ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA • Potret Pengelolaan Gambut di Jambi / Nelly Akbar.......................................................................................…....44 INTRODUKSI • Gambut Nasibmu Kini... / Elviza Diana...…..........................................……..........……....................................…....55 LAPORAN UTAMA • Potensi Cadangan Karbon & Upaya Penyelamatan Gambut / Kurniawan.........................................................…77 • Derita Tahunan di Ladang Gambut/ Elviza Diana..................................................................................................10 10 • Menyelisik Distribusi Manfaat Dari Perdagangan Karbon / Emmy Primadona….................................................12 12 • Menunggu Hutan Desa Gambut pertama di Jambi / Elviza Diana.........................................................................14 14 FOKUS • Setelah Hutan Adat Bukan Hutan Negara / Ilham & Leni........................................................................................16 16 • Hutan Adat di Jambi Pasca Putusan MK / Nova Yusmira........................................…...........................................21 21 • Menikmati Eksotisme Hutan Adat Guguk/ Elviza Diana.........................................................................................23 23 GIS SPOT. • SCGIS Scholar ke California / Askarinta Adi....………….....….…….......................................................................27 27 DARI HULU KE HILIR • Sungai Batanghari, Swarnadwipa yang Merana / Elviza Diana.............................................................................29 29 • Simancuang Kembangkan Sawah Ramah Lingkungan / Elviza Diana..................................................................31 31 WAWANCARA • Mempertanyakan Keberpihakan Pemerintah Terhadap PBHM / Elviza Diana......................................................33 33 SUARA RIMBA • Besudut ke Perguruan Tinggi / Sukmareni....……..................................................................................................36 36 • Bagaimana Kita Merawat Satwa/ Elviza Diana......................................................….............................................37 37 AKTUAL • Hutan Adat di Sarolangun Terancam / Elviza Diana...............................................................................................40 40 • Anak Rimba Belajar Linux/ Hermayulis.......……........…......................................................................…...…….....41 41 • Gubernur Serahkan 17 HPHD Baru / Hermayulis..............…………...................................................................43 43 • Anak Rimba Audiensi Dengan Gubernur Jambi / Hermayulis.............................................................................45 45 MATAHATI • Orang Akit, Orang Rimba dan Sisi Lain Nusantara / Huzer Apriansyah.................................................................46 46 • Potensi Cadangan Karbon di Hutan Lambuang Bukik / Eva Rosita......................................................................49 49 KAJIAN • Memenjarakan Rakyat dengan UU P3H / Ilham Kurniawan................................................................................50 50 SELINGAN • Belajar Dari Jorong Simancuang / Emmy Primadona.......................................................................................….52 52 • Mari Bermain Ala Anak Rimba / Elviza Diana......................................................................................................54 54
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Penanggung Jawab: Rakhmat Hidayat Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Dari Editor
P
embaca setia Alam Sumatera, hak kelola masyarakat nampaknya semakin diakui negara. Salah satunya termaktub dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 terkait status hutan adat yang bukan lagi hutan negara. Tentu ini sebuah kemajuan dalam pengakuan hak kelola masyarakat adat. Sebagaimana biasanya keputusan hukum, putusan MK ini tidak berlaku surut. Sementara di pihak lain, juga banyak ditemui adanya konsesi perusahaan yang berada dalam kawasan hutan adat yang sudah dulu dilegalkan negara. Bagaimana lanjutannya, tentu perlu dibahas. Untuk itu, dalam edisi kali ini, Alam Sumatera membahas hutan adat pasca putusan MK dalam rubrik Fokus. Di laporan utama kami mengulas pengelolaan lahan gambut. Jambi yang masuk kategori provinsi yang memiliki lahan gambut cukup luas di Indonesia, namun dalam pengelolaannya masih dilakukan berhitung keuntungan ekonomi sesaat, yang berdampak buruk bagi keberlanjutan ekosistem gambut. Sudah saatnya, gambut diarahkan pada pengelolaan lestari dan berkelanjutan serta memberikan nilai manfaat untuk masyarakat luas. Kabupaten Tanjungjabung Timur, sebagai daerah gambut terluas di Jambi, saat ini tengah mempersiapkan bentuk pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dengan pelibatan masyarakat melalui skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Hanya saja untuk merealisasikannya masih butuh waktu. Apa dan bagaimana kendala serta solusinya bisa di simak dalam ulasan laporan utama.
Foto Cover : Jorong Simancuang Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Desain dan Cetak:
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
Kami juga menghadirkan kisah sukses 17 desa yang kini sudah mengantongi izin hak kelola hutan desa yang langsung di serahkan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus kepada masyarakat. Dengan diserahkannya HPHD ini juga menjadi penyemangat dan mendorong masyarakat untuk melakukan pengelolaan yang lebih baik lagi serta percepatan peningkatan kesejahteraan mereka. Tak lupa kami juga menghadirkan cerita tentang anak rimba yang terus meningkatkan pengetahuannya, ada Besudut yang kini meniti pendidikan di perguruan tinggi, ada juga cerita anak rimba yang tengah berupaya mempelajari Linux untuk program radio Benor FM, serta kisah anak rimba lainnya yang meminta perhatian pemerintah untuk kelanjutan pendidikan mereka. Pesona Hutan Adat Guguk di Kabupaten Merangin juga kami hadirkan untuk memberikan referensi bagi anda penikmat ekowisata yang kami tampilkan di edisi ini. Kami juga menyuguhkan berbagai kabar terbaru terkait dengan kegiatan-kegiatan Warsi . Harapannya ulasan yang kami sajikan dapat memperkaya khasanah pandangan kita untuk menghadirkan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan guna menjamin kelestariannya untuk pemenuhan kebutuhan generasi kini dan masa depan. Selamat Membaca!
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
SALAM RIMBA
4
Potret Pengelolaan Gambut di Jambi
P
ersoalan gambut dunia akhirakhir ini menjadi banyak dibicarakan orang karena kaitannya dengan perubahan iklim, pemanasan global, ataupun isu karbon. Namun di Jambi jauh dari pada itu gambut tidak hanya terkait karena masalah perubahan iklim maupun pemanasan global semata, melainkan karena gambut memiliki banyak persoalan lain terkait sosial masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitarnya. Sebut saja mulai dari konflik perebutan lahan dengan perusahaan sampai pada persoalan bencana ekologi seperti kekeringan, kebakaran dan kebanjiran. Ini adalah potret gambut Jambi yang sampai hari ini masih belum bisa diselesaikan. Provinsi Jambi sendiri memiliki potensi gambut yang sangat besar , karena memiliki 676.341 Ha lahan gambut baik berupa hutan maupun non hutan. Luasan gambut Jambi masuk dalam urutan ketiga besar di Sumatera, setelah Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Selatan. Namun pengelolaan gambut yang ada sampai hari ini masih menjadi pertanyaan besar karena belum mempertimbangkan keberlanjutan gambut itu sendiri. Pembangunan di kawasan gambut dengan membuka kubah gambut menjadi kanal-kanal selain memicu peningkatan gas rumah kaca (GHG) juga menimbulkan dampak keruskan ekologi seperti yang dirasakan langsung oleh masyarakat saat ini. Banyak kebijakan pembangunan di lahan gambut tanpa mempertimbangkan fungsi gambut itu sendiri. Dalam perencanaan pembangunan gambut sama sekali tidak diperhitungkan sebagai kawasan yang penting untuk dilindungi. Hal ini terlihat dari tidak adanya kejelasan aturan mengenai pengelolaan gambut, Kecenderungan arah pembangunan pada lahan gambut selama ini sangat mudah untuk diberikan pada investor karena hanya investor yang memiliki modal besar untuk mampu membuka lahan gambut menjadi areal pertanian, perkebunan maupun pertambangan. Sayangnya pemberian izin-izin tersebut tidak sekaligus dengan ketentuan kesesuaian pengelolaan gambutnya yang baik. Sebut saja ketika ada wilayah gambut yang kedalamannya melebihi tiga meter yang selayaknya dalam aturan dilindungi namun diberikan
INTRODUKSI
Gambut Nasibmu Kini.....
pada perusahaan, dan oleh perusahaan dikelola dan di bangun kanal-kanal. Pada waktu musim kemarau kanal-kanal akan mengering melepaskan emisi dan menimbulkan kebakaran, kemudian pada waktu musim hujan kanal-kanal tidak mampu menampung air karena sudah terjadi subsudence (penurunan permukaan gambut) dan mengalami kekeringan yang berlebebihan , koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air kemudian terjadilah banjir. Tragedi ini hampir terjadi setiap tahun di lahan gambut jambi seperti bencana rutin yang tidak pernah absen terjadi di wilayah gambut jambi. Menambah budget anggaran untuk menghindari bencana ini setiap tahun tentulah bukan sebuah solusi. Namun memikirkan kembali fungsi penting gambut dalam pengelolaan yang berkelanjutan adalah sebuah tantangan yang harus dijawab dan menjadi tugas bersama antar stakeholder pemerintah, perusahaan maupun masyarakat. Tidak hanya swasta, masyarakat juga mempunyai peran penting dalam pengelolaan gambut, interaksi masyarakat yang tinggal di wilayah gambut dengan gambut sangat erat. Peran masyarakat dalam pengelolaan gambut yang berkelanjutan juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk itu segala bentuk pembangunan di lahan gabut juga harus memperhatikan fungsi dan keberadaan masyarakat yang ada di sekitarnya. Baik itu program-program pemerintah maupun program-program yang dilakukan oleh swasta. Mendorong kebijakan tata kelola gambut yang baik dengan memastikan adanya aturan yang jelas dalam pengelolaan gambut merupakan salah satu pintu masuk bagi pengeloaan gambut yang berkelanjutan. Karena tanpa ada arah kebijakan dan pengetahuan, maka pengeloaan dan pemanfaatan gambut akan siasia. Menentukan prinsip-prinsip kriteria pengelolaan gambut yang baik adalah salah satu upaya dalam merumuskan kebijakan dalam pembangunan di dalam kawasan lahan gambut untuk memastikan bahwa lahan gambut terjaga kelestariannya.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Alih fungsi lahan gambut secara besar-besaran menyebabkan fungsi gambut sebagai penyimpan karbon, menjelma menjadi sumber emisi. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Keberadaan lahan gambut dunia semakin dirasakan penting, terutama dalam kaitannya menyimpan lebih dari 30 persen karbon tanah, 75 per-sen dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan.Dan ini juga berarti setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007)
T
idak hanya itu lahan gambut juga memegang peran penting dalam siklus hidrologi, serta pemeliharaan keanekaragaman hayati. Melihat potensi yang demikian banyak tersebut, lalu bagaimana mungkin lahan gambut yang semula dianggap marginal menjelma menjadi penyimpan karbon yang amat baik. Ternyata yang membuat gambut mampu menyimpan lebih banyak karbon dari tanah mineral, karena lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapiran tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dan ini yang menyebabkan lahan gambut menyimpan karbon jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mi-
neral, bahkan bisa mencapai sepuluh kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Namun, siapa yang menyangka dibalik potensi penyimpan karbon yang teramat besar, lahan gambut dapat berubah menjadi sumber emisi. Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, akan tetapi besaran masing-masing tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dekomposisi. Ketika kemarau panjang emisi karbon yang dihasilkan lebih cepat dari penambatan.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
5
6
INTRODUKSI Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi. Lahan hutan yang terganggu (yang kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya meningkat tajam bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari bahan pertanian yang juga didrainase. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu. Bentuk intervensi manusia yang sangat mempengaruhi fungsi lingkungan lahan gambut adalah penebangan hutan gambut, pembakaran hutan gambut dan drainase untuk berbagai tujuan, baik untuk pertanian dan kehutanan (hutan tanaman industri). Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan. Selama masa budidaya tanaman pertanian, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi disebabkan dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase, semakin dalam drainase, semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut. Hoojier et al (2006) dari review sejumlah literatur mengemukakan bahwa untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi akan meningkat setinggi 0,91 t CO2/ha/tahun untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1/cm. Apabila untuk kelapa sawit drainase rata-rata diasumsikan sedalam 60 cm, dengan menggunakan hubungan tersebut maka emisi tahunan adalah sekitar 54,6 ton CO2 /ha.
LAPORAN UTAMA
ngaruhi keempat proses diatas(Stewart, 1991; Salmah et al, 1994, Wosten et al, 1997). Proses subsiden berlangsung sangat cepat, bisa mencapai 20-50 cm/tahun pada awal dibangunnya saluran drainase (welch dan Nor, 1989), terutama disebabkan besarnya komponen konsolidasi dan pengkerutan. Dengan berjalannya waktu maka subsiden mengalami kestabilan. Dengan tingkat subsiden, misalnya 4 cm/tahun, maka dalam 25 tahun(satu siklus tanaman tahunan) permukaan gambut akan turun sekitar 100 cm. Untuk tanah gambut sulfat masam potensial (dengan lapisan parit dangkal) maka subsiden ini akan menyingkap lapisan parit sehingga parit teroksidasi membentuk H2SO4 dan menjadikan tanah sangat masam dan tidak bisa ditanami lagi. Penurunan permukaan gambut juga menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air. Apabila kubah gambut sudah mengalami penciutan setebal satu meter, maka lahan gambut tersebut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen dengan 9.000 m3/ha. Dengan kata lain lahan disekitarnya akan menerima 9.000 m3 lebih banyak selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan kekeringan pada musim kemarau.
Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan dan suhu tanah, sangat mempengaruhi jumlah emisi selain kedalaman muka air tanah gambut. Informasi tentang berbagai faktor ini diperlukan untuk menyertai data emisi. Selain itu, data pengukuran emisi GRK seperti yang dikutip terdahulu kebanyakan berasal dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan gambaran emisi sesaat yang bisa jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Pengukuran emisi gas rumah kaca jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk keakuratan data.
Ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat penting bagi lingkungan hidup. Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Keputusan Presiden Nomor. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi lahan gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya karbon tersimpan yang jumlahnya sangat besar.
Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan. Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan subsiden karena sangat mempe-
Apabila dikelola dengan baik dan benar lahan gambut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistem tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Pelatihan penghitungan karbon di Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang dilakukan beberapa waktu lalu untuk menentukan besarnya potensi karbon di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Potensi Cadangan Karbon dan Upaya Penyelamatan Gambut Gambut memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya penurunan emisi karbon nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Target penurunan emisi dari Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut adalah sebesar 87,6 persen dari keseluruhan target nasional.
P
eranan penting gambut ini berasal dari kemampuannya dalam menyimpan cadangan karbon. Menurut Agus dan Subiksa (2008), lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Perbandingannya bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
7
LAPORAN UTAMA
8 Gambut dan Penyimpanan Karbon
Menurut Agus dkk, 2011, gambut adalah tanah yang terbentuk dari sisa tanaman yang terdekomposisi sebagian, dengan kandungan C organik > 18persen dan ketebalan > 50 cm. Gambut terbentuk dari timbunan sisa tanaman yang telah mati dan tidak melapuk secara sempurna. Pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Pembentukan gambut di Indonesia diperkirakan terjadi antara 6.800 - 4.200 tahun yang lalu. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Peran pentingnya gambut dalam penyimpanan karbon dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Joosten, 2007. Menurutnya, lahan gambut hanya meliputi 3 (tiga) persen dari luas daratan di seluruh dunia. Namun lahan gambut tersebut menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30 persen karbon tanah. Setara dengan 75 persen dari seluruh karbon atmosfir. Setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan. Dan bahkan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia. Selain sebagai sumber deposit dan penyerapan karbon (stabilisasi iklim), lahan gambut juga memiliki fungsi lainnya. Fungsi tersebut diantaranya sebagai : tata air, sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan berkelanjutan (kayu dan nonkayu), sumber pengembangan budidaya (komoditas lokal yang telah/dapat beradaptasi), wisata, dan sarana pendidikan dan penelitian. Emisi Karbon Gambut Lahan gambut merupakan penyimpan karbon dalam jumlah sangat besar. Jika dilakukan pengelolaan yang baik maka gambut akan menjadi sumber penting penyimpanan karbon. Namun jika sebaliknya, gambut akan menjadi sumber emisi karbon terbesar. Dikutip dari Agus dan Subiksa, 2008, Gas Rumah Kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut berupa CO2, CH4 dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 dan emisi N2O. Karbon yang terkandung di dalam tanah gambut bersifat tidak stabil. Dalam keadaan hutan alam karbon tersebut bertahan dalam bentuk bahan organik, namun apabila hutan gambut dibuka dan didrainase maka karbon yang disimpannya akan mudah terdekomposisi dan menghasilkan CO2.
Selain itu, drainase lahan gambut yang berlebihan menyebabkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran. Proses dekomposisi, konsolidasi (pemadatan) dan kebakaran meyebabkan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) dan kehilangan berbagai fungsinya dalam menyangga lahan sekitarnya dari kebanjiran dan kekeringan. Laporan Hooijer et al, 2010, juga menyebutkan bahwa emisi CO2 dari lahan gambut dan alih guna lahan hutan lebih dari setengah total emisi Indonesia. Faktor yang dapat merubah fungsi lahan gambut dari penyerap CO2 menjadi sumber emisi CO2 antara lain adalah : penebangan pohon-pohonnya, pengeringan lahan gambut, pembakaran lahan gambut, dan penambahan pupuk dan amelioran. Sebaran Lahan Gambut di Jambi Jambi merupakan salah satu provinsi yang memiliki lahan gambut dengan luasan besar. Ada dua data yang sering digunakan terkait luasan gambut Provinsi Jambi. Berdasarkan data Kementrian Kehutanan tahun 2011, Provinsi Jambi memiliki lahan gambut seluas 676.341 Ha. Sedangkan data dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) tahun 2011, lahan gambut di Provinsi Jambi seluas 621.089 Ha. Adapun sebaran kedalaman gambut di Provinsi Jambi terbagi : kedalaman 50 – 100 cm seluas 91.816 Ha (14,78 persen), 100 – 200 cm seluas 142.716 Ha (22,98 persen), 200 – 400 cm seluas 345.811 Ha (55,68 persen), dan kedalaman > 400 cm seluas 40.746 Ha (6,56 persen).
LAPORAN UTAMA Jambi memiliki potensi besar dari sektor gambut untuk menurunkan emisi tahunannya. Masih mengutip dari data DNPI, Jambi dapat menurunkan emisi GRK hingga 55 Juta Ton CO2 hingga tahun 2030. Potensi ini didapatkan sebanyak 48 persen dari upaya konservasi lahan gambut. Berdasarkan gambaran dari data-data di atas, kondisi ini menunjukkan pentingnya posisi Provinsi Jambi dalam upaya pengurangan emisi nasional. Peran penting dan strategisnya Jambi tidak terlepas dari potensi lahan gambut yang dimiliki. Ke depan, arah pembangunan dan pengembangan lahan gambut yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta (perusahaan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan), dan masyarakat harus memperhatikan fungsi gambut sebagai penyimpan karbon. Jangan sampai peran penting dan strategis lahan gambut Jambi sebagai stabilisasi iklim dalam bentuk deposit dan penyerapan karbon berubah menjadi kontributor pelepasan emisi karbon. (Kurniawan)
9
Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Gambut 1.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 21), 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Pasal 5, ayat (2)), 3. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, 4. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung (Pasal 9 dan Pasal 10), 5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 14/Permentan/ Pl.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit
Terlepas dari perbedaan data luasan ini, masing-masing data sama-sama menempatkan Provinsi Jambi sebagai provinsi di urutan ketujuh memiliki lahan gambut terluas. Luasan ini ± 10 persen dari total luas lahan gambut nasional. Dengan data luasan lahan gambut ini, dapat diestimasi besarnya potensi karbon gambut di Provinsi Jambi berdasarkan pada tabel di atas. Sebaran lahan gambut terbesar di Provinsi Jambi berada pada wilayah hilir. Sebagian besar merupakan bagian dari gugusan pantai timur Sumatera. Secara berurutan penyebaran terbesar di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (46 persen), Kabupaten Muaro Jambi (30 persen), dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (20 persen). Menurut data dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2010, Provinsi Jambi berkontribusi sebesar tiga persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2005. Adapun emisi bersih GRK Jambi pada tahun tersebut sebesar 57 Juta Ton CO2. Berdasarkan data DNPI ini, 85 persen sumber emisi Jambi berasal dari sektor gambut dan penggunaan lahan.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Provinsi Jambi menempati urutan ketujuh dengan lahan gambut terluas di Indonesia. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
LAPORAN UTAMA
10
LAPORAN UTAMA 3. Sifat lain dari tanah gambut adalah kerapatan lindaknya (bulk density) yang rendah. Sehingga kekuatan menahan bahan fisiknya rendah. Ini menyebabkan hutan rawa gambut yang mengalami kerusakan akibat eksploitasi berlebihan mempunyai tegakan tinggal mudah roboh dan lama kelaman akan mati. Sehingga kondisi ini menjadi tambahan bahan bakar apabila terjadi bencana kebakaran lahan. Tidak hanya itu, tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadinya kebakaran, membuat lahan gambut menjadi salah satu ekosistem yang rawan terhadap bencana kebakaran. Lahan gambut yang sudah terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Selain itu, jika terjadi kebakaran di lahan gambut sangat sulit untuk dipadamkan dan apinya akan merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas dan sulit dikendalikan.
Kabut asap akibat kebakaran lahan merupakan bencana tahunan yang selalu dihadapi, tanpa adanya solusi kongkrit dari pemerintah. Heriyadi Asyari.KKI Warsi.
Derita Tahunan di Lahan Gambut
A
sap mengepul putih, membayang semacam kabut pagi. Tapi ini tentu saja bukan seperti kabut pagi yang menyegarkan. Sesak seluruh dinding paru-paru menghirupnya. Kabut asap yang disebabkan kebakaran lahan, hampir setiap tahun selalu menghantui Provinsi Jambi dan provinsi tetangga. Setiap kabut asap, hanya upaya pemadaman bahkan melakukan hujan buatan yang menghabiskan dana triliunan rupiah menjadi solusi cepat yang bisa dilakukan pemerintah. Atau meliburkan sekolah-sekolah, pembagian masker di sepanjang jalan juga bukanlah sebuah tindakan efektif tanpa mengatasi penyebab kabut asap itu sendiri. Kebakaran lahan, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam belaka dan merupakan takdir sang Pencipta. Sampai saat ini, usaha pencegahan terulangnya kembali kebakaran di masa mendatang masih sangat terbatas dan usaha tersebut mustahil unuk dapat dilakukan karena dianggap sebagai usaha yang sia-sia dan dianggap menolak kehendak-Nya. Secara historis, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi akhir-akhir ini bukan merupakan sebuah fenomena baru karena memang telah berlangsung sejak jaman dahulu. Sebenarnya, kebakaran lahan itu sendiri merupakan bagian dari proses ekologi. Buktinya, sejak tujuh belas ribu tahun yang lalu hingga abad ke-19 telah terjadi kebakaran lahan dan kabut asap di Indonesia (Dennis 1999).
Kebakaran lahan menjadi hal yang biasa, sebelum akhirnya sekitar 1982-1983 terjadi kebakaran besar di Kalimantan yang merupakan salah satu peristiwa kebakaran terburuk di dunia. Sejak saat itu, kebakaran lahan yang semula fenomena alam biasa menjelma menjadi bencana yang menakutkan. Kebakaran lahan yang didominasi terjadi pada lahan gambut ini, membuat kita seharusnya membuka mata lebar-lebar untuk melihat sejauh mana gambut menjadi sumber bencana yang tak berkesudahan ini. Pada dasarnya lahan gambut memang rawan akan bahaya kebakaran, terutama pada musim kemarau yang panjang. Ada bebe-rapa karakteristik yang bisa menjadikan penyebab kebakaran hutan antara lain: 1. Tingkat fluktasi air tanah yang berbeda sangat tajam antara musim penghujan dan musim kemarau, sehingga pada musim kering kondisi gambut kering dan ini berpotensi menimbulkan kebakaran 2. Sifat tanah gambut sendiri sebagai penyumbang terhadap ancaman kebakaran hutan diantaranya adalah sifat irreverisible drying atau sifat tanah gambut yang tidak dapat kembali setelah terbakar. Sifat ini menyebabkan gambut dalam keadaan kering pada waktu musim kering/kemarau panjang bercerai berai dan tidak dapat kembali ke kondisi semula (kompak) walau gambut tersebut dibasahi
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Terlepas dari kateristik lahan gambut yang mudah terbakar, manusia memegang andil dalam menahunnya ritual kebakaran di lahan gambut. Ketidaksonsisten sikap pemerintah dalam mencegah tindakan kebakaran itu sendiri menjadi kerikil tajam dalam upaya penyelamatan lahan gambut. Ini terbukti ekspansi dan konversi hutan gambut menjadi areal perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri menunjukkan pemerintah lemah dan sengaja membiarkan pemicu utama kebakaran di lahan gambut. Tata ruang bersifat eksploitatif dan tidak adanya tata ruang yang memberikan tempat bagi pemanfaatan lahan gambut secara non eksploitatif terlihat jelas di Jambi. Bayangkan saja sekitar 70 persen lahan gambut yang ada di Provinsi Jambi telah dieksploitasi dan beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan sawit, HTI dan pertambangan. Di Provinsi Jambi luasan hutan gambut mencapai 736.224 hektar, yang sebagian besar berada di kawasan bagian timur. Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan kabupaten di Provinsi Jambi yang memiliki lahan tanah gambut terluas mencapai 312.006 hektar dan dilanjutkan dengan Muarojambi seluas 229.665hektar (Data Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2011).Sebagian besar kawasan gambut tersebut sudah dialokasikan untuk kawasan budidaya pertanian. Hampir Separuh kawasan gambut (289.809 hektar) di Tanjung Jabung Timur telah dikonversi untuk kawasan budidaya pertanian. Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan luasan hutan lindung gambut yang hanya seluas 23.748 hektar. Tindakan eksploitasi secara besar-besaran ini membuat perusahaan membuat kanal-kanal berskala besar yang dimanfaatkan untuk pengangkutan kayu dan hasil perkebunan mereka. Hampir sebagian besar ka-
wasan gambut yang ada sudah dicincang-cincang menjadi parit-parit yang dalam. Akibatnya kadar air di lahan gambut menjadi hilang, oleh sebab itu kebakaran lahan sangat mudah terjadi dan sulit dihindarkan. Baru-baru ini saja, hampir 500 hektar lahan gambut dan hutan di Desa Grohol, Kelurahan Teluk Dawan Kecamatan Muarasabak Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi terbakar (sumber Tempo.co.id). Sementara itu, berdasarkan pantauan satelit NOAA, pada 26 Agustus 2013, terpantau 18 titik panas di Provinsi Jambi. Lokasinya menyebar hampir di semua kabupaten Tanjung Jabung Timur. Tidak ada upaya yang bisa dilakukan pemerintah daerah selain tindakan pemadaman dan pemberian masker untuk mengurangi dampak kebakaran yang terjadi. Ini sangat kontradiktif dengan komitmen Provinsi Jambi untuk mengurangi emisi dengan menargetkan 600 titik hotspot hingga akhir 2015 ini. Padahal Data Dinas Kehutanan Provinsi Jambi periode Januari-September 2013 ini saja sudah tercatat 900 titik api yang tersebar di 11 Kabupaten/ Kota di Provinsi Jambi. Tindakan pemadaman yang dilakukan juga terkesan tidak maksimal, pasalnya Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tanjung Jabung Timur tercatat hanya menyediakan sebelas orang operator pemadam kebakaran dengan peralatan yang juga minimal. Mobil pemadam kebakaran yang tersedia hanya 2 unit, ditambah mobil monitor dan logistik serta mobail patroli sebanyak 4 unit, sementara itu mesin pemadaman portable yang dimiliki hanya 3 unit. Jumlah peralatan yang minimalis ini berbanding terbalik jika dipaksa mengatasi kebakaran yang potensial di separuh luasan Kabupaten Tanjung Jabung Timur mencapai 289.809 hektar. Seharusnya untuk mencegah kebakaran di lahan gambut dibutuhkan tindakan tegas dari pemerintah untuk tidak mengubah hutan di lahan gambut menjadi peruntukkan lain. Akan tetapi tindakan itu tampaknya terlambat setelah ratusan ribu hektar lahan gambut berubah fungsi menjadi HTI dan perkebunan skala besar. Ditambah lagi tidak adanya tanggung jawab pihak perusahaan untuk pengelolaan kawasan gambut secara lestari dan berkelanjut. Demi keuntungan sesaat, kita semua harus menuai bencana yang terus berulang sepanjang tahun. Setelah semua izin-izin diberikan, langkah yang hanya dapat dilakukan adalah sebuah solusi meminimalisir dampak kebakaran lahan yang akan terjadi. Pembuatan kanal-kanal dengan sistem terbuka yang dilakukan perusahaan harus beralih menjadi kanal buka tutup. Karena dengan sistem seperti ini, pada musim kemarau kanal di tutup sehingga air gambut yang berada di kawasan tersebut tidak mengalir ke sungai. Jika air tidak mengalir, dan tetap berada di kawasan gambut membuatnya tetap terendam, maka api tidak akan mudah membakar gambut. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
11
12
LAPORAN UTAMA
Menyelisik Distribusi Manfaat dari Perdagangan Karbon
I
su perubahan iklim dan REDD telah menjadi perdebatan hangat tidak hanya di kalangan penggiat lingkungan namun juga pada tataran kehidupan masyarakat. REDD tidak hanya menjelaskan pentingnya hutan dijaga demi stabilitasi iklim namun juga menjanjikan pembagian manfaat (benefit sharing) berupa financial bagi siapa saja yang menjaga dan memperkaya hutan. Insentif pembayaran dihitung berdasarkan kinerja. Semakin baik kinerja memperkaya hutan dan mencegah pengrusakan hutan, semakin tinggi juga jumlah insentif yang akan diterima. Namun apa dan bagaimana skema pembagian manfaat dari perdagangan karbon masih mengundang tanya hingga sekarang. Tulisan ini akan memberi ulasan singkat mengenai perdagangan karbon dan bagaimana desain pembagian manfaat dapat dinikmati bersama oleh masyarakat REDD dan Perdangan Karbon Kaitan REDD dan perdagangan karbon masih belum dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat. Ada yang membayangkan perdagangan karbon itu berwarna hitam seperti arang atau seperti pantat kuali, nah yang
seperti itulah yang akan diperdagangkan.Namun, tentu saja bukan itu. Karbon bukan arang, karbon tidak berwujud melainkan elemen kimia dan jumlahnya keempat terbesar di semesta (berdasarkan massa-nya). Jumlahnya sangat banyak di matahari, bintang, komet, dan atmosfers ebagiana besar planet. Karbon ditemukan di atmosfir bumi, larut dalam air dan disimpan sebagai batubara, minyak, dan gas di bumi. Karbon juga ditemukan di semua makhluk hidup termasuk manusia dan basis kimia makhluk hidup. Karbon yang dikeluarkan dilepas ke atmosfir dan sebagian diserap oleh tumbuhan untuk diubah menjadi oksigen yang bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Namun jika jumlah karbon terlalu banyak di atmosfer, akan menumpuk dan menghasilkan gas rumah kaca, sehingga karbon yang seharusnya dilepaskan ke atmosfer kembali dipantulkan ke bumi. Oleh karena itu lama kelamaan akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi panas yang dikenal dengan istilah pemanasan global. Yang harus dilakukan untuk mengatasi peningkatan suhu yang lebih ekstrim, diperlukan lebih banyak pohon, karena pohon mampu menyimpan karbon lebih banyak.
LAPORAN UTAMA Karbon yang diperdagangkan adalah jumlah karbon yang mampu tersimpan dalam suatu kawasan tertentu setelah projek REDD dijalankan. Diumpamakan, tanpa ada projek REDD, suatu wilayah berhutan dapat menyimpan karbon sebanyak 20.000 ton Co2e/tahun, namun dengan memperkaya pohon dan tanaman lainnya melalui projek REDD+, maka simpanan karbon bertambah hingga 30.000 juta ton Co2e. Artinya selisih sejumlah 10.000 juta ton Co2e dapat diperjual belikan di pasar karbon. Kemudian, hasil perdagangan karbon ini dibagi secara proporsional kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya setelah dikurangi dengan biayabiaya yang dikeluarkan sebelumnya. Idealnya, alur distribusi manfaat dibagi menjadi dua yakni vertikal dan horizontal. Pendanaan internasional baik berupa kerjasama bilateral maupun multilateral akan langsung masuk kelembaga REDD nasional selanjutnya dilimpahkan ke sub nasional hingga didistribusikan di level pemerintah dan level komunitas. Pada jalur vertikal pemerintah, pengembang projek dan masyarakat memiliki pembagian porsi tertentu, sebagaimana tertera pada permenhut 36 tahun 2009. Pembagian manfaat secara horizontal, mengatur bagaimana stakeholder pada level komunitas juga mendapat manfaat secara adil dan efektif. Isu kesetaraan
gender, kelompok rentan, dan tingkat kesejahteraan merupakan faktor yang patut diperhatikan pada saat pemetaan stakheholder kunci penerima manfaat. Seiring dengan berkembanganya skema perhutanan sosial di Indonesia (seperti Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat) memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat insentif dari program REDD+. Mengapa demikian? Pertama, telah dibuktikan dari berbagai macam litaratur bahwa masyarakat dianggap mampu mengelola hutan secara lestari, kedua dengan adanya skema PHBM masyarakat mempunyai legalitas wilayah kelola, ketiga dalam pengelolaan hutan masyarakat mempunyai pengorganisasian dan program kerja yang jelas. Sejalan dengan hal tersebut, model-model konservasi yang dinisiasi oleh KKI WARSI di areal kerja hutan desa, seperti rehabilitasi hutan dan lahan kritis, kebun campur, biogas, Pembagkit listrik mikro hidro, pengembangan NTFP hingga mencari pasar potensial untuk memasarkan produk komunitas merupakan bentuk lain dari pengurangan emisi dan secara langsung memberikan manfaat kepada masyrakat. Sementara manfaat incentive dari karbon merupakan bonus yang dapat dipetik jangka panjang, jika projek REDD siap dijalankan secara penuh di Indonesia.
Presentasi KKI Warsi: Beberapa peluang manfaat yang didapat dari mengelola hutan secara lestari dalam skema REDD+, Kamboja. Foto. Emmy Primadona
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
13
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
14
Saat ini, enam desa di KabupatenTanjung Jabung Timur tengah mempersiapkan pengusulan hutan desa. Kawasan hutan desa ini berada di dua hutan lindung, Hutan lindung Sungai Buluh dan Hutan Lindung Londrang. Tiga desa yang mengusulkan hutan desa yang berada di kawasan Hutan Lindung Sungai Buluh, yaitu Desa Sinarwajo seluasa 5.809 hektar, Desa Sungai Beras 2096 hektar, dan Desa Pematang Rahim seluas 3.937 hektar. Sementara itu, di kawasan Hutan Lindung Londrang ada Desa Kota Kandis Dendang dengan areal pengusulan seluas 6.374 hektar, Kelurahan Teluk Dawan dan Kelurahan Parit Culun I yang masih dalam tahap sosialisasi. Ketiga lokasi ini masuk dalam administratif Kecamatan Sabak Barat.
Saat ini perbincangan apa, siapa dan bagaimana sistem pembagian manfaat di desain telah menjadi suatu pembicaraan yang tidak habisnya di tingkat nasional dan internasional. Telah ada perubahan paradigma, dimana insentif tidak selalu dikaitkan dengan uang tunai. Jika insentif yang didapat pada hutan desa di wilayah A dengan jumlah KK nya berjumlah 300 adalah Rp100.000.000, maka masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan sejumlah Rp. 340.000 per tahun, dan perbulannya hanya Rp. 28.000. Artinya uang sebesar itu akan habis sesaat jika didistribusikan secara tunai. Untuk itu diperlukan suatu mekanisme, dimana manfaat tersebut dapat dirasakan bersama oleh masyarakat di desa. Adapun beberapa pilihan yang memungkinkan adalah penyediaan beasiswa tingkat SMA dan universitas untuk para siswa yang berprestasi di desa yang tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah. Kedua dapat berupa penyediaan bibit pertanian atau peralatan pertanian, seperti traktor, mesin penggiling padi dan lainnya. Opsi ketiga bisa jadi menjadikan dana bergulir, dimana masyrakat dapat terbebas dari jeratan rentenir pada musim paceklik. Masyarakat dapat mengakses dana tersebut dan mengembalikannya dengan bunga rendah. Pilihan terakhir adalah dengan skema dana sosial, dimana dana ini bisa dipergunakan untuk upacaraupacara adat di desa ataupun proses kematian. Harapan yang tinggi dari insentif REDD Tak dinyata lagi, insentif dari REDD masih menjadi suatu pengharapan yang tinggi di kalangan pemerintah lokal dan masyarakat. Namun sayangnya, skema REDD baik di Indonesia maupun di negara manapun di luar negeri masih dalam proses persiapan elemen-element tertentu dan mencari format yang disetujui bersama secara global. Komitmen untuk menurunkan emisi dari REDD bisa jadi akan menurun atau menguat di tahuntahun mendatang. Namun semangat untuk mengelola hutan secara lestari demi sumber hidup dan kehidupan masyarakat di sekitar hutan seharusnya tidak akan pernah padam. Untuk itu pemerintah kita harus bahu mendukung program –program konservasi yang sedang berjalan sekarang. Hingga tanpa atau dengan adanya REDD masyarakat tetap sejahtera dan hutan tetap terjaga. (Emmy Primadona)
Peta susulan Hutan Desa Koto Kandis Dendang
Menunggu Hutan Desa Gambut Pertama di Jambi
S
udah lebih dua tahun, Zarkismi Kepala Desa Kota Kandis Dendang, Kecamatan Dendang Kabupaten Tanjung Jabung Timur beserta warganya mengusulkan hutan desa di Kawasan Hutan Lindung Londrang. Desa yang berpenduduk sekitar seribu jiwa ini sudah tak sabar menungggu teralisasinya mimpi hutan desa di tempat mereka. Bermula dari ketidakjelasan tapal batas kawasan membuat mereka harus ikhlas ketika satu per satu kebun-kebun miliknya beralih fungsi menjadi areal konsesi perusahaan, diantaranya PT Batara Timber. Maraknya ilegal logging di tahun 2010 juga turut meluluh lantakkan kawasan hutan yang berada di sekitar desa mereka. Zarkismi menyebutkan dia bersama lembaga adat dan tokoh-tokoh masyarakat telah melakukan diskusi terkait dengan peluang-peluang pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang akan diusulkan. Namun diskusi ini tidak membuahkan hasil karena mereka terkendala dengan keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang mekanisme pengusulan. Hingga pertengahan tahun lalu, KKI Warsi mencoba menjembatani usulan desa ini untuk mengajukan hutan desa.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Sejak niat baik Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur menargetkan seluas tujuh ribu hektar hutan untuk skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Upaya ini dilakukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan kelestarian hutan. Selain itu, peluang PHBM ini juga berdasarkan hasil studi peluang pengembangan PHBM yang dilakukan oleh BPDAS Batanghari bekerjasama dengan KKI WARSI pada Oktober 2011 dan Januari 2012, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dinilai sebagai salah satu kabupaten yang potensial untuk pengembangan skema PHBM. Ada empat desa yang menjadi lokasi studi, yakni Desa Pematang Rahim, Desa Mencolok, Desa Sinar Wajo, dan Desa Sungai Beras, semuanya termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Mendahara Ulu. Jika nantinya usulan tersebut telah mendapat hak kelola, Zarkismi menyatakan keinginan warganya untuk melakukan pengembangan berbagai jenis tanaman kehutanan seperti meranti rawa, punak dan lainnya. “Supaya bisa memulihkan kawasan hutan yang sudah rusak dan juga upaya ini untuk peningkatan perekonomian masyarakat dengan hasil-hasil hutan lain yang bukan kayu,” katanya.
Zarkismi juga menambahkan berharap akan adanya bantuan dari pemerintah untuk memfasilitasi bantuan bibit terutama pendampingan bagi warganya. Sejauh ini usulan hutan desa di Desa Sinaar Wajo, Desa Sungai Beras dan Desa Kota Kandis Dendang masih dalam proses di tingkat Kabupaten. Instrumen Resolusi Konflik Berbeda dengan Desa Kota Kandis Dendang yang saat ini dalam proses pengusulan hutan desa, Desa Pematang Rahim tampaknya masih butuh banyak perjuangan untuk mewujudkan keinginan yang sama. Ini dikarenakan konflik lahan yang terjadi antara masyarakat desa ini dengan PT Wira Karya Sakti (Sinar mas group), membuat langkah mereka untuk mengusulkan mekanisme PHBM harus terseok. Konflik lahan antara masyarakat dan PT WKS sudah sangat lama terjadi. Ini dikarenakan hampir sebagian besar pemukiman dan peladangan masyarakat di Desa ini masuk dalam kawasan konsesi milik perusahaan. Upaya-upaya penyelesaian sudah dilalui di tingkat Kabupaten bahkan pemerintah pusat. Akan tetapi tetap saja tidak menemukan kejelasan, dan konflik ini terus berlarut-larut. Meskipun perwakilan pihak perusahaan sudah berkomitmen tidak akan mengganggu pemukiman dan ladang masyarakat yang sudah sejak lama ada meskipun berada dalam wilayah izin kelola perusahaan. Komitmen itu menjadi lemah karana hasil perundingan perjanjian tidak dibuat secara tertulis. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Tanjung Jabung Timur permasalahan konflik ini sudah ditangani kementerian kehutanan dan saat ini sudah direncanakan untuk pelepasan kawasan di wilayah yang sudah ada pemukiman dan peladangan masyarakat yang sudah lama. Kehadiran pola-pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini dikatakan Nelly Akbar, Koordinator Project KKI Warsi juga dapat menjadi instrumen resolusi konflik. Sehingga adanya kepastian dan keadilan tenurial hutan bagi masyarakat yang hidup dan bergantung di dalam dan sekitar kawasan hutan. “Kita tidak hanya berpikir bagaimana skema PHBM ini sebagai upaya menurunkan emisi dan degradasi hutan, tapi yang terpenting ini juga alat resolusi konflik yang marak terjadi saat ini,” pungkasnya.(Elviza Diana)
Saat ini Jambi, enam desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tengah menunggu penetapan areal hutan desa di lahan gambut yang diusulkan. Foto: Elviza Diana/KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
15
16
Setelah Hutan Adat Bukan Hutan Negara
17
Perihal Permohonan Dimotori oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua kesatuan masyarakat adat berjuang ke MK. Berikut para pemohon: Ir Abdon Nababan dari AMAN, H. Bustamir dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, Kabupaten. Kampar, Riau dan H. Moch. Okri alias H. Okri dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Banten. Adapun pasal yang di uji oleh para pemohon meliputi 9 pasal yang diantaranya adalah pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat 3, pasal 5 ayat 1, pasal 5 ayat 2,pasal 5 ayat 3, pasal 5 ayat 4, pasal 67 ayat 1, pasal 67 ayat 2, pasal 67 ayat 3 Undang-undang Kehutanan yang sebagian menyorot kata “negara” dalam kalimat pengusaan hutan adat.
Pasca putusan MK Nomor 35 memberikan harapan besar terhadap masyarakat hukum adat dan pemerintah bersama-sama memetakan wilayah hutan adat yang selama ini terkaburkan. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
I
stilah Hutan Adat dalam hukum positif diperkenalkan pertama kalinya dalam Undang Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Peraturan perundang-undangan sebelumnya seperti UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hanya mengenal masyarakat adat dan tanah ulayat. Pengenalan istilah hutan adat dalam UU Kehutanan ini menyisakan konsekuensi normatif dimana hutan adat dikonstruksikan sebagai bagian dari hutan negara. Berdasarkan statusnya hutan dibagi atas dua yaitu hutan negara dan hutan hak, dimana hutan adat adalah hutan negara yang berada diwilayah masyarakat hukum adat.
Sejak itu terjadi pengabaiaan dan pemarginalan penguasaan hutan terhadap wilayah dan ruang hidup Masyarakat hukum Adat oleh negara. Selama 14 tahun penerapan UU kehutanan menyebabkan masyarakat hukum adat di berbagai daerah kehilangan hak atas wilayah adat karena diserobot oleh pihak lain dengan dalih sudah di diberikan izin oleh negara. Ketetentuan yang tidak pro masyarakat hukum adat ini mendorong berbagai pihak untuk melakukan Judicial Riview ketentuan di UU Kehutanan yang melanggar hak konstitusional masyarakat hukum adat.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Pada intinya para pemohon mempersoalkan dua isu konstitusonal yaitu status hutan adat yang serta merta menjadi hutan negara dan pengakuan bersyarat masyarakat hukum adat. Sejatinya masyarakat hukum adat sudah ada sebelum republic ini berdiri akan tetapi belum diakui oleh Negara, sehingga cenderung dimamfaatkan negara untuk merampas hak-hak masyarakat hukum adat dan memberikan izin konsesi kepada perusahaan. Pemisahan antara masyarakat adat dan hak tenurnya serta persyaratan tertentu dalam pengakuan masyarakat ini menurut pemohon sutu pelanggaran konstitusional Negara terhadap masyarakat adat yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Untuk menguatkan dalil-dalilnya pemohon mengajukan beberapa ahli yaitu: Dr. Saafroedin Bahar, Dr. Noer Fauzi Rachman, Prof. Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S , Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H, M.H, Dr. Maruarar Siahaan, S.H dan saksi yang dihadirkan diantaranya, Lirin Colen Dingit, Yoseph Danur, Jilung Jamaludin, Kaharudin, dan Jailani. Sedangkan saksi ahli yang dihadirkan pemerintah, diantaranya Prof. Dr Nurhasan Ismail, S.H, M.Si, dan Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H, M.H.
Perihal Putusan MK Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 35/ PUU-X/2012 mengabulkan sebagian dari permohonan yang diajukan oleh para pemohon. Secara normatif tiga jenis putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: (a) mengabulkan; (b) menolak; atau (c) tidak dapat diterima. Namun dalam praktiknya terdapat berbagai varian dari putusan Mahkamah Konstitusi itu, misalkan ada permohonan yang dikabulkan sebagian, kemudian ada pula putusan Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan bersifat konstitusionalitas bersyarat (conditionally constitutional atau conditionally unconstitutional). Terkait dengan amar putusan perkara ini, MK memakai jenis putusan “mengabulkan”, “conditionally constitutional”, “conditionally unsconstitutional”, dan “menolak.” Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Tidak ada upaya hukum untuk menguji setelah diputus dan mengikat semua orang (erga omnes), tidak hanya para pemohon tetapi seluruh lembaga dan rakyat indonesia. Putusan MK ini bersifat porspektif atau berlaku kedepan tidak berlaku surut (rektro aktif). Artinya ketentuan yang sudah ada sebelum putusan MK ini tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum. MK bersifat negative legislator, dimana dalam putusannya MK membatalkan norma. Berbeda dengan DPR yang bersifat positif legislator (membuat norma). Terhadap permohonan yang dikabulkan telah langsung mengubah ketentuan atau makna dalam UU dan tidak perlu mengubah teksnya. Implikasi Dengan adanya putusan MK yang membatalkan frasa dan ayat di dalam UU kehutanan yakni : menghapus kata “negara” didalam pasal 1 UU kehutanan menjadi berbunyi “hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat adat”. Lalu pasal 4 ayat (3) UU kehutanan bertentangan dengan UUD dan tidak
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
19
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Lalu Pasal 5 ayat (1) UU kehutanan bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”. Begitu pula dengan penjelasan yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 5 ayat (2) yang juga bertentangan dengan UUD dan juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sedangkan frase “dan ayat (2) dan pasal 5 ayat (3) UU kehutanan juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga Pasal 5 ayat (3) menjadi “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”. Jika dilihat didalam putusan MK ini, maka mahkamah menilai harus ada perbedaan antara hutan adat dan hutan negara. Di dalam hutan negara, negara memiliki kewenangan penuh dalam peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum di wilayah hutan negara. Sedangkan untuk hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat yaitu hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah masyarakat hukum adat. Yang artinya, hutan terbagi menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Selain itu masyarakat adat juga mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Di tambah lagi didalam putusan MK ini dapat kita lihat, bahwa hutan negara dan hutan adat memang harus ada perbedaan perlakuannya. Bila negara memiliki kekuasaan penuh untuk mengelola wilayah hutan negara, maka untuk hutan adat, kewenangan tersebut dibatasi karena berada dalam cakupan hak ulayat masyarakat hukum adat. Walaupun putusan ini tidak berlaku surut, dapat dikatakan bahwa pengakuan atas tafsir konstitusi ini memberikan landasan bagi masyarakat hukum adat untuk dapat mengembalikan hak mereka atas hutan adat. Kurnia Warman mengatakan masyarakat hukum adat diakui keberadaannya seperti yang terdapat di dalam
pasal 67 ayat (1) UU kehutanan akan tetapi mengenai hak ulayatnya tidak ada disebutkan. Sedangkan dalam UUPA yang juga membahas masyarakat hukum adat menbahas persoalan hak ulayat bukan tanah ulayat. Lebih jauh Kurnia Warman mengatakan bahwa yang perlu diakui adalah haknya itu sendiri yang berarti harus ada subjek yang sudah ada. Di dalam hukum yang dikatakan memiliki hak yakni yang pertama “subyek” dan yang kedua “obyek” dan yang ketiga “hukum yang mengatur bahwa subjek berwenang atas objek. Oleh karena dalam UUPA yang diakui adalah haknya. Adanya masyarakat hukum adat belum tentu dapat dikatakan ada hak ulayat jika yang diakui hanya masyarakat hukum adat nya saja. Jika hutan yang ada maka masyarakat hukum adat juga tidak bisa ada. Dan syaratnya adalah harus ada Hutan adat yang mengatur tentang subyek dan obyek hutan adat itu sendiri barulah dapat dikatakan ada haknya. Ketika hutan adat bukan lagi menjadi hutan negara maka hak mengelola dan memanfaatkan akan jatuh ketangan masyarakat adat. Jika dilihat di saat belum lahirnya putusan MK ini hutan negara memasukkan hutan adat didalamnya, sehingga masyarakatpun menjadi tersingkirkan. Walaupun demikian dengan lahirnya putusan MK ini maka dapat memberikan harapan besar terhadap masyarkat hukum adat dan pemerintah dapat bersama-sama untuk memetakan wilayah hutan adat yang selama ini terkaburkan. Kedepannya Pertanyaan mendasar pasca Putusan MK 35 ini adalah apa yang harus dilakukan setelah sekian lama pengabaian hak masyarakat adat oleh Pemerintah. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam proses perbaikan tata kelola pemerintah dan program pengembalian hutan adat. Pertama pemerintah seharusnya melakukan inventarisasi masyarakat adat dan hutan adat yang ada di Indonesia dengan melibatkan masyarakat hukum adat secara aktif baik yang sudah dipetakan(diakui) maupun yang belum. Kedua pembentukan dan perbaikan regulasi. Pemerintah dan DPR perlu menyegerakan pembentukan UU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat sebagai amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Kebijakan pemerintah yang selama ini bersifat desentralisasi dan tak berpihak pada masyarakat adat dengan pemberian izin-izin eksploitasi sumber daya alam semakin membuat masyarakat terpuruk. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Begitu juga agar segera melakukan revisi atau pembentukan UU Kehutanan yang baru, mengingat UU Kehutan ini sudah 7 kali di Judicial review ke MK dan beberapa pasal yang sentral seperti kawasan hutan, penguasan kawasan, hutan adat, hak masyarakat sudah mengalami perubahan . Disamping itu perlu mensi-nergikan peraturan yang akan dibentuk atau direvisi itu dengan RUU Pertanahan agar paraturan yang dibuat sinkron dan menjadi resolusi konflik/pengabaian yang terjadi selama ini. Untuk pelaksanaannnya pemerintah harus segera mengeluarkan PP terkait dengan tata cara pengakuan masyarakat adat dan PP tentang pengelolaan hutan adat. Ketiga Pemerintah segera membuat kebijakan terkait program inventarisasi dan pengembalian hutan adat terhadap hutan-hutan yang selama ini dijadikan hutan negara. Kegiatan ini dijadikan pedoman untuk melaksanakan inventarisasi dan pengembalian hutan adat.
Seperti di daerah yang sudah ada pengakuan masyarakat hukum adatnya dan hutan adatnya sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan pembuatan aturan pengelolaan hutan adat kedepannya. Keempat pembangunan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah. Perlu sosialisasi dan penyepahaman terkait Putusan MK 35 dari level pusat sampai daerah sehingga satu pemahaman dalam implementasinya. Disamping itu dalam pengaturan di daerah agar tidak berbelit-belit da dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, karena dalam pengelolaan hutan tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah baik pusat maupun daerah dengan catatan titik berat pengelolaan hutan adat berdasarkan kearifan lokal masyarakat hukum adat. (Ilham Kurniawan Dartias dan Leni Permata Sari, Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi)
ALAMSUMATERA, SUMATERA,edisi edisiSEPTEMBER DESEMBER 2012 ALAM 2013
20
21
Hutan Adat di Jambi Pasca Putusan MK
P
ada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 41 Tahun 1999 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat. Hal penting dari putusan tersebut hutan adat dikeluarkan dari status kawasan hutan negara. Untuk ke depannya, hutan adat dikategorikan sebagai hutan hak, sama seperti hutan milik perseorangan ataupun badan hukum.
Ruang Wilayah Kab. Kerinci 2012-2032 dimana Pemkab Kerinci menyediakan Kawasan Peruntukan Hutan Hak bagi hutan-hutan adat yang berada di wilayahnya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa Pemkab Kerinci telah melalukan gebrakan besar dengan mengabaikan ketentuan mengenai hutan adat yang terdapat dalam UU No. 41 Tahun 1999 demi mengakui masyarakat adat di wilayahnya sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Putusan MK tersebut tentu sangat berpegaruh terhadap keberadaan hutan-hutan adat yang telah mendapatkan pengakuan hukum di Provinsi Jambi. Sejak tahun 1992, beberapa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) telah memberikan pengakan hukum terhadap beberapa hutan milik masyarakat adat yang masih eksis. Pengakuan hukum terhadap hutan adat yang pertama di provinsi ini diberikan oleh Pemkab Kerinci melalui Keputusan Bupati Kerinci No. 176 Tahun 1992 tentang penetapan Hutan Adat Temedak Desa Keluru Kec. Keliling Danau. Hingga sekarang setidaknya terdapat 34 hutan adat yang telah mendapat pengakuan hukum di Provinsi Jambi dengan luas total 8739,6 hektar (Dartias, 2013). Pengakuan hukum tersebut diberikan oleh Pemkab Kerinci, Sarolangun, Bungo, dan Merangin melalui Peraturan Daerah (Perda), Keputusan Bupati, ataupun kedua-duanya.
Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, Kementerian Kehutanan meminta pemerintah daerah yang telah memberikan pengakuan hukum terhadap hutan adat untuk mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan adat dari kawasan hutan negara kepada Kementerian Kehutanan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010. Terlepas dari semua itu, pemerintah pusat sebaiknya segera menyelesaikan PP tentang hutan adat sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 41 Tahun 1999. Inisiatif untuk menyusun PP ini sudah lama, namun sampai sekarang belum rampung juga.
Menariknya dari Putusan MK tersebut dalam kaitannya dengan praktek pengakuan hukum terhadap hutan adat di Provinsi Jambi adalah bahwa ternyata beberapa Pemkab di provinsi ini telah lebih dahulu mengakui hutan adat yang berada di luar kawasan hutan negara sebelum ada Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Pada tahun 2003, Bupati Merangin memutuskan untuk menetapkan Keputusan Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kec. Sungai Manau meskipun sebagian wilayah bukit tersebut berada di luar kawasan hutan negara. Selanjutnya, pada tahun 2012, Pemkab Kerinci secara terang-terangan mengakui hutan adat sebagai hutan hak. Pengakuan tersebut terdapat pada Pasal 33 Perda Kab. Kerinci No. 24 Tahun 1992 tentang Rencana Tata
Selain itu, Pemerintah Kabupaten hendaknya mulai melakukan pendataan terhadap semua masyarakat adat yang masih eksis, berikut memetakan wilayah adatnya, baik yang berbentuk hutan maupun tidak. Di Jambi, potensi keberadaan hutan adat cukup besar mengingat sebagian besar wilayah provinsi ini adalah hutan. Hutan tersebut selain menjadi wilayah adat, juga sekaligus merupakan wilayah penghidupan dari beberapa masyarakat adat di Jambi. Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat yang telah mendapatkan pengakuan terhadap hutan adatnya juga perlu dilakukan pemerintah kabupaten melalui peraturan daerah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999. Hal tersebut penting dilakukan untuk menegaskan eksistensi masyarakat adat yang bersangkutan berikut wilayah adatnya, baik yang berupa hutan maupun tidak. Selama ini hutan adat yang telah dikukuhkan di Jambi melalui Keputusan Bupati cenderung tidak diikuti atau didahului dengan Perda yang mengatur keberadaan
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Sebelum adanya putusan MK Nomor 35 terkait hutan adat dikeluarkan dari status kawasan hutan negara, di Provinsi Jambi pengakuan hukum terhadap hutan adat sudah dilakukan sejak tahun 1992. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
masyarakatnya. Hanya ada satu Perda di Provinsi Jambi yang secara spesifik mengakui keberadaan masyarakat adat yaitu Perda Kabupaten Bungo No. 3 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih. Keberadaan masyarakat adat di Jambi kebanyakan hanya tersirat atau secara implisit termuat pada Keputusan Bupati mengenai hutan adat, sehingga belum sesuai dengan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999. Konsep pemenuhan kesejahtaraan masyarakat hukum adat perlu juga dicermati oleh pemerintah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak selalu soal peningkatan ekonomi, apalagi peningkatan ekonomi jangka pendek. Namun sebagian besar masyarakat adat memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan menengah ke bawah, sehingga rawan mengambil pilihan yang salah. Oleh karena itu, pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dan wilayah adatnya saja tidak cukup. Apalagi pada kenyataannya, insitusi adat tidak bebas cacat. Banyak tokoh atau oknum masyarakat adat yang mudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak merepresentasikan kepentingan seluruh masyarakat adat, umpamanya ditunggangi oleh pemerintah atau pengusaha demi keuntungan ekonomi jangka pendek.
Bentuk pengelolaan hutan adat dikaitkan dengan fungsi dan topografi hutan perlu juga diperhatikan. Ini sebagai konsekuensi dari dikategorikannya hutan adat sebagai hutan hak, tentu pengelolaan hutan adat dilakukan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Namun kebanyakan hutan adat di Jambi berada di daerah hulu yang lebih cocok untuk fungsi lindung dan konservasi, sehingga perlu kehatihatian dalam menentukan jenis kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat disana. Selain itu perlu dipikirkan soal hutan adat yang sudah terlanjur diberikan izin pengelolaannya oleh pemerintah kepada kepada perusahaan, baik perusahaan kehutanan, perusahaan perkebunan (lewat perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan), dan pertambangan (lewat penggunaan kawasan hutan). Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tampaknya akan sulit mewujudkan hak-hak masyarakat adat atas hutan adat mereka yang sudah terlanjur diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan. Namun kesalahan di masa lalu tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja dan perlu dicarikan jalan keluarnya, karena bagaimana pun juga, hak masyarakat adat adalah hak yang bersifat konstitusional sehingga wajib dipenuhi. (Nova Yusmira, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Komunitas Konservasi Indonesia Warsi)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
22
23
jalan setapak dengan zona bervariasi, mulai dari landai, terjal hingga mengantarkan kita ke puncak hutan adat ini atau disebut dengan Bukit Tepanggang. Dari Bukit Tepanggang ini, kita dapat menikmati pemandangan yang sangat asri. Mulai dari pemukiman masyarakat, hingga vegetasi hutan yang tertutup rapat membuat mata takjub. Bagi kamu yang tertarik dengan pengamatan satwa liar, hutan ini merupakan surga untuk memuaskan keinginan itu. Selain itu, di sini juga lokasi yang tepat mengasah kemampuan fotografi yang kamu miliki. Dari survei yang dilakukan diketahui oleh tim Warsi dan Masyarakat Guguk diketahui bahwa Hutan Adat Guguk memiliki kekayaan sebanyak 89 jenis burung, 37 Jenis diantarnya dilindungi seperti Rangkong Gading ( Baceros vigil), Kuau Raja (Argusianusargus )dsb. 22 jenis mamalia Yang dilindungi seperti Tapir (Tapirusindikus), Beruang (Helarctosmalayanus) dsb. Dari survey tersebut juga diketahui terdapat 84 jenis kayu. Beberapa jenis kayu seperti Meranti ,Balam, Marsawa dsb mempunyai diameter diatas 55 cm.
Hutan Adat Guguk, salah satu pilihan destinasi wisata bernuansa alam yang patut dicoba. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Menikmati Eksotisme Hutan Adat Guguk
G
uguk, merupakan sebuah nama desa yang terletak nun jauh di sana tepatnya di Kecamatan Ranah Pembarap Kabupaten Merangin, Jambi. Desa Guguk merupakan desa tua yang sudah berdiri sejak sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia. Menurut keterangan para tetua adat nenek moyang mereka berasal dari Mataram dan MinangKabau. Awalnya perkampungan berada di selatan Batang Merangin yang disebut Pelangai Panjang. Disinilah berdiri pemukiman yang terdiri dari gubuk-gubuk yang disebut dengan Guguk. Pada waktu itu Guguk merupakan pusat pemerintahan dari Marga Pembarap (artinya yang tua). Wilayah Marga Pembarap tersebut sekarang sudah terbagi menjadi 4 desa yaitu : Desa Guguk, Desa Air batu, Desa Markeh dan Desa Parit. Sejak itu secara perlahan peran Pasirah/kepala adat yang berkedudukan di Guguk perlahan mulai meluntur. Tetapi di Guguk beberapa aturan yang masih berakar dapat bertahan sampai sekarang yaitu aturan adat
tentang pengelolaan hutan. Aturan-aturan adat inilah yang membuat Guguk berbeda dengan desa lainnya. Guguk memiliki hutan adat yang memiliki beragam keanekaragaman flora dan fauna yang langka. Hutan adat Guguk seluas 690 hektar, adalah pilihan tepat untuk liburan bernuansa alam yang kamu impikan. Untuk sampai ke hutan ini, melakukan perjalanan darat memakan waktu sekitar lima jam dari ibukota Provinsi Jambi menuju ibu kota Kabupaten (Bangko) sejauh 30 kilo meter atau dapat ditempuh selama 30-45 menit. Setibanya di pinggir desa, kita akan melakukan perjalanan kaki dengan melewati jembatan gantung ke tepi Hutan Adat Guguk.Udara segar akan langsung memenuhi kantung paru-parumu, sesaat menginjakkan kaki di tepi hutan adat ini. Ratusan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, bagaikan kanopi yang melindungi perjalanan kita menyusuri setiap jengkal demi jengkal Hutan Adat Guguk. Perjalanan yang dilalui melalui
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Menjelang senja, kita akan melintasi jalan setapak menuju sisi lain pesona wisata alam hutan adat guguk ini. Gemericik air dan sungai yang dipenuhi batu-batu besar sungguh sore yang menyegarkan.Yap, kita sudah tiba di Muara Sungai Betung. Mandi di air sungai yang bening, layaknya membantu menghilangkan kepenatan setelah berjalan seharian. Tentu saja bukan sekedar sejuknya air, ada yang lebih special di sungai ini. Sungai ini memiliki ikan khas yang dikenal dengan nama ikan semah. Ikan di sungai ini biasanya diambil dengan menjala atau memancing. Dua teknik ini mungkin terdengar biasa saja, namun pernahkah kalian membayangkan berburu ikan dengan cara menembak. Yang pasti senjata yang digunakan bukan senapan yang berisi mesiu, tapi hanyalah sebuah kayu yang ujungnya diberi besi runcing. Untuk melepaskan besi runcing tersebut biasanya menggunakan karet ban bekas sebagai pelatuk. Cara menembak, atau menumbak bahasa lokal penduduk setempat adalah dengan menyelam. Penembak ikan harus menyelam ke bawah batu-batu dasar sungai. Waktu yang tepat menumbak ikan adalah malam hari, ayo siapa yang mau menyelam di malam hari berburu ikan semah? Jangan ragukan lagi soal rasanya, ikan semah memiliki kelezatan yang membuat siapa saja tak ragu menyantapnya. Cukup dibubuhi garam dan dibakar, ikan
semah adalah menu makan malam yang luar biasa. Makan merawang, demikian istilah lokal untuk makan bersama menggunakan daun pisang berjejer bersama dengan anggota tim penjelajah lainnya. Jika mau beranjak sedikit saja dari Sungai Betung, kita akan melihat pemandangan lain yang tak kalah menarik. Apalagi kalau bukan air terjun Sungai Betung. Yang unik dari air terjun ini, napal melingkupi dasar dan pinggir sekitar air terjun. Kalian pasti bisa membayangkan betapa jernihnya air yang mengalir di atas napal bertabur batu alam laksana kolam renang buatan. Kita bisa membuat tenda bermalam di tepi Sungai Betung ini. Melewati malam di pinggir sungai ditemani purnama dan bercengkerama menghayati pesona alam yang memakau. Membuat malam terasa amat singkat. Ketika pagi datang disambut dengan kicauan burung membangunkan kita dari mimpi tentang keindahan alam yang mempesona. Perjalanan kita tampaknya akan berakhir pagi ini. Tapi ada satu kesempatan lagi yang akan memicu adrenalin sebagai penutup sempurnanya perjalanan. Perjalanan pulang akan melewati sungai dengan menggunakan rakit bambu. Arus Sungai Nilo yang cukup deras akan kita telusuri mengantarkan kita ke Batang Merangin. Pak Anshori, anggota kelompok pengelola hutan adat yang kali ini menemani perjalanan kami menyusuri rangkaian keindahan hutan adat guguk. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini, telah terbiasa bertindak sebagai guide lokal bagi para tamu yang berkunjung. Bahkan menurutnya, kelompok pengelola hutan adat Guguk, membuat beberapa paket wisata. “Ada tiga paket yang kita tawarkan, yaitu Paket 1 makan merawang, selama 2 hari 1 malam, paket 2 Ngalau Kambing hutan selama 3 hari 2 malam, dan paket 3 halaman Kuawaw selama 2 hari 1 malam,” jelasnya.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
24
25
Beruntung lagi, jika perjalanan yang kamu lakukan bertepatan dengan musim buah. Karena, pada musim buah, Desa Guguk juga menghasilkan beberapa jenis buah seperti durian, manggis, bedaro (semacam buah kelengkeng dengan ukuran lebih kecil) dan duku. Bermacam buah lokal ini akan menjadi buah tangan untuk dibawa pulang. Sangat baik, jika kamu bisa datang ke sini saat tradisi makan jantung diselenggarakan. Tradisi makan jantung digelar setiap tanggal 2 Syawal (hari kedua Idul Fitri) setiap tahunnya. Acara ini merupakan pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi muda. Pada kesempatan ini, para tengganai adat akan membacakan kembali Piagam Lantak Sepadan, yang merupakan dasar pengelolaan sumber daya alam di Desa Guguk. Ritual ini ditandai dengan ritual pemotongan kerbau dan makan bersama daging kerbau. Selain mengelola hutan adat, masyarakat desa Guguk juga memiliki lubuk larangan. Lubuk larangan merupakan merupakan bentuk perlindungan masyarakat terhadap ekosistem air, dengan prosesi panen lubuk larangan setahun sekali. Hutan Adat, Harapan yang Tersisa Jambi terkenal karena hutannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri, sebagian besar wilayah provinsi Jambi sebagaimana tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 1994, disebutkan kawasan hutan di Jambi masih melebihi angka 40 persen. Tapi kini, hutan Jambi menghilang secara cepat, seiring dengan aksi-aksi destructive logging yang terjadi di Jambi. Berdasarkan kajian analisis peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi 1990-2000, tutupan hutan di Jambi dalam jangka 10 tahun hilang 1 juta hektar. Sampai 2005 tutupan hutan di Jambi tinggal 1,2 juta hektar saja.
Berawal dari sinilah, Desa Guguk yang selama ini mengelola sumber daya alam yang ada di daerah mereka berdasarkan piagam Lantak Sepadan. Namun ketenangan mereka, tiba-tiba terusik dengan kehadiran HPH PT Injabsin sekitar akhir tahun 1990-an. Sebagian kawasan hutan yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat untuk diwariskan ke anak cucu, dicaplok dan masuk ke wilayah kerja HPH. Dari sinilah timbul perlawanan dari masyarakat. Masyarakat meminta supaya perusahaan mengembalikan wilayah hutan yang berada di desa mereka menjadi milik masyarakat dan keluar dari HPH. Perjuangan ini tidaklah mudah. Perusahaan bersikukuh kalau mereka telah mengantongi izin, sementara masyarakat berkeyakinan kawasan kerja telah melanggar batas wilayah yang termuat di dalam Piagam Lantak Sepadan dan juga dikuatkan dengan adanya peta wilayah Marga Pembarap yang dibuat pada zaman penjajahan Belanda. PT Injabsin terus bergerak mengambil kayu dalam jumlah besar, masyarakat semakin merasa terkibiri dengan keadaanitu. Masyarakat juga mulai cemas jika hutan mereka terus diambil kayunya oleh perusahaan, bagaimana nasib anak cucu mereka nanti, bagaimana anak cucu mereka memenuhi kebutuhan kayu untuk perumahan atau juga di lahan mana mereka akan berladang dan berkebun. Berdasarkan kondisi tersebut dan melihat masih adanya hutan sisa yang dekat dengan lokasi pemukiman dan belum diekploitasi oleh perusahan, membuat bebera-
Hilangnya hutan di Jambi dipicu oleh hadirnya HPH yang dibarengi dengan aksi illegal logging, serta konversi lahan menjadi perkebunan. Pemberian izin HPH oleh pemerintah pusat tidak jarang juga menyebabkan hak-hak masyarakat adat tercabik-cabik. Seperti yang pernah dirasakan oleh masyarakat Desa Guguk Kecamatan Ranah Pembarap Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Potensi wisata Hutan Adat Guguk: Ikan semah sebagai salah satu ikan lokal dengan rasanya yang luar biasa, serta beberapa jenis satwa liar yang terancam punah masih mendiami kawasan ini. Foto all: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
pa tokoh masyarakat mempunyai pemikiran untuk menyelamatkannya. KKI Warsi sebagai NGO yang peduli dengan penyelamatan lingkungan melakukan serangkaian advokasi dan menjembatani masyarakat untuk pertemuan-pertemuan dengan aparatur pemerintahan untuk mengembalikan hak masyarakat Desa Guguk. Gagasan-gagasan masyarakat kemudian difasilitasi dan diwujudkan. Pada rapat tanggal 15 Februari 1999, disepakati bahwa hutan tersisa di daerah Bukit Tapanggang sebagai calon Hutan Adat Desa yang akan dikelola secara bijaksana untuk dijadikan penyangga kehidupan mereka saat ini dan untuk anak cucu mereka nanti. Serangkaian kegiatan dilakukan untuk mengadvokasi kembalinya hak masyarakat, diantaranya adalah merebut areal hutan Guguk dari HPH PT. Injapsin, penyelesaian tata batas hutan adat. Selanjutnya didorong adanya pengakuan hokum dari pemerintah daerah terhadap kawasan hutan adat tersebut. Melalui perjalanan panjang dan melelahkan akhirnya Bupati Merangin melalui SK Nomor 287 Tahun 2003 tentang pengukuhan kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat masyarakat hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin pada 2 Juni 2003 lalu. Dikukuhkannya hutan adat Desa Guguk bukan berarti perjuangan berakhir. Untuk mengelola Hutan Adat Desa Guguk juga dibutuhkan adanya kelembagaan dan
aturan pengelolaan. KKI Warsi bersama masyarakat secara musyawarah dan demokratis telahmembentuk Kelompok Pengelola Hutan Adat yang dikukuhkan oleh pemerintah desa. KKI Warsi juga mendampingi masyarakat untuk pengaturan pengelolaan dibuat payung hukum lokal berupa Peraturan Desa tentang hutan adat, kebun kas desa, pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat. Dalam pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non kayu masyarakat mempunyai aturan yang telah disepakati bersama. Pengambilan kayu di kawasan hutan adat hanya boleh untuk kepentingan umum seperti membangun rumah ibadah, sekolah dan yang bersifat untuk kepentingan publik. Sedangkan untuk kepentingan pribadi hanya diperbolehkan dengan syarat harus mendapatkan izin dari kepala desa melalui kelompok pengelola hutan adat. Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan itu, akan dikenakan sanksi yang cukup berat. Untuk menjaga penerapan aturan yang telah dibuat, kelompok pengelola secara rutin melakukan pengecekan dengan berkeliling hutan adat, disamping itu masyarakat juga aktif terlibat dengan secara cepat memberikan laporan kepada kelompok pengelola jika menemukan hal-hal yang mencurigakan atau ada indikasi kegiatan penebangan.(Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
GIS SPOT
26
Catatan Perjalanan
SCGIS Scholar ke California
GIS SPOT annya dan bisa membaur dengan masyarakat di sana. Sayangnya, saya tinggal sendirian di sebuah apartemen di dekat kampus, karena alergi terhadap bulu anjing dan kucing. Belajar GIS Para scholar belajar bersama John Schaeffer pendiri Juniper GIS, perusahaan yang bergerak dibidang training dan consulting, yang telah mengajarkan GIS lebih dari 4.000 siswa dari seluruh dunia. John adalah salah satu generasi pertama penerima the ESRI Certified Desktop Associate certification. John ditemani oleh asistennya Leslie Backus yang berpengalaman menggunakan GPS dalam melakukan penelitiannya di beberapa negara. Tuan Rumah dari proses belajar ini adalah Karen Beardsley, Ibu dari seorang gadis kecil bernama Rebecca. Karen adalah dosen dan mengelola the Information Center for the Environment (ICE) di Universitas California Davis.Karen mengajarkan kepada kami bagaimana melakukan presentasi, sebelum membawakannya di ESRI User Conference dan SCGIS Conference. Saat melakukan latihan presentasi awalnya saya agak gugup, apalagi dilakukan dalam bahasa Inggris, namun Karen dan teman-teman sesama scholar membantu mengoreksi kalau ada bahasa yang kurang pas atau perlu diperbaiki. Tiga hari selanjutnya kami para scholar diajar oleh Ibu Rina seorang Indonesia yang tinggal di Redlands California dan bekerja di ESRI sejak 1999. Ibu Rina mengajar bagaimana membuat aplikasi webmap, sehingga kami dapat menampilkan peta secara online di internet.
Ratusan gajah laut yang sedang berjemur di pasir pantai California, menambah nuansa laut menakjubkan dalam perjalanan SCGIS Scholar baru-baru ini. Foto: Askarinta Adi/KKI Warsi
K
esempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar Geographic Information System (GIS) dan mengikuti serangkaian acara GIS di negeri Paman Sam tidak saya sia-siakan. Ini terjadi setelah mengirimkan aplikasi ke SCGIS, dan terpilih sebagai salah satu scholar. SCGIS (Society for Conservation GIS) adalah lembaga yang didirikan di Amerika untuk membantu para penggiat GIS di seluruh dunia dalam menggunakan GIS melalui media komunikasi, pembentukan jaringan, pemberian beasiswa, dan pengadaan pelatihan. Setiap tahun SCGIS mengundang penggiat GIS dari seluruh dunia untuk mengirimkan aplikasi dan paper tentang GIS, dan akan dipilih beberapa untuk mendapatkan beasiswa. Khusus pengirim dari Indonesia, aplikasi yang dikirim terlebih dahulu diseleksi oleh SCGIS chapter Indonesia, kemudian kandidat akhirnya baru akan ditentukan oleh SCGIS pusat.
Malam itu hawa dingin langsung terasa setelah keluar dari bandara San Francisco menuju tempat parkir. Saya di jemput oleh Alexander Yumakaev atau sering dipanggil Sasha dan dialah yang akan mengurus semua keperluan kami selama di Amerika. Sasha adalah seorang programer keturunan Rusia yang bekerja sebagai Koordinator Program Konservasi di ESRI (perusahaan software besar yang memproduksi Arc Info, ArcView dan ArcGIS). Ada ribuan programer dari berbagai negara yang bekerja di perusahaan ini. Para scholar dari berbagai negara seperti Filipina, China, Jepang, Zambia, Congo, Cameron, Africa Selatan, Slovenia, Armenia, Bulgaria, Mexico, Brazil, Uruguay, Paraguay, dan Rusia semuanya berjumlah 21 orang. Selama hampir satu bulan kami berada di Davis, sebuah kota kecil sekitar 2 jam dari San Francisco. Disini kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk menginap dibeberapa homestay (keluarga). Tinggal di homestay kelihatannya menyenangkan karena keramah tamah-
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Para scholar sehari-hari naik sepeda dari tempat tinggalnya masing-masing ke kampus, itulah yang membuat kulitku menjadi sedikit gelap. Disana saat itu sedang musim panas, panasnya begitu menyengat di siang hari dan kemudian terasa dingin di malam hari. Kota Davis memang nyaman untuk bersepeda dan pejalan kaki, pengendara mobil disini sangat menghormati mereka. Hampir disepanjang jalan sudah dibuatkan lajur khusus bagi pengendara sepeda. Saat hari minggu, kami diajak bersepeda keluar kota, melintasi pemukiman dan lahan-lahan pertanian yang luas-luas dan modern. Sebagian memanfaatkan tenaga matahari dan angin sebagai sumber energinya. Uniknya perusahaan listrik setempat akan membayar jika energi dari tenaga matahari/angin yang dihasilkan berlebih. Di kampus UC Davis banyak sekali tupai, mereka bebas berkeliaran dipohon-pohon, bahkan turun kejalanjalan dan menunggui kami saat makan siang di taman. “Kalau ditempatku ini sudah jadi makanan lezat”, kata teman dari Afrika.
Dengan mengendarai bus kampus kami diajak berkeliling kota San Francisco, kemudian menyewa sepeda dan menyeberangi Golden Gate (jembatan bersejarah yang sangat terkenal). Namun sayang kabut menutupi jembatan ini yang membuat jarak pandang kami kurang dari 50 meter, ditambah angin yang lumayan kencang sehingga kami harus ekstra hati-hati melintasi jembatan. Setelah menikmati ice cream kami masuk Ferry dan melakukan perjalanan via laut melintasi Pulau dimana penjara Alcatraz berada, penjara ini sudah ditutup dan sekarang menjadi obyek wisata. Esri International User Conference Setelah hampir sebulan di Kota Davis, suatu pagi kami terbang ke San Diego. San Diego adalah kota yang cukup besar terletak dipinggir pantai di California.Kami menginap di Hotel Ramada yang memiliki Rooftop Deck dengan pemandangan penjuru kota San Diego. Hotel ini termasuk hotel modern walau dibangun pada tahun 1913, memiliki dua lift antik dan tercanggih pada jamannya. Selama satu minggu kami mengikuti Esri International User Conference, salah satu perhelatan GIS yang sangat megah, dihadiri oleh sekitar 14.000 orang dari seluruh dunia. Pada hari pertama peserta berkumpul di satu ruangan yang sangat besar, sehingga memerlukan beberapa layar ukuran gedung bioskop untuk menampilkan sang pembicara dan tampilan presentasinya. Hari kedua dan seterusnya presentasi dilakukan dalam ruangan-ruangan terpisah, dan para peserta dapat mengikuti sesuai yang diinginkannya berdasarkan jadwal dalam buku panduan. Para scholar di jadwalkan melakukan presentasi di ruangan Conservation Demo Theater. Presentasi saya yang berjudul Deforestation at Bukit Duabelas Area mendapat giliran pertama. Kegiatan selanjutnya adalah mengikuti beberapa presentasi yang menarik, terutama dari teman-teman sesama scholar juga mengunjungi stan-stan pameran yang menunjukkan kemajuan teknologi dibidang GIS. Stan SCGIS tidak pernah sepi dari pengunjung, para scholar mendapat giliran masing-masing satu jam untuk berjaga di stan ini. Malam sebelum acara penutupan, peserta konferensi di langsir dengan menggunakan bis-bis ke tempat pesta makan malam di Balboa Park. Disediakan beberapa panggung hiburan yang menampilkan berbagai jenis aliran musik dari jazz sampai marching band, dan diberi kesempatan mengunjungi beberapa museum yang ada disana, seperti museum seni, kereta api, fotografi, taman pintar, sejarah purbakala dan sejarah dunia.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
27
28
GIS SPOT
29
Marine & Freshwater Conservation, Nuansa Laut Menakjubkan Mengikuti rombongan staf ESRI menggunakan Bis menuju Kota Redlands (sebelah utara San Diego), perjalanan ditempuh selama dua jam. Di kota kecil inilah kantor ESRI berada. Selama dua malam kami menginap di kota ini. Charles Convis, salah satu staf ESRI conservation program menjadi tuan rumah. Charles mengumpulkan barang-barang antik dan unik, sehingga rumahnya dipenuhi barang-barang antik dari seluruh dunia. Charles juga suka bereksperimen dengan listrik, garasinya dipenuhi dengan peralatan pertukangan. Perjalanan selama enam jam dari Redlands menuju Monterey menyusuri pantai California yang indah, sempat berhenti sejenak untuk menyaksikan ratusan Gajah Laut yang sedang berjemur di pasir. Monterey adalah kota yang relatif kecil, uniknya binatang seperti rusa bebas berkeliaran. Di kota ini kami menghadiri SCGIS Conference yang juga diadakan satu tahun sekali. Acara dan penginapan dilakukan di Asilomar, penginapan dipinggir pantai berkonsep cottage, terdiri dari pondok-pondok kayu bernuansa pedesaan jauh dari keramaian kota. Satu hari sebelum menghadiri acara, kami diajak berwisata. Peserta scholar dibagi menjadi dua kelompok, satu group ke pantai menaiki kano dan melakukan diving, sedangkan group yang lain mengunjungi Monterey Bay Aquarium. Dimana didalamnya terdapat berbagai jenis ikan laut, gurita, penguin, kuda laut, dan ubur-ubur. Selain melihat keindahan hewan laut, juga disuguhi berbagai atraksi teatrikal dan pemutaran film. Setiap tahun SCGIS mengadakan konferensi International. Tema tahun ini adalah “Marine & Freshwater Conservation”. Kami para scholardan profesional lainnya menyampaikan presentasi penelitian berbasis GISnya masing-masing selama 30 menit. Juga terlibat pada acara diskusi panel danAuction (acara lelang). Saya membawa gelang dan kalung Sebalik Sumpah dua set dan baju Batik Mega Mendung untuk disertakan dalam barang yang dilelang. Dalam acara pelelangan ini panitia mendapatkan dana puluhan juta rupiah yang akan dipergunakan untuk membiayai scholar pada tahun berikutnya.
DARI HULU KE HILIR
Sungai Batanghari, Swarnadwipa yang Merana
Terimakasih SCGIS yang telah meningkatkan kapasitas dan memberi pengalaman baru yang tidak akan pernah dilupakan. (Askarinta Adi)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Penambangan emas tanpa izin yang marak terjadi di Provinsi Jambi menimbulkan masalah serius terhadap keberlangsungan Sungai Batanghari , tidak hanya dampak lingkungan namun juga pemicu konflik dan baru-baru ini 2 orang masyarakat dan 1 oknum kepolisian tewas dalam bentrok penertiban PETI di Sarolangun. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
S
udah sejak abad ke-7 hingga abad ke-12 Sungai Batanghari menjadi salah satu titik perdagangan penting untuk dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Dharmasrya. Sungai seluas 500 meter ini merupakan saksi bisu jejak kejayaan kerajaan melayu. Sistem aliran sungai ini membawa deposit emas, sehingga muncul legenda yang mempopulerkan Sungai Batanghari dengan dijuluki Swarnadwipa yang dalam bahasa Sanskerta berarti Pulau Emas. Ini dibuktikan ketika sungai surut, warga acap kali menemukan guci, keramik, koin emas, cincin dan gelang emas, arca dan serta benda-benda antik lainnya berada di sungai tersebut. Konon menurut cerita benda-benda bersejarah itu tenggelam saat kapal pengangkutnya karam diserang musuh, dan cerita lainnya mereka menyelamatkan barang berharga dan menyimpannya di Sungai Batanghari. Terlepas dari cerita demi cerita yang bergulir tentang adanya sejumlah batangan emas yang disembunyikan di dalam sungai tersebut akhirnya membawa nestapa. Lihat saja kondisi Sungai Batanghari sekarang, sepanjang alirannya pertambangan rakyat merajalela atau dikenal dengan sebutan pertambangan emas tanpa izin
(PETI). Semula alat eksploitasi yang digunakan hanya sebatas dompeng, kini eskavator-eskavator sudah terlihat berjejer gagah di sepanjang aliran Sungai Batanghari. Tidak hanya kehadiran eskavator itu mengeruk, meruntuhkan dan memporak-porandakan aliran Sungai Batanghari. Namun pertambangan emas tanpa izin ini telah membuat dampak yang lebih berbahaya. Ini dikarenakan bahan beracun merkuri hingga saat ini masih digunakan secara luas dalam pertambangan emas rakyat di seluruh Indonesia. Bahan ini digunakan untuk memisahkan atau memurnikan emas yang baru ditambang dari bahan-bahan lain yang ikut bersamanya saat digali. Padahal penggunaan merkuri ini sangat berbahaya karena limbah yang larut ke dalam sungai dari pembuangan pengolahan emas ini bisa meracuni sungai yang menjadi urat nadi kehidupan manusia dan satwa dalam lingkungannya.Meski belum dipastikan berapa persentase kadar merkuri yang terkandung dalam air Sungai Batanghari tersebut, akan tetapi sangatlah mustahil daerah hulu Sungai Batanghari dengan ratusan
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
DARI HULU KE HILIR
30
dompeng tidak tercemar mercuri. Keracunan mercuri dalam kadar rigan saja bisa berpengaruh besar dalam sistem koordinasi otak. Akan menyebabkan kesemutan di bibir, lidah, jari-jari , gemetar, hingga berimplikasi menjadi sakit kepala, pikun dan masalah kooordinasi gerak dan penglihatan. Merkuri ini tidak hanya meracuni tubuh kita dengan terpapar secara langsung. Metil merkuri tertimbun di dalam tubuh ikan, dan binatang. Ikan yang hidup di dalam air yang polusi berbahaya untuk dimakan meski airnya sendiri dapat digunakan untuk mandi atau berenang. Apabila kita menelan merkuri lebih banyak daripada yang dapat dibuang oleh tubuh, merkuri dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.Ikan adalah makanan sehat, kaya protein. Ikan seringkali disebut “makanan untuk otak” karena mengandung lemak yang baik untuk otak. Ikan menjadi bagian dari menu tradisional bagi banyak orang. Tetapi bila ikan ditangkap dari perairan yang tercemar buangan usaha pertambangan atau tempat pembuangan merkuri, ikan tersebut sangat mungkin mengidap kandungan merkuri yang membahayakan kesehatan. Jerat Hukum Menanti Meskipun aktivitas penambangan emas tanpa izin ini kerap mendapatkan penolakan, baik dari masyarakat setempat maupun dari pemerintah yang kerap melakukan operasi gabungan untuk menertibkan namun tak juga membuat jera para pelaku. Berdasarkan presentasi yang disampaikan Kepolisian Daerah Jambi dalam acara sosialisasi dampak PETI bagi lingkungan, pelaku
DARI HULU KE HILIR
penambangan emas tanpa izin ini bisa dijerat dengan dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pasal 158 dengan denda pidana selama maksimal sepuluh tahun dan denda sebesar 10 miliar. Selain itu pelaku PETI juga bisa disanksi sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, pasal 58 terkait dengan perbuatan pengrusakan lingkungan dengan hukuman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan maksimal sepuluh tahun dan denda uang sebesar 10 miliar. Meskipun jerat hukum siap mengintai para pelaku namun ini ternyata tidak memberikan efek jera untuk tidak melakukan kegiatan penambangan. Yang terjadi kondisi saat ini pendangkalan Sungai Batanghari terjadi di hampir seluruh areal tangkapannya. Sehingga pada musim hujan, Sungai Batanghari tidak mampu lagi menampung air dan meluap menggenangi kawasan pemukiman, pertanian dan perkebunan penduduk. Areal tangkapan daerah aliran sungai (DAS) Sungai Batanghari seluas sekitar 4,9 juta hektar mengalami masalah yang kompleksitas. Di banyak lokasi, DAS terbesar kedua di Indonesia itu menjadi ajang penambangan dan eksploitasi hutan yang kian lama tak terkendali. Kawasan-kawasan konservasi yang dialiri Sungai Batanghari juga tak bisa bebas dari sasaran pembalakan dan perambahan liar. Jangan salahkan, jika hujan sedikit saja mengguyur, lumpur sedimentasi terbawa menuju badan sungai. Akibatnya terjadi pendangkalan dan penciutan sungai. Kalau sudah begini, banjirpun menjadi pemandangan yang lazim. (Elviza Diana/berbagai sumber) Dengan mengembangkan sawah ramah lingkungan, hasil panen yang didapat meningkat. Foto: Heriyadi Asyari/ KKI Warsi.
Simancuang Kembangkan Sawah Ramah Lingkungan
S
enyum bahagia tergambar jelas di raut wajah Edison (42), salah seorang warga Jorong Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan saat panen raya yang dilakukan baru-baru ini. Dikarenakan, hasil panennya kali ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Keberhasilan itu didapatnya setelah mengembangkan sistem pertanian ramah lingkungan. Sejak tahun lalu, Edison dan keempat rekannya Rabiul Awal, Pendra Efendi, Yasman dan Noviardi telah mengembangkan sistem pertanian ramah lingkungan untuk sawah-sawahnya. Masing-masing petani ini ratarata membuat lebih dari tiga plot percontohan secara menyebar di setiap petakan sawah yang mereka miliki.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Meski istilah sistem pertanian ramah lingkungan ini baru didengar masyarakat Simancuang, namun sudah sejak dulunya mereka tidak terbiasa menyemprotkan padi dengan pupuk buatan. Biasanya pola pertanian yang dilakukan petani di Simancuang ini hanya menyemprot racun gulma untuk membasmi rumput-rumput penggangu. Sementara pada plot percontohan sawah ramah lingkungan, Edison dan empat petani lainnya menggunakan itik sebagai pengendalian gulma. Itik-itik itu akan dilepaskan ke dalam sawah saat padi telah berumur satu bulan. Sistem pertanian seperti ini diakui para petani tersebut lebih efesien dalam pembiayaan. Mereka tidak perlu
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
31
32
DARI HULU KE HILIR lagi membeli pestisida untuk membasmi rumput-rumput pengganggu. Tidak hanya ramah kantong, hasil pertanian yang didapat juga cukup memuaskan. Bayangkan saja, jika sebelum menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan ini, rata-rata setiap hektar sawah, mereka hanya mampu memanen sebanyak 4,2 ton. Dengan penerapan sistem pertanian ini, rata-rata hasil panen yang bisa diperoleh mencapai 6,45 ton untuk setiap hektarnya. Ketertarikan Edison dan teman-temannya ini bermula dari keingintahuan mereka terhadap sistem pertanian ramah lingkungan. Ditambah lagi melambungnya harga pupuk (kimia) dan sulitnya akses ke Jorong mereka, membuat keinginan Edison dan teman-temannya mencoba mengembangkan pertanian ramah lingkungan. “Harga pupuk kimia, mahal ditambah lagi untuk mendapatkan kami harus ke pasar kecamatan yang letaknya jauh dari jorong kami,” jelasnya Sejak setahun yang lalu, Erinaldi Spesialis Green Ekonomi KKI Warsi mulai mengajak beberapa petani untuk beralih ke pertanian ramah lingkungan. Dia menjelaskan bagaimana pertanian tanpa pupuk kimia ini dapat membuat hasil panen mereka melimpah. Terbukti apa yang dijelaskan akhirnya membuahkan hasil. Tanpa menggunakan pupuk mereka memperoleh hasil yang panen yang memuaskan. Semangat kembali ke alam itu mengilhami Edison untuk membuat pupuk buatan yang berasal dari kotoran jawi (bahasa lokal sapi). Beruntungnya, para petani di Simancuang ini tidak perlu dipusingkan lagi terkait pengairan sawah milik mereka. Karena keberadaan Hutan Lindung Bukit Karang Hitam yang selama ini terjaga mampu mengairi seluruh sawah yang berada di jorong ini. Hutan Lindung Bukit Panjang Karang Hitam mengelilingi Jorong Simancuang, yang berada di lembah yang disekelilinginya merupakan kawasan perbukitan hijau dan rimbun. Masyarakat Jorong Simancuang sangat percaya dengan menjaga hutan berarti mereka bisa terselamatkan dari bencana, diantaranya longsor dan kekeringan. Dan saat ini sekeliling kawasan lindung Bukit Panjang Karang Hitam seluas 580 hektar telah ditetapkan menteri kehutanan sebagai kawasan hutan nagari. Longsor di kawasan Bukit Panjang Karang Hitam di sebelah barat jorong, menjadi salah satu titik balik masyarakat untuk menetapkan aturan ketat dalam membuka kawasan hutan dan menebang pohon. Masyarakat sepakat tidak boleh menebang kayu dan membuka lahan di Bukit Panjang. Pembukaan lahan hanya boleh dilakukan di kaki-kaki bukit. Sampai saat ini
aturan ini dianggap sebagai aturan adat dan masih berlaku. Sejauh ini, aturan ini tidak pernah dilanggar oleh masyarakat Simancuang, jika pun ada orang luar yang mencoba menebang pohon di bukit ini, masyarakat Simancuang akan cepat memberitahu dan menghentikan aktifitasnya. Daerah-daerah yang bertetangga dengan Simancung telah mengetahui aturan ini dan turut mematuhinya. Bagi masyarakat Simancuang menjaga hutan artinya menjaga kehidupan. Ini dikarenakan dengan kearifan lokal untuk tidak merusak hutan, berarti mereka terhindar dari bencana. Begitupun dengan sistem pertanian ramah lingkungan, bagi mereka menjaga keberlanjutan yang selaras dengan alam adalah hal yang baik untuk diterapkan. Tidaklah sulit bagi Edison dan keempat rekannya mengawali proyek percontohan pertanian ramah lingkungan ini. Karena hampir semua masyarakat di jorong ini sepakat dengan aturan-aturan yang berdampak baik bagi lingkungan. Saat ini, padi hasil panen yang mereka peroleh masih dihargai Rp 10 ribu untuk setiap sukek nya (1 sukek=1,6 kg). Ke depannya, mereka berharap ada unit usaha bersama milik jorong yang akan memasarkannya, sehingga harganya pun semakin kompetitif mencapai Rp 12 ribu untuk setiap sukeknya. “Kami saat ini sedang membentuk unit usaha semacam koperasi milik jorong yang bakal membantu memasarkan hasil panen sehingga harganya menjadi lebih baik,” imbuh Erinaldi Selain itu, hasil pertanian ramah lingkungan ini juga nantinya akan diupayakan mendapatkan sertifikasi. Sehingga nilai jualnya menjadi lebih tinggi dan menguntungkan petani. Pasalnya hasil panen padi ramah lingkungan setelah dijual dalam bentuk beras langsung terserap pasar. Selain itu, karena pamor beras ramah lingkungan yang semakin tinggi, harganya di pasaran jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan padi biasa. Kini petani di Jorong Simancuang mulai merasakan manfaat dari sistem pertanian ramah lingkungan. Paling tidak, untuk musim tanam kali ini ada beberapa plot percontohan lagi yang dibuat untuk sistem pertanian ramah lingkungan ini. Kehadiran padi ramah lingkungan dari Jorong Simancuang ini diharapkan memberikan sumbangsih bagi Kabupaten Solok Selatan yang dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Sumatera Barat. Dan masyarakat Simancuang tak perlu lagi dipusingkan dengan melonjaknya harga pupuk kimia, belum lagi aksesnya dengan medan berat cukup sulit untuk sampai ke pasar Nagari Alam Pauh Duo. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
WAWANCARA
Mempertanyakan Keberpihakan Pemerintah Terhadap Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
T
arget nasional untuk pemanfaatan hutan skala kecil seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 49/Menhut-II/2011 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional adalah sebesar 10 juta hektar hingga tahun 2014 dalam bentuk pola hutan kelola masyarakat, hutan tanam rakyat dan hutan desa. Sementara yang terealisasi saat ini hanya mencapai 105.580 hektar, dimana jumlah ini hanya sebesar 1,05 persen dari target yang ingin dicapai tiga tahun ini. Sementara itu Provinsi Jambi, sebagai Provinsi yang memiliki jumlah luasan hutan kelola masyarakat terluas di Indonesia, yaitu seluas 52.521 hektar, dan angka ini merupakan 0,5 persen dari capaian nasional. Disusul kemudian dengan Provinsi Sumatera Barat dengan luasan hutan nagari mencapai 1.738 hektar. Untuk mencapai target yang demikian besar ini tentu saja diperlukan berbagai upaya strategis untuk mendorong pengembangan program hutan kemasyarakatan dan hutan desa di lapangan, baik itu yang menyangkut kebijakan, kelembagaan, infrastruktur, dan lain sebagainya. Disamping itu, persoalan yang terkait dengan angka target pengembangan PHBM yang cukup besar adalah tidak mudahnya mengalokasikan kawasan hutan yang benar-benar bebas dan bersih. Sejauh ini sebagian besar kawasan hutan Negara telah dipenuhi oleh berbagai izin pemanfaatan baik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanam Industri (HTI) , perkebunan, maupun pertambangan, yang antara satu dengan lainnya kadang saling tumpang tindih. Situasi semacam ini menjadi kendala tersendiri dalam pencapaian target nasional pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Berikut wawancara ekslusif dengan Prof. San Afri Awang, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga, serta Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Sejak kapan gerakan-gerakan pro rakyat dalam bidang kehutanan ini mulai dilirik oleh pemerintah? Sebenarnya sejak tahun 1968-1970 an sudah mulai ada gerakan-gerakan pro rakyat yang dilakukan pemerintah dalam bidang kehutanan. Bentuknya adalah kemitraaan antara Badan Usaha Milik Negara dengan rakyat. Bentuk yang ada saat itu, seperti Perum Perhutani, namun karena pemerintah tidak memiliki kewenangan secara penuh untuk ikut dalam pengelolaannya, ini juga tidak menjawab masalah kehutanan yang ada. Dan menimbulkan masalah baru, seperti tanah hanya diduduki oknum-oknum pemain yang memang memiliki tanah dalam jumlah besar, sehingga tujuannya untuk kesejahteraan
Afri Awang, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga. Foto : Heriyadi Asyari/KKI Warsi
masyarakat secara keseluruhan tidak tercapai. Hingga sejak 2007, mulailah digaung-gaungkan lagi pengelolaan hutan bersama masyarakat dalam skema-skema Hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat serta kemitraan yang kesemuanya ada aturanaturannya. Melihat minimnya hak kelola masyarakat. Bagaimana pandangan bapak, keseriusan pemerintah terhadap PHBM? Kalau dilihat dari normatif tidak ada keraguan bagi kita untuk menyatakan bahwa pemerintah serius mengenai pembangunan kehutanan yang pro masyarakat. Banyak peraturan yang dibuat di kementerian kehutanan yang mengarah ke arah itu. Misalnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melahirkan Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Kemudian di dalam peraturan pemerintah itu melahirkan pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat harus ada pengaturan menteri terkait dengan Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD) dan kemitraaan. Tiga-tiganya sudah ada aturannya, ditambah ada Hutan Tanam Rakyat (HTR) menjadi empat. Skema alat menuju pembuktiaan pro rakyat atau tidak, empatnya sudah ada semua. Itu kan secara normatif yang dituangkan di dalam rencana strategis pembangunan kehutanan lima tahun di bawah arahan menteri kehutanan. Prinsipnya sudah, itu yang diketahui teman-teman HKM dan HD ditargetkan 2,5 juta hektar/lima tahun rata-rata 500 ribu per tahun 2010-2014. HTR ditargetkan 2 juta hektar. Maksudnya di dalam rencana itu disebut HTI dan HTR ditargetkan 2 juta hektar dari 2010-2014, sebenarnya tidak disebut HTR itu berapa, tapi HTI dan HTR. Artinya
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
33
34
WAWANCARA
WAWANCARA Sebenarnya untuk siapakah PHBM ini ditawarkan? PHBM itu untuk masyarakat lokal yang menduduki lahan itu sudah dalam waktu yg lama untuk kehidupan yg rata-rata subsisten. Itu yang kita berikan legalitas. Untuk pendatang baru datang gerombolan kemudian bikin kerusuhan tidak mungkin kita berikan legalitas. Itu harus dilakukan penegakan hukum. Walaupun dalam prakteknya, sepanjang masyarakat lokalnya membolehkan mereka ada disitu, mereka ada itu. Ya, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi dibanyak tempat, masyarakat lokalnya malah konflik dengan pendatang. Namun tidak ada penyelesaiannya, pemerintah daerah nya relatif menyelesaikan hanya untuk cari aman, poldanya juga begitu apalagi mesayarakat lokalnya dalam posisi yang lemah.
Banyaknya persoalan terkait dengan target pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat menimbulkan tanda tanya besar terhadap keseriusan pemerintah terhadap hak kelola masyarakat tersebut. Foto Heriyadi Asyari/KKI Warsi
mana yang cepat aja yang mengusulkan maka dia yang lebih banyak.HTI yang cepat mengusulkan HTI yang lebih banyak, atau sebaliknya. Hingga saat ini HTR sudah mencapai 700 ribu dari dua juta mudah-mudahan sampai 2014. HTR itu prestasinya sudah cukup menurut saya, mudah-mudahan sampai 2014 besok sampai menjadi target satu juta hektar.Artinya sudah 50 persen, karena memang disebutnya HTI dan HTR, jadi bukan HTR saja. Yang menjadi persoalan di dalam implementasi, HKM dan HD. Publik melihat tidak serius juga, karena sedikit. Sekarang kita lihat mengapa sedikit, kita sadari itu menetapkan 2,5 juta untuk HD dan HKM. Dan 2 juta HTR dan HTI itu kan dasarnya semangat tanpa memeriksa bagaimana kondisi hutan sebenarnya. Karena sebelum ada HTR, HKM dan HD, kan sudah HPH, HTI sudah ditunjuk dimana-mana, yang pro rakyat datangnya belakangan. Pernyataan di dalam restra dengan pengaturan ruangnya itu kadang kala tidak begitu pas. Sehingga dalam perjalanan,hanya bisa penunjukkan peta indikatif ke seluruh daerah Indonesia, ini loh daerah yang cocok untuk HD, HKm dan HTR. Dari peta indikatif itu kan disebar di Provinsi dan Kabupaten. Karena tidak banyak yang merespon, ya sudah berjalan seperti adanya. Begitu ada yang mengusulkan, ladeni aja. Apa sesungguhnya yang menjadi batu sandungan terhadap minimnya usulan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini?
Itu sebenarnya yang menggangu dalam program PHBM ini, membuat kita meningkatkan kehati-hatian. Bukan kita tidak mau, buktinya toh jalan terus. Tiap bulan , tiap minggu ada yg ditandatangani menteri. Menteri hanya meningkatkan kehati-hatian jangan sampai salah memberikan. Kalau masyarakat lokal betul, Menteri berkali-kali menegaskan akan memperjuangkan mereka. Seperti suku anak dalam, tapi kalau menghadapi kelompok, serikat-serikat petani, ya siapa mereka?
Respon dari pemerintah daerah kurang. Mungkin beberapa provinsi ada yang merespon, misalnya Jambi yang merespon baik tapi yang lain tidak. Sejak 2010 awal, peta indikatif disebar di Indonesia, daerah tidak merespon, ini loh kami mau ini ga begitu. Menjawab tidak, diambangkan tapi muncul yg kecil-kecil.Yang kita layani yang kecil-kecil. Jadi yanfg kita layani banyak, tapi kecil.
Jambi kan paling banyak serikat petani. Itu yang mengotori perjuangan kami ke arah pro rakyat itu.Bukan berarti menteri tidak mau menandatangani, tapi siapa yang bisa membuktikan kebijakan tersebut benar-benar tepat sasaran? Menteri tidak bermaksud untuk memperlambat apa-apa, kecuali meningkatkan kehati-hatian saja, jangan sampai di kemudian hari ini memicu konflik karena tidak tepat sasaran.
Tadi bapak mengatakan, kalau sebenarnya respon dari pemerintah daerah dan masyarakat sendiri yang minim terhadap konsep PHBM yang ditawarkan. Apa yang menjadi penyebabnya? Tidak respon saja, apakah masyarakat menilai PHBM bukan sebagai solusi. Bisa jadi bacaan orang seperti itu, tapi bacaan nasionalnya sudah tidak ada jalan lain, tanah2 sudah diduduki rakyat. Kalau kita kerjakan dengan kekerasan tidak menyelesaikan masalah, lebih baik kita bangun kesejahteraan. Niatnya kan begitu, kamu tidak usah diusir di situ saja kerjakan saja dengan baik dan kami kasih legalitas. Kan kalian anak bangsa juga, dikasih hak kelola selama 35 tahun dan 60 tahun. Ijin ini bisa diperpanjang silahkan saja.Untuk kasus yang sudah menduduki itu pasti solusi, tapi urusan pendatang-pendatang baru memang maksudnya tidak di situ. Pendatang-pendatang baru kan adanya belakangan.Dari wilayah lain datang ke Jambi terus menduduki lahan negara. Kalau yang seperti ini kan orang nakal, kalau yang model begini diminta skema PHBM bukan tujuan kita dari awalnya.
Setelah menteri kehutanan melakukan penetapan areal, lalu dukungan seperti apa yang diberikan pemerintah sehingga tujuan akhir dari PHBM menuju kelestarian hutan sejalan dengan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan? Ini juga Problematis, Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintah daerah, lalu keluar Peraturan Pemerintah Nomor 38 turunannya. Membagi habis tugas dan wewenang pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait dengan pengelolaan hutan. Semua urusan pemberdayaan masyarakat di hutan lindung dan konservasi sudah diserahkan ke pemerintah daerah. Dibuktikan izinpun sudah dikeluarkan gubernur dan bupati, artinya tersangkut juga pendanaan itu konsekuensi Peraturan Pemerintah nomor 38. Sehingga kemenhut ini tugasnya hanya mencadangkan saja, kalau terkait dengan pemberdayaan langsung ke pemerintah daerah. Di kementerian kehutanan anggaran tidak dibolehkan. Ini kan sudah otonomi, jadi semuanya memang harus diserah-
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
kan ke daerah. Ini menjadi dilematis, karena kekuatan ekonomi di daerah itu berbeda-beda. Dalam konteks kacamata akademis, dua-duanya harus bertanggung jawab, pusat bertanggung jawab bersama-sama dengan pemerintah daerah tetapi keduanya jangan melanggar hukum. Sehingga Peraturan Pemerintah Nomor 38 itu harus diubah lagi, disesuaikan lagi dengan pengalaman. Ini yang menjadi problem dasar dari anggaran. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa, misalnya daerah itu tidak punya dana, silahkan mengkomunikasikan dengan pusat bahwa anggaran itu tidak ada. Tapi masalahnya tidak ada juga daerah yang mau mengomunikasikan hal tersebut. Dari segi konsep, ketika sesuatu itu sudah atas nama ijin, maka sesungguhnya kewajiban pemerintah itu sudah lepas. Misalnya sesudah swasta dapat ijin, memangnya ada swasta yang dapat dana dari pemerintah. Konsep ini tidak semua orang memiliki pandangan yang sama. Pasti ada yang tidak setuju kalau masalah pemberdayaan masyarakat berbeda dengan izin yang diberikan ke swasta. Namun secara hukum dan anggarannya, sama. Jadi kalau sudah dapat izin artinya merdeka. Terserah pengelolaannya nanti seperti apa. Namun ada peraturannya untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Itupun dalam artian terbatas. Terkait proses pendampingan, sampai terbentuk dan melayani sampai dalam pemberian areal kerja. Tapi ketika membuat RKT,RKU, RPHD bukan urusan pemerintah pusat lagi. Namun untuk dana-dana rehabilitasi masih dikucurkan lewat Badan Pengelolan Daerah Aliran Sungai.(Elviza Diana)
Biodata Nama Lengkap : Prof.Dr.Ir. San Afri Awang, M.Sc Tempat tgl. lahir: Lampung, 1 April 1957 Riwayat Pendidikan 1982 Fakultas Kehutanan UGM 1977 M. Sc Wageningen Agricultural University Disiplin Ilmu Hutan Kemasyarakatan-Perencanaan Hutan-Kebijaksanaan Hutan-Sosiologi Hutan Pengalaman kerja Sejak 1990 menjadi dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Mengajar dan membimbing mahasiswa di s2, s3 kehutanan UGM program studi lingkungan Universitas Indonesia. 2009 s/d sekarang merangkap sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementrian Kehutanan. 2009-2015 Ketua Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
35
SUARA RIMBA
36
Besudut ke Perguruan Tinggi
“
Bagaimana aku melewati tesan ya. Akeh hopi tokang,” ujarnya kala ditanya tentang soal-soal yang tengah dipelajarinya guna menghadapi ujian Minggu (21/7) ini. Besudut anak rimba yang akan ikut Ujian Masuk Bersama (UMB) Perguruan Tinggi 2013 ini, terlihat cukup cemas untuk menghadapi tahapan lanjutan yang akan dihadapinya. Namun dengan bantuan dan dukungan fasilitator pendidikan Warsi, ia terus diyakinkan untuk bisa melewati tahapan pendidikannya ini. Kecemasan Besudut bisa dimaklumi, dia merupakan pemuda rimba perdana yang akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Warsi yang sudah mendampingi Besudut sejak awal ia mengenal huruf dan angka, tentu juga berusaha supaya dia bisa melewati ujian masuk perguruan tinggi ini dengan baik. Secara kemampuan Besudut mungkin bisa dibilang pas-pasan. Maklumlah sekolah yang dijalani Besudut tergolong unik dan berbeda dengan anak-anak lainnya yang menempuh jalur pendidikan yang sama.Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil, beberapa waktu yang lalu Besudut berhasil lulus UMB Universitas Jambi dengan pilihan pertamanya PGSD. Terkait pilihan ini, Besudut mengutarakan kalau dia sangat ingin menjadi guru bagi komunitasnya kala menamatkan pendidikannya kelak, sungguh cita-cita yang mulia kala kini, masih banyak anak-anak rimba yang belum disentuh pendidikan formal. Apa yang diperoleh Besudut saat ini melalui jalan proses panjang yang mengharu biru. Sebelum terdaftar disekolah formal Bedusut merupakan salah satu murid pendidikan alternatif yang diselenggarakan Warsi di wilayah Makekal. Perjuangan dan perjalanan panjang serta pasang surut kehidupan dijalani Besudut. Setelah mengikuti pendidikan alternatif bersama Warsi, Besudut sempat keluar rimba dan hidup bersama
SUARA RIMBA
Besudut (tengah), satu-satunya anak rimba yang berhasil mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
masyarakat kampung dan disekolahkan di sekolah dasar. Pada suatu waktu setelah tamat SD dan masuk SMP Besudut kembali ke rimba untuk berkumpul dengan keluarganya. Hingga kemudian pada 2009 Besudut bertemu dengan fasilitator pendidikan Warsi dan berharap bisa menjembataninya untuk melanjutkan pendidikan. Itulah kemudian ia dimasukkan ke SMP 14 SP B Bangun Serenten Muara Tabir Kabupaten Tebo yang pada waktu itu menyelenggarakan program SMP terbuka. Dengan model pendidikan di SMP terbuka tetap memberi Besudut peluang untuk tinggal bersama keluarganya di Bernai yang bisa ditempuhnya dengan menggunakan sepeda motor atau berjalan kaki sejauh 10 km. Setelah menamatkan SMP, Warsi kembali mengadvokasikan supaya Besudut bisa diterima di SMA paket reguler. Dari advokasi Besudut diterima di SMA 14 Tebo yang berjarak sekitar 15 km dari Bernai. Dengan kondisi yang demikian Besudut difasilitasi untuk bisa tinggal di SPA dan lebih dekat dengan sekolahnya. Kini setelah proses panjang tersebut, Besudut harus kembali membuktikan bahwa pilihan yang ditempuh ini berguna untuk dirinya dan komunitasnya di rimba. Menjalanai hari-hari sebagai seorang mahasiswa merupakan bagian dari mimpinya yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab dan semangat. Semangat yang sama ketika dia berhasil melewati jalur pendidikan formal selama lebih kurang dua belas tahun. Besudut juga berharap jejaknya akan bisa ditiru dengan kawan-kawan lainnya di rimba. Sehingga menurutnya ilmu pengetahuan mereka miliki bisa sama dengan masyarakat di luar. “Orang Rimba tidak bisa ditipu lagi karena memiliki ilmu yang sama dengan orang luar. Misalnya di tanah garo, banyak yang menipu orang rimba, misalnya jernang sekilo cuma dikasih kain satu sampai duo keping. Padahal jernang harganya 500 ribu,” sebutnya.(Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Kematian dua ekor Singa dan satu Harimau Sumatera di Kebun Binatang Taman Rimba Jambi yang diindikasikan karena diracun, semakin memperburuk citra kebun binatang dalam merawat satwa-satwa liar tersebut.Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Bagaimana Kita Merawat Satwa?
K
ebun binatang seyogya menjadi rumah kedua yang nyaman bagi berbagai satwa yang ada di dalamnya. Meski rumah kedua ini tidak bisa mengalahkan kenyamanan habitat aslinya di hutan. Peran kebun binatang dalam konservasi dan edukasi dipertanyakan seiring munculnya berbagai kasus salah urus hingga kematian hewan dalam beberapa tahun terakhir. Akhir Agustus lalu, dua ekor singa afrika dan seekor harimau sumatera mati di Kebun Binatang Taman Rimba Jambi. Kematian tiga ekor binatang ini diduga disebabkan daging yang terkontaminasi racun. Kejadian itu tentu saja menambah keprihatinan kita terhadap bagaimana sikap kita memperlakukan satwasatwa yang ada di kebun binatang. Tidak hanya menjadi tontonan, satwa-satwa ini memiliki hak untuk hidup dengan standar kesejahteraannya. Namun yang terjadi berdasarkan hasil survei yang dilakukan Profauna sejak tahun 2000 lalu menemukan hampir 90 persen satwa di kebun binatang Indonesia hidup di bawah standar kesejahteraan hewan. Hingga tahun 2013 ini tidak ada perubahan berarti, satwa masih saja hidup dengan serba kekurangan. Berdasarkan standar kebebasan
satwa, ada lima ukuran satwa bisa dinilai sebagai satwa yang sejahtera atau sebaliknya yaitu: bebas dari rasa lapardan haus, bebas dari rasa takut, bebas dari rasa sakit,luka dan penyakit, serta bebas dari rasa stres. Tidak hanya ProFauna yang menyimpulkan rendahnya tingkat kesejahteraan di kebun binatang, dari hasil pemantauan PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia), sebanyak 40 persen dari 46 kebun binatang yang ada di Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan. Ini menunjukkan gagalnya sebagian besar kebun binatang di Indonesia dalam peran konservasi dan edukasi bagi masyarakat. Menampik stigma negatif tersebut, Kebun Binatang Taman Rimba Jambi terus berupaya untuk meningkatkan perannya dalam hal konservasi dan edukasi bagi masyarakat. Sejak disahkannya melalui Peraturan Gubernur Jambi nomor 29 Tahun 20009 menjadi unit pelaksana teknis daerah, Kebun Binatang Taman Rimba jambi mulai membenahi dan menciptakan rumah kedua yang nyaman untuk satwa penghuninya. Merawat sebanyak 256 satwa di areal seluas kurang lebih tiga hektar ini
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
37
38 38
SUARA RIMBA
SUARA RIMBA
39 39
Peran Edukasi Kebun Binatang Kebun Bintang bukanlah ibarat kebun atau taman yang hanya berfungsi sebagai sarana rekreasi bagi manusia untuk melepas lelah dan mendapatkan hiburan. Suatu kebun binatang harus mempunyai strategi pendidikan yang tertulis dan aktif dalam program pendidikan bagi masyarakat untuk melindungi satwa di dalam habitatnya. Ada banyak informasi yang seharusnya bisa didapat pengunjung terkait denngan nama ilmiah satwa, sifat-sifat dan prilaku satwa serta makanan alami dan untuk satwa langka dan dilindungi juga perlu diberikan pengetahuan bagi masyarakat agar turut berpastisipasi menjaganya. Informasi yang diberikan kepada masyarakat ini terkait status konservasi satwa dijelaskan keberadaan satwasatwa tersebut dan ancaman yang dihadapinya. Ini bisa terkait dengan populasi yang semakin menurun, dikarekan kehilangan hutan dan perburuan yang dilakukan. Selama setahun terakhir ini, Kebun Binatang Taman Rimba Jambi mengaku telah melakukan kunjungan ke beberapa sekolah baik di tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Perguruan tinggi dan masyarakat umum di wilayah Provinsi Jambi sebanyak 643 kali kunjungan. Peran edukasi kebun binatang diharapkan dalam upaya melindungi satwa-satwa tersebut di habitatnya yang sesungguhnya. Elviza Diana/KKI Warsi
bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Ditambah Lagi dengan hanya 14 animal keeper(perawat binatang) dan satu orang dokter hewan tampaknya sangat sulit merealisasikan standar kesejahteraan untuk satwa-satwa yang ada di dalamnya. Pemberian makan dan minum merupakan poin utama dari standar kesejahteraan yang teramat penting diperhatikan. Dengan alokasi dana sebesar Rp 500 juta setiap tahunnya, bisa dibayangkan ini tidak akan mencukupi untuk keseluruhan satwa yang ada. Makanan dan air adalah keperluan mendasar. Pemberian makanan seharusnya diberikan sedemikian rupa menyamai dan disesuaikan dengan kebiasaan dan prilaku alami satwa tersebut. Begitupun dengan keperluan gizi dan nutrisi, yang berbeda tergantung dari musim, dan jenis satwa. Tidak hanya makanan, lingkungan tempat hidup satwapun harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap satwa. Tempat hidup mereka harus termasuk tempat berteduh dari basahnya hujan, dari panas matahari, dingin dan tempat bernaung yang cocok. Misalnya, untuk satwa yang kebiasaannya menggali lubang di tanah, harus diberi fasilitas untuk membuat lubang. Satwa yang bersifat memanjat, harus diberikan fasilitas memanjat tiga dimensi (keatas, kesamping dan ke bawah). Satwa harus diberikan kesempatan menggerakkan otot badan
mereka. Suatu keseimbangan harus didapatkan untuk memberikan fasilitas tersebut dengan memperhatikan soal hygigene (kebersiahan) dan kebutuhan biologi satwa. Suhu, ventilasi hawa, sinar alami dan suara di dalam kandang harus disesuaikan dengan kenyamanan dan kebaikan masing-masing satwa.(Disarikan dari Indonesian Society For Animal Welfare (ISAW)) Terkait dengan fasilitas ini, Ir Adrianis selaku Kepala Kebun Binatang Taman Rimba Jambi menyebutkan bahwa selama ini dengan jumlah staff yang ada pihaknya bisa melakukan upaya perawatan dengan maksimal.”Untuk pemberian makan kita lakukan dua kali sehari, sementara pengecekan kesehatan satwanya setiap hari dilakukan. Satwa diberikan obat cacing, vitamin dan makanan tambahan,” jelasnya. Disiplin dan ikatan emosional yang tinggi menjadi hal penting dalam merawat satwa-satwa tersebut. Ini yang selalu ditekankan Adrianis kepada para petugas kebun binatang. Kejadian lepasnya harimau dari kandangnya beberapa bulan yang lalu, menunjukkan sedikit apapun keteledoran dari petugas akan berdampak besar. “Saya selalu katakan kepada seluruh pegawai di sini untuk selalu mengutamakan disiplin. Karena sedikit saja ada kelalaian akan berakibat fatal,” lanjutnya.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Diakui pihak Kebun Binatang Taman Rimba Jambi bahwa selama ini edukasi yang dilakukan masih terbatas. Selain kunjungan rutin yang dijadwalkan satu kali setiap tahunnya, mereka juga hanya memberikan pemahaman dan pengenalan satwa jika ada sekolah atau pengunjung yang ingin mendapatkan info lebih banyak. Belum ada staff khusus yang ditugaskan rutin untuk mengenalkan satwa-satwa tersebut kepada pengunjung selain papan label yang dipasang di masing-masing kandang berisi nama latin satwa. Ketidaktahuan pengunjung untuk tidak memberikan makanan luar yang tidak sesuai dengan persayaratan makanan yang layak untuk satwa akan berakibat fatal. Tidak hanya menimbulkan penyakit bahkan kematian pada satwa pemberian makanan tersebut akan memicu perubahan tingkah laku pada satwa. Perlu disadari betapapun para satwa ini diberikan fasilitas yang nyaman di kebun binatang, namun habitat aslinya hutan merupakan harapan sesungguhnya untuk mereka dapat hidup tenang di sana. Manusia sebagai penguasa alam dan menikmati menjadi makhluk istimewa penghuni alam itu sendiri, seharusnya juga memberikan hak istimewa kepada satwa untuk mereka menikmati hidupnya bebas di alam tanpa interpensi dan batas manusia. Mereka tetap saja merindukan hutan untuk menikmati hidup sebagai satwa yang sesungguhnya.(Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
40
AKTUAL
AKTUAL
Hutan Adat Sarolangun Terancam
Kegiatan lokakarya menggali aspirasi dan menyatukan persepsi untuk implementasi PHBM di Kabupaten Sarolangun. Foto Djoko Sutrisno/KKI Warsi
M
eskipun angin segar bagi masyarakat untuk mengelola hutan mulai berhembus, namun kekhawatiran masih saja menghantui masyarakat dengan kehadiran HTI maupun perkebunan berskala besar yang akan berdampak pada masyarakat sekitar. Seperti yang dialami masyarakat Desa Berkun Kecamatan Limun yang sejak setahun lalu mengajukan surat penolakan terhadap rencana izin IUPHHK HTI PT Gading Karya Makmur dan PT Hijau Artha Nusa. Kepala Desa Berkun Paisal menyebutkan ada beberapa alasan mereka menolak kehadiran HTI di desanya. Pasalnya sebelum areal rencana izin IUPHHK HTI PT Gading Karya Makmur, areal tersebut merupakan hak kelola masyarakat sejak lama dan terdapat kebun-kebun karet milik mereka.“Disano, ado kebun-kebun karet kami, dan terdapat juga tanaman-tanaman buah serta kuburankuburan lamo tempat nenek bunyut kami,” sebutnya. Dia juga menambahkan kehadiran HTI tersebut juga berdampak buruk pada Hutan Adat Bathin Betuah seluas 98 hektar yang telah ditetapkan dalam SK Bupati Sarolangun Nomor 206 tahun 2010. “Hutan adat kami terancam, padahal keberadaan hutan adat ini untuk kepentingan masyarakat guna melinungi hulu air untuk irigasi areal sawah dan sumber air bersih,” ungkapnya. Untuk diketahui, PT HAN yang sudah mendapatkan izin di Lubuk Bedorong dan PT GKM, saat sedang dalam proses. Di areal tersebut tercatat ada sebelas hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat Pengulu Laleh (128 ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat Pengulu Patwa (295 ha), hutan adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati (78 ha), hutan adat Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan adat Imbo Lembago (70 ha). Warsi menilai, jika areal hutan adat tersebut tidak segera dikeluarkan dari rencana izin dua HTI tersebut, maka ini akan menambah daftar panjang konflik pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jambi. “Sebaiknya kawasan hutan adat yang masuk dalam areal izin HTI dikeluarkan saja. Jika tidak ini akan memicu konflik,” sebut Rakhmat.
Tidak hanya kehadiran dua HTI Itu, kawasan karst Bukit Bulan, Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, juga terancam akan kehadiran tambang dan pabrik semen. Pembukaan areal tambang untuk produksi semen pada tahap awal ini akan dilakukan pada areal seluas 5.000 hektar yang mencakup lima desa: Napal Melintang, Mersip, Merbung, Berkun dan Renah Alai. Jika rencana ini terealisasi pastinya bentangan alam karst yang berbukitbukit yang merupakan hamparan Bukit Barisan Sumatera Bukit Bulan yang dilindungi pemerintah melalui peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 sebagai kawasan geologi unik dan rentan akan terancam rusak. Sementara itu, ada lebih dari 100 goa beraliran sungai bawah tanah aktif serta tujuh mata air untuk pengairan sawah dan keperluan rumah tangga. Padahal pemerintah kabupaten Sarolangun menetapkan Bukit Bulan sebagai kawasan hulu lindung yang hanya boleh untuk pertanian tradisional dan pariwisata alam. Tertuang dalam peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2004 yang masih berlaku. Ketidaktegasan sikap pemerintah terlihat dengan terus melenggangnya perlahan namun pasti sosialisasi analisis dampak lingkungan sebuah perusahaan tambang yang akan memproduksi seman digelar baru-baru ini. Berpacu Hak Kelola Masyarakat Meskipun berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam terus gencar di Kabupaten Sarolangun. Akan tetapi ini tidak menyurutkan langkah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sarolangun menunjukkan komitmen pro rakyat. Terbukti saat ini Dinas Pekebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun sedang mengajukan permohonan izin areal kerja hutan desa dengan luasan mencapai 57.462,50 hektar.Angka ini merupakan sekitar 23 persen dari luas keseluruhan kawasan hutan di Kabupaten Sarolangun yang berjumlah 252. 377, 81 hektar. Usulan hutan desa tersebut dengan rincian tiga desa di Kecamatan Limun yaitu, Desa Lubuk Bedorong, Desa Berkun, dan Desa Napal Melintang dengan total luasan 21.787 hektar. Sementara itu di Kecamatan Batang Asai, ada enam desa yang juga dalam proses pengajuan permohonan izin areal kerja hutan desa seluas 35.675, 50 hektar berada di Desa Batin Pengambangan, Desa Tambak Ratu, Desa Muara Air Dua, Desa Sungai Keradah, Desa Simpang Narso dan dan Desa Batu Empang.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Ini disampaikan, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun melalui Kepala Bidang Penataan Kawasan Hutan Muhammad Wahyudi dalam LokakaryaMenggaliAspirasi, MenyatukanPersepsidanAksiuntukMengimplementasikanSkema-SkemaPengelolaanHutanBerbasiskanMasyarakat di KabupatenSarolangun yang digagas KKI Warsi bekerjasama dengan Disbunhut Kabupaten Sarolangun. “Kita sudah mengimplementasikan kebijakan strategis pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Saat ini tercatat ada sekitar 57.462,50 hektar yang akan diusulkan menjadi hutan desa. Sementara di Sarolangun juga ada 18.840 hektar dalam skema hutan tanaman rakyat (HTR), dan ada juga hutan kemasyarakatan di Kecamatan Mandiangin,” paparnya. Ditambahkan Wahyudi di Kabupaten Sarolangun, masyarakat telah lebih dulu mempraktekkan skema pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat melali hutan adat. Saat ini kawasan hutan adat yang tersebar di lima desa di Kecamatan Limun telah dikuatkan dengan Keputusan Bupati Nomor 206 tahun 2010 tentang pengukuhan kawasan Hutan Adat Bukit Bulan”Bathin Jo Pengulu”dengan total luasan 1.368 hektar. Dari berbagai proses fasilitasi yang dilakukan, Rakhmat Hidayat Direktur KKI Warsi menyampaikan beberapa peluang dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. PHBM menjadi program strategis kementerian kehutanan serta adanya dukungan anggaran pemerintah pusat yang memadai merupakan salah satu peluang dalam pengembangan PHBM. Ditambah lagi adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2013 tentang hutan adat juga membuka lebar pintu PHBM itu sendiri. Namun demikian, pengusulan PHBM ini juga masih belum semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai tantangan menjadikan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan tak berjalan mulus. Informasi regulasi skema PHBM belum merata ditambah lagi belum terintegrasi dengan baik dukungan fasilitasi, anggaran dan program dari pemerintah membuat terseoknya program PHBM. “Dari pengalaman kawan-kawan di lapangan, ada banyak tantangan yang dihadapi diantaranya dinamika sosial di masyarakat, ketidakjelasan batas wilayah desa, belum lagi tekanan terhadap kawasan hutan membuat sulit proses pengusulan,” katanya. Terkait dengan proses birokrasi yang panjang dan berbelit, Prof San Afri Awang Staff Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga menegaskan bahwa di kementerian kehutanan akan langsung memproses setiap usulan yang masuk.” Kami ini posisinya menunggu bola, jika usulannya semua sudah lengkap verifikasi sudah bisa dilakukan paling lambat satu bulan,” sebutnya.(Elviza Diana)
Anak Rimba Belajar Linux
D
i mana ada kemauan di sana pasti ada jalan. Barangkali ungkapan itu bisa menggambarkan bagaimana perjuangan yang dilakukan anakanak rimba untuk bisa keluar dari keterbelakangan yang mereka rasakan selama ini. Anak rimba sudah mampu mematahkan rintangan dan kesulitan yang menghalangi mereka untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Saat ini ratusan anak rimba telah mencicipi pendidikan di bangku sekolah formal. Mulai dari belajar di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menegang Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan ada pula yang sudah masuk ke Perguruan Tinggi (PT). Ini adalah prestasi besar bagi kelompok Orang Rimba. Selain aktif mencari ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan formal, anak rimba juga mengejar ilmu pengetahuan di luar jam sekolah. Sehingga meski berasal dari dalam rimba yang sangat minim teknologi, namun ternyata sebagian anak rimba telah mampu mengoperasikan teknologi modern. Kesuksesan itu mereka dapatkan melalui kerja keras dan semangat pantang menyerah untuk mengejar kertinggalan mereka di pedalaman rimba. Salah satu bentuk partisipasi dan keseriusan anak rimba mencari ilmu pengetahuan terlihat dalam pelatihan Open Source Linux yang diampu oleh Ahmad Safrudin, dari Artikulpi, Jakarta, Selasa-Kamis (11-13) September 2013 lalu. Pelatihan ini, selain diikuti oleh staf IT WARSI dan pengelola radio Benor FM, juga diikuti oleh dua anak rimba yang saat ini menjadi penyiar. Beteguh, salah satu anak rimba terlihat antusias selama mengikuti pelatihan tersebut. Di depannya terbentang monitor yang sedang menyala. Namun, tak terlihat wajah canggung saat ia mengoperasikan komputer. Jarinya sibuk memainkan mouse. Klik sana dan klik sini. Tanpa kenal lelah, ia berusaha mencerna perintah yang diberikan oleh instruktur pelatihan. Meski lahir dan besar di dalam rimba ternyata ia punya hasrat besar untuk mampu menguasai teknologi modern tersebut. Jadi, siapa bilang anak rimba rimba masih gagap teknologi (gaptek) ? Beteguh sudah membuktikan hal itu. Ia nyatanya mampu menguasai teknologi seperti anak-anak lain yang tinggal di luar rimba. Ketika ditemui di sela-sela pelatihan, Beteguh tampak malu-malu. Namun, ia kembali bersemangat ketika di-
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
41
42
AKTUAL tanya kenapa ia tertarik mengikuti pelatihan itu. Sedikit demi sedikit dia mulai terbuka dan menuturkan harapan yang ia niatkan sehingga mengikuti pelatihan itu. “Aku mau jadi penyiar radio Benor. Kalau jadi penyiar harus biso program lagu-lagu seperti yang diajarkan di pelatihan,” katanya. Sejak mengikuti pelatihan, ia sudah bisa menguasai teknik memotong lagu-lagu hingga mengganti layar di monitor. Namun, ia mengaku seringkali merasa kesulitan mencerna semua materi karena kebanyakan tulisan yang di komputer menggunakan bahasa Inggris. “Kalau cuma motong-motong lagu sudah bisa sedikitsedikit, tapi agak sulit. Kareno bahasonyo lah lain. Banyak yang idak paham,” kata Beteguh. Ia semangat mengikuti setiap materi agar bisa menjadi penyiar radio yang bagus. Sebab dengan aktif di radio ia bisa menyampaikan pesan-pesan orang rimba kepada pemerintah. Sehingga kebutuhan mereka bisa diperhatikan. Selain ingin jadir penyiar terkenal, ia juga bercita-cita akan menjadi peneliti agar bisa lebih jauh mengenalkan budaya dan kehidupan mereka ke dunia luar.
“Aku ingin jadi peneliti untuk menyebarkan adat istiadat Orang Rimba. Kalau selamo ini orang lain yang meneliti, kalau besok-besok kami ingin menyebarkan sendiri,” ujar Beteguh.
AKTUAL
Sementara manager Benor FM Andi Agustanis mengatakan, pelatihan yang melibatkan anak rimba itu itu bertujuan untuk membekali para staf IT dan pengelola Benor FM. Termasuk memberi bekal kepada para voluntir dari anak-anak rimba yang sehari-hari menjadi penyiar di Benor FM. Dalam pelatihan itu mereka diajarkan bagaimana menyusun play list hingga editing dasar untuk audio. Karena materi-materi itu merupakan kebutuhan dasar yang harus mereka kuasai selaku penyiar radio. Melalui penguasaan semua materi pelatihan itu diharapkan anak-anak rimba bisa lebih terampil dalam mengoperasikan radio komunitas. “Pesertanya selain diikuti oleh staf IT dan pengelola radio, ada juga dua orang anak rimba yang selama ini menjadi volunter penyiar,” ungkapnya. Pihaknya sengaja melibatkan anak rimba dengan harapan mereka juga mampu dan mengerti cara pengoperasian saat melakukan siaran di radio komunitas. Setelah mengikuti pelatihan itu mereka diharapkan bisa menguasai open source, audio city, DJ counsul, maupun sound cloud. “Ini sebenarnya baru pengenalan dasar saja untuk kader penyiar anak rimba. Nanti akan lebih diperdalam lagi di studio,” ujarnya. (AS)
Peningkatan kapasitas anak rimba dalam penguasaan komputer dengan pemberian pelatihan Linux dan pemetaan yang dilakukan di kantor KKI Warsi baru-baru ini. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Gubernur Jambi Hasan Basri Agus menyerahkan 12 Hak Pengelolaan Hutan Desa di lapangan Desa Rantau Suli, Kecamatan Sungai Tenang, Kabupaten Merangin langsung diterima Bupati Merangin Al Haris. Foto: Heriyadi Asyari/KKI Warsi
Geliat Hutan Desa di Provinsi Jambi
Gubernur Serahkan 17 HPHD
S
ulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika kawasan hutan makin menghilang dari muka bumi. Yang jelas, bencana pasti akan mengancam karena ekosistem yang tidak dilestarikan dengan baik. Sehingga santernya isu kehancuran hutan akibat kehadiran perusahaan HTI, ekspansi kelapa sawit dan pertambangan, serta aksi perambahan liar di Provinsi Jambi mengusik para pencinta lingkungan dan masyarakat yang peduli terhadap kelestarian alam. Sementara pelestarian dan perlindungan hutan secara global banyak disuarakan oleh berbagai negara. Sehingga sangat tidak pantas jika kita sebagai pemilik paru-paru dunia mengabaikan seruan itu. Kondisi itu kemudian mendorong munculnya upaya legalisasi pengelolaan hutan yang lestari oleh masyarakat melalui pengembangan Hutan Desa. Di tengah tingginya angka kehancuran hutan di Jambi, daerah ini masih memiliki prestasi membanggakan sebagai pelopor pengembangan hutan desa dan memiliki hutan desa terluas se-Indonesia. Perluasan Hutan Desa di Jambi terus bergeliat. Jumlah Hutan Desa semakin bertambah dalam rangka melestarikan hutan Jambi yang masih tersisa. Rabu (21/8) sebanyak 17 Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kembli diserahkan oleh
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) di lapangan Desa Rantau Suli, Kecamatan Sungai Tenang, Kabupaten Merangin. Sebanyak 17 HPHD itu tersebar di beberapa lokasi. 12 lokasi berada di Kabupaten Merangin, 2 lokasi di Kabupaten Bungo, dan 3 lainnya di Kabupaten Batanghari, seluas 36.170 ha. Dengan ditandatanganinya SK Gubernur terkait HPHD, saat ini di Jambi ada 18 Hutan Desa yang telah memiliki HPHD. Namun, kawasan kelola masyarakat yang diakui negara ini masih terpaut jauh dibandingkan dengan pengelolaan hutan yang melibatkan perusahaan. Di Jambi saat ini terdapat 18 perusahaan HTI definitif, de-ngan areal kelola 663.809 hektar, selain itu juga masih ada yang sudah mendapatkan areal pencadangan seluas 110.755 hektar, dan yang telah direkomendasikan gubernur seluas 79.066 hektar. Sehingga total areal untuk HTI mencapai 853.430 hektar. Luasan ini sudah hampir seperlima wilayah Jambi, sementara hak kelola masyarakat dalam skema Hutan Desa belum sampai 1 persen dari luas Provinsi Jambi. Menurut gubernur, dengan adanya penyerahan HPHD kepada masyarakat di tiga kabupaten itu, diharapkan dapat memacu terjadinya peningkatan perekonomian masyarakat. Pengembangan kawasan Hutan Desa
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
43
44
AKTUAL
AKTUAL
45
Anak Rimba Audiensi dengan Gubernur Jambi
B Kunjungan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus melihat hasil-hasil hutan bukan kayu yang dikelola oleh kelompok pengelola hutan desa. Heriyadi Asyari.KKI Warsi
yang terwujud dengan kerjasama bersama KKI Warsi dan lembaga terkait lainnya tersebut juga diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat dalam menjaga kawasan hutan yang ada di Provinsi Jambi. “Kalau bisa jangan sampai hutan yang masih ada diserahkan pada pengusaha. Ini adalah salah satu upaya kita untuk penyelamatan hutan,” Sementara Direktur Bina Perhutanan Sosial Hariadi mengatakan, Hutan Desa Lubuk Beringin yang ada di Jambi merupakan hutan desa generasi pertama di Indonesia. Melalui Hutan Desa, ia berharap akan memberika akses legal kepada masyarakat dalam mengelola hutan. Akses legal yang bisa diberika kepada masyarakat bisa berbentuk Hutan Desa atau Hutan Kemasyarakatan (HKM). Hanya saja, di Jambi lebih cocok dikembangkan Hutan Desa sesuai dengan tipologi dan keinginan masyarakat setempat. “Saya berharap di Jambi ini masih ada penambahan perluasan Hutan Desa atau HKM. Mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan NGO bersama-sama mengawal. Karena hutan desa akan menjadi sumberdaya ekonomi rakyat untuk kesejahteraan mereka,” ungkapnya. Sebagai dukungan terhadap perluasan Hutan Desa, pihaknya akan memberikan bantuan untuk kebutuhan masyarakat terkait pengelolaan Hutan Desa dan HKM. Bantuan yang diberikan bisa dalam bentuk sarana produksi. Jika semua pihak saling bersinergi, ia optimis pengembangan Hutan Desa akan berhasil dengan baik. “Pemerintah akan mengawal, tidak membiarkan saja. Sumberdayanya ya desa itu sendiri. Tapi kalau kita kawal para pihak, Insyaallah akan berhasil,” tandasnya.
Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat mengatakan, dengan telah diserahkannya HPHD kepada masyarakat oleh gubernya Jambi diharapkan akan menjadi penyemangat dan pendorong mereka untuk melakukan pengelolaan yang lebih baik. Terkait hal itu, Warsi menyambut baik ditandatanganinya HPHD yang akan menjadi salah satu instrumen untuk otonomi pengelolaan oleh masyarakat, resolusi konflik, serta untuk menjamin kepastian hak dan keadilan tenurial hutan bagi masyarakat yang sumber kehidupannya berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. “Selain itu juga diharapkan akan menjadi pendorong untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jadi tidak sekedar manfaat hutan yang terjaga tapi ada manfaat langsung yang dirasakan masyarakat,” ungkapnya. Menurut Rakhmat, setelah penandatanganan HPHD itu hendaknya ada solusi tindak lanjut. Sehingga dibutuhkan sinergi antara Kemenhut dan dukungan Pemda agar upaya pembangunan pengelolaan hutan yang lestari dan masyarakat sejahtera benar-benar dapat diwujudkan. “Sekedar HPHD saja tidak cukup. Karena harus diikuti juga dukungan pendanaan, peningkatan kapasitas masyarakat, penyelesaian tata batas serta penyederhanaan prosedur oleh pemerintah agar semuanya bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya. Namun demikian, dia mengaku optimis pengembangan Hutan Desa akan menjadi solusi bagi persoalan yang selama ini sering dialami oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. “Karena dengan hutan desa masyarakat akan legal mengelola hutan selama 35 tahun dan itu bisa diperpanjang lagi,” paparnya. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
elasan anak rimba yang berasal dari kelompok Kedundung Muda, Air Panas, dan Pamenang, kemarin (09/09) melakukan audiensi dengan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA). Anak-anak rimba yang didampingi Warsi dan guru-guru dari sekolah formal tempat mereka belajar diterima gubernur Jambi di rumah dinas sekitar pukul 10.30 WIB. Dalam audiensi ini gubernur mengaku akan lebih memperhatikan persoalan pendidikan anak-anak Rimba di Provinsi Jambi. Saat ini sekitar 400 lebih anak rimba sudah memiliki kemampuan baca, tulis dan hitung. Proses pendampingan pendidikan pun telah menyentuh berbagai aspek, termasuk advokasi kebijakan pendidikan terhadap Orang Rimba. Dalam hal ini KKI Warsi mencoba mendorong negara untuk ikut terlibat aktif memberikan layanan pendidikan formal yang spesifik bagi Orang Rimba. Ditemui usai audiensi, Gubernur Jambi mengatakan, pihaknya ke depan akan lebih memperhatikan permasalahan yang selama ini dihadapi Orang Rimba. Terutama terkait pendidikan dan peningkatan ekonomi Orang Rimba. Gubernur berjanji akan memberikan perhatian serius kepada anak-anak rimba yang saat ini sudah mengeyam pendidikan di sekolah-sekolah formal. Baik yang sedang sekolah di tingkat SD, SMP, SMA, maupun di Perguruan Tinggi (PT). Terkait hal itu, ke depan Pemprov Jambi akan selalu melakukan pembinaan dan memberikan bantuan pendidikan kepada Orang Rimba. “Sekarang ini kita akan mencoba pola yang dilakukan oleh Warsi untuk mendidik mereka. Tenaga gurunya nanti juga akan kita biayai,” kata HBA. Gubernur menambahkan, ia mengaku prihatin melihat kehidupan Orang Rimba yang saat ini semakin terdesak. Sehingga adanya kemauan anak-anak rimba mengikuti pendidikan formal perlu didukung untuk menyelamatkan masa depan mereka. Untuk merealisasikan itu Pemprov akan melibatkan pihak Bappeda, Sosnakertrans, dan Dinas Kehutanan. Saat ini pihaknya masih memikirkan bagaimana konsep pemberian bantuan untuk biaya pendidikan dan peningkatan ekonomi mereka. “Karena sekarang kita sudah tahu mereka sudah tidak tinggal di suatu tempat lagi. Mereka sudah tinggal di dekat desa, ada juga yang meminta-minta di jalan. Per-
Temu muka anak-anak rimba dengan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus untuk mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Orang Rimba saat ini, khusunya pendidikan dan peningkatan perekonomian mereka.Heriyadi Asyari/KKI Warsi
soalan ini akan coba kita tangani bekerjasama dengan Warsi,” ungkapnya. Menurut gubernur, pemberian beasiswa adalah salah satu bentuk perhatian yang akan diberikan Pemprov Jambi. Ia memastikan pada tahun 2014 persoalan yang dihadapi oleh orang Rimba akan ditangani secara khusus. Baik dari segi pendidikan sampai ke peningkatan perekonomian keluarga mereka. “Kasihan mereka sampai minta-minta di pasar. Untuk itu nanti kita akan melakukan perpaduan dengan konsep mereka, maunya dia bagaimana?” katanya. Sementara Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat mengatakan, Warsi selama ini telah mendorong pendidikan alternatif bagi Orang Rimba. Namun, ke depan tidak lagi sebatas itu tapi harus lebih baik lagi dibandingkan keberhasilan yang telah dicapai selama ini. “Dulunya kita mendorong baca, tulis, hitung. Tapi sekarang kita akan kembangkan konsep yang baru, tidak lagi hanya baca, tulis, hitung, namun juga bagaimana mereka bisa masuk ke dalam pendidikan formal. Dan saat ini ada orang rimba yang sudah kuliah,” ujarnya. Selain memperhatikan persoalan pendidikan Orang Rimba, pihaknya juga melakukan upaya peningkatan ekonomi Orang Rimba. Hal itu dilakukan dengan mendorong pemerintah agar mengalokasikan kawasankawasan hutan yang masih tersisa untuk tempat berpenghidupan bagi Orang Rimba. Sehingga mereka tidak kehilangan sumber daya alam untuk mempertahankan hidup. “Selain untuk tempat mereka mencari penghidupan, ini juga bagian untuk mengamanankan, mempertahankan budaya dan kearifan lokal mereka,” tandasnya. (Hermayulis)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
MATAHATI
46
Pemukiman orang akit di Penyalai, yang hingga saat ini masih bergulat memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang masih termarginalkan.Foto: Huzer Apriansyah/KKI Warsi
Orang Akit, Orang Rimba dan Sisi Lain Nusantara
K
ayu rapuh penyangga dermaga berderak saat kapal berlabuh. Dermaga tua itu menjadi penanda ketibaanku. Anak-anak melambaikan tangan, petugas pelabuhan masih sibuk mencatat, entah apa yang mereka catat. Sementara penyedia jasa ojek lalu lalang mencari penumpang. Tiba-tiba dermaga yang semula syahdu kini gaduh. Di ujung cakrawala, mentari mulai rebah, cahaya keemasannya yang memantul di permukaan laut menimbulkan kilau silau. Akhirnya kujejak, Penyalai. Ya, nama itu mungkin tak sering didengar, justru karena itu aku bergairah menjejaki pulau kecil bergambut ini. Sebuah daerah di pulau bernama Pulau Mendol dan masuk wilayah Propinsi Riau. Tujuh suku dan etnis bersaling silang kepentingan di pulau ini. Terbesar adalah orang akit (mereka lebih suka menyebut diri sebagai suku asli) dan suku Melayu, di luar itu ada suku Jawa, Bugis, Minang, Batak dan etnis Tionghoa. Penyalai memang bukan tempat wisata yang molek dengan pantai pasir putih atau sajian tradisi. Tapi, justru dalam ketiadaan itulah aku melihat wajah Indonesia lebih jelas dan indah. Indonesia yang kusaksikan dalam keindahan dan beragam “jualan” wisata lainnya kadang hanya menampakkan kamuflase. Semua serba panggung. Tapi tidak di Penyalai, semua mengalir begitu saja. Tak ada tradisi yang “dibangkitkan dari kubur” hanya untuk menangguk wisatawan. Tak ada pula orang suku asli yang dirias agar bisa menarik perhatian wisatawan. Semua berjalan biasa saja.
Nama Penyalai, samar saja kudengar. Tapi entah mengapa menginjakkan kaki di pulau kecil ini, membuatku yakin bahwa Indonesia itu memanglah ada. Penyalai tak sibuk dengan hiruk pikuk pembangunan infrastruktur seperti di kota-kota besar di nusantara. Hanya sebuah pasar tua, sebuah dermaga yang tak bisa dikata muda serta jalan kecil bersemen yang melintasi pulau. Hanya itu infrastruktur penting di Penyalai. Aku menelusuri jalan semen itu, taklah lebar, mungkin sekitar 1,2 meter saja. Cukuplah untuk dua kendaraan roda dua berpapasan. Memang tak ada kendaraan bermotor roda empat sama sekali di Penyalai. Di sisi barat pulau, tepatnya di Selungkup dan Tanjung Medan hidup orang akit, namun mereka menolak dikenali sebagai orang akit, lebih nyaman dikenali sebagai suku asli. Orang akit di Penyalai menurut penuturan Pak Ahmad (Adik Pak Keramat, sesepuh orang akit) memiliki hubungan yang sangat dekat dengan orang akit yang banyak hidup di Pulau Rupat, Bengkalis. Nenek moyang orang akit yang ada di Penyalai, adalah mereka yang tidak puas dengan keadaan di Rupat lalu berlayar mencari penghidupan yang lebih baik, hingga sampailah di Penyalai. Menyelisik sejarah orang akit sesungguhnya sangat terhubung dengan sejarah kerajaan Siak yang mashur. Salah satu legenda yang paling diyakini orang akit, nenek moyang mereka adalah orang-orang yang ditugaskan raja Siak untuk mengumpulkan kayu-kayu ter-
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
MATAHATI
Laut, sebagai sumber penghidupan sekaligus identitas orang akit tidak lagi ramah dengan mereka akibat perubahan iklim yang terjadi. Foto: Huzer Apriansyah/KKI Warsi
baik guna membangun balai pesta pernikahan anak raja ketika itu. Berlayarlah mereka sampai ke pulau-pulau kecil, mengumpulkan kayu terbaik untuk pesta anak sang raja. Maka sebagai penghargaan, raja memberikan keleluasaan pada nenek moyang orang akit untuk membangun kehidupan yang lebih baik di pulau-pulau kecil yang ada, terutama Pulau Rupat. Ada berbagai versi lain menyangkut legenda orang akit ini, termasuk legenda bahwa Rupat yang menjadi pusat orang akit sebenarnya diambil dari kata Pulau Bertukar Tempat, lalu dalam pengucapan yang cepat dan lugas menjadi rupat. Konon nenek moyang orang Akit menjauh dari Sumatera daratan karena ancaman binatang buas seperti harimau dan juga gajah. Di pulau-pulau kecil tentu harimau dan gajah tak bisa menyebrang. Asyik mendengarkan kisah dari Pak Ahmad membuat aku lupa waktu. Temaram senja mulai menggelayuti Penyalai. Kabut hitam tipis mulai menyeruak, tanda hujan akan datang. Sebelum berpamitan pulang pria gagah dengan rambut yang memutih namun penuh wibawa itu bertutur lembut, “Kalau dilihat sepintas kami ini nampak sejahtera, tapi kalau anak mau tinggal bersama kami sebulan saja, anak akan tahu betapa sulitnya hidup kami.” Terperanjat mendengar kata-kata itu. Sepintas orang Akit di Penyalai memang nampak sudah sangat baik kehidupannya. Rumahnya rapih dengan papan-papan berkualitas sebagai dinding dan seng atau genteng sebagai atap. Bahkan sebagian rumah sudah berdinding semen dan berlantai halus. “Anakanak disini memang bisa sekolah lancar sampai SD, tapi sudah susah kalau masuk SMP apalagi kalau untuk sekolah SMA. Jaraknya jauh, uangpun kami tak ada,”
suara Pak Ahmad terdengar bergetar sembari memandangi anaknya yang tengah menyepak bola di halaman rumah. Tak sanggup berkata apa-apa, tak pula tahu bagaimana cara bereaksi. Aku hanya terdiam membeku. Tak lama Pak Ahmad menyarankan kami segera pulang ke pusat kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya karena langit makin gelap dan kilat sesekali mulai berkelebat. Di perjalanan pulang aku berjumpa dengan seorang anak orang akit yang sedang mencari rame-rame (sejenis kepiting). Wajahnya lusu, kulitnya gelap melekat dengan tatapan tajam pasat. Dua orang temannya nampak lebih mirip keturunan Tionghoa. Aku berhenti sejenak dan mencoba mengajaknya bercakap. Ternyata anak itu pernah bersekolah namun berhenti karena malu. Ia tak banyak bicara, hanya tatapan matanya saja yang seolah berbicara. Tak jauh dari tempat perjumpaan dengan anak-anak itu, nampak sebuah sekolah dasar dari kayu yang mulai menua. Bentuknya seperti rumah panggung tapi dengan tiang-tiang pendek. Kupikir ini cara mereka menghindari banjir ketika pasang laut naik. Pikiranku bergemuruh, seratus satu tanya mencuat. Mencoba merasakan apa yang anak-anak orang akit rasakan. Sekian lama diabaikan kehadirannya, hanya karena mereka berbeda, dilabeli dengan berbagai label yang tak menyenangkan; pemalas, jorok, tak beradab dan berbagai label menyakitkan lainnya. Paling tidak itu yang kudapat dari penyedia jasa ojek yang kugunakan. Orang akit memang memiliki cara hidup dan adat yang relatif berbeda dengan suku lain seperti Melayu. Insting
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
47
48
MATAHATI dasar mereka dalam memenuhi kebutuhan adalah berburu dan menangkap ikan. Mereka juga terbiasa hidup berlama-lama di atas sampan atau biasa juga dikenal dengan kajang. Pantas saja kalau ada perbedaan yang mencolok dengan orang melayu yang cederung agraris. Keyakinan religius mereka juga berbeda.
yang hidup mengandalkan keseimbangan dan harmoni ekologis tentu saja akan menghadapi guncangan hebat manakala habitat mereka berubah secara drastis. Buruan semakin langkah, penyakit semakin sulit mereka atasi dengan perangkat pengobatan khas mereka. Di sisi lain musim buah menjadi tak pasti lagi.
Ah, betapa tak mudahnya menjadi orang Akit, terasing di tanah sendiri dan kerap menjadi olok-olok suku dominan lainnya. Belum lagi ruang hidup mereka yang terus dijarah baik oleh individu yang punya kuasa atau oleh korporasi yang tak ramah.
Remayo, menjadi lebih sering terjadi. Remayo adalah sebutan bagi musim di mana makanan sangat terbatas bahkan nyaris tak ada. Musim dimana kehidupan menjadi sangat berat, penyakitpun biasa datang bertubi-tubi.
Kisah terasing di tanah sendiri dan tercampak oleh keserakahan juga dialami oleh orang rimba, yang banyak hidup di hutan dataran rendah Jambi. Terutama di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Tanah merah merekah di akhirJuli yang kering. Sehamparan luas tanah diratakan oleh alat berat, lahan hutan tanaman industri (HTI) orang-orang menyebutnya. Tak bersisa pohon-pohon hanya hamparan terbuka sepanjang mata memandang. Di sisi lain cakrawala, sehamparan luas perkebunan sawit yang menghijau menjadi penanda hilangnya kelebatan hutan hujan tropis di dataran rendah Sumatera. Lain orang akit lain pula orang rimba. Jika orang akit mengandalkan laut sebagai ruang hidup maka orang rimba menjadikan hutan sebagai penyangga hidup dan kebudayaan mereka. Hutan adalah penghidupan sekaligus identitas. Meski berbeda, orang akit dan orang rimba tak jauh nasib. Kehidupan mereka dikoyak oleh keserakahan manusia akan lahan. Perusahaan datang bergelombang mencabik hutan mereka. Di sisi lain harga diri mereka dicampak oleh pelabelan menyakitkan yang menahun. Kubu ! Begitu kata yang mengidentikkan mereka dengan berbagai hal buruk; kumuh, dekil, terbelakang, kasar dan berbagai hal lainnya. Luka sejarah yang sungguh membuat orang rimba terpuruk. Apakah kini semua sudah berakhir ? belum. Orang rimba masih terus mencari jalan melawan pelabelan itu. Semoga suatu saat kelak orang rimba bisa berkata “Panggil Kami Kubu !” Persis saat mereka bisa menjungkirbalikkan pelabelan buruk yang menyertai kata itu. “Halam kamia la rubuh,” begitu kalimat yang kudengar dari Temenggung Marituha, pemimpin orang rimba yang ada di Timur TNBD. Alam kami telah hancur, begitu kirakira maknanya. Alam yang tak hanya bermakna biologis atau fisik yang berarti kehancuran hutan, tapi juga kehancuran alam yang bersifat spiritual, hancurnya adat mereka diterjang perubahan zaman. Orang rimba tanpa rimba, mungkin itu yang kelak akan terjadi ketika ruang hidup mereka babak bingkas oleh kerakusan akan lahan untuk dieksploitasi. Orang rimba
Sebuah petang di akhir bulan pertama aku bersama anak-anak rimba di rombong Terab mencoba mengeja huruf dan menulis angka. Ada gairah, ada canda dan ada tawa kala itu. Satu persatu anak-anak itu menyebut citacitanya. Ada yang bercita-cita ingin menjadi guru, ada yang ingin menjadi lokoter (guru), bahkan ada yang ingin menjadi polisi hutan. Ah, harapan dan impian memang harus selalu ada dan dijaga meski masa depan kadang terasa gelap gulita. Di lain waktu aku mendengar Beteguh, anak rimba, membaca puisi yang ia karang sendiri. Ia bicara tentang hutan mereka yang berganti sawit, tentang sungai mereka yang keruh dan mengering dan tentang masa depan mereka yang gelap gulita. Orang rimba sadar bahwa ancaman terhadap mereka begitu nyata dan luar biasa. Mereka tak diam, mereka melawan tapi dengan cara yang sangat pelan. Sedikit demi sedikit anak mereka mulai bersekolah. Ratusan dari mereka kini bisa mengeja aksara dan merafalkan angka-angka. Suatu masa kelak orang rimba akan melawan dengan mata pena, mereka akan melawan dengan kalimat yang tajam dan menghujam ke pusat-pusat kekuasaan. Dunia akan menaruh hormat dan simpati pada perjuangan mereka. Percalayah, jalan tengah diretas dan pada masanya kita semua akan menyaksikan perlawanan itu. Airmata dan luka yang dirasakan orang akit dan orang rimba telah menjadi teorema dalam jalan panjang sejarah mereka. Apakah mereka akan layu diterjang zaman atau justru menghunus perlawanan dengan cara baru. Hanya waktu yang bisa menjawab itu. Di saat republik ini tengah berlomba mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi, saat benih demokrasi tumbuh mekar dan ketika arus modal mengalir deras, sayang banyak sisi nusantara yang justru terserak dan tercampak. Mereka seolah tak menjadi pemilik sah negeri ini. Akankah suku-suku kecil dan marjinal seperti orang akit dan orang rimba harus terus menanggung beban berat dari kehancuran daya dukung ekologis serta kejamnnya perubahan zaman yang melindas identitas mereka. Akankah kita membiarkan orang akit dan orang rimba hilang secara berlahan, tinggal legenda yang pada akhirnya akan disapu waktu? (Huzer Apriansyah)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
MATAHATI
49
Potensi Cadangan Karbon di Hutan Lambuang Bukik
D
alam dua decade terakhir, perubahan iklim global akibat meningkatnya suhu permukaan bumi menjadi isu yang ramai dibicarakan. Perubahan iklim merupakan fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia, terutama yang berkaitan dengan pen-ggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer. Diantara gas-gas tersebut adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut dinamakan gas rumah kaca (GRK) dan pengaruh yang ditimbulkan dikenal dengan efek rumah kaca yang selanjutnya menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan global ini terjadi secara bertahap dan dampaknya sudah bisa dirasakan sekarang. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, kosentrasi salah satu GRK penting yaitu CO2 di atmosfer baru 290 ppmv (part per million by volume), saat ini telah mencapai 350 ppmv. Jika konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat 580 ppmv. Akibatnya dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata bumi akan meningkat hingga 4,5 0C dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya (Murdiyarso, 2003). Diantaranya adalah menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, penyebaran hama dan penyakit tanaman, meningkatnya permukaan air laut, munculnya penyakit-penyakit baru dan lainnya. Peningkatan konsentrasi gas rumahkaca (GRK) di atmosfer merupakan akibat dari pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya penebangan dan pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10 persen dari emisi CO2 di dunia (CDM Watch, 2003)
Perlunya upaya penyelamatan pada hutan hujan tropis mengingat potensi karbon yang ada di kawasan hutan dengan tutupan yang masih bagus tersebut cukup menjanjikan.
Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan system penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2 ) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Sebagian besar unsur hara di hutan hujan tropika terikat di dalam karbon tegakan, sehingga jika dilakukan kegiatan penebangan maka ekosistem akan banyak kehilangan unsur hara. Oleh karena itu, besar karbon yang keluar dari hutan harus diimbangi dengan penambahan karbon dalam hutan. Dalam kajian ini, pendugaan jumlah total karbon di bagian atas permukaan tanah di hutan hujan tropika dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik yang ada. Diharapkan dengan menggunakan metode ini akan mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan, mengurangi biaya, tidak membutuhkan ba-nyak tenaga kerja, serta mengurangi kerusakan pohon.
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
KAJIAN
50 Hutan hujan tropis Lambuang Bukik merupakan hutan lindung bukit barisan I yang terdapat di Sumatera Barat. Hutan Lambuang Bukik ini tergolong hutan tropik dataran rendah (tropical lowland rain forest) yang terletak pada ketinggian 500-650 mdpl. Berdasarkan kondisi fisik dan bentuknya, Hutan Lambuang Bukik merupakan hutan alam yang termasuk hutan sekunder. Hal ini ditandai dengan adanya daerah terbuka dibeberapa tempat dan telah menjadi hutan rakyat atau parak. Hutan Lambuang Bukik berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan karena letaknya berbatasan langsung dengan hutan rakyat atau parak. Pengukuran terhadap biomasa dilakukan untuk mengetahui berapa besar jumlah karbon yang tersimpan di dalam hutan dan pengaruhnya terhadap siklus biogeokimia. Untuk itu sejumlah usaha dilakukan untuk mengukur jumlah biomasa di hutan tropika dengan cara membuat model-model yang dapat memperkirakan kontribusi deforestasi hutan tropika dan pembakaran biomassa terhadap peningkatan emisi gas C02 di atmosfer. Salah satunya adalah pendugaan jumlah total karbon di bagian atas permukaan tanah di hutan hujan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi cadangan karbon di atas permukaan yang ada di Hutan Lambuang Bukik, Kotamadya Padang, Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2013 di hutan Lambuang Bukik Kotamadya Padang, Sumatera Barat. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengambilan data sekunder. Data sekunder ini dilakukan berdasarkan beberapa penelitian potensi karbon yang telah dilakukan salah satunya adalah penelitian penghitungan potensi cadangan karbon di hutan Pinang-pinang. Keberadaan Hutan Pinang-pinang ini tidak jauh dari lokasi Hutan Lambuang Bukik. Persamaan vegetasi, ketinggian, lokasi dan kondisi lahan, dianggap data mewaliki potensi cadangan karbon yang ada di daerah hutan Lambuang Bukik. Hasil pengukuran potensi cadangan karbon yang dilakukan di hutan Pinang-pinang didapatkan dari data hasil pengukuran tegakan hutan alam yaitu pohon, pohon rebah (nekromassa), serasah kasar, dan tumbuhan bawah. Metoda pengukuran yang dilakukan adalah dengan allometrik. Berdasarkan hal di atas maka dapat diduga potensi cadangan karbon yang ada di Hutan Lambuang bukik adalah 165 ton C/ha. Tinggi rendahnya jumlah cadangan karbon pada suatu lahan ditentukan oleh bentuk lahan, keragaman spesies tanaman, tinggi rendahnya berat jenis spesies tanaman, kerapatan tegakan atau pohon dan diameter tegakan. Tingginya nilai potensi cadangan karbon yang ada di Hutan Lambuang Bukik dipengaruhi oleh tingginya kerapatan tegakan atau pohon, banyaknya tegakan atau pohon yang memiliki diameter diatas 80 cm, banyaknya pohon dengan berat jenis yang tinggi dan tingkat keragaman tegakan cukup tinggi.(Eva, Tim Pokja PHBM Sumbar)
Memenjarakan Rakyat Melalui UU P3H
2006 dan terus mengalami penurunan. Justru perusakan hutan beralih pola dari illegal loging menjadi perusakan hutan dengan dengan kedok legalisasi perizinan seperti HTI, HPH, perkebunan dan pertambangan yang menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan. Sebenarnya UU Kehutanan mengatur penegakan hukum terhadap pelanggaran di bidang kehutanan. Begitu juga UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengendalian Lingkungan Hidup mengatur sanksi terhadap perusak lingkungan. Persoalan sebenarnya adalah Kemenhut dan aparat penegak hukum setengah hati untuk menjerat pelaku perusakan hutan dan lingkungan. Lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan menjamurnya praktik KKN dan barter perizinan antara pemerintah dan pengusaha jelas semakin mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan. Bukti kerusakan hutan, bencana alam, kabut asap setiap tahunnya adalah kegagalan pemerintah dalam mengelola kelestarian hutan dan lingkungan. Kriminalisasi
RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) sejatinya akan berimbas pada masyarakat lokal yang selama ini sudah berada di kawasan hutan negara sejak lama akan dikriminalisasikan.
W
akil rakyat kembali membuat kejutan. Setelah hingar-bingar pengesahan RUU Ormas, seminggu kemudian wakil rakyat mensahkan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Meskipun hujan protes dan kritik pedas terhadap RUU ini, tidak mengurangi niat anggota DPR untuk mensahkan menjadi UU. Jika kita elaborasi lebih dalam banyak muatan RUU P3H yang mengadobsi UU Kehutanan. Misalnya pasal 50 ayat (3) huruf c mengatakan “setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”. Kalimat ini ditemukan dalam pasal 12 huruf a RUU P3H. Begitu juga kalimat “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan” dalam pasal 50 ayat (3) huruf h UU Kehutanan juga mewarnai UU P3H. Jadi untuk apa UU P3H ini jika pengaturan yang sama sudah ada dalam UU Kehutanan. Kenapa tidak memaksimalkan UU Kehutanan dan kewenangan yang sudah ada. Kegagalan Sejatinya UU P3H dibuat untuk memberantas illegal loging. Padahal illegal loging telah mengalami penurunan dari 80 persen di tahun 2001 menjadi 40 persen tahun
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
UU P3H lebih mengedepankan unsur kriminalisasi karena lebih banyak mengatur sanksi pidana yag ditujukan kepada masyarakat, perseorangan dan korporasi. Dari 12 Bab dan 114 Pasal terdapat 27 pasal pidana yaitu pasal 82 sampai pasal 109. Terhadap pelanggaran yang dilakukan korporasi, selama ini Kemenhut cenderung berbaik hati dan memaafkan dengan cara mengeluarkan izin pinjam pakai sehingga terbebas dari jeratan hukum. Bagaimana dengan masyarakat? Selama ini masyarakat cenderung di kriminalisasi dan diabaikan hak-haknya. Masyarakat yang berkegiatan atau berada dikawasan hutan tanpa izin Menhut akan di pidana. Wujud kriminalisasi ini dikuatkan melalui UU P3H. Kenyataannya masyarakat sudah berkegiatan di dalam dan sekitar hutan. Kemenhut mencatat ada 31.957 desa didalam dan sekitar kawasan hutan, 71,06 persen diantaranya menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Lahirnya UU P3H tentu akan menjadi petaka bagi masyarakat yang selama ini sudah berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Walaupun masyarakat sudah hidup turun-temurn dan bergantung kepada hutan, akibat penerapan UU P3H masyarakat terancam dipidana. Pembangkangan Konstitusi Konstitusionalitas penguasaan kawasan hutan oleh negara sudah ada putusan MK yang mengaturnya. Seharusnya Putusan MK dijadikan pedoman karena MK
menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945. Disamping itu Putusan MK bersifat final berarti tidak ada upaya hukum lainnya dan mengikat bagi seluruh penyelenggara negara termasuk pembuat UU P3H ini. Menelisik substansi UU P3H jelas legislator mengabaikan Putusan MK terkait konstitusionalitas kawasan hutan. Ada tiga putusan MK yang diabaikan. Pertama Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 terkait definisi kawasan hutan yang mempersamakan status penunjukan dan penetapan untuk menentukan kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan merupakan tahap awal dan harus dilanjutkan penataan batas, pemetaan dan diakhiri dengan penetapan kawasan hutan. Kesalahan Kemenhut ini menyebabkan banyak desa dan masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan terancam keberadaanya. Hingga 2012 hanya 12 persen kawasan Hutan yang baru ditetapkan sedangkan 88 persen hanya sebatas ditunjuk. Seharusnya pemerintah segera menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan Putusan MK 45/PUU-X/2011, bukan membuat aturan represif yang merugikan masyarakat. Kedua Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 terkait penguasaan dan penentuan kawasan hutan serta non hutan harus memperhatikan hak masyarakat atas tanah. Putusan ini mengkoreksi kewenangan negara dalam penetapan kawasan hutan yang mengabaikan hak masyarakat atas tanah. Harus ada inventarisasi hakhak masyarakat yang berada dikawasan hutan agar tidak tumpang tindih. Ketiga Putusan MK 35/PUU-X/2012 terkait Hutan Adat. MK mengeluarkan hutan adat dari hutan negara dan memasukannya dalam kategori hutan hak. AMAN mengatakan terdapat 50-70 juta jiwa masyarakat hukum adat dengan luas wilayahnya 40 juta Ha yang tersebar di Indonesia seperti Suku Anak Dalam, Dayak, Badui dan suku di Papua serta masyarakat hukum adat lainnya. Jika UU P3H ini diterapkan tanpa ada inventarisasi mayarakat hukum adat, berarti akan melanjutkan kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat dan mengangkangi putusan MK 35/PUU-X/2012. Penulis menilai UU P3H justru akan memenjarakan rakyat. Akan banyak masyarakat yang dipenjara dan hak-haknya akan hilang dengan UU P3H. Langkah tepat menghentikan legalisasi tindakan kriminal ini adalah mengajukan Judicial Review ke MK. Pengabaian hak konstitusional warga negara dan pembangkangan putusan MK merupakan perbuatan inkostitusional. Semoga 9 hakim MK menerima suara rakyat yang tertindas dan membatalkan UU P3H. (Ilham Kurniawan Dartias, Staf Hukum dan Kebijakan KKI Warsi)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
51
52
SELINGAN
Belajar dari Jorong Simancuang
SELINGAN retaris, bagian patrol dan anggota. Mbak Lili dari Mongabay segera mengambil catatan kecilnya dan mulai membuka percakapan. “Bagaimana asal usul nagari Simancuang ini pak?..” Salah seorang dari kelima tamu itu menjawab. “Dulunya bapak saya bersama lima orang temannya merantau ke sini untuk mencari lahan untuk bertani, kemudian mereka mulai menetap hingga sekarang desa ini telah berkembang penduduknya. Saat ini dari enam orang tersebut tinggal bapak saya yang hidup.” Sambil mengepulkan asap rokoknya, bapak tersebut menambahkan, “Sekitar tahun 1972 kami menemukan jalan keluar untuk memasarkan hasil pertanian, sejak itulah keluarga yang tinggal di sekitar Simancuang dan tetangga sebelah ikut menetap di sini.”
Konsistensi masyarakat Jorong Simancuang dalam pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan membuat tempat ini menjadi areal kunjungan belajar dan percontohan dari berbagai daerah. Foto Emmy Primadona Than/KKI Warsi
J
orong (Desa) Simancuang yang terletak di KabupatenSolok Selatan, akhir-akhir ini kerap kali kedatangan pengunjung yang ingin belajar bagaimana kesadaran masyarakat setempat mengelola dan melindungi hutan secara arif dan konsisten dari tahun ke tahun. Sebenarnya, ini bukan kali pertama kujejakan kaki di Simancuang. Ini kunjungan keduaku. Sebelumnya kunjunganku mewakili Jambi bersama 10 Provinsi pilot SATGAS REDD+ UKP4 berdiskusi dengan masyarakat Simancuang tentang usaha-usaha apa saja yang telah mereka lakukan untuk melindungi dan memelihara hutan di sekelilingnya. Namun kali ini kunjunganku untuk menfasilitasi korensponden Mongabay yang ingin mendapatkan cerita langsung di lapangan apa dan bagaimana usaha itu dilakukan.
Iqbal mengingatkan untuk berhati-hati meniti sawah, karena sebagai fasilitator di Simancuang, dia sudah berpengalaman terjun bebas ke sawah bersama motor yang ditumpanginnya. Anehnya, padi tepat dimana Iqbal tercebur telah tumbuh subur dibanding petak padi yang lain. Ternyata bukan hanya Iqbal berpengalaman masuk sawah, baru-baru ini, salah seorang kelompok kunjungan belajar dari Desa Jeluti juga terjerembab di sawah pada malam hari dengan posisi kaki diatas. Walhasil, kepala dan mukanya berlepotan lumpur. Warga setempat sempat shock melihat sosoknya yang begelimang lumpur menyapa di tengah jalan, mungkin karena disangka hantu.
Perjalanan kami dimulai dari Padang pukul 15.30, seharusnya dari Padang ke Simancuang hanya memakan waktu tiga hingga empat jam. Namun karena ada perbaikan jalan yang system buka tutup, maka tepat pukul 00.00 WIB kami tiba di lokasi. Mobil yang kami tumpangi tidak bisa langsung parkir di tempat menginap. Kami harus berjalan menembus gelapnya malam untuk bisa mencapai lokasi. Iqbal sebagai guide lokal sempat kehilangan arah jalan, karena senter telepon genggam yang digunakan tidak mampu menembus gulitanya malam.
Seiring perjalanan yang semakin dekat dengan pemukiman penduduk, lantunan pengajian Al-qur’an mulai terdengar jelas. “Subhnallah.. jam segini masyarakat masih berkumpul dan membaca Al Qur’an di Masjid”, ucapku dalam hati. Singkat cerita kami sampai dengan selamat di Masjid. Sekitar sepuluh orang bapak-bapak menyambut kedatangan kami dan kitapun berkenalan singkat. Tidak berapa lama kemudian tadarusan di masjidpun berakhir. Edison (mantan kepala jorong Simacuang) segera mengajak kami kerumahnya. Sesampai dirumah, istri Edison menyambut kami dengan teh hangat buatannya. “Alhamdulillah sedapnya…,” teh hangat mengalir ke tenggorakan hingga ke perut ku yang menggigil kedinginan.
Perlahan-lahan kami menapak kaki di pematang sawah dengan cahaya seadanya. Sempitnya jalan tidak memungkinkan kami berjalan beriringan. Beberapa kali
Tidak lama kemudian, sekitar lima orang bertamu ke rumah Pak Edison, mereka adalah bagian dari kelompok pengelolaan hutan nagari Simancung, antara lain sek-
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
“Bagaimana masyarakat Simancuang memandang tentang pentingnya hutan dilindungi dan dijaga? “ “Hutan adalah sumber penghidupan dan kehidupan bagi kami warga Simancuang, jika hutan di sekeliling kami habis, kami pun bisa mati.” “Loh mengapa begitu pak?” Lili mulai memancing percakapan lebih dalam. “Coba ibu perhatikan desa kami ini, topograpi Simancuang ibarat sebuah kuali raksasa, desa kami dikelilingi perbukitan dan berhutan sementara Simancuang terletak di dasar kuali. Jika hutan sekeliling ini habis, maka kampung kami akan terkubur tertimbun longsor.” “Hampir seluruh masyarakat di sini berprofesi sebagai petani. Kami menamam padi di mana sumber pengairan
Komitmen Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria dalam mengapresiasikan praktik konservasi yang dilakukan masyarakat Jorong Simancuang. Foto Emmy Primadona Than/KKI Warsi
sawah, air minum, penerangan berasal dari bukit-bukit dimana kondisi hutannya harus terus dilindungi. Jika hutan diatas sana habis, maka generator PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) kami tidak jalan, di sini akan gelap gulita, padi kami akan kering dan tidak ada sumber penghidupan di sini.” Aku mengangguk-angguk tanda setuju. “Luar biasa masyarakat disini, pemahaman pentingnya hutan sudah katam diluar kepala…” Tidak dapat dipungkiri, hutan terjaga maka keanekaragaman hayati didalam nya juga akan ikut terjaga. Kami juga melihat dengan jalas, kondisi hutan nagari di sekeliling Simancuang sangat terjaga. Udara yang kami hirup pun terasa segar bercampur aroma dedaunan dan suara kicauan burung dan ungko (hyblobatida) di pagi hari. Suara ini telah menjadi irama alam yang selalu dinikmati oleh masyarakat setiap harinya. Jika suara itu tidak terdengar, maka dianggap suatu kejanggalan, pasti ada sesuatu yang akan terjadi, bisa jadi akan ada bencana atau memberikan pertanda bahwa akan ada yang meninggal di desa mereka. Skema Hutan Nagari Semangat Baru Bagi Masyrakat Simancuang Jauh sebelum ada skema Hutan Desa/ Hutan Nagari dikeluarkan oleh menteri kehutanan, sudah lama masyarakat di Simancuang ini ingin melegalisasikan wilayah lindung mereka. Mereka ingin wilayah kelola mereka diakui oleh pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Sehingga tidak akan ada pemberian izin (perusahaan) diatas hutan yang telah mereka jaga. Fasilitasi KKI WARSI dalam memperkenalkan konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat) memberi kekuatan dan semangat baru bagi mayarakat untuk melanjutkan perjuangan mereka ke tinggal nasional untuk mendapatkan legalisasi dari pemerintah pusat. Hingga akhirnya Hutan Nagari Simacuang mendapat areal penetapan dari mentri kehutanan seluas 650 hektar. Selanjutnya, beberapa praktek konservasi telah disusun secara sistematis dalam management plan RKHN (Rencana Kerja Hutan Nagari ) Simancung. Salah satu nya adalah pengembangan pagi organik. Untuk dapat diketahui Simancung terkenal dengan padi organiknya yang gurih, pulen dan sehat. Saat ini masyarakat Simancung sedang mencari pasar yang tepat dengan pengepakan yang menarik sehingga padi organik ini mampu bersaing di pasaran. Budaya penanaman padi organik ini telah dilakukan secara turun menurun, hal ini dikarenakan kondisi tanah yang subur sehingga tidak membutuhkan pupuk pabrik, cukup hanya pupuk buatan dari kotoran ternak. Selain itu kandungan belut sawah di dalam sawah akan mati jika terkena pupuk sintesis. Untuk di-
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
53
54
SELINGAN
SELINGAN
versifikasi income, penduduk setempat juga mengelola belut sawah dan mengembangkan kolam ikan hingga tanaman perkebunan lainnya seperti, kayu manis, karet, durian dan lainnya. Larangan menebang pohon di hutan telah menjadi kesepakatan bersama antar desa. Telah disepakati akan mendenda siapa saja tanpa terkecuali yang menebang pohon di hutan. Denda yang diberlakukan adalah 15 sak semen dan menaman sepuluh batang pohon baru. Untuk menjaga kesepakatan ini dijalankan secara konsisten, setiap bulan dilakukan patroli hutan untuk pengamanan hutan. Dalam perjalanan melihat PLTMH di desa Simancuang, kami juga melihat beberapa siswa-siswi Sekolah dasar dan SMP juga berperan aktif dalam konservasi. Kami sempat terkejut melihat rombongan siswa membawa arit dan parang keluar dari kelas. Sempat berpikir adakah demonstrasi di sekolah, ahh... ternyata.. arit dan parang itu dipakai untuk mencari anakan pohon dan menanamnya di wilayah potensial untuk ditanam. Guru kelas pun tidak ketinggalan memantau kerjaan muridnya. Dalam perjalanan menelusuri hutan nagari Simancuang, Pak Edison menceritakan bahwa, saat ini telah ada wacana mewajibkan masyarakat nagari Simancuang untuk memanam sepuluh batang pohon berakar lebat di pinggiran sumber-sumber mata air supaya menjamin ketersediaan air mengalir ke PLTMH. Jika debit air berkurang, maka energi listrik yang dihasilkan juga akan berkurang. Dengan adanya program seperti ini pico micro hidro bisa dibangun di daerah-daerah yang arus airnya lebih sedikit agar bisa menerangi beberapa rumah disekitarnya. Saat ini satu unit PLTMH hanya mampu menerangi sekitar 130 KK, sementara ada sekitar 60an KK yang belum menikmati listrik dari PLTMH ini. Usaha keras yang dilakukan secara swadaya dan bertanggung jawab selama ini akhirnya mendapat sambutan baik dari pemerintah kabupaten Solok Selatan. Baru-baru ini Bupati Solok Selatan Muzni Zakari melakukan kunjungan lapangan dan berdialog langsung dengan masyarakat. Inti dari pertemuan singkat itu adalah, pemerintah daerah mendukung dan mengapresiasi secara penuh praktik-praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu pemerintah menawarkan program-program strategis yang dibutuhkan oleh Jorong Simancuang. Bahkan, ada wacana dari Bupati untuk mengusulkan sisa hutan lindung yang ada di Simancuang untuk menjadikan nya Hutan Nagari. “Siap pak..!” Masyarakat menyambut dengan senang. (Emmy Primadona)
Mari Bermain Ala “Anak Rimba”
L
ibur telah tiba, libur telah tiba, libur telah tiba. Hatiku Gembira, petikan lagu tersebut tentunya mengilhami keriangan anak-anak menyambut libur sekolah yang sudah dijalani. Rencana menghabiskan waktu liburan tentu akan tersusun manis, mulai dari keinginan menghabiskan waktu ke luar kota, memandang hamparan pegunungan, membiarkan kelelahan selama kurang lebih enam bulan di sapu ombak dan birunya laut, hingga mengunjungi tempat-tempat indah di luar negeri. Namun bagi kamu, yang tidak bisa menikmati sederet mimpi luar biasa tersebut, bukan berarti akan terdiam, bengong di rumah. Bosan, kalau liburan hanya dinikmati dengan suguhan tontonan , atau hanya dengan menghabiskan waktu seharian penuh bermain game-game online. Berbagai permainan ala “Anak Rimba” tentu menjadi pilihan kalian untuk menghabiskan waktu libur kali ini. Ternyata, anak rimba punya banyak permainan unik loh! Bagi kamu yang pernah ikut kegiatan pramuka tentang tidak asing lagi dengan kegiatan membuat simpul. Anak rimba ternyata jago nya, nih dalam membuat simpul. Mereka menamakan permainan pembuatan simpul-simpul tersebut dengan nama permainan “Pasung”. Lebih ekstrim, simpul-simpul ini dibuat bukan dengan tali yang biasa kita lihat Anak Rimba ini menggunakan rotan untuk membuat simpul-simpul tersebut. Bisa dibayangkan serunya kegiatan ini. Permainan ini biasanya dilakukan beberapa anak, salah seorang anak membuat simpul dan yang lainnya akan mencoba melepaskan simpul tersebut. Pemenangnya ditentukan dari siapa yang berhasil mengurai simpul yang dibuat. Semua anak ber-
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
Bagi Anak Rimba, Hutan tidak hanya sekedar sumber hidup dan identitas mereka , tapi juga sumber kebahagiaan. Foto: Lander Rana Jaya/Dok KKI Warsi.
lomba-lomba untuk membuat simpul yang sulit sehingga tidak dapat dibuka. Permainan ini biasanya dilakukan anak rimba di kala waktu senggang seusai mereka berburu dan mencari buah-buahan hutan. Selain berbagai permainan yang unik, Anak Rimba juga menghabiskan waktu dengan berburu. Mereka berburu minimal satu kali dalam kurun waktu sebulan. Berburu bukanlah kegiatan yang asing lagi bagi kebanyakan anak laki-laki di rimba. Kegiatan ini dilakukan di waktu siang maupun malam. Biasanya di kala siang mereka akan berburu babi, tupai, dan kancil. Sementara malam hari kegiatan berburu juga terus mereka lakukan misalnya, berburu ikan hanya bisa dilakukan di malam hari. Cara mereka menangkap ikan juga cukup unik, mereka tidak menggunakan jala, pancing, palagi racun ikan yang dapat mencemari aliran sungainya. Anak rimba ini mengambil getah beracun dari pohon berisil untuk membuat ikan-ikan tersebut mabuk dan kemudian dapat di tangkap dengan menggunakan tangan. Kalau tadi kita sudah membahas bagaimana anak rimba menghabiskan waktu senggangnya, selain beberbagai permainan tradisional anak rimba juga jago main catur. Iya, permainan olah otak ini termasuk salah satu permainan yang mereka gemari. Kalian pasti sudah tahu kalau di dalam kotak catur terdapat banyak buah catur. Ada yang berwarna putih dan hitam. Masing-masing buah mempunyai tugas dan peran yang berbeda. Di masingmasing warna terdapat Raja, Benteng, Gajah, Ratu,
Kuda, dan Pion.Keseluruhan jumlah bidak mencapai 32 buah yang memiliki gerakan-gerakan khusus dan berbeda satu dengan yang lainnya. Biasanya anak rimba memainkan catur sebagai ajang unjuk kebolehannya diantara sesama anak rimba lainnya. Untuk permainan satu ini, catur tidak hanya digemari oleh anak-anak rimba saja, namun juga bagi orang-orang tua di rimba (rerayo). Tak ada taruhan yang berarti bagi siapa saja yang bisa memenangkan permainan catur ini. Bagi mereka berkumpul bersama-sama, bercanda dan mendapatkan gelar “Melawon”, ialah (sebutan untuk sesuatu yang hebat) sudah cukup membuat kebahagiaan. Anak rimba ini biasanya kreatif dalam membuat berbagai permainan. Bisa saja mereka menemui potongan ranting dan rotan, tiba-tiba saja mereka telah menyulapnya menjadi mobil-mobilan. Alam mengajarkan mereka untuk bisa hidup selaras dan menyatu. Keceriaan bisa saja selalu ditemui ketika anak-anak rimba ini berkumpul. Hutan bukan saja sekedar tempat tinggal mereka, tidak hanya sekedar sumber hidup dan berpenghidupan bagi mereka. Tapi di hutan mereka menemukan kebahagiaan, dan juga identitas. Bagi yang ingin menghabisakan liburannya dengan mengenal lebih dekat anakanak rimba ini. Dan berbagi kebahagiaan bersama mereka di hutan, mungkin bisa memasukkan Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai daftar liburanmu mendatang. Selamat berlibur..... (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013
55
ALAM SUMATERA, edisi SEPTEMBER 2013