Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PEMANFAATAN TEKNIK SELF-COATING RADIOIMMUNOASSAY (SC-RIA) UNTUK PENENTUAN PROGESTERON PADA SAPI BRAHMAN-CROSS DI PULAU LOMBOK (Use of Self-Coating Radioimmunoassay (Sc-Ria) Techniques for Progesterone Determination in Brahman-Cross Cows in Lombok Island) C.ARMAN1, S.N. DEPAMEDE1, S.H. DILAGA1, H. POERWOTO1, A. HAMZAH2, A. MUZANI3, dan I. ZAKARIA4 1
Fakultas Peternakan Universitas Mataram, 2Badan Urusan Ketahanan Pangan Daerah NTB 3 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, 4Dinas Peternakan Propinsi NTB ABSTRACT
Progesterone determination in cattle is intended to support the successful probability of artificial insemination program which is increated by the fact that progesterone level in blood or milk is extremely high during luteal phase of the ovary and very low during oestrous. Progesterone level is used to detect the onset of oestrous or early pregnancy (3 weeks) in cattle. Determination of progesterone using radioimmunoassay (RIA) technique, in fact, can be used to detect pregnancy, otherwise not detected by rectal palpation. The import of Brahman-cross cows from Australian to Lombok indicated a relatively low reproduction performance. Therefore this observation was carried out with the objective to identify the problem of reproduction through determinations of progesterone level in blood serum from eleven Brahman-cross cows. Clinical observation and rectal palpation were carried out before the commencement of the experiment to determine the status of reproductive organ, activity and structure of ovary as well as the possibility of abnormal reproductive ducts. Blood samples were collectedonce a week for eleven weeks. Serum was separated 4 hours after blood collection and stored (-20°C) before being analyzed. Progesteron determination was carried out using selfcoating radioimmunoassay (Sc-RIA) technique (supported by FAO/IAEA). Results indicated that 36% (4 out of 11 cows) were positively pregnant, 46% normal oestrual cycle and 18% unoestrous. It seems that selfcoating raioimmunoassay technique was accurate enough for determination of blood progresterone level in Brahman cross cows under village condition in Lombok island. Key words: Serum progesterone, reproduction, Sc-RIA ABSTRAK Uji progesteron pada temak sapi digunakan untuk mendukung program inseminasi buatan. Uji ini didasarkan pada kenyataan bahwa kadar progesteron dalam darah atau susu tinggi selama fase luteal dari siklus ovarium, namun mencapai kadar sangat rendah selama estrus. Uji progesteron digunakan untuk mendeteksi estrus maupun diagnosa kebuntingan awal (3 minggu) pada sapi. Estimasi progesteron serum menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) pada sampel-sampel individu sapi juga menunjukkan bahwa kebuntingan yang secara normal tidak dapat didiagnosa melalui palpasi rektal dapat ditentukan melalui uji progesteron. Introduksi sapi-sapi betina Brahman-cross dari Australia ke Lombok dalam rangka Program Brangusisasi menunjukkan rendahnya prestasi reproduksi hampir sebagian besar sapi. Oleh karena itu, studi pendasaran dilakukan untuk mengidentifikasi masalah kesuburan sapi melalui pengujian progesteron dalam serum. Sebelas ekor sapi Brahman-cros dewasa digunakan dalam penelitian ini. Pemeriksaan klinis dan palpasi rektal dilakukan sebelum penelitian pada semua sapi untuk menentukan status reproduksi, aktifitas dan struktur ovarium serta kemungkinan abnormalitas saluran reproduksi. Sampel darah ditampung seminggu sekali selama 11 minggu berturut-turut. Serum dipisahkan dalam waktu 4 jam setelah pengambilan darah dan disimpan-beku (-200C) sampai saatnya pengujian. Penentuan kadar progesteron dalam serum dilakukan dengan teknik Self-coating radioimmunoassay (Sc-RIA) menggunakan kits bantuan FAO/IAEA. Berdasarkan kadar progesteron dalam
73
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
serum, didapat bahwa dari sebelas ekor sapi, empat ekor (36%) diantaranya dalam status positif bunting, lima ekor (46%) bersiklus normal (cycling), dan dua ekor (18%) tidak bersiklus normal (unestrus). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik Sc-RIA tampaknya akurat untuk mengukur kadar progesteron dalam serum sapi-sapi Brahman-cross yang dipelihara di bawah kondisi pedesaan di pulau Lombok. Kata-kunci: Progesteron serum, prestasi reproduksi, Sc-RIA
PENDAHULUAN Uji progesteron pada temak sapi digunakan untuk mendukung program inseminasi buatan. Uji ini didasarkan pada kenyataan bahwa kadar progesteron dalam darah atau susu tinggi selama fase luteal dari siklus ovarium, namun mencapai kadar sangat rendah selama estrus. Uji progesteron digunakan untuk mendeteksi estrus maupun diagnosa kebuntingan awal (3 minggu) pada ternak sapi. Estimasi progesteron serum menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) pada sampelsampel individu sapi juga menunjukkan bahwa kebuntingan yang secara normal tidak dapat didiagnosa melalui palpasi rektal dapat ditentukan melalui uji progesteron. Pada sapi, konsentrasi progesteron merupakan adanya corpus luteum fungsional dan status reproduksi (PERERA dan ABEYRATNA, 1979). Sapi-sapi yang menunjukkan siklus estrus teratur secara karakteristik menunjukkan fluktuasi konsentrasi progesteron periodik dengan periode 2-minggu kadar tinggi diikuti oleh 1 minggu kadar rendah (BULMAN DAN WOOD, 1980). Konsentrasi progesteron selama 14 hari pertama siklus estrus adalah sama dengan yang terjadi selama 14 hari pertama kebuntingan (BULMAN DAN LAMMINGS, 1979).Introduksi sapi-sapi betina Brahman-cross dari Australia ke Pulau Lombok dalam rangka mendukung Program Brangusisasi menunjukkan rendahnya prestasi reproduksi hampir sebagian besar sapi yang dipelihara di bawah kondisi pedesaan. Oleh karena itu, studi dasar telah dilakukan untuk mengidentifikasi prestasi (performance) reproduksi dan masalah kesuburan sapi-sapi impor tersebut melalui pengujian progesteron di dalam serum. MATERI DAN METODA Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Desa Masbagik Timur Kecamatan Masbagik dan desa Kerongkong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Ternak penelitian Sebelas ekor sapi Brahman-cross dewasa yang diimpor dan Australia, urnur berkisar antara 3 sampai 6 tahun dan bobot badan berkisar antara 238 kg sampai 262 kg digunakan dalam penelitian ini. Manajemen pemeliharaan Semua sapi percobaan dipelihara secara kolektif dalam kandang kelompok, dan setiap ekor sapi menempati kandang individu. Sapi diberi makanan rumput lapangan dan hijauan lain berupa rumput gajah, daun turi, daun ubi, daun dan batang pisang, serta limbah pertanian sepertijerami padi danjerami kacang tanah. Kadang-kadang sapi diberi makanan tambahan berupa dedak sebanyak 2
74
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
kg per ekor per hari. Air minum disediakan secara ad Ubitum. Semua sapi diberi tanda nomor telinga yang terbuat dari plastik. Pengambilan darah Pemeriksaan klinis dan palpasi rektal dilakukan sebelum pengambilan sample darah pada semua sapi untuk menentukan status reproduksi, aktifitas ovarium, struktur ovarium, dan kemungkinan abnormalitas saluran reproduksi. Sebanyak 10 ml sampel darah ditampung dari vena jugularis menggunakan syringe ke dalam tabling vakutainer setiap minggu selama 11 minggu berturut-turut. Sampel-sampel darah di masukkan ke dalam boks berisi batu es, dan selanjutnya dibawa ke laboratorium Immunobiology Unram untuk disentrifus dengan kecepatan 3000 g selama 15 menit dalam waktu 4 jam setelah pengambilan darah di lapangan. Serum yang terpisah kemudian disimpan pada temperatur -200C sampai saatnya diproses lebih lanjut (assay). Radioimmunoassay Konsentrasi hormon progesteron di dalam serum diukur menggunakan Self-coating radioimmunoassay (Sc-RIA) seperti dikemukakan oleh FAO/IAEA Division, Austria. Secara ringkas, sebanyak 0.1 ml sample serum (dalam duplikat) dimasukkan ke dalam tabung berisi pembungkus antibody (antibody coated), kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 4 jam dengan 0.1 ml ^labelled progesterone. Sesudah decanting, semua tabung dihitung secara kolektif dalam multiwell Gamma counter (Type Sourcerer, Oakfield Instruments, Ltd. UK) selama 60 detik. Profil progesteron lebih dari 1 nmol/L diambil sebagai petunjuk adanyajaringan luteal yang fungsional. Analisis statistik Profil progesteron dan data klinis untuk setiap ekor sapi dinilai secara individual, kemudian untuk sapi-sapi yang memiliki status reproduksi sama dikelompokkan menjadi satu dan. pooled data yang diperoleh dihitung angka rata-rata kadar progesteronnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil progesteron serum untuk sampel-sampel yang diperoleh selama periode pengamatan pada sapi-sapi Brahman-cross dipresentasikan dalam Gambar l.a, b, dan c. Berdasarkan pola konsentrasi progesteron kesebelas ekor sapi Brahman-cross didapat bahwa empat ekor (36%) diantaranya dalam status positif bunting, lima ekor (46%)dalam keadaan bersiklus normal (cycling), dan dua ekor (18»/o) tidak bersiklus normal (unestrus atau non-cycling).
75
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
a. Profil progesteron sapi-sapi Brahman-cross dalam status bunting
b.Profil progesteron sapi-sapi Brahman-cross dalam status bersiklus
Gambar 1. Profil progesteron sapi-sapi Brahman-cross di Lombok Timur
76
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Gambar l.a. merupakan gabungan (pooled) data dari empat ekor sapi Brahman-cross yang berada dalam status bunting. Rata-rata kadar progesteron sapi Brahman-cross bunting adalah 11.42 nmol/L pada minggu ke-1, kemudian naik hingga mencapai kadar 27.28 nmol/L pada minggu ke-3. Pada minggu ke-4 terjadi penurunan kadar progesteron sebesar 9.37 nmol/L dan segera diikuti kenaikan progesteron hingga kadar 30.38 nmol/L pada minggu ke-5. Antara minggu ke-6 hingga minggu ke-11 terjadi pola penurunan dan kenaikan kadar progesteron serum yang konsisten, dengan kadar puncak pada minggu ke-9 (35.74 nmol/L). Rata-rata kadar progesteron pada sapi bunting sepanjang periode pengamatan adalah 20.07 nmol/L. Hasil ini hampir mendekati hasil yang diperoleh EDUVIE dan OYEDIPE (1990) yang mendapatkan konsentrasi progesteron sapi-sapi Bunaji di Afrika berkisar antara 6.6 dan 10.7 ng/mL dari hari ke-30 kebuntingan hingga kira-kira 3 hari prepartum. Tingginya kadar progesteron selama kebuntingan pada sapi Brahman-cross yang diamati dalam penelitian ini adalah akibat meningkatnya aktifitas corpus luteum, selain itu juga sekresi progesteron yang bersumber dari plasenta (MELAMPY et al., 1959) dan adrenals (WENDORFET et al., 1983). Walaupun corpus luteum tetap aktif sepanjang kebuntingan, baik berat corpus luteum maupun kandungan progesteronnya tidak secara perfect (tepat) mencerminkan perubahanperubahan pada progesteron serum dari vena jugularis ((ERB et al., 1971). )\.lam dan GOSH (1993) mendapatkan bahwa rata-rata konsentrasi progesteron plasma adalah 20.2 nmol/L pada hari ke- 20 pada sapi bunting. Gambar 1 ,b. mempresentasikan rata-rata kadar progesteron dari lima ekor sapi Brahman-cross yang dikategorikan dalam status bersiklus (cycling). Pada minggu ke-1 dari siklus estrus pertama, rata-rata kadar progesteron sapi-sapi Brahman-cross didapat pada kadar basal. Kadar progesteron serum naik berturut-turut pada minggu ke-2 dan ke-3 yaitu masing-masing sebesar 4.71 dan 7.73 nmol/L, kemudian turun kembali mencapai kadar basal pada minggu ke-4. Rendahnya kadar progesteron pada minggu pertama kemungkinan mencerminkan perkembangan folikuler siklus awal yang terjadi pada saat ini. Penemuan ini juga pemah dilaporkan oleh DIAZ et al. (1986), yang melaporkan bahwa rata-rata kadar progesteron pada sapi Brahman adalah 0.5 ng/mL pada saat estrus. Variasi kuantitatif progesteron serum yang tampak pada fase siklus estms pada kelima ekor sapi Brahman-cross ini sejalan dengan pola perubahan-perubahan progesteron yang terjadi selama siklus estrus sebagai konsekuensi dari pembahan corpus luteum pada sapi seperti dilaporkan oleh DIAZ et al. (1986). Pola pembahan kadar progesteron yang terlihat pada dua siklus estrus berikutnya mengkonfirmasikan status kelima sapi Brahman-cross yang sedang bersiklus. Rata-rata profil progesteron serum dari dua ekor sapi Brahman-cross yang mengalami kondisi tidak bersiklus (non-cycling) ditunjukkan dalam Gambar I.e. Pada minggu ke-l dan ke-2, rata-rata kadar progesteron didapati kurang dari 1 nmol/L, selanjutnya terjadi peningkatan kadar sebesar 4.08 nmol/L pada minggu ke-3, yang diikuti penurunan kembali hingga mencapai kadar basal pada minggu ke-4. Kenaikan kadar progesteron hingga 2.47 nmol/L terjadi pada minggu ke-5, namun demikian kadar ini turun hingga ke tingkat basal pada minggu ke-6. Kadar progesteron secara konsisten tetap dipertahankan di bawah 1 nmol/L pada minggu ke-7 hingga akhir periode pengamatan (minggu ke-11). Hal ini menunjukkan ketidakaktifan ovarium yang dikonflrmasikan melalui pemeriksaan rectal dan klinis saluran reproduksi dan ovari kedua sapi anesturs tersebut. KESIMPULAN Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aplikasi teknik Sc-RIA untuk mengukur konsentrasi hormon progesteron dalam serum tampaknya bermanfaat dan memiliki nilai praktis dalam memantau kejadian kebuntingan, aktifitas siklus ovarium, dan peristiwa asiklis pada sapi-sapi Brahman-cross yang dipelihara di bawah kondisi pedesaan di pulau Lombok.
77
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada the International Atomic Energy Agency (IAEA), Vienna, atas bantuan dana dan kits melalui RAS/5/035 dan INS/5/029 Projects melalui Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta, Universitas Mataram (UNRAM), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Mataram, dan Poskeswan Kecamatan Masbaik dan Kecamatan Sukamulia, Kabupaten Lombok Timur atas bantuan teknis lapangan. DAFTAR PUSTAKA ALAM, M.G.S. and GHOSH, A. 1994. Reproductive Patterns of Indigenous Cows in Bangladesh and The Effect of Urea-Molasses-Mineral Blocks (UMMB) on Puberty and Post-partum Ovarian Activity. In: Strengthening research on animal reproduction and disease diagnosis in Asia through the application of immunoassay techniques. Proceedings of the Final Research Co-ordination Meeting of an FAO/IAEA Coordinated Research Programme organized by the Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture and held in Bangkok, Tahiland, 1-5 February 1993. IAEA. BULMAN, D.C. and WOOD, P.D.P. 1980. Abnormal Patterns of Ovarian Activity in Dairy (Cows and Their Relationships with Reproductive Performance. Anim. Prod. 30:177-188. BULMAN, D.C. and LAMMINGS, G.E. 1979. The Use of Milk Progesterone Analysis in The Study of Estrus Detection, Herd Fertility and Embryonic Mortality in Dairy Cows. Br, Vet. J. 135:559-569. DIAZ, T., MANZO, M., TROCONIZ, J., BENACCHIO, N. and VERDE, 0. 1986. Theriogenology 26:419-432. EDUVIE, L.O. and OYEDIPE, E.O. 1990. Improving The Management of Reproduction of Indigenous Cattle in The Semiarid and Subhumid Zones of West Africa. In: Studies on the reproductive efficiency of cattle using Radioimmunoassay Techniques. Proceedings of the Final Research Co-ordination Meeting on the application of Radioimmunoassay to improving the Reproductive Efficiency and Productivity of Large Ruminants, organized by the Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture and held in Vienna, Tahiland, 5-9 September 1988. IAEA. ERB, R.E., RANDEL, R.D. and CALLAHAN, C.J. 1971. Female Sex-Steroid Changes During The Reproductive Cycle. J. Anim. Sci. (Suppl.):80-106. MELAMPY, R.M., HEAM, W.R. and RAKES, J.M. 1959. Progesterone Content of Bovine Reproductive Organs and Blood During Pregnancy. J. Anim. Sci. 18:307-313. PETERA, A.R. and LAMMING, G.E. 1983. Hormone Patterns and Reproduction in Cattle. In Practice %:153-157. PERERA, B.M.A.O. and ABEYRATNA, A.S. 1979. The Use of Nuclear Techniques in Improving Reproductive Performance of Farm Animals. World. Anim. Rev. 32:2-8. WENDORF. G.L., LAWYER, M.S. and FIRST, N.L. 1983. Role of The Adrenals in The Maintenance of Pregnancy in Cows. J. Reprod. Fert. 68:281-287.
78