Jurnal EKBIS /Vol. XI/
No.2/edisi
Juli 2014
| 553
PELAYANANAN PUBLIK DI DAERAH OTONOM BARU (Studi Pelayanan Bidang Pendidikan dan Kesehatan) *( Muhammad Chusnul Khitam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Menciptakan daerah pemerintah daerah baru tampaknya menjadi bagian tak terpisahkan dalam pelaksanaan pemerintah daerah Indonesia. Senyata, disebutkan harus membawa dampak positif di bidang budaya, pelayanan publik sosial, pengembangan ekonomi, pertahanan, keamanan dan integrasi nasional. Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, tampak bahwa pada prinsipnya, selain dipicu oleh efek dari masalah administrasi, ekonomi daerah dan politik, kelemahan kendur pelayanan publik di daerah pemerintah daerah baru juga sering muncul karena infrastruktur pelayanan, perangkat daerah (sumber daya manusia) dan anggaran layanan. Akibatnya, esensi dari desentralisasi sebagai upaya untuk menutup pemerintah untuk rakyat dan meningkatkan efisiensi dan pelayanan publik efektivitas cenderung diabaikan. Penelitian ini membahas dua masalah utama: 1) Kondisi dari pelayanan kesehatan dan pendidikan di Tana Tidung dan juga pendapat masyarakat tentang layanan yang memiliki ada saat ini. 2) Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan layanan.
A.
Pendahuluan Salah satu poin penting yang sangat terkait dengan pelaksanaan desentralisasi pemerintahan dihampir semua negara adalah kecenderungan terjadinya pembentukan daerah otonom baru (pemekaran daerah). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nordholt dan Klinken (2009 : 25) Pemekaran daerah adalah salah satu aspek yang paling mencolok dalam proses desentralisasi. Mengapa pembentukan daerah otonom baru? Lalu apa kaitannya dengan aspek pelayanan publik? Tana Tidung sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan tentu tidak lepas dari berbagai permasalahan pelayanan publik (khususnya). Apalagi dalam pandangan banyak orang termasuk peneliti, pembentukan daerah ini cenderung kuat muatan politisnya, mulai dari gonjang-ganjing pembentukan Propinsi Kalimantan Utara yang “terancam” pasca batalnya Kabupaten Berau sebagai “peserta”, hingga besarnya potensi sumber daya alam wilayah tersebut (Kabupaten Tana Tidung) terutama sejak masuknya beberapa perusahaan batu bara dibeberapa wilayah. Oleh karena itu, wajar saja banyak yang meragukan eksistensi pemerintah daerah setempat dalam memberikan pelayanan publik bila melihat kondisi obyektif disana khususnya terkait kesiapan daerah baik dari segi sumber daya aparatur, hingga kondisi wilayah. Menurut Fitrani, Hofman dan Kaiser sebagaimana dikutip oleh Ratnawati (2009 : 15), dari hasil survey Bank Dunia menunjukkan setidaknya ada empat (4) faktor utama yang mendorong pemekaran wilayah dimasa reformasi, yaitu : 1. Motif untuk efektivitas/efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah/daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan ketertinggalan pembangunan;
2. Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan dan lain-lain); 3. Adanya kemanjaan fiscal yang dijamin oleh undang-undang (disediakannya Dana Alokasi Umum / DAU, bagi hasil Sumber Daya Alam dan disediakannya sumbersumber Pendapatan Asli Daerah/PAD); 4. Motif pemburu rente (Bureaucratic and Political Rent-seeking) para elit Kebijakan pembentukan daerah otonom baru (pemekaran daerah) yang seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejatinya harus membawa dampak positif dalam bidang sosio kultural, pelayanan publik, pembangunan ekonomi, pertahanan, keamanan, dan integrasi nasional. Namun seiring waktu, perjalanan pelaksanaan otonomi daerah sebagai representasi desentralisasi pemerintahan di Indonesia justru ternyata terbukti secara empiris membawa cukup banyak permasalahan terutama bila kita menelaahnya dalam perspektif pelayanan publik. Hal ini bisa dilihat berdasarkan evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang secara umum bisa disimpulkan bahwa aspek pelayanan publik selalu menjadi bagian yang cenderung terabaikan. Hal ini juga bisa dilihat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanje dalam Retnaningsih et al (2008 : 272 – 275) tentang Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Lemahnya Pelayanan Publik Sektor Pendidikan di Kabupaten Manggarai Barat. Fakta menunjukkan bahwa Pelayanan Publik khususnya sektor pendidikan disana cenderung tidak mengalami perbaikan karena masih tetap lemahnya Sumber Daya Manusia (terutama tenaga pengajar/guru) serta
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
rendahnya alokasi dana yang ada. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (2003 : 21) sebagaimana dikutip oleh Ramdani et al (2003 : 100) menunjukkan bahwa dibeberapa daerah terjadi penurunan kualitas pelayanan publik yang cukup parah, seperti yang terjadi di Lombok Timur terkait fasilitas jalan antar kabupaten yang rusak berat, sementara pihak propinsi mengatakan bahwa tidak cukup dana untuk memperbaikinya. Sementara didaerah lain juga terjadi penurunan kualitas pelayanan kesehatan khususnya terkait ketersediaan vaksin untuk mengatasi wabah penyakit. Beberapa fakta empirik (dari hasil penelitianpenelitian sejenis) seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah terutama terkait tingginya tuntutan pemekaran daerah (pembentukan daerah otonom) baru. Tanpa mengecilkan alasan/dasar tuntutan mereka, harus diakui bahwa kecenderungan tuntutan pemekaran lebih banyak terjadi atas kehendak beberapa aktor saja dengan mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih besar terutama dari aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah dan tentu saja aspek pelayanan publiknya juga. Berdasarkan beberapa fakta empiris diatas juga bisa disimpulkan bahwa pada prinsipnya, selain dipicu oleh akibat lemahnya perangkat daerah (Sumber Daya Manusia), anggaran daerah (APBD red) dan infrastruktur, kegagalan daerah otonom baru juga sering muncul karena masalah administratif, politik dan ekonomi daerah. Akibatnya, esensi desentralisasi sebagai upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada publik/masyarakatnya cenderung terabaikan. padahal sebenarnya faktor pelayanan publik ini secara tidak langsung sebenarnya menjadi salah satu kunci penilaian kelayakan kebijakan pemekaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Wilayah. Ironisnya, meski sudah sangat banyak kajian akademis maupun normatif yang dilakukan didaerah-daerah otonom baru, namun hasilnya sebagian besar tidak memberi nilai tambah yang nyata bagi peningkatan pelayanan publik didaerah, dan kebijakan pembentukan daerah otonom baru nyaris terus saja terjadi. Pemekaran daerah seperti sebuah keniscayaan yang ditutupi oleh topeng kesejahteraan rakyat dan peningkatan kapasitas pemerintahan didaerah. Lalu dimana letak manfaat reformasi pelaksanaan pemerintahan yang semula dipandang sentralis dan dianggap gagal meningkatkan kapasitas daerah jika dibandingkan dengan masa reformasi yang membuka jalan untuk dilaksanakannya pemerintahan yang lebih demokratis jika pada prakteknya kegagalan dalam menjalankan fungsi pembangunan dan pelayanan publik masih terus saja terjadi? Meski dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 aspek pelayanan publik tidak
No.2/edisi
Juli 2014
| 554
disebutkan secara eksplisit, namun dari indikator penilaian kelayakan pembentukan daerah otonom baru sebenarnya perhatian atas aspek pelayanan publik bisa dibaca. Namun terlepas dari itu, dengan atau tanpa aturan yang tertulis secara terperinci, pentingnya pelayanan publik yang baik harus diakui sudah menjadi bagian dari tugas pemerintah disemua level. Hal itu bisa dilihat melalui diterbitkannya undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dan aturanaturan lain yang menjelaskan tentang itu. Sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah daerah (khususnya) untuk mengabaikan hal itu dengan alasan apapun juga. Berbagai penelitian dibanyak daerah yang sudah disebutkan diatas sebenarnya menjadi peringatan bagi semua kalangan bahwa pemekaran daerah tidaklah sepenuhnya mampu menjawab tantangan pelayanan publik yang lebih baik. Meski mungkin masih ada faktor lain yang menjadi dasar dilakukannya pemekaran daerah seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan daerah sendiri serta peningkatan rentang kendali atau bahkan tuntutan masyarakat, namun tidak bisa dipungkiri apalagi dihindari bahwa aspek pelayanan publik adalah bagian dari tugas utama pemerintah bersama dengan swasta dengan berbagai mekanisme yang diamanatkan undang-undang. Sehingga secara lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa aspek pelayanan publik adalah roh pemerintahan yang menyertai hampir seluruh aktivitas pemerintahan dan harus selalu menjadi perhatian dalam mengambil kebijakan yang terkait kepentingan publik. B. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Desentralisasi Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yakni de yang berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Sehingga desentralisasi bisa diartikan melepaskan dari pusat. Desentralisasi dalam prakteknya dinegara-negara berkembang menurut Cheema dan Rondinelli (1983 : 14) dapat menjadi sarana untuk mengatasi keterbatasan perencanaan nasional yang dikontrol oleh pusat dengan mendelegasikan kewenangan yang lebih besar untuk perencanaan pembangunan dan manajemen kepada para pejabat yang bekerja di lapangan, dan lebih dekat dengan permasalahan. Sehingga Desentralisasi dalam konteks regional atau lokal memungkinkan petugas / pegawai untuk membuat sendiri rencana pembangunan secara terpisah dan melaksanakan dan program-program sesuai kebutuhan yang berbeda-beda ditiap kelompok. Sehingga secara umum, Cheema dan Rondinelli (1983 : 18) mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi di tingkat lapangan, pemerintah daerah atau organisasi non-pemerintah. Sedangkan menurut Muttalib dan Ali Khan dalam bukunya “Theory of Local Government”,
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
konsep desentralisasi dalam perspektif pemerintahan lokal adalah bagian dari jenis pendelegasian kewenangan. Yang pada prinsipnya mencakup dimensi politik, legal dan atau administratif (1982:13), yang diwujudkan dalam bentuk delegasi, dekonsentrasi, desentralisasi dan devolusi. Dalam perspektif yang lebih general, Khac Hung dalam Ichimura dan Bahl (2009 : 228 – 229) , ada lima (5) jenis/tipe desentralisasi yang biasa ditemukan dinegara berkembang dan sedang berkembang, yaitu : 1. Desentralisasi, Negara memegang kekuasaan yang tidak terkonsentrasi di pusat, tapi para pejabat bertempat tingkat lokal dalam melaksanakan tugas-tugasnya. 2. Delegasi, Memberi kewenangan unit pejabat atau bawahan untuk menggunakan kekuatan, atas nama pelaksanaan beberapa tugas-tugas spesifik 3. Devolusi Memberikan kekuatan kepada unit otonom untuk melaksanakan fungsi 4. Deregulasi Menurangi aturan praktis dan membuat peraturan baru yang mudah dan berlaku bagi publik untuk diikuti/dilaksanakan 5. Privatisasi Menempatkan aset dan tugas Negara untuk sementara kepada sektor lain (swasta) agar Negara menjadi lebih bebas untuk fokus pada isu-isu tingkat makro. Layaknya organisasi swasta, konsep pemerintahan daerah (lokal) adalah bentuk nyata dari penerapan desentralisasi dalam sektor publik. Sebuah organisasi yang melaksanakan desentralisasi diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler (2005 : 283 – 284) memiliki beberapa keunggulan, yaitu : 1. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi; lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah 2. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi 3. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi 4. Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktivitasnya. 2. Pemerintahan Daerah di Indonesia Menurut Morphet (2008 : 1), pada dasarnya konsep dan pelaksanaan pemerintahan lokal (pemerintahan daerah) mengalami perubahan yang signifikan sejak tahun 1990an. Dalam pandangannya, sebelum tahun 1990an pemerintah lokal dianggap seperti "makhluk" dari undangundang yang tidak mampu untuk melakukan suatu kegiatan khusus (bertindak kreatif) kecuali atas
No.2/edisi
Juli 2014
| 555
dasar perintah atau aturan. Namun sekarang perbedaan spesifiknya adalah walaupun mereka tidak memiliki kompetensi, tugas pemerintah daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan wilayahnya, bersama-sama dengan semua kekuatan/potensi yang ada didaerahnya. Pelaksanaan pemerintahan ditingkat lokal atau daerah di Indonesia pada prinsipnya didasari oleh kebijakan otonomi daerah yang sejak Orde Reformasi menjadi perhatian lebih bagi banyak kalangan, mulai dari birokrat, politisi hingga akademisi. Otonomi daerah pada prinsipnya menurut Wayong (1975 : 74 – 87), Thoha (1985 : 27) dan Fernandez (1992 : 27) sebagaimana dikutip oleh Salam (2007 : 88 – 89) yaitu : 1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri 2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses mensejahterakan rakyat 3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang meneriman sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut 4. Pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan Sedangkan Mas’ud Said (2008 : 6) mendefinisikan otonomi daerah sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintahan propinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain, otonomi menurut beliau bisa diartikan sebagai sebuah proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Sementara itu secara normatif menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pelaksanaan otonomi daerah, dikenal istilah daerah otonom atau daerah yang melaksanakan otonomi daerah. Daerah otonom dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 1 (satu) ayat 6 (enam) dijelaskan selanjutnya yang disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mengkaji tentang otonomi daerah, menurut Mas’ud Said (2008 : 22) setidaknya ada empat (4) perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yakni : 1. Bahwa otonomi daerah adalah saranan untuk demokratisasi 2. Bahwa otonomi daerah membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan 3. Bahwa otonomi daerah dapat mendorong stabilitas dan kesatuan nasional 4. Bahwa otonomi daerah memajukan pembangunan daerah. Secara umum, menurut Mas’ud Said (2008 : 57 – 59) ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan otonomi daerah, yakni pertama, adanya kerangka legal yang memadai, kedua, harus ada dukungan politik, administratif dan keuangan dari level pemerintah pusat, dan ketiga, pemerintah daerah harus memiliki kapasitas dan kesiapan untuk menjalankan kewenangan yang dialihkan kepada mereka. Pentingnya kapasitas pemerintah daerah ini juga diungkapkan oleh Cheema dan Rondinelli (1983 : 299), bahwa pada pokoknya otonomi daerah bisa efektif hanya ketika badan-badan dan pelaku pada level propinsi dan lokal telah mengembangkan kemampuannya untuk melaksanakan secara efektif perencanaan, pengambilan kebijakan dan fungsi-fungsi manajemen yang diserahkan kepada mereka. 3. Hubungan antara Desentralisasi dan Pelayanan Publik Sebagaimana disebutkan oleh Nordholt dan Klinken (2009 : 25), Pembentukan Daerah Otonom Baru adalah salah satu aspek yang paling mencolok dalam pelaksanaan desentralisasi dalam sebuah negara. Akibatnya, ketika kita berbicara tentang desentralisasi hampir menjadi keniscayaan jika kemudian selalu bersinggungan dengan adanya Pembentukan Daerah Otonom Baru (pemekaran daerah). Pentingnya aspek pelayanan publik dalam kerangka implementasi otonomi daerah juga disebutkan oleh Syakrani dan Syahriani (2009:17) sebagai bagian dari isu strategis yang harus diperhatikan selain isu-isu lainnya seperti kesejahteraan penduduk, pemberdayaan, peran serta, daya saing daerah, demokrasi serta pemerataan dan keadilan. Senada dengan itu, Kumorotomo dalam Pramusinto dan Purwanto (2009:290) mengatakan bahwa sebenarnya salah satu tujuan dari pelaksanaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayan publik pada rakyatnya. Keterkaitan itu menjadi penting untuk disampaikan karena pada prinsipnya Good Governance yang selama ini menjadi dasar bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan
No.2/edisi
Juli 2014
| 556
kapasitasnya bukan hanya bicara tentang pemerintah saja. Menurut Grindle (2007 : 3), Konsep Good Governance pada dasarnya bukan hanya fungsi dari struktur hubungan antar pemerintah. Sebaliknya, itu merupakan konsekuensi dari peluang baru dan sumber daya, dampak dari kepemimpinan dan motivasi pilihan, pengaruh sejarah sipil dan pengaruh institusi yang membatasi dan memfasilitasi inovasi. Sehingga bila bicara tentang pelaksanaan Good Governance dalam konteks pemerintahan lokal (daerah) maka sudah tentu kita tidak bisa hanya berbicara tentang hubungan internal antar pemerintah saja, tapi juga sangat terkait erat dengan fungsi pemerintahan dalam masyarakat. Dalam konteks Good Governance ini kedekatan hubungan antara pemerintah dengan pilar lain (Swasta dan termasuk Masyarakat Sipil) berusaha dibangun (terutama dalam konteks ruang publik) dengan berbagai cara seperti salah satunya melalui pelaksanaan desentralisasi (Goran Hyden sebagaimana dikutip oleh Tiihonen, 2004 : 89). Melalui desentralisasi ini diharapkan ada kedekatan yang lebih nyata antara pemerintah dengan masyarakat sehingga diharapkan pemerintah bisa lebih mudah dalam mengetahui, menganalisis dan mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat sehingga bisa terwujud pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Menurut Cheema (2007 : 37 – 38), desentralisasi akan meningkatkan efektivitas administrasi publik dan good governance dengan beberapa cara, yakni : 1. Memberikan peluang bagi jaringan kerangka institusional melalui kelompokkelompok atau individu-individu diberbagai tingkatan sehingga bisa mengelola dirinya sendiri dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan 2. Desentralisasi dianggap lebih efektif, artinya akuntabilitas pemerintah lebih jelas, begitu juga denga konsekuensinya, bisa meningkatkan akses warga negara terhadap pemerintah terkait pelayanan dan fasilitas publik 3. Desentralisasi mengurangi prosedur dari pemerintah pusat yang cenderung tidak seragam dan terlalu rigid. Sehingga mengandalkan pengetahuan, keahlian dan pengalaman masyarakat lokal 4. Desentralisasi meningkatkan mekanisme check and balance antara pemerintah pusat dan daerah 5. Transfer kewenangan dan sumber daya untuk model dan implementasi program pembangunan ke tingkat lokal akan memberi peluang kepada warga negara untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembangunan Pendapat sebada juga diungkapkan oleh Smith (1985:4-5), bahwa desentralisasi secara politik akan membuat pemerintah menjadi lebih
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
dekat pada rakyat sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik (Maas, 1959; D.M.Hill, 1974). Namun penting untuk diketahui bahwa menurut Grindle (2007 : 9), pada dasarnya dalam perspektif manajemen publik, kualitas pelayanan yang didesentralisasikan sangat bervariasi ditiap daerah. Selain itu, pendanaan dalam struktur (organisasi pelayan publik yang didesentralisasikan) tidak selalu selaras dengan tekanan untuk meningkatkan kinerjanya. 4. Konsep Pelayanan Publik Tugas pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik memiliki spektrum yang sangat luas. Menurut Kotler dan Andreasson sebagaimana yang dikutip oleh Dwiyanto (2008 : 179), pada level yang sangat dasar atau pelayanan dasar, sebagian besar pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat lebih mengarah pada pelayanan berupa jasa daripada produk yang terlihat secara fisik berupa benda (barang-barang yang diproduksi oleh pemerintah). Meski pelayanan publik dari beberapa penjelasan diatas cenderung bersifat satu arah (dari pemerintah), namun menurut Denhardt dan Denhardt ada satu penekanan yang berbeda terkait pelayanan publik. Dalam bukunya yang terkenal New Public Service, Denhardt dan Denhardt (2003 : 81) mengatakan bahwa “In the New Public Service, the public administration is not the lone arbiter of the public interest. Rather, the public administrator is seen as a key actor within a larger system of governance including citizens, groups, elected representatives, as well as other institutions”. Dari penjelasan tersebut secara sederhana bisa dilihat bahwa peran pemerintah/administrator publik dalam pelayanan publik adalah sebagai aktor kunci yang dalam sebuah sistem pelayanan publik yang besar, yang didalamnya ada institusi lain, kelompok tertentu, pemimpin terpilih dan tentu saja warga negara. menurut Bovaird (2003) sebagaimana dikutip oleh Tjiptoherijanto dan Manurung (2010 : 60 – 62) dalam upaya memahami pelayanan publik, ada tiga sudut pandang, yakni : 1. Economics (Ilmu ekonomi) Dari sudut pandang ilmu ekonomi, pelayanan publik dipahami sebagai pengelolaan pasokan barang/jasa secara langsung atau tidak langsung oleh pemerintah untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam kondisi optimal 2. Politician (Politisi) Dari sudut pandang ini, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa (partai politik yang berkuasa) agar tetap mendapatkan kepercayaan rakyat, sehingga terus berkuasa. 3. Obligation (Keharusan) Dari sudut pandang kewajiban, pelayanan publik adalah apa yang diamanatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sektor publik
No.2/edisi
Juli 2014
| 557
melakukan pelayanan publik berdasarkan apa yang dirasakan perlu dan diputuskan Menurut Chris Skelcher (1992) sebagaimana dikutip oleh Nurmandi (2010 : 29), Ide awal pelayanan publik sebenarnya berasal dari sektor swasta yang kemudian ditransformasikan kedalam sektor publik. Namun sebelumnya Old Public Administration (OPA) adalah konsep awal yang mendasari hingga kemudian ada upaya transformasi dari pelayanan sektor swasta yang dikenal dengan New Public Management (NPM) yang dikemukakan oleh Osborn dan Gaebler dan dikenal dengan Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi). Lalu dalam perkembangannya pada tahun 2003 muncul gagasan baru tentang pelayanan publik yang sangat menekankan nilai-nilai demokrasi dan keadilan karena sebelumnya (dalam paradigma NPM) hal ini cenderung terabaikan. Paradigma ini dikemukakan oleh Robert dan Janet Denhardt dalam bukunya The New Public Service. Sebagaimana disebutkan diatas, munculnya paradigma baru dalam pelayanan publik yang dikenal dengan New Public Service (NPS) yang dikemukakan oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt pada tahun 2003 adalah upaya untuk memenuhi hak-hak warga negara yang cenderung lemah dan tak terfasilitasi dengan lebih adil dalam paradigma pelayanan publik sebelumnya (New Public Management). Menurut Denhardt dan Denhardt (2003) konsep New Public Service sebenarnya dibangun oleh beberapa prinsip, yakni: 1) Teori-teori Kewarganegaraan Demokratis, 2) Model-model Komunitas dan Masyarakat Sipil, 3) Organisasi yang humanis dan Administrasi Publik Baru, 4) Administrasi Publik Post-modern. Meski dianggap sebagai salah satu hal yang kompleks, pelayanan publik dalam kerangka pemerintahan lokal menurut Carlson dan Schwarz sebagaimana dikutip oleh Denhardt dan Denhardt (2003 : 61) dilihat kualitasnya berdasarkan prinsip-prinsip : a. Convenience, atau kenyamanan, yakni untuk mengukur seberapa mudah pelayanan pemerintah itu bisa diakses dan tersedia bagi warga negara b. Security, atau keamanan, yakni untuk mengukur bagaimana pelayanan itu tersedia dimanapun sehingga warga negara merasa aman dan percaya ketika menggunakannya c. Reliability, atau keandalan, yakni untuk mengukur apakah pelayanan pemerintah tersebut tersedia dengan benar dan tepat waktu d. Personal Attention, atau perhatian pribadi, yakni untuk mengukur sejauh mana pegawai memberikan informasi pada warga negara e. Problem-solving Approach, atau pendekatan pemecahan masalah, yakni untuk mengukur sejauh mana pegawai telah bekerja dengan
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
mereka untuk memenuhi kebutuhannya (masyarakat). f. Fairness, atau keadilan, yakni untuk mengukur apakah warga negara percaya bahwa pelayanan pemerintah tersedia secara adil bagi semua warga. g. Fiscal Responsibility, atau tanggung jawab keuangan, yakni untuk mengukur apakah warga negara percaya bahwa pemerintah lokal menyediakan pelayanan yang bertanggung jawab dari sisi keuangannya h. Citizen Influence, atau pengaruh warga negara, yakni untuk mengukur apakah warga negara merasa bahwa mereka bisa mempengaruhi kualitas pelayanan yang mereka terima dari pemerintah lokal. Dari poin-poin diatas, yang menarik adalah, bahwa secara khusus ini bukanlah sekedar upaya untuk memenuhi harapan warga negara atas pelaksanaan pelayanan publik sesuai standar, seperti ketepatan waktu dan reliabilitas, tetapi pemerintah juga diharapkan bisa memberikan pelayanan secara adil dengan tetap memperhatikan tanggung jawab keuangan yang baik. Warga negara tentunya berharap mereka memiliki peluang/kesempatan untuk bisa mempengaruhi pelayanan yang mereka terima dan kualitas atas pelayanan tersebut. C. Seting Sosial Penelitian 1. Sejarah Singkat Kabupaten Tana Tidung Kabupaten Tana Tidung adalah kabupaten termuda di Kalimantan Timur yang pemekarannya diatur dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2007, tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Kabupaten Tana Tidung terdiri atas tiga kecamatan yakni Kecamatan Sesayap, Kecamatan Sesayap Hilir dan Kecamatan Tanah Merah. Daerah Otonom Baru ini kemudian disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 Juli 2007 dan menjadi Kabupaten ke - 10 atau Daerah Otonom ke -14 di Provinsi Kalimantan Timur dengan dilantiknya Penjabat Bupati Tana Tidung Ir. Zaini Anwar, MM pada tanggal 18 Desember 2007. Setelah dipimpin oleh Pejabat sementara dalam kurun waktu 2 tahun, dilaksanakanlah Pemilihan Kepala Daerah pertama kali yang diikuti oleh delapan pasang calon pada akhir tahun 2009. Bupati terpilih adalah Drs. Undunsyah, M.Si dan Markus Yungking sebagai Wakil Bupati yang dilantik pada tanggal 18 Januari 2010. Penduduk mayoritasnya adalah Suku Tidung yang mata pencaharian andalannya adalah sebagai nelayan, disamping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil hutan. Berdasarkan dokumen dan informasi tertulis maupun lisan yang ada bahwa, tempo dulu dikawasan Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni : Kerajaan dari Suku Tidung dan Kesultanan dari Suku Bulungan. Kerajaan dari Suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di
No.2/edisi
Juli 2014
Salimbatu, Sedangkan Kesultanan berkedudukan di Tanjung Palas.
| 558
Bulungan
2. Gambaran Umum Kabupaten Tana Tidung Secara geografis, Kabupaten Tana Tidung memiliki luas wilayah 4.828,58 km2, atau hanya 35,63% dari wilayah Kabupaten Induknya yaitu Kabupaten Bulungan. Secara geografis, Kabupaten ini terletak pada posisi : 3º12 ´02” -3 º 46´ 41” Lintang Utara dan 116º 42 ´ 50” – 117º 49’ 50″ Bujur Timur dan berbatasan langsung dengan : Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Nunukan. Di sebelah timur berbatasan dengan Laut Sulawesi, Kabupaten Bulungan, dan Kota Tarakan Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bulungan dan Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Malinau Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tana Tidung, jumlah penduduk Kabupaten Tana Tidung pada tahun 2010 adalah 20.756 jiwa atau mengalami kenaikan sekitar 25% dari tahun sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan diatas, Kabupaten Tana Tidung terdiri atas 3 kecamatan dengan pusat pemerintahan berada di Kecamatan Sesayap. Wilayah kecamatan yang terjauh jaraknya dari pusat pemerintahan (kabupaten) adalah Kecamatan Tanah Merah (biasa dikenal juga dengan sebutan dalam Bahasa Indonesia Kecamatan Tanah Merah). 3. Kondisi Masyarakat dan Potensi Wilayah Kawasan Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk aslinya terdiri dari tiga jenis suku bangsa yakni : Tidung, Bulungan dan Dayak yang mewakili tiga kebudayaan yaitu Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan Kesultanan dan Kebudayaan Pedalaman. Warga Suku Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau, ada juga sedikit ditepian sungi-sungai dipedalaman, umumnya dalam radius muaranya. Warga Suku Bulungan kebanyakan berada di kawasan antara pedalaman dan pantai, terutama dikawasan Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Sedangkan suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan pedalaman. Potensi pertambangan batubara dan migas di Kabupaten Tana Tidung sangat besar. Sampai saat ini terdapat 15 perusahaan pertambangan batubara yang telah berinvestasi di Kabupaten Tana Tidung. 8 perusahaan beroperasi di Kecamatan Sesayap Hilir, dan 3 perusahaan beroperasi di Kecamatan Tanah Merah. Dari ke 15 perusahaan tersebut 1 diantaranya sudah melakukan ekspolitasi. Sampai tahun 2009, total luas areal pertambangan batubara yang ada di Kabupaten Tana Tidung saat ini luasnya telah mencapai. 37.708 hektar. Sedangkan hutan di Kabupaten
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
Tana Tidung tahun 2008 mempunyai luas 246.505 hektar yang terbagi kedalam empat kelompok jenis hutan yaitu : hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan lainnya/kawasan budidaya non kehutanan D.
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan lokasi penelitian di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Timur. E.
Pelayanan Publik, Tantangan dan Harapan Bagi Daerah Otonom Baru 1. Pelayanan bidang Pendidikan di Tana Tidung Jumlah penduduk usia sekolah (yakni usia 5 – 19 tahun) di Kabupaten Tana Tidung mencapai 5.682 orang, jumlah ini hampir tersebar merata di 3 kecamatan dan 23 desa yang ada di Tana Tidung. Sementara itu jumlah penduduk usia sekolah yang saat ini sedang mengenyam pendidikan (SD, SMP dan SMA) adalah 4.021 orang atau baru menyentuh angka 70,77% dari keseluruhan data penduduk usia sekolah di sana. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga masyarakat, terlihat bahwa tingkat kepuasan terhadap layanan pendidikan masih bersifat variatif, namun dirasa masih kurang. Beberapa masalah utama yang menyebabkan hal ini adalah masih rendahnya kemampuan penerimaan masyarakat terhadap layanan yang sudah disediakan karena faktor jarak dan transportasi. Sebagaimana diketahui, pelayanan pendidikan adalah urusan wajib pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Maka menjadi sesuatu yang wajar apabila kemudian upaya untuk memaksimalkan peran tersebut dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari ketersediaan fasilitas, sumber daya aparatur hingga anggaran. Namun tidak hanya hal tersebut yang mestinya jadi perhatian kita semua yang peduli pada pendidikan. Bagaimanapun tidak bisa ditentang bahwa pendidikan masyarakat adalah komponen utama yang mendukung aspek-aspek kemajuan sebuah daerah. Oleh karena itu, dalam prakteknya aspek hukum dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan selalu menjadi perhatian terutama sejak lahirnya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang kemudian diikuti oleh beberapa peraturan pelaksana lainnya. a. Infrastruktur Pendidikan Upaya peningkatan pelayanan bidang pendidikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur pendidikan. Bagaimanapun, sekolah butuh tempat yang representatif dengan kebutuhan agar pelaksanaan belajar bisa lebih maksimal. Namun terkait itu, ketersediaan infrastruktur harus
No.2/edisi
Juli 2014
| 559
dikaitkan juga dengan kondisi wilayah dan jumlah penduduk usia sekolah yang ada. Berdasarkan data hasil penelitian, diketahui bahwa ditiap kecamatan hanya ada satu Sekolah Menengah Atas (SMA), sementara itu Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dapat dihitung dengan jari. Hal ini menjadi salah satu alasan bagi pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan gedung sekolah baru, rehab gedung sekolah yang sudah ada dan penyediaan sarana belajar lainnya. Untuk itu, mulai tahun 2010 hingga 2014 ditargetkan akan terbangun 20 (dua puluh) unit gedung SD, 10 (sepuluh) unit gedung SMP dan 5 (lima) unit gedung SMA baru. Berdasarkan data dan hasil pengamatan, bisa dikatakan bahwa sebenarnya infrastruktur pelayanan pendidikan di Tana Tidung adalah salah satu pendukung pelaksanaan pendidikan yang sudah cukup baik saat ini jika dilihat dari rasio jumlah sekolah terhadap jumlah penduduk usia sekolah, termasuk bila dilihat dari kondisi bangunan yang rata-rata sudah baik. Namun bila ditelaah lebih jauh, infrastruktur yang ada pun juga menghambat pelayanan pendidikan yang merata karena masalah akses penduduk terhadap layanan yang masih rendah karena faktor geografis. Maka bila ditinjau dari fokus-fokus yang berkenaan dengan kualitas layanan publik, seperti kehandalan layanan, perhatian pribadi terhadap pengguna layanan dan keadilan layanan, masalah infrastruktur ini menjadi sebuah masalah besar yang sangat tergantung pada ciri khas daerah, termasuk geografis wilayah dan tentunya juga pola hidup masyarakatnya. b. Sumber Daya Aparatur Layanan Tenaga pengajar atau guru adalah komponen utama dalam pelayanan pendidikan ditingkat apapun, baik secara formal, informal maupun non formal. Peran dan fungsi guru bahkan lebih penting daripada fisik bangunan sekolah (meski keduanya saat ini tidak bisa serta merta dipisahkan karena saling melengkapi). Maka tidaklah dapat dipungkiri bila kemudian peran guru menjadi salah satu faktor penentu dan sekaligus tolak ukur keberhasilan pembangunan pendidikan disuatu daerah. Saat ini berdasarkan data dari Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga tahun 2010, diketahui bahwa total jumlah tenaga guru di Kabupaten Tana Tidung adalah 541 (lima ratus empat puluh satu) orang, yang terdiri atas 384 (tiga ratus delapan puluh empat) guru SD, 87 (delapan puluh tujuh) guru SMP dan 70 (tujuh puluh) guru SMA. Oleh karena itu secara sederhana jika guru SD yang berjumlah 384 (tiga ratus delapan puluh empat) dihadapkan pada jumlah murid SD sebanyak 2.624 (dua ribu enam ratus dua puluh empat) orang. Artinya, rasio antara guru dan murid pada tahun 2010/2011 ditingkat SD hingga SMA sudah bisa dikatakan
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
baik, karena rata-rata 1 orang guru mengajar 7 – 10 (tujuh hingga sepuluh) orang siswa. Sehingga, penting untuk diketahui bahwa pada dasarnya sumber daya aparatur dibidang pelayanan pendidikan di Tana Tidung merupakan pendukung yang sangat signifikan bagi pelayanan pendidikan di sana. Apalagi berdasarkan data yang telah disebutkan, rasio jumlah guru dan murid sudah sangat ideal. Namun karena faktor lain, yakni keterbatasan fasilitas bagi para guru tersebut faktor sumber daya aparatur menjadi sesuatu yang lemah dan cenderung bisa masih menjadi penghambat layanan pendidikan di Tana Tidung, meski tidak bersifat langsung. c. Anggaran Pendidikan Beberapa daerah di Propinsi Kalimantan Timur, khususnya Kabupaten Tana Tidung pada dasarnya punya prospek besar untuk jadi daerah yang maju dan kaya. Dengan potensi hutan produksi yang masih cukup terjaga serta pertambangan batu bara yang belum lama beroperasi, Pendapatan Asli Daerahnya tentu cukup besar, apalagi jumlah penduduknya pun tergolong masih sangat sedikit. Hal ini tentu sedikit banyak memudahkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran belanja daerahnya terutama dalam upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas, merata dan berkesinambungan bagi seluruh masyarakat. Namun dalam prakteknya, ada saja hambatan yang ditemui. Beberapa permasalahan tersebut menunjukkan bahwa sisi teknis dilapangan memang selalu sulit diduga bila basis data masih lemah dan pengawasan cenderung jarang dilakukan. Data menunjukkan bahwa anggaran pendidikan, kebudayaan, pemuda dan olah raga pada tahun 2010 berjumlah Rp 95.205.447.306,00,- jumlah alokasi ini kemudian mengalami peningkatan pada tahun berikutnya (2011) menjadi Rp 146.969.693.237,00,-. Kenaikan jumlah anggaran ini tentu tidak serta merta menjadi sesuatu yang positif bila dikaitkan dengan hasil akhir dari kualitas pelayanan publiknya. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila kemudian pembagian persentase anggaran menjadi sangat penting dengan tetap berpedoman pada nilai kebutuhan yang ada. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa alokasi anggaran pendidikan di Tana Tidung pada dasarnya adalah potensi daerah yang sangat signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan di sana. Pemerintah daerah memang dituntut untuk mampu melihat kondisi nyata daerahnya dalam menyusun dan menentukan prioritas anggaran dengan tepat. Dalam perspektif New Public Service, kita tidak lagi hanya berbicara obyektifitas layanan, tapi sudah mengarah pada nilai-nilai keadilan dan demokrasi karena pada prinsipnya pemerintah tidak boleh semata-mata melihat dan menilai peran warga negara sebagai alasan diberlakukannya kebijakan tertentu.
No.2/edisi
Juli 2014
| 560
Sehingga jumlah anggaran yang relatif besar untuk ukuran wilayah dan penduduk yang masih sedikit tersebut bila mampu dialokasikan dengan tepat akan menjadi salah satu alasan dan keniscayaan bagi terciptanya kemajuan pendidikan masyarakat. d. Peran dan Strategi Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga serta Program Pendidikan Fungsi pelayanan publik khususnya dalam bidang pendidikan didaerah pada prinsipnya secara teknis didelegasikan kepada dinas terkait dengan harapan agar fungsi perencanaan, pelayanan, pengawasan dan evaluasi atas program-program pendidikan yang diturunkan dari visi misi kepala daerah bisa berjalan lebih baik. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Sementara itu, untuk memaksimalkan peran SKPD terkait, setiap lembaga teknis daerah memiliki tugas pokok dan fungsinya masingmasing. Pada prinsipnya dalam menjalankan misi peningkatan pendidikan, ada sekitar 20 strategi yang ditetapkan, strategi ini dijabarkan lagi dalam bentuk program-program pendidikan yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga dengan memanfaatkan alokasi anggaran pendidikan yang telah ditetapkan. 2. Pelayanan bidang Kesehatan Secara umum penggambaran kondisi kesehatan masyarakat tentunya juga akan terkait dengan peran pemerintah khususnya Dinas Kesehatan dan lebih spesifik pada lembaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan baik yang bersifat pasif (layanan kesehatan dirumah sakit/puskesmas atau sejenisnya) maupun yang proaktif (berupa kegiatan puskesmas keliling dan sejenisnya). Kedua jenis layanan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kondisi geografis wilayah yang menjadi pemukiman sekelompok masyarakat dalam bentuk desa atau kecamatan. Pentingnya pelayanan kesehatan dan pembangunan dibidang kesehatan lainnya dalam perspektif dunia kesehatan, ditandai dengan apa yang disebut sebagai derajat kesehatan. Derajat kesehatan ini diukur dari jumlah Kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Berdasarkan penelitian, secara teknis terungkap bahwa apa yang sudah dilakukan pemerintah daerah setempat cukup pantas mendapat apresiasi karena perhatian atas layanan kesehatan cukup tinggi. a. Infrastruktur Layanan Kesehatan Sarana kesehatan adalah unsur pokok yang harus terpenuhi dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik. Dengan adanya sarana kesehatan, diharapkan ada tempat dan alat yang tepat untuk mengatasi setiap keluhan masyarakat tentang kesehatan.
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
Keberadaam Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Pos Kesehatan Desa sebagai representasi layanan kesehatan dari pemerintah telah cukup mampu mengatasi kebutuhan akan layanan kesehatan masyarakat terutama terhadap penyakit-penyakit ringan. Apalagi dalam prosesnya ada juga program swadaya yang berbentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat, seperti Posyandu dan Desa Siaga. Pembangunan Rumah Sakit diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan yang akan diberikan, namun satu catatan penting yang harus diperhatikan adalah kemampuan akses masyarakat terhadap layanan tersebut kelak, baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. b. Sumber Daya Aparatur Layanan Kesehatan Seperti halnya pelayanan bidang pendidikan, pelayanan bidang kesehatan pun sangat tergantung pada peran Street Level Bureaucracy. Apalagi dalam bidang kesehatan dibutuhkan kemampuan khusus dalam menangani setiap permasalahan yang timbul di masyarakat. Akibatnya, aspek pelayan dalam konteks pelayanan kesehatan tampak lebih “eksklusif” dibandingkan jenis pelayanan publik yang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan tenaga kesehatan dasar sudah cukup besar bila melihat rasio kebutuhan masyarakat, namun keberadaan tenaga ahli yang dirasa masih kurang. Hal ini didukung oleh sarana kesehatan yang memang masih berada pada tataran layanan dasar saja. Akibatnya, pada level tertentu layanan kesehatan menjadi tidak dapat diandalkan. Kepuasan atas layanan pada dasarnya memang tidak bisa dilepaskan dari sisi sumber daya aparatur, yang otomatis juga bisa dianalisis dengan fokus kehandalan pelayanan atau Reliability. Indikator ini menjadi sesuatu yang paling berat karena dikaitkan dengan ketepatan layanan baik secara mekanisme maupun waktu pemberian layanan. Indikator ini dalam konteks pelayanan kesehatan merupakan sebuah keharusan. c. Anggaran Kesehatan Jumlah anggaran bidang kesehatan pada tahun 2010 berjumlah Rp 26.111.053.765,00, jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun berikutnya menjadi sebesar Rp 51.078.439.405,00. Berdasarkan alokasi anggaran untuk tiap program, terlihat bahwa prioritas pembangunan dalam bidang kesehatan adalah pada sisi sarana dan prasarana yang kemudian diikuti dengan pembinaan aparatur (tenaga perawat dan bidan). d. Peran dan Strategi Dinas Kesehatan serta Program Kesehatan Pada dasarnya peran pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan sebagai koordinator pelaksananan dilapangan. Peran ini menjadi sangat vital karena
No.2/edisi
Juli 2014
| 561
perencanaan program dan pengawasan pelaksanaannya dilapangan oleh bidang fungsional juga menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan misi pembangunan kesehatan di Tana Tidung, yakni : 1. Meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat 2. Mendorong kemandirian masyarakat melalui peningkatan pemberdayaan kesehatan individu, keluarga, masyarakat beserta lingkungannya 3. Meningkatkan kemitraan dengan seluruh pelaku dibidang kesehatan 4. Mengelola sumber daya kesehatan secara terpadu dan profesional 5. Mendukung terciptanya lingkungan yang sehat. F. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pelayanan publik di Daerah otonom baru (DOB) khususnya terkait pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Tujuan pembentukan daerah otonom baru salah satunya adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik didaerah, termasuk dalam hal ini pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa ada kecenderungan yang sama terhadap kualitas pelayanan publik di daerah otonom baru di Indonesia, yakni belum menunjukkan adanya perbaikan kualitas layanan. Salah satunya terlihat dari peran pemerintah daerah dalam bidang pendidikan yang justru lahir dan berkembang atas peran pihak lain (non pemerintah). Meski dalam perspektif Teori Governance keberadaan dan peran pihak non-pemerintah dalam mendukung peningkatan layanan publik adalah gelagat baik bagi kesuksesan daerah khususnya daerah otonom baru, namun pada perkembangannya, perhatian dan dukungan pemerintah daerah atas hal ini harusnya dilakukan dalam tindakan nyata, berupa program kemitraan, legalitas hukum, diskusi panel dan sejenisnya yang dilakukan untuk mencari pemecahan masalah sesuai dengan kebutuhan daerah. Lemahnya pelayanan publik di daerah otonom baru ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah cenderung tidak mampu mewujudkan esensi politik desentralisasi pemerintahan. Sementara itu, dari sisi pelayanan publik, terlihat secara jelas bahwa fungsi pelayanan publik di daerah otonom baru cenderung terabaikan. Hal ini antara lain disebabkan oleh rendahnya kesadaran, dan political will penguasa dan para wakil rakyat serta kelompok-kelompok kepentingan terhadap tugas dan fungsi mereka untuk terus
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
b.
c.
memfasilitasi dan mengevaluasi kebutuhan dan kepentingan riil masyarakat. Secara umum, infrastruktur layanan pendidikan dan sumber daya aparatur dalam bidang pelayanan pendidikan yang sudah cukup bila dibandingkan dengan kebutuhan riil masyarakat, tidak serta merta menjamin peningkatan kualitas layanan pendidikan. Perhatian yang terlalu besar pada pembangunan infrastruktur seolah-olah menjadi trademark penting disebuah daerah otonom baru, meski hal tersebut bukanlah kebutuhan yang paling utama bagi daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan layanan publik khususnya dibidang pendidikan di daerah otonom baru juga diakibatkan oleh ketidakmampuan pemerintah daerah dalam memenuhi prinsipprinsip pelayanan publik yang dalam konteks New Public Service diantaranya menekankan pentingnya kenyamanan, kehandalan dan keadilan dalam layanan sehingga diharapkan mampu memecahkan permasalahanpermasalahan yang dihadapi daerah untuk kepentingan masyarakat. Pelayanan kesehatan di daerah otonom baru selalu identik dengan pemerataan kemampuan akses masyarakat terhadap layanan itu. Bagi warga yang tidak mampu, program yang cukup populis dibanyak daerah adalah Jaminan Kesehatan Daerah atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesda/Jamkesmas) yang diwujudkan dalam bentuk asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin. Selain itu, upaya untuk mempermudah pemberian layanan biasa dilakukan pemerintah daerah melalui pembangunan berbagai pusat pelayanan kesehatan dasar diberbagai wilayah yang jauh dari pusat layanan utama berupa puskesmas dan sejenisnya. Hal ini tentu sebuah langkah konkrit yang patut mendapat apresiasi karena masalah utama pelayanan publik di daerah, khususnya luar jawa selalu terkait dengan kondisi geografis dan kemampuan akses terhadap layanan yang cenderung membutuhkan biaya lebih besar. Dalam prakteknya, upaya ini dinilai cukup berhasil baik secara teknis maupun prosedural. Namun fakta menunjukkan bahwa pemerintah daerah dinilai masih belum cukup kreatif dalam memilih dan merancang program-program layanan kesehatan pendukung yang sesuai dengan kondisi daerah dan berbasis masyarakat. New Public Service memandang ini sebagai sebuah kebutuhan untuk berpikir strategis, yakni hendaknya pemerintah daerah tidak hanya semata-mata membuat aturan atau program pelayanan secara independen, tapi harus lebih terbuka dan bisa diakses/melibatkan masyarakat. Hal ini
d.
No.2/edisi
Juli 2014
| 562
secara otomatis tentu dapat mendorong terciptanya pelayanan kesehatan yang lebih tepat sasaran dan diharapkan dapat berkesinambungan. Pelayanan kesehatan selalu dikaitkan dengan dua hal pokok, yakni Infrastruktur (termasuk sarana dan prasarana) serta sumber daya aparatur, yaitu tenaga kesehatan. Daerah otonom baru diluar jawa khususnya selalu identik menjadi masalah ini. Sehingga pasien yang membutuhkan layanan kesehatan khusus tidak harus keluar daerah dan mengeluarkan biaya ekstra karena dihadapkan pada masalah transportasi. Ketiadaan rumah sakit dan sarana kesehatan yang memadai otomatis menyebabkan keberadaan tenaga ahli khusus (dokter spesialis dan yang berkeahlian khusus sejenis) yang sudah ada pun tidak dapat menjalankan tugas atau pekerjaannya dengan baik. Dalam jangka pendek, upaya nyata yang telah dilakukan oleh pemerintah terkait kebutuhan layanan kesehatan terbaik salah satunya dilakukan dengan meningkatkan frekuensi dan daya akses masyarakat terhadap layanan yang sudah ada. Sementara itu dari sisi tenaga kesehatan, upaya rekruitmen tenaga kesehatan banyak melalui prosedur Tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dalam jumlah yang cukup besar. Sedangkan dalam jangka panjang, salah satu upaya nyata yang diwujudkan dalam program prioritas yang biasa dilakukan oleh pemerintah daerah adalah pembangunan pusat layanan kesehatan, termasuk sarana penunjang layanan. Secara umum dalam konteks layanan publik, apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang setidaknya sudah dilakukan sesuai kebutuhan daerah, namun untuk mendukung itu, perlu terus dilakukan analisis nyata dilapangan sehingga pilihan program layanan kesehatan yang lain bisa menjadi pendukung yang maksimal bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Sementara dari sisi politik, upaya nyata yang telah ada sekarang setidaknya menunjukkan bahwa layanan kesehatan (baik secara infrastruktur, termasuk layanan maupun aparatur pelayan kesehatan) sudah cukup memperhatikan pentingnya kedekatan pemberi layanan dengan pengguna layanan sehingga kaidahkaidah layanan publiknya seperti kehandalan, keamanan dan perhatian pribadi tidak hanya mampu memberikan kepuasan terhadap masyarakat, namun yang juga sangat penting adalah terus meningkatnya derajat kesehatan masyarakat sehingga bisa menunjang kemajuan sektor pembangunan lain
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
2. Saran Melihat kondisi pelayanan publik dibidang pendidikan dan kesehatan dan pandangan masyarakat terhadap layanan tersebut, serta program-program yang telah ditetapkan dan mulai dilaksanakan pemerintah daerah, maka ada beberapa hal yang disarankan oleh peneliti, dengan harapan agar setidaknya bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah terutama di Daerah otonom baru. Beberapa saran yang disampaikan penulis terkait hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Besarnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan harus diakui tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah terutama dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Meski secara kasat mata upaya ini sebenarnya sudah dilakukan melalui penyediaan infrastruktur, tenaga pengajar dan peningkatan anggaran pendidikan. Namun faktanya, kondisi ini tidak serta merta mampu memenuhi kebutuhan dan kualitas pendidikan dilingkungan masyarakat pedalaman khususnya. Kesadaran yang telah terbentuk dalam masyarakat (berkat jasa para misionaris) mestinya didukung oleh pemerintah daerah setempat dengan programprogram yang setidaknya mampu mendukung dan memberikan nilai tambah yang positif melalui kerja sama (misalnya dalam bentuk penyediaan sekolah in-formal dan nonformal) dan pemberian bantuan berupa beasiswa sekolah formal yang lebih merata dan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Secara normatif hal ini sebenarnya sudah termaktub dalam rencana strategis dan program dinas pendidikan setempat, namun dalam prakteknya penting dipertimbangkan adanya payung hukum lokal sehingga secara legal diharapkan ini bisa menjadi salah satu upaya peningkatan layanan pendidikan yang tidak hanya mampu memfasilitasi uniknya kondisi daerah, namun juga inovatif dan tidak lepas dari fungsi dasar pendidikan. b. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat jelas bahwa telah terjadi kekeliruan dalam menentukan prioritas program pendidikan khususnya. Hal ini terlihat dari pilihan pemerintah untuk lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur pendidikan berupa gedung sekolah baru dalam jumlah yang cukup besar, meski berdasarkan data jumlah gedung yang sudah ada dianggap sudah cukup. Pilihan ini tentu berdampak pada pemborosan anggaran mulai dari pada masa pembangunan hingga pengelolaannya kelak, termasuk nilai fungsi bangunan yang rendah karena jumlah penduduk usia sekolah yang cenderung sedikit. Melihat fakta
c.
No.2/edisi
Juli 2014
| 563
tersebut, pemerintah daerah mestinya berani untuk melakukan inovasi dengan melihat kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Pilihan untuk membangun rumah dinas dan asrama siswa, termasuk perpustakaan (rumah baca) dianggap lebih tepat karena selain akan meningkatkan minat belajar, pun konsistensi mengajar para guru yang kebanyakan berasal dari luar daerah dan tidak punya rumah ditempatnya bekerja. Selanjutnya, penyediaan kendaraan dinas diharapkan akan mempermudah akses para insan pendidikan terhadap pusat pendidikan yang ada. Selain itu juga, pembangunan perpustakaan (rumah baca) dianggap lebih tepat karena hal ini diharapkan tidak hanya mengcover kebutuhan siswa terhadap buku-buku pelajaran yang sangat besar, namun juga mampu memberi ruang/kesempatan kepada pihak luar yang punya keinginan untuk menambah pengetahuan mereka yang terkait dengan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Sarana kesehatan dasar di Tana Tidung pada prinsipnya sudah mendapat perhatian besar dari pemerintah daerah setempat. Hal ini dilakukan melalui berbagai upaya nyata dilapangan, seperti peningkatan status puskesmas di kecamatan sesayap serta penyediaan pos-pos kesehatan dasar diberbagai wilayah yang jauh dari pusat kesehatan, termasuk pemberian jaminan kesehatan yang hampir merata diberbagai daerah. Bahkan sejak tahun lalu (2010) telah dianggarkan pembangunan rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya diberbagai tempat, termasuk penyediaan sarana kesehatan pendukungnya. Upaya ini dinilai sudah cukup baik karena kebutuhan akan pusat layanan kesehatan dan sarana-nya memang perlu mendapat perhatian. Secara umum, masalah layanan kesehatan bagi masyarakat Tana Tidung yang masih banyak berada dibawah garis kemiskinan memang sudah tercover cukup baik oleh adanya program Jaminan Kesehatan Masyarakat, namun dalam prakteknya jaminan kesehatan ini menjadi sia-sia bila pusat layanan kesehatan yang ada tersedia dengan baik, jika kemampuan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan tetap lemah. Maka untuk memecahkan permasalahan tersebut, pembangunan rumah sakit dan infrastruktur kesehatan lainnya (temasuk sarana kesehatan) serta ketersediaan tenaga kesehatan menjadi sesuatu yang penting artinya. Secara jujur harus diakui, terlepas dari apa yang sudah dipilih dan mulai dilakukan saat ini, tata letak pembangunan rumah sakit yang ada sekarang tidak mempertimbangkan hal itu. Padahal seharusnya, penyediaan pusat layanan
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
d.
kesehatan dilakukan dengan mempertimbangkan jarak akses warga, bukan sekedar ada atau hanya sebagai simbol kemajuan daerah semata. Sehingga dalam kasus ini, pembangunan yang baru saja dimulai (termasuk yang baru dalam tahap perencanaan dinilai masih belum tepat) seharusnya bisa dipertimbangkan kembali letaknya melalui mekanisme yang tepat agar tidak menjadi masalah baru dikemudian hari. Berdasarkan rencana strategis Dinas Kesehatan tahun 2010 – 2014 terlihat bahwa pilihan program pembangunan bidang kesehatan yang lainnya cenderung kurang mengena pada permasalahan utama daerah termasuk kondisi riil masyarakat Tana Tidung, sehingga peneliti menganggap hal ini tentu menjadi salah satu permasalahan yang harus mendapat perhatian juga karena pada prinsipnya dalam upaya peningkatan layanan kesehatan, pemerintah daerah tidak bisa hanya menggantungkan diri pada satu atau dua program prioritas. Perlu ada dukungan dari sektor-sektor lain yang terkait yang bisa diwujudkan melalui pola-pola kemitraan internal yang dijalin antar instansi dalam pemerintah maupun eksternal, yaitu dengan pihak swasta dan masyarakat yang punya kepentingan dan kebutuhan sama. Kemitraan internal semestinya diprioritaskan dalam bidang penyediaan air bersih, yang bila pemerintah daerah serius, bisa memanfaatkan sumber air bersih dari gunung rian atau sumber mata air tanah, rumah sehat, termasuk penyediaan fasilitas Mandi Cuci, Kakus dan sanitasi, serta bidang keluarga berencana. Sementara itu, bentuk kemitraan dengan pihak swasta dan masyarakat dalam bidang kesehatan tidak hanya terbatas pada usaha kesehatan bersumber daya masyarakat yang telah cukup sukses dilaksanakan selama ini. Secara riil, kemitraan dengan pihak swasta dan masyarakat bisa juga dilakukan dalam bidang penyediaan obat publik dan pemberian informasi/sosialisasi masalah kesehatan dasar khususnya, termasuk masalah air bersih bila dalam prakteknya kemitraan internal dirasa kurang mampu baik secara anggaran maupun sumber daya aparaturnya sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan.
Daftar Pustaka Agustino, Leo, 2011, Sisi Gelap Otonomi Daerah, Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi, Bandung, Widya Padjadjaran Ahmad, Ehtisham et al. 2008. Local Service Provision in Selected OECD Countries; Do Decentralized Operation Works
Badan
No.2/edisi
Juli 2014
| 564
Better?. IMF Working Paper WP/08/67. Fiscal Affair Departement IMF Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tana Tidung dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulungan. 2010, Profil Daerah Kabupaten Tana Tidung, Tanjung Selor
Bashaasha, Bernard et al. 2011. Decentralization and Rural Service Delivery in Uganda. IFPRI (The International Food Policy Research Institute) Discussion Paper 01063 Februari 2011 Cheema, G Shabir. Linking Governments and Citizens Through Democratic Governance. Public Administration and Democratic Governance; Governments Serving Citizens. 7th Global Forum on Reinventing Government; Building Trust in Governance 26 – 29 June 2007 Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli, 1983, Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries, London, SAGE Publications Inc. In Cooperation with the United Nation Centre for Regional Development. Denhardt, Janet V and Robert B Denhardt. 2003 The New Public Service; Serving Not Steering, New York : M.E Sharpe Inc. Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln. 2000, Handbook of Qualitative Research, California, SAGE Publication Inc, Penerjemah : Dariyatno, et al, 2009. Handbook of Qualitative Research, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Direktorat Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, 2011, Daftar Daerah Otonom Baru per Juni 2009 Dwiyanto, Agus et al, 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press Erik Lane, Jan. 2000. New Public Management. London. Routledge Frederickson, H. George and Kevin B. Smith. 2003. The Public Administration Theory Primer; Essentials of Public Policy and Administration, United States. Westview Press. Grindle,
Merilee S, 2007, Going Local, Decentralization, Democratization and
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
No.2/edisi
Juli 2014
The Promise of Good Governance, New Jersey United Kingdom, Princeton University Press
Morphet,
Shinichi and Roy Bahl. 2009, Decentralization Policies in Asian Development, Singapore, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd
Muttalib, M.A and Mohd, Akbar Ali Khan. 1982, Theory of Local Government, New Delhi, Sterling Publishers Private Limuted
Ismail, 2010. Konsep dan Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, dalam Buku Seri Demokrasi ke 16, Menuju Pelayanan Prima, Malang, Averroes Press
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry Van Klinken. 2007, Renegotiating Boundaries; Local Politics in Post-Soeharto Indonesia. Leiden, KITLV Press. Penerjemah : Bernard Hidayat. 2009. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Ichimura,
Kampoeng Percik bekerjasama dengan USAID Democratic Reform Support Program (DRSP) dan Decentralization Support Facility. 2007, Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran, Studi Kasus Di Sambas dan Buton, Koran Kaltim, Senin 4 Juli 2011 ----------------, Senin 3 Oktober 2011 Lebacqz, Karen. 1986, Six Theories of Justice, Indianapolis, Augsbung Publishing House. Diterjemahkan oleh Yudi Santosa, 2011, Teori-teori Keadilan : Analisis Kritis terhadap Pemikiran J.S Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda, Bandung, Penerbit Nusa Media Mahmudi, 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta, Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Perusahaan YKPN Mas’ud Said, M. 2008. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang, UMM Press ----------------------. 2010. Birokrasi di Negara Birokratis, Malang, UMM Press Mawhood, Phillip, 1983. Local Government in Third World, The Experience of Tropical Africa, Birmingham. University of Birmingham, John Wiley and Sons Ltd. Miles, B. Mathew dan A. Michael, Hubberman. 1992. Qualitative Data Analysis, Penerjemah : Tjetjep Rohendi Rohidi, 2009. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, Jakarta, Universitas Indonesia Press.
Janice. 2008. Modern Government. London, Publication Ltd.
| 565 Local SAGE
Nurmandi, Achmad. 2010, Manajemen Pelayanan Publik, Yogyakarta, PT Sinergi Visi Utama Okojie, Cristiana. 2009. Decentralization and Public Service Delivery in Nigeria. Nigeria Strategy Support Program (NSSP) Background Paper No 004. Departement of Economics and Statistics University of Benin, Nigeria Oliver, Dawn and Gavin Drewry. 1996, Public Service Reform, Issues of Accountability and Public Law, England : A Cassell Imprint Osborne,
David and Ted Gaebler. 1992, Reinventing Government : How The Enterpreuneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Penerjemah : Abdul Rosyid, 2005, Mewirausahakan Birokrasi : Mentransformasi Semangat Wirausaha ke Sektor Publik, Jakarta, Victory Jaya Abadi
Peraturan Bupati Tana Tidung Nomor 1 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Tana Tidung tahun 2010 - 2014 Peraturan Bupati Tana Tidung Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Jabatan Struktural pada Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Tana Tidung Peraturan Bupati Tana Tidung Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Jabatan Struktural pada Dinas Kesehatan Kabupaten Tana Tidung Peraturan Daerah Kabupaten Tana Tidung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Tana Tidung Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Wilayah Peta Administrasi Wilayah Kalimantan Timur, 2002. Bappeda Propinsi Kalimantan Timur Piliang, Indra J et al. 2003. Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi. Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Jakarta. CV Trio Rimba Persada. Pollit, Christopher. Decentralization, A Central Concept in Contemporary Public Management. Editor : Ferlie, Ewan, Laurence E. Lynn and Christopher Pollit. 2005, The Oxford Handbook of Public Management, United States, Oxford University Press Inc Profil Daerah Kabupaten Tana Tidung Tahun 2010, Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Tana Tidung dan BPS Kabupaten Bulungan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tana Tidung Tahun 2010 Quoc Viet, Nguyen. 2009. Decentralization and Local Governance on Public Service Delivery; The Cases of Daknong and Hau-giang Province in Vietnam. Paper Presented on TRF International Conference on Collaborative Research Project at Bangkok 28 – 30 May 2009. College of Economics, Vietnam National University Ratnawati,
Tri. 2009, Pemekaran Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Daerah,
Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kabupaten Tana Tidung 2010 – 2014
No.2/edisi
Juli 2014
| 566
Rencana Strategis Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Tana Tidung 2010 – 2014 Retnaningsih, Ning et al. 2008. Dinamika Politik Lokal di Indonesia; Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya. Salatiga, Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik) didukung oleh Ford Foundation (FF) dan Democratic Reform Support Program (DRSP) Salam, Dharma Setyawan. 2007, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan Scot,
Zoe. 2009. Decentralisation, Local Development and Social Cohesion; An Analytical Framework. GSDRC Research Paper. International Development Departement, University of Birmingham
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011, Otonomi daerah, Etnonasionalisme dan Masa Depan Indonesia, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia Sjamsuddin Indradi, Sjamsiar. 2007, Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor Publik, Malang, Yayasan Pembangunan Nasional bekerjasama dengan CV SOFA Mandiri dan Indonesia Print Smith, B.C. 1985, Decentralization, The Territorial Dimension of The State, London, George Allen and Unwin Soeprapto, Riyadi, 2005. Hand Out PAT. Pengantar Ilmu Administrasi Negara Program Pasca Sarjana, Malang, Riyadi Press Subarsono, AG. Pelayanan Publik yang Efisien, Responsif dan Non-partisan, dalam Agus Dwiyanto. 2008, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Suryokusumo, R. Ferry Anggoro. 2008, Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan, Yogyakarta : Sinergi Publishing Syakrani dan Syahriani, 2009. Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif Good Governance, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Jurnal EKBIS /Vol. XI/
Tanje,
Sixtus. Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Lemahnya Pelayanan Publik Sektor Pendidikan di Kabupaten Manggarai Barat. Editor Ning Retnaningsih et al. 2007. Dinamika Politik Lokal di Indonesia; Penataan Daerah dan Dinamikanya. Seminar Internasional ke-delapan Kampoeng Percik bekerjasama dengan DRSP dan Ford Foundation hal 272 – 275.
Tarschus, Daniel. Wealth, Values, Institutions : Trends in Government and Governance dalam Organisation For Economic Cooperation and Development (OECD). 2001, Governance In The 21st Century, France, OECD Publication, Tiihonen, Seppo. 2004, From Governing to Governance, Tampere, Tampere University Press Tjiptoherijanto, Prijono dan Mandala Manurung. 2010, Paradigma Administrasi Publik dan Perkembangannya, Jakarta, Universitas Indonesia Press Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
Internet http://www.depdagri.go.id/basisdata/2010/01/28/daftar, minggu 15 April 2011,
diakses
http://www.tanatidung.com/?page_id=2 hari sabtu, 14 April 2011)
hari
(diakses
http://www.transparansi.or.id/about/otonomidaerah/definisi-otonomi-daerah.html (senin 25 Mei 2009). Diunduh hari Sabtu, 29 Januari 2011 http://www.wisatakaltim.com/kabkota/sejarahtana-tidung/ (diakses hari Minggu, 18 Desember 2011)
No.2/edisi
Juli 2014
| 567