaan Gowa, tetapi ada pula yang meminta perlindungan di Fort Rotterdam. Perkembangan politik yang terjadi di Sulawesi Selatan tampaknya susah untuk diprediksi. Kompeni kadang merasa curiga dengan apa yang dilakukan oleh Arung Palakka. Tindakantindakannya kurang dapat dimengerti oleh Kompeni. Sudah sering terjadi kesalahfahaman antara wakil Kompeni di Fort Rotterdam. Penguasa Kompeni sering curiga Arung Palakka akan membangun kekuatan melawan Kompeni. Kecurigaan itu semakin bertambah ketika Arung Palakka berhasil memaksakan kehendaknya untuk melengserkan Sultan Muhammad Ali dan mengangkat Sultan Abdul Jalil sebagai raja dan Karaeng Karunrung sebagai Perdana Menteri. Demikian juga apa yang terjadi di Luwu. Daeng Massuro, Datu Luwu yang dilengserkan oleh Daeng Mattuju meminta bantuan Arung Palakka. Setelah beberapa kali berperang di banyak medan tempur, akhirnya Daeng Mattuju mengaku kalah. Daeng Massuro akhirnya diangkat kembali menjadi Datu Luwu (Andaya, 2004:240-242). Setelah berhasil menanamkan pengaruhnya di Luwu dan Gowa, Arung Palakka membangun strategi dengan mengawinkan kemanakannya, La Patau Matanna Tikka dengan dua orang gadis bangsawan dari Luwu dan Gowa. Pelamaran itu dilakukan sendiri oleh Arung Palakka untuk memastikan pelamaran itu tidak ditolak. Dalam pelamaran itu juga ditekankan bahwa anak pertama yang lahir dari perkawinan itu harus
diangkat menjadi raja di kerajaan asal ibunya (Wawancara Suriadi Mappangara, 1 Mei 2015). Selain itu, Arung Palakka juga mencoba menarik simpatik dari kalangan bangsawan di Sulawesi Selatan dengan mencoba membujuk mereka yang berada di luar untuk kembali ke Sulawesi Selatan. Arung Palakka mengutus beberapa orang pembesar di kalangan Kerajaan Gowa dan Bone untuk membujuk mereka, namun semuanya gagal (Andaya, 2004:346). Arung Palakka, melalui istrinya Daeng Talele juga menunjukkan dukungannya ketika ada upaya untuk mengembalikan Syekh Yusuf yang ketika itu berada di Ceylon. Istri Arung Palakka telah menyumbangkan uang sebesar 600 ULMNVGDDOGHUV untuk usaha itu (Andaya, 2004:346-347). Usaha itu tidak membuahkan hasil karena penguasa Kompeni di Batavia khawatir kedatangan Syekh Yusuf akan membawa dampak munculnya perlawanan dari Kerajaan Gowa. Sumbangan berupa uang yang diberikan oleh istri Arung Palakka, adalah bagian dari strategi yang dilakukan oleh Arung Palakka dalam membangun harmonisasi antara bangsawan Gowa dan Bone. Hal itu juga adalah tanda bahwa Arung Palakka tidak menaruh dendam pada kalangan istana di Kerajaan Gowa. Meskipun Arung Palakka diberi kebebasan penuh dalam mengatur wilayah di Sulawesi Selatan, namun penguasa VOC tidak menginginkan kekuasaan yang dimiliki oleh Arung Palakka akan berdampak pada pengaruh VOC di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu VOC juga secara hati-hati memantau gerak gerik yang dilakukan oleh Arung Palakka. Hutang budi Arung Palakka pada Speelman adalah salah satu kendala bagi Arung Palakka dalam usahanya membangun pengaruh dan kekuasaannya. Dalam banyak hal Arung Palakka tidak dapat bertindak seperti yang diinginkannya karena ia harus patuh pada petunjuk dan kebijakan VOC. Sebagai orang Bugis, ia harus tahu menempatkan diri sehingga ia tidak ingin dianggap orang yang tidak tahu membalas budi. Selama hutang budi itu tidak terbayarkan selama itu pula Arung Palakka harus berada di bawah bayang-bayang VOC. Kesempatan untuk membalas hutang budi itu terbuka ketika Speelman meminta bantuan Arung 401
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 397—411 Palakka untuk menyelesaikan persoalan Karaeng Galesong di Jawa Timur. Ketika itu Trunojoyo, penguasa dari Kerajaan Madura membangun kerjasama dengan Karaeng Galesong dalam usahanya mengurangi dominasi Kerajaan Mataram. Perang yang terbuka antara Kerajaan Mataram dengan pasukan Trunojoyo yang didukung oleh Karaeng Galesong membuat pedalaman Jawa bergejolak. Tanaman padi tidak menjadi dan pemblokiran dilakukan untuk menghalangi beras masuk ke Batavia (Andaya, 2004:259-284). Pasukan Kerajaan Mataram juga meminta bantuan VOC untuk mengatasi hal itu dengan sejumlah konpensasi yang akan diberikan kepada VOC. Kekacauan yang terjadi di pedalaman itu akhirnya melibatkan pasukan VOC. Untuk mengatasi persoalan di pedalaman Jawa pasukan VOC dipersiapkan untuk membantu Kerajaan Mataram. Persoalan bahaya kelaparan karena kekurangan beras diatasi dengan meminta kepada Arung Palakka untuk mengirim beras ke Batavia. Permintaan itu dikabulkan, Arung Palakka mengirim beras ke Batavia (Rismawidiawati, 2011:30-31). Pasukan Mataram dan VOC mendapat perlawanan hebat dari pasukan Trunojoya dan Karaeng Galesong. Segala upaya telah dilakukan untuk menghancurkan pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong namun mengalami hambatan. Seperti kehabisan akal, Speelman akhirnya meminta bantuan kepada Arung Palakka untuk
menyelesaikan persoalan Karaeng Galesong di Kakaper, Jawa Timur (Andaya, 2004: 271-278) Arung Palakka yang selama ini merasa berhutang budi pada Speelman mengambil kesempatan itu. Ia mengabulkan permintaan Speelman untuk mengatasi persoalan Karaeng Galesong dengan caranya sendiri. Hutang budi Arung Palakka terbayarkan setelah membantu menyelesaikan persoalan Karaeng Galesong. Setelah selesai perang dan kembali ke Sulawesi Selatan, Arung Palakka mulai berusaha untuk melepaskan ikatan kuat yang merongrong kebebasannya selama ini. Meskipun demikian beliau tidak ingin lepas sama sekali. Hal dikarenakan intrik-intrik politik masih giat dilakukan oleh banyak penguasa yang kurang senang padanya. Tingkah laku politik Arung Palakka pascapenyelesaian persoalan Karaeng Galesong tampak berubah. Arung Palakka sedikit demi sedikit mulai menunjukkan ketidaksenangannya pada Belanda jika hal itu dianggapnya tidak sesuai dengan keinginanya. Arung Palakka tampaknya mulai menunjukkan ketidaksenangan akan keterlibatan Belanda dalam banyak persoalan intern kerajaankerajaan lokal yang ada di daerah ini. Arung Palakka mencoba membangun satu ikatan yang kuat antarkerajaan untuk menciptakan iklim sosial dan politik yang kondusif guna membawa wilayah ini dalam satu kehidupan yang lebih harmonis. Salah satu jalan yang dilakukan adalah melakukan perkawinan politik.
Silsilah Perkawinan Politik antara Kerajaan Bone dengan Luwu dan Gowa
%DJDQ'LRODKGDUL/RQWDUDN%RQH
402
Hubungan Kekerabatan Gowa ... 5LVPDZLGLDZDWL
Arung Palakka melamar putri bangsawan dari Kerajaan Luwu, yaitu We Ummung Opu Larompong, anak perempuan La Mappadang Daeng Massuro, Datu Luwu ketika itu. Arung Palakka memilih putri bangsawan yang berkuasa, untuk mensejajarkan darah Kerajaan Luwu, pewaris Epos La Galigo, dengan darah Kerajaan Bone, pewaris darah To-manurung (Mappangara, 2010:93). Perkawinan ini merupakan pengakuan bahwa darah bangsawan Luwu sama murninya dengan darah bangsawan Bone. Selain itu, perkawinan ini juga dapat berarti, bahwa bangsawan Bone memungkinkan untuk dapat menjadi raja di Kerajaan Luwu. Meskipun kebesaran nama Luwu sudah mulai memudar, namun Luwu masih tetap merupakan kerajaan yang relatif berpengaruh. Dukungannya masih dibutuhkan oleh siapa saja yang bermaksud mengincar kedudukan sebagai penguasa tertinggi di Sulawesi Selatan. Perkawinan ini merupakan jalan perdana yang diciptakan oleh Arung Palakka. Selama ini bangsawan Bone kawin dengan keluarga dekatnya. Perkawinan sepupu sekali bahkan sangat diidolakan. Arung Palakka mencoba meluaskan itu dengan perkawinan antarkerajaan, melewati batas geografis. Meskipun demikian, darah bangsawan tidak luput dari perhatiannya. Hanya mereka yang memiliki darah bangsawanlah yang berhak menjadi raja. Oleh karena darah menjadi ukuran penting, maka yang dapat dinikahi oleh seorang bangsawan tinggi Bone adalah mereka yang memiliki status sama. Demikian pentingnya darah untuk tetap dijaga, sehingga seorang raja selalu melakukan pernikahan ketika ia berkuasa. Ada kepercayaan yang menyebar di kalangan para bangsawan bahwa anak yang lahir ketika orang tuanya berkuasa memiliki kualitas darah yang lebih sempurna dan lebih berhak atas kekuasaan ayahnya ketika meninggal dunia. Pernikahan itu telah disepakati bahwa anak pertama yang lahir dari pernikahan itu akan dijadikan raja tempat asal ibunya. Pernikahan ini tentu saja akan mendekatkan dua kerajaan besar yang pernah menjadi seteru di masa lalu. Kesepakatan tersebut berdampak luas, tidak hanya bagi pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Bone, tetapi juga akan mendekatkan hubungan antara
kerajaan. Arung Palakka sadar bahwa adalah satu hal yang sangat rumit untuk membangun kekuasaan besar lewat penaklukan. Lewat perkawinan pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Bone dibangun secara damai. Perkawinan ini juga memperluas jaringan bangsawan Bone dan akan memudahkan pengaruh Bone menyerap masuk ke Kerajaan Luwu. Pengaruh yang besar itu akan membesarkan pula kekuasaan Bone. Selain itu, Arung Palakka juga melamar cucu mantan raja Gowa Sultan Hasanuddin yang bernama We Mariama Karaeng Pattukangan, putri raja Gowa Sultan Abdul Jalil, anak Sultan Hasanuddin, musuh Arung Palakka. Arung Palakka menyadari bahwa permusuhan antara dirinya dan bangsawan-bangsawan Gowa tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Usaha-usaha yang selama ini dilakukannya membuktikan akan hal itu. Hampir semua usahanya untuk mendekatkan kedua istana (Bone dan Gowa) mengalami hambatan. Oleh karena itu, Arung Palakka mencoba mendekatkan kedua istana ini lewat perkawinan (Rismawidiawati, 2011:57-61) Lewat perkawinan ini Arung Palakka dapat berharap permusuhan itu akan dapat meredahkan suasana konflik karena keluarga besar Kerajaan Bone telah hadir dalam istana Kerajaan Gowa. Pernikahan yang kelak terjadi tidak saja mendekatkan lagi dua kerajaan yang pernah menjadi musuh besar, tetapi juga diharapkan dapat melupakan semua dendam lama yang masih ada, baik bagi Kerajaan Bone yang pernah dijajah selama kurang lebih 17 tahun, maupun Kerajaan Gowa yang merosot setelah Perjanjian Bungaya pada 1667. Itikad baik Arung Palakka untuk menyatukan ketiga kerajaan besar ini dalam satu ikatan keluarga besar ditunjukkan ketika ia sendiri datang melamar ke dua putri tersebut. Tidak dapat dibayangkan apa kelak yang terjadi ketika lamaran itu ditolak dengan permintaan yang bermacam-macam. Dalam masyarakat Bugis-Makassar salah satu penolakan yang biasa dilakukan adalah dengan meminta mahar yang banyak yang dapat menandakan penolakan ketika mahar itu tidak dapat disediakan. Akan tetapi Arung Palakka sangat percaya bahwa lamarannya 403
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 397—411 tidak akan ditolak. Sebagai penguasa besar dan memiliki pengaruh yang luas di Sulawesi Selatan, tidak ada seorang rajapun yang berani menolak kehendaknya. Nama besar yang dimilikinya mengundang orang untuk selalu mendekat kepadanya. Permintaan Arung Palakka agar anak yang pertama lahir dari pernikahan itu dijadikan raja di kerajaan ibunya disebutkan juga dalam pelamaran itu. Pernikahan La Patau dengan We Ummung Datu La Rompong dan I Mariama berjalan sesuai yang direncanakan. Pernikahan itu telah mendekatkan hubungan keluarga antara keluarga besar Sultan Abdul Jalil dan juga keluarga besar Datu Luwu MatinroE ri Toppo Tikka. Pernikahan itu juga secara otomatis mendekatkan keluarga besar dari Kerajaan Gowa dengan keluarga besar Datu Luwu. Ikatan kekerabatan dari tiga kerajaan besar ini mengingatkan kembali mitos yang muncul bahwa di Sulawesi Selatan ada tiga kerajaan besar yang disebut dengan tellu bocco. Hubungan kekerabatan yang terjalin sehubungan dengan perkawinan politik itu menjadikan, tidak saja bangsawan Bone tersebar hampir di seluruh kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan, tetapi juga secara tidak langsung bangsawan Gowa dan Luwu. Penyebaran itu akhirnya menjadi satu kekuatan besar dalam menghadapi setiap musuh. Perkawinan politik yang dilakukan oleh Arung Palakka, mengkhawatirkan penguasa VOC. Intrik-intrik politik yang sedemikian kerap terjadi di antara kerajaan-kerajaan membuat VOC tidak pernah membayangkan bahwa perkawinan di suatu masa akan menjadi senjata yang kuat bagi terwujudnya kekuatan besar dalam melawan Belanda. Terlebih jika dilihat isi Perjanjian Bungaya yang mengikat kerajaan-kerajaan lokal dalam segala tingkah laku politiknya. Hubungan Kekerabatan Bone-Gowa di Abad XVIII Pada tahun 1696 La Patau menggantikan pamannya, Arung Palakka sebagai raja Bone XVI. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya kepada penguasa VOC di Makassar tentang pelantikan itu. Kerajaan Bone lewat utusannya hanya menyampaikan kepada penguasa VOC yang 404
berkedudukan di Fort Rotterdam bahwa mereka telah memilih La Patau sebagai pengganti Arung Palakka (Andaya, 2004:363). Hal ini mengagetkan penguasa VOC di Makassar dan Batavia. Pelantikan La Patau tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada pihak VOC dapat menunjukkan bahwa Kerajaan Bone merasa sudah sederajat kedudukannya dengan VOC (wawancara Suriadi Mappangara, 1 Mei 2015). La Patau mewarisi satu warisan kerajaan yang cukup besar. Ikatan kerabat tidak hanya dibangun dengan Kerajaan Gowa dan Luwu, tetapi juga dihampir seluruh kerajaan yang ada di daerah ini. Ketika Sultan Abdul Jalil wafat ia digantikan oleh kemanakannya, La Pareppa To Sappewali, anak La Patau yang berkuasa di Kerajaan Bone. Naiknya La Pareppa To Sappewali tidak terlalu disenangi oleh penguasa VOC. Ada kekhawatiran bagi VOC bahwa hubungan antara Gowa dan Bone akan semakin akrab dan ini akan mengganggu keberadaan VOC di Sulawesi Selatan. VOC menghembuskan rumor tentang keabsahan La Pareppa menjadi raja di Gowa, karena ia bukan asli orang Gowa. Hembusan rumor ini berhasil membuat sebagian bangsawan tinggi Kerajaan Gowa angkat bicara. Mereka kembali mempertanyakan pula keabsahan La Pareppa menjadi raja Gowa. Akhirnya timbul kekacauan politik di Kerajaan Gowa. Pada waktu itu juga timbul konflik antara La Pareppa dan La Patau sehubungan suaka politik yang diberikan kepada La Padassajati, kakak La Pareppa dan anak La Patau. La Padassajati melakukan tindakan yang tidak menyenangkan di Bone dan meminta suaka politik ke Gowa. Pada Kejadian itu terjadi di masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil dan berlanjut di masa pemerintahan La Pareppa. Ketika La Patau meminta untuk menyerahkan La Padassajati ke Bone untuk menerima hukuman sesuai ketentuan adat yang berlaku, La Pareppa menolak sehingga WLPEXONRQÀLNDQWDUDNHGXDQ\D Belanda menyikapi situasi sebagai momen yang tepat untuk ikut campur tangan. Sebagai penengah dalam setiap konflik yang terjadi, tindakannya itu diperbolehkan berdasarkan Perjanjian Bungaya. Kompeni mempengaruhi Kerajaan Soppeng untuk terlibat dalam perseteruan
Hubungan Kekerabatan Gowa ... 5LVPDZLGLDZDWL
ini. Akhirnya pecah perang antara ayah dan anak. Belanda membantu Bone dan melibatkan Soppeng untuk memasuki Gowa. Perang ini dapat terlesaikan dengan keterlibatan Belanda dalam menyelesaikan konflik ini. Ternyata Belanda masih tetap ingin membuat kedua kerajaan EHVDULQLGDODPVLWXDVLNRQÀLN%DQWXDQ%HODQGD dalam menyelesaikan persoalan ini adalah bagian taktik Belanda untuk tetap seolah-olah menjadi penengah, namun sebenarnya bertujuan untuk tidak bersatunya dua kerajaan besar ini yang nantinya akan mengganggu keberadaannya di Sulawesi Selatan. 7HUOHSDVGDULSHUVRDODQNRQÀLN\DQJWHUMDGL antara La Patau dan La Pareppa, hubungan kekerabatan antara kedua penguasa ini semakin mendalam ketika La Pareppa menikah dengan anak bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo. La Pareppa menikah sebanyak dua kali. Pertama dengan Siti Rahima Karaeng Pabinneyang pada 16 Mei 1702. Ia adalah anak perempuan bungsu Karaeng Kanjilo, Sultan Tallo dan Karaeng Parang-Parang, anak dari Karaeng Bisei, Sultan Gowa. Kurang lebih 4 tahun kemudian, ia menikah dengan Siti Habiba (Gumitri) pada 2 Desember 1706, anak Syekh Yusuf dari istrinya yang bernama Kare Kontu (Lontarak Catatan Harian Raja Bone La Temmasonge’ Toappaweling Matinroe ri Mallimongeng:14). Pernikahannya ini menghasilkan satu orang anak laki-laki yang bernama I Massanglomo. Ia pernah menjabat sebagai Panglima Perang di Kerajaan Bone dan juga diangkat menjadi Arung di Sumaling. Anak perempuannya bernama Siti Zaenab Karaeng Patukangang (Mappangara, 2010:199). Ia menikah sebagai istri kedua dengan I Manrabia Karaeng Kanjillo, Sultan Kerajaan Tallo. Anak perempuan keduanya bernama I Taniaja Maning Ratu Siti Amira, lahir dari istri pertamanya yang bernama Siti Rahima. Ia menikah dengan I Mappainga Karaeng Limpangang, Sultan Tallo. Dari pernikahan itu lahir 4 orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Anak laki-lakinya bernama I Mallawangngau Mansur Syah yang kemudian menjadi raja di Gowa. Seorang lagi anaknya yang bernama I Mappaba’basa Sultan Abdul Qudus, juga menjadi raja di Gowa (Asba, 2014:90).
Pernikahan La Pareppa itu telah mendekatkan jaringan kekerabatan Bone-Gowa. Meskipun ia kemudian diturunkan dari tahta Kerajaan Gowa pada 1714 karena adanya campur tangan VOC, namun hal itu tidaklah membuat ikatan kekerabatan keluarga itu putus sama sekali. La Pareppa, yang di dalam lontarak Tallo dikenal dengan gelar Karaeng Moncong. Beliau memiliki pengaruh yang sangat besar di istana Kerajaan Tallo. Demikian pula La Panaongi yang lahir pada 23 September 1691. Ia menikah dua kali pertama GHQJDQ 6LWL =DLQDE SDGD GDQ 6LWL 1D¿VDK pada 24 Mei 1718. Keduanya adalah keluarga bangsawan dari Kerajaan Gowa. Demikian pula La Panaongi. Ia dilahirkan 22 Juli 1693 dan mendapat gelar Karaeng Bisei dari Kerajaan Gowa ketika ia mengungsi ke sana. Ia adalah raja Bone yang ke-20 yang memerintah 1721-1724 (Palloge, 2006:168). Ia menikah sebanyak dua kali, pertama pada 28 Januari 1717 dengan I Tugu dan menikah kali kedua dengan Karaeng Balasari. Semuanya memiliki darah bangsawan di Kerajaan Gowa (www. Portalbugis.com, diunduh tanggal 05 Mei 2015). Selain itu, La Patau juga menikah dengan Dala Maru. Dari pernikahannya lahir dua orang anak laki-laki yang bernama La Temmasongeng dan La Wattaeng. La Temmasongeng Sebelum diangkat menjadi raja, ia menjabat jabatan sebagai Panglima Perang Kerajaan Bone. Pada tanggal 22 April 1767, utusan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Tombolo menghadap kepadanya dengan membawa gaukeng Kerajaan Gowa untuk memintanya agar Arung Mampu dapat diangkat menjadi raja di Kerajaan Gowa. La Temmasongeng dikenal sebagai seorang raja yang memiliki banyak istri (Padindang, 2007:12). Dua orang istrinya yang dianggap sebagai permaisurinya adalah Siti Aisyah dan Siti Habibah, keduanya kakak beradik. Pernikahannya dengan Siti Aisyah melahirkan beberapa orang anak, di antaranya La Baloso. Ia menikah dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru, dari pernikahan ini lahirlah La Sibengngareng yang kemudian pernah diangkat menjadi Maddanreng di Kerajaan Bone. Seorang lagi anak La Temmasongeng dari Siti Aisyah adalah We Pakkemme yang kemudian 405
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 397—411 diangkat menjadi Arung di Majang. Ia menikah dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Muanneng Arung Pattiro, anak dari La Pareppa To Sappewali. Seorang lagi adik La Baloso adalah We Tenri Olle yang kemudian diangkat menjadi Datu di Bolli. Ia menikah dengan La Mappajanci Daeng Massuro yang menjadi raja di Soppeng. La Mappajanji adalah anak dari 3D\XQJHUL/XZX yang bernama La Mappasili. Hasil pernikahannya itu melahirkan dua orang anak yang bernama La Mappoleonro dan We Tenri Ampareng. Keduanya diangkat menjadi raja di Kerajaan Soppeng masing-masing raja ke-28 (1765-1820) dan ke-30 (1840-1849). Anak La Temmasongeng lainnya adalah We Hamidah Arung Takalara. Ia menikah dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapenning Daeng Makkuling. Dari pernikahan ini lahirlah seorang anak yang bernama La Tenri Tappu yang kemudian menikah dengan We Tenri Pada Uleng, anak dari La Baloso. Perkawinan politik yang dirintis oleh Arung Palakka telah menjadikan ikatan kekerabatan bangsawan di Sulawesi Selatan semakin dekat, satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Meskipun hubungan itu tidak selalu berjalan lurus, namun hubungan baik itu setidaknya sudah dimulai. Sampai akhir abad XVIII jaringan kekerabatan antara bangsawan BoneGowa semakin dekat. La Tenri Tappu yang diangkat menjadi raja Bone XXIII telah berhasil menanamkan kekuasaannya, baik di Bone maupun di Gowa. Pada masa kekuasaannya ada usaha untuk menjadikan dirinya raja di Bone dan sekaligus raja di Gowa. Usaha itu tidak dapat berjalan mulus karena muncul gejolak politik karena keterlibatan bangsa Inggris pada 1812. Hubungan Kekerabatan Bone-Gowa di Abad XIX Pada 1799, VOC dinyatakan bangkrut dan seluruh wilayah kekuasannya diambil alih Pemerintah Belanda. Kehadiran Belanda di abad XIX membawa perubahan besar dalam hubungannya dengan kerajaan-kerajaan lokal, terutama Kerajaan Bone yang sebelumnya menjadi sekutu utama Belanda. Hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penguasa Kerajaan Bone 406
dihilangkan. Penguasa Belanda melihat Kerajaan Bone telah menjadi satu kekuatan besar yang memiliki ambisi untuk menjadi penguasa utama di Sulawesi Selatan. Ambisi itu harus segera diakhiri dan salah satunya adalah menghilangkan hak-hak istimewanya yang dapat dijadikan sebagai jalan menguatkan kedudukannya di Sulawesi Selatan. Hak-hak istimewa itu adalah sebagai penghubung raja-raja atau penguasa di daerah ini jika hendak ketemu penguasa VOC di Fort Rotterdam. Selain itu, penguasa Inggris memperkuat kembali Kerajaan Gowa sebagai imbangan dari kekuatan Kerajaan Bone yang ketika itu semakin kuat. Setelah kekuasaan Inggris berakhir pada 1816, Belanda kembali berkuasa di Sulawesi Selatan. Wilayah-wilayah kekuasaannya di masa lalu diperoleh kembali dari tangan Inggris. Kedatangan kembali Belanda tidak mendapat sambutan penuh. Ada beberapa kerajaan yang tidak sepenuhnya menyambut gembira kehadiran Belanda. Kerajaan Bone dan beberapa sekutunya tidak hadir dalam upacara serah terima kekuasaan dari tangan Inggris ke Belanda. Hal ini tentu saja mengecewakan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda melakukan sejumlah penelitian untuk mencari tahu penyebab dari Kerajaan Bone dan beberapa kerajaan lainnya yang menolak kehadiran Belanda. Penguasa Kerajaan Bone memberikan beberapa syarat agar kehadirannya dapat diterima. Penguasa Bone menginginkan agar hak-hak istimewa yang selama ini dimilikinya dikembalikan kepadanya sebagai syarat Kerajaan Bone menerima kembali Belanda berkuasa. Persyaratan itu ditolak oleh Belanda. Bagi Pemerintah Hindia Belanda, situasi dan kondisi sudah banyak berubah. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengirim surat kepada seluruh penguasa yang ada di Sulawesi Selatan untuk hadir dalam satu pertemuan untuk membicarakan kembali Perjanjian Bungaya. Penguasa Kerajaan Bone. Dalam hal ini raja Bone, I Manning Arung Data menolak hadir dan hanya mengirim utusannya, yaitu Arung Lompu dan beberapa orang anggota Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone. Mereka juga membawa surat yang berisi tentang persyaratan yang diminta oleh penguasa Kerajaan Bone
Hubungan Kekerabatan Gowa ... 5LVPDZLGLDZDWL
sehubungan dengan hadirnya kembali Belanda. Persyaratan itu ditolak oleh Belanda (Mappangara, 2014:45). Kehadiran Inggris dan Belanda di Sulawesi Selatan, telah berhasil untuk sementara merenggangkan hubungan istana Kerajaan Bone dengan Gowa. Pada waktu Inggris berkuasa, Kerajaan Gowa dibangun kembali dan mereka berhasil membangun rasa permusuhan dengan penguasa istana Kerajaan Bone. Pada tahun 1814, Inggris bersama beberapa sekutunya, termasuk Kerajaan Gowa menyerang Bontoala, wilayah kekuasaan Bone yang berada di wilayah Makassar (Palloge, 2006:179). Alat-alat kebesaran Kerajaan Gowa yang berada di tangan penguasa Kerajaan Bone berhasil diambil kembali. Kembalinya alat-alat kebesaran itu menandakan bersatunya kembali Kerajaan Gowa yang sempat terpecah sehubungan sebagian rakyat Gowa yang berada di pedalaman mengakui raja Bone sebagai rajanya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyiapkan satu kekuatan untuk menyerang Kerajaan Bone beserta sekutu-sekutunya. Persiapan penyerangan dibangun dengan melibatkan beberapa kerajaan lokal, termasuk Kerajaan Gowa. Selain itu juga penguasa Pemerintah Hindia Belanda yang ada di Sulawesi Selatan memintan bantuan kekuatan dari Batavia. Pada tahun 1824 Pemerintah Hindia Belanda beserta sekutunya melakukan serangan atas Kerajaan Bone. Serangan itu didahului dengan menyerang Kerajaan Suppa dan Tanete. Setelah itu Pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk menyerang Kerajaan Bone (Orloog Celebes, bundel Makassar No. 10a/1). Serangan atas Kerajaan Bone dilakukan pada 1825. Pusat kekuatan Kerajaan Bone di Watampone berhasil diduduki. Raja Bone beserta bangsawan-bangsawan tinggi Kerajaan Bone berhasil menghimpun kekuatan dan memilih wilayah Passempe sebagai benteng pertahanan mereka. Gerak maju pasukan Belanda beserta sekutu-sekutunya tidak terbendung. Wilayah kekuasaan Kerajaan Bone dibumihanguskan dan pengejaran atas raja Bone dilanjutkan. Serangan atas Kerajaan Bone tidak menghasilkan putusan politik yang diharapkan.
Pasukan Hindia Belanda yang berada di Sulawesi Selatan diminta untuk kembali membantu pasukan yang ada di Jawa, sehubungan pecahnya Perang Diponegoro 1825-1830. Kerajaan Bone tetap eksis, meskipun terjadi perpecahan di kalangan istana Kerajaan Bone. Bangsawan Bone terpecah dua. Ada pihak yang mendukung kembalinya Belanda dan tidak sedikit pula yang menolak kehadiran Belanda. Perpecahan ini berdampak pada kekuatan bagi mereka yang menolak kehadiran Belanda. Selain itu Kerajaan Gowa berhasil dirangkul ke dalam pengaruh Belanda sehingga upaya untuk membangun kekuatan dengan Gowa tidak berhasil (Mappangara, 2010:98). Jaringan kekerabatan antara Bone dan Gowa bertambah longgar. Istana Kerajaan Bone disibukkan bagaimana menyatukan pandangan sehubungan perpecahan itu. Perpecahan di kalangan istana Kerajaan Bone dipandang serius karena melibatkan dua pusat kekuasaan, yaitu raja dan To Marilalang. Raja berada dalam lingkungan mereka yang menolak kehadiran Belanda, sedangkan To Marilalang berada dalam lingkungan menerima kehadiran Belanda. Keadaan yang demikian ini menyebabkan kehidupan sosial dan politik di Kerajaan Bone semakin kacau (Mappangara, 2010:105). Kelompok yang menentang kehadiran Belanda semakin melemah ketika Raja Bone, La Parenrengi wafat dan digantikan oleh istrinya Besse Kajuara. Kelompok yang menerima kehadiran Belanda membangun kekuatan dan menjalin hubungan dengan pihak Belanda untuk menyerang Kerajaan Bone. Pada tahun 1859-1860 Pemerintah Hindia Belanda bersama sekutunya, termasuk penguasa Kerajaan Gowa melakukan serangan atas Kerajaan Bone. Akhirnya Kerajaan Bone ditaklukkan, raja Bone Besse Kajuara harus meninggalkan Bone dan mengungsi ke daerah Suppa. Kerajaan Bone akhirnya diubah statusnya menjadi Kerajaan Pinjaman. Kerajaan Bone dikuasai tetapi dipinjamkan kembali. Raja yang berkuasa harus tunduk pada keinginan Belanda. Kerajaan Bone tidak dapat melakukan kegiatan-kegiatan politik tanpa persetujuan Pemerintah Hindia Belanda. Achmad Singkeru Rukka diangkat menjadi penguasa di Kerajaan 407
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 397—411 Bone (Palloge, 2006:192-193). Oleh karena Kerajaan Bone diubah statusnya menjadi Kerajaan Pinjaman, hampir dapat dipastikan penguasa Kerajaan Bone menjadi boneka. Setelah Achmad Singkeru Rukka wafat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Fatimah Banri, seorang perempuan. Meskipun selama ini Belanda trauma dengan pelantikan seorang perempuan menjadi raja, namun Pemerintah Hindia Belanda menyetujui pelantikan itu karena La Pawawoi Kaaeng Segeri yang ketika itu bertindak sebagai To Marilalang Kerajaan Bone dipandang dapat mengatasi persoalan di Kerajaan Bone. Sementara itu, di kalangan istana Kerajaan Bone masih terdapat bangsawan yang sangat antipasti terhadap Belanda. Mereka berusaha kembali untuk membangun kekuatan dengan mendekatkan istana Kerajaan Bone dan Gowa yang selama ini terputus karena kekuasaan yang demikian besar yang dimiliki oleh Belanda dan kelompok pendukungnya yang berada di Kerajaan Bone. Usaha-usaha untuk mendekatkan kedua istana ini tidak terlalu mendapat perhatian serius dari kalangan mereka yang pro Belanda. Hal ini disebabkan hubungan kekerabatan yang ada sebelumnya, dipandang tidak terlalu kuat lagi. Selain itu Pemerintah Hindia Belanda juga lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada perdagangan yang ada di Pulau Jswa, terutama bagaimana menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan yang besar untuk menyaingi Pelabuhan Singapura yang berkembang semakin pesat. Usaha kelompok bangsawan yang anti Belanda untuk mendekatkan kedua istana ini terbuka ketika Fatimah Banri menikah dengan salah seorang bangsawan tinggi Kerajaan Gowa yang bernama Karaeng Popo (Palloge, 2006:194). Perkawinan ini pada awalnya tidak dipandang sebagai satu usaha membangun kekuatan untuk melawan Belanda. Perkawinan ini juga mendapat persetujuan dari La Pawawoi Karaeng Segeri, orang kepercayaan Belanda di Bone (Mappangara, 2010:305) Tanda-tanda makin menguatnya kelompok anti Belanda mulai terkuak ketika Karaeng Popo diberi gelar Arung Palakka. Gelar ini sebagai 408
tanda bahwa Karaeng Popo kelak dapat diangkat menjadi raja di Kerajaan Bone. Setelah raja Bone Fatimah Banri wafat, kelompok anti Belanda dalam istana Kerajaan Bone meminta agar Karaeng Popo diangkat menjadi raja. Namun usaha itu gagal karena mendapat penolakan, terutama dari La Pawawoi Karaeng Segeri yang berambisi juga menjadi raja di Bone. Oleh karena adanya penolakan, Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone memutuskan untuk mengangkat I Bunga Sutera untuk menggantikan ibunya. Usaha ini juga mendapat penolakan dari kelompok pro Belanda. Ada kekhawatiran Karaeng Popo yang akan tetap memegang kendali kekuasaan karena I Bunga Sutera ketika itu belum cukup dewasa untuk memerintah. La Pawawoi Karaeng Segeri akhirnya meminta bantuan Belanda untuk membatalkan rencana itu. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya melibatkan diri dan menolak menerima I Bunga Sutera sebagai pengganti raja. Akhirnya La Pawawoi Karaeng Segeri diangkat menjadi raja. Meskipun La Pawawoi Karaeng Segeri dianggap sebagai pro Belanda, namun berkat pengalaman yang dimilikinya, ia tidak terlalu senang pada keterlibatannya yang begitu jauh dalam istana Kerajaan Gowa. Selain itu La Pawawoi Karaeng Segeri juga berambisi untuk memajukan Kerajaan Bone dan membangun kerjasama dengan istana Kerajaan Gowa. Usaha-usaha untuk membangun kekuatan Kerajaan Bone tampaknya mengecewakan Pemerintah Hindia Belanda. La Pawawoi Karaeng Segeri telah melakukan sejumlah tindakan yang dianggap bertentangan dengan sumpah yang dilakukannya ketika diangkat menjadi raja. La Pawawoi Karaeng Segeri tidak terlalu memperhatikan sejumlah ultimatum yang diberikan kepadanya. Ia tetap menjalankan kebijakannya sendiri untuk membangun Kerajaan Bone dan menjalin hubungan yang lebih erat dengan sejumlah kerajaan lainnya. Pada waktu Belanda meminta kepada penguasa Kerajaan Bone untuk menyerahkan penarikan pajak di Pelabuhan Pallime kepada Pemerintah Hindia Belanda, La Pawawoi Karaeng Segeri menolak (Mappangara, 2010:254). La Pawawoi Karaeng Segeri membangun kekuatan
Hubungan Kekerabatan Gowa ... 5LVPDZLGLDZDWL
bersama Kerajaan Gowa untuk melawan Belanda. Usaha-usaha yang dibangun oleh La Pawawoi itu dianggap sebagai satu tindakan perlawanan. Akhirnya pada 1905-06 Pemerintah Hindia Belanda melakukan serangan atas Sulawesi Selatan. Serangan kali ini tidak lagi dibangun dengan menghimpun kekuatan kerajaan lokal. Raja-raja lokal di Sulawesi Selatan bersatu padu melawan Belanda. Meskipun akhirnya Belanda berhasil menduduki Sulawesi Selatan pada 1906 dengan menaklukkan satu persatu kerajaankerajaan lokal, namun hal itu tidak dapat betahan lama. Usaha-usaha membangun pemerintah modern mendapat perlawanan di mana-mana. Jabatan raja yang selama ini dikosongkan akhirnya dibangun kembali pada 1931. Hubungan Kekerabatan Bone-Gowa dan Reaksi Belanda Penguasa VOC, baik yang ada di Makassar maupun yang ada di Batavia menaruh hormat atas pribadi Arung Palakka. Dalam batas-batas tertentu kesetiaan yang diperlihatkan oleh Arung Palakka kepada VOC tidak diragukan lagi. Arung Palakka telah memainkan peran yang diinginkan oleh VOC. Wibawa Arung Palakka dan pengaruhnya yang demikian luas di Sulawesi Selatan, menjadikan dirinya sangat diperlukan oleh VOC. Perhatian VOC dalam soal perdagangan, baik yang ada di Jawa maupun di Kepulauan Rempah-Rempah membuat VOC tidak terlalu memberi perhatian pada daerah ini. Bagi VOC selama ketenteraman dapat tercipta di daerah ini, VOC sudah merasa puas. Kurangnya perhatian membuat Arung Palakka dapat memperluas pengaruh dan kekuasaannya. Meskipun Arung Palakka sadar, bahwa ia tidak dapat menjauh dari VOC karena intrik-intrik persekongkolan politik berkembang luas di kalangan istana Kerajaan Gowa yang terus menerus merongrong kekuasaan Arung Palakka. Seiring dengan perkembangan waktu, kekuasaan Arung Palakka yang semakin luas akhirnya mengkhawatirkan VOC. Arung Palakka mencoba membangun kekuasaannya di kerajaankerajaan Bugis. Keterlibatan Arung Palakka di istana Kerajaan Soppeng telah menjadikan raja
Soppeng merasa asing di kerajaannya sendiri. Pada waktu Arung Palakka menikahkan kemanakannya dengan putri bangsawan dari Kerajaan Luwu dan Gowa, penguasa VOC di Makassar tidak memberi reaksi apa-apa. Meskipun demikian, reaksi VOC mulai muncul ketika anak yang lahir dari pernikahan itu diangkat menjadi raja. Batari Toja diangkat menjadi raja di Luwu dan La Pareppa diangkat menjadi raja di Kerajaan Gowa. Pengangkatan Batari Toja sebagai raja di Kerajaan Luwu tidak terlalu ditanggapi oleh VOC, namun pengangkatan La Pareppa To Sappewali menjadi raja di Kerajaan Gowa menggantikan mertuanya, Sultan Abdul Jalil tidak terlalu disukai oleh VOC. Ada kekhawatiran yang sangat besar bagi VOC jika dua kuasa yang selama ini bermusuhan akhirnya menyatu. Keduanya akan menjadi satu kekuatan besar yang akan mengganggu keberadaan VOC di Sulawesi Selatan (Suriadi Mappangara, wawancara tanggal 5 Mei 2015) Ikatan keluarga antara Kerajaan Bone dan Gowa tampak semakin dekat ketika Arung Palakka dan istrinya serta Raja Gowa Sultan Abdul Jalil menuntut pengembalian Syekh Yusuf dari pengasingannya di Cape Town, Afrika ke Makassar. Sumbangan berupa uang dan dukungan penuh yang diperlihatkan oleh Arung Palakka menjadi tanda tanya besar bagi VOC. Usaha pengembalian itu juga mengkhawatirkan VOC, meskipun kekhawatiran itu tidak dapat ditunjukkan karena upaya pengembalian Syekh Yusuf itu mendapat dukungan penuh dari kalangan bangsawan Bone dan Gowa. Akibatnya VOC memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf ke tempat yang lebih jauh, yaitu Kaap, Semenanjung Harapan, Afrika Selatan. Pada waktu La Tenritappu diangkat menjadi raja Bone dalam usia 12 tahun, upaya untuk membangun kekuatan bersama tampaknya mulai menunjukkan keberhasilan. La Tenritappu mendapat dukungan penuh dari kalangan istana Kerajaan Bone dan Gowa. Usaha membangun kekuatan itu berjalan mulus karena kekuasaan VOC di seperempat akhir abad XVII sudah jarang melibatkan diri dalam pergolakan yang terjadi di banyak wilayah yang dikuasai oleh VOC. Syarikat dagang ini sudah menunjukkan tanda409
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 397—411 tanda kebangkrutannya. Usaha untuk menyatukan kekuasaan mengalami hambatan ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia. Bangsa Inggris membangun kembali Kerajaan Gowa dengan jalan menyerang orang-orang Bugis di Bontoala dan mengembalikan kalompoang Kerajaan Gowa yang disimpan oleh raja Bone. Inggris berusaha untuk tetap agar Kerajaan Gowa menjadi kerajaan yang kuat untuk mengimbangi kekuatan Kerajaan Bone. Pada abad XIX ketika Belanda kembali mengambil alih kekuasaan di Makassar, pihak Belanda telah berhasil merangkul Kerajaan Gowa masuk dalam pengaruhnya. Kerajaan Bone yang memberi beberapa persyaratan kepada Belanda untuk diterima kembali di Sulawesi Selatan di tolak oleh Belanda. Bahkan Belanda akhirnya menyerang Kerajaan Bone dengan bantuan orangorang Gowa. Keberhasilan Belanda menjalankan misinya untuk memecah belah antara Kerajaan Bone dan Gowa tampak berhasil ketika kelompok bangsawan di Kerajaan Bone terpecah belah. Ada kelompok bangsawan yang setuju dengan sikap yang ditunjukkan oleh penguasa Kerajaan Gowa yang menerima baik kedatangan Belanda, namun tidak sedikit pula yang menolaknya. Penetrasi yang demikian kuat yang dilakukan oleh Belanda di Sulawesi Selatan telah berhasil merenggangkan hubungan antara istana Bone dan Gowa. Pada waktu Fatimah Banri menikah dengan Karaeng Popo, salah seorang bangsawan tinggi Kerajaan Gowa, pihak VOC menaruh curiga dan khawatir akan bersatunya kedua kerajaan ini. Rasa curiga itu semakin besar ketika Karaeng Popo diberi gelar Arung Palakka, satu gelar yang biasa disandang bagi mereka yang dipersiapkan untuk menduduki tahta kerajaan. Gerak gerik Karaeng Popo mendapat perhatian serius dari Belanda. La Pawawoi Karaeng Segeri yang ketika itu menjabat sebagai To Marilalang di Bone juga merasa khawatir dan selalu memberi informasi pada Belanda perkembangan yang terjadi di Kerajaan Bone. Pada waktu Fatimah Banri wafat, Karaeng Popo berusaha untuk mengambil alih tahta kerajaan namun mendapat tantangan dari La Pawawoi Karaeng Sigeri. 'HZDQ Adat Pitu Kerajaan Bone juga menolak karena dianggap 410
beliau bukanlah asli orang Bone. 'HZDQ$GDW3LWX Kerajaan Bone juga tidak memilih La Pawawoi .DUDHQJ6HJHULNDUHQDGLSDQGDQJDGD¿JXU\DQJ lebih layak, yaitu I Bunga Sutera, anak Karaeng Popo dari istirinya Fatimah Banri. Keinginan untuk memilih I Bunga Sutera mendapat tantangan berat bagi Belanda karena dikhawatirkan yang akan memegang kekuasaan tetap Karaeng Popo karena pada waktu itu I Bunga Sutera belum dewasa untuk menjalankan pemerintahan. Akhirnya pihak Belanda lebih memilih Karaeng Segeri menjadi raja, meskipun diketahui Karaeng Segeri juga tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Beberapa contoh kasus di atas dapat menujukkan bahwa pihak Belanda memandang dengan serius atas setiap upaya yang dibangun untuk mendekatkan dua kuasa. Belanda tetap berusaha untuk memecah keduanya jangan sampai mereka menyatu dan menjadi kekuatan yang sangat besar yang membahayakan keberadaan Belanda. PENUTUP Selama ini istilah tellu cappa’ (tiga ujung: ujung badik, lidah, dan ujung kemaluan) seolaholah menjadi simbol bagi orang Bugis-Makassar dalam menanamkan pengaruh dan kekuasaannya. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar. Penelitian ini menunjukkan bahwa lewat jalan perkawinanlah (ujung kemaluan) yang menjadi pilihan utama bagi orang Bugis-Makassar dalam mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya. Perkawinan pulalah yang menjadikan pengaruh dan kekuasaan orang Bugis-Makassar dapat bertahan lama, seperti yang terjadi di Johor, Selangor, Riau, Aceh, dan beberapa wilayah lainnya. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukanlah sekedar bersatunya dua insan yang berlainan jenis, namun penyatuan dua keluarga dalam satu ikatan yang lebih luas. Bagi orang Bugis-Makassar, tidak ada larangan bagi perkawinan sepupu satu kali, dua kali, maupun tiga kali, untuk menuju tangga kekuasaan. Bahkan perkawinan antara paman dan keponakan dapat saja terjadi demi membangun pengaruh dan kekuasaan. Perkawinan politik antara kerajaan yang dibangun lebih intens di masa Arung Palakka telah
Hubungan Kekerabatan Gowa ... 5LVPDZLGLDZDWL
menjadikan wilayah ini berada dalam satu ikatan kekerabatan yang menjadikan darah sebagai simbol penyatuan. Pelan tapi pasti, strategi ini telah menjadikan hubungan antara kerajaankerajaan yang ada di Sulawesi Selatan semakin akrab dan tidak mudah diadu domba oleh penjajah. Ikatan kekerabatan itu menjadi satu kekuatan yang menjadi modal besar dalam membangun perlawanan melawan penjajah. Ikatan kekerabatan itu pulalah yang membuat Belanda bertindak sangat kejam dalam membangun pengaruh dan kekuasaannya di wilayah ini. Buah dari perkawinan politik yang dibangun oleh Arung Palakka tidak dapat dipetik dalam jangka waktu pendek. Pada abad XVIII pengaruh itu belum nampak. Kompeni masih dapat menggunakan tangan raja Gowa untuk menggempur Kerajaan Bone di tahun 1825. Akan tetapi pada 1905, ketika Belanda ingin menaklukkan seluruh kerajaan yang ada di daerah ini, ia harus berjuang sendiri. Buah itu telah nampak. Para pejuang kemerdekaan, antara lain Andi Mappanyukki, Andi Djemma, dan andi Pangerang Pettarani adalah buah dari perkawinan politik di abad XVII. DAFTAR PUSTAKA Bundel Makassar No. 10a/1 : Celebes Oorlog Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung 3DODNND 6HMDUDK 6XODZHVL 6HODWDQ$EDG NHMakassar: Ininnawa. Asba, Rasyid, dkk. 2014. 6LOVLODK .HNHUDEDWDQ 5DMD5DMD GL 6XODZHVL 6HODWDQ (belum diterbitkan). Penelitian. Bassang, Djirong dan Sugira Wahid (editor) 1986. /RQWDUDN %LODQJ 5DMD *RZD GDQ Tallok (naskah Makassar). Ujungpandang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo. Lontarak Catatan Harian Raja Bone La Temmasonge’ 7RDSSDZHOLQJ 0DWLQURH UL Mallimongeng. Mappangara, Suriadi. 2010. “Kerajaan dan Bangsawan Bone di Tengah Perubahan Rezim (1811-1946)”. (Disertasi tidak terbit). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya. Mappangara, Suriadi. 2014. I Manning Arung 'DWD0HODZDQ%HODQGD (Penelitian, belum diterbitkan). Massiara, Daeng Rapi Ahmad. 1988. Menyingkap 7DELU 6HMDUDK GDQ %XGD\D GL 6XODZHVL 6HODWDQUjungpandang: Yayasan Bhinneka Tunggal Ika. Padindang, Ajiep (Peny.) 2007. Catatan Harian 5DMD %RQH ;;,, /D 7HPPDVVRQJHQJ. Makassar: La Macca Press. Palloge, Andi. 2006. 6HMDUDK .HUDMDDQ 7DQDK Bone. Bone: Yayasan Al Muallim. Rismawidiawati, 2011. .HUDMDDQ %RQH GDQ 92&$EDG;9,,3DVFD.HPDWLDQArung Palakka. Makassar: Dian Istana Press. Rismawidiawati, 2012. Perluasan Pengaruh .HNXDVDDQ.HUDMDDQ*RZDGDQ7DOOR$EDG ;9,± . Tesis. Makassar: Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin. www. Portalbugis.com, diunduh tanggal 05 Mei 2015 Sumber Lisan Suriadi Mappangara (58 tahun). 2015. Dosen Jurusan Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin Makassar.
411