MODEL PELAYANAN DAN PEMBIAYAAN KESEHATAN DI DAERAH
Laporan Studi
Puskesmas Gratis dan Jaminan Kesehatan Di Kota Banjar, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Sumedang
Oleh: 1. Ana Westy 2. Saeful Muluk 3. Setyorini Pradiyati 4. Kamal Nurdin
ATAS KERJASAMA
i
KATA PENGANTAR
Salam Perubahan Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayahNya perjalanan studi kami ke 7 kabupaten/kota di 4 propinsi ini bisa terlaksana dengan baik dan dapat kami tuliskan dalam sebuah laporan lengkap. Studi ini dilatarbelakangi oleh konteks Kabupaten Bandung khususnya yang merupakan wilayah kerja Perkumpulan Inisiatif dan kondisi pembiayaan kesehatan di Indonesia pada umumnya yang selama ini sebagian besar cenderung bersifat out of pocket, yaitu biaya kesehatan dikeluarkan langsung oleh masyarakat ketika sakit. Hal ini diperparah dengan data bahwa hanya 12% penduduk Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan (Askes PNS, Jamsostek, Asuransi Komersial). Sisanya tidak memiliki jaminan kesehatan apapun dan rentan menjadi miskin bila menderita sakit berat. Dengan kondisi bahwa kesehatan adalah hal yang tidak bisa ditunda atau ditawar “pembeliannya” maka selayaknya dikembangkan pembiayaan kesehatan melalui sistem prabayar. Pengembangan pembiayaan kesehatan sesungguhnya sudah cukup lama diupayakan di Indonesia. Bahkan kini telah diakomodir dalam UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dan selama era reformasi ini ada lebih dari 25 kabupaten/kota yang telah mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan di daerahnya masing-masing. Maka studi ini adalah sebuah upaya untuk melihat langsung gambaran model penyelenggaraan pembiayaan kesehatan di sejumlah daerah yang merupakan salah satu inovasi pelayanan publik dalam era desentralisasi. Ketujuh daerah ini dipilih karena masih terletak dalam satu regional dan mewakili karakteristik yang berbeda dalam model penyelenggaraannya. Besar harapan kami laporan studi ini dapat menjadi acuan mudah dan sederhana bagi pemerintah dan masyarakat sipil di kabupaten/kota lainnya yang hendak berupaya menyelenggarakan pembiayaan kesehatan di daerahnya. Kritik dan saran kami nantikan untuk perbaikan. Bandung, Juli 2008
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB II KOTA BANJAR
8
BAB III KABUPATEN PURBALINGGA
21
BAB IV KOTA YOGYAKARTA
46
BAB V KABUPATEN SLEMAN
94
BAB VI KABUPATEN SUKOHARJO
124
BAB VII KABUPATEN JEMBRANA
137
BAB VIII KABUPATEN SUMEDANG
147
BAB IX PENUTUP
153
Lampiran
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Mimpi tentang negara yang memenuhi hak warga ternyata sudah mendekati realitas. Hakikat desentralisasi yang berupaya mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat benar adanya. Ibarat kata, tak lagi jauh panggang dari api. Kini kita akan dengan mudah menjumpai pemerintah yang menjalankan amanah kepada rakyatnya. Bukti otentik pemerintah kabupaten/kota yang telah mewujudkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat terlihat dalam bentuk jaminan kesehatan atau pelayanan kesehatan gratis. Daerah yang amanah tersebut diantaranya Kota Banjar, Kabupaten Purbalingga, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Sukoharjo, dan lainnya. Hal ini didukung oleh kerangka hukum pembiayaan kesehatan di era desentralisasi yang tergambar jelas dalam UUD 1945 Pasal 28, UU 23/1992 tentang Kesehatan, UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan secara ekplisit tercantum dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan serta Tugas/Fungsi antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Daerah. Dalam pasal Bab B/Butir 2 tentang Pembiayaan Kesehatan disebutkan bahwa salah satu tugas dan fungsi daerah (Kabupaten/Kota) adalah untuk menyelenggarakan: “Pengelolaan/penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal”. Dan selama 5 tahun terakhir ini, banyak daerah yang telah mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan yang maksud utamanya adalah untuk meringankan beban masyarakat dalam membiayai kesehatannya. Pusat Pengembangan Jaminan Kesehatan DepKes RI Per Juli 2007 mencatat ada 36 kabupaten/kota yang telah mengembangkan sistem asuransi kesehatan dan sejumlah 60 kabupaten/kota mengembangkan sistem pelayanan gratis. Dengan perkataan lain, sejak diterapkannya desentralisasi ada dua arah pengembangan sistem pembiayaan kesehatan di kabupaten/kota, yaitu: (a) jaminan/asuransi kesehatan dan (b) pelayanan gratis. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua kondisi faktual yang patut menjadi renungan dan hendaknya menggugah partisipasi kita sebagai warga untuk menggerakkan pemerintah agar menjalankan kewajibannya sebagai pihak yang mendapat mandat dari rakyat.
1
Pertama, kita patut bergembira hati karena tidak lagi menjadikan Kabupaten Jembrana sebagai satu-satunya contoh karena kini banyak contoh lain. Meski tidak mereplikasi Jembrana yang dianggap model negara kesejahteraan dalam konteks lokal, namun inovasi kebijakan di berbagai daerah tersebut menunjukkan masih banyak pemerintah yang sadar akan peran dan fungsinya disaat elit yang lain sibuk korupsi atau bertarung tentang hasil pilkada. Bahwa pemenuhan hak warga adalah kewajiban pemerintah dan negara. Kedua, sayangnya daerah yang sudah memenuhi hak dasar warga negara di bidang kesehatan ini baru mencapai 1% dari jumlah seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Ini adalah pekerjaan rumah kita semua, pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya. Apakah selamanya kita akan tetap stagnan dan tidak berubah sementara orang lain bergerak maju dan berlari ke arah yang lebih baik. Kitalah yang harus menjawab tantangan tersebut! Dalam rangka untuk berperan untuk menjawab tantangan tersebut Perkumpulan Inisiatif dengan dukungan Ford Foundation menuliskan laporan dan panduan yang ringkas serta mudah untuk mendorong kebijakan pembiayaan kesehatan yang juga dilatarbelakangi oleh praktik advokasi Perkumpulan Inisiatif di Kabupaten Bandung dan studi banding yang dilaksanakan di 5 Kabupaten/Kota.
1.2. Maksud dan Tujuan a. Tujuan Tujuan studi ini adalah mengambil pelajaran dari beberapa daerah yang sudah mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan, yang hasilnya dipergunakan untuk merumuskan rekomendasi dalam rangka mengakselerasi replikasi sistem pembiayaan kesehatan di daerah lain. b. Maksud Maksud studi ini yaitu: •
Mempelajari dan melihat langsung pelaksanaan atau penyelenggaraan sistem pembiayaan kesehatan di 5 Kabupaten/Kota yaitu Banjar, Purbalingga, Yogyakarta, Sleman, dan Sukoharjo yang menerapkan sistem jaminan kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan gratis.
•
Menggambarkan sistem pembiayaan kesehatan di 5 Kabupaten/Kota tersebut dari berbagai aspek, seperti status hukum dan legitimasi kelembagaan, cakupan kepesertaan
2
dan cakupan santunan pelayanan (benefit package), sumber-sumber pembiayaan, penyedia pelayanan kesehatan, pengelola bapel, dan lainnya. •
Mensistesiskan pembelajaran dari 5 Kabupaten/Kota dalam pembiayaan kesehatan setiap proses mulai dari tahap perencanaan, tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap monitoring dan evaluasi, berikut faktor-faktor keberhasilan dan faktor penghambat kebijakan tersebut.
1.3. Keluaran Keluaran yang diharapkan dari studi ini yaitu: a. Laporan lengkap yang menggambarkan tentang sistem pembiayaan kesehatan di 5 Kabupaten/Kota tersebut dari berbagai aspek. b. Panduan
ringkas,
mudah,
dan
sederhana
tentang
cara-cara
mereplikasi
dan
mengembangkan model sistem pembiayaan kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan ataupun sistem pelayanan kesehatan gratis. c. Dokumentasi perjalanan studi di 5 Kabupaten/Kota dalam bentuk foto dan film dokumenter. 1.4. Metode Metode yang digunakan dalam studi ini yaitu metode kualitatif. Penentuan informan dilakukan berdasarkan tujuan studi dan secara acak (purposive dan snow ball). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi subyek dan obyek studi serta studi dokumen yang terkait seperti Peraturan Daerah, SK Walikota/Bupati, DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran), Profil Kesehatan Kabupaten, dan lainnya. Analisis data dibuat berdasarkan informasi empiris dan disusun dalam bentuk kategori yang dirangkai secara sistematis dan logis. Informan dalam studi ini terdiri atas: (1) Kepala Dinas Kesehatan; (2) Kepala Puskesmas; (3) Direktur/Pimpinan Bapel/UPTD JPKM; (4) Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat; (5) Kepala Bina Program; (6) Kepala BAPPEDA; (7) Dokter Umum atau Dokter Gigi; (8) Bidan Puskesmas dan Bidan Desa; (9) Perawat; (10) Dokter Praktek Swasta; (11) Koordinator JPKM Tingkat Kecamatan; (12) Kader Desa; (13) Kepala Desa; (14) Tokoh Masyarakat, LSM, Forum Warga; dan (15) Masyarakat sebagai penerima manfaat.
3
1.5. Kerangka Analisis Fakta menunjukkan hanya 12% penduduk Indonesia yang terlindungi oleh jaminan kesehatan (Susenas, 2000). Mereka diantaranya PNS (Pegawai Negeri Sipil), Masyarakat Miskin melalui JPK-Gakin/Jamkesmas, Peserta Jamsostek, dan Peserta Asuransi Swasta. Sisanya 88% tidak diakomodir oleh jaminan kesehatan apapun dan kapan saja bisa menjadi jatuh miskin karena sakit berat. Terlebih sebagian besar masyarakat di negeri ini mengandalkan tubuhnya yang sehat untuk bekerja. Mereka juga tergolong penduduk yang tidak miskin tapi juga tidak kaya. Atau yang berada sekian jengkal dari garis kemiskinan namun tidak masuk dalam pendataan BPS. Saat ini, jaminan atau asuransi kesehatan belum menjadi perhatian serius masyarakat. Pengeluaran kesehatan bahkan berada di peringkat kelima setelah pengeluaran untuk makanan, pakaian, pendidikan, bahkan rokok. Biaya kesehatan pun dikeluarkan langsung dari kantong (out of pocket) ketika sakit. Sementara kesehatan adalah pelayanan yang “pembelian”nya tidak bisa ditawar atau ditunda. Maka, kasus korban berjatuhan akibat malpraktik pengobatan ilegal sudah bisa diduga. Pasien pulang paksa atau pasien meninggal karena tak mampu bayar jadi pemandangan biasa. Bagaimana peran pemerintah dalam hal ini? Konstitusi mengamanatkan kesehatan merupakan hak dasar warga yang harus dipenuhi oleh negara. Pengembangan pembiayaan kesehatan melalui sistem pra-bayar sesungguhnya sudah cukup lama dikembangkan di Indonesia dan telah diakomodir melalui UU. No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Bahkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan serta Tugas/Fungsi antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Daerah dengan tegas mengamanatkan kabupaten/kota untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal. Selama 5 tahun terakhir, ada 36 kabupaten/kota (Depkes RI, Juli 2007) yang mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan maksud utama untuk meringankan beban masyarakat. Sumber pendanaannya juga beragam: murni dari APBD, perpaduan subsidi pemerintah dan dana masyarakat, atau hanya premi dari masyarakat saja. Paket pelayanan kesehatan juga cukup komplit, tersedia untuk rawat jalan dan rawat inap di puskesmas dan rumah sakit. Namun, daerah yang sudah mengembangkan jaminan kesehatan ini baru mencapai 1% dari 440 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Seharusnya inisiatif dalam mewujudkan
4
pemerintahan yang baik ini dilakukan pula oleh daerah yang lain. Karena kebijakan pada sektor kesehatan merupakan modal dasar dan investasi yang menghasilkan keuntungan ekonomis 600 persen. Keuntungan ekonomis ini diukur dengan peningkatan produktivitas penduduk, berkurangnya hari sakit, dan tercegahnya kematian dini (Jefrey Sachs: 2001). Prioritas kebijakan kesehatan khususnya penyelenggaraan jaminan kesehatan juga bukan merupakan ego sektoral dan sekedar upaya untuk memenuhi target IPM dan MDGs. Tapi adalah sebuah perubahan paradigma tentang lebih baik mencegah kemiskinan daripada mengentaskannya dan saatnya mengatasi sebab bukan akibat. Sehingga diiperlukan sebuah “bemper” atau jaring pengaman bagi yang rentan menjadi miskin. Jaminan atau asuransi kesehatan juga merupakan wadah untuk menerapkan prinsip solidaritas sosial (yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membayar premi, yang tidak mampu ditanggung negara). Sistem asuransi kesehatan ini sekaligus juga mendidik rasa tanggung jawab dan kemandirian masyarakat untuk membiayai kesehatannya secara prabayar. Terlebih harga premi yang dibayar umumnya setara dengan sepuluh hari berhenti merokok. Artinya jaminan kesehatan harus menjadi perhatian serius dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk segera diwujudkan. Munculnya PP 38 Tahun 2007 mendorong berbagai daerah saat ini untuk mengembangkan sistem jaminan kesehatannya sendiri. Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Purbalingga, merupakan contohnya. Sistem jaminan kesehatan di daerah ini dimulai dengan menjamin masyarakat miskin. Walaupun secara nasional pemerintah pusat sudah menjamin masyarakat miskin lewat skema Askeskin, namun di beberapa daerah mereka juga dijamin lewat mekanisme APBD melalui tambahan penjaminan, atau daerah menjamin masyarakat miskin “lain” yaitu mereka yang tidak terdaftar sebagai peserta Askeskin karena berbagai alasan. Menarik untuk dicermati bahwa pembentukan jaminan kesehatan daerah ini juga dipicu oleh semacam ”ketidakpuasan” daerah dengan sistem jaminan nasional. Dengan adanya Jamkesda atau Jamkessosda di beberapa daerah, terdapat harapan baru bahwa pengelolaan penjaminan akan lebih baik dari yang saat ini sudah berjalan. Seperti diketahui berbagai masalah saat ini mengemuka dalam sistem penjaminan kesehatan masayarakat miskin oleh pemerintah. Yang paling menonjol adalah masalah pendataan penduduk miskin, pembayaran terlambat ke rumah sakit yang dikontrak, serta adanya kecenderungan pelayanan berlebihan oleh rumah sakit.
5
Konsep jaminan kesehatan daerah direncanakan juga mencakup masyarakat non gakin. Namun demikian penjaminan bagi peserta non gakin perlu dikaji dengan lebih baik karena terdapat beberapa peraturan perundangan yang belum jelas. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional masih belum mempunyai PP yang mengatur siapa yang akan menjadi badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Sebelum UU ini diubah oleh Mahkamah Konstitusi, UU no 40 mengatakan bahwa hanya ada 4 badan penyelenggara jaminan sosial, yaitu PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen dan ASABRI. Namun di tahun 2005 MK dalam keputusannya mengatakan bahwa pasal tersebut dihapus sehingga saat ini masih belum diputuskan siapa yang berhak menjadi BPJS. Hanya disebutkan BPJS bersifat nasional dan diatur lebih lanjut. Hal ini menimbulkan interpretasi yang beragam. Sebagian menafsirkan bahwa BPJS cukup dapat dibentuk oleh Perda, sebagian lain mengatakan harus ada UU atau PP. Munculnya PP 38 juga menimbulkan interpretasi baru yaitu daerah dapat membentuk badan pengelola asal badan tersebut bukan badan asuransi tetapi ”penjamin” yang artinya harus ada sebagian dana yang berasal dari pemerintah daerah, bukan murni premi dari peserta. Di tengah terjadinya ketidakjelasan aturan ini, berbagai daerah tidak mau menunggu terlalu lama. Mereka langsung membentuk Jamkesda atau Jamkessosda dengan alasan bahwa hal ini sudah ditunggu oleh masyarakat. Kerangka analisis dalam penelitian ini secara lebih konkrit akan menggambarkan beberapa elemen penting dalam kebijakan kesehatan yaitu: 1. Aspek hukum dan legitimasi kelembagaan badan pengelola. 2. Paket santunan atau jaminan dan mekanisme ”coordination of benefit”. 3. Manajemen kepesertaan dan cakupan kepesertaan dengan kejelasan hak dan kewajiban. 4. Sumber pembiayaan yang berkelanjutan dan sistem pembiayaan yang efektif. 5. Premi yang aktuaria dan pengumpulan premi. 6. Penyedia pelayanan kesehatan yang terlegitimasi dan cara membayarnya. 7. Utilisasi, ”contact rate”, dan isu pemerataan. 8. Manajemen klaim, utilisasi pelayanan, utilization review, dan verifikasi. 9. Organisasi dan manajemen (profesionalisme, aplikasi IT, dan lainnya) 10. Isu kebijakan gratis untuk pelayanan tingkat pertama.
6
11. Pengelola jaminan atau badan penyelenggara mempunyai organisasi yang efektif melaksanakan fungsi-fungsi pokok dalam sistem jaminan. Lalu, bagaimana kontroversi jaminan pelayanan kesehatan ini? Beberapa kabupaten yang sudah mengimplementasikan ide ini menyatakan bahwa terdapat dampak positif dan negatif dari implementasi kebijakan ini. Tapi terdapat sebuah keyakinan bahwa pemerintah kabupaten tersebut lebih melihat kebijakan ini pada aspek kemanfaatan dan kemaslahatannya bagi rakyat.. Disadari bahwa anggaran yang ada harus menjembatani berbagai kebutuhan/permintaan yang seringkali berbenturan. Padahal, kemampuan pemerintah untuk meningkatkan anggaran sangat terbatas. Untuk itu anggaran harus memiliki prioritas mengenai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Bukan tidak mungkin, gagasan ini memiliki dampak negatif. Tapi, mencoba untuk menerapkannya sambil terus-menerus belajar meminimalisir dampak negatif yang timbul merupakan tindakan yang lebih bijak daripada terus-menerus ketakutan akan kegagalan implementasinya. 1.6. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini bertempat di Kota Banjar, Kabupaten Purbalingga, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini dilaksanakan dari Tanggal 24 Juni 2008 s/d 5 Juli 2008. Untuk Kota Yogyakarta disebabkan masalah administrasi terjadi penambahan waktu penelitian dari Tanggal 18 Juni 2008 s/d 21 Juni 2008. 1.7. Peneliti Peneliti yang terlibat dalam penelitian ini adalah Ana Westy dan Saeful Muluk dari Perkumpulan Inisiatif, Setyorini Pradiyati dari Forum Diskusi Anggaran, dan Kamal Nurdin dari Dinas Kesehatan.
7
BAB II KOTA BANJAR
2.1. Kondisi Umum Kota Banjar
Kota Banjar adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian antara 20 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis dan menjadi salah satu kawasan andalan (yaitu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan sekitarnya). Tingkat kesuburan tanah Kota Banjar pada umumnya tergolong sedang (baik) dengan tekstur tanah sebagian besar halus dengan jenis tanah alufial kecuali Kecamatan Langensari selain memiliki jenis tanah alufial juga berjenis tanah podsonik merah kuning meski tidak mempengaruhi tingkat kesuburannya. Sejak diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Februari 2002 Kota Banjar sudah berjalan 3 tahun. Dalam perkembangannya Kota Banjar merupakan jalur lalu lintas penghubung antara Propinsi Jawa Barat – Jawa Tengah – Jawa Timur sehingga diharapkan mampu tumbuh sebagai kota industri, perdagangan, jasa dan pariwisata bagi Wilayah Jawa Barat bagian Timur. Kota Banjar memiliki jumlah penduduk 162.226 jiwa yang terdiri atas 80.747 lakilaki dan 81.479 perempuan. Kota Banjar juga merupakan daerah transit yang mobilitas penduduknya cukup tinggi dengan tingkat kepadatan penduduk 1.391/Km2. Jumlah penduduk miskin adalah 12.634 KK atau 41.838 jiwa (25,70% dari jumlah penduduk). Luas Wilayah Kota Banjar sebesar 13.197,23 Ha, terletak diantara 07 ° 19 ¢ - 07 ° 26 ¢ Lintang Selatan dan 108 ° 26 ¢ - 108 ° 40 ¢ Bujur Timur. Berdasarkan undang-undang nomor 27 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Banjar di Provinsi Jawa Barat kurang lebih 113,49 Km2 atau 11.349 Ha, dan berdasarkan luas wilayah secara Administrasi, Pemerintahan Kota Banjar meliputi 4 (empat) Kecamatan yaitu :
8
Tabel 1 Jumlah Desa/Kelurahan dan Luas Wilayah Perkecamatan di Kota Banjar NO
KECAMATAN
1 2 3 4
BANJAR PATARUMAN PURWAHARJA LANGENSARI
LUAS WILAYAH (Ha) 2.623,84 5.405,66 1.826,74 3.340,99
JUMLAH
13.197,23
JUMLAH DESA
2004
2005
2006
6 6 4 6
6 6 4 6
7 7 4 6
22
22
24
Sumber : Kota Banjar Dalam Angka
Kota Banjar mempunyai batas wilayah sebagai berikut : •
Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Cisaga Kabupaten Ciamis serta Kecamatan Dayeuhluhur;
•
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis dan Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah;
•
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Lakbok dan Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis;
•
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cimaragas dan Kecamatan Cijeungjing
Kabupaten Ciamis. 2.2. Program Strategis Kota Banjar Banjar berangkat dari Kota Administratif yang memekarkan diri dari Kabupaten Ciamis, ada tiga kebijakan yang dibuat oleh Walikota untuk membangun Kota Banjar yaitu : Pertama ; kebijakan yang berhubungan dengan keberpihakan kepada publik (masyarakat); Kedua ; kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur pemerintahan dan, Ketiga ; kebijakan yang berhubungan dengan penataan perkotaan. Kebijakan yang berhubungan publik diarahkan pada peningkatan IPM (Indek Pembangunan Manusia), meliputi pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
2.3. Kebijakan Kesehatan Kota Banjar Aspek kesehatan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas penduduk yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkat pencapaian pembangunan manusia. Seluruh masyarakat Kota Banjar mendapat layanan gratis berobat di PUSKESMAS, serta bagi masyarakat kurang
9
mampu yang berdomisili di Kota Banjar, tidak akan dipungut biaya berobat di Rumah Sakit Umum Banjar dan mendapat fasilitas gratis rawat inap di ruang rawat kelas 3. Untuk upaya meningkatkan derajat dan status kesehatan penduduk tidak hanya dengan meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas dan sarana kesehatan saja, akan tetapi harus didukung pula oleh ketersediaan petugas atau tenaga kesehatan yang cukup sesuai dengan kebutuhan. Peningkatan jumlah tenaga dan sarana kesehatan merupakan kebijakan dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Prioritas bidang kesehatan ditujukan untuk mencapai Angka Harapan Hidup (AHH) Tahun 2006 sebesar 66,70 tahun melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat, penurunan Angka Kematian Bayi (AKB), penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), peningkatan bagi keluarga miskin, peningkatan gizi masyarakat, perbaikan lingkungan permukiman, serta peningkatan pelayanan KB. Peningkatan jumlah tenaga dan sarana kesehatan merupakan kebijakan dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tahun 2004 jumlah tenaga kesehatan dokter sebanyak 41 orang dan tenaga bidan sebanyak 60 orang tersebar di seluruh kecamatan. Sedangkan jumlah puskesmas mencapai 10 unit dan posyandu sebanyak 147 unit. Pada tahun 2004 dibangun pula Unit Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dengan kader yang terlibat sebanyak 806 orang. Dari segi kegiatan KB tercatat sebanyak 20.917 akseptor aktif atau sebesar 21,29 persen dari 29.339 PUS. Dan jumlah akseptor aktif tersebut terbanyak menggunakan jenis alat kontrasepsi suntik yaitu sebanyak 50,60 persen.
Tabel 2 Jumlah Tenaga dan Sarana Kesehatan di Kota Banjar NAKES NO
KECAMATAN
1 2 3 4
SARKES
DOKTER
BIDAN
PUSKESMAS POSYANDU
BANJAR PATARUMAN PURWAHARJA LANGENSARI
22 4 11 4
20 10 20 10
3 2 3 2
45 20 42 40
JUMLAH
41
60
10
147
TAHUN 2003
30
46
10
143
Sumber : Kota Banjar Dalam Angka, Tahun 2004
10
Tabel 3 Tempat/Sarana Layanan Kesehatan Kota Banjar
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SARANA KESEHATAN Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu (PUSTU) Rumah Sakit Umum Pemerintah Rumah Sakit Bersalin (Swasta) Poliklinik Desa (POLINDES) Unit Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM)/ POSYANDU Pos Bimbingan Terpadu Balai Pengobatan (Tanpa Tempat Tidur) Pos Kesehatan Pesantren
JUMLAH 10 6 1 1 5 147 12 6 2
Sumber : Kota Banjar Dalam Angka
Tabel 4 Gambaran Ketenagaan Dinas Kesehatan, Sarana serta Fasilitas Kesehatan, dan UKBM di Kota Banjar No. Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah No. Sarana dan Fasilitas Jumlah 1 Dokter Umum 24 1 Rumah Sakit 1 2 Dokter Gigi 5 2 Puskesmas DTP 1 3 D III Perawat 140 3 Puskesmas 6 4 Perawat SPK 80 4 Pustu 12 5 D III Perawat Gigi 5 Pusling Roda 4 10 6 Perawat SPRG 6 BP Mata 1 7 D III Bidan 35 7 Gudang Farmasi 1 8 D I Bidan 46 8 Kendaraan Operasional Roda 4 3 9 Apoteker 4 9 Kendaraan Operasional Roda 2 45 10 Asisten Apoteker 12 10 Mesin Foging 13 11 SI Kesmas 29 11 Pemancar Radio 1 12 AKZI 7 13 SPAG 2 No. UKBM Jumlah 14 AKL 4 1 Posyandu 165 15 SPPH 5 2 Polindes 6 16 Analis 14 3 Poskestren 2 17 Non Kesehatan S1/D IV 4 Saka Bhakti Husada (SBH) 1 18 Non Kesehatan SLTA 5 Posbilu 56 19 Non Kesehatan SLTP 20 Non Kesehatan SD * Jumlah ketenagaan, sarana serta fasilitas kesehatan, dan UKBM ini terus bertambah setiap tahunnya.
11
Tabel 5 Gambaran Pembiayaan Kesehatan oleh Dinas Kesehatan No. 1
2 3 4 5
SUMBER BIAYA APBD Kota - Rutin - Gaji - Publik - DAK APBD Propinsi APBN PKPS-BBM PHP II - Pagu - Realisasi
2003
2004
2005
2006
2007
30.000.000
73.825.752 2.033.845.603 1.379.948.924
70.755.114 2.254.877.672 2.040.530.433
120.250.000 3.644.094.685 2.090.220.018 6.900.000.000
393.727.000 4.149.651.058 3.238.842.000 7.149.586.320
331.178.601 -
974.200.000 1.500.000.000 566.792.000
1.000.000.000 649.286.550
662.500.000 1.500.000.000 -
382.170.000 1.333.533.900 -
1.568.045.000 1.256.790.000
2.692.549.000 404.011.445
2.680.741.000
Tabel 6 Gambaran Derajat Kesehatan Kota Banjar Tahun 2003-2007 No. 1 2 3 4 5 6
INDIKATOR Kematian Biaya Kematian Balita AHH Kematian Ibu Gizi Kurang Gizi Buruk
2003
2004
2005
2006
2007
39 18 65.24 6 904 31
53 4 65.42 4 701 61
52 8 65.54 7 1.910 256
40 6 66.09 4 1.000 150
34 19 3 868 149
2.4. Program Pembebasan Biaya Pengobatan di Kota Banjar A. Sejarah Munculnya Kebijakan Pelayanan kesehatan gratis di puskesmas bagi seluruh warga Kota Banjar diperuntukkan kepada seluruh penduduk Kota Banjar yang memiliki KK & KTP Kota Banjar. Pelayanan kesehatan gratis ini dimulai sejak 1 Maret 2004. Inisiatif pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas gratis bagi seluruh warga kota Banjar, berasal dari keinginan Bapak Walikota Banjar, dr. Herman Sutrisno. Pernyataan ini dicetuskan oleh beliau pada tahun 2003. Saat itu Kota Banjar masih berstatus Kota Administratif (Kotif). Latar belakang Walikota adalah seorang dokter yang saat itu menjabat sebagai Kepala RSU Banjar dan memiliki kepedulian terhadap semua warganya tanpa melihat latar belakang/status. Ia menyatakan akan menggratiskan kesehatan bila Banjar berhasil menjadi kota. Wali Kota Banjar Herman Sutrisno memaparkan bahwa sejarah kota tersebut dimulai dari pembentukan
menjadi
kota
administratif
(kotif)
berdasarkan
PP
54/1991.
"Tapi, justru sejak menjadi kotif itulah, meski masih merupakan bagian dari wilayah Kab.
12
Ciamis, Banjar malah termarginalkan, tidak pernah lagi tersentuh pembangunan dari kabupaten induk," ungkap Herman, yang pada 1987-1992 menjadi anggota DPRD Kab. Ciamis. Namun demikian, menurut Herman, dari perspektif luas, logis Banjar akhirnya termarginalkan sebab empat kecamatannya kecil. Rata-rata hanya memiliki enam desa, bahkan Kec. Purwaharja hanya terdiri dari empat desa. Pada saat mencuat isu pemekaran dari kotif menjadi kota, bukan berarti tanpa nada minor dan pesimistis. Hal itu terutama dikaitkan dengan potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang setelah dihitung hanya Rp 900 juta. "Sangat riskan, tapi setelah disurvei ternyata ada kota lain yang PAD-nya lebih kecil yaitu Kota Bitung di Sulawesi Utara yang PAD awalnya hanya Rp 450 juta, tapi dimekarkan menjadi kota. Semua masyarakat Kotif Banjar ngotot agar wilayahnya dimekarkan menjadi kota. Akhirnya melalui UU 27/2002, Banjar resmi dimekarkan dari kotif menjadi kota pada 21 Februari 2003. Menurut Herman Sutrisno, persoalan awal bukannya tidak ada. Bahkan, Kota Banjar yang sekarang memiliki penduduk 160.000 jiwa, pada awalnya kekurangan sumber daya manusia (SDM) memadai untuk menjalankan administrasi dan birokrasi pemerintahan. "Pada awalnya, SOTK Banjar tidak dipersiapkan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 58. Jadi hanya diarahkan sebagai kantor bukan dinas. Dengan demikian, semua aparatur pemerintahan di Kota Banjar hanya setingkat eselon III, seharusnya eselon II. Tapi bagaimanapun, kantor harus berubah menjadi dinas. Kekurangan SDM dipenuhi dengan pelatihan terus-menerus sehingga roda pemerintahan harus terus dijalankan," tuturnya. Berbagai kebijakan pemerintahan pun dimulai, dengan sasaran utama bagaimana mengarahkan birokrasi agar benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Ada empat kebijakan utama yang dilakukan Pemkot Banjar pada tahap pertama pendirian setelah dimekarkan pada 2003, yang kesemuanya diarahkan pada keberpihakan pada masyarakat. "Tolok ukur jelasnya adalah terwujudnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Banjar menjadi 80. Indikatornya adalah hal itu, yakni pendidikan, kesehatan, daya beli, dan kemudahan pelayanan masyarakat." Untuk bidang kesehatan, parameternya lebih jelas. Pemkot Banjar meluncurkan program pembebasan biaya berobat ke puskesmas (SK Walikota 440/KPTSHUK-23/II/2004 pada 20 Februari 2004. "Bukan berarti puskesmas jadi gratis, tapi biaya operasional puskesmas diganti oleh APBD. "Ada pula program pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar yang sudah di-perdakan melalui Perda Nomor 7/2006 tentang Tarif Layanan Kesehatan di Puskesmas (7 puskesmas, 1 rumah sakit). "Dilakukan pula pembebasan biaya berobat RSUD kelas II bagi gakin yang belum punya askes sejak 2005. Membangun pos kesehatan desa, desa siaga sampai ke dusun dengan
13
anggaran Rp 200.000.000 sejak 2006," papar Herman Sutrisno.Program penguatan daya beli dilakukan dengan mengucurkan bantuan Rp 1 miliar untuk setiap desa. Ada pula program pembebasan biaya KTP dan akta kelahiran. "Pada 2007, ketika infrastruktur kota sudah dilengkapi, kami berpindah ke revitalisasi pertanian. Dari 4.000 hektare sawah di Kota Banjar, hanya 12 persen yang teknis, sisanya tadah hujan. Ke depan diharapkan dari 12 persen itu bisa menjadi 50-60 persen sehingga ketahanan pangan masyarakat akan tetap terjamin," paparnya. Kini, IPM Kota Banjar terus mengalami peningkatan dan selalu di atas rata-rata angka Provinsi Jabar. Pada 2003, IPM-nya mencapai 70,76, kemudian pada 2004 71,53. Pada 2005 menjadi 71,73, meningkat lagi menjadi 72 pada 2006. "Pada 2007 ini, kami menargetkan IPM Kota Banjar menjadi 73."Terkait dengan struktur APBD. Di awal pendiriannya, PAD Kota Banjar hanya Rp 3,2 miliar, itu pun merupakan bantuan. Tapi perlahan, PAD terus mengalami peningkatan signifikan. Pada 2005, PAD menjadi Rp 13 miliar, meningkat lagi Rp 14 miliar pada 2006, dan pada 2007 target minimal adalah Rp 16 miliar. Sementara itu, volume APBD pada 2004 hanya Rp 72 miliar, pada 2005 meningkat menjadi Rp 130 miliar. Pada 2006 berjumlah Rp 239 miliar dan 2007 menjadi Rp 369 miliar. "Untuk program bantuan Rp 1 miliar bagi setiap desa di Kota Banjar, sebetulnya adalah untuk merangsang desa bersangkutan mampu menyusun anggaran pendapatan dan belanja desa. Mereka melakukan musrenbangdes dan setiap usulan dari masyarakat dilakukan perencanaan dengan penganggarannya. Nantinya juga dilakukan audit BPK sehingga aparatur desa harus mempertanggungjawabkannya." Dilihat dari strukturnya, dapat dinilai bagaimana keterarahan APBD Kota Banjar bagi kepentingan publik. Pada 2005, APBD Banjar Rp 44 miliar untuk aparatur, dan Rp 98 miliar untuk publik. APBD 2006, aparatur Rp 88 miliar, dan belanja publik Rp 176 miliar. Pada 2007, 68 persen APBD harus terserap untuk belanja langsung dan 32 persen untuk belanja tidak langsung. Seluruh proyek pembangunan infrastruktur senilai Rp 76 miliar yang telah digarap tahun anggaran 2006, diresmikan secara simbolis oleh Walikota Banjar dr. H. Herman Sutrisno, MM. Seluruh proyek yang dikerjakan pemerintah kota semua bertujuan untuk memperlancar pelayanan publik. Diantaranya, rehab 43 SD/MI, pembangunan pustu dan puskesmas tambahan, laboratorium kesehatan daerah Dinkes, 9 kantor pemerintahan pembangunan balai benih, dan sebagainya. Dalam kesempataan itu, Walikota Banjar dr. H. Herman Sutrisno MM, juga menekankan terhadap pembangunan pelayanan kesehatan masyarakat. Pasalnya, kendati sekarang biaya
14
berobat ke puskesmas gratis, tetapi masyarakat masih tekendala jarak untuk pergi ke puskesmas. “Biaya berobat di puskesmas gratis, tetapi ongkos bagi sebagian orang masih teramat berat. Oleh karena itu, saya mencanangkan untuk mendirikan puskesmas desa di seluruh desa di Kota Banjar,” kata walikota. Lanjut Herman, peningkatan pelayanan kesehatan tentunya harus dibarengi dengan peningkatan daya beli masyarakat. Semua itu sudah terkonsep secara berkelanjutan. Kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat selalu dibarengi kebijakan yang mendongkrak tingkat daya beli.”Semua kebijakan yang dikeluarkan Pemkot Banjar selalu berpihak kepada masyarakat,” ujar Walikota.
B. Tahapan dan Upaya Mewujudkan •
Program ini dimunculkan pada Rakernas Tahun 2004 yang dihadiri oleh Walikota, DPRD, MUI, dan FMPK, Camat, serta seluruh puskesmas.
•
Langkah pertama adalah menghitung BOP dasar bagi setiap Puskesmas untuk bisa beroperasi. Saat itu program Puskesmas Bebas Biaya belum masuk dalam APBD namun program tetap harus berjalan. Walikota yang sangat komitmen kemudian menyediakan dana talangan untuk mendanai biaya operasional bagi 7 puskesmas yang ada di wilayah Kota Banjar. Walikota Banjar merelakan dana tunjangannya selama 1 tahun (2004) sebesar Rp 80.000.000 untuk menutupi kebutuhan dana talangan tersebut, pada tahun pertama pelaksanaan Puskesmas Bebas Biaya tersebut.
•
Perlu persiapan 3 bulan untuk mensosialisasikan program ini kepada kepala-kepala puskesmas dan seluruh tenaga medisnya.
•
Selanjutnya Puskesmas mempersiapkan langkah awal pelaksanaan pengobatan bebas biaya dengan menghitung biaya yang dibutuhkan dan memasukkan kebutuhan pendanaan program ini dalam struktur APBD Kota Banjar pada tahun berikutnya (2005). Unit cost/orang/tahun berobat di puskesmas sebesar Rp 230.000 selanjutnya unit cost tersebut dikumulatifkan dengan jumlah penduduk kota Banjar. Model ini dirasakan lebih praktis tidak perlu menggunakan sistem asuransi/premi atau yang dinamakan JAMKESDA.
•
Puskesmas di Kota Banjar melalui Program Bebas Biaya ini memiliki otonomi dengan melaksanakan konsep ”Perencanaan dan Penganggaran Keseahatan Terpadu (P2KT)”. P2KT ini memuat analisis situasi, analisis kinerja proses dan output, analisis risiko lingkungan dan perilaku, penentuan kegiatan dan program serta anggaran.
•
Pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis di kota Banjar, pada awalnya memiliki kekuatan hukum berdasarkan SK Walikota para Tahun 2004. Namun selanjutnya dimasukkan dalam
15
perda kesehatan dengan melakukan amandemen perda pelayanan kesehatan tersebut, untuk beberapa pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas. Jumlah penduduk Kota Banjar ± 162.000 orang maka dari APBD 300 milyar, dialokasikan 2.6 milyar untuk subsidi program pelayanan kesehatan gratis tersebut, dengan peruntukan 600 juta untuk biaya operasional 7 puskesmas dan 800 juta untuk persediaan obat/tahun bagi 7 puskesmas tersebut. Kebijakan-Kebijakan Dinas Kesehatan •
Sosialisasi persiapan pelaksanaan pada stakeholders
•
Menyusun Draft SK Walikota sebagai dasar hukum pelaksanaan
•
Fasilitasi perencanaan pada puskesmas
•
Menyusun Draft Perda tentang Retribusi
•
Menyusun petunjuk teknis
•
Sosialisasi pada masyarakat
•
Advokasi tentang pembiayaan kesehatan
C. Tujuan Tujuan Umum: Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat Tujuan Khusus: •
Meningkatkan aksesabilitas terhadap pelayanan kesehatan
•
Meningkatkan utilisasi Puskesmas
•
Keadaan sakit dapat diketahui lebih dini
•
Menurunkan angka kesakitan dan kematian
•
Perubahan perilaku pola pencarian pengobatan
D. Sasaran Seluruh penduduk Kota Banjar yang mempunyai Kartu Penduduk atau terdaftar pada Kartu Keluarga.
E. Dasar Pelaksanaan 1. Kegiatan ini mulai dilaksanakan sejak 1 Maret 2004 dengan SK. Walikota Banjar Nomor: 440/Kpts.24-huk/II/2004 Tanggal 20 Februari 2004. 2. Pada tahun 2006 diterbitkan Perda Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan di Puskesmas DTP dan Non DTP dan UKMK.
16
F. Sumber Dana Program Bebas Biaya •
Pada tahun 2004 Biaya Operasional Puskesmas (BOP) dalam APBD hanya Rp.30.000.000,maka untuk menutupi kekurangan BOP tersebut dipergunakan Tunjangan Walikota sebesar Rp. 80.000.000,- dari Bulan Maret sampai dengan Bulan Desember 2008.
•
Kemudian pada perubahan anggaran mendapat tambahan BOP Rp.70.000.000,-
•
Pada Tahun 2005 dan 2006 dialokasikan di dalam APBD dan tidak lagi menggunakan tunjangan walikota.
G. Jenis Pelayanan yang Dibebaskan dari Biaya Pengobatan •
Tidak semua biaya dibebaskan.
•
Adapun yang dibebaskan meliputi: a. Retribusi rawat jalan b. Catatan medik c. Tindakan kecil (luka kecil, debridiment luka, buka jahitan, pasang-buka kateter) d. Tindakan pencabutan dan penambalan gigi anak e. Pemeriksaan laboratorium TB Paru f.
Pil dan Suntik KB program masyarakat miskin
H. Sistem Pembayaran oleh Pemda Pendanaan pelaksanaan pembebasan biaya pengobatan dengan cara Puskesmas membuat perencanaan dalam bentuk RKA termasuk kegiatan program (UKP-Usaha Kesehatan Perorangan dan UKM-Usaha Kesehatan Masyarakat), pemeliharaan, honor sukwan di Puskesmas yang selanjutnya dimasukkan pada RKA Dinas Kesehatan sehingga pada anggaran tersebut masuk dalam APBD Kota Banjar.
I. Keuntungan dan Hambatan •
Keuntungan
1. Puskesmas tidak dibebani target PAD yang berlebihan. 2. Puskesmas dapat membuat program-program inovasi yang dapat dibiayai oleh APBD. 3. Peningkatan aksesabilitas dan utilisasi puskesmas. 4. Perubahan perilaku pola pencarian pengobatan.
17
•
Hambatan
1.
Adanya penolakan dari petugas karena adanya suatu perubahan sistem.
2. Adanya penolakan dari beberapa kader karena yang biasanya bisa menjual alat kontrasepsi sekarang tidak diperkenankan. Tabel 7 Jumlah Kunjungan Puskesmas Tahun 2001-Tahun 2007 TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005 2006
JAN 3374 3646 5849 4354 7619 10734
2007
15075
FEB 2924 2936 4849 3931 8644 1374 9 1185 3
MAR 3095 3065 5767 10736 9942 9193
APR 3470 3205 5180 9516 7151 13967
MEI 3222 3184 4671 7879 10177 9803
JUN 3030 2891 4844 7794 10970 9772
JUL 3299 3167 5375 6664 9309 7122
AGS 3456 3103 5058 10059 11983 8360
SEP 3412 3030 5052 8354 11983 8840
OKT 3108 3172 5158 6403 11811 9250
NOP 3205 2908 4001 7611 10572 8814
DES 2609 3632 6460 7389 13457 8153
17213
15604
16022
10957
14914
14086
8034
8207
3631
13172
2.5. Dampak Kebijakan Puskesmas Menghadapi Beban Ganda Sejak 1 Maret 2004, pelayanan dasar kesehatan di pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas di Kota Banjar tidak dipungut biaya. Namun, pelayanan cuma-cuma ini justru terkendala beban baru yang ditengarai bakal mengganggu kondisi yang ada. Pelayanan dasar cuma-cuma tersebut meliputi retribusi, tindakan medis kecil, pencabutan gigi untuk anak-anak, laboratorium TBC, dan suntik serta pil keluarga berencana (KB). Melalui pelayanan ini diharapkan, masyarakat Banjar dapat lebih memanfaatkan pelayanan kesehatan di puskesmas. Akan tetapi, hal ini menyebabkan Puskesmas menghadapi dua beban sekaligus. "Di satu sisi dengan pelayanan kesehatan gratis kami masih berusaha menangani penyakit menular, sementara pada saat bersamaan muncul penyakit tidak menular yang berkaitan dengan pola makan, gaya hidup, dan transisi demografi," ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjar Darmadji Prawirasetia Akibatnya, setelah pelayanan dasar tersebut gratis terjadi lonjakan kunjungan pasien sekitar dua kali lipat dari sebelumnya. Jika dulu seseorang sakit tidak pergi ke puskesmas karena kendala ekonomi, kini mereka bisa ke puskesmas untuk berobat. Tahun 2005 saja kunjungan pasien mencapai 90.915 orang. Lonjakan mencolok terlihat pada Maret 2004 yang mencapai lebih dari 12.000 kunjungan per bulan. Jumlah ini dua kali lipat dibanding bulan yang sama tahun
18
sebelumnya yang hanya sekitar 5.700 kunjungan. Darmadji juga mengatakan, pelayanan dasar gratis menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berobat ke puskesmas. Hal ini memicu angka harapan hidup yang lebih lama. Artinya, usia seseorang bisa makin bertambah. Seiring dengan pertambahan usia risiko penyakit degeneratif, seperti hipertensi dan katarak, menjadi meningkat.
Pasien Lama Vs Pasien Baru Seorang dokter di Puskesmas Pataruman, dr. Nina Gartina, mengungkapkan, setelah pelayanan diberikan cuma-cuma, tingkat kunjungan ke puskesmas meningkat. Jika dulu sebelum gratis jumlah kunjungan pasien hanya sekitar 400 orang per bulan, kini setelah gratis menjadi hampir 2.000 orang per bulan. Ia pun menambahkan, lonjakan kunjungan pasien itu pun masih didominasi oleh pasien yang sudah terbiasa datang ke puskesmas. Nina Gartina mengatakan, "Mereka yang biasa datang ke sini jadi lebih sering datang untuk mengontrol kesehatannya. Sementara yang benar-benar baru datang ke puskesmas juga ada, namun jumlahnya masih sedikit."
Tidak Terbebani Retribusi Kepala Puskesmas Balokang, dr. Kurniati menyatakan, ”Saya merasa bersyukur ketika diberlakukan pelayanan gratis, karena saya tidak perlu mengawasi staf, berkaitan dengan pemasukan retribusi; tidak perlu kuatir ada pemeriksaan keuangan retribusi dari Bawasda dan kunjungan masyarakat ke puskesmas meningkat dan ini mampu menekan angka kesakitan di wilayah puskesmas saya.” Ia menambahkan, ”Adapun sisi negatifnya, masyarakat kerap tidak mengikuti aturan, dimana ketika mengunjungi Puskesmas diwajibkan membawa salah satu kartu identitas (KTP/KK). Jika tidak membawa kartu identitas, pengunjung tetap dikenakan retribusi Rp 5.000. Hal ini sering menimbulkan salah paham. Demikian pula masyarakat yang bukan warga Kota Banjar.” Ketika harus membuat perencanaan sendiri untuk kegiatan puskesmasnya, awalnya beliau mempelajari dulu. Perencanaan Puskesmas dimulai dengan menerima rincian kebutuhan dari stafstafnya/bagian-bagian di puskesmas. Kebutuhan biaya masing-masing bagian direkap dan disatukan dalam sebuah perencanaan yang terpadu serta efektif untuk dilaksanakan satu tahun mendatang. Rencana Kebutuhan Anggaran (RKA). Pada awal diberlakukan pelayanan gratis di tingkat puskesmas ini, terjadi lonjakan kunjungan sampai 10x per harinya selama beberapa bulan. Sedang kumulatif kunjungan per bulan meningkat 2x.
19
2.6. Kajian Efektifitas Pembebasan Biaya Pengobatan Dasar di Puskesmas Pemerintah Indonesia telah menerima pinjaman dari Bank Dunia melalui Provincial Health Project II (Cr. 3537 – IND). Kota Banjar melalui District Funding Allocation of Second Provincial Health Proect II (DFA PHP II) menggunakan sebagian dana tersebut untuk mengadakan kegiatan Kajian Efektifitas Pembebasan Biaya Pengobatan Dasar di Puskesmas Kota Banjar Tahun 2006. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak dari pembebasan biaya pengobatan dasar di puskesmas terhadap tingkat kunjungan masyarakat (pasien) dalam menggunakan sarana pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas). Hasil kajian tersebut diantaranya: •
Pelayanan sudah sesuai dengan standar meskipun biaya pengobatan di Puskesmas dibebaskan, namun diharapkan petugas tetap mengutamakan keramahan dan meningkatkan kinerja serta kualitas pelayanan.
•
Masyarakat sangat terbantu terbukti dengan tingginya angka kunjungan puskesmas karena mereka tidak khawatir lagi dengan biaya pengobatan, khususnya bagi yang miskin. Saat ini masyarakat bisa datang kapan saja mereka butuhkan. Bahkan cuma pegal-pegal saja, mereka pergi ke puskesmas untuk berobat.
•
Tingkat kesehatan masyarakat semakin meningkat karena banyak warga Kota Banjar yang memanfaatkan puskesmas. Sehingga masyarakat yang dulunya biasa mengobati sakitnya sendiri (obat warung), sekarang dapat dengan mudah menggunakan sarana pelayanan kesehatan tanpa dipungut biaya.
•
Penyakit yang berpotensi KLB jarang terjadi karena cepat tertangani yang disebabkan adanya koordinasi antara masyarakat, puskesmas, dan dinas kesehatan.
•
Pembebasan biaya pengobatan sebenarnya sangat membantu masyarakat yang kurang mampu. Namun, disatu sisi mengakibatkan masyarakat menjadi tergantung kepada pemerintah sehingga hal tersebut perlu dilakukan pengkajian ulang. Dalam hal ini pemerintah perlu memberikan batasan waktu, sampai kapan pembebasan ini akan diberlakukan karena perlu ada pembelajaran juga kepada masyarakat agar dapat mandiri. Diperlukan juga adanya klasifikasi atau kriteria tertentu bagi masyarakat. Jadi tidak semua masyarakat berobat gratis ke puskesmas agar biaya yang dikeluarkan dapat bermanfaat untuk masyarakat yang benarbenar membutuhkan.
20
BAB III KABUPATEN PURBALINGGA
1. Gambaran Kabupaten Purbalingga Kabupaten Purbalingga termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Purbalingga memiliki topografi dataran tinggi, dataran rendah, perbukitan, dan karang gunung terdiri atas 18 kecamatan dan 239 desa. Penduduk Kabupaten Purbalingga yang heterogen bekerja di berbagai lapangan usaha sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuan yang dimiliki. Lapangan usaha yang paling besar memberikan kontribusi dalam PDRB adalah bidang pertanian sebesar 30% dari total APBD. Data memperlihatkan bahwa 264.066 penduduk Tamat SD dan 204.258 penduduk Belum Tamat SD. Hal ini menunjukkan sebagian besar penduduk Kabupaten Purbalingga masih rendah tingkat pendidikannya. Eksesnya masyarakat memiliki kemampuan yang rendah pula dalam menerima sesuatu yang baru. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Purbalingga berupaya untuk meningkatkan kemampuan berpartisipasi dalam program pembangunan diantaranya program JPKM dengan peningkatan sosialisasi dan berbagai penyuluhan.
GAMBARAN KAB. PURBALINGGA •LUAS WILAYAH •JML. PENDUDUK •SARKES PEMERINTAH
: 661,69 KM 2 : 846.323 JIWA (193.347 KK)
RSUD Puskesmas/Pustu RB/Polindes •TENAGA KESEHATAN
: 1 : 22 / 49 : 1 / 133
Dokter Spesialis Dokter Umum/Gigi Bidan Perawat
: : : :
10 orang 31 orang / 19 orang 165 orang 273 orang
•KADER KESEHATAN/JPKM : 4.539 orang
3
Kabupaten Purbalingga adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang menjadi percontohan pelaksanaan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin sebagai pengganti Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Hal ini dikarenakan Purbalingga adalah kabupaten pertama di Indonesia yang berinisiatif untuk membuat program pengganti JPS-BK yakni dengan program JPKM, setelah program JPS-BK tersebut berhenti di Tahun 2000. Kabupaten Purbalingga memiliki keunikan dalam penyelenggaraan program JPKM karena tidak hanya mengikutsertakan keluarga miskin tetapi juga keluarga non miskin.
2. Sejarah Program JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) di Kabupaten Purbalingga Hakekat otonomi adalah upaya pemberdayaan Daerah Kabupaten/Kota agar berkemampuan dalam merumuskan kebijaksanaan, mengambil keputusan, dan melangkah secara lebih tepat, cepat, dan sesuai dengan kebutuhan daerah. Sehingga pelayanan dapat diberikan secara prima kepada masyarakat. Permasalahan mendesak yang ada di daerah dapat segera terselesaikan, pengembangan kehidupan demokrasi dan ekonomi rakyat semakin terdorong, serta pemerataan dan kesejahteraan masyarakat akan semakin dapat terwujud. Namun demikian, pelaksanaan otonomi daerah harus tetap berada dalam kerangka NKRI. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan, maka Pemerintah Kabupaten Purbalingga menempatkan bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi sebagai 3 pilar utama dalam pembangunan daerah dengan didukung oleh segenap sektor-sektor pembangunan lainnya secara sinergis. Kesehatan memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas hidup, kecerdasan, dan produktivitas sumber daya manusia dalam membangun Purbalingga Sehat Tahun 2010. Upaya untuk tetap menempatkan program kesehatan sebagai salah satu prioritas pembangunan sesungguhnya sangatlah bijaksana, karena selalu merupakan hak azazi yang fundamental. Kesehatan juga merupakan pangkal kecerdasan, produktivitas, kesejahteraan, dan juga merupakan penentu kualitas sumber daya insani. Oleh karena itu kesehatan harus dimiliki dan menjadi hak fundamental bagi setiap individu. Sekaligus menjadi tanggung jawab dan kewajiban setiap insani. Pembangunan bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar kualitas sumber daya manusia sebagai modal utama pembangunan semakin kuat. Namun praktek penyelenggaraan pembangunan kesehatan masih dirasakan belum efektif baik dari sisi upaya pembiayaan, pemberdayaan masyarakat, maupun mutu pelayanannya itu sendiri.
Menyadari kenyataan yang demikian, maka perlu dibangun suatu sistem atau tatanan sosial dalam pelayanan kesehatan yang dapat mengatasi berbagai permasalahan pembangunan kesehatan sebagaimana diuraikan di atas, sekaligus mengakomodir upaya perwujudan Paradigma Indonesia Sehat 2010. Untuk itu digagas dan diberlakukan sebuah program yaitu Program JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) yang merupakan upaya membangun pelayanan kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan dengan filosofi si kaya membantu si miskin dan si sehat menolong si sakit (subsidi silang) dengan dukungan penuh dari pemerintah kabupaten. Pelaksanaan JPKM yang dimulai Tahun 2001 ini telah dapat dirasakan manfaatnya dan direspon sangat baik oleh masyarakat. Program JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) adalah suatu program yang dari inisiatif Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Program yang merupakan program pengganti JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial-Bidang Kesehatan) ini pertama kali dirumuskan pada Tahun 2000. Setelah program JPS-BK berhenti di Tahun 2000, Pemerintah Kabupaten Purbalingga menganggap penting untuk meneruskan program tersebut dengan versi yang lain. Program JPS-BK diberikan kepada keluarga miskin (GAKIN), sedangkan pada program JPKM Pemerintah Kabupaten Purbalingga merancang skema yang mengikutsertakan keluarga non miskin. Awalnya setelah program JPS-BK berhenti di Tahun 2000, pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin diteruskan dengan program JPK-Gakin (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin). Kemudian program ini diperluas dengan program JPKM yang efektif pada Tahun 2001/2002 dengan mengikutsertakan keluarga non miskin. Program JPKM diterapkan sejalan dengan maraknya isu otonomi daerah. Hal ini mengandung konsekuensi bagi pemerintah daerah untuk dapat memberdayakan daerahnya. Pelaksanaan pembangunan bidang kesehatan masih belum efektif baik dilihat dari sisi upaya, pelayanan, pembiayaan maupun pemberdayaan masyarakatnya. Hal itu terlihat dari beberapa hal antara lain: a. Belum terpadunya peran pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. b. Belum optimalnya jaminan kesehatan khususnya bagi masyarakat miskin. c. Model JPS-BK kurang memberikan proses pembelajaran bagi kemandirian masyarakat dan tidak menjamin keberlanjutannya. Selain itu, dana JPS-BK tidak mencukupi pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin. d. Terbatasnya pengalokasian dana dari pemerintah yang diutamakan untuk upaya kuratif.
e. Pelayanan kesehatan terasa mahal karena menggunakan sistem fee for service. f.
Pembiayaan kesehatan masih belum mengungkit masalah subsidi silang.
g. Kontribusi APBD dalam pembiayaan kesehatan daerah sangat dibutuhkan. h. Dana JPS-BK/JPK-Gakin dipadukan dengan APBD dan dana masyarakat. Beberapa hal tersebut mendasari Pemerintah Kabupaten Purbalingga melakukan pembenahan sistem pelayanan kesehatan melalui Program JPKM. Hal tersebut dilakukan agar pelayanan kesehatan akan semakin bermutu, paripurna, dan berkelanjutan dengan pembiayaan yang semakin efisien sekaligus menjadi proses pembelajaran bagi terwujudnya kemandirian masyarakat.
Gambaran Program JPKM di Kabupaten Purbalingga Dalam rangka perwujudan otonomi daerah sekaligus mengatasi kendala dalam pembangunan bidang kesehatan, maka perlu dibangun suatu sistem atau tatanan sosial yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk kesehatan yang selaras dengan visi pembangunan Kabupaten Purbalingga yakni Purbalingga yang Mandiri dan Berdaya Saing Menuju Masyarakat Sejahtera yang Berakhlak Mulia. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Purbalingga bertekad melakukan pembenahan sistem pelayanan kesehatan dengan meluncurkan “Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat/JPKM” agar pelayanan kesehatan akan semakin bermutu, paripurna, dan berkelanjutan
dengan
pembiayaan
yang
semakin
efisien
sekaligus
menggalang
swadaya/kemandirian masyarakat.
Pengertian JPKM Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat/JPKM adalah cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang paripurna berdasarkan azas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaannya dilakukan secara pra upaya. Program JPKM merupakan suatu program yang dibuat untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat di Kabupaten Purbalingga dengan sistem pembayaran pra upaya (seperti asuransi). Program ini mempunyai motto yaitu membangun pelayanan kesehatan berkualitas dan berkelanjutan yang bertumpu pada kemandirian masyarakat. Pra Bapel JPKM ini berlokasi di Jalan Wiraguna No. 6 Purbalingga 53313.
Program JPKM ini merupakan program pelayanan kesehatan dengan pembayaran pra upaya dan menerapkan konsep subsidi silang. Selain itu program JPKM di Kabupaten Purbalingga telah mengakomodasi peserta dari seluruh kalangan. Tidak hanya keluarga miskin seperti di kabupaten lain tetapi juga keluarga pasca miskin dan keluarga kaya. Peserta JPKM ini juga terdiri dari berbagai stakeholder yang berupa perusahaan-perusahaan swasta di daerah yang memberikan jaminan kesehatan kepada pegawainya/karyawannya.
Tujuan Umum •
Masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif dengan kendali biaya dan kendali mutu.
•
Meningkatkan cakupan kepesertaan JPKM.
•
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat untuk mencapai Purbalingga Sehat 2010.
Tujuan Khusus •
Peningkatan akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
•
Penerapan strategi jaminan kesehatan bagi masyarakat non miskin.
•
Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik masyarakat serta provider dalam pembiayaan kesehatan.
•
Menumbuhkan peran serta sektor swasta dalam pengelolaan kesehatan.
•
Mengurangi asimetri informasi antara masyarakat dan provider.
Hakekat JPKM •
Upaya pembenahan sistem pelayanan, pembiayaan, dan pemberdayaan pada pembangunan di bidang kesehatan.
•
Sistem pelayanan kesehatan yang berdasarkan pada azas gotong royong dan kekeluargaan.
•
Sistem pelayanan kesehatan yang bertumpu pada kemandirian masyarakat.
•
Sistem pelayanan kesehatan yang dapat menjangkau keluarga miskin secara efektif.
•
Sistem pelayanan kesehatan yang paripurna baik pada aspek preventif, kuratif, promotif, maupun rehabilitatif secara berkelanjutan.
•
Sistem pelayanan kesehatan yang dapat memberdayakan lembaga-lembaga pelayanan kesehatan secara optimal.
•
Sistem pelayanan kesehatan yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sistem pelayanan dokter keluarga.
•
Wahana proses pembelajaran masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan Paradigma ”Indonesia Sehat 2010”.
Manfaat JPKM •
Masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan paripurna yang lebih bermutu dan berkelanjutan;
•
Masyarakat
mengeluarkan
biaya
ringan
karena
adanya
azas
kebersamaan,
kekeluargaan/kegotong-royongan (subsidi silang); •
Masyarakat terlindungi dan merasa aman dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan utamanya;
•
Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan dengan lebih merata dan dapat menjangkau keluarga miskin;
•
Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan secara komprehensif melalui rintisan model pelayanan dokter keluarga;
•
Meningkatnya
kinerja
dan
profesionalisme
lembaga-lembaga
pelayanan
kesehatan
pemerintah; •
Pembiayaan pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif karena adanya pembayaran praupaya;
•
Lebih meningkatnya peranan dunia usaha dan masyarakat dalam upaya kesehatan.
Kebijakan dan Strategi Pembiayaan Kesehatan di Kabupaten Purbalingga 1. Merubah cara bayar dari out of pocket menjadi pra bayar (masyarakat dan provider) 2. Mendorong kemandirian masyarakat 3. Terjadi Subsidi Silang (Si Sehat dan Mampu membantu Si Sakit dan Kurang Mampu) 4. Pembiayaan kesehatan menjadi lebih efektif dan efisien
Dasar Hukum 1. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 571/MENKES/PER/VII/1993 3. Edaran Dirjen Binkenmas No.328/BM/DJ/BPSM/III/1993 tentang Pengembangan Dana Sehat Berjaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat 4. Kep. Menkes RI No. 326/Menkes/SK/VI/1990 tentang Strategi Pengembangan Program JPKM 5. Kep. Menkes RI No. 595/Menkes/SK/VII/1993 tentang Standar Pelayanan Medis
6. Peraturan Menkes RI No. 572/Menkes/Per/VII/1993 tentang Paket Pemeliharaan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JPKM 7. Kep. Menkes RI No. 378/Menkes/SK/IV/1993 tentang Penanggungjawab Pembina dan Pengembangan JPKM 8. Perda No. 15 Tahun 2003 tentang JPKM 9. Keputusan Bupati No.05 Tahun 2001 tentang Juklak Penyelenggaraan JPKM 10. Keputusan Bupati No.440/40 Tahun 2001 tentang Pembentukan Bapim JPKM 11. Keputusan Bupati Nomor : 40/63 Tahun 2001 tentang Penunjukan Pra Bapel “Sadar Sehat Mandiri” sebagai Bapel JPKM 12. Surat Edaran Bupati Purbalingga No. 460/453 Tanggal 16 Februari Tahun 2001 perihal Kriteria Gakin 13. Keputusan Bupati Purbalingga No : 29 Tahun 2003 tentang Kriteria Gakin
JPKM SEBAGAI SALAH SATU PILAR PENANGGULANGAN KEMISKINAN
20 SEKTOR PEMBANGUNAN LAINNYA
20 SEKTOR PEMBANGUNAN LAINNYA
PROG 2 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. IDT/P3DT
KUKESRA/TAKESRA DANA BERGULIR PINJAMAN LUNAK KREDIT PROGRAM PEGADAIAN
AKSES USAHA
2. PSPPD
BEASISWA 9. P2WKSS GN-OTA DBO PENDIDIKAN
PENDIDIKAN 8. PPK
KK KESEHATAN SANDANG MISKIN` PANGAN
3. P2MPD
RASKIN PROYEK PKP PMT-AS & GIZI KETAHANAN PANGAN
20 SEKTOR PEMBANGUNAN LAINNYA
4. PDMDKE/ PUEP
PAPAN PSPR-GAKIN SARANA SANITASI DASAR
+ DANA PERIMBANGAN DESA 5. KKP
AKSI SOSIAL
6. PER
7. P4K
20 SEKTOR PEMBANGUNAN LAINNYA
2
Tahapan Pengembangan JPKM Di Kabupaten Purbalingga, program JPKM telah berjalan sejak Tahun 2001 yang terbagi ke dalam tiga tahap pelaksanaan yakni: (a) 1 Agustus 2001 – 31 Juli 2002, (b) 1 Agustus 2002 – 31 Juli 2003, (c) 1 Agustus 2003 – 31 Juli 2004. Setelah Tahun 2004 untuk Strata I pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak lagi
mengelola peserta Strata I (diganti dengan askes gakin). Setelah pengelolaannya dilakukan terpisah antara peserta Strata I dengan Strata II dan Strata III, Bapel hanya menangani peserta Strata II dan Strata III. Semula Periode JPKM dimulai Bulan Agustus sampai Juli, namun pada Tahun 2005 dilakukan perubahan tahun periode JPKM. Perubahan itu dilakukan dengan memperpanjang JPKM Tahun 2005 dari Bulan Agustus sampai Bulan Desember. Baru kemudian diawal Tahun 2006 dilakukan pendaftaran lagi untuk peserta JPKM. Adapun tahap-tahap dalam pengembangan program JPKM di Kabupaten Purbalingga adalah: •
TAHUN 2001 – 2005
: SOSIALISASI DAN INISIASI
•
TAHUN 2006 – 2009
: PENGUATAN INSTALASI
•
TAHUN 2010 – 2012
: KEMANTAPAN
•
TAHUN 2012 – dst
: KEMANDIRIAN
Langkah-Langkah Kegiatan JPKM SOSIALISASI JPKM TINGKAT KABUPATEN dengan jumlah peserta 120 orang seKabupaten Purbalingga: (1) Kepala Dinas/Instansi, (2) Pengurus BAPIM JPKM, (3) Camat, (4) Kepala Puskesmas, (5) Ketua Tim Penggerak PKK Tingkat Kabupaten, (6) Ketua Organisasi Profesi Bidang Kesehatan, (7) Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat, (8) Kepala Dinas Kesehatan, (9) Ketua Pra Bapel, (10) Direktur RSUD Purbalingga, (11) Asisten II Administrasi Pembangunan. SOSIALISASI JPKM TINGKAT KECAMATAN; dengan jumlah peserta 594 orang seKabupaten Purbalingga: (1) Kepala Desa/Kelurahan, (2) Unsur Muspika, (3) Ketua Tim Penggerak PKK Tingkat Kecamatan, (4) Tokoh Masyarakat/Tokoh Agama, (5) Kepala Puskesmas, (6) Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan, (7) Bagian Kesra Pemda, (8) KPM Kabupaten Purbalingga, (9) Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, (10) Pra Bapel JPKM, (11) RSUD Purbalingga. TEMU KADER DAN PELATIHAN KADER JPKM; dilaksanakan setiap tahun dan diikuti oleh Ketua Tim Penggerak PKK, 4 orang Kader JPKM Desa dari setiap desa di Kabupaten Purbalingga, dan Koordinator JPKM tingkat puskesmas. PENDAFTARAN PESERTA PEMBUATAN & DISTRIBUSI KARTU EVALUASI & PEMBINAAN PPK
TAHAP PROMOSI PEMBUKAAN PENDAFTARAN TK. KABUPATEN, KEC, DESA, RT SPANDUK, SELEBARAN, LEAFLET, SIARAN KELILING, SIARAN RADIO, RADIO SPOT SENAM & JALAN SEHAT PENDEKATAN KEAGAMAAN DAN PERUSAHAAN
10
TEMU KADER TEMU KADER JPKM DENGAN BUPATI PURBALINGGA PEMBINAAN KADER JAPKM
11
Kepesertaan JPKM Dalam program JPKM, masyarakat adalah komponen terbesar yang menjadi obyek kebijakan dan menentukan keberhasilan program JPKM. Masyarakat yang menjadi peserta JPKM terbagi dalam tiga kategori berdasarkan penghasilannya, yaitu: 1. Strata 1 Keluarga Miskin; bebas biaya dan biasanya anggota Gakin (keluarga miskin). Peserta Strata I bekerja sebagai pekerja serabutan atau petani gurem. Kriteria peserta JPKM Strata I (sekarang Askes Gakin) ada dalam Keputusan Bupati Purbalingga No. 29 Tahun 2003 tentang Kriteria Gakin. 2. Strata II Keluarga Gakin; keluarga yang pernah miskin. Tingkat penghasilan dan kondisi hidupnya diatas keluarga miskin, membayar 50% dari total premi (saat ini Rp. 40.000). Umumnya mereka adalah pekerja informal seperti tukang ojek dan penarik becak. 3. Strata III Keluarga Non Gakin; keluarga non miskin atau keluarga kaya. Mereka yang tergolong mampu atau yang dapat membayar premi penuh yaitu 100% dari total premi (saat ini Rp. 80.000). Umumnya adalah pedagang eceran, menengah, atau besar.
KEPESERTAAN JPKM STRATA I STRATA II STRATA III
: GAKIN : PASCA GAKIN : NON GAKIN • STRATA II
(PASCA SK MENKES NO. 1241 TAHUN 2004)
•STRATA III
13
PENDAFTARAN PESERTA MEKANISME PENDAFTARAN PESERTA
MASYARAKAT
KADER KES. DESA
KOORDINATOR JPKM PUSKESMAS
BAPEL
12
Peserta JPKM terdiri dari keluarga inti yaitu: Ayah, Ibu, dan Anak. Keanggotaan JPKM apabila satu atau lebih anggota keluarga menikah diberi hak menjadi anggota JPKM baru dengan mendaftar pada koordinator JPKM di Puskesmas atau di Kantor Pra Bapel JPKM dan membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang ada. Selain itu juga wajib membawa kartu JPKM orang tuanya yang masih berlaku dan melampirkan fotokopi surat nikah paling lambat 2 minggu setelah pernikahan. Pendaftaran kepesertaan dimulai dari Bulan Agustus sampai Bulan Desember setiap tahunnya. Peserta dapat mendaftar pada Kader Kesehatan di desa setempat atau di puskesmas terdekat.
KRITERIA KELUARGA MISKIN DASAR KEPUTUSAN BUPATI NO. 29/2003 1. Penghasilan belum mencukupi 2.100 kalori per kapita perhari. 2. Karena alasan ekonomi terdapat anggota keluarga yang tidak dapat makan 2 kl sehari. 3. Karena alasan ekonomi terdapat anggota keluarga/yang menderita kurang gizi. 4. Karena alasan ekonomi keluarga tidak menempati tempat tinggal yang layak. 5. Karena alasan ekonomi tidak mampu menjangkau yankes & KB. 6. Karena alasan ekonomi terdapat anak usia sekolah (7-15 th) yg tidak/putus sekolah. 7. Karena alasan ekonomi ada anggota keluarga yang tidak mempunyai sekurang-kurangnya 3 stel pakaian layak.
MEKANISME PENDATAAN GAKIN PENDATAAN OLEH TIM DESA (KADUS, LKMD/BPD, RT, PKK, & KADER KES)
PAPARAN PADA PERTEMUAN DESA
REVISI DATA
PENETAPAN GAKIN DESA
PENETAPAN GAKIN KABUPATEN
PENETAPAN GAKIN KEC 34
KEWAJIBAN PESERTA •
Mematuhi prosedur Pelayanan Program JPKM Kabupaten Purbalingga.
•
Setiap Kali Periksa / Berobat harus membawa Kartu JPKM.
•
Tidak diperkenankan meminjamkan Kartu JPKM kepada orang lain dan bila Kartu JPKM dipinjamkan maka hak sebagai anggota JPKM akan dicabut.
PESERTA ASKES DAN JAMSOSTEK Pemilik Askes dan Jamsostek dapat mendaftar sebagai anggota JPKM. Peserta dapat mempergunakan dua kartu sekaligus dalam berobat di Puskesmas maupun di RSUD Purbalingga.
PELAKU PEREKRUTAN PESERTA JPKM 1. Kader Kesehatan Desa: 1 Desa dibentuk kader per dusun. Jadi 1 dusun 1 kader. Apabila dalam 1dusun lebih dari 1 kader, kebijaksanaannya diserahkan ke koordinator kader desa. 2. Koordinator Tingkat Desa: 1 desa dibentuk 1 Koordinator JPKM tingkat desa atas kebijaksanaan Kepala Puskesmas. 3. Koordinator Tingkat Puskesmas: 1 puskesmas 1 orang koordinator, atas kebijaksanaan Kepala Puskesmas untuk menunjuk salah satu stafnya untuk menjadi koordinator JPKM.
Grafik Perkembangan Kepesertaan JPKM 140,000 123,303
120,000 100,184
100,000 73,494 67,707
57,362
20,000
18,072 12,478
40.299 23,408
21,549
Strata I
24,120 23,809 0
20 01 /2 00 2 20 02 /2 00 3 20 03 /2 00 4 20 04 /2 00 5
0
8,171
28,418
572
47,929
42,533
Strata II
44047 449
28.102
31044
12.197
13003 122
0
0
Strata III
0
20 08
22,707
42,944
20 00 7
40,000
36,879
50,217
20 06
60,000
20 05
80,000
14
Jumlah
Pendanaan Program JPKM Pendanaan program JPKM ini berasal dari peserta melalui premi yang dibayarkan oleh peserta strata II dan strata III, disamping dana dari APBD dan dana kompensasi PKPS-BBM. Namun saat ini dana dari pusat yang merupakan kompensasi PKPS-BBM tidak lagi menjadi salah satu sumber dana dalam pengelolaan JPKM. Hal ini dikarenakan pengelolaan JPKM tidak lagi mencakup peserta strata I yang merupakan keluarga miskin. Program JPKM dirancang dengan menggunakan skema yang melibatkan lebih dari satu aktor, yakni tidak hanya pemerintah tetapi juga pihak swasta dan masyarakat. Pihak swasta bekerjasama dan menjalin interaksi kemitraan dengan pemerintah untuk mewujudkan programprogram pembangunan seperti program JPKM. Masyarakat juga ikut berpartisipasi melalui pembayaran premi secara pra-upaya yang terbuka untuk semua kalangan tidak hanya keluarga miskin tetapi juga keluarga non miskin. Adapun besarnya premi ditentukan berdasarkan strata masing-masing. Lain halnya dengan pembayaran kapitasi ke RSUD yang nilainya dihitung berdasarkan jumlah seluruh peserta JPKM dikalikan kapitasi per tahun per KK. Hal ini dikarenakan setiap peserta memiliki kemungkinan yang sama untuk sakit dan kemudian dirujuk ke RSUD setelah puskesmas setempat tidak mampu menanganinya.
Pembagian hasil yang diterapkan adalah dengan sistem bagi hasil melalui berbagai sumber dana yang dimiliki termasuk premi yang dibayarkan oleh peserta (Strata II dan III). Bapel JPKM membayar kepada PPK secara kapitasi (dimuka) yang digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta JPKM.
DANA JPKM 2006
1,546,000
2005
2,099,840
1,372,215
2004
3,348,918
2,500,000
2003
1,560,449
2,080,000
2002
1,268,000
2001
1,263,000
717,380
2,233,725
2,583,000
697,801
1,430,320
645,420
2,264,666
430,845 Ribuan Rp
0
1,000,000
2,000,000
3,000,000
APBD KAB
4,000,000
APBN
5,000,000
6,000,000
7,000,000
15
DANA MASY
PREMI JPKM 2001 / 2002
2002 / 2003
2003 / 2004
2004 / 2005
2005 (5 Bl)
2006
STRA TA
Premi
Subsi di
Premi
Subsi di
Premi
Subsi di
Premi
Subsi di
Premi
Subsi di
Premi
Subsi di
I
-
25.000
-
30.000
-
40.000
-
50.000
-
-
-
-
II
10.000
15.000
15.000
15.000
20.000
20.000
25.000
25.000
10.000
33.750
40.000
40.000
III
25.000
-
30.000
-
40.000
-
50.000
-
20.000
-
80.000
-
16
Kapitasi JPKM Pembayaran dari Bapel ke PPK dilakukan dengan sistem kapitasi yaitu sistem pembayaran di muka kepada PPK yang memberikan kesempatan kepada PPK untuk merencanakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan, yang berorientasi kepada upaya peningkatan kesehatan, dan pencegahan penyakit serta untuk membudayakan hidup sehat. Sistem kapitasi ini terutama untuk mengendalikan biaya. Adapun pembagian kapitasi dari Bapel ke PPK baik puskesmas sampai RSUD tergambar dalam tabel berikut ini.
KAPITASI JPKM ALOKASI PREMI
2001 /2002
2002 /2003
2003 /2004
2004 /2005
2005 (5 Bl)
2006
POLINDES/PKD, PUSTU & PUSK
9.500
10.000
11.750
20.000
13.000
30.500
RAWAT INAP PUSKESMAS
1.500
1.000
1.500
2.000
1.000
3.500
11.500
14.000
20.750
21.500
15.000
39.000
3.000
5.000
6.000
6.500
4.750
7.000
25.000
30.000
40.000
50.000
33.750
80.000
RSUD BAPEL JPKM JUMLAH
17
Dari tabel diatas terlihat bahwa jumlah premi yang harus dibayarkan oleh peserta JPKM meningkat tiap tahunnya. Hal itu menunjukkan adanya kemandirian yang baik dari badan pelaksana JPKM karena jumlah premi yang dibayarkan sudah mendekati real cost yang dikeluarkan oleh bapel untuk pelayanan kesehatan. Data diatas menjelaskan bahwa jumlah premi yang dibayarkan tidak dapat menjangkau semua beban biaya pengobatan peserta JPKM. Adapun dana yang diserahkan kepada PPK Puskesmas ataupun Puskesmas Pembantu tergantung pada jumlah peserta yang menunjuknya menjadi PPK pada saat mendaftar Program JPKM. Penerimaan kapitasi ditentukan oleh besarnya peserta yang merujuk puskesmas tersebut sebagai pemberi pelayanan kesehatan.
ILUSTRASI GRAFIK SUBSIDI DALAM PELAKSANAAN JPKM
5
4
Id e a
l
Realita
3
2
1
01
02
03
04
05
06
07
08
09
11
10
12
Tahun Ke-
18
ILUSTRASI GRAFIK PREMI DALAM PELAKSANAAN JPKM
4
Ideal 3
Realita 2
1
01
02
03
04
05
06
07
08
Tahun Ke-
09
10
11
12
13
19
ILUSTRASI GRAFIK PERPADUAN SUBSIDI DAN PREMI PELAKSANAAN JPKM
5
Premi
4
3
2
Subsidi
1
01
02
03
05
04
06
07
08
09
10
Tahun Ke-
11
12
20
Mekanisme Pelayanan Kesehatan JPKM
MEKANISME YANKES JPKM POLINDES/ PKD
PESERTA
PUSTU
RSUD
PUSKESMAS
KETERANGAN : : KASUS GAWAT DARURAT : RUJUKAN : PELAYANAN LANGSUNG 21
PAKET PELAYANAN KESEHATAN I. PELAYANAN KESEHATAN RAJAL & RANAP DI PPK I : A. RAJAL 1) PKD/POLINDES/PUSTU 2) PUSKESMAS a. BP b. TINDAKAN : o
GIGI, TINDAKAN KECIL
o
PERSALINAN STRATA I DIJAMIN PENUH, STRATA II DIJAMIN RP.80.000 & STRATA III RP. 90.000
c. PEMERIKSAAN LAB RP. 10.000 B. RANAP : STRATA II RP.125.000, STRATA III RP. 150.000 MAX PERAWATAN 3 HARI II. PELAYANAN RAJAL & RANAP di RSUD : A. RAWAT JALAN 1. POLIKLINIK SPESIALIS 2. OBAT STANDAR JPKM 3. PEMERIKSAAN PENUNJANG : LAB : Rp.15.000, USG Rp. 30.000, RONTGEN Rp. 25.000, DAN EKG 4. TINDAKAN SEDERHANA & FISIOTERAPI 5. KONSULTASI GIZI B. RANAP KELAS III MAX 30 HR, BANTUAN OPERASI MAX. RP. 500.000 III. Pelayanan yang tidak dijamin oleh JPKM Kabupaten Purbalingga adalah : •
Haemodialisa dan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisa (CAPD).
•
Kacamata dan Contact Lens.
•
Prothesa Gigi.
•
Penyakit AIDS, Cacat Bawaan, Orthodontie, Gangguan Jiwa.
•
Pelayanan Ambulans, pengurusan jenasah, dan pembuatan visum.
•
Pelayanan kursi roda, tongkat penyangga, korset, dan alat-alat bantu lainnya.
•
Tranfusi darah.
•
Penanganan/pengobatan kasus infertilitas/mandul.
•
Pelayanan yang bertujuan kosmetika.
•
General Check Up.
•
Pengobatan diluar wilayah Kabupaten Purbalingga.
PEMBERI PELAYANAN KESEHATAN POLINDES/PKD PUSTU PUSKESMAS PUSK. RAWAT INAP RSUD
35
Pengelolaan Program JPKM Awalnya program JPKM didanai oleh anggaran dari pemerintah pusat di bidang kesehatan. Kemudian oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga dana tersebut dijadikan modal awal bagi penyelenggaraan program JPKM. Setelah program tersebut mulai berjalan, Pemerintah Kabupaten Purbalingga kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada PT. Sadar Sehat Mandiri. PT. Sadar Sehat Mandiri merupakan pengelola program yang disebut dengan bapel (badan penyelenggara). Bapel ini dibentuk dengan SK. Bupati No. 40/63/2003 yang berlaku efektif pada 7 April 2003. Namun, skema ini telah berjalan sejak tahun fiskal 2001/2002 karena Pemerintah Kabupaten Purbalingga menganggap penting untuk menjalankan skema ini terlebih dahulu, kemudian mengurus aturan pelaksanaannya di kemudian hari. Pemerintah Kabupaten Purbalingga memilih membentuk BAPEL yang terpisah untuk mengelola dana JPKM-nya karena menginginkan pengelolaan skema yang lebih independen dan tidak bergantung pada Dinas Kesehatan. Sehingga program ini dapat terlaksana dengan lebih efisien dan bertanggungjawab. BAPEL JPKM sendiri melaksanakan tiga fungsi, yaitu fungsi kepesertaan, fungsi keuangan, dan fungsi pemeliharaan kesehatan. Struktur BAPEL JPKM terdiri atas: a. BAPIM JPKM; yang merupakan badan pemerintah sebagai pelaksana fungsi pemerintah yang meliputi kegiatan untuk mengembangkan, membina, dan mendorong JPKM. Di
Kabupaten Purbalingga yang bertindak sebagai BAPIM terdiri atas Bupati, Sekretaris Daerah, BAPPEDA, dan Dinas Kesehatan. Dalam skema JPKM, BAPIM memegang posisi yang tertinggi yang menunjukkan bahwa BAPIM merupakan “otak” dari program JPKM. BAPIM sendiri secara struktural merupakan koordinator dari program JPKM yang mengarahkan BAPEL, PPK, maupun masyarakat untuk mengembangkan program JPKM. Adapun yang menjadi bagian dari BAPIM adalah unsur-unsur pemerintah Kabupaten Purbalingga yang sebagiannya merupakan pencetus dan inisiator program JPKM. BAPIM inilah yang menjalankan fungsi pemerintah yaitu pengembangan, pembinaan, dan mendorong penyelenggaraan program JPKM. Pembentukan BAPIM JPKM secara resmi dilakukan berdasarkan Keputusan Bupati Purbalingga No.44/167 Tahun 2003. Adapun tugas dari BAPIM yaitu: (1) Membina, mengembangkan, dan mendorong JPKM secara efektif dan (2) Merumuskan dan memberikan masukan kepada Bupati dalam rangka pengaturan, pengembangan, dan pembinaan serta pengendalian penyelenggaraan JPKM sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BAPIM memiliki struktur yang terdiri dari berbagai unsur pemerintahan yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan di bidang kesehatan. Dengan melibatkan unsur lintas sektoral dan lintas program ini diharapkan JPKM dapat berjalan dengan baik dan terjamin keberlangsungannya.
STRUKTUR BAPIM JPKM PENASEHAT
: BUPATI PURBALINGGA WK. BUPATI STAF AHLI BUPATI BID. PEMBERDAYAAN MASY
KETUA I KETUA II WK. KETUA
: ASISTEN ADM. PEMBANGUNAN : KEPALA DKK : KASUBDIN KP-4 DKK
SEKRETARIS I SEKRETARIS II
: KASI KPKL DKK : KASUBAG SOS SETDA
ANGGOTA
: KEPALA BAPPEDA KABAG KEUANGAN SETDA KABAG KESRA SETDA LINTAS PROGRAM DKK
37
Dari struktur tersebut secara tidak langsung tergambarkan bahwa jabatan seseorang dalam BAPIM ini bersifat kelembagaan dan bukan perseorangan. Artinya jabatan dalam BAPIM disesuaikan dengan jabatan yang melekat pada diri seseorang di lembaganya. b. BAPEL JPKM; yaitu badan yang mengelola dan melaksanakan program JPKM. Adapun yang menjadi BAPEL JPKM adalah PT. Sadar Sehat Mandiri berdasarkan Keputusan Bupati Purbalingga Nomor 40/63 Tahun 2003 Tentang Penunjukkan Pra Bapel “Sadar Sehat Mandiri” sebagai Bapel JPKM. Pembentukan BAPEL ini dilakukan agar skema JPKM dapat berjalan walaupun sampai saat ini statusnya masih Pra Bapel. Penunjukkan Pra Bapel “Sadar Sehat Mandiri” didasarkan pada eksistensinya dalam JPKM JPS-BK yang waktu itu ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Pengelolaan JPKM ini bersifat terpadu karena ikut melibatkan swasta dan masyarakat. Pra Bapel memiliki tugas-tugas yang sama dengan Bapel yaitu: (1) melakukan pembayaran kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anggota; (2) melakukan pemantauan kepada peserta JPKM; (3) menyelenggarakan administrasi pra badan penyelenggara; (4) membuat laporan hasil kegiatan Pra Bapel kepada Bupati Purbalingga. Pra Bapel memberikan pertanggungjawaban keuangan dengan membuat laporan bulanan keuangan dan pelayanan kesehatan. Pra Bapel merupakan pihak non pemerintah dan anggota merupakan non PNS. c. PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan); yakni lembaga yang dikontrak oleh bapel untuk melayani seluruh peserta JPKM. Terdiri dari puskesmas, puskesmas pembantu, RSUD, polindes, dan bidan di desa. Dalam rangka memperlancar dan memperpendek birokrasi, maka Dinas Kesehatan membentuk petugas sebagai koordinator JPKM di wilayah puskesmas. Adapun stratifikasi penanganan pasien peserta JPKM disesuaikan dengan kategori sebagai berikut: 1. Pemberi Pelayanan Kesehatan Kelas I (PPK I) yaitu pemberi pelayanan pertama kali kepada pasien peserta JPKM yang terdiri atas puskesmas dan bidan desa. Semua anggota JPKM diharapkan untuk mengupayakan pelayanan kesehatan atau penanganan dari puskesmas terlebih dahulu. Jika ternyata pasien peserta JPKM tidak dapat ditangani di puskesmas maupun oleh bidan desa, pasien tersebut akan dirujuk untuk mendapatkan penanganan lebih pada PPK tingkatan diatasnya. 2. Pemberi Pelayanan Kesehatan II (PPK II) yaitu setelah pasien peserta JPKM mendapatkan penanganan dan pelayanan kesehatan dari PPK I kemudian ternyata tidak berdampak positif bagi tercapainya peningkatan kesehatan. Maka pasien peserta JPKM yang telah mendapatkan
rujukan dari puskesmas akan ditangani oleh PPK II yakni Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Purbalingga. Tidak semua pelayanan mendapatkan jaminan dari JPKM, hanya pelayanan dengan jenis tertentu saja yang akan mendapatkan jaminan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada. 3. Pemberi Pelayanan Kesehatan III (PPK III) yang merupakan penyedia layanan kesehatan yang paling tinggi. Namun hanya pasien Strata I (Keluarga Miskin) yang dapat dirujuk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari PPK III. Adapun yang termasuk dalam PPK III ini adalah Rumah Sakit Umum Propinsi yang terdiri dari RSUD dr. Karyadi di Semarang dan RSUD Margono di Purwokerto. d. Koordinator
JPKM
di
Puskesmas;
bertugas
membantu
Bapel
JPKM
untuk
mengkoordinasikan kegiatan di wilayah puskesmas utamanya adalah menerima formulir pendaftaran dari kader dan selanjutnya menyerahkan kartu JPKM kepada peserta gakin dan peserta yang mendaftar sebagai peserta paska gakin dan non gakin. e. Kader JPKM; merupakan perpanjangan tangan dari koordinator JPKM. Mereka diambil dari tiap-tiap Rukun Tetangga (RT) dan memiliki peranan yang sangat penting. Peran Kader JPKM adalah melakukan pendaftaran peserta dan sebelumnya melakukan sosialisasi tentang program tersebut. Jadi kader inilah yang berhubungan langsung dengan kepesertaan JPKM.
PRA BAPEL JPKM KETUA Dr. Sutanto SEKRETARIS Kurnia N, AMd
BAG. YANKES BAG.PEMASARAN BAG.KEUANGAN Dr. Sutanto Soewarso Sri Supanti, SE
BAG. SIM Bambang M Windarti
36
Keterlibatan swasta dalam skema pengelolaan program JPKM dapat menimbulkan masalah jika tidak diikuti dengan tindakan-tindakan proaktif yang dapat menjamin bahwa semua aktivitas mengarah kepada adanya kesamaan baik itu persepsi maupun aktivitasnya. Hal yang memegang peranan penting adalah membentuk adanya keselarasan pada pelaksanaan program JPKM ini dengan koordinasi. Koordinasi merupakan masalah yang cukup krusial yang ikut menentukan keberhasilan program JPKM dan dapat juga menjadi “bom waktu” penghambat pelaksanaan program. Oleh karena itu koordinasi menjadi salah satu kunci pada pelaksanaan program JPKM. Berdasarkan penelitian dari SMERU pada Tahun 2005, Kabupaten Purbalingga dinyatakan berhasil dalam memberikan akses jaminan kesehatan yang memadai bagi masyarakat khususnya kepada keluarga miskin. Namun dari penelitian tersebut juga terindikasi adanya kurang koordinasi dari aktor-aktor yang terlibat yaitu Bapel, Bapim, dan PPK. Koordinasi Program JPKM dilakukan secara insidentil dan intensitasnya pun sedikit. Dalam satu tahun anggaran forum yang mempertemukan semua pihak tersebut hanya terjadi di awal tahun anggaran. Dan koordinasi formal tersebut pun hanya sebatas pada penentuan nilai kapitasi dan premi saja serta kurang memperhatikan keberlangsungan program. Namun, semua pihak mengharapkan Program JPKM ini tetap eksis dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya kerjasama, koordinasi, dan sinergi antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Sebuah guidelines yang mengatur hubungan seluruh aktor dalam Program JPKM di Kabupaten Purbalingga kiranya dapat menjadi salah satu solusi.
KENDALA DALAM PELAKSANAAN JPKM •
Konsep dasar JPKM Semesta belum dimengerti oleh seluruh masyarakat;
•
Masyarakat masih ragu-ragu atau belum yakin akan kemanfaatan JPKM;
•
Pengertian keluarga pada masyarakat masih berdasarkan Kartu Keluarga;
•
Masyarakat menghendaki pelayanan gratis pada semua fasilitas pelayanan kesehatan;
•
Masih adanya anggapan dari petugas pelayanan kesehatan seperti dokter dan bidan bahwa JPKM akan mengurangi kunjungan pasien di praktek swasta.
•
Ada kesan dari masyarakat pelayanan JPKM dibedakan;
•
Peserta menghendaki seluruh pelayanan ditanggung oleh JPKM;
•
Keluhan dari masyarakat premi ada kenaikan setiap tahun;
•
Premi belum real cost sehingga kapitasi yang diterima oleh PPK belum mencukupi pelayanan kesehatan.
SOLUSI •
Sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat utamanya melalui kader-kader kesehatan di tingkat pedesaan.
•
Menjalin kemitraan dan menggalang dukungan dari tokoh agama, tokoh masyarakat, lembaga keagamaan dan pendidikan.
•
Pengawasan, pengendalian, dan pembinaan mutu pelayanan kesehatan/JPKM.
•
Peningkatan kualitas dan kesejahteraan SDM pelayan kesehatan.
•
Peningkatan fasilitas dan peralatan lembaga-lembaga pelayanan kesehatan.
•
Penyediaan alokasi dana kesehatan yang memadai.
•
Peningkatan kinerja pemerintah daerah dalam ranga perwujudan Good Governance.
PENUTUP Program JPKM menjadi salah satu upaya guna mewujudkan Purbalingga Sehat 2010. Berkaitan dengan hal tersebut dalam waktu dekat (2009) program JPKM akan diwajibkan sehingga cakupan menyeluruh akan tercapai di Kabupaten Purbalingga. Hal ini sebenarnya sudah tertuang dalam PerMenKes No.40 Tahun 2004 dimana setiap warga negara wajib memberikan perlindungan bagi kesehatannya. Namun setiap kabupaten harus berupaya menyiasati agar kewajiban tersebut tidak memberatkan masyarakat. Selain itu dimasa yang akan datang juga akan dibentuk dokter keluarga (misalnya 1 dokter 100 KK). Konsep dokter keluarga ini sudah diawali oleh ASKES dengan sistem kapitasi dimana setiap dokter harus dapat mengalokasikan dana yang diperoleh untuk pemeliharaan kesehatan. Dalam dokter keluarga terkait dengan sistem kapitasi yang digunakan dokter tidak akan sembarangan memberikan obat dan obat yang diberikan pun hanya obat yang benar-benar dibutuhkan. Selain itu dokter juga mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakat dalam lingkup kerjanya tetap sehat melalui penyuluhan dari rumah ke rumah tentang pola makan yang seimbang, pentingnya menjaga kebersihan MCK, membuang sampah pada tempatnya, dan lainnya. Dalam jangka panjang konsep dokter keluarga akan mendorong terwujudnya Purbalingga Sehat 2010 melalui Program JPKM. PT. Sadar Sehat Mandiri sebagai badan pelaksana atau penyelenggara perlu melakukan pembenahan. Sesuai dengan badan hukum yang dimilikinya yakni sebagai perseroan terbatas, Sadar Sehat Mandiri selayaknya berperan sebagai pihak swasta yang kreatif, efisien, dan efektif. Jika melihat dari asal pembentukannya yang dipelopori oleh Dinas Kesehatan (pemerintah), maka bentuk sebagai pihak swasta terkesan dipaksakan.
Keterlibatan swasta dalam skema pengelolaan program JPKM dapat menimbulkan masalah jika tidak diikuti dengan tindakan-tindakan proaktif yang dapat menjamin bahwa semua aktivitas mengarah kepada adanya kesamaan baik itu persepsi maupun aktivitasnya. Hal yang memegang peranan penting adalah membentuk adanya keselarasan pada pelaksanaan program JPKM ini dengan koordinasi. Koordinasi merupakan masalah yang cukup krusial yang ikut menentukan keberhasilan program JPKM dan dapat juga menjadi “bom waktu” penghambat pelaksanaan program. Oleh karena itu koordinasi menjadi salah satu kunci pada pelaksanaan program JPKM. Berdasarkan penelitian dari SMERU pada Tahun 2005, Kabupaten Purbalingga dinyatakan berhasil dalam memberikan akses jaminan kesehatan yang memadai bagi masyarakat khususnya kepada keluarga miskin. Namun dari penelitian tersebut juga terindikasi adanya kurang koordinasi dari aktor-aktor yang terlibat yaitu Bapel, Bapim, dan PPK. Hal ini dilihat dari ketidakjelasan siapa yang berwewenang untuk memantau penggunaan dan keuangan JPKM khususnya laporan yang diserahkan oleh PPK. Bapel dan Bapim tidak memiliki kesepakatan siapakah yang seharusnya melakukan verifikasi laporan tersebut karena Bapim menyatakan bahwa Bapel-lah yang melakukan verifikasi dan sebaliknya. Selain itu minimnya intensitas pertemuan formal antara Bapim, PPK, dan Pra Bapel untuk membahas halhal yang berhubungan dengan JPKM juga menunjukkan indikasi kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan program JPKM. Koordinasi Program JPKM dilakukan secara insidentil dan intensitasnya pun sedikit. Dalam satu tahun anggaran forum yang mempertemukan semua pihak tersebut hanya terjadi di awal tahun anggaran. Dan koordinasi formal tersebut pun hanya sebatas pada penentuan nilai kapitasi dan premi saja serta kurang memperhatikan keberlangsungan program. Namun, semua pihak mengharapkan Program JPKM ini tetap eksis dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya kerjasama, koordinasi, dan sinergi antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Sebuah guidelines yang mengatur hubungan seluruh aktor dalam Program JPKM di Kabupaten Purbalingga kiranya dapat menjadi salah satu solusi.
BAB III KOTA YOGYAKARTA 3.1. PENDAHULUAN Kesehatan adalah hak dan investasi. Semua warga berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin, untuk itu perlu suatu sistem yang mengatur pelaksanaan bagi upaya pemenuhan hak warga negara untuk tetap hidup sehat dengan mengutamakan pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat termasuk masyarakat miskin. Pemerintah Kota Yogyakarta telah mengupayakan berbagai macam jaminan kesehatan yang dilaksanakan sejak Tahun 2004 hingga sekarang dan setiap tahunnya berkembang sesuai kebutuhan dan prioritasnya. Tahun 2010 Pemerintah Kota Yogyakarta berupaya untuk mencapai tingkat kepesertaan semesta yaitu 80% penduduk Kota Yogyakarta telah menjaminkan kesehatannya, baik secara individu maupun secara kelompok. Untuk mencapai kepesertaan 80%, masyarakat Kota Yogyakarta diharapkan yang tidak tergolong MISKIN untuk bisa berperan serta aktif ikut dalam Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat dengan menyisihkan biaya untuk kesehatannya. Sedang masyarakat Miskin menjadi tanggung jawab pemerintah. JAMKESDA atau Jaminan Kesehatan Daerah merupakan sebuah istilah yang sering diucapkan dan didengarkan warga Kota Jogja. Melalui program Jamkesda ini semua warga Kota Jogja berhak mendapatkan pelayanan di bidang kesehatan dan biayanya ditanggung oleh Pemerintah. Selama ini program Jamkesda mendapatkan respon yang sangat baik dari masyarakat karena mampu memberikan jaminan kepada masyarakat yang kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah atau swasta dan puskesmas. Selain itu, program Jamkesda juga mampu menutup kekurangan yang belum diakomodir Askeskin dari pemerintah pusat. Respon yang sangat baik dari masyarakat terhadap program JAMKESDA ini tidak terlepas dari gencarnya sosialisasi yang dilakukan Unit Pelaksana Teknis Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (UPT-PJKD) Kota Yogyakarta. Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Daerah (JamKesDa) ini secara teknis diatur melalui Peraturan Walikota Yogyakarta No. 66 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah Bagi Masyarakat Kota Yogyakarta. Perwal ini mengatur aspek-aspek penyelenggaraan bantuan pembiayaan kesehatan yang ditujukan kepada: (1) Masyarakat Miskin; (2) Kader Kesehatan; (3) Pengurus RT/RW/LPMK/PKK RW; (4) PTT/GTT di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta; (5) Kelompok Khusus; dengan biaya yang berasal dari APBD Kota Yogyakarta.
A. Sejarah Pembentukan Munculnya PP 38 Tahun 2007 mendorong berbagai daerah saat ini untuk mengembangkan sistem jaminan kesehatannya sendiri. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan contohnya. Sistem jaminan kesehatan di daerah ini dimulai dengan menjamin masyarakat miskin. Walaupun secara nasional pemerintah pusat sudah menjamin masyarakat miskin lewat skema Askeskin, namun di beberapa daerah mereka juga dijamin lewat mekanisme APBD melalui tambahan penjaminan, atau daerah menjamin masyarakat miskin “lain” yaitu mereka yang tidak terdaftar sebagai peserta Askeskin karena berbagai alasan. Menarik untuk dicermati bahwa pembentukan jaminan kesehatan daerah ini juga dipicu oleh semacam ”ketidakpuasan” daerah sistem jaminan nasional. Dengan adanya Jamkesda atau Jamkessosda di beberapa daerah, terdapat harapan baru bahwa pengelolaan penjaminan akan lebih baik dari yang saat ini sudah berjalan. Seperti diketahui berbagai masalah saat ini mengemuka dalam sistem penjaminan kesehatan masayarakat miskin oleh pemerintah. Yang paling menonjol adalah masalah pendataan penduduk miskin, pembayaran terlambat ke rumah sakit yang dikontrak serta adanya kecenderungan pelayanan berlebihan oleh rumah sakit. Sejarah pengembangan Jamkessos (Jaminan Kesehatan Sosial) di Propinsi DIY dapat dirunut sejak Tahun 1999 yaitu ketika terdapat program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat – Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPKM-JPSBK) yang disponsori oleh Departemen Kesehatan sebagai bagian dari penanggulangan krisis moneter waktu itu. Pengembangannya dimulai dengan dibentuknya Pra Badan Penyelenggara (Pra Bapel) di tingkat kabupaten kota berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah JPKM. Selanjutnya pada tahun 2000, Propinsi DIY mendapatkan dana Provincial Health Project (PHP) I dari Bank Dunia yang salah satu programnya adalah REFORMASI PEMBIAYAAN KESEHATAN untuk Usaha Kesehatan Perorangan (UKP). Dalam dokumen rekomendasi Reformasi Pembiayaan Kesehatan ini disebutkan bahwa reformasi akan dapat dicapai bila pembiayaan kesehatan menerapkan Prinsip Asuransi/Jaminan Kesehatan. Pengembangan konsep reformasi pembiayaan kesehatan ini dimulai dengan berbagai workshop mengenai asuransi dan jaminan kesehatan di masing-masing Kabupaten dan Kota Yogyakarta. Berbagai diskusi dan workshop tersebut akhirnya memutuskan bahwa akan dibentuk Badan Penyelenggara (BAPEL) yang akan berada di tingkat Propinsi. Hal ini didasari kenyataan bahwa DIY adalah adalah propinsi yang kecil dengan mobilitas antar Kabupaten dan Kota yang tinggi. Sebagai tindaklanjutnya, pada Tahun 2003 dikeluarkan SK Gubernur No. 74 Tahun 2003 mengenai pembentukan Bapel Jamkessos Propinsi DIY. Bapel ini kemudian mendapatkan sumber dana dari pemerintah pusat berdasarkan
Kepmenkes: 781/Menkes/2003 dan Kepmenkes: 713/Menkes/2004 yang menentapkan DIY sebagai daerah ujicoba jaminan pemeliharaan kesehatan untuk keluarga miskin di tingkat Propinsi. Namun demikian, dengan terbitnya SK Menkes No. 1241 Bulan Oktober 2004 mengenai Penunjukan PT Askes untuk mengelola Jaminan Kesehatan Keluarga Miskin mulai Tanggal 1 Januari 2005 (kemudian dikenal sebagai Program Askeskin), Bapel Jamkessos DIY kehilangan sumber dana dari pemerintah pusat. Untuk itu, diputuskan Bapel Jamkessos akan menjamin masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu yang tidak dijamin atau tidak tercatat dalam program Askeskin. Yang masuk dalam kategori ini adalah tuna wisma, penghuni panti sosial, penghuni panti asuhan, anak gelandangan, anak terlantar, penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) yang tidak mampu. program kemudian diperluas dengan menjamin penderita demam berdarah dengue, korban kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis gender, serta penanganan gizi buruk.
B. Dasar Hukum •
UU 23/1992 Tentang Kesehatan
•
UU 32/2004 Tentang Pemerintah Daerah
•
UU 40/2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)
•
Keputusan Mahkamah Konstitusi Tentang SJSN
•
KEP MENKES Tentang Sistem Kesehatan Nasional
•
UU No. 40/2004 Tentang SJSN Hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan Propinsi berpeluang untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial sebagai bagian dari SJSN (termasuk membentuk BPJSD/Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah).
•
UU No.32/2004 Tentang Pemerintah Daerah Pasal 22h dan Pasal 167, yang menyatakan propinsi wajib mengembangkan sistem jaminan sosial. •
SJSN = SJS Tingkat PUSAT + SJS Tingkat DAERAH
•
PP No. 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan PNS, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan, beserta keluarganya.
•
PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
•
PP No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS.
•
Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 1 Tahun 1992 tentang Yogyakarta Berhati Nyaman.
•
Perda Kota Yogyakarta No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan.
•
Peraturan Walikota Yogyakarta No. 203 Tahun 2005, Tertanggal 30 Desember 2005 tentang Unit Pelaksana Teknis Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (UPT PJKD ) pada Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
C. Tujuan •
Terlindunginya masyarakat dalam sistem jaminan kesehatan di daerah.
•
Mengimplementasikan dan mengembangkan SJS Bidang Kesehatan di daerah.
•
Mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan perorangan yang bersumber dari masyarakat dan subsidi pemerintah.
D. Strategi •
Menyiapkan Draft Perda Sistem Kesehatan Daerah yang didalamnya memuat sistem pelayanan kesehatan dan subsistem pembiayaan kesehatan.
•
Pelaksanaan yang berbasis regulasi yaitu dalam sistem pembiayaan kesehatan dicantumkan jaminan sosial kesehatan sebagai model, sekaligus sebagai amanat UU 40/2004 dan UU 32/2002 yang wajib dikembangkan di daerah.
•
Membangun networking dengan daerah lain untuk membangun sistem kesehatan daerah, termasuk sistem jaminan sosial kesehatan daerah.
E. Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan Kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan sumberdaya keuangan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya (SKN). 3 Unsur Pokok dalam Pembiayaan Kesehatan Penggalian dana yang berasal dari: –
Pemerintah Pusat
–
Pemerintah Daerah
–
Masyarakat dengan berbagai alternative pembiayaan
Pengalokasian Dana: untuk UKM (Usaha Kesehatan Masyarakat) & UKP (Usaha Kesehatan Perorangan). –
Dana pemerintah diarahkan untuk UKM & UKP GAKIN
–
Dana masyarakat diarahkan untuk UKP
Penggunaan Dana –
Dana masyarakat digunakan untuk UKP dengan model jaminan kesehatan daerah.
Awal 2006 DI DINAS KESEHATAN KOTA
JULI 2006 PINDAH DI KOMPLEK DINAS PERIJINAN BALAI KOTA TIMOHO
Th 2008 ? MEI 2006 MASUK KOMPLEK BALAI KOTA
JAMKESDA / kUs /2008
2
E. Peraturan Walikota Yogyakarta No. 203 Tahun 2005 Tentang UPT PJKD •
Konsep JPKM: adalah suatu cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan bukan hanya sekedar variasi dari model pelayanan kesehatan, karena dalam setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dibutuhkan pengaturan sumber daya kesehatan, yang dalam konsep kesehatan terdapat sub sistem pembiayaan kesehatan .
•
Reformasi Kesehatan Strategi Baru: Mengacu Visi & Misi Pembangunan kesehatan ditetapkan dengan 4 pilar strategis: Pembangunan Berwawasan Kesehatan, Profesionalisme, Jaminan Pemeliharaan kesehatan Masyarakat ( JPKM), dan Desentralisasi.
•
Tujuan Penyelenggaraan UPT PJKD: Untuk memelihara kesehatan peserta/masyarakat tidak sekedar menyembuhkan dan memulihkan kesehatan peserta saja melainkan dituntut untuk aktif berupaya meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah peserta agar tidak jatuh sakit.
•
Kedudukan, Fungsi, & Tugas UPT PJKD adalah: unit pelaksana teknis untuk menunjang operasional Dinas Kesehatan dalam bidang pelayanan asuransi kesehatan masyarakat dan pegawai daerah. UPT PJKD: dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada KEPALA DINAS. FUNGSI: pelaksanaan kegiatan operasional penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat.
•
MODEL JPKM Kota Yogyakarta: KMS-Kartu Menuju Sejahtera Fungsi utama KMS adalah sebagai identitas bahwa keluarga dan anggota yang tertulis
didalamnya terkategorikan miskin di wilayah Kota Yogyakarta. KMS disamping untuk layanan jaminan kesehatan juga untuk layanan jaminan pendidikan. Namun tidak semua penduduk miskin yang berdomisili di wilayah Kota Yogyakarta masuk dalam data keluarga miskin. Pemegang KMS hanya dibatasi bagi keluarga miskin yang ber-KTP Kota Yogyakarta dan berdomisili di wilayah Kota Yogyakarta. Sedangkan penduduk miskin migran yang masih ber-KTP wilayah asal, tidak masuk dalam data keluarga miskin yang diberi KMS. Bahkan dari hasil pendataan kelurga miskin jumlah keluarga miskin ini jauh diatas angka (RTM) Rumah Tangga Miskin versi BPS, meskipun sudah dibatasi kepada keluarga miskin berdomisili dan secara administratif ber-KTP wilayah Kota Yogyakarta. Jumlah penduduk miskin Kota Yogyakarta jauh diatas kuota penduduk miskin yang dirasiokan akan dibackup program Askeskin oleh pemerintah pusat. Kasi Peningkatan Potensi Sumberdaya Kesejahteraan Sosial Tri Hastono menyatakan, Kuota Askeskin bagi penduduk Kota Yogyakarta hanya diplafon sebanyak 68.456 jiwa, padahal jumlah penduduk miskin sebanyak 89.818 jiwa. Selisih jumlah penduduk yang tidak tercatat sebagai peserta Askeskin sebanyak 21.362 jiwa akan dibackup oleh Bapel Jamkesos Prop. DIY dan Jamkesda. Sedangkan kuota Jamkesda dari Dana APBD Kota Yogyakarta diberikan untuk melayani 46.000 jiwa. Sehingga bisa dipastikan semua penduduk miskin Kota Yogyakarta tidak mungkin tidak tercover dari aspek biaya. Ada surplus layanan dari Askeskin, Jamkesos, dan Jamkesda. Semua penduduk miskin Kota Yogyakarta akan dibagi untuk mendapatkan layanan jaminan kesehatan tersebut, sebagian mendapatkan layanan dari Askeskin, sebagian dari Jamkesos dan lainnya dari Jamkesda. Pemerintah Kota Yogyakarta juga mempunyai kebijakan khusus bagi Masyarakat yang rentan miskin. Yaitu mereka yang tidak terdata dalam kelurga miskin dan tidak memili KMS, namun ketika memerlukan perawatan di Rumah Sakit biayanya diluar kemampuan yang
bersangkutan. Bagaimana pemecahannya? Prinsipnya untuk bantuan pembiayaan pemerintah kota tidak akan mematikan kemampuan sosial ekonomi seseorang. Tapi menghargai bahwa mereka mampu meskipun untuk menutup seluruhnya tidak bisa. KMS sebagai bukti identitas bagi masyarakat miskin pemakaian awal dimulai Tahun 2007, untuk pemakaian Tahun 2008 yang berlaku apabila dibaliknya dibubuhi cap kelurahan setempat. Data yang dipakai dalam KMS adalah data dinamik, data sekarang belum tentu 5 tahun lagi akan digunakan. Setiap tahun akan selalu ditinjau kembali. Sehingga sangat mungkin pemegang KMS Tahun 2007 pada Tahun 2008 tidak lagi berhak. Sangat sulit kalau akan mengambil bentuk fisik kartunya, tapi akan pemerintah kota akan bekerjasama dengan fungsi pelayanan pendidikan dan kesehatan untuk menerima dan mengembalikan kartunya ke pemkot. Sementara Kabid Pelayanan Kesehatan Vita Yulia mengatakan, pelayanan kesehatan kepada maskin di Kota Yogyakarta menggunakan KMS bukan SKTM (sudah tidak berlaku lagi)Begitu masuk tunjukkan KMS. Maskin dengan identitas KMS pasti diberi pelayanan di Rumah Sakit. Penjaminan akan dilakukan oleh PT Askes, Jamkesos atau Jamkesda. Saat ini KMS Kota Jogja sudah diakui PT Askes untuk pelayanan kesehatan di seluruh DIY. Tapi untuk penggunaan di luar DIY harus disertai Surat Keterangan Miskin. Terkait updating data warga miskin di Kota Yogyakarta dilakukan pada setiap pertengahan tahun. Nantinya proses updating data menggunakan 18 parameter dengan 7 aspek dan penilaian hasil skor. Jika bobot skor 76-100 termasuk fakir miskin, kemudian 31-50 termasuk hampir
miskin
dan
bobot
sampai
dengan
30
termasuk
tidak
miskin.
Untuk pendataan ulang dilakukan setiap awal tahun. Kalau updating ini untuk meng-update yang terlaporkan
tidak
miskin
atau
faktanya
miskin
tapi
tidak
terdata
oleh
petugas.
Untuk identitas gakin di Kota Yogyakarta secara fisik dibuktikan dengan kepemilikan KMS dan stikerisasi. Stikerisasi KMS terbagi 3 yakni KMS I termasuk fakir miskin, KMS II adalah miskin dan KMS III adalah hampir miskin. Meskipun ada klasifikasi namun pelayanan yang mereka dapatkan sama yakni di bidang kesehatan dan pendidikan.
PELAKSANAAN JAMKESDA
JAMKESDA / kUs /2008
CARI DATA
KADER
PELAYANAN DI UPT
KUNJJALANAN ANAK RUMAH
JAMKESDA / kUs /2008
16
USILA
KUNJ RUMAH
17
F. SASARAN DAN PEMANFAATAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH BAGI MASYARAKAT & PEGAWAI DAERAH TAHUN 2006 , 2007, & 2008
No.
Tahun 2006
Tahun 2007
Tahun 2008
1
MASKIN
MASKIN
MASKIN
2
RT,RW,LPMK
RT,RW,LPMK
RT,RW,LPMK
3
Kader Kesehatan
Kader Kesehatan
Kader Kesehatan
4
PHL/PTT
PHL/PTT
PHL/PTT
5
PNS (Askes Plus)
PNS (Askes Plus)
Pengurus PKK RW
( sampai JUNI 2007) 6
Pengurus PKK RW
KelompokKhusus
7
Kelompok Khusus
Pengelola Tempat Ibadah
8
GTT
REALISASI TAHUN 2008 s/d MEI NO
PERSEDIAAN
JML KASUS
PENGGUNAAN
1.590.504.000
133
102.373.000
1.860.000.000
304
676.998.499
SASARAN
JML
1
Jam Kesehatan Maskin & Rentan Miskin
66.271
2
Bansos ranap maskin+rentan miskin ( termasuk Life Saving)
3
Kelompok Khusus : bagi Korban PktP/A, Penderita HIV/AIDS ,penghuni rumah singgah, penderita kanker,Difabel, USILA, dll
4
Rujukan hasil DTKA, DTKB &skrining anak SD dan kecelakaan anak sekolah
650 1.000 3.000
78.000.000 120.000.000 180.000.000
5
RT, RW, LPMK
9.543
572.580.000
1.285
6
Kader POSYANDU
4.500
270.000.000
40
16.424.000
7
Pengurus PKK RW
1.260
343.680.000 554
60.647.000
34.530
112.868.466
360
270.000.000 120.000.000
8
Kompensasi kepada PTT
1.865
335.700.000
9
GTT Swasta
5.000
600.000.000
10
Pengelola Tempat Ibadah
11
Rawat Jalan MASKIN di Puskesmas ( APBN) JUMLAH
468
28.080.000
89.818
611.614.000
JAMKESDA / kUs /2008
Realisasi penggunaan dana ini sebagian besar telah diklaim pada Dana Bantuan Sosial untuk Rawat Inap & untuk Rawat Jalan masuk pada POINT (1)
21
REKAPITULASI PENDUDUK MISKIN & RENTAN MISKIN RAWAT INAP 2008 (s/d Juni) Berdasarkan Besaran Klaim KMS
No
Bulan
Pengajuan
Disetujui
IUR Bayar
1
Januari
80.521.063
54.636.082
25.884.981
2
Februari
81.052.143
50.214.485
30.837.658
3
Maret
58.880.997
39.601.512
19.279.485
4
April
78.852.732
57.183.080
21.669.652
5
Mei
109.345.743
82.395.530
26.950.213
6
Juni
89.343.932
61.688.926
27.655.006
JUMLAH
497.996.610
345.719.615 152.276.995
REKAPITULASI PENDUDUK MISKIN & RENTAN MISKIN RAWAT INAP 2008 (s/d Juni) Berdasarkan Besaran Klaim REKOMENDASI No.
Bulan
Pengajuan
Disetujui
IUR Bayar
1
Januari
190.563.793 82.012.306
108.551.487
2
Februari
32.752.933
21.493.460
11.259.473
3
Maret
60.182.359
36.967.300
23.215.059
4
April
132.381.785 70.155.950
62.225.835
5
Mei
203.447.717 120.827.082
82.620.635
6
Juni
314.668.838 188.299.200
126.269.638
JUMLAH
933.997.425 519.855.298
414.142.127
REKAPITULASI PENDUDUK MISKIN & RENTAN MISKIN RAWAT INAP 2008 (s/d Juni) Dibandingkan dengan Ketersediaan Dana BANSOS
KETERSEDIAAN
1.860.000.000
PENGAJUAN DISETUJUI
DANA KMS
RENTAN MISKIN
JUMLAH
1.860.000.000
497.996.610
345.719.615
(26,77%)
(18,29%)
933.997.425
519.855.298
(50,21%)
(27,95%)
1.431.994.035
865.574.913
(76,99%)
(46,54%)
Sasaran Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Kota Yogyakarta PENDUDUK MISKIN Dengan Identitas KMS = 89.818 jiwa Mendapat Jaminan Kesehatan
68.456 Jiwa Identitas: KMS & Kartu JAMKESMAS Dana DepKes RI
20.545 JIWA Identitas KMS & Kartu JAMKESOS Dana dari JAMKESOS APBD Prop JAMKESDA / kUs /2008
JAMKESDA Menjamin seluruh Maskin KMS Yang tidak masuk pada PLAFON Jaminan pada: JAMKESMAS/ JAMKESOS & *817 Jiwa dari sisa 26 JAMKESOS
G. Alur Pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA)
ALUR PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH BAGI MASYARAKAT MISKIN DI UPT Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah ( UPT PJKD ) RAWAT INAP
IDENTITAS MASKIN
RAWAT JALAN rujukan
KMS
RSUD RS SWASTA SE KOTA BP/RB SWASTA
PUSKESMAS emergency
rujukan
KMS + KARTU JAMKESMAS
PUSKESMAS
emergency dijamin
Dijamin PT Askes UPT PJKD di RS Wilayah Kota TIDAK PUNYA - KMS/JAMKESMAS/JAMKESDA -Masuk Parameter MISKIN Per Kasus Surat Keterangan Miskin (SKM) Diskesos
RS SARDJITO RSUD RS BETHESDA RS PKU RSI HIDAYATULLAH RS DILUAR KOTA
RS YG TDK PKS rujukan RS DR SARDJITO RSUD RS SWASTA SE KOTA 27 BP RB SWASTA
PUSKESMAS emergency
JAMKESDA / kUs /2008
PEMBERI PELAYANAN
D PB ri A da
erj an Ko nt r ak P
n ara ay
PPK PUSKESMAS , DOKTER KELUARGA & RS PEMERINTAH & SWASTA JAMKESDA / kUs /2008
mb Pe
jia n
UPT PJKD
PESERTA MASKIN PESERTA JAMKESDA
28
H. Sosialisasi dan Pengaduan Masyarakat Sosialisasi untuk Program JAMKESDA ini dilaksanakan pada: –
Ke 45 Kelurahan yang ada di Kota Yogyakarta
–
Lintas sektoral dan lintas program
–
LPMK/ PKK/TOMA/TOGA
–
LSM/organisasi profesi
–
Interaktif di radio (RRI, Istakalisa, Radio Anak Jogya, dan lain lain)
–
TVRI Yogyakarta
Untuk melayani pengaduan masyarakat seputar pelaksanaan JAMKESDA, maka UPT PJKD melaksanakan beberapa hal berikut ini: •
Membentuk UPM ( Unit Pengaduan Masyarakat) kerja sama dengan UPIK
•
Menempatkan kotak saran di semua Puskesmas
•
Bila ada kasus perlu dilakukan kunjungan rumah
I. Dampak
Contoh Kasus 1 Romlah, adalah warga miskin yang juga ibu bayi kembar tiga yang masih mempunyai hutang lebih dari Rp 20 juta di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Perawatan bayi di Sardjito hingga 26 Juni lalu sudah menelan biaya Rp 49,65 juta dan Rp 29,63 juta dan diantaranya ditanggung Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui UPT Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Kepala UPT Jamkesda Kota Yogyakarta, Hj Kusminatun menjelaskan, Romlah melahirkan bayi kembar 3 melalui operasi caesar di RSUP Dr Sardjito pada 21 April lalu. Perawatan di RS Sardjito hingga 26 Juni 2008 menelan biaya Rp 49,65 juta. Dari jumlah itu, setelah melalui proses verifikasi, bisa mendapatkan jaminan dari UPT Jamkesda Kota Yogyakarta sebesar Rp 29,63 juta. Selain itu terdapat obat-obatan khusus di luar formularium yang juga mendapatkan jaminan UPT Jamkesda pada 21 April 2008 sebesar Rp 935.850. Saat Romlah menjalani operasi caesar di RS Sardjito, sudah mendapatkan jaminan dari UPT Jamkesda. Biaya yang seharusnya Rp 3,4 juta, mendapat jaminan sebesar Rp 3,01 juta. Untuk biaya administrasi seperti kartu dan karcis ruang tunggu tidak mendapatkan jaminan. Sumber: www.kr.co.id
Contoh Kasus 2 SUNGGUH malang nasib anak pertama pasangan T Bintarto dan Yuni, warga Mergangsan Yogya. Anak itu memiliki kelainan pembesaran kepala dan penggumpalan darah. Bayi yang dilahirkan di Rumah Bersalin Gratis (RBG) Rumah Zakat Indonesia (RZI) itu kemudian dibawa ke sebuah RS swasta di Yogya. Namun tidak langsung dilayani sebagai warga
miskin,
karena
si
bayi
belum
terdaftar
dalam
penerima
Kartu
Menuju
Sejahtera
(KMS).
Padahal orangtua bayi termasuk warga miskin dan memiliki KMS. Agar mendapat pelayanan sebagai gakin mereka harus mondar-mandir ke Dinas Kesehatan, Dinas Kesejahteraan Sosial
dan Jamkesda Kota Yogya untuk mengurusnya. Baru setelah ada rekomendasi dari dinas terkait, bayi malang ini bisa dilayani sebagai pasien gakin. “Alhamdulillah, sekarang sudah selesai. Kemarin ada kesalahpahaman sehingga tidak bisa langsung ditangani,” katanya. Namun persoalan tidak hanya berhenti di sini. Sekarang ini kondisi klep jantung bayi ada yang bocor sehingga harus dioperasi. Operasi hanya bisa dilakukan di Jakarta menunggu usia 4-6 bulan. Sambil menunggu operasi, bocah kelahiran 31 Maret 2008 ini masih dirawat intensif di RS swasta tersebut untuk menstabilkan kondisinya. Sebagai seorang tenaga honorer di sekolah swasta dan suaminya hanya bekerja sebagai cleaning service mereka hanya bisa pasrah. Apalagi mendapat informasi jika dilakukan operasi pemerintah hanya menanggung separuh dari biaya perawatan dan pengobatan. “Sisanya kami harus membayar dari mana,” ujar Yuni. Kasi Peningkatan Potensi Sumber Daya Kesejahteraan Sosial Dinkesos Kota Yogya, Tri Hastono mengungkapkan, sebenarnya bayi yang lahir dari orangtua keluarga miskin pemegang KMS secara otomatis masuk KMS. Dalam kasus tersebut, menurutnya, ada miskomunikasi sehingga bayi tidak bisa dilayani. Namun pihaknya sudah merekomendasikan agar rumah sakit melayaninya. Untuk kasus rumah sakit yang tidak melayani pasien gakin, menurut Tri Hastono, tidak ada sanksi. Sebab hal itu bukan kesengajaan pihak rumah sakit, tapi karena kesalahpahaman dan sudah diluruskan. Direktur RSUD Wirosaban, dr Mulyo Hartono SpPD menambahkan, sesuai kesepakatan dengan Dinkes, bayi yang dilahirkan dari pasien gakin pemegang KMS adalah gratis. Meskipun di dalam KMS tersebut belum tercantum by name daftar anggota, karena bayi dilahirkan setelah KMS ditetapkan tapi secara otomatis mengikuti orangtuanya. Memang jika tidak masuk by name anggota pihak RS akan bertanya siapa yang akan menanggung biaya perawatannya. Jika orangtuanya pemegang KMS tapi bayinya belum masuk ia menyarankan untuk meng-update, sehingga ketika menjalani perawatan sudah masuk by name. “Kalau tidak ada yang menanggung nanti biaya rumah sakit memakai apa? Kita tidak bisa nomboki dulu,” ujarnya. Sumber: www.kr.co.id
Contoh Kasus 3 Selama ini kami belum pernah memiliki kartu untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis. Suatu saat kami pernah meminta ke Pak Dukuh dan dijawab katanya sudah telat. Untungnya selama ini saya atau suami saya belum pernah sakit hingga dirawat di rumah sakit,” kata Ny Suti, nama samaran warga Kelurahan Sosromenduran. Setahu pedagang makanan kecil di pinggir jalan ini, banyak tetangga yang lebih mapan dan kaya darinya justru mempunyai kartu pelayanan kesehatan gratis. Sehingga ia mencoba untuk mencari kartu tersebut seperti juga tetangga-tetangganya yang lain. Meski begitu, tak sedikit pula warga miskin yang memang malas untuk mengurus kepemilikan kartu pelayanan kesehatan gratis atau sejenisnya, seperti Jamkesos atau Jamkesmas. Sehingga ketika salah satu anggota keluarganya sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang bersangkutan harus grobyakan mencari surat pembebasan biaya atau keringanan biaya berobat. Seperti yang dialami Ashadi, saat ibunya sakit dan masuk ke rumah sakit harus grobyagan mencari syarat-syarat untuk memperoleh pelayanan kesehatan gratis. “Kami tahu jika untuk memperoleh keringanan biaya perawatan di rumah sakit harus memegang kartu. Sedangkan bapak dan ibu tak mempunyai kartu tersebut,” ujar Ashadi, warga Kelurahan Kemetiran Kidul ini. Sumber: www.kr.co.id
J. Susunan Organisasi Penyelenggara Jaminan Kesehatan Kota Yogyakarta 1. Tim Pengelola Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat •
Selanjutnya disebut Tim Pengelola Jamkesmas terdiri dari unsur-unsur : 1(satu) orang Penanggungjawab yang dijabat oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta; dan 1 (satu) orang koordinator operasional; 3 (tiga) orang staf yang membidangi kepesertaan, pelayanan, keuangan dan administratif, satu diantaranya ditugaskan juga sebagai koordinator verifikator, serta pelaksana verifikasi sesuai kebutuhan; dan 2 (dua) orang pengelola laporan Jamkesmas.
•
Tim Pengelola Jamkesmas Kota Yogyakarta bertugas :
Melakukan menajemen kepesertaan, manajemen pelayanan kesehatan, manajemen keuangan;
Mengkoordinasikan pelaksanaan verifikasi di PPK;
Menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan jamkesmas tugas kepada Menteri Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Propinsi DIY.
Pembiayaan yang timbul dalam pelaksanaan Keputusan ini dibebankan pada DIPA Departemen Kesehatan RI. SUSUNAN TIM PENGELOLA PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT (JAMKESMAS) DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2008 NO 1. 2. 3. 4.
NAMA dr. Choirul Anwar, M.Kes. Kusminatun,Amd.Kebid. S.Pd Dr. Meiningsih K. Muniroh, AMG.
INSTANSI Dinas Kesehatan UPT PJKD UPT PJKD UPT PJKD
5. 6.
Heri Purwanto, AMKL. Drg. Rohadanti
UPT PJKD UPT PJKD
7.
Jaifnur Henry Lusiana, AMKg.
UPT PJKD
JABATAN Penanggungjawab Koordinator Operasional Staf Bidang Pelayanan Staf Bidang Keuangan dan Administratif Staf Bidang Kepesertaan Pengelola Laporan Jamkesmas Pengelola Laporan Jamkesmas
2. Tim Koordinasi Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat •
Tugas dan Tata Kerja Tim Koordinasi adalah mengadakan menetapkan arah kebijakan koordinasi, sinkronisasi, dan melakukan pembinaan serta pengendalian Program Jamkesmas Tingkat Kota Yogyakarta.
SUSUNAN TIM KOORDINASI PROGRAM JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2008 NO 1 2 3
JABATAN DALAM TIM Pelindung Ketua Anggota
4
Sekretariat Staf Sekretariat
INSTANSI /UNSUR DARI
KETERANGAN
Walikota Sekretaris Daerah 1. Asisten Sekretaris II 2. Kepala Dinas Kesehatan 3. Direktur RSUD Kota Yogyakarta 4. Ketua Komisi I DPRD Kota Yogyakarta 5. Kepala PT Askes (Persero) Cabang Kota Yogyakarta. Ka Bidang Promosi & Pengembangan Kesehatan, Dinas Kesehatan Ka Bidang Yankes & Farmasi, Dinas Kesehatan Ka UPT Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Daerah
3. Tim Koordinasi Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
SUSUNAN TIM KOMUNIKASI DAN KONSULTASI PELAYANANAN KESEHATAN BAGI MASYARAKAT MISKIN KOTA YOGYAKARTA No. 1.
Nama Sunu Pratomo ??
Golongan
Jabatan Ketua
2.
Dr. Choirul Anwar, M.Kes.
IV a
Sekretaris
3. 4.
Chrysantus Septijanto P.
II d
Anggota Anggota
5. 6.
Drs. Tri Djoko Susanto Dr. Fita Yulia K, M.Kes.
IV b IV a
Anggota Anggota
7.
Dr. Soedarman
IV b
Anggota
8. 9.
Kusminatun, Amd. Keb. S.Pd. Drg. Tuty Setyowati, MM.
III c IV b
Anggota Anggota
Unit Organisasi Assek II Setda Kota Yogyakarta Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta BPKD Kota Yogyakarta Bagian Pengendalian Pembangunan Setda Kota Yogyakarta Bappeda Kota Yogyakarta Kepala Bid Yankes Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Bid. Probangkes Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta UPT PJKD Kepala Bid. Regulasi Dinkes Kota Yogyakarta
4. Tim Verifikasi Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Tugas Tim dimaksud adalah sebagai berikut: •
Melakukan pencermatan kelengkapan berkas persyaratan pengajuan klaim;
•
Mencermati kwitansi/bukti penggunaan dana pelayanan kesehatan yang diajukan dan disesuaikan dengan kriteria pada panduan yang telah diterbitkan oleh UPT PJKD;
•
Menentukan besaran penggantian yang dapat dibayarkan dari hasil verifikasi klaim yang diajukan peserta dan penyelesaian klaim.
•
Bertanggung jawab atas kelancaran pencairan dana klaim;
•
Mengadakan utilisasi review atas klaim yang masuk setiap bulan;
•
Membuat pelaporan dan pertanggungjawaban bulanan/tribulan/tahunan;
•
Melengkapi data kepesertaan Jaminan Kesehatan Perorangan dan Kelompok di Kota Yogyakarta. SUSUNAN TIM VERIFIKASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2008 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6.
NAMA Dr. Fita Yulia Kisworini,M.Kes Isherlina, SE Jaifnur Henry Lusiana, Amd. Drg. Rohadanti Dr. Meiningsih Kusminatun, Amd.Kebid. S.Pd.
INSTANSI Dinas Kesehatan UPT PJKD UPT PJKD UPT PJKD UPT PJKD UPT PJKD
JABATAN Ketua Sekretaris I Sekretaris II Anggota Anggota Anggota
K. Permasalahan dan Solusi a. Setelah diresmikan dengan Peraturan Walikota tersebut dan walaupun tidak lagi mengelola dana pusat, UPT-PJKD tetap melakukan pola pengelolaan yang menggunakan konsep Managed Care seperti Utilization Review (kajian pemanfaatan). Pola Utilization Review yang digunakan adalah dengan memverifikasi apabila terdapat diagnosis penyakit yang tidak konsisten antara diagnosis masuk dan diagnosis keluar. Jamkesda juga melakukan pengkajian yang mendalam apabila terdapat pemeriksaan penunjang yang cenderung berlebihan. Demikian juga apabila didapatkan penggunaan antibiotik yang terlalu canggih. b. Kajian juga akan dilakukan terhadap tindakan-tindakan operatif berbiaya mahal. Jamkesda Kota Yogyakarta saat ini masih menghadapi berbagai persoalan seperti bagaimana melakukan Coordination of Benefit yaitu menentukan penjamin primer dari seorang peserta. Dalam hal ini belum ditentukan siapa yang membayar tagihan rumah sakit apabila seorang
peserta
Jamkesda
mengalami
kecelakaan
sedangkan
karcis
kendaraan
umumnya
menyebutkan dia dijamin oleh PT Jasa Raharja. c. Persoalan yang lain adalah bagaimana dengan peserta mandiri yaitu yang nantinya membayar iuran. Aturan yang ada saat ini belum cukup untuk menarik premi atau iuran wajib penduduk Kota Yogyakarta kepada Jamkesda. UU No. 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional belum rinci mengatur apakah daerah akan diikutsertakan dalam skema ini. Lambatnya aturan pemerintah yang akan mengatur hal ini secara rinci menyebabkan Jamkesda sulit mencapai visinya untuk menjamin seluruh masyarakat Yogyakarta dengan kepesertaan asuransi kesehatan (Total Coverage). Untuk itu saat ini Jamkesda sedang melakukan usaha-usaha penggalian dana dan pengembangan modal, selain sedang mengusahakan penarikan dana langsung dari masyarakat. d. Birokrasi tingkat RT dan dusun juga sering menjadi kendala bagi sebagian warga untuk mendapatkan keringanan biaya pelayanan kesehatan, baik lewat Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat—dulu Askeskin), Jamkesos, atau sejenisnya. Faktor senang dan tidak senang antara Ketua RT atau Dukuh, konon menjadi penyebab hingga warga yang jelas-jelas masuk daftar keluarga miskin, tak terdaftar.
3.2. Jaminan Kesehatan Daerah Bagi Masyarakat Miskin Di Kota Yogyakarta a. Pengertian Semua penduduk miskin Kota Yogyakarta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah di: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah, dan Rumah Sakit Swasta yang ditunjuk dengan mengikuti persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan. b. Sasaran Masyarakat miskin Kota Yogyakarta yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Identitas Penduduk Miskin seperti: -
Kartu Menuju Sejahtera (KMS) dari Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta
-
Kartu Askeskin dari PT. ASKES
c. Tujuan -
Meningkatkan akses pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin.
-
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di Puskesmas dan jaringannya.
-
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rujukan bagi masyarakat miskin di Rumah Sakit.
d. Tempat Pelayanan -
Rawat Jalan Tingkat Pertama; Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Dokter Keluarga yang disetujui di Kota Yogyakarta.
-
Rawat Jalan Tingkat Lanjutan; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
-
Rawat Inap; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
e. Pelayanan yang Dibatasi -
Kaca mata
-
Intra Oculer Lens
-
Alat bantu dengar dan alat bantu gerak
-
Pelayanan penunjang diagnostik canggih
f.
Prinsip Pelayanan
-
Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan kesehatan.
-
Terstruktur, berjenjang, dan diutamakan ke Puskesmas terlebih dahulu.
-
Rujukan oleh Puskesmas untuk pelayanan spesialistik dan rawat inap ke RS yang ditunjuk.
g. Prosedur/Tata Cara Mendapat Pelayanan -
Masyarakat miskin yang sakit berkunjung ke Puskesmas, Puskesmas Pembantu dengan menunjukkan Kartu Identitas (KMS/Kartu Askeskin).
-
Jika diperlukan pelayanan lanjutan, pasien dapat dirujuk ke Rumah Sakit dengan Surat Rujukan dari Puskesmas disertai Kartu Identitas (KMS/Kartu Askeskin).
-
Rujukan ke Rumah Sakit bisa berupa rujukan rawat jalan dan rawat inap dengan menggunakan fasilitas kelas III.
-
Jika kelas III RS sudah penuh maka MASKIN bisa dilayani di kelas II dengan catatan tarif pelayanan kelas III.
-
Apabila sejak pertama MASKIN masuk RS dengan menyatakan diri minta dirawat di luar kelas III (kelas II/kelas I), maka hak MASKIN gugur dan seluruh biaya RS ditanggung sendiri. Dan kepada keluarga membuat kesanggupan atas biaya perawatan yang akan ditanggung berupa: pernyataan kesanggupan kepada RS yang bersangkutan.
-
Dalam kondisi gawat darurat dapat langsung ke Rumah Sakit melalui Unit Gawat Darurat (UGD).
-
Jaminan kesehatan bagi MASKIN akan diberikan bila Kartu Askeskin atau KMS ditunjukkan atau fotokopi diserahkan ke tempat pelayanan paling lambat 3x24 jam.
-
Apabila tidak mematuhi prosedur diatas, tidak mendapatkan jaminan pemerintah.
h. Cara Memperoleh Jaminan Kesehatan -
Diperoleh dari Pemerintah Kota Yogyakarta melalui UPT PJKD Dinas Kesehatan, Jl. Kenari No. 56 Komplek Balikota Timoho.
-
Pasien sejak hari pertama masuk RS menyatakan mempunyai Kartu Askeskin atau KMS.
-
Menyerahkan Kartu Askeskin atau KMS dengan dilengkapi: 1) Surat Keterangan Mondok dan Diagnosa Penyakit dan 2) Rincian biaya sementara dari RS.
Catatan:
plafon/tarif
pelayanan
kesehatan
rawat
inap
berdasarkan
plafon
dalam
MANLAK:KepMenkes 417 Tahun 2007 dan hasil kesepakatan dengan pihak RS/RB/RSK yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
3.3. Jaminan Kesehatan Daerah Bagi Kader Kesehatan Di Kota Yogyakarta Tahun 2007 a. Latar Belakang Pengabdian atau kiprah Kader Kesehatan dalam pembangunan kesehatan di Kota Yogyakarta sudah banyak dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Kota Yogyakarta memandang perlu untuk memberikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi seluruh kader kesehatan di Kota Yogyakarta. b. Tujuan Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. c. Sasaran Kader Kesehatan se-Kota Yogyakarta yang telah mengabdikan diri kepada masyarakat dalam bidang kesehatan minimal 2 tahun. d. Persyaratan/Identitas Peserta -
Peserta adalah kader kesehatan yang telah didaftar oleh puskesmas setempat.
-
Peserta adalah kader kesehatan aktif minimal 2 tahun.
-
Kader Kesehatan akan mendapatkan Kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dari JAMKESSOS Propinsi DIY melalui puskesmas setempat.
-
Kader Kesehatan yang tidak mendapat kartu dari Jamkessos, dapat menggunakan Kartu Jamkesda dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
e. Pemberi Pelayanan Kesehatan -
Rawat Jalan Tingkat Pertama; Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Dokter Keluarga yang disetujui di Kota Yogyakarta.
-
Rawat Jalan Tingkat Lanjutan; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
-
Rawat Inap; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
f.
Jenis Pelayanan
-
Pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan dokter keluarga yang ditunjuk.
-
Pelayanan kesehatan spesialis di RS Pemerintah dan RS Swasta yang ditunjuk.
-
Pelayanan rawat inap kelas III.
Catatan: plafon/tarif pelayanan kesehatan bagi Kader Kesehatan terlampir. g. Bantuan Biaya Pemeliharaan Kesehatan 1. Dijamin oleh Jamkessos (dengan Kartu Jamkessos) -
Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu di Kota Yogyakarta.
-
Rawat inap di RS yang ditunjuk.
2. Dijamin melalui UPT PJKD di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta -
Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (identitas Kartu Jamkessos).
-
Pelayanan kesehatan lanjutan spesialis (dokter praktik swasta dan RS) menggunakan identitas Kartu Jamkesda.
-
Rawat inap di RS yang ditunjuk (identitas Kartu Jamkessos atau Kartu Jamkesda).
h. Pengurusan Klaim 1. Rawat Jalan -
Puskesmas akan mengumpulkan jenis dan biaya pengobatan bagi kader setiap akhir bulan ke UPT PJKD dengan dicantumkan diagnosa penyakit dan kuitansi pembayaran asli.
-
Pelayanan oleh dokter keluarga/dokter praktik umum/spesialis dibayar dahulu oleh peserta, kemudian kuitansi diklaimkan ke UPT PJKD. Dengan dilampiri fotokopi Kartu Jamkessos/Jamkesda yang telah dilegalisir ke Kelurahan setempat.
2. Rawat Inap di kelas III -
Biaya rawat inap, peserta menunjukkan surat rujukan/dari unit gawat darurat, biaya rawat inap di RS pemerintah dan swasta yang ditunjuk oleh Jamkessos akan diurus oleh RS yang bersangkutan.
-
Bagi yang punya Askes PNS/pensiun agar diurus dahulu, kekurangan biaya akan ditanggung oleh Jamkessos.
-
Bagi kader yang mempunyai Kartu Jamkesda, jaminan kesehatan akan diselesaikan oleh UPT PJKD setelah klaim atau rekening RS diverifikasi oleh tim.
Catatan: Klaim berlaku selama 1 bulan sejak tanggal pembayaran.
3.3. Jaminan Kesehatan Daerah Bagi Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW A. Latar Belakang •
Jabatan sebagai Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW memiliki unsur pengabdian yang besar.
•
Menjadi Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW di Kota Yogyakarta dengan masyarakat yang heterogen merupakan beban yang tidak ringan.
•
Keberadaan RT dan RW menjadikan komunikasi masyarakat dan pemerintah lebih lebih terarah dan benar-benar menjadi mitra sejajar Pemerintah Kota Yogyakarta karena kredibilitasnya dan kapabilitasnya.
•
Untuk itu Pemerintah Kota Yogyakarta perlu memberikan penghargaan kepada Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW berupa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang bersumber dari Dana APBD Kota Yogyakarta.
B. Tujuan Terwujudnya derajat kesehatan yang optimal bagi Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW di Kota Yogyakarta. C. Bentuk Jaminan Kesehatan Jaminan kesehatan bagi Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW berupa pemberian bantuan biaya pelayanan kesehatan baik rawat jalan dan rawat inap. D. Sasaran Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW di Kota Yogyakarta.yang terpilih dan melaksanakan tugas pada Periode Tahun 2005-2008. E. Fasilitas Pelayanan Kesehatan •
Rawat Jalan Tingkat Pertama; Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Dokter Keluarga yang disetujui di Kota Yogyakarta.
•
Rawat Jalan Tingkat Lanjutan; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
•
Rawat Inap; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Catatan: Pelayanan Kesehatan dapat dilakukan di RS di seluruh Indonesia, plafon/tarif pelayanan kesehatan bagi Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW terlampir dan sama dengan plafon/tarif pelayanan untuk Kader Kesehatan. F. Prosedur Pelayanan 1. Mendapatkan pelayanan di puskesmas Kota Yogyakarta dengan menunjukkan Kartu Jaminan Kesehatan Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW.
2. Pelayanan di luar Kota Yogyakarta (RS Pemerintah dan Swasta, dokter praktek swasta, dan puskesmas), peserta membayar terlebih dahulu kemudian diklaimkan ke UPT PJKD. 3. Bagi Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW yang berstatus sebagai PNS, manfaatkan terlebih dahulu hak sebagai peserta Askes Sosial, jika ada iur biaya bisa diklaim ke UPT PJKD Kota Yogyakarta. G. Syarat Pengajuan Klaim •
Untuk Rawat Jalan
1. Fotokopi Kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW Kota Yogyakarta yang dilegalisir lurah setempat (1 lembar). 2. Kuitansi pembayaran asli dilengkapi fotokopi resep atau kuitansi pembayaran asli yang sebaliknya dicantumkan obat-obat yang diberikan. 3. Kuitansi pembayaran asli dicantumkan diagnosa penyakit. 4. Kuitansi pembayaran asli dicantumkan dokter spesialis atau dokter umum yang melakukan pemeriksaan. •
Untuk Rawat Inap
1. Fotokopi Kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pengurus RT, RW, LPMK, dan Pengurus PKK RW Kota Yogyakarta yang dilegalisir lurah setempat (1 lembar). 2. Kuitansi tembusan asli dari RS dilengkapi perincian biaya. 3. Kuitansi pembayaran asli dari RS dicanumkan diagnosa penyakit. Catatan: Klaim berlaku selama 1 bulan sejak tanggal pembayaran. Pelayanan rawat inap yang bisa ditanggung max di Kelas II untuk RS Swasta dan atau Kelas I RSUD Kota Yogyakarta).
3.4. Jaminan Kesehatan Daerah Bagi Pegawai Tidak Tetap dan Guru Bantu A. Latar Belakang Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Guru Bantu yang tersebar di seluruh instansi di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta perlu ditingkatkan derajat kesehatannya agar dapat diperoleh kinerja yang optimal. B. Sasaran Seluruh Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Guru Bantu yang tersebar di seluruh instansi di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. C. Tujuan •
Meningkatkan akses PTT dan Guru Bantu Pemkot Yogyakarta terhadap pelayanan kesehatan.
•
Meningkatkan derajat kesehatan PTT dan Guru Bantu Pemkot Yogyakarta.
•
Meningkatkan kinerja PTT dan Guru Bantu Pemkot Yogyakarta.
D. Tempat Pelayanan •
Rawat Jalan Tingkat Pertama; Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Dokter Keluarga yang disetujui di Kota Yogyakarta.
•
Rawat Jalan Tingkat Lanjutan; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
•
Rawat Inap; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
E. Prosedur Pelayanan •
Untuk mendapatkan pelayanan di puskesmas secara gratis, tunjukkan kartu Jaminan Kesehatan Pegawai Tidak Tetap dan Guru Bantu.
•
Pelayanan di luar Kota Yogyakarta (RS pemerintah dan swasta, dokter praktek swasta dan puskesmas), peserta membayar terlebihdahulu kemudian diklaimkan ke UPT PJKD di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
F. Syarat Pengajuan Klaim •
Untuk Rawat Jalan
1. Fotokopi Kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Tidak Tetap dan Guru Bantu yang dilegalisir instansi masing-masing. 2. Kuitansi pembayaran asli dilengkapi fotokopi resep atau kuitansi pembayaran asli yang sebaliknya dicantumkan obat-obat yang diberikan. 3. Kuitansi pembayaran asli dicantumkan diagnosa penyakit. 4. Kuitansi pembayaran asli dicantumkan dokter spesialis atau dokter umum yang melakukan pemeriksaan. •
Untuk Rawat Inap
1. Fotokopi Kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Tidak Tetap dan Guru Bantu yang dilegalisir instansi masing-masing. 2. Kuitansi tembusan asli dari rumah sakit dilengkapi perincian biaya. 3. Klaim RSUD akan diserahkan ke UPT PJKD, max 1 bulan setelah rawat jalan/rawat inap. Catatan: Klaim berlaku selama 1 bulan sejak tanggal pembayaran
3.5. Jaminan Kesehatan Daerah Bagi Kelompok Khusus A. Sasaran Kelompok khusus adalah penduduk yang ber-KTP/KIPEM Kota Yogyakarta yang rentan terhadap kesehatan yang meliputi: 1. Usia lanjut (keluarga miskin dan terlantar)
2. Korban kekerasan terhadap perempuan dan anak 3. Korban kekerasan dalam rumah tangga 4. Penderita HIV/AIDS 5. Masyarakat miskin di Kota Yogyakarta yang terkena musibah atau bencana atau bentrokan atau keroyokan atau kecelakaan yang tidak mempunyai identitas miskin. 6. Kelompok khusus antara lain: 1) anak sekolah yang dirujukkan dari hasil penjaringan kesehatan; 2) anggota lembaga tertentu yang pengangkatannya berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta yang bertugas membantu pelaksanaan kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan di Kota Yogyakarta. B. Tujuan •
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
•
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat di puskesmas dan jaringannya.
C. Tempat Pelayanan •
Rawat Jalan Tingkat Pertama; Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Dokter Keluarga yang disetujui di Kota Yogyakarta.
•
Rawat Jalan Tingkat Lanjutan; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
•
Rawat Inap; RSUD dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
D. Jenis Pelayanan SASARAN
KELAS
PAKET PELAYANAN
1. Usia lanjut (keluarga miskin dan terlantar) 2. Korban kekerasan terhadap perempuan dan anak 3. Korban kekerasan dalam rumah tangga 4. Penderita HIV/AIDS 5. Masyarakat miskin di Kota Yogyakarta yang terkena musibah atau bencana atau bentrokan atau keroyokan atau kecelakaan yang tidak mempunyai identitas miskin. 6. Anak sekolah yang dirujukkan dari hasil penjaringan kesehatan
III
1. Paket Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas maupun Dokter Keluarga. • Pemeriksaan kesehatan umum, tindakan medis ringan, dan sedang • Pemeriksaan kesehatan gigi dan tindakan gigi • Laboratorium sederhana (darah, urin, feses rutin) • Obat-obatan sesuai dengan indikasi medis • Pelayanan kesehatan masyarakat (preventif) • Pelayanan persalinan pada puskesmas perawatan. 2. Paket Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit • Pelayanan pemeriksaan atau rawat jalan lanjutan spesialistik • Pelayanan rawat inap kelas III • Pelayanan gawat darurat/emergency • Pelayanan tindakan medik termasuk operasi • Pelayanan rehabilitasi medis • Obat-obatan sesuai DPHO/generik dan obat life saving • Penunjang diagnostik (seperti laboratorium, radiologi, dll) 1. Paket Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas maupun Dokter Keluarga.
Anggota lembaga tertentu yang pengangkatannya berdasarkan
Kelas I Sardjito
RSUP
Keputusan Walikota Yogyakarta yang bertugas membantu pelaksanaan kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan di Kota Yogyakarta.
Kelas II RS Swasta VIP RSUD Kota Yogyakarta
• Pemeriksaan kesehatan umum, tindakan medis ringan, dan sedang • Pemeriksaan kesehatan gigi dan tindakan gigi • Laboratorium sederhana (darah, urin, feses rutin) • Obat-obatan sesuai dengan indikasi medis • Pelayanan kesehatan masyarakat (preventif) • Pelayanan persalinan pada puskesmas perawatan. 2. Paket Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit • Pelayanan pemeriksaan atau rawat jalan lanjutan spesialistik • Pelayanan gawat darurat/emergency • Pelayanan tindakan medik termasuk operasi • Pelayanan rehabilitasi medis • Obat-obatan sesuai DPHO/generik dan obat life saving • Penunjang diagnostik (seperti laboratorium, radiologi, dll)
E. Prinsip Pelayanan •
Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan kesehatan.
•
Terstruktur, berjenjang, dan diutamakan ke Puskesmas terlebih dahulu.
•
Rujukan oleh Puskesmas untuk pelayanan spesialistik dan rawat inap ke RS yang ditunjuk.
F. Prosedur/Tata Cara Mendapat Pelayanan 1. Masyarakat yang sakit berkunjung ke Puskesmas dan Puskesmas Pembantu dengan menunjukkan kartu identitas. 2. Jika diperlukan pelayanan lanjutan, pasien dapat dirujuk ke rumah sakit dengan surat rujukan dari puskesmas disertai dengan kartu identitas. 3. Dalam kondisi gawat darurat dapat langsung ke Rumah Sakit melalui Unit Gawat Darurat (UGD). 4. Jaminan Kesehatan akan diberikan apabila surat keterangan dari tempat kejadian perkara atau bagi anggota lembaga tertentu dengan menunjukkan identitas sesuai SK Walikota atau fotokopi diserahkan ke tempat pelayanan paling lambat 3 x 24 jam. 5. Apabila tidak mematuhi prosedur diatas, tidak mendapatkan jaminan pemerintah. Catatan: biaya pelayanan kesehatan rawat jalan (kecuali biaya administrasi) akan diberikan jaminan sesuai tarif yang diajukan.
3.6. Jumlah Bantuan dalam JAMKESDA di Lingkungan Pemkot Yogyakarta 1. Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Pelayanan Konsultasi Dokter Umum/Gigi Obat Dokter Umum/Gigi Tindakan medis ringan (radioterapi: 6 x per tahun) Konsultasi dokter spesialis Obat dokter spesialis Tambal gigi dan cabut gigi Operasi ringan gigi dan mulut Akupunktur (10 x per tahun), fisioterapi (10 x per tahun), EEG, ECG, Rontgen sesuai indikasi medis/surat pengantar dari dokter, USG kehamilan (max 4 x).
Bantuan (Rp) 25.000 25.000 100.000 50.000 50.000 50.000 100.000 50.000
2. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan No. 1. 2.
Jenis Pelayanan Biaya rujukan dari RJTP ke RSUD Kota/RS Dr.Sardjito/RS Swasta (termasuk obat dan bahan habis pakai/non DPHO/generik) Kasus/Tindakan yang ditangani oleh dokter sub spesialistik
Bantuan (Rp) Max 100.000 Max 25% besar klaim
3. Rawat Darurat (UGD-RS) No. 1. 2.
Jenis Pelayanan Kasus gawat darurat Pembelian gips collar neck, corset vertebrae, dan alat penyangga tubuh dengan indikasi medis.
Bantuan (Rp) Max 100.000 Max 100.000
4. Rawat Inap No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
9.
10. 11. 12.
Jenis Pelayanan Biaya kamar dan makan per hari. Bagi PNS, bila menggunakan fasilitas di luar haknya kelebihan biaya tidak diganti. ICU perhari max 30 hari Aneka perawatan RS kasus bedah Aneka perawatan RS kasus non bedah (di luar penyakit saraf) Aneka perawatan RS kasus neurologi Paket persalinan normal cermati kuitansi PT Askes Biaya dokter bedah untuk operasi: a. Khusus/komplek b. Besar/mayor c. Sedang d. Kecil/minor Biaya anestesi untuk operasi: a. Khusus/komplek b. Besar/mayor c. Sedang d. Kecil/minor Biaya kamar bedah untuk operasi: a. Khusus/komplek b. Besar/mayor c. Sedang d. Kecil/minor Kunjungan dokter RS ke pasien perhari/visite (max 90 hari perawatan) Biaya ambulance per perawatan Biaya operasi tanpa rawat inap, dirawat > 6 jam, kasus non bedah dirawat di UGD, one day care, khemoterapi. Penting: tunjukkan kartu
Bantuan (Rp) 50.000 100.000 Max 1.750.000 2.500.000 4.000.000 Max 1.000.000 4.700.000 2.750.000 1.600.000 900.000 1.900.000 1.100.000 650.000 400.000 1.900.000 1.100.000 650.000 400.000 25.000 30.000 1.000.000
13.
askesnya dulu. Santunan kematian (selain bunuh diri)
1.500.000
Keterangan: aneka biaya RS adalah biaya yang dikeluarkan karena pemakaian segala fasilitas, obat, dan bahan habis pakai non DPHO/generik yang dibutuhkan selama perawatan di RS. 5. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik No. 1. 2. 3.
Jenis Pelayanan Pemeriksaan lab rutin Pemeriksaan lab kimia Pemeriksaan penunjang diagnostik canggih, termasuk MRI dan scanning, USG (USG kehamilan 4 x) dengan indikasi medis/dengan surat pengantar dari dokter
Bantuan (Rp) 50.000 100.000 200.000
6. Bantuan Alat/ Protesa No. 1. 2.
Jenis Pelayanan Kaca mata dengan resep dokter spesialis mata max 1 x pertahun Prothesa gigi (max 1 x pertahun): a. 1-3 gigi b. > 3 gigi Usahakan penggantian ke PT. Askes dulu
Bantuan (Rp) 50.000 100.000 250.000
3.7. Pelayanan Kesehatan yang Tidak Dijamin oleh JAMKESDA •
Pelayanan yang tidak sesuai prosedur.
•
Bahan/alat dan tindakan yang bertujuan untuk kecantikan, general check-up, prothesis (untuk KetuaRT/RW/LPMK, Pengurus PKK RW kecuali kaca dan gigi), penunjang diagnostik canggih kecuali untuk life saving (kelangsungan hidup).
•
Pengobatan alternatif dan rangkaian pengobatan dalam upaya mendapat keturunan.
•
Pengobatan impotensi.
•
Pelayanan kesehatan pada masa tanggap darurat bencan alam.
•
Pelayanan kesehatan yang diberikan pada kegiatan bakti sosial.
•
Operasi jantung, paru, dan otak.
•
Kontrasepsi
•
Cuci darah
3.8. Daftar Rumah Sakit yang Bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dalam Program JAMKESDA Tahun 2007 1. RSUD Kota Yogyakarta (ASKESKIN) 2. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta (ASKESKIN) 3. RSI Hidayatullah Yogyakarta(ASKESKIN) 4. RS Panti Rapih Yogyakarta
5. RS Mata Dr. Yap Yogyakarta (khusus untuk perawatan penyakit mata yang tidak bisa ditangani di RSU) 6. RS DKT dr. Soetarto Yogyakarta (ASKESKIN) 7. RS Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta 8. RS Ludiro Husadatama Yogyakarta 9. RS Happy Land Medical Centre Yogyakarta (ASKESKIN) 10. RSKB Soedirman Yogyakarta 11. RB Realino Yogyakarta 12. RSKA 45 Yogyakarta 13. RSIA Permata Bunda Yogyakarta 14. RSK Puri Nirmala Yogyakarta 15. RB Sang Timur Yogyakarta 16. RB Puri Adisty Yogyakarta 17. Klinik Bersalin IBI Yogyakarta 18. RB-BP PKU Muhammadiyah Kotagede Yogyakarta 19. RSIA Sakina Idaman Yogyakarta 20. PMI Cabang Yogyakarta (ASKESKIN)
3.9. Profil Informan •
Kepala UPT PJKD Kota Yogyakarta Kusminatun , Amd Keb, S.Pd. Wanita berjilbab yang murah senyum ini adalah orang nomor satu di UPT PJKD. Ditemui di Kantor Dinas Kesehatan, Ibu dua anak ini sangat aktif dan pernah mendapatkan 3 penghargaan, Paramedis Teladan Tingkat Kota Tahun 1981, Bidan KKB Terbaik Nasional Tahun 1982, serta Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun. Berhubung beliau sedang mendapatkan tugas dari Kepala Dinas, ia dengan ramah mengontak stafnya dan mendelegasikan kepada mereka untuk melayani keperluan riset kami.
•
Muniroh, AMG Staf Bidang Keuangan dan Administratif UPT PJKD Ibu yang ramah ini menerima wawancara kami dengan antusias. Beliau semangat sekali menjawab beragam pertanyaan yang kami ajukan. Ibu Muniroh juga sangat terlihat berdedikasi terhadap tugas dan profesinya. Beliau berpendapat kunci kesuksesan dari Program Jamkesda ini adalah adanya komitmen yang kuat dari semua pihak yaitu eksekutif dan legislatif. Terutama sekali DPRD dan Walikota. Selain itu dukungan teknis dari Dinas Kesehatan dan lintas sektor seperti Dinkessos, TKPK, dan lainnya memiliki peranan yang sangat penting. Pemberian otonomi kepada UPT PJKD
•
Heri Purwanto, AMKL Staf Bidang Kepesertaan UPT PJKD Bapak yang satu ini berpenampilan menarik dan murah senyum. Sambil berseloroh, beliau menjawab UPT-PJKD seringkali dijadikan ”objek penelitian”. Meski begitu, ia tetap melayani pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama dari para peneliti atau auditor yang datang ke dengan semangat dan tanpa rasa bosan. Suka duka mengurusi kepesertaan Jamkesda tak terasa berat baginya karena ia adalah orang yang berprinsip bekerja dengan hati akan memberikan kebahagiaan lahir batin.
•
Ibu Fajar, Kepala Sub Bagian Perencanaan Dinas Kesehatan Ibu Fajar menerima saya dengan ramah ketika saya meminta izin untuk wawancara kepada Bagian Perencanaan Dinas Kesehatan. Namun, ketika hari wawancara tiba, Ibu Fajar tidak ada di tempat. Kemudian saya dilayani oleh salah seorang staf beliau dan diberikan kemudahan mengakses dokumen anggaran Jamkesda.
BAB IV KABUPATEN SLEMAN
4.1. KEADAAN UMUM A. Geografi dan Demografi Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan luas wilayah 574.82 Km2 (18% dari luas Propinsi DIY), terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa, dan 1212 dusun. Kondisi geografis di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedang bagian utara sebagian besar tanah merupakan tanah kering berupa ladang dan pekarangan. Di bagian utara ini permukaan tanahnya miring ke selatan dengan puncak adalah puncak Gunung Merapi. Berdasarkan registrasi penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2005, jumlah penduduknya 900.443 jiwa, jumlah Kepala Keluarga (KK) 240.356 dan rata-rata jiwa/KK 3,75. Data dari BPS menunjukkan bahwa Tahun 2005 sebanyak 34,03% pekerja diserap sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Lalu 17,10% pekerja pada sektor Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perseorangan, 14,43% pekerja pada Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel. Selain itu pekerja berpendidikan SMA/sederajat mendominasi yaitu 94,80%, sarjana 2,60%, pendidikan SD 0,10%, dan pendidikan SMP 1,10%. Pendataan keluarga oleh Bidang Keluarga Berencana Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Keluarga Berencana, tercatat jumlah keluarga miskin pada Tahun 2001 sebanyak 35.742 KK, Tahun 2002 sejumlah 35.857 KK, Tahun 2003 meningkat sampai 49.669 KK, Tahun 2004 menurun hingga 53.875 KK, dan Tahun 2005 bertambah sebanyak 60.736 KK. Masalah lain yang berkaitan dengan demografi antara lain: angka ketergantungan (dependency ratio) 34,37%, populasi usia 7-15 tahun sebanyak 14,60%, populasi usia diatas 45 tahun sebesar 25%, di atas 60 tahun sebesar 9,95% dan migrasi penduduk positif 10.600 jiwa serta kepadatan penduduk mencapai 1.558 Km2. Konsekuensi migrasi yang positif bagi daerah dituntut akan adanya infrastruktur yang memadai khusunya perumahan, air bersih, dan sarana dasar lainnya. Padahal Kabupaten Sleman meruipakan daerah tangkapan air untuk Kota Yoyakarta dan Kabupaten Bantul.
B. Desentralisasi Kesehatan dan Permasalahannya Kebijakan pemerintah tentang desentralisasi secara efektif dimulai 1 Januari 2001 yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Dalam pasal 11, UU
N0.22 Tahun 1999 disebutkan bahwa kesehatan merupakan salah satu bidang wajib yang harus dilaksanakan oleh daerah. Sebelum pelaksanaan desentralisasi, maka kebijakan tentang kesehatan ditentukan oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah lebih berfungsi sebagai unsur pelaksana. Dalam kurun waktu 5 tahun pelaksanaan desentralisasi ternyata telah banyak menimbulkan friksi-friksi antara pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota yang seringkali diikuti dengan kebijakan sesaat dan tidak berdasarkan bukti tapi sekedar merespon berkembangnya rumor. Implikasi dari kebijakan sesaat ini sangat luas dimensinya mulai dari struktur organisasi, tata kerja dan kewenangan, sumber daya manusia, subsidi, dan keuangan. Beberapa daerah yang kurang potensial bahkan menuntut otonomi dan ironisnya disetujui oleh pemerintah. Akibat lebih lanjut yakni perhatian terhadap pelayanan publik sangat kurang bahkan beberapa daerah menjadikan puskesmas dan rumah sakit sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah dengan fokus utama pada pelayanan klinis. Masalah-masalah kesehatan masyarakat kronis dan memang belum teratasi sejak dulu mencuat ke permukaan misalnya gizi buruk, out break demam berdarah, buruknya pelayanan di puskesmas dan rumah sakit pemerintah dan sebagainya dengan kambing hitam desentralisasi. Penggantian UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan keputusan bijak untuk tetap mendukung proses desentralisasi. Meskipun pada Tahun 1995, Kabupaten Sleman merupakan salah satu percontohan otonomi daerah dan ternyata dalam melaksanakan desentralisasi masih diperlukan perubahan yang sangat mendasar. Hal ini tercermin dalam Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2003 yang menetapkan bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah yang mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan bidang kesehatan. Adapun fungsinya adalah merumuskan kebijakan teknis bidang kesehatan, pemberian perizinan, dan pelaksanaan umum bidang kesehatan, serta pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Memang dalam Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 tidak secara spesifik menetapkan kewenangan daerah sehingga diasumsikan bahwa semua kewenangan yang tidak tercantum dalam PP No.25/2000 merupakan kewenangan kabupaten/kota. Dengan demikian daerah mempunyai peluang untuk menyusun rencana yang lebih spesifik dalam mengembangkan sistem pelayanan termasuk sistem pelayanan kesehatan mandiri. Banyak hal perlu dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang lalu agar pembangunan kesehatan di Kabupaten Sleman lebih mandiri dengan akuntabilitas publik yang tinggi. Untuk itu informasi akurat sangat diharapkan dari masyarakat terutama mereka yang peduli terhadap pembangunan kesehatan.
Selama ini data kesehatan yang direkam oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman lebih banyak bersumber dari unit pelayanan kesehatan milik pemerintah, sedangkan data dari pelayanan kesehatan swasta seperti dokter praktik, bidan praktik, dan BP belum banyak terekam oleh Dinas Kesehatan , sehingga informasi yang diperoleh kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan juga belum mendapatkan banyak informasi berkaitan dengan proses pengobatan atau penyembuhannya. Penentuan komponen pelayanan dan besarnya biaya ditetapkan oleh pemberi pelayanan tanpa diketahui kualitasnya oleh pengguna jasa yang berarti pihak pengguna berada di posisi yang lemah. Di era desentralisasi ini, di bidang kesehatan diperlukan reposisi peran pemerintah sehubungan dengan peningkatan biaya kesehatan dan keterbatasan anggaran. Dengan demikian sangat pentingnya penajaman prioritas untuk alokasi anggaran mencakup pelayanan kesehatan bersifat publik dan jaminan biaya kesehatan bagi orang miskin. Selain itu lembaga pelayanan kesehatan pemerintah harus diberikan otonomi yang luas agar berani melangkah dan bertanggung jawab untuk mandiri. Kemudian untuk membantu fungsi kontrol atas biaya pelayanan kesehatan perlu dikembangkan sistem asuransi yang dapat memberikan subsidi silang bagi masyarakat miskin melalui penggalian sumber dana dari masyarakat mampu.
4.2. SITUASI KESEHATAN A. Sarana Kesehatan Pembangunan kesehatan didukung oleh sejumlah sarana pada Tahun 2005 meliputi: Rumah Sakit Umum (RSU) pemerintah sebanyak 3 buah, RS Khusus pemerintah 1 buah, RSU swasta 5 buah, RS Khusus swasta 1 buah, Rumah Bersalin 19 buah, Balai Pengobatan 18 buah, Apotik 122 buah, Puskesmas 24 buah, dan 4 buah diantaranya Puskesmas dengan tempat perawatan. Puskesmas pembantu 75 buah, puskesmas keliling 37 buah, dokter praktek umum 200 orang, dokter gigi praktek 79 orang, dokter spesialis praktek 95 orang, bidan praktek 214 orang, praktek dokter bersama 4 buah, dan toko obat berijin 12 buah. Ketersediaan berbagai sarana dan tenaga kesehatan cukup memadai yaitu jumlah puskesmas per 100.000 penduduk sebesar 3,5 jumlah dokter per puskesmas 2,4. angka rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yakni 1 dokter : 24.250 jiwa, 1 paramedis/bidan : 1.780 jiwa, dan setiap puskesmas rata-rata melayani 36.863 jiwa.
B. Penyakit Penyebab Kematian Permasalahan kesehatan masyarakat yang ada di Kabupaten Sleman hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan genetik. Usia Harapan Hidup (UHH) di Kabupaten Sleman pada Tahun 2004 cukup tinggi, yakni laki-laki mencapai 72,40 tahun dan perempuan 76,79 tahun. Peningkatan umur harapan hidup berdampak pada peningkatan penyakit degeneratif seperti CVA (Cerebro Vascular Accident), penyakit jantung, dan diabetes mellitus. Berdasarkan data yang direkam dari 8 rumah sakit di Kabupaten Sleman maka diperoleh gambaran penyakit penyebab kematian sebagaimana dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Penyakit Penyebab Kematian Pasien Rumah Sakit di Kabupaten Sleman Tahun 2005 No. Penyebab Kematian 1. Septisemia 2. Stroke 3. Penyakit Jantung 4. Cedera Intrakranial 5. Aritmia Jantung 6. BBLR 7. Diabetes Mellitus 8. Gagal Ginjal Sumber Data: 8 RS di Kabupaten Sleman
Jumlah 261 80 69 55 43 38 23 18
Persentase (%) 43,79 14,93 11,57 9,22 7,21 6,37 3,85 3,02
Angka kematian bayi, ibu bersalin, dan angka kematian kasar di Kabupaten Sleman lebih rendah dari angka kematian Propinsi DIY maupun nasional. Namun demikian, angka kematian ibu bersalin kecenderungannya meningkat, hal ini disebabkan karena banyak diantaranya kondisi sosial ekonomi masyarakat menurun sebagai dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain itu masih adanya kasus kurang energi protein pada balita sebanyak 0,43% balita berstatus gizi buruk.
C. Penyakit Menular yang Berkembang Sampai dengan Tahun 2005 beberapa penyakit menular yang masih berkembang di Kabupaten Sleman dan potensial wabah adalah: malaria, demam berdarah dengue (DBD), diare dan campak. Penyakit malaria yang semula terkendali di luar dugaan muncul menjadi kejadian luar biasa (KLB) di Kecamatan Mlati Tahun 2003 dengan jumlah kasus sebanyak 310 orang dan terbanyak pada kelompok umur >15-44 tahun (56%), terendah pada umur <1 tahun (2,67%). Hal ini dimungkinkan karena pada golongan umur 15-44 tahun mempunyai mobilitas yang tinggi.
Kabupaten Sleman memang merupakan daerah endemis demam berdarah dan menyebar di sebagian kecamatan dengan angka yang fluktuatif. Demikian pula dengan penyakit diare dengan 2 orang penderita meninggal pada Tahun 2003. Berdasarkan Laporan LB1 maka masih ditemukan kasus campak 316 kasus pada Tahun 2006 dengan golongan umur terbanyak 5-14 tahun. Penyakit menular lainnya yang masih menjadi permasalahan yakni tuberkolosis (TB) Paru dengan prevalensi nasional 115/100.000 penduduk. Sedangkan target tersangka suspek adalah 10 kalinya dari target BTA (+) yaitu 1150/100.000 penduduk. Tahun 2005 case detection rate (CDR) 54,66%, conversion rate 80,07%, dan cure rate 72,73%. Berbagai program telah dilaksanakan untuk mengatasi penyakit ini sejak bayi dengan Imunisasi BCG sampai dengan pengobatan gratis namun belum memberikan hasil yang optimal. Kendala yang dihadapi yakni sejak penemuan penderita sampai dengan pengobatan yang perlu waktu minimal 6 bulan sehingga menimbulkan kejenuhan pasien (ketaatan berobat kurang). Rendahnya penemuan penderita disebabkan beberapa kendala teknis antara lain: rendahnya kesadaran masyarakat untuk pemeriksaan dahak sebanyak 3 kali, motivasi petugas dalam case finding and case holding belum optimal, demikian juga dalam koordinasi lintas program, serta masih kurangnya promosi mengenai penyakit TB.
D. Penyakit Tidak Menular yang Berkembang Kabupaten Sleman menghadapi masalah kesehatan ganda yakni selain penyakit menular yang belum teratasi namun telah berkembang secara pesat penyakit tidak menular. Beberapa penyakit tidak menular antara lain: kejadian keracunan makanan, kecelakaan, masih adanya kasus gizi buruk, gangguan jiwa, dan penyalahgunaan napza. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Kabupaten Tahun 2003, Propinsi DIY termasuk dalam 10 besar wilayah di Indonesia yang terjadi kasus narkoba. Di Kabupaten Sleman, sumber dari Polres menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun kasus penyalahgunaan napza cenderung mengalami peningkatan. Pada Tahun 2005 telah terjadi 86 kasus dengan persentase terbesar adalah masyarakat umum (67%), disusul mahasiswa (31,3%), dan pelajar tidak ada laporan. Sementara data 2004 tercatat 96 kasus penyalahgunaan napza yang didominasi mahasiswa 52,2%, disusul masyarakat umum 44,8%, dan pelajar 1%.
E. Angka Kematian Bayi, Balita, dan Ibu 1. Angka Kematian Bayi (AKB) Angka kematian bayi (AKB) di Kabupaten Sleman dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 menunjukkan angka yang fluktuatif, tahun 1997 ada 8 kematian/1.000 kelahiran, 1998 ada 9,92 /1.000 kelahiran hidup, tahun 1999 ada 11 /1.000 kelahiran hidup, tahun 2000 ada 11,25/1.000 kelahiran hidup, tahun 2001 ada 9,25/1.000 kelahiran hidup, tahun 2002 sebanyak 8,01 / 1.000 kelahiran hidup, tahun 2003 sebanyak 8,47 per 1000 KH, tahun 2004 sebanyak 5,67 per 1000 KH, tahun 2005 sebanyak 7,67 per 1000 KH, tahun 2006 sebanyak 7,67 per 1000 KH dan tahun 2007 sebanyak 4,32 per 1000 KH. Tahun
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jml Kematian/100.000KH
9,92 11
11,3 9,25 8,01 8,47 5,97 7,67 7,67 4,32
2. Angka Kematian Balita Angka kematian balita menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruih terhadap kesehatan balita seperti gizi, penyakit infeksi, dan kecelakaan. Angka kematian balita tahun 2002 sesuai dengan hasil pelaporan AKB adalah nol (0).
3. Angka Kematian Ibu Maternal (AKI) AKI berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan waktu melahirkan dan masa nifas. Angka kematian ibu maternal secara nasional menurut SKRT tahun 1995 sebesar 373, sedangkan di Kabupaten Sleman dari tahun 1999 sebesar 87,22 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2000 sebanyak 84,6 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2001 sebesar 93,47 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 sebanyak 70,38 per 100.000 kelahiran hidup. Tahun 2003 sebesar 76,19 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2004 sebesar 75,12 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2005 sebesar 69,31 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2006 sebesar 69,31 per 100.000 KH, dan tahun 2007 sebesar 91,34 per 100.000 kelahiran hidup Tahun
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jml Kematian/100.000KH 87,2 87,22 84,60 93,47 70,38 76,19 78,70 69,31 69,31 91,34
F. Umur Harapan Hidup Meningkatnya umur harapan hidup waktu lahir, sekaligus memberikan gambaran kepada kita bahwa salah satu penyebabnya adalah karena meningkatnya kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. Dari estimasi secara nasional yang dilakukan oleh BPS, umur harapan waktu lahir (Eo) penduduk Indonesia pada tahun 2000 menjadi 67 tahun, di Kabupaten Sleman sudah mencapai 71 untuk penduduk laki-laki dan 72 untuk wanita (rata-rata 71,5 tahun). Dan diproyeksikan umur harapan hidup tahun 2000 – 2007 penduduk kabupaten Sleman menjadi 74,17 tahun.
G. Status Gizi Masyarakat Status gizi masyarakat di Kabupaten Sleman sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 menunjukkan angka yang fluktuatif. Data selengkapnya seperti terlihat dalam tabel berikut : STATUS GIZI
TAHUN 2002
2003
2004 2005
2006 2007
Gizi Buruk
0,74
0,74
0,54
0,49
Gizi Kurang
12,85
10,47 10,38 11,39 10,62 14,32
Gizi Baik
84,79
87,55 87,83 86,19 86,47
Gizi Lebih
1,61
1,24
1,24
0,43
1,24
2,22
0,22 82 3,02
4.3. ARAH KEBIJAKAN Pembangunan kesehatan di Kabupaten Sleman merupakan bagian integral dari pembangunan daerah yang mempunyai visi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berdaya saing. Pengertian tentang sejahtera adalah keadaan masyarakat yang maju dan tercukupi kebutuhan dasar lahir dan batin, ditandai dengan peningkatan kualitas hidup karena terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Sementara pengertian berdaya saing adalah perwujudan masyarakat yang memiliki keunggulan komparatif dalam berbagai bidang sehingga dapat memenangkan persaingan secara sehat. Untuk mendukung visi tersebut mencakup 2 hal pokok yaitu: peningkatan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta dan pemerataan dengan penyediaan sarana serta prasarana yang memadai. Selanjutnya secara rinci arah pembangunan kesehatan Kabupaten Sleman adalah: 1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat.
2. Meningkatkan pemahaman dan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) terutama pada tatanan rumah tangga , institusi pendidikan, dan kesehatan. 3. Meningkatkan kemandirian masyarakat dalam upaya kesehatan. 4. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. 5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan sistem kesehatan daerah. 6. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana kesehatan. 7. Meningkatkan ketersediaan informasi yang akurat, tepat waktu, dan lengkap melalui jaringan kerja sama.
4.4. STRATEGI A. Perubahan Paradigma Mengacu pada visi yang ingin diwujudkan pada Indonesia Sehat 2010, maka strategi yang ditempuh adalah gerakan pembangunan berwawasan kesehatan. Dalam konteks ini perubahan paradigma kesehatan dimulai dari pergeseran pelayanan yang lebih menekankan pada pelayanan promotif dan preventif daripada kuratif-rehabilitatif. Disamping itu di era teknologi informasi saat ini sangat diperlukan SDM yang proaktif dan profesional. Dengan demikian maka Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman berupaya melakukan perubahan paradigma pada setiap sistem. Perubahan paradigma tidak hanya terbatas pada perubahan paradigma sakit menjadi paradigma sehat, akan tetapi didahului dengan perubahan mindset dari para pelaku kesehatan di semua lini. Melalui perubahan mindset diharapkan dapat meningkatkan motivasi untuk mendorong terbangunnya komitmen organisasi secara menyeluruh untuk menuju pada kesejahteraan secara berkelanjutan. Dalam pelayanan kesehatan di puskesmas, upaya pemberian otonomi dan tanggung jawab yang lebih luas dalam mengelola keuangan dan sumber daya yang ada, merupakan salah satu upaya untuk perubahan paradigma di Kabupaten Sleman. B. Penataan Organisasi Setelah berlakunya UU No.22 Tahun 1999, telah dilakukan restrukturisasi organisasi mulai dari Dinas Kesehatan, RSUD, serta Puskesmas. RSUD yang sebelumnya menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), saat ini telah menjadi Unit Pelaksana Daerah yang langsung bertanggung jawab kepada Bupati. Sementara itu, struktur organisasi Dinas Kesehatan terdiri dari Kepala Dinas, 1 bagian Tata Usaha (TU) dan 4 bidang lainnya yaitu Bidang Pelayanan Medis (YanMed), Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat (YanKesMas), dan Bidang Perlindungan Kesehatan Masyarakat (LinKesMas). Setiap
bagian/bidang dilengkapi dengan 4 sub bagian/seksi, kecuali bidang Linkesmas hanya terdapat 3 seksi. Organisasi di puskesmas juga mengalami restrukturisasi. Kepala puskesmas yang sebelum pelaksanaan desentralisasi mempunyai tugas rangkap sebagai kepala merangkap tenaga fungsional. Maka setelah desentralisasi kepala puskesmas adalah pejabat struktural dan tidak dapat merangkap sebagai pejabat fungsional. Dalam melaksanakan fungsinya, maka kepala puskesmas dibantu oleh 3 koordinator. C. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Keberhasilan peningkatan pelayanan kesehatan yang profesional sangat tergantung dari komitmen, kuantitas, dan kualitas SDM yang ada sehingga peningkatan kompetensi tenaga kesehatan menjadi sangat penting. Peningkatan kemampuan SDM di Kabupaten Sleman dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, baik secara jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal melalui pelatihan. Berdasarkan data kegiatan Dinas Kesehatan sampai dengan Tahun 2003, jumlah personil yang menempuh pendidikan sebelum desentralisasi jumlahnya sangant sedikit. Setelah pelaksanaan desentralisasi jumlahnya meningkat sangat tajam, karena dorongan dari pihak Dinas Kesehatan kepada para pegawai di bidang kesehatan. Sebagai gambaran pada Tahun 1993 s/d 2000 jumlah pegawai yang menempuh jenjang pendidikan S2 hanya 2 orang, sampai dengan tahun 2005 jumlahnya menjadi 16 orang. Untuk S1 pada Tahun 2000 hanya 2 orang, samapi dengan Tahun 2005 meningkat menjadi 57 orang. Pendidikan D3 dari 15 orang Tahun 2000 menjadi 212 orang. Peningkatan kualitas kemampuan sumber daya kesehatan selain melalui pendidikan formal juga diarahkan pada peningkatan kompetensi melalui diklat-diklat maupun pendidikan penjenjangan yang ada. Dengan tenaga yang terlatih dan terampil dalam pekerjaan diharapkan adanya perubahan mindset. Sehingga terbentuk komitmen untuk menuju pada pelayanan kesehatan yang lebih bermutu dan lebih efisien dan tercapainya kepuasan pelanggan internal maupun eksternal. Secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan sehingga memudahkan untuk melakukan pengembangan diri dan peningkatan secara terusmenerus. D. Pembiayaan Kesehatan Pembenahan dalam pembiayaan kesehatan diawali dengan pengkajian terhadap pembiayaan pelayanan kesehatan di puskesmas melalui peninjauan kembali terhadap perda tarif puskesmas. Pengkajian ini selain untuk memenuhi harapan masyarakat sesuai hasil survey juga dalam rangka memanfaatkan puskesmas secara optimal khususnya dalam pelayanan klinik.
Perhitungan unit cost pelayanan puskesmas dilakukan agar dapat diketahui besarnya biaya tiap jenis pelayanan sehingga pasien mendapatkan pelayanan yang bermutu tanpa membedakan status. Untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin sekaligus merintis sistem pembiayaan pelayanan kesehatan secara pra upaya, maka pemerintah daerah membentuk UPTD JPKM melalui SK. Bupati No.21/Kep.KDH/A/2002. Premi bagi keluarga miskin dibayar oleh pemerintah daerah, sehingga semua keluarga miskin mendapatkan pelayanan gratis untuk pelayanan kesehatannya. E. Peningkatan Sarana dan Prasarana Pembenahan sarana dan prasarana kesehatan diprioritaskan pada sarana pelayanan kesehatan Puskesmas yang dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan pemerintah daerah. Pengadaan sarana dan prasarana meliputi fisik gedung, pemenuhan peralatan medis dan non medis, serta pergantian peralatan medis yang telah rusak. Pembenahan terhadap sarana dan prasarana termasuk kalibrasi alat medis sehingga pelaksanaan pelayanan lebih terstandar. F. Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat Peran serta masyarakat di bidang kesehatan sangat besar, wujud nyata bentuk keperansertaan masyarakat antara lain melalui berkembangnya upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM), misalnya Posyandu, Polindes, POD, dan Pos UKK. Dilihat dari sumber daya manusia untuk kegiatan UKBM, jumlah kader sebanyak 7.757 orang sementara kader aktif sebanyak 5.890 orang (75,9%), jumlah batra ada 1.094 orang, sedangkan tingkat perkembangan polindes dari jumlah polindes 29, tingkat pratama sebanyak 6 (21%), tingkat madya 9 polindes (31%), Purnama 10 (34%) dan tingkat Mandiri sebanyak 4 polindes (14%). Sesuai hasil pencatatan kegiatan penimbangan balita di Posyandu tahun 2002, jumlah posyandu seluruhnya 1.314 pos. Terdiri dari Posyandu Purnama sebanyak 217 (16,5%), posyandu mandiri sebanyak 509 (38,7%). Jumlah seluruh balita sebanyak 60.615 balita, yang datang dan ditimbang sebanyak 47.581 balita (78,5%), balita naik timbangannya sebanyak 32.012 (67,28%). Pos Obat Desa (POD) yang ada sebanyak 81 Pos dengan porsi terbesar pada tingkat madya sebanyak 53 (65%). Sedangkan TOGA sebanyak 76 buah dengan porsi terbesar pada tingkat pratama 37 (49%). Bila dilihat dari kuantitasnya terlihat sudah bagus tetapi bila dari segi kualitasnya masih perlu ditingkatkan karena jumlah yang mandiri di masing-masing kegiatan prosentasenya masih sedikit. Diakui bahwa untuk melakukan perawatan kesehatan atau pengobatan diperlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu perilaku untuk menjaga kesehatan, masyarakat melalui kegiatan baik secara perorangan maupun kolektif telah melakukan penggalanagn dana melalui JPKM maupun jaminan pembiayaan yang lain. Menurut susenas tahun 2000 bahwa masyarakat yang
mempunyai jaminan pembiayaan terhadap kesehatannya baru sekitar 12 % dari total populasi. Terdiri dari JPKM mandiri sebesar 0,2%, PT Askes 9,05%, Astek/Jamsostek 2,37% dana sehat 0,38%. Kegiatan penyelenggaraan JPKM di Kabupaten Sleman, saat ini telah dibentuk sebuah UPTD JPKM, sedangkan pelaksanaan masih dalam proses. G. Puskesmas Ramah Remaja (PRR) Dalam rangka mempercepat penurunan AKI dan mempertahankan AKB yang rendah melalui garapan lebih dini pada sasaran calon ibu dan ayah diperlukan pengembangan pelayanan kesehatan pada remaja. Maka sejak Tahun 2004 dikembangkan PRR di 9 puskesmas dengan penempatan seorang psikolog. Untuk pelayanan PRR di puskesmas ini dilengkapi dengan pelayanan konseling kesehatan jiwa/psikologis, survey pemantauan anemia, dan pada sekolah binaan dibentuk peergroup dengan kader sebaya. H. Penganggaran Sebenarnya anggaran kesehatan Kabupaten Sleman berasal dari berbagai sumber yakni: kabupaten, propinsi, pusat, bantuan luar negeri dan swasta. Namun demikian anggaran dari pihak swasta sampai sekarang belum bisa direkam oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. Sebagaimana sudah menjadi ketetapan pemerintah daerah maka semua pendapatan yang berasal dari pelayanan kesehatan (puskesmas dan rumah sakit daerah) 100% dikembalikan kepada unit yang bersangkutan untuk peningkatan pelayanan. Selama kurun waktu 2001-2005 persentase anggaran kesehatan dari pemerintah dibandingkan dengan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) kabupaten berkisar 9 persen. Meksipun persentase anggaran kesehatan sejak Tahun 1998/1999 sampai dengan Tahun 2003 berkisar 9-10% dari APBD Kabupaten. Namun demikian besaran anggaran secara nominal mengalami peningkatan. Oleh Bank Dunia anggaran kesehatan perkapita pada Tahun 2005 ditargetkan minimal sebesar Rp. 42.000 dan sampai dengan Tahun 2005 telah mencapai Rp.58.451. Berdasarkan hasil rekapitulasi data dari bagian perencanaan dinas kesehatan, bahwa besar pembiayaan untuk sektor kesehatan berasal dari berbagai sumber antara lain: APBD Kabupaten, APBD propinsi, Bantuan luar negeri (BLN),dan APBN. Secara umum besarnya anggaran lebih banyak dari APBD kabupaten, hal ini sangat menggembirakan karena sekitar 80% sendiri dana untuk sektor kesehatan berasal dari Kabupaten Sleman. Data ini termasuk gaji pegawai dan anggaran dari rumah sakit sleman. Secara umum dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:
REKAPITULASI DATA KEUANGAN DINAS KESEHATAN BERDASARKAN SUMBER ANGGARAN NO
SUMBER ANGGARAN
TAHUN (TAHUN) DALAM RUPIAH 2000
2001
1.
APBD KABUPATEN
Rp.8.074.927.521
Rp.23.752.399.918 Rp.28.808.603.964 Rp.27.550.986.399 Rp.37.161.406.062 Rp.39.963.760.982
2002
2003
2.
APBD PROPINSI
Rp.296.165.000
Rp. -
Rp.900.000.000
Rp.-
3.
ABN
Rp.8.406.843.149
Rp.6993.183.888
Rp.7.528.137.869
Rp.10.066.719.593 Rp. 4.970.589.779 Rp.9.209.987.316
4.
BLN (PHP)
Rp.88.869.280
Rp. 2.229.512.000 Rp.3.511.247.000
JUMLAH
Rp.16.866.804.950 Rp.32.975.095.806 Rp.40.747.988.833 Rp.41.775.152.888 Rp.43.721.417.441 Rp.52.040.698.298
Rp.4.157.446.896
2004
Rp. -
2005
Rp.-
Rp. 1.589.421.600 Rp. 2.866.950.000
I. PENCAPAIAN INDIKATOR KW SPM BIDANG KESEHATAN Sesuai dengan Kepmenkes 1457/SK/MENKES/2003 yang merupakan kewenangan wajib minimal (SPM) bidang kesehatan, dinas kesehatan telah melakukan penilaian sesuai dengan indikator dari Pemerintah Pusat tersebut. Hasil Kewenangan Wajib Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan sebagai hasil pelaksanaan kegiatan yang merupakan bentuk akuntabilitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus dapat diwujudkan. Kegiatan dalam SPM Kabupaten Sleman Tahun 2006 ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai sumber laporan yang ada di dinas kesehatan. Hasil selengkapnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2003 - 2006 Sebagai tindaklanjut pelaksanaan Kepmenkes No 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Kewenangan Wajib Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan maka didapatkan hasil-hasil pengukuran sebagai berikut: No
Indikator SPM
HASIL Target HASIL HASIL HASIL HASIL Th Nas Th Th 2004 Th 2005 Th 2006 Th 2007 2003 2010
1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi a. Persentase cakupan kunjungan ibu hamil K4 b. Persentase cakupan pertolongan persalinan oleh bidang atau nakes yg memiliki kompetensi kebidanan c. Persentase ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk**
79,85 79,62 % 99,66 % 93,24 % 96,06 % 95 % % 96 % 92,61 % 96,40 % 92,08 % 97,72 % 90 %
24,80 23,92 % 12,45 % % 79,38 d.Persentase cakupan kunjungan neonatus 68,60 % 99,08 % % e. Persentase cakupan kunjungan bayi 78,54 % f. Persentase cakupan bayi BBLR yang ditangani 100 % 100 % 72,38 % 2 Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia sekolah a. Persentase cakupan deteksi dini tumbuh 84,69 69,13 % 42,83 %
15,93 % 27,96 % 100 % 93,01 % 99,68 % 90 % 79,32 % 59,82 % 90 % 65,38 % 82,35 % 100 %
47,42 % 36,65 % 90 %
kembang anak balita dan prasekolah b. Persentase cakupan pemeriksaan kes. siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS atau dokter kecil) c.Persentase cakupan pelayanan kesehatan remaja 3 Pelayanan Keluarga Berencana a. Persentase cakupan peserta aktif KB 4 Pelayanan Immunisasi a.Persentase desa/kelurahan UCI 5 Pelayanan pengobatan /perawatan a. Persentase cakupan rawat jalan b. Persentase cakupan rawat inap 6 Pelayanan Kesehatan Jiwa
7
8
9
10
11
a.Persentase pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan umum Pemantauan pertumbuhan balita a. Persentase balita yang naik berat badannya (N/D) b. Persentase balita bawah garis merah /gizi buruk Pelayanan Gizi a. Persentase cakupan balita mendapat kapsul vitamin A2 kali per tahun b. Persentase Cakupan Ibu Hamil mendapat 90 Tablet Fe c. Persentase cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi BGM dari keluarga miskin. d. Persentase balita gizi buruk mendapat perawatan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar dan Komprehensif a. Persentase akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani rujukan ibu hamil dan neonatus. b. Persentase ibu hamil resiko tinggi/komplikasi yang tertangani c. Persentase neonatus resiko tinggi/Komplikasi yang tertangani Pelayanan Gawat Darurat a. Persentase sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat diakses masyarakat. Penyelenggaraan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Gizi Buruk a. Persentase desa/kelurahan mengalami KLB yang ditangani <24 jam
% 74,12 % -
100 % 97,79 % 97,46 % -
100 %
54,41 % 94,77 % 95,53 % 80 %
84,32 70,83 % 78,02 % 78,54 % 79,70 % 70 % % 100 % 100 % -
100 %
100 %
100 %
100 %
27,5 % 20,5 % 22,34 % 29,78 % 15 % 0,4 % 1,3 % 0,33 % 1,54 % 1,5 %
1,54 % 2,24 %
1,44%
3,39 %
4,58 %
15 %
65,8 % 74,26 % 70,5 % 70,82 % 70,83 % 80 % 8,1 %
7,2 %
4,9 %
0,49 %
0,64 %
5%
90,53 105,57 96,52 % 95,45 % 91,69 % 90 % % % 82,86 77,54 % 85,24 % 82,51 % 80,06 % 90 % % 100 % 100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 % 100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 % 100 %
100 %
100 %
100 % 100 %
100 % 48,01 % 46,54 % 80 %
91,08 % 80 %
100 % 100 % 73,52% 32,35 % 68,70 % 80 %
100 % 100 %
100 %
25 %
100 % 100 %
100 % 94,12 %
52,63 % 90 %
100 %
100 %
b. Persentase kecamatan bebas rawan gizi 12 Penyelenggaraan dan pemberantasan penyakit Polio a. Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per 100.000 penduduk <15 tahun 13 Penyelenggaraan dan pemberantasan penyakit TB paru a. Persentase kesembuhan penderita TBC BTA + 14 Penyelenggaraan dan pemberantasan penyakit ISPA a. Persentase cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani 15 Penyelenggaraan dan pemberantasan penyakit HIV AIDS a. Persentase klien yang mendapatkan penanganan HIV AIDS b. Persentase infeksi menular seksual yang diobati 16 Penyelenggaraan dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) a. Persentase penderita DBD yang ditangani 17 Pelayanan dan pemberantasan penyakit Diare a. Persentase balita dengan diare yang ditangani 18 Pelayanan Kesehatan Lingkungan a. Persentase institusi yang dibina 19 Pelayanan pengendalian vektor a. Persentase rumah/bangunan bebas jentik Nyamuk Aedes 20 Pelayanan Hygiene Sanitasi di tempat umum a. Persentase tempat umum yang memenuhi syarat 21 Penyuluhan Perilaku Sehat a. Persentase rumah tangga sehat b. Persentase bayi yang mendapat ASI Ekslusif c. Persentase desa dengan garam beryodium baik d. Persentase Posyandu Purnama dan Mandiri 22 Penyuluhan P3 NAPZA berbasis masyarakat a. Persentase upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh petugas kesehatan
88,23 %
6
100 % 88,23 % 94,12 % 70,59 % 80 %
1
12
=0,01
=0,01
>=1
81 % 86,96 % 72,73 % 81,82 % 82,38 % >85 % -
-
-
-
100 % 100 % 26,45 % 100 % -
-
100 %
100 %
-
-
-
100 % 100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 % 100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 % 100 % 70,30 % =100 % =100 %
80 %
100 % 100 %
100 %
100 %
59,8 %
19,7 % 85,86 % 69,95 % 70 %
70 %
100 %
100 %
75 % 87,65 % 90,70 % 90,88 % 87,42 % >95 %
78,05 %
80, % 77,89 % 76,31 % 66,98 % 85 %
88 % 90,4 % 28,6 % 10 % 75,3 % 95 % 40 % 51 %
93,38 % 59,5 % 99,46% 53,46 %
96,21 % 52,66 % 86,05 % 41,33 %
93,17 % 62,44 % 83,72 % 66,71 %
65 % 80 % 90 % 40 %
3,94 % 1,23 %
3,1 %
3,61 %
2,58 %
15 %
-
-
-
23 Pelayanan penyediaan obat dan perbekalan kesehatan a. Persentase ketersediaan obat sesuai kebutuhan 100 % 62,19 b. Persentase pengadaan obat esensial % 98,70 c. Persentase pengadaan obat generik % 24 Pelayanana Penggunaan Obat Generik a. Persentase penulisan resep obat generik -*
-
96,55 % 95,56 % 100 %
85,83 % 90 %
99,21 % 100 %
86,36 % 100 %
100 %
94,44 % 91,94 % 93,85 % 95,17 % 100 %
96,55 % 96,68% 95,41 % 95,17 % 90 %
25 Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Kesehatan Perorangan a. Persentase cakupan Jaminan Pemeliharaan 18,5 % 16,7 % 20,53 % 94,79 % 39,81 % Kesehatan Pra Bayar 25 Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Gakin dan Masyarakat Rentan a. Persentase cakupan Jaminan Pemeliharaan 18,5 % 16,7 % 20,53 % 94,79 % 100 % Kesehatan Gakin dan Masyarakat rentan 27 Jenis Pelayanan yang dilaksanakan sesuai kebutuhan (untuk daerah tertentu) 1. Pelayanan Kesehatan Kerja *) Persentase cakupan pelayanan kesehatan kerja 20 % 13,09 % pada pekerja normal*) 2.Pelayanan kesehatan Usia Lanjut *) Persentase cakupan pelayanan kesehatan pra 37,63 % 37,29 % usia lanjut dan usia lanjut*) 3. Pelayanan Gizi Persentase cakupan wanita usia subur yang 30 % 100 % 25 % mendapatkan kapsul Yodium*) 4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit HIV AIDS Persentase darah donor diskrining terhadap HIV 0,39 % 100 % AIDS*) 5. Pencegahan dan pemberantasan penyakit Malaria*) Pencegahan penderita malaria yang diobati*) 100 % 100 % 6.Pencegahan dan pemberantasan penyakit Kusta*) Persentase Kusta yang selesai berobat (RTF >93,75 >100 % rate*) % 7. Pencegahan dan pemberantasan penyakit filariasis*) Persentase kasus filariasis yang ditangani *) 100 % 100 % Keterangan: * data tidak tersedia
80 %
80 %
80 %
70 %
80 %
100 %
100 %
>90 %
90 %
J. Prestasi Kabupaten Sleman di Bidang Kesehatan •
Sertifikasi SMM ISO 9001:2000 dari PT. SGS untuk 8 Puskesmas di Kabupaten Sleman.
•
Sertifikasi SMM ISO 9001:2000 dari PT. SGS untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.
•
Penghargaan Citra Pelayanan Prima Terbaik Tingkat Nasional dari Presiden kepada Puskesmas Depok I pada Tahun 2004.
•
Penghargaan Ksatria Bakti Husada Arutala dari Departemen Kesehatan kepada Bupati Sleman pada Tahun 2004.
•
Penghargaan Manggala Karya Bakti Husada Kartika dari Departemen Kesehatan kepada Pemerintah Kabupaten Sleman pada Tahun 2005.
•
Penghargaan Pencapaian Index Pembangunan Manusia (IPM) Tertinggi Tahun 2005 bagi Kabupaten Sleman pada Tanggal 9 November 2006
4.5. KONSEP DAN IMPLEMENTASI KEMANDIRIAN PUSKESMAS DI SLEMAN A. Pendahuluan Sejak berlakunya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan seiring dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang bermutu khususnya pelayanan pemerintah, maka pemerintah kabupaten harus berupaya meningkatkan pelayanannya di segala bidang. Di bidang kesehatan tuntutan serupa juga menjadi isu utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di era mendatang. Berdasarkan hasil survey tentang pandangan dan harapan masyarakat terhadap puskesmas yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman pada Tahun 2000. Secara umum didapatkan hasil bahwa > 60% masyarakat menyatakan setuju dan sangat setuju agar mutu pelayanan di puskesmas lebih diutamakan. Sedangkan tarif puskesmas tidak harus murah. Selain itu, hampir 90% masyarakat menginginkan pelayanan di puskesmas dilakukan oleh dokter. Dan > 60% masyarakat menginginkan puskesmas buka jam pelayanan pada sore hari. Citra buruk atas pelayanan puskesmas di era desentralisasi sekarang ini, menjadi tantangan besar bagi pemegang kebijakan di kabupaten/kota. Secara nasional, isu tentang upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah telah dilakukan sejak Tahun 1980 dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada pihak pengelola rumah sakit pemerintah. Pada Tahun 1991 diterbitkan Keppres No.38 Tahun 1991 tentang Unit Swadana dengan tujuan agar rumah sakit dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal dalam mengatur sendiri pendapatannya. Istilah swadana tersebut ternyata identik dengan swakelola sehingga menjadi perdebatan di berbagai kalangan para akademisi, kalangan di luar sektor kesehatan, serta LSM karena terdapat kekhawatiran pola ini akan mengarah ke privatisasi. Berdasarkan pengalaman dan permasalahan tersebut maka Kabupaten Sleman telah melakukan kegiatan dan pembahasan yang mendalam tentang konsep pelayanan publik yang tidak mencari keuntungan (Non Profit Public Enterprise). Dasar pemikiran dalam pengembangan konsep ini yaitu bahwa puskesmas tetap dijadikan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan primer yang berfokus pada pelayanan kesehatan masyarakat namun diberikan peluang untuk memberikan juga pelayanan klinik/perorangan. Dengan demikian puskesmas tidak diarahkan untuk menjadi rumah sakit kecil dan selalu menjadi objek kebijakan yang seringkali menjadi
beban bagi puskesmas itu sendiri. Akan tetapi puskesmas diberikan otonomi pengelolaan sumber daya yang dimiliki dan tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Kendala yang dihadapi daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan di puskesmas antara lain: 1) kemampuan keuangan daerah terbatas; 2) pelaksanaan program puskesmas sebagai bagian integral pembangunan kesehatan secara menyeluruh belum dapat optimal; 3) pengelolaan kegiatan puskesmas yang selama ini bersifat sentralistik menjadikan puskesmas belum terbiasa mengelola kegiatannya secara mandiri; 4) puskesmas kurang memiliki otoritas untuk memanfaatkan peluang yang ada; 5) kurangnya kesejahteraan karyawan yang berpengaruh terhadap motivasi dalam melaksanakan tugas di puskesmas; dan 6) kurang siapnya puskesmas dalam menghadapi era globalisasi di masa depan. Atas dasar pemikiran tersebut diatas maka dalam mengembangkan pelayanan kesehatan di Kabupaten Sleman tidak menggunakan istilah puskesmas mandiri ataupun swadana/swakelola tetapi menggunakan istilah ”Kemandirian Puskesmas”. Diharapkan dengan Kemandirian Puskesmas maka puskesmas dapat dimonitor dan dievaluasi secara terus-menerus tidak hanya dari sisi pendapatan saja tetapi juga dari sisi sumber daya lainnya (ketenagaan, manajemen puskesmas/jaminan mutu, dan kemampuan pembiayaan masyarakat). Makna dan filosofi konsep kemandirian puskesmas adalah: 1. Menyangkut keberadaan Puskesmas tetap sebagai pelayanan publik non profit. 2. Fokus utama tetap pada pelayanan dasar dengan melaksanakan fungsi pelayanan klinik dan pelayanan kesehatan masyarakat (UKM dan UKP). 3. Masih diperlukan subsidi baik untuk operasional maupun investasi. 4. Diperlukan otonomi dan tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
B. Kemandirian Puskesmas •
Pengertian Batasan kemandirian puskesmas adalah upaya kemampuan dan otonomi puskesmas untuk
mengelola sumber daya yang dimiliki meliputi pendapatan keuangan (yang bersumber dari 100% pendapatan puskesmas, subsidi operasional puskesmas, asuransi kesehatan/JPKM dan sumber lainnya), tenaga dan manajemen puskesmas secara menyeluruh. •
Tujuan
-
Tujuan Umum Meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan puskesmas melalui penyiapan performance
puskesmas. -
Tujuan Khusus
1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada semua masyarakat. 2. Meningkatkan kemampuan SDM dalam pengelolaan sumber daya yang ada. 3. Meningkatkan kesejahteraan karyawan. 4. Meningkatkan dan memantapkan organisasi serta manajemen puskesmas.
C. Tipologi Kemandirian Untuk mengetahui perkembangan kemandirian puskesmas, maka dibutuhkan penilaian. Penilaian tersebut akan menggambarkan tipologi dari kemandirian setiap puskesmas, sehingga penyiapan performances puskesmas dapat dilakukan secara optimal. Kemandirian puskesmas dibagi dalam 3 tipe yaitu: 1. Kemandirian Tipe I atau Kemandirian Pratama 2. Kemandirian Tipe II atau Kemandirian Madya 3. Kemandirian Tipe III atau Kemandirian Utama Indikator untuk menentukan tipologi kemandirian puskesmas berdasarkan pada jenis puskesmas, manajemen keuangan, ketenagaan, manajemen puskesmas dan jaminan mutu, serta kemampuan pembiayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. Hasil akhir untuk puskesmas dengan Kemandirian Tipe III atau Kemandirian Utama akan membawa puskesmas ke arah pemberian tanggung jawab sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber dayanya, meliputi pertanggungjawaban bantuan subsidi operasional dan pendapatan puskesmas, meningkatnya biaya yang harus dibayar pasien, berkurangnya subsidi operasional pelayanan klinik, pengelolaan obat, tenaga, dan manajemen puskesmas secara menyeluruh.
D. Instrumen Indikator Kemandirian Puskesmas Instrumen ini digunakan untuk mengetahui tipe kemandirian puskesmas. Indikator ini bukan merupakan indikator kinerja, akan tetapi lebih ke arah untuk melihat kesiapan puskesmas dalam upaya meningkatkan mutu pelayanannya. Pengembangan instrumen kemandirian puskesmas yang digunakan adalah instrumen yang mempunyai daya ungkit untuk mewujudkan kemandirian puskesmas. Instrumen Indikator Kemandirian Puskesmas meliputi 5 variabel yaitu: 1. Jenis Puskesmas a. Puskesmas; unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
b. Puskesmas Perawatan; puskesmas yang diberi tambahan ruangan dan fasilitas rawat inap untuk menolong penderita gawat darurat baik berupa tindakan operatif terbatas maupun rawat inap sementara. 2. Pengelolaan Keuangan a. Manajemen keuangan di puskesmas (pengelolaan pendapatan dan belanja). b. Pendapatan puskesmas dibanding pengeluaran puskesmas. 3. Ketenagaan a. Manajemen tenaga b. Jenis tenaga 4. Manajemen Puskesmas dan Jaminan Mutu a. Visi b. Misi c. Penyiapan pelayanan puskesmas d. Program jaminan mutu e. Pembinaan pengobatan rasional f.
Pembinaan SPMKK bagi perawat dan bidan
g. Manajemen operasional h. Manajemen sumber daya i.
Hasil kegiatan
5. Pembiayaan Kesehatan a. Persentase keluarga miskin terhadap penduduk b. Persentase kunjungan asuransi kesehatan terhadap penduduk FORMAT INSTRUMEN (Lampiran)
E. Siklus Kegiatan Siklus kegiatan kemandirian puskesmas di Kabupaten Sleman didasarkan pada Teori Managing Change, Woodruff dan Jowett 2002. 1. Identifikasi Masalah dan Analisis Situasi Identifikasi masalah sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan berbagai masukan dan mencari permasalahan utama dalam kegiatan pengembangan Kemandirian Puskesmas. Kegiatan yang dilakukan antara lain: •
Survey Harapan Masyarakat atas Pelayanan Puskesmas Survey ini memberikan gambaran dalam menyusun strategi model pengembangan pelayanan di Kabupaten Sleman. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Tim Dinas Kesehatan
Tahun 2000, diperoleh hasil bahwa sebanyak > 60% responden setuju dan sangat setuju mutu ditingkatkan, sedangkan masalah tarif menyesuaikan. Sementara faktor jarak antara puskesmas dengan rumah tinggal tidak menjadi alasan dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang ada. •
Mencermati Hasil Survey Kemauan Bayar (WTP) dan Kemampuan Bayar (ATP) Masyarakat Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh UGM Tahun 2001, menyebutkan bahwa kemampuan bayar masyarakat untuk pelayanan kesehatan rawat jalan termasuk obat sebesar Rp. 5.000 – Rp. 10.000 (31,7%), kurang dari Rp. 5.000 (27%), antara Rp. 10.000 – Rp. 24.000 (25,6%), dan lebih dari Rp. 25.000 (13,7%). Sedangkan kemauan bayar masyarakat menurut survey masih tergolong kurang karena hanya berkisar antara Rp. 3.000 – Rp. 5.000 untuk pelayanan rawat jalan di puskesmas.
•
Studi Komparasi/Bench Marking Studi banding dilakukan baik di wilayah propinsi DIY, di luar propinsi DIY, luar Jawa, dan luar negeri. Kegiatan ini masih akan dilakukan dalam rangka perbaikan manajemen untuk mencapai tingkat kemandirian puskesmas secara optimal.
•
Analisis Kebutuhan Sumber Daya Kesehatan (Tenaga, Keuangan, dan Peralatan) Analisis ini dimulai dengan memetakan kebutuhan jumlah dokter di puskesmas untuk mencapai pelayanan yang bermutu dan optimal. Kegiatan analisis ini akan terus dilakukan untuk sumber daya lainnya guna melaksanakan quality improvement organisasi di puskesmas.
2. Problem Solving/Pemecahan Masalah Dari hasil identifikasi masalah dan analisis situasi, maka langkah selanjutnya adalah mencari solusi untuk memecahkan masalah yang ada. Upaya perbaikan yang dilakukan yaitu meningkatkan mutu pelayanan di puskesmas sesuai dengan harapan masyarakat melalui aplikasi kemandirian puskesmas. Tahapan untuk mempersiapkan kemandirian puskesmas adalah sebagai berikut: •
Perubahan Organisasi Puskesmas Untuk melaksanakan fungsi puskesmas secara optimal, maka dilakukan restrukturisasi organisasi di puskesmas melalui SK. Bupati No. 45 Tahun 2000. Kedudukan kepala puskesmas adalah sebagai pejabat struktural dengan Eselon IVa. Dengan demikian tidak merangkap tugas sebagai tenaga fungsional puskesmas.
•
Penyusunan dan Pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 2002 tentang Tarif Pelayanan Puskesmas Penyusunan perda ini diawali dengan perhitungan unit cost untuk pelayanan klinik puskesmas yang bertujuan untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan dan diperhitungkan secara
rasional. Hasil penghitungan tersebut digunakan sebagai dasar penyusunan perda tarif puskesmas namun tanpa memperhitungkan biaya investasi dan gaji. Perda ini dilengkapi dengan SK. Bupati No.09/Kep.DHA/A/2003 tentang Harga Dasar Hasil Perhitungan Unit Cost Jenis Pelayanan Kesehatan, Tarif Kunjungan Poliklinik, dan Rekam Medis Pasien pada Puskesmas. Keputusan tersebut juga memuat besarnya subsidi pemerintah daerah pada penduduk Sleman serta besarnya biaya yang harus dibayarkan oleh pasien. Pasal 11 Perda 10 Tahun 2002 juga menyatakan bahwa besaran tarif puskesmas menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Pembiayaan yang merupakan tanggung jawab masyarakat berupa pendapatan puskesmas, sedangkan tanggung jawab pemerintah berupa subsidi operasional yang dituangkan dalam DASK Dinas Kesehatan setiap tahun. Perda yang mengatur tentang retribusi pelayanan kesehatan pada puskesmas ini mulai diberlakukan pada Bulan Juli 2003. Sebelum perda ini dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi yang melibatkan unsur camat, puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten, yang dihadiri pula oleh tokoh masyarakat setempat. •
Pengelolaan Keuangan Puskesmas melalui Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Rencana kegiatan operasional puskesmas disusun setiap tahun melalui penerapan anggaran berbasis kinerja. Anggaran operasional puskesmas bersumber dari anggaran pendapatan puskesmas (sebesar 100% target pendapatan puskesmas dalam 1 tahun anggaran), subsidi operasional (besarnya alokasi anggaran sesuai beban tugas berdasarkan kebijaksanaan dinas kesehatan), kapitasi askes, serta anggaran lainnya. Total anggaran operasional puskesmas tersebut tertuang dalam DASK dinas kesehatan setiap tahun.
•
Penambahan Tenaga Dokter di Puskesmas Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan di puskesmas agar pengobatan dilakukan secara profesional, dilakukan penambahan tenaga dokter sesuai dengan kebutuhan puskesmas. Sebelumnya dilakukan analisa terhadap kebutuhan dokter berdasarkan jumlah kunjungan perhari, jumlah sarana puskesmas (induk dan pustu), serta jumlah dokter yang ada. Analisa dilakukan berdasarkan SK.No.129/Menkes/SK/II/1999 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional dokter dan angka kreditnya yang menyatakan bahwa untuk pelayanan yang bermutu seorang dokter (umum) idealnya melayani 30 orang pasien/hari kerja. Upaya penambahan tenaga dokter ini dilakukan secara bertahap yaitu diawali dengan rekrutmen dokter untuk dikontrak oleh daerah pada Tahun 2003. Analisa terhadap kebutuhan tenaga puskesmas lainnya akan dilakukan secara bertahap agar pelaksanaannya dapat menyeluruh. Selain itu puskesmas induk dengan kunjungan rata-rata 100 pasien/hari dapat membuka lebih dari satu ruang pelayanan pengobatan. Dan pelayanan di luar jam kerja dapat dilakukan oleh
puskesmas sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas juga memiliki kewenangan untuk melakukan kemitraan dengan dokter swasta dan tenaga kesehatan swasta lainnya melalui penyediaan lahan praktek di puskesmas. •
Penyusunan Pedoman Tugas Yankesmas dan Yanklinik Puskesmas sebagai Acuan untuk Pelaksanaan Fungsi Organisasi Buku pedoman ini disusun agar pelaksanaan kegiatan yankesmas dan yanklinik dapat terarah sesuai dengan fungsi puskesmas. Selain sebagai buku pedoman program, maka acuan tersebut juga dipakai sebagai tambahan referensi untuk menyusun perencanaan kegiatan operasional puskesmas yang dituangkan dalam versi DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja)
•
Perbaikan Manajemen Mutu Pelatihan Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan Dasar/Sistem Manajemen Mutu; kegiatan ini bertujuan meningkatkan pengetahuan petugas tentang quality assurance dalam pelayanan puskesmas. Pelatihan ini telah dilaksanakan di 24 puskesmas. Tim jaminan mutu di tiap puskesmas terdiri atas: dokter, perawat, bidan, jurim, dan lainnya. Monitoring terhadap pelaksanaan jaminan mutu puskesmas dilakukan setahun sekali oleh dinas kesehatan. Penyusunan acuan standar minimal untuk penyiapan pelayanan klinik puskesmas; yang senantiasa akan dilakukan review sesuai perkembangan. Standar minimal untuk penyiapan pelayanan klinik puskesmas merupakan acuan bagi puskesmas untuk menyediakan pelayanan kepada pasien. Diantaranya keharusan memasang papan informasi, alur pelayanan, jam buka pendaftaran, jam buka pelayanan, penyediaan rekam medik sesuai standar, penyediaan kartu tunggu, kertas resep, kebersihan kamar mandi/WC, dan lainnya. Hal ini diwajibkan untuk puskesmas induk namun untuk puskesmas pembantu dapat dipenuhi sesuai kemampuan. Pembinaan pengobatan rasional; upaya untuk menjadikan puskesmas sebagai tempat pelayanan yang memberikan pengobatan secara rasional menjadi salah satu tolak ukur dalam kemandirian puskesmas setiap tahunnya. Kebijakan ini merupakan bagian dalam pelayanan prima kepada masyarakat sehingga di masa depan masyarakat tidak meragukan pelayanan dan pengobatan yang dilakukan oleh puskesmas sehingga puskesmas tetap mempertahankan core bussiness. Intervensi manajerial yang dikembangkan untuk pembinaan pengobatan rasional di puskesmas adalah MTP (Monitoring-Training-Planning). Promosi dan pembinaan pengobatan rasional dilakukan baik pada tenaga kesehatan maupun pada masyarakat sehingga pemahaman tentang rasionalisasi pengobatan tidak disalahartikan.
•
Pelatihan Pengelolaan Obat di Puskesmas Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan petugas dalam melakukan perencanaan, pengadaan, pendistribusian/penyimpanan, dan penggunaan obat. Dengan pengelolaan obat yang sesuai prosedur dan standar, diharapkan pengendalian dan monitoring dapat dilakukan secara optimal untuk menuju pada pengobatan yang rasional.
•
Monitoring dan Evaluasi Pencapaian Kinerja Puskesmas dengan Instrumen Indikator Kinerja Evaluasi terhadap kinerja puskesmas menggunakan instrumen penilaian kinerja yang berlaku. Adapun kegiatan yang dievaluasi antara lain kegiatan atau program kesehatan dasar minimal (6 program/basic six) yaitu promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar. Evaluasi ini dilakukan setiap tahun. Peningkatan terhadap kinerja kegiatan puskesmas diketahui dari meningkatnya hasil kegiatan program selama 3 tahun berturut-turut.
•
Implementasi Sistem Pengembangan Manajemen Kinerja Klinik (SPMKK) Bagi Perawat dan Bidan SPMKK adalah sistem mikro dalam sistem makro pelayanan kesehatan dan merupakan suatu proses manajemen dalam upaya meningkatkan kinerja klinis perawat dan bidan pada tatanan kesehatan di komunitas dan rumah sakit. Tujuannya untuk meningkatkan motivasi perawat dan bidan agar melaksanakan tugasnya secara profesional. Sejak diluncurkannya pilot project oleh tim CPDMS WHO pada Tahun 2000, maka Dinas Kesehatan berupaya untuk melakukan roll out sistem tersebut pada 24 puskesmas. Kegiatan diawali dengan pelatihan SPMKK bagi perawat dan bidan oleh dinas kesehatan kabupaten. Implementasi kegiatan di puskesmas adalah penyusunan standar dan indikator, deskripsi pekerjaan, refleksi diskusi kasus, pendokumentasian asuhan, monitoring dan evaluasi. Sampai dengan pertengahan Tahun 2004 jumlah perawat dan bidan puskesmas di Kabupaten Sleman yang telah dilatih SPMKK sebanyak 150 orang.
•
Penyusunan Anggaran melalui RASK/DASK Dinas Kesehatan dan Puskesmas Penyusunan RASK/DASK dilakukan setiap tahun. Dalam dokumen anggaran tersebut, dituangkan pula jumlah alokasi anggaran operasional puskesmas yang terdiri dari pendapatan puskesmas, subsidi operasional, dan sumber lainnya. Besarnya anggaran pendapatan puskesmas yang tertuang pada RASK/DASK Dinas Kesehatan sebesar 100% target pendapatan setiap tahun, sedangkan anggaran subsidi operasional disesuaikan dengan perhitungan subsidi tarif puskesmas, beban kerja puskesmas, dan kemampuan pengelolaan puskesmas.
Apabila di akhir tahun terdapat kelebihan pendapatan dibanding target, maka anggaran tersebut tetap dapat digunakan seluruhnya oleh puskesmas dengan memasukkan ke dalam RASK/DASK pada tahun berikutnya. Agar kegiatan operasional di puskesmas tidak terhambat, maka pelaksanaan penggunaan anggaran operasional puskesmas dikendalikan oleh bendahara dinas kesehatan dengan menggunakan SKO insidental. Puskesmas harus lebih cermat dalam menentukan target pendapatannya setiap tahun, dengan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan revisi terhadap target yang telah ditentukan. Setiap tahun dilakukan pembimbingan pula pada puskesmas untuk penyusunan rencana kegiatan puskesmas oleh dinas kesehatan, meliputi kegiatan manajemen dan ketatausahaan, pengembangan SDM, kegiatan pelayanan klinik, kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat, jasa pelayanan, pemeliharaan puskesmas serta operasional lainnya. 3. Aplikasi/Implementasi Pelayanan Kesehatan yang Bermutu Bentuk kewenangan yang dilaksanakan oleh pemerintah Daerah pada saat desentralisasi sekarang ini salah satu diantaranya adalah kewenangan dalam bidang kesehatan, perwujudan akan kualitas pelayanan yang bermutu menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk dapat mewujudkannya. Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Dinas Kesehatan telah mempunyai komitmen yang tinggi untuk dapat mewujudkan apa yang telah menjadi impian dari banyak masyarakat terutama pelayanan kesehatan yang terstandar dan bermutu. Oleh karena itu sejak tahun 2004 Beberapa Puskesmas di Kabupaten Sleman telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000, dan dari 24 puskesmas yang ada telah 6 puskesmas dan 1 dinas kesehatan yang sudah tersertifikat ISO 9001:2000 dari lembaga sertifikasi SGS. Adapaun 6 Puskesmas tersebut yaitu: Puskesmas Ngemplak I, Puskesmas Depok I, Puskesmas Mlati II, dan Puskesmas Minggir. Serta dua Puskesmas lagi yaitu Puskesmas Sleman dan Puskesmas Godean II baru lulus Sertifikasi ISO 9001:2000 pada awal tahun 2007. Sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, sertifikat ISO tersebut diperoleh pada tahun 2006.
PUSKESMAS DEPOK I dengan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 Kecamatan Depok merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Sleman dengan lingkungan yang cukup kompleks. Kondisi lingkungan yang sangat dinamis ini telah memberikan inspirasi baru bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman untuk mewujudkan pelayanan kesehatan paripurna khususnya di puskesmas yang diakui tidak hanya digunakan oleh pengguna jasa domestik tetapi juga wisatawan mancanegara sekalipun.
Seiring dengan pesatnya lembaga pelayanan yang dikelola swasta menjadikan tantangan baru bahwa puskesmas sebagai lembaga pemerintah untuk berani bersaing dengan sarana pelayanan kesehatan manapun termasuk dalam hal ini hadirnya pemodal asing untuk berlombalomba meraih pasar.Agar dapat bertahan hidup dalam kompetisi yang semakin ketat, puskesmas harus mengubah paradigma, dari sekedar menjadi pelaksana program yang monoton menjadi pengelola pelayanan kesehatan yang mandiri. Beberapa upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman untuk dapat mewujudkan adanya puskesmas yang diakui sebagai lembaga pelayanan yang berkualitas, termasuk dalam hal ini kegiatan advokasi kepada pihak eksekutif dan legislatif. Dukungan yang baik dari pemerintah daerah berupa penyediaan alokasi anggaran telah memotivasi jajaran dinas kesehatan dan Puskesmas Depok I untuk dapat mewujudkan harapannya. Komitmen petugas puskesmas tidak kalah pentingnya dalam menerapkan standar pelayanan yang berkualitas tersebut. Dari sisi lingkungan, Puskesmas Depok I memungkinkan untuk dilakukan sertifikasi ISO. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dr. Sunartono, M.Kes bahwa Puskesmas Depok I merupakan satu dari 24 puskesmas yang ada di Kabupaten Sleman yang menjadi pilot projek sertifikasi ISO. Secara bertahap semua puskesmas di Kabupaten Sleman akan menyusul keberhasilan Puskesmas Depok I. Menurut Kepala Puskesmas Depok I, dr. H. Omar Indroyono, respon masyarakat sangat mendukung terlebih dengan peningkatan kualitas yang diberikan puskesmas yang terletak di kawasan “ring road utara” Jogja ini. Dengan moto “kepuasan anda adalah kebahagiaan kami”, puskesmas ini siap memberikan pelayanan terbaik. Omar yang baru beberapa bulan menjabat sebagai kepala puskesmas ini merasa tertantang dengan status yang disandang puskesmas tersebut. Visi dan Misi Seperti pada umumnya lembaga yang selalu ingin mengubah dirinya kearah yang lebih baik, Puskesmas Depok I mempunyai visi “menjadi pusat layanan kesehatan yang bermutu dan mandiri dengan menerapkan sendi-sendi pelayanan prima, serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat”. Sedangkan Misi yang diemban adalah: 1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara paripurna dan bermutu, dilaksanakan oleh tenaga yang profesional, serta terjangkau oleh seluruh masyarakat. 2. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, secara berkelanjutan. 3. Mengembangkan sarana dan mutu pelayanan sesuai kebutuhan masyarakat.
4. Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia yang tersedia dan membentuk tim kerja yang kompak dalam upaya mewujudkan peningkatan pelayanan kesehatan. Visi dan Misi tersebut selalu menjadi komitmen semua karyawan yang terlibat dalam pelayanan puskesmas tersebut, sehingga betapapun beratnya meraih visi tetap akan dilaluinya dengan mudah. Apa Program Unggulan di Puskesmas Depok I? Puskesmas Depok I sebagai unit pelaksana teknis dinas (UPTD) tetap memegang sendisendi fungsi sosialnya. Puskesmas ini tidak pernah membedakan pelayanan kepada siapapun termasuk kepada pasien gratis. Dari sisi pelayanan, ada empat program yang diunggulkan, yaitu: 1. Pelayanan klinis dengan menerapkan standar ISO 9001:2000. 2. Mengembangkan pelayanan dengan sistem jemput bola dengan menggunakan ambulans lengkap. 3. Pelayanan sore oleh dokter umum dan dokter gigi. 4. Penyusunan anggaran berbasis kinerja. Adapun jenis pelayanan lain yang diberikan meliputi: a. Pelayanan dasar: (1) Pengobatan umum, (2) Kesehatan gigi dan mulut, (3) Konsultasi sanitasi, (4) Konsultasi gizi, (5) Kesehatan ibu dan anak, (6) Keluarga berencana, (7) Laboratorium klinik; b. Pelayanan spesialis: (1) Perawatan orthodontie, (2) Tumpatan dengan light cure (tambal sinar), (3) Pembuatan protesa (lepasan, sekat); c. Pelayanan check up: (1) Umum, (2) Kesehatan calon haji, (3) Kesehatan calon tenaga kerja, dan (4) Kesehatan calon pengantin. SDM dan Sumber Dana Dalam operasionalnya, kebutuhan puskesmas ini dipenuhi dari retribusi puskesmas yang 100% dikelola sendiri. Selain itu, dana puskesmas berasal dari dana operasioanal puskesmas (DOP) dari Pemerintah Kabupaten Sleman. Sebagai gambaran pada Tahun 2003 sumber pembiayaan kesehatan di Puskesmas Depok I sebesar Rp 252,1 juta yang berasal dari: 1. Rawat Jalan (Rp.80,8juta); 2. Askes (Rp. 99,6 juta); 3. JPKM/JPS (Rp.21,7juta); 4. DOP (Rp. 50 juta). Dari sisi SDM, jumlah tenaga yang ada (medis dan non medis) tidak jauh berbeda dengan puskesmas pada umumnya. Total tenaga di puskesmas tersebut berjumlah 41 orang, yang terdiri atas: dokter umum 4 orang; dokter gigi 3 orang; perawat 8 orang; bidan 7 orang; tenaga tata usaha 5 orang; perawat gigi, tenaga administrasi, satpam masing-masing 2 orang; tenaga analis, gizi, kesehatan lingkungan, farmasi, pekarya, pengemudi, penjaga malam, cleaning service masingmasing 1 orang.
PUSKESMAS DEPOK II dengan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 Oleh: drg. Isa Dharmawidjaja, M.Kes (Kepala Puskesmas) VISI Menjadikan Puskesmas sebagai mitra sehat masyarakat yang berkharisma dan bertanggungjawab. MISI •
Memberikan pelayanan medik dasar yang bermutu secara berkesinambungan dan terarah.
•
Memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan lebih mengutamakan pelayanan promotif dan preventif.
•
Memelihara dan selalu meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu secara bertanggungjawab.
•
Senantiasa meningkatkan profesionalisme SDM dalam pelayanan kesehatan sesuai kemajuan zaman.
•
Menjalin kerjasama dengan semua pihak yang terkait dalam pelayanan dan pembangunan kesehatan.
•
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan.
•
Mengembangkan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan pelayanan masyarakat.
KOMITMEN PEGAWAI UNTUK MENCAPAI VISI DAN MISI PUSKESMAS •
Mengutamakan kepuasan pelanggan dengan melakukan peningkatan secara terus-menerus.
•
Memberikan pelayanan ramah, cepat, akurat, dan kemudahan mendapatkan informasi.
•
Mempersiapkan karyawan yang berkompeten di bidangnya.
•
Mengupayakan pemberantasan penyakit menular maupun tidak menular hingga tuntas.
•
Menerapkan sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 secara efektif dan efisien.
KEUNGGULAN •
Pelayanan kesehatan yang berstandar mutu internasional ISO 9001:2000
•
Penerapan prinsip-prinsip pelayanan publik di Puskesmas Depok II (pelayanan prima)
RUANG LINGKUP PELAYANAN KESEHATAN •
Pengobatan Umum
•
Pengobatan Gigi
•
KIA, KB, dan Imunisasi
•
Konsultasi Gizi
•
Konsultasi Sanitasi
•
Ruang Obat
•
Laboratorium
•
Program Imunisasi
•
Penyelidikan Epidemiologi (PE)
•
Perawatan Kesehatan Masyarakat (PHN)
•
Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
•
Ketatausahaan
PELAYANAN INOVASI •
Layanan Psikologi
•
Layanan Fisioterapi
•
Layanan Puskesmas Sore (dokter umum/dokter gigi)
•
Sistem Informasi Berbasis TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi)
•
Layanan kesehatan masyarakat secara terpadu
•
Dusun binaan bebas DBD dan Pemberdayaan Desa Siaga melalui Poskokesdes.
SUMBER DAYA KESEHATAN TUPOKSI
JUMLAH
Kepala Puskesmas 1 Dokter 3 Dokter Gigi 2 Bidan 6 Perawat 5 Perawat Gigi 3 Analis Kesehatan 2 Psikologi 1 Jumlah Total Pegawai 38 Orang
TUPOKSI HS Farmasi TU Gizi Honorer Satpam Rekam Medis Jaga Malam
JUMLA H 2 1 6 1 2 1 1 1
17 SASARAN MUTU PUSKESMAS DEPOK II 1. Indeks Kepuasan Pelanggan tercapai 90%. 2. Waktu tunggu pendaftaran 30 pasien pertama 15 menit tercapai 100%. 3. Waktu tunggu pelayanan resep ruang obat untuk resep racikan PKTB maksimal 10 menit tercapai 100%. 4. Keberhasilan perawatan pulpitis pada gigi tetap tercapai 80%. 5. Waktu tunggu pelayanan pemeriksaan GDS di Laboratorium maksimal 10 menit tercapai 100%. 6. Waktu pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi (PE) maksimal 24 jam setelah menerima laporan tercapai 100%. 7. Pelaporan PWS KIA ke Dinas Kesehatan setiap tanggal 10 tercapai 100%.
8. Pelaporan P2M ke Dinas Kesehatan untuk W2 setiap minggu sesuai kalender tercapai 100%. 9. Laporan bulanan SP2TP ke Dinas Kesehatan Sleman setiap tanggal 10 tercapai 90%. 10. Laporan PWS Hasil Cakupan Imunisasi ke Dinas Kesehatan maksimal tanggal 10 tercapai 100%. 11. Peresapan oralit pada kasus diare (A.09) dengan atau tanpa dehidrasi tercapai 100%. 12. Pemeriksaan K1 dengan Head To Toe 8 menit tercapai 100%. 13. Angka kunjungan konsultasi gizi 20 orang. 14. Tingkat kompetensi karyawan tercapai 95%. 15. Uji kualitas air ditindaklanjuti ke lapangan maksimal 4x24 jam sejak konsumen datang tercapai 100%. 16. PHN penderita dan keluarga penderita kasus baru TBC BTA (+) dan semua kasus potensi wabah tercapai 100%. 17. Ketepatan pelaksanaan kalibrasi alat dengan program tercapai 100%. 10 PENERAPAN PRINSIP PELAYANAN PRIMA BAGI MASYARAKAT 1. Kesederhanaan •
Prosedur masyarakat mendapatkan pelayanan tidak berbelit-belit.
•
Alur pelayanan terpampang, mudah dilihat, dan mudah dipahami.
•
Pelayanan untuk YanKesMas mudah diperoleh dengan SMS, telepon, maupun email, sehingga laporan dari masyarakat dapat segera ditindaklanjuti.
•
Penanganan pemberantasan penyakit menular mempunyai aspek kesederhanaan (dengan meningkatkan peran serta masyarakat sebagai contoh pembentukan desa/dusun binaan bebas DBD, pelatihan Kader Jumantik, lintas sektoral pencegahan DBD di kecamatan).
2. Kejelasan •
Tarif pelayanan sesuai dengan Perda No.10 Tahun 2002.
•
Daftar tarif terpampang dengan jelas di loket pendaftaran.
•
Bukti pembayaran diserahkan kepada pasien.
•
Tata cara pendaftaran tampak jelas diletakkan di bagian pendaftaran.
•
Kepastian bahwa pasien akan mendapatkan pelayanan sesuai kasus dapat dilihat dengan adanya protap (prosedur tetap/SOP) yang jelas dan dibuat mengacu pada standar nasional.
•
Kejelasan petugas yang melayani.
•
Jam pelayanan jelas dan mudah dilihat karena terpasang di dinding.
•
Sistem antrian dengan panggilan elektronik.
3. Kepastian Waktu
•
Kedisiplinan rentang waktu pelayanan oleh petugas.
•
Waktu tunggu dalam mendapatkan pelayanan maksimal 15 menit.
•
Sistem antrian dengan elektronik memudahkan pasien memperkirakan jam pelayanan di unit pelayanan tujuan serta kepastian akan mendapatkan pelayanan.
•
Jadwal untuk pelayanan masyarakat (puskesmas keliling dan pembinaan posyandu) secara rutin sebulan sekali dikirim pada Rakordasi.
•
Jadwal peningkatan gizi anak rutin sesuai dengan perencanaan.
•
Laporan kejadian penyakit potensi wabah dipastikan ditindaklanjuti dalam 1x 24 jam setelah menerima laporan.
•
Laporan ke Dinas Kesehatan tepat waktu (SP2TP, W2, PWS, KIA, PWS, Imunisasi).
4. Akurasi •
Standarisasi alat kesehatan dengan menggunakan alat-alat yang sudah terkalibrasi/verifikasi sesuai jadwal.
•
Pelayanan tepat sasaran (masyarakat Kecamatan Depok dan sekitarnya) termasuk dalam pelayanan gakin, usila, difabel, anak sekolah, dan lainnya.
•
Pelayanan dilakukan sesuai protap.
•
Penggunaan rekam medik sebagai jaminan kesinambungan data kesehatan pasien.
•
Pada Yankesmas akurasinya dapat dilihat dari data SP2TP, pelaporan PJB, peningkatan ABJ.
•
Tenaga Puskesmas Depok II ditugaskan sesuai dengan kompetensinya.
5. Keamanan •
Tempat parkir dijaga petugas parkir.
•
Alat yang digunakan terkalibrasi /tera.
•
Penggunaan alat medis sekali pakai (jarum suntik).
•
Menggunakan sterilisator untuk membunuh kuman pada alat medis.
•
Inform Consent setiap akan dilakukan tindakan medis.
•
Kerahasiaan data kesehatan pasien terjamin (rekam medis dikelola dengan sikesda dan tersimpan dalam ruangan khusus).
•
Kompetensi petugas dalam memberikan pelayanan.
•
Penanganan limbah medis padat dan cair dilakukan secara periodik dan diolah pada tempat yang telah ditentukan.
•
Masyarakat aman dalam pelaksanaan Fogging karena menggunakan dosis dan obat yang sesuai dengan standar DepKes.
•
Keamanan pasien dan karyawan terhadap kemungkinan terjadi musibah, misalnya kebakaran (karena diantisipasi sesuai prosedur yang jelas).
•
Pengobatan rasional yang dipantau melalui MTP.
6. Tanggung Jawab •
Bertanggung jawab selama jam ketugasan puskesmas dalam pelayanan klinis.
•
Bertanggung jawab mencegah, menanggulangi, dan menjaga kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Depok II.
•
Bertanggung jawab melaporkan kejadian yang dapat menimbulkan KLB ke Dinas Kesehatan dan lintas sektoral sesuai protap.
•
Bertanggung jawab terhadap kepuasan pelanggan dengan menyelesaikan keluhan atau menindaklanjuti pelanggan baik lisan maupun tulisan.
•
Melakukan rujukan yang tepat ketika penanganan kesehatan tidak dapat dilakukan di puskesmas dengan menggunakan fasilitas rujukan (ambulan dan sebagainya).
•
Segera menindaklanjuti bila ada laporan kasus penyakit dari masyarakat.
7. Kelengkapan Sarana dan Prasarana •
Tempat parkir yang luas dan nyaman.
•
Gedung luas dan representatif.
•
Ruangan atau aula yang representatif sebagai tempat penyuluhan atau pelatihan.
•
Ruang tunggu yang luas dan nyaman.
•
Ruang periksa ber-AC.
•
Sarana untuk kemudahan pasien usila dan difabel (jalan masuk gedung, kamar mandi).
•
Sistem pemanggilan elektronik pasien untuk kemudahan.
•
Penggunaan Sikesda dalam pelayanan (rekam medis, keuangan, epidemi, dll).
•
Obat-obat yang lengkap dan terjamin kualitasnya serta ditempatkan pada ruangan yang bersih.
•
Sarana komunikasi dengan masyarakat melalui email, sms, telepon, dan lainnya.
•
Pemeriksaan laboratorium yang cukup lengkap, EKG, USG.
•
Tersedianya sarana kotak saran pada tempat yang terlihat.
•
Ketersediaan informasi dalam miniweb yang dapat diakses masyarakat melalui perangkat komputer yang terpasang di ruang tunggu.
•
Tersedianya genset untuk mengatasi pemadaman listrik.
•
Contoh sarana untuk melakukan YanKesMas: alat fogging, mobil puskesling, sarana penyuluhan seperti LCD, OHP, materi-materi penyuluhan dalam bentuk leaflet, CD, dll.
8. Kemudahan Akses •
Letak puskesmas mudah dicapai (dekat dari jalan arteri/pasar, berada di tengah pemukiman, dan dilewati sarana angkutan umum.
•
Tersedia papan petunjuk Puksesmas Depok II dari jalan utama (ring road) maupun jalan sekunder disekitarnya.
•
Sarana informatika promosi kesehatan di ruang tunggu.
•
Layanan kesehatan masyarakat bisa diakses melalui internet (http:/www.puskesmasdepok2.net) maupun melalui SMS di +628122954630 dan +6281328360266, email
[email protected], dan layanan telepon di 0274748746.
9. Kedisiplinan, Kesopanan, dan Keramahan •
Penggunaan pin dengan Semboyan 3 S: Senyum, Sapa, dan Sopan pada semua karyawan sebagai alat kontrol.
•
Presensi setiap pagi dan siang.
•
Pelatihan pelayanan prima secara periodik untuk menjamin pelayanan yang sopan, santun, ramah, dan ikhlas.
•
Apel pagi dengan ciri khas tersendiri.
•
Memberikan sanksi kepada karyawan yang tidak menepati jam apel pagi dan jam pulang dengan mengurangi ”jasa pelayanan”.
•
Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan setiap Hari Sabtu dalam bentuk koordinasi mingguan dan rapat bulanan.
•
Memberikan penghargaan khusus untuk karyawan terbaik/karyawan teladan di lingkungan Puskesmas Depok II.
10. Kenyamanan •
Tempat parkir, ruang tunggu, kamar mandi, serta gedung yang luas dan bersih.
•
Ruang pelayanan ber-AC dan tertata rapi.
•
Kenyamanan pasien usila dan difabel (disediakan jalan masuk khusus ke gedung puskesmas dan kamar mandi).
•
Kamar mandi pasien berjumlah 3 buah, satu diantaranya khusus untuk difabel dan lansia/usila.
•
Ruang atau aula yang representatif sebagai tempat penyuluhan/pelatihan.
•
Sistem pemanggilan elektronik seperti antrian di bank (FIFO-first in first out) sehingga pasien nyaman dalam antrian.
UPAYA PUSKESMAS UNTUK MENINGKATKAN PELAYANAN PUBLIK
•
Menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 sejak 1 Mei 2007, dengan ruang lingkup seluruh kegiatan puskesmas.
•
Menetapkan 17 Sasaran Mutu sebagai indikator keberhasilan kegiatan puskesmas.
•
Melakukan analisa kepuasan pasien (Survey IKM-Indeks Kepuasan Masyarakat) secara periodik yaitu 6 bulan sekali.
•
Menyediakan kotak saran pada tempat yang representatif.
•
Menempelkan Perda Tarif pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca.
•
Menyediakan leaflet tentang produk puskesmas sebagai sarana publikasi.
•
Menyediakan sarana dan prasarana yang representatif.
•
Melakukan visualisasi hak dan kewajiban pasien.
•
Membentuk dusun binaan bebas DBD sebagai upaya memecahkan masalah tingginya DBD di Condongcatur.
•
Melakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE) 1 x 24 jam tanpa memandang hari libur.
•
Pelayanan lanjutan pada kasus penyakit potensi menular (TBC, Kusta, dll).
•
Kepedulian terhadap pasien usila dan difabel.
•
Mengadakan komputer untuk semua bagian.
•
Menggunakan teknologi informasi dalam melakukan ketugasan (Sikesda, website, sms, email, telepon, dll).
KEPUASAN PELANGGAN Dalam Persen Pendaftaran BP Umum BP Gigi KIA Laboratorium Gizi Sanitasi Obat Pelayanan Masyarakat Jumlah Total
2005 67,17 77,8 76,4 80 78,2 75,45 76,65 68,5 68,35
2006 69 76,5 76,9 79,75 79 77,35 76 70,25 69
1 Mei 2007 66,83 75,13 77,8 82,85 79,7 78,46 77,27 71,83 69,35
2 Des 2007 72,9 78,8 80,5 80,8 80,9 81 80 73 74,9
66,9
67,4
74,6
77,61
PENINGKATAN ANGKA KUNJUNGAN MASYARAKAT Jenis Kunjungan
2005
2006
2007
Bayar
23.581
23.578
24.227
Askes
8.907
8.697
8.873
Gratis
902
3.158
5.924
Jumlah
33.390
35.433
39.024
PRESTASI PUSKESMAS DEPOK II •
Tahun 2007, mendapat sertifikat ISO 9001:2000 dari PT SGS Indonesia.
•
Tahun 2008, pemenang seleksi Citra Pelayanan Prima Kabupaten Sleman.
•
Tahun 2008, berhasil lolos seleksi untuk kemudian mewakili Propinsi DIY dalam seleksi Citra Pelayanan Prima Tingkat Nasional.
•
Juara III Lomba KADARZI Kabupaten Sleman Tahun 2007.
•
Juara III Lomba UPGK Kabupaten Sleman Tahun 2007.
•
Juara Harapan 2 Menu Usila Kabupaten Sleman Tahun 2006.
Implementasi Standar Mutu Internasional QUALITY MANAGEMENT SYSTEM ISO 9001:2000 di Puskesmas Mlati II Sleman DIY Dr. Dian Pratiwi, Kepala Puskesmas Mlati II Sleman
Tujuan pembangunan kesehatan menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, di tengah semakin tingginya tingkat kompetisi, kemandirian, serta inovasi pada masa sekarang ini, puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan harus mau dan mampu bersaing dalam arti meningkatkan kualitas pelayanannya secara berkesinambungan. Persaingan dalam hal mutu pelayanan tentunya akan menguntungkan konsumen. Dengan banyaknya pilihan yang ada, ditunjang dengan tingkat edukasi dan kemampuan finansial yang semakin meningkat, konsumen akan membandingkan mutu pelayanan yang satu dengan yang lain. Bila satu organisasi pelayanan kesehatan hanya bertumpu pada ketersediaan jenis pelayanan, aksesibilitas dan kepuasan pasien, tentu saja akan menjadi obsolete dan ditinggalkan orang. Untuk semua jenis pelayanan publik termasuk pelayanan di bidang kesehatan, masalah mutu adalah sesuatu yang absolut. Kepuasan dan keselamatan pasien (safety and satisfaction) harus menjadi fokus dan tujuan utama. Oleh sebab itu, tuntutan terhadap mutu pelayanan akan sangat dominan dan menjadi kebutuhan primer untuk dipenuhi. Masalah keselamatan pasien
(consumer safety) terkait erat dengan mutu pelayanan seiring dengan makin meningkatnya quality of life, kerugian yang ditimbulkan akibat sakit, adanya risiko disabilitas (cacat) dan kematian karena sakit. Thus, tidak ada pilihan bagi penyedia jasa kesehatan selain meng-up-date dan meng-up-grade mutu pelayanan bila tidak ingin ”dimuseumkan” oleh konsumennya. Implementasi standar mutu internasional Quality Management System (QMS) ISO 9001:2000 adalah satu upaya yang relevan untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan ini dapat merupakan keputusan strategis suatu organisasi. Sistem ini mempunyai 2 ciri yang utama yaitu: 1.
Berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan memperhatikan dan memenuhi persyaratan pelanggan yang implementasinya melalui pendekatan proses.
2. Ciri yang kedua adalah continual improvement, yang maksudnya untuk menjaga awareness SDM agar tidak langsung puas dengan satu hasil yang telah dicapai, karena hal yang lebih penting adalah menjaga serta terus meningkatkan kualitas pekerjaan yang telah dicapai. Tujuan implementasi sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 adalah: 1.
Menjamin mutu pelayanan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
2.
Produk (jasa) yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan (keinginan) pelanggan.
3.
Semua perencanaan, kegiatan, tindakan terdokumentasi dengan baik
4. Dapat terlaksananya audit secara berkala yang memungkinkan peningkatan mutu pelayanan yang berkesinambungan 5. Membangun budaya kerja yang berkualitas agar tercapai mutu pelayanan berstandar internasional Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Propinsi DI Yogjakarta cq Puskesmas Mlati II Sleman telah menerapkan sistem ini dalam lingkup pelayanannya dan telah mendapat sertifikat pengakuan dari satu badan sertifikasi internasional pada bulan Oktober 2004. Puskesmas Mlati II Sleman mempunyai fasilitas rawat jalan dan rawat inap untuk umum dan kebidanan, serta memberikan pelayanan selama 24 jam sehari. Selain itu, puskesmas ini juga dijadikan tempat belajar bagi mahasiswa bidang kesehatan, mulai dari tingkat SPK sampai mahasiswa kedokteran. Dengan kondisi demikian, implementasi sistem mutu ISO 9001:2000 sangat relevan karena akan meng-empower semua elemen, sehingga meningkatkan mutu pelayanannya. Satu perjalanan yang cukup melelahkan sekaligus melegakan bagi Puskesmas Mlati II. Dalam waktu yang tidak terlalu panjang, kira-kira 12 bulan, puskesmas Mlati II berhasil meraih sertifikat ISO 9001:2000. Peran Dinas Kesehatan Sleman sangat dominan sebagai supporter dan tim sukses keberhasilan Puskesmas Mlati II meraih sertifikat ISO 9001:2000. Pada masa ini ada
beberapa tahapan penting yang dilalui yaitu: 1. Periode Pre Konsultasi Pada periode ini hampir semua personel awam tentang ISO, baik definisi, arti, manfaat dan sebagainya. Yang diketahui, implementasi sistem ini identik dengan bertambahnya beban kerja, hanya merupakan ambisi pengambil keputusan, belum tentu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan karyawan, dan karena standar internasional tentunya identik dengan sarana yang modern dan mahal. Di sini dituntut peran kepala puskesmas sebagai top management dalam menekankan manfaat serta pentingnya penerapan sistem baru ini. Dalam hal ini diperlukan leadership agar menjadi a good leader, karena leadership adalah modal untuk mengelola perubahan, misalnya mengkomunikasikan strategi perubahan kepada karyawan terutama yang mendukung perubahan dan memberdayakan mereka untuk melakukan perubahan dan memfasilitasi upaya pencapaian tujuan perubahan. Diawali dengan penggalangan komitmen dari semua karyawan agar terbentuk teamwork yang solid. Faktor SDM adalah kunci dari kesuksesan implementasi suatu sistem terhadap proses bisnis suatu organisasi, sehingga komitmen masingmasing karyawan adalah mutlak. Berikutnya adalah penegasan kembali visi dan misi puskesmas untuk menyamakan pemahamannya serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Di Puskesmas Mlati II Sleman, semua personel membubuhkan tandatangan sebagai simbol tergalangnya komitmen dan keinginan kuat untuk mewujudkan visi dan misi organisasi. 2. Periode Konsultasi (Training) Tahap awal, adalah membentuk kelompok kerja yang personilnya merupakan wakil dari masing-masing unit pelayanan. Mereka kemudian harus mensosialisasikan hasil konsultasi ke rekan kerjanya masing-masing. Salah seorang staf puskesmas ditunjuk sebagai management representative (MR), yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap sustainabilitas sistem ini. MR berperan sebagai koordinator agar sistem berjalan efektif di tiap unit dan terintegrasi. Materi training diawali dengan pengenalan metode problem solving, dengan tujuan agar bila menemukan masalah pada tahap konsultasi lebih lanjut, metode ini dapat diaplikasikan. Dilanjutkan dengan materi inti yaitu konsep sistem manajemen mutu. Dimulai dengan konsep mutu, pemastian mutu (quality assurance) persyaratan serta dokumentasi sistem manajemen mutu. Pada penyusunan dokumen pedoman atau prosedur mutu, kadang timbul beberapa masalah. Ada beberapa item yang perlu dimasukkan ke dalam prosedur karena memang dipersyaratkan demikian, walaupun hal itu belum pernah dikerjakan. Untuk memastikan permintaan pelanggan dikendalikan sejak diterima hingga diserahkan sehingga memenuhi persyaratan pelanggan, disusun rencana mutu (quality plan) yang berisi prosedur dan sumber daya yang diperlukan dan harus diterapkan.
3. Periode Implementasi Sistem Management Mutu Bagian tersulit dari tahap implementasi adalah managing poor performance, karena kinerja yang buruk akan berpengaruh pada mutu output suatu proses. Habit yang tidak produktif tidak dapat dirubah dalam sekejap, sehingga perlu dimotivasi. Perlu usaha yang lebih dalam memotivasi karyawan bahwa dalam implementasi sistem ISO, semua kegiatan yang dikerjakan harus sesuai dengan prosedur standar yang telah disepakati dan harus didokumentasikan dengan baik. Di Puskesmas Mlati II Sleman, tidak diterapkan model punishment untuk mengatasi masalah ini, tetapi lebih ke arah persuasif dan bimbingan yang disertai dengan sikap yang tegas dari pimpinan. Prosedur yang baik akan membuat seseorang mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan, dan bukan yang biasanya dikerjakan. Penggunaan standar yang berlaku dan mencakup ke semua aspek pelayanan dapat menjadi starting point untuk mendapatkan mutu pelayanan yang prima. Hal penting yang perlu ditanamkan adalah, penggunaan pedoman atau prosedur, selain bertujuan untuk melindungi pasien dari tindakan medik yang merugikan, sebetulnya juga berupaya membentengi pekerja kesehatan agar tetap bersikap profesional. Dengan demikian, seandainya dalam prakteknya timbul masalah yang dapat menjadi masalah hukum, setiap petugas kesehatan telah dibentengi oleh prosedur atau standar medik yang dapat dipertanggungjawabkan secara medik dan ilmiah, sejauh semua itu dilaksanakan secara konsekuen. Selain itu karena upaya peningkatan mutu biasanya berbanding lurus dengan peningkatan biaya operasional (cost for quality), perlu anggaran ekstra yang harus dikeluarkan baik untuk melengkapi infrastruktur yang sudah ada maupun pengadaan baru sebagaimana yang dipersyaratkan. Dalam hal ini, Dinas Kesehatan Sleman mendukung penuh dalam hal pendanaan kekurangan yang ada. 4. Periode Audit Mutu Internal Audit bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana implementasi sudah dilaksanakan. Compliance terhadap prosedur, konsistensi pencatatan, pembuatan laporan, dan sebagainya akan dinilai dalam proses audit. Di Puskesmas Mlati II telah dibentuk tim audit yang dipimpin oleh seorang lead internal auditor. Tim audit adalah orang yang independen, artinya tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap area permasalahan yang diaudit. Selalu ditekankan, bahwa audit bukanlah untuk mencari kesalahan, tetapi lebih ke arah upaya peningkatan mutu pelayanan. Banyaknya temuan bukan berarti auditee adalah orang yang malas atau kurang komitmen, tetapi lebih menunjukkan sikap auditee yang open-minded sehingga tidak ada yang ditutup-tutupi atau dimanupulasi. Hasil audit kemudian dibahas dalam rapat tinjauan manajemen yang melibatkan
seluruh karyawan untuk mencari solusi yang paling tepat. 5. Periode Audit Pre-Sertifikasi Audit pre-sertifikasi untuk memastikan bahwa organisasi telah benar-benar memenuhi persyaratan ISO 9000 dan siap untuk diaudit oleh badan sertifikasi. Di puskesmas Mlati II dilakukan 2 kali, yaitu oleh pihak konsultan, dan oleh badan sertifikasi internasional yang ditunjuk. Hasil temuan kemudian ditindaklanjuti, dan setelah benar-benar siap, organisasi menyatakan siap untuk di audit sertifikasi. 6. Periode Audit Sertifikasi Audit sertifikasi dilakukan oleh badan sertifikasi internasional untuk memastikan apakah suatu organisasi telah memenuhi semua persyaratan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000. Bila semua persyaratan standar sudah terpenuhi, maka akan dikeluarkan sertifikat yang masa berlakunya selama 3 tahun. Bila belum memenuhi syarat, akan diberi kesempatan untuk memperbaiki, dan bila sudah diterima perbaikannya, baru diberikan sertifikat. Dalam kurun waktu 3 tahun pasca sertifikasi, dilakukan audit surveilans setiap 6 bulan sekali 7. Audit Surveilans Tujuan audit surveilans ini adalah memastikan bahwa : •
sistem manajemen mutu di suatu organisasi memenuhi semua persyaratan standar
•
suatu organisasi telah mengimplementasi sistem manajemen mutu dengan baik sesuai dengan perencanaan
•
sistem manajemen mutu mampu mewujudkan tujuan kebijakan mutu organisasi
Pada prinsipnya audit surveilans ini tidak berbeda jauh dengan audit sertifikasi, hanya area yang dikunjungi tidak menyeluruh. Walaupun demikian kadang banyak temuan baru sehubungan dengan pemenuhan semua persyaratan mutu. Hal ini mungkin disebabkan pemahaman yang berbeda dari pihak auditor dan pihak organisasi dalam menerjemahkan persyaratan mutu. Tapi hal ini justru menguntungkan pihak organisasi, karena akan lebih menyempurnakan implementasi sistem. Audit surveilans dilakukan sebanyak 6 kali dalam kurun waktu 3 tahun, dan diharapkan dapat menjamin sustainabilitas sistem. Maintaining dan Improving Mutu yang sudah dicapai Sasaran mutu yang dibuat tiap unit adalah untuk mengetahui upaya perbaikan dan peningkatan mutu pada produknya. Penghitungan dilakukan setiap bulan dan dievaluasi serta dicari akar permasalahannya bila ada kendala dalam pencapaian target. Bila pencapaian sasaran mutu sudah stabil tercapai, dapat diganti dengan sasaran mutu yang baru yang lebih berbobot. Pemantauan perbaikan mutu pelayanan dilakukan dengan pengendalian ketidaksesuaian yang dijumpai setiap hari pelayanan. Hasil pengendalian beserta tindak lanjutnya menjadi bagian
bahan rapat bulanan puskesmas. Bila ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan di intern puskesmas, top management akan meminta pihak dinas kesehatan untuk membantu menyelesaikan, terutama yang terkait dengan masalah dana. Audit internal yang diadakan minimal 6 bulan sekali adalah untuk mengontrol dan memastikan penerapan prosedur, dan hasilnya dilaporkan pada rapat tinjauan manajemen yang dihadiri seluruh karyawan.
Kesimpulan Dapat disimpulkan, implementasi QMS ISO 9001:2000 akan meng-empower suatu organisasi. Baik itu sumber daya manusia, infrastruktur, lingkungan kerja maupun sistem yang sudah ada sebelumnya. Dari SDM, akan ada peningkatan kinerja yang signifikan sejauh semua aturan main dilaksanakan dengan konsekuen, konsisten dan bertanggungjawab. Infrastruktur akan lebih panjang masa pakainya, karena penggunaan dan perawatannya selalu sesuai prosedur. Lebih lanjut, akan tercipta suasana kerja yang kondusif. Sistem audit yang baik, memungkinkan improvement akan terus meningkat dan berkesinambungan. Pada gilirannya, kepuasan akan tercapai, baik dari organisasi maupun konsumen. Di pihak organisasi, tercapai kinerja klinik yang prima di mana pelayanan yang bermutu bukan lagi sesuatu yang sulit dilaksanakan. Satu sisi, konsumen yang puas, secara tidak langsung juga akan menguntungkan organisasi karena mereka akan memberitahukan ke semua orang bagaimana mutu pelayanan yang telah mereka dapatkan, dan ini adalah salah satu metode pemasaran produk yang paling efektif dan efisien (a satisfied customer is a good marketer). Selama mutu menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar, pelayanan yang telah disertifikasi berstandar mutu internasional dapat menjadi modal untuk bersaing di pasar global.
4. Monitoring dan Evaluasi a. Uji Coba Instrumen Tujuan uji coba untuk memvalidasi instrumen yang telah disusun. Sebelum melakukan penilaian kemandirian di 24 puskesmas, terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen pada 1 puskesmas (Non TT) dan 1 puskesmas TT. Lokasi untuk uji coba ditunjuk Puskesmas Depok I mewakili puskesmas non rawat inap dan Puskesmas Ngemplak I mewakili puskesmas rawat inap. Dalam pelaksanaannya kedua puskesmas diminta melakukan pencermatan dan pengisian terhadap instrumen yang telah disusun. Hal tersebut untuk mengetahui seberapa jauh instrumen tersebut dapat dipahami dan dijadikan sebagai alat ukur. Revisi terhadap
instrumen kemandirian dilakukan setelah uji coba pada 2 puskesmas dengan maksud agar instrumen tersebut lebih obyektif dan valid sebagai alat ukur. b. Penerapan Instrumen untuk Menilai 24 Puskesmas •
Penilaian oleh Puskesmas Puskesmas diminta untuk mengisi instrumen yang telah direvisi dan hasilnya direkapitulasi oleh dinas kesehatan.
•
Penilaian oleh Dinas Kesehatan Tim Dinas Kesehatan melakukan penilaian ulang untuk mencocokkan dan mengecek kebenaran pengisian data atau hasil penilaian yang dilakukan oleh puskesmas dengan data maupun keadaan yang sebenarnya di puskesmas.
•
Evaluasi Evaluasi terhadap hasil penilaian dilakukan oleh dinas kesehatan untuk mengetahui gambaran tipe kemandirian puskesmas di Kabupaten Sleman.
•
Seminar Hasil Pelaksanaan seminar hasil bertujuan untuk mendapatkan masukan dan kritisi dari berbagai pihak di lingkungan kesehatan dengan melibatkan akademisi dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) UGM Yogyakarta.
•
Revisi Instrumen Berdasarkan masukan dari seminar hasil penilaian kemandirian puskesmas, maka dilakukan revisi
terhadap
instrumen.
Revisi
tersebut
dimaksudkan
untuk
melengkapi
dan
menghilangkan beberapa variabel dalam instrumen penilaian. Usulan guna perbaikan terhadap instrumen meliputi pemisahan nilai untuk puskesmas perawatan dengan puskesmas tanpa perawatan, melengkapi jenis ketenagaan, menambahkan penilaian untuk kondisi fisik puskesmas, penambahan nilai bagi puskesmas yang telah melakukan inovasi. Dengan demikian diharapkan instrumen tersebut dapat digunakan untuk mempersiapkan puskesmas dalam menghadapi lingkungan global di masa yang akan datang. 5. Permasalahan Permasalahan sehubungan dengan implementasi dan penilaian terhadap kemandirian puskesmas, antara lain: a. Belum dipahaminya konsep kemandirian puskesmas oleh semua petugas baik di dinas kesehatan maupun di puskesmas. b. Penilaian belum dilakukan secara obyektif, masih ada unsur ”mesakke/kasihan”. c. Keterbatasan dana untuk memenuhi kebutuhan peningkatan sumber daya yang dibutuhkan baik kualitatif maupun kuantitatif.
d. Masih kurangnya pengakuan dan komitmen tentang manfaat kesehatan dari pemegang kebijakan lintas sektor di semua lini. 6. Kesimpulan dan Saran •
Instrumen kemandirian puskesmas yang dikembangkan di Kabupaten Sleman dapat digunakan untuk menilai tingkat kemampuan dan tanggung jawab puskesmas.
•
Berdasarkan hasil penilaian dengan menggunakan instrumen sebelum direvisi, maka pada Tahun 2003 tipologi kemandirian puskesmas terdiri dari 13 puskesmas pratama (Kemandirian Tipe 1) dan 11 puskesmas madya (Kemandirian Tipe II).
•
Hasil penilaian tipe kemandirian puskesmas Tahun 2003 tidak dapat digunakan untuk membandingkan hasil penilaian tahun berikutnya, oleh karena terjadi revisi instrumen serta adanya peningkatan pemahaman petugas tentang konsep kemandirian puskesmas.
•
Perlu dilakukan sosialisasi dan memperjelas definisi operasional terhadap instrumen penilaian tipe kemandirian puskesmas, sehingga dapat menyamakan persepsi antara petugas di dinas kesehatan dengan petugas di puskesmas.
PELAKSANAAN
JPKM
BAGI
MASYARAKAT
MISKIN
DAN
MANDIRI
DI
KABUPATEN SLEMAN 1. Pendahuluan Diberlakukannya desentralisasi sesuai Undang-Undang Nomor 22/1999 sebagaimana telah direvisi dengan Undang-undang Nomor 32/2004 telah memberikan babak baru kepada pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan sistem jaminan sosial di daerah. Pasal 22 huruf h Undang-Undang No. 32/2004 menegaskan bahwa pengembangan sistem jaminan sosial adalah kewenangan wajib daerah. Sementara menurut pasal 167 ayat (1) dan (2) pengembangan sistem jaminan sosial dimasukan sebagai bidang yang anggarannya harus diprioritaskan sebagai bagian upaya perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pasal 22 huruf h. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Perkara No. 007/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU No. 40/2004 terhadap UUD 1945, memutuskan bahwa Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) undang-undang dimaksud (yang mana dipandang menafikan keberadaan daerah dalam mengembangkan sistem jaminan sosial) dinyatakan tidak mengikat. Program JPKM merupakan upaya pengembangan pembiayaan kesehatan yang bersumber dari peran serta masyarakat, hal ini telah tertuang dalam rencana strategi pembangunan kesehatan di Kabupaten Sleman. Dalam rencana strategi telah ditetapkan target kepesertaan JPKM
untuk Tahun 2002 sebesar 20%, Tahun 2003 sebesar 25%, Tahun 2004 sebesar 30%, dan Tahun 2005 sebesar 35%. Pada Tahun 2005 jumlah peserta JPKM penduduk miskin sebesar 173.152 jiwa dan peserta mandiri sampai dengan Bulan Desember Tahun 2006 sebesar 3.553 jiwa, sehingga jumlah total kepesertaan JPKM Tahun 2006 mencapai 176.685 atau 20,20% dari jumlah penduduk di Kabupaten Sleman. Jumlah kepesertaaan (universal coverage) memang masih rendah sehingga target agak sulit dicapai mengingat Tahun 2003 dan Tahun 2004 merupakan tahap penyadaran masyarakat tentang JPKM. Sehingga diharapkan untuk selanjutnya dengan adanya kesadaran masyarakat dan dukungan yang konsisten dari para pemegang kebijakan maka kepesertaan JPKM dapat ditingkatkan.
PROGRAM JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT
JPKM
Membangun pelayanan kesehatan bermutu dan berkelanjutan Bertumpu pada kemandirian masyarakat PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN DINAS KESEHATAN UPTD JPKM Jl. Mustika Ratu, Gawar, Pendowoharjo, Sleman Telp 08882743833
(Purwiyati)
a. Pengertian JPKM
Dalam ekonomi: metode untuk mengurangi resiko dengan jalan memindahkan dan mengkombinasikan ketidakpastian akan adanya resiko keuangan.
•
Dalam hukum: pertanggungan resiko antara tertanggung dengan penanggung.
•
Dalam bisnis: menerima atau menjual jasa, pemindahan resiko dari pihak lain, dan memperoleh keuntungan dengan berbagi resiko (sharing of risk) diantara nasabahnya.
•
Dalam sosial: organisasi sosial yang menerima pemindahan resiko dan mengumpulkan dana dari anggota-anggotanya guna membayar kerugian yang terjadi.
Menurut UU No. 2 Tahun 1992 Pasal 21: usaha asuransi yaitu usaha jasa keuangan dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi, memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau meninggalnya seseorang. Manfaat asuransi: 1. Melindungi resiko investasi 2. Asuransi sebagai sumber dana investasi 3. Untuk melengkapi persyaratan kredit 4. Mengurangi kekhawatiran 5. Mengurangi baiaya modal 6. Menjamin kestabilan perusahaan 7. Meratakan keuntungan 8. Menyediakan layanan profesional 9. Pencegahan kerugian
b. Dasar Hukum Penyelenggaraan JPKM •
Ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004
•
Ketetapan MPR RI No.I/MPR/2002 tentang Amandemen IV UUD 1945
•
Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2002 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
•
UU RI No.25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004
•
UU RI No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 4, 5, 65, dan 66
•
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.571/Menkes/PER/VII/1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
•
Pedoman Pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS-BBM BidKes), pada daerah uji coba Jaminan Pemeliharaan bagi Keluarga Miskin (JPK-Gakin) Departemen Kesehatan RI Tahun 2003
•
Keputusan MenKes RI No. 330/MenKes/SK/IV/90 tentang Ijin Operasional JPKM
•
Keputusan Bupati Sleman No.374a/SK.KDH/A/2004 tentang Perubahan Pertama Surat Keputusan
Bupati
No.244/SK.KDH/A/2001
Tentang
Pembentukan
Tim
Pembina
Penyelenggaraan JPKM •
Keputusan Bupati Sleman No. 21/Kep.KDH/A/2002 tentang Pembentukan UPTD JPKM Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman
•
Keputusan Bupati Sleman No.19/Kep.KDH/A/2003 tentang Sistem dan Prosedur Penyelenggaraan JPKM oleh Pemerintah Daerah
c. Tujuan -
Tujuan Umum Meningkatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan masyarakat mandiri agar dapat dipertahankan dan ditingkatkan derajat kesehatannya.
-
Tujuan Khusus
1. Diselenggarakannya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di puskesmas. 2. Diselenggarakannya pelayanan kesehatan bagi masyarakat mandiri di puskesmas, dokter dan dokter gigi keluarga, RSUD Sleman, dan rumah sakit lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Pelaksanaan JPKM efektif dan efisien. 4. Tercapainya target kepesertaan sesuai rencana strategi pembangunan kesehatan di Kabupaten Sleman.
d. Sasaran Pelayanan -
Sasaran pelayanan kesehatan masyarakat miskin Bulan Januari s/d Desember Tahun 2006, yaitu: (1) Keluarga miskin di Kabupaten Sleman berjumlah 49.699 KK atau 173.152 jiwa dan (2) Orang miskin penghuni panti asuhan dan rumah singgah.
-
Sasaran pelayanan kesehatan masyarakat mandiri Bulan Januari s/d Desember Tahun 2006 terdiri dari perangkat desa dan staf desa berjumlah 2.275 jiwa dan tenaga honorer Dinas Kesehatan dan Puskesmas berjumlah 73 jiwa, tenaga honorer di lingkungan pemda 850 jiwa, serta peserta umuum berjumlah 335 jiwa.
e. Sumber Dana Penerimaan dana pelayanan kesehatan peserta JPKM masyarakat miskin dan masyarakat mandiri di Kabupaten Sleman berasal dari beberapa sumber anggaran, yaitu: 1. Saldo Awal 1 Januari 2006
Rp. 2.695.439.951
2. Premi Peserta JPKM
Rp. 321.313.000
3. APBD
Rp. 266.679.600
4. Jasa Bank
Rp. 139.227.812
Jumlah
Rp. 3.422.660.363
2. Pengelolaan JPKM Di Kabupaten Sleman
PENGELOLAAN JPKM DI SLEMAN Dinas Kesehatan
Bapim
UPTD JPKM Kl im /ka
mi Pre Kontrak Jaga mutu Monitoring Penanganan keluhan
Peserta
pit a
si
PPK Pelayanan Kesehatan
BAPIM JPKM •
Bapim (Badan Pembina) JPKM adalah badan pemerintah yang bertugas melaksanakan fungsi pemerintah yaitu mengembangkan, membina, serta mendorong penyelenggaraan JPKM.
•
Dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Sleman 374a/SK.KDH/A/2004 tentang Perubahan Pertama Surat Keputusan Bupati Sleman No. 244/SK.KDH/A/2001 tentang Pembentukan Tim Pembina Penyelenggaraan JPKM. UPTD JPKM
•
Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan, dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Kesehatan.
•
Mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas teknis Dinas Kesehatan dibidang penyelenggaraan JPKM.
•
Dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Sleman No.21.KDH/A/2002 tentang Pembentukan UPTD JPKM. PPK JPKM PPK I: •
Puskesmas beserta jaringannya: 24 buah
•
Dokter Keluarga: 28
•
Dokter Gigi: 13
PPK II: •
Rumah sakit pemerintah atau swasta yang dikontrak: RSUD Sleman, Rumah Sakit Panti Nugroho, Panti Rini, Panti Baktiningsih.
•
Rumah sakit pemerintah atau swasta yang tidak dikontrak di DIY atau diluar DIY.
PESERTA Peserta JKPM adalah:
Masyarakat yang belum terpayungi asuransi atau jaminan pemeliharaan kesehatan lainnya.
Penduduk miskin.
Kepesertaan masyarakat mampu secara ber-kelompok minimal 20 orang, kontrak pertahun, dengan membayar premi:
Paket A Rp.8.000/jiwa/bulan, atau
Paket B Rp.13.000/jiwa/bulan.
Penduduk miskin dibayarkan oleh pemerintah. •
Peserta dari keluarga mampu: Tahun 2003 : 1.878 orang Tahun 2004 : 2.607 0rang Tahun 2005 : 2.998 orang
•
Peserta dari keluarga miskin: Tahun 2003 : 49.669 KK terdiri dari 173.152 jiwa Tahun 2004 : 53.669 KK terdiri dari 173.152 jiwa Tahun 2005 :
•
KK terdiri dari 173.453 jiwa
Jumlah peserta: Tahun 2003 : 175.030 jiwa, pencapaian 19,88 % (target 20%) Tahun 2004 : 175.759 jiwa, pencapaian 20,08 % (target 30%) Tahun 2005 : 176.451 jiwa, pencapaian 20,08 % (target 40%)
Manfaat Peserta JPKM •
Meringankan biaya kesehatan karena ditanggung secara gotong royong sesama peserta.
•
Masyarakat terjamin dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
•
Terwujudnya tanggung jawab secara kolektif.
GRAFIK PERBANDINGAN PESERTA JPKM MISKIN DAN MAMPU TAHUN 2003 s/d 2005
180,000
173,152
173,152
173,152
MISKIN MAMPU
160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 2,998
2,520
1,878 0
2003
2004
2005
GRAFIK 10. UTILISASI RAWAT JALAN PESERTA JPKM MISKIN DI RSUD KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2003 s/d 2005 0,90
0,85
0,80
Puskesmas RSUD Sleman
0,77
0,70 0,60 0,50 0,40
0,28
0,30
0,24
0,20 0,10
0,10
0,00
2003
2004
2005
GRAFIK 11. UTILISASI RAWAT JALAN PESERTA JPKM MAMPU SE KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2003 s/d 2005
90,00
Puskesmas
83,46
dr. Keluarga
80,00
76,03
drg. Keluarga
70,00
RSUD RS. Swasta
60,00 50,00 41,59
40,26
40,00 30,00 20,00
15,21
10,00
9,68
8,31
6,51 1,33
0,00
0,05 0,43 0,27
2003
2,06
2004
3,07 3,84
2005
BAB VI KABUPATEN SUKOHARJO
6.1.Gambaran Kabupaten Sukoharjo A. Kondisi Geografi Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten di lingkungan Karesidenan Surakarta, letaknya berbatasan langsung dengan 6 Kabupaten/Kota yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul (DIY) dan Kabupaten Wonogiri, serta di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Boyolali. Luas wilayah Kabupaten Sukoharjo tercatat 466,66 Ha yang merupakan 1,43 % dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Sukoharjo terdiri dari 12 Kecamatan dan 167 Desa/Kelurahan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Polokarto dengan luas 62,18 Km2 ( 13,32 % ) dan wilayah terkecil Kecamatan Kartasura dengan luas 19,23 Km2 ( 4,12 % ). Sejak dibangun dan berfungsinya Bendungan Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri, hampir seluruh wilayah di Kabupaten Sukoharjo cocok sebagai lahan pertanian dan Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu lumbung padi Provinsi Jawa Tengah. Luas lahan sawah di Kabupaten Sukoharjo dalam lima tahun terakhir cenderung berkurang. Akan tetapi kesinambungan dan pola pengolahan lahan sawah sebagian besar beralih dari tadah hujan menjadi sistem irigasi sejak dibangunnya Bendungan Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri. Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten penyandang pangan di Jawa Tengah, sehingga produktivitasnya terutama padi terus dipacu. Pada tahun 2005 produktivitas padi mencapai 64,43 Kw/Ha dan luas panen padi naik sebesar 1,18 % dibanding tahun sebelumnya. B. Kondisi Penduduk Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dituangkan dalam Sukoharjo Dalam Angka Tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Sukoharjo tahun 2005 adalah 821.213 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun 2004 (815.089 jiwa) terjadi penambhan jumlah penduduk sebanyak 6.124 jiwa ( 0.75 %). Penyebaran penduduk belum merata, 44% penduduk tinggal di wilayah utara ( Kecamatan Mojolaban, Grogol, Baki, Gatak dan Kartasura) yang hanya 27 % luas wilayah Kabupaten, tetapi merupakan wilayah yang sudah mirip kota. Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Grogol (98.645 jiwa) dan terendah di Kecamatan Gatak (46.962 jiwa). Rata-rata kepadatan penduduk 1.760 jiwa setiap kilometer persegi. Kecamatan Kartasura tetap sebagai Kecamatan terpadat ( 4.574 jiwa/km2) hampir 2,5 kali kepadatan rata-rata
kabupaten. Kecamatan Nguter merupakan kecamatan dengan kepadatan terendah (1.171 jiwa/km2), pola keadaan ini tidak berubah dari tahun ke tahun. Dilihat dari jumlah rumah tangga (KK) mengalami kenaikan sebanyak 3.078 KK dari 202.037 KK tahun 2004 menjadi 205.115 KK tahun 2005 atau naik 1.5 %. Rata-rata jiwa per rumah tangga adalah 4 jiwa. Rata-rata jiwa per rumah tangga tertinggi di Kecamatan Weru yaitu 5 jiwa dan terendah di Kecamatan Polokarto yaitu 3 jiwa. Perkembangan penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari perkembangan ratio jenis kelamin yaitu perbandingan penduduk laki-laki dengan perempuan. Ratio jenis kelamin pada Tahun 2005 sebesar 97.7. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dibanding penduduk laki-laki, yaitu setiap 100 orang perempuan terdapat 98 orang laki-laki. Kecamatan Baki adalah kecamatan dengan Sex Ratio sebesar 100, yang artinya jumlah penduduk perempuan sama besar dibanding penduduk laki-laki. Penduduk Kabupaten Sukoharjo dengan persentase jumlah penduduk pada kelompok umur 0 – 14 tahun cenderung menurun, sedangkan pada kelompok umur 15 – 64 tahun dan lebih dari 65 tahun cenderung meningkat. Selama 6 tahun ada penurunan pada kelompok umur 0 – 14 tahun sebesar 6,5 % dan peningkatan sebesar 5,1 % pada kelompok umur 15 – 64 tahun dan 1,2 % pada kelompok umur lebih dari 65 tahun. Peningkatan masih lebih banyak terjadi pada kelompok umur 15 – 64 tahun atau usia produktif. C. Kondisi Ekonomi Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan bidang ekonomi yang akan meningkatkan kemampuan konsumen dalam membeli barang biasanya dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Brutto (PDRB), baik atas harga berlaku maupun atas harga konstan. Berdasarkan data BPS dalam Sukoharjo Dalam Angka Tahun 2005, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sukoharjo yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB atas harga konstan mengalami peningkatan walaupun tidak sangat tajam, yaitu dari Rp. 1.157.846.990.000,00 pada Tahun 2001 menjadi Rp. 1.294.169.320.000,00 pada Tahun 2004. Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur maka angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 sebesar 44,1 yang artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung sekitar 41 orang penduduk usia tidak produktif. Angka ini tidak berubah bila dibandingkan dengan Tahun 2004, tetapi cenderung turun dari tahun 2000 sebesar 55,89 ; tahun 2001 sebesar 47,46 ; tahun 2002 sebesar 45,47 dan tahun 2003 sebesar 45,93 D. Kondisi Kesehatan •
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
JPKM merupakan suatu upaya pemeliharaan kesehatan secara paripurna, mempunyai jenjang struktur jelas, berkesinambungan, dan bermutu di mana pembiayaannya dilaksanakan secara pra upaya. Cakupan masyarakat yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan Pra Bayar pada Tahun 2005 sebesar 18,6 % dari 821.214 penduduk. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut : a. Peserta ASKES
49.573 jiwa (6,03%)
b. Peserta JAMSOSTEK
4.062
c. Peserta Kartu Sehat
121.961jiwa (14,9%)
d. Peserta Dana Sehat
143
jiwa (0,02%)
e. Peserta Asuransi lainnya
262
jiwa (0,03%)
jiwa (0,5%)
Terlihat bahwa kontribusi terbesar berasal dari peserta Kartu Sehat (14,9%) dan ASKES (6,03%) di mana pembiayaannya merupakan tanggungjawab dan kontribusi pemerintah dan peserta asuransi lainnya yang pembiayaanya ditanggung mandiri oleh masyarakat hanya 0,55%. Data ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk menyediakan biaya kesehatan secara pra upaya masih sangat rendah, masyarakat lebih memilih pembiayaan kesehatan secara langsung apabila jatuh sakit dan masyarakat belum mempunyai pemahaman yang baik tentang pentingnya pembiayaan secara pra upaya. •
Pemanfaatan Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Sarana pelayanan kesehatan dasar pada umumnya terbagi menjadi sarana pemerintah dan swasta. Seiring dengan kepedulian masyarakat swasta terhadap sektor kesehatan, tumbuh pula investor yang terjun di bidang pelayanan kesehatan dasar, walaupun semuanya masih mengedepankan upaya kuratif dan belum melaksanakan upaya promotif serta preventif. Jumlah Puskesmas di Kabupaten Sukoharjo sebanyak 21 buah yang tersebar di 12 Kecamatan, dengan 47 buah Puskesmas Pembantu dan 79 buah Puskesmas Keliling dibuka untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan sarana pelayanan kesehatan dasar. Puskesmas dengan unit perawatan ada sebanyak 8 buah dengan 110 tempat tidur. 12 Puskesmas dari 21 Puskesmas ( 57,14 % ) mempunyai unit gawat darurat dan mampu melayani pasien dengan kasus – kasus kegawatan. Jumlah kunjungan rawat jalan di Puskesmas pada Tahun 2005 terlaporkan sebanyak 679.959 kunjungan yang dapat diperinci sebagai berikut : kunjungan peserta ASKES sebesar 14,18 %, kunjungan peserta Gakin sebesar 14,18 % dan kunjungan pasien umum sebesar 71,64 %. Rata – rata kunjungan setiap hari di seluruh Puskesmas adalah 2.256 pasien, rata–rata kunjungan tertinggi di Puskesmas Bendosari dengan 170 pasien/hari dan terendah di
Puskesmas II Nguter dengan 37 pasien / hari. Cakupan Visite Rate Puskesmas sebesar 6,4 % dan hasil ini masih di bawah target sebesar 15 %. Kunjungan pasien Keluarga miskin dari program PKPS–BBM merupakan 11,18 % dari total kunjungan di Puskesmas. Rata–rata kunjungan perharinya adalah 309 pasien, dengan kunjungan tertinggi di Puskesmas Bendosari dengan 52 kunjungan/hari dan terendah di Puskesmas II Ngatak dengan 6 kunjungan/hari. Apabila dilihat dari proprosi jumlah kartu sehat yang dimiliki di setiap wilayah, maka cakupan kunjungan rata–rata di tingkat kabupaten sebesar 6,34%. Cakupan kunjungan tertinggi di Puskesmas Bendosari dengan 14,26% dan terendah di Puskesmas II Nguter dengan cakupan 2,07%. Pelayanan kesehatan dasar di 8 unit rawat inap Puskesmas pada Tahun 2005 dilaporkan sebanyak 7.273 pasien dirawat dengan 112 tempat tidur. BOR atau tingkat rata–rata pemakaian tempat tidur sebesar 45,36% dengan capaian BOR tertinggi di Puskesmas I Polokarto dengan 68,16% dan terendah di Puskesmas I Tawangsari dengan 27,18%. Rata-rata lama hari perawatan di Puskesmas adalah 2,5 hari dan selama Tahun 2005 dirawat sebanyak 7.273 pasien dengan jumlah pasien tertinggi di rawat di Puskesmas Weru sebanyak 2.049 pasien dan terendah di Puskesmas II Nguter dengan 231 pasien. Proporsi pasien rawat inap berdasarkan pembiayaan dilaporkan 84,2% pasien umum, 2,5% pasien ASKES PNS dan 13,2% pasien dengan program JPKMM.
Grafik Pasien Rawat Inap Puskesmas Berdasarkan Kelompok Umur
> 60 25%
<1 4%
1-4 10% 5 - 14 11%
45 - 60 22%
15 - 44 28%
Sumber : SP3 Tahun 2005
Grafik Pasien Rawat Inap Puskesmas Berdasarkan 10 Besar Penyakit
25,00 20,00 15,00 10,00
•
Infeksi akut saluran napas atas
Anemia
Dysentri
Penyakit jantung / cardiovasculer
Contusio cerebri
Asma
Hipertensi
Suspek Gastritis
Suspek Thypoid Fever
Diare
0,00
Penyakit lain
5,00
Upaya Kesehatan Rujukan
Pelayanan kesehatan rujukan ke Rumah Sakit di Kabupaten Sukoharjo dilayani oleh 4 buah RS Umum dan 2 buah RS Khusus, dengan jumlah semua tempat tidur terlaporkan sebanyak 681 buah. Rumah Sakit Umum yaitu RSU Sukoharjo yang merupakan RS Pemerintah daerah dan 3 RS Swasta yaitu RS Dr. OEN SOLO BARU, RS Nirmala Suri, dan RS Islam Surakarta. Sedangkan RS Khusus terdiri dari 1 RS Khusus Orthopaedi Dr. Soeharso yang merupakan RS Pusat Rujukan Nasional dan 1 RS Khusus Paru–Paru yang telah mendapatkan ijin operasional tetapi belum mendapatkan ijin tetap dari Departemen Kesehatan. Indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan sarana Rumah Sakit antara lain pemanfaatan tempat tidur dan rasionya terhadap jumlah penduduk. RSU Sukoharjo adalah RS Tipe C dengan 102 tempat tidur, RSO Prof. Dr. Soeharjo yang merupakan RS Tipe B dengan 187 tempat tidur, RS Sokasari Husada adalah RS Khusus Tipe C dengan 18 tempat tidur , dan 3 RS Umum swasta yaitu RS Dr. OEN SOLO BARU ( Tipe C dengan 178 tempat tidur ), RS Islam Surakarta ( Tipe C dengan 185 tempat tidur ) dan RS Nirmala Suri ( Tipe C dengan 150 tempat tidur ). Sehingga total terdapat 681 tempat tidur di 6 RS. Ratio Rumah Sakit terhadap penduduk adalah 3,74 RS per 500.000 penduduk. Sedangkan ratio tempat tidur terhadap penduduk adalah 78,5 Tempat Tidur per 100.000 penduduk. Pemanfaatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sangat bervariasi di antara 6 Rumah Sakit yang ada di Kabupaten Sukoharjo. Rata – rata kunjungan rawat jalan pada tahun 2005 adalah 728 kunjungan / hari. Rata – rata kunjungan rawat jalan pada RS Pemerintah yaitu RSU Sukoharjo adalah 180 kunjungan / hari dan RSO Prof. Dr. Soeharso adalah 198 kunjungan / hari. Sedang rata – rata kunjungan rawat jalan pada RS Swasta, RS Dr. OEN SOLO BARU 247 kunjungan / hari, RS Islam Surakarta 79 kunjungan / hari, RS Nirmala Suri 21 kunjungan
/ hari dan RS Sokasari Husada 1 kunjungan / hari. Semua RS di Kabupaten Sukoharjo adalah RS type C kecuali RSO Prof. Dr. Soeharso yang merupakan RS Khusus Orthopaedi rujukan nasional yang bertype B. •
Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan bersumber dari pemerintah, masyarakat, dan termasuk sektor swasta. Sejak dilaksanakannya kebijakan desentralisasi pada Tahun 2001, biaya pelaksanaan pembangunan kesehatan dari pemerintah diharapkan sebagian besar bersumber dari Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Umum. Pada Tahun 2000, dalam pertemuan antara Departemen Kesehatan dengan seluruh Bupati/Walikota se–Indonesia, disepakati bahwa Pemerintah Daerah akan mengalokasikan 15 % dari APBD untuk pembiayaan kesehatan. Total APBD Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 sebesar Rp.365.940.222.000,00. sedikit meningkat dibanding Tahun 2004 sebesar Rp. 339.825.418.701,00 dan 2003 sebesar Rp. 337.647.186.000,00. Sedangkan total anggaran kesehatan Dinas Kesehatan Tahun 2005 sebesar Rp 40.411.554.272,00 yang terdiri dari APBD Kabupaten untuk Bidang Kesehatan Rp. 28.330.840.894,00 (70,17% ), Pembiayaan yang bersumber dari APBD Propinsi Jawa Tengah dalam bentuk pembiayaan kegiatan sejumlah Rp. 2,021.751.725,00 (5 %), dana APBN sebesar Rp. 4.930.354.000,00 (12,2%) dan PKPS BBM sebesar Rp. 5.089.456.653,00 (12,59%). Jumlah anggaran bidang kesehatan pada tahun 2005 meningkat tajam dibandingkan tahun 2004 sebesar Rp. 15.156.465.750,00. Dari penjabaran data di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar masih bersumber dari APBD atau Dana Alokasi Umum / Dana Alokasi Khusus. APBD Kabupaten Sukoharjo yang dialokasikan untuk Bidang Kesehatan / Dinas Kesehatan sudah mencapai 11,04%, sudah hampir mendekati kesepakatan Bupati Walikota yang minimal 15 % dari APBD.
E. PEMBANGUNAN KESEHATAN DAERAH MENUJU SUKOHARJO SEHAT 2008 •
VISI
Di dalam Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan Kabupaten Sukoharjo Tahun 20062010 telah ditetapkan Visi Pembangunan Kesehatan Kabupaten Sukoharjo yang secara singkat dinyatakan sebagai : SUKOHARJO SEHAT 2008 Penetapan visi ini sejalan dengan visi yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Adapun pengertian SUKOHARJO SEHAT 2008 adalah masyarakat Sukoharjo yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan berperilaku bersih dan sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil, merata dan terjangkau serta memiliki derajat kesehatan setinggi–tingginya. Lingkungan sehat yang diharapkan adalah suatu lingkungan kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan bebas polusi, tersedia akses terhadap air bersih, sanitasi memadai, dan terwujudnya kawasan permukiman beserta perencanaan pembangunan yang berwawasan kesehatan. Perilaku masyarakat yang dicitakan adalah masyarakat bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya, mencegah terjadinya penyakit, dan berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Menciptakan sistem pelayanan kesehatan yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, tanpa ada hambatan baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi. Pelayanan kesehatan bermutu adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pelanggan serta diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika profesi. Pelayanan kesehatan yang disediakan adalah mengutamakan pelayanan pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan, tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Kepekaan pelayanan kesehatan terhadap kebutuhan masyarakat ditingkatkan dengan mengupayakan kemandirian bagi unit unit pelayanan kesehatan dan diterapkannya manajemen yang berorientasi kepada pelanggan. Mutu pelayanan kesehatan terus dipelihara dan ditingkatkan melalui peningkatan kualitas tenaga kesehatan, ketersediaan obat serta peningkatan, dan pemeliharaan sarana serta peralatan kesehatan. Untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, dikembangkan pembiayaan kesehatan secara subsidi silang baik melalui JPKM maupun sistem asuransi kesehatan lainnya. •
MISI Misi mencerminkan peran, fungsi, dan kewenangan seluruh jajaran organisasi kesehatan di Sukoharjo, yang secara teknis bertanggungjawab terhadap pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan. Untuk mewujudkan visi tersebut ada 4 misi yang diemban oleh seluruh jajaran petugas kesehatan di semua jenjang administrasi pemerintah, yaitu : 1. Menggerakkan Pembangunan Berwawasan Kesehatan Keberhasilan pembangunan Kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh hasill kerja seKtor kesehatan, tetapi sangat dipengaruhi oleh hasil kerja keras serta kontribusi positif berbagai sektor pembangunan kesehatan lainnya. Untuk Optimalisasi Hasil kerja kotribusi positif tersebut, harus dapat diupayakan masuknya wawasan kesehatan sebagai asas pokok program pembangunan nasional dengan perkataan lain untuk dapat terwujudnya SUKOHARJO SEHAT, para penangung jawab program pembangunan
harus memasukkan pertimbangan -pertimbangan kesehatan dalam semua kebijakan pembangunannya. Program pembangunan yang berkontribusi positif terhadap kesehatan, apalagi yang berdampak negatif terhadap kesehatan seharusnya tidak diselenggarakan. Untuk dapat terlaksanakannya pembangunan yang berkontribusi positif terhadap kesehatan seperti dimaksud diatas, maka seluruh elemen dari Sistem Kesehatan Daerah harus berperan sebagai penggerak utama pembangunan nasional berwawasan kesehatan. 2. Mendorong Kemandirian Masyarakat Untuk Dapat Berperilaku Hidup Sehat Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintahan, dan swasta. Apapun peran yang dimainkan oleh pemerintah, tanpa kesadaran individu dan masyarakat untuk secara mandiri menjaga kesehatan mereka, hanya sedikit yang akan dapat dicapai. Perilaku sehat dan kemampuan masyarakat untuk memilih dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, salah satu upaya kesehatan adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. 3. Memelihara dan Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Yang Bermutu, Merata dan Terjangkau Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau mengandung makna bahwa salah satu tanggung jawab sektor kesehatan adalah menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau oleh masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak semata-mata berada ditangan pemerintah, melainkan mengikut sertakan sebesar-besarnya peran serta aktif segenap anggota masyarakat dan berbagai potensi swasta. 4. Memelihara dan Meningkatkan Kesehatan Individu, Keluarga dan Masyarakat beserta Lingkungannya Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat beserta lingkungannya mengandung makna bahwa tugas utama sektor kesehatan adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan segenap warga negaranya, yakni setiap individu,
keluarga
dan
masyarakat
Sukoharjo,
tanpa
meninggalkan
upaya
penyembuhan penyakit dan atau pemulihan kesehatan. Untuk terselenggaranya tugas ini penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus diutamakan adalah bersifat promotif dan preventif yang didukung oleh upaya kuratif dan atau rehabilitatif. Agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat diperlukan
pula terciptanya lingkungan yang sehat, dan oleh karena itu tugas-tugas kesehatan lingkungan harus pula diprioritaskan. •
STRATEGI Strategi pelaksanaan pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan faktorfaktor kunci penentu keberhasilan sebagai berikut : 1. Komitmen semua pihak terkait yang meliputi kesamaan pemahaman tentang pentingnya kesehatan sesuai dengan prinsip paradigma sehat. 2. Meningkatkan citra positif pelayanan kesehatan di berbagai lapisan masyarakat. 3. Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan antara lintas program dan lintas sektoral. 4. Ketersediaan, pemerataan, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas dan sesuai kebutuhan. 5. Kecukupan proporsi alokasi pembiayaan kesehatan dan tersedianya pembiayaan kesehatan bagi kelompok rentan dan miskin serta pelayanan yang bersifat public good termasuk pembiayaan kejadian luar biasa dan penanggulangan bencana.
6.2. Latar Belakang Puskesmas Gratis Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) Tahun 1948 tertulis bahwa “ Health Is A Fundamental Human Right “ yang mengandung suatu kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan mempertahankan yang sehat. Hal ini melandasi suatu pemikiran, bahwa “ sehat sebagai hak azasi manusia dan sehat sebagai investasi “. Di Indonesia Undang–Undang Dasar 1945 mengamanatkan melalui Pasal 28 H Ayat (1) : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan “. Pembangunan kesehatan di Indonesia khususnya di Kabupaten Sukoharjo ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi–tingginya. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berdasarkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yang merupakan suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi–tingginya, sebagai perwujudan kesejahteraan umum. Melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah menetapkan bidang kesehatan merupakan salah satu kewenangan wajib yang harus dilaksanakan Kabupaten. Sebagai pedoman teknis telah banyak disusun peraturan, antara lain KepMenkes RI Nomor 574 / Menkes
/ SK / IV / 2000 tentang Kebijakan Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 , KepMenkes RI Nomor 1202 / Menkes / SK / VIII / 2003 tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Propinsi Sehat dan Kabupaten Sehat dan KepMenkes RI Nomor 1457 / Menkes / SK / X / 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota. Propinsi Jawa Tengah mengeluarkan pula Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 71 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Tengah. Kesehatan adalah hak dasar setiap warga negara oleh karena itu setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatan dan Negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya. Sudah menjadi kenyataan di masyarakat bahwa biaya pelayanan kesehatan di Indonesia relatif besar dan cenderung memberatkan bagi pasien. Sehingga banyak masyarakat yang sakit yang tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Ironisnya puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar di masyarakat milik pemerintah yang relatif murah juga tidak mampu dijangkau oleh masyarakat khususnya yang miskin. Untuk itu perlu adanya upaya yang keras dari semua pihak khususnya jajaran kesehatan agar puskesmas dapat dipercaya dan diterima oleh masyarakat, sehingga tingkat pemanfaatan puskesmas semakin tinggi yang pada akhirnya beban masyarakat di bidang kesehatan semakin berkurang. Dalam rangka mewujudkan Visi Sukoharjo Sehat perlu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, dan merata serta terjangkau bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan serta meringankan beban masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat dasar baik di puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling sehingga perlu membebaskan beberapa pemungutan retribusinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 19 Tahun 2000 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan. Sejalan dengan hal tersebut melalui Perda No. 15 Tahun 2007 Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo memberikan pembebasan pungutan retribusi pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat dasar baik di puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling yang berlaku bagi seluruh warga masyarakat Kabupaten Sukoharjo yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo membebaskan pungutan retribusi pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat dasar di puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling kepada warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. 6.3. Tujuan
•
Tujuan Umum Menjadikan puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan yang memuaskan, bermutu, dan terjangkau.
•
Tujuan Khusus 1. Meningkatnya tingkat pemanfaatan puskesmas se-Kabupaten Sukoharjo oleh masyarakat. 2. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan di puskesmas se-Kabupaten Sukoharjo.
6.4. Pelayanan Kesehatan yang Dibebaskan Pembebasan pungutan retribusi pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. Pelayanan rawat jalan umum dan gigi mulut untuk semua pasien. b. Tindakan umum terdiri atas: 1. Debridement luka 2. Ganti balut/perban 3. Pengambilan benda asing 4. Lepas jahitan 5. Pemasangan infus 6. Insisi abses 7. Fixaxi fraktur/dislokasi 8. Tindik telinga bayi 9. Tampon mimisan 10. Pengambilan serumen prook 11. Jahitan luka sampai 10 simpul c. Tindakan perawatan kesehatan gigi dan mulut yang terdiri atas: 1. Perawatan radang gusi per 2 zetting 2. Pertolongan sederhana 3. Tumpatan amalgam/silikat 4. Tumpatan sementara 5. Pencabutan gigi tanpa komplikasi d. Pemeriksaan laboratorium klinik/penunjang diagnostik, terdiri atas: 1. Urine rutin 2. Darah rutin 3. Faeces/tinja rutin 4. Darah malaria
5. BTA 6. Hb (Sahli) 7. Jumlah eritrosit 8. Hematokrit 9. Jumlah Leukosit 10. Hitung jenis leukosit 11. LED (Laju Endap Darah) 12. Retikulosit 13. Trombosit 14. Golongan darah 15. Reduksi urine 16. Protein urine 17. Sedimen urine 18. Bilirubin urine 19. Urobilin urine 20. Preparat GO (Gonore)
6.5. Dasar Hukum Dasar hukum kebijakan ini adalah Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 15 Tahun 2007 Tentang Pembebasan Pungutan Retribusi Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Dasar Di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Puskesmas Keliling.
6.6. Pembiayaan Pembiayaan terhadap pembebasan pungutan retribusi pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat dasar dibebankan pada APBD. Menurut Bupati Sukoharjo, Bambang Riyanto untuk menggratiskan biaya kesehatan tersebut, dalam APBD 2007 akan dialokasikan dana sebesar Rp 2,1 miliar. "Seluruh puskesmas dan puskesmas pembantu di Sukoharjo pada tahun 2007 tidak akan dibebani lagi target pendapatan. Restribusi kesehatan dihapuskan. Dia mengatakan dengan dihapuskannya restibusi layanan kesehatan tersebut maka siapapun, tidak hanya warga Sukoharjo, yang memeriksakan kesehatannya ke puskesmas di Sukoharjo tidak dikenai biaya lagi. Untuk tahap pertama yang digratiskan adalah layanan kesehatan rawat jalan tingkat dasar. Dia berharap pada tahun anggaran selanjutnya juga akan
dibebaskan layanan kesehatan rawat inap untuk pasien kelas III. "Orang Amerika pun kalau mau periksa ke puskesmas di Sukoharjo tidak perlu bayar lagi," ujar Bambang. Kalangan DPRD setempat mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh bupati tersebut. DPRD khawatir pembebasan pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat dasar di Puskesmas ini dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan. Di Sukoharjo terdapat 47 puskesmas dan puskesmas pembantu. "Apakah bupati bisa menjamin pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan di puskesmas tidak memburuk dengan tidak adanya uang yang masuk melalui restribusi," kata Muhammad Amim, salah seorang anggota DPRD Sukoharjo. Bupati menampik kecemasan anggota DPRD tersebut karena penghapusan restribusi kesehatan di puskesmas akan dibarengi dengan pengalokasian dana untuk biaya operasional puskesmas. Dana sebesar Rp 2,1 miliar merupakan dana yang dianggarkan untuk biaya operasional. Bambang mengatakan dana sebesar itu diperkirakan tidak akan habis dalam setahun untuk membiayai puskesmas. "Tingkat kesehatan masyarakat Sukoharjo cenderung tinggi jadi intensitas orang berobat juga rendah," kata dia.
6.7. Pelaksanaan Koordinator Unit 2 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Puskesmas Sukoharjo Harianto SH, mengatakan pengobatan yang dilakukan Puskesmas Sukoharjo hingga pasien sembuh total dari penyakit. Oleh karena itu, lanjut dia, bagi yang berniat berobat tidak diperlukan askeskin. Pada prinsipnya pengobatan ini bebas untuk masyarakat, baik kaya maupun miskin. Namun kebanyakan yang berobat memang warga kurang mampu, karena mereka yang mampu pasti akan berobat ke rumah sakit atau dokter spesialis. Kendati tanpa dipungut biaya, Harianto mengatakan pelayanan pasien tetap baik dengan obat TBC yang berkualitas karena merupakan sumbangan dari luar negeri dan subsidi lainnya. Karena itu, masyarakat tidak usah cemas dengan kualitasnya.
BAB VII KABUPATEN JEMBRANA
7.1. Gambaran Kabupaten Jembrana Kabupaten Jembrana adalah satu dari 9 Kabupaten dan Kota yang ada di Propinsi Bali, terletak di ujung barat Pulau Bali. Luas wilayah Jembrana 84.180 Km². atau 14,96 % dari luas wilayah pulau Bali Ibukota Kabupaten Jembrana adalah Negara. Secara administrasi Kabupaten Jembrana terdiri dari 4 Kecamatan yaitu : Melaya, Negara, Mendoyo, dan Pekutatan. Jembrana adalah daerah yang mengandalkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sebagai sumber pendapatan daerah.
Jumlah Penduduk: 263.179 Kepadatan Penduduk: 309 Jiwa/Km2 Jumlah Penduduk Per Dokter: 3300 Jumlah Penduduk Per Bidan: 2.519 Jumlah Murid Per Guru: 15 Jumlah Kelompok Tani dan Nelayan: 568 • Jumlah Koperasi: 102 • Komposisi Penduduk Menurut Agama: Hindu 70,50%, Islam 27,58%, Protestan 0,98%, Katolik 0,73%, dan Budha 0,18% • • • • • •
137
Pembagian Wilayah Administratif
5 Kecamatan 42 Desa 9 Kelurahan 209 Dusun 35 Lingkungan 61 Desa Adat 261 Banjar Adat
TAHUN
ANGKA KEMISKINAN
TAHUN
PENDAPATAN PERKAPITA
2000
12.206 (19,40%)
2000
5.480.000
2001
9.146 (14,20%)
2001
6.060.000
2002
9.210 (14,10%)
2002
6.332.000
2003
7.216 (11,98%)
2003
6.978.000
2004
6.034 (8,15%)
2004
7.403.000
2005
6.999 (8,85%)
2005
7.850.000
2006
6.552 (8,00%)
2006
8.400.000
2007
6.502 (7,10%)
2007
2008
5.386 (6,805)
7.3. Gambaran Kondisi Kesehatan di Kabupaten Jembrana Yang menjadi indikator kesehatan adalah Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu, Angka Kesakitan, Angka Harapan Hidup. Dibawah ini adalah Angka Indikator Kesehatan Kabupaten Jembrana :
138
Tahun 2003 Angka Kematian Bayi /1000 KH 8.16 Angka Kematian Ibu / 100 ribu KH 203.93 Angka Kematian Balita 25.11 Angka Kesakitan 7.60 Angka Harapan Hidup 71.25 Catatan : * = Belum terdata, *]=data perlu dicari Indikator
2004 8.95 105.26 24.79 10.00 71.34
2005 10.11 129.67 *] 3.10 71.34
2006 14.19 54.59 *] *] *]
2007 * * *] *] *]
10 Besar Penyakit Pemerintah Kabupaten Jembrana Dinas Kesehatan Dan Kesejahteraan Sosial Tahun 2006 No Diagnosa
Jumlah Kasus
Prosentase
1
ISPA
9.886
31,50
2
Rematik
4.826
19,66
3
Tukak Lambung
1.999
8,24
4
Kecelakaan
1.509
7,53
5
Kulit / Alergi
1.822
7,40
6
Hipertensi
1.447
6,29
7
Diare
1.233
5,70
8
Penyakit Mata
728
5,63
9
Gingivitis
665
5,49
608
2,58
51.902
100
10 Kulit Infeksi Jumlah
Kemandirian Posyandu Tahun 2003-2006 Tahun Pelaksanaan Target KEGIATAN (%) 2003 2004 2005 2006 Pratama
7
7
4
6
Madya
82
82
82
29
Purnama
168
168
200
260
Mandiri
61
61
33
31
Jumlah
318
318
319
326
139
7.3. Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) A. Latar Belakang Kesehatan adalah hal terpenting dalam usaha mencapai kesejahteraan keluarga, oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Jembrana sangat memperhatikan kesehatan masyarakat, dengan upayaupaya inovatif, pemerintah berusaha untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan kesehatan memiliki makna yang strategis dan memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas hidup, kecerdasan, dan produktivitas sumber daya manusia. Berbagai bentuk penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat belum memperlihatkan hasil yang maksimal, salah satunya Program JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) yang masih sebatas wacana di banyak daerah. Sebagai upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Pemerintah Kabupaten Jembrana menindaklanjutinya dengan tindakan nyata yaitu mengambil kebijakan dengan memberikan Jaminan Pelayanan Kesehatan melalui pengalihan subsidi pelayanan kesehatan yang semula diberikan kepada sarana kesehatan milik pemerintah dialihkan untuk memberikan subsidi langsung kepada masyarakat Kabupaten Jembrana. Subsidi tersebut kemudian dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Jembrana yang disingkat Bapel JKJ yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana pada Tanggal 4 Desember 2002. Kemudian pada Tanggal 24 Mei 2006 diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah (JAMSOSDA) Kabupaten Jembrana. Dasar pembentukan Jaminan Kesehatan Jembrana adalah: 1. Keputusan Bupati Jembrana Nomor 572 Tahun 2002 Tanggal 12 Desember 2002 tentang Pembentukan Tim Persiapan Jaminan Kesehatan Jembrana. 2. Keputusan Bupati Jembrana Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Subsidi Pelayanan Kesehatan dan Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Jembrana. 3. Keputusan Bupati Jembrana Nomor 552 Tahun 2003 Tanggal 14 Oktober 2003 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati Jembrana Nomor 572 Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Persiapan Jaminan Kesehatan Jembrana. 4. Keputusan Bupati Jembrana Nomor 1927 Tahun 2004 Tanggal 1 Desember 2004 tentang Pembentukan Tim Pengelola Jaminan Kesehatan Jembrana.
140
5. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah (JAMSOSDA) Kabupaten Jembrana. JAMSOSDA ini memiliki tugas pokok yaitu melaksanakan upaya pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Jembrana melalui Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar pelayanan dengan standar biaya yang terkendali. Untuk menjabarkan tugas pokok, JAMKESDA mempunyai tugas sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan pendaftaran kepesertaan dan sosialisasi kepada masyarakat dan mengenai keberadaan Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana. 2. Menyelenggarakan kerjasama dengan PPK. 3. Melaksanakan penelitian dan pengembangan mengenai pelayanan kesehatan yang akan dilaksanakan oleh Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana. 4. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan serta evaluasi terhadap PPK. 5. Menyelenggarakan pendataan dan pendaftaran peserta Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana secara berkelanjutan. 6. Melaksanakan verifikasi terhadap kebenaran administrasi klaim yang dilakukan oleh PPK. 7. Melaksanakan penghitungan besarnya iuran Jaminan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana bagi masyarakat yang menginginkan Jaminan Kesehatan Rawat Inap (PPK-3). B. Tahapan Kegiatan Tahun 2001 Kabupaten Jembrana mulai mengevaluasi program kesehatan puskesmas dan rumah sakit terutama dari segi kualitas pelayanan dan biaya pelayanan kesehatan. Evaluasi dilaksanakan untuk menindak lanjuti keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Negara kurang diminati oleh masyarakat karena kualitas pelayanannya mengecewakan. Masyarakat menilai pelayanan swasta lebih meyakinkan, kualitasnya lebih baik, obatnya lebih baik, petugasnya ramah serta gedungnya lebih baik dan bersih. Dalam pengamatan dilapangan bahwa pemanfaatan Rumah Sakit Negara tidak begitu optimal rata-rata BOR dibawah 60 %. Di Puskesmas pun kunjungan tidak begitu banyak sekitar 30-40 orang sehari. Dalam pemanfaatan APBD, subsidi obat untuk Rumah Sakit dan Puskesmas dari tahun ke tahun cukup besar (3,5 Milyar Rupiah Setahun) sementara pendapatan dari sektor kesehatan, tercatat subsidi selalu lebih besar dari pendapatan. Dalam pengamatan dari tahun
141
ketahun seberapa besarpun subsisdi yang diberikan tidak mampu mendongkrak pemasukan dari sektor kesehatan. Dari hasil pengamatan tersebut maka pemerintah mengambil langkah yaitu mengalihkan subsidi yang semula diberikan untuk biaya obat-obatan RSUD dan Puskesmas dan diberikan kepada masyarakat melalui satu lembaga asuransi yang dibangun Pemerintah Kabupaten Jembrana, yaitu Lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) dengan keputusan Bupati Nomor 31 Tahun 2003. Subsidi ini diberikan kepada seluruh masyarakat Jembrana dalam bentuk premi untuk biaya rawat jalan tingkat pertama di unit pelayanan kesehatan yang mengikat kontrak kerja dengan Bapel/Badan Penyelenggara JKJ. Pada saat yang bersamaan Puskesmas dan Rumah Sakit diwajibkan untuk mencari dana sendiri untuk kebutuhan rutin termasuk obat-obatan, hanya obatobatan khusus/program khusus yang dibantu oleh Pemerintah (Program Imunisasi, Malaria, TBC, Demam Berdarah, Diare, dan Kusta serta Program Gizi). C. Pengelolaan Jaminan Kesehatan Jembrana Subsidi untuk premi ditetapkan sebesar Rp 3,3 Milyar untuk Tahun 2003, 6,7 Milyar untuk Tahun 2004, dan Tahun 2005 subsidi sebesar 8 Milyar Rupiah. Dengan subsidi premi ini masyarakat Jembrana berhak memiliki kartu keanggotaan JKJ yang dapat digunakan untuk biaya berobat rawat jalan di setiap PPK-1 baik milik pemerintah maupun swasta (Dokter/drg/Bidan/Praktik Swasta/Poliklinik RS Swasta Kelas D) tanpa dipungut bayaran. Khusus untuk di Bidan hanya berlaku pelayanan Ante Natal Care (Pemeriksaan Ibu Hamil/sebelum melahirkan) dan Pelayanan KB. Untuk pelayanan di PPK-1 premi masyarakat disubsidi penuh oleh pemerintah, dimana klaim oleh dokter umum PPK-1 maksimal sebesar Rp. 27.000,- per kali kunjungan yang terdiri dari biaya jasa medis sebesar Rp. 10.000,- obat suntik Rp. 2.000,- dan obat-obatan lainya maksimal Rp. 15.000,- sesuai perhitungan harga obat yang digunakan. Kunjungan ulang dengan diagnose sama hanya boleh di klaim kalau tenggang waktu kunjungan pertama dengan berikutnya minimal 3 hari. Apabila sebelum 3 hari pasien datang lagi dengan kasus yang sama maka segala biaya pengobatan menjadi tanggungan PPK-1 besangkutan. Untuk biaya pelayanan kesehatan Gigi besarnya klaim ditentukan lebih bervariasi yaitu untuk biaya pelayanan gigi tanpa tindakan adalah sesuai dengan tariff dokter umum sebesar Rp. 27.000,- . Bila dengan tindakan ditur dengan sistem paket sebagai berikut : cabut gigi susu sebesar Rp. 15.000, cabut gigi pernanen Rp. 30.000, tumpata sementara Rp. 20.000,- dan tumpata permanent sebesar Rp. 30.000,-.
142
Untuk biaya pelayanan bidan, untuk PPK-1 bidan hanya boleh menangani pelayanan ANC dan pelayanan KB sederhana (Pil dan Suntik) tidak dibenarkan menangani pasien diluar kebidanan. Jasa untuk pelayanan bidan klaim dibayar maksimal sebesar Rp. 15.000,- dengan perincian jasa medis sebesar Rp. 6000,- dan obat-obatan Rp. 9.000,Untuk pelaksanaan program kerja Jaminan Kesehatan Jembrana ini didukung dengan 11 orang pegawai yang terdiri atas: Direktur Bapel Jamsosda 1 orang, Kepala Bidang 3 orang, dan Staf 7 orang. Dengan sarana pendukung seperti: Gedung Kantor 300 m2, Mobil operasional JKJ, Komputer 7 unit, Meja Kerja 12 unit, Kursi Panjang untuk Ruang Tunggu 4 buah, Meja Pelayanan (Front Office) 1 unit, Rak Arsip 7 buah. D. Pembayaran Klaim JKJ Manjemen keuangan JKJ menggunakan sistem pra-upaya seperti pada JPKM, tetapi pra-upaya dilakukan ditingkat Bapel, bukan di tingkat PPK-1. Subsidi pemerintah disalurkan dan diterima oleh Bapel JKJ dan Bapel JKJ membayar kepada PPK-1 sesuai klaim yang diajukan. Klaim dikoreksi oleh tim verifikasi dan setelah koreksi dilaksanakan klaim baru dibayar. Dalam pelaksanaan pengawasan dan pemantauan terhadap Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) masih ditemukan adanya moral hazard diantara PPK sejumlah 2 orang PPK dengan memberikan sanksi berupa: 1 orang bidan dengan pemutusan kontrak dengan JKJ selama 1 tahun dan 1 orang bidan tidak boleh memberikan pelayanan pengobatan selama 5 bulan. E. Inti sari dari program JKJ adalah : •
JKJ dibangun sebagai satu inovasi pilihan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kabupaten Jembrana.
•
JKJ merupakan satu kreasi atau pengalihan subsidi pembiayaan kesehatan dari subsidi kepada unit pelayanan kesehatan menjadi subsidi kepada masyarakat melalui lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), dengan demikian pemerintah tidak membuat anggaran baru hanya mengalihkan biaya yang sudah ada bahkan dicoba mengalokasikan dibawah alokasi semula.
•
JKJ akan mengelola pembiayaan kesehatan sedangkan biaya operasional kesehatan lainnya tetap disubsidi seperti semula terutama program yang sifatnya khusus, preventif, dan rehabilitatif.
•
Dengan program JKJ dimungkinkan terjadinya demokratisasi dibidang kesehatan karena masyarakat dapat secara bebas menggunakan sarana pelayanan kesehatan yang ada diseluruh Kabupaten Jembrana.
143
•
Dengan adanya program JKJ ini masyarakat tidak perlu menyediakan uang untuk biaya rawat jalan sehingga pemanfaatan kesehatan oleh masyarakat menjadi tinggi dan dapat menekan angka pemakaian rumah sakit (rawat inap) karena sakit yang belum begitu parah sudah terobati.
F. Sumber Dana JKJ Tahun Sumber Dana 2002 2003 2004 2005 Pendaftaran 56.852.000,- 24.594.000,- 14.432.000,JKJ Penjualan 187.774.264,- 471.979.386,- 396.594.247,Obat Penjualan 6.871.000,51.964.365,- 60.006.500,Blanko APBD 100.000.000,- 2.431.400.000,- 5.100.000.000,- 7.602.466.525,GAKIN PKBS519.054.391,- 835.066.000,- BBM GAKIN 125.000.000,- 125.000.000,- BALI Askes 54.209.690,- 125.527.500,- Jumlah
3.381.161.345,- 6.734.131.251,- 8.073.499.272,-
G. Pemanfaatan Dana JKJ Tahun
Jasa dan Obat
2002
2003
2004
2005
GAKIN
140.293.252,00
362.954.228,00
395.825.401,00
ASKES
201.865.350,00
610.663.982,00
412.382.771,00
UMUM
1.015.008.180,00 7.194.795.053,00 6.111.861.851,00
144
H. PPK-1 JKJ Tahun PPK-1 2003
2004
2005
2006
Dokter Umum
62
63
69
68
Dokter Gigi
11
10
9
8
Bidan
102
104
112
115
I. Kunjungan JKJ •
Tahun 2003 = 126.526
•
Tahun 2004 = 520.779
•
Tahun 2005 = 486.921
•
Tahun 2006 = 560.308
J. Kesimpulan 1. Pelaksanaan Program JKJ Tahap I dengan pelayanan rawat jalan (PPPK I) sudah berjalan baik dengan tingkat kepesertaan mencapai 42,86%. 2. Jalinan kerjasama antara Bapel JAMSOSDA dan PPK dalam upaya peningkatan mutu pelayanan dan pengendalian biaya serta dari aspek penerimaan masyarakat terhadap pelaksanaan JKJ semakin baik terbukti dengan minimnya komplain.
K. Masalah dan Solusi 1. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam melaksanakan tugas pada JAMSOSDA masih belum memadai. Solusinya dengan pembinaan secara bertahap oleh atasan dan metode sumbang saran. 2. Masih ditemukan PPK yang belum memberikan pelayanan sesuai dengan standar terapi yang diharapkan oleh JAMSOSDA dan masih ditemukan adanya moral hazard diantara PPK.
145
Solusinya dengan mengadakan monitoring, evaluasi, dan pembinaan kepada para PPK secara intensif dan berkesinambungan sehingga diharapkan PPK dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar pelayanan yang ditentukan. Pemberian sanksi pemutusan kontrak juga diberlakukan kepada PPK yang melakukan moral hazard. 3. Kepesertaan masyarakat dalam kepemilikan Kartu Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) belum mencapai target 70% karena dari masyarakat masih ada yang belum mempunyai Kartu Keluarga sebagai persyaratan untuk menjadi peserta JAMSOSDA. Solusinya adalah sosialisasi terpadu di tingkat desa atau kelurahan se-Kabupaten Jembrana. 4. Untuk pelaksanaan Jaminan Kesehatan Pelayanan Lanjutan/Rawat Inap (PPK-3), pemahaman, kemauan, dan kemampuan masyarakat masih kurang. Solusinya adalah sosialisasi terpadu dengan pihak instansi terkait di tingkat desa atau kelurahan se-Kabupaten Jembrana.
146
BAB VIII KABUPATEN SUMEDANG Latar Belakang Kebijakan ini dilatarbelakangi adanya aspirasi masyarakat tentang mahalnya biaya pelayanan kesehatan di Sumedang dan harapan agar pelayanan puskesmas gratis. Selain itu juga merupakan upaya untuk meminimalisasi “moral hazard” pengelolaan retribusi. Kebijakan ini juga didukung oleh Data Susenas Tahun 2005 yang menunjukkan pola pencarian pengobatan di Kabupaten Sumedang yakni 54% penduduk bila sakit cenderung berobat sendiri dan 57,4% menggunakan sarana lain di luar Puskesmas dan jaringannya untuk pengobatannya. Data Penduduk Kabupaten Sumedang Berdasarkan Kepesertaan JPK Tahun 2005
Penduduk Miskin (ASKESKIN)
120.515 Jiwa
PNS (ASKES SOSIAL)
101.243 Jiwa
Buruh (JAMSOSTEK)
24.645 Jiwa
Asuransi Kesehatan Swasta
Penduduk yang belum mempunyai JPK
745 Jiwa 761.326 Jiwa
Maksud Kebijakan Maksud penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar pada Pusat Kesehatan Masyarakat yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tujuan Kebijakan Tujuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar pada Pusat Kesehatan Masyarakat yaitu: a. Terwujudnya peningkatan keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar. b. Terwujudnya peningkatan tingkat pemanfaatan puskesmas oleh masyarakat. c. Terdorongnya perubahan perilaku pola pencarian pengobatan pada masyarakat. Bentuk Kebijakan Program Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan Dasar di UPTD Puskesmas Kabupaten Sumedang. Program ini dilaksanakan melalui Perda Nomor 8 Tahun 2006 yang isinya antara lain:
147
•
Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, Puskesmas DTP, Puskesmas Pembantu, Polindes/Bidan di Desa terhadap penduduk Kabupaten Sumedang dibebaskan dari biaya retribusi.
•
Biaya pelayanan kesehatan dasar yang dibebaskan adalah: •
Rawat Jalan
•
Rawat Inap
•
Tindakan Gigi Sederhana
•
Tindakan Gawat Darurat
•
Tindakan Laboratorium Sederhana
•
Tindakan Persalinan Normal Anak Pertama
Selain itu didukung pula oleh Peraturan Bupati Nomor 2 Tahun 2007 tentang Standar Operasional Prosedur Program Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan Dasar di UPTD Puskesmas Kabupaten Sumedang dan Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2006 tentang Kartu Sehat dan Buku Catatan Kesehatan Program Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pusat Kesehatan Masyarakat. Pembiayaan Biaya yang timbul akibat pembebasan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sumedang. Penerima Layanan Pembebasan biaya pelayanan kesehatan di puskesmas diberikan kepada seluruh penduduk yang tidak mempunyai jaminan kesehatan dari pemerintah atau institusi lain. Mekanisme Pelayanan Kepada Masyarakat No. 1.
Sistem Pelayanan Sistem Asuransi
Keuntungan 1. Ada kepastian biaya
Kerugian 1.
Harus menerbitkan kartu
operasional untuk
identitas peserta asuransi
puskesmas yang
baru.
dibayarkan di awal bulan.
2.
Tidak bisa memanfaatkan puskesmas di luar yang
148
2. Status penyakit penderita
tercatat di kartu peserta.
bisa dipantau dengan baik, karena hanya kontak dengan 1 puskesmas dan bisa dikembangkan sistem family folder. 2.
Sistem Budgeting
1. Tidak perlu menerbitkan
1.
Dikhawatirkan ada
(RAK) Berdasarkan
kartu peserta, cukup
keterlambatan pembayaran
Kepmendagri 13/2006
dengan KTP atau Kartu
biaya operasional
Keluarga.
puskesmas.
2. Tidak terikat kepada 1
2.
Keterbatasan mata
puskesmas dalam
anggaran yang ada di
memperoleh pelayanan.
Kepmendagri untuk mengakomodasi kegiatan pelayanan di puskesmas.
Proses Penetapan Perda 1. Penerbitan SK Bupati tentang Tim Kajian Pembebasan Biaya Pelayanan Dasar di Puskesmas (April 2006). 2. Rapat materi dan proses pengkajian dengan target selesai pada Bulan September 2006. 3. Survey atau penjajakan awal kepada masyarakat dan petugas Puskesmas pada Mei 2006. 4. Studi Banding ke Kota Banjar dan Kabupaten Jembrana tentang Pelayanan Kesehatan Dasar Gratis di Puskesmas pada Bulan Juni dan Juli 2006. 5. Diseminasi Raperda oleh Bagian Hukum (Organisasi Profesi, LSM, Tokoh Masyarakat, Di Bale, Agustus 2006). 6. Rapat Draft Akhir Raperda di Bagian Hukum pada September 2006. 7. Penyerahan Raperda dari Eksekutif kepada Legislatif pada September 2006. 8. Pembahasan Raperda dengan Pansus DPRD (minggu pertama Bulan Oktober Tahun 2006). 9. Pembahasan Perda oleh Pleno DPRD (Oktober 2006).
Penghitungan
149
Penghitungan ini dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Perhitungan Kapitasi ASKESKIN untuk pelayanan dasar di Puskesmas Tahun 2005. 2. Perhitungan Riil Utilisasi Puskesmas tahun terakhir dengan standar biaya yang ada di Perda No. 5 Tahun 2004.
Biaya Penunjang
Biaya Penunjang (Belanja Obat dan Reagen) Tahun 2005/2006 Rp. 1,5 M Pada Tahun 2007 dengan asumsi peningkatan kunjungan 200%, diperlukan biaya penunjang pelayanan (belanja obat dan reagen) sebesar Rp. 3,5 M
Biaya Penunjang Alat Kesehatan Rp. 4,6 M
Total Anggaran Total anggaran yang dibutuhkan untuk Kegiatan Pembebasan Biaya Retribusi Pelayanan Dasar di Puskesmas Rp. 14,9 M / 43,6 M (30%) yang terdiri atas: •
Operasional Puskesmas 6,8 M
•
Pengadaan Obat dan Reagen Lab 3,5 M
•
Pengadaan Alkes 4,6 M (DAK)
Tahapan Kegiatan •
Sosialisasi Lintas Program & Sektoral di 32 wilayah kerja puskesmas
•
Pelatihan Kepala Puskesmas dan Bendahara Puskesmas sebagai Pengelola Keuangan
•
Membentuk Tim Pembina Puskesmas dan melakukan pembinaan ke 32 puskesmas
•
Pembuatan SK Renumerasi Jasa
•
Pendistribusian Kartu Pasien 285.000 buah dan Buku Status Kesehatan Pasien 800.000 buah.
•
Survey Kepuasan Masyarakat 2 kali dengan hasilnya 74,6% menyatakan puas dan 25,4% menyatakan tidak puas.
•
Monitoring Mutu Pelayanan -
Eksternal: Survey Kepuasan Masyarakat dan UPM (Unit Pengaduan Masyarakat)
-
Internal: QA (Quality Assurance) dan GKM
150
Aktor Kunci CSO (Civil Society Organization atau Organisasi Masyarakat Sipil) Media Massa, dan DPRD. Peran masyarakat sipil sangat besar. Karena gagasan pembebasan layanan ini muncul dari masyarakat yang diserap oleh DPRD dan disebarluaskan oleh media massa. Media massa berperan besar untuk membesarkan isu pelayanan kesehatan gratis dan memberi tekanan kepada bupati untuk segera merealisasikan kebijakan tersebut. Proses Pembuatan Kebijakan Awalnya merupakan hasil penjaringan aspirasi masyarakat oleh DPRD. Gagasan tersebut kemudian menjadi bahasan hangat di media lokal. Di sisi lain, Bupati setempat sedang bersiapsiap mengikuti Pilkada Sumedang. Dampak Kebijakan 1. Terjadi lonjakan angka kunjungan Puskesmas dan Rumah Sakit sampai 125 persen. Sebagai perbandingan pada Tahun 2006 jumlah kunjungan 400.366 sedangkan pada Tahun 2007 naik menjadi 938.648. 2. Menurunnya kualitas layanan kesehatan (SDM dan persediaan obat terbatas). 3. Melonjaknya angka kesakitan (jumlah keluhan sakit). Problem yang Dihadapi 1. Kualitas pelayanan kesehatan. 2. Kebijakan ini bersifat politis intuitif. Kunci Keberhasilan Kabupaten Sumedang Masyarakat memberikan aspirasi terkait kebutuhan dasar, DPRD menyerap aspirasi dengan membuat kebijakan, CSO mempertemukan kepentingan, dan media mengkondisikan dan membuat tekanan. Kendala 1. Kurangnya tenaga di Puskesmas. 2. Obat dan alat kesehatan tidak mencukupi 3. Penatausahaan yang belum jelas akibat perubahan Kepmendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan 4. Belum ada di dokter beberapa puskesmas.
151
Pemecahan Masalah 1. Peningkatan efektivitas ketenagaan yang ada dan memperbaiki sistem pelayanan. 2. Mengefektifkan buffer stock obat di perbekalan farmasi + obat provinsi + obat Askes. 3. Pelatihan atau bimbingan manajemen keuangan pada kepala puskesmas dan bendahara puskesmas. 4. Pengangkatan Dokter PTT Daerah. Rekomendasi •
Meningkatkan alokasi anggaran kesehatan sebesar 15% untuk Puskesmas dan RSUD di luar belanja tidak langsung, sesuai dengan ketentuan WHO untuk pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Kesehatan.
•
Dana dikelola kelompok kerja khusus yang dibentuk dengan SK Bupati
•
Dana untuk rawat jalan diberikan secara kapitasi kepada Puskesmas (untuk biaya operasional), berdasarkan jumlah penduduk yang memilih Puskesmas tersebut sebagai tempat pelayanan dan dibayarkan setiap awal bulan oleh pengelola dana.
•
Biaya tindakan diklaim oleh Puskesmas kepada pengelola dana berdasarkan jumlah pengunjung yang dilakukan tindakan: (tindakan gigi, tindakan emergensi, tindakan laboratorium dasar, dan rawat inap).
•
Semua perangkat penunjang (payung hukum mekanisme pelaksanaan) dipersiapkan dari sekarang.
•
Sambil menunggu konsep sistem asuransi dan semua perangkat penunjangnya siap, pada tahun 2007 mekanisme keuangan menggunakan sistem rencana kegiatan anggaran (RKA) berdasarkan KEPMENDAGRI 13/2006
•
Dana yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas sebesar 14,9 M dipecah menjadi kegiatan kesehatan sesuai dengan mata anggaran kegiatan yang ada di KEPMENDAGRI 13/2006
•
Biaya pelayanan yang dibebaskan untuk warga Kabupaten Sumedang adalah rawat jalan, tindakan gigi, tindakan emergensi, tindakan laboratorium, rawat inap, dan persalinan anak pertama di Puskesmas DTP.
152
BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan Dari kelima kasus di atas tampak bahwa kabupaten/kota tersebut telah berupaya untuk menghilangkan beban biaya pelayanan kesehatan yang mungkin dialami ketika warganya sakit. Kota Banjar, Kabupaten Purbalingga, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Sukoharjo memiliki komitmen yang kuat terbukti dengan dialokasikannya dana APBD untuk keperluan sistem jaminan kesehatan dan pelayanan kesehatan bebas biaya. Menarik dicermati bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup besar antara biaya yang dialokasikan per penduduk di lima daerah tersebut pada Tahun 2007 walaupun dua daerah tersebut memiliki perbedaan tingkat kapasitas fiskal yang cukup besar. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa yang paling penting adalah komitmen dari pemerintah daerah setempat untuk mau mengalokasikan dana yang cukup bagi pelayanan kesehatan. Beberapa kesimpulan penting terkait penyelenggaraan pembiayaan kesehatan di 5 kabupaten/kota tersebut yaitu: A. Pengembangan Kebijakan Pelayanan Puskesmas Gratis Kebijakan pelayanan gratis adalah kebijakan pelayanan rawat jalan tingkat pertama di puskesmas kepada seluruh penduduk. Daerah yang menerapkan kebijakan ini adalah Kota Banjar dan Kabupaten Sukoharjo. Pembiayaan pelayanan gratis tersebut secara garis besar dilakukan dalam dua cara, yaitu: (1) Menambah biaya operasional yang berasal dari APBD dan langsung dialokasikan ke fasilitas pelayanan (PPK). Penduduk menggunakan pelayanan tersebut tanpa membayar. Artinya, PPK tidak mendapat pembayaran untuk setiap pelayanan yang diberikannya. (2) Menyediakan anggaran dari APBD yang dikelola oleh sebuah ”badan” pengelola yang selanjutnya membayar pelayanan kesehatan (PPK). Kemudian penduduk menggunakan pelayanan tersebut tanpa membayar. Akan tetapi PPK dibayar oleh badan pengelola anggaran tersebut, bisa melalui mekanisme kapitasi (sebagian besar) dan mekanisme ”fee for service/FFS”. Alasan daerah memilih mengembangkan sistem pelayanan kesehatan gratis adalah:
153
•
Retribusi yang diterima pemerintah daerah dari pelayanan kesehatan selama ini jumlahnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kemampuan APBD Pemda sehingga dinilai ABPD bisa menanggungnya apabila pelayanan kesehatan digratiskan;
•
Dengan menggratiskan pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk maka pemerintah daerah tidak lagi ”dibuat pusing” melakukan identifikasi penduduk miskin. Sehingga menghindari ”polemik” dalam menentukan siapa penduduk miskin dan siapa penduduk yang non miskin.
•
Mengurangi beban finansial penduduk untuk berobat.
•
Meningkatkan pemerataan akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan khususnya puskesmas.
Selama Tahun 2008 banyak calon kepala daerah baik itu gubernur maupun bupati/walikota yang menjanjikan pelayanan kesehatan gratis. Diperkirakan dalam waktu mendatang akan banyak daerah yang menerapkan pelayanan gratis tersebut. Pelayanan gratis jelas menguntungkan semua penduduk. Pelayanan ini membuka akses seluruh penduduk untuk menikmati layanan kesehatan tanpa khawatir dengan biaya. Pelayanan yang tidak membedakan penduduk ini minim menimbulkan diskriminasi layanan. Pelayanan gratis ini jelas mengintervensi sebelum penyakit menjadi lebih berat. Namun keterbatasan dana adalah realitas yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan pembiayaan kesehatan, apalagi dengan adanya kenyataan semakin tingginya biaya kesehatan. Dengan tujuan meringankan beban penduduk dan keterbatasan dana, maka pertanyaannya adalah ”beban yang mana” yang perlu dibantu. Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan penggratisan pelayanan puskesmas. •
Yang pertama, sejauh mana tarif puskesmas membebani rumah tangga. Karena penduduk miskin sudah ditanggung oleh negara (APBN melalui dana JPK Gakin), maka kebijakan gratis di suatu kabupaten/kota sebetulnya adalah bentuk proteksi untuk penduduk non miskin. Penelitian Depkes RI menunjukkan tarif-tarif puskesmas tersebut relatif sangat kecil dibandingkan dengan belanja rumah tangga untuk rokok dalam sebulan. Di kabupaten/kota yang menerapkan puskesmas gratis, rata-rata belanja kesehatan Rp. 22.884, Rp. 46.107, dan Rp. 89.594 dan belanja rumah tangga untuk rokok dalam sebulan adalah Rp. 78.197, Rp. 103.789, dan Rp. 151.712. angka-angka perbandingan tersebut
154
menunjukkan bahwa menggratiskan pelayanan yang nilai tarifnya dibawah Rp.10.000 (sekitar harga satu bungkus rokok), tidak berdampak signifikan untuk meringankan beban keuntungan rumah tangga. Hanya dengan menyisihkan harga satu bungkus rokok, rumah tangga tersebut bisa berobat ke puskesmas sebanyak 2-3 kali dalam sebulan. •
Kedua, apakah penyakit-penyakit yang diobati di puskesmas tergolong penyakit yang bersifat katastropik yaitu penyakit yang menyebabkan ”goncangan besar” terhadap ekonomi rumah tangga. Pola penyakit di Puskesmas di 25 kabupaten/kota menunjukkan penyakit tersebut tidak tergolong penyakit yang memerlukan biaya tinggi untuk mengobatinya misalnya: ISPA, Pulpa dan Jaringan Perapikal, Tonsilitis, Diare, Infeksi Kulit, Malaria, Asma, Gastritis, Influensa, Cacingan, Rematik, Sakit Kepala, dan lainnya. Selain itu pengobatan penyakit-penyakit tersebut tidak banyak kontribusinya terhadap target-target pembangunan kesehatan yang berkaitan dengan investasi modal manusia (human capital investment). Penyakit kurang gizi, misalnya Balita KEP jarang dibawa ke puskesmas. Sementara KB, ANC, persalinan oleh tenaga kesehatan, rujukan komplikasi persalinan, pelayanan neonatus dan masa nifas, penimbangan balita dan UKS adalah beberapa pelayanan yang sangat esensial dalam investasi mutu modal manusia dalam jangka panjang. Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pelayanan puskesmas gratis kurang tepat dengan adanya keterbatasan dana subsidi. Kebijakan yang lebih baik adalah melakukan ”pooling resources” dari penduduk mampu tersebut dalam sebuah jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan.
B. Perkembangan Kebijakan Jaminan atau Asuransi Kesehatan Untuk daerah yang mengembangkan jaminan/asuransi kesehatan, dikarenakan sesuai dengan ketetapan UU SJSN No.40 Tahun 2004. Alasan lainnya karena sistem asuransi merupakan wadah menerapkan prinsip solidaritas sosial (yang mampu membayar premi, yang tidak mampu ditanggung negara). Sistem asuransi kesehatan dipandang dapat mendidik rasa tanggung jawab dan kemandirian masyarakat karena yang mampu harus membayar premi dan bahwa dalam sistem asuransi kesehatan ada pihak ketiga yang akan melakukan fungsi-fungsi efisiensi dan jaga mutu (verifikasi pelayanan). •
Dari aspek kebijakan, tampak bahwa kelima daerah sudah menerbitkan Perda yang dapat menjadi payung hukum lembaga penjaminnya atau pelaksanaan pelayanan kesehatan bebas biaya di daerahnya dan juga sudah membuat aturan pengumpulan premi wajib. Dengan belum
155
keluarnya PP yang mengatur secara rinci siapa yang berhak menjadi lembaga penjamin kesehatan yang dapat mengambil premi wajib, Perda yang disusun oleh masing-masing daerah tersebut berpotensi untuk dianulir apabila PP dari pusat tidak memperbolehkan lembaga di daerah menarik premi. Kasus yang mirip dengan hal ini adalah ketika sebelum munculnya SK 1241 tentang penunjukkan PT Askes sebagai asuradur (penjamin) masyarakat miskin. Ketika itu lembaga daerah yang diberi wewenang, dan kemudian oleh pemerintah pusat dikembalikan wewenangnya ke pusat. Ketidakpastian hukum menyangkut sistem penjaminan di Indonesia rupanya merupakan hal yang cukup sering terjadi. Pada tahun 2005 juga muncul gugatan dari lembaga daerah agar tidak hanya 4 lembaga yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri. Dikabulkannya gugatan tersebut rupanya mendorong daerah untuk mengembangkan sistem jaminan kesehatan sendiri. Momentum ini kemudian diperkuat dengan munculnya PP 38 Tahun 2007. Saat ini tampaknya dengan banyaknya masalah di Askeskin, ada kemungkinan pemerintah daerah diberi wewenang yang lebih besar. Tarik ulur pusat dan daerah yang dapat dilambangkan seperti gerak bola pendulum ini berpotensi tidak segera finalnya sistem jaminan kesehatan di Indonesia dan cita-cita akan tercapainya cakupan semesta (universal coverage) akan terpengaruh. •
Dari segi teknis operasional tampaknya Badan Penyelenggara (Pra Bapel/UPTD) sudah berusaha
menyiapkan
semaksimal
mungkin
segala
alat
kelengkapan
pengelolaan
(management tools) seperti Utilization Review, pola pembayaran kepada PPK, dan sebagainya. Namun demikian, sistem penjaminan kesehatan memerlukan pengelolaan yang cukup rumit dan tampaknya persiapan yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara (Pra Bapel/UPTD) masih kurang. Dari data yang ada belum tampak adanya program pelatihan yang memadai, serta sumber daya manusia seperti apa yang diharapkan dapat mengelola. Apabila lembaga ini nantinya ingin dapat mengelola dana dengan lebih baik daripada PT Askes, tampaknya SDM yang ada perlu ditambah serta ditingkatkan keterampilannya, terutama dari segi teknis operasional serta program jaminan mutu. •
Dari segi manfaat jaminan (benefit) yang diberikan kepada masyarakat, setiap bapel memiliki standar yang berbeda. Hal ini wajar mengingat sumber pembiayaan serta jumlah dananya berbeda. Namun demikian, apabila di banyak daerah muncul banyak badan penyelenggara
156
dengan benefit yang berbeda-beda maka yang terjadi adalah terdapat variasi mutu layanan kesehatan antar daerah. Artinya, misalnya penduduk Purbalingga yang kemudian pindah ke Yogyakarta mungkin akan mendapatkan mutu layanan yang berbeda atau sebaliknya dan ini menyebabkan adanya potensi munculnya keluhan dan ketidakpuasan. •
Dari segi pembagian peran serta Good Governance antar pelaku, tampaknya ketiga Bapel perlu memiliki konsep yang jelas. Pola yang seharusnya adalah peran pemerintah di pusat maupun di daerah adalah sebagai regulator dan pihak yang memonitor. Tampak bahwa daerah mempunyai peran yang lebih detil dalam melakukan kontrol terhadap kualitas layanan. Pemerintah Pusat hanya akan mengatur kebijakan makro sedangkan operasional mikro seharusnya diserahkan ke daerah. Kebijakan makro yang dimaksud misalnya tentang perlunya alokasi yang seimbang antara layanan kesehatan perorangan dan masyarakat serta pentingnya Standar Pelayanan Minimal (SPM), sedangkan yang dimaksud peran regulator yang lebih operasional misalnya dalam mengawasi dan mengatur agar sistem mutu dijalankan di lembaga operator, mengatur perijinan lembaga operator, serta mengawasi agar standar pelayanan minimal dijalankan. Adapun lembaga asuransi dan jaminan kesehatan serta penyedia layanan kesehatan berfungsi sebagai operator. Hubungan antara lembaga penjamin dengan penyedia pelayanan kesehatan (PPK) adalah sebuah hubungan kontraktual yang dalam klausul-klausul kontrak akan dirinci bagaimana sistem pembayarannya (misalnya melalui kapitasi, diagnostic related group, paket dll), bagaimana agar PPK dapat menjalankan proses jaminan mutu yang dikaitkan dengan pembiayaan (misalnya akan ada bonus bagi PPK yang terbukti efisien dan bermutu baik, atau sebaliknya pembayaran ditunda atau ditolak bila terbukti pelayanan berlebihan). Masyarakat luas juga dilibatkan dalam sistem kontrol ini dengan mengoptimalkan lembaga media massa, lembaga perwakilan (DPR/DPRD), serta LSM (yayasan konsumen dll). Dengan adanya pembagian peran yang jelas ini maka akan terdapat sistem yang mengacu kepada konsep good governance sehingga operator dapat menjalankan fungsi pelayanan yang optimal sedangkan regulator juga dapat menjalankan fungsi pengawasannya secara independen.
157
7.2. Rekomendasi Munculnya PP No. 38 Tahun 2007 mendorong daerah untuk berinisiatif mengembangkan Sistem Jaminan Kesehatan Daerah. Pola yang sering muncul adalah membentuk lembaga penjamin kesehatan di luar atau di dalam struktur pemerintah. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah masih merupakan lembaga yang relatif baru dibentuk. Pola manajemen yang diterapkan di lembaga penjamin umumnya mengacu pola Managed Care. Payung hukum lembaga penjamin kesehatan daerah diharapkan akan berupa Peraturan Daerah. Seringkali perubahan peraturan di tingkat pusat berpotensi mengganggu perkembangan lembaga jaminan kesehatan di tingkat daerah. Berikut sejumlah rekomendasi yang dapat dikemukakan dari hasil studi di 5 kabupaten/kota tersebut: •
Munculnya inisiatif daerah dengan Jamkesda perlu didukung oleh komitmen semua pihak (Walikota, DPRD, lintas program, dan lintas sektor).
•
Pola pengelolaan dan manajemen operasional di lembaga Jamkesda perlu ditingkatkan karena masih relatif baru dan kurang pengalaman.
•
Pemerintah pusat perlu segera membuat aturan yang jelas dari sistem penjaminan kesehatan dengan mengikutsertakan peran daerah dan dengan menjamin keberadaan Jamkesda untuk tetap tumbuh eksistensinya. Mengingat upaya yang telah dilakukan saat ini akan kurang bermanfaat apabila aturan pusat terlalu sentralistis dan menafikan peran daerah.
•
Manfaat yang diberikan (benefit package) oleh masing-masing Jamkesda mungkin dapat bervariasi namun sebaiknya tidak terlalu besar.
•
Disarankan agar daerah-daerah yang sekarang memberikan pelayanan gratis beralih kearah pengembangan sistem jaminan kesehatan. Kampanye bahwa premi setahun per orang hanya sebesar harga 10 bungkus rokok (10 hari berhenti merokok) membantu menyadarkan masyarakat bahwa dengan cara Jaminan Kesehatan maka biaya kesehatan menjadi relatif lebih murah. Namun, pengembangan sistem jaminan harus melalui analisis kelayakan terutama untuk melihat apakah ada jaminan akses pelayanan bagi seluruh penduduk khususnya penduduk miskin dan terpencil. Tanpa pelayanan yang mudah dijangkau, sistem jaminan kesehatan justru akan menyebabkan ketidakadilan dan ketidakmerataan.
158
159