2013 Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah Reslian Pardede
PELUANG PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR PERKOTAAN DARI SUMBER NON-APBN Jakarta, 30 Oktober, 2013
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
2
2. SISI PENAWARAN: TANTANGAN KOTA MENGAKSES PINJAMAN
2
2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
2 3 6 6
MANFAAT DAN RISIKO PINJAMAN BAGI KOTA KAPASITAS FISKAL PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN INVESTASI & KEUANGAN KERANGKA REGULASI
3. SISI PERMINTAAN: APA YANG DIBUTUHKAN INVESTOR 3.1. 3.2. 3.3.
PROFIL INVESTOR CREDIT ENHANCEMENT UNTUK OBLIGASI DAERAH SKEMA PEMBIAYAAN KOLEKTIF
8 8 8 11
4. KELAYAKAN KREDIT
13
5. PENUTUP
14
DAFTAR PUSTAKA
16
1|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
PELUANG PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERKOTAAN DARI SUMBER NON-APBN1
1. Pendahuluan Pembiayaan infrastruktur perkotaan merupakan salah satu isu terpenting dari pembangunan perkotaan. Namun dana Pemerintah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur. Di tengah krisis perekonomian dunia saat ini, juga sulit mengharapkan pembiayaan yang berasal dari luar negeri. Untuk itu, sudah saatnya eksplorasi atas pembiayaan infrastruktur dari dalam negeri mulai dilakukan. Pinjaman adalah salah satu alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur. Sumber pinjaman bagi Kota dapat berasal dari Pemerintah Pusat (melalui lembaga seperti Pusat Investasi Pemerintah), bank atau lembaga keuangan bukan bank, pemerintah daerah lain maupun dalam bentuk obligasi daerah. Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai Pinjaman Daerah termasuk Obligasi Daerah. Namun sampai saat ini, daerah belum banyak memanfaatkan Pinjaman Daerah termasuk Obligasi Daerah. Tulisan ini akan mendiskusikan sejauh mana Kota dapat mengakses dan memanfaatkan pinjaman daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan tantangan serta peluang yang dapat dilakukan. Pendekatan akan dilakukan berdasarkan 2 sisi yaitu sisi penawaran dari perspektif Kota dan sisi permintaan dari perspektif investor.
2. Sisi Penawaran: Tantangan Kota Mengakses Pinjaman 2.1. Manfaat dan Risiko Pinjaman Bagi Kota Selain untuk menutupi kesenjangan kebutuhan pembiayaan infrastruktur, pinjaman dapat memberi beberapa manfaat lain bagi Kota. Pertama, pinjaman memungkinkan terjadinya alokasi sumber daya yang lebih efisien. Karena pinjaman merupakan sumber pembiayaan yang mahal (ada beban bunga dan biaya transaksi), Kota harus memastikan bahwa dana yang dipinjam digunakan untuk pembangunan infrastruktur perkotaan yang strategis dan dengan multiplier effect yang besar. Kota harus dapat menyusun rencana prioritas pembangunan infrastruktur. Kedua, pinjaman dapat menjadi instrumen bagi Kota untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan. Pinjaman menuntut kemampuan Kota untuk mengelola arus kas demi memastikan pembayaran bunga dan pokok pinjaman yang tepat waktu. Ketiga, dengan melakukan pinjaman, transparansi dan akuntabilitas keuangan Kota akan meningkat terutama untuk obligasi daerah. Obligasi daerah dengan penawaran umum (public offering) mengharuskan adanya transparansi keuangan daerah bagi investor atau masyarakat umum. 1
Disampaikan dalam Seminar “Peluang Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan dari Sumber Non-APBN” yang diselenggarakan oleh Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD), Cities Development Initiative for Asia (CDIA) dan PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) di Jakarta, 30 Oktober, 2013.
2|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Di lain pihak, pinjaman daerah memang mengandung potensi risiko yang besar. Beban utang yang berlebihan dapat membahayakan stabilitas makroekonomi Kota, mengancam keberlangsungan Pemerintahan Kota, dan dapat berakibat pada terjadinya hutang yang membebani masyarakat dan Pemerintah Kota di masa yang akan datang. Resiko gagal bayar tidak saja berupa resiko keuangan semata, tetapi dapat juga mengakibatkan menurunnya reputasi pemda dalam segi pengelolaan keuangan . Dampak lebih lanjut, bila tidak ditangani, maka resiko terburuk adalah pemda dapat bangkrut karena beban hutang tidak terbayar. Untuk itu memang diperlukan keberhati-hatian dalam memutuskan dan mengelola pinjaman daerah. Banyak negara yang mengeluarkan aturan ketat bagi obligasi daerah untuk mencegah terjadinya gagal bayar yang pernah terjadi pada tahun 1900-an [Bond, 2012]. Namun beberapa negara berkembang seperti Brazil, Mexico, Kolombia, Afrika Selatan, India dan Filipina telah mengembangkan pinjaman daerah dan potensi pembiayaan di luar dana Pemerintah. Beberapa negara ini cukup berhasil mengembangkan pembiayaan pembangunan perkotaan. Sistem pembiayaan perkotaan tidak selalu bertumpu pada sistem nasional, namun dapat juga dikembangkan di tingkat Provinsi seperti pada Tamil Nadu, India. Gambar 1: Sumber dan Bentuk Pembiayaan Infrastruktur Pemerintah Pusat
Mekanisme Anggaran Kementerian/L embaga
Pemerintah daerah lain
Sektor Swasta
Dana Investasi Pemerintah
Penerusan Pinjaman/Hib ah luar negeri
Masyarakat
Lembaga keuangan
Badan usaha
Bank
Non Bank
Pinjaman
Hibah
Hibah
Pinjaman
KPS
Mekanisme Anggaran (APBD)
Pinjaman
Pinjaman
Obligasi
Mekanisme Anggaran (APBD)
Sumber: Berbagai peraturan yang diolah kembali oleh YIPD & URDI
2.2. Kapasitas Fiskal Untuk meminjam diperlukan kemampuan untuk membayar kembali. Namun banyak Kota atau daerah yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk biaya pegawai atau kegiatan rutin. Di lihat dari struktur keuangan daerah saat ini (lihat Gambar 2), sebagian besar daerah mengandalkan dana transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (DAK), mencapai 69% dari total Pendapatan (2012). Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri hanya mencakup 9% dari total Pendapatan. Rata-rata Pendapatan daerah selama 2012 adalah Rp 1,1 trilyun (termasuk provinsi) atau 3|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Rp 840 milyar (hanya kabupaten atau kota saja). Sementara itu, 49% dari total Pengeluaran dihabiskan untuk Belanja Pegawai. Hanya 23% yang tersisa untuk Belanja Modal. Dalam komposisi Belanja dan Pembiayaan, ada komponen “Pembiayaan” sebesar 6%. Pembiayaan dalam konteks ini adalah SiLPA atau Sisa Lebih Pendapatan Anggaran tahun sebelumnya. Jumlah total SiLPA pada akhir 2012 cukup besar mencapai Rp 47 trilyun. Akan tetapi, SiLPA ini belum tentu menunjukkan sisa dana yang ‘menganggur’. SiLPA bisa terjadi karena banyaknya pekerjaan yang belum selesai pada akhir tahun2 [Roswendi, 2012]. Gambar 2: Komposisi Pendapatan, Belanja & Pembiayaan dan Belanja Daerah 2012
120%
Lain-lain
Lain-lain 100%
6%
11%
11%
Pembiayaan
DBH
80%
Belanja Langsung
44%
60%
4% 4% 23%
Belanja Modal
19%
Barang & Jasa
49%
Belanja Pegawai
DAU & DAK 69%
Belanja Tidak Langsung
40% 50% 20% 9% 0%
Komposisi Pendapatan
PAD
0
Bansos
0
Komposisi Belanja & Pembiayaan
Komposisi Belanja
Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Tahun 2012 DJPK
Berapa sebenarnya kemampuan Kota untuk meminjam? Berdasarkan peraturan mengenai Pinjaman Daerah3, untuk meminjam Kota diharuskan memiliki Debt Service Coverage Ratio (DSCR) sebesar 2,5 kali. Sesuai dengan rumus DSCR berdasarkan PP No. 23/2003 (lihat Kotak 2) dan berdasarkan data dari struktur pendapatan daerah selama 2012, sisa Pendapatan yang dapat digunakan untuk membayar pokok dan bunga hutang menjadi hanya 15% dari total Pendapatan atau sebesar Rp 50 milyar per tahun. Dengan asumsi pinjaman berjangka waktu 5 tahun, maksimal jumlah pinjaman bagi Kota yang memiliki total Pendapatan Rp 840 milyar adalah sekitar Rp 200 milyar4. 2
Seringkali juga daerah sengaja menganggarkan jumlah pendapatan yang lebih kecil daripada yang dapat direalisir sehingga realisasi pendapatan menjadi cenderung lebih besar. 3 PP No. 30/2011 serta Perpres No. 56/2011 dan PP No. 23/2003 4 Berdasarkan data dari struktur pendapatan daerah selama 2012 [DJPK], prosentase rata-rata total dari PAD, DAU dan DBH adalah 83%. Jika Belanja Pegawai pada 2012 adalah sebesar 49% dari total Pengeluaran yang diasumsikan sama dengan Pendapatan sebesar Rp 840 milyar maka sisa Pendapatan setelah Belanja Pegawai adalah 34% atau Rp 285 milyar. Dengan ketentuan DSCR 2,5 kali maka cicilan pokok dan bunga maksimal tidak boleh melebihi Rp 114 milyar per tahun. Akan tetapi penghitungan ini belum memperhitungkan biaya lain selain Belanja Pegawai. Tentu saja tidak mungkin Kota menghabiskan seluruh sisa Pendapatan ini untuk pembayaran pokok dan bunga pinjaman tanpa melakukan kegiatan apa pun. Dengan demikian
4|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Jika dihitung berdasarkan aturan lain soal batas maksimal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)5 sebesar 6% dari total Pendapatan, diperoleh angka yang kurang lebih sama dengan ilustrasi berdasarkan aturan DSCR. Yang dimaksud defisit APBD adalah selisih kurang antara Pendapatan dengan Belanja dalam tahun anggaran yang sama. Seperti terlihat dalam gambar di atas, defisit ratarata pada tahun 2012 (terlihat dari “Pembiayaan”) berada pada 6%. Jika kita menggunakan angka Rp 840 milyar sebagai rata-rata pendapatan daerah di tahun 2012, maka defisit yang diperbolehkan adalah Rp 50 milyar per tahun, artinya maksimum pinjaman yang diperbolehkan adalah sebesar Rp 200 milyar dengan asumsi jangka waktu 5 tahun. Untuk pembangunan fasilitas infrastruktur perkotaan, jumlah ini mungkin tergolong kecil6. Pemerintah perlu melakukan peninjauan kembali tentang batasan pinjaman (kumulatif defisit) ini, dan mulai memikirkan seberapa jauh Kota diperbolehkan meminjam dengan jumlah signifikan untuk perbaikan infrastruktur, yang sekarang jauh tertinggal dibandingkan negaranegara lain. Bagaimana Kota dapat memperbesar kapasitas peminjamannya? Ada 3 faktor yang dapat dipertimbangkan yaitu memperbesar pendapatan, memperkecil biaya dan memperpanjang jangka waktu pinjaman. Semakin panjang jangka waktu pinjaman, semakin besar pinjaman yang bisa diperoleh oleh Kota. Namun kemampuan untuk memperbesar pendapatan yang antara lain terdiri dari PAD, DAU, DBH, DAK dan Pendapatan Lain-lain bergantung pada kebijakan Pemerintah mengenai perimbangan keuangan. Alternatif lain, yang mungkin namun sulit dilakukan saat ini, adalah memperkecil biaya. Tetapi juga harus diakui bahwa tidak semua Kota memiliki kapasitas fiskal untuk meminjam. Kebijakan mengenai perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah menjadi sangat penting karena menentukan jenis penerimaan dan pengeluaran daerah serta otonomi keuangan dan fiskal daerah dalam menentukan pajak, retribusi, jasa dan lain sebagainya yang selanjutnya. Kebijakan mengenai perimbangan keuangan ini juga memberi kerangka aturan dan prosedur untuk pengelolaan keuangan daerah serta kendali dan audit yang memberi dampak bagi transparansi dan tingkat kepastian bagi pengambil keputusan termasuk pimpinan daerah dan investor. Kebijakan ini menentukan solvensi dan kelayakan kredit Kota. Kelayakan kredit adalah factor yang sangat penting dalam menentukan risiko kredit dari pinjaman. Di banyak negara lain, kebijakan perimbangan keuangan antara Pusat dengan daerah ternyata juga tidak menguntungkan bagi daerah untuk mengakses pasar keuangan, kewenangan atas penerimaan, pengalokasian dana transfer dan lain lain [Eichler, 2012]. Ini adalah salah satu masalah mendasar yang dihadapi oleh Kota di banyak negara lain di mana terjadi ketidaksesuaian antara sumber keuangan dan kewenangan fiskal dibanding dengan urusan atau tugas yang menjadi tanggungjawab Kota.
Barang dan Jasa perlu diperhitungkan. Data tahun 2012 menunjukkan biaya Barang dan Jasa sebesar 19%. Dengan demikian, sisa Pendapatan yang dapat digunakan untuk membayar pokok dan bunga hutang menjadi hanya 15% (sisa Pendapatan 34% dikurangi Barang dan Jasa 19%) dari total Pendapatan atau sebesar Rp 50 milyar per tahun. 5 PMK No. 137/PMK.07/2012 6
Untuk membangun sebuah sistem pembiayaan transportasi kota yang lengkap, khususnya pada sebuah kota besar, dana yang dibutuhkan dapat melebihi Rp 1 trilyun . 5|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
2.3. Perencanaan dan Pengelolaan Investasi & Keuangan Salah satu tantangan dalam pembiayaan infrastruktur perkotaan adalah identifikasi proyek prioritas serta pengembangan proyek menjadi investasi yang menarik untuk ditawarkan pada pemilik dana. Pengembangan proyek (project development) untuk hutang atau obligasi memang lebih sulit dibanding untuk hibah. Kota harus dapat mengidentifikasi, memprioritaskan, merancang dan mempromosikan proyek infrastruktur yang bankable. Untuk dapat mengembangkan proyek menjadi investasi yang menarik bagi investor, Kota perlu memahami aspek-aspek yang menjadi pertimbangan sektor swasta dalam berinvestasi. Kota harus mengetahui manfaat, biaya dan risiko dari proyek sesuai dengan perspektif investor. Kesulitan utama yang sering muncul adalah bagaimana memahami seluruh potensi risiko (politik, sosio ekonomi, operasional, keuangan) dan menghitung (pricing) risiko tersebut. Selain aspek desain teknis, perencanaan keuangan proyek juga harus disesuaikan dengan peraturan atau persyaratan lembaga keuangan atau pasar modal. Pinjaman biasanya lebih cocok untuk sektor dengan arus kas yang memadai seperti energi atau telekomunikasi. Sebaliknya pelayanan publik lain seperti penyediaan air bersih, sanitasi, pengelolaan limbah, menurut Venkatachalam, terbilang kurang menarik bagi sektor swasta mengingat karakteristik waktu, eksternalitas, cost recovery yang terbatas, risiko dan lain sebagainya [Venkatachalam, 2005]. Akan tetapi, ini sebenarnya bergantung pada bagaimana investasi infrastruktur tersebut dipaketkan serta credit enhancement yang dapat atau mampu diberikan Kota. Seringkali kuncinya ada pada pemilahan proyek atau komponen proyek yang cocok untuk ditawarkan pembiayaannya kepada pemilik dana yang tepat baik itu Pemerintah, lembaga keuangan, pasar modal atau melalui Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Kemampuan untuk melakukan pemaketan investasi sangat penting.
2.4. Kerangka Regulasi Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan terkait pinjaman daerah termasuk obligasi. Peraturan mengenai pinjaman dan obligasi daerah menunjukkan prinsip kehati-hatian yang cukup tinggi. Terkait dengan Pinjaman Daerah, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/2011 tentang pinjaman daerah, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 111/PMK.07/2012 tentang obligasi daerah dan PMK No. 137/PMK.07/2012 tentang batas maksimal kumulatif pinjaman dan defisit APBD, dan lain sebagainya. Dililhat dari kacamata Kota, kerangka regulasi yang relevan adalah soal prosedur, persyaratan termasuk batasan pinjaman. Banyak daerah merasa bahwa prosedur pinjaman saat ini masih cukup rumit dan birokratis [TADF, 2010].
Kotak 1. Hasil Kajian TADF Hasil kajian Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal, Kementerian Keuangan (2012) menemukan beberapa faktor yang dirasakan menjadi penghambat untuk mengakses pinjaman oleh daerah. Persyaratan administrasi yang terlalu berat dan prosedur yang masih dianggap rumit termasuk persetujuan DPRD yang lama dan bunga yang dipandang cukup tinggi menjadi faktor penghambat. Sebagai contoh, Pemkot Gorontalo menyatakan bahwa salah satu kesulitan yang dihadapi adalah mekanisme dan prosedur untuk mendapatkan pinjaman yang terlalu birokratis. Pengalaman Pemkot Depok menyatakan bahwa kesulitan 6|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
yang dihadapi adalah berupa prosedur yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan kesulitan yang dihadapi berupa perubahan peraturan. Beberapa penyederhanaan yang diusulkan oleh pemerintah daerah dalam Kajian Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal antara lain: 1) Memotong proses birokrasi pinjaman daerah, dengan mengurangi peran DPRD; 2) Tidak terlalu mengkaitkan masa pinjaman daerah dengan masa kerja kepala daerah; 3) Mengurangi biaya penalti bila pemerintah daerah melakukan pelunasan dini. Selain faktor prosedural yang rumit, ternyata juga sebagian besar pemda belum terlalu memahami cara penerbitan obligasi daerah dan seberapa manfaatnya penerbitan tersebut untuk pembiayaan infrastruktur [TADF, 2012].
Kotak 2. Persyaratan Pinjaman Daerah Persyaratan Pinjaman Daerah untuk jangka menengah atau jangka panjang adalah sebagai berikut (PP No. 54/2005 dan PP No. 30/2011): 1.
2. 3. 4.
Jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Rasio proyeksi kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio) paling sedikit 2,5 (dua koma lima). Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah. Mendapatkan persetujuan DPRD.
Berdasarkan PMK No. 137/PMK.07/2012, batas maksimal kumulatif pinjaman daerah adalah 0,35 dari PDB dan maksimal defisit APBD adalah 6% dari perkiraan Pendapatan. Berdasarkan PP No. 23/2003, perhitungan dari DSCR adalah sebagai berikut: DSCR = (PAD + BD + DAU) – BW ≥ 2,5 P + B + BL di mana: DSCR = Debt Service Coverage Ratio, PAD = Pendapatan Asli Daerah; BD = Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan sumber daya alam, serta bagian Daerah lainnya seperti dari Pajak Penghasilan Perseorangan; DAU = Dana Alokasi Umum; BW = Belanja Wajib, yaitu belanja pegawai dan belanja DPRD dalam tahun anggaran yang bersangkutan; P = angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan B = bunga pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan; BL = biaya lainnya (biaya komitmen, biaya bank, dll) yang jatuh tempo.
7|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
3. Sisi Permintaan: Apa yang Dibutuhkan Investor 3.1. Profil Investor Siapa saja yang dapat menjadi pemodal atau investor bagi pembangunan infrastruktur perkotaan? Investasi atas pembangunan infrastruktur merupakan investasi dalam jumlah yang relatif besar dengan jangka waktu yang panjang. Profil umum investor yang cocok adalah investor yang memiliki dana besar dan bersedia berinvestasi dalam jangka panjang. Setidaknya ada 3 investor institusional yaitu reksa dana, asuransi dan dana pensiun yang dapat dipertimbangkan sebagai investor untuk obligasi daerah. Ketiganya dapat berinvestasi dalam instrumen investasi jangka panjang sesuai dengan kerangka regulasi di mana masing-masing investor ini beroperasi. Data pada tabel menunjukkan jumlah Keterangan investasi dari investor institusi pada akhir tahun 2012. Jika diperkirakan 30% dari total *1 Reksa Dana 111 223 investasi asuransi dialokasikan pada obligasi (di luar reksa dana pendapatan tetap) maka Asuransi*2 267 267 investasi obligasi oleh perusahaan asuransi Dana Pensiun 35 150 dapat berkisar Rp 75 trilyun. Dengan Jumlah 413 640 demikian total investasi obligasi dari ketiga institusi bisa mencapai Rp 220 trilyun. Sumber: Laporan OJK 2012 *1 RD Pendapatan Tetap, Terproteksi dan Penyertaan Terbatas Meskipun tidak semua jumlah tersebut, ini *2 Jumlah investasi total (bukan hanya obligasi) merupakan potensi sumber dana yang bisa diakses untuk Kota memasarkan obligasi daerah. Potensi investor domestik ini sebenarnya masih bisa diharapkan bertumbuh. Prosentase reksa dana terhadap PDB di Indonesia yaitu 2,7% (2012) masih jauh dibanding negara lain seperti India (9,9%) atau Meksiko (8,4%) atau Afrika Selatan (33%).7 Investasi Obligasi (Rp T)
Total Investasi
Namun pelaku pasar keuangan termasuk pasar modal mungkin belum melihat Kota atau daerah sebagai klien yang potensial. Untuk itu, diperlukan informasi yang relevan untuk mengurangi ketidakpastian dalam penilaian risiko kredit serta menilai menarik tidaknya instrumen investasi dari Kota. Ketersediaan data dan informasi yang akurat, tepat waktu dan dapat diandalkan menjadi dasar dari analisis kredit oleh investor. Kerangka aturan hukum yang jelas dan memberikan kepastian juga diperlukan oleh investor swasta termasuk prosedur jika terjadi gagal bayar. Terjaminnya pembayaran kembali pokok dan bunga serta adanya pasar sekunder yang likuid merupakan faktor penting yang menentukan menarik tidaknya suatu instrumen investasi.
3.2. Credit Enhancement untuk Obligasi Daerah Negara-negara di Asia saat ini memang masih banyak yang mengandalkan perbankan untuk pembiayaan infrastruktur [Bhattacharyay, 2010]. Namun pinjaman bank umumnya terbatas karena sumber pendanaan dari bank sendiri adalah deposito jangka pendek padahal investasi infrastruktur umumnya 7
Data IMF tahun 2008 sebagaimana dikutip oleh Daniel Platz (2009). 8|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
berjangka panjang. Ada tenor mismatch atau ketidaksesuaian periode investasi dengan pinjaman. Dengan demikian, pinjaman bank terekspos dengan risiko pembiayaan kembali (refinancing risk). Oleh karena itu, perlu dipikirkan sumber pembiayaan lain selain bank. Obligasi adalah salah satunya. Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan peraturan mengenai Obligasi Daerah (PMK No. 111/PMK.07/2012) sebagai implementasi Peraturan Pemerintah No. 30/2011 mengenai Pinjaman Daerah. Peraturan ini menyatakan bahwa meskipun sumber pembayaran dari obligasi daerah harus berasal dari kegiatan yang dibiayai oleh obligasi (revenue bonds)8, jika ternyata dana dari kegiatan tersebut tidak mencukupi, pembayaran obligasi dibayarkan dari pendapatan Kota lainnya. Namun sampai saat ini belum ada obligasi daerah yang diterbitkan meskipun PEFINDO sendiri sampai dengan Oktober 2013 telah mengeluarkan peringkat kepada 5 daerah: Tabel 2: Peringkat daerah oleh PEFINDO
Daerah Kota Makassar Kota Balikpapan Kota Surabaya Provinsi Jawa Barat Provinsi DKI Jakarta
Peringkat
Outlook
idA-
Stable Stable Not Published Stable Stable
idA
Not published idAAidAA+
Tahun 2011 2011 2013 2012 2013
Sumber: Pefindo
Menurut beberapa kajian9, pengembangan obligasi daerah ditentukan oleh faktor-faktor berikut (yang seringkali saling terkait): 1) meningkatnya kebutuhan pembiayaan daerah; 2) meningkatnya kapasitas Kota untuk mengelola dan membayar hutang; 3) rendahnya bunga pinjaman; 4) kerangka regulasi yang mendukung; dan 5) credit enhancement. Dari kelima faktor ini, setidaknya ada 2 faktor yang telah terpenuhi yaitu besarnya kebutuhan pembiayaan di daerah dan rendahnya bunga pinjaman (tingkat bunga di Indonesia saat ini termasuk cukup rendah meskipun telah meningkat beberapa bulan terakhir). Sementara itu, faktor lain seperti kapasitas Kota untuk mengelola dan membayar hutang, regulasi yang kondusif serta adanya credit enhancement tampaknya memang masih perlu ditingkatkan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kerangka regulasi yang diperlukan antara lain terkait kejelasan prosedur dan perlindungan bagi investor jika terjadi peristiwa gagal bayar dari obligasi daerah. Dalam aturan mengenai obligasi daerah10, tidak disebutkan secara spesifik mekanisme jika terjadi gagal bayar. Aturan ini hanya menyatakan bahwa daerah atau Kota “wajib” membayar hutang dan perlunya penyisihan dana cadangan atau sinking fund. Namun, regulasi yang kondusif juga harus dapat mendorong terciptanya kondisi yang menarik bagi investor untuk membeli obligasi daerah termasuk adanya credit enhancement, terciptanya pasar sekunder yang likuid dan lain sebagainya. Credit enhancement merupakan cara untuk meningkatkan 8
Obligasi daerah dapat berbentuk general bonds di mana pendapatan Kota yang menjadi sumber pembayaran atau revenue bonds di mana pendapatan proyek yang menjadi sumber pembayaran. 9 Leigland, 1997 dan Martell dalam Guess, 2006 seperti dikutip oleh Daniel Platz [2009]. 10 PMK No. 111/PMK.07/2012 9|P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
daya tarik pinjaman atau obligasi daerah kepada investor. Credit enhancement dapat menurunkan risiko (atau persepsi risiko) dari suatu instrumen atau peminjam. Ada beberapa bentuk credit enhancement yang dapat dilakukan oleh Kota (lihat tabel di bawah). Tabel 3: Berbagai Bentuk Credit Enhancement
Bentuk Credit Enhancement
Deskripsi
Keterangan
Jaminan dari Pemerintah atau Pemerintah Provinsi
Pemerintah memberikan jaminan pembayaran obligasi jika Kota gagal bayar melalui mekanisme pemotongan dana transfer (DAU atau DBH).
Disebut juga intersepsi fiskal.
Jaminan dari lembaga penjamin kredit
Lembaga pemberi kredit memberikan jaminan kepada Kota agar bisa membayar kewajibannya jika terjadi gagal bayar.
Misalnya Local Government Unit Guarantee Corporation di Filipina atau Indonesia Guarantee Fund di Indonesia.
Overcollateralized
Hutang/obligasi diberi kolateral melebihi jumlah kewajiban yang dapat digunakan jika penerimaan Kota untuk pembayaran ternyata lebih rendah dari yang diharapkan.
Dilakukan oleh India dan Mexico.
Pembebasan pajak
Pembebasan pajak atas bunga obligasi Dilakukan di Amerika Serikat. dan/atau capital gain.
Pembentukan escrow account atau trust account
Dialihkannya sejumlah penerimaan pajak atau bagi hasil Kota ke dalam suatu rekening escrow atau rekening trust yang dikhususkan untuk membayar hutang.
Kovenan atas jaminan tambahan
Jika terjadi suatu peristiwa negatif seperti penurunan peringkat maka Kota diharuskan melakukan beberapa hal seperti menambah jaminan, percepatan pembayaran obligasi, pelunasan semua hutang dengan segera, dan lain-lain.
Dana Cadangan (Sinking fund)
Penyisihan dana ke dalam suatu rekening escrow atau trustee untuk pembayaran bunga yang dilakukan sebelum jatuh tempo.
Wajib dilakukan di Indonesia (PMK No. 111/PMK.07/2012).
Skema dana kolektif (pooled financing arrangement) melalui lembaga pengantara
Municipal Development Fund (MDF) mengakses pasar obligasi di tingkat nasional dan meminjamkannya untuk Kota atau daerah.
Ditujukan bagi Kota atau daerah yang kesulitan mengakses pasar obligasi.
Bond bank yaitu diterbitkannya obligasi oleh bank atas pinjaman-pinjaman daerah yang dikumpulkan.
Dilakukan di Amerika Serikat sejak tahun 1970an.
Misalnya dilakukan di Mexico dengan Master Trust Contract.
Sumber: Diolah YIPD dari berbagai sumber 10 | P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Berbagai credit enhancement dapat dikombinasikan satu sama lain. Misalnya di Meksiko, ada Master Trust Contract yang memiliki 3 fitur credit enhancement: 1) adanya pembentukan rekening trust untuk pengalihan Dana Bagi Hasil Pajak dari Kota; 2) adanya kolateral yang lebih (overcollateralized); dan 3) kovenan jika terjadi penurunan peringkat atau jumlah pembayar pajak berupa kontribusi yang lebih besar, percepatan pembayaran hutang dan seterusnya. Pendapatan Kota yang disisihkan untuk menjamin pengembalian pinjaman bisa dari berbagai sumber. PIP misalnya mengusulkan sebuah bentuk revenue type basis yang dikaitkan dengan penerimaan asli daerah sebagai sumber pembiayaan cicilan pinjaman. Sebagai contoh, untuk provinsi, cicilan dapat dialokasikan berdasarkan komitmen tertentu dari nilai pemasukan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) [Mahi, 2012]. Pemberian credit enhancements harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Credit enhancement berupa jaminan dari Pemerintah, rekening bersama (escrow account), hibah dari Pemerintah atau Pemerintah Provinsi memang telah membantu Kota di India untuk mengakses pasar modal [Bond, 2012]. Namun lembaga pemeringkat di India sudah menyuarakan kekhawatiran soal jaminan karena dapat mendorong munculnya penyelewengan (moral hazard). Selain pemberian credit enhancement, pengembangan pasar obligasi daerah juga harus memperhatikan likuiditas pasar sekunder. Likuiditas ditentukan oleh banyaknya jumlah investor dan tersedianya market maker. Market maker dapat melakukan transaksi atas obligasi daerah atau transaksi atas repurchase agreement (repo) yaitu perjanjian untuk membeli atau menjual kembali suatu instrumen pada tanggal dan harga yang telah disepakati sebelumnya. Selain untuk likuiditas, repo ini dapat menjadi instrumen untuk mengatasi ketidaksesuaian periode investasi (mismatched tenor) dari obligasi yang jangka panjang dengan investor yang berorientasi jangka pendek. Pemerintah dapat menjalankan peran sebagai market maker ini. Selain itu, alternatif lain untuk pasar obligasi daerah yang masih baru adalah menawarkan obligasi daerah melalui private placement yaitu ditawarkan pada investor tertentu saja. Biasanya private placement dilakukan untuk penawaran obligasi dalam jumlah kecil. Prosedur akan lebih sederhana dan biaya transaksi untuk private placement lebih kecil daripada penawaran umum (public offering).
3.3. Skema Pembiayaan Kolektif Skema pembiayaan kolektif (pooled financing arrangements) juga merupakan bentuk credit enhancement karena memberikan portofolio pinjaman yang terdiversifikasi bagi investor. Selain itu, biaya transaksi11 dari skema ini akan lebih murah karena adanya skala ekonomis. Skema ini tepat untuk Kota berukuran sedang dan kecil yang kesulitan mengakses pasar obligasi atau pinjaman. Termasuk dalam skema pembiayaan kolektif adalah bond banks atau Municipal Development Fund (MDF). Bond banks dilakukan di Amerika Serikat sejak tahun 1970an. Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa perantara yang kredibel seperti Pemerintah dapat membentuk bond banks yang mengumpulkan semua kebutuhan pinjaman dari Kota dan menerbitkan suatu obligasi berdasarkan sejumlah pinjaman dari 11
Biaya transaksi penerbitan obligasi termasuk biaya jasa untuk penjamin emisi, penasehat keuangan, lembaga pemeringkat, biaya legal, dan lain sebagainya. 11 | P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
fasilitas Kota yang terdiversifikasi. Bond banks diciptakan untuk meningkatkan keahlian manajemen, subsidi dan skala ekonomi dari Kota [Platz, 2009]. Sementara itu, konsep MDF adalah mengakses pasar obligasi di tingkat nasional dan meminjamkannya untuk Kota atau daerah. Sampai dengan saat ini lebih dari 60 negara telah membentuk MDF untuk menarik dana untuk dipinjamkan ke Kota. Contoh MDF yang terkenal antara lain FINDETER di Kolombia dan Tamil Nadu Urban Development Project di India. Generasi pertama MDF dibentuk dengan bantuan donor. Generasi awal MDF ini tidak melibatkan pasar keuangan lokal. Keuntungan dari MDF ini adalah terciptanya skala ekonomi dan MDF dapat memberlakukan prasyarat dan kondisi peminjaman yang lebih ketat [Eichler, 2012]. Namun, pasar keuangan lokal untuk pembiayaan Kota menjadi tidak berkembang. Generasi kedua dari MDF dikembangkan dengan pelibatan pasar keuangan lokal. Dana dari donor dan investor lokal digabungkan. Perlu diingat bahwa tidak semua MDF berhasil. Hasil kajian Kehew, Matasuka dan Peterson (2005)12 menunjukkan bahwa MDF yang berhasil umumnya memiliki beberapa karakter yang sama. MDF tersebut mengalihkan risiko kredit kepada sektor swasta, memecah fungsi seperti penagihan dan analisis kredit kepada perusahaan yang memang memiliki keahlian tersebut, serta memisahkan subsidi dari peminjaman dan memberikan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas untuk persiapan proyek. Salah satu alternatif mekanisme dikembangkan oleh Local Finance Initiative13. Mekanisme ini, lihat gambar di bawah, membutuhkan adanya lembaga yang membantu Kota mengidentifikasi proyek, mencari perusahaan swasta untuk menjadi sponsor proyek dan mengembangkan proyek menjadi bankable. Mengingat tingkat keahlian dan besarnya biaya, lembaga yang tepat untuk ini menurut Daniel L. Bond (2012) adalah donor. Gambar 3: Contoh mekanisme skema pembiayaan kolektif
Donor
Bantuan outputbased
Skema Pembiayaan Kolektif
Pembayaran Hutang
Bank/Investor Institusional
Hutang Pembayaran
Dana
Indikator kinerja
Fasilitas Pengembangan Proyek
Proyek
Berbagai peran (konstruksi, operasional, pemegang saham, etc.)
Perusahaan Swasta
Pembayaran biaya jasa
Credit enhancement
Jasa Pelayanan
Pengguna Infrastruktur
Membantu identifikasi proyek & implementasi
Kota
Sumber: Local Finance Initiative [Bond, 2012] 12
Dalam Daniel Platz (2009). LFI merupakan kerjasama UN Capital Development Fund dengan Global Clearinghouse for Development Fund, dalam Bond, L. Daniel, David Platz dan Magnus Magnusson (2012). 13
12 | P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Berdasarkan studi Eichler [Eichler, 2012], berikut adalah beberapa bentuk dari skema pembiayaan kolektif yang umum: Beberapa kota berukuran sedang atau kecil sepakat untuk mengumpulkan investasi mereka dan bertindak sebagai satu peminjam. Dengan cara ini mereka dapat meningkatkan peluang untuk pinjaman, obligasi sekaligus mengurangi biaya transaksi dan mengurangi risiko karena adanya diversifikasi di mana kecil kemungkinan semua Kota tersebut akan gagal bayar pada saat yang bersamaan. Penerimaan kas disatukan untuk memberi jaminan terhadap pembayaran pinjaman. Penerimaan ini bisa termasuk dari donor, subsidi Pemerintah untuk pembayaran bunga atau pokok. Sejumlah instrumen yang berbeda seperti obligasi dan pinjaman dikumpulkan untuk memberi daya ungkit bagi pembiayaan. Investor atau lembaga keuangan dapat mengumpulkan sumber dayanya secara bersama untuk membiayai suatu proyek besar. Mereka dapat melakukan co-financing yang juga menawarkan bantuan keuangan dan teknis. Bank dapat mengkombinasikan sejumlah pinjaman daerah lalu menerbitkan obligasi untuk memperoleh pembiayaan kembali (refinancing). Atau bank tersebut juga bisa mengeluarkan obligasi terlebih dahulu, baru memberi pinjaman kepada Kota. Kelemahan dari pembiayaan kolektif ini adalah bahwa semakin banyaknya peserta konsorsium, semakin banyak waktu yang diperlukan untuk menyepakati kondisi dari pembiayaan. Biaya transaksi juga dapat menjadi semakin besar.
4. Kelayakan Kredit Terlepas dari apakah bentuk pembiayaan alternatif ini adalah pinjaman atau obligasi, Kota harus memiliki kemampuan pembayaran hutang. Kapasitas Kota untuk meminjam atau mengeluarkan obligasi ditentukan oleh kelayakan kredit (credit worthiness) dari Kota tersebut. Kelayakan kredit didasarkan pada risiko kredit, yang menunjukkan kemampuan peminjam untuk membayar hutang. Kemampuan memenuhi semua kewajiban jangka panjang (solvency) dan kinerja keuangan merupakan inti dari kelayakan kredit. Rendahnya kelayakan kredit merupakan hambatan utama bagi pengembangan pasar obligasi [Platz, 2009]. Seperti dikatakan oleh Peterson, “Credit worthiness of municipalities is at the heart of borrowing” [Venkatachalam, 2005]. Kelayakan kredit penting untuk menentukan biaya bunga dari suatu instrumen hutang. Semakin tinggi risiko kredit, semakin tinggi biaya bunga. Investor dapat menggunakan jasa pihak independen seperti lembaga pemeringkat untuk melakukan penilaian atas kelayakan kredit Kota. Lembaga ini mengeluarkan peringkat (rating). Penerbitan atau emisi obligasi harus disertai dengan peringkat dari lembaga pemeringkat resmi yang diakui Pemerintah. Di tingkat dunia, ada Standard & Poors, Moodys atau Fitch Rating. Di Indonesia sudah ada lembaga pemeringkat lokal seperti PT Pemeringkat Efek Indonesia.
13 | P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Masing-masing lembaga pemeringkat mengembangkan metodologi dalam menilai kelayakan kredit suatu emiten termasuk untuk obligasi daerah. Secara umum, kelayakan kredit Kota dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk faktor yang berada di luar kendali Kota seperti situasi ekonomi, perubahan peraturan dan kebijakan fiskal Pemerintah. Namun demikian, kelayakan kredit juga dapat dipengaruhi oleh Kota melalui pengelolaan keuangan yang baik. Kinerja yang baik dari pengelolaan keuangan baik pengeluaran dan pendapatan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan. Dalam kerangka sistem dan regulasi yang ada saat ini, Kota memang memiliki keterbatasan untuk meningkatkan sumber PAD seperti pajak, retribusi atau pungutan. Membuat suatu proyek infrastruktur yang cost recovery menjadi tantangan tersendiri bagi Kota. Selain karena ditentukan oleh kebijakan fiscal Pemerintah, menaikkan retribusi atau pungutan atas suatu fasilitas infrastruktur atau pelayanan seringkali dianggap sebagai tindakan yang tidak popular secara politis. Kuncinya ada pada metode pembebanan biaya jasa atau retribusi dan metode penagihannya. Kota harus belajar untuk secara kreatif mencari cara untuk membebankan dan menagih biaya jasa atau retribusi tersebut. Pada intinya, dengan memahami indikator dan metodologi penilaian kelayakan kredit, Kota sebenarnya dapat meningkatkan kelayakan kredit-nya.
5. Penutup Mengembangkan peluang sumber pembiayaan alternatif seperti pinjaman dan obligasi tidak berarti melupakan sumber pembiayaan lain seperti APBN atau KPS. Masing-masing sumber pembiayaan tetap perlu dipertimbangkan sesuai dengan karakteristik proyek dan investor. Namun pinjaman daerah termasuk obligasi daerah saat ini belum menjadi pilihan utama bagi alternatif sumber pembiayaan infrastruktur perkotaan. Tampaknya sosialisasi pemahaman terhadap manfaat lain dari pinjaman masih perlu dilakukan. Dibandingkan hibah, pinjaman daerah sebenarnya bukan hanya untuk menutup financing gap tetapi dapat menjadi bagian dari usaha membangun instrumen peringkat investasi pada tingkat daerah. Pinjaman mendorong peningkatan kemampuan pengelolaan anggaran, akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan. Namun harus diakui bahwa tidak semua Kota memilliki kapasitas fiskal yang memadai untuk melakukan pinjaman. Di sisi lain, Kota atau daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang memadai pun belum tentu dapat menawarkan investasi yang menarik dilihat dari besaran investasinya. Oleh karena itu perlu dikembangkan skema atau mekanisme pembiayaan kolektif. Di sinilah perspektif investor menjadi penting. Adanya pasar sekunder yang likuid bagi obligasi atau pinjaman dan credit enhancement merupakan beberapa cara untuk menarik minat investor. Perlu terus dilakukan upaya yang inovatif untuk menciptakan proyek yang bankable dan menjadi investasi yang menarik bagi investor swasta namun dengan bunga atau biaya yang ‘affordable’ bagi Kota.
14 | P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Lantas, bagaimana peran Pemerintah dalam hal ini? Peran Pemerintah sangat besar terutama dalam membangun kerangka regulasi yang kondusif, meningkatkan kapasitas Kota sampai pada dukungan untuk mengembangkan instrumen investasi yang menarik. Kerangka regulasi yang relevan di sini antara lain kebijakan perimbangan keuangan yang dapat meningkatkan kapasitas fiskal Kota, penyederhanaan mekanisme pinjaman bagi Kota, serta adanya kepastian prosedur dan hukum bagi investor. Selain itu batasan maksimum defisit mungkin dapat dievaluasi kembali. Dengan metode saat ini, praktis pemda tidak dapat melakukan pinjaman yang signifikan dalam jumlah besar. Untuk peningkatan kapasitas Kota, diperlukan dukungan Pemerintah dalam pengembangan proyek (project development), pengelolaan keuangan dan pinjaman, peningkatan kelayakan kredit. Dukungan Pemerintah juga diperlukan untuk menciptakan instrumen obligasi daerah atau MDF yang menarik dalam hal mengatasi tenor mismatching, meningkatkan likuiditas pasar sekunder obligasi daerah dan fitur-fitur credit enhancement yang menarik. Pada intinya, Pemerintah berperan dalam meningkatkan kelayakan kredit Kota dan meningkatkan keyakinan investor untuk berinvestasi pada pembangunan infrastruktur Kota.
15 | P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n
Daftar Pustaka Bhattacharyay, Biswa Nath (2010), “Financing Asia’s Infrastructure: Modes of Development and Integration of Asian Financial Markets”, ADB Institute Working Paper Series No. 229. Bond, L Daniel, Daniel Platz, Magnus Magnusson (2012), “Financing small-scale infrastructure investments in developing countries”, DESA Working Paper No. 114, UNDESA. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Laporan Akhir Tahun 2012 Eichler, Jörn Philip, Alexander Wegener dan Ute Zimmermann (2012), Financing Local Infrastructure – Linking Local Governments and Financial Markets, GIZ. Mahi, Raksaka, Masrizal, dan Fauziah Zen (2012), “Potensi Pembiayaan Pinjaman Lunak ke Daerah untuk Pembangunan Infrastruktur”, Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF). Otoritas Jasa Keuangan, Laporan Akhir Tahun 2012 Platz, Daniel (2009), “Infrastructure finance in developing countries – the potential of sub-sovereign bonds”, DESA Working Paper No. 76, UNDESA. Roswendi, Endi (2012), “Mencari Solusi dari Berbagai Keterbatasan Penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia”, Pefindo Articles. Venkatachalam, Pritta (2005), “Innovative Approach to Municipal Infrastructure Financing: A Case Study on Tamil Nadu, India”, WP Series No. 05-68, London School of Economics.
16 | P e m b i a y a a n I n f r a s t r u k t u r P e r k o t a a n