PELAKSANAAN CIRCULAR RESOLUTION PADA PERSEROAN TERBATAS CIRCULAR RESOLUTION PRACTICE ON LIMITED COMPANY
Fadlyna Ulfa Faisal1, Abdullah Marlang2, Oky Deviany2 1
Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin 2 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi : Fadlyna Ulfa Faisal Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar, 90224 Ponsel : 085397547388 E-Mail :
[email protected]
Abstrak Pasal 91 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa pemegang saham dapat mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS yang dikenal dengan circular resolution. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam mekanisme pelaksanaan circular resolution dan halhal apa saja yang dapat diputuskan melalui circular resolution di dalam praktek Perseroan Terbatas (PT). Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empirik yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah kaidah hukum yang berlaku sehubungan dengan kejadian yang nyata terjadi pada lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan hambatan terhadap pelaksanaan circular resolution yang sering terjadi pada PT adalah jangka waktu proses persetujuan para pemegang saham cenderung lama. Selain itu, tidak ada pembatasan mengenai hal-hal apa saja yang dapat dibahas melalui circular resolution. Jadi seluruh hal yang dapat diputuskan dalam RUPS, dapat juga diputuskan melalui circular resolution. Pelaksanaan circular resolution pada PT telah berjalan dengan baik akan tetapi perlu ada pembatasan terhadap waktu pelaksanaan yaitu maksimal 10 (sepuluh) hari dan pembatasan terhadap hal apa saja yang dapat diputuskan melalui circular resolution yaitu tidak dapat digunakan untuk menggantikan RUPS Tahunan serta tidak dapat digunakan untuk pemberhentian direktur agar penggunaannya dapat lebih efisien.
Kata Kunci: circular resolution, perseroan terbatas, RUPS
Abstract Section 91 of Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas regulates that shareholders can take resolutions that binding outside general meeting known as circular resolution. The purpose of this research is to find out its/the obstacle on practice and which issues that can be resolved by circular resolution. The type of this research is normative-empirical which is done by observe the legal then the reality on research location. This research results that the obstacle on circular resolution is it takes a quite long time on shareholder’s agreement process. Beside that, resolutions that taken by circular resolution are the same resolution taken by general meeting, there is no border for which acts can be resolved by cirular resolution. So all of acts that can be resolve by general meeting also can resolve on circular resolution. Circular resolution practice is well done by limited companies, however, it needs a time limit for 10 (ten) days and set border for which acts can be resolved by circular resolution that cannot be used to replace The Annual General Meeting and remove the director so it can be efficient on its usage.
Keywords: circular resolution, limited company, general meeting
PENDAHULUAN Pada UUPT 2007 terdapat beberapa materi baru, salah satunya ialah pengambilan keputusan di luar Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disingkat RUPS) yang dikenal dengan istilah circular resolution yang diatur dalam Pasal 91 UUPT 2007. Istilah circular resolution belum pernah disebutkan sebelumnya pada UUPT 1995 dan hanya disebut 1 (satu) kali pada penjelasan Pasal 91 UUPT 2007. Istilah ini tentu masih terasa asing karena kajian mengenai circular resolution itu sendiri masih sangat sedikit. Circular resolution hadir sebagai hasil dari perkembangan dunia bisnis yang menuntut untuk selalu bergerak cepat cepat dan efisien. Salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh perusahaan ialah pengambilan keputusan. Masing-masing organ pada perusahaan pada suatu keadaan dapat membuat keputusan yang dapat dianggap sebagai keputusan-keputusan perusahaan (Pettet, 2005). Bentuk pembuatan keputusan perusahaan biasanya dibuat menggunakan salah satu dari 4 (empat) bentuk pembuatan keputusan (decision-making model) yaitu Keputusan otokratis, Kesepakatan umum (konsensus), Berbasis mayoritas, dan Kombinasi Demokratik-Otokratik (Mina, 2003). Pada PT di Indonesia, keputusan dapat diambil oleh organ-organ PT yaitu RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. Pada dasarnya ketiga organ tersebut sejajar dan berdampingan sesuai dengan pemisahan kewenangannya yang diatur dalam undang-undang akan tetapi RUPS jika dilihat dari kewenangan yang dimilikinya, dapat dikatakan memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan Direksi maupun Dewan Komisaris (Harahap, 2009). Masing-masing organ pada PT dapat mengambil keputusan masing-masing sesuai dengan kewenangannya dalam menjalankan tugasnya dalam PT. Perseroan Terbatas seringkali memerlukan pengambilan keputusan RUPS demi kepentingan dan kelangsungan PT tersebut. Keputusan RUPS tersebut dapat diambil secara bersama-sama dan diadakan dalam sebuah forum rapat yang dihadiri oleh para pemegang saham. Forum tersebut dikenal juga dengan sebutan RUPS. Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan dengan cara mengundang atau memanggil semua pemegang saham dan anggota Direksi serta Dewan Komisaris untuk berkumpul (secara fisik) di suatu tempat lalu dibahaslah agenda rapat. Akan tetapi rapat tersebut pada kenyataannya seringkali sulit dilakukan karena tidak semua para pemegang saham berdomisili yang sama dengan domisili PT tempat ia menanamkan sahamnya. Bisa saja terjadi pada suatu PT di mana para pemegang sahamnya tinggal di pulau yang berbeda-beda di Indonesia, atau bahkan di luar Indonesia. Hal ini tentu menyulitkan untuk diadakannya rapat yang mensyaratkan untuk dilakukan oleh para pemegang saham dengan bertemu secara fisik.
Keterbatasan tersebut dapat teratasi dengan adanya beberapa alternatif lain dalam hal pelaksanaan pengambilan keputusan. Dari hal inilah terjawab pertanyaan mengapa circular resolution perlu diperkenalkan, padahal untuk pengambilan keputusan RUPS dilakukanlah RUPS konvensional, yaitu dalam bentuk pengadaan sebuah forum rapat. Hal tersebut merupakan hasil dari fungsi hukum sebagai a tool of social engineering, hukum sebagai alat rekayasa sosial (Ali, 2002). UUPT 2007 membantu PT dalam hal mengakomodasi kebutuhan PT dalam pelaksanaan pengambilan keputusan RUPS, di mana jika RUPS tidak dapat dilakukan maka ada cara lain di luar rapat tersebut yang dapat dilakukan. Pengambilan keputusan melalui circular resolution dilakukan tanpa mengadakan RUPS secara fisik melainkan dilakukan dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Keputusan tersebut memiliki kekuatan yang mengikat sama dengan RUPS (Muhammad, 2010). Proses tersebut dilakukan di bawah tangan. Kemudian nantinya draft tersebut dibawa ke notaris yang akan membuatkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat. Circular resolution berkaitan erat dengan RUPS. Ketika membahas mengenai circular resolution, maka RUPS pun ikut terbahas karena circular resolution merupakan suatu cara dalam mengambil keputusan di luar RUPS, di mana keputusannya bersifat mengikat dan sama dengan keputusan RUPS yang dilakukan dengan rapat. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa pelaksanaan circular resolution adalah salah satu hal yang penting dalam kegiatan PT akan tetapi sejauh ini belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai circular resolution. Padahal pada kenyataannya, berdasarkan hasil penelitian penulis, circular resolution ternyata telah dipraktikkan pada beberapa PT di Indonesia. Hal tersebut menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji mengenai circular resolution karena penulis merasa bahwa circular resolution adalah salah satu hal yang penting di dalam PT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam mekanisme pelaksanaan circular resolution dan hal-hal apa saja yang dapat diputuskan melalui circular resolution di dalam praktek Perseroan Terbatas (PT).
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dan Kabupaten Pangkep di mana keduanya adalah letak kantor pusat PT di mana kegiatan circular resolution hanya dilakukan pada kantor pusat PT. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empirik.
Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian adalah bersumber dari data sekunder dan data primer. Data primer berupa data yang diperoleh melalui teknik wawancara dengan narasumber dan data sekunder berupa data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan berupa bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui teknik wawancara terhadap narasumber yaitu staf legal pada PT dan kuesioner yang dilakukan dengan cara memberikan daftar pertanyaan kepada narasumber yaitu staf legal pada PT. Analisis Data Berdasarkan data yang diperoleh, baik data primer maupun sekunder adalah data kualitatif sehingga teknik analisis data yang digunakan juga menggunakan teknik kualitatif. Proses pengolahan data dilakukan secara deduktif yakni dimulai dari dasar-dasar pengetahuan yang umum sebagai dasar analisis kemudian meneliti hal-hal yang bersifat khusus sehingga dari proses analisis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan hambatan terhadap pelaksanaan circular resolution yang sering terjadi pada PT adalah jangka waktu proses persetujuan para pemegang saham cenderung lama. Mengenai hal apa saja yang dapat diptuskan melalui circular resolution, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pembatasan mengenai hal-hal apa saja yang dapat dibahas melalui circular resolution.
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa pada praktiknya, pelaksanaan circular resolution tidak selalu dapat terlaksana dengan lancar. Adapun hambatan terhadap pelaksanaan circular resolution yang sering terjadi pada PT, berdasarkan hasil penelitian penulis adalah jangka waktu proses penandatanganan/ persetujuan para pemegang saham cenderung lama. Jangka waktu proses penandatanganan/ persetujuan para pemegang saham cenderung menjadi lama karena UUPT 2007 tidak mengatur adanya jangka waktu pembatasan pelaksanaan circular resolution. Akan tetapi PT kadang memberikan batasan waktu untuk proses penandatanganan. Persetujuan seluruh para pemegang saham adalah syarat mutlak keabsahan keputusan circular resolution. Jika ada pemegang saham yang tidak setuju, maka
keputusan melalui circular resolution tidak tercapai. Jika hal ini terjadi, maka proses pelaksanaan circular resolution perlu dilakukan kembali ke tahap awal. Adapun langkah yang ditempuh oleh PT untuk mengatasi kejadian pemegang saham yang belum menyetujui rancangan circular resolution yang telah diterimanya dan perusahaan memerlukan persetujuan circular resolution secepatnya, maka pemegang saham tersebut akan dihubungi secara informal oleh para pemegang saham lainnya untuk membahas mengenai persetujuan pemegang saham tersebut. Penulis memandang bahwa jangka waktu persetujuan pemegang saham perlu dibatasi paling lama 10 (sepuluh) hari demi tercapainya efisiensi dalam pengambilan keputusan. Penelitian ini juga menemukan bahwa ternyata pada PT Semen Tonasa, PT Bosowa Propertindo, PT X, PT Y Tbk, dan PT Bank Sulselbar Tbk tidak ada pembatasan mengenai hal-hal yang apa saja dapat diputuskan melalui circular resolution. Dengan kata lain, semua hal yang dapat diputuskan di dalam pelaksanaan RUPS juga dapat diputuskan melalui circular resolution. Oleh karena tidak ada pembatasan terhadap pelaksanaan circular resolution maka dimungkinkan pelaksanaan circular resolution dapat menggantikan pelaksanaan RUPS. RUPS yang dimaksud terdiri dari dua jenis yaitu RUPS Tahunan, yaitu RUPS yang diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku dan dalam RUPS tahunan tersebut harus diajukan semua dokumen perseroan dan RUPS Luar Biasa, yaitu RUPS lainnya yang dapat diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan (Sopandi, 2003). Apabila melihat dimungkinkannya pelaksanaan circular resolution untuk menggantikan pelaksanaan RUPS Tahunan, akan timbul kemungkinan tertutupnya informasi dalam pengambilan keputusankeputusan yang seharusnya diambil berdasarkan musyawarah mufakat di dalam RUPS. Keterbukaan informasi dalam pelaksanaan circular resolution merupakan salah satu bentuk perwujudan dari prinsip good corporate governance. Good corporate governance adalah sistem pengaturan yang baik terhadap fungsi, tugas, hak, kewajiban, pengawasan, dan hubungan dari masing-masing antara direksi, komisaris, pemegang saham, karyawan, kreditur, investor, dan stakeholder lainnya dalam suatu perusahaan (Fuady, 2005). Sama halnya dengan pemberhentian direktur. UUPT 2007 memungkinkan pemberhentian Direksi sewaktu-waktu melalui keputusan circular resolution. Hal ini diatur pada Pasal 105 ayat (3) UUPT 2007: “Dalam hal keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan keputusan di luar RUPS sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, anggota Direksi yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu tentang rencana pemberhentian dan diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan pemberhentian.”
Pada penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa bentuk pembelaan diri yang dimaksud pada pasal tersebut ialah dalam bentuk tertulis. Kasus pemberhentian direktur PT Pertamina Patra Niaga yang menggunakan circular resolution adalah gambaran dari kekhawatiran tidak terjadinya transparansi dalam pengambilan keputusan. Pembatasan yang perlu dilakukan terhadap keputusan circular resolution ialah pembatasan dalam hal pencabutan direktur. Di Inggris circular resolution tidak dapat dilakukan dalam hal pemberhentian direktur sewaktu-waktu: “There are some cases where the written resolution procedure cannot be used, e.g. the removal of a director or auditor by ordinary resolution after special notice to the company. The ordinary resolution must be passed at a meeting of the company because the director or auditor concerned is allowed to make representations as to why he should not be removed, either in writing with the notice of the meeting, or orally at the meeting (Wild, et.al, 2009).”
Jadi penulis memandang khusus untuk pemberhentian direktur seharusnya dilakukan dengan RUPS dan tidak dapat dilakukan dengan pelaksanaan circular resolution karena direktur yang akan diberhentikan berhak untuk memberi penjelasan dan pembelaan diri mengapa ia seharusnya tidak diberhentikan (sebagai bentuk pembelaan diri), baik dalam bentuk tertulis maupun secara lisan. Dalam ketentuan UUPT 2007 pun tidak terdapat adanya pencantuman sanksi terhadap tidak dilaksanakannya RUPS Tahunan (Sembiring, 2012), sama halnya terhadap pelaksanaan RUPS Luar Biasa; tidak ada ketentuan pemberian sanksi terhadap PT yang tidak melaksanakannya. Kemudian tidak ditentukan pula dalam UUPT ada sanksi jika ada pelanggaran yang dilakukan di dalam pelaksanaan circular resolution. Penulis memandang seharusnya circular resolution tidak dapat digunakan sebagai pengganti pelaksanaan RUPS Tahunan. Pasal 78 ayat (2) mengatur bahwa RUPS Tahunan wajib diadakan setiap tahun. Pada penyelenggaraan RUPS Tahunan ini semua dokumen dari laporan tahunan perseroan harus diajukan. Laporan Tahunan, Laporan Keuangan, serta laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris harus disetujui dan disahkan oleh RUPS agar secara formil dan substansial dapat dinyatakan sah menurut hukum (Harahap, 2009). Jadi berdasarkan penjelasan tersebut, pengambilan keputusan melalui circular resolution pada PT harus memiliki batasan yang diatur dalam peraturan perundangan. Hal ini berkaitan dengan Teori Kepastian Hukum yang menyatakan bahwa hukum bertugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia (Syahrani, 2004) di mana pengaturan mengenai circular resolution dalam peraturan perundangan hendaknya memberikan kepastian hukum.
KESIMPULAN DAN SARAN Pada praktiknya terdapat hambatan terhadap praktik pelaksanaan circular resolution pada PT, yaitu jangka waktu proses persetujuan penandatangan usulan circular resolution rentan lama. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa baik pada UUPT 2007 maupun pada praktiknya seluruh hal yang dapat diputuskan dalam RUPS, dapat juga diputuskan melalui circular resolution. Kemudian penulis menemukan bahwa tidak ada pembatasan terhadap hal-hal apa saja yang dapat diputuskan melalui circular resolution. Oleh karena itu perlu ada pengaturan baru mengenai circular resolution dalam UUPT 2007 yang memuat pembatasan jangka waktu dari pelaksanaan circular resolution dan adanya larangan circular resolution dalam hal memutuskan pemberhentian direktur dan pelaksanaan circular resolution untuk menggantikan pelaksanaan RUPS Tahunan agar pelaksanaan menjadi lebih efisien dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. (2002). Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk. Fuady, Munir. (2005). Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. Bandung: CV Utomo. Harahap Yahya. (2009). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. Mina, Eli. (2003). The Business Meeting Sourcebook: A Practical Guide to Better Meetings and Shared Decision Making. New York: Amacom. Muhammad, Abdulkadir. (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Pettet, Ben. (2005). Company Law. Essex: Pearson Education Limited. Sembiring, Sentosa. (2012). Hukum Perusahaan: Tentang Perseroan Terbatas. Bandung: Nuansa Aulia. Sopandi, Eddi. (2003). Beberapa Hal dan Catatan Berupa Tanya Jawab Hukum Bisnis. Bandung: Refika Aditama. Syahrani, Riduan. (2004) Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Wild, Charles, et. al. (2009). Smith’s & Keenan’s Company Law. Essex: Pearson Education Limited.