Portofolio sebagai Model Pembelajaran Seimbang ... (Ismail Fahri) 219
PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROPINSI BALI A.M. Wibowo*
Abstract: This paper is the result of a study of the implementation of Education of Islamic Religion in Schools for the Gifted Children in the province of Bali. Starting from the author’s curiosity about how far Education of Islamic Religion is existed and integrated in the educational process in the Schools for the Gifted Children. Religious education is an obligation of schools to meet the equal rights of learners with special needs in terms of spiritual fulfillment with other normal students. By using a qualitative approach, this study found three things. Firstly, implementation of Education of Islamic Religion in special needs students is still far from ideal. Secondly, professional competence of Education of Islamic Religion’s teachers does not meet the standards of academic qualifications as like non religion graduates. Thirdly, the factor inhibiting implementation of the Education of Islamic Religion in Schools for the Gifted Children is that Education of lslamic Religion is still regarded as a second job in the education process in the Schools for the Gifted Children. Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, siswa berkebutuhan khusus, SLB.
* Balai Litbang Agama Semarang, Jl. Untung Suropati Kav. 70 Kel. Bambankerep Manyaran Semarang, e-mail:
[email protected]
220 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011
PENDAHULUAN Setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa memandang status sosial, material, keadaan jasmani ataupun rohani. Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat, Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa “......negara mencerdaskan kehidupan bangsa.....”, sedangkan Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, dan juga UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional khususnya pasal 5. UU tersebut mengamanatkan agar setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Hal tersebut semata-mata untuk mewujudkan persamaan hak asasi manusia agar terhindar dari kebodohan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan karena tidak mampu untuk bersaing dalam bidang ilmu pengetahuan. Melihat pernyataan di atas maka tidak hanya manusia “normal” saja yang berhak mendapatkan pendidikan, namun manusia yang memiliki kesulitan belajar seperti kesulitan membaca (disleksia), menulis (disgrafia) dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, dan tuna laras) berhak mendapatkan pendidikan. Selama ini, sebagian orang membuat dikotomi antara normal dan cacat atau berkebutuhan khusus. Padahal, warga berkebutuhan khusus adalah bagian dari masyarakat juga. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bertujuan untuk membentuk siswa yang mampu berprestasi dalam kelompoknya, baik secara sosial maupun emosional sebatas kemampuannya(Nur’aeni, 1997: 104-105). Anak-anak penyandang ketunaan berkuasa atas dirinya, dan karena itu fitrah dirinya adalah sebagai manusia yang merdeka atau bebas. Walaupun mereka tidak sempurna secara fisik atau mental, tetapi jika kembali kepada fitrah mereka sebagai bagian dari manusia, maka mereka memiliki hak untuk merdeka seperti anak normal lainnya. Hal itu sesuai dengan tujuan akhir dari upaya humanisasi. Humanisasi yang dimaksud adalah upaya-upaya pengembangan dan pendidikan masyarakat dengan misi liberation dan empowerment umat secara kontinu, terpadu, dan bertanggung jawab (Mas’ud, 2003: 205). Anak-anak berketunaan merupakan bagian dari masyarakat yang harus dibebaskan dan diberdayakan baik dari keterbatasan kondisi fisik maupun mentalnya. Upaya tersebut dilakukan dengan cara memberikan hak yang sama dalam bidang pendidikan secara berkesinambungan, terpadu dan penuh tanggung jawab
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SLB ... (A.M. Wibowo) 221
agar mereka tidak lagi dianggap sebagai warga kelas dua yang hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Diperlukan cara mendidik yang paling tepat dalam upaya memanusiakan diri mereka. Upaya tersebut salah satunya adalah dengan jalan memberikan pendidikan agama. Pendidikan agama berusaha mengarah pada perbaikanperbaikan dalam kemajuan kualitas iman manusia. Hal tersebut tidak lain lebih disebabkan bahwa setiap manusia mempunyai satu keyakinan adanya Tuhan. Pemberian kontribusi pendidikan agama kepada anak-anak penyandang ketunaan adalah hak yang harus diberikan kepada mereka dalam rangka meningkatkan perkembangan kepribadiannya (Manschatz dalam Mialarq 1993: 124). Pendidikan Agama merupakan sarana utama dalam membentuk kepribadian mereka. Melalui pengajaran dan penghayatan, pendidikan agama berusaha membina mentalitas iman dalam diri anak-anak penyandang ketunaan (Sindhunata 2001: 189). Penelitian ini ingin mengkaji pelaksanaan pendidikan agama Islam pada sekolah luar biasa negeri Kota Denpasar Propinsi Bali. Adapun yang menjadi fokus penelitian adalah pelaksanaan pendidikan agama pada tingkatan sekolah dasar. Berdasarkan latar belakang masalah di atas yang mejadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimanakah pelaksanaan pendidikan agama Islam pada tingkatan SDLB? Kedua, bagaimanakah kompetensi dan profesionalime guru pendidikan agama pada tingkat SDLB? dan ketiga, apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pembelajaran pada tingkat SDLB? Penelitian ini bertujuan, yaitu: pertama, mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan agama Islam pada tingkat SDLB di Kota Denpasar Propinsi Bali. Kedua, mendeskripsikan kompetensi dan profesionalisme guru pendidikan agama Islam pada tingkat SDLB di Kota Denpasar Propinsi Bali, dan ketiga, untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam pada tingkat SDLB di Kota Denpasar Propinsi Bali. Penelitian tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam pada sekolah luar biasa bukan yang pertama kali dilakukan, adapun beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:
222 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011
George S Mischio, peneliti sekaligus pengajar pada Universitas Wisconsin, Whitewater Amerika, dalam buku bunga rampai Alternatives For Teaching exceptional Children, meneliti tentang teknik mengajar induktif bagi penyandang keterbelakangan mental. Salah satu tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang metode baru dalam mengajar bagi penyandang keterbelakangan mental. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa metode pembelajaran induktif bagi penyandang cacat mental merupakan metode yang paling kompatibel di antara variasi-variasi mengajar yang lain dikarenakan guru dapat langsung mengorganisasi pembelajaran sekaligus melakukan kontrol sampai di mana siswa dapat mengenal, mengetahui dan memahami pelajaran. Yang membedakan antara penelitian yang dilakukan oleh Mischio dengan penelitian ini adalah Mischio hanya meneliti metode tersebut untuk anak keterbelakangan mental saja sedangkan metode tersebut tidak diujikan untuk anak tuna rungu wicara. Sedangkan dalam penelitian ini meneliti dua buah ketunaan yaitu tuna grahita (mental) dan tuna rungu wicara. Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah Internalisasi Pendidikan Agama Islam Pada Penyandang Ketunaan di SLB PGRI Minggir Sleman Yogyakarta Tahun 1981-2002 oleh Dwi Istiyani. Penelitian tersebut memfokuskan diri pada metode internalisasi pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh SLB tersebut dalam pembelajaran pendidikan agama Islamnya dengan pendekatan psikologi. Yang membedakan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah tentang pembelajaran PAI oleh pendidik pada SLB di Kota Denpasar Propinsi Bali meliputi bagaimana guru menyusun kurikulum, menyusun silabus, menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran hingga praktik mengajar. Hal tersebut tidak dilakukan oleh Dwi Istiyani di SLB PGRI Minggir Sleman Yogyakarta tahun 2002. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif di mana instrumen kuncinya (key instrument) adalah peneliti. Prosedur penelitian ini adalah dengan cara melakukan interpretasi terhadap studi lapangan berupa perilaku para guru agama yang mengajar di SDLB baik yang tertulis, terucap maupun tingkah laku guru agama dalam mengajar pendidikan agama di SDLB tersebut. Baru setelah itu peneliti melakukan analisis untuk kemudian membuat refleksasi terhadap metode pengajaran para guru agama di sekolah luar biasa tersebut.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SLB ... (A.M. Wibowo) 223
Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer penelitian ini adalah yang berhubungan langsung dengan obyek penelitian yaitu pengajar (guru) mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SDLB. Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini adalah Kepala SDLB, orang tua siswa, serta dokumen-dokumen yang sifatnya sebagai pendukung. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan antara lain keadaan sekolah, dokumen kurikulum dan muatan kurikulum, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara yaitu observasi, wawancara, telaah dokumen dan triangulasi. Observasi dilakukan dalam rangka untuk melihat kondisi subyek dan lokus penelitian secara natural. Wawancara dilakukan untuk melakukan konfirmasi terhadap observasi yang telah dilakukan. Wawancara dilakukan pada pengajar agama Islam, kepala sekolah, dan peserta didik. Telaah dokumen dilakukan untuk melakukan sinkronisasi kecocokan antara data administrasi dengan realitas dilapangan. Dokumen yang ditelaah adalah administrasi sekolah secara umum dan administrasi pendidikan secara khusus. Administrasi pendidikan yang dimaksud adalah dokumen-dokumen berupa kurikulum, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru agama. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah model analisis data interaksi yang dilakukan oleh Anselm Staruss (2007: 100). Yaitu menghubungkan antara kategori dengan sub kategori untuk kemudian dicari pola-polanya. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam analisis ini adalah reduksi data, penyajian data dan verifikasi data (Sugiyono, 2005: 92). HASIL PENELITIAN Profil SDLB Sekolah Luar Biasa Negeri Tuna Netra Kota Denpasar Propinsi Bali mempunyai Nomor Induk Sekolah (NIS) 101220902065 dan NPSN 50103060. SDLB ini berada di pusat kota yaitu di jalan Serma Gede No 11 Kota Denpasar sekitar 200 m dari kampus Universitas Udayana. Karena letaknya di pusat kota maka lokasi SDLB sangat mudah untuk diakses dari manapun bagi mereka yang membutuhkannya. Visi SLB/A Negeri Denpasar adalah mewujudkan pendidikan yang profesional dan bermutu bagi anak yang berkebutuhan khusus. Visi tersebut
224 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011
dijabarkan ke dalam 7 misi seperti (1) Menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa, (2) Meningkatkan mutu pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, (3) Meningkatkan pengetahuan, bakat, minat dan keterampilan sesuai dengan kemampuan anak, (4) Meningkatkan kerja sama dengan pihak terkait (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam upaya mensosialisasikan dan memberi kesmpatan kerja peserta didik, (5) Mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, (6) Mengembangkan diri sebagai Resource Center ( Pusat Sumber) terkait dengan anak berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusif, (7) Mengembangkan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam upaya peningkatan kemandirian anak berkebutuhan khusus agar dapat hidup mandiri di masyarakat. Dari penjabaran visi sebagaimana tersebut di atas tampak jelas bahwa pembentukan karakter peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa menjadi tujuan nomor satu dalam pelaksanaan pendidikan di SDLB tersebut. Komponen Pendidikan Komponen pendidikan yang dimaksud adalah sarana prasarana, peserta didik, guru, dan komponen administrasi. Sarana dan prasarana pendidikan pada SDLB Tuna Netra Denpasar tergolong cukup lengkap. Sarana tersebut terdiri sarana umum dan sarana penunjang khusus. Sarana umum terdiri dari 6 ruang kelas untuk proses belajar mengajar, kantor guru dan kepala sekolah, laboratoium, kamar kecil dan lain-lain. Sarana penunjang khusus terdiri dari peralatan orientasi dan mobilisasi, reglet dan pena, kertas barile laboratorium untuk siswa tuna netra yang terdiri dari Komputer, CCTV, mesin ketik braile, tongkat peraga, dan alat-alat peraga. Sekolah ini juga memiliki peralatan mesin cetak braile yang tidak dimiliki oleh SLB-SLB yang lain di Indonesia. Setiap buku teks pelajaran dialihtuliskan ke dalam huruf braile dan hasilnya kemudian dikirimkan ke SLB-SLB tuna netra yang ada di Indonesia. Untuk sarana penunjang peribadatan, SLB ini hanya memiliki Merajan (pura kecil). Sedangkan untuk siswa yang beragama di luar agama Hindu menyesuaikan. SDLB Tuna Netra tidak memiliki komponen pendidik agama Islam. Hal tersebut dikarenakan jumlah peserta didik yang beragama Islam yang sangat
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SLB ... (A.M. Wibowo) 225
sedikit (minoritas). Untuk pemenuhan guru agama Islam diambilkan dari guruguru yang beragama Islam di sekolah tersebut walaupun tidak memiliki kompetensi untuk mengajar pendidikan agama Islam. Karakteristik Peserta Didik Karakteristik peserta didik penyandang tuna netra di SDLB Denpasar secara fisik dan kecerdasan antara siswa tuna netra dan peserta didik normal tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Perbedaan nyata di antara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tuna netra yang dapat diamati dari segi fisik di antaranya: mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, gerakan mata tak beraturan dan cepat. Mata selalu berair (mengeluarkan air mata), pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata. Siswa penyandang tuna netra mempunyai gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini:menggosok mata secara berlebihan, menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan, sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata, berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan, membawa bukunya ke dekat mata. Selain itu masih ada perilaku lainnya pada siswa penyandang tuna netra yaitu, tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh, menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi, tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca, janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata, menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh. Secara psikis anak tunanetra memiliki intelektual atau kecerdasan yang umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
226 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011
Hubungan sosial siswa tuna netra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian yaitu mudah curiga terhadap orang lain. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tuna netra kurang mampu berorientasi dengan lingkungan, sehingga kemampuan mobilitas pun akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tuna netra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri. Siswa tuna netra yang ditemui di SDLB Denpasar mempunyai perasaan mudah tersinggung. Hal tersebut dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tuna netra yang emosional. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di SDLB 1. Kurikulum PAI di SDLB Kurikulum mata pelajaran PAI di SDLB Kota Denpasar telah menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Meskipun menggunakan KTSP akan tetapi masih banyak materi-materi pelajaran agama Islam yang tidak murni disusun oleh guru agama Islam di sekolah tersebut atau dengan kalimat lain masih banyak copy and paste dari sekolah lain. Ada beberapa hal yang menyebabkan guru pengampu mapel PAI di SDLB Kota Denpasar ini kesulitan menyusun KTSP. Kesulitan pertama adalah jabatan guru agama hanyalah jabatan “sambilan” maksudnya guru pengampu PAI dirangkap oleh guru IPS. Hal ini dianalisa oleh penulis bahwa jabatan guru PAI hanyalah sebagai second job sehingga guru yang mengampu mapel PAI lebih mementingkan tugas utamanya sebagai guru IPS. Kesulitan kedua, secara kualifikasi akademik guru pengampu mata pelajaran PAI di SDLB Kota Denpasar bukanlah dari lulusan Tarbiyah. Dari kualifikasi yang demikian itu maka sudah barang tentu guru pengampu mata pelajaran PAI akan merasa sulit untuk menyusun kurikulum dan silabus mata pelajaran PAI. Dengan demikian dilihat dari kompetensi pedagogis dan profesionalnya dapat dikatakan guru pengampu mata pelajaran PAI tidak memiliki kompetensi tersebut.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SLB ... (A.M. Wibowo) 227
2.
Karakteristik Pembelajaran di SDLB Karakteristik pembelajaran pendidikan agama Islam di SDLB Denpasar hampir sama dengan sekolah reguler. Persamaan tersebut dikarenakan pada penyandang tuna netra memiliki potensi intelektual yang sama dengan anakanak normal terkecuali untuk mereka yang memiliki cacat ganda dengan mental. Hal tersebut sesuai dengan lampiran Permendiknas no 23 tahun 2006 Poin D item 3 yang menyatakan “Kurikulum satuan pendidikan SDLB A,B,D,E relatif sama dengan kurikulum SD umum. Pada satuan pendidikan SMPLB A,B,D,E dan SMALB A,B,D,E dirancang untuk peserta didik yang tidak memungkinkan dan/atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi,” (Permendiknas:2006). Ini artinya pemerintah tidak membedakan antara siswa normal dengan siswa penyandang tuna netra. Pola pembelajaran pendidikan agama Islam yang dilaksanakan di SDLB berlangsung di luar kelas. Hal ini dikarenakan jumlah peserta didik beragama Islam sangat sedikit sehingga pada saat jam pelajaran pendidikan agama berlangsung siswa dengan penganut agama terbanyaklah yang berhak menggunakan ruang belajar. Ruang belajar untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam di SDLB Tuna Netra Kota Denpasar biasanya menggunakan ruang-ruang yang kosong seperti laboratorium komputer. Namun hal ini justru menguntungkan dikarenakan dalam laboratorium komputer siswa penganut agama Islam dapat menggunakan fasilitas CCTV (alat untuk memperbesar huruf sampai seribu kali pembesaran). Dengan CCTV tersebut siswa dapat belajar membaca huruf Arab di samping juga menggunakan fasilitas Quran dalam huruf Braile. Pola pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran pendidikan agama Islam menggunakan model pembelajaran individual yaitu dengan cara membimbing satu persatu peserta didik sehingga lebih intensif. Namun demikian terdapat kelemahan dalam menggunakan model individual dalam pembelajaran pendidikan agama Islam di SDLB. Kelemahan tersebut adalah dibutuhkan waktu (jam pelajaran) yang cukup banyak untuk penguasaan satu kompetensi dasar bagi peserta didik. Sikap guru terhadap murid di SDLB Denpasar terlihat mendominasi hal tersebut dikarenakan siswa-siswa dengan kebutuhan khusus penglihatan mempunyai sifat pendiam dan tidak bisa berinteraksi satu sama lain di dalam
228 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011
kelas. Oleh sebab itulah maka peran guru dalam mengendalikan situasi menjadi kondusif tidak diperlukan karena kelas memang sudah kondusif. Jumlah jam pembelajaran SDLB Denpasar Tuna Netra (A) kelas I, II, III berkisar antara 28 – 30 jam pembelajaran/minggu dan 34 jam pembelajaran/minggu untuk kelas IV, V, VI. Kelebihan 2 jam pembelajaran dari SD umum karena ada tambahan mata pelajaran program khusus. Alokasi per jam pembelajaran untuk SDLB adalah 35 menit. PEMBAHASAN Pendidikan agama bagi penyandang ketunaan merupakan usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life (Saleh, 1973: 19). Memberikan pendidikan agama bagi mereka merupakan usaha sadar dan pragmatif dalam membantu anak didik supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama. Dalam pelaksanaan pendidikan agama, komponen-komponen pendidikan mempunyai peranan yang penting yang apabila salah satu diabaikan maka akan menyebabkan tujuan pendidikan agama bagi penyandang ketunaan khusussnya tuna netra tidak tercapai secara maksimal. Komponen-komponen pendidikan tersebut adalah kepala sekolah, komite sekolah, guru, orang tua, siswa, dan sarana prasarana sekolah. Melihat kenyataan seperti dipaparkan di atas terlihat kepala sekolah belum mampu mengoptimalisasikan kinerjanya untuk memperbaiki sistem pendidikan di SDLB Denpasar khususnya untuk pendidikan agamanya. Seharusnya kepala sekolah sebagai administrator pendidikan harus banyak berfungsi sebagai koordinator pelaksana kurikulum. Selain itu kepala sekolah diharapkan sebagai penentu dan pelaksana kebijakan di lapangan dan bertanggungjawab secara penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Penerapan kurikulum pendidikan agama yang dilaksanakan tidak terlepas dari kebijakan kepala sekolah setelah berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Diknas atau Depag. Di samping itu, kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan hendaknya juga melibatkan sumber-sumber yang lain yang mungkin dapat meningkatkan kualitas pendidikan siswanya agar nantinya mampu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Pengembangan dan implementasi kurikulum pendidikan agama perlu dilandasi
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SLB ... (A.M. Wibowo) 229
oleh perkembangan konsep ilmu. Dalam hal ini pemikiran para ahli sangat dibutuhkan, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum maupun ahli bidang studi/ disiplin ilmu. Keberadaan beserta kinerja guru pendidikan agama Islam di SDLB Denpasar masih jauh dari ideal jika melihat hasil observasi yang dilakukan. Padahal guru merupakan faktor yang paling penting dan berperan dalam masalah kurikulum. Melalui peran dan fungsi merekalah kurikulum itu dijabarkan, dikembangkan dan diimplementasikan sehingga kurikulum menjadi berarti dan berharga. Melalui guru, nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum dapat disampaikan kepada peserta didik, dan aktualisasi serta nilai-nilai/sikap, pengetahuan yang terkandung di dalamnya dilakukan oleh guru melalui implementasi kurikulum dalam proses pembelajaran. Tugas dan peranan guru agama sebagai pendidik profesional sesungguhnya sangat kompleks, tidak terbatas pada saat berlangsungnya interaksi edukatif di dalam kelas, yang lazim disebut proses belajar mengajar. Guru juga bertugas sebagai administrator, evaluator, konselor dan lain-lain sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (Suryosubroto:2002:3) (Mulyasa, 2005:37-43,61). Jika dilihat sisi tanggung jawab seorang guru, maka salah satu tanggung jawab guru adalah mengarahkan pendidikan dalam tujuannya melakukan transformasi kesadaran siswa sesuai dengan apa yang telah guru rencanakan dalam kurikulum. Dalam mengarahkan siswa, guru sebaiknya tidak melakukan manipulasi dan tidak meninggalkan siswa dalam keadaan sendirian. Jika dilihat dari kompetensi guru pendidikan khusus (guru PLB), seharusnya guru-guru pendidikan agama di SDLB Denpasar memiliki kompetensi dilandasi oleh tiga kemampuan (ability) utama. Tiga kemampuan utama tersebut yaitu: (1) kemampuan umum (general ability), (2) kemampuan dasar (basic ability), dan (3) kemampuan khusus (specific ability). Kemampuan umum (general ability) yang dimaksud seorang guru PLB memiliki ciri warga negara yang religius dan berkepribadian, memiliki sikap dan kemampuan mengaktualisasikan diri sebagai warga Negara, memiliki sikap dan kemampuan mengembangkan profesi sesuai dengan pandangan hidup bangsa. Selain itu guru pendidikan agama di SDLB Denpasar hendaknya juga harus memahami konsep dasar kurikulum dan cara pengembangannya,
230 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011
memahami disain pembelajaran kelompok dan individual, mampu bekerjasama dengan profesi lain dalam melaksanakan dan mengembangkan profesinya. Seorang guru pendidikan agama yang mengajar pada siswa berkebutuhan khusus secara umum atau tuna netra secara khusus juga harus memiliki kemampuan dasar (basic ability). Kemampuan dasar tersebut adalah seorang guru harus memahami dan mampu mengidentifikasi anak luar biasa, memahami konsep dan mampu mengembangkan alat asesmen serta melakukan asesmen anak berkelainan. Selain itu, kemampuan dasar guru pendidikan agama yang mengajar pada sekolah luar biasa adalah guru mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran bagi anak berkelainan, mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi program bimbingan dan konseling anak berkelainan serta guru mampu mampu melaksanakan manajemen kePLB-an. Berkaitan dengan kemampuan dasar, guru agama di SLB harus mampu mengembangkan kurikulum PLB sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak berkelainan serta dinamika masyarakat, memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek medis dan implikasinya terhadap penyelenggaraan PLB, memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek psikologis dan implikasinya terhadap penyelenggaraan PLB, memiliki sikap dan perilaku empati terhadap anak berkelainan. Guru agama juga dituntut untuk memiliki sikap professional di bidang ke-PLB-an dan mampu merancang dan melaksanakan program kampanye kepedulian PLB di masyarakat, serta mampu mampu merancang program advokasi. Dalam aspek specific ability (kemampuan khusus), seorang guru pendidikan agama yang mengajar di sekolah luar biasa hendaknya memiliki kemampuan khusus yang dapat dapat diandalkan dalam rangka mensukseskan pelaksanaan pendidikan agama di tempat mereka mengajar. Kemampuan tersebut antara lain mampu melakukan modifikasi perilaku, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan penglihatan, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan pendengaran/komunikasi, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/ kelainan intelektual (Ditplb.or.id). Ketidakberdayaan siswa SDLBN A Kota Denpasar bukan berarti alasan adanya pengarahan yang dilakukan dalam posisi serba memerintah, tetapi dilakukan dalam sosok mengarahkan studi serius mengenai beberapa hal.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SLB ... (A.M. Wibowo) 231
Hal tersebut jika dikembalikan ke teori guru seharusnya lebih memposisikan dirinya sebagai fasilitator pembelajaran yang mengatur sirkulasi dan jalannya proses pembelajaran (Mulyasa, 2007: 255). Profesi guru agama di SLB tidak bisa begitu saja dialihkan, kepada guruguru lain. Karena ia tidak saja berperan dalam kegiatan transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga berperan menanamkan nilai-nilai Islam (transfer of value) pada jiwa peserta didik SLB. Oleh karena itu kompetensi dan profesionalisme guru agama Islam di SDLBN/A Kota Denpasar sangat diperlukan. Guru agama setidak-tidaknya adalah orang yang benar-benar memahami dan menguasai beberapa materi agama yang harus dikontribusi oleh siswa SLB, serta memiliki kecakapan dan keahlian selaras dengan tuntutan dalam menghadapi mereka. Kompetensi guru agama di SLB secara personal yang berupa sikap kepribadian selayaknya dimiliki oleh seorang guru agama sebagai modal dasar dalam menjalankan tugasnya dengan profesional. Siswa penyandang ketunaan pada umumnya bersifat lebih sensitif, sehingga upaya yang biasa dilakukan oleh guru agama dalam membidik ruang spiritual mereka melalui pendekatan emosional. Tujuannya adalah untuk menghadapi sifat dan perilaku siswa SLB yang begitu variatif (Munif:2002:60). Kompetensi personal yang biasa dilakukan oleh guru agama SDLB Denpasar dalam menghadapi siswanya di antaranya dengan berusaha bersikap sabar, menyayangi semua siswa (mampu menjadi sahabat mereka), berusaha memiliki kepribadian yang menarik. Ketidakberhasilan pendidikan agama terlebih-lebih dikarenakan guruguru pendidikan agama di SDLB/A Denapasar semua belum sesuai dengan syarat kualifikasi akademik yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu minimal sarjana S-1 bidang pendidikan agama. Tentu saja hal ini menunjukan bahwa syarat kualifikasi akademik yang dimiliki para pengajar pendidikan agama tersebut tidak menjadi jaminan keberhasilan guru dalam proses pembelajaran. Keberhasilan mengimplementasikan kurikulum bergantung kepada guru sebagai pelaksana di lapangan. Guru dituntut untuk memiliki kemampuan profesional dalam proses pembelajaran, di samping kemampuan kepribadian dan kemampuan kemasyarakatan. Selain itu yang lebih penting adalah guru harus mampu menguasai dan memahami secara lebih mendalam terhadap materi pembelajaran yang akan disampaikan (Hamalik, 2007:9). Seorang guru yang kompeten dan profesional di bidangnya selain harus memiliki empat buah
232 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 2, Desember 2011
kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial, juga mampu menciptakan metode atau paling tidak dapat menerapkan metode yang sesuai dengan kondisi psikologis siswa. Dengan metode yang bervariasi diharapkan suasana pembelajaran akan membuat siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. SIMPULAN Hasil penelitian ini merumuskan tiga buah kesimpulan. Pertama, bahwa meskipun belum terintegrasi secara sempurna namun pendidikan agama Islam telah diajarkan dalam proses pembelajaran di SLB. Kedua, di luar kompetensi kepribadian, secara kompetensi baik pedagogik, profesional, dan sosial guru PAI di SLB belum memenuhi kualifikasi sebagai pengampu mata pelajaran PAI. Ketiga, terdapat dua hambatan utama dalam proses pembelajaran PAI di SLB, yaitu kualifikasi dan kompetensi guru yang kurang maksimal, perencanaan pembelajaran serta metode guru dalam pembelajaran PAI yang masih belum maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa http://www.ditplb.or.id Manschatz, Eberhard. 1993. “Anak-anak cacat, dalam buku Hak Anakanak untuk memperoleh Pendidikan, Gaston Mialarq. Jakarta: Balai Pustaka. Masud, Abdurrahman. 2005. Menuju Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta: Gama Media. Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya. —————— . 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munip, Abdul. 2002, “Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam” dalam jurnal Ilmu Pendidikan Islam. vol. 3 No.2 Januari. Nur’aeni. 1997. Intervensi Dini bagi Anak Bermasalah. Jakarta: Rineka Cipta.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SLB ... (A.M. Wibowo) 233
Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi, Kementrian Pendidiknakan Nasional. Saleh, Abdul Rachman. 1976. Didaktik Pendidikan Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2007. Basic of Qualitative Research Grounded Theory Procedures and Techniques. terj. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. terj. Muhammad Sodiq dan Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.