PARTISIPASI ANGKATAN KERJA PEREMPUAN DAN RASIO JENIS KELAMIN: STUDI KASUS NEGARA ANGGOTA ASEAN
Abstrak
Ketika kemungkinan seorang perempuan untuk menemukan seorang suami rendah, kebutuhan untuk mendukung dirinya sendiri atau menjadi mandiri meningkat. Kondisi ini memberikan perempuan insentif untuk merencanakan karier dan mencari pekerjaan. Sebaliknya, jika terdapat lebih banyak laki-laki daripada perempuan, kemungkinan laki-laki dalam mendapatkan pasangan akan menurun. Perempuan akan dihargai sebagai isteri dan ibu, mereka akan kurang perlu untuk bekerja di luar rumah dan akan menyebabkan berkurangnya kesempatan dalam pasar tenaga kerja. Bukti tentang kondisi tersebut diatas telah ditemukan dalam banyak kajian empiris. Studi ini bermaksud mengkaji kondisi kekinian dari partisipasi angkatan kerja perempuan dan rasio jenis kelamin di negara-negara anggota ASEAN.
Sari Lestari Zainal Ridho dan Muhammad Nizar Al Rasyid
Key words: women labor force participation, sex ratio, education, ASEAN
9
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
Pendahuluan Hubungan antara seks rasio – perbandingan jumlah laki-laki terhadap jumlah perempuan dalam masyarakat - dan partisipasi angkatan kerja perempuan telah diinterpretasikan sebagai akibat dari kurangnya prospek untuk menikah bagi perempuan ketika mitra potensial kurang tersedia. Hipotesa tentang seks rasio (Guttentag & Secord, 1983; Heer & Grossnard-Shechtman, 1981) dan teori pencarian perkawinan (marital search theory) (Oppenheimer, 1988) memprediksi bahwa ketersediaan pasangan berpengaruh besar dalam perjalanan untuk masuk ke jenjang perkawinan. Biasanya, ketersediaan pasangan diukur dengan rasio jenis kelamin. Semakin rendah rasio jenis kelamin (jumlah laki-laki untuk setiap 100 perempuan), semakin besar pula kemungkinan wanita pergi bekerja untuk memperoleh upah. Bowen & Finegan (1969) mengemukakan hipotesa marriage squeeze hypothesis, yaitu “wanita akan sangat berharga sebagai isteri dan ibu dan diperlakukan lebih baik pada kondisi rasio seks tinggi”.
angkatan kerja perempuan dan rasio jenis kelamin. Dengan menggunakan two stage least square regression, Marianne A. Ferber dan Helen M Berg mengukur partisipasi angkatan kerja sebagai salah satu faktor yang menentukan rasio jenis kelamin (seks) dan rasio jenis kelamin sebagai salah satu faktor yang menentukan partisipasi angkatan kerja. Penelitian yang mereka lakukan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin tidak signifikan terhadap partisipasi tenaga kerja, tapi partisipasi tenaga kerja signifikan dalam regresi untuk rasio jenis kelamin, walaupun hanya pada tingkat kepercayaan 10 persen. Gunseli Berik dan Cihan Bilginsoy dalam Type of Work Matters: Women’s Labor Force Participation and the Child Sex ratio in Turkey menginvestigasi hubungan kekuasaan dan jenis angkatan kerja perempuan dan rasio jenis kelamin pada populasi penduduk anak-anak di Turki. Metodologi yang diadopsi tidak menjelaskan atau menganalisis prosesnya melalui mana pembedaan kondisi diperkuat atau diperlemah. Namun mereka dapat mendeteksi, dampak dari sejumlah variabel terhadap rasio jenis kelamin pada anak-anak (perkapita PDB, tingkat melek huruf, ukuran rumah tangga, tempat tidur rumah sakit per 1000, dan tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan). Temuan mereka menunjukkan bahwa pada kelompok umur 0-9, rasio seks lebih tinggi sedangkan tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan, tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan yang tidak mendapatkan bayaran, dan tingkat melek aksara lebih rendah.
Namun, semakin banyak bukti yang menjelaskan, bahwa perempuan (termasuk ibu dan isteri) akan dihargai dan kesempatan hidupnya akan lebih baik bila mereka aktif secara ekonomi di luar rumah tangga. Kondisi ini adalah apa yang disebut “hipotesa partisipasi angkatan kerja,” (labor force participation hypothesis) yang memandang partisipasi angkatan kerja perempuan sebagai salah satu variabel yang menentukan rasio jenis kelamin. Bertentangan dengan hipotesa sebelumnya, pendekatan ini diawali dengan partisipasi angkatan kerja perempuan sebagai salah satu penyebab variasi harga hidup perempuan dan laki-laki, yaitu seks rasio. Dalam pandangan ini, orang yang menerima porsi yang lebih besar atas sumber daya diharapkan untuk menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Orang tua cenderung menghargai anak-anak mereka yang diharapkan menjadi produktif pada saat dewasa dan mengambil alih perusahaan keluarga atau memperoleh pendapatan bagi keluarga.
Marriage Squeeze Hypothesis Para pengusung pendekatan ini menyatakan bahwa ketika probabilitas seorang perempuan untuk menemukan seorang suami berkurang atau menurun, maka kebutuhan untuk mandiri menjadi meningkat. Lebih jauh, mereka menegaskan bahwa kondisi perempuan dalam kondisi ini akan memiliki posisi yang lebih rendah dalam hubungannya dengan laki-laki, karena lakilaki tidak akan kesulitan mencari mitra lain. Kondisi perempuan yang seperti ini memberikan dorongan bagi perempuan untuk merencanakan karier, mencari pekerjaan dan manjadikannya seorang feminis. Sebaliknya, jika terdapat lebih banyak lakilaki daripada perempuan, probabilitas laki-laki dalam mencari pasangan mengalami penurunan. Perempuan jika lebih dihargai sebagai isteri dan ibu, mereka akan hanya mempunyai sedikit motivasi untuk bekerja di luar rumah dan juga tingginya rasio seks ini (jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan) akan menyebabkan lebih sedikit kesempatan dalam pasar tenaga kerja bagi perempuan.
Umumnya anak laki-laki, bukan perempuan, cenderung untuk memenuhi persyaratan tersebut di atas. Kondisi seperti itu terkait dengan rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan: mereka dinilai lebih rendah dan menerima lebih sedikit sumberdaya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengkaji kondisi kekinian partisipasi angkatan kerja perempuan dan rasio jenis kelamin (seks) di negara-negara anggota ASEAN.
Tinjauan Pustaka Penelitian empiris tentang partisipasi angkatan kerja perempuan dan rasio jenis kelamin telah banyak dilakukan. Marianne A. Ferber dan Helen M Berg, dalam Labor Force Participation of Women and the Sex ratio: A Cross-Country Analysis (1991) mencoba meneliti hubungan timbal-balik antara partisipasi
Salah satu bukti dari kondisi tersebut, dari kajian mengenai hubungan antara status tenaga kerja dan partisipasi di Amerika Serikat pada tahun 1960, menunjukkan bahwa perempuan yang tidak pernah menikah memiliki tingkat partisipasi tertinggi (sekitar 91 persen), diikuti oleh perempuan bercerai (89 persen),
10
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
perempuan yang menjadi janda (81 persen), dan perempuan tanpa kehadiran suaminya (66 persen), lihat Tabel 1. TABEL 1 1 TABEL Marital Status and Force Participation: Marital Status andLabor Labor Force Participation: a 25-54 Urban Areas, Census Week of 1960 of 1960 Single Women Single Womena 25-54 ininUrban Areas, Census Week Labor force Participation rate Population group, by Marital status
Number Percent In Of population Unadjusted Adjusted b Sample
I. ALL SINGLE WOMEN Never married Separated or divorced Widowed Husband absent Total F-ratio II. NEGRO SINGLE WOMEN Never married Separated or divorced Widowed Husband absent Total F-ratio
740 488 335 99 1,662 21.80* 79 121 67 28 295 2.01
44.5 29.4 20.2 6.0 100.0
93.9 87.7 76.1 64.7 86.8
91.2 88.5 80.5 66.2 86.8
26.8 41.0 22.7 9.5 100.0
87.3 83.5 73.1 67.9 80.7
87.3 82.4 74.2 70.2 80.7
a
Perempuan single yang terdiri dari semua orang tidak menikah, yaitu, orang-orang yang tidak pernah menikah dan orang-orang yang menjadi janda, bercerai, terpisah, atau menikah dengan ketidakberadaan pasangannya. Untuk efek (pengaruh) dari tingkat pendidikan, pendapatan lainnya, usia dan warna kulit. ** Signifikan pada tingkat 1 persen.
b
Sumber: William G.G. Bowen and and T. Aldrich Finegan. The Economics of Labor Sumber: William Bowen T. Aldrich Finegan. The Economics of Force Labor Participation, Princeton, New Jersey: UniversityUniversity Press, 1969.Press, 1969. Force Participation, Princeton, NewPrinceton Jersey: Princeton
Ada beberapa teori yang mendukung Marriage Squeeze Hypothesis, yaitu teori-teori tentang bagaimana ketersediaan pasangan berpengaruh terhadap perkawinan, antara lain seperti yang telah disebutkan di atas tentang hipotesa rasio jenis kelamin (sex ratio hypothesis) dan teori pencarian perkawinan (the marital search theory). Teori marital search hanya mempertimbangkan bagaimana ketidakseimbangan dalam rasio seks memaksa perkawinan. Teori ini memprediksi bahwa semakin tinggi rasio seks, semakin tinggi kemungkinan perempuan untuk menikah, dan kemungkinan laki-laki untuk menikah yang lebih rendah. Sebaliknya sex ratio hypothesis, berpendapat bahwa bagaimana ketidakseimbangan rasio seks, berkaitan dengan ketidaksetaraan gender, mempengaruhi perkawinan. Teori ini mengasumsikan bahwa jumlah dari gender yang lebih sedikit, baik laki-laki maupun perempuan memiliki posisi tawar yang menguntungkan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan karena mereka memiliki pasangan potensial (Guttentag & Secord, 1983; Heer & Grossbard-Shechtman, 1981).
rasio seks. Rasio jenis kelamin yang dianggap sebagai salah satu indikator yang berpengaruh terhadap kesempatan hidup perempuan mencerminkan keterabaikannya perempuan dalam rumah tangga. Dalam pandangan ini, seseorang yang menerima porsi yang lebih besar sumber daya adalah mereka yang diharapkan untuk menghasilkan kontribusi dalam bidang ekonomi yang lebih besar bagi keluarga. Orang tua cenderung lebih menghargai anak-anak yang diharapkan menjadi produktif pada saat dewasa nanti dan mengambil alih perusahaan atau memperoleh pendapatan bagi keluarga. Umumnya, anak laki-laki bukan anak perempuan yang cenderung memenuhi persyaratan tersebut. Weinberger dan Heligman (1987) secara khusus menekankan bahwa praktek-praktek budaya dan sosial yang mendiskriminasi terhadap perempuan dan anak gadis dapat berpengaruh dalam meningkatkan tingkat kematian mereka. Kondisi seperti itu cenderung terkait dengan rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan, dimana mereka yang dinilai rendah dan menerima lebih sedikit sumberdaya. Di Malaysia ada preferensi yang lebih kuat bagi anak-anak laki-laki dibanding anak perempuan. Di Cina, karena adanya peraturan pemerintah dalam membatasi jumlah anak untuk setiap keluarga, maka orang tua biasanya akan mengaborsi sebuah embrio (janin) yang jika saat itu—sebelum kelahirannya— diketahui akan lahirnya bayi perempuan. Hal inilah yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam rasio jenis kelamin di China. (sumber: Mingguan Malaysia Ahad, 14 Desember, 2003) Rasio jenis kelamin pada saat lahir baru-baru ini muncul sebagai indikator beberapa jenis diskriminasi seks di beberapa negara. Sebagai contoh, rasio jenis kelamin yang tinggi pada saat lahir di beberapa negara Asia kini dikaitkan dengan aborsi seks-selektif dan infantisida karena preferensi yang kuat untuk anak-anak laki-laki. Ini akan mempengaruhi pola perkawinan masa depan dan pola kesuburan. Akhirnya, dapat menyebabkan kerusuhan antara laki-laki dewasa muda yang tidak dapat menemukan mitra. Kedua hipotesa tersebut di atas, hipotesa rasio jenis kelamin (sex ratio hypothesis) dan teori pencarian perkawinan (the marital search theory), tidak saling berhubungan secara mutual, tetapi dimungkinkan adanya interaksi diantara keduanya. Selanjutnya penulis akan mengkaji sampai sejauh mana kondisi di Negaranegara ASEAN memperkuat masing-masing hipotesa.
Hipotesa Partisipasi Angkatan Kerja
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara
Bertentangan dengan hipotesa sebelumnya, pendekatan ini diawali dengan pemikiran bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan sebagai salah satu penyebab variasi harga hidup perempuan dan laki-laki, yang tentunya berkaitan dengan
ASEAN merupakan sebuah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 melalui Deklarasi Bangkok
11
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, serta memajukan perdamaian di tingkat regionalnya. Negara-negara anggota ASEAN mengadakan rapat umum pada setiap bulan November.
• • • •
Vietnam (28 Juli 1995) Laos (23 Juli 1997) Myanmar (23 Juli 1997) Kamboja (16 Desember 1998)
Timor Leste, yang dulunya merupakan sebuah provinsi Indonesia, kini mendapatkan status pemerhati (observer) dalam ASEAN, setelah menuai protes dari berbagai negara ASEAN yang tidak mendukung masuknya Timor-Leste ke ASEAN, atas dasar rasa hormat kepada Indonesia. Awalnya, Myanmar menentang pemberian status observer kepada Timor-Leste karena dukungan Timor-Leste terhadap pejuang pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi.
ASEAN didirikan oleh lima negara pemrakarsa, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand di Bangkok melalui Deklarasi Bangkok. Menteri luar negeri penanda tangan Deklarasi Bangkok kala itu ialah Adam Malik (Indonesia), Narciso R. Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Khoman (Thailand).
Sejak restorasi kemerdekaan Timor-Leste pada Mei 2002, ASEAN telah banyak membantu Timor-Leste. TimorLeste telah diundang untuk hadir dalam beberapa pertemuan ASEAN. Meskipun begitu, Timor-Leste masih tetap berstatus observer. Mantan Menlu Timor Leste yang sekarang menjadi Presiden, Ramos Horta, pernah menyatakan tidak berminat menjadi anggota ASEAN, karena Timor-Leste dinilai bukan negara Asia (Tenggara), melainkan negara Pasifik atau Australia. Berbeda dengan rekannya Xanana Gusmao yang menyatakan bahwa akan lebih menguntungkan bagi Timor Leste apabila berafiliasi dengan ASEAN dibandingkan dengan apabila bergabung dengan Pacific Islands Forum.
Isi Deklarasi Bangkok adalah sebagai berikut. • Mempercepat pertumubuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara • Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional • Meningkatkan kerjasama dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi • Memelihara kerjasama yang erat di tengah - tengah organisasi regional dan internasional yang ada • Meningkatkan kerjasama untuk memajukan pendidikan, latihan, dan penelitian di kawasan Asia Tenggara
Perkembangan terakhir mengindikasikan bahwa Timor-Leste sangat berminat untuk menjadi anggota ASEAN. Bahkan Pemerintah Timor-Leste melalui Kementerian Luar Negerinya telah menargetkan bahwa Timor-Leste akan menjadi anggota ASEAN pada tahun 2012, hal ini sangat di dukung oleh pemerintah Indonesia juga negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat bahwa Pemerintah Timor-Leste juga telah membuka Sekretariat Nasional ASEAN di Dili pada awal bulan Februari 2009, dimana sekretariat ini akan berfungsi untuk mempersiapkan tahapan-tahapan menjadi keanggotaan ASEAN.
Brunei Darussalam menjadi anggota pertama ASEAN di luar lima negara pemrakarsa. Brunei Darussalam bergabung menjadi anggota ASEAN pada tanggal 7 Januari 1984 (tepat seminggu setelah memperingati hari kemerdekannya). Sebelas tahun kemudian, ASEAN kembali menerima anggota baru, yaitu Vietnam yang menjadi anggota yang ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Dua tahun kemudian, Laos dan Myanmar menyusul masuk menjadi anggota ASEAN, yaitu pada tanggal 23 Juli 1997. Walaupun Kamboja berencana untuk bergabung menjadi anggota ASEAN bersama dengan Myanmar dan Laos, rencana tersebut terpaksa ditunda karena adanya masalah politik dalam negeri Kamboja. Meskipun begitu, dua tahun kemudian Kamboja akhirnya bergabung menjadi anggota ASEAN yaitu pada tanggal 16 Desember 1998.
Data dan Analisis Kajian ini menggunakan data dari seluruh negara anggota ASEAN—negara dengan data yang diperlukan tersedia. Sebagian besar data yang digunakan adalah data dari tahun 2000 sampai 2007, namun beberapa data dari tahun 1996 sampai 2001. Informasi partisipasi tenaga kerja, dan pendidikan diperoleh dari World Development Report 1997, Worldmark Yearbook 2001 dan The World Bank 2002 World Development Indicators, Central Intelligence Agency USA Factbook 2001 dan data dari situs resmi worldbank yang diakses pada tahun 2010.
Kini ASEAN beranggotakan semua negara di Asia tenggara (kecuali Timor Leste dan Papua Nugini). Berikut ini adalah negara-negara anggota ASEAN: • Filipina (negara pendiri) • Indonesia (negara pendiri) • Malaysia (negara pendiri) • Singapura (negara pendiri) • Thailand (negara pendiri) • Brunei Darussalam (7 Januari 1984)
Data yang digunakan adalah data sex ratio dan partisipasi
12
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
angkatan kerja perempuan. Selain itu juga digunakan data pendidikan karena selain bahwa pendidikan diharapkan mempunyai pengaruh positif terhadap pertisipasi angkatan kerja, perempuan dalam banyak kajian empiris juga mengalami diskriminasi dalam hal pendidikan sebagai akibat preferensi yang lebih kuat bagi anak laki-laki yang dianggap lebih berpotensi sebagai tulang punggung keluarga. Data pendidikan yang digunakan disini adalah data tingkat pendaftaran di pendidikan menengah dan jumlah yang diharapkan dari tahun bersekolah yang akan selesai. Data pada Tabel 2 adalah kondisi di negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2000 dan pada Tabel 3 kondisi negaranegara anggota ASEAN pada tahun 2007. Berdasarkan data pada Tabel 2, Filipina, Indonesia, Malaysia dan Singapura memiliki rasio jenis kelamin lebih besar dari 1. Angka lebih besar dari 1 menunjukkan jumlah laki-laki yang ada di masyarakat lebih banyak dari pada jumlah perempuan. Sebaliknya, Thailand, Vietnam, Myanmar dan Kamboja, memiliki rasio jenis kelamin yang lebih rendah dari 1, ini menunjukkan jumlah wanita atau perempuan yang lebih banyak dari laki-laki. Laos memiliki jumlah pria yang relatif sama banyak dengan jumlah perempuan, hal ini ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin sebesar 1. Namun demikian mayoritas negara anggota ASEAN— termasuk Indonesia—memiliki jumlah tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki yang lebih banyak dibanding perempuan, meskipun memiliki jumlah wanita yang lebih tinggi dibanding pria, kecuali pada Kamboja yang memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki tetap diharapkan untuk menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah, meski jumlah perempuan yang lebih banyak di dalam negara tersebut. Bila di lihat dari bidang pendidikan, mayoritas perempuan negara ASEAN telah mengenyam pendidikan menengah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendaftar perempuan pada sekolah menengah yang mencapai lebih dari 50%, hanya Myanmar dan Kamboja yang masih berada dibawah 50%, 36,93 % untuk Myanmar dan 15.45% untuk Kamboja. Pada Tabel 3 yang merupakan kondisi tahun 2007 terdapat beberapa perbedaan dengan kondisi tahun 2000. Sex ratio beberapa negara mengalami perubahan kecuali Indonesia, Vietnam dan Thailand yang tetap pada angka 1.01, 0.99 dan 0.98. Beberapa negara mengalami penurunan angka sex ratio yang menunjukkan terjadi perubahan jumlah antara lakilaki dan perempuan, yaitu lebih banyak jumlah perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dialami oleh Singapura dan Laos, dengan masing-masing sex ratio menjadi sebesar 0.95 dan 0.98 yang pada tahun 2000 sebesar 1.02 dan 1. Malaysia juga mengalami penurunan angka sex ratio dari 1.03 menjadi 1.01, angka ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan
angka sex ratio, namun dalam populasi usia produktif perempuan tetap lebih sedikit dibanding jumlah laki-laki. Filipina mengalami penurunan angka sex ratio dari 1.02 menjadi 1, menunjukkan bahwa pada tahun 2007, jumlah perempuan dan laki-laki usia 15-64 tahun menjadi seimbang. Menurunnya jumlah perempuan dibanding laki-laki di negara-negara Asia ini dipicu oleh 2 faktor yaitu: terjadinya aborsi seksselektif yang lebih memilih kelahiran bayi laki-laki dibanding perempuan dan masih tingginya jumlah kematian perempuan usia produktif terutama pada saat persalinan. Selain angka sex ratio yang cenderung tetap dan menurun hanya Kamboja yang mengalami kenaikan angka sex ratio, yaitu dari 0.95 menjadi 1.02 yang menunjukan terjadi jumlah yang lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan jika dibanding kondisi pada tahun 2000. Kondisi pendidikan perempuan pada tahun 2007 jauh lebih baik dibanding tahun 2000, sebagaimana pada Negara Thailand dan Brunei jumlah pendaftar perempuan di sekolah menengah hampir mencapai 100%. Rata- rata kenaikan adalah berkisar 10% kecuali kamboja yang mengalami peningkatan jumlah yang mendaftar cukup pesat dari 15,45% menjadi 99,3%. Hanya saja kondisi pendidikan perempuan Indonesia lebih rendah dibanding mayoritas Negara anggota ASEAN
13
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
lainnya. Secara prosentase jumlah perempuan yang bersekolah di sekolah menengah lebih banyak dibanding laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh banyak laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga lebih memilih untuk bekerja dibanding melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Central Intelligence Agency USA Factbook 2001 diolah kembali oleh penulis Tabel 3. Partisipasi Kerja dantahun Rasio Tabel 3. Partisipasi AngkatanAngkatan Kerja Perempuan danPerempuan Rasio Jenis Kelamin 2007 No
Partisipasi angkatan kerja perempuan pada tahun 2007 masih jauh jika dibandingkan partisipasi angkatan kerja laki-laki, seperti terlihat pada Tabel 3, selisih prosentase jumlah lakilaki yang bekerja dan perempuan yang bekerja sekitar 30% sebagaimana yang terjadi di Filipina, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sejumlah negara lain seperti Thailand, Brunei, Vietnam, Myanmar dan Kamboja memiliki selisih partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki yang hanya berkisar 10% sedangkan Laos memiliki partisipasi angkatan kerja yang relatif seimbang antara laki-laki dan perempuan. Secara umum partispasi angkatan kerja laki-laki lebih tetap dalam kondisi yang lebih tinggi sebagaimana yang terjadi pada tahun 2000, hal ini dilatarbelakangi budaya sebagian besar negara ASEAN yang menjadikan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga, dan perempuan yang lebih dihargai sebagai istri dan ibu yang pada akhirnya membuat perempuan walaupun dengan tingkat pendidikan yang lebih baik enggan untuk berpartisipasi dalam dunia kerja. Namun terjadi kenaikan, walau tidak banyak, dalam jumlah wanita yang bekerja pada tahun 2007 seiring dengan lebih banyaknya jumlah wanita dibanding laki-laki sebagaimana yang terjadi di Singapura. Sebaliknya di Kamboja, jumlah laki-laki yang lebih banyak dibanding perempuan pada tahun 2007 diiringi dengan kenaikan prosentase laki-laki yang bekerja dibanding perempuan.
Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan (% dari total angkatan kerja)
Partisipasi Angkatan kerja lakilaki (%dari total angkatan kerja)
Tingkat pendaftaran perempuan di pendidikan menengah (%)
Rasio tingkat partisipasi angkatan kerja lakilaki dan perempuan 1.25
1 Filipina
1.02
37.8
62.2
77.87
2 Indonesia
1.01
40.8
59.2
51.50
1.38
3 Malaysia
1.03
37.9
62.1
-
1.21
4 Singapura
1.02
39.1
60.9
73.49
1.58
5 Thailand
0.98
46.3
53.7
89.48
1.59
-
-
-
-
-
0.99
48.9
51.1
58.36
1.10
1
-
-
-
-
9 Myanmar
0.99
43.4
56.6
36.93
1.30
10 Kamboja
0.95
51.7
48.3
15.45
0.98
6 Brunei 7 Vietnam 8 Laos
Partisipasi
Partisipasi
Angkatan kerja Perempuan
Angkatan kerja lakilaki
(% dari populasi yang
(% dari populasi yang
berusia 1564 tahun)
berusia 1564 tahun)
Tingkat pendaftaran perempuan di pendidikan menengah (%)
Tingkat pendaftaran laki-laki di pendidikan menengah (%)
1
51.2
81.2
87.6
78.8
2 Indonesia
1.01
51.7
88.5
65.8
65.5
3 Malaysia
1.01
47.3
82.7
72.3
66.0
4 Singapura
0.95
59.9
82.5
-
-
5 Thailand
0.98
70.1
85.0
87.8
79.4
1
61.0
78.0
99.3
95.6
7 Vietnam
0.99
74.5
80.8
-
-
8 Laos
0.98
82.6
81.5
38.6
48.9
70.7
88.1
-
-
77.4
87.8
99.3
95.6
6 Brunei Darussalam
9 Myanmar 10 Kamboja
1.02
Sumber: World Bank, diolah kembali.
Kesimpulan
Tabel 2. Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan dan Rasio Jenis Kelamin tahun 2000 Rasio Jenis Kelamin
Jenis Kelamin tahun 2007
Rasio Jenis Kelamin
1 Filipina
Tabel 2. Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan dan Rasio Jenis Kelamin tahun 2000 No Negara
Negara
Sumber: World Bank, diolah kembali.
Berdasarkan uraian di atas, data-data kondisi kekinian dari negara-negara ASEAN mendukung kesimpulan sementara bahwa ada saling ketergantungan antara partisipasi angkatan kerja perempuan dan rasio seks daripada hanya sekedar hubungan pengaruh satu arah. Penemuan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Marianne A. Ferber dan Helen M Berg. Temuan kami - untuk kasus negara-negara ASEAN mendukung hipotesa bahwa rasio seks memiliki efek positif terhadap partisipasi angkatan kerja. ketika kita menemukan bahwa untuk setiap tambahan jumlah laki-laki dalam 100 perempuan akan meningkatkan rasio laki-laki terhadap partisipasi angkatan kerja perempuan, sebaliknya hal ini akan mengurangi partisipasi angkatan kerja perempuan. Penulis dapat menyimpulkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan akan tinggi ketika jumlah laki-laki untuk setiap 100 perempuan rendah. Itu pantas untuk mendapatkan perhatian yang sesuai dengan logika dari “marriage squeeze hypothesis” sebagaimana yang terjadi di Kamboja. Penulis juga menyimpulkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan membantu menentukan jenis kelamin pada rasio jenis kelamin, dimana rasio jenis kelamin akan lebih tinggi bila partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah, yang pada gilirannya mempengaruhi partisipasi angkatan kerja perempuan. Pandangan ini memiliki implikasi kebijakan
Sumber: World Development Report 1997, Worldmark Yearbook 2001, The World Bank Sumber: World Development Report 1997, Worldmark Yearbook 2002 World Development Indicators dan Central Intelligence Agency USA Factbook diolah kembali oleh penuli 2001, The World2001 Bank 2002 World Development Indicators dan
14
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
yang penting. Penulis tentunya tidak akan pernah mencoba untuk menyesuaikan rasio jenis kelamin untuk mempengaruhi partisipasi angkatan kerja. Mungkin lebih tepat untuk melakukan hal yang sebaliknya jika tingkat kemungkinan hidup perempuan akan berkurang bila partisipasi angkatan kerja perempuan pada posisi yang rendah. Secara umum, penulis dapat mengatakan bahwa rasio jenis kelamin akan tinggi bila partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah. Pendidikan menjadi salah-satu issu penting, dalam kajian ini perubahan tingkat pendidikan juga diiringi oleh peningkatan jumlah perempuan yang bekerja, walaupun laki-laki masih mendominasi lapangan pekerjaan yang ada di negaranegara ASEAN karena perempuan-perempuan di ASEAN, dilatarbelakangi budaya yang ada, lebih memilih menjadi istri ataupun ibu dibanding harus terjun kedunia kerja. Namun tidak berarti pendidikan harus diabaikan, karena menjadi ibu, pendidik calon-calon pemimpin masa depan dan sumber daya manusia yang lebih baik, membutuhkan tingkat pendidikan yang berkualitas. Pendidikan menjadi pekerjaan rumah bagi setiap negara di dunia, khususnya ASEAN utamanya. Indonesia memiliki tingkat pendidikan lebih rendah daripada mayoritas negara ASEAN lainnya. Perbaikan kondisi pendidikan bukan hanya dengan menaikkan anggaran pemerintah dalam sektor pendidikan tapi juga dengan memperbaiki dan mengawasi proses pendidikan itu sendiri kearah yang lebih baik. Temuan dari studi ini bersifat sementara. Penelitian lain diperlukan untuk menentukan apakah temuan ini khusus untuk pengalaman saat ini atau tidak Sari Lestari Zainal Ridho dan Muhammad Nizar Al Rasyid adalah Dosen Tetap Politeknik Negeri Sriwijaya.
DAFTAR PUSTAKA Amna Mohamed Omar. “Level, Differentials and Determinant of Female Labor Force Participation, Sudan 1999,” date accessed: January 15, 2004.http://www.erf.org.eg/ html/blabor12.pdf. Central Intelligence Agency USA, The World Factbook 2001. USA: Central Intelligence Agency, 2001. Gunseli Berik and Cihan Bilginsoy. “Type of Work Matters: Women’s Labor Force Participation and the Child Sex ratio in Turkey.” World Development 28, No. 5 (2000): 861-878. http://id.wikipedia.org/wiki/Perhimpunan_Bangsa-bangsa_ Asia_Tenggara diakses 31 maret 2010 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/ TOPICS/EXTGENDER/EXTANATOOLS/ EXTSTATINDDATA/EXTGENDERSTATS/0,,co
15
ntentMDK:21438836~menuPK:4080912~pagePK:64 168445~piPK:64168309~theSitePK:3237336,00.html diakses 2 April 2010 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/ TOPICS/EXTGENDER/EXTANATOOLS/ EXTSTATINDDATA/EXTGENDERSTATS/0,,c ontentMDK:21438813~menuPK:4080948~pagePK :64168445~piPK:64168309~theSitePK:3237336,00. htm diakses 2 April 2010 https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/ fields/2018.html?countryName=&countryCode=&r egionCode=%C2%AA diakses 2 April 2010 https:// www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/ fields/2018.html?countryName=&countryCode=® ionCode=%C2%AA K. Jill Kiecolt & Mark A. Fosselt. “Mate Availability and Marriage Among African Americans.” Paper to appear in African American Research Perspectives, edited by Robert Joseph Taylor, Program for Research on Black Americans, Institute for Social Research, University of Michigan, Ann Arbor, pp. 1 – 8, data accessed: February 3, 2004. www. rcgd.isr.umich.edu/prba/perspectives/ spring1997/ kjkiecolt.pdf Marianne A. Ferber and Helen M Berg. “Labor Force Participation of Women and the Sex ratio: A CrossCountry Analysis.” Review of Social Economy 49, No. 1 (1991): 2-19. Maggie Black. “Women’s Roles,” date accessed: February 4, 2004. http://reference.allrefer.com/country-guidestudy/ nigeria/nigeria63.html Negara China Tidak Seimbang Jantina. 2003. Mingguan Malaysia, December 14: 28. Shoshana Grossbard-Shechtman and Shoshana Neuman. “The Extra Burden of Moslem Wives: Clues from Israeli Women’s Labor Supply.” Economic Development and Cultural Change 46, No. 3 (1998): 491-517. William G. Bowen and T. Aldrich Finegan. The Economics of Labor Force Participation, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1969 World Bank 2002. 2002 World Development Indicators on CD-ROM. New York: World Bank, data accessed: December 13, 2003. http://humandevelopment.bu.edu/dev_indicators/show_info. cfm?index_id=538&data_type=1 World Development Report 1997 the State in A Changing World: Selected World Development Indicators. New York: Oxford University Press, 1997. Worldmark Yearbook 2001. Mary Rose Bonk, (ed.), USA: Gale Group Thomson Learning, 2001. The World Bank 2002: World Development Indicators. USA: Development Data Center, The World Bank, 2002.
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0