PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku
MESSALINA. L. SALAMPESSY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon Propinsi Maluku adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010 Messalina.L.Salampessy NIM E051060021
ABSTRACT
MESSALINA.L.SALAMPESSY. Public group participation in managemen of forest protected area case in forest protected Gunung Nona Ambon city Moluccas Province). Under direction of BRAMASTO NUGROHO and HERRY PURNOMO. Management of forest protected area be often confronted at dilemma between importance of conservation with importance and requirement of public to the area. Effectivity management of the area would annoyed because the low of its public participation and interaction unable to support. Various factor public heterogenity will influence form of interaction. The aim of this study was to : know and measure participation public in management of forest protected area and analyses characteristic factor (Individual and Organisation) influencing level participation in realizing collective action at management of Protected forest area. This research be design as an research of survey having the character of descriptive corelation where there are variable dependen research that is public participation and variable consists of individual character and organizational character which is heterogenity factor be in public nature. This research population is active public group in management of land (dusung) around forest protect area in Gunung Nona (HLGN) Ambon city. Data analysis applies will test technical Chi square (Chi Square) and its the participation level and be applied will test coefficient of contingency. The result showed that : character factor (Individual and Organisation) having connection tightly and influential to participation public in management of HLGN area is knowledge about protected forest, wide acquisition of area of dusung, status ownership of dusung, old of involvement in organization and official member connection and member of public in organization. Public shows participation calkulatif in role of they as HLGN organizer and shows participation with characteristic compliance of morale in role of they as dusung activity. Keyword : Participation, heterogenity, collective action, dusung.
RINGKASAN MESSALINA.L.SALAMPESSY. Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO dan HERRY PURNOMO. Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan kawasan tersebut akan terganggu karena rendahnya partisipasi masyarakat dan interaksinya yang kurang mendukung. Berbagai faktor heterogenitas masyarakat akan mempengaruhi bentuk interaksi yang terjadi antar masyarakat dengan kawasan tersebut. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan kawasan pelestarian alam. Selain itu keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pengelolaan juga turut mempengaruhi strategi pengelolaan kawasan tersebut Semenjak Hutan Lindung Gunung Nona ditetapkan sebagai kawasan lindung melalui keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430/Kpts-II/1996 tentang kawasan hutan Gunung Sirimau dan hutan Gunung Nona, program reboisasi giat dilakukan oleh berbagai pihak dimana hal ini mengambarkan adanya keikutsertaan masyarakat baik secara kelembagaan maupun personal terhadap kelestarian hutan lindung ini. Namun demikian hingga saat ini pemerintah menemui kendala untuk mengendalikan perambahan dan meningkatnya penebangan liar. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Nona (HLGN) masih memiliki ketergantungan erat dengan kawasan ini dan berhubungan dengan mata pencaharian mereka dari pengelolaan dusungnya. Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer (2002) adalah areal kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan ternak. Faktor heterogenitas dan karakteristik (Individu dan Organisasi) yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah Pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi. Melalui berorganisasi dan berpartisipasi, upaya membangun koordinasi termasuk pertukaran informasi dan berbagai hal serta efisiensi biaya dapat diatasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Agrawal dan Gibson, 1999 bahwa lebih seringnya interaksi-interaksi dapat menurunkan biaya-biaya untuk bagaimana membuat keputusan-keputusan yang kolektif tersebut. Untuk itulah maka partisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan sangat mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Upaya untuk mengidentifikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai stakeholder akan membantu masyarakat setempat untuk mengembangkan kepercayaan diri dan meningkatkan keahliaan bernegosiasi dengan berbagai pihak.
Analisa penggunaan tangga partisipasi seperti yang diungkapkan Arnstein (1995) memperlihatkan bahwa tangga partisipasi yang terlihat pada bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN telah berada pada tangga menginformasikan dan tangga kemitraan. Tingkatan Partisipasi masih tergolong rendah dan belumlah optimal seperti yang diharapkan karena upaya menginformasikan lebih dikhususkan pada pemimpin mereka begitupun keikutsertaan sebagai mitra kerja relative hanya pada proyek penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi (proyek jangka pendek). Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan HLGN maka ada beberapa variabel yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan kawasan HLGN dan juga menggambarkan institusi dari kedua masyarakat ini antaralain : 1. Pengaturan kebijakan formal : Pentingnya interpendensi antara berbagai peraturan yang mengatur pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan lahan dusung oleh masyarakat. 2. Pemahaman karakteristik sumberdaya ; pengenalan akan ciri khusus dari sumberdaya hutan itu dan system pengelolaannya penting dipahami oleh pengelolaan kawasan. 3. Pengaturan efektivitas kelembagaan : kejelasan property rights atas lahan, pengetahuan tentang lahan hutan, pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun serta mekanisme penyelesaian konflik. 4. Pemahaman karakteristik kelompok actor : heterogenitas, tingkat kepercayaan, hubungan social serta partisipasi dan aksi bersama yang terbangun. Pemahaman dan aplikasi yang tepat tentang variabel ini akan sangat membantu pengelolaan kawasan HLGN dengan baik bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Kata kunci: partisipasi, heterogenitas, aksi bersama dan dusung
Ⓒ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku
MESSALINA L SALAMPESSY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 01 0
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S.
Judul Penelitian
Nama NIM
: Partisipasi Kelompok Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku : Messalina.L.Salampessy : E051060021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S. Ketua
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.
Tanggal Ujian: 14 Juni 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TuhanYesusku yang Maha Baik atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah partisipasi kelompok masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, kasus di hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon Propinsi Maluku. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya terutama kepada pembimbing, yaitu Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS). Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mamaku, suami dan anakku Daniella tercinta, serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan terutama Arie, Ratih, Fenti, abang Iskar dan john serta Dini yang telah banyak membantuku serta rekan-rekan lainnya tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi setiap pembaca. Bogor, 30 Juli
2010
Messalina L Salampessy
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 24 September 1976 dari ayah Adolf E Salampessy (Almarhum) dan ibu Selvia Pieter. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Tommy Pesiwarissa, pada tanggal 1 September 2007 dan telah dikaruniai seorang putri yang bernama Daniella V Pesiwarissa. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Pattimura (UNPATTI) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk UNPATTI. Selanjutnya penulis memilih Jurusan Manajemen Hasil Hutan Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2001. Penulis bekerja sebagai staf asisten pengajar di Jurusan Kehutanan Program studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura sejak tahun 2001 hingga tahun 2003 diangkat sebagai Dosen Tetap pada program studi tersebut. Sebelumnya penulis pernah bekerja juga sebagai Program Manager Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat pada tahun 2001-2002 pada Yayasan Diakonia Maluku, Program Officer dan sekretaris eksekutif Yayasan Diakonia pada tahun 2002 - 2005. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xii
PENDAHULUAN .................................................................................... Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan dan Manfaat ......................................................................... Hipotesis Penelitian .........................................................................
1 1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Hutan Lindung ................................................................................. Pengertian Partisipasi....................................................................... Faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi............................. Kelembagaan.................................................................................... Heterogenitas/Homogenitas dan Partisipasi.....................................
5 5 7 8 9 12
METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ Desain Penelitian ............................................................................. Populasi dan Sampel ........................................................................ Teknik Penarikan Sampel ............................................................... Defenisi operasional variabel penelitian........................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... Metode Pengumpulan Data.............................................................. Metode Analisis Data ......................................................................
16 16 16 16 17 21 22 22
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................ Letak dan Luas ................................................................................ Topografi dan Iklim ........................................................................ Penggunaan Lahan .......................................................................... Komposisi Penduduk ...................................................................... Tingkat Pendidikan ......................................................................... Sarana dan Prasarana....................................................................... Sejarah Pengelolaan Dusung ...........................................................
23 23 24 26 27 29 30 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Karakteristik Responden.................................................................. Partisipasi Responden ...................................................................... Hubungan antara faktor karakteristik responden dengan Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan HLGN... ......... Pembahasan Umum ......................................................................... Analisis Stakeholder……………………………………………….
37 37 46 49 58 60
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. Kesimpulan ...................................................................................... Saran ................................................................................................
69 69 70
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
71
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kriteria penilaian partisipasi masyarakat...........................................
18
2
Variabel, defenisi dan parameter pengukurannya .............................
19
3
Nilai interpretasi koefisien korelasi dan tingkat hubungan ...............
23
4
Jenis penggunaan lahan desa Urimesing ...........................................
26
5 Jenis penggunaan lahan desa Amahusu ............................................
26
6 Pemanfaatan kawasan Hutan Lindung di kota Ambon .....................
27
7
Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan kelompok umur......
27
8
Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan kelompok umur .......
28
9
Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan jenis mata pencaharian..............................................................................
28
10 Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan jenis mata pencaharian..............................................................................
29
11 Jumlah kepala keluarga desa Urimesing berdasarkan tingkat pendidikan .............................................................................
29
12 Jumlah kepala keluarga desa Amahusu berdasarkan tingkat pendidikan.........................................................
29
13 Sarana dan prasarana desa Urimesing ...............................................
30
14 Sarana dan prasarana desa Amahusu.. ..............................................
30
15 Keragaman karakteristik individu masyarakat pengelola dusung.....
37
16 Keragaman karakteristik organisasi masyarakat pengelola dusung ...
44
17 Partisipasi responden dalam pengelolaan hutan lindung ...................
47
18 Hubungan antara berbagai karakteristik responden dengan Partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat hubungannya untuk desa Amahusu .......................................................................... 50
19 Hubungan antara berbagai karakteristik responden dengan Partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat hubungannya untuk desa Urimesing.........................................................................
50
20 Hubungan partisipasi dengan luas dusung pada kedua desa ...............
51
21 Hubungan partisipasi dengan status pemilikan dusung pada kedua desa...................................................................................
52
22 Matriks identifikasi pihak terkait dalam kawasan Kawasan Hutan lindung gunung nona Ambon ...................................
61
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Lokasi penelitian..............................................
25
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan dan manusia sejak awal peradaban ditandai dengan adanya hubungan saling ketergantungan, karena hutan merupakan sumber kehidupan mendasar yang diperlukan manusia seperti air, energi, udara bersih dan perlindungan. Hubungan ketergantungan secara tradisional ini berlangsung di berbagai kawasan hutan termasuk hutan lindung dan dirasakan makin meningkat sesuai dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk di sekitarnya. Pada beberapa kawasan hutan lindung, interaksi antar masyarakat local dengan sumberdaya alam masih sangat kuat. Bahkan di beberapa lokasi, pola interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif terhadap kelestarian hutan (Wiratno et al.2004). Upaya untuk berpartisipasi senantiasa diinginkan oleh masyarakat namun demikian, hingga saat ini peran partisipasi belum sepenuhnya optimal masih pada tahapan menginformasikan dari tahapan tangga partisipasi yang diharapkan (Arnstein 1995). Partisipasi masyarakat adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok untuk mempengaruhi keputusan public termasuk didalamnya kesempatan berpartisipasi dalam pengelolaan hutan ( Cohan dan Sharp 1995). Seperti halnya kawasan hutan lindung lainnnya, Hutan Lindung Gunung Nona (HLGN) di kota Ambon menghadapi tekanan populasi penduduk yang terus bertambah dan persoalan social-ekonomi yang harus dipenuhi dan cenderung meningkat. Di sisi lain, pemerintah menetapkan konsep hutan lindung yang pada prinsipnya memiliki perbedaan dengan konsep pengelolaan sumberdaya alam masyarakat pada kedua desa (desa Amahusu dan Urimesing) yang tepat berada di kawasan ini yakni perbedaan yang pertama system dusung dan perbedaan yang kedua terletak pada defenisi tentang hak penguasaan (property right), yang menyebabkan lebih dari 80% wilayah pengelolaan dusung ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan lindung. Permasalahan yang dialami oleh HLGN terjadi pula dibeberapa lokasi kawasan konservasi dan hutan lindung sebagai contoh, konflik antara masyarakat local dengan taman nasional di TN Komodo, TN Siberut dan TN Lauser
2
(Iskandar, 1992 dan Wiratno et al.2004). Permasalahan yang terjadi di HLGN maupun di tempat lain merupakan masalah kelembagaan terutama menyangkut hak penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah dan masyarakat local dimana aspek partisipasi diupayakan sebagai salah satu jalan keluar dari persoalan ini. Banyak factor mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat, dimana salah satunya adalah aspek heterogenitas dan karakteristik masyarakat itu sendiri. Terdapat sejumlah kajian terdahulu tentang factor heterogenitas yang mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dengan focus dan tujuan yang beragam. Gibson (200), Gibson dan Becker (2000), Gibson dan Koontz (1998), Varughese (1999,2000) dan Varughese dan Ostrom (2001), membuktikan bahwa heterogenitas berpengaruh pada bentuk pengelolaan dan ketertarikan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Selain itu, terdapat pula kajian yang mempertanyakan perihal kemampuan masyarakat local dalam mengelola dan mempertahankan kelestarian sumberdaya alam, diantaranya Maertens et al. 2002 dan Sitorus 2004. Kajian-kajian tersebut di atas telah menjelaskan tentang partisipasi dengan berbagai factor yang mempengaruhi aktivitas keterlibatan masyarakat. Namun demikian, kajian-kajian tersebut belum mampu menjelaskan bagaimana peran partisipasi masyarakat, heterogenitas serta karakteristik individu dan organisasi itu terhadap efektivitas pencapaian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan tersebut. Untuk itu penelitian ini dilakukan. Perumusan Masalah Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan kawasan tersebut akan terganggu karena rendahnya partisipasi masyarakat dan interaksinya yang kurang mendukung. Pengetahuan masyarakat terhadap kawasan tersebut dan kondisi sosial ekonomi masyarakat akan mempengaruhi bentuk interaksi yang terjadi antar masyarakat dengan kawasan tersebut. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi
3
efektifitas pengelolaan kawasan pelestarian alam. Selain itu keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pengelolaan juga turut mempengaruhi strategi pengelolaan kawasan tersebut. Pengelolaan sumberdaya alam adalah untuk rakyat. Keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila masyarakat setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi, masyarakat dapat mengagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya akan bekerjasama dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang membahayakan. Upaya ini
dilakukan
oleh
kelompok
masyarakat
dalam
rangka
mengakomodasi kepentingan kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan mereka. Tujuan ini akan tercapai apabila tindakan yang dilakukan oleh individuindividu dalam kelompok masyarakat sejalan dengan tujuan kelompok, dalam bentuk partisipasi. Pada konteks apa efektivitas partisipasi dapat dilaksanakan oleh sebuah kelompok yang terdiri dari individu-individu? Ini terjadi ketika mereka akan mengelola sumberdaya bersama (commonpool resource) seperti HLGN yang dijadikan objek studi kasus ini. Jika mereka egois atau tidak ada partisipasi maka individu tertentu akan beruntung sedangkan yang lain tidak akan memperoleh bagiannya. Jika semua keuntungan ini dijumlahkan maka hasilnya akan lebih kecil dibandingkan jika mereka bekerja bersama. Dari uraian diatas, maka timbul pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini yaitu : (1) Bagaimana peran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN? (2) Mengetahui heterogenitas dan karakteristik individu serta organisasi yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya HLGN?
4
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengatahui dan mengukur partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan Hutan Lindung? (2) Menganalisis
heterogenitas dan karakteristik individu dan organisasi
masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi dalam pengelolaan kawasan Hutan Lindung? Pengetahuan dan pemahaman tentang partisipasi ini akan bermanfaat bagi berbagai pihak, seperti: Dinas Kehutanan, Universitas, Lembaga swadaya masyarakat dan berbagai pihak terkait, untuk meningkatkan peran serta dan merumuskan kebijakan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian tersebut diatas maka hipotesis penelitian yang akan diuji dalam penelitian ini sebagai berikut : Tingkat
partisipasi dan
dapat dirumuskan
heterogenitas mempengaruhi
keberhasilan aktivitas masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Lindung Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU No. 41 tahun 1999). Sebagaimana fungsinya maka hutan lindung memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan ini perlu dilakukan dengan bijaksana dan melibatkan para pihak yang berkepentingan terhadap kawasan tersebut. Pengelolaan hutan lindung diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. Pengelolaan hutan lindung dimaksudkan meliputi kegiatan: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung dan perlindungan hutan dan konservasi alam di hutan lindung. Pentingnya dilakukan pengelolaan kawasan lindung karena upaya pengelolaan ini bertujuan untuk: a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa; b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam. Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta hektar dari total luas areal hutan di Indonesia, yaitu 130,85 juta hektar (Kompas 17 Juni 2007) atau ± 23 % dari luas kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2007). Menurut catatan Departemen Kehutanan tahun 2006, terdapat 24,78 persen dari total luas hutan lindung atau 6,27 juta hektar areal hutan lindung rusak parah, khususnya yang berbatasan atau berdekatan dengan permukiman atau lahan masyarakat. Hal ini terjadi akibat tekanan pertambahan jumlah penduduk dan rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Kondisi ini menyebabkan degradasi lingkungan dan terancamnya fungsi hutan lindung.
6
Hutan lindung dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak dengan persyaratan memperoleh izin pemanfaatan antaralain: izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sebagai kawasan yang dilindungi, pemerintah mengatur criteria penetapan suatu kawasan sebagai kawasan lindung yakni melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan, dimana kriteria penetapan hutan lindung adalah dengan memenuhi salah satu persyaratan berikut ini: 1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (score) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; 2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau lebih; 3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut; 4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas per seratus); 5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; 6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai. Di Maluku, lebih khusus kota Ambon memiliki 2 (dua) hutan lindung yaitu Hutan Lindung Gunung Sirimau dan Hutan Lindung Gunung Nona. Kedua hutan ini memiliki arti penting bagi lingkungan dan masyarakat kota Ambon karena merupakan daerah resapan air yang berfungsi mengatur penyediaan kebutuhan air bagi kehidupan masyarakat. HLGN ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kawasan lindung pada tahun 1996 berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung, HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang tanpa status namun kemudian karena memiliki arti penting sebagai daerah resapan air dan memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung maka ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pada kawasan ini, terdapat 2 (dua) desa yaitu desa Amahusu dan Urimesing dimana masyarakatnya memiliki dusung-dusung sebagai bagian dari kawasan hutan yang mereka kelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
7
Keberadaan masyarakat pada kedua desa ini memiliki arti penting bagi keberadaan kawasan HLGN ini. Pengertian Partisipasi Di dalam masyarakat terjadi kontrol sosial yang bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Suatu proses kontrol sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada perilaku yang terbentuk dari tiap masyarakat antara lain : a. Persuasive : cara-cara tanpa kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu. Suatu masyarakat yang tidak terjadi banyak konflik maka cara-cara persuasif mungkin akan lebih efektif karena pada masyarakat itu sebagian besar kaidah dan nilai-nilai telah melembaga dalam diri para warga masyarakat sehingga pencapaian tujuan tertentu dilakukan secara persuasif. b. Coersive : cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dengan paksaan. Cara ini lebih sering diperlukan di dalam masyarakat yang berubah dimana kontrol sosial berfungsi untuk membentuk kaidah lama yang telah goyah. Namun cara-cara kekerasan ada batasnya karena akan melahirkan reaksi yang negatif . c. Partisipatif : Jika dicermati, makna partisipatif berbeda-beda menurut mereka yang terlibat, misalnya antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar mencoba menggolong-golongkan tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok. Misalnya Deshler dan Sock (1985) diacu dalam Selener (1997) menyebut adanya partisipasi semu (pseudo-participation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation). Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian
memberi
definisi partisipasi sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ”pembangunan”, termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Dalam definisi ini membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat pemberdayaan. Secara lebih spesifik, FAO (1975) mengemukan bahwa partisipasi merupakan suatu proses kegiatan bersama, termasuk didalamnya keikutsertaan setiap individu dalam kelompok, tentang tanggungjawab serta konsekuensi dari
8
setiap tugas-tugas, baik yang sifatnya umum sampai kepada tugas-tugas yang sifatnya khusus. Arnstein (1995) mendefenisikan partisipasi masyarakat adalah proses yang memberikan kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok, untuk mempengaruhi keputusan public, ia juga menekankan bahwa tingkat partisipasi
sangat
bervariasi
mulai
tahap
manipulasi,
terapi,
menginformasikan, konsultasi, menentramkan (placation), kemitraan, delegasi kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan tersebut dikenal dengan istilah tangga partisipasi. Dalam implementasi pendekatan partisipatif, tangga partisipasi seringkali dipandang sebagai sebuah kontinum untuk mewujudkan tingkat partisipasi yang diharapkan. Sebagai kawasan Lindung, HLGN memiliki sumber daya hutan yang potensial dengan berbagai manfaatnya baik langsung dan tidak langsung serta melibatkan para pihak (Stakeholder) yang melaksanakan perannya terhadap kawasan tersebut. Persoalan dalam pengelolaan sumberdaya hutan ini adalah bagaimana mengatur atau memanipulasi perilaku para pihak itu melalui berbagai bentuk institusi yang akan menghasilkan tujuan bersama melalui partisipasi tersebut. Kemitraan, kolaborasi atau koalisi merupakan konsep yang saling terkait namun masing-masing digunakan untuk menggambarkan salah satu tingkat tertentu dalam konsep partisipasi
Faktor - faktor yang berpengaruh pada partisipasi Berbagai kegiatan yang mencerminkan partisipasi seseorang dalam organisasi dipengaruhi oleh factor individu dan factor organisasi. Segala aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat, organisasi maupun kelompok timbul sebagai resultan dari factor individu dan factor organisasi, walaupun secara pasti kekuatan kedua factor tersebut tidak dapat diketahui tanpa melalui suatu penelahan empiric yang seksama. Faktor individu sering disebut sebagai factor internal yaitu factor yang terdapat pada diri individu yang bersangkutan dan factor organisasi atau factor eksternal dapat berupa lingkungan fisik dan non fisik yang merupakan kendala maksimalitas dari segala aktivitas manusia (Tenang, 1993).
9
Berdasarkan tinjauan factor-faktor peubah tingkat partisipasi anggota organisasi maka factor individu yang dianggap dominan adalah (1) tingkat pengetahuannya dan (2) kondisi kehidupan masyarakat (tingkat social ekonominya). Faktor organisasi dimaksudkan sebagai karakteristik yang melekat pada organisasi tersebut antaralain : tujuan organisasi, upaya-upaya pelayanannya dan juga tingkat kemampuan anggota memahami
organisasi itu (Nasoetion,
1990). Menurut Ostrom, untuk mempertahankan sumberdaya alam menurut tekanan demografi dan ekonomi tergantung pada keberhasilan koordinasi dan partisipasi yang dilakukan. Eksistensi individu dengan kepentingan kuat pada aksi bersama dan partisipasi akan meningkatkan harapan setiap orang untuk tingkat kerjasama yang diharapkan (Hardin, 1982 dan Olson, 1965) Kedekatan kelompok masyarakat dengan hutan merupakan factor penting yang mempengaruhi partisipasi yang dilakukan karena hal ini berhubungan dengan pertimbangan disribusi tanggungjawab dan tipe produk hutan yang dihasilkan (Chertri dan Pandey, 1992). Kelembagaan/Institusi Setiap masyarakat punya institusi sendiri, baik karena kekerabatan, persamaan kepentingan, pekerjaan maupun prinsip-prinsip organisasi lainnya. Dalam suatu masyarakat, orang melakukan banyak hal bersama-sama, atas dasar ikatan yang mereka anggap penting. Bagian dari riset ini adalah menemukan institusi- institusi yang ada di masyarakat. Institusi tersebut berupa kumpulan modal sosial, rasa saling percaya, pola komunikasi dan persahabatan. Untuk itulah maka perlu kita ketahui defenisi dari kelembagaan itu. Kelembagaan atau institusi adalah aturan main (formal dan informal) yang mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi Schmid (1987) mengartikan kelembagaan sebagai berikut : “Institutions are sets of ordered relationships among people that define their rights, their exposure to the rights of others, their privileges, and their responsibilities”. Common (1950) dalam Schmid (1987) mengartikan kelembagaan : “ An
10
institution is collective action in control, liberation, and expansion of individual action”. Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Dalam hal ini Randall (1981) memberikan batasan mengenai kelembagaan : “Institutions include laws, constitutions (which have been called “laws about making laws”), traditions, moral and ethical structures, and “customary and accepted ways of doing things”. Untuk
merubah
prilaku
(behavior)
masing-masing
para
pihak
(stakeholder) sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik perlu dilakukan perubahan terhadap unsur-unsur kelembagaan seperti yang dinyatakan oleh Pakpahan (1989) yang meliputi tiga unsur utama, yakni: 1) batas yurisdiksi (jurisdictional boundry); 2) hak kepemilikan (property rights); dan 3) aturan representasi (rules of representation). Batas yurisdiksi akan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Selanjutnya konsep property atau pemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Kartodiharjo (2006), institusi adalah perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan di dalammnya. Para pengambil keputusan tidak dapat memperbaiki penyelenggaraan kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras, hukum yang berlaku dan instruksi-instruksi yang terkandung dalam kebijakan. Melainkan juga sangat tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting untuk menumbuhkan rasa saling percaya, patuh karena peduli yang dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi serta keterbukaan informasi. Peters (2000) menyebutkan bahwa terdapat empat aliran pemikiran mengenai institusi. Pertama institusi dirumuskan dengan pendekatan normatif.
11
Dalam pendekatan ini logika kesesuaian dianggap menjadi dasar perilaku individu sebagai anggota dari institusi. Yang berlawanan dengan logika kesesuain tersebut adalah logika konsekuensi yang menjadi dasar teori pilihan rasional. Berdasarkan pendekatan normatif, individu-individu sebagai anggota dari suatu institusi mempunyai perilaku yang didasarkan pada standar normatif dan tidak menggunakan keputusan-keputusan untuk menguntungkan diri sendiri. Standar perilaku normatif ini kemudian dijadikan pegangan oleh institusi yang menjadi landasan nilai-nilai sosial yang berlaku untuk anggota-anggotanya. Kedua, insitusi dirumuskan berdasarkan pilihan rasional. Dalam hal ini, institusi mengatur dan menetapkan insentif bagi anggota-anggotanya dan perilaku anggotanya tersebut ditentukan oleh struktur insentif yang tersedia. Dalam pendekatan ini nilai dan sikap anggota-anggotanya yang didasarkan atas rasionalitas tersebut dianggap tidak pernah berubah. Ketiga, pendekatan historis. Dalam pendekatan ini, kebijakan dan aturan di dalam institusi yang ditetapkan dianggap selalu memberi pengaruh anggotaanggotanya dalam jangka panjang. Dalam kondisi ini dianggap terdapat ketergantungan antar waktu yang pada gilirannya institusi saat ini tetap akan memberi warna terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dikemudian hari. Terjadinya kondisi “status quo” dapat dijelaskan oleh pendekatan ini. Keempat, pendekatan empiris. Dalam pendekatan ini biasanya pertanyaan yang dijawab adalah apakah bentuk institusi yang berbeda akan dikeluarkan kebijakan yang berbeda. Pendekatan ini banyak digunakan untuk menganalisis lembaga-lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga inilah yang dianggap sebagai institusi. Berdasarkan keempat tersebut, dalam setiap analisis mengenai institusi, yang terpenting adalah menetapkan pendekatan mana yang akan digunakan. Untuk itulah penelitian ini menganalisis institusi berdasarkan pendekatan normatif dimana berbagai individu yang menjalankan perannya pada kawasan HLGN dianalisis perilaku dan tingkatan partisipasinya.
12
Heterogenitas/homogenitas dan Partisipasi Masalah partisipasi dan aksi bersama berasal dari beberapa sumber termasuk informasi yang tidak sempurna, konflik kepentingan atau sifat itu sendiri. Saat masyarakat memiliki kelemahan informasi, koordinasi yang sulit akan mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai. (Amy dan Ostrom, 2004). Pengaturan partisipasi dan aksi bersama meliputi ukuran beberapa potensi dimensi dari aspek heterogen termasuk etnik, kasta, agama, kekayaan, penduduk, lokasi hutan, model hutan dan model penggunaan sumber daya. Ostrom,(2004)
mengungkapkan
bahwa
untuk
mempertahankan
pembaharuan system sumber daya dalam jangka panjang seperti hutan, tindakan pengaturan aksi bersama dibutuhkan untuk membatasi penggunaan sumber daya dan melakukan berbagai macam bentuk pengelolaan sumber daya secara aktif. Heterogenitas sangat diharapkan mempengaruhi prospek kepercayaan dan tingkat divergensi kepentingan dan dengan demikian mempengaruhi prospek upaya pengumpulan data yang perlukan bagi aksi bersama dan partisipasi tersebut. Velded (2000) secara spesifik menjelaskan lima wujud heterogenitas: (1) heterogenitas di dalam pemberian kontribusi; (2) heterogenitas politik; (3) kekayaan dan hak; (4) heterogenitas budaya; dan (5) minat ekonomi. Baland
dan Platteau
(2000) memfokuskan pada sumber utama
heterogenitas yang berasal dari ras, etnik atau jenis pembagian budaya dan perbedaan menurut sifat kepentingan ekonomi di antara individu. Homogenitas juga mengikat aksi bersama dan partisipasinya. Pentingnya pembagian karakteristik social, budaya atau ekonomi dapat meningkatkan pendugaan/prediksi interaksi yang terjadi (Fearon dan Laitin, 1996). Prediksi tersebut dapat menyediakan kepercayaan dimana homogenitas dapat memfasilitasi aksi bersama yang diinginkan. Homogenitas di beberapa dimensi sering kali bertepatan dengan heterogenitas yang lain, sebagai contoh para anggota suatu kelompok mungkin punya minat ekonomi yang sama walau berbeda secara budaya. Perbedaan budaya akan menghalangi pengembangan tingkat kepercayaan, atau dihubungkan dengan pemahaman-pemahaman yang berbeda dari isu manajemen yang ada. Individu kadang-kadang menggunakan perbedaan-perbedaan budaya sebagai dasar untuk
13
tidak masuk anggota tertentu untuk berbagi manfaat terhadap sumber daya tersebut meskipun terlihat membagi bersama minat ekonominya (Baland dan Platteau, 1998, 2000). Konflik dapat memperlemah efektivitas kelompok yang mengorganisir sendiri namun hubungan antara heterogenitas dan aksi bersama serta peran partisipasinya adalah non linear dan kontingen atas factor lain. Ketidakadilan dalam kekayaan, contohnya : ketidakadilan dalam pembagian kekayaan yang berinteraksi dengan biaya dan keuntungan relative yang digabungkan dengan kerjasama dalam pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan enam situasi berbeda (1) penggunaan terus menerus untuk kepentingan setiap orang namun tidak ada masalah, partisipasi dan aksi bersama terjadi; (2) penggunaan terus menerus untuk kepentingan tiap orang namun masalah partisipasi dan aksi bersama terjadi; (3) penggunaan terus menerus untuk kepentingan tidak seorangpun dan kerusakan bersama terjadi; (4) keuntungan terus menerus dari pengunaan yang meningkat dengan tingkat kecukupan yang tinggi oleh kaum kaya akan memaksa kaum miskin untuk mempraktekkan tindakan konservatif; (5) penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum miskin namun partisipasi dan aksi bersama tidak dapat dilakukan dan (6) penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum miskin namun partisipasi dan aksi bersama dapat dilakukan karena pengelolaan kekayaan tersebut membutuhkan hubungan kerjasama dengan kaum miskin dengan melibatkan aspek interaksi social atau karena institusi yang memberikan kekuatan bagi kaum miskin tersebut (Amy dan Ostrom,2004). Bagaimana heterogenitas dan karakteristik individu serta organisasi berpengaruh terhadap kinerja partisipasi tersebut? tentunya merupakan argumen yang menarik untuk di telusuri melalui penelitian ini.
16
METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survai yang bersifat deskriptif korelasional. Variabel dependen penelitian adalah partisipasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta monitoring dan evaluasi terhadap kawasan hutan lindung , Sedangkan variabel independennya terdiri dari kelompok variabel faktor individu dan faktor organisasi yang merupakan karakteristik masyarakat. Faktor individu terdiri dari variabel: (1) pengetahuan tentang hutan lindung, (2) luas penguasaan lahan hutan, (3) status pemilikan lahan hutan, (4) pendapatan dari pengusahaan dusun, (5) nilai aset (6) identitas daerah asal responden, (7) tingkat pendidikan, (8) umur, (9) jumlah tanggungan, (10) lama keterlibatan dalam organisasi. Sedangkan faktor organisasi terdiri dari variabel: (1) Presepsi tentang organisasi (komunikasi dan informasi, Pemahaman aturan organisasi, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah), (2) hubungan pengurus dan anggota organisasi. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang aktif dalam pengelolaan lahan (dusung) di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon dan berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan yang akan diidentifikasi dengan cara analisis stakeholder. Teknik Penarikan Sampel Proses penarikan sampel pada penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu: (1) tahap pertama adalah penentuan sampel desa yang pada akhirnya dipilih kedua desa yang tepat berada di dalam kawasan HLGN, (2) tahap kedua adalah penentuan sampel masyarakat pengelola dusung. Unit analisis penelitian ini adalah individu yaitu masyarakat pengelola dusung dan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Jumlah sampel masyarakat pada setiap desa sampel sebanyak 30
17
orang untuk tiap desa yang mana didasari pada jumlah pemilik dusung pada tiap desa ± 50 orang dan dipilih secara sengaja (purposive sampling). Definisi operasional Variabel Penelitian Variabel dependen penelitian ini adalah partisipasi masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan kawasan hutan dimaksudkan sebagai manifestasi perilaku masyarakat kawasan hutan dalam bentuk peran serta mereka dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta evaluasi dan monitoring terhadap kawasan HLGN. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan kawasan tersebut ditinjau secara keseluruhan, artinya semua bentuk kegiatan dipandang sebagai satu kesatuan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan kawasan HLGN dan benar-benar sebagai manifestasi perilaku masyarakat pada kawasan HLGN. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan kawasan HLGN adalah peran serta masyarakat yang diukur dari indikator keterlibatan masyarakat dalam kegiatan survei, pemberian informasi dan pengajuan usul dan saran terhadap aktivitas pengelolaan kawasan. Partisipasi dalam pelaksanaan berkaitan dengan aktivitas pemberian sumbangan pikiran, tenaga dan materi dalam aktivitas pengelolaan kawasan. Partisipasi
dalam
penerimaan
manfaat
berkaitan
dengan
upaya
peningkatan pendapatan, kesadaran terhadap manfaat hutan terhadap lingkungannya dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi kawasan diukur dari keikutsertaan dalam kegiatan monitoring, mengawasi dan mengevaluasi hutan lindung. Klasifikasi partisipasi dibedakan atas partisipasi tinggi, sedang dan rendah, dimana kriterianya sebagai berikut :
18
Tabel 1. Kriteria penilaian partisipasi masyarakat No
Indikator Penilaian
Kriteria tingkatan
Tinggi
sedang
Rendah
A
Perencanaan
1
Kegiatan survey
Keterlibatan pada semua proses kegiatan survey
Keterlibatan hanya pada tahap pelaksanaan survey
Keterlibatan hanya pada tahap diskusi perencanaan survey
2
Pemberian informasi
Informasi tentang hutan lindung dikuasai dengan baik
Informasi tentang hutan terbatas pada dusungnya
3
Pengajuan usul dan saran
Aktif mengajukan usul dan saran pada berbagai pihak
Informasi tentang hutan lindung terbatas pada sumberdaya tertentu Mengajukan usul dan saran apabila diminta
B 1
Pelaksanaan Pemberian sumbangan pikiran
Aktif menyampaikan sumbangan pikiran
Jarang menyampaikan sumbangan pikiran
Tidak pernah menyampaikan sumbangan pikiran
2
Pemberian sumbangan tenaga
Aktif memberikan sumbangan tenaga
Jarang memberikan sumbangan tenaga
Tidak pernah memberikan sumbangan tenaga
3
Pemberian sumbangan materi
Aktif menyampaikan sumbangan materi
Jarang menyampaikan sumbangan materi
Tidak pernah menyampaikan sumbangan materi
C 1
Penerima Manfaat Peningkatan pendapatan
Hasil hutan sebagai sumber utama pendapatannya
Hasil hutan sebagai pendapatan tambahannya
Baginya hasil hutan hanya memberikan jasa lingkungan
2
Manfaat hutan
Merasakan manfaat hasil hutan kayu dan non kayu
Merasakan manfaat hasil hutan berupa kayu saja
Merasakan manfaat hasil hutan non kayu saja
3
Ketergantungan terhadap hutan
Bergantung sepenuhnya pada hasil-hasil hutan
Ketergantungan terbatas pada produk tertentu
Tidak bergantung pada hasil-hasil hutan
D 1
Monitoring dan evaluasi Monitoring hutan lindung
Terlibat apabila di butuhkan
Tidak aktif
2
Mengawasi hutan lindung Mengevaluasi hutan lindung
Terlibat apabila di butuhkan Terlibat apabila di butuhkan
Tidak aktif
3
Aktif dalam pelaksanaan monitoring hutan Aktif dalam pengawasan hutan Aktif dalam kegiatan evaluasi hutan
Tidak mengajukan usul dan saran
Tidak aktif
19
0leh karena partisipasi masyarakat dalam kegiatan kawasan HLGN merupakan variabel dependen maka nilai skornya tergantung kepada variabel independennya. Adapun variabel, defenisi dan parameter pengukuran variabel independen disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Variabel, definisi dan Parameter pengukurannya Variabel
Defenisi Operasional
Parameter Pengukuran
Pengetahuan
Pengetahuan masyarakat tentang kawasan hutan lindung, tujuan dan manfaatnya bagi masyarakat pedesaan, peraturan tentang hak dan kewajiban masyarakat di sekitar kawasan HLGN.
Klasifikasi tingkat pengetahuan tentang kawasan HLGN dibedakan atas berpengetahuan : a. Sangat kurang memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya b. Kurang memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya c. Cukup baik memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya. d. Sangat baik memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya
Luas penguasaan lahan
Luas penguasaan lahan sekitar hutan adalah luas lahan yang digarap oleh mas yarakat disekitar kawasan dan benar-benar diusahakan sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan (dusung).
Status pemilikan lahan dusung
Tingkatan status masyarakat anggota kawasan HLGN atas hak pemilikan lahan yang digarap dan diusahakannya.
Status pemili kan dusung dibedakan atas : a.dusung adat b.dusung milik sendiri dengan sertifikat c. dusung disewa. d. Tanpa status
Pendapatan masyarakat
Tingkat pendapatan yang diperoleh masyarakat dari usaha dusungnya yaitu penerimaan yang diperoleh masyarakat dari nilai hasil dusungnya setelah dikurangi segala biaya riil yang dikeluarkan oleh masyarakat tersebut, sedangkan nilai nominal penerimaan usaha dusungnya didasarkan kepada nilai konversi jumlah
Pendapatan usaha dusung diukur dalam satuan rupiah per tahun. Penggolongan pendapatan ini berdasarkan rata-rata pendapatan dusungnya perkepala keluarga hingga diperoleh klasifikasi berikut : a. < Rp 1.000.000,b. Rp 1.000.000 - 5.000.000,c. Rp 5.000.000, – 10.000.000,d. > Rp 10.000.000,-
Luas penguasaan lahan tersebut diukur dalam satuan hektar : Luas lahan di dalam kawasan Hutan : a. > 5 ha (tidak baik) b. > 2,5 – 5 ha (kurang baik) c. 1-2,5 ha (cukup baik) d. < 1 ha (baik)
20
Variabel
Defenisi Operasional
Parameter pengukuran
Kekayaan
Sejumlah aset yang dimiliki oleh responden
Diukur dalam satuan rupiah berdasarkan total nilai aset tetap yang dimiliki dibedakan atas : a. < Rp 5.000.000,b. Rp 5.000.000 – 10.000.000 c. Rp 10.000.000 – 20.000.000 d. Rp > 20.000.000
Identitas asal responden
Identitas daerah asal dari responden
a. Masyarakat asli b. Pendatang c. Perkawinan dengan masyarakat asli d. Tanpa identitas yang jelas
Jumlah tanggungan
Jumlah tanggungan keluarga adalah istri, anak dan semua orang yang tinggal serumah.
a.1-4 orang b.5-8 orang c. > 8 orang
Jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden
a. b. c. d. e.
Pendidikan SD SMP SMA Universitas
Umur
Usia responden
Lama keterlibatan dalam organisasi
Jangka waktu keterlibatan responden didalam organisasi masyarakat
a. Keanggotaan baru (1-4 tahun) b. Keanggotaan lama (4-6 tahun)
Presepsi tentang organisasi
Pandangan responden terhadap aktivitas berorganisasi.
Diukur melalui 4 (empat) indikator yaitu : 1). Komunikasi dan informasi. a. kurang baik : berpura-pura tidak tahu terhadap informasi dan komunikasi yang terjalin. b. cukup baik : informasi dan komunikasi di simpan sendiri oleh anggota tertentu c. Baik : informasi dan komunikasi diketahui dan direspon baik semua anggota. d. Sangat baik : informasi dan komunikasi disebarkan dengan baik ke semua anggota dan direspon baik
a. Muda (30-45 tahun) b. Tua (46-72 tahun)
2). Pemahaman aturan organisasi a. Tidak paham : tujuan dan visi organisasi tidak diketahui b. sedikit paham : memahami tujuan berorganisasi saja
21
Defenisi operasional
Variabel
Parameter pengukuran c. cukup paham : sedikit memahami tujuan dan visi organisasi d. Sangat paham: sangat memahami visi dan tujuan organisasi 3). Pengambilan keputusan a. kurang baik : tidak adanya partisipasi pada proses pengambilan dan penerapan keputusan. b. cukup baik : berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan saja c. Baik : berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan penerapannya. d. Sangat baik : partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan penerapannya. 4). Penyelesaian masalah a. Kurang baik : proses dan keterlibatan individu tidak terkontrol baik. b. Cukup baik ; proses melibatkan pihak terkait tanpa aturan yang berlaku c. Baik : proses melibatkan pihak yang terkait dengan aturan yang diberlakukan d. Sangat baik : proses berdasarkan aturan yang berlaku dan melibatkan pihak-pihak yang terkait.
Hubungan Pengurus dan anggota organisasi
Bagaimana hubungan yang terjalin antara pengurus dan anggota organisasi tersebut
a. kurang baik : kerjasama terjalin bila terpenuhi keinginan anggota tertentu b. cukup baik : kerjasama terjalin bila ada insiatif anggota tertentu c. Baik : kerjasama terbangun dengan baik tanpa melihat situasi & kondisi d. Sangat baik : ada motivasi bersama untuk senantiasa bekerjasama.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Hutan Lindung Gunung Nona di Kota Ambon, Provinsi Maluku dari Oktober sampai dengan
22
Desember 2009. Responden penelitian ini adalah masyarakat di sekitar kawasan yang memiliki aktivitas pengelolaan dusung. Sedangkan unit analisisnya adalah individu masyarakat. Sumber data penelitian ini adalah (1) masyarakat pada desa di sekitar kawasan dan (2) pengelola kawasan antara lain Dinas Kehutanan Kota Ambon dan berbagai pihak yang terkait. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara, yaitu: Wawancara dan kuesioner Wawancara dilakukan terhadap tiap responden dan dilengkapi dengan kuesioner yang berguna untuk melengkapi data karakteristik individu dan organisasi. Observasi partisipan Observasi partisipan merupakan suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Observasi partisipan memberikan peluang kepada peneliti untuk mendapatkan akses terhadap peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok yang tidak mungkin bisa sampai pada penelitian yang ilmiah. Peluang yang lainnya adalah kemampuan untuk menyadari realitas dari sudut pandang ”orang dalam” dibandingkan orang luar pada studi kasus tersebut (Yin 2006). Metode Analisis Data Analisis data dengan mengunakan metode analisis kuantitatif yaitu menyusun hasil dari kompilasi data yang diperoleh dalam bentuk tabulasi kemudian dianalisis. Untuk
mengambarkan
hubungan
antara
karakteristik
responden
(heterogenitas) dan tingkat partisipasinya digunakan analisis distribusi frekuensi dengan tabulasi silang yang kemudian di uji dengan teknik Chi kuadrat (Chi Square) dengan rumus sebagai berikut (Djarwanto dan Sudjana, 1996) :
23
X2 = (fo – fh)2 dimana : X2 fh
fo fh
Pengujian
= uji chi kuadrat = nilai yang diamati (nilai observasi) = nilai yang diharapkan (nilai harapan)
signifikansi
antara
tingkat
partisipasi
dengan
faktor
heterogenitas dilakukan dengan membandingkan nilai X2 hitung dengan X2 tabel dengan kriteria sebagai berikut : a. Jika X2 hitung > X2 tabel berarti variabel heterogenitas mempunyai hubungan dengan tingkat partisipasinya. b. Jika X2 hitung < X2 tabel berarti variabel heterogenitas tidak mempunyai hubungan dengan tingkat partisipasinya. Untuk mengetahui derajat keeratan hubungan antara variabel bebas (heterogenitas) dengan variabel terikat (tingkat partisipasi) maka digunakan uji koefisien kontingensi dengan rumus (Sudjana, 1996) : x2 C = ---------- dimana :C x2+n
= koefisien kontingensi
x2
= nilai x2 hitung
n
= jumlah responden
Nilai C berkisar antara 0-1,00 makin besar nilai C berarti hubungan antara 2 variabel makin erat. Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien kontigensi digunakan batasan yang dikemukan oleh Sugiyono (2007) seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai interpretasi koefisien korelasi dan tingkat hubungan Interval koefisien
Tingkat hubungan
0,00 – 0,199
Sangat rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1.00
Sangat kuat
Sumber : Sugiyono, 2007
24
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Secara astronomi HLGN terletak di antara 128º11’12” – 128º12’52” BT dan 3º41’31” – 3º40’45” BT dengan kawasan seluas 877,78 ha yang secara administratif termasuk pada dua daerah kecamatan yakni kecamatan Sirimau dan kecamatan Nusaniwe di pulau Ambon dan secara geografis pada bagian utara berbatasan dengan teluk Ambon Baguala, sebelah selatan berbatasan dengan laut Banda, Sebelah timur berbatasan dengan desa Kilang, kelurahan Honipopu dan kelurahan Ahusen dan sebelah barat berbatasan dengan laut Banda. Lokasi kawasan hutan lindung ini berbatasan langsung dengan kota Ambon, berakibat pada tingginya kerentanan konversi lahan oleh masyarakat. Pada Kawasan HLGN ini terdapat 2 (dua) desa yang berada di dalam kawasan yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu. Desa Urimesing berada dalam wilayah Kecamatan Sirimau - Kota Ambon, Propinsi Maluku. Luas desa adalah sekitar 46,16 Km2, yang terdiri dari 4 dusun yaitu Kusu-kusu, Tuni, Mahia dan Seri. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 4 km2, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa Urimesing merupakan daerah perbukitan dan daerah pantai. Secara administratif desa Urimesing memiliki batas-batas sebagai berikut : •
Sebelah timur berbatasan dengan desa Hatalai dan Soya.
•
Sebelah barat berbatasan dengan desa Nusaniwe (Amahusu, Latuhalat).
•
Sebelah utara berbatasan dengan teluk Ambon/kota Ambon.
•
Sebelah selatan berbatasan dengan laut Banda. Desa Amahusu berada pada wilayah kecamatan Nusaniwe – kota Ambon.
Luas desa adalah sekitar 4 Km2, yang terdiri dari 3 dusun antara lain dusun Wakkang, Westapong dan Nahel. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 2 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 10 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Secara administrative batas-batas wilayah terdiri dari : •
Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Ambon
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Urimesing
24 •
Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Ambon
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nusaniwe Topografi dan Iklim Desa Urimesing 2000 meter di atas permukaan laut sedangkan desa
Amahusu berada di ketinggian 3 – 8 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi topografi yang berbukit dan kemiringan lereng berkisar antara 50-80%. Kondisi inilah yang merupakan salah satu kriteria mengapa kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung. Jenis tanahnya adalah latosol dengan warna merah kehitamhitaman dan sebagian lainnya podsolid merah kuning dengan tekstur liat berpasir dan pH berkisar 5-7. Curah hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm/tahun dengan musim hujan pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau pada bulan April-September, sedangkan suhu udara berkisar antara 30-36oC dan kelembaban udara berkisar antara 80-85%. Kawasan hutan Gunung Nona tertutup vegetasi yang bertipe sangat spesifik. Spesifikasinya adalah pada aspek komposisi, yakni komposisi vegetasi campuran antara hutan alam dengan upaya budidaya manusia, sehingga bentuk penutup lahan yang dijumpai merupakan perpaduan antara tipe vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah yang dipengaruhi oleh iklim laut (Marine climate) dan bentuk lahan pekarangan (dusung) dengan vegetasi campuran.
25
Gambar 1 Lokasi penelitian.
26 Pada peta tergambar jelas bahwa kedua desa tepat berada pada kawasan HLGN. Penggunaan Lahan Pada desa Urimesing dari total luas lahan (46,16 km), sekitar 32,15 km (69,65%) digunakan sebagai lahan kebun campuran. Untuk desa Amahusu dari total luas 4 km, sekitar 2 km (50%) juga digunakan sebagai kebun campuran. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati. Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan sedarah dari beberapa keluarga. Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara alami di lahan ini yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu vegetasi penghasil buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga terdapat di kawasan ini terutama di pekarangan, seperti cengkih (Eugenia aromatica), pala (Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun zeylannicim). Tabel 4. Jenis penggunaan lahan desa Urimesing Jenis penggunaan lahan Pemukiman penduduk Kebun Campuran Lahan peternakan Perkantoran Lain-lain Jumlah
Luas lahan (km2) 11.36 32,15 0,15 1,5 1 46,16
Persentase (%) 24,61 69.65 0,32 3,25 2,2 100,00
Sumber: BPS Maluku (2006)
Tabel 5. Jenis penggunaan lahan desa Amahusu Jenis penggunaan lahan Pemukiman penduduk Kebun Campuran Perkantoran Lain-lain Jumlah Sumber: BPS Maluku (2006)
Luas lahan (km2) 1,8 1,2 0,5 0,5 4
Persentase (%) 45 30 12,5 12,5 100,00
27
Tabel 6. Pemanfaatan kawasan Hutan Lindung di kota Ambon Pemukiman penduduk Kebun Campuran (dusung) Semak belukar/lahan kosong Hutan Primer Lain-lain
Luas lahan (ha) 164,58 474,77 147,12 65,31 26,60 877,78
Persentase (%) 18,75 54,02 16,76 7,44 3,03 100,00
Sumber : BAPEDA Maluku (2008)
Dari tabel 6 tergambar kondisi hutan lindung di kota Ambon didominasi oleh dusung (54,02%) dan pemukiman penduduk (18,75%). Perkembangan keberadaan pemukiman penduduk sangat penting menjadi perhatian pemerintah agar tidak bertambah luasannya mengingat pentingnya fungsi kawasan HLGN. Komposisi Penduduk Jumlah penduduk desa Urimesing pada tahun 2008 adalah 6.823 jiwa yang terdiri dari 2.481 jiwa laki-laki (36,36%) dan 4.342 jiwa perempuan (63,63 %). Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif yang berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 68,57% (Tabel 4). Sebagian besar kaum perempuan di desa ini ikut terlibat secara aktif membantu bekerja dan biasanya pengelolaan lahan dilakukan secara bersamasama oleh seluruh anggota keluarga. Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Urimesing berdasarkan kelompok umur Kelompok umur (tahun) <10 10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57 Jumlah
Jumlah (jiwa) 1076 489 513 781 1326 1570 1068 6823
Persentase (%) 15,77 7,16 7,52 11,45 19,43 23,01 15.65 100,00
Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)
Sedangkan jumlah penduduk desa Amahusu pada tahun 2008 adalah 2.484 jiwa yang terdiri dari 1.481 jiwa laki-laki (59,62%) dan 1003 jiwa perempuan (40,37%). Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif
28 yang berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 84,33% (Tabel 7.). Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Amahusu berdasarkan kelompok umur Kelompok umur (tahun) <10 10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57 Jumlah
Jumlah (jiwa) 296 303 242 501 502 249 391 2484
Persentase (%) 11,92 12,19 9,74 40,46 10,02 15,66 100,00
Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)
Sebagian besar penduduk desa Urimesing bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 874 orang atau 38,74% (Tabel 7). Ketersediaan lahan bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh pendapatan tambahan. Sedangkan untuk penduduk Desa Amahusu sebagian besar juga bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 243 orang atau 28,12 % (Tabel 9). Tabel 9. Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan jenis mata pencaharian Jenis mata pencaharian PNS Swasta Wiraswasta/pedagang Petani pengolah dusung Pertukangan Pensiunan Peternak Jasa Nelayan
Jumlah Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)
Jumlah (jiwa) 874 516 415 225 36 44 4 94 48
2256
Persentase (%) 38,74 22,87 18,39 9,97 1,59 1,95 0,17 4,16 2,12
100,00
29 Tabel 10. Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan jenis mata pencaharian Jenis mata pencaharian PNS Swasta Wiraswasta Petani pengolah dusung Nelayan Pertukangan Pensiunan Jasa TNI/POLRI Jumlah
Jumlah (jiwa) 243 131 118 68 43 37 94 111 19 864
Persentase (%) 28,12 15,16 13,65 7,87 4,97 4,28 10.87 12,84 2,19 100,00
Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan kepala keluarga masyarakat desa Urimesing pada tahun 2008 masih tergolong rendah. Sebagian kepala keluarga hanya menamatkan pendidikannya sampai tingkat SD/SLTP, yaitu sebesar 71,37.% (Tabel 9). Tetapi dalam kegiatan mengolah dusung, pemahaman mereka terhadap pengetahuan budidaya suatu jenis tanaman, baik yang berasal dari pengalaman sendiri maupun orang lain cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan mereka dalam membudidayakan tanaman cengkeh, kakao dan pala serta jenis buah-buahan yang tiap tahun rutin dipasarkan. Sedangkan tingkat pendidikan kepala keluarga masyarakat desa Amahusu pada tahun 2008 tergolong tinggi 63,85 % adalah lulusan SLTA/sarjana. Tabel 11. Jumlah kepala keluarga desa Urimesing berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas Jumlah
Jumlah (jiwa) 22 4391 1739 6152
Persentase (%) 0,35 71,37 28,26 100,00
Sumber: BPS Maluku (2008)
Tabel 12. Jumlah kepala keluarga desa Amahusu berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas Jumlah Sumber: BPS Maluku (2008)
Jumlah (jiwa) 359 271 1113 1743
Persentase (%) 20,59 15,72 63,85 100,00
30 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang cukup baik di Desa Urimesing dan Amahusu, terutama prasarana jalan, yang memungkinkan akses ke ibukota Provinsi berjalan lancar. Kondisi jalan yang cukup baik dan jarak yang relatif dekat dengan ibukota kecamatan dan propinsi membuat upaya menjalurkan hasil-hasil olahan dusung berjalan baik. Bahkan beberapa penduduk menjual langsung hasil dusungnya ke beberapa pasar yang berada di ibukota propinsi (Tabel 13). Tabel 13. Sarana dan prasarana desa Urimesing Sarana/prasarana Perhubungan
Pendidikan
Tempat ibadah Sosial
Jenis Jalan aspal Jalan batu Jalan tanah TK SD SMP Gereja Balai desa Poskamling
Jumlah (unit) 5 km 0,7 km 2 km 3 buah 4 buah 1 buah 7 buah 1 buah 19 buah
Sumber: BPS Maluku (2008)
Tabel 14. Sarana dan prasarana desa Amahusu Sarana/prasarana Perhubungan
Pendidikan
Tempat ibadah Sosial
Jenis Jalan aspal Jalan batu Jalan tanah TK SD SMP Gereja Balai desa Poskamling
Jumlah (unit) 4 km 0,5 km 4 km 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 4 buah
Sumber: BPS Maluku (2008)
Belum adanya SMA di desa ini membuat sebagian masyarakat berupaya menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah yang berada di Ibukota provinsi. Kegiatan-kegiatan rutin seperti ibadah-ibadah unit gereja, arisan, koperasi dan kegiatan olahraga, baik di tingkat desa maupun dusun juga turut membantu proses terjadinya tukar menukar pengalaman pengelolaan dusung di masyarakat.
31 Sejarah Pengelolaan Dusung Keberadaan keragaman vegetasi di sekitar kawasan hutan lindung, disebabkan oleh keberadaan interaksi antara kawasan ini dengan beragam jenis vegetasi dalam daerah penyangga. Daerah ini merupakan satuan ruang yang dapat menghasilkan buah maupun kayu serta hasil hutan lainnya. Kondisi ini tetap dijaga untuk kelangsungan hidup masyarakat yang ada di sekitar hutan lindung. Kondisi seperti ini telah tertanam lama dalam buda ya m as yarakat s et em pat , yakni s uat u s i s t i m s os i al dal am m engant isi pas i s um ber da ya al am baik veget as i darat m aupun komponen biotik lautnya (aspek konservasi) yang dikenal dengan petuanan dusun dati. Keberadaan petuanan dusun dati ini membentuk suatu kondisi yang memungkinkan terbentuknya daerahdaerah penyangga bayangan terhadap daerah-daerah kritis lingkungan yang dikelola secara tradisional. Beberapa bagian kawasan lindung yang telah dikonversi menjadi kebun campuran (untuk permukiman), bukan saja di daerah perbatasan kawasan hutan lindung, tetapi juga ditemukan hingga daerah hulu DAS dalam kawasan inti lindung. Kawasan termodifikasi ditemukan yaitu di petuanan Desa Soya, Desa Urimessing (Mahia, Kusu-kusu, Seri), Desa Ema dan Desa Naku dan petuanan Kilang. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati. Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan sedarah dari beberapa keluarga. Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara alami di lahan ini yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu vegetasi penghasil buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga terdapat di kawasan ini terutama di pekarangan, seperti cengkih (Eugenia aromatica), pala (Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun zeylannicim). Vegetasi semak belukar ditemukan terutama di bagian tengah DAS terutama di DAS Air Besar, Batu Gajah sampai daerah Kudamati, jumlahnya ± 10% dengan pertumbuhan jelek. Tumbuhanya semak belukar ini akibat penebangan hutan dengan sistim perladangan berpindah-pindah pada masa lalu. Di samping itu terbakarnya semak belukar dari tahun ke tahun (sengaja atau bencana alam) tidak memberi kesempatan untuk
32 tumbuhnya tanaman pohon-pohon, melainkan semakin memberi kesempatan meluasnya semak belukar. Pada umumnya bentuk vegetasi yang ditemukan pada bentuk penggunaan lahan ini, adalah paku kawat (Equistentum debile), kayu bunga (Melastoma, sp), kayu putih (Melaleuca lecadendron), alang-alang (Impreta cilindria) dan beberapa jenis rumputrumputan yang tidak merambat. Desa Urimesing Desa Urimesing memiliki 192 buah dusung dati dan pusaka berdasarkan register dati tanggal 26 Mei 1814. Rincian hak pemilik dusung dati sesuai dengan register 26 Mei 1814 adalah 65 dusung negeri, 29 dusung dati perintah/raja dan 127 dusung dati yang dikuasai oleh 7 kepala dati masing-masing : 1.
Jacob Wattimena 14 dusung dati
2.
Marthen Janaren 9 dusung dati
3.
Zadrach Wattimena 11 dusung dati
4.
Corneles Samaleleway 11 dusung dati
5.
Paulus Matiluseny 15 dusung dati
6.
Amos Salakay 16 dusung dati
7.
Stevanus Wattimena 30 dusung dati Ditambah dengan sejumlah dusung pusaka yang telah menjadi milik warga
tertentu. Dusung pusaka adalah dusung yang merupakan hak bersama dari kelompok ahli waris yang mereka peroleh melalui warisan. Hak pemilikan dusung dati ini ada sebelum tahun 1814. Kemudian pada masa peralihan Pemerintah Inggris dirasa perlu untuk menata kelompok kerja dengan hak-hak pemilikannya agar dengan mudah dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah pada waktu itu. Kemudian oleh pemerintah Belanda dilakukan registrasi di Pulau-pulau Lease dan pulau Ambon tahun 1883 dengan batas-batas yang jelas tetapi tidak tuntas (Godlief pada artikel Ziwar Effendi,1997). Valentyn F. dalam bukunya ”Oud en nieuw India II” hal 184 : Dati adalah Hoofdienst dimana pada bulan dilaksanakan pelayaran Hongi (Hongi Tohten) setiap tumah tangga diwajibkan menyerahkan seorang laki-laki untuk selama lebih kurang 1 (satu) bulan kepada VOC untuk melaksanakan tugas pelayaran
33 Hongi tanpa usaha (imbalan). Sedangkan menurut Reidel G.E.F mengartikan sebagai petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang kuat kerja (weebaar) atau kepala rumah tangga dengan syarat harus hongi. Sehingga menurut G.A.Adries (2009) yang dimaksud dengan tanah dati adalah sebidang tanah negeri yang diberikan negeri kepada salah satu cabang keluarga yang pernah berjasa bagi negeri sebagai suatu unit produksi yang berfungsi menjamin keberlangsungan kehidupan ekonomi dari cabang keluarga tersebut menurut garis keturunan bapanya, dengan ketentuan bahwa anak perempuan yang tidak menikah juga berhak ”Makan Dati” (menikmati hasilnya juga) oleh karena anak wanita masih memikul nama keluarga ayah (Holleman 1923,12.70). Hak pemilikan dusun dati adalah hak kelompok (dati artinya kelompok kerja), bukan perorangan. Dusung dati memiliki 2 (dua) hak kepemilikan yaitu hak penguasaan tanaman (usaha) adalah pemegang dusung dati dan hak petuanan adalah hak saniri negeri/desa. Pada tanggal 1 Juni 1923 hak dati dihapuskan. Hak dati atas dusung-dusung dati tidak lagi diatur secara jelas sehingga dusung tersebut dimiliki oleh dati yang kemudian menjadi persoalan negeri/desa dengan pemilik dati-dati tersebut. Hingga saat ini, penguasaan lahan dusung di desa ini tetap dikuasai oleh keluarga-keluarga pemegang hak dati tersebut dan diakui oleh Pemerintah Desa. Desa Amahusu Hingga era tahun 1970-an, dalam melaksanakan pemerintahan desa istilahistilah adat masih digunakan. Misalnya pemimpin pemerintahan adalah Raja (Kepala Desa) dan dibantu oleh staf pemerintahan seperti Kapitang, Kepala kewang, Marinyo kemudian perkumpulan pemuda-pemudi yang disebut Jujaromungare yang dipimpin oleh Kepala Jujaro-mungare. Selain itu terdapat juga lembaga musyawarah desa yang disebut Saniri Negeri. Sejak tahun 1980-an, Desa Amahusu memiliki sistem Pemerintahan yang telah menyesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dimana istilah-istilah seperti Raja (Kepala Pemerintahan Desa/Negeri), Saniri Negeri (Lembaga Musyawarah Desa/Negeri) beserta staf desa/negeri antara lain Kapitang, Marinyo, Kepala Kewang yang sudah tidak dipergunakan.
34 Sebagai desa adat, masyarakat Desa Amahusu juga memiliki kemiripan dengan desa-desa adat yang terdapat di Kota Ambon. Hal ini dapat dilihat dari istilah kemasyarakatan seperti soa, marga (asli dan pendatang) dan dusun dati seperti halnya desa Urimesing. Istilah Soa diartikan sebagai bentuk kekerabatan genealogis dalam batas territorial tertentu. Pada masyarakat Desa Amahusu terdapat tiga soa yaitu : Soa Wakkang, Soa Westopong dan Soa Nahel dimana saat ini ketiga soa tersebut telah berubah nama menjadi dusun yaitu dusun Wakkang, dusun Westopong dan dusun Nahel. Marga asli desa Amahusu antara lain Silooy, de Costa, Matitaputi, Mainake, Soplanit, Tomasila, Akioar, Tahalele, Nussy dan Pupela yang memiliki hak atas beberapa dusung dati. Masyarakat masih memiliki ketergantung pada HLGN, penggarapan kawasan hutan berdasarkan sistem dusung tetap diberlakukan dan diakui oleh Pemerintah. Secara de jure adalah hak pemerintah namun secara de facto adalah hak masyarakat. Untuk itulah maka sangat diperlukan aspek partisipasi dalam pengelolaan kawasan ini. Sebelum tahun 1996, kawasan HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang sebagai besar (18,75%) telah dijadikan pemukiman dimana terdapat 2 desa di dalamnya yaitu desa Amahusu dan Urimesing dengan sejumlah dusung yang telah dikelola secara bertahun-tahun oleh masyarakat. Tidak semua kawasan hutan lindung di kota Ambon dimanfaatkan sebagai dusung hanya 54,02 % dari keseluruhan luas kawasan hutan (BAPEDA kota Ambon, 2007). Kemudian pada tahun 1996 kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 430/KPTS-II/1996 tentang Penetapan kelompok hutan lindung gunung Sirimau seluas 3.449 hektar dan kelompok hutan Gunung Nona seluas 877,78 hektar yang terletak di Kotamadya Ambon, Provinsi Daerah Tingkat I Maluku, sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan lindung. Penetapan ini diberlakukan karena HLGN memiliki fungsi sebagai daerah resapan air bagi masyarakat kota Ambon. Banyak kebutuhan masyarakat, seperti kayu bakar, makanan ternak, terutama air bersih dan lain-lain yang berasal dari hutan tersebut. Pemerintah telah berupaya menegakkan hukum dengan mengosongkan hutan tersebut dari aktivitas
35 masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam aktivitas pengelolaan kawasan seperti kegiatan reboisasi namun peran aktif masyarakat masih sebatas keterlibatan dalam proyek tertentu dan perlindungan mereka terhadap kawasan dusungnya. Saat ini, keterlibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan dengan membentuk Kelompok tani yang dikhususkan untuk memelihara berbagai jenis tanaman reboisasi. Keberadaan HLGN seluas sekitar 877,78 ha di Provinsi Maluku ini memiliki arti yang sangat penting dan strategis ditinjau dari aspek ekologi dan lingkungan hidup serta aspek pembangunan sosial ekonomi Provinsi Maluku, antara lain: (1) sebagai kawasan pelestarian alam yang diperlukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa (plasma nutfah) serta pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistemnya secara lestari, (2) sebagai daerah tangkapan air bagi Kota Ambon, yang dalam hal ini sangat penting artinya dalam menjaga siklus tata air, menangkap, menyimpan dan menyediakan air permukaan dan air bawah tanah, serta menjaga kestabilan lingkungan dari bahaya kekeringan, banjir dan tanah longsor; dan (3) sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan bagi wilayah di sekitarnya, serta menunjang budidaya pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan (Dinas Kehutanan Propinsi Maluku, 2006). Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan kota Ambon bersama BAPEDA kota Ambon serta dikoordinasikan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku serta BPDAS Waihapu Batumerah. Berbagai pihak pun dilibatkan dalam pengelolaan kawasan HLGN ini antaralain berbagai lembaga swadaya masyarakat baik nasional maupun internasional dan beberapa universitas di kota Ambon, dengan tujuan meningkatkan fungsi kawasan dan kelestariannya serta peningkatan peran serta masyarakat sekitarnya. Berdasarkan uraian diatas maka terurai beberapa pembelajaran (lesson learn) bagi pengembangan penelitian ini yaitu : 1. Mengidentifikasi dan mendiskripsikan peran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dusung saat ini yang akan berguna mendukung upaya perlindungan kawasan HLGN.
36 2. Mendiskripsikan pembelajaran dari kerjasama yang diperlihatkan oleh berbagai pihak (stakeholder) dalam pengelolaan kawasan HLGN.
37
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden Karakteristik Individu Karakteristik individu sebagai kelompok variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari: (1) pengetahuan tentang HLGN, (2) luas lahan dusung garapan, (3) status pemilikan lahan dusung, (4) pendapatan per tahun responden, (5) umur responden, (6) lama keterlibatan dalam organisasi masyarakat, (7) pendidikan Responden, (8) nilai aset/kekayaan, (9) jumlah tanggungan keluarga dan (10) identitas asal responden. Keragaman setiap variabel tersebut secara deskriptif dipaparkan pada Tabel 15. Tabel 15. Keragaman karakteristik individu masyarakat pengelola dusung Uraian karakteristik individu
Desa Amahusu
Desa Urimesing
Total Jumlah (Orang)
Presentase (%)
5 6 5 14
8 5 7 10
13 11 12 24
21.67 18.33 20.00 40.00
5 12 13
7 5 18
12 17 31
20 28.33 51.67
13 17
18 12
31 29
51.67 48.33
11
9
20
33.33
2 0 16
5 0 16
7 0 32
11.67 0.00 53.33
Pendapatan dari dusung rendah (1 - 5 juta) tinggi (5- 10 juta)
12 18
14 16
26 34
43.33 56.67
Umur Muda (30-45) Tua (47-72)
3 27
5 25
8 52
13.33 86.67
Pengetahuan tentang HLGN Sangat kurang memahami Kurang memahami Cukup baik memahami Sangat baik memahami Luas Penguasaan dusung a. Penggolongan berdasarkan standar luas dusung Dusung luas (2,5-5 ha) Dusung sedang (1-2,5 ha) Dusung sempit (<1 ha) b. Penggolongan berdasarkan kelompok responden Dusung sempit (<1 ha) Dusung Luas (1 – 5 ha) Status Pemilikan lahan dusung Dusung adat Dusung milik sendiri dengan sertifikat Dusung disewa. Tanpa status
38
Uraian karakteristik individu
Desa Amahusu
Desa Urimesing
Total Jumlah (Orang)
Presentase (%)
Keterlibatan dalam organisasi Keanggotaan baru (1-4 thn) Keanggotaan lama (4-6 thn)
3
2
5
8.33
27
28
55
91.67
Tingkat pendidikan SD SMP SMU Univ/akademi
4 8 18 0
4 9 16 1
8 17 34 1
13.33 28.33 56.67 1.67
Nilai asset 5 - 10 jt 10 - 20 jt > 20 jt
13 10 7
11 15 4
24 25 11
40.00 41.67 18.33
Jumlah tanggungan 1 - 4 org 5 - 8 org > 8 org
8 22 0
5 23 2
13 45 2
21.67 75.00 3.33
28 1
28 2
56 3
93.33 5.00
1
0
1
1.67
Identitas asal Masyarakat Asli Pendatang (telah menetap lama) Pengungsi (menetap karena konflik)
Pengetahuan Masyarakat tentang HLGN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang HLGN ternyata 21.63 persen sangat kurang memahami dan 40 persen sangat memahami tentang HLGN tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat telah memahami, bagaimana fungsi dan tujuan dari hutan lindung tersebut dan mengakibatkan timbulnya aktivitas yang sesuai dengan perilakunya dalam berbagai aktivitas pengelolaan hutan terutama aktivitasnya mengelola dusung. Walaupun faktor yang mempengaruhi tidak hanya pengetahuan tentang HLGN, tetapi melalui pengetahuan dan pemahamannya tentang HLGN yang telah dimiliki, masyarakat pengelola dusung akan dapat memberikan respon yang sesuai bagi kondisi HLGN dalam bentuk perilakunya yang sekaligus menggambarkan partisipasinya dalam kegiatan pengelolaan hutan tersebut sesuai aturan yang berlaku. Hal ini nampak dengan difungsikan lagi kewang (polisi hutan) pada masing-masing desa. Fungsi kewang dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan hutan antaralain : 1). Mengawasi batas-batas negeri, 2). Memeriksa jenis-jenis tanaman yang sudah atau belum dipanen serta
39
menentukan kapan pemberlakuan sasi 3). Menindak para pelanggar sasi, 4) menentukan area yang boleh ditebang dan tidak boleh ditebang, 5) melakukan penghijuan pada Daerah aliran Sungai, serta 6) pengawasan galian C (batu dan pasir) ini merupakan tugas baru dari kewang. Sasi adalah larangan untuk mengambil (mengelola dan mamanfaatkan) hasil sumberdaya alam tertentu, selama periode tertentu (biasanya tiga bulan, enam bulan, bahkan lebih dari satu tahun) tergantung jenis dan perkembangan populasinya sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Jenis sasi antaralain sasi laut, sasi kali, sasi hutan, sasi dalam negeri/desa.
Saat ini pada masing-masing desa ditugaskan 2 – 3 orang kewang dimana penunjukan perwakilan kewang ditentukan oleh kepala dusun dengan persetujuan masyarakat. Pada tahun 2009, petugas kewang diangkat dan telah digaji oleh Pemerintah kota Ambon, khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Ambon atas persetujuan masyarakat setempat. Masyarakat sangat menghargai fungsi kewang ini dan sangat terbantu oleh tugasnya karena secara tidak langsung, kewang setiap hari bertugas di hutan dan mengawasi dusung-dusung yang ada dan segera bertindak serta melakukan kerjasama dengan pihak kepolisian bila terjadi persoalan tindak pidana (Illegal logging dan lain-lain). Masyarakat memahami hak individu yang dimilikinya atas pengelolaan dusung yaitu
memelihara, memungut, memanfaatkan, mentransfer atau
memindahtangankan hak ke pihak lain atas dusungnya. Hak-hak tersebut dipegang oleh individu pengelola dan diakui oleh anggota masyarakat. Meskipun individu mempunyai hak penguasaan secara penuh atas dusung dan hasil yang diperolehnya, namun secara satuan kolektif masih mempunyai kewenangankewenangan untuk mengatur penggunaan dan alokasi kembali lahan tersebut dalam batas teritorial tertentu yang diakui sebagai haknya berdasarkan ketentuan adat. Sebagai contoh untuk memanen hasil hutan dalam jumlah besar terutama hasil kayu dan pemanfaatan kawasan di sekitar dusung dati, diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada kewang dan memperoleh ijin dari kepala desa setempat. Masyarakatpun memahami fungsi HLGN ini, sehingga pengetahuan lokal yang dimiliki berorientasi pada pengaturan dan pembatasan
40
pengambilan dan pemanfaatan sumberdaya baik dusung maupun hutannya. Dalam kondisi demikian, maka pola pengelolaan dusung diharapkan membantu mempertahankan fungsi kawasan HLGN agar tetap lestari. Luas Penguasaan Dusung Luas penguasaan lahan dusung oleh masyarakat adalah luas lahan hutan yang digarapnya tanpa memandang tingkatan haknya atas hutan yang digarap. Luas lahan dusung berkisar antara 1 – 2,5 hektar. Berdasarkan luas dusung yang digarap, penguasaan dusung dapat dibedakan atas dua katagori yaitu (1) pengelola dusung sempit dengan penguasaan < 1 hektar dan (2) pengelola dusung luas dengan penguasaan 1 - 5 hektar. Para pemilik dusung didominasi oleh pemilik dusung dengan lahan sempit (51,67 %) dan hanya 48,33 persen saja yang mengarap dusung dengan luas antara 1 – 5 hektar. Luas Penguasaan dusung ini telah ada secara turun temurun dan di usahakan oleh keluarga-keluarga yang memiliki hak tersebut khususnya dusung dati dan hal ini diakui oleh pemerintahan desa setempat, pemerintah kota Ambon serta pemerintah provinsi. Namun untuk pemerintah pusat belum ada pengakuan resmi tentang status dusung ini. Status Pemilikan lahan dusung Status pemilikan lahan dusung merupakan tingkatan hak masyarakat atas dusung yang digarapnya. Berdasarkan pemilikan dusung yang diusahakan, status pemilikan dusung dibedakan atas dusung adat (33,33%), dusung milik sendiri dengan sertifikat (11,67%), dusung disewakan (0%) dan tanpa status (53,33%). Terlihat bahwa sebagian besar lahan dusung yang digarap (53,33%) adalah dusung yang tanpa status. Oleh pemiliknya diklaim sebagai haknya (menurut warisan orangtunya) namun secara tertulis tidak dapat dibuktikan. Hal inilah yang sering menimbulkan masalah di masyarakat karena sering terjadi upaya saling mengklaim dari masing-masing keluarga terhadap dusung tersebut. Status pemilikan inipun berimplikasi dengan pendapatan mereka karena harus membagi hasilnya dengan keseluruhan keluarganya yang merasa juga memiliki hak atas dusung tersebut. Status penguasaan inipun berkaitan erat dengan pola pengelolaan dusung yang dijalani artinya tidak ada jaminan bahwa pengelola dusung tersebut
41
akan secara leluasa merencanakan pengembangan usahanya dalam jangka panjang karena sewaktu-waktu dapat diklaim oleh keluarga yang lain. Pendapatan dari dusung Pendapatan pengelola dusung yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pendapatan bersih yang diperoleh dari usaha pengelolaan dusung selama 1 (satu) bulan. Pendapatan usaha dusung masyarakat kedua desa berkisar antara Rp 1.000.000,- sampai dengan Rp 7.000.000,- per bulan. Penggolongan pemilik dusun berdasarkan pendapatan, ternyata 34% mempunyai pendapatan yang tinggi. Pendapatan usaha dusung yang tinggi ini berkaitan erat dengan luas lahan yang digarap, status pemilikan dan tentunya manajemen usahanya. Saat ini banyak kawasan dusun dimanfaatkan sebagai usaha peternakan dan tanaman sayur-sayuran yang cukup produktif sehingga berimplikasi terhadap pendapatan yang diperoleh walau luas lahan sempit dan tanpa status yang jelas. Umur responden Mendiskripsikan tingkatan umur pengelola dusun pada prinsipnya untuk mengetahui tingkatan usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran umur tua (47 - 72 tahun) dan umur muda (30-45) adalah 86,67% berada pada umur tua. Hal ini menunjukan bahwa gambaran responden kebanyakan tergolong usia tua dalam mengupayakan lahan hutan lindung sebagai mata pencaharian mereka karena yang usia muda tidak lagi beraktivitas sebagai pengelola dusung, mereka telah memiliki pekerjaan tetap dimana sebagian besar sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mempekerjakan orang lain dalam pengelolaan dusungnya. Walau dikelola oleh para orangtua namun generasi penerus tetap menghargai keberadaan dusungnya sebagai warisan yang perlu senantiasa dijaga kelestarianya. Lama keterlibatan dalam organisasi Adapun organisasi yang dimaksudkan dalam riset ini adalah organisasi yang dibentuk oleh gereja (unit) dimana pada kedua desa masyarakat terlibat aktif didalamnya dan memiliki peran dalam pengelolaan dusung terutama sebagai media komunikasi dan informasi masyarakat. Lama keterlibatan menjadi anggota organisasi di masyarakat berimplikasi luas, terutama dari segi pengalaman pengelola dusung dalam berorganisasi secara
42
partisipasif dengan suatu asumsi bahwa praktek organisasi masyarakat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang benar, artinya dalam menyelenggarakan
tatahubungan
kerja
dalam
organisasi
benar-benar
mencerminkan ciri-ciri kerjasama yang terbangun dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian pada kedua desa, keterlibatan masyarakat pengelola dusung berkisar 16 tahun. Sebagian besar (91,67%) termasuk dalam keanggotaan lama dan 8,33 % keanggotaan baru. Masyarakat memiliki kesadaran tinggi pentingnya berorganisasi. Mereka menyadari dengan berorganisasi senantiasa dapat membangun pola kerjasama untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan
yang dialami dan
terbangunnya komunikasi yang baik terutama dalam menunjang aktivitas pengelolaan dusungnya. Tingkat pendidikan Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden. Pentingnya pendidikan formal bagi responden, agar dapat mengukur pengetahuan dalam memahami aspek pengelolaan hutan lindung di wilayahnya. Dari tabel 15 menunjukkan bahwa responden 56,67 % memiliki strata pendidikan SMU. Tingkat pendidikan ini tergolong cukup tinggi dari kedua masyarakat desa tersebut, sehingga Pemerintah sangat terbantu dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat kedua desa karena pemahaman yang tinggi dan mudah membangun komunikasi. Nilai aset/kekayaan Sejumlah aset yang dimiliki oleh responden dan diukur dalam satuan rupiah berdasarkan total nilai aset tetap yang dimiliki. Aset yang dimiliki responden berdasarkan penelitian 41,67% berkisar Rp 10.000.000,- – Rp 20.000.000,- . Nilai aset atau kekayaan ini sangat mempengaruhi strata sosial di dalam masyarakat dan pada kedua desa ini, masyarakat yang memiliki aset terutama luas dusung yang cukup besar sangat berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat lainnya.
43
Jumlah Tanggungan Keluarga Yang dimaksudkan dengan jumlah tanggungan keluarga adalah istri,anak dan semua orang yang tinggal serumah. Jumlah tanggungan keluarga responden berkisar antara 1 sampai 8 orang, dengan rata-rata jumlah tanggungan keluarga responden 3 sampai 8 orang. Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga responden yang paling banyak berjumlah 5 sampai 8 orang yaitu sebesar 45 orang atau 75 %. Jumlah tanggungan ini mencerminkan akan jumlah kebutuhan sandang, perumahan dan makan bagi seluruh anggota keluarganya. Pada kedua desa, sebagian besar masyarakatnya memanfaat hasil dusung yang berupa sayur-sayuran sebagai makanannya sehari-hari sedangkan hasil buah-buahannya yang dipasarkan. Identitas Asal Responden Merupakan identitas asal daerah dari responden ini. Berdasarkan hasil penelitian, 93.33% adalah penduduk asli dari kedua desa tersebut dimana secara turun temurun telah menetap pada masing-masing desa. Namun demikian nampak juga 5 % pendatang dan 1,67% pengungsi karena konflik yang juga telah menetap. Saat ini, pada ± 8% arael di sekitar kawasan HLGN telah dibangun pemukiman baru masyarakat yang terkena imbas konflik dan dibangun atas persetujuan pemilik tanah masyarakat kedua desa dan Pemerintah setempat. Keberadaan mereka sangat mempengaruhi keberadaan kawasan karena selain ditempati sebagai tempat tinggal, ada sebagian arealpun dimanfaatkan mereka sebagai lahan bercocok tanam sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan seharihari dan aktivitas penambangan pasir dan batukarang yang diperjualbelikan. Sistem bagi hasilpun diberlakukan oleh pemilik dusung dengan masyarakat pekerja penambangan pasir dan batu yang berada di sekitar dusung miliknya. Hal ini semakin memperparah keberadaan kawasan HLGN. Pemerintahpun hingga saat ini, tidak bertindak untuk aktivitas penambangan ini dan terkesan membiarkan.
44
Interaksi masyarakat asli dan pendatang ini cukup baik dan terjalin lebih baik karena keterlibatan bersama dalam berorganisasi terutama organisasi keagamaan. Karakteristik Organisasi Variabel yang dikelompokkan ke dalam kelompok variabel karakteristik organisasi terdiri dari : (1) presepsi tentang organisasi yang meliputi komunikasi dan
informasi,
pemahaman
aturan
organisasi,
pengambilan
keputusan,
penyelesaian masalah, (2) hubungan pengurus dengan anggota. Keragaan setiap variabel tersebut tertera pada Tabel 16. Tabel 16. Keragaman karakteristik organisasi masyarakat pengelola dusung Uraian karakteristik Organisasi
Desa Amahusu
Desa Urimesing
Total Jumlah (Orang)
Presentase (%)
Presepsi tentang organisasi a.Komunikasi & informasi kurang baik cukup baik Baik sangat baik
0 0 24 0
0 8 22 0
0 8 46 0
0.00 13.33 76.67 0.00
b.Pemahaman aturan organisasi tidak paham sedikit paham cukup paham sangat paham
0 1 10 11
2 7 11 10
2 8 21 21
3.33 13.33 35.00 35.00
c. Pengambilan keputusan kurang baik cukup baik Baik sangat baik
0 0 20 4
2 1 26 1
2 1 46 5
3.33 1.67 76.67 8.33
d.Penyelesaian masalah kurang baik cukup baik Baik
0 16 2
0 9 21
0 25 23
0.00 41.67 38.33
Hubungan pengurus dengan anggota kurang baik cukup baik Baik
0 11 12
7 4 14
7 15 26
11.67 25.00 43.33
Presepsi responden terhadap organisasi Pada bagian presepsi ini dijabarkan lagi dalam 4 (empat) indikator yaitu :
45
(1) Komunikasi dan informasi dimana melalui penelitian ini tergambar bahwa 46 orang atau 76,67 % responden menyatakan bahwa jalinan komunikasi dan informasi mereka dalam berorganisasi dikatagorikan baik. Hal inipun tercermin pada pola komunikasi yang dibangun didalam masyarakat dimana hingga saat ini pada desa Urimesing masih memanfaatkan fungsi Marinyo (salah satu perangkat desa adat) yaitu pesuruh desa/negeri yang bertugas menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pemerintah kepada masyarakat Urimesing dengan istilah ”bataria tita” atau tabaos (membacakan pengumuman di hadapan masyarakat). Kata marinyo berasal dari bahasa Portugis merincho artinya pesuruh. Selain itu pada berbagai organisasi terutama organisasi keagamaan dijadikan sarana komunikasi
dan
informasi
diantara
masyarakat
sehingga
di
dalam
mengorganisasikan aktivitas partisipasi masyarakat untuk partisipasi tidaklah sulit dilakukan. Di sini tergambar bahwa adanya sistim informasi yang terbuka yang akan menjadi kontrol
masyarakat terhadap
penyimpangan-penyimpangan
kebijakan maupun pengelolaan hutan di lapangan yang senantiasa dapat terjadi. (2) Pemahaman aturan organisasi, melalui penelitian ini tergambar 35% responden sangat dan cukup paham memahami aturan organisasi yang ia jalani. Pemahaman ini sangat membantu masyarakat melakukan peranannya sesuai dengan tujuan organisasi dan tentunya sangat membantu mengarahkan aktivitas partisipasi yang dilakukan di dalam masyarakat. Saat ini, dalam penerapan salah satu kebijakan Pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan, telah dimulai pemberlakuan sistem insentif bagi masyarakat yang terlibat dalam kelompok pemeliharaan tanaman reboisasi pada lokasi HLGN. Kelompok ini telah menjalankan fungsi selama setahun dan senantiasa di evaluasi peranannya oleh Pemerintah. (3) Pengambilan keputusan, melalui penelitian ini tergambar 76,67% responden memberikan penilaian ”baik” tiap proses dan keputusan yang diambil dalam aktivitas berorganisasi selama ini. Saat ini bagi masyarakat kedua desa, pengambilan keputusan diambil melalui pertemuan bersama yang melibatkan semua pihak terkait. Sebagai contoh keterlibatan masyarakat dalam aktivitas reboisasi HLGN dimana keikutsertaan masyarakat secara berkelompok dan
46
penentuan lokasi pemeliharaan tanaman reboisasi ditentukan berdasarkan pertemuan bersama semua pihak. (4) Penyelesaian masalah, melalui penelitian ini tergambar 41,67% responden memberikan penilaian cukup baik terhadap upaya penyelesaian berbagai masalah di dalam berorganisasi di masyarakat. Upaya penyelesaian masalah selama ini diberlakukan secara bertahap dimana dimulai dengan pelaporan dan penyelesaian yang diupayakan oleh kepala dusun atau ketua RT, apabila tidak terselesaikan di lanjutkan ke tingkat desa/negeri dan lebih lanjut diupayakan ke tingkat pengadilan. Untuk persoalan dusung, upaya penyelesaian diupayakan terlebih dahulu oleh kedua pihak yang bertikai dan difasilitasi oleh kewang. Hubungan Pengurus dan Anggota Dari hasil penelitian ini menilai bahwa hubungan pengurus dan anggota di dalam berorganisasi selama ini dikatagorikan baik (43,33%) dan kurang baik (11,67%). Hal ini
menggambarkan bahwa telah terjadi kesesuaian hubungan
sebagaimana yang diharapkan oleh anggota masyarakat. Kawasan HLGN adalah sumberdaya yang dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu yaitu sumberdaya yang dikuasai dan dikelola berdasarkan tata aturan kelompok masyarakat tersebut. Hal ini nampak pada sistem pengelolaan dusung yang berlaku dimana akses tiap individu anggota kelompok terhadap sumberdaya yang dikuasai bersama menghasilkan pendapatan yang cukup nyata. Seringkali tambahan manfaat ini tidak menguntungkan apabila harus disediakan oleh individu pengelola dusung secara sendiri-sendiri (Kartodihardjo, 2006) untuk itulah diperlukan partisipasi yang dikoordinasi oleh pengurus organisasi di masyarakat, misalnya untuk memanen hasil cengkeh dari pemilik dusung yang memiliki luas dusung yang besar, ia membutuhkan partisipasi masyarakat yang lain untuk membantunya. Begitupun Dinas Kehutanan kota Ambon sangat membutuhkan peran serta masyarakat untuk memelihara tanamantanaman reboisasi pada kawasan HLGN yang telah ditanam. Partisipasi Responden Variabel dependen penelitian ini adalah partisipasi masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan
47
kawasan hutan dimaksudkan sebagai manifestasi perilaku masyarakat kawasan hutan dalam bentuk peran serta mereka dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta evaluasi dan monitoring terhadap kawasan HLGN. Adapun hasilnya tercantum pada tabel 17 berikut ini : Tabel 17. Partisipasi responden dalam pengelolaan Hutan Lindung N o
Indikator Penilaian
Desa Amahusu
Desa Urimesing
Total
Presentase
T
S
R
T
S
R
T
S
R
T
S
R
3
12
15
4
12
14
7
24
29
11.67
40.00
48.33
1
8
21
1
8
21
2
16
42
3.33
26.67
70.00
3
13
14
4
10
16
7
23
30
11.67
38.33
50.00
1
17
12
1
11
18
2
28
30
3.33
46.67
50.00
6
16
8
2
11
17
8
27
25
13.33
45.00
41.67
0
4
26
2
2
26
2
6
52
3.33
10.00
86.67
1
Penerimaan Manfaat Peningkatan pendapatan
10
18
2
12
13
5
22
31
7
36.67
51.67
11.67
2
Manfaat hutan
1
18
11
0
30
0
1
48
11
1.67
80.00
18.33
3
Ketergantungan terhadap hutan
0
28
2
1
27
2
1
55
4
1.67
91.67
6.67
3
8
19
2
6
22
5
14
41
8.33
23.33
68.33
2
10
18
1
3
26
3
13
44
5.00
21.67
73.33
1
4
25
1
4
25
2
8
50
3.33
13.33
83.33
2 3
1
2
3
1 2 3
Perencanaan Kegiatan survey Pemberian informasi Pengajuan usul & Saran Pelaksanaan Pemberian sumbangan pikiran Pemberian sumbangan tenaga Pemberian sumbangan materi
Monitoring dan Evaluasi Monitoring Hutan lindung Mengawasi hutan lindung Mengevaluasi hutan lindung
Ket : T = tinggi, S = Sedang dan R= rendah
48
Partisipasi masyarakat ini di nilai melalui 4 (empat) indikator yaitu : 1). Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Dalam
kegiatan
perencanaan
pengelolaan
HLGN,
partisipasi
masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti keterlibatan dalam kegiatan survei lapangan, pemberian informasi, dan mengajukan usul/saran. Lebih jelas tertera pada tabel 17. Dari tabel tersebut menunjukan bahwa masyarakat sekitarnya belum dilibatkan untuk melakukan kegiatan perencanaan terhadap pelestarian hutan lindung. Untuk kegiatan survei, hanya 7 responden atau 11,67% yang pernah melakukan bersama dengan petugas dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Ambon. Masyarakat yang aktif memberikan informasi kepada petugas untuk pengelolaan kawasan hanya 2 responden atau 3,33% dan yang pernah mengajukan usul, saran atau pendapat hanya sebesar 7 responden atau 11,67%. 2). Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Dalam
kegiatan
perencanaan
pengelolaan
HLGN,
partisipasi
masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti pemberian sumbangan pikiran, tenaga dan materi. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas. Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat setempat dalam memberikan sumbangan saran masih rendah dan hanya beberapa anggota masyarakat yang memberikan sumbangan pikiran,tenaga maupun materi untuk pengelolaan HLGN yaitu sebesar 3,33% untuk sumbangan pikiran, untuk sumbangan tenaga 13,33% dan sumbangan materi sebesar 3,33%. 3). Partisipasi Masyarakat dalam Penerimaan Manfaat Dalam kegiatan penerimaan manfaat dari pengelolaan HLGN, partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti peningkatan pendapatan, pengertian manfaat hutan terhadap lingkungannya dan ketergantungan terhadap hutan. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas.
49
Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat berpartisipasi tinggi tethadap pengelolaan kawasan HLGN apabila ada motivasi untuk keuntungan mereka yaitu peningkatan pendapatannya yaitu sebesar 36,67 %. Tetapi mereka mengabaikan manfaat hutan terhadap kelestarian lingkungan terutama dapat mencegah erosi dan tanah longsor serta sumber air bersih. Ketergantungan hidup terhadap hutan rendah sebesar 1,67 %, hal ini karena mereka juga mengusahakan dusung di dalam kawasan hutan. 4). Partisipasi Masyarakat dalam Monitoring Dan Evaluasi Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dari pengelolaan HLGN, partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti memonitor hutan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pada hutan lindung. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih rendah tingkat partisipasinya terhadap kegiatan monitoring, mengawasi dan mengevaluasi hutan lindung yaitu sebesar 8,33%, 5% dan 3,33%. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengelolaan HLGN Hubungan karakteristik responden dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN dikaji berdasarkan analisis Chi Square (X2) dan digunakan uji Koefisien Kontigensi (C). Nilai X2 dan koefisien keeratan hubungan dari masing-masing variabel heterogenitas dari kedua desa dapat dilihat pada tabel 18.
50
Tabel 18 Hubungan berbagai karakteristik responden dengan partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Amahusu No
Hubungan partisipasi
Nilai X2
Nilai C
Hubungan
dengan karakteristik.......... 1
Umur
3,600
0,327
Tidak ada
2
Pendidikan
0,764
0,158
Tidak ada
3
Jumlah tanggungan keluarga
1,765
0,236
Tidak ada
4
Pengetahuan
25,378
0,677
Ada hubungan/kuat
5
Luas dusun
12,573
0,543
Ada hubungan/sedang
6
Status pemilikan
16,223
0,592
7
Pendapatan
1,536
0,221
Tidak ada
8
Nilai aset
9,143
0,483
Tidak ada
9
Lama keterlibatan dalam organisasi
17,400
0,648
Ada hubungan/kuat
10
Hubungan didalam organisasi
13,010
0,593
Ada hubungan/sedang
11
Komunikasi dan Informasi
0
0
Responden menilai baik
3,152
0,341
12
Pemahaman aturan organisasi
Ada hubungan/sedang
Tidak ada
13
Pangambilan keputusan
3,000
0,333
Tidak ada
14
Penyelesaian masalah
9,611
0,535
Ada hubungan/sedang
Tabel 19. Hubungan berbagai karakteristik dengan partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Urimesing No
Hubungan partisipasi
Nilai X2
Nilai C
Hubungan dan tingkat hubungan
dengan karakteristik.......... 1
Umur
5,250
0,386
Tidak ada
2
Pendidikan
8,125
0,462
Tidak ada
3
Jumlah tanggungan keluarga
2,689
0,287
Tidak ada
4
Pengetahuan
15,910
0,589
Ada hubungan/sedang
5
Luas dusun
14,820
0,575
Ada hubungan/sedang
6
Status pemilikan
16,207
0,592
Ada hubungan/sedang
7
Pendapatan
8,693
0,474
Ada hubungan/sedang
8
Nilai aset
22,033
0,651
Ada hubungan/kuat
9
Lama Keterlibatan dalam organisasi
6,562
0,424
Ada hubungan/sedang
10
Hubungan didalam organisasi
19,890
0,631
Ada hubungan/kuat
11
Komunikasi dan Informasi
1,643
0,228
Tidak ada
12
Pemahaman aturan organisasi
7,710
0,452
Tidak ada
13
Pengambilan keputusan
4,038
0,344
Tidak ada
14
Penyelesaian masalah
0,067
0,047
Tidak ada
51
Hubungan Luas Dusun dengan Partisipasi Masyarakat Khusus untuk data luas dusung ini, memiliki penjelasan tambahan melalui tabel 20 sebagai berikut : Tabel 20. Hubungan partisipasi dengan luas dusung pada kedua desa Luas dusung Partisipasi
2,5-5 ha
1-2,5 ha
< 1 ha
Total
Tinggi
4
2
0
6
Sedang
14
8
10
32
Rendah
0
2
20
22
Total
18
12
30
60
Dari tabel diatas tergambar bahwa pada luas dusung 2,5-5 ha, 14 responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan 20 responden pada luas dusung < 1 ha memiliki tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa semakin luas penguasaan lahan maka semakin tinggi tingkat partisipasi. Pada masyarakat, pemilik dusung dengan luas penguasaan lahan yang besar memiliki pengaruh kekuasaan yang cukup tinggi di dalam masyarakat dan dihormati serta cenderung berperan lebih aktif dalam suatu partisipasi. Selain itu tingkat partisipasi sedang hingga rendah menggambarkan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan berpartisipasi hanya pada upayanya memelihara dusung yang berada di dalam kawasan hutan lindung
dan belum dapat berpartisipasi lebih tinggi bagi
kelestarian hutan secara menyeluruh. Hubungan Status Pemilikan dengan Partisipasi Masyarakat Khusus untuk data status pemilikan dusung ini, memiliki penjelasan tambahan melalui tabel 21 sebagai berikut :
52
Tabel 21. Hubungan partisipasi dengan status pemilikan dusung pada kedua desa Status pemilikan dusung Partisipasi
Total
Dusung
Dusung milik
Tanpa
adat
sendiri
status
Tinggi
5
1
0
6
Sedang
15
6
11
32
Rendah
0
0
22
22
Total
20
7
33
60
Dari tabel diatas tergambar bahwa pada status pemilikan dusung adat, 15 responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan pada dusung tanpa status 22 responden berada pada tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa status pemilikan yang dikelompokkan menjadi dusung adat, dusung milik sendiri dengan sertifikat, dusung disewakan dan dusung tanpa status, dapat dikatakan memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN dapat dikatakan ditentukan oleh status pemilikan atas lahan dusung yang diusahakannya. Masyarakat dengan dusung yang telah disertifikasi lebih aktif dan berwenang menjalankan peran partisipasi dibandingkan masyarakat yang memiliki dusung tanpa status. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kekuasaan dan kewenangan (hak yang disepakati bersama untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut keberadaan hutan dan dusungnya) lebih tinggi dimiliki oleh pemilik dusung yang telah disertifikasi tersebut (Kepala desa Urimesing, 2009). Hubungan umur dengan partisipasi masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa umur masyarakat pada kedua desa tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal ini menggambarkan tidak terdapat hubungan antara umur dan partisipasi dimana aktivitas pengelolaan suatu kawasan hutan tidak memberikan batasan umur bagi tiap masyarakat. Tiap masyarakat baik berumur muda dan berumur tua diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya yang ada.
53
Hubungan Pendidikan dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendidikan masyarakat pada desa Amahusu dan desa Urimesing tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal ini menjelaskan pada kasus penelitian ini bahwa tidak benar apabila pendidikan yang tinggi akan berimplikasi pada tingginya tingkat partisipasi tersebut. Baik masyarakat berpendidikan tinggi ataupun rendah dapat ikut serta berpartisipasi aktif dalam berbagai aktivitas pengelolaan kawasan hutan lindung dan faktor motivasilah yang berperan utama bagi upaya partisipasi yang dijalankan. Hubungan Jumlah tanggungan keluarga dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga responden pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya jumlah tanggungan keluarga tidak berhubungan dengan aktivitas partisipasi yang dilakukan. Masyarakat tanpa melihat jumlah tanggungan keluarganya dapat selalu berpartisipasi aktif. Hubungan Pengetahuan dengan Partisipasi Masyarakat Pengetahuan masyarakat pengelola dusun merupakan pencerminan kemampuan kognitif tentang berbagai aspek pengelolaan hutan, khususnya dusun. Hasil analisis hubungan antara pengetahuan tentang hutan lindung dan partisipasinya menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan erat dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga kuat. Desa Amahusu sebesar 0,677 dan untuk desa Urimesing sebesar 0,589.
Hal ini menunjukan bahwa dalam berpartisipasi,
pengetahuan masyarakat menjadi syarat mutlak keberhasilan aktivitasnya dimana pengetahuan
sangat
menunjang terhadap
kegiatan-kegiatan
yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat dalam aktivitasnya sebagai masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Perilaku partisipatifnya akan terlihat lebih baik apabila masyarakat memiliki pemahaman tentang hutan lindung, fungsi dan manfaatnya. Pengetahuan tentang hutan lindung akan mempengaruhi dan menentukan perilaku individu dalam pengelolaan kawasan HLGN artinya apa yang harus dilakukan oleh pengelola dusung akan sangat ditunjang oleh pengetahuannya tentang berbagai aspek hutan lindung tersebut dan bentuk peran sertanya dalam
54
suatu partisipasi. Dengan demikian maka terbukti hipotesis ini bahwa semakin tinggi pengetahuan semakin baik tingkat partisipasi yang dilakukan. Selain itu, pada suatu masyarakat ketika pengetahuannya dipandang memberi sumbangan yang bernilai dan bermanfaat, maka kepercayaan diri mereka akan semakin kuat, hal ini tentunya akan mendorong partisipasi yang lebih efektif, khususnya ketika penduduk desa harus berurusan dengan orangorang luar (Carol J.P Colfer, 1999). Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan dengan partisipasi. Tujuan
utama
pengelolaan
dusung
adalah
untuk
meningkatkan
produktivitas lahan usahanya agar pendapatan meningkat. Keeratan hubungan yang tergambar menunjukan tidak terdapat suatu kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan dusung maka semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam pengelolaan kawasan. Namun demikian hubungan yang tergambar tersebut mengemukan bahwa semakin besar tingkat pendapatan semakin besar kesempatan ataupun peluang untuk berpartisipasi. Hal ini sejalan dengan temuan Agrawal,(2000) bahwa salah satu kriteria penting yang dijadikan patokan keberhasilan performance institusi masyarakat untuk pengelolaan lingkungan adalah keadilan pada distribusi biaya dan manfaat yang diperoleh. Masyarakat mengelola dusung karena meyakini manfaat dan konsekuensi biaya yang ia peroleh dan hal ini berimplikasi pada bentuk partisipasi yang ia lakukan. Hubungan Nilai Aset/kekayaan dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa nilai aset masyarakat pada kedua desa berbeda. Untuk desa Amahusu nilai aset tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah sebesar 0,483, sedangkan untuk desa Urimesing memiliki hubungan dengan tingkat hubungan kuat sebesar 0,651. Hal ini menggambarkan bahwa nilai aset tidak dapat dijadikan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat namun hubungan rendah dan kuat tersebut menjelaskan nilai aset ini menciptakan gambaran pengaruh individu masyarakat tersebut yang dipandang lebih berkuasa dan dihormati di masyarakat kedua desa tersebut. Pemilik dusung
55
dengan nilai aset yang besar lebih berpengaruh memainkan perannya pada partisipasi di dalam masyarakat. Hubungan Lama Keterlibatan dalam Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat Hasil
analisis
penelitian
menunjukkan
bahwa
lama
keterlibatan
masyarakat dalam berorganisasi pada kedua desa memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,648 dan desa Urimesing sebesar 0,424. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara lamanya keterlibatan pemilik dusung dalam berorganisasi dengan partisipasi yang dijalankannya. Melalui aktivitas berorganisasi masyarakat dapat mengelola kapasitas peran yang dilakukan dan menunjukan ketertarikannya dalam partisipasi
pada
pengelolaan
sumberdaya
hutan
tersebut.
Aktivitas
berorganisasipun membantu mereka menemukan dan mengembangkan institusi yang mereka miliki yaitu rasa saling percaya, jalinan informasi dan komunikasi serta persahabatan yang terbina. Lama keterlibatan berorganisasi yang dimiliki menjadi salah satu faktor keberhasilan partisipasi yang mereka lakukan. Hubungan antara Anggota dan Pengurus Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara pengurus dan anggota pada organisasi masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,593 dan desa Urimesing sebesar 0,631. Hal ini menggambarkan bahwa semakin baik hubungan pengurus dan anggota maka makin tinggi partisipasinya. Selain itu hubungan ini menjelaskan kesesuaian hubungan kerja yang dilakukan dimana kedua belah pihak harus berupaya menempatkan dirinya sesuai peranan yang harus dilakukan. Keberhasilan kerjasama yang baik antar pengurus dan anggota akan sangat membantu mengelola partisipasi yang dijalankan. Hubungan Komunikasi dan Informasi dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dan informasi masyarakat pada desa Urimesing tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah yaitu sebesar 0,228 dan untuk desa Amahusu nilai X2 dan C tidak dapat dianalisis karena 76%
56
mengkatagorikan baik. Hal ini menggambarkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa semakin baik komunikasi dan informasi maka semakin tinggi tingkat partisipasinya tidak terbukti. Namun tidak demikian pada situasi dan kondisi masyarakat tertentu sebagai contoh desa Amahusu, masyarakat memberikan penilaian bahwa aspek komunikasi dan informasi merupakan hal penting dalam tiap interaksi mereka. Komunikasi merupakan proses yang merekatkan semua interaksi sosial. Semua proses sosial, struktur sosial dan jaringan sosial diwujudkan dalam proses komunikasi. Kekuasaan dijalankan dan diekspresikan melalui proses komunikasi. Semua komunikasi adalah proses transfer informasi. Pada proses komunikasi, informasi dipertukarkan dalam bentuk simbol. Pada kedua desa ini, salah satu simbol yaitu suara tifa masih dipakai sebagai media penyebaran informasi dan pengumpulan masyarakat yang dilakukan oleh marinyo atas perintah Kepala Dusun atau Kepala Desa. Masyarakat kedua desa melakukan banyak aktivitas bersama yang membutuhkan informasi dan komunikasi yang baik misalnya aktivitas Pameri hutan (kegiatan
penjarangan tegakan pada lahan dusun
tertentu), olahraga bersama, serta ibadah bersama. Hal ini secara tidak langsung mengurangi konflik dibandingkan desa lain yang kurang memiliki wadah tersebut. Melalui jalinan komunikasi dan informasi yang baik, partisipasi dapat dikelola dengan lebih baik bagi keberhasilan partisipasi tersebut. Hubungan Pemahaman Aturan organisasi dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pemahaman aturan organisasi di masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap pernyataan hipotesis bahwa semakin paham aturan berorganisasi maka semakin tinggi partisipasinya. Masyarakat memahami aktivitas berorganisasi adalah sebagai wujud motivasi pribadi, keterpanggilan bagi kepentingan bersama serta motivasi altruistik (semangat pengabdian bagi sesama) (Chitambar, 1973). Kurangnya pemahaman terhadap performance organisasi yang ia jalani masih dapat teratasi melalui peningkatan jalinan komunikasi dan informasi serta peran aktif melalui partisipasi yang dikelola oleh organisasi tersebut.
57
Hubungan Pengambilan Keputusan dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di dalam masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa semakin baik upaya pengambilan keputusan yang dilakukan maka semakin tinggi tingkat partisipasinya. Upaya pengambilan keputusan senantiasa membutuhkan kepemimpinan. Partisipasipun memerlukan kepemimpinan. Kepemimpinan formal selalu mempunyai peran dalam partisipasi, tetapi pemimpin informal seringkali lebih penting. Hal ini nampak pada masyarakat dimana peran tokoh masyarakat yang lebih tua masih mendominasi proses ini. Pada kedua desa, pertemuan bersama selalu berlangsung seminggu sekali melalui wadah organisasi keagamaan dan sebulan sekali bagi aktivitas kewang. Pengambilan keputusan difasilitasi melalui Lembaga Pemerintah Desa yang dimulai secara bertahap dari tingkatan dusun hingga tingkat desa. Hingga saat ini, jabatan Kepala Desa untuk desa Amahusu di tetapkan kriteria penduduk asli yang memiliki marga tertentu (marga Silooy dan da Costa) sedangkan untuk desa Urimesing lebih fleksibel dimana memberikan kesempatan siapa saja asalkan memenuhi kriteria yang mendasar sebagai Kepala Desa. Hingga saat ini tiap kebijakan Pemerintah Kota Ambon yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan HLGN senantiasa membutuhkan persetujuan bersama dari masyarakat pada kedua desa. Sebagai contoh penempatan sebagian kawasan untuk areal pemukiman pengungsi membutuhkan persetujuan bersama dengan pemilik lahan pada kawasan tersebut. Hubungan Penyelesaian masalah dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian masalah pada desa Amahusu memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang sebesar 0,535 dan tidak memiliki hubungan untuk desa Urimesing dengan tingkat hubungannya rendah sebesar 0,047. Hal ini menggambarkan adanya penerimaan dan penolakan terhadap hipotesis tersebut bahwa semakin baik upaya penyelesaian masalah maka semakin tinggi tingkat partisipasinya.
58
Namun berdasarkan hubungan keeratannya, faktor ini lebih berpengaruh pada bentuk partisipasinya, seperti yang diungkapkan oleh Etzioni (1982). Menurutnya berdasarkan upaya pengendalian organisasi maka ada tiga macam bentuk partisipasi yaitu (1) partisipasi dengan ciri kepatuhan (keterlibatan terpaksa), (2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (keterlibatan dengan pertimbangan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang disediakan oleh organisasi), (3) Partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan dasar mengemban dan menghargai atau rela membantu organisasi). Pada masyarakat kedua desa, bentuk partisipasi yang nampak adalah pada partisipasi kalkulatif dan partisipasi dengan ciri kepatuhan moral. Sebagai contoh : Aktivitas penghijauan kawasan HLGN masyarakat menampakkan partisipasi kalkulatif dimana mereka terlibat aktif bila diberikan insentif yang sesuai namun dalam peran mereka sebagai pengelola dusung dimana kelestarian kawasan
hutan
dijunjung tinggi, masyarakat menampakkan partisipasi dengan ciri kepatuhan. Gambaran bentuk partisipasi ini sangat membantu menentukan bagaimana mengarahkan efektivitas partisipasi yang diterapkan. Pembahasan Umum Pada tabel 18 dan 19 terlihat bahwa karakteristik individu dan organisasi yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah Pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi.
Seperti halnya institusi lokal, seperti harta karun yang
potensinya belum termanfaatkan, demikian juga pengetahuan masyarakat. Masyarakat setempat seringkali punya pengetahuan yang luas tentang hutan itu sendiri (terutama dusung dengan kawasan hutan disekitarnya) karena pengalaman pribadi dan pengamatan jangka panjang dan juga pelajaran-pelajaran nyata dari orangtua dan nenek moyang mereka. Pengetahuannya itu tidak selalu nyata dan merata diantara kelompok masyarakat yang hidup pada hutan lindung itu. Memahami potensi pengetahuan setempat; pemahaman mereka tentang hutan; dari siapa diperolehnya dan mengetahui cara untuk mengaksesnya
59
merupakan tugas penting untuk mengkatalisator partisipasi. Penyatuan pengetahuan setempat dan luar penting dilakukan. Pertukaran berbagai jenis pengetahuan sangat produktif bagi berbagai pihak yang berkepentingan bagi kawasan HLGN tersebut. Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer (2002) adalah areal kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan ternak. Status pemilikannya adalah perorangan dan memiliki fungsi produksi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat telah mempertahankan fungsi dusung ini dari generasi ke generasi. Status pemilikannya perorangan dan keluarga, dimana ada yang telah disertifikasi dan ada yang tanpa status. Tidak mudah mengatasi persoalan ini, upaya penyelesaian
yang diusahakan oleh
masyarakat adalah
dengan
mengeratkan hubungan kekerabatan (antar marga yang diberi hak penguasaan dusun) sehingga dengan demikian ada institusi (hubungan kekerabatan itu) yang mengatur hak-hak individu, hak-hak bersama dan mengatur fungsinya. Sistem pengelolaan hutan seperti ini bukan hanya mewujudkan orientasi keuntungan individu pengelola, melainkan juga memperhatikan kepentingan bersama dan fungsi kawasan hutan itu sendiri. Luas penguasaan dusung dan status pemilikannya tidak akan menjadi hambatan bagi upaya membangun partisipasi yang ada, justru, Partisipasi akan membantu mengatur mekanisme institusi lokal tersebut. Institusi lokal membantu mewujudkan keadilan dimana disamping memegang hak, individu memegang tanggungjawab. Hak individu diperoleh dan diakui oleh anggota masyarakat sehingga dipegang secara aman, karena individu juga diberi tanggung jawab untuk kepentingan bersama (menjaga kondisi hutan sekitarnya).
Mekanisme
keadilan
mendorong
masyarakat
membantu
mengamankan dan menuntut keberadaan sumberdaya hutan lindung tersebut tetap terjaga. Aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan (free riding, rent seeking dan asimetrik informasi) selalu berusaha diatasi antar pemilik dusung. Salah satu
60
cara mengatasinya adalah membangun keterlibatan tiap individu dalam berorganisasi dan menciptakan hubungan kerja yang sesuai kepentingan bersama sehingga upaya untuk memaksimumkan kesejahteraan individu lebih dapat diprediksikan. Melalui berorganisasi, upaya membangun koordinasi termasuk pertukaran informasi dan berbagai hal serta efisiensi biaya dapat diatasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Agrawal dan Gibson, 1999 bahwa lebih seringnya interaksi-interaksi dapat menurunkan biaya-biaya untuk bagaimana membuat keputusan-keputusan yang kolektif tersebut.
Untuk
itulah maka
partisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan sangat mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Analisis Stakeholder Kemampuan bekerja secara kolektif menjadi aspek yang penting bagi manusia. Masyarakat sudah melakukan partisipasi untuk mencapai tujuan bersama. Saat ini, semakin penting artinya masyarakat setempat punya hubungan dengan dunia luar. Hampir semua masyarakat terkait dengan dunia luar, terlepas dari mereka menghargai keterkaitan tersebut atau tidak. Adanya sumberdaya didunia luar yang cukup berguna bagi masyarakat setempat tentunya dapat diproses untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya tersebut dan dapat dikelola oleh masyarakat untuk kepentingan bersama. Salah satu proses mengkatalisasi partisipasi adalah dengan memulai proses pembuatan mata rantai semua stakeholder yang berkepentingan terhadap kawasan tersebut. Upaya untuk mengidentifikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai stakeholder akan membantu masyarakat setempat untuk mengembangkan kepercayaan diri dan meningkatkan keahliaan bernegosiasi dengan berbagai pihak. Untuk itulah penelitian ini mencoba menganalisis sejumlah stakeholder yang terkait dengan pengelolaan kawasan HLGN seperti yang diuraikan pada tabel 22. sebagai berikut :
61
Tabel 22. Matriks identifikasi Stakeholder dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Ambon Daftar Pihak terkait
Peran yang diharapkan
Pihak Terkait utama
Dampak Hipotetik
Kekuatan Pengaruh
Prioritas Keterlibatan
(+) (-) (+/-)
1 sd 5
1 sd 5
1. Dinas Kehutanan dan Pertanian kota Ambon
Mengelola kawasan dgn bijak
+,-
1
1
2. Dinas Kehutanan Provinsi Maluku
Mengelola kawasan dgn bijak
+
1
3
3. BP DAS Waihapu Batu merah
Perencanaan Kawasan bagi ketersediaan debit air yang terjamin
+,-
2
2
4. BPTH
Penyediaan bibit reboisasi
+, -
2
2
5. BAPEDA Kota Ambon
Perencanaan Kawasan ini dengan bijak
+
1
1
6. Masyarakat Desa Urimesing dan Urimesing
Perlindungan kawasan ini
+, -
1
1
7. Petugas Kewang desa/dusun
Perlindungan kawasan ini
+
2
1
8. Para penambang Batukarang & Pasir
Pemanfaatan SDA dgn lebih bijak
-
1
1
1. Kelompok tani binaan Dinas kehutanan
Memelihara tanaman reboisasi dgn baik
+
3
3
2. Bank mandiri dan Bank BNI, Dinas Beacukai
Sponsor dana reboisasi dan pemberdayaan masyrakat sekitar kawasan
+
3
3
3. UNDP/PTD (Peace Throug for Development)
Mengaktifkan kewang
+
3
3
4. HMI, Universitas Kristen Maluku, Unpatti, Organisasi pemuda gereja, Yayasan Arman
Pelaksana reboisasi
+
3
3
Pihak terkait Pemungkin
Ket : Kekuatan Pengaruh ; 1. Sangat berpengaruh, 2. berpengaruh, 3. cukup berpengaruh, 4. kurang berpengaruh, 5. tidak berpengaruh. Prioritas Keterlibatan : 1. sangat aktif, 2. aktif, 3. cukup aktif, 4. kurang aktif 5. tidak aktif Dari
tabel diatas terurai berbagai pihak dan untuk memudahkan analisis
perannya digunakan metode seperti yang diungkapkan oleh Bramasto, 2000
62
dimana peran stakeholder dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok peran yang tergambar sebagai berikut : a. Sponsor : Pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan, menjamin komitmen public dan politik serta memecahkan masalah dan yang termasuk pada peran ini adalah Dinas kehutanan Provinsi Maluku, Dinas Kehutanan & Pertanian kota ambon, BAPEDA (Badan Perencanaan Daerah) Kota Ambon, BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Waihapu Batu merah, dan BPTH (Balai Pembibitan Tanaman Hutan). Stakeholder yang termasuk pada peran sponsor ini, diharapkan menggunakan peran dan tanggungjawabnya terhadap pengelolaan kawasan hutan secara bijak. Namun peran tersebut belum dilaksanakan dengan baik dan memiliki kelemahan. Contohnya Dinas Partanian dan Kehutanan untuk program Gerhan (Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan) sering melakukan penetapan areal yang tumpang tindih dan terkesan tanpa perencanaan yang baik. Pemilihan lahan yang tidak sesuai dengan tujuan reboisasi sebagai tujuan utama yaitu
untuk peresapan sumber air bagi kawasan HLGN tetapi
menggunakan jenis-jenis tanaman yang tidak sesuai dengan criteria tersebut. Untuk
BAPEDA, Perencanaan pemetaan lahan yang tidak parsipatif dan
Button Up tetapi topdown. BPTH dimana institusi ini bertugas untuk menyediakan bibit tanaman Reboisasi, namun terkadang masih dipengaruhi oleh kegiatan dunia usaha (pihak ketiga) sehingga
bibit yang disediakan
kurang berkualitas dan hanya sekedar label sertifikat bibit unggul. b. Change participant : setiap orang yang dipengaruhi oleh perubahan dengan tingkat keterlibatan yang sangat bervariasi dan yang termasuk dalam peran ini adalah masyarakat Desa Amahusu dan Urimesing, Petugas Kewang tiap desa serta Kelompok tani binaan dinas Kehutanan dan Pertanian Kota Ambon. Perlindungan kawasan ini menjadi tekad utama masyarakat Desa Urimesing dan Amahusu,
namun karena kebutuhan sehari-hari dan lebih
mudah itu diperoleh dari kawasan hutan, maka seringkali fungsi ekologis kawasan ini diabaikan demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tersebut. Upaya memfungsikan kembali salah satu struktur Pemerintahan Desa/Negeri yaitu kewang/jagawana sangat membantu masyarakat untuk mengatasi
63
kerusakan oleh orang-orang/masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar kawasan hutan di kedua desa. Kewang
belum
dapat
berfungsi
dengan
baik
karena
jumlah
Kewang/Jagawana tidak sebanding dengan luas wilayah dan masih ada dusun yang belum memiliki kewang. Upaya memberikan insentif bulanan oleh Pemerintah diharapkan meningkatkan fungsi dan peranannya terutama mengawasi dan mencegah kegiatan-kegiatan yang merusak hutan dengan lebih baik dan pemberian sanksi bagi pelakunya. Kelompok Tani Binaan Dinas Kehutanan dan Pertanian dibentuk dengan fungsi mengelola dan memelihara bibit reboisasi bagi kawasan HLGN. Kelompok ini sebagian besar adalah masyarakat sekitar kawasan dari kedua desa. Mereka diberikan insentif bulanan untuk menjalankan perannya namun belum terpikirkan oleh pemerintah bagaimana kelanjutan peran ini setelah pembiayaannya proyek ini selesai. c. Change agent : Individu/kel/organisasi yang mengelola implementasi programprogram perubahan dan yang termasuk dalam peran ini adalah Bank Mandiri, Bank BNI, Dinas Beacukai, HMI, Unpatti, UKIM, Yayasan Arman, UNDP/PTD
(United
Nation
Development
Program/Peace
Thourgh
development). Peran yang dilakukan oleh kelompok ini adalah bentuk kepeduliaan untuk menjaga kelestarian kawasan dan pemberdayaan masyarakat setempat, dengan cara pemberian modal usaha kecil dan penanaman berbagai tanaman reboisasi. Namun Peran yang dijalankan belum terlaksana dengan baik : lemahnya koordinasi, belum terjalin kerjasama yang baik dengan stakeholder lain serta perencanaan, monitoring dan evaluasi yang terabaikan sehingga hasilnya tidak seperti yang diharapkan dan terkesan program dengan jangka pendek. d. Oposisi : berperan diantara 3 peran tersebut.(sumber resiko kegagalan proyek yang harus ditangani) dan yang termasuk dalam peran ini adalah Masyarakat eks pengungsi dan Para pekerja penambang Pasir dan Batukarang disekitar kawasan HLGN. Para penambang batu karang dan pasir, tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan dari aktifitas mereka. Sehingga kurang bijak dalam memanfaatkan
64
sumber daya alam yang tersedia dan terkesan merusak. Pemerintah perlu menindak tegas dan memberikan pemahaman tentang fungsi dan manfaat hutan lindung dan bagaimana dampak dari aktivitas mereka itu. Begitupun masyarakat eks-pengungsi, Mereka ini terkesan sangat eksploitatif terhadap kondisi sumberdaya hutan yang ada sehingga
menyebabkan kerusakan
sumberdaya alam sekitarnya, Namun disisi lain, ini merupakan bentuk upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Pemerintah dan berbagai stakeholder yang ada diharapkan memberi pemahaman bagi mereka fungsi hutan lindung tersebut dan menentukan kebijakan yang tepat bagi keberadaan mereka terhadap fungsi kawasan serta lebih aktif melibatkan mereka dalam pengelolaan kawasan. Kelemahan utama dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah ketidaksempurnaan dalam penguasaan informasi dan belum terbangun kerjasama yang baik dari tiap stakeholder yang berkepentingan terhadap kawasan ini. Kelemahan informasi tentang kepastiaan hak dan batas-batas hutan lindung serta isi yang terkandung didalamnya. Tanpa adanya kesempurnaan dalam penguasaan informasi tersebut, kewenangan dapat berjalan namun tanpa objek yang jelas sehingga penyelenggaraan kewenangan dari tiap stakeholder tidak efektif (Kartodihardjo,1998). Stakeholder secara keseluruhan telah kehilangan respect satu terhadap yang lain, tidak terjadi dialog meskipun ada pertemuan. Peran sebagai sponsor ataupun change participant tidak optimal sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah dan masyarakat dalam arti luas, seperti kehilangan common interest untuk mempertahankan fungsi HLGN ini, meski semua tahu dan mulai timbul kesadaran akan kepentingannya. Melalui partisipasi upaya untuk mengenali kebutuhan koordinasi diantara stakeholder dan pengaturan perilaku tiap individunya yaitu menghindari terjadinya free riders (penunggang gratis) dapat dilakukan dan ada upaya untuk menyepakati aturan main serta monitoring terhadap perilaku menyimpang serta pengenaan sangsi yang telah ditetapkan dalam aturan main. Untuk itulah maka perlu diciptakan mata rantai partisipasi berbagai stakeholder dimana kelemahan dari tiap peran yang dimainkan oleh tiap stakeholder dapat
65
saling melengkapi dan teratasi demi kelestarian HLGN dan kesejahteraan bersama. Untuk mendukung tujuan jangka panjang dari sistem sumberdaya terbaharui seperti hutan,
partisipasi diperlukan untuk membatasi penggunaan
sumber daya itu dan untuk melakukan berbagai wujud dari aktivitas manajemen. Aktivitas partisipasi memerlukan visi yang jelas karena aksi ini memiliki konsekuensi terhadap berbagai pihak yang terlibat dan dapat berubah karena pengaruh kepemimpinan yang mengelola aksi tersebut. Partisipasi tidak selalu mengharuskan adanya partisipasi namun akan lebih efektif bila ditunjang oleh partisipasi tersebut karena dengan adanya partisipasi, partisipasi akan lebih terarah dengan baik karena tersedianya koordinasi, pengaturan perilaku berbagai pihak yang terkait serta adanya kesepakatan aturan main yang di tetapkan secara bersama sehingga masalah distribusi biayapun dapat dibagikan dengan adil diantara berbagai pihak. Hal ini tergambar pada pengelolaan kawasan HLGN. Arnstein (1995) menyatakan bahwa tingkat partisipasi sangat bervariasi mulai tahap manipulasi, terapi, menginformasikan, konsultasi, menentramkan (placation), kemitraan, delegasi kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan tersebut dikenal dengan istilah tangga partisipasi. Tangga partisipasi ini akan sangat membantu mempelajari sejauhmana tingkat peran partisipasi yang dimainkan oleh masyarakat dan bagaimana membuatnya lebih baik. Untuk tangga partisipasi yang terlihat pada bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN telah berada pada tangga menginformasikan dan tangga kemitraan dimana masyarakat disosialisasikan dan diinformasikan tentang fungsi dan manfaat kawasan HLGN dengan harapan mereka memahami dan berpartisipasi menjaga kelestarian kawasan dan sebagai mitra kerja dalam pengelolaan kawasan ini. Tingkatan Partisipasi ini belumlah optimal seperti yang diharapkan karena upaya menginformasikan lebih dikhususkan pada pemimpin mereka begitupun keikutsertaan sebagai mitra kerja relative hanya pada proyek penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi.
66
Kinerja pengelolaan kawasan masih terlihat beberapa kelemahan sehingga performancenyapun terganggu dan saat ini beberapa bagian hutan telah mengalami kerusakan. Adapun beberapa kelemahan kinerja antaralain : 1. Kelemahan aspek koordinasi, dimana belum terjalin kerjasama yang baik antar pengelola dengan berbagai pihak lain terutama pada aspek perencanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan. 2. Masyarakat memiliki kemudahan akses pemanfaatan kawasan (karena hak kepemilikan dusung) sehingga penambangan batu karang dan pasir semakin meningkat dan mengakibatkan terjadinya degradasi tanah. 3. Terjadinya degradasi karena seringnya terjadi kebakaran hutan (baik sengaja maupun tidak sengaja) dan penebangan liar yang mengakibatkan berkurangnya debit mata air hingga hilangnya beberapa sumber mata air. 4. Tidak termanfaatkan modal social dengan baik (kewang dan marinyo). 5. Belum terwujudnya partisipasi sebagai modal utama masyarakat membangun tujuan bersama bagi pengelolaan kawasan. Kawasan HLGN yang sangat dekat dengan kota Ambon secara tidak langsung mengakibatkan kawasan ini mengalami tekanan sebagai implikasi dari tergangunya performance tersebut. Gambaran terjadinya degradasi terhadap sumberdaya yang ada tentunya mengakibatkan fungsi hidrologi HLGN tergangu. Upaya mengatasinya dilakukan oleh pemerintah kota Ambon khususnya dinas kehutanan dengan memfungsikan kembali kewang pada masing-masing dusung. Masyarakat kedua desa memiliki homogenitas pada aspek budaya (adat Maluku) dan minat ekonomi (system pengelolaan dusungnya), hal ini memudahkan menjalankan partisipasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN. Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan HLGN maka ada beberapa variabel yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan kawasan HLGN dan juga mengambarkan institusi dari kedua masyarakat ini antaralain : 1. Pengaturan kebijakan formal : Pentingnya interpendensi antara berbagai peraturan yang mengatur pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan lahan dusung oleh masyarakat. Pada HLGN kedua peraturan ini tidak dapat dilepas pisahkan dan sangat dibutuhkan untuk manajemen kawasan.
67
Adapun peraturan yang mengatur tentang pengelolaan hutan lindung tercantum jelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 dimana pada peraturan ini bahwa pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa; b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam, sehingga upaya pengelolaan perlu diatur oleh pengelola (Dinas kehutanan Provinsi dan kota setempat) dengan baik dan perlu bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan pemanfaatan kawasan ini. Melalui keputusan Menteri Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996, tercantum secara jelas pengaturan kawasan ini sebagai kawasan lindung sedangkan peraturan tentang lahan dusung masyarakat diatur melalui register 26 Mei 1814 warisan pemerintah Belanda dan dilakukan registrasi kembali di Pulaupulau Lease dan pulau Ambon pada tahun 1883. Penetapan lahan dusung ini telah berlaku secara turun temurun dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber ekonomi keluarga. Keberadaan dusung ini sangat menunjang keberadaan fungsi kawasan lindung karena lahan hutannya tetap terjaga dengan baik oleh pemiliknya, hal ini terlihat pada banyaknya tegakan yang besar. Kedua peraturan ini saling menunjang dalam pengelolaan kawasan HLGN. Hal ini menggambarkan bahwa secara de facto masyarakat memiliki hak dan secara de jure adalah kewenangan pemerintah, untuk itulah maka sangat dibutuhkan partisipasi dan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan kawasan ini. 2. Pemahaman karakteristik sumberdaya ; pengenalan akan ciri khusus dari sumberdaya hutan itu dan system pengelolaannya penting dipahami oleh pengelolaan kawasan. Kawasan HLGN ini memiliki ciri khusus sebagai kawasan dengan tingkat kelerengan yang tinggi 50-80% dengan didominasi tegakan pinus, pala dan cengkih serta merupakan daerah tangkapan air yang sangat berguna untuk masyarakat kota Ambon dan tepat berada diantara kedua
68
desa yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu dimana masyarakat memiliki sejumlah dusung yang berada pada kawasan HLGN tersebut. Pengelolaan kawasan ini diatur secara khusus oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan kota Ambon dengan berkoordinasi dengan instansi terkait. Sedangkan pengelolaan dusung, penguasaan lahan dan hasil dusung dikuasaai secara individu (keluarga) dengan oreintasi subsisten dimana 50% hasilnya untuk konsumsi langsung kelaurga pengelola dan beroreintasi komersial dimana sebagian besar tegakan buahnya hasil produknya dipasarkan. Sedangkan struktur hutan dusungnya agroforest kompleks. Dusung telah diusahakan bertahun-tahun, melampaui beberapa generasi. Pada tingkat produktivitas yang ada, ia menjadi penopang utama pendapatan
rumahtangga pemiliknya.
Keberlanjutannya mengalami
tantangan sehubungan dengan peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan kebutuhan hidup. Pemahaman akan karakteristik kawasan HLGN dengan dusung-dusung yang ada mengharuskan pengelolaan kawasan ini memiliki kerjasama dan partisipasi aktif dari masyarakat setempat agar pengelolaannya dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan. 3. Pengaturan efektivitas kelembagaan : kejelasan property rights atas lahan, pengetahuan tentang lahan hutan, pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun serta mekanisme penyelesaian konflik. Untuk variabel ini mencoba menjelaskan efisiensi dilakukan dengan pendekatan kelembagaan. Untuk hak-hak yang berkaitan dengan kepemilikan, penguasaan, pengelolaannya terdefenisi secara baik pada komponen property right ini. Pemerintah memiliki hak penuh terhadap pengelolaan kawasan HLGN dimana tujuan pengelolaan dan pemanfaatannya merupakan hak dari pemerintah namun yang menarik pada disisi lain masyarakat memiliki hak atas kepemilikan lahan dusung yang telah ada sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung. Kepemilikan pemerintah atas kawasan HLGN dan kepemilikan masyarakat atas lahan dusung tidak akan menjadi masalah apabila masing-masing pihak memahami dengan baik haknya tersebut dan mengatur mekanisme penggunaannya. Property right ini merupakan institusi
69
karena didalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatan atas lahan hutan ini dan merupakan alat yang mengatur hubungan antar individu (North, 1990). Adanya pengetahuan yang tepat tentang fungsi dan manfaat kawasan HLGN oleh berbagai pihak yang berkepentingan atas kawasan ini haruslah menjadi pemahaman bersama dan penentuan aturan main yang disepakati bersama; terlebih khusus aturan main tentang interdependencies antar berbagai pihak tersebut dengan sumberdaya hutan itu. Pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun antar berbagai pihak serta mekanisme penyelesaian konflik yang ada, akan membantu menentukan kesempatan-kesempatan ekonomi individu dan hasil akhir interaksi antar individu/organisasi terhadap kinerja ekonomi dan pengelolaan sumberdaya HLGN tersebut agar tidak saling merugikan melalui partisipasi. Pentingnya penegakan sanksi-sanksi (formal-informal) yang telah disepakati. 4. Pemahaman karakteristik kelompok actor : heterogenitas, tingkat kepercayaan, hubungan social serta partisipasi dan partisipasi yang terbangun. Pentingnya pemahaman karakteristik berbagai kelompok/individu yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya akan membantu mengidentifikasi peran yang tepat bagi individu/organisasi tersebut. Pada masyarakat jelas memiliki heterogenitas (individu dan organisasi sebagaimana diuraikan pada riset ini) yang sangat berpengaruh terhadap
bentuk partisipasinya dalam
pengelolaan kawasan HLGN. Tingkat kepercayaan dan hubungan sosial merupakan modal sosial dimana untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah harus berbagi peran dengan masyarakat dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator dan penyedia menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara dan fasilitator (Rustiadi, 2007). Inilah bentuk peran yang diharapkan dalam pengelolaan kawasan HLGN.
69
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi hasil analisis data penelitian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN, Kota Ambon, dapat dikemukan beberapa kesimpulan penelitian sekaligus sebagai jawaban terhadap hipotesis penelitian yang telah dirumuskan, yaitu : (1) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan
perencanaan, pelaksanaan,
penerimaan manfaat serta evaluasi dan monitoring terhadap kawasan HLGN masih tergolong rendah. (2) Faktor karakteristik individu dan organisasi yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi. (3) Masyarakat menampakkan partisipasi kalkulatif dalam peran mereka sebagai pengelola HLGN dan menampakkan partisipasi dengan ciri kepatuhan moral dalam peran mereka sebagai penggelola dusung. (4) Pentingnya diciptakan partisipasi dan mata rantai aksi bersama berbagai stakeholder sehingga kelemahan dari tiap peran yang dimainkan oleh tiap stakeholder dapat saling melengkapi dan teratasi demi kelestarian HLGN dan kesejahteraan bersama. (5) Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan hutan lindung
maka
pentingnya
mengidentifikasi
beberapa
variabel
yang
mempengaruhi dan sekaligus merupakan institusi yang ada pada kedua masyarakat tersebut antaralain : Pengaturan kebijakan formal, pemahaman karakteristik sumberdaya, pengaturan efektivitas kelembagaan, pemahaman karakteristik actor.
70
Saran Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian : (1) Tingkatkan pengetahuan masyarakat dan stakeholder lainnya tentang hutan lindung karena dengan pengetahuan yang baik akan memberi pengaruh dan menentukan perilaku individu dalam pengelolaan kawasan HLGN. (2) Pentingnya upaya meningkatkan partisipasi masyarakat yang dilakukan melalui indentifikasi dan pengembangan berbagai insitusi lokal yang ada dimasyarakat. (3) Mata rantai stakeholder perlu dibangun dan ditingkatkan peranannya.
71
DAFTAR PUSTAKA
Ambika P Gautama and Ganesh P Shivakoti. 2005. Condition for Successful Local Collective Action in Forestry : Some Evidence From the Hills of Nepal. Society and Natural Resource, Vol.18, pp 153-171 Budi Rahardjo., 2003. Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Makalah yang disampaikan pada PIKNAS di IPB. Bogor. Bramasto Nugroho. 2000. Lesson Learnt study for WWF Indonesia Freshwater Projects. Work Plan, Schedule dan Report Outline Bungin B. 2006. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bina Agrawal. 2000. Conceptualising Environment Collective Action : Why Gender matters. Cambridge Journal of Economics Vol.24, pp 283-310. Carol J Pierce Colfer. Aturan-aturan sederhana Katalisasi Aksi Kolektif dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam C. Yudilastiantoro. 2005. Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Lindung Di Das Palu (Hulu), Sulawesi Tengah. Info sosial Ekonomi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.Bogor Didik Suharjito et all. Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Pustaka Kehutanan Masyarakat,2000 Departemen Kehutanan Republik Indonesia,. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Evans Kristen, et All. 2006. Guide to Participatory Tools for Forest Communities. CIFOR. Bogor Finlay. Agresi A dan B. Statistical Methods for the Social Science. Prentice Hal,Inc.
Goerge Varughese and Elinor Ostrom. 2001. The Contested Role of Heterogeneity in Collective Action: Some Evidence from Community Forestry in Nepal. World Development Vol.29, No. 5,pp 747-765.
72
Godlief A.A. 2009. Mengenal Urimessing Sebuah Negeri Adat Di Jazirah Leitimor. Assau Majalah PIKOM GPM. Ambon Gland.Y.N. 2004. Ketimpangan Pelaksanaan Kebijakan Hutan Lindung Gunung Nona di kota Ambon Pasca Konflik Sosial (tesis). Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta Jane Ritchie and Jane Lewis. 2002. Qualitative Research Practice, A Guide for Social Science Student and Researchers. SAGE Publications.
Kartodihardjo, H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan. Telaah lanjut analisis kebijakan usaha kehutanan. IDEALS. Gedung Alumni IPB Lantai 2. Bogor Kartodihardjo, H. 2006. Bahan Kuliah Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. MacKinnon, J. K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di daerah tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Manulang, S., 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Environmental Policy and Institutional Stregthening IQC. Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Permodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor Poteete Amy R dan Ostrom Elinor, 2004. Heterogeneity, Group Size dan Colective Action : The Role of Institutions in Forest Management, Ford Foundation and National Science. Springate-Baginski, O.et al, 2003. Institutional Development of Forest User Group in Nepal : Processes and Indicators. Jurnal of Forest and Livelihood Sugiono. 2007. Statistika untuk penelitian. Penerbit Alfabeta Bandung. Silooy. A, 2002, Problematika Pembangunan Desa (Studi kasus : Desa Amahusu – Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon) (Paper) Soetrisno. L., 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius. Yokyakarta Selener. D, 1997. Participatory action Research and Social Change. Cornel University, Ithaca, New York, USA Tenang. 1993.Partisipasi Petani dalam Kegiatan Koperasi Unit Desa (KUD) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Tesis) Institut Pertanian Bogor.
73
Tim Editor. 2003. Sosiologi Umum, Institut Pertanian Bogor.