ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Diki Kurniawan Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA • Kalpataru dan Perjuangan yang Masih Panjang / Sukmareni.........................................................................…....4 4 INTRODUKSI • Membangun Keberpihakan Pada Masyarakat dan Membatasi Investasi.. / Rudi Syaf.…….............................…....5 5 LAPORAN UTAMA • Peluang Perluasan PBHM di Sumatera / Hermayulis..........................................................................................…7 7 • Sumatera Barat, Membangkik Batang Tarandam / Sukmareni..................................................................................9 9 • Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Untuk Mengurangi Deforestasi / Sukmareni.........................................12 12 • Simancuang yang menginspirasi / Sukmareni.........................................................................................................14 14 • Setengah Hati Menyediakan Ruang Untuk Masyarakat / Kurniawan dan Hermayulis.............................................16 16 FOKUS • Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Kehutanan / Ilham Kurniawan Dartias.......................................................18 18 • PT. WKS Diduga Rambah 2000 ha. lahan di Luar Konsesi / Hermayulis.................................................................23 23 • PT. MAP Inkonsistensi Kebijakan yang Mengancam Upaya Penurunan Emisi Karbon / Sukmareni.......................26 26 DARI HULU KE HILIR • Mengembalikan Fungsi Tangkapan Air / Hermayulis...............................................................................................28 28 • Mengasuh Pohon Mendukung Penurunan Emisi Karbon / Sukmareni....................................................................30 30 GIS SPOT. • Pemetaan Partisipatif Hutan Adat / Hermayulis...………….....….…….......................................................................31 31 WAWANCARA • Memasukkan Kawasan Hidup Orang Rimba dalam One Map Policy / Elvidayanti dan Sukmareni.......................33 33 SUARA RIMBA • Mengukur Cadangan Karbon Hutan Bujang Raba / Kurniawan...............................................................................35 35 • Luncurkan Buku Bahan Ajar Orang Rimba / Hermayulis..........................................................................................37 37 AKTUAL • Liberika Tungkal Komposit, Kopi Khas Gambut / Elviza Diana................................................................................38 38 • HTI dan Tambang Baru Terus Incar Lahan Jambi / Sukmareni......……........…..........................…...….........…......40 40 • Listrik Murah dari Hutan yang Terjaga / Sukmareni..........…………......................................................................42 42 • Menganyam Pandan Menuai Rupiah / Elviza Dianan...........................................................................................44 44 MATAHATI • Power Bank ala Orang Rimba / Elvidayanti..............................................................................................................46 46 • Mempersiapkan Lahan Kelola Untuk Orang Rimba / Heriyadi dan Elvidayanti.......................................................47 47 ETNOGRAFI ORANG RIMBA • Pemanfaatan Satwa oleh Orang Rimba / Robert Aritonang....................................................................................49 49 • Menyunting Gadis di Pohon Sialang / Marahalim Siagian.......................................................................................51 51 SELINGAN • Tradisi Perayaan Besar Keagamaan di Desa Rantau Kermas / Elvidayanti dan Sukmareni...................................54 54
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Foto Cover : Menjemur Padi Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Desain dan Cetak:
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
Dari Editor
P
embaca setia Alam Sumatera, tahun 2014 istimewa untuk Indonesia, di tahun ini hajatan besar bangsa ini di gelar, berupa pemilihan wakil rakyat dan pemilihan presiden. Tentu saja harapan besar selalu disandangkan pada pemimpin mendatang untuk adanya keseimbangan dan keselarasan pengelolaan sumber daya alam. Di Alam Sumatera edisi ini, kami menampilkan rangkaian tulisan tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pengelolaan hutan yang mengedepankan keterlibatan masyarakat ini sudah mulai gencar dikampanyekan sejak era reformasi. Dan kini secara kebijakan sudah cukup baik dan memadai. Sehingga pengelolaan hutan berbasis masyarakat sudah menjadi salah satu target Kementrian Kehutanan, namun dalam realisasinya pengembangan program ini masih berjalan terseok-seok. Banyak faktor yang menyebabkannya, di antaranya keberpihakan yang setengah hati. Ini terlihat dari panjangnya prosedur pengurusan izin sekaligus juga dukungan untuk pelaksanaan program ini masih setengah-setengah. Akibatnya target-target yang sudah diterapkan belum berjalan secara merata di semua daerah. Kendati demikian, bukan juga kita harus berhenti berbuat untuk penyempurnaan aturan dan juga mendorong keberpihakan pada masyarakat. Sumatera Barat misalnya saat ini tergolong yang cukup cepat merespon dan mendukung pengembangan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat. Salah satunya di dukung oleh tradisi yang sudah berlangsung lama di wilayah ini, yang sempat terhenti karena penyeragaman kebijakan pemerintah dengan pemusatan pengaturan sumber daya alam di pemerintah pusat. Kini dengan adanya perubahan kebijakan, Sumatera Barat berjuang untuk mengedepankan kembali pengelolaan sumber daya alam yang berbasiskan masyarakat. Dengan kondisi ini, Sumatera Barat boleh disebut sebagai leader dalam pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat saat ini. Tulisan tentang pengelolaan ini, kami rangkaian dalam Alam Sumatera edisi ini. Tentu juga dilengkapi dengan beragam tulisan lainnya yang bisa saling menjadi bahan bacaan kita semua. Kami redaksi Alam Sumatera berharap pembaca setia terpuaskan dan mendorong terciptanya dukungan untuk keseimbangan ekosistem pendukung kehidupan penghuni bumi. Selamat membaca! Salam Lestari.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
SALAM RIMBA
4
INTRODUKSI
Kalpataru dan Perjuangan yang Masih Panjang
M
emperjuangkan keadilan pengelolaan sumber daya alam alam merupakan salah satu target utama WARSI dalam bekerja. Di samping juga mendorong adanya sistem pengelolaan yang mengakomodir pelibatan masyarakat serta upaya-upaya untuk menyelamatkan kawasan hutan tersisa, menjadi fokus kerja WARSI. Untuk mewujudkan ini, kegiatan pendampingan dan advokasi dilakukan WARSI sejak berdirinya hingga sekarang.Kegiatan ini dituangkan dalam bentuk pekerjaan disusun secara seksama dan sistematis untuk menghasilkan suatu perubahan dalam memandang dan bertindak untuk menciptakan pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Pendampingan, advokasi dan kerja keras dengan semangat entrepreneur sosial, telah memperlihatkan hasilnya. Pengakuan hak kelola Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, seluas 60.500 ha, pengakuan hak kelola hutan adat lebih dari 9 ribu ha dan hutan desa seluas 45 ribu Ha. Serta hasil-hasil lainnya yang berupa perubahan pola pikir, mendorong lahirnya keberpihakan pada masyarakat, merupakan hasil kerja keras WARSI. Meski dari segi angka-angka masih kecil, dan perlu ditingkatkan lagi, ide dan gagasan untuk mendukung keberpihakan pada masyarakat mendapat respons yang cukup baik. Selama ini, pelibatan masyarakat merupakan suatu kunci utama untuk mengedepankan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Kerja keras WARSI inilah yang nampaknya, menjadi pertimbangan Kementrian Lingkungan Hidup yang kemudian menganugerahkan penghargaan Kalpataru untuk kategori Pembina Lingkungan yang diterima Direktur KKI WARSI Diki Kurniawan dari Wakil Presiden Budiono, pada Hari Lingkungan Hidup yang jatuh 5 Juni lalu. Kalpataru yang berarti pohon kehidupan ini, sebelumnya sudah beberapa kali diterima oleh kelompok dan komunitas dampingan WARSI. Seperti kelompok Orang Rimba Air Hitam pada tahun 2007, kelompok Pengelola Hutan Adat Batu kerbau 2004 dan juga Masyarakat pe-
ngelola hutan adat Guguk Tahun 2014. Di samping juga beragam penghargaan lain dengan nama berbeda. Meski penghargaan bukanlah target dalam bekerja, namun yang pasti ketika diberi penghargaan merupakan penambang semangat untuk bekerja lebih baik. Memperluas hak kelola rakyat, mendorong kebijakan yang berpihak pada rakyat, mendorong upaya-upaya untuk mempertahankan hutan tersisa, serta tetap kritis dengan sistem pengelolaan sumber daya alam yang saat ini tengah berlangsung demi penyempurnaan tata kelola kehutanan. Cita-cita yang tidak mudah memang, tetapi inilah tantangan yang harus kita hadapi. Keperpihakan yang setengah hati masih menjadi tantangan utama dalam melakukan kegiatan-kegiatan pendampingan dan penyelamatan hutan. Ini terlihat dari sejumlah inkonsistensi pemerintah dalam menyelamatkan kawasan hutan. Ketika di satu pihak pemerintah sudah bersepakat untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan melalui moratorium perizinan, nyatanya masih banyak izinizin baru yang diterbitkan dalam kawasan hutan. Dengan dalih bahwa izin dikeluarkan di luar peta indikatif moratorium. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri, di saat harusnya moratorium dipatuhi, dengan diiringi perbaikan tata kelola kehutanan. Harusnya yang menjadi utama perbaikan tata kelola, karena selama ini tata kelola kehutanan kita sudah kebablasan. Misalnya izin HTI yang terbit di kawasan yang bertutupan hutan baik atau izin di kawasan yang berkelerengan curam, merupakan bentuk-bentuk inkonsistensi kebijakan yang berlaku selama ini. Belum lagi dengan AMDAL perusahaan yang terkesan copy paste jadi sehingga memunculkan potensi pelanggaran ketika perusahaan beroperasi. Inilah yang menjadi tantangan WARSI di masa depan. Perjuangan masih panjang. Dibutuhkan kerja yang lebih keras untuk bekerja demi tercapainya keseimbangan pengelolaan sumber daya alam.***
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian berbasis lahan. Ketidakmerataan pemilikan lahan menyebabkan kemiskinan sulit untuk diatasi. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI.
Membangun Keberpihakan Pada Masyarakat Dan Membatasi Investasi Keterbatasan akses lahan berbanding lurus dengan pertumbuhan kantong-kantong kemiskinan di sejumlah negara, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia. Hal inilah yang merupakan bagian yang dibahas dalam Annual World Bank Conference dengan tema land and poverty yang dilangsungkan di Washington DC akhir Maret lalu.
D
ominasi negara terhadap lahan, dengan memberi kepercayaan kepada pemodal, baik pemodal besar yang biasanya bukan warga negara dan pemodal lokal, untuk mengelola lahan yang ada di negara tersebut. Sedangkan masyarakat cenderung sedikit yang bisa mengakses lahan, sehingga berkontribusi pada pendapatan masyarakat yang cenderung rendah dari tahun ke tahun. Kondisi ini dianggap sebagai persoalan krusial dan mendesak untuk dicarikan solusinya.
Padahal kehidupan sebagian besar kehidupan masyarakat di negara berkembang menggantungkan hidupnya dari sektor berbasis lahan dan sumber daya alam. Akibatnya ketika lahan garapan semakin sempit akan berkorelasi dengan semakin buruknya ekonomi masyarakat yang bersangkutan dan memicu terjadinya pengangguran. Kondisi ini menyebabkan angka kemiskinan akan terus meningkat dan pendidikan akan semakin sulit. Masyarakat pun terjebak di lingkaran setan kemiskinan.
Ketimpangan pengelolaan lahan ini sangat kentara di negara-negara Afrika dan sebagian Asia, dan lumayan membaik di Amerika Latin. Persoalannya hampir seragam bahwa negara terkesan lebih memprioritaskan membuka akses lahan kepada para pengusaha. Dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan dan perekonomian negara, keran investasi berbasis lahan telah dibuka lebar dengan memberikan akses seluas-luasnya pada pemilik modal. Akibatnya penguasaan lahan berada di bawah kelompok-kelompok tertentu dengan lahan yang sangat luas. Sedangkan akses masyarakat yang sehari-hari berada dikawasan itu sangat terbatas bahkan semakin sempit seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Kondisi ini juga berkontribusi pada peningkatan konflik pengelolaan sumber daya alam, karena adanya upayaupaya yang dianggap ‘illegal’ untuk penguasaan lahan. Dipihak lain, negara dinilai lamban merespon kebutuhan masyarakat bahkan cenderung terlena karena adanya penilaian dari segi pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan pendapatan perkapita. Pertumbuhan ekonomi memang cenderung meningkat dan mencapai target pertumbuhan yang dipatok peme rintah. Persoalannya, pertumbuhan ekonomi ini di hitung berdasarkan rata-rata pendapatan nasional di bagi jumlah penduduk, bukan berdasarkan kelompok-kelompok golongan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
5
6
INTRODUKSI dikuasai oleh segelintir pemegang akses lahan telah menyumbang untuk angka pertumbuhan ekonomi nasional yang dianggap sebagai satu pertumbuhan yang ‘baik’. Sementara fakta di lapangan, kemiskinan dan kemunduran ekonomi justru dialami oleh sebagian besar masyarakat, khususnya mereka yang tidak memiliki akses terhadap lahan. Menurut laporan dari Institute for Development Go Economic And Finance (Indef) yang dimuat Kompas (3/4/2014) menyebutkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kaku belum menciptakan pemerataan kesejahteraan akibat haluan kebijakan yang didikte kekuatan pasar. Pembangunan industri manufaktur dan pertanian yang stagnan membuat kesenjangan pendapatan melebar. Dalam laporan ini juga disebutkan bahwa kemajuan nilai tukar mengalami penurunan pendapatan petani, yang disebabkan ketersediaan lahan yang semakin berkurang. Kondisi ini memang terlihat nyata seperti di Jambi, areal kelola sebagian besar berada di bawah bendera perusahaan, baik sawit maupun hutan tanaman industri. Undang-undang yang membatasi kepemilikan hak guna usaha mampu dikelabui dengan memecah sejumlah perusahaan dengan nama berbeda tetapi bernaung dalam Group yang sama. Sinar Mas, misalnya, merupakan perusahaan penguasa lahan terbesar di Jambi, lebih dari 700 ribu kawasan hutan dan non hutan dikuasai Sinar Mas dengan berbagai bentuk perusahaan hutan tanaman dalam kawasan hutan dan perkebunan sawit di are-al penggunaan lain. Untuk HTI hak penguasaan lahan mencapai waktu 100 tahun, sedangkan untuk HGU sawit 35 tahun dan bisa diperpanjang. Kemudian disusul group-group lain, yang pemiliknya bukan warga Jambi tetapi taipan-taipan dari Jakarta bahkan luar negeri. Kondisi ini memang memungkinkan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia. Namun penting untuk menggugah rasa keadilan dan keberpihakan pada masyarakat luas. Untuk saat ini berdasarkan rata-rata kepemilikan lahan oleh petani 0,3 ha. Idealnya untuk menjamin kelangsungan hidup petani, membutuhkan areal kelola 2 ha per keluarga, sebagaimana di ucapkan menteri Pertanian SiswonoYudhoyuwono yang dilansir Detik Finace 8 Mei 2013. Dengan kondisi ini jelas petani tidak akan bisa mencapai taraf hidup yang lebih baik jika tidak dilakukan perubahan-perubahan kebijakan yang berpihak pada petani dan masyarakat miskin lainnya. Dengan hampir 40 persen penduduk yang bergantung pada sektor pertanian dan sebagian dalam kondisi miskin, maka langkah yang mestinya dilakukan pemerintah adalah perubahan kebijakan. Di Indonesia desakan-desakan untuk adanya reform dan pengembalian kedaulatan masyarakat atas lahan semakin keras terdengar.
LAPORAN UTAMA
Pasca reformasi suara-suara ini terus didengungkan, hingga mendorong lahirnya sejumlah kebijakan untuk pelibatan masyarakat dalam mengelola lahan yang sebelumnya dikelola oleh negara. Dengan PP ini, masyarakat bisa mengelola hutan dengan skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman rakyat dan kemitraan. Rencananya, dengan adanya kesempatan masyarakat mengelola hutan, maka di harapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Walau kenyataannya, dalam pencapaian target pengelolaan lahan oleh masyarakat di kawasan hutan ini cenderung lambat, karena rumitnya prosedur pengajuan hak kelola dan sulit dilakukan masyarakat tanpa adanya pendampingan. Prosedur panjang ini menyebabkan target pengelolaan lahan oleh masyarakat sangat kecil, dan belum bisa dikatakan berpengaruh signifikan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat disekitar hutan. Peluang lainnya yang juga terbuka untuk akses masyarakat pada lahan dengan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Sebelumnya masyarakat Indonesia yang terbagi ke dalam suku-suku dan komunitas tertentu, hak kelola mereka terhadap lahan, telah diambil ‘paksa’ oleh negara dengan dalih pengusahaan lahan di bawah kendali negara. Sehingga banyak wilayah masyarakat adat yang masuk ke dalam hutan negara. Akibatnya komunitas adat tidak punya jaminan kepastian untuk mengelola kawasan mereka. Namun dengan MK 35 komunitas adat dapat kembali mengelola kawasan me-reka, meski berada dalam kawasan hutan. Ini sebuah langkah maju dalam keterlibatan masyarakat mengelola kembali kawasannya. Walau juga ini tidak mudah karena pemerintah harus melakukan segera melakukan pemetaan ulang kawasan kelola masyarakat. Jika ini tidak segera dilakukan, kemungkinan persoalan baru akan timbul berupa konflik lahan baru. Namun demikian kebijakan-kebijakan yang membuka akses masyarakat terhadap lahan ini perlu diapresiasi. Juga perlu adanya penyempurnaan kebijakan seperti penyederhanaan alur dan prosedur pengajuan izin, dan memastikan bahwa hak kelola tersebut benar-benar dikelola oleh rakyat yang bersangkutan. Di beberapa kasus dengan ketidakpahaman masyarakat dengan pelaksanaan hutan tanaman rakyat, di beberapa tempat dimanfaatkan oleh pemodal yang memang sangat mengincar lahanlahan kelola masyarakat. Dengan berbagai cara dan upaya kawasan kelola rakyat ini bisa saja beralih jadi kawasan kelola perusahaan meski dengan embel-embel bagi hasil dan sebagainya. Untuk itu, sa-ngat penting dilakukan adanya pengetatan pengawasan dan memastikan bahwa masyarakat yang benar-benar mengelola kawasan mereka, sehingga kesejahteraan melalui hutan sebagaimana yang dicita-citakan bisa tercapai. (Rudi Syaf).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Peluang Perluasan PHBM di Sumatra Ketidakadilan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan tak bisa dipisahkan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sejak puluhan tahun lalu, pengelolaan hutan dilakukan secara sentralistik. Hal itu mengakibatkan praktek pengelolaan sumber daya hutan tidak berpihak kepada masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan. Kebijakan yang sentralistik ini seringkali malah menimbulkan aspek negatif bagi masyarakat setempat.
S
ejak pengelolaan hutan dilakukan secara sentralistik, keselarasan hidup dengan alam yang dipraktekkan masyarakat sekitar lama kelamaan menjadi semakin luntur. Bahkan, konflik terkait persoalan kehutanan semakin hari kian mempersulit kondisi masyarakat di sekitar hutan. Kondisi ini boleh disebut sebagai kegagalan pemerintah dalam mengelola hutan. Mengembalikan kedaulatan hutan kepada masyarakat, merupakan keharusan untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitarnya. Masyarakat harus mendapat porsi dalam pengelolaan hutan. Bukan hanya menjadi penonton ketika hutan mereka dialihfungsikan untuk berbagai keperluan. Pengelolaan hutan harus melibatkan masyarakat, karena mereka sangat paham bagaimana mengelola hutannya secara lestari dan berkelanjutan. Dari sinilah kemudian muncul istilah pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
Tatanan kearifan lokal masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar hutan, merupakan pendukung utama untuk pelaksanaan PHBM. Bagi masyarakat hutan tidak hanya memiliki fungsi ekologis dan ekonomi semata, namun hutan juga memiliki fungsi sosial dan budaya. Pengelolaan hutan seperti salah satunya bisa di lihat di Sumatera Barat, dengan beragam nama Rimbo Larangan, Tuo Rimbo, Parak, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan daerah-daerah lain di Sumatra, masih banyak model pengelolaan hutan yang lestari dan sudah terbukti mampu menjalin keharmonisan antara manusia dengan alam. Karena tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat di berbagai daerah di Sumatra sebenarnya sudah memiliki model pengelolaan hutan yang arif dan bijaksana sejak zaman dulu. Fakta itu dapat dijadikan sebagai modal dasar dalam mengurangi terjadinya gesekan antara masyarakat dan negara. Karena sudah saatnya pelibatan masyarakat
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
7
LAPORAN UTAMA
8
secara partisipatif dalam pengelolaan hutan menjadi bagian dari resolusi konflik secara komprehensif dan holistik berkaitan dengan permasalahan hutan dan kehutanan. Hadirnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa dengan segala perubahannya, izin pengelolaan dan pemanfaatan Hutan Produksi dan Hutan Lindung dapat diberikan kepada masyarakat setempat dalam rangka memberikan akses pemanfaatan hutan yang lebih luas pada masyarakat guna melakukan peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan kesempatan ini, skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam kawasan hutan terakomodir. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini, berdampak positif terhadap masyarakat dan ekosistem. Dengan kearifannya masyarakat kembali dapat mem-
praktekkan tata kelola yang menjamin keberlangsungan. WARSI Mengembangkan PHMB WARSI sudah lebih awal mendorong untuk lahirnya pengakuan hak kelola masyarakat termasuk dalam kawasan hutan. Di Sumatra Barat kegiatan PHBM ini dikembangkan di desa Koto Malintang, Kabupaten Agam, di Bengkulu di Kabupaten Rejang Lebong desa Ladang Palembang, di Sumatra Selatan di Kabupaten Muara Enim Kecamatan Gunung Megang desa Eks Marga Benakat. Dilanjutkan di Jambi di Kabupaten Merangin, Bungo dan Sarolangun, sejak tahun 2000 silam. Program ini berakar di masyarakat dan bersendikan adat istiadat maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan PHBM CBFM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah masyarakat yang berada pada komunitas-komunitas lokal. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadikan penduduk sekitar sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya hutan, kemudian membentuk lembaga pengelola yang akan mempertanggungjawabkan kepada masyarakatnya sendiri. Kepastian hukum kawasan baik secara adat dan negara tentu menjadi pertimbangan penting dalam menjalankan program PHBM ini. Interaksi dengan kawasan yang tinggi dan erat serta adanya teknologi lokal yang dipahami masyarakat menjadi bagian untuk pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat. Seluruh aktivitas dalam pelaksanaan program PHBM tersebut menggunakan pendekatan dengan proses dan dinamika yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan pola pendekatan tersebut hasil yang dicapai diharapkan bukan semata-mata pada tercapainya fasilitas atau pelayanan tertentu, melainkan tumbuh dan berkembang suatu proses yang melibatkan seluruh masyarakat desa dalam tindakan dan pengambilan keputusan yang tentu saja akan memotivasi, memberikan rasa tanggung jawab dan keterampilan kepada masyarakat dalam partisipasinya mendukung program PHBM.
Potensi kayu penyerap emisi karbon di kawasan kelola masyarakat. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
LAPORAN UTAMA
Sejauh ini, perjuangan masyarakat untuk bisa mengelola kawasan hutan berbasis masyarakat sudah mulai banyak diakomodir oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat. Hal itu ditandai dengan diterbitkannya SK menteri kehutanan untuk pengakuan hutan desa, hutan kemasyarakatan. Pasca MK 35 dukungan untuk hutan adat juga semakin tinggi dan terakomodir dalam proses pengelolaan sumber daya hutan. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Sumatera Barat, Mambangkik Batang Tarandam Sumatera Barat atau yang sebagian daerahnya merupakan ranah Minang Kabau, sejak zaman dahulu sudah memiliki keunikan dan kearifan tersendiri dalam mengelola sumber daya alamnya. Alam takambang jadi guru merupakan filosofi masyarakat Minangkabau terkait sumber daya alam mereka.
A
lam memberikan pendidikan dan pengetahuan, sehingga dalam pengaturannyapun menggunakan aturan adat yang dipatuhi masyarakatnya. Jika dibelahan bumi lain, ada kelompok masyarakat adat yang sangat dibatasi dalam mengelola sumber daya alam, Minangkabau dengan kearifannya mampu menunjukkan bahwa pengelolaan yang ideal tetap harus berada di tangan masyarakatnya, yang akan menerima manfaat pun dampak dari pengelolaan yang berlaku. Kearifan lokal masyarakat Minangkabau mengelola sumber daya alamnya, sudah berjalan sejak dahulu. Alam Minangkabau telah dibagi-bagi ke dalam tanah ulayat yang jelas penguasaan dan pemanfaatannya,
sebagaimana yang diatur dalam tambo adat Minangkabau yang berbunyi “Sagalo nego utan tanah, kok ngalau nan bapaunyi, dari jirek nan sabatang, sampai karumpuik nan sahalai, kok capo nan sarumpun atau batu nan sabuah, kok aie nan satitiak, ka lauwik nan sadidih, ka ateh taambun jantan, ka bawah takasiak bulan (pitalo bumi) adolah pangkek pangulu nan punyo ulayat”. Artinya segala hutan/tanah, ngalau/gua yang berpenghuni, dari jirek/kayu yang sebatang, sampai rumput yang sehelai, capo yang serumpun, batu yang sebuah, air yang setetes, ke laut yang sedidih, ke atas angkasa dan udara, ke bawah pitala bumi, adalah pangkat penghulu yang punya ulayat). Tambo ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam Minangkabau merupakan
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
9
10
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
hak ulayat yang dikuasai oleh penghulu yang merupakan pilar tertinggi dalam masyarakat, lambang dari keberadaan dan eksistensi kaum, suku dan nagari, yang akan bertanggungjawab ke dalam maupun keluar, baik dalam kaumnya sendiri maupun suku dan nagarinya.
lebih banyak ditentukan dari pusat. Nilai-nilai adat dan kearifan lokal sulit untuk bangkit. Hingga pasca reformasi, kesempatan untuk membangkik batang tarandam mengembalikan kearifan lokal mulai terbuka. Dengan keluarnya UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memberi peluang untuk menerapkan aturan-aturan lokal termasuk dalam penataan pemerintah terendah kembali ke nagari.
Ulayat yang ada di Minangkabau ini dibagi ke dalam empat jenis, yaitu Tanah ulayat rajo yaitu tanah ulayat yang penguasanya ada pada penghulu dan letaknya jauh dari kampung. Ulayat ini terdiri dari hutan-rimba, bukit dan gunung, padang dan belukar, rawang (rawa) dan payau, sungai dan danau, serta laut dan telaga. Tanah ulayat nagari yaitu tanah yang letaknya dekat dari kampung yang dikuasai oleh penghulu-penghulu dalam nagari. Berupa padang alang-alang, semak belukar atau padang rumput, payau, bukit, gunung, lurah, sungai, danau, tabek (kolam) dan sebagainya. Berikutnya ulayat suku ialah tanah yang dipunyai secara bersama oleh seluruh anggota suku yang diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh di bawah penguasaan penghulu suku. Selanjutnya ulayat kaum ialah tanah yang dimiliki secara bersama dalam garis keturunan ibu yang diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh yang tidak terbagi-bagi. Tanah ulayat kaum yang lebih dikenal dengan pusaka tinggi ini pada kondisi sekarang lebih menonjol bila dibandingkan dengan tanah ulayat suku. Sedangkan untuk kawasan hutan, masyarakat Minangkabau membaginya berdasarkan fungsi, ada yang difungsikan untuk perlindungan sumber mata air, habitat satwa dan juga hutan yang bisa dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan, serta juga ada kawasan hutan yang diperuntukkan bagi makhluk gaib. Pembagian hutan berdasarkan fungsinya ini, yaitu berupa rimbo tuo, rimbo gadang, rimbo rayo, rimbo dalam, rimbo laweh, rimbo lapeh, rimbo ana, rimbo piatu. Rimbo tuo untuk daerah tempat manau rotan, gaharu dan damar, rimbo gadang untuk daerah binatang buas, rimbo rayo untuk buah-buahan hutan, rimbo dalam untuk menahan air, rimbo laweh untuk kayu perumahan, rimbo lapeh untuk daerah cadangan mambangun taratak, dusun, kotojo nagari, rimbo ana untuk pangkuan kekuasaan penghulu atau aji dan rimbo piatu untuk berdiam segala makhluk halus. Dengan pembagian pengelolaan hutan berdasakan fungsinya ini, telah memberi andil untuk terlaksananya pengelolaan hutan dengan baik. Meski juga tidak tertutup kemungkinan bagi para pihak untuk berlaku buruk dalam mengelolanya. Mengantisipasi ini, hukum adat telah mengatur sanksi bagi pelaku pengrusakan hutan. Sanksi bagi yang melanggar arti dan fungsi hutan di Minangkabau diungkapkan dalam mamangan (pegangan) adat, “kok marusak alam nan salasai, kok ado nan marusak sagalo tampek hutan, kok marusak sumua nan janiah, kok marusak sungai dan baniang, ka ateh indak
Seiring dengan ini pengelolaan dan pemanfaatan hutan khususnya yang berada di dalam ulayat nagari dapat dikembalikan kepada masyarakat setempat, sesuai dengan UU kehutanan yang mengakui kesatuan masyarakat hukum adat. Masyarakat Minangkabau yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat tentu bisa mengelola kawasan hutan mereka sebagaimana dahulu yang telah dilakukan para pendahulu. Keluarnya PP nomor 6 tahun 2007 dan keputusan MK 35 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, merupakan salah satu titik pengembalian pengakuan hak-hak kelola masyarakat. Menangkap peluang ini, Sumatera Barat telah menargetkan untuk menjadi pionir dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan adanya skema pemberdayaan masyarakat yang diakui eksistensi dan legalitasnya oleh negara, pemerintah Sumatera Barat menargetkan untuk mengelola sumber dua hutan dengan skema PHBM seluas 500.000 ha. Ini dikalkulasikan dengan jumlah nagari yang ada di sekitar hutan. Hasil identifikasi desa/nagari dalam kawasan hutan yang dilakukan, terdapat 518 desa/nagari yang berada dalam dan tepi kawasan hutan atau sekitar 57,17 % dari jumlah desa/nagari yang ada di Sumatera Barat.
Masyarakat Sumatera Baratcmempertahankan tradisi mereka, termasuk dalam mengelola sumber daya alamnya. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
bapucuak, ka bawah indak baurek, ka tangah digiriak kumbang”. Menurut syara’ ditambah lagi sanksinya, yaitu “kanai kutuak Quran tigo puluah juih, sabanyakbarih di ateh, saganok titiak di bawah, kanai sumpah kalam Allah” ( Kalau merusak alam yang selesai, kalau ada yang merusak segala tempat hutan, jika merusak sumur yang jernih, jika merusak sungai yang bening, ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berurat, ke tengah di lirik kumbang ditambah dengan sanksi syara’ “kena kutuk Quran tiga puluh juz, sebanyak baris di atas segenap titik di bawah, kena sumpah kalam Allah). Artinya, bila terjadi pelanggaran terhadap arti dan fungsi hutan, maka langit tidak mengabulkan doa, tanah tidak menerima, bumi tidak menyukai. Pengaturan pemanfaatan hutan di Minang berlangsung cukup baik dan diwariskan turun-temurun. Hanya saja, ketika penjajahan Belanda masuk ke Minangkabau struktur dan tatanan kehidupan masyarakat termasuk hubungan dengan tanah ulayat, dipaksa untuk berubah mengikuti pola dan kemauan penjajah. Ekspansi Belan-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
da yang membangun perkebunan untuk kebutuhannya dengan sistem tanam paksa juga merenggut hubungan baik masyarakat dengan ulayatnya. Pengambilan tanah ulayat ini telah menghancurkan sistem pengelolaan dan nilai-nilai adat. Dengan dalih erpacht sejenis hak guna usaha yang dipaksakan Belanda kepada pemangku kawasan ulayat, penguasaan tanah beralih ke tangan penjajah. Dengan kondisi ini terampaslah hak-hak kepemilikan nagari-nagari Minangkabau, sekaligus kearifan lokal nagari-nagari tersebut dalam mengelola tanah ulayat mereka. Eksistensi lembaga kerapatan adat nagari, dan kearifan lokal masyarakat nagari dalam mengelola sumber daya alam mereka menipis dan terpinggirkan seiring dengan berjalannya waktu. Pun demikian pasca kemerdekaan. Dengan sebagian besar mengadopsi hukum Belanda, pemerintah republik melakukan penyeragaman dalam mengelola kawasan. Dengan kendali dipemerintah pusat, penguasaan lahan
Untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini, pemda Sumbar telah menyiapkan berbagai langkah. Diantaranya adanya kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam RPJMD dan RPJPD Sumbar. Juga ada kebijakan utama dalam RAD-GRK Sumbar, serta kebijakan dalam SRAP REDD+ Sumbar serta dicantumkan dalam kegiatan Prioritas dalam RKTP Sumbar. Dengan langkah-langkah yang disiapkan plus kesiapan masyarakat di tataran basis untuk menjalankan program pengelolaan semoga kearifan lokal yang lama terendam bisa di bangkitkan lagi, untuk menjadi pengelolaan yang berkelanjutan dan memberikan jaminan untuk masa depan anak cucu nantinya. (Sukmareni / disarikan dari paparan Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Hendri Oktavia pada Seminar Membumikan Ruh Hutan Adat Pasca Putusan MK 35/PPU-X/2012 Menuju Pengelolaan SDH Yang Berkelanjutan Dan Berkeadilan Dalam Perspektif Tata Ruang Serta Perlindungan HAM dan Budaya, 30 Januari 2014 di Jambi).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
11
LAPORAN UTAMA
12
Penandatanganan MoU Implementasi kegiatan REDD + oleh Gubernur Sumatera Barat diikuti oleh delapan Bupati/Walikota Sumatera Barat dengan BP REDD+ Indonesia. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Untuk Mengurangi Deforestasi Delapan kabupaten kota teken MoU dengan BP REDD+
S
umatera Barat terus berbenah untuk pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik, guna menjawab problematika kehutanan selama ini. Konsep parak, rimbo larangan, rimbo ulayat dan lainnya, merupakan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan yang bisa dikembangkan kembali. Selaras dengan upaya pengakuan hak kelola masyarakat yang diakui negara dengan skema hutan nagari, hutan adat dan lain sebagainya, yang dikenal dengan skema Pe-ngelolaan Hutan Berbasis masyarakat (PHBM). Dengan skema ini, Sumatera Barat sudah memiliki Road Map target pencapaian rekognisi areal PHBM seluas 500.000 Ha selama 5 tahun. Salah satu capaiannya yaitu adanya pengakuan hak kelola masyarakat yaitu berupa SK Penetapan Areal Kerja (PAK) hutan nagari oleh 6 nagari, 11 kelompok mendapatkan SK PAK hutan kemasyarakatan dan 110 nagari yang sedang berproses untuk mendapatkan hak kelola dengan skema-skema yang sesuai dengan masyarakat setempat. “Pengelolaan hutan dengan skema ini akan mampu mempertahankan daya dukung lingkungan pada masyarakat yang hidup di sekitarnya,”ujar Direktur Eksekutif KKI WARSI Diki Kurniawan. Dikatakan Diki penyebab deforestasi dan degradasi hutan sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai
dimensi pembangunan, termasuk penggunaan lahan (land use) dan tata kelola kehutanan, serta perkembangan kependudukan. “Untuk itu harus ada upaya untuk memperbaiki tata kelola kehutanan dan juga pelibatan masyarakat dalam mengelolanya, karena masyarakat sangat paham dengan apa yang mereka lakukan pada kawasan disekitarnya, pengalaman bertahun-tahun menunjukkan kearifan masyarakat, bahwa jika dikelola dengan baik hutan akan memberikan multi manfaat untuk masyarakat yang ada disekitarnya,”sebut Diki. Menurut Diki, upaya masyarakat mengelola hutan ini, sejalan dengan upaya global yang saat ini berusaha menurunkan emisi global yang telah menyebabkan perubahan iklim dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Kondisi iklim yang tidak menentu, bencana ekologis yang semakin beragam serta berbagai penyakit baru yang bermunculan diyakini sebagai dampak perubahan iklim yang kini kita rasakan. “Untuk itu harus ada upaya-upaya bersama dimulai dari spot-spot kecil yang membawa perubahan besar sebagai langkah mitigasi dan adaptasi pada perubahan iklim,”lanjut Diki. Lebih lanjut Diki menyebutkan upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang merujuk pada penyebab/pemicu deforestasi dan degradasi hutan,
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
LAPORAN UTAMA serta identifikasi terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat menghasilkan penurunan emisi, meningkatkan serapan serta stabilisasi stok karbon hutan, sebagaimana kegiatan skema REDD+. “Skema REDD+ dikatakan berhasil tidak hanya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dalam jangka panjang, tetapi juga harus mampu secara signifikan mengubah kebijakan dalam perencanaan tata guna lahan atau tata ruang dan juga tata kelola kehutanan. Selain itu juga pertumbuhan ekonomi yang ingin “tumbuh hijau” haruslah memperhatikan dan melindungi modal alam, seperti sumberdaya hutan dan jasa lingkungannya, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan,”kata Diki.
(memorandum of Understanding/MoU), dengan pemerintah Provinsi Sumbar dan BP REDD+. Penanda tanganan MoU pada 12 Maret 2014 ini, merupakan bagian dari tahap pelaksanaan implementasi REDD di delapan kabupaten/kota yaitu Kabupaten Solok Selatan, Solok, Padang Pariaman, Pasaman Barat, Pasaman, Sijunjung Pesisir Selatan dan Kota Padang serta Gubernur Sumbar dengan Badan Pengelola REDD+.
Untuk yang paling penting menurut Diki, bagaimana Skema REDD+ harus dapat menjaminkan adanya partisipasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, pengakuan atas hak dan kepentingan masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan. Juga harus ada mekanisme penyelesaian konflik tenurial dan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya menuju pengelolaan sumber daya hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan, termasuk pemeliharaan kelestarian keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem lainnya.
Dikatakannya dengan MoU ini masing-masing kabupaten/kota dan pemerintah Sumatera Barat akan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus menjaga hutan Sumatera Barat yang kondisinya relatif baik. “Dalam kunjungan menteri kehutanan ke Sumatera Barat kita berkeliling melihat kondisi hutan, menteri mengakui hutan Sumatera Barat masih bagus kondisinya, ini yang harus terus kita jaga,”katanya.
“Dalam hal ini masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa kerangka kerja REDD+ secara global dan nasional akan memberikan efek transformatif yang dibutuhkan, dan juga lestari secara sosial dan lingkungan,”sebut Diki. Bupati dan Gubernur Sumbar Tandatangani MoU dengan BP REDD + Dengan model kelola hutan berbasis masyarakat yang sudah dikembangkan Sumatera Barat, menjadikan provinsi ini sebagai salah satu provinsi percontohan implementasi REDD +. Menurut Gubernur Sumbar, awalnya Sumatera Barat tidak dimasukkan sebagai provinsi percontohan, karena Sumbar dianggap sebagai provinsi yang masih memiliki kawasan hutan yang baik, namun Gubernur Sumbar berargumen bahwa dengan kondisi hutan yang baik, maka seharusnya Sumbar juga dijadikan percontohan. Dengan argumen ini, akhirnya Sumbar terpilih menjadi daerah percontohan ke 10 untuk implementasi REDD+. Dengan ditetapkan sebagai daerah percontohan Sumatera Barat mendukung upaya pelestarian hutan dengan mengedepankan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diantaranya dengan skema hutan nagari, hutan kemasyarakatan dan juga hutan adat. Untuk implementasi REDD+ dengan di dukung oleh Badan Pengelola REDD+ delapan kabupaten/kota di Sumatera Barat telah menandatangani nota kesepahaman
“Dengan penandatanganan MoU ini, kita sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi, menghentikan deforestasi dan degradasi hutan,”kata Gubernur Sumbar Irwan Prayitno.
Menurutnya 55,3 persen kawasan Sumatera Barat masih berupa hutan dengan kondisi yang relatif baik, dan akan terus dipertahankan demikian salah satunya dengan mengedepankan pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Hal ini dilakukan karena selama ini, masyarakat terbukti mampu mengelola hutan mereka dengan baik, karena hutan memiliki dimensi hubungan yang sangat baik dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Dari 500.000 ha target Sumbar dalam mengelola hutan berbasis masyarakat, realisasinya 1738 ha sudah mendapatkan SK Hak Pengelolaan Hutan Nagari, 15.739 mendapatkan SK Penetapan areal kerja hutan desa dari Menteri Kehutanan dan 24.331 dalam proses verifikasi untuk hutan nagari oleh Kementrian Kehutanan. Ditambahkan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat Hendri Oktavia, berdasarkan perhitungan tim RAD GRK Sumbar, kontribusi emisi karbon Sumbar dari lahan dan gambut mencapai 29,9 ton karbon, angka ini setara dengan 86 persen emisi Sumatera Barat pada tahun 2012. Untuk itu mencegah deforestasi dari alih fungsi hutan menjadi target utama Sumbar dalam menurunkan emisi karbon, hal ini sejalan dengan upaya nasional yang juga menargetkan penurunan emisi sebenar 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan pihak luar. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dianggap sebagai langkah yang akan membantu untuk menurunkan emisi dari sektor lahan dan gambut. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
13
LAPORAN UTAMA 14
Simancuang yang Menginspirasi
A
walnya Simancuang yang jika dibaratkan kuali masyarakat dari Nagari Alam Pauh Doo datang ke lokasi ini untuk membuka areal persawahan pada tahun 1974. Awalnya hanya beberapa keluarga saja yang mengelola sawah di lokasi baru ini, namun kemudian banyak orang yang terus berdatangan hingga terbentuklah jorong Simancuang pada tahun 1990. Masyarakatnya mengusahakan padi sawah dengan metode tadah hujan. Galodo yang pernah datang menyebabkan areal persawahan tertimbun, dan tidak bisa di olah lain. Di sisi lain, terjadi perubahan musim sehingga masyarakat kurang bisa memprediksi awal musim tanam, mengakibatkan gagal panen. Kondisi-kondisi ini menjadikan masyarakat untuk memulai menata ulang lingkungan mereka, pembuatan saluran irigasi dan menjaga hutan yang menjadi sumber air daerah mereka. “Ketika masyarakat berniat melakukan pengelolaan kawasan hutan yang dapat mencegah galodo sekaligus menjaga daerah tangkapan air, kenyataan yang dihadapi masyarakat Simancuang adalah adanya pelaku ilegal logging yang masuk ke daerah mereka,”sebut Riche Rahma Dewita Koordinator Program KKI WARSI. Disebutkannya awalnya masyarakat kesulitan untuk mencegak aksi ini, apalagi ada oknum-oknum tertentu yang diguga terlibat. Namun akhirnya masyarakat Simancuang berhasil keluar dari kemelut ini, dengan adanya niat yang kuat sehingga adanya kawasan hutan Bukik Panjang yang dilindungi dan dikelola dengan skema hutan adat pada tahun 2000.
Potensi kayu di Hutan Nagari Simancuang yang bermanfaat untuk menjaga sumber air untuk irigasi. Foto Haryadi/Dok KKI WARSI
Berada di lingkungan bukit, masyarakat Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo Kecamatan Pauh Duo Solok Selatan Sumatera Barat, sangat teliti mengelola kawasan mereka. Bencana galodo (banjir bandang) yang pernah menerjang jorong paling ujung di Solok Selatan ini, menjadikan masyarakat waspada dalam mengelola sumber daya hutan mereka.
“Masyarakat sepakat untuk tidak menebang dan membuka lahan baru di Bukik Panjang, karena bukit ini, merupakan hulu sungai yang menjadi sumber pengairan untuk 120 Ha Sawah masyarakat Simancuang, “sebut Riche. Disebutkannya perlindungan terhadap Bukik Panjang dianggap mampu menjamin ketersediaan air dan kestabilan debit air sehingga sawah – sawah di Simancuang tidak bergantung pada musim hujan. Selain itu, disepanjang kaki bukik panjang terdapat rumah, ladang dan sawah masyarakat, sehingga memproteksi Bukit Panjang akan menghindarkan masyarakat dari bahaya longsor. Seiring dengan perkembangan waktu model kelola hutan adat ini dikukuhkan menjadi areal kelola hutan nagari yang mendapat legalisasi dari menteri kehutanan. Simancuangpun menjadi pelopor untuk mengelola hutan berbasis masyarakat dan kini menginsiprasi banyak nagari di Sumatera Barat.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
LAPORAN UTAMA Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria menyebutkan bahwa Simancuang bukanlah satu-satunya yang melakukan pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan dengan bertitik tumpu pada nilai-nilai adat. “Simancuang bukan satu-satunya, tetapi Simancuang telah menjadi inspirasi bagi nagari lain untuk mengelola sumber daya hutannya secara baik, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,”katanya. Disebutkannya saat ini sudah ada empat desa di Solok Selatan yang juga mengelola hutan dengan skema hutan nagari, seluas 12.715 ha yang terdapat di nagari Koto Baru, Pulakek, Pakan Rabaa dan Pasir Talang Timur. “Ke depan kita akan menargetkan 50 ribu ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat,”sebutnya. Muzni menyebutkan, dengan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang kini dilakukan di daerahnya mampu untuk menjaga hutan dari kerusakan, mengurangi konflik sumber daya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Disebutkannya salah satu persoalan pengelolaan sumber daya di Solok Selatan adalah maraknya aksi penambangan emas tanpa izin. Entah bagaimana hingga kini penambangan emas masih saja terjadi meski sudah ada tindakan nyata dari pemerintah dan aparat. “Dengan adanya skema PHBM di Solok Selatan, masyarakat punya kekuatan untuk mencegah dan menghentikan penambangan emas ilegal ini, untuk itu ke depan skema-skema ini akan terus kita kembangkan,”sebutnya.
alur. Setiap 10 baris ada satu alur yang dikosongkan. Dengan pola ini, hama tikus bisa dikurangi sekaligus tetap memberikan kesempatan pada belut untuk selalu ada dalam areal persawahan. Dengan adanya alur ini, juga memudahkan dalam menangkap belut tanpa harus merusak tanaman padi. Selain pola pertanian ramah lingkungan di Jorong ini juga dikembangkan listrik murah berupa PLTMH. Dengan memanfaatkan aliran air yang berasal dari perbukitan, kini 85 persen rumah di Simancuang sudah teraliri listrik. Dengan adanya penerangan ini, sedikit mampu mengobati usaha warga yang sebelumnya hanya berpenerangan dengan lampu-lampu minyak. Banyak pihak belajar dan studi banding ke Simancuang untuk melihat langsung pola pengelolaan dan manfaat langsung yang didapat oleh masyarakat dari pengelolaan yang dilakukan. Terakhir adalah kunjungan dari perwakilan 12 negara mitra Rainforest Foundation Norwey. Tamu-tamu dari berbagai belahan dunia ini terkagum-kagum meski mereka harus menempuh perjalanan sekitar 6 jam dari Kota Padang. Dengan senang hati para tamu yang didam-pingi interpreter itu tinggal di rumah-rumah penduduk selama kunjungannya ke daerah itu. Menu makanan kampung yang disuguhkan semakin menambah antusias para tetamu. Semoga Simancuang makin eksis de-ngan nilai adat dan semakin arif untuk menjaga keberlangsungan sumber daya alam. (Sukmareni)
Model Kelola Simancuang yang Mendunia Model kelola hutan yang diterapkan Simancuang terus membahana. Sistem pengelolaan hutan dan lahan di Simancuang telah menjadikan jorong yang di huni 1.500 jiwa ini kerap mendapat kunjungan para pihak. Tidak hanya mengelola hutan untuk kelangsungan hidup, kearifan lokal juga diterapkan dalam mengelola areal pertanian yang menjadi gantungan hidup masyarakatnya. “Untuk padi kami tidak menggunakan pestisida dan pupuk, kami mengandalkan jerami (merang-red) untuk meningkatkan kesuburan tanah,”sebut Edison warga Simancuang. Dengan sistem pertanian ramah lingkungan ini, selain hasil panen yang meningkat dengan biaya murah, petani juga bisa membiakkan belut sawah, untuk memenuhi kebutuhan harian dan sebagian mulai di jual ke luar jorong Simancuang.
Mitra RFN mengunjungi hutan nagari. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Untuk menghindari serangan hama, masyarakat Simancuang membuat pola tanam padi dengan beralur-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
15
16
LAPORAN UTAMA
Setengah Hati Menyediakan Ruang untuk Masyarakat
P
engelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan bentuk kebijakan pemerintah untuk menyediakan ruang kelola bagi masyarakat. Meski di gadang-gadang akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya, namun dalam implementasinya program ini masih banyak menemukan kendala sehingga tersendat pelaksanaannya. Jika merujuk pada Rencana Strategis (Renstra) Kemenhut 2010-2014 bisa dilihat bahwa strategi dan pembangunan kehutanan nasional diarahkan kepada hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Kemenhut menargetkan jutaan hektar Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Desa (HD) di akhir 2014. Adapun lahan yang ditargetkan untuk HKM seluas 2,5 juta hektar sementara areal untuk Hutan Desa seluas 500.000 hektar. Dalam hal ini Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan menyatakan akan memfasilitasi pengelolaan dan penetapan areal kerja Hkm dan Hutan Desa tersebut. Melalui kebijakan itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sebab, dengan mengelola hutan secara lestari masyarakat memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa menghancurkan ekosistem hutan. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan areal kerja PHBM ini memiliki relevansi dengan upaya penurunan tingkat deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka mencapai target reduksi emisi sebanyak 26% hingga 41%.
harapan semua pihak. Yaitu menciptakan masyarakat yang sejahtera sementara hutan tetap terjaga dengan baik. Dengan sejumlah persoalan yang ditemui tersebut, terutama yang berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi dalam birokrasi pemerintahan, maka kegiatan ini seakan-akan masih terkesan setengah hati. Padahal tujuan awalnya sudah jelas untuk memberikan ruang kelola bagi masyarakat. Jika memang pemerintah ingin memberi ruang kelola kepada masyarakat, seharusnya pemerintah juga menciptakan mekanisme yang sederhana dan tidak mempersulit masyarakat dalam mendapatkan izin kelola. Namun yang sering ditemukan di lapangan, struktur penetapan dan perizinan tidak efektif dan efisien, keterbatasan sumber daya dan sumber dana, tidak bersifat proaktif, masih tergantung dari sumber daya dan
Namun, capaian 500.000 hektar Hutan Desa yang ditargetkan oleh pemerintah belum berhasil direalisasikan. Hingga awal tahun 2014 baru ada 209.804 hektar atau sekitar 10,49% Hutan Kemasyarakatan yang telah terealisasi dari target HKM. Sementara untuk Hutan Desa baru terealisasi sebesar 30% atau sekitar 153.135 hektar dari target yang ingin dicapai. Melaksanakan kegiatan ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak persoalan yang mengakibatkan pelaksanaan PHBM sering menjadi tersendat. Antara lain, selama ini kebijakan pemberdayaan masyarakat belum bisa mengkonsolidasikan segenap sumber daya yang tersebar secara horizontal (antar sektor) maupun vertikal (pusat-daerah). Selain itu, kebijakan pemberdayaan masyarakat belum mampu mencakup keragaman praktik hutan kemasyarakatan di lapangan, khususnya yang terkait dengan IUPHHK. Semua ini secara tidak langsung akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya kegiatan PHBM yang sesuai dengan ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
LAPORAN UTAMA sumber dana dari luar, strategi pendampingan yang kurang efektif, serta baseline data sosial dan ekonomi masyarakat yang menjadi fokus pemberdayaan masih sangat lemah.
izin Hutan Desa masih dalam ketidakjelasan, di sisi lain izin untuk perusahaan terus dikeluarkan. Di sini tampak bahwa korperasi besar tetap lebih mendapat perhatian dibandingkan Hkm dan Hutan Desa.
Peran Pemerintah Daerah
Selama ini pemerintah masih sangat minim dalam memfasilitasi masyarakat mengajukan Hutan Desa. Yang lazim terjadi masyarakat mengajukan Hutan Desa dengan didampingi pihak LSM. LSM bersama masyarakat di level basis menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan PHBM. Sedangkan pihak pemerintah hanya berkutat dalam bidang administratif dan verifikasi, sementara untuk tugas pemetaan dan pendampingan masyarakat diambil alih oleh pihak LSM.
Pemerintah daerah (Pemda) memiliki peranan penting dalam mensukseskan program PHBM. Sebab, pemerintah daerah merupakan pemegang kekuasaan atas wilayah administrasi dan tata kehidupan sosial masyarakat hingga ke desa. Dalam hal ini pihak pemda bisa mengambil peran dalam mensinergikan programprogram pembangunan wilayah dengan pelaksanaan PHBM. Komponen Pemerintah Daerah yang bisa dilibat dalam kegiatan PHBM meliputi pemerintah desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Dalam upaya penyediaan ruang kelola untuk masyarakat rasanya sangat sulit dilepaskan dari peran aktif pemerintah daerah tersebut. Terutama karena birokrasi tersebut memiliki keterkaitan dalam hal pemberian izin atau rekomendasi yang akan menjadi dasar pengusulan suatu kawasan menjadi ruang kelola masyarakat ke level yang lebih tinggi. Di sinilah letak pentingnya pemerintah daerah dalam mensukseskan kegiatan PHBM di lapangan. Tanpa dukungan dan keseriusan dari pihak pemerintah daerah maka pengembangan PHBM akan sulit dilakukan. Namun, kenyataan yang sering terjadi selama ini pemerintah daerah tidak bisa maksimal dalam memberikan dukungannya. Lemahnya dukungan pemerintah daerah dikarenakan alasan klasik, yaitu keterbatasan sumber dana yang tersedia. Selain keterbatasan dana, faktor lainnya adalah disebabkan orientasi pemerintah daerah yang masih meletakkan masyarakat sebagai cost center, serta adanya keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Kebijakan Setengah Hati Kebijakan pemerintah dalam memfasilitas pengembangan PHBM selama ini sepertinya masih setengah hati. Sepertinya kebijakan ini bukan menjadi program prioritas bagi Kementerian Kehutanan. Hal itu tercermin dari lambannya proses pengeluaran izin untuk Hutan Desa. Birokrasi yang sangat panjang dan ketidakjelasan waktu sebuah izin bisa diterbitkan menunjukkan ketidak seriusan pihak pemerintah mengusung PHBM. Hal ini bertolak belakang dengan renstra Kemenhut yang menyatakan bahwa HKm dan Hutan Desa merupakan program nasional dalam rangka mendukung komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi. Ketika
Padahal, jika melihat renstra Kementhut 2010-2014, program ini merupakan kepentingan pemerintah dalam rangka komitmen penurunan emisi. Untuk itu sudah selayaknya pemerintah segera melakukan pembenahan di banyak sektor. Hingga saat ini masih banyak persoalan yang perlu dibenahi dalam upaya penyediaan ruang kelola masyarakat dalam skema PHBM. Antara lain yang mendesak untuk dibenahi adalah terkait panjangnya jalur pengurusan Hutan Desa hingga izin diterbitkan. Pemerintah harus memangkas birokrasi yang sangat panjang agar upaya pengurusan ruang kelola dalam skema PHBM ini bisa lebih efisien. Dalam hal ini Provinsi Sumatera Barat sudah melakukan terobosan untuk memutus mata rantai birokrasi yang panjang tersebut, yaitu denga pendirian Pokja PHBM agar lebih efektif. Pokja ini terdiri dari Dinas Kehutanan, Bappeda, Biro Hukum dan BP DAS. Dengan adanya Pokja seperti ini proses pengurusan izin yang selama ini berbelitbelit dan memaka waktu lama bisa dipangkas dan lebih efisien. Kebijakan seperti ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki komitmen dalam mengusung skema PHBM. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan pemberdayaan masyarakat secara intensif dan berkelanjutan. Pemerintah jangan bergantung pada asistensi dan fasilitasi yang dilakukan oleh LSM seperti yang selama ini terjadi. Sebab, LSM juga tidak akan selamanya bisa mendampingi masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu masyarakat harus diberdayakan agar mereka tetap bisa mandiri meskipun sudah tidak didampingi oleh pihak LSM pendamping. Ini adalah beberapa catatan yang harus menjadi perhatian pemerintah agar kebijakan PHBM di masa yang akan datang tidak lagi dianggap sebagai kebijakan yang setengah hati. Dan yang lebih penting, dengan dipermudahnya masyarakat untuk mendapatkan ruang kelola, maka harapan menciptakan hutan terjaga masyarakat sejahtera seperti yang selama ini digaungkan akan segera terealisasi.(Kurniawan/ Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
17
19
Potret Hutan Berdasarkan data State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan pernah di catat Guiness Book of The Record yang menyatakan Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. Begitu juga catatan Green Peace menunjukkan, setiap tahun dalam kurun 2004-2009 negara ini kehilangan 2,31 juta hektar hutan per tahun akibat praktek pembalakan liar dan alih fungsi kawasan.
Proses land clearing yang telah menghilangkan hutan alam. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Kehutanan
Khusus untuk Jambi, Berdasarkan Keputusan Menhut No. 272/Menhut/2/2012 kawasan hutan di Jambi seluas 2.165.730 ha dari 5,2 juta Ha luas Provinsi Jambi. KKI WARSI mencatat Hutan Jambi mengalami kerusakan 871.776 hektare atau 40% persen dari 2,1 juta ha luas hutan akibat penggundulan hutan, alih fungsi dan pembalakan liar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dimana kerusakan hutan ini didominasi oleh korporasi. Hal ini relevan dengan dominasi penguasaan lahan oleh korporasi di Provinsi Jambi. Terdapat lima grup perusahaan besar menguasai lahan hutan dan perkebunan Provinsi Jambi untuk berbagai manfaat yaitu Sinar Mas Group, Barito Group, Astra Grup, Group Harum dan Asian Agri Group. Sinar Mas Group mendominasi penguasan lahan dan hutan yang dikelola oleh berbagai perusahaan HTI, seperti PT Wira Karya Sakti (WKS), PT Rimba Hutani Mas (RHM) dan PT Tebo Multi Agro (TMA). Dari 2,1 juta hektare kawasan hutan Provinsi Jambi, seluas 938
ribu merupakan hutan produksi dan separuh dari luas hutan produksi dikuasai Sinar Mas (WKS) yang beroperasi di lima kabupaten di Jambi yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Batanghari, Muaro Jambi dan Tebo.
White Collar Criminality Meminjam pendapat Mardjono Reksodiputro bahwa Tindak pidana Korporasi adalah Merupakan sebagian dari “ white Collar criminality ” (WCC). Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam Tahun 1939 dengan batasan “ suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”. WCC itu sendiri dianggap sebagai akar dari kejahatan korporasi. Tindak pidana korporasi adalah tindak pidana bersifat organisatoris. Begitu luasnya, penyebaran tanggung jawab serta struktur hierarki dari korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisi-kondisi kondusif bagi tindak pidana korporasi. Anatomi tindak pidana yang sangat kompleks dan penyebaran tanggung jawab yang sangat luas demikian bermuara pada motifmotif yang bersifat ekonomis, yaitu tercermin pada tujuan korporasi (organizational goal) dan kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan berbagai pihak.
Besar Pasak Dari Pada Tiang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) hutannya. Sebanyak 2/3 daratan Indonesia (131,28 juta ha) merupakan kawasan hutan.
D
ewasa ini kita banyak disuguhkan kasus hukum terutama tindak pidana korupsi yang melibatkan para pejabat negara di tiga elemen penting yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bahkan aparat penegak hukum mulai menyentuh korporasi untuk diminta pertanggungjawaban dalam berbagai tindak pidana seperti korupsi, perpajakan, lingkungan hidup, kehutanan dan pencucian uang. Ini semakin memperjelas bahwa korupsi mulai dilakukan oleh organisasi yang mapan, terstruktur, sistematis dan memiliki jaringan yang luas untuk menghisap uang rakyat. Bahkan disinyalir korporasi sengaja dibentuk sebagai wadah untuk menampung dan mencuci hasil jarahan (kejahatan).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
20
21
Dengan kekayaan hutan yang melimpah, selayaknya negara memperoleh pemasukan yang besar di sektor kehutanan. Tapi kenyataannya sumbangan sektor kehutanan masih minim. Kementrian Kehutanan mencatat dalam lima tahun terakhir pemasukan negara dari sektor kehutanan hanya berkisar 13-15 Triliun atau 2,25% dari total penerimaan pajak dan kontribusi penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 1,2% dari tax ratio rasional 12,7%. Berarti pemasukan dari sektor kehutanan yang mengalir ke kas negara sangat minim dan jauh dari harapan. Malahan negara tiap tahun harus mengeluarkan uang untuk penanganan bencana yang terjadi tiap tahunnya baik banjir dan kebakaran hutan. Begitu juga masyarakat menanggung segala akibat bencana karena mereka yang bersinggungan langsung dengan hutan. Sedangkan pelaku kejahatan kehutanan tersenyum tersipu-sipu menyaksikan petaka tahunan ini dan setelah petaka berakhir mereka mulai melakukan penanaman usaha di areal yang mereka kuasai atas dasar legalisasi dari negara. Oleh karena itu negara harus tegas dan mengkaji pelaksanaan izin konsesi yang selama ini telah diberikan kepada korporasi. Jika ditemukan pelanggaran hukum, aparat penegak hukum tidak pandang bulu untuk menegakkan dan sekaligus memberikan sanksi yang berat serta pencabutan izin usaha. Walaupun hal ini sangat sulit dilakukan di tengah rantai hitam penegakkan hukum dan pelaksanaan pemerintah yang ramah pada korporasi yang melakukan kejahatan kehutanan, tetapi penulis tetap optimis suatu saat akan terketuk hati aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum dengan sebenar-benarnya.
di Sumatera dan Papua. Sedangkan HRW mencatat dari tahun 2003-2006 tiap tahunnya kerugiannya di sektor kehutanan mencapai USD 2 miliar atau setara dengan Rp 22 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki potensi alam, ekologis yang bernilai ekonomi dan ladang basah bagi kartel berdasi yang tentunya merugikan negara. Begitu juga di Jambi, persoalan konflik sosial marak terjadi karena pemberian izin konsesi kepada korporasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat. Contoh izin HPHH-HTI oleh Kementrian Kehutanan RI kepada PT. WKS yang tersebar di lima Kabupaten dengan luas izin mencapai 293.812 ha, 45.000 ha ke PT RHM serta PT TMA seluas 20.000 Ha menyisakan persoalan. Dalam pelaksanaan pembukaan areal pihak perusahaan melakukan penebangan kayu Hutan Alam, dan penggusuran terhadap areal pertanian, perkebunan masyarakat tani di Jambi, hal ini kemudian menyulut konflik dengan masyarakat sekitar. Begitu juga disinyalir ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sinar Mas Grup. Hal ini dipertegas oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diketahui ada tiga anak perusahaan PT Sinar Mas Group yang bergerak di sektor kehutanan di Jambi yang menunggak Dana Reboisasi sebesar Rp 181,7 miliar.
Menjerat Penjahat Kehutanan
Tak hanya itu, diduga ada laporan yang tidak benar perihal hasil tebangan kayu mencapai 4.300.332,51 meter, sehingga negara dirugikan mencapai Rp 50,84 milyar. Dana itu semestinya dibayarkan melalui Dana Reboisasi/Provisi Sumber Daya Hutan (DR/PSDH). Temuan lainnya oleh LSM GEMPAL dan FAAKI yaitu PT. WKS diduga melakukan pelanggaran dengan meng arah di luar areal konsesinya seluas ± 2.000 Ha di Kabupaten Batanghari sejak tahun 2007.
Kejahatan korporasi tidak hanya pada ranah pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah saja tetapi mulai merambah pada sektor SDA dan kehutanan. Berdasarkan Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2011, potensi kerugian negara akibat kejahatan kehutanan oleh kaum kerah putih di Kabupaten Seruyan, Sambas, Ketapang, dan Bengkayang Pulau Kalimantan mencapai Rp9,149 triliun akibat `illegal logging` dan alih fungsi hutan yang melibatkan 22 perusahaan. Ini belum termasuk di daerah lain seperti
Sejatinya dalam penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kehutanan sudah mulai kelihatan. Sebut saja kasus penyalahgunaan jabatan dalam rangka alih fungsi hutan dan eksploitasi hutan, dalam kasus tersebut Bupati Buol Amran Batalipu Telah menerima Suap dalam Rangka pemberian Ijin perkebunan dari perusahaan Milik Siti Hartati Murdaya (PT.Murdaya Plantation), kemudian kasus Korupsi yang Menimpa Gubernur Riau Rusli Zaenal Yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus alih fungsi hutan di Kabupaten Pelelawan, Dalam
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Hutan alam yang diganti dengan tanaman karet. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI.
Penegakan Hukum kasus pembalakan liar Adelin Lis Direktur PT. Kaeng Nam Development Indonesia Telah dipidana Oleh Mahkamah Agung RI. Selain itu Ada kasus penerbitan IUPHHKHT Di Kabupaten Pelelawan dengan Kerugian negara Rp. 1,2 triliun dan Mahkamah Agung melalui Putusan No.736K/ Pid.Sus/2009 telah menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara Bupati Pelelawan, T. Azmun Jaafar dalam kasus perpajakan. Teranyar kasus pidana pajak ASIAN AGRI GROUP dengan kerugian negara Rp. 1,259 triliun dimana Mahkamah Agung Dalam Putusan No.2239 K/ PID.SUS/2012 Tanggal 18 Desember 2012 menyatakan Tax Manager Asian Agri Group bersalah melakukan pidana pajak dan mewajibkan korporasi membayar denda Rp.2,519 Triliun. KPK pun pernah menangani korupsi 15 perusahaan kehutanan di Riau yang melakukan pelanggaran hukum. Lembaga anti rasuah ini menemukan kerugian negara sebesar 1,2 triliun rupiah akibat praktek pengelolaan 15 perusahaan ini yang melanggar hukum.
Sejatinya penegakan hukum dengan memakai instrument UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo No 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) sudah baik diterapkan dalam berbagai kasus korupsi kehutanan. Akan tetapi sampai saat ini belum ada penetapan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana. Padahal jika kita elaborasi lebih dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini memberikan ruang korporasi untuk diproses dan dijatuhi pidana. Ada beberapa ketentuan yang dapat dijadikan penjerat kejahatan korporasi di bidang kehutanan. Pertama UU Tipikor. Berdasarkan pasal Pasal 20 Ayat (1) membuka peluang menyeret koorporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana dengan tiga pilihan yaitu pengurusnya, kepada korporasinya atau keduaduanya pengurus dan korporasinya. Kedua UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Selain menjerat dengan tindak pidana asal misalnya
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
22
23
korupsi, perpajakan, kehutanan, pertambangan, tata ruang, dan perkebunan, UU TPPU bisa menjerat aset-aset yang dimiliki korporasi dari hasil kejahatan untuk mengembalikan kerugian negara (asset recovery).
PT WKS Diduga Rambah 2000 Ha. Lahan di Luar Konsesi
Ketiga UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang memberikan ruang untuk menjatuhkan pidana tambahan seperti perampasan keuntungan, perbaikan akibat tindak pidana, dapat digunakan (Pasal 119 UU PPLH). Keempat Menggunakan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dimana dalam UU tersebut bisa menjerat korporasi yang melakukan kejahatan kehutanan.
K
ejahatan kehutanan yang dilakukan pihak perusahaan di sejumlah daerah kian memperparah kerusakan hutan di negeri ini. Dampaknya pun semakin terasa selama beberapa tahun terakhir. Mulai dari seringnya terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar kawasan, terjadinya peningkatan bencana ekologis di beberapa daerah, hingga maraknya konflik antara manusia dan satwa.
Pembuktian Terbalik Selama ini asas pembuktian terbalik di gunakan pada individu yang melakukan korupsi. Jika aparat penegak hukum serius dan sungguh untuk menghancurkan pelaku kejahatan kehutanan mulai dari pengungkapan pelaku utama (intellectual dieder) dan perburuaan aset hasil kejahatan makan dapat menggunakan asas pembuktiaan terbalik dimana pelaku harus bisa membuktikan dari mana asal aset yang dimiliki baik oleh individu juga korporasi yang digunakan sebagai wadah dalam melakukan korupsi di sektor kehutanan. Dengan pembuktian terbalik korporasi harus bisa membuktikan dari mana asal aset-aset dan keuntungan yang diperolehnya, apakah hasil kejahatan atau murni laba usaha. Walaupun sejak tahun 1950 sudah ada beberapa aturan yang memberi ruang untuk menjerat kejahatan yang dilakukan korporasi, setidaknya aturan di atas bisa menjadi acuan bagai aparat penegak hukum bersungguh-sungguh menjerat pelaku kejahatan kehutanan baik individu maupun korporasinya. Apalagi menjelang pemilu 2014 besar dugaan para elit politik melakukan politik transaksional dengan para penjahat “berkerah putih” dengan dasar keuntungan mutualisme yaitu menyediakan dana untuk si elit dalam pemilihan dan kemudian keuntungan yang diterima berupa perizinan atau kemudahan dalam melaksanakan bisnis kotor para penjahat kerah putih ini. Dapat dibayangkan jika persekongkolan jahat ini tetap terpelihara maka kekayaan hutan tropis Indonesia hanya tinggal kenangan belaka. Saatnya kita merapatkan barisan untuk menghancurkan penjahat kehutanan di republik tercinta ini. (Ilham Kurniawan. D)
Konflik agraria, bencana ekologis maupun konflik satwa seperti ini tidak akan terjadi jika pemanfaatan lahan masih dilakukan dengan lestari dan tidak merusak ekosistem. Namun kenyataan yang terjadi selama ini para pihak mengelola kawasan dengan serampangan dan hanya memikirkan persoalan ekonomi semata. Pihak korporasi besar seringkali tak ambil peduli dengan semua dampak negatif yang akan ditimbulkan akibat aksi penguasaan lahan yang mereka lakukan. Karena hanya memikirkan keuntungan saja, akhirnya segala cara dilakukan untuk bisa mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada. Termasuk melakukan perambahan hutan di luar konsesi milik perusahaan yang telah diberikan oleh Menteri Kehutanan.
Pembukaan hutan alam untuk ditamani akasia. Foto Heriyadi/ Dok KKI WARSI
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Saat ini salah satu kasus kejahatan kehutanan yang sedang santer terdengar adalah aksi perambahan hutan oleh PT Wira Karya Sakti (WKS). Perusahaan ini diduga telah melakukan perambahan hutan seluas 2000 hektar lebih di luar areal konsesinya di Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari. Praktek ini ditengarai sudah berjalan sejak beberapa tahun lalu dan menimbulkan kerugian yang tak sedikit bagi negara. ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
24
25
Banyak hal yang mendukung tumbuh suburnya praktek keji di sektor kehutanan seperti ini. Antara lain disebabkan karena masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terkait kasus pelanggaran dalam sektor kehutanan. Kondisi ini memberi ruang dan keleluasaan kepada pihak korporasi untuk melakukan eksploitasi kehutanan di luar konsesi mereka. Selain faktor penegakan hukum yang lemah, diduga masih ada oknum dari instansi terkait yang ikut bermain dalam hal ini. Mereka sengaja diam seakan tidak tahu bahwa pihak perusahaan telah melakukan pengkaplingan lahan di luar konsesi yang diberikan Menteri Kehutanan. Akibatnya, kerusakan hutan semakin merajalela sehingga negara ditengarai telah mengalami kerugian yang sangat besar. Praktek penyerobotan lahan seperti ini adalah kejahatan besar di bidang kehutanan yang harus segera ditindak. Para oknum dan pihak korporasi yang kedapatan melakukan tindak kejahatan seperti ini harus ditindak untuk menyelamatkan hutan yang masih tersisa dan memberikan efek jera kepada siapa saja yang ingin coba-coba melakukan praktek serupa di kemudian hari. Terkuaknya kabar perambahan hutan yang dilakukan PT WKS berawal dari informasi yang berkembang di tengah masyarakat. Informasi itu kemudian ditelusuri dan akhirnya mendorong Gerakan Masyarakat Peduli Hutan (Gemphal) melaporkan PT WKS ke Menteri Kehutanan dan Kejati Jambi dalam kasus perambahan lahan seluas 2000 hektar lebih. PT WKS diduga melakukan perambahan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan RI. Berdasarkan addendum SK Menhut Nomor 346/ Menhut-II2/004, tanggal 10 September 2004, lahan yang diberikan kepada PT WKS menjadi seluas 293.812 hektare. Perlu diketahui bahwa PT WKS sudah mengantongi izin Keputusan Menteri Kehutanan No. 744/KptsII/1996, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas Areal Hutan Seluas +/- 78.240 Ha di Propinsi Jambi dan terakhir Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.346/Menhut-II/2004 tanggal 10 September 2004 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 744/Kpts-II/1996. Isinya adalah mengubah luas areal yang diberikan kepada PT. WKS dari 233.251 hektar menjadi 293.812 hektar.
lahnya sangat besar jika diakumulasikan sejak tahun 2005 hingga saat ini. Dalam hal ini PT WKS sudah melakukan tindakan pelanggaran hukum berupa kejahatan kehutanan sesuai aturan yang berlaku di negeri ini.
Hutan tanaman industri, salah satu pemegang konsesi terbesar di Jambi PT WKS diduga melakukan perambahan hutan di luar blok konsesi mereka yang menyebabkan kerugian milyaran rupiah. Foto Hetiyadi/Dok KKI WARSI.
Pada tahun 2005 PT WKS sempat mengajukan izin perluasan areal pada daerah administrasi Kabupaten Batanghari dan mengantongi SP-1 tahun 2010. Permohonan perluasan tersebut ditolak karena daerah ini termasuk rawan konflik. Apalagi di sekitar daerah ini telah ada kebun masyarakat serta pencadangan lahan untuk HTR.
Selanjutnya, pada tahun 2010 Menhut mengeluarkan SP-1 terkait permohonan perluasan areal 7.960 dan PT. WKS berkewajiban menyusun dokumen AMDAL. Menurut informasi dari BLHD Provinsi Jambi, PT WKS telah menyusun ANDAL namun dokumen itu tidak ada kelanjutannya hingga usulan PT WKS tersebut ditolak oleh Menhut.
Namun, sebelum mendapatkan izin dari pihak Menteri Kehutanan, PT WKS diduga telah melakukan perambahan hutan dan pemanfaatan lahan di luar areal konsesinya dan pada sebagian areal yang diusulkan seluas 7.960 hektar menjelang diterimanya usulan perluasan areal yang diajukan pada tahun 2005. Perusahaan ini juga diduga melakukan kegiatan di luar areal konsesinya dan di luar areal yang disulkan pada tahun 2005 tersebut seluas 2.000 hektar. Sepertinya pihak perusahaan mulai melakukan penyalahgunaan pemanfaatan lahan sejak tahaun 2005, di saat proses pengusulan perluasan sedang dilakukan.
Pada tahun 2011 PT. Aro Mas mengusulkan IUPHHK HTI pada areal 2.000 hektar yang sudah ditanami akasia oleh PT WKS sejak tahun 2005. Akan tetapi berdasarkan rekomendasi dan telaah dari Dinas Kehutanan provinsi Jambi, saat itu areal yang diusulkan PT Aro Mas memang belum dibebani izin. Namun, kondisi di lapangan ternyata pada areal tersebut sudah ditanami akasia dan sudah memasuki daur ke 3. Hal itu mengakibatkan usulan PT Aro Mas ditolak oleh Menhut. Tindakan PT WKS melakukan perambahan hutan dan pengelolaan lahan di luar areal konsesi yang mereka miliki diduga telah merugikan keuangan negara. Jum-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Berdasarkan laporan LSM GEMPHAL dan FAAKI ke Kajati Jambi beberapa waktu lalu, dugaan kerugian yang dialami oleh negara akibat perambahan hutan di luar areal konsesi WKS tersebut diperkirakan mencapai Rp 280 miliar. Ini adalah jumlah yang sangat besar. Angka itu dihitung mulai dari dana reboisasi, dana PSDH dan pengambilan kayu yang dilakukan pada tahun 2005 di areal 2.000 hektar yang dirambah oleh pihak WKS. Sebagai tindak lanjut terhadap kasus penyerobotan lahan diKabupaten Batanghari tersebut, pihak Kejati Jambi telah memeriksa pelapor, Dinas Kehutanan Provinsi, Dishut Kabupaten, BLHD dan manjemen PT WKS. Setelah memeriksa para pihak dalam kasus tersebut, Kejati akan mengagendakan pengecekan lokasi yang yang diduga disalah-gunakan oleh PT WKS berdasarkan laporan yang disampaikan LSM GEMPHAL dan FAAKI. Saat ini kita tinggal menunggu apakah kasus tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana kejahatan kehutanan atau tidak. Meski sudah masuk ke dalam ranah hukum, namun semua pihak harus terus memantau agar tidak kecolongan. Sebab, selama ini aparat cenderung cuma berani menjerat pelaku kelas bawah. Sementara jika korporasi besar yang terlibat seringkali lolos dari jeratan. Sehingga perlu ada keberanian dan keseriusan aparat hukum dalam menjerat korporasi karena tindakan tersebut selama ini telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Semua pihak harus peduli dan mengawal proses hukum yang sedang berjalan terkait kasus penyerobotan lahan oleh PT WKS di Batanghari. Jangan sampai ada celah bagi siapa pun untuk memainkan kasus tersebut yang akhirnya memberi peluang bagi pihak perusahaan untuk cuci tangan dari kasus yang merugikan negara tersebut. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
26
27
PT. MAP Inkonsistensi Kebijakan yang Mengancam Upaya Penurunan Emisi Karbon “Sejak hutan ini dibuka, dusun-dusun sekitar ini kesulitan air bersih, setiap hujan air langsung kotor, padahal kami warga dusun di sekitar ini masih memanfaatkan air sungai untuk beragam kebutuhan rumah tangga,” sebut M Ali warga Dusun Senamat Ulu Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo.
H
utan yang dimaksud Ali merupakan hamparan perbukitan yang kini kondisinya sudah gundul dan ditanami karet. Menurut pengakuan Ali, masyarakat desa tidak diajak berunding terlebih dahulu untuk membuka kawasan hutan di hulu Batang Senamat serta hulu Batang Bungo tersebut. Menteri kehutanan mengeluarkan Surat Keterangan Nomor 570 /Menhut-II/2009 pada 28 September 2009 untuk melegalisasi PT Malaka Agro Perkasa (MAP) pada kawasan seluas 24.485 dengan jenis Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHKHT), yang juga dikenal dengan nama HTI. Keputusan menteri ini baru diketahui masyarakat setelah aktivitas land clearing berlangsung di kawasan tersebut. Lokasi HTI ini tidak sulit untuk dijangkau, hanya sekitar 1 km dari dusun terdekat yaitu Aur Cino, tetangga Senamat Ulu. Kondisi yang berdekatan dengan pemukiman ini menjadikan kawasan ini rawan konflik, karena ada juga areal kelola masyarakat di lokasi tersebut, berupa kebun agroforest. Tidak hanya konflik, pola pengelolaan lahan yang diberlakukan perusahaan dengan cara menggunduli perbukitan juga sangat rentan dengan bencana ekologis, serta meningkatkan serangan hama khususnya babi ke areal perkebunan warga tiga kali lipat sejak kawasan hutan tersebut di buka. Terkait persoalan ini, masyarakat desa sudah berulang kali melakukan aksi demo baik ke Bupati, DPRD bahkan ke Menteri Kehutanan, tetapi belum ada penyelesaian atas persoalan konflik lahan ini. Meski terbelit konflik, aktivitas perusahaan terus berjalan. Perbukitan yang sudah digunduli ditanami karet.
Di bagian lain aktivitas land clearing untuk merubuhkan hutan alam nampaknya juga masih berlanjut. Deforestasi dan Penurunan Emisi Karbon Tak hanya konflik lahan dan dampak ekologis yang dirasakan masyarakat sekitar, kehadiran MAP juga mengancam rencana pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi karbon 21 persen pada 2020 dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan pihak luar. Berdasarkan analisis citra satelit yang dilakukan KKI WARSI, pada areal konsesi MAP terdapat 15.019 ha kawasan yang berupa hutan alam primer. Sejak MAP berkegiatan, hutan alam ini sudah hilang seluas 5.101 ha atau dengan kata lain laju deforestasi di wilayah PT MAP tahun 2006-2013 sebesar 728 ha/tahun. Tentu saja kehilangan hutan ini menjadi penyumbang pelepasan karbon ke atmosfer bumi. Dengan kehilangan hutan dengan patokan nilai potensi karbon kawasan hutan primer sebesar 365 ton C/ha (survei karbon Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur Kabupaten Bungo tahun 2013, KKI WARSI), maka dengan kehilangan hutan primer di MAP telah menyumbangkan pelepasan karbon sebesar 1,8 juta ton karbon atau 266 ribu ton C/ tahun. Kondisi ini tentu meningkatkan emisi karbon Jambi yang pada tahun 2005 tercatat menyumbang emisi sebesar 54 juta ton. Jika tidak ada langkah perbaikan alias bisnis berlanjut sebagaimana biasa maka pada 2030 Jambi akan menyumbang emisi 74 juta ton karbon. Dengan kondisi ini, upaya untuk menjaminkan penurunan emisi sebagaimana yang dicanangkan pemerintah tentu akan sulit terwujud. Dengan kondisi ini juga Jambi akan berperan banyak dalam perubahan iklim global. Menjadi persoalan ketika masyarakat kita di negara berkembang termasuk kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Untuk itu, seharusnya ada langkah-langkah kongkrit untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Bagi warga sekitar Bungo, pembukaan lahan yang masif
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Tumpukan kayu alam dari PT MAP yang diganti dengan karet. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
di daerah ini untuk HTI, perkebunan dan areal pertambangan telah merasakan perubahan iklim. Menurut Ali, dahulu dusunnya beriklim sedang kini menjadi lebih panas sejak semakin banyaknya hutan yang terbuka. Memang di sekitar Senamat tidak hanya MAP yang membabat hutan, akan tetapi sejumlah unit kegiatan lain seperti perkebunan sawit, dan pertambangan juga hadir di wilayah Bungo yang berpotensi menyumbang emisi dan berakibat perubahan iklim. Dengan perubahan iklim ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kemampuan tanaman untuk berproduksi maksimal, juta potensi peningkatan serangan hama. Meski belum dilakukan kanjian mendalam terkait dampak ini, namun dampak perubahan iklim ini mulai dirasakan masyarakat. Keseriusan dan kesungguhan semua pihak untuk menyelamatkan lingkungan menjadi pilihan yang harusnya diambil para pihak dan tidak mencoba ‘bermain’ dan mencari celah untuk terus menggerus sumber daya alam. Sebab memang banyak celah yang bisa dimainkan untuk mengeruk sumber daya yang ada. Seperti MAP memang legal karena berada di kawasan hutan produksi. Namun harusnya juga penetapan kawasan hutan untuk HTI mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tentang pedoman pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman sangat jelas mengatur kriteria kawasan yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebagai konsesi hutan tanaman.
Keputusan menteri ini menjelaskan ketentuan kawasan yang boleh diberi izin untuk HTI. Dari segi tutupan vegetasi kawasan yang diperbolehkan untuk jadi HTI adalah yang berupa non hutan yang diartikan sebagai semak belukar, padang alang-alang, dan tanah kosong. Atau berupa areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 kubik per hektar. Pun demikian soal topografi kawasan yang dibenarkan untuk HTI adalah yang keadaan topografi dengan kelerengan maksimal 25 %, dan topografi pada kelerengan 8 % sampai dengan 25 % harus diikuti dengan upaya konsevasi tanah. Lebih lanjut dalam aturan menteri ini dijelaskan kawasan konsesi yang terdapat hutan alam di dalamnya harus dijadikan sebagai kawasan konservasi. Kalaupun terpaksa untuk melakukan penebangan di hutan alam semisal untuk kebutuhan membangun camp hanya diizinkan sebanyak 1 persen dari kawasan konsesi. Melihat ini, hutan alam yang boleh dihabisi MAP hanya 248 ha. Namun kenyataannya berdasarkan penafsiran Citra satelit, diketahui MAP sudah melakukan penebangan di kawasan hutan alam dengan kerapatan berkali lipat dari yang di sayaratkan keputusan menteri kehutanan. Padahal jika ditelusuri ke belakang, lahirnya keputusan menteri kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 untuk mengantisipasi kecurangan yang sering terjadi sebelum tahun 2000 dimana perusahaan mengajukan permohonan izin hutan tanaman, namun merupakan sebagai modus untuk menebangi kayu alam yang ada di atas konsesi yang dimaksudkan. Fakta di lapangan keputusan menteri ini, cenderung diabaikan oleh menteri kehutanan itu sendiri yang melegalkan izin HTI. Tentulah inkonsistensi kebijakan ini, akan berdampak pada upaya untuk menurunkan emisi karbon, sekaligus akan semakin memperpanjang beragam persoalan ekologis yang kini menjerat masyarakat. Langkah-langkah kongkrit berkelanjutan guna menciptakan keseimbangan pengelolaan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya masih harus dilakukan. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
DARI HULU KE HILIR
28
DARI HULU KE HILIR Tingginya intensitas banjir di Jambi berkait erat dengan ketidakseimbangan ekosistem yang terjadi di Jambi hingga hari ini. Sehingga banyak kawasan yang berfungsi sebagai tangkapan air dialihfungsikan untuk fungsi lain. Sebab, fakta yang ada menunjukkan bahwa hutan yang seharusnya dipertahankan untuk menjaga keseimbangan sumberdaya alam di Jambi terus mengalami kemerosotan mutu dan kualitas karena beralih fungsi untuk peruntukan lain serta maraknya aksi pencurian kayu.
Banjir yang semakin sering melanda sejumlah daerah di Jambi seiring dengan kerusakan daerah tangkapan air. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Mengembalikan Fungsi Kawasan Tangkapan Air
H
ingga memasuki awal tahun 2014 bencana banjir masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat di Provinsi Jambi. Banjir selalu menghantui masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai atau di sekitar kawasan rawan banjir lainnya. Bahkan, siklus banjir di Jambi sudah sulit diprediksi. Salah kelola kawasan yang terjadi selama ini menjadi salah satu faktor penyebab maraknya bencana ekologi di daerah ini. Berdasarkan catatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, selama tahun 2013 banjir di Jambi telah menimbulkan kerugian cukup besar bagi masyarakat. Tercatat sebanyak 48.121 rumah terendam, 1.050 hektar sawah gagal panen, serta ribuan hektar areal perkebunan rusak. Selain itu, banjir juga merendam 60 unit sarana pendidikan. Ketika banjir melanda, pihak sekolah pun terpaksa meliburkan para siswa untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Tingginya intensitas banjir yang melanda Jambi tak bisa dilepaskan dari adanya kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam. Agar bencana seperti ini tidak kembali berulang dan menjadi persolan yang meresahkan di kemudian hari, diperlukan sebuah kebijakan yang dianggap tepat terkait penanganan bencana maupun langkah antisipasi sebelum terjadi bencana. Banjir tidak akan menjadi bencana sedahsyat sekarang ini jika
sejak dulu sudah ada komitmen dan aksi nyata untuk mengantisipasi terjadinya banjir di belakang hari. Untuk itu sangat mendesak melakukan perbaikan dalam pengelolaan sumber daya demi mengurangi ancaman banjir di masa yang akan datang. Namun, sayangnya hal itu sering kali diabaikan banyak pihak. Selama ini, pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara serampangan tanpa memedulikan dampak yang kelak akan timbul. Kondisi ini yang kemudian menjadi penyebab terjadinya bencana banjir seperti yang dialami masyarakat Jambi selama beberapa tahun terakhir ini. Memang dalam jangka waktu dekat dampak buruk dari cara pengelolaan sumber daya alam yang serampangan itu tidak akan langsung terlihat. Ia baru akan terasa beberapa tahun kemudian atau bahkan mungkin puluhan tahun yang akan datang. Barangkali selama ini dampaknya tidak pernah terpikirkan jauh hari sebelumnya oleh para pihak yang mengelola SDA di Jambi. Atau bisa juga sebenarnya mereka sudah tahu apa yang akan terjadi namun sengaja tak peduli .Begitu bencana terjadi yang menerima dampaknya adalah orang banyak. Bukan saja para pihak yang melakukan eksploitasi, bahkan sering kali masyarakat yang merasakan langsung dampaknya sebenarnya tidak tahu menahu dengan aktivitas eksploitasi alam yang dilakukan dengan semena-mena tersebut.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Berdasarkan Keputusan Menhut No. 272/Menhut/2/2012/ Tentang Perubahan Kawasan Hutan di Jambi seluas 13.712 hektar. Dengan SK ini kawasan hutan di Jambi menjadi seluas 2.165.730 hektar. Dari luasan itu terdiri dari HTI seluas 776.652 hektar, HPH 72.095 hektar dan terdapat 329.000 hektar HPH tidak aktif. Sisanya kawasan konservasi. Sementara HGU sawit seluas 1.358.619 hektar, tambang 783.737 hektar. Namun di tahun 2013 areal untuk HTI kembali ditambang dengan hadirnya HAN seluas 32.680 hektar. Dan nampaknya juga akan semakin bertambah ke depan dengan adanya pengajuan izin HTI untuk Gading Karya Makmur 28163 di Sarolangun dan Rimba Hutani Industri di Batanghari. Semua ini menjadi penyumbang banjir yang akan melanda kawasan rawan banjir di Jambi. Agar persoalan bencana ekologis seperti yang terjadi selama ini tidak terus terulang dari tahun ke tahun, maka ke depan semua pihak perlu melakukan pengelolaan sumber daya alam dengan baik. Manager Komunikasi KKI WARSI Rudi Syaf mengatakan, ada beberapa persoalan yang perlu dibenahi untuk mengatasi persoalan banjir dan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jambi. Salah satu hal yang mendesak harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi kawasan tangkapan air. Daerah tangkapan air yang selama ini rusak karena beralih fungsi harus segera dikembalikan fungsinya menjadi kawasan hutan kembali. Jika ternyata kedapatan ada izin baru di kawasan tangkapan air, maka harus segera ditinjau kembali. Terkait hal itu, ia mengharapkan agar pemerintah juga tidak mengeluarkan izin-izin baru di kawasan hutan agar tidak memperparah kondisi kerusakan sumber daya alam di Jambi. Ia menambahkan, selain mengembalikan fungsi tangkapan air di bagian hulu, mendesak juga untuk melakukan rekayasa sipil di badan-badan sungai. Penerapan kegiatan rekayasa sipil ini bisa direalisasikan dengan melakukan pengerukan di kawasan dangkal, serta melakukan pengecekan dam di bendungan hulu. Namun rekayasa sipil ini hanya bisa dilakukan untuk DAS yang pendek seperti DAS Batang Merau dan DAS Batang Pelepat.
Sementara untuk DAS Batanghari yang lebih panjang cara rekayasa sipil seperti ini tidak bisa dilakukan. Sebab, DAS Batanghari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia dengan luas daerah tangkapan air (water catchment area) 4,9 juta hektar. Sebagian besar sub DAS Batanghari berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sekitar 76 % DAS Batanghari berada di provinsi Jambi, dan selebihnya berada di provinsi Sumatera Barat. Selain melakukan rekayasa sipil seperti itu, mengatasi persoalan banjir yang terjadi di Jambi juga perlu memperhatikan persoalan tata ruang. Sebab, persoalan tata ruang juga memiliki peranan sangat penting jika bicara persoalan pengelolaan sumber daya alam. Sementara tata ruang yang ada sekarang bisa diapresiasi dengan mengurangi kawasan hutan seluas 35 ribu hektar. Namun, selain itu pemerintah juga harus tegas dalam implementasi tata ruang. Jika ada pelanggaran hukum harus ada penegakan hukum dengan tegas. Sebab pada kenyataanya sampai hari ini masih ada inkonsistensi kebijakan. Sebagai contoh, Kepres mengatakan lahan gambut dengan kedalaman 3 meter adalah kawasan lindung namun dalam kenyataanya sebanyak 35 persen areal PT WKS yang telah mendapatkan izin, yaitu unit 1-5 adalah lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter. Ini menjadi legal karena kawasan tersebut berada dalam kawasan hutan produksi. Intinya, aturan yang dimiliki memang harus ditegakkan dengan baik dan benar. Jika semua itu bisa berjalan dengan baik, maka ke depan kondisi Jambi bisa dipastikan akan semakin membaik. Dan yang tak kalah penting harus didukung oleh semua pihak terkait adalah menghidupkan kembali kearifan lokal masyarakat dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam. Karena sejak dulu masyarakat sudah membuktikan bahwa mereka mampu menciptakan hubungan yang harmonis dengan alam. Mereka melakukan pengelolaan kawasan yang lestari dan berkelanjutan melalui keberadaan hutan adat, rimbo pusako, rimbo larangan, rimbo parabukalo, lubuk larangan, hompongon, dan aneka kearifan lokal lainnya yang sudah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jika semua ini bisa dihidupkan kembali, maka persoalan bencana ekologis yang selama ini mengancam diyakini bakal bisa dikurangi. Sebab, bencana ekologis seperti banjir bukan masalah yang sama sekali tak bisa diatasi. Namun untuk mengatasinya perilaku manusia-nya juga perlu diubah. Semua pihak harus bisa bersahabat dan tidak mengeksploitasi alam tanpa memedulikan dampak yang akan ditimbulkan. Jika kita mau bersahabat dengan alam, maka alam pun akan bisa bersahabat dengan kita. Untuk itu, demi kehidupan yang lebih baik, mari bersama-sama menjaga alam sehingga ia menjadi ramah sepanjang masa.(Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
29
DARI HULU KE HILIR
30
DARI HULU KE HILIR
Survei di Hutan Adat Rantau Kermas untuk dimasukkan dalam database sehingga bisa dipilih oleh pengasuh. Foto Dok KKI WARSI
Mengasuh Pohon Mendukung Penurunan Emisi Karbon
E
mbun dan udara segar di pagi hari, sudah sangat jarang terasa di perkotaan. Sejak subuh datang, udara panas yang menyengat, kering tanpa embun sudah mendominasi. Semakin berkurangnya pohon dan meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil merupakan penyebab semakin panasnya bumi. Menyelamatkan hutan dan memperbaiki perilaku menjadi individu ramah lingkungan merupakan langkah untuk membantu memperbaiki kondisi lingkungan saat ini. Masyarakat Desa Rantau Kermas Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat boleh disebut tengah berupaya membantu menyelamatkan hutan. Masyarakat desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat ini, berinisiatif untuk melindungi kawasan hutan di sekitar desa mereka yang berada di kawasan APL dengan skema Hutan Adat seluas 120 ha, yang berada di dua lokasi, satu lokasi di bagian barat daya desa seluas 77 ha dan di bagian Tenggara 43 ha. Penetapan hutan adat ini sudah disahkan melalui Peraturan Desa (Perdes) Rantau Kermasnomor 01/ kades/RK/3/2000. Dalam Perdes ini juga ditetapkan kelompok pengelola hutan adat, sistem pengelolaan dan dan pemanfaatan hutan adat. Perdes yang ditetapkan
pada tanggal 16 April 2000, hingga kini masih berlaku di masyarakat. Untuk menguatkan legalitasnya, belakangan masyarakat Rantau Kermas mengajukan penetapan areal kelola hutan adat ini dengan SK Bupati Merangin yang kini masih berproses. Hutan adat ini dikelola masyarakat lebih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dari multi manfaat hutan. Hutan yang terpelihara berarti jaminan untuk kelancaran pengairan sawah, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), yang menjadi sumber energi bagi lebih dari 103 KK penduduk desa yang bisa dijangkau sekitar 5 jam perjalanan kendaraan roda empat dari Bangko Ibukota Kabupaten Merangin. Selain itu, masyarakat memproteksi hutan untuk memberikan jaminan kepastian pengelolaan, sekaligus menghadang perambahan kawasan hutan sebagaimana yang terjadi di desa-desa bagian hilir Rantau Kermas. Manfaat lainnya menjaga hutan adat ini adalah untuk mencegah bencana ekologis yang sangat mungkin menghampiri masyarakat desa yang berada di ketinggian lebih dari 1000 meter dpl ini. Hutan adat juga sebagai perlindungan sumber bahan baku kayu atau obat-obatan yang akan diwariskan pada anak cucu nantinya.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Pohon Asuh Dengan komitmen masyarakat yang tinggi dalam menjaga hutannya, manfaat yang dirasakan tidak hanya bagi masyarakat desa tersebut tetapi juga bagi masyarakat global yang saat ini berkutat dengan persoalan perubahan iklim dan pemanasan global. Inisiatif masyarakat ini sudah sewajarnya untuk diapresiasi dan keberadaan hutan juga bisa memberi manfaat lebih. Untuk mendapatkan ini, maka di inisiasi atau pengasuhan pohon yang berada di hutan adat Rantau Kermas. Pohon Asuh dikembangkan merupakan menghimpun dana yang akan diberikan sebagai reward kepada masyarakat yang telah menjaga hutannya dengan baik. WARSI bersama masyarakat telah bekerja untuk pendampingan masyarakat termasuk Rantau Kermas sekaligus menginisiasi pohon asuh di hutan adat ini. Program Pohon Asuh perdana di Jambi ini memberikan kesempatan luas kepada masyarakat global untuk membantu menjaga pohon-pohon di hutan adat ini. Dari pemetaan yang dilakukan WARSI bersama masyarakat desa, terdapat 891 pohon di hutan adat ini, berupa kayu Medang, Terentang, Nolan, Surian dan lainnya. Bagi calon pengasuh dapat mengunjungi website: pohonasuh.org. Calon pengasuh dapat melihat data pohon yang akan diasuh, berupa jenis kayu, diameter, koordinat dan foto pohon. Setiap pengasuh dapat mentransfer dana sebanyak Rp 200.000 perpohon, untuk jangka satu tahun. Bagi Bagi pengasuh pohon berhak untuk mendapatkan sertifikat pengasuh pohon, mendapatkan informasi po-
hon yang diasuh dari kelompok pengelola hutan adat sesuai dengan update pohon asuh yang dilakukan pengelola setiap 6 bulan sekali. Untuk mengelola dana ini, masyarakat bermusyawarah pemanfaatannya. Yaitu untuk kelompok pengelola hutan adat 25% dan masyarakat desa Rantau Kermas 75%. Pemanfaatannya ini akan digunakan untuk biaya operasional termasuk untuk patroli, pengayaan tanaman dalam kawasan hutan adat, kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan lain yang menyeimbangkan fungsi ekonomi dan konservasi dari kawasan hutan adat. Kelompok pengelola berkewajiban menjaga, mengontrol pohon yang telah diasuh oleh pengasuh mulai dari update foto sampai kepada kondisi pohon update kondisi pohon dilakukan sekali dalam 6 bulan. Kelompok juga berkewajiban menginformasikan kepada pengasuh pohon apa bila masa asuh telah berakhir, yang dilakukan sebulan sebelum masa pengasuhan berakhir. Pengelola juga akan mencantumkan nama pengasuh dan keterangan pohon yang telah diasuh dalam bentuk papan nama yang di pasang pada pohon yang di asuh. Pengasuhan pohon yang sudah di launching sejak Januari lalu, tercatat 10 orang yang mengasuh pohon dengan jumlah pohon yang diasuh sebanyak 32 pohon. Termasuk dalam pengasuh pohon ini Kuntoro Mangkusubroto kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Dengan mengasuh pohon merupakan bentuk kontribusi nyata para pihak untuk menyelamatkan lingkungan dan mendukung program penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
31
GIS SPOT
32
Pemetaan Partisipatif Hutan Adat
M
emiliki peta wilayah adalah syarat mutlak dalam memperjuangkan hak-hak kelola masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki. Terkait hal itu, setiap proses pengukuhan kawasan hutan adat harus diawali dengan penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Semua proses ini harus dilakukan dalam rangka mendapatkan pengakuan kawasan kelola masyarakat adat, dengan skema hutan adat. Untuk pemetaan dilakukan dengan pola pemetaan partisipatif, yaitu metode pembuatan peta yang menjadikan masyarakat sebagai aktor dalam pembuat peta wilayahnya sendiri serta sebagai penentu dalam rencana pengembangan dan pengelolaan wilayah tersebut. Melalui pemetaan partisipatif masyarakat adat bisa melakukan identifikasi terhadap tanah dan hutan yang mereka klaim sebagai kawasan kelola adat. Pemetaan ini juga sangat membantu dalam mengatasi konflik lahan atas hutan dan wilayah masyarakat. Untuk itu, masyarakat yang melakukan pemetaan adalah orang yang benar-benar memahami batas imajiner dan kearifan lokal yang selama ini ada di lingkungan kawasan yang mereka petakan. WARSI selalu menjadikan pemetaan partisipatif sebagai ujung tombak untuk langkah awal pengakuan hak kelola masyarakat adat. Terbaru WARSI dan masyarakat Rantau Kermas dan Renah Alai di Kecamatan Jangkat Merangin untuk pengakuan hak kelola hutan adat di kedua desa yang menjadi penyangga TNKS itu. Saat ini kedua desa tengah menunggu pengakuan hak kelola mereka yang sedang berproses di Bupati Merangin. Memiliki legalitas SK pengukuhan hutan adat merupakan sebuah bentuk solusi dan jaminan bagi masyarakat adat dalam mengelola kawasan hutan mereka. Untuk itu WARSI sejak dahulu melibatkan langsung masyarakat, diikuti dengan kegiatan peningkatan kemampuan masyarakat dengan adanya pelatihan pemetaan. Pengetahuan tentang peta dan penggunaan kompas, meteran dan GPS. Ini adalah modal awal yang mesti dikuasai sebelum melakukan pemetaan di lapangan. Setelah menguasai kemampuan dasar dalam pemetaan partisipatif ini, masyarakat baru melakukan langkah awal pemetaan berupa pembuatan sketsa wilayah. Sketsa ini bertujuan untuk menggali informasi sebanyak mungkin tentang potensi sumber daya, pola penggunaan lahan, dan batas wilayah yang akan dipetakan tersebut. Setelah sketsa wilayah didapatkan barulah kemudian melakukan survei lapangan dengan menggunakan kompas, GPS dan meteran. Dalam proses survei ini tim akan melakukan peni-
WAWANCARA
tikan di lokasi-lokasi berdasarkan informasi yang didapat ketika pembuatan sketsa wilayah. Di Jambi kelompok masyarakat yang sering diabaikan dalam proses pembangunan adalah komunitas Orang Rimba dan Bathin IX. Kelompok masyarakat ini masih kurang mendapatkan sokongan dari para pihak, sehingga mereka sebagian besar hidup dalam ketidakpastian kawasan tempat tinggal, bahkan terlunta-lunta di tanah mereka sendiri yang sudah dilegalisasi pemerintah untuk berbagai peruntukan, baik perkebunan, transmigrasi, hutan tanaman dan pertambangan.
Selain melakukan pengukuran, ketika melakukan survey tim juga mencatat semua hal yang dianggap perlu dalam pembuatan peta. Mulai dari kondisi fisik lahan, jenis vegetasi,pola penggunaan lahan dan lain sebagainya. Data-data ini yang kemudian akan diolah menjadi peta hutan adat yang bakal diusulkan perizinannya ke pihak pemerintah. Dalam diskusi Hutan Adat di Renah Alai dan Rantau Kermas beberapa waktu lalu, Deputi KKI WARSI Yulqari mengatakan, setelah memiliki peta partisipatif hutan adat langkah selanjutnya adalah mencari dukungan pemerintah daerah setempat untuk melakukan pengesahan hutan adat. Sehingga kemudian perlu dilakukan paduserasi peta agar dapat diketahui status kawasan yang diusulkan tersebut. Upaya paduserasi tersebut dilakukan dengan melakukan kroscek ulang kondisi batas yang ada di lapangan. Adapun proses paduserasi yang dilakukan berupa kroscek kondisi lapangan dengan GPS. Kemudian melakukan digitasi hasil penitikan lapangan dan melakukan overlay peta hutan adat dengan digitasi hasil penitikan di lapangan. Sehingga akhirnya dihasilkan peta hutan adat berdasarkan kondisi terkini. Adapun rencana tindak lanjut yang harus dilakukan setelah melakukan pemetaan adalah melakukan kesepakatan di tingkat desa. Jika sudah disepakati terkait usulan peta hutan adat tersebut maka akan melakukan update profil desa, lay out peta usulan hutan adat, tinjau ulang kelompok pengelola hutan adat, serta penertbitan SK pengelola hutan adat oleh Pemdes dan pemangku adat. “Setelah semua itu dilakukan dilanjutkan dengan membuat usulan penetapan hutan adat kepada bupati dan mengawal hingga SK penetapan Hutan Adat diterbitkan,” ungkapnya. Tujuan akhirnya adalah mendapatkan suatu kawasan hutan yang legal dan legitimate. “Legal” berarti secara hukum sudah mengikuti tata aturan yang sudah ditetapkan, dan “legitimate” berarti adanya pengakuan dan penerimaan dari pihak lain atas tata batas dan keberadaan kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan yang legal dan legitimate ini memberikan kepastian hukum tidak hanya bagi negara c.q. Kemenhut tetapi juga bagi masyarakat sekitar hutan dan pemegang izin usaha kehutanan. (Safitri (dkk), 2011) Dengan berbekal SK pengukuhan hutan adat, maka secara otomatis akan membuka peluang bagi masyarakat adat untuk melakukan praktik kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam. Tujuannya adalah agar masyarakat adat berpeluang mengejar kesejahteraan secara ekonomi melalui pemanfaatan hutan secara lestari dan berkesinambungan. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Orang Rimba yang hidup dalam ruang jelajah yang besar, sebagian besar kawasan hidup mereka sudah beralih fungsi. Hanya sebagian kecil kawasan jelajah mereka yang diproteksi untuk perlindungan terakhir mereka seperti halnya keberadaan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Sejak awal lahirnya taman nasional ini memang ditujukan untuk melindungi sumber penghidupan Orang Rimba. Sementara sebagian besar komunitas Orang Rimba, terutama disepanjang jalan lintas tengah Sumatera dan bagian Selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, kehidupan mereka tidak memiliki kepastian. Belum ada kebijakan negara yang mengakomodir mereka dalam sistem pembangunan yang berlaku. Kawasan hidup mereka sudah dilegalisasi pemerintah untuk perkebunan sawit, hutan tanaman dan transmigrasi. Untuk memperjuangkan haknya, Orang Rimba berada di posisi terbawah karena kemarginalan mereka di semua bidang kehidupan.
Kuntoro Mangkusubroto
Memasukkan Kawasan Hidup Orang Rimba dalam One Map Policy
M
asyarakat yang hidup di dalam dan disekitar kawasan hutan, merupakan kelompok masyarakat yang menggantungkan kehidupan mereka pada sumber daya hutan. Namun sayangnya dalam banyak kebijakan ‘pembangunan’ yang melibatkan pengelolaan sumber daya hutan, keberadaan kelompok masyarakat ini jarang diperhitungkan. Hal ini kemudian melahirkan banyak konflik pengelolaan sumber daya alam, dimana kelompok masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan biasanya berada di posisi paling lemah sehingga tidak memiliki posisi tawar yang memadai untuk mendapatkan hak-haknya.
Pun demikian dengan masyarakat Bathin IX. Komunitas yang berbasiskan pertanian dan hidup menetap ini, dengan pola petalangan, juga mengalami nasib serupa. Keberadaan mereka belum terakomodir dengan baik, malahan mereka cenderung dijadikan tameng oleh sejumlah pihak untuk meraih dukungan yang belum tentu benar-benar untuk kepentingan penyelamatan kawasan hidup mereka. Akibatnya konflik pemanfaatan sumber daya terus bermunculan dan posisi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan berada diposisi yang paling memprihatinkan. Harus ada kebijakan dan juga dukungan dari para pihak untuk adanya perlindungan kawasan hidup komunitas adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Jika tidak konflik pengelolaan sumber daya yang melibatkan komunitas yang termasuk ke dalam kelompok Masyarakat Hukum Adat ini akan terus berlangsung. Apa upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan kawasan hidup mereka, Alam Sumatera mewawancarai Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto yang hadir di Jambi dalam rangkaian kegiatan Musyawarah Besar KKI WARSI. Berikut petikan wawancaranya.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
33
WAWANCARA
34
Bagaimana mengurai persoalan konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan? Saya kira kita dalam proses transisi, penyelesaian konflik lahan, konflik masyarakat adat dan pendatang, masyarakat dengan perusahaan, karena kita dalam masa transisi itu menjadi rumit. Perlu diambil langkah segera, salah satunya dengan pemetaan wilayah adat mana, jika terperinci mudah menyelesaikannya. Saat ini belum ada peta yang komplit, dipihak lain kita tidak bisa menunggu, konflik itu akan selalu muncul. Untuk itu penting segera melakukan pemetaan ini, sekaligus menyiapkan perangkatnya. Nomor satu lembaga adat musti ada, lembaga adat ini yang harus memberi gambaran, siapa yang bisa disebut masyarakat adat dan siapa yang tidak. Ini penting dibahas dulu. Kelompok masyarakat adat yang diakui, diberi ancleve untuk mereka hidup disitu. Jika ini selesai baru diambil langkah berikutnya. Apa dan bagaimana one map policy untuk pengakuan hak masyarakat adat?
Di Jambi, tidak semua kelompok masyarakat adat yang didampingi NGO karena keterbatasan mereka, bagaimana upaya UKP4 untuk menjangkau kelompok masyarakat adat ini, mereka mau mencari kepastian pengelolaan sumber daya mereka juga tidak tahu, bagaimana peran dan pengawasan dari dari UKP4? Kita memang tidak bisa langsung menjangkau ke daerah-daerah, namun kita tetap upayakan semua masyarakat adat terpetakan dengan baik, baik dengan bantuan pemerintah daerah setempat dan juga peran NGO sangat kita harapkan. Karena orang daerah sangat tahu dengan kondisi di daerah masing-masing. Kita sangat senang di banyak tempat dalam pengumpulan data kita terbantu oleh elemen masyarakat ini, ada WARSI yang membantu kita, untuk yang tidak didampingi, saya kira pemerintah daerah harus tahu kondisi masyarakatnya, sehingga bisa memberikan usulan ruang yang harus dimasukkan ke dalam peta rujukan bersama. (Elvidayanty & Sukmareni).
One map adalah peta besar dimana kita sudah siap memasukkan wilayah adat. Kita (UKP4-red) sudah dapat peta dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), saya kira bagus, kita petakan, dan sebagian sudah kita masukkan, alangkah baiknya masyarakat adat yang ada di Jambi dimasukkan disitu. Karena peta yang dari AMAN skalanya masih kecil, di peta itu wilayah 60 ha hanya berupa titik, padahal untuk satu kelompok masyarakat adat, wilayah itu sudah cukup luas. Untuk itu kita perlu peta yang lebih rinci untuk masing-masing kawasan hidup dan ruang jelajah Orang Rimba yang bersifat formil dan kemudian kita masukkan ke dalam peta formil yang akan menjadi rujukan semua pihak.
Mengukur Cadangan Karbon Hutan Bujang Raba
B
ersama Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD) Desa Lubuk Beringin, KKI WARSI melakukan Studi Pengukuran Cadangan Karbon Hutan. Adalah kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (HL Bujang Raba) yang menjadi lokasi studi. Turut berpartisipasi perwakilan Pemerintahan Desa dan pemuda dalam tim studi ini. Studi ini dilakukan untuk mengetahui besaran cadangan karbon hutan yang terdapat pada HL Bujang Raba. Berdasarkan SK Menhut No. 739/Menhut-II/2009 tanggal 19 Oktober 2009, luas HL Bujang Raba adalah 13.529,40 Ha. Secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo. Bujang Raba merupakan salah satu kawasan hutan tersisa di Provinsi Jambi yang bernilai konservasi tinggi atau sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Memiliki fungsi sebagai pengatur tata air. Karenamerupakan daerah hulu sungai dari Sungai Batang Bungo, Sungai Batang Senamat dan Sungai Batang Pelepat dari Sub DAS Batang Tebo dalam ekosistem DAS Batanghari.
alam, pemanfaatan jasa aliran air, dan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon. Khusus untuk bentuk pemanfaatan yang terakhir, studi ini juga dilakukan sebagai penyiapan data dasarnya. Studi ini dilakukan dengan menggunakan Metode SNI (7724-2011) tentang Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan. Metode ini dibuat dan dikembangkan oleh Pusat Standarisasi dan Lingkungan (Pustandling) Kementrian Kehutanan sebagai panduan pengukuran karbon hutan di Indonesia. Penentuan besarnya cadangan karbon dilakukan dengan menghitung kandungan biomasa dan bahan organik. Meliputi biomassa: pohon, akar,kayu mati atau nekromasa,serasah,dan bahan organik tanah. Kelima komponen inilah yang diukur di lapangan dan diolah datanya berdasarkan metode SNI di atas. Pengambilan data lapangan dilakukan melalui plot pengukuran. Tipe plot yang digunakan berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 20x20 meter, seperti pada Gambar 1. Lokasi pembuatan plot ditentukan berdasarkan jalur transek.Penentuan jalur transek berdasarkan Klasifikasi Tutupan Hutan dengan Metode SNI 76452010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan.
Selain fungsi ekologi, dari sisi sosial dan ekonomi, kawasan Bujang Raba juga memiliki peranan penting terutama bagi masyarakat desa/dusun dan suku asli minoritas (± 7000 jiwa) yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan ini. Peran penting ini berasal dari penyediaan air bersih bagi aktivitas KMCK (Konsumsi Mandi Cuci Kakus) dan sumber energi listrik, pemenuhan kebutuhan protein hewani dan nabati, hasil hutan bukan kayu, dan sumber obat-obatan tradisional.
Kapan one map ini terealisasi? Kita sudah mulai, dan berjalan, dan kita masih menunggu masukan detail tentang ruang wilayah masyarakat adat yang bisa kita masukkan ke dalam peta, kita menunggu ini.
Sebagian kawasan HL Bujang Raba dikelola oleh masyarakat dengan skema Hutan Desa. Terdapat lima dusun (Dusun Lubuk Beringin, Dusun Senamat Ulu, Dusun Buat, Dusun Sungai Telang, dan Dusun Laman Panjang) yang telah mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) pada kawasan ini.
Apakah peta yang sudah ada sekarang sudah bisa jadi rujukan? Belum lengkap, kita masih butuh peta yang memasukkan wilayah penghidupan Orang Rimba dan komunitas adat lainnya. Kita butuh dukungan dan bantuan dari teman-teman, termasuk NGO seperti WARSI untuk membuat peta wilayah adat Orang Rimba dan kelompok masyarakat Bathin IX yang ada di Jambi. Harapannya nanti kelompok ini jelas wilayahnya dan diakui oleh semua orang.
SUARA RIMBA
Pemberian HPHD ini salah satunya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Ada dua bentuk pemanfaatan yang legal bagi pemegang HPHD ini, yaitu pemanfaatan Jasa Lingkungan dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Rumah Orang Rimba di dalam hutan. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Berdasarkan aturan tentang Hutan Desa, bentuk pemanfaatan Jasa Lingkungan diantaranya adalah wisata
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
35
SUARA RIMBA
36
Berdasarkan klasifikasi SNI 7645-2010 tersebut, ada empat kelas tutupan hutan Bujang Raba. Pertama, Kerapatan Tinggi (tutupan vegetasi > 70 %). Kedua, Kerapatan Sedang (tutupan vegetasi 41-70 %). Ketiga, Kerapatan Rendah (tutupan vegetasi 10-40 %). Dan keempat, Non Hutan (tutupan vegetasi < 10 %). Masingmasing kelas tutupan dibuat sebuah transek sepanjang 1 km. Penentuan lokasi transek dilakukan dengan pertimbangan akses jalan yang dapat menjangkau seluruh keterwakilan kelas tutupan hutan. Setiap transek dibuat dua buah plot pengukuran dengan jarak antar plot antara 300-500 meter. Peralatan dan bahan yang digunakan meliputi: GPS, meteran kain, meteran ukuran 3 m dan 50 m, kompas, Kotak Besi, timbangan digital, sekop, cangkul, amplop besar, gunting stek, parang, pisau, plastik, pensil, spidol permanen, palu, tali, karung, potongan kertas karton, tally sheet, dan peta lokasi. Untuk menentukan seberapa besar kandungan karbon tersimpan berdasarkan data hasil pengukuran lapangan dilakukan proses pengolahan data. Tidak semua data dapat langsung diolah. Ada data yang harus melalui uji laboratorium, yakni data berat kering. Proses pengolahan data dilakukan dengan Microsoft Office Excel.
Berdasarkan pengukuran lapangan dan analisa data didapatkan data cadangan karbon pada hutan Bujang Raba sebagai berikut : 1. Hutan Kerapatan Tinggi memiliki kandungan cadangan karbon (C) sebesar 547,14 Ton/Ha. 2. Hutan Kerapatan Sedang memiliki kandungan cadangan karbon (C) sebesar 422,48 Ton/Ha. 3. Hutan Kerapatan Rendah memiliki kandungan cadangan karbon (C) sebesar 227,05 Ton/Ha. 4. Hutan Agroforest memiliki kandungan cadangan karbon (C) sebesar 127,07 Ton/Ha. Hasil studi menunjukkan, semakin tinggi nilai kerapatan hutan maka nilai karbon tersimpannya semakin tinggi pula. Begitupun sebaliknya. Sedangkan nilai karbon dari biomassa pohon berdiri dan akar mencapai ≥ 90 %. Berdasarkan pengalaman pada studi ini, Metode SNI 7724-2011 yang digunakan tidak sepenuhnya dapat diadopsi dan diaplikasikan oleh masyarakat desa. Kesulitan ini terutama pada pengolahan data pasca pengukuran data lapangan. Namun jika data biomassa yang digunakan hanya pohon berdiri, masyarakat dapat mengambil dan mengolah datanya secara mandiri. (Kurniawan)
SUARA RIMBA
Luncurkan Buku Bahan Ajar Orang Rimba
J
ambi memiliki keragaman budaya dan suku. Kebudayaan Orang Rimba merupakan salah satu bagian dari khasanah budaya yang ada di Jambi. Namun sayangnya, selama ini budaya Orang Rimba kurang dikenal oleh masyarakat luas. Bukan saja di kalangan masyarakat di luar Provinsi Jambi, bahkan di Jambi sendiri pun budaya Orang Rimba tidak begitu dikenal sebagaimana halnya dengan budaya Melayu dan suku-suku besar lainnya yang ada di Jambi. Keberadaan komunitas Orang Rimba beserta kebudayaannya nyaris terlupakan. Padahal, ini adalah salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Jambi sehingga perlu dilestarikan agar tetap survive di tengah gempuran modernisasi. Dalam rangka mengenalkan budaya yang sangat berharga ini, WARSI berinisiatif dengan di dukung Dinas pendidikan menyusun buku “Bahan Ajar Orang Rimba dan Budayanya” yang diperuntukkan bagi anak-anak kelas lima Sekolah Dasar (SD). Buku bahan ajar ini diharapkan bisa menjadi jembatan budaya bagi anak-anak Jambi pada umunya untuk lebih mengenal Orang Rimba dan budayanya sejak usia dini. Penerbitan buku ini dilatar latarbelakang adanya stigma negatif dan keliru tentang Orang Rimba yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Persoalan itu akan diluruskan melalui materi yang dikemas dalam buku bahan ajar ini. Sebutan Kubu yang dialamatkan untuk menyapa komunitas ini, merupakan sebutan yang melukai perasaan Orang Rimba. Karena kata kubu lebih diartikan sebagai jorok, tidak berpendikan dan penuh mistis. Sapaan telah mengecilkan keberadaan Orang Rimba menganut pola hidup yang berbeda sekaligus mempertahankan tradisi yang di wariskan nenek moyangnya. Dari segi pendidikan, memang Orang Rimba masih sedikit yang mengenal pendidikan modem dan mengikuti sekolah. Namun bukan berarti mereka tidak terdidik. Pendidikan Orang Rimba sudah di mulai sejak masih dalam kandungan hingga dewasa. Pendidikan sosial, etika budaya serta adat merupakan pendidikan utama yang diberikan pada anak-anak rimba. Pun demikian dengan masalah pola hidup yang berpindah, bukanlah suatu keburukan. Namun cara Orang Rimba mempertahankan hidupnya yang mestinya dihargai oleh pihak lain.
Peta GIS oleh Sofyan Agus Salim/Lab. GIS KKI WARSI
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Pola hidup Orang Rimba yang berpindah-pindah, adalah salah satu budaya mereka untuk mempertahankan hidupnya.
Hal ini perlu dilakukan, karena perbedaan cara hidup dan pandangan Orang Rimba dengan masyarakat umum kerap menimbulkan diskriminasi dan bisa berujung pada tindakan kekerasan yang menghilangkan nyawa Orang Rimba. Buku bahan ajar ini diharapkan bisa menjadi pengetahuan untuk disampaikan para pihak, termasuk siswa sekolah dasar. Harapannya buku ajar yang disusun oleh Fasilitator Pendidikan WARSI ini, bisa digunakan di sekolah-sekolah dasar yang ada di Provinsi Jambi, sebagai buku panduan untuk mata pelajaran muatan lokal. (Herma Yulis)
Untuk itulah Buku Ajar ini disusun dan dipublikasikan, sehingga perbedaan budaya dijadikan sebagai keberagaman dan menimbulkan saling penghargaan kelompok Orang Rimba dan masyarakat umum. ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
37
AKTUAL
38 38
AKTUAL
Liberika Tungkal Komposit, Kopi Khas Gambut
M
emasuki Desa Parit Tomo, Kelurahan Mekar Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kita akan mencium aroma kopi. Daerah ini memang salah satu penghasil kopi terbesar di Provinsi Jambi. Jika kopi biasanya dikembangkan di dataran tinggi, namun di Desa Parit Tomo memiliki jenis kopi yang berbeda. Kopi ini satu-satunya yang hanya dapat dikembangkan di daerah gambut. Jenis kopi ini adalah Liberika Tungkal Komposit (Libtukom), merupakan varian baru yang hanya terdapat di sini. Sejak 1991, para petani di desa ini telah menanam kopi. Mereka tidak pernah mengetahui jenis kopi yang dikembangkan. Yang dikenal hanya jenis kopi besar dan kopi kecil. Sampai akhirnya penelitian dari Dr Surip Mawardi, seorang peneliti dari Jember yang menyebutkan bahwa jenis kopi besar adalah varitas liberika. Ketua Kelompok Tani Sri Utomo III Muhammad Ridwan menyebutkan, sebelum adanya penelitian terkait dengan jenis kopi yang dikembangkan, mereka sempat menyematkan jenis kopi ini termasuk dalam varietas ekselsa.”Dulu , varietas kopi kami ini dikenal dengan jenis kopi ekselsa. Tapi sekarang sudah adanya kelompok MPIG (Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis) yang akan membibitkan benih dari kebun resmi dan sudah ada sertifikatnya libtukom,” sebutnya . Kopi Libtukom ini pertama kali dikembangkan oleh Hj. Sayuti di Kelurahan Mekar Jaya, Kecamatan Betara, Tanjung Jabung Barat. Benih ini diperoleh dari kebun kopi di Malaysia pada Tahun 1940-an dan dikembangkan secara meluas pada tahun 1979-1980an. Sesuai dengan namanya, kopi liberika tungkal komposit (libtukom) berasal dari kopi liberika yang dikembangkan pertama kali oleh Hj Sayuti. Seleksi masa positif dilakukan pada populasi dasar kopi Liberika generasi I dan II turunan pohon induk Hj. Sayuti untuk mendapatkan populasi pohon terpilih sebagai gen potensial. Pohon-pohon terpilih benihnya kemudian dicampur membentuk varietas komposit kopi liberika.
Animo petani setempat untuk mengembangkan kopi jenis ini cukup tinggi. Karena daya adaptasinya pada lahan gambut dan harga pasar yang sangat menjanjikan. Biasanya kopi ini diekspor ke Malaysia dan petani menjualnya ke pedagang besar di Kualatungkal yang merupakan ibukota kabupaten. Saat ini harga kopi libtukom mencapai Rp 33.000/kg di tingkat petani, melebihi kopi robusta yang berada dikisaran harga Rp 16.000/ kg. Meskipun nilai jualnya cukup menggiurkan, namun hingga saat ini petani masih terkendala dengan pemasaran. Ridwan menyebutkan mereka berharap adanya dukungan dari pemerintah terkait dengan bantuan pamasaran.”Kami berharap adanya kerjasama yang dilakukan pemerintah terkait dengan ekspor kopi yang kami hasilkan. Ini akan menambah pendapatan dari petani dengan harga yang jauh lebih tinggi,” jelasnya. Sistem Naungan, Selamatkan Kawasan Gambut
Teknik budidaya kopi libtukom dari proses penanaman, pemeliharaan hingga proses pemanenan dan Praktek lapangan budidaya tanaman kopi yang diikuti 15 petani di Kabuapatn Tanjung Jabung Timur. Foto Elviza Diana/Dok KKI WARSI
Provinsi Jambi memiliki potensi gambut yang sangat besar , karena memiliki 676.341 hektar lahan gambut baik berupa hutan maupun non hutan. Luasan gambut Jambi masuk dalam urutan ketiga besar di Sumatera, setelah Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan kabupaten di Provinsi Jambi yang memiliki lahan tanah gambut terluas mencapai 312.006 hektar dan dilanjutkan dengan Muarojambi seluas 229.665hektar (Data Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2011).
Mengembangkan pertanian maupun perkebunan di lahan gambut tentu saja tidak semudah di tanah mineral. Namun ini bukan berarti lahan gambut tidak memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Selama ini masyarakat cenderung menerapkan pola pertanian monokultur dengan budidaya sawit, pinang, dan kelapa. Meskipun memiliki kemudahan dalam pelaksanaan budidaya, namun pertanian dengan sistem ini memiliki resiko kegagalan yang besar. Sementara dengan sistem tumpang sari dapat memanfaatkan lahan menjadi dua jenis tanaman pada waktu bersamaan, bisa menambah pendapatan yang diperoleh petani.
Sebagian besar kawasan gambut tersebut sudah dialokasikan untuk kawasan budidaya pertanian. Hampir Separuh kawasan gambut (289.809 hektar) di Tanjungjabung Timur telah dikonversi untuk kawasan budidaya pertanian. Budidaya pertanian yang dilakukan di lahan gambut harus memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Ini dikarenakan lahan gambut juga memegang peran penting dalam siklus hidrologi, serta pemeliharaan keanekaragaman hayati.
Disamping itu, tingkat kegagalan pada petani relatif kecil, karena jika gagal panen dengan tanaman yang satu, petani tetap bisa memperoleh hasil dari tanaman lainnya. Melihat kondisi itu KKI WARSI melakukan berbagai upaya guna memperkuat mata pencaharian berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat di beberapa desa yang mengusul hutan desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Salah satu tanaman yang cocok dengan kondisi lahan gambut adalah kopi varietas liberika tung-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
kal komposit. Kopi ini membutuhkan sistem naungan untuk dapat berkembang dengan baik. Ini juga dapat mengefesiensikan penggunaan lahan pertanian. Petani dapat menanam kopi dengan sistem naungan menggunakan pohon pinang, kelapa maupun pisang. Teknik budi daya, pemeliharaan hingga proses pemanenan diajarkan kepada sekitar 15 petani yang berasal dari Desa S. Beras, Desa Pematang Rahim, Desa Koto Kandis Dendang dan Desa Sinar Wajo Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Mereka mengikuti langkah-langkah yang dijelaskan dalam praktek lapangan yang dilakukan. Sunarto, petani Desa Koto Kandis Dendang yang mengikuti pelatihan ini merasakan manfaat dari pelatihan yang diikutinya.”Pelatihan ini menambah pengetahuan kami terkait dengan budi daya kopi. Banyak kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan ternyata berdampak bagi perkembangan kopi yang kita tanam. Misalnya saja dari segi pemeliharaan, dengan melakukan pembersihan dan pemangkasan yang rutin. Ini jarang kami perhatikan,” ungkapnya. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
39 39
40
AKTUAL
AKTUAL
HTI dan Tambang Baru Terus Incar Lahan Jambi
H
ingga saat ini di Jambi terdapat 20 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang mengelola kawasan hutan seluas 732.713ha. Kehadiran HTI ini, di satu sisi ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan industri kayu, namun tidak jarang pengusahaan lahan yang masif oleh perusahaan telah menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Tak hanya itu, sebagian konsesi juga berada di kawasan dengan kelerengan lebih dari 40 persen. Ditambah juga kawasan konsesi yang izinnya berada dalam kawasan hutan dengan tutupan bagus sehingga harusnya tidak ditebangi dan diganti dengan tanaman mono kultur. Idealnya para pihak bisa menyikapi persoalan yang ditimbulkan akibat kehadiran HTI yang sudah eksisting hingga saat ini, dengan melakukan perbaikan tata kelola kehutanan serta melakukan review semua perizinan. Untuk kawasan yang memang tumpang tindih harus dikeluarkan dengan areal konsesi dan untuk kawasan yang berada di kemiringan yang terlarang untuk HTI dikembalikan fungsinya menjadi hutan. Sedangkan konsesi kawasannya bertutupan hutan baik didorong menjadi areal konservasi kawasan HTI yang bersangkutan. Namun sayangnya ketika review belum memperlihatkan hasilnya dan belum tampak langkah untuk perbaikan tata kelola kehutanan, izin-izin baru tetap bermunculan. Sebut saja PT Hijau Arta Nusa (HAN) di Merangin dan Sarolangun dan PT Gading Karya Makmur (GKM) di Sarolangun, kedua perusahaan HTI ini telah mulus mendapatkan izin dari menteri kehutanan, masing-masing pada tahun 2013 dan 2014. Kehadiran kedua perusahaan ini sejak awal sudah mendapat penolakan dari masyarakat. Musababnya di areal konsesi PT GKM sebagian areal yang dimohonkan kedua perusahaan ini sebagian sudah dikelola masyarakat, berupa hutan adat dan hutan desa. Untuk hutan adat sudah mendapat pengakuan dari Bupati Sarolangun. Sedangkan untuk Hutan Desa masih dalam proses pengajuan izin ke Menteri Kehutanan. Masyarakat selama ini sudah mengelola kawasan hutan mereka lestari, apalagi berada di wilayah hulu sehingga memang pengelolaan lestari menjadi suatu keharusan. Sedangkan areal kelola HAN sebagian sudah ditanami masyarakat dengan karet sejak lama. Hal ini berlangsung karena selama ini batas kawasan hutan yang tidak jelas, sehingga masyarakat masih menganggap ka-
wasan hutan masih berada di areal kelola masyarakat. Namun kini ketika pohon karet sudah besar, tiba-tiba HAN hadir dan mengklaim kawasan tersebut. Selain pertambahan untuk HTI baru, perusahaan lain juga terus berjuang untuk mendapatkan kawasan kelola di kawasan hutan Jambi. PT Rimba Tanaman Industri (RTI) di Batanghari yang sedang dalam proses perizinan. Berikutnya ada juga PT Delonik Lestari Jaya yang sudah mendapatkan izin pencadangan dari Menteri Kehutanan dengan Nomor SK s.88/Menhut-IV/20014 tertanggal 10 Februari 2014 di areal seluas 7.992 ha yang berada di Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin. Rencana kehadiran RTI di Batanghari, kawasan yang diajukan RTI di lapangan sudah menjadi kebun karet masyarakat. Kawasan ini berada di antara PT Wana Perintis dan PT Putra Alam Hijau serta PT Sumatera Agro Mandiri. Keberadaan perusahaan ini sangat berdekatan dengan perkampungan masyarakat di pinggir aliran Sungai Batang Tembesi. Amburadulnya tata batas dan sosialisasi yang tidak sampai ke masyarakat serta masifnya penguasaan lahan oleh perusahaan menyebabkan masyarakat desa sangat kesulitan lahan, apalagi tidak ada tata batas yang jelas sehingga lahan garapan masyarakat masuk ke kawasan yang diklaim sebagai hutan produksi. Tidak hanya untuk Hutan tanaman, perusahaan tambang batubara juga masih banyak yang memohonkan izin di Provinsi Jambi. Data yang kami himpun di wilayah kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari terdapat permohonan AMDAL untuk kawasan seluas 634 ha oleh perusahaan PT Nan Riang, berikutnya ada permohonan AMDAl atas nama perusahaan PT Dwi Ghita karya Mandiri selusa 1.489 ha di desa Suo-Suo Kecamatan Sumai Tebo. Juga ada perusahaan PT Bangun Energi Indonesia di Kecamatan Maro Sebo Ulu Kabupaten Batanghari yang akan melakukan penambangan batubara pada kawasan seluas 2.000 ha. Kehadiran perusahaan-perusahaan baru ini, ditenggarai akan semakin memperburuk kualitas ekosistem di Jambi. Berkaca dengan persoalan lingkungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun ditandai dengan bencana ekologis yang semakin sering dan konflik pengelolaan sumber daya yang belum tertangani dengan baik, maka langkah yang seharusnya dilakukan mematuhi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah nakal perusahaan tambang yang tidak melakukan reklamasi. Foto Heriyadi Dok KKI WARSI
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dalam Inpres yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial, Ketua Satuan Badan Pelaksana REDD+ dan para Gubernur serta Bupati dan walikota ini, presiden menegaskan penundaan izin baru sesuai dengan peta indikatif serta melanjutkan perbaikan tata kelola. Nampaknya pasca Inpres yang sudah diperpanjang dua kali sejak pertama kali diterbitkan 12 Mei 2011, para pihak lebih melihat untuk melakukan penundaan izin baru yang sebagaimana yang berada di peta indikatif.
Namun untuk perbaikan tata kelola kehutanan dan meninjau izin-izin yang sudah diterbitkan nampaknya masih belum terlaksana. Harusnya para pihak terutama yang mendapat instruksi bisa melihat bahwa inpres ini seharusnya bisa diterapkan dengan baik, sehingga dampak buruk dari aktivitas deforestasi dan degradasi hutan dapat diminimalkan. Sekaligus membuktikan kemampuan kita mengurangi emisi karbon dari tata guna lahan. Sebelumnya Indonesia sempat dituding sebagai penyumbang emisi terbesar di dunia yang berasal dari alih fungsi hutan dan lahan gambut. Pemanfaatan hutan yang ditengarai sebagai penyumbang emisi adalah HTI. HPH dan alih fungi hutan untuk perkebunan dan pemanfaatan lain. Tidak hanya disitu langkah penyelamatan ini sangat penting karena sebagian besar masyarakat kita sangat rentan dengan dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan saat ini. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
41
42
AKTUAL
AKTUAL
Listrik Murah dari Hutan yang Terjaga
M
atahari pagi masih malu menyembul dari balik perbukitan. Ahmad dengan balutan sarung dan berbaju batik tampak asyik menyimak berita yang disuguhkan stasiun televisi. Sejak empat bulan ini, masyarakat Senamat Ulu Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo, sudah bisa menikmati siaran televisi lumayan baik. Sebelumnya siaran televisi jarang hadir di desa ini, lantaran pasokan listrik yang masih sulit di desa yang berjarak sekitar satu setengah jam perjalanan kenda-raan roda empat dari Muarobungo, Ibukota Kabupaten Bungo. Desa penyangga TNKS ini memang kesulitan untuk mendapatkan aliran listrik. Posisi yang berada di hulu, menyebabkan akses ke wilayah ini cukup sulit. Mungkin persoalan inilah yang menyebabkan, pasokan listrik negara tak kunjung menyambangi desa Senamat Ulu. Untuk itulah sejak dahulu, masyarakat berupaya secara mandiri untuk menyediakan listrik murah dan terjangkau. Beberapa tahun lalu masyarakat mengupayakan pembangkit listrik tenaga kincir air. Dengan aliran Batang Senamat yang cukup stabil masyarakat membuat enam kincir air yang digunakan sebagai pembangkit. Dengan cara ini sebagian besar rumah penduduk bisa dialiri dan cukup untuk penerangan di malam hari. Dengan kincir air cukup mampu mengatasi persoalan kebutuhan energi masyarakat. PLTKA menyediakan listrik jauh lebih murah ketimbang penggunaan listrik yang dihasilkan dari generator berbahan bakar solar atau bensin. Awalnya masyarakat cukup mampu untuk membeli solar atau bensin untuk memfungsikan generator listrik. Umumnya satu generator akan disambungkan ke beberapa rumah, sehingga bisa lebih irit. Hanya saja seiring dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang beberapa kali sudah dikoreksi hingga kini mencapai harga Rp 6.500 perliter di SPBU dan jika di bawa ke desa harganya bisa lebih dari Rp 10.000 maka penggunaan generator tidak lagi menjadi pilihan. Apalagi ketika harga karet yang menjadi andalan petani turun, sudah pasti kebutuhan BBM untuk generator yang paling duluan di pangkas. Untuk itulah kemudian di rancang pembangkit ramah lingkungan dengan teknologi sederhana yang mampu diterapkan oleh masyarakat sekitar. Pilihannya jatuh pada pembangkit listrik tenaga kincir air. Kincir yang sudah tidak asing bagi warga karena kerap digunakan untuk menaikkan air dari sungai ke areal persawahan, dengan sedikit modifikasi mampu dimanfaatkan untuk membangkit listrik. Secara swadaya masyarakat berkelompok-kelompok membangun enam unit PLTKA. Dengan kapasitas lima ribu kw per
hidro untuk mengganti kincir air yang sebagian sudah termakan usia. Melalui Dinas ESDM Provinsi Jambi, dibangunlah PLTMH berkapasitas 30 ribu watt. Sejak Januari lalu, PLTMH ini sudah bisa berfungsi dan melayani 104 rumah menerima pasokan listrik masingmasing rumah menerima 220 watt. Dengan listrik PLTMH inilah masyarakat menikmati siaran televisi dan digunakan untuk penerangan dan mengoperasikan perangkat elektronik lainnya. Setiap hari listrik menyala dari pukul enam sore sampai pukul tujuh pagi. Hari Jumat dan Minggu listrik menyala 24 jam. Untuk keberlangsungan pemanfaatan listrik ini maka pengguna berkewajiban untuk membayar iuran sebesar Rp 50.000 per rumah. Iuran ini pemanfaatannya dibagi rata untuk tiga kategori yaitu untuk kelompok pengelola, biaya perawatan dan untuk kas desa. Listrik dan hutan yang terjaga
Hidup selaras dan seimbang dengan alam memberikan banyak manfaat bagi masyarakat di Desa Senamat Ulu. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Batang Senamat mendarmakan airnya untuk dimanfaatkan warga sekitar, termasuk untuk pembangkit listrik. Tentu saja, untuk menjaga kelangsungan pasokan air yang akan memutar turbin membutuhkan pasokan air yang stabil dari waktu ke waktu. Untuk pasokan ini terjaga tentu harus menjaga daerah tangkapan airnya.
kincir. Satu kincir mampu menerangi 8 -14 rumah ada yang dengan iuran per bulannya sekitar Rp.20.000 - Rp.50.000,- per KK tergantung dengan kapasitas listrik yang diterima masyarakat. Jika dibandingkan dengan menggunakan mesin diesel untuk kebutuhan listrik, harga listrik dari air ini sangat murah. Saat ini harga solar di dusun sudah diatas Rp 10 ribu per liter, sedangkan satu mesin diesel membutuhkan enam liter BBM per malam untuk penerangan selama enam jam, dengan ini bisa diasumsikan biaya bahan bakar Rp 60 ribu per malam jika listrik disambungkan untuk lima rumah di sekitarnya maka masingmasing rumah mengeluarkan biaya sekitar Rp 12 ribu per malam atau Rp 360 ribu sebulan. Sangat berbeda jauh dengan menggunakan kincir air yang iurannya puluhan ribu rupiah. Penggunaan listrik dengan sumber energi air sungai, selain ramah lingkungan juga hemat juga diyakini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Selain itu yang terpenting adalah sumber polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil dihilangkan. Dengan potensi yang dimiliki aliran Batang Senamat, potensi untuk mengembangkan listrik murah masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Hingga kemudian, pemerintah Provinsi Jambi melihat potensi ini akhirnya membangun pembangkit listrik tenaga mikro
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air menjadi salah satu alternatir penerangan yang mereka gunakan. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur merupakan kawasan hutan yang menjadi hulu Batang Senamat. Kawasan ini sebagian dikelola masyarakat dengan skema hutan desa dan hutan adat. Pengelolaan ini lebih dimaksudkan untuk menciptakan pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan. Masyarakat selama ini sudah arif mengelola sumber daya hutannya, karena hutan memberikan multi manfaat untuk mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya. Hanya saja upaya di lanskap Bujang Raba ini juga terdapat pemanfaatan lain untuk perkebunan dan hutan tanaman. Konversi dan degradasi di Lanskap Bujang Raba, harusnya sudah mulai dihentikan, dan beralih pada pengelolaan lestari. Sudah bisa ditebak, jika konversi dan degradasi hutan berlanjut bencana ekologis sudah bisa dipastikan akan segara menyambangi. Banjir, longsor, kekeringan adalah bagian nyata yang terlihat langsung dari perusakan hutan, termasuk ancaman untuk keberlangsungan PLTMH. Untuk itu perlu melihat bahwa Lanskap Bujang Raba merupakan satu kesatuan. Sehingga dalam pengelolaannya juga harus memperhatikan banyak faktor sehingga kesatuan ekosistem ini tidak terkoyak dan kemudian malah mendatangkan bencana ekologis bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan kawasan secara lestari menjadi pilihan, sehingga kawasan ini secara langsung dapat menjadi kawasan mitigasi bencana yang penting bagi kawasan pemukiman yang berada di daerah hilirnya. Melihat dari kondisi topografi, jenis tanah dan tingkat curah hujan di kawasan ini, sangat perlu adanya kesepakatan para pihak yang terlibat di kawasan ini untuk memberikan andil dan perannya untuk mencegah bahaya ekologis bagi masyarakat di sekitar dan hilirnya. Untuk itu, masing-masing stakeholder di kawasan ini harus menjalankan perannya dengan merujuk kepada pengelolaan kawasan yang lestari berkelanjutan. Masyarakat sebagai pelaku dan penerima dampaknya sudah jelas dengan perannya, terbukti dengan dialokasikannya kawasan pengelolaan yang meliputi hutan adat, hutan lindung desa, hutan desa, agroforest dan lainnya. Lantas pertanyaanya apa peran yang akan dijalankan oleh pihak swasta yang mendapatkan izin di wilayah ini. Perusahaan yang berkegiatan di daerah ini harusnya menetapkan sistem kelola yang menganut azaz-azas lestari dan berkelanjutan. Harapannya tentu kawasan kelola mereka di Bujang Raba dikeluarkan, namun jika ini tidak dipenuhi paling tidak perusahaan menjaga kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi (high conservation value forests/HCVF), kemudian menyisakan koridor satwa dan tidak melakukan land clearing di batas kawasan lansekap Bujang Raba minimal dalam radius 100 meter. Dengan pola ini Bujang Raba akan terus memberikan manfaatnya untuk semua masyarakat yang ada di sekitar dan wilayah hilirnya. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
43
AKTUAL
44
AKTUAL dan menyerap ke serat pandan. Kemudian pilinan pandan yang sudah diwarnai, dijemur sampai kering dan siap digunakan untuk bahan baku tas pilinan pandan. Pandan pilin yang sudah diwarnai kemudian digulung agar pada saat pembuatan tas bahan baku pilinan pandan tidak kusut dan dapat mempermudah proses pembuatan tas. Mal atau cetak tas pilinan pandan yang bentuknya disesuaikan dengan desain tas yang akan dibuat. Mal atau cetak tas ini terbuat dari bahan baku dengan lebar kayu antara 5-10 cm dan dengan ukuran panjang dan lebar tergantung dari bentuk tas yang akan dibuat. Tahap pertama, bagian-bagian mal baik ke arah lebar ataupun tinggi dilakukan pengaitan dengan paku dengan jarak antara 1,5-2 cm ini agar diperoleh jarak rajut yang teratur saat tas pilinan pandan dibentuk atau dibuat. Selain pembuatan tas pandan, para peserta juga diajarkan dompet dari daun pandan. Proses pengerjaan dompet dan tas tidak lah jauh berbeda. Hanya model dan ukurannya disesuaikan dengan pola yang dibuat pada busa dan lembaran anyaman. Pengerjaannya yang relatif tidak sulit membuat para peserta tidak menghadapi hambatan. Terbukti di hari ketiga pelatihan, mereka telah berhasil memproduksi 19 tas pilinan pandan yang menarik. Harga yang dipatok untuk setiap tas dan dompet pun cukup terjangkau. Untuk setiap tas
Menganyam Pandan, Menuai Rupiah
P
malam kurang lebih satu jam dalam air mendididih. Selama proses perebusan lembaran daun pandan ini akan berubah warna, ini berarti daun-daun pandan siap dijemur.
Semua peserta tampaknya sudah siap dengan daun pandan yang sudah mereka ambil sehari sebelumnya. Daun pandan ini diserut menjadi lembaran anyaman. Kemudian lembar-lembar daun pandan ini direbus se-
Setelah proses pemilinan, dilakukan pewarnaan dengan cara, bubuk warna direbus sampai mendidih kemudian pilinan pandan dimasukkan ke dalam rebusan warna selama kurang lebih lima menit sambil diaduk agar merata
“Biasanya kami mengayam tikar saja, belum pernah membuatnya anyaman ini menjadi tas atau dompet. Pelatihan ini menambah pengetahuan kami untuk bisa membuat anyaman menjadi lebih beragam dan bisa menambah pendapatan keluarga”, jelasnya Rendahnya minat generasi muda untuk mempelajari keterampilan menganyam juga turut memudarkan budaya ini di tengah masyarakat. Kemajuan teknologi dengan menghasilkan tikar-tikar plastik yang murah dan menarik mengganti tikar anyaman, membuat anyaman jarang disentuh lagi.
Pelatihan menganyam ini juga dikatakan Ridwan Firdaus sebagai upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber Hasil Hutan Bukan Kayu yang saat ini masih rendah dilakukan masyarakat. “Pelatihan kerajinan ini sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola sumber-sumber hasil hutan non kayu.Diharapkan ini dapat berkembang menjadi sebuah usaha industri kerajinan. Minimal produkproduknya dapat menjadi souvenir”, jelasnya.
“Daun pandan akan berwarna putih setelah kering, dan selanjutnya kita akan mulai proses pemilinan,” jelas Ridwan Firdaus selaku Spesialis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) KKI WARSI. Pemilinan dilakukan dengan cara manual. Setiap peserta memberi alas tangan mereka dengan karet dan busa. Ini bertujuan agar tidak licin dalam langkah penyambungan antara lembar daun pandan satu dengan yang lain dibentuk memanjang.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Kegiatan menganyam memang bukanlah hal baru bagi masyarakat di sekitar wilayah Solok dan Solok Selatan. Sejak turun-menurun perempuan di daerah ini sudah bisa menganyam pandan untuk dijadikan tikar. Ini juga yang menjadi pendukung agar kegiatan pelatihan, tidak hanya mampu memberi nilai ekonomis bagi masyarakat melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Namun juga untuk menjaga budaya menganyam yang telah ada dapat terus dilestarikan kepada generasi muda.Prihatma Dewi, salah satu peserta yang berasal dari Nagari Sirukam Kabupaten Solok menyebutkan bahwa sudah sejak dulu kegiatan menganyam ini mereka lakukan.
“Mudah-mudahan dengan adanya pelatihan ini, generasi muda bisa lebih mencintai kegiatan menganyam. Kegiatan menganyam tidak hanya untuk yang tua-tua, tetapi juga hendaknya keterampilan ini bisa dikuasai juga oleh anak-anak muda”, lanjutnya.
Praktek pembuatan anyaman pandan yang diikuti 20 peserta di Jorong Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan. Foto Riche Rahma Dewita/Dok KKI WARSI
agi masih terasa dingin di kaki Bukit Panjang Karang Hitam,akan tetapi ini tidak menyurutkan keinginan 20 peserta yang akan mengikuti pelatihan pembuatan kerajinan anyaman pandan di Jorong Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan. Mereka telah siap dengan lembaran daun pandan dan berbagai peralatan diantaranya, penyerut pandan, alat rebus, gunting, pisau cutter, mal cetak, palu, tembak lilin, paku, pewarna dan pernis. Para peserta terlihat antusias mengikuti pelatihan yang berlangsung selama tiga hari ini. Berbagai proses dilalui untuk menghasilkan tas-tas anyaman pandan yang cantik.
dipatok dengan kisaran Rp 50-100 ribu sesuai dengan model dan ukurannya. Sementara untuk dompet hanya dengan membayar Rp 10 ribu kita sudah bisa membelinya.
Salah satu hasil tas anyam pandan, sebagai upaya peningkatan perekonomian keluarga dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Foto Riche Rahma Dewita/Dok KKI WARSI.
Pelatihan pembuatan kerajinan ini ditutup dengan pembuatan sandal. Hampir sama dengan pembuatan tas dan dompet, dalam pembuatan sandal peserta juga menggunakan anyaman pandan. Hanya saja sandal juga bisa dibuat dari anyaman bambu. Semua peserta terlihat tekun melakukan satu per satu proses pengerjaan pemubatan sandal. Dalam satu hari saja, mereka mampu menghasilkan limabelas pasang sandal yang beraneka ragam dan tentu saja berkualitas. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
45
46
MATAHATI
MATAHATI
Power Bank ala Orang Rimba
B
eteduh, Sedia dan Betuah kecewa, lagu yang mereka dengar dari telepon genggam mendadak putus karena kehabisan daya. Di dalam belantara rimba Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, tidak ada listrik yang bisa mereka gunakan untuk mengisi daya telepon genggam tersebut. Biasanya, kalau baterai telepon genggam mereka habis, anak-anak rimba ini pergi ke desa terdekat, menumpang pemakaian listrik di rumah-rumah warga untuk mengisi daya telepon genggam. Tapi, kali ini Beteduh dan kawan-kawan malas keluar rimba. Sedia lalu mengusulkan agar mereka membuat alat sendiri untuk mengisi daya telepon genggam mereka, bahan utamanya adalah baterai ukuran D, yang biasa mereka gunakan untuk senter. “Ado akal Guding (Ada akal kawan),” kata Sedia. “Coba mikay pakai batu senter… Betuah, ado batu senter? Dua biji bea (Coba kamu pakai baterai senter saja. Betuah ada baterai senter? Dua buah saja),” Sedia meminta temannya Betuah menyediakan baterai yang biasa mereka pakai untuk senter. “Tiga, Guding..hape kawan juga (Tiga kawan, hapeku juga),” ujar Beteduh yang hapenya juga kehabisan daya. Beteduh, Sedia dan Betuah kemudian menyiapkan bahan-bahan yang mereka butuhkan untuk mengisi daya telpon genggam mereka. Mulai dari baterai ukuran D, kabel bekas, kertas, dan karet yang dipotong dari bekas ban dalam motor. Sedia, anak rimba yang mengerti cara merakitnya, mengajarkan pengetahuannya kepada Beteduh dan Betuah. Sedia memisahkan kabel yang berwarna hitam dan merah. Setelah kabel dibagi dua, Sedia dan Beteduh melepaskan lapisan luar kabel yang berwarna merah dan hitam. Warna hitam dan merah, diingat Sedia untuk dijadikan patokan menentukan kutub positif dan negatif. Kemudian kabel yang berwarna merah disambungkan ke tanda positif pada baterai, dan kabel yang berwarna hitam ke tanda negatif. Kedua baterai dibungkus dulu dengan kertas, lalu diikat dengan karet yang dipotong dari ban dalam motor. Sesaat kemudian, alat pengisi daya telpon genggam rakitan mereka sudah siap digunakan.
Pembuatan Power Bank ala anak Rimba yang digunakan untuk pengisi daya telepon genggamnya. Foto Dokumen Benor FM
Sedia mengaku, ia dan teman-temannya di rimba suka mendengarkan musik lewat telepon genggam. Dia senang bisa menemukan ide bisa mengisi daya baterai telepon genggam mereka dengan menggunakan baterai ukuran D, baterai yang biasa mereka gunakan untuk senter. Dengan alat rakitan mereka, mereka hanya menunggu 20 menit-an agar baterai telpon genggam terisi daya lagi dan mereka bisa mendengarkan lagu lagi. Sejak sinyal beberapa provider telepon genggam bisa diterima di beberapa tempat di TNBD Jambi, banyak orang rimba yang punya telpon genggam, meski mereka harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk bisa menumpang ngecas di rumah penduduk di desa terdekat. “Kami kan di delom, kami iyoy hobi musik-musik atau main-main apo di hape iyoy. Nyengedrop…jadi, tempat kami jouh, ndok keluo ke desa iyoy ngecay listrik jouh, jadi payah. Nio kan kalo musik sehari dua hari kan habiy. Jadi, kalo dua hari misalnye, kitokan hobi musik malommalom musik, teruy ndok keluo susah. Kami delok pengalomon sendiri pamono ngecay dengan baterai senter (Kami kan di dalam rimba, kami ini suka mendengarkan musik atau main game di hape ini. Lalu, baterainya ngedrop…sementara tempat kami jauh, dari desa jika mau ngecas. Kalo dengarin musik kan sehari dua hari sudah habis. Jadi, kalau dua hari misalnya, kita suka malammalam mendengarkan musik, terus mau keluar rimba susah, kami dapatkan pengalaman sendiri bagaimana ngecas dengan baterai senter),” cerita Sedia. Sedia senang bisa mengajarkan cara merakit alat pengisi daya baterai telepon genggam itu ke temantemannya di dalam rimba. Lebih nikmat lagi kalau mendengarkan lagu di dalam hutan sambil membakar ikan. (Elvidayanti/Tim Benor FM)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
Mempersiapkan Lahan Kelola untuk Orang Rimba Orang Rimba dan masyarakat sekitar hutan mengadukan nasib mereka terkait ketidakberpihakan pola pembangunan pada kehidupan mereka. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
“Bapak Tolonglah kami ini, kami tidak punya tempat hidup lagi,”demikian sebait permintaan Sargawi kepada Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto dalam sebuah kesempatan dialog belum lama ini.
S
argawi merupakan Orang Rimba yang secara administrasi tinggal di wilayah Dusun Sidodadi Desa Tanjung Kecamatan Bathin VIII Sarolangun. Namun kenyataannya, Sargawi beserta rombongannya yang berjumlah 17 kepala keluarga tinggal di dalam perkebunan sawit milik PT Kresna Duta Agroindo (Sinarmas Plantation). Di dalam kebun yang sudah berumur sekitar 20-tahunan itu, terdapat tiga pondok berukuran sekitar 2 x 3 setengah berdinding papan dan puluhan lainnya merupakan pondok sederhana beratapkan terpal tanpa dinding. Anak-anak tanpa pakaian dengan riang bermain diantara pohon-pohon sawit yang tingginya sudah sekitar 4 meter. Meski sudah puluhan tahun hidup di lokasi itu, Sargawi dan anggota rombongnya tetaplah dianggap sebagai penumpang di tanah itu. Mereka tidak boleh mengambil sebiji buah sawitpun. Mereka sudah di wanti-wanti pihak perusahaan untuk tidak boleh mengambil buah sawit, kalau mengambil akan di denda Rp 5 juta dan itu angka yang sangat menakutkan bagi Orang Rimba.
Mencoba berburu semakin sulit, di kawasan yang sudah menjadi perkebunan sawit mereka sangat sulit untuk menemukan hewan buruan. “Satu hari berburu belum tentu kami dapat satu ekor, kalau beruntung dapat seekor, dengan harga lima ribu perkilo, seekor paling yang 20 kilo, kami berburu enam orang, hanya berapa puluh ribu yang kami dapat,” Sargawi menceritakan kesulitan hidup mereka. Kalau dapat monyet atau biawak, menurutnya tidak laku dijual. Akibatnya komunitas yang bisa dijangkau sekitar 2 jam perjalanan dari ibu kota Kabupaten Sarolangun ini melakoni pekerjaan sebagai pemulung, ke desa-desa terdekat. Sebagai pemulung mereka kerap di tuding mencuri sehingga nyaris berujung konflik. Mau menjadi petani, mereka tidak punya lahan garapan, mau berpindah tidak tahu mesti ke mana pindah karena dari dulu di situlah mereka tinggal. Sargawi hanyalah satu dari sekian model kehidupan Orang Rimba yang sudah kehilangan hutan mereka sejak tahun 1970-an. Sebagian besar Orang Rimba di jalan lintas tengah Sumatera dan di selatan Taman
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
47
48
MATAHATI Nasional Bukit Tigapuluh hidup dalam ketidakpastian kawasan kelola, mereka menumpang di tanah mereka sendiri. Dengan dalih pembangunan, negara melegalisasi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman tanpa memperhatikan keberadaan Orang Rimba. Akibatnya Orang Rimba menjadi kehilangan sumber kehidupan. Di sisi lain untuk mencoba model penghidupan lain Orang Rimba tidak punya keterampilan maupun lahan garapan. Akibatnya Orang Rimba terlunta, memulung barang bekas dan mengemis menjadi alternatif untuk bertahan hidup. Masa depan suram sudah di depan mata jika tidak ada perlakuan khusus dari pengelola negara untuk mereka. WARSI sejak beberapa tahun terakhir mencoba mengadvokasikan supaya Sargawi dan kelompok OrangRimba lainnya yang sudah kehilangan tempat hidup ini diakomodir dengan mengalokasikan kawasan tempat hidup mereka, salah satunya dengan pola kemitraan. “Idenya Orang Rimba diberikan kawasan kelola di wilayah-wilayah perusahaan sebagai bentuk CSR perusahaan pada masyarakat sekitar,” sebut Kristiawan Koordinator Unit Suku Suku KKI WARSI. Disebutkannya tidak penting untuk mencari siapa merampas tanah siapa, sekarang yang terpenting ada solusi untuk mengalokasikan kawasan hidup mereka, sehingga Orang Rimba yang kelompok ini bisa memulai pola kehidupan baru dengan berbasis pertanian menetap. Untuk melakukan ini, WARSI juga mengadvokasikan ke pemerintah baik pusat maupun daerah. Di pihak pemerintah daerah Gubernur Jambi dalam beberapa kesempatan sudah menyatakan dukungannya untuk adanya pengalokasian kawasan hidup Orang Rimba. Untuk pemerintah pusat dukungan datang dari UKP4. Komunikasi dan audiensi dengan para pihak, menghasilkan dukungan untuk mengalokasikan lahan bagi Orang Rimba khususnya yang tinggal di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera. Dari komunikasi yang dilakukan dengan para pihak, sudah ada perusahaan yang berkomitmen untuk menyediakan areal 100 ha yang akan dikelola dengan masyarakat sekitar termasuk Orang Rimba. “Meski ini baru komitmen dan belum ada hitam di atas putih, namun ini sebuah langkah maju yang harus kita hargai,”sebut Kristiawan. Selain melakukan advokasi untuk pengadaan kawasan kelola bagi Orang Rimba, yang juga harus dilakukan adalah mengkomunikasikanpemindahan mereka ke lahan garapan baru. Sebagian ada yang semangat pindah ke tempat baru dan memulai hidup baru dengan
pola baru. Namun banyak juga yang masih ragu untuk memulai pola hidup baru. “Sejauh ini minat dari kelompok masih pasang surut dengan berbagai hambatan yang ada mereka. Hambatan itu biasanya berhubungan dengan kebutuhan hidup mereka sehari-hari diawalawal pembukaan lahan sebelum menghasilkan,” sebut Kristiawan. Meski Orang Rimba biasa berpindah, namun mereka tidak akan jauh dari tempat semula, ini juga menjadi salah satu kendala untuk memindahkan mereka ke tempat baru. Mengatasi masalah ini, WARSI mengajak Orang Rimba untuk melakukan studi banding ke kelompok Orang Rimba di Sumatera Selatan yang kini sudah hidup menetap berbasis pertanian. Yaitu kelompok Orang Rimba di Sungai Teras, Musi Rawas. Kelompok Orang Rimba yang berada di Sungai Teras terdiri dari dua kelompok yaitu Mansari dan Nurdin. Kedua kelompok ini menempati lahan seluas 401 ha yang merupakan area konservasi perusahaan yang telah di SK-kan oleh gubernur untuk lahan OR. Secara umum kehidupan Orang Rimba di Musi Rawas tidak jauh berbeda dengan Orang Rimba yang berada di Pamenang. Kelompok ini terlihat sangat termotivasi untuk hidup menetap. Mereka mulai memanfaatkan lahan dengan menanami karet, serta berbagai tanaman pangan seperti ubi dan pisang untuk memenuhi pangan sehari-hari. Selain itu, karena kebun karet mereka belum menghasilkan, mereka mencari penghasilan dengan berburu dan juga mengumpulkan rongsokan di desa-desa sekitar.
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
Pemanfaatan Satwa oleh Orang Rimba
S
alah satu konsumsi penting bagi Orang Rimba adalah binatang liar. Mereka menyebutnya louq, yang berarti lauk. Maksudnya makanan pendamping utama sumber karbohidrat, seperti ubi kayu, umbi-umbian liar dan nasi. Dalam menu Orang Rimba, peran lauk amat penting. Seorang istri akan mogok makan, jika suami tidak bisa menyediakan lauk. Lauk juga sering menjadi sumber permasalahan antar individu, keluarga dan antar kelompok jika pembagiannya tidak sesuai dengan aturan adat. Kaum laki-laki merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan lauk. Seorang anak laki-laki sejak umur 8 tahun sudah belajar membuat perangkap dan setelah umur 9 tahun ke atas sudah ikut dengan bapaknya berburu. Aktivitas berburu bagi laki-laki sangat dominan. Hampir setiap hari kegiatan ini mereka lakukan dan perbincangan yang bertemakan lauk menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Orang
Rimba. Kegiatan berburu biasa dilakukan siang hari maupun malam hari. Baik saat penghujan, juga saat kemarau. Semua ini terkait dengan teknik perburuan yang akan digunakan dan sifat perilaku binatang yang akan diburu. Misalnya jika musim hujan Orang Rimba akan mengandalkan anjing, sedangkan pada malam hari akan menggunakan senter dan jumlah orang yang sangat terbatas yaitu satu dua orang saja. Alat utama Orang Rimba dalam berburu adalah berbagai jenis tombak seperti kujur, serampang, tiruk. Sedangkan alat pendukung adalah senter jika malam hari dan anjing bila siang hari yang disertai parang, ambung. Selain itu berbagai jenis jerat dan perangkap juga sangat umum digunakan. Teknik ini telah ada sejak nenek moyang mereka. Semua bahan-bahannya didapatkan dari sekeliling Orang Rimba. Namun sekarang ini juga sudah ada digunakan bahan dari luar seperti nilon, dan karet. Bahkan ini pemakaian kecepek yaitu senapan
“Kami kalau diajari akan mencoba untuk hidup menetap,” kata Sargawi. Dia berjanji anggota kelompoknya akan giat berusaha untuk bisa menjadi seperti kelompok masyarakat lain yang hidup dari sektor peranian. Sargawi menyadari tidak akan selamanya mereka akan hidup di bawah pohon sawit, meski dulu disitu hutan yang sangat kaya akan sumber kehidupan mereka. Namun kini, semua lenyap dan bahkan mereka tidak boleh memungut sebutirpun biji sawit, yang ada hanya mereka harus membongkar pondok mereka ketika ada orang perusahaan yang panen di sekitar mereka bermukim. Kepala UKP4 Kuntoro Mangku Subroto, sangat terenyuh dengan nasib kaum pinggiran ini, secara kebijakan, dia menjanjikan akan melakukan lobi-lobi dengan perusahaan, sekaligus mendorong kawasan kelola orang rimba di enclave dari perusahaan, sehingga mereka bisa hidup layak seperti yang mereka inginkan. (Sukmareni) Berburu, merupakan cara Orang Rimba untuk mempertahankan hidupnya. Kerusakan hutan menyebabkan semakin sulitnya mereka mendapatkan hewan buruan Foto Dok KKI WARSI.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
49
50
ETNOGRAFI ORANG RIMBA api tradisional sudah banyak ditemukan. Khusus untuk ikan, selain berbagai jenis perangkap seperti bubu, luka, tekalak, juga digunakan berbagai jenis tuba hutan. Berbagai jenis tuba ini tidak bersifat membunuh, akan tetapi secara terbatas menjadikan ikan mabuk sehingga gampang di tangkap. Ikan akan segera sehat jika konsentrasi air tuba semakin berkurang. Dalam berburu berbagai ragam jenis binatang mereka buru untuk dikonsumsi secara ekstensif. Belum ada penelitian terhadap hal ini, akan tetapi dari pengamatan sehari-hari banyak sekali jenis binatang yang mereka buru untuk dikonsumsi. Mulai dari binatang jenis mamalia besar dan kecil, seperti rusa, tapir, kijang, napuh, babi hutan, kancil, cincehe, bentorung, tupai, posou dan lainnya. Sedangkan berbagai jenis burung besar dan kecil adalah kuaw, ayam hutan, tugang, penyiul, punai. Sedangkan binatang melata adalah ular tertentu, biawak, beberapa jenis kodok, hampir semua jenis kurakura, labi-labi. Sedangkan jenis ikan banyak sekali yang dikonsumsi, tetapi yang umum adalah baung, lele, toman, tapa, kebarau, gabus, belido, ikan tanah, siluang, kokopo, tilan, lapam, keleso dan ikan lainnya. Karena banyaknya keragaman jenis binatang yang di konsumsi, Orang Rimba mengelaborasikan konsumsi lauk ini dalam bentuk sistem tabu yang terkait dengan sistem sosial mereka. Tabu atau larangan memakan jenis binatang tertentu atau bagian tertentu dari binatang, dikaitkan dengan jenis kelamin laki-laki-perempuan, tua-muda, anak-anak-orang tua, hamil-tidak hamil, dukun-orang biasa, orang bulih-orang sempu. Misalnya, kura-kura pangka hanya bisa dimakan oleh laki-laki, sedangkan hati binatang tertentu hanya dikonsumsi oleh perempuan. Berbagai jenis binatang pantang dimakan oleh perempuan yang sedang hamil. Walaupun banyak sekali jenis binatang yang dikonsumsi, namun banyak juga jenis binatang yang dipantangkan oleh Orang Rimba. Misalnya: harimau, gajah, beruang, juga jenis primata seperti monyet, siamang, simpai, cigak dan jenis primata lainya. Hewan pantangan lainnya adalah berbagai jenis burung seperti selelayak, rangkong, binti, elang. Semua jenis ini dikaitkan Orang Rimba dengan sistem kepercayaan mereka terhadap Tuhannya. Setelah perusahaan loging mulai berlangsung tahun 70-an, kemudian dilanjutkan dengan perkebunan dan transmigrasi tahun 80-an, banyak sekali kawasan hutan di sekitar Orang Rimba dibabat dan beralih fungsi. Perubahan fungsi hutan ini tentu menjadi hilangnya habitat berbagai jenis binatang yang selama ini hidup di ekosistem hutan. Dampak mengerikan juga dialami oleh Orang Rimba, karena kehilangan sumber daya hutan dan tanah. Seperti sekarang ini, banyak sekali Orang Rimba yang tinggal di sepanjang jalan lintas tengah Su-
matera di Propinsi Jambi hidup tanpa sumber daya dan lahan. Orang Rimba yang tinggal di kawasan ini tidak akan pernah lagi bertemu dengan kebanyakan jenis binatang yang dulu habitatnya di hutan yang juga menjadi bagian dari sistem kehidupan mereka. Orang Rimba di Bukit Duabelas walaupun mengalami hal yang sama, tetapi masih lebih beruntung. Sebagian dari kawasan hidup mereka masih tersisa, yang kemudian diberi pengakuan oleh pemerintah sebagai kawasan penghidupan Orang Rimba dengan status taman nasional. Di dalam kawasan ini, Orang Rimba masih bisa menggantungkan hidup dengan sumber daya hutan, termasuk binatang buruan sebagai sumber utama protein mereka. Namun demikian beberapa jenis binatang telah punah dari kawasan ini, sebagian spesies dirasakan sudah semakin langka. Binatang yang sudah punah adalah Badak, jauh lebih awal sekitar tahun 70-an, sedangkan Gajah punah dari kawasan Orang Rimba di Bukti Duabelas tahun 1985. Sedangkan harimau diyakini masih ada tetapi sudah sangat jarang ditemukan indikasinya. Beberapa jenis binatang buruan juga semakin langka, seperti kijang dan napuh. Sedangkan binatang yang semakin bertambah banyak diakui adalah babi hutan biasa, sedangkan babi hutan nangoi, jenis babi hutan yang datang bergerombol sudah jarang sekali ditemui. Juga kura-kura besar bejuku sudah sangat langka dan jarang didapat. Beberapa jenis ikan juga sudah sangat langka, ikan belido yang dulu banyak sekali di sungai blido, kini sudah jarang di dapat, demikian juga ikan arwana (kleso) sudah sangat langka. Orang Rimba menyebut karena sering diracun orang luar. Berbagai kelangkaan ini semakin menyulitkan orang rimba dalam memenuhi lauk sehari-hari. Hal diakui oleh Orang Rimba semakin mengancam kehidupan mereka, tidak hanya menyangkut konsumsi tetapi juga menyangkut jati diri. Salah satu ciri khas jati diri Orang Rimba adalah berayamkan kuaw, berkambingkan kijang. Artinya ayam mereka adalah burung kuaw dan kambing mereka adalah kijang. Karena itu pula Orang Rimba berpantang memakan ayam, kambing, sapi, kerbau, dan ternak orang luar lainnya. Pantang makan ternak luar ini adalah bagian penting dari identitas budaya Orang Rimba yang membedakan kontras dikotomi budaya antara Orang Rimba dengan Orang Terang (sebutan untuk orang luar). Jika hutan terus menyusut dan sumber daya di dalamnya terus berkurang, pasti kehidupan Orang Rimba akan semakin marginal. Lebih mengerikan lagi jika terjadi etno-cide yaitu hilangnya jati diri kesukuan Orang Rimba. Semua pihak telah melihat contoh seperti ini di Orang Rimba yang tinggal di jalan lintas Sumatera Propinsi Jambi. Semoga tidak terulang nasib yang sama bagi Orang Rimba yang masih punya gantungan hidup dari sumber daya hutannya. (Robert Aritonang)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
Menyunting Gadis di Pohon Sialang Sialang, merupakan sumber daya penting yang dilindungi oleh Orang Rimba. Nilai pohon sialang ini disetarakan dengan satu nyawa manusia. Sialang adalah sebutan umum, untuk mengatakan pohon madu yang merupakan istilah yang lebih luas menyebut kedudungdung/kedongdong, kruing, pulai, kayu kawon, dan pari jenis pepohonan hutan yang menjadi tempat lebah bersarang.
M
ani rapa, begitu Orang Rimba menyebut madu yang dianggap sebagai sebuah keajaiban sekaligus dianggap bedewo (keramat). Madu dipercaya Orang Rimba berasal dari bunga-bunga yang telah mengembang yang dibawa rapa/repo (lebah) di kepala dan kakinya. Sedangkan anak rapa berasal dari embun yang dimasukkan ke dalam sarang-sarang yang sangat rapi---lubang-lubang yang hampir sama ukuran. Mulanya ia akan menjadi klayot lalu makan madu sehingga ia bertambah besar dan menjadi dewasa—kepala, kaki, sayap dan semakin hitam dan akan menjadi anak dewasa yang juga masih dapat dimakan. Dikisahkan, rapa--lebah madu berasal dari gunung Kerinci yang mempunyai penjaga (pawang) yang digambarkan bermata merah, garang, berkulit putih dan tinggi besar seperti Orang Belanda. Konon mereka mengakui ada sialang batu yang merupakan perhention (perhentian) rapa di sana. Lebah datang seperti musim, menjelang bunga mulai memekarkan kelopaknya. Siang malam lebah akan bekerja menimbun madu. Madu inilah yang kemudian dipanen oleh Orang Rimba. Untuk melakukannya tentulah harus melalui serangkaian ritual. Pertama adalah melakukan penyucian diri untuk menghindari songot apa. Ritual penyucian ini dilakukan dengan cara mandi tetapi tidak boleh menggunakan sabun. Selain itu, sebelum memanjat dilarang untuk makan cabai dan garam. pantangan ini bersifat tajam yang dalam bahasa rimba diistilahkan dengan sebutan bermambu, peday, asin. Makanan lain yang juga dihindari mis, boung, ikan tano, keli, kepuyu, sepat, kebakang, tikus dan daging babi, karena punya “kemiripan” dari sifat yang dapat dilihat pada lebah. Menjelang sore laki-laki dewasa yang telah belajar memanjat sialang mulai melantak yaitu memakukan kayu ke pohon silang dari pangkal hingga ke cabang pertama dan dilanjutkan pada malam hari pada cabang-cabang yang lebih kecil. Lantak ini akan berfungsi seperti tangga untuk membantu memudahkan mamanjat pohon silang yang tingginya bisa mencapai 30 meter.
Pohon sialang tempat lebah bersarang dan menghasilkan madu untuk Orang Rimba. Foto Dok KKI WARSI
Sebelum memanjat sialang, harus menghafalkan sejumlah tomboy (pantun) yang sangat sitematis dan pada malam hari pantun itu akan digunakan merayu gadis agar memberikan susunya untuk diperah. Gadis yang dimaksud adalah lebah dalam anatominya yang dapat dikenali dengan beberapa sebutan. Bidang, kepalo rapa, anak, dan induk rapa.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
51
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
52
Keseluruhan objek sialang dipandang mempunyai “pemilik” yang sifatnya gaib dan dalam pantun harus disebut satu persatu untuk menghindari rintangan, sapaan dari setan yang menghuni pohon sialang tersebut.
Pohon sialang sendiri dipersonifikasikan sebagai balai panjang (rumah panggung) dan di balai panjang tersebut terdapat gadis yang dianggap tunangan dan induk sebagai penjaga anak gadis tersebut. Proses pengambilan madu digambarkan sebagai sebuah penyuntingan anak gadis oleh pemuda yang gagah. Dimulai dengan memindahkan penghuni pohon sialang untuk sementara agar tidak menegur sapa dan menghalangi, lalu dilanjutkan dengan besetabik (petmiasi) sebagai salam perkenalan untuk berkeliling balay panjang, lalu dilanjutkan dengan menjauhkan induk rapa atau menurunkannya dengan cara membujuknya, kemudian setelah hampir semuanya diturunkan diakhiri dengan pantun beramit (permisi) turun dari pohon sialang. Sewaktu merapalkan mantra, untuk memisahkan lebah dari sarangnya, ketika memanjat dibawa tunom (bara api) kulit kayu meranti yang dijadikan sebagai api untuk mengusir lebah. Percikan api yang terjatuh dari bara ini biasanya diikuti oleh lebah. Kegiatan yang berlangsung malam hari ini, pertama adalah mengosongkan Sialang di”kosongkan” dengan menolak setan buyuto penghuninya dengan mantra :
Bismilalhirohmanirohim Batang beruk simbo rayo Batang api simbo makan Bukan buyuto punya rumpun Buyuto bisa buyotu bisu Bersisak bersisik dari rambu sialang rayo ku Bukan buyuto punya gelam Aku punya gelam Bukan buyoto punya bungkul Aku punya bungkul Bukan buyuto punya jerambang Aku punyo jerambang Buyuto bisak-buyuto bisu Bersisak bersisik Dari rambu sialang rayaku Bukan buyuto punya dahan Aku punya dahan Bukan buyuto punya gumpuy Aku punya gumpuy Bukan buyuto punya daun Aku punya daun dst…
Bagian-bagian sialang disebut satu-persatu dengan mengalihkan kepemilikannya: bungo, lantak, geganden, tali kelat, sludang, dan rumpun) Asalamualaiikum daun jerambang Ohoo…daun jerambang bagi kelalu Aku ndok lalu kebalay panjang
ETNOGRAFI ORANG RIMBA andun berisik gurau tetawo andun mengasu sibujang itam orang bujang turunlah bujang orang gady turunlah gady turun bebilang anak larai situ nian bungo primbunan situ nian bungo perladangan bungo dikandung elok mambu lah besunting peradu alay adik ooi… tekuit-kuit ikuk ruan bawa batanglah mencuit bara tunon kundang kecik bara datang disambut jangan dikubik jangan dicuil jangan pisau kecik penggali tubo kami kecik jangan becubo tubo jangan dibagi malu alangkah elok budikundangku ini nanti nari janji bekelam janji kito tidak boleh lah berkiran adik oi..
(menurunkan induk lebah agar tidak mengganggu, mencobai atau melawan) Mainlah cepat dek maing berendam ooohhh….i di buku bulu main berempat main sepuluh elok jadi adik oi… (lantak telah siap dan memungkinkan untuk mengambil rapa dengan ber-empat atau ber-sepuluh) Orang Rimba mengumpulkan sarang lebah berisi madu. Foto Dok KKI WARSI
Balay panjanglah melupo Lamo luponlamo tinggal Betiang satu bekeliling Ooh ..adik ..oi
(pantun pertama untuk menaiki sialang)
pancunglah ikuk pancung kepalo anak sawo mandi berendam turunlah siku turun segalo orang menalo rindu dendam enggang melayang melayang kesambut jauh-jauh sambat melayang kekayu anak didamping jangan orang menalo orang menalo berdaun kepur berdaun alay lagemerisik alay sebatang penano kami adik oi.. bukanlah pulo andun ndok nyakut
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
lagu metup panggung suluang budak menubo ulu laut ai setitik jangan terbuang ai dalam mintai tanjung ai setitik jangan tebuang bukonlah pulo sarat diembun bukan pulo sarat di angen benang putus satu belimba duo tingkil manau adik oi adik oi…
(untuk memberitahukan bahwa yang diturunkan banyak madunya)
mandi dimana idak ingin hati menulak lesung batu hati siapo idak ingin susu menulak dalam baju adik oi…
(memberitahukan bahwa yang diturunkan lebih banyak anaknya daripada air madunya).
mamaklah dancak mamaklah dancik
pergi ketalang mengantar gulo kami sepantun puar masak diketuk tupai tinggal lagi kerompongnye adik oi…
(memberitahu bahwa yang diturunkan isinya kosong, rapa yang kosong diasosiasikan dengan memeras susu janda).
Itik-itik manggung suluang Budak menubo ulu laut Setitik ai setampang anank Jangan menawar adik oi…
(untuk mengisyaratkan bahwa rapa yang diambil banyak yang lepas)
aku bermain kasau lilak kubu main kasau licik kasau tunggang tengo arus arus ditimpo embun melenat jangan ditimpo kami gemali jangan adik.. oi..
(memberitahukan bahwa sarang lebah yang berada pada dahan kecil sedang diambil, dari proses panjang tersebut setelah semua madu diturunkan, tibalah waktunya untuk beramit/permisi)
amitlah tuan amitlah nyawo tao oi… amit diaku hantu kayu sialang rayoku lah kedondonglah besak batang hantu kayu pulang kepucuk betanggo emas aku pulang kebawoh betanggo lantak tao ii.. tahun iko tahun meralang tahun diadap lah megulang pulo kedundunglah besak batang lah merilang merambu daun kain nipa tinggallah siko tahun diadap lahgulung pulo adik ooi….
Waktu pengambilan madu, semua peralatan yang dipakai haruslah baru; lantak, geganden, tunom, tali hanyut, sludang, sengkorot, periuk. Setelah lebahnya pergi barulah sarang madu diturunkan dengan tali hanyut yang dibuat dari rotan temiyang yang cukup kuat dan sebagai wadah penampungnya digunakan sludang yang terbuat dari kulit kayu dibentuk seperti ember persegi empat yang ringan namun kuat. Madu yang letaknya sulit karena pada dahan yang kecil dapat diambil menggunakan bantuan sengkorot yang terbuat dari kulit antuy yang panjangnya mencapai 2025 cm untuk diikatkan di kaki dengan cara telungkup menjalar pada dahan yang paling kecil. (Marahalim Siagian)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
53
SELINGAN
54
Tradisi Berlemang, memasak lemang di desa Rantau Kermas. Foto: Elvidayanti/Dok. KKI. WARSI
Lemang dan Ramuan Penyubur Tanaman Padi,
Tradisi Perayaan Besar Keagamaan di Desa Rantau Kermas
A
roma wangi menyebar dari sebuah gardu di Desa Rantau Kemas Kecamatan Jangkat Merangin. Di gardu tersebut, beberapa orang sedang berkumpul, ada yang cuma berbincang, ada juga yang membakar lemang. Pada hari biasa, gardu di desa ini jadi tempat curhat dan berbagi cerita antar warga. Kalau ada yang membuat api unggun, tempat ini juga jadi tempat menghangatkan diri dari udara dingin di desa yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 mdpl tersebut. Lemang menjadi makanan khas warga Desa Rantau Kermas saat perayaan hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad atau saat acara syukuran setelah panen padi. Hampir setiap rumah memasak lemang yang akan dimakan bersama saat kegiatan acara keagamaan dilaksanakan. Olahan lemang pun bermacammacam, ada yang dimasak dengan menggunakan beras ketan putih, ada juga lemang dari beras ketan hitam. Ada juga lemang yang dicampur dengan pisang sehingga rasanya jadi lebih gurih karena ada rasa asam manis dari pisang.
Untuk memasak lemang dibutuhkan waktu dua-tiga jam. Penganan yang bahan utamanya terdiri dari beras ketan dan santan kelapa ini dimasak menggunakan bambu khusus. Setiap ruas bambu diisi dengan bahan lemang lalu dibakar dengan cara menegakkan bambu di sekitar perapian. Perayaan hari besar keagamaan juga dimanfaatkan untuk membaca Surat Yassin dan Barzanzi bersamasama. Pada saat pembacaan Surat Yaasiin dan Barzanzi, warga yang memiliki tanaman padi membawa ramuan dedaunan di lokasi pembacaan Surat Yassin dan Barzanzi. Ramuan dedaunan itu ditempatkan di dalam ember, baskom atau kaleng kecil dan diletakkan di tengah ruangan saat pembacaan Surat Yassin dan Barzanzi. Baskom, ember dan kaleng tersebut berisi beberapa jenis daun yang sudah dicincang. Dedaunan yang disebut warga setempat dengan Sekumpai, Sekerab, Sedingin dan lainnya itu akan disebar di sawah setelah dibacakan Surat Yassin dan Barzanzi. Warga setempat percaya bahwa dedaunan yang sudah dibaca Yassin dan Barzanzi itu ampuh sebagai ramuan obat untuk menjaga tanaman padi tidak sakit dan hasilnya bagus.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
SELINGAN
Menabur dedaunan yang telah dibacakan Yassin dan Berzanzi di areal persawahan dengan harapan panen lebih baik. Foto: Elvidayanti/Dok. KKI. WARSI
Masyarakat Jangkat termasuk Rantau Kermas sejak dahulu terkenal sebagai penghasil beras. Tanaman padi merupakan salah satu komoditi penting pada era 1934-1943. Waktu itu beras juga menjadi alat tukar bagi masyarakat, bahkan perdagangan beras tidak hanya sampai Muara Madras (ibukota Kecamatan Jangkat sekarang) tetapi juga sampai kedaerah Tapan (Pesisir Selatan, Sumatera Barat). Pada waktu itu produksi padi masyarakat Rantau Kermas cukup berlimpah. Masa emas padi ini berhenti sejenak ketika terjadi penjajahan Jepang tahun 1943-1945, produksi padi menurun dan perdagangan beras keluar dari Rantau Kermas juga jarang dilakukan, karena waktu itu sering pengambilan paksa oleh penjajah Jepang. Setelah merdeka, sejak 1945- 1977, produksi padi mulai stabil kembali, dan perdagangan keluar dari desa Rantau Kemas pun dilakukan kembali. Hanya saja, seiring waktu, masyarakat juga mulai mengkombinasikan tanaman mereka dengan tanaman lain, seperti kayu manis. Kayu manis sempat naik daun, karena dianggap lebih menguntungkan dan tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Hingga era tahun 1990-an animo untuk menanam tanaman yang menjadi komoditi ekspor ini juga mulai reda, seiring dengan tak kunjung membaiknya harga komoditas ini. Kini sebagian besar masyarakat mengusahakan tanaman holtikultura, seperti kentang dan cabe serta tanaman semusim lainnya. Padi tetap menjadi tanaman penting, terutama untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Meski tidak lagi seperti dahulu, masyarakat desa ini
tetap menjadikan padi sebagai tanaman wajib, lengkap dengan ritual dan upaya untuk meningkatkan produktivitas padi sawah. Hutan Adat Ketersediaan air dan ketersediaan pangan akan berbanding lurus. Untuk itulah sejak awal masyarakat sangat sadar untuk melindungi sumber air mereka, salah satunya dengan memproteksi kawasan APL yang masih mempunyai tutupan hutan baik dengan skema hutan adat. Sebenarnya masyarakat desa ini sudah mengajukan permohonan untuk legalisasi hutan adat ini ke Bupati Merangin. Hanya saja hingga kini, masih tetap berproses karena ada kendala batas antara hutan adat yang diajukan masyarakat yang sedikit beririsan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat, sekitar 24 ha. Adanya overlap hutan adat dan taman nasional inilah yang menjadi kendala ini akan segera dibahas masyarakat desa. Timbulnya overlap yang menyebabkan lambatnya SK hutan adat ini turun, disebabkan karena selama ini masyarakat tidak memahami dengan jelas batas taman, juga patok batas di lapangan tidak tersedia dengan baik. Semoga ke depan batas ini dapat segara disepakati sehingga masyarakat juga memiliki kekuatan untuk mengelola hutan adat mereka. Dengan hutan yang terjaga, sumber air terpelihara dan padi sawahpun dapat menghasilkan bulir padi yang melimpah untuk masyarakat setempat. (Elvidayanti & Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014
55
FOTO: HERIYADI / DOK. KKI WARSI
Meski Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi dari pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, di lapangan proses deforestasi masih terus berlanjut. Ayo kita cegah deforestasi! ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014